Bahagia Pendekar Binal Jilid 01

Sungguh sukar dimengerti maksud tujuan orang itu.

Jika dia bermaksud baik, setelah menolong Siau-hi-ji dari kurungan gua itu, tentunya anak muda itu akan dibawa pergi, tapi kenapa malah menggantungnya di pohon ini? Sebaliknya kalau dia ingin membikin susah Siau-hi-ji, mengapa sekarang dia tidak membunuhnya?

Karena tergantung di pohon dan tak bisa berbuat apa-apa, Siau-hi-ji hanya dapat mencaci maki dengan gusar, “Gila, orang gila kau... sungguh sial, selalu orang gila saja yang kujumpai.”

Begitulah tadi So Ing terkejut dan bergirang ketika mendengar suara raungan Siau-hi-ji itu, apa pun juga yang terjadi, nyata anak muda itu masih berada di lembah pegunungan ini.

Baru saja ia hendak memburu ke sana, sekonyong-konyong di tempat gelap ada seseorang menjengek, “Kau tidak perlu cari lagi, di sinilah aku berada!”

Menyusul suara itu seorang muncul perlahan dari kegelapan sana, tubuhnya kurus kering, memakai kopiah tinggi dan berbaju belacu, tulang pelipisnya menonjol, hidungnya besar seperti paruh elang, sorot matanya tajam, sikapnya angkuh dan garang.

Melengak juga So Ing, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Kiranya engkau!”

“Hmk,” dengus si baju belacu.

“Tadi... tadi engkau yang membunuh Gui Pek-ih?” tanya So Ing.

Kembali orang itu mendengus.

So Ing tersenyum, ucapnya, “Memang sejak tadi kurasakan cara membunuh orang itu mirip benar caramu, tapi aku tidak menyangka....”

“Tidak menyangka akan kedatanganku, begitu?” tukas si baju belacu.

“Ya, memang tak kusangka,” jawab So Ing sambil menghela napas gegetun. “Sejak engkau cekcok dan meninggalkan si tua, sampai kini sudah empat tahun lebih... lebih tiga bulan, selama ini tiada terdengar kabarmu.”

Si baju belacu menengadah, dengusnya, “Hm, masih ingat juga kau padaku.”

So Ing menunduk, katanya, “Mana bisa kulupakan engkau, sejauh ini engkau cukup baik padaku.”

“Siapa bilang aku baik padamu?” teriak si baju belacu dengan gusar. “Selama ini tidak pernah aku membaiki siapa pun juga.”

“Tak peduli apa ucapanmu, yang pasti kucukup paham isi hatimu,” kata So Ing dengan rawan. “Jika bukan lantaran diriku, mana bisa kau bertengkar dengan si tua terus tinggal pergi.”

“Memangnya kau sangka aku mencemburui si tua sehingga aku bertengkar dengan dia?” jengek si baju belacu.

“Masa bukan begitu?” ujar So Ing.

“Aku cuma tidak tahan melihat lagaknya,” kata si baju belacu dengan gusar. “Sudah berapa banyak pekerjaan yang telah kulaksanakan baginya, tapi selama ini dia tetap menganggap aku sebagai kuda atau kerbau, dianggap sebagai budak belaka.”

“Selain itu masa tiada alasan lain pula?” ucap So Ing dengan perlahan.

Si baju belacu menarik napas panjang-panjang, teriaknya, “Betul, juga lantaran dirimu. Aku merasa sirik melihat tua bangka seperti itu, sebelah kakinya sudah menginjak liang kubur, tapi masih hendak meng... mengangkangi dirimu, asal orang lain memandang sekejap, lantas dia marah, seperti orang gila.”

So Ing terdiam sejenak, katanya kemudian, “Dan sekarang kau toh kembali lagi ke sini.”

“Kapan pun aku ingin datang bisa lantas datang, mau pergi bisa terus pergi, siapa yang dapat menghalangi aku?” jengek si baju belacu.

“Memang betul juga, sampai si tua juga rada-rada menyesal,” ujar So Ing. “Setelah kau pergi, dia sering menyatakan bahwa anak muridnya memang banyak, tapi yang mendapat ajarannya sungguh-sungguh cuma seorang.”

“Hm, kau kira Kungfuku ini kubelajar dari dia?” jengek si baju belacu. “Huh, Gui Bu-geh terkenal mementingkan diri sendiri dan mahapelit, siapa tidak tahu dirinya ini. Dia menerima murid sebanyak itu, tujuannya cuma memperbudak mereka, budak tanpa gaji, ilmu silatnya juga cuma diajarkan bagian yang tidak penting, dengan sedikit kepandaian yang tak berarti ini anak muridnya lantas disuruh bekerja dan berjuang mati-matian.”

“Jika begitu kepandaianmu....”

“Kepandaianku adalah hasil curian, dari sedikit-sedikit kukumpulkan, yaitu waktu dia sendiri berlatih, diam-diam aku mengintip dan mempelajarinya secara seksama.”

“Ya, dia memang kurang baik terhadap muridnya, makanya meski engkau cekcok dengan dia kebanyakan orang juga bersimpati padamu. Tapi... tapi kenapa sekarang kau kembali lagi ke sini?”

“Aku... aku cuma ingin tahu keadaan di sini,” jawab si baju belacu.

“Keadaan yang ingin kau lihat tentunya bukan dia, betul tidak?”

“Hmk,” si baju belacu hanya mendengus.

So Ing mengerling genit, katanya pula dengan tersenyum, “Kau kembali lagi ke sini lantaran ingin menjenguk aku bukan?”

Dengan gemas si baju belacu memelototinya sejenak, katanya kemudian dengan tandas, “Betul, dahulu aku memang suka padamu, tapi sekarang....”

“Sekarang tidak suka lagi?” tukas So Ing dengan suara lembut.

“Sekarang sudah kuketahui, kau ini pada hakikatnya tidak tahu budi, tidak kenal kebaikan orang, betapa pun orang berbaik padamu juga takkan kau rasakan dan tak tahu berterima kasih.”

So Ing bersikap sedih seperti difitnah orang, jawabnya dengan menunduk, “Ma... masa orang demikian diriku ini?”

“Sudah tentu kau memang orang demikian. Tua bangka itu meski berjiwa kecil dan kikir, tapi terhadapmu... Hm, bagaimana terhadapmu tentunya kau sendiri cukup jelas.”

“Dia baik padaku, memangnya aku tidak berterima kasih padanya?” ujar So Ing. “Jika aku tidak tahu kebaikannya, mengapa aku tidak pergi saja.”

“Kau adalah orang pintar, dengan sendirinya kau tahu dirimu tak mungkin bisa pergi begitu saja,” jengek si baju belacu.

So Ing tertawa, ucapnya, “O, kau kira aku tak dapat melindungi diriku sendiri?”

“Memangnya kau kira dapat melindungi dirimu sendiri? Kau kira orang lain benar-benar jeri padamu?”

Mendadak So Ing menarik muka dan berkata, “Tapi selama ini tiada yang berani menyatroni tempat tinggalku.”

“Itu lantaran orang lain mengetahui kau ini kesayangan si tua bangka, makanya mereka tidak berani merecokimu,” ujar si baju belacu. “Jika tiada si tua bangka yang menjadi tulang punggungmu, hm, tempatmu ini mungkin sudah sejak dulu-dulu rata menjadi puing dan kau pun entah sudah mati berapa kali.”

So Ing termenung sejenak, dengan tersenyum hambar kemudian ia berkata, “Kiranya engkau tetap membela si tua.”

“Jangan khawatir, urusanmu pasti takkan kukatakan padanya,” ujar orang itu.

“Sudah tentu kau tidak serendah Gui Cap-pek, kalau tidak, masakah kau mau membunuh dia, betul tidak?”

“Hmk,” si baju belacu hanya mendengus saja.

“Tapi sebabnya kau bunuh dia kan juga lantaran diriku. Kau tidak suka melihat aku digoda dia, dari sini pun kelihatan bahwa engkau tetap sangat baik padaku.”

Si baju belacu lantas bergelak tertawa.

So Ing berkedip-kedip bingung, tanyanya kemudian, “Apa yang kau tertawakan?”

Mendadak orang itu berhenti tertawa dan menjawab, “Terus terang kukatakan padamu bahwa sudah lama tak kupikirkan dirimu lagi. Walau pun aku tidak sudi berbuat hal-hal yang rendah seperti membongkar urusan pribadi orang lain atau memberi laporan gelap segala, siapa pun yang kau sukai aku pun tidak ambil pusing.”

So Ing memandangnya lekat-lekat sejenak, katanya kemudian, “Jika begitu, mengapa engkau menculik orang yang kusukai?”

“Alasannya selekasnya pasti akan kau ketahui,” jengek orang itu. “Sekarang apakah kau ingin menjenguk dia?”

“Mengapa tidak?” jawab So Ing.

“Baik, ikutlah padaku,” kata si baju belacu.

Ketika melihat So Ing datang bersama si baju belacu, bahkan tampaknya kedua orang ini sudah kenal lama, tentu saja Siau-hi-ji terkejut dan heran. Dengan gusar ia berteriak, “Sesungguhnya siapakah orang gila ini? Kau kenal dia? Kalian kawan lama?”

Melihat Siau-hi-ji digantung orang di pohon, So Ing menghela napas gegetun, ucapnya sambil menyengir, “He, orang pintar nomor satu di dunia, mengapa kau berubah jadi begini?”

Dengan gusar Siau-hi-ji menjawab, “Lantaran aku tidak menyangka orang ini adalah orang gila, tindak tanduknya membuat orang bingung.”

“Soalnya kau tidak tahu siapa dia,” ujar So Ing.

“Jika kutahu perlukah kutanya kau?” tukas Siau-hi-ji.

“Dia juga murid Gui Bu-geh, murid yang paling tinggi ilmu silatnya,” tutur So Ing. “Bila mana nama ‘Busiang-so-beng’ (setan Bu-siang menagih nyawa) Gui Moa-ih disebut, orang Kangouw mana yang tidak ketakutan. Maka tidaklah heran jika kau pun tertipu olehnya.”

Siau-hi-ji melenggong sejenak, ia menghela napas panjang, lalu berkata, “Jadi dia pun murid Gui Bu-geh? Wah, tampaknya aku benar-benar ketemu setan.”

“Jika benar sudah ketemu setan, lalu apa yang hendak kau katakan lagi?” jengek Gui Moa-ih atau Gui si baju belacu.

Siau-hi-ji mencibir, jawabnya, “Kata-kata sih tidak ada, yang ada cuma kentut, kau mau membaunya tidak?”

Seorang kalau digantung terjungkir dengan kaki di atas dan kepala di bawah, maka wajahnya saja sudah tampak lucu, kini dia mencibir pula, tentunya tambah menggelikan kelihatannya.

So Ing tidak tahan, ia mengikik geli.

Sekali pun Gui Moa-ih juga sedang mendongkol, demi melihat lagak Siau-hi-ji yang kocak itu, hampir saja ia pun tertawa. Segera ia berpaling dan melototi So Ing, tanyanya, “Inikah orang yang kau sukai?”

Jika perempuan lain, biar pun dalam hati sangat suka juga pasti tidak enak untuk mengaku terus terang. Tapi So Ing tidak kikuk dan tidak menunduk, ia menjawab dengan tegas, “Betul.”

“Kusangka penilaianmu tentu sangat tinggi, siapa tahu yang kau sukai adalah si tolol yang sinting ini,” ejek Gui Moa-ih.

“Kau anggap dia ini si tolol sinting, aku justru bilang dia ini ksatria sejati, seorang pahlawan gagah berani,” kata So Ing dengan tertawa.

“Pahlawan? Ksatria...? Hehe!” jengek Gui Moa-ih.

“Coba jawab, jika seorang digantung terjungkir di pohon, adakah yang tahan dan bahkan masih sanggup tertawa dan berseloroh seperti dia?” tanya So Ing.

Gui Moa-ih pikir diri sendiri memang tidak mungkin tahan seperti Siau-hi-ji, tapi ia menjadi gusar dan mendamprat, “Kau sudah terpikat oleh bocah ini, dengan sendirinya segalanya kau puji.”

“Dia memang hebat dan harus dipuji, kalau tidak... kalau tidak masa aku sampai terpikat olehnya?!”

Gui Moa-ih jadi melengak dan kikuk sendiri, katanya, “Ucapan begini pun dapat tercetus dari mulutmu?”

“Mengapa aku tidak berani mengucapkan isi hatiku sendiri? Ini kan bukan sesuatu yang memalukan? Jika main sembunyi-sembunyi, diam-diam makan dalam menyukai seorang, tapi tidak berani mengutarakannya, cara beginilah baru memalukan dan menggelikan... Betul tidak?”

Wajah Gui Moa-ih yang pucat kekuning-kuningan itu jadi merah jengah juga, segera ia menjengek pula, “Tapi meski kau menyukai dia, rasanya belum tentu dia suka padamu.”

“Yang penting aku suka padanya, apakah dia juga suka padaku atau tidak bukan soal, kau tidak perlu ikut khawatir,” kata So Ing.

“Hm, kau...” Gui Moa-ih bermaksud mencemoohkannya, tapi tidak tahu apa yang harus diucapkannya.

Dengan tertawa So Ing menyambung, “Apalagi seumpama sekarang dia tidak suka padaku, nanti juga aku ada akal untuk membuatnya suka padaku.”

Sampai di sini, tak tahan lagi Siau-hi-ji, ia bergelak tertawa, katanya, “Tepat, tepat sekali. Rasanya sekarang juga aku sudah mulai menyukai kau.”

Air muka Gui Moa-ih sebentar putih sebentar hijau saking menahan geramnya. Teriaknya kemudian dengan bengis, “Jika demikian, bila dia mati tentu kau sangat berduka, bukan?”

So Ing tersenyum, jawabnya, “Sejak mula sudah kuketahui kau pasti akan memperalat dia untuk memeras diriku. sesungguhnya apa kehendakmu? Masa kau tidak enak untuk bicara terus terang?”

Melihat kerlingan mata si nona yang menggetar sukma, melihat dadanya yang berombak perlahan di bawah bajunya yang tipis itu, hati Gui Moa-ih menjadi berdebar dan bibir pun terasa kering, serunya, “Aku... aku ingin kau...” mendadak ia menggerung dan berputar cepat sambil memukuli dada sendiri beberapa kali, ia tidak berani menatap si nona pula, teriaknya, “Aku ingin kau ceritakan rahasia yang kau dengar kemarin.”

“O, kau sudah bertemu dengan Pek San-kun?”

“Hmk,” dengus Gui Moa-ih.

Tiba-tiba So Ing tertawa dan berkata, “Sebenarnya, sekali pun yang kau inginkan adalah diriku pasti juga akan kuserahkan padamu, cuma sayang kau sendiri tiada punya keberanian sehingga kesempatan baik ini tersia-sia.”

Gui Moa-ih meraung gusar, mendadak ia membalik tubuh dan mencengkeram pundak si nona, teriaknya dengan suara parau, “Kau... kau budak busuk, perempuan hina, kau... kau...”

Akan tetapi So Ing tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan tersenyum genit, “Kutahu sekarang kau menyesal mengapa tadi tidak berani mengutarakan isi hatimu. Tapi itu urusanmu sendiri, mengapa aku yang menjadi sasaran kedongkolanmu?”

“Persetan!” bentak Gui Moa-ih murka. “Siapa menghendaki perempuan busuk semacam kau. Kau…” karena tak tahu apa yang harus dikatakan, tiba-tiba saja sebelah tangannya menampar muka So Ing.

Namun si nona tidak berkelit, sebaliknya mukanya yang molek itu seolah-olah sengaja disodorkan malah, katanya, “Jika ingin memukul aku, silakan pukul saja. Tapi apakah kau sampai hati memukulku?”

Di bawah cahaya bintang yang berkelip-kelip itu wajah So Ing kelihatan kemerah-merahan laksana bunga mawar yang baru mekar dengan pandangannya yang sayu. Tangan Gui Moa-ih jadi terhenti di udara dan tidak jadi memukul.

So Ing malahan terus mendekatkan tubuhnya ke sana, katanya sambil memejamkan mata, “Pukul, ayolah pukul! Mengapa tidak jadi pukul!”

Tubuh Gui Moa-ih seperti mulai gemetar, hatinya menggereget. Kalau bisa dia ingin memeluk si nona sekarang juga, tapi dia justru sangsi dan tidak berani. Wajahnya yang pucat kuning tampak berkeringat.

Dongkol dan geli pula Siau-hi-ji menyaksikan semua itu. Tiba-tiba dilihatnya salah satu jari So Ing yang lentik itu entah sejak kapan telah memakai sebuah cincin yang mengkilap.

Karena dia tergantung menjungkir, matanya tepat berada di depan cincin itu. Di bawah sinar bintang yang remang-remang dapat dilihatnya di atas cincin itu ada sebuah jarum yang lembut dan runcing.

Dengan gaya yang menggiurkan serta suara yang samar-samar, perlahan So Ing mengangkat tangannya yang bercincin itu dan merangkul leher Gui Moa-ih.

Dalam keadaan begitu bila kulit leher Gui Moa-ih tergores sedikit saja oleh jarum perak itu, maka jiwanya pasti akan melayang. Padahal saat ini Gui Moa-ih dalam keadaan kesengsem, hati berdebar-debar, mata terbelalak bingung, pikiran melayang entah ke mana, dengan sendirinya tak terpikir olehnya maut sedang mengintai jiwanya.

Pada saat itulah, mendadak Siau-hi-ji berteriak, “Awas tangannya! Tangannya berjarum berbisa!”

Gui Moa-ih meraung kaget, berbareng sebelah tangannya terus mengebas sehingga So Ing terdorong mundur beberapa kaki.

Tubuh So Ing terbentur pohon, dengan terbelalak ia pandang Siau-hi-ji, serunya, “Kau... apakah sudah gila?”

“Siapa bilang aku gila? Otakku cukup waras!” jawab Siau-hi-ji sambil tertawa.

“Lalu mengapa... mengapa kau...”

“Kau heran mengapa aku malah menolong dia, begitu bukan?”

So Ing menggigit bibir dan tidak berucap lagi.

Gui Moa-ih terkejut dan gusar pula, ia pun tak mengerti mengapa Siau-hi-ji berbalik menolongnya malah. Sebab itulah dia hanya mendelik dan juga tidak bersuara.

Maka terdengar Siau-hi-ji berkata dengan tertawa, “Sebabnya kutolong dia, karena aku pun ingin tahu rahasia apa yang dimaksudkannya itu.”

“Ap... apa katamu?” tanya So Ing.

“Cinta saudara padamu ini sudah merasuk tulang sumsum, tapi pada kesempatan baik untuk melaksanakan idam-idamannya ini dia justru menyampingkan urusan cinta dan cuma minta kau menjelaskan sesuatu rahasia, ini suatu tanda bahwa rahasia yang dimaksudkannya terlebih penting dari pada dirimu yang dicintainya.”

“Hmk,” Gui Moa-ih hanya mendengus dan tidak menanggapi komentar Siau-hi-ji itu.

Segera Siau-hi-ji menyambung pula, “Sebaliknya kau rela menyerahkan tubuhmu padanya dari pada menceritakan rahasia yang dia minta, ini pun suatu tanda bahwa kau memandang rahasia itu jauh lebih penting dari pada tubuhmu sendiri.”

So Ing menggigit bibir, katanya kemudian sambil membanting-banting kaki, “Tolol kau, masa... masa kau tidak tahu maksudku?”

“Sudah tentu kutahu maksudmu,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. “Tapi bila dia mengetahui dirinya keracunan, apakah dia dapat mengampunimu?”

“Dia tidak berani membunuhku,” ujar So Ing, “Sebab kalau aku dibunuhnya maka selanjutnya jangan harap akan dapat mengetahui rahasia itu.”

“Itulah dia, kan cocok dugaanku!” seru Siau-hi-ji dengan tergelak-gelak. “Jadi apa pun juga dia tetap ingin mengetahui rahasia ini. Dari sini dapat diketahui bahwa rahasia yang dimaksud pasti sangat hebat, maka aku jadi ingin tahu juga.”

“Tapi kalau kau...”

“Agar kau mau membeberkan rahasia yang dimaksud, jalan satu-satunya ialah biarkan kau dipaksa oleh dia,” sela Siau-hi-ji sebelum So Ing bicara lebih lanjut. “Sebab kalau kau sampai terbunuh, jelas rahasia ini takkan kau ceritakan dan aku pun tidak dapat mendengarnya.”

So Ing membanting-banting kaki dengan mendongkol, katanya, “Tapi kan aku mau menolongmu, mengenai rahasia ini kelak kan dapat kuberitahukan padamu?”

“Belum tentu,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Kalau melihat aku akan mati, kau khawatir, lalu rahasia itu akan kau beberkan. Tapi bila aku tertolong, kau khawatir pula aku akan kabur, untuk ini kau pasti akan ceritakan rahasia ini untuk mengikat diriku, bukan mustahil aku harus menunggu dan menunggu terus, entah sampai kapan barulah kau mau memberitahukan rahasia ini. Nah, mana aku sanggup bersabar menunggu selama itu?”

Setelah terbahak-bahak, lalu dia menyambung lagi, “Bicara sejujurnya, setelah kau tolong aku, bisa jadi akan terus kutinggal pergi. Jika begitu, kan selamanya aku tak dapat mendengar rahasia ini, dan selama itu pula pikiranku akan merana.”

Uraian Siau-hi-ji yang aneh, seperti betul dan juga seperti tidak betul ini, membuat Gui Moa-ih rada-rada bingung dan serba salah. Apalagi So Ing, hampir meledak perutnya saking gemasnya.

Dengan suara gemas So Ing lantas berkata, “Jika rahasia ini sedemikian pentingnya, kalau kau ikut mendengarnya, apakah dia mau mengampunimu? Kau suka anggap dirimu ini orang pintar nomor satu di dunia, mengapa segi ini tidak kau pikirkan?”

Siau-hi-ji terbahak-bahak, katanya, “Pagi bisa mendengar, mati petang tanpa menyesal. Asalkan aku dapat mendengar rahasia sebagus ini, biar pun mati juga bukan soal.”

So Ing melengak, sampai sekian lama barulah ia berucap pula dengan tersenyum getir, “Di dunia ini ternyata ada manusia seperti kau, jika tidak kusaksikan sendiri, biar pun kepalaku dipotong juga aku tidak percaya.”

“Kan sudah kukatakan sejak mula kau bertemu dengan aku, anggaplah kau yang sial,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Nah, sekarang lekaslah kau ceritakan rahasia itu, kalau tidak, segera dia akan membunuhku.”

Sungguh ganjil bin janggal. Dia berbalik membantu orang lain, seakan-akan khawatir orang lain tidak jadi membunuhnya, makanya dia harus lekas-lekas mengingatkannya.

Benar juga, dengan suara bengis Gui Moa-ih lantas membentak, “Betul, jika kau ingin main gila lagi, segera kubinasakan dia!”

So Ing memandang Siau-hi-ji, lalu memandang Gui Moa-ih, mendadak ia tertawa terkikik-kikik, tertawa geli, geli sekali. Katanya kemudian, “Sungguh lucu, sungguh aneh! Di dunia ini ternyata ada manusia begini. Untuk persoalan ini, sebenarnya tidak nanti kubeberkan rahasia ini bagi siapa pun, akan tetapi bagimu...”

“Bagiku, tentu kau mau membeberkan bukan?” tukas Siau-hi-ji.

“Sesungguhnya dunia ini sudah membosankan bagiku,” kata So Ing dengan tertawa. “Jika sekarang kubiarkan kau mati, hidupku kan tambah kosong?”

“Betul, betul,” seru Siau-hi-ji dengan tertawa, “Orang macamku ini sekali-kali tidak boleh mati. Nah, lekaslah kau beberkan.”

So Ing lantas berpaling ke arah Gui Moa-ih sambil menarik muka, katanya kemudian dengan tenang, “Padahal biar pun kuceritakan rahasia Ih-hoa-ciap-giok ini juga tiada gunanya bagimu. Untuk belajar jelas kau tidak becus, hendak mematahkannya juga kau tidak mampu...”

Belum lagi Gui Moa-ih menjawab, seketika air muka Siau-hi-ji berubah, serunya, “Apa katamu? Rahasia Ih-hoa-ciap-giok?”

“Betul, rahasia Ih-hoa-ciap-giok, rahasia terbesar dalam ilmu silat,” kata So Ing. “Karena rahasia inilah selama dua puluh tahun ini mereka guru dan murid tidak enak makan dan tidak enak tidur.”

“Jadi kau... kau tahu rahasia Ih-hoa-ciap-giok?” tanya Siau-hi-ji dengan terbelalak.

“Ya, selain orang-orang Ih-hoa-kiong sendiri, yang mengetahui rahasia ini mungkin cuma aku saja di seluruh dunia ini,” ucap So Ing dengan tertawa.

Gui Moa-ih tampak tidak sabar lagi, teriaknya dengan suara serak, “Sudahlah, yang penting kau ceritakan rahasia itu padaku, dapat mempelajarinya atau tidak adalah urusanku.”

“Baik,” jawab So Ing, “Dengarkan...”

Belum lanjut ucapannya, mendadak Siau-hi-ji berteriak-teriak dan tertawa sekeras-kerasnya, suaranya melengking memekak telinga sehingga apa yang diucapkan So Ing tak terdengar oleh Gui Moa-ih.

Tentu saja Gui Moa-ih menjadi gusar, ia melompat ke sana dan meraung murka, “Apa kau sudah gila, keparat!”

Siau-hi-ji mencibir padanya, jawabnya dengan tertawa, “Tidak, aku tidak gila, soalnya aku tidak ingin lagi mendengarkan rahasia ini.”

Ucapan ini membuat So Ing melengak pula.

Sedang Gui Moa-ih tambah murka, teriaknya gemas, “Tadi mati pun kau ingin tahu rahasia ini, bila dapat mendengar rahasia Ih-hoa-ciap-giok, mati pun tidak penasaran, mengapa sekarang malah tidak mau mendengarkan lagi?”

“Rahasia lain memang menarik bagiku, tapi rahasia Ih-hoa-ciap-giok ini... hehe, semenjak berumur tiga tahun aku sudah tahu, untuk apa kudengarkan pula?” jawab Siau-hi-ji sambil tertawa.

Gui Moa-ih tercengang, tanyanya, “Masa kau... kau pun tahu?”

“Bukan saja tahu, bahkan apa yang kuketahui terlebih banyak dan lebih jelas dari pada yang diketahui So Ing, apakah kau ingin mendengarnya dariku?”

Girang dan kejut Gui Moa-ih, tapi dia sengaja menarik muka dan menjawab, “Jika benar kau dapat menguraikannya, tentu aku...”

“Aku tidak memerlukan terima kasihmu, asal saja kau bebaskan aku,” tukas Siau-hi-ji.

“Baik, baik,” seru Gui Moa-ih cepat.

“Nah, dengarkan. Kunci utama latihan Ih-hoa-ciap-giok dimulai dengan berdiri menjungkir, tangan digunakan sebagai kaki, kedua kaki menegak ke atas, kepala terangkat, lalu kaki dibentangkan disertai menahan napas dan...”

“Kungfu macam apa ini?” teriak Gui Moa-ih sambil berkerut kening.

“Kau mesti tahu bahwa kegaiban ilmu Ih-hoa-ciap-giok terletak pada cara latihannya yang berlawanan dari semua kebiasaan, dengan sendirinya gaya latihannya juga harus begitu,” tutur Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh.

“Tapi... tapi...”

“Tapi apa? Sudahlah, jika kau tidak ingin belajar juga tak apalah,” omel Siau-hi-ji.

Meski sangsi, tapi Gui Moa-ih benar-benar keranjingan ilmu Ih-hoa-ciap-giok yang sakti itu, asalkan dapat mempelajari ilmu itu, dia bersedia mengorbankan apa pun juga. Asalkan ada kesempatan untuk itu, biar pun cuma setitik harapan saja pasti takkan dilewatkannya.

So Ing hanya menyaksikan saja dengan sebelah tangan menutup mulut dan tidak bersuara.

Dilihatnya Gui Moa-ih telah menuruti kehendak Siau-hi-ji, dia terus berjungkir seperti pemain akrobat, dengan kedua tangan menahan tanah, kedua kaki menegak ke atas dengan sedikit terpentang, kepala diangkat tinggi-tinggi. Macamnya itu mengingatkan orang pada katak buduk.

Tapi Siau-hi-ji memandanginya dengan dingin, sedikit pun tiada mengunjuk senyum, katanya, “Tekuk lagi sedikit dengkulmu dan angkat lebih tinggi kepalamu.”

Gui Moa-ih benar-benar penurut, ia lakukan semua petunjuk itu, tanyanya, “Sudah cukup begini?”

“Ya, kacek sedikit, bolehlah!” kata Siau-hi-ji, tapi habis ucapan ini, lalu diam tanpa bersambung.

Selang sekian lama, Gui Moa-ih menjadi tidak sabar, tanyanya pula, “Lalu bagaimana lagi?”

Dengan nada kurang senang Siau-hi-ji menjawab, “Jika ingin berilmu sakti harus tekun berlatih. Kalau kesabaran sedikit saja tidak ada, lalu kepandaian apa yang dapat dihasilkan?”

Sekonyong-konyong Gui Moa-ih melompat bangun, katanya sambil mendelik, “Jika kau menipu aku, akan ku...”

“Menipu kau? Untuk apa kutipu kau?” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. “Coba pikir, apa bila aku tidak tahu rahasia ilmu sakti ini, masa aku sengaja membuang kesempatan baik untuk mengetahui rahasia ilmu yang diidam-idamkan setiap orang persilatan ini?”

Untuk sekian lama Gui Moa-ih melotot dengan sangsi, tapi akhirnya ia pun menurut, kembali ia berjungkir pula seperti tadi dan tidak bersuara lagi. Namun setelah lewat sejenak Siau-hi-ji tetap diam saja, tetap tidak bersambung.

Biar pun tenaga dalam Gui Moa-ih sangat kuat, tapi gaya berjungkir itu benar-benar sangat melelahkan. Betapa pun tinggi ilmu silat seseorang kalau disuruh berdiri menjungkir begitu juga pasti merasa payah.

Setelah seminuman teh pula, dahi Gui Moa-ih sudah mulai berkeringat, kembali ia tanya, “Harus menunggu berapa lama lagi?”

“Baiklah, hawa murni dalam tubuhmu rasanya sudah terhimpun sampai di dada, langkah dasar pertama ini boleh dikatakan sudah cukup,” ujar Siau-hi-ji. “Sekarang langkah kedua, sebelum dimulai, kentut dulu satu kali.”

“Apa, kau suruh aku kentut?” tanya Gui Moa-ih dengan gusar.

“Betul, kau harus kentut,” kata Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh.

“Kukira mulutmu yang lagi kentut!” teriak Gui Moa-ih dengan gusar. Meski gelisah dan gusar, tapi dia belum berani melompat bangun karena khawatir hasil latihannya tadi terbuang percuma.

Dengan tenang Siau-hi-ji lantas berkata, “Kau tahu, kentut adalah angin busuk dalam tubuh manusia, sebabnya kusuruhmu mengentut ialah supaya angin busuk dalam tubuhmu dihalau keluar, habis itu barulah mulai berlatih ilmu sakti.”

Gui Moa-ih pikir alasan Siau-hi-ji itu pun masuk di akal, terpaksa ia benar-benar mengentut satu kali. Orang yang punya Lwekang tinggi memang dapat mengendalikan setiap anggota badannya dan juga pernapasannya, maka untuk mengentut bukan sesuatu yang sukar.

Dengan sendirinya So Ing merasa geli, tapi sedapatnya ia menahan perasaannya sambil mendekap hidung dan melengos ke sana.

Namun Siau-hi-ji tetap bersikap sungguh-sungguh, katanya, “Kentutmu ini tidak masuk hitungan.”

“Kenapa tidak masuk hitungan?” tanya Gui Moa-ih.

“Caramu kentut harus buka celana,” kata Siau-hi-ji.

“Bu... buka celana...” Gui Moa-ih tergagap, mukanya menjadi merah padam.

“Ya, langkah ini disebut ‘buka celana dan kentut’,” ujar Siau-hi-ji.

Gui Moa-ih meraung murka sambil melompat bangun. Dia bukan orang tolol, bahkan licin dan licik, bukan manusia yang mudah diakali. Soalnya dia keranjingan belajar Ih-hoa-ciap-giok sehingga rada keblinger, sebab itulah ia kena dikibuli Siau-hi-ji.

Sekarang didengarnya ucapan Siau-hi-ji semakin tidak masuk akal, segera ia melompat bangun dan membentak, “Sesungguhnya ilmu... ilmu apakah ini?”

“Ini namanya ‘ilmu sakti si tolol kentut’, jauh lebih lihai dari pada Ih-hoa-ciap-giok,” jawab Siau-hi-ji, tetap dengan air muka serius.

Saking geregetan Gui Moa-ih mengepal dengan kencang, sekujur badan serasa gemetar semua, sungguh kheki setengah mati. Akhirnya So Ing terpingkal-pingkal.

Baru sekarang Siau-hi-ji terbahak-bahak, ucapnya, “Goblok kau! Coba pikir apa bila benar aku mahir Ih-hoa-ciap-giok, apakah mungkin aku bisa kau gantung di atas pohon? Kau telah menipu aku, jika sekarang tidak kubalas menipu kau, kan tidak adil?”

So Ing terkikik-kikik geli, katanya, “Tapi caramu... caramu ini rada-rada kebangetan.”

“Orang yang berani mengakali aku harus terima ganjarannya lebih banyak,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Kau menipu aku, hendak kucabut nyawamu!” teriak Gui Moa-ih sambil menubruk maju.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar