Bahagia Pendekar Binal Jilid 19

So Ing memayang Siau-hi-ji memeriksa kamar-kamar itu satu per satu, terlihat setiap kamar itu ternyata sangat resik dan rajin, boleh dikatakan sangat mentereng, bahkan setiap kamar ada sebuah ranjang yang sangat lunak, ranjang berkasur karet busa barangkali kalau menurut jaman kini.

Siau-hi-ji menghela napas gegetun, ucapnya, “Barangkali sudah dua-tiga tahun aku tidak tidur di ranjang senikmat ini, sungguh tak tersangka kawanan tikus kecil ini dapat menikmati kehidupan seenak ini.”

“Meski Gui... Gui Bu-geh sangat kejam terhadap anak muridnya, tapi kalau anak muridnya patuh dan tidak melanggar peraturan, kehidupan sehari-harinya memang sangat baik,” tutur So Ing.

“Hm tentu saja,” jengek Siau-hi-ji. “Jika mereka tidak diberi makan kenyang dan tidur nyenyak, cara bagaimana datangnya tenaga mereka untuk bekerja keras baginya.”

So Ing menunduk dan tidak bersuara lagi.

Selang sejenak, Siau-hi-ji berkata pula, “Sungguh aneh, penghuni di sini benar-benar telah kabur semua tanpa tersisa satu pun, memangnya sebelumnya mereka sudah tahu akan kedatangan si penyatron itu, lalu kabur lebih dulu?”

So Ing tak tahan, ia berkata pula, “Apakah kau kira yang datang ini benar-benar Yan Lam-thian?”

“Kukira begitu,” ujar Siau-hi-ji.

Tiba-tiba So-Ing tertawa, katanya, “Tidak, kukira bukan.”

“O, apa dasarnya?” tanya Siau-hi-ji.

“Kau sendiri yang bilang begitu,” jawab So Ing.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian dengan tertawa, “Bilakah pernah kukatakan?”

“Meski di mulut kau tidak omong, tapi gerak-gerikmu seolah-olah sudah memberitahukan hal ini kepada orang lain,” ujar So Ing dengan tersenyum, “Kau tahu Yan-tayhiap tidak mungkin datang ke sini. Sayang Ih-hoa-kiongcu yang berilmu silat maha tinggi itu ternyata tidak paham seluk-beluk kehidupan insani, sebab itulah meski gerak-gerikmu sudah jelas kelihatan, namun mereka tidak dapat melihatnya sedikit pun.”

Siau-hi-ji terbelalak memandangi si nona dan tak dapat bersuara pula.

“Bukan saja kau tahu Yan-tayhiap tidak nanti datang ke sini, bahkan Hoa-kongcu juga pasti tahu, tapi dia telah merahasiakan hal ini bagimu. Nah, betul tidak uraianku?”

Siau-hi-ji menghela napas panjang-panjang, katanya “Orang lain sama bilang aku ini setan cilik mahacerdik, kukira poyokan ini harus kupersembahkan kepadamu.”

So Ing tersenyum, katanya, “Tapi aku pun ingin tahu, jika penyatron ini bukan Yan-tayhiap, lalu siapa gerangannya? Setahuku, kecuali Yan-tayhiap, di dunia Kangouw ini tiada orang lain yang memiliki tenaga sehebat ini.”

“Aku pun ingin tahu, tapi betapa pun hal ini bukan persoalan yang paling pelik dan paling sukar kupecahkan.”

“Urusan apa yang paling pelik dan tak dapat kau pecahkan?”

“Coba jawab, tak peduli siapa penyatron ini, jika sudah jelas kedatangannya ini hendak mencari perkara pada Gui Bu-geh, tentu sebelumnya takkan diberitahukannya kepada Gui Bu-geh, betul tidak?”

“Betul, kedatangan orang ini tentunya dilakukan secara mendadak, makanya orang-orang di hutan sana bisa mati di tangannya.”

“Akan tetapi kalau melihat keadaan di sini tampaknya sebelumnya Gui Bu-geh sudah bersiap-siap untuk mengundurkan diri, malahan cara mundur mereka sedemikian lancar dan tidak terburu-buru, buktinya satu barang berharga saja tidak ada yang tertinggal di sini.”

“Kawanan tikus berboyongan, sudah tentu apa pun dibawanya,” ujar So Ing.

“Tapi mengapa tikus harus boyongan? Memangnya mereka sudah tahu pasti akan kedatangan kucing? Seumpama kepandaian Gui Bu-geh memang sakti, kan dia juga tidak mampu meramal apa yang belum terjadi?”

So Ing terdiam sejenak, katanya kemudian, “Betul juga. Jika orang ini datang mendadak, tentu Gui Bu-geh tak tahu sebelumnya, bila dia kabur dalam keadaan tergesa-gesa, pasti juga mereka takkan lari sebersih ini.”

“Apalagi dia sudah tekun berlatih selama dua puluh tahun di sini serta telah dibangunnya pesawat rahasia sebanyak ini, maksud tujuannya jelas ditujukan untuk menghadapi Yan-tayhiap dan Ih-hoa-kiongcu.”

So Ing mengangguk, katanya, “Betul, dia memang berniat demikian.”

“Sebab itulah sekali pun dia tahu Yan-tayhiap dan Ih-hoa-kiongcu bakal datang kemari, tentu juga dia takkan lari, kesempatan ini kan sudah ditunggunya selama dua puluh tahun?”

“Ya, betul, dia memang bertekad akan menempur mereka untuk menentukan unggul dan asor. Dia juga sering berkata padaku bahwa dia khawatir kalau Ih-hoa-kiongcu dan Yan-tayhiap tidak mau datang kemari. Bila mana mereka datang, maka mereka pasti akan dikuburnya di sini.”

“Dan sekarang Gui Bu-geh sendiri justru kabur lebih dulu, apakah sebabnya? Dapatkah kau pecahkan soal ini?”

“Aku tak dapat memecahkannya,” jawab So Ing dengan tersenyum getir.

“Selain ini, masih ada sesuatu yang tak dapat kupecahkan,” kata Siau-hi-ji.

“Oo, apa?” tanya So Ing.

“Tempo hari, waktu aku terluka parah, tiba-tiba Gui Bu-geh keluar dengan tergesa-gesa untuk menyambut kedatangan seorang tamu agung, sekarang baru kutahu bahwa tamu agung itu ialah Kang Piat-ho.”

“Ya, memang betul Kang Piat-ho adanya.”

“Meski Kang Piat-ho berjuluk Kang-lam-tayhiap, tapi gelar ‘Kang-lam-tayhiap’ ini mungkin tidak berharga sepeser pun bagi Gui Bu-geh.”

“Kulihat Kang-lam-tayhiap ini memang cuma bernama kosong belaka,” ujar So Ing dengan tertawa.

“Tapi Gui Bu-geh bergegas-gegas menyambut kedatangannya begitu menerima laporan, lalu apa sebabnya? Masakah dia dan Kang Piat-ho memang sudah lama kenal baik?”

“Tampaknya memang sudah lama kenal, kalau tidak mustahil Kang Piat-ho menemukan tempat kediamannya.”

“Makanya aku bertambah bingung. Kang Piat-ho baru beberapa tahun terakhir menonjol di kalangan Kangouw, tapi Gui Bu-geh sudah dua puluhan tahun tirakat di sini, lalu cara bagaimana mereka bisa saling kenal?” Setelah menghela napas gegetun, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, “Kalau kedua orang ini telah berkomplot, maka Gui Bu-geh akan mirip harimau bersayap, seharusnya dia lebih-lebih tidak perlu pergi dari sini, tapi sekarang dia justru angkat kaki. Maka menurut perkiraanku, di balik kejadian ini pasti ada tipu muslihat tertentu, intrik apa memang masih tanda tanya, tapi bisa jadi keadaan ini adalah perangkap yang sengaja mereka atur. Begitu masuk di sini segera kurasakan gelagat tidak beres.”

“Apa yang tidak beres?” mendadak seorang menukas.

Suara ini timbul dari belakang mereka, tapi So Ing dan Siau-hi-ji tidak terkejut, bahkan menoleh saja tidak. Sebab mereka tahu Ih-hoa-kiongcu pasti mengintil di belakang mereka, mereka pun tahu dengan Ginkang Ih-hoa-kiongcu yang mahatinggi itu tak mungkin mereka dapat mengawasinya.

Maka Siau-hi-ji menjawab, “Meski tiada bayangan seorang pun di tempat ini, namun aku merasakan adanya maut di mana-mana, rasanya kita sudah masuk ke dalam kuburan dan sukar keluar lagi.”

“Hm, ini kan cuma pikiranmu sendiri yang sok curiga,” jengek Lian-sing Kiongcu.

“Ya, mungkin aku sendiri yang besar curiga, tapi apa pun juga aku tidak ingin tinggal lebih lama lagi di sini,” kata Siau-hi-ji. “Jika kalian tidak mau pergi terpaksa aku harus mendahului pergi....”

Belum habis ucapannya, mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Hehehe, baru sekarang kau mau pergi mungkin sudah rada kasip.”

Meski hidup Siau-hi-ji ini belum lebih dua puluh tahun, tapi berbagai macam suara tertawa sudah banyak didengarnya, di antaranya ada suara tertawa nyaring seperti bunyi genta dan menggetar sukma, ada suara tertawa yang mengerus bagai kayu diparut serta ada suara tertawa yang mengilukan seperti logam digosok.

Tapi betapa pun tak enaknya suara tertawa yang pernah didengarnya jika dibandingkan suara tertawa sekarang ini pada hakikatnya suara tertawa yang pernah didengarnya itu adalah seperti suara musik yang merdu. Hakikatnya tak pernah terpikir olehnya bahwa dari tenggorokan seseorang bisa keluar suara seburuk ini. Dan ia pun tahu di seluruh kolong langit ini hanya ada seorang yang bersuara seburuk ini.

Ih-hoa-kiongcu dan So Ing juga sama terkesiap mendengar suara tertawa aneh itu.

Tanpa tertahan Siau-hi-ji lantas berteriak, “He, Gui Bu-geh masih berada di sini!”

Aneh juga, tampaknya semua penghuni gua ini sudah pergi seluruhnya, mengapa Gui Bu-geh masih tinggal di sini?

Terdengar orang itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Betul, aku memang masih berada di sini, sudah cukup lama kutunggu kedatangan kalian.”

Secepat kilat Ih-hoa-kiongcu melayang ke arah datangnya suara tertawa itu. Suara itu jelas berkumandang keluar dari kamar batu di sebelah.

Kamar ini pun ada sebuah ranjang yang bagus dengan alat perabot keperluan sehari-hari, jelas tiada ubahnya seperti kamar yang lain, hanya sebuah kamar tempat tinggal salah seorang murid Gui Bu-geh. Namun di tengah suara tertawa yang menusuk telinga itu, tahu-tahu dinding di kamar ini dapat terbuka secara ajaib, menyusul sebuah kereta kecil mungil beroda dua meluncur keluar dari balik dinding sana.

Kereta atau kursi beroda dua ini terbuat dari sejenis logam yang mengkilat, tampaknya sangat ringan dan gesit, di atas kereta duduk seorang kerdil yang menyerupai anak kecil.

Kalau dipandang sepintas lalu takkan merasakan sesuatu yang menakutkan atas diri si kerdil ini, ia serupa dengan orang kerdil umumnya, suka pamer, pakaiannya sangat mewah, warnanya sangat mencolok mirip baju pengantin anak perempuan yang akan menghadiri upacara nikah.

Tapi jika dipandang lebih lama sejenak, seketika orang akan merasa merinding dan menggigil serta berharap semoga selanjutnya jangan lagi-lagi melihat orang macam begini.

Dia duduk bersila di atas keretanya sehingga kedua kakinya sama sekali tidak kelihatan.

Matanya tampak jelilatan, suatu tanda orang ini pasti sangat licik dan licin dan juga kejam, warna matanya rada buram seperti orang yang putus asa, tapi terkadang justru memancarkan sinar mata yang nakal dan kekanak-kanakan seperti bocah yang bengal.

Mukanya rada peyot, bengis dan beringas, tampaknya mirip seekor serigala kelaparan yang sedang menunggu mangsanya yang hendak disergapnya. Namun ujung mulutnya terkadang juga bersembul secercah senyum yang manis.

Apa yang dikatakan Siau-hi-ji memang tidak salah, orang ini sesungguhnya adalah adukan dari racun dengan madu, sudah jelas diketahui dia akan membunuhmu, tapi mau tak mau akan timbul juga rasa kasihanmu kepadanya.

Begitu melihat dia, serentak Ih-hoa-kongcu menahan gerak melayangnya tadi, mereka tidak berani mendekat lagi, mirip seorang yang mendadak melihat seekor ular berbisa mengadang di tengah jalan.

Gui Bu-geh tersenyum kepada mereka, ucapnya, “Sudah belasan tahun tidak berjumpa, tak tersangka kalian masih tetap cantik molek seperti dulu. Seorang perempuan kalau paham ilmu bersolek sungguh jauh lebih beruntung dari pada memiliki harta benda yang berlimpah-limpah.”

“Hm, tak terduga kau masih berani menemui aku,” jengek Kiau-goat Kiongcu.

“Mengapa aku tidak berani? ” jawab Gui Bu-geh dengan tertawa. “Rasanya kalian toh takkan membunuhku?”

Siau-hi-ji baru saja masuk, segera ia menanggapi dengan suara kasar, “Berdasarkan apa kau anggap mereka takkan membunuh kau?”

“Sebab kutahu peraturan Ih-hoa-kiong,” jawab Gui Bu-geh dengan tenang. “Aku sudah pernah lolos satu kali dari tangan mereka, asalkan aku tidak bersalah lagi pada mereka, maka mereka pasti takkan turun tangan lagi padaku.”

“Masa Ih-hoa-kiong ada peraturan berengsek begini?” tanya Siau-hi-ji sambil berpaling kepada Kiau-goat Kiongcu.

“Ya, memang ada,” jawab Kiau-goat.

Siau-hi-ji menghela napas, mendadak ia berseru pula, “Tapi kau kan senantiasa ingin mencari mereka untuk menuntut balas? Seumpama mereka tidak turun tangan padamu kan seharusnya kau yang turun tangan pada mereka, betul tidak?”

“Tidak,” jawab Gui Bu-geh.

Siau-hi-ji melengak, katanya, “Masa kau tidak ingin menuntut balas lagi?”

“Sakit hati, dengan sendirinya akan kutuntut balas,” ucap Gui Bu-geh dengan tertawa. “Tapi biar pun aku ingin menuntut balas kan juga tidak perlu mencari perkara pada mereka.”

“Hahaha, omongan apa ini? Hakikatnya seperti kentut belaka!” seru Siau-hi-ji dengan tergelak.

Gui Bu-geh tidak marah, dengan tenang ia berucap pula, “Apa yang kau katakan tadi memang tidak salah, di sini memang betul sebuah kuburan, maka kalian jangan harap lagi akan dapat keluar dari sini.”

“Apa katamu?” Kiau-goat Kiongcu menegas dengan air muka berubah pucat.

“Di sinilah pusat dari pada pengemudi seluruh pesawat rahasia yang tersebar di istana bawah tanah ini, sekarang semua jalan keluarnya sudah kututup, jangankan manusia, lalat juga tidak mampu terbang keluar lagi.”

Tentu saja Siau-hi-ji terkejut, segera ia hendak memburu keluar untuk memeriksanya, tapi mendadak ia berhenti pula, sebab ia tahu apa bila Gui Bu-geh sudah berkata demikian, maka pasti tidak berdusta.

Berputar biji matanya, dengan tertawa ia menukas, “Jadi semua jalan keluarnya telah kau bikin buntu?”

“Ya,” jawab Gui Bu-geh.

“Lalu, masakan kau sendiri juga tidak ingin keluar lagi?”

“Memang, aku memang tidak ingin keluar lagi.”

“Hahaha, siapa yang mau percaya pada ucapanmu ini” ujar Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa. “Seumpama kau berniat mengubur hidup-hidup mereka di sini, kan dapat kau suruh anak buahmu menggerakkan perangkapnya, mengapa kau sendiri mesti ikut terkubur di sini?”

“Soalnya aku ingin menyaksikan sendiri kematian mereka,” kata Gui Bu-geh dengan hambar. “Aku ingin menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri penderitaan mereka pada detik-detik terakhir menjelang ajal. Ingin kutahu keadaan mereka pada saat mereka sudah kelaparan dan ketakutan, ingin kulihat apakah mereka masih tahan pada sikap mereka yang sok gadis suci ini.”

“Gila, betul-betul orang gila, orang gila tulen,” desis Siau-hi-ji setelah melenggong sejenak.

Gui Bu-geh terkekeh-kekeh, katanya dengan tcrtawa, “Cuma sayang, kalian orang waras ini bakal mati di tangan orang gila macamku ini.”

Siau-hi-ji memandang Ih-hoa-kiongcu sekejap, dilihatnya kedua kakak beradik itu seperti mendadak berubah menjadi patung, sama sekali tidak bergerak. Mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, “Haha, kukira kau takkan sempat menyaksikan kematian kami, sebab kau pasti akan mati lebih dulu dari pada kami.”

“Aku pasti tidak akan mati lebih dulu, sebab tubuhku jauh lebih kecil dari pada kalian, segala kebutuhanku untuk hidup jelas jauh lebih sedikit dibandingkan kebutuhan kalian, pada saat kalian mati kelaparan dan kehausan tentu aku masih dalam keadaan hidup segar bugar.”

“Caramu bertindak begini, tentu disebabkan kau menyadari dirimu bukan tandingan mereka, kalau tidak kan dapat kau bunuh mereka dengan senjata tajam, dengan kepandaian sejati, kau sendiri kan tidak perlu ikut terkubur di sini, betul tidak?”

“Ya, betul juga,” jawab Gui Bu-geh dengan menghela napas menyesal. “Selama dua puluh tahun kukira ilmu silatku sudah maju pesat dan cukup kuat untuk membinasakan mereka. Tapi setelah aku bertemu dengan Kang Piat-ho baru kutahu perhitunganku telah meleset.”

Siau-hi-ji melenggong, tanyanya kemudian, “Mengapa baru kau sadari akan kekeliruan perhitunganmu setelah kau bertemu dengan Kang Piat-ho?”

“Dua puluh tahun yang lalu, ilmu silat Kang Piat-ho pada hakikatnya tidak termasuk hitungan,” demikian tutur Gui Bu-geh. “Tapi sekarang Kang Piat-ho sudah tergolong tokoh kelas satu di dunia Kangouw. Selama dua puluh tahun ini ilmu silat Kang Piat-ho saja sudah maju sebanyak ini, apalagi Ih-hoa-kiongcu. Jika ilmu silatku dan Ih-hoa-kiongcu mengalami kemajuan yang sama, maka sekali pun kubelajar lagi dua puluh tahun Juga tetap tak dapat mengalahkan mereka, apa pula mereka kakak beradik, sedangkan aku cuma sebatang kara.”

Ia tertawa, lalu menyambung pula, “Sebab itulah, setelah kupikir pergi datang, terpaksa kulaksanakan caraku sekarang ini.”

“Jika demikian, kalau sekarang mereka mau membunuhmu kan juga tetap sangat sederhana dan kau....”

“Kan sudah kukatakan tadi,” sela Gui Bu-geh, “Mereka pasti tidak akan membunuhku, sebab aku tidak berbuat salah kepada mereka.”

“Kau berniat mengubur mereka di sini, masa bukan kesalahan?” ujar Siau-hi-ji tertawa.

“Tempat ini rumahku bukan?”

“Ehm, betul,” jawab Siau-hi-ji.

“Nah, aku kan tidak mengundang mereka ke sini dan juga tidak memaksa mereka kemari. Sekarang aku hanya menutup rapat seluruh pintu rumahku sendiri, masa hal ini kau anggap aku berbuat salah pada mereka?”

“Tapi kalau mereka menghendaki kau buka pintu dan kau menolak berarti kau menyalahi mereka.”

“Hm, pintu-pintu yang terdapat di sini terdiri dari batu-batu raksasa, kini semuanya sudah kusumbat, bahkan aku sendiri pun tidak sanggup membukanya lagi.”

Seketika Siau-hi-ji juga melenggong seperti patung dan tidak sanggup bicara lagi.

Gui Bu-geh lantas berkata pula, “Apalagi, biar pun kalian mengetahui semua pintu di sini sudah buntu, kalian toh menaruh secercah harapan dan diriku inilah satu-satunya sasaran curahan harapan kalian. Sebab itulah kuyakin kalian pasti tidak berani membunuh diriku.” Tiba-tiba ia tertawa dan menyambung, “Anak Ing, mengapa kau sembunyi di luar dan tidak berani masuk kemari?”

Dengan menunduk So Ing terpaksa melangkah masuk, mukanya pucat pasi.

Gui Bu-geh menatapnya lekat-lekat, lalu ia pandang pula Ih-hoa-kiongcu, katanya kemudian terhadap So Ing, “Anak Ing, selama ini aku sangat baik padamu, tahukah apa sebabnya?”

“Ti... tidak tahu,” jawab So Ing menunduk.

“Coba kau pandang kedua Kiongcu ini, lalu kau bercermin akan wajahmu sendiri dan segera kau akan tahu apa sebabnya,” kata Gui Bu-geh dengan tertawa.

Tergerak hati Siau-hi-ji, baru sekarang diperhatikannya bahwa wajah So Ing memang rada mirip dengan Ih-hoa-kiongcu. Mereka sama-sama perempuan cantik yang tiada taranya, maka mereka pun sama pucatnya, sikapnya juga sama dinginnya, tampaknya seperti ibu dan anak atau saudara sekandung.

Entah kejut entah girang hati So Ing, tiba-tiba ia bertanya, “Jadi engkau berbaik padaku lantaran wajahku sangat menyerupai mereka?”

“Betul,” jawab Bu-geh. “Kalau tidak, di dunia ini tidak sedikit anak perempuan yatim piatu yang lain, mengapa aku cuma penujui dirimu dan membawamu pulang ke sini? Selama ini aku sangat sayang dan memanjakan dirimu justru lantaran kuingin memupuk keangkuhanmu, supaya kau bersikap dingin terhadap siapa pun, kubiarkan kau tinggal sendirian di sana justru lantaran kuingin kau terbiasa dengan watak yang menyendiri....”

“Jadi engkau telah berdaya upaya dengan segenap tenaga hanya ingin aku berubah menjadi angkuh dan dingin seperti mereka?” tanya So Ing.

“Betul,” jawab Bu-geh.

So Ing melenggong sejenak, ia pandang Gui Bu-geh, lalu pandang pula Ih-hoa-kiongcu, katanya tiba-tiba, “Apakah engkau orang tua juga....”

“Tutup mulutmu!” bentak Lian-sing Kiongcu mendadak.

Meski So Ing tidak berani melanjutkan lagi ucapannya, tapi dalam hati sudah paham duduknya perkara.

Dengan berkeplok tertawa-Siau-hi-ji lantas berseru, “Hahaha, baru sekarang kutahu, kiranya permata hatimu ialah Ih-hoa-kiongcu, tapi lantaran kau tidak berhasil mempersunting mereka, dari cinta berubah menjadi benci, makanya kau dendam kesumat terhadap mereka.”

Bahwasanya Gui Bu-geh adalah orang kontet yang paling cerdik di dunia ini dan jatuh cinta terhadap perempuan yang paling cantik paling anggun di dunia ini. Peristiwa ini sungguh sukar dibayangkan siapa pun juga dan terasa sangat lucu.

Makin dipikir makin geli Siau-hi-ji, ia tertawa terpingkal-pingkal hingga perut terasa mules.

Tapi dengan serius Gui Bu-geh lantas berkata pula dengan tenang, “Dua puluh tahun yang lalu aku menempuh perjalanan khusus ke Ih-hoa-kiong untuk meminang mereka....”

“Kau... kau melamar mereka?” Siau-hi-ji menegas dengan tertawa terengah-engah.

Dengan sungguh-sungguh Gui Bu-geh menjawab, “Ya, inilah perpaduan antara kecerdasan dan kecantikan, perjodohan yang paling cocok dan paling hikmat, memangnya apa yang kau tertawakan?”

“Ya, ya, memang perjodohan yang sangat sesuai, dan paling serasi,” kata Siau-hi-ji. “Tapi mereka tidak menerima lamaranmu, sebaliknya malah hendak membunuhmu, mulai dari sinilah terjadinya permusuhan kalian, begitu bukan?”

Gui Bu-geh menghela napas, meski tidak bicara, tapi diam berarti membenarkannya.

Waktu Siau-hi-ji memandang Ih-hoa-kiongcu, kedua kakak beradik itu tampak rada gemetar saking gusarnya. Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata pula, “Kalian dilamar oleh seorang pahlawan besar, seorang ksatria sejati, seharusnya kalian merasa bangga dan bahagia, mengapa kalian tidak menerimanya? Sungguh aku ikut merasa sayang.”

Dengan tergelak Gui Bu-geh berkata, “Tidak perlu kau memancing kemarahan mereka agar turun tangan padaku, sekali pun mereka membunuhku juga tiada faedahnya baginya. Kalau kau ini orang pintar, mestinya kau bujuk mereka supaya jangan membunuhku, nanti kalau aku sudah kelaparan dan tidak tahan, bisa jadi akan kupikirkan suatu akal baik untuk membuka pintu keluar yang sekarang sudah buntu ini.”

Siau-hi-ji menatapnya sejenak, katanya kemudian, “Betul juga, kau memang tidak boleh mati sekarang, masih banyak persoalan yang hendak kutanya padamu.”

“Pertanyaan yang pertama tentu mengenai siapakah gerangan yang datang kemari, siapa dia yang mampu membelah kursi kemala hijau itu dengan sekali bacokan, betul tidak?”

“Tidak,” jawab Siau-hi-ji. “Soal ini tidak perlu lagi kutanya padamu, sebab sekarang aku sudah paham duduk perkaranya.”

“O, kau sudah paham?” Gui Bu-geh merasa heran. “Memangnya siapa gerangannya yang datang ini?”

“Tidak ada siapa-siapa yang datang ke sini,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Siapa pun tiada yang datang? Hahahaha! Memangnya aku sendiri, yang meninggalkan bekas kaki di lorong sana?”

“Bekas kaki di lantai lorong itu adalah ukiranmu sendiri, makanya bisa begitu rajin dan rata.”

Sinar mata Gui Bu-geh gemerdep, katanya, “Lantas siapa pula yang membunuh orang-orang di hutan sana?”

“Dengan sendirinya juga kau sendiri,” jawab Siau-hi-ji. “Kau menampar mereka, tentu saja mereka tidak berani menangkis dan berkelit, kau suruh mereka gantung diri, mana mereka berani terjun ke sungai.”

“Tapi jangan lupa, mereka itu adalah muridku,” kata Gui Bu-geh.

“Memangnya kenapa kalau mereka itu muridmu? Hakikatnya kau tidak pernah menganggap anak muridmu sebagai manusia.”

“Jika demikian, jadi kursi batu kemala hijau itu pun aku sendiri yang membelahnya?”

“Ya, dengan sendirinya kau pula yang membelahnya.”

“Masa aku mempunyai kepandaian setinggi itu?”

“Karena batu kemala hijau itu sangat keras melebihi baja, untuk bisa mengukirnya menjadi sebuah kursi tentu diperlukan pedang pusaka yang dapat memotong besi seperti mengiris tahu.”

“Betul,” kata Gui Bu-geh.

“Dan kalau batu hijau itu dapat kau jadikan kursi, tentu padamu terdapat sebilah pedang pusaka yang mahatajam.”

“Ehm,” Gui Bu-geh bersuara singkat.

“Dan kalau pedangmu dapat membuat batu kemala hijau itu menjadi kursi tentu pula kau dapat membelahnya menjadi dua... kan cukup sederhana teori ini?”

Gui Bu-geh menghela napas gegetun, ucapnya, “Ya, benar, memang cukup jelas teori ini.”

“Setelah kau bunuh anak muridmu di hutan sana, lalu kau mengukir bekas telapak kaki di lantai lorong untuk memancing kami masuk ke sini.”

“Ya, ini pun beralasan,” kata Gui Bu-geh.

“Tapi kau pun khawatir bila mana kami sudah masuk kemari dan tiada melihat seorang pun di sini, bisa jadi kami akan terus keluar lagi. Maka kau lantas membelah kursi batu itu menjadi dua agar kami menjadi sangsi, pula....” dia berhenti sejenak, lalu menyambung, “Karena pintu-pintu di sini semuanya terbuat dari batu-batu raksasa, untuk menutupnya hingga buntu seluruhnya tentu juga memakan waktu dan tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat -.”

“Maka aku harus memancing perhatian kalian kepada kursi kemala itu, dengan demikian barulah ada waktu bagiku untuk menyumbat semua jalan keluarnya, betul tidak?” demikian sambung Gui Bu-geh.

“Ya, memang begitulah,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Mendadak Gui Bu-geh tertawa terpingkal-pingkal hingga hampir saja terguling dari keretanya.

Siau-hi-ji jadi mendelik, katanya, “Apa yang kau tertawakan? Memangnya tidak betul tebakanku?”

“Betul, betul sekali, sesungguhnya kau ini orang pintar nomor satu di dunia,” seru Gui Bu-geh sambil tertawa.

“Untuk predikat ini memang tak pernah aku menolaknya,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Cuma aku pun ingin tanya beberapa hal padamu,” kata Gui Bu-geh pula.

“O, apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Kau sudah pernah datang ke tempatku ini, tentunya kau tahu di sini banyak terdapat benda-benda berharga, tapi mengapa sekarang satu biji saja tidak ada lagi?”

Melengak juga Siau-hi-ji, jawabnya kemudian, “Sudah tentu barang-barang itu telah... telah kau singkirkan bersama anak muridmu.”

“Mengapa harus kusuruh mereka menyingkirkan harta benda itu? Kalau aku sudah bertekad akan mati di sini, mengapa harta pusaka itu tidak ikut terkubur saja bersamaku, tapi malah kuberikan pada orang lain. Jika selamanya aku tidak pandang anak muridku sebagai manusia, untuk apa aku memberikan rezeki nomplok kepada mereka.... Nah, dapatkah kau memahami sebab musabab persoalan ini?”

Sekonyong-konyong berbinar mata Siau-hi-ji, ucapnya, “Tentu disebabkan kau ingin keluar lagi setelah menyaksikan kematian kami.”

“Jika begitu tujuanku, tentu lebih-lebih tidak mungkin kusingkirkan harta bendaku, sebab kalau kalian toh pasti akan mati seluruhnya di sini, kenapa aku mesti khawatir harta pusakaku itu akan direbut oleh kalian.”

Siau-hi-ji jadi melenggong benar-benar.

“Katanya kau ini orang pintar nomor satu di dunia, kenapa teori ini tidak dapat kau pecahkan?”

“Sebab kau ini orang gila, jalan pikiran orang gila selamanya menyimpang dari pada pikiran orang sehat.”

“Jika benar aku ini orang gila, tentu seluruh anak muridku telah kubunuh agar terkubur berkamaku di sini, masa hal ini tak pernah kau pikirkan?”

Kembali Siau-hi-ji melenggong, ucapnya kemudian, “Jika demikian, jadi tempatmu ini benar-benar telah kedatangan seorang tokoh Bu-lim mahatinggi?”

“Lantaran kau tidak percaya, aku menjadi malas untuk menjelaskan,” ucap Gui Bu-geh dengan tertawa.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya, “Dan kalau aku percaya?”

“Maka dapat kuberitahukan padamu bahwa tempat ini memang telah kedatangan seorang tokoh besar, hal ini terjadi sebelum magrib kemarin.”

“Siapakah gerangannya?” tanya Siau-hi-ji.

“Kau kenal orang ini.”

“Dari mana kau tahu kukenal dia?”

“Sebab dia pernah menanyakan dirimu.”

Berubah air muka Siau-hi-ji, tapi mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, “Hahaha, apakah kau ingin memberitahukan padaku bahwa pendatang ini ialah Yan Lam-thian?”

Dengan pandangan tajam Gui Bu-geh menjawab sekata demi sekata, “Memang betul, pendatang ini ialah Yan Lam-thian!”

Siau-hi-ji tercengang hingga lama, tiba-tiba ia tertawa pula dan berkata, “Hahaha, jika kau bilang orang lain mungkin aku akan percaya, tapi Yan Lam-thian....”

“Masa kau tidak percaya jika kubilang dia memang benar Yan Lam-thian adanya?”

“Ya, sebab kalau benar Yan Lam-thian telah datang kemari, mustahil kau masih bisa hidup sampai sekarang untuk mencelakai orang lain.”

“Hm, memangnya kau kira ilmu silatnya lebih tinggi dari padaku?” jengek Gui Bu-geh.

“Jika ilmu silatnya tidak melebihimu, bukankah sudah dulu-dulu dia telah kau bunuh?”

“Hm, dari mana kau tahu aku tidak pernah membunuhnya?” jengek Gui Bu-geh.

Kembali air muka Siau-hi-ji berubah, tapi segera ia tenang lagi dan berkata, “Bila benar dia pernah datang kemari, tentu bekas kaki di lorong sana adalah tinggalannya, kursi batu kemala ini pun terbelah oleh pedang saktinya. Melulu daya bacokannya yang mahasakti ini sudah cukup mengguncang bumi dan menggetar langit, kalau cuma kepandaianmu saja kukira sukar mengganggu seujung rambutnya.... Betapa pun aku cukup kenal kepandaianmu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar