Bahagia Pendekar Binal Jilid 05

“Akan tetapi rasanya tidak mudah jika kita ingin menjaring ikan kecil itu,” kata Pek-hujin dengan ragu-ragu.

“Untuk menjaringnya tentunya diperlukan peranan Pek-toaso,” ujar Oh Yok-su sambil terbahak-bahak.

Pek-hujin tersenyum genit sambil melirik, katanya, “Jangan khawatir, semakin nakal lelaki itu semakin mahir aku menundukkannya.”

********************

Di ruangan sana Hoa Bu-koat masih duduk termenung-menung seperti patung.

Waktu Kang Giok-long dan Thi Peng-koh masuk ke situ, di luar sana Oh Yok-su dan Pek San-kun sedang asyik memperbincangkan betis Thi Peng-koh yang indah. Mendengar ocehan mereka yang rendah itu, hampir saja Peng-koh meneteskan air mata.

Dengan tertawa Kang Giok-long menghiburnya, “Sebenarnya yang paling menyedihkan kau wanita ialah bila mana kaum lelaki tidak tertarik padanya. Sekarang beberapa orang itu sama kesengsem padamu, seharusnya kau merasa bangga dan bergembira, kenapa kau malah sedih?”

“Apakah kau tidak... tidak bisa bicara sebagai manusia yang layak?” damprat Thi Peng-koh pedih.

“Maksudku hanya untuk menghiburmu saja, bila mana mengalirkan air mata toh tiada gunanya, maka sebaiknya jangan mengeluarkan air mata,” ujar Kang Giok-long dengan gegetun. Nyata ia benar-benar mengucapkan kata-kata manusia yang layak.

Mendadak Thi Peng-koh memegang tangan Giok-long dengan erat, serunya dengan parau, “Mengapa kesempatan ini tidak kita gunakan untuk lari?”

“Kau kira aku dapat lari?” Giok-long menyengir.

“Akan kugendong kau,” kata Peng-koh.

“Jika kau sendiri mungkin dapat lari beberapa li jauhnya, tapi toh pasti akan tertawan kembali. Jika lari dengan menggendong diriku, paling jauh kau hanya dapat mencapai setengah li saja.”

“Betapa pun kita kan dapat mencobanya,” kata Thi Peng-koh.

“Sesuatu yang jelas-jelas tiada manfaatnya selamanya takkan kucoba,” jawab Giok-long dengan perlahan.

“Habis, apa ke... kehendakmu?” tanya Peng-koh.

“Tunggu, tunggu kesempatan. Bersabar, bersabar, sedapatnya…” tiba-tiba saja Giok-long tertawa, lantas menyambung. “Tahukah kau, kepandaian bersabar demikian, mungkin di seluruh dunia ini tiada seorang pun yang dapat menandingiku.”

Ucapannya ini memang bukan bualan, ia memang benar-benar bisa tahan segala siksa derita, sanggup bersabar dan bila perlu juga kejam dan keji, kalau tidak tentu sejak dulu-dulu dia mati di istana bawah tanah milik Siau Mi-mi.

Peng-koh menunduk dan tidak bersuara pula.

Sekonyong-konyong Giok-long tertawa kepada Hoa Bu-koat, katanya, “Meski dahulu kita pernah bermusuhan, tapi sekarang kita menghadapi musuh bersama, jadi senasib. Apalagi sejak mula sebenarnya kita adalah sahabat baik.”

Hoa Bu-koat hanya mendelik saja, hakikatnya ia tidak tahu apa yang dikatakan Kang Giok-long.

Dengan tertawa Kang Giok-long berkata pula “Di depanku mengapa kau berlagak pilon segala. Kutahu kau cuma pura-pura saja, meski kau dapat mengelabui orang lain, tapi tidak dapat mengelabui diriku.”

Namun Bu-koat tetap diam saja dan tidak menggubris.

“Tak tersangka kau adalah orang sepintar ini,” ujar Giok-long dengan tertawa. “Jika kau tidak pura-pura dungu begini, mereka pasti akan berdaya upaya untuk memaksamu menuturkan rahasia Ih-hoa-ciap-giok dan tentu kau yang akan susah.”

Akan tetapi Hoa Bu-koat tetap bungkam seribu bahasa, bahkan berkedip saja tidak.

“Mungkin kau menyesali dirimu sendiri karena telah menceritakan rahasia itu kepada budak she So, kau menyesal telah usil mulut pula hingga sekarang!’

Tapi wajah Bu-koat masih tetap kaku seperti patung, sedikit pun tiada perubahan.

Tiba-tiba Giok-long berkata kepada Thi Peng-koh, “Coba kau memeriksanya, apakah harimau betina itu telah menutuk Hiat-tonya?”

Thi Peng-koh mendekati Hoa Bu-koat, kemudian berkata, “Hok-toh-hiat dan Thay-hong-hiat di kaki dan tangannya tertutuk.”

Bila mana kedua tempat Hiat-to tersebut tertutuk, maka sekujur badan orang akan lumpuh total.

“Nah, kau dengar tidak? Nyata Pek San-kun suami istri masih khawatir atas dirimu, makanya Hiat-tomu ditutuk,” kata Giok-long. “Apa bila kau benar-benar tidak waras, tentu mereka takkan menutuk Hiat-tomu.”

“Jika dia tidak paham apa yang kau katakan, untuk apa kau bicara terus-menerus?” omel Peng-koh.

“Peduli dia paham atau tidak, tetap aku akan bicara padanya,” ujar Giok-long. Lalu ia menyambung pula, “Asalkan kau mau memberitahukan padaku satu dua bagian ilmu Ih-hoa-ciap-giok, segera akan kubuka Hiat-tomu agar kau dapat melarikan diri.”

“Kau ini memang aneh, seumpama dia paham perkataanmu, apakah dia mau memberitahukan rahasia ilmu sakti itu padamu?” ucap Peng-koh.

“Bila kuminta seluruh rahasia ilmu itu tentu dia tidak mau, tapi aku cuma minta satu dua bagian saja untuk menukar jiwanya, kan setimpal?”

“Tapi... tapi seumpama dia cuma pura-pura linglung, mungkin tenaga untuk lari juga tidak ada lagi.”

“Dengan ilmu silatnya yang tinggi, biar pun sebagian besar tenaganya sudah terbuang juga masih kuat untuk melarikan diri. Apalagi aku pun dapat merintangi Pek San-kun suami istri baginya.”

Sembari bicara Kang Giok-long terus-menerus melirik wajah Hoa Bu-koat. Namun anak muda itu tetap kaku saja seperti patung, seperti orang tuli yang tidak mendengar sama sekali.

Giok-long menghela napas panjang, ucapnya, “Baiklah, jika kau tidak percaya padaku, nanti kalau kesempatanku sudah tiba, tentu kau pun akan jatuh di tanganku, tatkala mana...” belum habis ucapannya, mendadak ia mengerang kesakitan.

Kiranya pada saat itu Pek San-kun suami istri dan Oh Yok-su telah muncul. Pek-hujin langsung mendekati Kang Giok-long dan bertanya dengan tersenyum genit. “Sampai sekarang kau masa kesakitan?”

“Ya, sakit... sakit sekali,” jawab Giok-long sambil meringis.

Perlahan Pek-hujin memijat-mijat kedua pundak Giok-long, ucapnya dengan lembut, “Begini apakah masih sakit?”

“Sa... sakit, masih sakit, cuma... cuma rasanya sudah... sudah mendingan...” belum habis ucapannya, sekonyong-konyong ia menjerit seperti babi hendak disembelih.

Rupanya sepasang tangan Pek-hujin yang memijat Kang Giok-long itu mendadak sudah mengerahkan tenaga murni yang kuat.

Padahal rasa sakit Kang Giok-long itu sebagian cuma pura-pura saja, meski pun sebagian memang sungguh-sungguh, yaitu akibat dikerjai oleh So Ing. Kini tenaga murni Pek-hujin disalurkan sekuatnya melalui Hiat-to di kedua pundaknya, maka seketika Kang Giok-long merasa sekujur badan seperti ditusuk jarum, ruas tulang serasa rontok semua.

Tetapi Pek-hujin tetap tersenyum simpul dan bertanya pula dengan lembut, “Bagaimana, apakah sudah enakan sekarang?”

“O, moh... mohon jangan...” demikian Giok-long merintih kesakitan.

Thi Peng-koh lantas menerjang maju, tapi sekali raih Pek San-kun berhasil memegang tangannya terus ditelikung, katanya sambil menyeringai, “Nona baik, apakah kau cemburu juga?”

Dengan suara serak Thi Peng-koh berteriak, “Dia kan tidak bersalah padamu, meng... mengapa kau menyiksanya cara begini?”

“O, kau ikut merasa sakit?” tanya Pek-hujin.

“Jika kalian perlakukan begini padanya, silakan kalian bunuh dulu diriku,” teriak Thi Peng-koh.

“Aku kan cuma memijat dia, begitu saja kau merasa sakit hati, kalau kubunuh dia, bukankah kau bisa gila?” kata Pek-hujin dengan tertawa.

Padahal sekarang pun Peng-koh sudah hampir gila, dengan histeris dia berteriak, “Kalian tidak... tidak boleh...”

“Apakah kau ingin kami lepaskan dia?” tanya Pek-hujin.

Dengan cepat Peng-koh mengangguk.

“Baik, asalkan kau berjanji akan bantu berbuat sesuatu bagi kami, segera akan kubebaskan dia,” ucap Pek-hujin dengan perlahan.

Tanpa pikir Thi Peng-koh lantas menjawab, “Baik, kuterima, kuterima...”

“Apa pun yang harus kau lakukan pasti akan kau laksanakan?” tanya Pek-hujin.

“Ya, asalkan kalian melepaskan dia, apa pun akan kulakukan bagimu,” jawab Peng-koh.

Pek-hujin menghela napas, gumamnya, “Sungguh tidak tersangka bahwa cinta antara laki-laki dan perempuan mempunyai kekuatan sebesar ini.”

Akhirnya dia melepaskan tangannya, perlahan ia mencolek pipi Kang Giok-long dan berkata pula dengan tertawa, “Anak muda, tampaknya kau memang boleh, dapat membuat seorang perempuan mati-matian setia padamu, kepandaianmu ini sungguh tidak kecil.”

Tiba-tiba Oh Yok-su tertawa dan berkata, “So Ing jauh lebih tergila-gila pada ikan kecil itu dari pada anak dara ini.”

“Jika begitu, jalan yang kita tempuh ini pasti dapat dilaksanakan,” ujar Pek San-kun.

“Ya, begitulah,” kata Oh Yok-su.

Pek-hujin melototi sang suami, ucapnya, “Masa akal yang kuatur bisa gagal?”

“Betul, betul, akal bagus Hujin selamanya tidak pernah gagal,” sanjung Pek San-kun dengan tertawa.

“Sekarang kau tinggal saja di sini, kedua bocah ini kuserahkan padamu,” kata Pek-hujin.

“Baik, jangan khawatir,” jawab Pek San-kun.

Thi Peng-koh masih menangis sambil mendekap di punggung Kang Giok-long, Pek-hujin menariknya bangun dan berkata, “Ayolah ikut pergi bersamaku... Tapi ingat, jika kau tidak turut perintah dan menggagalkan urusan kami, maka berarti kekasihmu akan mati akibat perbuatanmu sendiri.”

********************

Di tempat lain Siau-hi-ji sedang kelabakan seperti kebakaran jenggot lantaran khawatir bagi keselamatan Hoa Bu-koat. Akan tetapi ia tidak berjalan dengan cepat. Ia tahu berjalan cepat juga tiada gunanya, kalau berjalan terlalu cepat mungkin malah akan melalaikan hal yang seharusnya perlu diperhatikan. Padahal sekarang dia harus mencari setiap petunjuk, setiap tanda, betapa pun kecilnya petunjuk itu.

Malam sudah lalu, fajar telah menyingsing, tapi kabut masih meliputi lembah pegunungan ini, pandangan masih sukar mencapai jauh, dedaunan pohon di kejauhan seakan-akan mengambang di tengah gumpalan awan dan kabut tanpa kelihatan dahan pohon.

Tanda-tanda rahasia yang kemungkinan ditinggalkan Ha-ha-ji, Li Toa-jui dan lain-lain kini sukar lagi ditemukan. Tentunya terlebih sulit lagi bila mana ingin mencari jejak yang ditinggalkan tokoh persilatan kelas tinggi.

Tapi semakin sulit persoalan yang dihadapi Siau-hi-ji, semakin tekun dan semakin sabar dia.

Lebih dulu ia mendapatkan sebuah sungai kecil, dengan air sungai yang jernih itu ia cuci muka sambil menenangkan pikirannya, ia mengatur pernapasan sejenak untuk mengetahui luka sendiri apakah sudah sembuh.

Perlu diketahui bahwa lukanya sebenarnya tidak terlalu parah, yang lihai adalah racun yang dideritanya. Tapi setelah mengatur pernapasan dan bergerak badan sejenak, ia merasa kesehatannya tiada ubahnya seperti sebelum terluka, hanya terlalu lama tergantung sehingga langkahnya rada enteng rasanya.

Diam-diam ia tersenyum dan bergumam sendiri, “Budak itu melukiskan lukaku sedemikian berat, kutahu dia cuma menakuti aku agar aku tidak meninggalkan dia... Ai, perempuan, dasar perempuan. Barang siapa suka percaya kepada ucapan perempuan, maka selama hidupnya pasti akan diperbudak kaum perempuan.”

Tapi bila teringat kepada kelembutan So Ing dan cinta kasihnya, mau tak mau hatinya terasa manis juga. Betapa pun, kalau seseorang telah dicintai orang lain, maka hal ini baginya adalah sesuatu yang menggembirakan.

“Liang tikus” kediaman Gui Bu-geh terletak di suatu gua yang sangat tersembunyi di sebelah barat sana. Walau pun Siau-hi-ji tidak pernah kenal apa artinya takut, tapi dia baru saja terjungkal di tangan gembong Cap-ji-she-shio itu, rasanya masih ngeri, maka dia belum berani menuju lagi ke jurusan barat.

Ia duduk di atas batu besar di tepi sungai dengan termangu-mangu, ia tidak tahu ke mana dirinya harus menuju untuk mencari Hoa Bu-koat.

Pada saat itulah tiba-tiba dilihatnya dari hulu sungai sana ada sesuatu benda merah mengalir tiba terbawa arus.

Kalau Siau-hi-ji tidak melalaikan setiap petunjuk yang dicari, kini dengan sendirinya ia pun tidak mau membiarkan benda merah itu lalu begitu saja. Segera ia ambil sepotong tangkai kayu, ia melompat ke atas batu di depan sana, benda merah itu digaetnya ke atas.

Kiranya benda merah ini adalah sebuah gaun orang perempuan, gaun merah bersulam bunga yang indah, tampaknya milik wanita keluarga berada. Cuma bagian pinggang gaun itu sudah terobek seperti ditarik dengan paksa.

Siau-hi-ji berkerut kening, pikirnya, “Di pegunungan sunyi begini, mengapa ada perempuan yang memakai gaun sebagus ini? Apakah perempuan ini kepergok orang jahat?”

Tadinya ia menyangka pasti perbuatan anak murid Gui Bu-geh. Tapi tempat Gui Bu-geh terletak di sebelah barat, sedangkan hulu sungai di arah timur-laut, jadi tidak cocok jurusannya.

Pada saat itu kembali di atas arus sungai mengambang pula sesuatu benda, juga berwarna merah. Sesudah dekat, rupanya sebuah sepatu bersulam kaum wanita.

Dengan tertawa Siau-hi-ji mengomel, “Keparat, sudah menanggalkan gaun orang, sepatu orang juga dicopotnya? Memangnya ingin mencium kakinya yang berbau busuk itu?”

Kini Siau-hi-ji dapat memastikan bahwa urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan Hoa Bu-koat, sebab Bu-koat tidak bergaun merah juga tak mungkin melepaskan sepatu orang lain. Namun Siau-hi-ji sendiri jadi ingin tahu, juga rasa keadilannya tergugah, ia merasa si penjahat atau si pemerkosa itu terlalu kurang ajar, betapa pun harus dihajar adat supaya kapok.

Di tepi sungai banyak berserakan batu-batu besar, di atas batu penuh lumut hijau dan sangat licin, tapi dengan Ginkang Siau-hi-ji tentunya dia tidak perlu takut akan tergelincir jatuh. Dia terus melompat dari satu batu ke batu yang lain. Setelah beberapa tombak jauhnya, dari air sungai dijemputnya pula sebuah beha atau baju kutang orang perempuan berwarna merah bersulaman bunga pula, cuma kutang ini pun sudah terobek.

“Bangsat,” Siau-hi-ji memaki dalam hati, “Sungguh kelewatan perbuatanmu ini? Meski sebagian besar perempuan bukan barang baik, tapi lelaki yang mengganggu perempuan terlebih bukan barang yang baik.”

Ia terus maju lagi ke depan, kembali arus sungai membawa tiba pula sebuah kutang lagi, cuma warna kutang itu hijau muda, juga terobek hancur.

“Hah, kiranya tidak cuma satu, tapi ada dua perempuan,” seru Siau-hi-ji tanpa terasa.

Tapi dia lantas berhenti di situ malah.

Kalau ada seorang perempuan diganggu segera ia hendak menolongnya, tapi kalau dua orang perempuan diganggu, mengapa ia berbalik berhenti di situ?

Sebabnya mendadak ia merasakan hal ini rada janggal. Di pegunungan terpencil ini tidak mungkin ada dua perempuan yang bergaun sebagus ini, di kota saja sukar ditemukan perempuan bergaun mewah begini.

Pada saat itulah dari hulu sungai sana tiba-tiba berkumandang suara jeritan orang ketakutan. Suara nyaring melengking, jelas memang suara perempuan.

Sambil berdiri di atas batu Siau-hi-ji melenggong lagi sejenak. Tersembul senyuman aneh pada ujung mulutnya, gumamnya, “Perempuan, O, perempuan... mengapa ke mana pun kupergi selalu bertemu dengan perempuan yang aneh-aneh?”

Di ujung hulu sana menjulang sebuah puncak bukit, air terjun tampak menuang ke bawah dengan derasnya dan di bawahnya tepat ada sepotong batu raksasa yang menahan gerujukan air terjun itu.

Air terjun menimpa batu raksasa itu sehingga muncrat tinggi dan jatuh ke dalam sungai.

Dipandang dari jauh, baik pagi maupun siang atau petang, tentu saja sekitar sini kelihatan diliputi kabut dengan air yang berhamburan dan menjadikan pemandangan yang indah. Inilah pemandangan indah ciptaan alam dan tidak mungkin dibuat oleh tangan manusia.

Tapi pada saat itu juga, di atas batu raksasa itu terdapat dua perempuan dengan tubuh yang hampir telanjang bulat. Hamburan air terjun itu menggerujuki badan mereka, tenaga jatuhnya air itu jelas sangat keras.

Tampaknya kaki mereka yang panjang putih itu telah mengejang karena siraman air terjun itu, rambut mereka pun kusut masai.

Sampai di sini Siau-hi-ji jadi melenggong. Pemandangan yang mengerikan ini penuh daya tarik yang kotor pula dan cukup membuat wajah setiap lelaki yang memandangnya akan merah, hati pun berdebar-debar dan sukar menguasai perasaannya.

“Perbuatan siapakah ini? Sungguh gila orang “ini!” demikian Siau-hi-ji bergumam sendiri.

Didengarnya kedua perempuan itu sedang berkeluh kesah, agaknya mereka pun tahu ada orang datang, segera mereka menjerit dengan suara gemetar, “To... tolong...”

“Apakah kalian tak dapat bergerak?” seru Siau-hi-ji dari kejauhan.

“Tolong... tolonglah kami...” demikian perempuan itu memohon pula.

“Siapa yang memperlakukan kalian cara begini? Di mana dia?” tanya Siau-hi-ji.

Perempuan itu seperti sedang bicara, tapi suaranya sangat lemah, sama sekali tak terdengar oleh Siau-hi-ji. Maklum, batu di mana Siau-hi-ji berdiri masih berjarak dua tiga tombak jauhnya dari mereka.

Jarak dua tiga tombak sebenarnya bukan soal bagi Siau-hi-ji, cukup sekali lompat saja dapat dicapainya.

Setiap lelaki yang memiliki Kungfu seperti Siau-hi-ji pasti akan melayang ke sana bila menyaksikan keadaan kedua perempuan itu. Tak peduli lelaki ini orang baik atau jahat pasti takkan tinggal diam. Bila mana lelaki ini orang baik tentu tanpa pikirkan risiko sendiri akan melompat ke sana untuk menolong kedua perempuan itu. Apa bila lelaki ini orang jahat, tentu ia pun tidak tahan oleh pemandangan yang menarik itu, tentu dia akan melompat ke sana untuk mencari keuntungan atas diri kedua perempuan itu.

Andaikan lelaki ini adalah seorang yang cuma mementingkan diri sendiri, atau lelaki ini sudah kakek-kakek yang loyo dan sama sekali tidak punya hasrat lagi terhadap perempuan, paling-paling ia pun akan tinggal pergi saja.

Tapi sekarang Siau-hi-ji justru tidak mau menolong orang dan juga tidak mau tinggal pergi. Ia malahan terus duduk di atas batu dan memandang ke sana dengan terbelalak.

Perbuatannya ini benar-benar luar biasa dan di luar akal sehat, selain dia mungkin di dunia ini tiada orang kedua lagi yang dapat bersikap demikian.

Kedua perempuan bugil yang berada di atas batu raksasa itu dengan sendirinya ialah Pek-hujin dan Thi Peng-koh.

Melihat tindakan Siau-hi-ji itu, Pek-hujin jadi tercengang juga.

Padahal setiap muslihat dan perangkap yang telah diaturnya boleh dikatakan sangat rapi, aneh, lain dari pada yang lain, sampai-sampai sukar untuk dibayangkan. Apa yang telah dirancangnya selalu membawa daya pikat dan sukar untuk dilawan. Sesungguhnya setiap tipu akalnya selama ini belum pernah gagal.

Sekali ini, bahkan ia telah mengatur tipu muslihatnya dengan lebih rapi karena dia tahu yang akan dijebaknya adalah manusia yang sangat pintar dan cerdik. Ia yakin siapa pun juga bila mana habis tergantung di pohon sekian lamanya tentu sudah kehausan dan pasti ingin minum yang banyak, sebab setiap orang pintar pasti akan membuat tenang dulu pikirannya sebelum mengerjakan sesuatu.

Sedangkan di pegunungan sunyi ini, tempat yang ada air minum hanya di sungai kecil ini.

Menurut perhitungan Pek-hujin, asalkan lelaki, apa bila melihat sesuatu benda milik orang perempuan yang hanyut terbawa arus, tentu lelaki itu akan membayangkan di hulu sedang terjadi perkosaan dan pasti akan cepat memburu ke tempat kejadian.

Maka di hulu sungai itulah Pek-hujin menunggu, di situlah dia memperagakan tubuhnya yang masih menggiurkan. Ia yakin tiada seorang lelaki pun di dunia ini yang takkan mendekatinya apa bila melihat pemandangan yang menarik ini.

Tapi ia pun rada khawatir kalau-kalau daya pikat tubuh sendiri yang sudah mulai menginjak ketuaan itu kurang menarik, maka dia sengaja mengikutsertakan Thi Peng-koh.

Dia kenal nama “Siau-hi-ji” dari mulut Kang Giok-long, dengan sendirinya ia pun tahu Thi Peng-koh pernah menyelamatkan jiwa anak muda itu. Maklum, waktu Kang Giok-long datang minta perlindungan kepada mereka suami istri, lebih dulu ia lelah menanyai asal usul Giok-long, lebih-lebih keterangan mengenai anak perempuan yang dibawa Giok-long itu. Pada dasarnya dia memang tidak percaya pada siapa pun juga.

Untuk memperoleh kepercayaan Pek-hujin terpaksa Kang Giok-long menceritakan seluk beluk mengenai diri Thi Peng-koh, sudah barang tentu, Kang Giok-long tidak perlu menyimpan rahasia diri orang lain.

Sebab itulah sekarang Pek-hujin yakin Siau-hi-ji pasti akan mendekati mereka. Di luar dugaan anak muda itu hanya duduk termenung saja di kejauhan.

Tetesan air yang terus-menerus dapat melubangi batu, apalagi tenaga air terjun yang deras. Dengan sendirinya batu raksasa itu telah terguyur menjadi licin dan bulat, hanya bagian tengah atas batu itu saja yang mendekuk, sekeliling batu halus licin dan sukar untuk berdiri di situ.

Pek-hujin dan Thi Peng-koh justru berbaring di bagian batu yang dekuk itu, asalkan Siau-hi-ji melompat ke atas batu untuk menolongnya, sekali mendorong perlahan Siau-hi-ji pasti akan tergelincir ke dalam sungai. Padahal saat itu Oh Yok-su sudah menyelam dan menunggu di dasar sungai, ia bernapas dengan menggunakan setangkai gelagah. Apa bila Siau-hi-ji jatuh ke sungai, maka itu berarti “ikan masuk jaring”.

Maklum, seorang yang jatuh ke dalam air tentu akan kelabakan dan sekujur badan tidak terjaga, kesempatan itu tentu dapat digunakan Oh Yok-su yang telah siap siaga untuk menyergapnya.

Bahwa Pek-hujin sengaja mengatur dirinya d tempat berbahaya ini justru menurut perhitungannya hasilnya pasti akan “tok-cer”. Siapa tahu Siau-hi-ji justru tidak mudah dijebak, anak muda itu hanya duduk saja di kejauhan, bahkan memandangnya seperti orang yang sedang menonton sandiwara menarik.

Padahal tenaga gerujukan air terjun itu sangat keras, betapa pun kuat tenaga dalam Pek-hujin lama-lama juga tidak tahan.

Dia lihat Siau-hi-ji justru sedang enak-enak duduk di sana, bahkan anak muda itu lantas mencopot sepatu dan mencuci kaki di air sungai, wajahnya tampak berseri gembira seperti orang lagi berpiknik. Malahan tidak lama lagi anak muda itu lantas bernyanyi-nyanyi kecil dengan suara yang tidak tergolong merdu.

Sudah hampir meledak perut Pek-hujin saking dongkolnya. Saking tidak tahan ia memaki, “Keparat, agaknya bocah ini benar-benar bukan manusia... Apakah dia telah mengetahui rencanaku?”

Kalimat yang terakhir itu dengan sendirinya ditujukan kepada Thi Peng-koh. Di tengah suara gemuruh air terjun itu, andaikan suara bicaranya lebih keras sedikit juga cuma didengar oleh Thi Peng-koh saja.

Peng-koh sendiri sebenarnya merasa malu dan gemas juga karena dipaksa ikut telanjang bulat dan dijadikan umpan “ikan”. Kini melihat rencana Pek-hujin tidak berhasil, diam-diam ia pun merasa senang dan geli, maka dia sengaja menjawab, “Ya, kukira dia sudah tahu tipu akalmu.”

“Rencanaku ini boleh dikatakan sangat rapi, dari mana dia bisa tahu,” kata Pek-hujin.

“Banyak orang bilang dia adalah orang pintar nomor satu di dunia, tampaknya kabar itu memang tidak salah,” ujar Thi Peng-koh.

Sebenarnya tenaga dalam Peng-koh jauh lebih lemah dari pada Pek-hujin, hampir-hampir saja bernapas pun sukar karena diguyur air terjun sekian lamanya, tapi kini lantaran hatinya lagi senang, bukan saja ia dapat bicara dengan lancar, bahkan suaranya juga cukup nyaring.

“Kenapa kau bicara sekeras itu? Apakah kau ingin didengar olehnya?” jengek Pek-hujin. “Hendaklah jangan lupa, kekasihmu masih tergenggam di tanganku, bila mana perangkapku ini gagal, maka kau adalah calon janda sebelum nikah.”

Disebutnya Kang Giok-long membuat hati Thi Peng-koh tertekan pula, meski dia tidak ingin Siau-hi-ji terjebak, tapi ia pun tidak tega membiarkan Kang Giok-long mati.

Maklum, sekarang biar pun dia jelas-jelas tahu Kang Giok-long adalah telur paling busuk di dunia ini juga tak berdaya lagi, sebab hatinya sudah bukan miliknya lagi, melainkan sudah tertawan oleh Kang Giok-long.

Seorang lelaki kalau dapat menundukkan tubuh seorang perempuan dengan pengaruh uang atau kekerasan, maka tidak nanti dapat menundukkan hatinya. Tapi kalau senjata yang digunakannya adalah bujuk rayu dan kata-kata manis, maka dia pasti akan berhasil menipunya bersama hatinya sekaligus.

Begitulah maka Thi Peng-koh tidak berani buka suara lagi.

Selang sejenak, Pek-hujin bertanya pula, “Kutahu kau pernah menyelamatkan jiwa anak muda itu, bukan?”

“Ehm,” sahut Peng-koh perlahan.

“Sekarang kenapa dia tidak balas menolong kau?”

“Mungkin... mungkin dia pangling padaku.”

Pek-hujin berpikir sejenak, katanya kemudian, “Betul juga... lelaki jika melihat perempuan cantik telanjang bulat, yang dipandang hanyalah bagian tubuhnya saja dan jarang-jarang memandang wajahnya.”

Muka Thi Peng-koh serasa merah membara, tiba-tiba ia merasa mata Siau-hi-ji sedang melotot padanya, sungguh kalau bisa ia ingin menutupi dadanya, menutupi perutnya, menutup... Tapi demi Kang Giok-long, terpaksa ia tidak berani bergerak.

Pek-hujin mendengus pula, “Sekarang cepat berpaling ke sana dan berteriak minta tolong... Teriakanmu jangan terlalu keras, tapi juga jangan terlalu lirih, harus berlagak seperti kehabisan tenaga dan suaramu dibikin serak. Nah, lekas lakukan!”

Terpaksa Thi Peng-koh melaksanakan perintah Pek-hujin, dengan suara parau ia menjerit, “Tol... tolong... tolong...”

Dia cuma sedikit menoleh, segera dilihatnya Siau-hi-ji sudah selesai mencuci kaki, dengan tangan bertopang dagu dan setengah berbaring di atas batu, anak muda itu seperti sudah tertidur.

Dengan sendirinya Pek-hujin juga sudah melihat tingkah Siau-hi-ji, dengan geregetan ia berkata, “Bangsat cilik, licin benar! Sebenarnya apa yang sedang dipikirkannya?”

Tiba-tiba seorang bicara di bawah batu sana, “Betul tidak apa yang kukatakan padamu? Ikan ini sangat sukar dijaring bukan?”

Rupanya Oh Yok-su juga tidak tahan direndam air sekian lamanya, ia telah menongolkan kepalanya ke permukaan air.

“Lekas menyelam, jangan sampai dilihatnya,” seru Pek-hujin.

“Biar pun kepandaiannya setinggi langit juga tidak mungkin pandangannya dapat menikung ke belakang batu sini,” ucap Oh Yok-su dengan tertawa.

Pek-hujin menghela napas, ucapnya, “Menurut pendapatmu, apakah rencana kita ini telah diketahuinya?

“Kau kira demikian?” Oh Yok-su balas tanya.

“Padahal rencana kita ini sangat rapi, mana dapat diketahuinya?” jengek Pek-hujin.

“Habis mengapa dia tidak mau datang kemari?”

“Bisa jadi pembawaan bocah ini memang suka curiga, segala apa pun dicurigainya, makanya dia tidak mau segera kemari dan ingin tahu bagaimana reaksi kita.”

“Tapi yang jelas kita tersiksa di sini, kalau keadaan begini berlangsung lebih lama kan kita sendiri yang celaka.”

“Dia justru ingin tahu apakah kita sanggup bertahan tidak, asalkan kita tidak tahan, maka rencana ini pun gagal total. Kalau usaha kita ini gagal, apakah tidak merasa sayang?”

“Sayang sih sayang, tapi tersiksa begini juga bukan cara yang baik,” ujar Oh Yok-su dengan gegetun.

“Habis mau apalagi?” ujar Pek-hujin. “Bocah ini memang benar-benar lebih licin dari pada ikan, jika usaha kita ini diketahuinya, lain kali jangan harap lagi dapat menjaringnya.”

“Dengan kekuatan kita bertiga melawan dia seorang, masa kita tidak berani main kekerasan?”

“Kukira jangan,” ujar Pek-hujin. “Konon ilmu silat bocah ini sangat tinggi meski usianya masih muda belia, bahkan juga sangat licik dan licin, bila gelagat jelek, segera dia kabur. Sampai-sampai Ih-hoa-kiongcu kabarnya juga mati kutu menghadapi dia, lalu kita dapat berbuat apa?”

Oh Yok-su menghela napas panjang, ucapnya, “Jika demikian, tampaknya tiada jalan lain kecuali harus bertahan, tapi kita dapat tahan berapa lama lagi?”

Pek-hujin terdiam sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, “Urusan sudah kadung begini, terpaksa mengikuti keadaan saja.”

Di luar dugaan pada saat itulah mendadak Siau-hi-ji berdiri.

Kejut dan girang Pek-hujin, cepat ia mendesis, “Ssst, lekas selam, mungkin ikannya akan segera akan masuk jaring.”

Tanpa disuruh lagi cepat Oh Yok-su menyelam pula, batang gelagah yang bagian tengahnya geronggang seperti pipa itu kembali menongol di permukaan air, dengan pipa rumput gelagah inilah Oh Yok-su bernapas.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar