Bahagia Pendekar Binal Jilid 17

“Nah, sekarang kau percaya tidak?” jengek Siau-hi-ji.

Kiau-goat hanya mendengus saja.

“Dan sekarang tentunya kau tahu, apa bila aku tidak mau bergebrak dengan Hoa Bu-koat tentu sejak tadi-tadi aku sudah kabur bersama Thi Peng-koh dan tidak perlu kutunggu di sini, lalu pura-pura keracunan segala.”

Kiau-goat berpikir sejenak, ucapnya kemudian, “Jika demikian, apakah kau tahu Kang Giok-long berada di mana sekarang?”

“Sudah tentu kutahu,” jawab Siau-hi-ji. “Cuma kukhawatir setelah kusebut tempat itu, belum tentu kalian berani pergi mencarinya.”

Sekali ini Kiau-goat tidak marah lagi, ia malah merasa geli, ucapnya dengan tak acuh, “Tiada suatu tempat apa pun di kolong langit ini yang tak berani kudatangi.”

Namun Siau-hi-ji sengaja membakarnya lagi, jengeknya, “Mungkin cuma tempat ini saja yang tak berani kau datangi, sebab belum pernah kulihat ada perempuan yang tidak takut pada tikus.”

Sorot mata Kiau-goat mencorong terang, tanyanya, “Yang kau maksud jangan-jangan Gui Bu-geh? Apakah ia berada di bukit ini?”

“Sudah tentu ia berada di bukit ini, engkau benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?” jengek Siau-hi-ji.

Padahal ia pun tahu sebabnya Gui Bu-geh bersembunyi di sini adalah karena ingin meyakinkan semacam ilmu sakti untuk menghadapi Ih-hoa-kiongcu, dengan sendirinya tempat tinggalnya ini sangat dirahasiakan dan tidak mungkin diketahui Ih-hoa-kiongcu, tapi ia pun tidak habis mengerti mengapa Hoa Bu-koat tidak memberitahukan padanya.

Hanya So Ing saja yang tahu apa sebabnya Bu-koat tidak melaporkan tempat sembunyi Gui Bu-geh ini kepada Ih-hoa-kiongcu, soalnya Bu-koat hakikatnya tidak bertemu dengan Gui Bu-geh. Mestinya So Ing ingin memberitahukan Siau-hi-ji bahwa di tempat Gui Bu-geh itu telah terjadi perubahan yang mengejutkan, bukan saja Kang Giok-long tidak mungkin berada di sana, bahkan Gui Bu-geh sendiri juga menghilang entah ke mana.

Tapi dia tidak jadi bilang kepada Siau-hi-ji, sebab ia justru ingin pergi ke sana agar dapat melihat sendiri apa yang terjadi di sana, untuk itulah dia khawatir Siau-hi-ji tidak mau mengiringi dia pergi ke sana.

Terlihat sikap Kiau-goat tidak banyak berubah meski Siau-hi-ji sengaja hendak memancing kemarahannya, dia seperti tidak ambil pusing.

Dari sikap Ih-hoa-kiongcu ini dapat dinilai bahwa Gui Bu-geh pada hakikatnya sama sekali tak terpandang atau sangat diremehkan olehnya. Malahan dalam hati Ih-hoa-kiongcu bobot Siau-hi-ji terlebih berat dari pada Gui Bu-geh.

Sampai di sini, mau tak mau So Ing menjadi terheran-heran, pikirnya, “Apa pun juga Gui Bu-geh adalah tokoh terkemuka dunia Kangouw yang dapat dihitung dengan jari, pula dia tidak sayang mengasingkan diri selama dua puluhan tahun untuk meyakinkan semacam ilmu sakti buat menghadapi ilmu silat Ih-hoa-kiong, ini suatu tanda bahwa antara Gui Bu-geh dan Ih-hoa-kiongcu pasti ada permusuhan yang sangat mendalam. Tapi tampaknya Ih-hoa-kiongcu sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap Gui Bu-geh, sebaliknya Siau-hi-ji malah tidak pernah berjumpa dengan Ih-hoa-kiongcu sebelum ini, namun dalam hal-hal paling kecil yang menyangkut anak muda itu justru mendapat perhatian sang Kiongcu, bahkan malah mengalah dan bicara halus, tujuannya hanya ingin Hoa Bu-koat membunuh Siau-hi-ji dengan tangan sendiri, sesungguhnya apakah sebabnya?”

Begitulah makin dipikir semakin terasa oleh So Ing akan ruwetnya persoalan ini, sungguh misterius dan kompleks.

Dalam pada itu Ih-hoa-kiongcu sudah bicara dua-tiga kalimat, tapi So Ing tidak mendengar apa yang diucapkannya. Hanya didengarnya Siau-hi-ji berkata, “Baiklah, akan kubawa kau ke sana, tapi sekarang aku tak dapat bergerak, siapa yang memayang diriku?”

Bu-koat dan Thi Sim-lan seperti ingin memberi bantuan, tapi Bu-koat lantas melihat sorot mata Ih-hoa-kiongcu yang tajam itu sedang menatapnya, cepat ia berpaling ke arah Thi Sim-lan seakan-akan menyuruh nona itu suka memayang Siau-hi-ji. Tapi demi melihat Hoa Bu-koat sedang memandangnya, seketika Thi Sim-lan juga urungkan niatnya, tangannya yang sudah terjulur segera diturunkan kembali.

So Ing tersenyum, ucapnya dengan lembut, “Jika kau tidak mengomel jalanku terlalu lambat, biarlah aku saja yang memayangmu.”

Sudah cukup jauh So Ing memayang Siau-hi-ji ke sana, tapi Bu-koat masih tetap berdiri melenggong di tempatnya, kepala Thi Sim-lan juga menunduk semakin rendah, air mata pun mulai menetes.

Lian-sing Kiongcu memandang Bu-koat, lalu memandang pula Thi Sim-lan, tiba-tiba ia pegang tangan Thi Sim-lan dan berkata dengan halus, “Marilah kau ikut berangkat bersamaku!”

Sungguh mimpi pun tak terduga oleh Thi Sim-lan bahwa Ih-hoa-kiongcu bisa memperhatikan dirinya, seketika ia menjadi bingung, entah kejut entah girang. Hanya terasa olehnya suatu arus tenaga yang lunak tapi kuat tersalur dari tangan orang, tanpa kuasa tubuhnya lantas ikut melayang ke sana bersama Lian-sing Kiongcu.

Bu-koat juga terkesiap dan bergirang melihat Lian-sing Kiongcu sudi menggandeng tangan Thi Sim-lan, tapi mendadak entah apa pula yang terpikir olehnya, tiba-tiba timbul juga rasa pilunya.

Terdengar Kiau-goat berkata padanya, “Sekarang tentunya kau pun dapat berangkat.”

Meski cuma satu kalimat yang jamak, tapi bagi pendengaran Bu-koat terasa lain, sebab ia merasa Ih-hoa-kiongcu telah dapat menerka isi hatinya. Padahal isi hatinya justru tidak dapat diketahui oleh orang lain.

Cukup lama sudah So Ing memayang Siau-hi-ji berjalan ke sana dan belum lagi mendengar ada orang menyusulnya. Ia menoleh beberapa kali, lalu berkata dengan tertawa, “Selama setengah hari ini telah banyak yang terjadi, setiap kejadian tampaknya sangat di luar dugaan dan mengejutkan, padahal setiap peristiwa memang sudah diatur olehmu, betul tidak?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, jawabnya, “Apa yang kau maksud, sungguh aku tidak paham.”

“Kau tidak perlu berlagak pilon,” ujar So Ing dengan tertawa. “Sekarang aku sudah tahu, bukan saja kau sengaja membiarkan dirimu dijerumuskan ke dalam gua oleh Kang Giok-long, bahkan hal keracunan juga kau sengaja, hakikatnya kau tidak pernah tertipu oleh siapa pun juga.”

“Memangnya untuk apa aku sengaja diracuni orang? Masa aku suka mati keracunan?”

“Soalnya kau tahu hanya dengan cara demikian baru dapat mencegah Hoa Bu-koat turun tangan padamu, sedangkan kau memang tiada maksud turun tangan terhadap Hoa Bu-koat. Kau pun sudah menghitung dengan tepat Ih-hoa-kiongcu pasti akan berdaya untuk menawarkan racunmu, sebab itulah meski orang lain khawatir dan kelabakan setengah mati bagimu, tapi kau sendiri malah adem ayem saja, sedikit pun tidak cemas dan gelisah.”

“Aku tidak cemas dan gelisah karena pada dasarnya aku memang orang yang tidak dapat gelisah, bagiku biar pun langit akan ambruk juga kupercaya pasti ada seorang yang berperawakan lebih tinggi dari padaku yang sanggup menahannya.”

“Hihi, semakin kau tidak mau mengaku, semakin terbukti bahwa kau memang sengaja berlagak pilon,” ujar So Ing dengan tertawa.

“Haha! Ini logika macam apa?” Siau-hi-ji bergelak tertawa. “Kalau menuruti jalan pikiranmu ini, kan berarti bahwa jika kau semakin tidak mau makan tahi anjing, maka semakin terbukti kau ini gemar makan tahi anjing?”

So Ing tidak pedulikan cemoohan anak muda itu, ia menyambung pula, “Sudah di dalam perhitunganmu bahwa Ih-hoa-kiongcu pasti akan mengusut benar tidaknya kau keracunan, maka lebih dulu kau mengenyahkan Thi Peng-koh dan Oh Yok-su, dengan demikian terpaksa Ih-hoa-kiongcu harus langsung mencari Kang Giok-long, sedangkan kau sudah tahu saat ini Kang Giok-long bersembunyi di liang tikus, bila ke sana Ih-hoa-kiongcu mencari Kang Giok-long pasti akan kepergok Gui Bu-geh. Kalau Ih-hoa-kiongcu bertemu dengan Gui Bu-geh pasti pula akan terjadi pertarungan sengit. Apa bila Gui Bu-geh dapat membunuh Ih-hoa-kiongcu tentu saja sangat baik, sebaliknya jika Gui Bu-geh yang terbunuh oleh Ih-hoa-kiongcu, maka dendammu kepada tikus besar itu pun dapat terlampiaskan.”

Sampai di sini, So Ing berganti napas dulu, lalu menyambung pula, “Sebab itulah, peduli siapa di antara mereka yang akan menang, yang pasti toh berfaedah bagimu. Jika kedua pihak mereka sama-sama terluka, malahan ini lebih-lebih menyenangkan bagimu. Ini namanya tipu sekali tepuk dua-tiga lalat.”

“Wah, tipu bagus yang ruwet ini sungguh tak dapat kupikirkan, bahkan mendengarkan saja aku menjadi bingung sendiri,” ujar Siau-hi-ji tertawa.

So Ing tersenyum, katanya, “Bukan soal, sekali pun kau tidak mau mengaku, yang penting aku menjadi paham duduk perkaranya. Sekarang aku tidak mengkhawatirkan urusan lain, yang kukhawatirkan adalah kepalamu bisa cepat botak lantaran terlalu banyak memeras otak dengan macam-macam tipu akalmu yang sukar diraba itu.”

“Memangnya kenapa kalau kepalaku menjadi botak?” tukas Siau-hi-ji. “Kan banyak perempuan yang anggap lelaki botak justru mahakuat?” tanpa menunggu jawaban So Ing segera dia melanjutkan pula,” Nah, kau telah tanya macam-macam padaku, sekarang menjadi giliranku untuk tanya padamu?”

“Kau ingin tanya apa?”

“Apa pun juga, Gui Bu-geh cukup baik padamu. Kau sendiri pun mengakui dia adalah ayah angkatmu. Sekarang Ih-hoa-kiongcu merecoki dia, tapi kau tidak gelisah, sebaliknya malah menjadi petunjuk jalannya, mengapa kau bertindak demikian?”

So Ing tidak menjawab, selang sejenak barulah la menghela napas perlahan.

“Kutahu tentu ada sesuatu yang kau simpan di dalam hatimu dan tidak kau katakan padaku, jangan-jangan tadi Thi Sim-lan...”

Siau-hi-ji tidak meneruskan ucapannya, sebab saat itu Lian-sing Kiongcu telah menyusul tiba dengan menggandeng Thi Sim-lan.

Siau-hi-ji mengerling, tiba-tiba ia berkata kepada Thi Sim-lan dengan tertawa, “Kita kan sudah cukup lama tidak berjumpa? Mungkin sudah lebih dua bulan bukan?”

Agaknya Thi Sim-lan tidak menduga Siau-hi-ji akan bicara padanya, seketika ia menjadi kelabakan dan tidak tahu cara menjawabnya, mukanya menjadi merah.

Lalu Siau-hi-ji berpaling dan berkata kepada So Ing, “Coba lihat, baru dua bulan tidak berjumpa, aku menjadi seperti orang asing baginya. Baru kutanya satu-dua kalimat padanya, segera mukanya merah.”

So Ing menghela napas gegetun, ucapnya dengan suara tertahan, “Dia sudah cukup menderita, mengapa kau menyiksanya pula?”

Tapi Siau-hi-ji lantas menoleh lagi kepada Thi Sim-lan, katanya, “Coba, kau dengar tidak? Dia anggap aku sedang menyiksamu, padahal aku kan cuma menyampaikan salamku padamu, masa aku dianggap menyiksamu?”

Thi Sim-lan hanya menggeleng saja tanpa bicara, matanya menjadi merah dan basah lagi.

“Kita memang sudah lebih dua bulan tidak berjumpa bukan?” tanya Siau-hi-ji pula.

“Ehm,” Thi Sim-lan bersuara lirih sambil menunduk.

“Kukira, selama dua bulan ini tentu banyak yang terjadi,” ujar Siau-hi-ji dengan menghela napas. “Sebab kulihat, meski cuma dua bulan kita tidak bertemu, tapi engkau sudah banyak berubah.”

Hati Thi Sim-lan serasa tertusuk, tanpa terasa air mata bercucuran pula. Sebab dia merasa dirinya memang benar sudah banyak berubah.

Dahulu bila ia lihat Siau-hi-ji, maka segala apa pun terlupakan dan dia akan lari kepadanya.

Tapi kini? Mengapa kini dia tidak seperti dahulu lagi? Apakah dalam penilaiannya bobot Hoa Bu-koat telah mulai bertambah berat setitik demi setitik?

Ya, memang betul, bobot Hoa Bu-koat memang sudah bertambah berat dalam hati Thi Sim-lan, sebab selama dua bulan ini memang telah banyak yang terjadi. Seumpama dia dapat melupakan budi kebaikan Hoa Bu-koat yang berulang-ulang menyelamatkan jiwanya, tapi mana bisa dia melupakan betapa tekun dan prihatin waktu Hoa Bu-koat merawatnya ketika dia terluka?

Selama beberapa hari itu boleh dikatakan Bu-koat lupa makan dan lupa tidur, yang dipikir hanya keselamatan Thi Sim-lan saja.

Apalagi, seumpama dia dapat melupakan kejadian ini, tapi mana dia dapat melupakan waktu perjalanan jauh itu dengan macam-macam peristiwa yang mengesankan itu?

Bila mana dia memejamkan mata, seketika seakan-akan terbayang lagi malam yang sunyi dan rawan itu, mereka bergadang sepanjang jalan untuk mencari arak. Apa bila ia memejamkan mata, segera terkenang waktu dia menyaksikan Hoa Bu-koat tertawa latah, tertawa yang menderita dan menyuruh Sim-lan jangan menghiraukannya lagi, tujuan Bu-koat hanya supaya si nona tidak ikut berduka baginya.

Seorang yang sudah tahu dirinya pasti akan mati toh masih memikirkan suka-duka orang lain dan menyampingkan keselamatannya sendiri, betapa luhurnya perasaan demikian, siapa pula yang dapat melupakan perasaan yang mengesankan itu?

Begitulah sejak tadi Lian-sing Kiongcu memandangi Thi Sim-lan dengan dingin, tiba-tiba ia bertanya, “Apakah kau pun merasa dirimu telah banyak berubah?”

“Aku... aku...” Sim-lan tidak sanggup melanjutkan lagi karena pecahlah tangisnya.

Lian-sing Kiongcu lantas beralih kepada Siau-hi-ji, jengeknya, “Tentunya kau tidak perlu tanya dia lagi, sebab kau kan sudah tahu apa jawabannya.” Tanpa menunggu ucapan Siau-hi-ji segera ia menambahkan pula dengan tertawa, “Tapi kau juga lebih suka tidak mengetahui jawabannya, betul tidak?”

Siau-hi-ji mencibirnya, katanya, “Jika kau kira aku menjadi sedih, huh, persetan!”

“Ya, aku pun berharap janganlah kau bersedih,” ucap Lian-sing dengan tak acuh.

Apakah benar Siau-hi-ji tidak sedih? Jawabannya hanya dia sendiri yang tahu.

Sungguh lambat sekali jalan So Ing, sudah sekian lamanya barulah kelihatan hutan lebat di kejauhan sana.

“Itu dia liang tikus tempat tinggal Gui Bu-geh...” belum habis ucapan Siau-hi-ji, sekonyong-konyong dilihatnya seekor tikus besar lagi gemuk menerobos keluar dari semak-semak sana, terus menyusup ke semak-semak di tepi jalan sini.

Selang sejenak, kembali terdengar suara “cuat-cuit”, suara tikus yang ramai mirip segerombolan tikus yang sedang berkejar-kejaran.

Siau-hi-ji berkerut kening, katanya, “Aneh, biasanya kawanan tikus ini dipandang seperti mestika oleh Gui Bu-geh, mengapa sekarang lari serabutan ke mana-mana”

Meski tidak menanggapi ucapan Siau-hi-ji itu, tapi diam-diam So Ing bertambah khawatir. Kini dia dapat memastikan di liang kediaman Gui Bu-geh itu tentu telah terjadi sesuatu perubahan besar, kalau tidak kawanan tikus ini pasti takkan berkeliaran di luar sini.

Angin meniup semakin keras, tanpa terasa langkah So Ing bertambah cepat. Di tengah cuaca yang suram tiba-tiba tertampak sesosok tubuh tergantung di pohon sana dan terkontal-kantil tertiup angin.

“Aneh, di depan pintu rumah Gui Bu-geh mengapa ada orang menggantung diri?” kata Siau-hi-ji sambil berkerut kening.

Orang ini memang benar mati gantung diri. Tidak terdapat luka apa pun di tubuhnya, tapi pipinya tampak merah bengkak, jelas sebelum mati dia telah ditampar orang dengan keras.

“Apakah orang ini anak murid Gui Bu-geh?” tanya Lian-sing Kiongcu sambil mengernyit kening.

“Kecuali murid Gui Bu-geh, siapa yang sudi gantung diri setelah ditempeleng orang?” ucap Siau-hi-ji sambil menyengir.

“Baru saja kau bilang dia mati gantung diri?” kata Lian-sing pula.

Siau-hi-ji tidak menanggapi pula, tapi dia mendekati mayat itu dan menarik dada bajunya. Maka tertampaklah di dadanya ada dua baris huruf yang ditulis dengan warna hijau mengkilap, bunyinya, “Anak murid Gui Bu-geh, boleh dibunuh, tidak boleh dihina.”

“Nah sekarang tentunya kau tahu,” kata Siau-hi-ji. “Mungkin ada orang hendak menerjang ke dalam liang tikus Gui Bu-geh, tapi muridnya ini tidak mampu merintangi, sebaliknya malah kena digampar orang. Dia menjadi khawatir akan dibunuh sendiri oleh Gui Bu-geh, saking ketakutan dia lantas bunuh diri lebih dulu dengan menggantung, rupanya yang gantung diri malah tidak cuma seorang.”

Yang gantung diri memang betul tidak cuma seorang saja, di hutan sana ada belasan mayat yang bergelantungan dengan tanda luka yang serupa, malahan ada yang tulang pipinya tertampar remuk.

“Keras amat tenaga tamparan orang ini, hanya sekali tampar saja dapat meremukkan tulang pipi, entah siapakah gerangannya?” gumam Siau-hi-ji, “Besar juga nyalinya berani dia mencari perkara kepada Gui Bu-geh.”

Waktu dia menunduk, baru diketahuinya di mana-mana berserakan rontokan gigi yang masih berdarah, jelas karena tamparan orang ini, bukan saja pipi lantas bengkak dan tulang pipi remuk, bahkan semua gigi sasarannya juga rompal seluruhnya. Belasan orang yang tewas ini tampaknya sama sekali tidak mampu melawan.

Diam-diam Siau-hi-ji terkesiap, sebab ia tahu anak murid Gui Bu-geh tidak ada yang lemah, tapi semuanya telah binasa cara begini. Setelah termenung sejenak, kemudian ia bergumam, “Tampaknya orang yang membunuh mereka ini memiliki kepandaian beberapa kali lipat dari padaku.”

“Dari mana kau tahu?” tanya So Ing. Makin pikir semakin khawatir dia. Soalnya ia tahu ilmu silat Gui Bu-geh tidak terlalu jauh di atas Siau-hi-ji, jika kepandaian penyatron ini berlipat ganda dari pada Siau-hi-ji, maka jelas Gui Bu-geh juga sukar terhindar dari pada kematian.

Siau-hi-ji berkata, “Mungkin aku pun sanggup membunuh orang-orang ini, tapi bila aku diharuskan menampar mereka masing-masing satu kali, jelas aku tidak mampu.”

“Sebab apa? Memangnya membunuh orang jauh lebih mudah dari pada menamparnya?” tanya So Ing.

“Sebabnya, apa bila aku hendak membunuh mereka, tentu dapat kulakukan dengan berbagai cara dan dengan macam-macam jurus serangan yang tidak sama, dengan demikian mereka pun pasti sukar melawan.”

“Ehm,” So Ing mengangguk setuju.

“Tapi orang ini jelas belum mengeluarkan kepandaiannya yang sejati, dia cuma menampar sekenanya dan sasarannya ternyata tiada yang mampu bertahan, bahkan berkelit juga tidak sempat. Dari sini dapat diketahui betapa cepatnya serangan orang itu, jelas lebih cepat dari padaku, apalagi sekali tampar saja ia sanggup membikin remuk tulang kepala sasarannya, ini pun menandakan tenaga dalamnya jauh lebih kuat dari padaku.”

So Ing menoleh, dilihatnya Ih-hoa-kiongcu juga merasa prihatin dan mendengarkan dengan cermat, nyata mereka pun menganggap komentar Siau-hi-ji ini memang tepat.

Selang sejenak, tiba-tiba Kiau-goat Kiongcu bertanya, “Menurut kau sudah berapa lama mereka binasa?”

Pertanyaan ini ternyata ditujukan kepada Siau-hi-ji, nyata Ih-hoa-kiongcu yang biasanya angkuh dan meremehkan segalanya, kini juga mulai menghargai pandangan Siau-hi-ji.

Maka Siau-hi-ji menjawab, “Seorang kalau sudah mati satu setengah jam baru mayatnya akan dingin dan kaku.”

“Jika demikian, jadi peristiwa ini terjadi pada satu setengah jam yang lalu?” tanya Kiau-goat pula.

“Yang kumaksudkan adalah mayat mereka baru akan dingin bila mana kematian mereka sudah berselang satu setengah jam, aku tidak bilang peristiwa ini terjadi pada satu setengah jam yang lalu.”

“Lalu, menurut kau, bilakah peristiwa ini terjadi?” tanya Lian-sing Kiongcu.

“Sebelum magrib kemarin,” jawab Siau-hi-ji.

“Dari mana kau tahu?” tanya Lian-sing pula.

“Sebab kutahu, kira-kira dua setengah jam yang lalu nona Thi pernah datang ke sini, jika orang-orang ini belum mati, tentu mereka sudah menyambutnya ke dalam liang tikus sana, tatkala mana kalau Hoa Bu-koat mencarinya ke sini, tentu dia akan bergebrak dengan Gui Bu-geh, dan waktu kalian datang kemari mencari Hoa Bu-koat tentu juga tak terhindar dari bentrokan dengan Gui Bu-geh.”

Lian-sing Kiongcu memandang Bu-koat sekejap, katanya kemudian, “Ya, betul juga.”

“Tapi jelas Hoa Bu-koat tidak kalian temukan di sini, dari ini dapat diketahui waktu itu Hoa Bu-koat dan nona Thi ini telah meninggalkan tempat ini atas kemauan mereka sendiri, betul tidak?”

“Betul,” ucap Lian-sing.

“Jika demikian, tatkala mana orang-orang ini pun pasti sudah mati,” kata Siau-hi-ji pula.

“Lalu, mengapa tidak mungkin mereka ini mati sebelum dua setengah jam yang lalu, mengapa kau bilang mereka mati pada waktu magrib kemarin?”

“Saat ini masih pagi, dua setengah jam yang lalu tentu belum lagi terang tanah,” ujar Siau-hi-ji. Tiba-tiba ia tertawa, lalu menyambung, “Umpama kau ingin mencari perkara kepada Gui Bu-geh, apakah engkau akan datang pada waktu hari sudah gelap?”

Lian-sing Kiongcu berpikir sejenak, jawabnya kemudian, “Tentu tidak.”

“Betul, tentu takkan kau lakukan, sebab kalau kau datang mencari orang di tengah malam buta, tentu akan menurunkan derajat dirimu, apalagi semakin gelap semakin berfaedah bagi orang macam Gui Bu-geh. Bila bertempur dengan Gui Bu-geh, di tempat kediamannya, bagimu sudah kalah tempat, kalau kau datang di tengah malam, berarti salah waktu pula.”

Siau-hi-ji merandek sejenak dan tertawa, lalu menambahkan, “Engkau kan orang pintar, masakan engkau mau bertindak sebodoh ini?”

Lian-sing memandang sekejap kepada Kiau-goat Kiongcu, meski tidak berucap apa-apa, tapi dari sorot matanya jelas mengunjuk perasaan memuji akan kecerdasan Siau-hi-ji.

Siau-hi-ji lantas menyambung pula, “Dilihat dari cara turun tangan orang ini, jelas tindak tanduknya selalu blak-blakan, sebab itulah dapat kupastikan kedatangannya ke sini pasti tidak dilakukan pada waktu malam, dan kalau tidak datang waktu malam, tentunya dia datang sebelum petang kemarin.” Dia tepuk-tepuk tangannya dengan tertawa, lalu menambahkan. “Nah, bagaimana pendapat kalian atas pandanganku ini?”

“Hm, kan sudah jelas dan sederhana kejadian ini, siapa pun dapat menerkanya,” jengek Kiau-goat.

Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, jika kau dapat menduganya, untuk apa kalian tanya lagi padaku?”

Kiau-goat Kiongcu menarik muka dan tidak menggubrisnya lagi, sekali bergerak, secepat angin dia lantas melayang ke tengah hutan sana.

Siau-hi-ji mencibirnya dari belakang, ucapnya dengan tertawa, “Kau pun tidak perlu marah. Padahal kutahu, biar pun di mulut kau tidak omong, tapi di dalam hati kau sangat mengagumi aku.”

Setelah melintasi hutan, di depan mengadang dinding tebing yang tinggi dan luas mirip sebuah pintu angin alam. Dinding tebing penuh tetumbuhan akar-akaran mengalingi warna batu tebing yang sebenarnya.

Kiau-goat Kiongcu tidak melihat sesuatu gua dan sebagainya, ia terpaksa menoleh dan bertanya, “Di mana tempat tinggal Gui Bu-geh?”

Meski bicaranya menghadap Lian-sing Kiongcu, padahal ia pun tahu sang adik juga tak dapat memberi keterangan, dengan sendirinya pertanyaan itu ditujukan kepada Siau-hi-ji.

Tapi anak muda itu pura-pura tidak tahu, dia malah menengadah memandang langit dan bergumam, “Tadi kukira mau hujan, siapa tahu cuaca berubah cerah lagi.”

Kiau-goat Kiongcu sangat mendongkol, dengan mendelik ia membentak, “Di mana liang kediaman Gui Bu-geh?”

Siau-hi-ji seperti tercengang dan berpaling, tanyanya, “Apakah kau tanya padaku?”

“Ya, kutanya kau!” bentak Kiau-goat gusar.

Dengan tertawa Siau-hi-ji menjawab, “Persoalan sederhana begini, mengapa engkau perlu tanya padaku?”

Muka Kiau-goat menjadi pucat saking menahan gemasnya, tapi juga tidak dapat bicara lagi.

Ia lihat Siau-hi-ji berimpitan dengan So Ing melangkah terus ke depan, akar-akaran yang memenuhi dinding tebing di situ lantas dibetot dan disingkap. Tumbuh-tumbuhan itu sangat lebat, tapi sebagian sudah kering. Setelah akar-akaran itu disingkirkan, tertampaklah sebuah gua yang gelap gulita, tiada setitik sinar pun tertampak di dalam.

“Inilah tempatnya, silakan masuk,” kata Siau-hi-ji.

Selain gelap gulita, gua ini pun sangat kecil, seumpama seorang kerdil juga perlu menunduk dan membungkuk baru dapat menyusup ke dalam.

Padahal nama Gui Bu-geh sangat berpengaruh, anak muridnya juga tak terhitung banyaknya, siapa pun tidak menduga bahwa dia bisa berdiam di suatu gua yang lebih kecil dari pada liang anjing.

Tentu saja semua orang merasa heran dan sangsi, lebih-lebih Hoa Bu-koat. Ia pernah melihat tempat tinggal So Ing yang indah dan resik itu, maka ia menyangka tempat tinggal Gui Bu-geh pasti juga sangat mentereng, siapa tahu hanya sebuah gua kecil begini saja. Dengan ragu-ragu ia lantas tanya, “Apakah ini tempat tinggal Gui Bu-geh?”

“Ya, masa kau heran?” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Bu-koat masih ingin omong sesuatu, tapi setelah memandang Kiau-goat sekejap, segera kepalanya tertunduk pula.

Diam-diam Siau-hi-ji gegetun melihat sikap Bu-koat itu, tapi dia masih tetap tertawa dan berkata, “Meski gua ini bukan liang tikus yang baik, tapi sangat cocok bagi tempat tinggal Gui Bu-geh, masakan kalian merasa heran?”

Sambil bicara ia terus mendahului menyusup ke dalam gua. Tertampak tubuhnya sempoyongan, melangkah saja tidak kuat, seperti tiada tenaga sama sekali.

Kiau-goat Kiongcu mengernyitkan kening, bentaknya tiba-tiba, “Berhenti!”

Siau-hi-ji menoleh dan bertanya, “Untuk apa berhenti? Entah apa yang telah terjadi di liang tikus ini, bisa jadi begitu masuk segera jiwa akan melayang. Masa kurang baik bila aku menjadi pelopor bagi kalian?”

“Justru lantaran yang jalan di depan lebih besar bahayanya, makanya kau harus berhenti,” ucap Lian-sing Kiongcu.

“Tak tersangka kalian sedemikian memperhatikan diriku, sungguh aku sangat berterima kasih,” kota Siau-hi-ji dengan tertawa. “Cuma aku telah keracunan, hidup juga tiada artinya lagi, biar mati saja lebih baik.”

“Kau tidak boleh mati,” jengek Kiau-goat Kiongcu.

Mendadak Siau-hi-ji merasa angin berkesiur, tahu-tahu Kiau-goat telah melayang lewat di sampingnya melalui peluang yang cuma satu kaki luasnya, bahkan ujung bajunya saja tidak tersentuh.

Melihat betapa hebat Ginkang Ih-hoa-kiongcu, mau tak mau Siau-hi-ji menghela napas gegetun, gumamnya, “Jika saat ini Gui Bu-geh sudah mati, maka lebih untung baginya. Kalau tidak, bila dia jatuh di tangan orang ini, tentu nasibnya tiada ubahnya seperti diriku, ingin mati pun sulit.”

Begitulah berturut-turut mereka lantas masuk gua itu mengikuti jejak Kiau-goat Kiongcu. Belasan tindak kemudian jalan itu lantas membelok ke kiri, gua yang sempit dan gelap itu mendadak terbeliak dan terbentang sebuah jalan yang cukup lebar.

Kedua tepi jalan adalah batu-batu putih laksana kemala yang licin gilap, di bagian atas samar-samar seperti ada cahaya lampu, tapi tak terlihat lampunya terselip di mana.

Thi Sim-lan, Hoa Bu-koat dan juga Ih-hoa-kiongcu sama sekali tidak menduga di dalam gua ini masih ada dunia lain, mau tak mau wajah mereka sama menampilkan rasa kejut dan heran.

“Sekarang kalian jadi heran bukan?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Tapi nanti kalau kalian sudah melihat bagian dalamnya, bisa jadi kalian akan tambah melongo heran. Meski aku belum pernah melihat istana raja, tapi kuyakin istana raja juga takkan lebih mentereng dari pada liang tikus Gui Bu-geh ini.”

Tiada seorang pun yang menanggapi ucapannya, maka Siau-hi-ji menyambung pula, “Padahal juga tidak perlu diherankan, sekali pun seekor anjing kan juga ingin membuat sarangnya seelok mungkin. Hanya saja Gui Bu-geh tinggal di sini lantaran sengaja mengasingkan diri untuk meyakinkan ilmu sakti, dengan sendirinya dia tidak dapat memajang pintu rumahnya seperti reklame restoran besar.”

Sambil bicara dengan tertawa, malah seperti khawatir kalau-kalau orang lain tidak mendengarnya, maka ia sengaja bersuara keras. Maka bergemalah kumandang suaranya dari lorong-lorong bagian dalam sana, di mana-mana hanya mendengung suara Siau-hi-ji.

“Kenapa mulutmu tak bisa bungkam, tanpa bicara juga orang takkan anggap kau bisu,” omel Lian-sing dengan mendongkol.

“Memangnya kau takut didengar oleh Gui Bu-geh?” tanpa menunggu jawaban Ih-hoa-kiongcu itu, segera Siau-hi-ji menyambung pula dengan tertawa. “Apa bila aku yang mau cari perkara pada seseorang, maka pasti aku akan masuk ke sini secara blak-blakan, jika datang dengan main sembunyi-sembunyi, lalu terhitung orang gagah macam apa?”

Lian-sing Kiongcu tidak menanggapinya, dengan perlahan ia lantas berkata, “Gui Bu-geh, dengarkanlah, orang Ih-hoa-kiong berkunjung kemari, silakan kau keluar sini!”

Suaranya tidak keras, tapi aneh, suara tertawa Siau-hi-ji yang bergema itu seolah-olah tenggelam dan tak terdengar lagi, sebagai gantinya adalah ucapan Lian-sing Kiongcu yang berkumandang jauh ke sana. Akan tetapi selain kumandang suaranya itu tiada terdengar lagi suara lain.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar