Bahagia Pendekar Binal Jilid 11

Dengan kesal Thi Peng-koh berkata pula, “Nanti kalau dia sudah datang lagi, kita tetap tak dapat hidup lebih lama. Kau telah mencelakai Siau-hi-ji, tidak mungkin dia mengampunimu.”

“Sebab apa? Bukankah dia mengharuskan Hoa Bu-koat membunuh Siau-hi-ji?”

“Betul, tapi dia cuma menginginkan Hoa Bu-koat membunuh Siau-hi-ji dengan tangan sendiri, orang lain dilarang mengganggu satu jari pun Siau-hi-ji, bahkan dia sendiri juga pasti tidak akan mencelakai Siau-hi-ji.”

“Aneh, apa sebabnya?” ucap Giok-long dengan heran, “Sungguh aneh, benar-benar aneh?!”

“Aku pun tidak tahu apa sebabnya,” tutur Peng-koh. “Mereka kakak beradik memang manusia aneh. Betapa pun juga sekarang lekas kau tolong aku turun, badanku terasa kesemutan, Hiat-toku tertutuk olehnya.”

“Mana bisa kutolong kau?” kata Giok-long dengan menyengir.

“Habis siapa... siapa yang akan menolongku jika bukan engkau?” seru Thi Peng-koh.

“Sekali pun kutolong kau juga kita tetap tak dapat lolos dari cengkeramannya,” ucap Giok-long dengan kesal.

“Tapi apa pun kan harus kita coba,” ujar Peng-koh. “Paling-paling hanya mati saja. Jika sekarang juga kita kabur dan bersembunyi, sedikitnya kita masih dapat hidup beberapa hari lagi dengan bahagia.”

Setelah berhenti sejenak, dengan tersenyum pedih kemudian Peng-koh menyambung, “Ya, asalkan aku dapat hidup bersamamu dengan tenteram dan bahagia, biar pun mati juga kurela.”

Kang Giok-long menunduk, tiba-tiba ia menengadah dan berkata, “Tapi kalau tidak kau beritahu bahwa aku yang membunuh Siau-hi-ji, tentu dia takkan membunuhku, betul tidak?”

Thi Peng-koh melengak, jawabnya dengan ragu-ragu, “Ya, mung... mungkin...”

“Jika tadi telah kau dustai dia, kenapa tidak berdusta lagi,” ujar Giok-long.

“Tapi... tapi aku... aku...”

“Jika akhirnya kau toh akan mati, untuk apa mesti menghendaki aku mati bersamamu? Bila kau benar-benar cinta padaku, kau harus berani mengorbankan dirimu untuk menolong aku, untuk itu pasti selamanya takkan kulupakan.”

Thi Peng-koh benar-benar melenggong, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa Kang Giok-long bisa bicara demikian?

Pada saat itulah tiba-tiba seorang menanggapi dengan tertawa terkekeh-kekeh, “Bagus, bagus sekali! Sudah lama tak kudengar kata-kata mutiara begini.”

Seorang lagi menambahkan dengan tertawa, “Jika saudara ini perempuan, Siau Mi-mi pasti akan mengaku kalah bila menyaksikan kejadian ini.”

“Hahaha, dua Siau Mi-mi mungkin juga tak dapat menandingi dia seorang,” sambung lagi orang ketiga.

Segera suara orang keempat bergelak tertawa, katanya, “Sejak kedua Auyang bersaudara itu mati, kalian selalu khawatir sukar mencari gantinya, sekarang sudah tersedia seorang calon di sini.”

Di tengah gelak tertawa ramai itulah dari balik lereng sana muncul empat orang. Bentuk keempat orang ini sangat istimewa, yang satu bermulut lebar luar biasa, seorang lagi lelaki bukan perempuan tidak, orang ketiga selalu tersenyum simpul dan orang keempat mirip pengemis dengan memanggul sebuah karung goni.

Karung yang dipanggulnya itu kelihatan bergerak-gerak, malahan terdengar suara keluhan dari dalam karung, suara keluhan itu pun sangat aneh, seperti orang sakit, tapi juga mirip keluhan orang kepuasan dan mengkilik-kilik perasaan orang lain yang mendengarnya.

Sebelah tangan orang yang mirip pengemis itu memegang sepotong kayu dan sebentar-bentar disabetkan ke atas karung goni. Setiap kali dia menyabet, setiap kali pula suara keluhan itu bertambah kenikmatan, malahan terdengar ucapannya yang samar-samar seperti lagi memohon, “Sabetlah yang keras... kumohon, sabetlah lebih keras lagi -.”

Tapi orang yang mirip pengemis itu justru menurunkan karungnya dan tidak memukul lagi, ia malah berkata pada Kang Giok-long dengan tertawa, “Coba, di dunia ini ada orang yang suka dipukuli, pernah kau lihat atau tidak?”

Kang Giok-long memang benar-benar tak pernah melihat orang sinting demikian, pada hakikatnya mendengar saja tidak pernah. Walau pun biasanya dia pintar putar lidah, kini dia jadi kesima juga.

Dalam pada itu Thi Peng-koh yang masih terkatung-katung di atas pohon itu ya malu ya cemas, akhirnya ia pingsan sendiri.

Keempat pendatang ini jelas bukan lain dari pada Li Toa-jui, To Kiau-kiau, Pek Khay-sim dan Ha-ha-ji. Namun siapakah pula yang berada di dalam karung goni dan gemar dipukul itu?

Li Toa-ju mendekati Kang Giok-long, dengan tertawa lebar ia menegur, “Sahabat cilik, siapakah namamu?”

Meski tidak tahu asal usul orang aneh ini, tapi melihat bentuk mereka yang luar biasa, betapa pun Kang Giok-long tidak berani cari gara-gara, lalu menjawab, “Cayhe Ciang Peng, entah tuan-tuan ini siapa pula?”

“Usia saudara masih muda belia, tapi nama Cap-toa-ok-jin kiranya juga pernah kau dengar bukan?” jawab Li Toa-jui dengan tertawa.

Seketika berubah air muka Kang Giok-long, ucapnya, “Cap-toa-ok-jin? Jangan-jangan... jangan-jangan Tuan ini...”

“Haha, melihat mulutnya tentunya kau pun tahu siapa dia” seru Ha-ha-ji.

Giok-long mengerling mereka sekejap, tanpa terasa tangannya berkeringat dingin.

To Kiau-kiau terkikik-kikik, katanya, “Jangan khawatir, saudara cilik, kedatangan kami ini tidak bermaksud jahat padamu.”

Tiba-tiba Giok-long tertawa, jawabnya, “Kalian adalah kaum Cianpwe dunia persilatan, sudah tentu takkan mencari perkara kepada Wanpwe yang tiada terkenal ini, hati Cayhe sungguh sangat lega, bahkan merasa gembira karena dapat melihat wajah asli para Cianpwe.”

“Hihihi, coba lihat, betapa pintar cara bicara anak ini, seperti bermadu saja mulutnya,” ucap To Kiau-kiau dengan mengikik.

“Haha, orang begini, Hwesio seperti diriku juga suka padanya,” tukas Ha-ha ji, “Pantaslah nona di atas pohon itu pun tidak sayang berbuat apa pun baginya.”

Tiba-tiba Giok-long berkata serius, “Nona di atas pohon ini meski kenalan Cayhe, tapi hubungan kami hanya berdasarkan persahabatan saja tanpa ada persoalan asmara, janganlah Cianpwe salah mengerti.”

“Jika benar ada persahabatan, kini orang tergantung di atas pohon dalam keadaan bugil, kenapa kau tidak menolongnya?” tanya To Kiau-kiau.

Giok-long menghela napas, jawabnya, “Meski ada maksudku untuk menolongnya, tapi... tapi ada pembatasan antara lelaki dan perempuan, sekarang dia dihina dan dianiaya orang cara begitu, rasanya tidak bebas bagiku untuk menolongnya.”

“Wah, jika demikian, kau ini seorang lelaki sejati, seorang ksatria tulen,” To Kiau-kiau berseloroh.

“Meski Cayhe sudah menjelajah Kangouw, tapi tidak berani melupakan kesopanan dan keluhuran budi,” kata Giok-long.

Mendadak To Kiau-kiau tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya sambil menuding hidung Kang Giok-long, “Coba lihat kalian, bukankah dia ini memang punya sejurus dua simpanan. Jangankan Siau Mi-mi, sekali pun kedua Auyang bersaudara juga mesti mengangkat guru padanya.”

“Haha, memang benar,” sambung Ha-ha-ji, “Cara bicara kedua Auyang bersaudara yang dapat dipercaya kira-kira hanya satu kalimat di antara tiga kalimat, tapi bocah ini seluruhnya cuma bicara empat kalimat dan ternyata tiada satu pun yang dapat dipercaya.”

“Ah, kembali Cianpwe berkelakar, di depan para Cianpwe masa Wanpwe berani berdusta?” ucap Giok-long.

“Kau tidak berani berdusta? Haha, kembali kau berdusta lagi!” seru Ha-ha ji sambil ngakak.

Giok-long menghela napas, katanya, “Yang kukatakan semuanya adalah sejujurnya, kalau Cianpwe toh tidak percaya, sungguh Cayhe...”

“Kau bicara sejujurnya?” potong To Kiau-kiau dengan tertawa genit. “Jika begitu ingin kutanya padamu. Kau mengaku bernama Ciang Peng, lalu si telur busuk kecil yang bernama Kang Giok-long itu siapa pula dia?”

Di dunia ini memang banyak pendusta, tapi di antara sepuluh ribu pendusta mungkin cuma satu-dua orang saja yang air mukanya tidak berubah bila mana kebohongannya terbongkar di depan umum. Dan Kang Giok-long inilah benar-benar pilihan di antara satu-dua orang pendusta itu. Mukanya tidak merah, sikapnya tidak kikuk, sebaliknya malah tertawa.

To Kiau-kiau memandangnya lekat-lekat seakan-akan makin lama makin tertarik, dengan tertawa ia tanya, “Apa yang kau tertawakan?”

“Sebab mendadak Cayhe merasa geli terhadap diriku sendiri,” jawab Kang Giok-long.

“Oo,” To Kiau-kiau jadi melongo.

“Soalnya Wanpwe menyadari kalau berdusta di depan para Cianpwe, hakikatnya seperti main kapak di depan tukang kayu, sungguh tidak tahu diri, kan lucu?”

“Haha, bagus, tepat!” Ha-ha ji berkeplok tertawa. “Caramu menjilat pantat sungguh menyenangkan dan kena, aku menjadi suka padamu.”

“Sebelum para Cianpwe bicara denganku, bisa jadi seluk-beluk mengenai diriku sudah kalian selidiki dengan jelas,” kata Giok-long.

“Betul, kami tahu kau ini bernama Kang Giok-long, putra kesayangan Kang-lam-tayhiap segala, kami juga tahu nona cilik ini adalah anak murid Ih-hoa-kiong,” tutur Kiau-kiau.

“Sungguh tidak nyana Cayhe bisa mendapatkan perhatian para Cianpwe, terima kasih.”

“Apakah kau tahu sebab apa kami menaruh perhatian padamu?” tanya To Kiau-kiau.

Giok-long tersenyum, tanyanya, “Barangkali Cianpwe hendak menjadi comblang bagiku?”

“Buset!” Kiau-kiau tertawa. “Andaikan aku punya anak perempuan, lebih baik kuberikan pada Li Toa-jui dari pada diberikan padamu. Sedikitnya Li Toa jui takkan makan kepalanya, tapi kau, haha, mungkin akan kau lalap seluruhnya bersama tulang-tulangnya.”

“Ah, Cianpwe terlalu memuji, masa Cayhe dapat dibandingkan dengan Li-locianpwe,” ujar Giok-long dengan tertawa.

“Ah, tidak perlu rendah hati kau,” ucap Li Toa jui. “Caraku makan orang paling-paling cuma satu-satu, tapi caramu makan justru main lalap sebaris demi sebaris. Bukankah orang-orang dari Siang-say-piaukiok itu telah kau telan seluruhnya hanya dalam semalam saja?”

Kang Giok-long tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan tertawa, “Sebenarnya apa sebabnya para Cianpwe menyelidiki diriku sejelas ini?”

“Mungkin kau tidak tahu bahwa setelah kedua saudara Auyang bersaudara mati, kini Cap-toa-ok-jin hanya tersisa sembilan orang saja,” ucap To Kiau-kiau.

“Aneh, sepuluh dikurangi dua kan seharusnya tersisa delapan?” tanya Giok-long.

“Haha, caramu berhitung sungguh cermat,” seru Ha-ha-ji dengan tertawa, “Jika aku membuka pabrik, pasti kupakai tenagamu sebagai pemegang buku.”

“Tapi kau tidak tahu bahwa kedua Auyang Ting Tong itu terlalu suka cari untung kecil, orang yang cuma suka cari untung kecil tidak dapat dianggap Toa-ok-jin (penjahat besar) melainkan cuma telur busuk kecil saja. Sebab itulah gabungan mereka berdua baru sekadarnya dapat dianggap seorang Ok-jin.”

“Jika demikian, untuk menjadi Toa-ok-jin harus mengesampingkan soal keuntungan kecil... ya, kata-kata emas ini pasti akan kuingat selalu,” ucap Giok-long dengan tertawa.

“Selain kedua Auyang bersaudara sudah mati, akhir-akhir ini, Ok-tu-kui kayak-kayaknya juga mau kembali ke jalan yang baik, sedangkan penyakit Ong-say Thi Cian juga semakin pasrah, bila mana tiada orang yang bisa diajak berkelahi, terkadang dia suka menghajar dirinya sendiri. Sedangkan Siau Mi-mi si ahli pikat itu entah sembunyi di gua mana, maka munculnya kami sekali ini tiba-tiba terasakan nama Cap-toa-ok-jin sudah tidak begitu tenar lagi di dunia Kangouw.”

Dengan sendirinya Kang Giok-long tahu di mana beradanya Siau Mi-mi.

Sebagaimana diketahui Siau Mi-mi telah terkurung di istana bawah tanah oleh Kang Giok-long dan Siau-hi-ji dahulu, mungkin selama hidupnya takkan muncul lagi.

Namun Giok-long hanya tersenyum tak acuh, katanya, “Jangan-jangan maksud para Cianpwe ingin mencari seorang pengganti Auyang bersaudara.”

“Betul, jika kami ingin membangkitkan nama kebesaran Cap-toa-ok-jin, maka kami harus mencari tenaga baru,” kata To Kiau-kiau.

Berkilau sinar mata Kang Giok-long, katanya dengan tertawa, “Tapi orang demikian memang sangat sukar dicari, setahuku, tokoh Kangouw yang dapat disejajarkan dengan para Cianpwe mungkin dapat dihitung dengan jari.”

“Jauh di ujung langit, dekat di depan mata, sekarang juga sudah tersedia satu orang di sini,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa sambil menatap Kang Giok-long.

“Ah, mana Cayhe sanggup,” cepat Giok-long menjawab.

“Hahaha, kau tidak perlu sungkan,” ujar Ha-ha-ji, “Usiamu memang muda belia, tapi hasil karyamu sukar dinilai. Lewat dua tahun lagi mungkin kami pun tidak dapat menandingimu.”

“Tidak perlu dua tahun lagi, sekarang pun kita sudah tak dapat melebihi dia,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa.

Kang Giok-long seperti rada-rada kikuk, katanya, “Ah, mana kuberani, sedemikian tinggi para Cianpwe menghargai diriku, sungguh Cayhe tidak tahu cara bagaimana harus membalas kebaikan ini.”

“Hah, menarik, caramu bicara ini sungguh menarik, tidak percuma aku memujimu, “seru Li Toa-jui dengan tertawa.

Mendadak Pek Khay-sim menyela, “Tapi, anak muda, jangan kau tertipu oleh mereka. Bahwa mereka menarik kau masuk komplotan, tujuan mereka cuma ingin menyuruhmu bekerja sesuatu bagi mereka.”

Dasar “merugikan orang lain tidak perlu menguntungkan diri sendiri”, sejak tadi Pek Khay-sim diam saja, sekali buka mulut dia lantas mengacau.

Dengan tertawa Ti Kiau-kiau mengomel, “Anjing memang tidak lupa makan najis, mana bisa mulut anjing tumbuh gading. Jangan kau percaya pada ocehannya.”

“Justru yang kukatakan adalah sejujurnya,” seru Pek Khay-sim dengan mendelik, “Jika kau tidak turut nasihatku, maka kau sendiri pasti bakal celaka.”

“Maksud baik Cianpwe sudah tentu kuterima,” ujar Giok-long dengan tersenyum. “Tapi jika Cayhe ada kesempatan bekerja bagi para Cianpwe, ini kan suatu penghargaan bagiku. Nah, ada petunjuk apakah, silakan para Cianpwe katakan saja.”

Dengan tersenyum To Kiau-kiau lantas berkata, “Ada seorang tokoh persilatan yang maha lihai, namanya Gui Bu-geh, di pegunungan inilah tempat tinggalnya, kukira kau pun tahu hal ini. Tapi apakah kau tahu di liang tikusnya itu sekarang telah kedatangan seorang tamu agung?”

Seketika lenyap air muka Kang Giok-long yang tersenyum-senyum tadi demi mendengar yang dipersoalkan adalah Gui Bu-geh. Ia berdehem-dehem beberapa kali, lalu menjawab, “Jika di dunia ini ada orang yang tidak ingin kukenal, maka orang itu ialah Gui Bu-geh. Biar pun manusia di dunia sudah mampus seluruhnya juga Cayhe tidak mau bergaul dengan dia. Apakah liangnya sekarang kedatangan tamu agung atau tidak, sama sekali aku tidak mau tahu dan juga tidak ingin tahu.”

“Cuma sayang, tamu agungnya itu justru kau kenal,” tukas Kiau-kiau.

Melengak juga Kang Giok-long, ia menegas, “Kukenal? Mana bisa kukenal dia?”

“Selama hidup Gui Bu-geh tidak mempunyai kawan, sekali pun sesama anggota Cap-ji-she-shio mereka juga sama takut padanya, asal melihat dia tentu lekas-lekas menghindarinya,” tutur Kiau-kiau.

“Ya, kan ada pemeo yang mengatakan, ‘tikus lalu di jalan, setiap orang ingin memukulnya’. Pernah juga Cayhe melihat orang yang suka bergaul dengan kawanan ular atau binatang buas, tapi orang yang suka berkawan dengan tikus mungkin tiada seorang pun,” kata Giok-long dengan tertawa.

“Kau salah,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa, “Orang yang berkawan dengan tikus juga ada satu.”

“Oya?!” Giok-long melenggong.

“Sebenarnya tidak mengherankan kalau orang itu suka berkawan dengan Gui Bu-geh, yang aneh adalah dia dapat membikin Gui Bu-geh berkawan dengan dia.”

“Ya, malahan dia berhasil membujuk Gui Bu-geh sehingga mau menuruti segala kehendaknya, padahal selama hidup Gui Bu-geh tidak pernah sebaik ini terhadap orang lain,” sambung Li Toa-jui.

“Wah, jika demikian, kepandaian saudara ini sungguh luar biasa,” ujar Giok-long dengan tertawa.

“Apakah kau tahu siapa gerangan orang itu?” tanya To Kiau-kiau.

Berputar biji mata Kang Giok-long, jawabnya, “Memangnya orang itu ada sangkut-pautnya dengan diriku?”

“Bukan saja ada sangkut-pautnya, bahkan sangat erat hubunganmu dengan dia,” tukas Kiau-kiau.

Akhirnya tertampil juga rasa kejut dan heran pada wajah Kang Giok-long, katanya, “Sungguh Cayhe tidak ingat bilakah punya sahabat yang berkepandaian sehebat itu.”

“Hihi, siapa bilang dia itu sahabatmu?” kata To Kiau-kiau dengan tertawa. “Kau memang tidak mempunyai sahabat yang berkepandaian tinggi, tapi kau mempunyai bapak yang berkepandaian mahasakti, masa kau lupa?”

Baru sekarang Kang Giok-long benar-benar melengak, ia menegas, “Jadi kau maksudkan ayahku?”

“Betul,” jawab Kiau-kiau, “Tamu agung Gui Bu-geh itu ialah Kang-lam-tayhiap Kang Piat-ho.”

Giok-long melenggong sejenak, katanya kemudian dengan gegetun, “Sungguh tak tersangka ayahku bisa bersahabat dengan Gui Bu-geh.” Meski dia berucap dengan rasa menyesal tapi sorot matanya jelas menampilkan rasa senang.

“Memangnya apa jeleknya kalau bersahabat dengan Gui Bu-geh?” kata To Kiau-kiau, “Mempunyai sandaran sekuat Gui Bu-geh, sekali pun Ih-hoa-kiongcu hendak mencari perkara padanya juga tidak perlu takut lagi.”

Saking senangnya hampir saja Giok-long tertawa, ia coba bertanya pula, “Jika demikian, lalu para Cianpwe bermaksud menyuruh Cayhe mengerjakan apa?”

“Karena ayahmu adalah tamu agung Gui Bu-geh, jika kau pun hadir ke sana, dengan sendirinya kau pun akan dilayani sebagai tamu terhormat,” tutur Kiau-kiau. “Sebab itulah, kami ingin kepergianmu ke liang tikus itu untuk melakukan sesuatu bagi kami.”

“Asalkan tenaga Cayhe sanggup menyelesaikannya, silakan saja Cianpwe memberi petunjuk,” kata Giok-long tanpa pikir.

“Begini,” ucap Li Toa-jui setelah saling pandang sekejap dengan To Kiau-kiau, “Jika kau telah menjadi tamu terhormat di tempat Gui Bu-geh, dengan sendirinya kau boleh bebas bergerak di liangnya sana...”

“O, apakah Cianpwe menghendaki kucari tahu sesuatu urusan?” sela Giok-long.

“Betul,” kata Li Toa-jui sambil berkeplok tertawa. “Bicara dengan orang-orang yang berotak encer seperti kau ini sungguh sangat menyenangkan.”

“Lantas urusan apakah itu?” tanya Giok-long.

Kembali Li Toa-jui saling pandang sekejap dengan To Kiau-kiau, lalu To Kiau-kiau menyambung, “Sebenarnya juga bukan sesuatu urusan yang penting, soalnya kami mempunyai beberapa buah peti yang konon jatuh di tangan Gui Bu-geh, maka kami ingin kau memeriksa tempatnya itu apakah peti kami betul berada di sana atau tidak? Jika memang betul di sana, disimpan di mana? Kemudian kami akan berusaha mengeluarkan peti-peti itu.”

Sinar mata Kang Giok-long tampak berkilat-kilat, nyata dia sangat tertarik oleh urusan ini, namun wajahnya berlagak tidak begitu mengacuhkan persoalan ini, katanya dengan hambar, “Bagaimanakah bentuk beberapa buah peti itu? Apa isinya?”

“Haha, hanya beberapa buah peti rongsokan saja,” tukas Ha-ha-ji, “Warnanya hitam, tampaknya besar dan berat, namun peti yang besar dan berat begitu pasti tidak dimiliki orang lain. Sebab itulah sekali pandang segera kau akan mengenalnya.”

“Apakah kosong peti-peti itu?” tanya Giok-long.

“Semula peti-peti itu berisi benda berharga. Tapi bisa jadi isinya sudah lama diambil oleh Gui Bu-geh,” tutur Kiau-kiau.

“Jika peti sudah kosong, untuk apa para Cianpwe mencarinya lagi dengan susah payah?”

Kiau-kiau menghela napas menyesal, ucapnya, “Bagi orang lain mungkin cuma beberapa buah peti rongsokan saja, tapi bagi kami peti-peti itu adalah mestika yang sukar dinilai.”

Semakin mencorong sinar mata Kang Giok-long, ia menegas, “Mestika yang sukar dinilai?”

“Haha, namun mestika yang sukar dinilai ini justru sukar dijual biar pun diobral,” sambung Ha-ha-ji dengan tertawa. “Soalnya semua peti itu ada kelainan pada catnya, makanya bagi penilaian kami menjadi mestika yang sukar dicari.”

“Catnya ada kelainan? Memangnya di mana letak keistimewaannya yang sukar dinilai harganya?” tanya Giok-long.

“Apakah kau tahu cat peti-peti itu dibuat dari apa?” tanya Kiau-kiau, sebelum Giok-long menjawab segera ia menyambung pula, “Yaitu campuran dari darah manusia, cat peti-peti itu dicampur dengan darah musuh kami. Cap-toa-ok-jin kini sudah cukup tua sehingga semangat jantan di masa lampau sudah mulai luntur, hanya beberapa buah peti itu saja masih dapat mengingatkan kami kepada masa jaya di waktu yang lalu. Sebab itulah, apa pun juga peti-peti itu tidak boleh jatuh di tangan orang lain.”

“Ya, bila mana kami ingin menegakkan kembali nama Cap-toa-ok-jin, maka beberapa peti itu harus kami temukan kembali,” seru Li Toa-jui dengan kereng.

Kang Giok-long seperti terkesima dan tidak bersuara.

“Apa bila cuma benda mestika biasa, betapa pun banyaknya tentu takkan kami pikirkan, apalagi sudah jatuh di tangan Gui Bu-geh,” ujar To Kiau-kiau. “Untuk apa kami mesti mengganggu si tikus, umpama perlu uang, apa susahnya jika kami mau merampok?”

“Namun bila peti-peti itu hilang, maka tamat pula riwayat Cap-toa-ok-jin,” seru Li Toa-jui dengan bersemangat. “Makanya, saudara cilik, apa pun juga kau harus membantu kami, jasamu pasti takkan kami lupakan.”

Giok-long menunduk tanpa bicara, ia memandang tangan sendiri seakan-akan selama hidup tak pernah melihat tangannya ini.

“Adik cilik, masa kau tidak percaya keterangan kami ini?” tanya Li Toa jui.

Baru sekarang Kang Giok-long tertawa, jawabnya, “Ucapan Cianpwe sedemikian sungguh-sungguh, Cayhe sangat terharu, masa tidak percaya, hanya saja...”

“Hanya apa?” tanya Li Toa-jui.

“Jika beberapa peti itu toh tidak bernilai bagi orang lain, tentu juga Gui Bu-geh tidak menghiraukannya, kalau harta bendanya sudah diambilnya, bisa jadi peti-peti itu sudah dibuang olehnya.”

“Kami pun pernah memikirkan hal ini,” ucap To Kiau-kiau. “Makanya, apa bila betul Gui Bu-geh telah membuang peti-peti itu maka hendaklah adik cilik menyelidikinya ke mana peti-peti itu telah dibuangnya.” Ia tertawa, lalu menyambung pula, “Sekarang kita sudah orang sendiri, tentunya kami takkan membikin adik cilik berjerih payah percuma, asalkan usahamu berhasil, kami pasti akan memberi hadiah berlaksa tahil emas serta beberapa perempuan cantik bagimu, bahkan kami tanggung akan menjaga rahasia bagimu.”

Air muka Giok-long tampak sangat senang, katanya, “Apakah Cianpwe menghendaki sekarang juga kupergi?”

“Sudah tentu, makin cepat makin baik,” kata Kiau-kiau dengan tertawa.

“Lalu dia...” Kang Giok-long melirik ke atas pohon.

“Apakah kau sangat cinta padanya?” tanya Kiau-kiau dengan tertawa.

“Tentunya Cianpwe tahu, Cayhe bukanlah seorang yang mudah jatuh cinta, soalnya dia...”

“Dia murid Ih-hoa-kiong, makanya kau merasa bangga karena dapat berpacaran dengan dia, bisa jadi kelak kau akan dapat memperalat dia untuk mengadakan hubungan baik dengan Ih-hoa-kiong, begitu bukan?” setelah tertawa genit, lalu To Kiau-kiau menyambung lagi, “Lantaran inilah, maka kau merasa berat untuk meninggalkan dia?”

“Kalau Cianpwe sudah berkata demikian, tiada gunanya lagi sekali pun Cayhe menyangkalnya,” kata Giok-long dengan tertawa.

“Tapi sekarang tentunya kau tahu berada bersama dia hanya akan mendatangkan kesukaran saja dan tiada faedahnya.”

Giok-long menghela napas, katanya, “Seumpama ada faedahnya juga tidak sebanyak kesukarannya.”

“Ya, asal tahu saja,” ucap Kiau-kiau tertawa. “Apalagi, biar pun dia cukup cantik dan menggiurkan, tapi setelah usahamu berhasil, kujamin akan mencarikan bagimu sepuluh gadis yang jauh lebih memikat dari pada dia.”

Lalu dia berbisik-bisik di tepi telinga Kang Giok-long dengan tertawa ngikik, “Malahan sebelumnya akan kuajari mereka beberapa resep cara bagaimana akan membikin senang padamu di tempat tidur.”

Tak terkatakan gembira Kang Giok-long, katanya dengan tertawa, “Jika demikian, baiklah sekarang juga Cayhe lantas berangkat. Cuma, setelah urusan berhasil, cara bagaimana akan kuadakan kontak dengan para Cianpwe?”

“Pokoknya, berhasil atau tidak usahamu, tiga hari lagi boleh kau perlihatkan dirimu di mulut gua, dengan sendirinya kami akan mencari akal untuk bicara denganmu,” kata Kiau-kiau.

“Baiklah, kita putuskan demikian, sampai berjumpa,” habis berkata, secepat terbang Kang Giok-long lantas lari pergi tanpa memandang lagi kepada Thi Peng-koh.

Setelah anak muda itu pergi jauh, dengan berkerut kening Li Toa-jui berkata, “Begitu cepat cara pergi bocah itu, kukira rada-rada tidak beres.”

“Haha, dia kan takut kalau Ih-hoa-kiongcu datang lagi membikin perhitungan dengan dia, makanya cepat-cepat hendak bersembunyi ke liang tikus sana,” kata Ha-ha-ji.

“Hm, mimpilah kalian jika kalian mengira dia percaya penuh pada apa yang kita katakan dan dia benar-benar mau berusaha menemukan peti-peti kosong itu,” jengek Pek Khay-sim.

“Apa yang kukatakan kan masuk di akal dan beralasan, masa dia tidak percaya,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa. Apalagi bocah itu selain tamak harta juga kemaruk perempuan, berlaksa tahil emas dan sepuluh gadis cantik masa tidak dapat menggoyahkan pikirannya?”

“Seumpama dia berhasil menemukan peti itu juga belum tentu mau menyerahkannya kepada kalian,” ucap Khay-sim.

“Tidak diserahkan pada kita, apa gunanya peti-peti kosong itu baginya?” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.

“Betul, haha,” sambung Ha-ha-ji, “Bocah ini cukup pintar, peti kosong ditukar dengan emas dan gadis cantik, masa dia tidak mau?”

Tertawa juga akhirnya Pek Khay-sim, katanya, “Tapi setelah tukar-menukar, pasti akan kukatakan padanya apa gunanya peti-peti kosong itu, akan kulihat bagaimana air mukanya waktu itu.”

“Hahaha, waktu itu air mukanya pasti akan lebih buruk dari pada pantatmu,” tukas Ha-ha-ji.

Menyinggung pantat, segera pandangan Pek Khay-sim beralih ke atas pohon, katanya sambil tertawa, “Hei, nona cilik, angin di atas sana cukup kencang, apakah kau tidak takut masuk angin?”

Namun Thi Peng-koh belum lagi siuman, maka dia tidak menjawab.

Li Toa-jui berkerut kening dan berkata, “Di punggungmu sekarang terpanggul satu, memangnya kau mengincar lagi yang lain?”

“Nona cilik ini sebatang kara, sial lagi ketemu kekasih yang berbudi rendah, sungguh kasihan, siapa lagi yang akan menghiburnya jika bukan aku?” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Bagus, boleh lekas kau menghiburnya,” tukas To Kiau-kiau. “Tapi bila Ih-hoa-kiongcu datang jangan kau salahkan kami tidak mau membantumu.”

Pek Khay-sim berdehem, ucapnya kemudian, “Bicara terus terang, gadis menderita seperti dia sukar juga bagiku untuk menghiburnya. Apalagi di karung goni yang kupanggul ini sudah ada satu, meski usianya agak lanjut, tapi jahe kan selalu lebih pedas yang tua dan juga lebih keras.”

“Hihi, rupanya baru sekarang kau paham seluk-beluk lelaki dan perempuan,” kata Kiau-kiau dengan tertawa genit, “Cuma sayang, lelaki justru harus lebih baik yang muda dan kuat, kalau tidak -.”

“Untung usiaku sudah agak lanjut, kalau tidak bila sampai dipenujui kau, wah, bisa repot,” tukas Pek Khay-sim dengan tergelak.

“Repot apa?” To Kiau-kiau menegas dengan mendelik.

“Kerepotan lain sih tidak ada, cuma sukar membedakan dalam hari-hari apa kau adalah lelaki dan hari apa kau jadi perempuan, jika salah waktu kan berbahaya,” jawab Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Bagus, bagus, tak tersangka orang bodoh macam kau juga dapat mengutarakan pikiran sebagus ini,” seru Li Toa-jui sambil berkeplok tertawa. “Apa mungkin akhir-akhir ini kau telah terpengaruh oleh ajaranku?”

“Ya, mungkin akhir-akhir ini Siaute selalu berkumpul bersama Li-heng, kata peribahasa, dekat dengan gincu bisa ketularan merah. Mungkin karena itulah cara berpikirku lantas meniru gaya Li-heng,” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.

Padahal antara Pek Khay-sim dan Li Toa-jui adalah musuh bebuyutan, meski keduanya sama-sama terhitung anggota Cap-toa-ok-jin, tapi jarang mereka bertemu, jika bertemu kalau tidak ribut mulut tentu juga berkelahi.

Musuh Pek Khay-sim di dunia Kangouw juga cukup banyak, lantaran Li Toa-jui, dia lebih suka kian kemari seperti anjing geladak dari pada menyingkir ke Ok-jin-kok. Kini dia bicara demikian, Li Toa-jui jadi melengak malah.

Dengan tertawa Pek Khay-sim berkata pula, “Akhir-akhir ini, bukan saja cara bicaraku telah kena terpengaruhnya Li-heng, bahkan nafsu makanku juga mulai berubah, ikan daging bagiku terasa tidak dapat memuaskan, Hi-sit (sirip ikan) dan Yan-oh (sarang burung) juga terasa hambar, sedikit pun tidak dapat memuaskan seleraku. Sebab itulah Siaute jadi kepingin mencicipi daging manusia.”

“Tampaknya kau tidak cuma paham seluk beluk antara lelaki dan perempuan, malahan soal makan juga sudah mulai paham," ujar Li Toa-jui.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar