Bahagia Pendekar Binal Jilid 12

“Tapi Siaute juga tahu cara makan daging manusia tidak sederhana seperti makan daging babi, banyak cara dan ragamnya, kalau tidak, lebih baik tidak memakannya, betul tidak?”

Menyinggung urusan makan daging manusia, seketika semangat Li Toa-jui terbangkit, serunya, “Betul, memang banyak ragamnya cara makan daging manusia. Pertama orang yang akan kau makan juga harus orang yang gemar makan enak, dengan demikian baru dagingnya terasa lezat. Kedua, lebih baik lagi kalau dia juga berlatih ilmu silat, sebab orang yang berlatih silat dagingnya lebih keras dan gurih, ketiga...” Tiba-tiba ia menghela napas, lalu menyambung dengan menggeleng, “Sebenarnya tidak perlu lagi kuuraikan yang ketiga, perubahan jaman sekarang sudah semakin jauh, untuk mencari orang yang dapat memenuhi kedua, syarat tadi rasanya sudah tidak banyak lagi.”

“Tapi di atas kan tersedia satu, bagaimana pendapat Li-heng?” ucap Pek Khay-sim dengan tertawa.

Li Toa-jui memandang ke atas dua-tiga kejap, tanpa terasa ia menelan air liur, katanya dengan tertawa, “Tidak perlu lain, melulu kedua pahanya saja, sedikitnya sudah beberapa tahun tak pernah kurasakan paha sebagus ini.”

“Maukah kita berdua membawanya ke suatu tempat yang baik, kita iris daging pahanya yang padat ini dan digoreng, jika dia sudah kita makan ke dalam perut, biar pun Ih-hoa-kiongcu mempunyai ilmu kepandaian setinggi langit juga tak dapat menemukannya lagi, betul tidak?” kata Pek Khay-sim.

“Ya, pikiran baik, usul bagus!” jawab Li Toa jui dengan tertawa. Di tengah bergelaknya itu mendadak “plok”, Pek Khay-sim kena ditempelengnya.

Keruan Pek Khay-sim berjingkrak kaget, teriaknya murka, “Keparat, bicara baik-baik, mengapa kau memukul orang?”

“Kau ini bicara dengan baik-baik?” ujar Li Toa-jui dengan tertawa. “Sudah kuketahui, bila caramu bicara enak didengar, hatimu tentu timbul pikiran busuk. Kau ingin menipu aku, tak begitu mudah.”

“Kau keparat, siapa yang ingin menipumu?” Pek Khay-sim meraung pula.

“Bukankah kau hendak menipuku?” kata Li Toa-jui. “Coba, setelah kumakan anak murid Ih-hoa-kiong, selanjutnya apakah aku bisa hidup tenteram? Sekali pun air liurku mengalir memenuhi tanah juga takkan kuganggu dia biar pun cuma satu jari saja.”

“Setelah kau makan ke dalam perut, lenyaplah segala buktinya, dari mana Ih-hoa-kiongcu bisa tahu?” kata Pek Khay-sim.

“Ada sebuah mulut busuk yang suka merugikan orang lain macam kau ini mustahil dia takkan tahu?” jengek Li Toa-jui.

Pek Khay-sim melengak sejenak, ia menghela napas dan berkata dengan menyengir, “Ah, tampaknya aku tak dapat menipumu, kau memang jauh lebih kuat dari pada aku.” Sambil bicara mendadak sebelah tangannya lantas membalik, “plak” ia pun menampar Li Toa-jui satu kali.

Saat itu Li Toa-jui sedang tertawa senang, tentu saja ia tidak sempat berkelit, dengan gusar ia berteriak, “Keparat, kau berani memukul aku, nanti kucabut nyawamu!”

Tapi kedua orang lantas saling melotot saja, tiada seorang pun yang mulai menyerang lagi.

Maklum, mereka sudah cukup berpengalaman, entah sudah berapa kali mereka berkelahi dan masing-masing maklum tak bisa mengalahkan lawan, kecuali salah satu pihak tidak berjaga-jaga, kalau tidak jelas tidak mampu memukulnya dengan telak.

To Kiau-kiau tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Kalian berdua bangsat ini sudah cukup ribut belum? Kalau sudah cukup, ayolah lekas kembali ke sana.”

“Betul, Toh-lotoa mungkin sudah tak sabar menunggu lagi,” sambung Ha-ha-ji. “Haha, kalian tentunya tahu, tidak boleh dibuat mainan apa bila Toh-lotoa marah.”

Lekas-lekas Pek Khay-sim menuruti arah angin, cepat ia menjawab, “Baiklah, mengingat Toh-lotoa, biarlah kuampuni kau serigala bermulut besar ini.”

“Hm, jika tidak khawatir Toh-lotoa menunggu terlalu lama, mustahil kalau tidak kubunuh kau keparat ini,” sambut Li Toa-jui dengan gusar.

Meski keduanya masih saling mencaci maki, tapi kesempatan ini lantas digunakan mereka untuk “gencatan senjata”.

Tiba-tiba To Kiau-kiau berkata pula, “Padahal kalian masih boleh juga berkelahi lagi, yang ditunggu Toh-lotoa kan bukan kalian.”

Pek Khay-sim anggap tidak paham ucapan adu domba To Kiau-kiau itu, ia menghela napas dan berkata, “Sungguh tak tersangka Toh-lotoa yang selalu bersikap dingin itu bisa sebaik ini terhadap Siau-hi-ji, dia khawatir tak dapat menemukan Siau-hi-ji, maka dia berkeras tinggal di sana untuk menunggunya. Jika ia tahu Siau-hi-ji takkan datang lagi untuk selamanya, dia pasti akan sangat berduka. Marilah kita lekas kembali ke sana untuk menghiburnya.”

“Kau kira Siau-hi-ji benar-benar telah mati dikerjai Kang Giok-long itu?” kata Li Toa-jui dengan tertawa.

“Memangnya kau tidak mendengar tadi?” jawab Pek Khay-sim dengan mendelik.

“Jangan khawatir, jika Kang Giok-long benar-benar bisa membunuh Siau-hi-ji, maka dia bukan lagi telur busuk kecil melainkan malaikat dewata hidup,” ujar Li Toa-jui.

“Haha, mungkin malaikat dewata juga tidak mampu mencelakai Siau-hi-ji. Hahaha, aku orang pertama yang percaya penuh kepada kemampuan anak muda itu,” kata Ha-ha-ji.

“Bila betul Siau-hi-ji sudah mati, sedikitnya aku pun akan meneteskan beberapa titik air mata, masa aku segembira ini? ujar To Kiau-kiau.

“Kau akan meneteskan air mata baginya?” Pek Khay-sim menegas.

“Mengapa tidak, anak yang menyenangkan begitu kalau mati, siapa yang tidak berduka?” jawab Kiau-kiau. “Apalagi, sejak kecil kita inilah yang membesarkan dia, waktu kecilnya dia sering mengompol dalam pangkuan kita.”

“Jika demikian, mengapa kalian juga hendak mencelakai dia?” tanya Pek Khay-sim.” Kalian sengaja meninggalkan tanda-tanda penunjuk jalan dan menipunya ke liang tikus itu, bukankah kalian berniat menjadikan dia mangsa si tikus besar itu?”

“Soalnya menurut perhitungan kami, sekali pun tikus besar itu pun tak mampu mematikan dia,” jawab Kiau-kiau dengan tertawa.

“Huh, kukira hatimu tidak sebaik ini,” jengek Pek Khay-sim. “Kau cuma khawatir dia akan bersekongkol dengan Yan Lam-thian dan membikin susah kalian, makanya kalian sengaja menjerumuskan dia ke liang tikus sana, meminjam golok untuk membunuh orang.”

“Mulut anjingmu ini kenapa tidak dapat mengucapkan kata-kata manusia?” damprat Li Toa-jui gusar.

“Memangnya kau berani menyangkal apa yang kukatakan?” jawab Pek Khay-sim dengan murka.

“Sudahlah, sekali pun kita mengakui kebenaran ucapanmu juga bukan soal,” ujar To Kiau-kiau dengan mengikik. “Tapi ingin kukatakan padamu, seumpama kita yang mengakibatkan kematiannya, aku tetap akan mencucurkan air mata baginya...”

Pada saat itu juga benar-benar ada air mata menetes dari atas pohon, syukurlah gembong-gembong Cap-toa-ok-jin sudah pergi meninggalkan hutan sehingga tiada yang memperhatikan.

Thi Peng-koh tidak pingsan sungguh, maklumlah, dalam keadaan pedih seperti dia sekarang ini, kecuali pura-pura pingsan saja kiranya tiada cara lain yang lebih baik.

Jadi semua percakapan gembong-gembong Cap-toa-ok-jin itu telah dapat didengarnya. Tak tersangka olehnya bahwa cinta Kang Giok-long padanya ternyata pura-pura belaka, lebih-lebih tak terduga Kang Giok-long akan meninggalkannya dengan begitu saja.

Remuk redam hati Thi Peng-koh setelah semua orang sudah pergi, saking tak tahan lagi ia menangis tergerung-gerung, sungguh kalau bisa ia ingin mati sekarang juga. Namun apa dayanya, dalam keadaan sekarang, ingin mati pun tidak dapat.

Tiada seorang anak perempuan di dunia ini yang dapat menahan malu seperti keadaannya sekarang, tergantung telanjang bulat di atas pohon. Sungguh ia benci pada mata lelaki, butalah mata semua lelaki di dunia ini.

Waktu di Ih-hoa-kiong ia mendambakan kebebasan, ia ingin melarikan diri dan berharap akan menemukan lelaki idamannya. Memang inilah angan-angan setiap anak gadis umumnya, tapi pengalamannya benar-benar malang, lelaki yang ditemukannya ini ternyata bukan manusia, bahkan lebih kejam dari pada binatang, lebih keji dari pada ular berbisa.

Ia sendiri pun tidak tahu mengapa dirinya bisa mencintai binatang kecil demikian? Mungkin dia sudah terlalu lama terkekang di Ih-hoa-kiong, sudah terlalu lama kesepian, perasaan yang tertekan terlalu lama apa bila sekali tempo meledak tentu sukar dikendalikan lagi.

Tadinya ia tak tahu bagaimana rasanya orang menangis, tapi sekarang air matanya terus bercucuran tiada hentinya.

Entah lewat berapa lama lagi, tiba-tiba ia mengetahui ada sepasang mata sedang memandangnya tanpa berkedip, tapi sorot mata ini tidak rakus dan membencikan seperti mata gembong-gembong Cap-toa-ok-jin tadi.

Sepasang mata ini bahkan sangat elok dan terang seperti gemilapnya bintang di langit dan membuat setiap orang yang melihatnya merasa tunduk dan ingin menyembah padanya. Selamanya Thi Peng-koh tidak pernah melihat mata yang menggiurkan demikian.

Sekarang pemilik mata yang elok itu sedang tertawa. Meski kini bukan musim semi, tapi tertawanya itu seperti angin sejuk mengembus bumi di musim semi.

“Siapakah namamu, nona?” demikian si cantik menyapa.

“Aku she Thi,” jawab Peng-koh.

“She Thi?” nona itu tertawa. “Sungguh sangat kebetulan, ada seorang kakakku juga she Thi, tampaknya memang aku ada jodoh dengan orang she Thi, entah engkau sudi berkawan denganku atau tidak.”

Melihat gaya si nona yang lain dari pada yang lain, melihat dandanannya yang indah dan anggun, Peng-koh lantas teringat kepada keadaannya sendiri yang mengenaskan, tanpa terasa ia memejamkan mata dan meneteskan air mata pula.

“Kutahu, engkau pasti tidak ingin menemuiku dalam keadaan begini,” ucap pula si nona cantik dengan lembut, “Tapi kau pun jangan berduka, orang jahat di dunia ini memang teramat banyak, anak perempuan seperti kita ini tak terhindar akan dianiaya oleh mereka. Asalkan kau tahu bahwa orang yang bernasib malang di dunia ini masih sangat banyak, bahkan jauh lebih menderita dari padamu, maka engkau pasti akan terhibur dan tidak terlalu berduka lagi.”

“Masa – masa di dunia ini masih ada orang yang lebih malang dari padaku?” Peng-koh menegas.

“Mengapa tidak ada, bahkan banyak sekali,” jawab si nona. “Di mana-mana, di setiap pelosok dunia ini, tentu ada anak perempuan yang perlu dikasihani, mereka sedang tersiksa dan dirusak oleh orang yang tak mereka kenal, bahkan orang-orang yang mereka benci, namun mereka tidak dapat menangis seperti engkau, sebaliknya mereka harus memperlihatkan senyuman untuk minta belas kasihan orang-orang yang menyiksa mereka itu.”

Betapa pun malangnya seseorang, apa bila diketahuinya ada orang lain yang lebih malang lagi dari padanya, maka akan terasa lebih ringan perasaannya yang tertekan. Hal ini sama saja seperti seorang penjudi, betapa pun banyak kekalahannya, apa bila ia lihat ada orang lain yang lebih banyak kalahnya dari pada dia, maka terhiburlah hatinya.

Lebih-lebih anak perempuan, jika kau ingin menghibur seorang anak perempuan, paling baik ialah ceritakan bahwa di dunia ini masih ada orang lain yang jauh lebih menderita dari padanya, dengan demikian dia akan melupakan penderitaan sendiri dan malahan akan menghibur orang lain.

Thi Peng-koh tidak menangis lagi, selang sejenak, berkatalah dia, “Dapatkah engkau menolong aku turun dari sini? Aku... aku pasti sangat berterima kasih padamu.”

Nona itu menghela napas, jawabnya, “Kau tidak perlu berterima kasih padaku, aku sendiri sangat ingin menolongmu, cuma sayang, naik tangga ke atas saja aku tidak sanggup, pohon setinggi ini, pada hakikatnya membuat kepalaku pusing.”

“Masa... masa engkau tidak mahir ilmu silat?” tanya Peng-koh.

“Kau sangat heran, bukan?” ucap si nona dengan tertawa. “Padahal orang yang tidak paham ilmu silat di dunia ini jauh lebih banyak dari pada orang mahir ilmu silat, kebanyakan orang yang normal tidak belajar ilmu silat.”

Thi Peng-koh menghela napas menyesal, katanya dengan muram, “Jika... jika demikian, lekas pergi saja kau.”

“Tapi paling tidak kan dapat kukerjakan sesuatu bagimu? Kau dingin tidak, maukah kubuatkan api unggun di bawah sini?”

Karena merasa malu, berduka dan juga takut, maka Peng-koh melupakan rasa dingin, baru sekarang ia merasa sekujur badannya menggigil kedinginan, angin pegunungan yang mengusap tubuhnya terasa seperti sayatan pisau saja.

Dilihatnya si nona tadi benar-benar mengumpulkan seonggok kayu kering terus mengeluarkan sebuah ketikan api yang indah, onggokan kayu kering itu lantas dibakarnya.

“Engkau sungguh orang yang berhati mulia,” ucap Peng-koh dengan tersenyum pedih.

“Meski kau memuji hatiku mulia, tapi lebih banyak orang yang bilang hatiku sekeji ular,” ucap nona itu dengan tertawa.

“Sia... siapakah namamu? Sudikah engkau memberitahukan padaku agar dapat kuingat padamu selalu,” kata Peng-koh.

Si nona tertawa, jawabnya, “Namaku So Ing.”

“So Ing? Jadi kau inilah So Ing?” Peng-koh terkejut dan berseru tanpa terasa.

“Kau pun tahu namaku?” ucap So Ing tertawa.

Peng-koh terdiam sejenak, katanya pula dengan parau, “Kedatanganmu ini apakah ingin... ingin mencari seseorang?”

Tampaknya So Ing juga terkejut, jawabnya, “Dari mana kau tahu? Masa... masa kau pun kenal orang yang kucari itu?”

“Betul, kukenal dia,” jawab Peng-koh rawan.

So Ing menghela napas, katanya sambil tersenyum getir, “Setiap anak perempuan cantik di dunia ini seolah-olah semuanya kenal dia, aneh! Agaknya sainganku kini tambah satu orang lagi.”

“Aku takkan bersaing denganmu, bahkan selanjutnya mungkin tiada orang akan bersaing lagi denganmu,” ucap Thi Peng-koh, baru habis bicara kembali air matanya berderai pula.

Berubah pucat air muka So Ing, serunya, “Apa... apa artinya ucapanmu ini?”

“Dia... dia sudah mati dicelakai orang!” jawab Peng-koh dengan tergagap.

Seketika aliran darah di seluruh tubuh So Ing serasa membeku. Ia melenggong sejenak, katanya kemudian, “Yang kau maksudkan itu mungkin... mungkin bukan Siau-hi-ji, kuyakin pasti bukan dia.”

“Tapi yang kumaksudkan memang Siau-hi-ji adanya,” kata Peng-koh.

Tiba-tiba So Ing tertawa pula, tertawa keras, katanya, “Hahaha, kau pasti salah lihat. Mana bisa Siau-hi-ji mati dikerjai orang? Siapakah di dunia ini yang mampu membunuhnya? Kalau dia tidak mengerjai orang lain sudah untung.”

“Semula aku pun yakin di dunia ini tiada orang lain yang sanggup mengerjai dia, tapi sekali ini mau tak mau aku harus percaya, sebab dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan kejadian ini,” tutur Peng-koh dengan sedih.

Gemetar seluruh tubuh So Ing, tanyanya dengan suara terputus “Kau... kau menyaksikan sendiri? Siapa... siapa yang membunuhnya?”

“Orang itu bernama Kang Giok-long, dia telah mendorong Siau-hi-ji ke dalam dinding tebing itu, gua itu dalamnya tak terkira, apa lagi Siau-hi-ji dalam keadaan keracunan...”

Belum habis ucapan Thi Peng-koh, tahu-tahu So Ing berlari ke tebing sana.

Dinding tebing itu berdiri tegak beratus kaki tingginya dan sangat curam, gua itu pun berada belasan tombak tingginya, di antaranya memang ada tempat yang dapat digunakan memanjat, tapi orang yang memiliki Ginkang rendah saja jangan harap akan dapat naik ke atas sana, apalagi So Ing yang sama sekali tidak paham ilmu silat.

Air mata So Ing bercucuran, ucapnya sambil membanting kaki gegetun, “Kenapa tidak sejak dulu-dulu kubelajar silat? Nyatanya ilmu silat juga banyak gunanya...”

“Nona So,” terdengar Thi Peng-koh berseru di sana, “Kau jangan berduka, seumpama kau dapat naik ke sana juga tiada gunanya, Siau-hi-ji pasti... pasti takkan hidup sampai saat ini.” Dia seperti sudah melupakan penderitaan dan kemalangan sendiri, sekarang dia malah menghibur So Ing.

“Seumpama dia sudah mati juga aku harus melihatnya sekali lagi, apalagi, bukan mustahil dia masih hidup dengan segar bugar!” sahut So Ing dengan suara serak.

“Tapi apakah kau sanggup naik ke atas?”

“Betapa pun juga akan kucari akal untuk naik ke sana, aku pasti ada akal!” nada So Ing penuh rasa yakin, habis berkata ia lantas mengusap air mata dan tidak menangis lagi.

Andaikan dia masih mau menangis juga akan menunggu lagi kelak, sebab ia tahu air mata tidak dapat membantunya menyelesaikan persoalan.

Thi Peng-koh dapat melihat perubahan sikap So Ing itu dan dapat pula melihat tekadnya yang bulat itu, diam-diam ia menghela napas gegetun. Pikirnya, “Tak tersangka anak perempuan yang lemah lembut ini mempunyai tekad sebesar ini dan penuh kepercayaan pada diri sendiri. Sedangkan aku...?” Mendadak ia menyadari apa bila seseorang mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, maka nilainya jauh lebih berharga dari pada ilmu silatnya yang tiada tandingannya atau kekayaan benda mestika yang sukar ditakar.

Ada cendikia yang bilang, “Hidup perempuan bukan untuk dipahami, tapi untuk dicintai!” Ucapan ini memang sangat bagus, tapi juga tidak terlalu tepat.

Hakikatnya tidak cuma perempuan saja yang demikian, ada sementara lelaki juga begitu. Mereka dilahirkan bukan untuk dipahami orang melainkan untuk dibenci dan disukai orang.

Dan tidak perlu disangsikan lagi, Siau-hi-ji adalah salah satu lelaki begitu.

Tidaklah sedikit manusia di dunia ini yang suka pada Siau-hi-ji, tapi yang membencinya bahkan lebih banyak. Namun orang yang mutlak benar-benar memahami Siau-hi-ji justru satu pun tidak ada.

Cuma saja ada beberapa orang yang taraf memahami Siau-hi-ji jauh lebih banyak dari pada yang lain, beberapa orang ini jelas ialah To Kiau-kiau, Li Toa-jui, Ha-ha-ji dan Toh Sat. Sedikitnya merek tahu Siau-hi-ji bukanlah orang yang mudah dicelakai orang. Anak muda ini sering kali dapat lolos dari lubang jarum pada detik yang paling berbahaya.

Barang tentu, semua ini bukan seluruhnya karena kecerdasan Siau-hi-ji, terkadang juga memerlukan kemujuran atau nasib baik, atau istilah yang populer, hok-khi. Barang siapa kalau meremehkan “hok-khi”, sering kali dia sendiri akan mengalami nasib sial.

Contohnya, dua orang hampir bersamaan waktunya jatuh dari suatu tempat yang sangat tinggi, yang seorang jatuh di tanah dan mengakibatkan patah tulang leher, tapi yang seorang lagi jatuh ke dalam air dan tidak cedera apa pun.

Nah, apa namanya kejadian demikian kalau bukan kemujuran atau nasib baik atau hok-khi?

Yang mengalami nasib baik di antaranya adalah Oh Yok-su.

Dia didorong terjerumus ke dalam gua oleh Kang Giok-long, gua itu sangat dalam melebihi apa yang pernah dibayangkannya. Di bagian luar tinggi gua itu paling-paling cuma belasan tombak, tapi di bagian dalam ternyata tidak kurang lima kali lipat lebih dalam.

Bayangkan, kalau seorang terjatuh dari ketinggian lima puluhan tombak, sekali pun Ginkang orang ini tiada bandingnya di dunia juga sukar terhindar dari nasib hancur lebur terbanting.

Oh Yok-su sendiri pun mengira dirinya pasti akan mampus. Belum lagi sempat dia berpikir lain, tahu-tahu terdengar suara “blung” yang keras, tubuhnya jatuh ke dalam air, dasar gua yang dalam itu kiranya adalah sebuah kolam berair.

Kalau orang biasa terjatuh dari tempat setinggi itu, sekali pun jatuh ke dalam air, sukar juga terhindar dari jatuh pingsan. Tapi Ginkang Oh Yok-su memang tidak rendah, ia cuma merasakan badannya bergetar keras, seperti kena hantaman keras, mata pun terasa berkunang-kunang, habis itu lantas didengarnya suara tertawa ngikik seseorang.

Semula Oh Yok-su terkejut, tapi rasa kejut itu segera berubah menjadi girang. Kalau dia tidak terbanting mati, dengan sendirinya Siau-hi-ji lebih-lebih tidak bisa mati.

Ia ingin melompat keluar dari dalam air, tapi kolam itu ternyata tidak cetek, karena daya jatuhnya itu sangat keras, dia terus terjungkal ke dalam air dan sempat minum dua ceguk air yang asin lagi bau busuk, ia menjadi gelagapan dan hampir-hampir semaput. Syukur segera ia dapat mengapungkan diri ke permukaan kolam.

Terdengar Siau-hi-ji lagi berkata dengan tertawa, “Memangnya aku lagi kesepian, sekarang ada teman jatuh dari langit, sungguh sangat menggembirakan. Cuma sayang di sini tidak ada arak, terpaksa kusuguh kau dua ceguk air busuk.”

Walau pun sangat gelap di dasar gua ini, tapi ada sedikit cahaya remang-remang yang tembus dari atas sana.

Setelah kucek-kucek matanya, akhirnya Oh Yok-su dapat melihat Siau-hi-ji. Terlihat anak muda itu nongkrong di atas batu padas sana, meski perutnya sudah terisi Li-ji-hong yang tiada obat penawarnya serta didorong orang ke dalam gua yang jelas tiada jalan keluarnya, namun air muka anak muda itu tetap berseri-seri, sedikit pun tidak sedih, bahkan tampaknya sangat gembira malah.

Oh Yok-su lantas merangkak naik ke atas batu itu, ia coba bertanya, “Apakah engkau menemukan jalan keluarnya?”

“Kau lihat, gua ini mirip sebuah guci raksasa, perutnya sangat besar, bagian mulut sangat sempit, sekali pun cecak juga sukar merambat ke atas, dari mana ada jalan keluar?”

Oh Yok-su melengak, katanya pula, “Jika demikian, mengapa engkau bergembira?”

“Memangnya aku harus bersedih?”

“Kau... kau tidak sedih?”

“Apakah sedih dapat membantuku keluar dari sini? Jika dapat tentu sejak tadi-tadi aku bersedih.”

Oh Yok-su terdiam sejenak, tanyanya kemudian dengan ragu-ragu, “Obat penawar itu tentu sudah terendam basah, apa masih dapat digunakan?”

“Jangan khawatir, obat penawar kusimpan dengan baik, air tak dapat menembusnya,” jawab Siau-hi-ji.

Oh Yok-su berdehem dua kali, katanya pula dengan menyengir, “Kini Cayhe dan Hi-heng adalah senasib, kita sama-sama dirundung malang, mestinya sekarang Hi-heng dapat memberikan obat penawar itu.”

“Tidak boleh,” jawab Siau-hi-ji.

“Se... sebab apa?” tanya Oh Yok-su.

“Selama obat penawarnya belum kuberikan padamu, tentu kau akan tunduk kepada perintahku, andaikan anakku sendiri mungkin takkan penurut seperti kau sekarang. Nah, kan menyenangkan bila selalu didampingi seorang yang penurut, untuk apa kuberikan obat penawarnya padamu?”

“Tapi... tapi Cayhe...”

“Jangan khawatir, untuk sementara ini racun yang mengeram di tubuhmu takkan bekerja.”

Sudah barang tentu suara percakapan mereka sangat lirih, sebab suara di dalam gua yang geronggang begini mudah berkumandang keluar, apa lagi di dalam gua itu ada airnya, suara yang agak keras akan segera didengar orang yang berada di luar sana.

Tapi mereka pun tidak menyangka bahwa suara percakapan orang yang berada di luar sana dapat didengar dengan jelas di dalam gua. Gua ini memang mirip sebuah kotak kosong, setitik suara yang menyalur ke sini segera akan menimbulkan kumandang suara yang keras. Sudah tentu teori demikian belum dipahami orang di jaman dahulu.

Orang yang berada di atas sana karena mengira sekelilingnya tiada bayangan seorang pun, dengan sendirinya cara bicara mereka pun tidak pantang didengar orang, sama sekali tak terduga bahwa di balik dinding masih ada telinga.

Maka ketika mendengar Kang Giok-long membujuk rayu Thi Peng-koh dengan kata-kata manis, Siau-hi-ji hanya menggeleng kepala saja sambil menghela napas. Beberapa kali Oh Yok-su ingin bicara selalu distop olehnya.

“Ada sesuatu yang meragukan diriku dan tidak kupahami, ingin kuminta petunjuk padamu,” demikian Oh Yok-su berbisik.

Tapi Siau-hi-ji lantas mencegahnya bicara lebih lanjut, “Ssst, masih banyak waktu bagi kita untuk bicara, ada urusan apa boleh dirundingkan nanti saja. Sekarang coba kau dengarkan, betapa busuk keparat Kang Giok-long itu, nona Thi benar-benar sial sebel punya pacar begitu.”

Lalu mendadak terdengar suara jerit kaget Thi Peng-koh, selagi Siau-hi-ji heran apa yang terjadi atas nona itu, menyusul lantas terdengar pula seruan terkejut Kang Giok-long. Habis itu didengarnya percakapan antara Ih-hoa-kiongcu dan Kang Giok-long.

Oh Yok-su tidak tahu apa yang menyebabkan Siau-hi-ji melenggong, tapi ia pun tidak berani bertanya.

Selang sejenak, Siau-hi-ji bergumam sendiri, “Kiranya Thi Peng-koh adalah murid Ih-hoa-kiong, pantas tempo hari ketika bertemu dengan Hoa Bu-koat diam-diam ia lantas mengeluyur pergi. Kalau ia murid Ih-hoa-kiong, maka ‘Tong-siansing’ dan ‘Bok-hujin’ itu pastilah samaran Ih-hoa-kiongcu, pantas juga Ih-hoa-kiongcu menyuruh Hoa Bu-koat harus tunduk kepada apa yang dikehendaki Tong-siansing dan Bok-hujin. Tapi Ih-hoa-kiongcu yang cukup disegani itu mengapa perlu menyamar sebagai orang lain?”

Sungguh teka-teki ini sukar dipecahkan olehnya. Ia coba mengingat-ingat kembali semua kejadian dari awal hingga akhir, sampai kepala pusing tetap sukar dimengerti, malah semakin ruwet.

Teringat olehnya Ih-hoa-kiongcu yang ditakuti orang itu kena diperdayainya hingga kelabakan, bahkan rela menunggui dia berak, saking geli ia jadi tertawa sendiri.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Oh Yok-su berkata dengan tertawa, “Bagus sekali, baru saja Ih-hoa-kiongcu pergi, kini datang pula beberapa gembong anggota Cap-toa-ok-jin, tampaknya keparat Kang Giok-long itu pun tak bisa hidup tenteram lagi selanjutnya.”

Karena itu barulah Siau-hi-ji sadar dari lamunannya, ia pasang kuping sejenak, lalu berkata, “Yang datang itu memang Put-lam-put-li (bukan lelaki tidak perempuan) To Kiau-kiau, Put-sip-jin-thau (tidak makan kepala manusia) Li Toa-jui, Siau-li-cong-to (di balik tertawanya tersembunyi belati) Ha-ha-ji dan Sun-jin-put-li-ki (merugikan orang lain tidak menguntungkan diri sendiri) Pek Khay-sim.”

“Tampaknya kau kenal baik mereka?”

“Memang, mungkin di dunia ini tiada orang lain yang lebih akrab dengan mereka kecuali aku.”

Semangat Oh Yok-su terbangkit seketika, katanya, “Jika demikian mengapa tidak lekas kau minta pertolongan mereka?”

“Tunggu dulu,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Aku ingin mendengarkan permainan apa yang akan mereka lakukan.”

Kemudian Siau-hi-ji kembali terkejut demi mendengar mereka menyebut Kang Piat-ho sebagai tamu agung Gui Bu-geh. Baru diketahuinya sekarang tamu yang berkunjung ke tempat Gui Bu-geh tatkala dia terluka di sana itu ialah Kang Piat-ho. Andai kata Kang Piat-ho tidak datang, mungkin So Ing belum dapat membantunya melarikan diri. Teringat hal ini, tanpa terasa Siau-hi-ji tertawa pula.

Didengarnya Oh Yok-su lagi berkata, “Sungguh aneh, untuk apakah mereka sedemikian mementingkan beberapa peti itu?”

“Tidak perlu heran, orang muda pantang berkelahi, orang tua pantang tamak, soalnya seorang kalau sudah berusia lanjut, sering-sering terlalu memandang berat soal harta benda, seakan-akan sudah lupa bahwa orang mati toh tidak dapat membawa uang sepeser pun.”

“Tapi yang mereka persoalkan adalah peti kosong,” kata Oh Yok-su.

Siau-hi-ji hanya tertawa dan tidak berkata pula, namun sorot matanya mencorong terang. Selang tak lama lantas terdengar To Kiau-kiau dan lain-lain membicarakan dia.

Baru diketahuinya bahwa tanda-tanda petunjuk jalan yang ditinggalkan mereka itu memang betul-betul adalah perangkap yang sengaja dipasang untuk menjerumuskan dia, mau tak mau air muka Siau-hi-ji berubah juga.

Setelah termenung sejenak, kemudian ia berkata sambil menggeleng, “Tak tersangka dugaan So Ing ternyata tepat, sampai-sampai kalian juga menghendaki jiwaku. Tapi apakah kalian tahu bahwa sudah lama kutahu rahasianya Yan-tayhiap dan aku pun tidak berniat mencelakai kalian.” Dia menghela napas, tiba-tiba ia bergembira pula, ucapnya, “Seorang kalau meninggal dan bisa membikin To Kiau-kiau meneteskan air mata, maka tidak percumalah kematiannya.”

Kepandaian Siau-hi-ji yang terbesar adalah dalam keadaan betapa buruknya dia tetap dapat membuat dirinya bergembira.

Sudah tentu Oh Yok-su tidak mempunyai kepandaian begitu, sekarang ia pun sudah tahu Siau-hi-ji tidak nanti mau berseru minta tolong kepada To Kiau-kiau dan lain-lain.

Maklum, apa bila gembong-gembong Cap-toa-ok-jin itu tahu Siau-hi-ji berada di dalam sumur ini, bukannya mereka menolongnya, bisa jadi malah akan menimpakan beberapa potong batu besar. Dengan sendirinya Siau-hi-ji tidak mau mengambil risiko ini.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar