Bahagia Pendekar Binal Jilid 04

Pek-hujin menghela napas panjang, lalu berbangkit dan berjalan keluar. Karena lesu, Pek San-kun menjadi kurang hasrat menanyai sang istri hendak ke mana, dia hanya melototi Hoa Bu-koat saja dengan menyeringai.

Selang sejenak, tiba-tiba terdengar Pek-hujin berteriak kaget di luar, “He, lekas keluar, lihatlah apa ini?”

Secepat anak panah Pek San-kun meleset ke luar, dilihatnya Kang Giok-long dan Thi Peng-koh masih berjajar di sana seperti tertidur nyenyak. Sedang istrinya berdiri terkesima di bawah pohon.

Di bawah pohon tiada terdapat apa pun, cuma ada seonggok daun rontok saja. Akan tetapi air muka Pek-hujin tampak terkejut dan terheran-heran dan juga bersemangat, serunya, “Coba lihat, apakah ini?”

“Apa, kan cuma seonggok daun rontok,” jawab Pek San-kun dengan mendelik.

“Coba lihat lagi yang jelas,” kata Pek-hujin.

Kiranya di tengah onggokan daun rontok itu ada sebuah liang kecil, seperti lubang sarang terwelu dan mirip liang musang.

“Ya, sudah kulihat,” kata Pek San-kun. “Itu kan cuma sebuah lubang biasa saja, masa tidak pernah melihat lubang begituan?”

Mendadak Pek-hujin mendekatkan mukanya ke depan sang suami dan memandangnya dengan terbelalak seakan-akan di wajah Pek San-kun mendadak tumbuh sebuah bisul aneh.

Pek San-kun tertawa, katanya, “Masa kau sudah pangling padaku?”

Pek-hujin menghela napas, ucapnya, “Tampaknya kau sudah semakin tua, matamu sudah mulai lamur dan....”

“Hahaha,” Pek San-kun bergelak tertawa, “Meski usiaku sudah tambah lanjut, tapi tenagaku masih penuh, dalam hal ini kau sendiri tentu lebih jelas dari pada siapa pun juga, memangnya sudah lupa bila mana kau kelesetan dan minta ampun padaku.”

Bisa merah juga muka Pek-hujin, omelnya, “Cis, dasar! Kubicara yang benar denganmu, tapi kau nyeleweng pada soal...”

Mendadak Pek San-kun merangkulnya dan membisikkan sesuatu dengan tertawa, “Di bawah pohon juga nyaman, biarlah...”

“Huh, sepanjang hari yang kau pikirkan selalu urusan beginian saja, pantas matamu menjadi mulai kabur dan otakmu pun puntul,” omel Pek-hujin sambil mendorong si suami.

“Kenapa kau bilang otak puntul segala?”

“Coba kau perhatikan liang ini,” ucap Pek-hujin.

“Liang apa? Memangnya apanya yang menarik, kalau liang anu... haha, aku pasti mau melihatnya!” Pek San-kun bergelak tertawa.

“Plak”, mendadak Pek-hujin memberinya suatu tamparan keras sambil mengomel, “Tua bangka, tidak tahu malu.”

Lalu ia berjongkok dan membersihkan onggokan daun kering, terlihat sekeliling liang itu rata dan licin, bahkan tiada jalan keluarnya lagi di bawah liang.

Adalah biasa bila mana liang itu sarang terwelu atau sebangsa musang, umumnya tentu ada lubang yang bercabang sebagai jalan tembus keluar di tempat lain. Tapi liang itu ternyata tiada lubang tembusan apa pun.

“Nah, sekarang kau paham tidak?” kata Pek-hujin.

“Ya, tahulah aku, liang ini buatan manusia,” kota Pek San-kun.

“Betul,” ucap Pek-hujin. “Coba pikir lagi, untuk apa orang menggali sebuah liang di bawah pohon Ini?”

“Sebab dia ingin sembunyi di sini untuk mengintai gerak-gerik orang.”

“Tepat, tapi liang sekecil ini, siapa lagi yang mampu sembunyi di sini?”

Sekonyong-konyong Pek San-kun amat bersemangat, katanya, “Jangan-jangan... jangan-jangan kau maksudkan dia... dia juga datang ke sini?”

“Selain dia, memangnya siapa lagi?”

“Tapi sudah dua puluh tahun dia tidak pernah muncul di depan umum, konon dia sudah mati.”

“Coba kau pikirkan lagi, orang seperti dia apakah bisa mati begitu saja? Memangnya siapa yang dapat membunuhnya?”

Pek San-kun menghela napas, katanya, “Betul juga, orang baik tidak panjang umur, orang busuk justru awet hidup.”

“Hihi, kau masih cemburu padanya?” tanya Pek-hujin dengan mengikik.

“Hm, seumpama benar kekasihmu yang dulu akan muncul kan juga tidak perlu tertawa seriang ini di depanku?!” omel Pek San-kun.

Mendadak Pek-hujin merangkul pundak sang suami, ucapnya dengan tertawa genit, “Tua pikun, jika kusuka padanya, masa kukawin denganmu...?. Ayo... kita sekarang…”

“Tidak... tidak mau!” seru Pek San-kun sambil mendorong pergi sang istri.

“Kenapa tidak mau? Bukankah tadi kau mengajak?” ujar Pek-hujin dengan senyuman menggiurkan.

“Tapi sekarang hasratku telah hilang,” jawab Pek San-kun. Dia menyepak onggokan daun kering itu dengan gemas, lalu menyambung, “Bila teringat pada bocah itu yang mungkin berada di sekitar sini, betapa pun hasratku jadi hilang sama sekali.”

“Jika begitu... marilah kita masuk ke dalam saja,” ajak Pek-hujin.

“Tidak, aku mau tinggal di sini saja,” jawab Pek San-kun.

“Untuk apa?” tanya Pek-hujin.

Mendadak Pek San-kun bergelak tertawa, katanya, “Masa kau lupa pada peribahasa yang berbunyi ‘menjaga pohon menunggu kelinci’?!”

Di sebelah sana sudah tentu Kang Giok-long tidak tidur sungguh-sungguh, dia sedang kesakitan, tidak mungkin bisa pulas, dia hanya pura-pura tidur saja. Maka ia menjadi heran ketika mendengar Pek-hujin berteriak memanggil si suami dan keduanya lantas ribut urusan sebuah liang. Ia menjadi geli pula ketika mendengar suami istri itu hendak main di bawah pohon. Ketika didengarnya kedua orang itu bicara tentang liang itu dapat dibuat sembunyi orang, hampir saja dia bersuara menyangkal pendapatnya, sebab liang sekecil itu tidak mungkin dapat dibuat sembunyi seorang manusia normal terkecuali bila orang itu seorang kerdil.

Terakhir dia mendengar Pek San-kun bilang hendak “menjaga pohon menunggu kelinci”. Seketika terkilas suatu pikiran dalam benak Kang Giok-long, “Apakah orang yang hendak ditungguinya itu adalah si ‘kelinci’ dari Cap-ji-she-shio?”

Seperti diketahui, Cap-ji-she-shio atau kedua belas bintang lambang kelahiran menurut perhitungan Imlek itu adalah tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing dan babi.

Sebagian besar anggota Cap-ji-she-shio itu sudah tewas belasan tahun yang lalu, ada yang terbunuh oleh Ih-hoa-kiongcu dan ada yang binasa di bawah pedang Yan Lam-thian, ada juga yang gugur di bawah jurang tempat Siau Mi-mi, lalu si ular dan si kambing telah mati keracunan ketika mereka hendak mengganggu Siau-hi-ji. Sebab itulah di antara anggota Cap-ji-she-shio sekarang hanya tertinggal si tikus, kuda, harimau dan si kelinci saja.

Si kelinci itu she Oh bernama Yok-su, akan tetapi hampir tidak diketahui kelinci ini jantan atau betina, sebabnya, ia memang jarang muncul di dunia Kangouw, maka tiada orang yang tahu bagaimana bentuknya yang sesungguhnya.

Begitulah Pek San-kun benar-benar lantas duduk di bawah pohon untuk “menjaga pohon dan menunggu kelinci”.

Dengan tenang Pek-hujin memandang sang suami sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan bertanya, “Apakah kau tahu dongeng tentang peribahasa menjaga pohon dan menunggu kelinci itu?”

“Meski tidak banyak aku belajar membaca, tapi aku tahu benar tentang dongeng ini,” kata Pek San-kun.

Pek-hujin lantas duduk, katanya dengan tertawa, “Jika begitu, coba ceritakan.”

“Dongeng ini berawal di jaman Ciankok, konon dahulu ada seorang petani miskin, suatu hari dia mendadak melihat seekor kelinci berlari-lari terlalu cepat sehingga mati menumbuk pohon.”

“Nah, itulah suatu contoh bahwa baik manusia maupun kelinci, betapa pun jangan suka terburu-buru nafsu.”

Pek San-kun mendengus, ia melanjutkan ceritanya pula, “Bangkai kelinci itu lantas diambil oleh petani miskin itu dan dijual di pasar sehingga mendapat sejumlah uang. Maka timbul pikiran pada petani miskin itu, jika dengan memungut bangkai kelinci saja bisa mendapatkan jumlah uang sebanyak itu, lalu untuk apa bersusah payah bercocok tanam segala? Maka setiap hari dia lantas duduk di bawah pohon, menantikan kelinci lain yang akan mati menumbuk pohon, ia menjadi malas untuk meluku sawah lagi.”

“Kita sudah menjadi suami istri selama ini, tak terduga olehku bahwa engkau mempunyai pengetahuan seluas ini,” Pek-hujin tersenyum genit.

Tapi Pek San-kun menjawab dingin, “Pengetahuan luas apa? Soalnya kau sangat berminat terhadap ‘kelinci’, sebab itulah segala persoalan mengenai kelinci menjadi lebih jelas kupelajari.”

“Jika begitu, apakah kau tahu petani miskin itu akhirnya berhasil mendapatkan kelinci lagi?”

“Sudah tentu tidak. Di dunia ini memang banyak manusia yang berwatak ceroboh, tapi kelinci yang ceroboh tidak terlalu banyak.”

“Ya, bukan saja ceroboh, mungkin mata kelinci itu pun rada lamur, makanya bisa mati menabrak pohon.”

“Setelah menunggu lama dan lama sekali, sama sekali petani miskin itu tidak melihat kelinci lagi, sedang sawahnya telantar tiada yang garap. Sejak inilah petani itu menjadi buah tutur dan tertawaan orang.”

“Kalau sudah tahu begitu, mengapa kau menirukan orang tolol itu?” ujar Pek-hujin. “Jika kau menunggu tanpa mendapatkan kelincinya, bukankah kau pun akan ditertawakan orang?”

“Tidak, kuyakin dia pasti akan datang,” jengek Pek San-kun.

“O? Kau yakin?” Pek-hujin menegas.

“Jika dia pernah datang ke sini, tentu dia tahu kau akan kembali lagi ke sini. Jika kau berada di sini, mustahil dia takkan datang? Hehe, bukan mustahil diam-diam dia sudah menguntit jejak kita dan mencari kesempatan untuk bertemu denganmu.”

“Hihi, aku kan sudah nenek-nenek, memangnya masih menarik?” kata Pek-hujin dengan mengikik.

“Di mata kekasih timbul si cantik, demikian kata peribahasa. Bagi orang lain mungkin kau dianggap nenek-nenek, tapi bagi pandangannya bisa jadi kau ini masih cantik serupa bidadari.”

“Dan dalam pandanganmu, seperti apa pula aku ini?” tanya Pek-hujin sambil mengerling genit.

Tiba-tiba Pek San-kun tertawa, katanya, “Sudah tentu dalam pandanganku kau pun seperti bidadari.”

Sampai di sini, diam-diam Kang Giok-long merasa geli, sungguh tak tersangka olehnya pasangan suami istri yang sudah tua bangka ini masih berguyon seperti anak muda saja. Dari ini pun dapat diketahui bahwa Pek-hujin ini memang mempunyai resep yang cespleng sehingga sang suami masih dapat digenggamnya dengan erat sampai sekarang.

Pada saat itulah Pek San-kun tiba-tiba mendesis, “Ssst, itu dia datang.”

Tanpa terasa Kang Giok-long membuka matanya dan melirik ke sana. Dilihatnya sebongkah kayu kering sebesar kepala manusia dan panjang tiga kaki tampak sedang menggelinding kemari dari kejauhan.

Bonggolan kayu ini bukan saja dapat menggelinding di tanah, bahkan seperti bermata, bila mana ketemu rintangan batu dan sebagainya, bonggolan kayu itu ternyata bisa memutar dan membelok.

Melihat peristiwa aneh di pegunungan sunyi begini, bila dalam keadaan biasa mungkin Kang Giok-long akan kaget setengah mati. Tapi sekarang dia tahu bonggol kayu ini pasti ada hubungannya dengan Oh Yok-su yang dimaksudkan Pek San-kun, ia menduga bisa jadi Oh Yok-su itu bersembunyi di bawah bonggol kayu ini, sebab itulah ia pun tidak merasa ngeri lagi, ia cuma heran saja apakah mungkin di dalam bonggol kayu ini bersembunyi orang, padahal besar bonggol kayu hanya sedikit lebih besar dari pada sebuah bantal saja.

Apakah mungkin tokoh Bu-lim yang terkenal iru benar-benar seorang kerdil seperti anak kecil? Jika benar dia seorang kerdil, masa dia dapat bergendakan dengan Pek-hujin yang cantik molek itu? Ia yakin perempuan cantik macam Pek-hujin itu tidak mungkin puas dan menyukai seorang kerdil.

Dalam pada itu Pek San-kun terus mengawasi bonggolan kayu itu dengan tak berkedip, bahkan matanya seakan-akan membara, kedua tangan juga mengepal seperti orang geregetan.

Perlahan Pek-hujin memegang tangan suami, katanya dengan tertawa, “Sudah lama tidak bertemu dengan sahabat lama, janganlah seperti dulu lagi, bila bertemu lantas berkelahi.”

“Jika sahabat lama, mengapa mesti main sembunyi-sembunyi dan tidak mau dilihat orang?” jengek Pek San-kun.

Bonggol kayu yang sudah mendekat itu mendadak terbahak-bahak dan berkata, “Haha, sudah sekian tahun tidak bertemu, tidak tersangka kalian suami istri masih tetap cinta-mencintai seperti sedia kala, selamat, selamat!

“Dari mana kau tahu kami suami istri masih tetap cinta-mencintai? Apakah senantiasa kau mengintai kami secara diam-diam,” teriak Pek San-kun.

“Jika tidak tetap saling mencintai, mana mungkin cemburu sebesar itu, ini kan kelihatan dan tidak perlu dijelaskan lagi bukan?” jawab bonggol kayu itu. Di tengah suara tertawanya bonggol kayu itu pun sudah menggelinding sampai di bawah pohon dan mendadak dari dalam bonggol itu terjulur keluar sebuah kepala.

Meski sudah tahu di dalam bonggol kayu itu ada orangnya, tapi mendadak kepala itu tersembul keluar, ini membuat Kang Giok-long terkejut juga.

Tertampak kepala itu berambut ubanan, tapi jenggot di dagunya hanya beberapa helai saja, sepasang matanya bundar lagi terang, begitu bundar dan besar sehingga mirip dua butir mutiara raksasa.

Mata manusia pada umumnya pasti bulat panjang, tapi mata orang ini benar-benar bundar, pada hakikatnya bukan mata manusia, tapi lebih mirip mata kelinci. Yang paling aneh, kepala ini buka saja tidak kecil, bahkan lebih besar dari pada orang biasa, andai kata bonggol kayu itu geronggang bagian dalamnya juga akan terasa sesak bila dimasuki kepala sebesar ini.

Bukan cuma kepalanya saja yang besar, telinganya juga besar lagi lancip, jadi menyerupai kuping terwelu.

Sungguh sukar dimengerti, seorang kerdil begini masa mempunyai kepala dan telinga sebesar itu?

Tentu saja Kang Giok-long bertambah terkejut, meski masih ingin pura-pura tidur, tapi berat rasanya untuk memejamkan mata, sebab itu berarti tak dapat lagi mengikuti kejadian selanjutnya. Waktu ia lirik Thi Peng-koh di sampingnya, nyata mata nona itu pun terpentang lebar-lebar.

Dengan terkikik-kikik Pek-hujin menyapa, “Hihihi, belasan tahun tidak bertemu, tak tersangka kau tetap senakal ini.”

“Hahaha, ini namanya negara mudah berganti, watak sukar berubah,” kata bonggol kayu dengan terbahak-bahak.

“Jika kau kira perempuan selalu suka pada lelaki yang nakal, maka salah besar kau,” jengek Pek San-kun.

“O, apakah suasana sekarang sudah berubah?” jawab orang itu dengan tertawa. “Kuingat dulu lelaki yang nakal paling mendapat pasaran.”

“Lelaki yang nakal sudah tentu masih punya pasaran, tapi kakek yang nakal... Hehe, siapa yang mau, bahkan memualkan,” jengek Pek San-kun pula.

Sudah tentu yang senang adalah Pek-hujin karena sampai sekarang dirinya masih dijadikan sasaran cemburu antara dua lelaki.

“Tampaknya aku kan belum tua bukan?” demikian kata Pek-hujin kemudian, tapi dia berlagak kurang senang dan mengomel, “Apa bila kalian berdua masih tetap bertengkar, maka aku takkan menggubris kalian lagi.”

Mendadak Pek San-kun meraung gusar, “Kau jangan lupa, aku adalah lakimu, masa kau tidak mau menggubris aku?”

“Nah, lihat, belum lagi aku benar-benar berbuat begitu dan kau sudah tegang dan marah,” ujar Pek-hujin dengan tertawa genit. Tertampak matanya mencorong terang, mukanya juga kemerah-merahan, seakan-akan mendadak lebih muda belasan tahun.

Memang, bila mana ada lelaki yang cemburu bagi seorang perempuan, maka si perempuan kadang-kadang akan segera berubah menjadi lebih muda. Hanya cinta lelaki di dunia adalah barang perhiasan yang paling berharga, yang dapat membuat perempuan selalu awet muda. Sebab itu pula perawan tua selalu lebih cepat layu.

Begitulah orang tadi lantas menghela napas, katanya dengan tertawa, “Pek-lauko, tampaknya kau ini tua-tua tambah rezeki, agaknya setelah kau masuk peti mati juga Pek-toaso kita akan tetap awet muda seperti seorang nona.”

Kembali Pek San-kun meraung, “Apa, kau mengutuki aku lekas mati? Hm, seandainya aku mati juga kau takkan mendapat bagian.”

“O, habis bagian siapa?” tanya orang itu dengan tertawa.

Pek San-kun berjingkrak murka, teriaknya, “Kau tidak perlu tanya, yang pasti kutanggung kau akan mati lebih dulu dari padaku, kau percaya tidak?” di tengah raungannya itu ia segera menjotos.

“Blang”, bonggol kayu itu tergetar hancur oleh angin pukulan Pek San-kun, sesosok tubuh manusia mendadak terpental keluar dari dalam bonggol kayu dan “siut”, tahu-tahu melesat ke puncak pohon.

Sampai bentuk tubuh orang saja tak terlihat jelas oleh Kang Giok-long, jadi dia tetap tidak tahu apakah orang itu benar-benar kerdil atau tidak, diam-diam ia terkejut dan kagum akan kecepatan gerak tubuh orang.

Segera kepala orang yang besar itu menongol keluar dari balik dedaunan sambil menyengir, katanya, “Wah, manusia tiada maksud membunuh harimau, tapi harimau bermaksud mencaplok manusia... Eh, Pek-lauko, kedatanganku ini sekali-kali bukan untuk berkelahi denganmu.”

“Habis untuk apa kau datang kemari?” teriak Pek San-kun murka. “Meski aku si harimau ini tidak makan manusia, tapi mengganyang seekor kelinci kiranya tidak menjadi soal.”

Orang itu menjawab dengan tenang, “Jika kau mencelakai aku, mungkin selama hidup ini takkan tahu lagi rahasia Ih-hoa-ciap-giok.”

Pek San-kun melengak sejenak, segera air mukanya berubah senang, dengan tertawa ia berkata, “Oh-laute, masa kau kira aku benar-benar marah padamu?”

“Memangnya kau tidak marah? Aku menjadi bingung bagaimana bentuknya jika kau dalam keadaan marah?” ujar orang itu.

“Kau kan sahabat lama biniku, masa kau lupa pada wataknya?” kata Pek San-kun dengan tertawa.

“Bagaimana sih wataknya?” tanya orang itu.

“Dia paling suka orang cemburui dia, aku kan lakinya, dengan sendirinya aku sering-sering mencari akal untuk membuat dia senang, padahal...”

“Plak”, belum habis ucapan Pek San-kun, tahu-tahu pipinya telah digampar orang satu kali. Dengan mendelik Pek-hujin menegasnya, “Padahal apa?”

“Padahal aku suka benar-benar padamu,” jawab Pek San-kun dengan cengar-cengir. “Tapi aku juga sangat suka pada rahasia Ih-hoa-ciap-giok.”

Sorot mata Pek-hujin tampak berkilau, ia pun tertawa dan mengomel, “Tua bangka, memangnya siapa pingin disukai olehmu? Bilakah nyonyamu ini pernah penujui kau?” Lalu ia pun melotot ke atas pohon dan mengomel dengan tertawa, “Kelinci mampus, kenapa kau tidak lekas turun kemari?”

“Baik, nyonya tua, segera kuturun!” seru orang itu dengan tertawa, menyusul sesosok tubuh lantas melayang turun. Mana dia ini kerdil, sebaliknya dapat dikatakan dia seorang lelaki yang gagah. Bahkan lebih tinggi sedikit dari pada Pek San-kun.

Terbelalak lebar Kau Giok-long memandang ke sana, sungguh tak terbayang olehnya bahwa seorang kekar besar begitu dapat sembunyi di dalam sepotong bonggol kayu kering sekecil itu.

Pada saat itulah mendadak Pek San-kun mendekatinya dan menegur, “Eh, kiranya kau sudah mendusin.”

Walau pun seperti maling tertangkap basah karena diketahui sedang mengintip, namun muka Kang Giok-long tidak menjadi merah, jawabnya dengan tertawa, “Ah, Tecu hanya tidur-tidur ayam saja.”

“Dari bonggol kayu bisa mendadak muncul seorang besar, kau merasa heran bukan?” tanya Pek San-kun.

“Ya, Tecu memang rada heran,” jawab Giok-long dengan mengiring tawa.

“Kuberitahu, inilah Oh Yok-su yang termasyhur di dunia Kangouw, siapa yang tidak tahu ilmu sakti ‘Soh-cu-siok-kut-kang’ Oh Yok-su yang tiada bandingannya di seluruh dunia ini?”

“Soh-cu-siok-kut-kang (ilmu menyurutkan tulang)?” Kang Giok-long menegas. “Apakah ilmu yang mahasakti andalan Bu-kut Tojin dahulu itu?”

“Memangnya ilmu sakti mana lagi?” jawab Pek San-kun. “Jelek-jelek tampaknya kau juga berpengetahuan cukup luas. Nah, sekarang tentunya kau sudah jelas.”

“Ya, Tecu sudah jelas,” jawab Giok-long.

Mendadak Pek San-kun mendelik dan berkata, “Jika sudah jelas, kenapa tidak lekas menyingkir sejauhnya, memangnya kau pun ingin mendengarkan rahasia itu?”

“Ya, ya, Tecu mohon diri,” sahut Giok-long masuk ke rumah batu itu.

Ketika angin meniup dan gaun Thi Peng-koh tersingkap sebagian sehingga kakinya yang putih mulus itu kelihatan. Seketika mata Oh Yok-su melotot, katanya dengan tertawa, “Betis anak ini tampaknya boleh juga.”

“Bukan cuma betisnya saja,” Pek San-kun mendekati orang itu sambil setengah berbisik, “Bahkan bagian... bagian lain juga... Hehe!”

Oh Yok-su menelan air liur, jakun naik turun, katanya dengan tertawa, “Kau telah melihatnya semua?”

“Aku selalu diawasi harimau betina, terpaksa hanya melihat saja dan tak dapat memegang,” tutur Pek San-kun. “Tapi kalau Oh-laute menaksirnya, kujamin pasti...” belum habis ucapannya, mendadak kupingnya dijewer orang.

“Tua bangka,” demikian terdengar omelan Pek-hujin dengan setengah tertawa. “Melihat kelakuanmu yang tidak beres ini, pasti di luaran sering ada main, betul tidak? Ayo lekas mengaku!”

Sambil menjerit kesakitan Pek San-kun minta ampun, “Tidak, benar-benar tidak pernah. O, istriku tercinta, lepaskan lekas!”

“Tidak, jika tidak mengaku sejujurnya, biar kupingmu ini kujewer hingga putus,” omel Pek-hujin.

“Setahuku, selamanya Pek-lauko cukup setia dan jujur padamu,” ujar Oh Yok-su dengan tertawa.

Pek-hujin lantas mendelik padanya, ucapnya, “Tidak perlu kau mintakan ampun baginya, kau sendiri pun bukan orang baik.”

“Wah, aku jadi ikut-ikut keserempet!” grundel Oh Yok-su dengan menyengir.

“Huh, dasar lelaki!” omel Pek-hujin sambil tertawa serta melepaskan jewerannya. “Sembilan di antara sepuluh lelaki pasti menyeleweng.”

Pek San-kun meraba-raba telinganya yang masih sakit, katanya dengan tertawa, “Sudahlah, kita kembali pada pokok persoalannya. Eh, Oh-laute, apa benar-benar kau tahu rahasia Ih-hoa-ciap-giok?”

Oh Yok-su tidak lantas menjawab, sebaliknya ia malah bertanya, “Sudah tentu kau tahu sebelum ini aku sudah pernah datang kemari.”

“Tapi... tapi waktu itu kami benar-benar tidak tahu sama sekali, tampaknya cara Oh-laute mengelabui mata orang sudah jauh lebih maju dari pada belasan tahun yang lalu,” sanjung Pek San-kun.

Oh Yok-su bergelak tertawa, katanya, “Aku menyaksikan kalian menyeret murid tertua Gui-lotoa, yaitu Gui Moa-ih ke sini, setelah berunding sekian lama tampaknya kalian menyuruh dia pergi mencari seorang perempuan she So.”

“Namanya So Ing, yaitu kesayangan si tua she Gui, masa kau tidak tahu?” tukas Pek-hujin.

“Dengan sendirinya sekarang aku tahu,” jawab Oh Yok-su. “Cuma waktu itu aku merasa heran, kalian sendiri punya jalannya, mengapa suruh orang lain pergi ke sana. Tapi kemudian kulihat diam-diam kalian juga menguntit di belakangnya.”

“Haha, dengan sendirinya Oh-laute juga menguntit pula di belakang kami,” tukas Pek San-kun dengan terbahak.

“Ya, tampaknya kebiasaanku ini memang sukar diubah,” ujar Oh Yok-su dengan gegetun. “Kalau ada tontonan yang menarik, betapa pun aku ingin melihatnya. Setiba di sana barulah kutahu bahwa di tempat yang tampaknya seperti surga dunia itu sesungguhnya di mana-mana terpasang alat perangkap.”

“Budak itu tak mau belajar silat, tapi kemahiran si tua she Gui mengenai ilmu pesawat agaknya telah diturunkan semua padanya, bahkan boleh dikatakan yang hijau melebihi yang biru, budak itu jauh lebih lihai dari pada Gui-lothau.”

“Ya, tampaknya budak itu memang pintar,” ujar Oh Yok-su.

“Bukan cuma pintar saja, bahkan wajahnya juga boleh,” tukas Pek San-kun.

Segera Pek-hujin mengomel, “Nah, mulai berpikir serong lagi!”

“Perempuan cantik kebanyakan juga pintar, contohnya Pek-toaso kita ini,” umpak Oh Yok-su dengan tertawa.

Tapi Pek-hujin menarik muka, omelnya, “Huh, belasan tahun tidak bertemu, tampaknya mulutmu tambah manis.”

Walau pun berlagak kurang senang, tapi toh tertawa. Dan memang begitulah penyakit perempuan, walau pun tahu jelas si lelaki sengaja menyanjungnya, tapi dia lebih suka mempercayai apa yang diucapkannya itu. Sebab itulah meski seorang perempuan terkadang dapat menahan berbagai macam pancingan kaum lelaki, tapi tetap tak dapat melawan bujuk rayu mulut manisnya.

Oh Yok-su lantas bergelak tertawa, katanya pula, “Terhadap ilmu pesawat rahasia tidak pernah berhasil kupelajari, sebab itulah aku pun tidak berani menyentuhnya. Aku lantas mencari tempat sembunyi. Selang tak lama kemudian kulihat Gui Moa-ih berhasil memancing seorang anak muda ke hutan tempatku sembunyi sana, bahkan anak muda itu ditutuk Hiat-tonya terus digantung di atas pohon.”

“O, pantas kami mendengar suara orang mencaci maki, mungkin bocah itu yang sedang memaki Gui Moa-ih,” ujar Pek San-kun.

“Betul,” kata Oh Yok-su. “Selagi aku hendak mendekati bocah itu untuk menanyai siapa dia, tak terduga pada saat itu pula ada tamu lain berkunjung lagi ke hutan sana, satu di antaranya kukenal dengan baik.”

“Siapa dia?” tanya Pek San-kun.

“Yaitu orang yang telah makan istrinya sendiri, Li Toa-jui!” tutur Oh Yok-su.

“Hah, orang ini muncul lagi?” Pek San-kun menegas dengan terkejut.

“Apakah Li Toa-jui kenal anak muda itu?” tanya Pek-hujin

“Ya, kenal,” jawab Oh Yok-su.

“Bagaimana macamnya anak muda itu?” tanya Pek-hujin sambil berkerut kening.

“Usianya belum ada dua puluh, perawakannya serupa aku, mukanya penuh codet bekas luka, seharusnya jelek dan tidak menarik, tapi entah mengapa, tampaknya sedikit pun tidak menjemukan, bahkan sangat menyenangkan orang,” Oh Yok-su merandek sejenak, “Apakah kau kenal dia?”

“Meski aku tidak kenal dia, tapi sudah dapat kuterka siapa dia,” ujar Pek-hujin setelah berpikir sejenak.

“O, siapa dia?” tanya Oh Yok-su.

“Kabarnya akhir-akhir ini di dunia Kangouw muncul seorang bintang kecil pakai nama Hi segala, kalau tidak salah seperti Siau-hi apa... ilmu silatnya meski tidak terlalu tinggi, tapi orangnya cerdik dan licik, setiap orang yang merecoki dia pasti dikerjai olehnya, sampai-sampai orang macam Kang Piat-ho juga kepala pusing menghadapi dia.”

Oh Yok-su terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum, “Ya, betul, anak muda itulah, dia benar-benar setan cerdik, Gui Moa-ih kan juga tokoh yang lihai, tapi kemudian entah dengan cara bagaimana dia juga kena dikerjai oleh bocah ini sehingga kelabakan...”

“Dan apa hubungannya bocah itu dengan rahasia Ih-hoa-ciap-giok?” tanya Pek San-kun.

“Coba jawab dulu, saat ini ada berapa orang di dunia ini yang tahu rahasia Ih-hoa-ciap-giok?” tanya Oh Yok-su.

“Kukira yang tahu ada beberapa orang, tapi yang mau menyiarkannya jelas seorang saja tidak ada,” ujar Pek-hujin.

“Itulah,” kata Oh Yok-su dengan tertawa, “Makanya sekarang aku ada akal yang dapat membuat seorang di antaranya mau memberitahukan pada kita.”

“Siapa yang kau maksudkan,” tanya Pek-hujin.

“So Ing!” jawab Oh Yok-su.

Pek-hujin menghela napas, katanya, “Bila mana kau dapat membuat budak itu buka mulut, maka aku pun dapat membikin botol berbicara.”

“Kau tidak percaya?” Oh Yok-su menegas dengan tersenyum.

Tiba-tiba Pek San-kun menyela, “Apa bila Oh-laute bilang ada akalnya, dengan sendirinya akalnya pasti sangat bagus.”

Pek-hujin menghela napas pula, katanya, “Baiklah, apa akalmu, coba ceritakan.”

“Akalku ini terletak pada ‘ikan kecil’ (Siau-hi) itu,” ucap Oh Yok-su.

“Akal macam apa ini? Sungguh aku tidak paham,” Pek-hujin berkerut kening.

“Kalian tahu, budak she So itu telah kesengsem pada ikan kecil itu, sekarang kalau kita dapat menangkap ikan itu, apa pun yang kita minta masakah budak she So itu berani menolak?” tutur Oh Yok-su.

“Cara ini kukira kurang kuat,” ujar Pek-hujin. “Setahu kami, budak itu lebih keras dari pada batu, pada hakikatnya tiada seorang lelaki mana pun yang terpandang di mata budak itu.”

“Betapa pun kerasnya hati seorang perempuan, pada suatu ketika juga hatinya pernah goyang,” ujar Oh Yok-su berseloroh. Kedua orang lantas main mata seolah-olah hubungan mesra di masa lalu akan dikobarkan lagi.

Cepat Pek San-kun berdehem beberapa kali dan menyela, “Tak peduli akal Oh-laute ini berhasil atau tidak, paling perlu kita mencobanya dahulu.”

“Pasti dapat dijalankan,” ujar Oh Yok-su, “Dengan mataku sendiri kusaksikan jalan itu dapat ditembus.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar