Badai Laut Selatan Jilid 25

Pujo mengangguk-angguk, "Tahulah aku sekarang! Pantas gusti patih sendiri menuduh aku dan ayah mertuaku sebagai pemberontak-pemberontak! Kiranya itulah siasat si jahanam Jokowanengpati. Nimas Sari, jelas sekarang siapa musuh kita. Hemm, agaknya dahulu itu dia berada di sebelah dalam gua, dan dia menggunakan kesempatan munculnya Wisangjiwo untuk melakukan perbuatan biadab mempergunakan nama Wisangjiwo!"

Wajah Kartikosari menjadi merah saking malu dan marah, namun matanya memancarkan cahaya berapi-api.

"Agaknya begitulah. Pantas kau roboh olehnya ketika itu, karena kau sudah terluka. Wisangjiwo yang sudah terluka pula agaknya tak mungkin dapat merobohkanmu. bodoh kita, kita berangkat dan mencarinya!".

"Akan tetapi bagaimana dengan anak kita dan muridmu? Kita harus mencarinya."

"Kakangmas Pujo dan kakang mbok, kalau diperkenankan biarlah aku menemani kalian. Musuh kita ternyata sama orangnya!" kata Roro Luhito.

"Betul, harap kalian berbaik hati menerima muridku sebagai teman. Aku sendiri akan pulang ke Telomoyo, akan tetapi kelak aku pun akan menyusul kalian ke Selopenangkep. Nah, muridku Roro Luhito, baik-baiklah engkau menjaga diri. Dua orang ini boleh kau percaya sepenuhnya, mereka orang-orang baik. Kalau sudah tiba saatnya, aku akan menyusulmu, nak." Roro Luhito segera berlutut menyembah, memberi hormat dan menghaturkan selamat jalan.

Demikian pula suami isteri itu yang tahu bahwa kakek itu adalah seorang pertapa yang sakti dan berbudi walaupun wataknya aneh seperti monyet, segera memberi hormat. Tanpa ragu-ragu lagi mereka menerima Roro Luhito sebagai teman, karena sedikit banyak terutama Pujo, merasa bersalah terhadap keluarga Wisangjiwo, bersalah telah menculik Joko Wandiro. Jelas bahwa musuh besar mereka sama orangnya bukan lain adalah Jokowanengpati, Siapa lagi kalau bukan dia? Selain bukti kelingking kiri yang buntung, juga semua sepak terjangnya di Selopenangkep membayangkan pengkhianatan dan penipuan untuk mengadu domba, dan ini saja sudah cukup menjadi bukti.

Betapa pun juga, ia tidak mau berlaku gegabah, dan potongan kelingking kering masih ia simpan. Ia akan mengukurnya dahulu dengan kelingking kiri Jokowanengpati sebelum menjatuhkan pembalasan. Kalau sekali ini ia keliru lagi, akibatnya tentu hebat, karena Jokowanengpati adalah murid uwa gurunya, Empu Bharodo yang sakti mandraguna. Setelah Resi Telomoyo pergi meninggalkan tempat itu, Kartikosari bertanya kepada Roro Luhito, "Diajeng, kalau menurut pikiranmu, ke manakah kita akan dapat mencari musuh kita?"

Roro Luhito menundukkan mukanya.

"Terserahlah kepada kalian, aku hanya menurut dan ikut. Kepandaianku tidak seberapa, dan aku tahu betapa saktinya musuh kita."

"Kita harus pergi dulu mencari anak kami dan keponakanmu Joko Wandiro. Aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan mereka, karena aku melihat lima orang mayat penjahat di sana."

"Begitupun baik, aku hanya menurut saja." kata Roro Luhito dan sekilat matanya mengerling ke arah Pujo lalu menunduk kembali.

Pujo melihat ini dan teringat akan sikap gadis itu ketika mula-mula bertemu dengannya, mukanya menjadi merah sekali. Ketika gadis itu menyangka dia orang yang menggagahinya, gadis ini malah mencarinya dan hendak bersuwita (menghamba) kepadanya. Kini setelah tahu bahwa bukan dia orangnya, melainkan Jokowanengpati, mengapa sikapnya berubah dan hendak membalas dendam kepada Jokowanengpati penuh kebencian? Hanya satu saja jawaban yang mungkin benar, yaitu bahwa Roro Luhito ini mencintanya!

Berdebar jantung Pujo sehingga mukanya menjadi merah. Timbul rasa haru dan iba yang besar di hatinya. Namun, betapa mungkin. ia mengimbangi perasaan gadis itu? Ia telah menemukan kembali isterinya, satu-satunya wanita di jagad raya ini yang dicintainya sepenuh jiwa raganya! Untuk menghilangkan kecanggungan hatinya ia segera berkata, "Perjalanan kita jauh dan sukar, sebaiknya kita ke dusun mencari tiga ekor kuda. Menunggang kuda akan lebih cepat dan tidak melelahkan."

Dua orang wanita itu setuju dan berangkatlah mereka ke dusun mencari kuda. Setelah mendapatkan kuda dari penghuni dusun yang mengenal baik Pujo, berangkatlah mereka mulai dengan perjalanan yang mempunyai dua tujuan, pertama mencari Endang Patibroto dan Joko Wandiro, kedua mencari musuh besar mereka, Jokowanengpati. Di sepanjang perjalanan, terutama di waktu malam ketika mereka mengaso, Roro Luhito selalu bersunyi diri dan sengaja menjauh, tidak ingin mengganggu suami isteri itu sungguhpun hal ini membuat hatinya makin merana.

Namun Kartikosari secara bijaksana tidak mau memperlihatkan diri bermesra-mesraan dengan suaminya, betapun besar rindu dendam mereka satu sama lain. Bahkan dengan bisikan, Kartikosari menyatakan bahwa ia tetap dengan pendiriannya, yaitu tidak hendak kembali kepada suaminya memenuhi kewajiban sebagai isteri yang melayani suami kalau musuh besar mereka belum terbalas dan tewas di depan kakinya.

Pujo sebagai seorang ksatria utama juga memaklumi perasaan isterinya ini sebagai wanita utama yang dapat menjaga harga diri, dan ia pun merasa lega kalau hal ini malah memurnikan cinta kasih mereka, cinta kasih yang bukan hanya berdasarkan nafsu berahi semata, melainkan lebih mendalam. Dan selain ini, juga pembatasan mereka dalam hubungan ini menolong Roro Luhito dari keadaan tidak enak…..!

********************

Kita tinggalkan Pujo, Kartikosari, dan Roro Luhito yang melakukan perjalanan menunggang kuda untuk mencari musuh besar mereka dan melampiaskan dendam hati yang sedalam lautan sebesar Gunung Mahameru. Kita mengikuti perjalanan Endang Patibroto, gadis cilik yang meninggalkan Pulau Sempu setelah membunuh dua orang yang mengunjungi pulau itu.

Telah diceritakan di bagian depan betapa Endang Patibroto berhasil membunuh mereka dengan amat mudahnya karena ia memegang pusaka ampuh Brojol Luwuk. Kemudian karena takut kepada eyangnya setelah ia membunuh orang, pula karena hatinya tidak rela kalau harus berpisah dari keris pusaka seperti yang diperintahkan eyangnya, yaitu keris ini disuruh menyembunyikan, maka Endang lalu mempergunakan perahu kedua orang yang dibunuhnya itu dengan maksud menyeberang ke darat dan mencari ibunya.

Sudah setahun lebih ia berpisah dari ibunya. Anak perempuan yang baru berusia sebelas tahun ini tidak tahu sama sekali bahwa di suatu daerah dekat Pulau Sempu merupakan kedung ikan hiu yang buas. Semua nelayan di daerah itu tentu saja tahu belaka akan hal ini dan mereka itu tidak berani melintasi laut melalui daerah itu, yakni di sebelah timur pulau, kecuali kalau mereka menunggang perahu besar yang cukup tinggi dan kuat sehingga tidak akan dapat diganggu ikan-ikan hiu. Endang Patibroto secara kebetulan mendayung perahunya melalui daerah itu karena memang ia tadinya berlari ke pantai ujung timur di pulau itu.

Demikianlah, selagi ia enak-enak mendayung dan sudah jauh meninggalkan pulau, tiba-tiba air laut di sebelah depannya bergelombang keras dan nampaklah sirip-sirip ikan hiu yang seperti layar-layar kecil meluncur cepat mengarah perahunya. Di pantai Karang Racuk seringkali Endang melihat sirip-sirip ikan hiu dan oleh ibunya ia sudah diberi tahu bahwa ikan-ikan hiu merupakan raja lautan yang amat ganas, seperti harimau di darat.

"Tentu saja lebih berbahaya dari pada harimau," kata ibunya. "Harimau berada di darat dan dapat kita lawan dengan kecepatan dan kekuatan, akan tetapi ikan hiu dalam air, amat sukar untuk dilawan. Maka hati-hatilah kau kalau mandi di laut."

Dan kini melihat banyak sekali sirip ikan hiu meluncur ke depan perahu menimbulkan air bergelombang, hati Endang berdebar. Perahunya amat kecil dan melihat sirip-sirip itu, dapat diduga bahwa ikan-ikan itu lebih besar dan lebih panjang dari pada perahunya! Akan tetapi pada saat itu, rasa cemasnya kalah oleh rasa heran dan kaget ketika ia melihat pemandangan yang sukar dipercaya. Jauh dari arah pantai daratan, ia melihat seorang laki-laki tua meluncur berdiri di atas air dengan jubah dikembangkan seperti layar!

Mana mungkin ada manusia berlari di atas air? Ia mengucek-ucek matanya, serasa mimpi, akan tetapi ketika membuka kembali matanya, kakek itu masih tampak! Bahkan kakek itu agaknya tertawa-tawa, karena suara gelak tawanya terbawa angin dan sampai di telinganya. Suara terkekeh-kekeh seperti seorang anak kecil yang bergembira dan bermain-main di air.

Saking heran dan kagetnya, sejenak Endang lupa akan sirip-sirip ikan hiu dan tiba-tiba dayungnya terlepas dari tangannya seperti ada yang merenggutnya. Ia kaget dan meloncat berdiri. Untung ia sudah meloncat berdiri karena pada saat itu perahunya tertumbuk dan terdorong dari bawah dengan kekuatan yang amat luar biasa sehingga perahunya itu terlempar ke atas.

Tubuh Endang ikut pula mencelat ke atas dan untungnya ia berlaku waspada. Menduga bahwa ikan-ikan hiu yang menjungkir balikkan perahunya, di atas udara Endang cepat berjungkir balik sehingga turunnya ke bawah agak melambat. Perahu jatuh ke air dalam keadaan terbalik dan ia segera turun ke atas perahu terbalik itu. Di kanan kiri perahu, dekat dengan kakinya mulai tampaklah kepala ikan-ikan hiu yang besar, yang seakan-akan berlumba hendak menyambarnya!.

Endang Patibroto merasa ngeri dan takut, akan tetapi ia tidak kehilangan akal. Di samping rasa ngeri dan takut, juga kemarahannya memuncak dan ia cepat-cepat menghunus keris Brojol Luwuk dari kembennya, lalu memasang kuda-kuda di atas perahu terbalik dengan kedua lutut ditekuk rendah. Ketika kepala seekor ikan hiu muncul dekat sekali di sebelah kanan, kerisnya menyambar dan tepat menusuk kepala ikan itu. Ikan itu kelabakan, mendatangkan ombak sehingga perahunya yang terbalik itu terdorong agak jauh.

Terjadilah pergulatan hebat ketika ikan yang terluka itu diserbu kawannya sendiri. Akan tetapi beberapa ekor ikan tetap saja masih mengelilingi perahu dan kini tiba-tiba sekaligus dua ekor ikan menyerbu, mengangkat kepalanya dan berusaha menyambar kaki Endang Patibroto. Gadis cilik ini makin marah, keris pusakanya menyambar dengan kecepatan luar biasa dan dua ekor ikan itupun berkelepakan di dalam air dalam keadaan sekarat, lalu diserbu kawan-kawannya sehingga perut mereka pecah dan ususnya berantakan. Air di sekitar perahu menjadi kemerahan.

Saking banyaknya ikan hiu yang berkeliaran di tempat itu, bangkai tiga ekor ikan korban keris pusaka Brojol Luwuk itu sebentar saja habis dan belum memuaskan kelahapan mereka. Beberapa ekor ikan masih menyerbu perahu. Endang Patibroto berbesar hati menyaksikan hasilnya, dan dengan gerakan yang lincah sekali ia berloncatan dari ujung kiri ke ujung kanan perahunya yang terbalik, mengayun keris pusaka Brojol Luwuk ke kanan kiri dan setiap kali ada ikan hiu yang berani memperlihatkan kepalanya, biarpun sejauh satu dua meter dari perahu, Endang melompat ke arah kepala ikan, kedua kaki hinggap di kepala yang miring dan kerisnya menusuk. Secepat kilat ia melompat sebelum ikan itu tenggelam, kembali ke atas perahu terbalik atau ke kepala ikan lain sambil menusukkan kerisnya.

Memang gadis cilik ini sudah biasa berlatih melompat-lompat di atas batu-batu karang yang menonjol di permukaan Laut Selatan. Maka kali ini gerakannya amat lincah dan cekatan dan sebentar saja bangkai ikan hiu memenuhi tempat di sekeliling perahu! Dasar masih kanak-kanak, dan pula memang dasarnya Endang memiliki watak keras hati, tidak mau kalah dan suka mengumbar amarah, melihat banyak bangkai ikan, ia menjadi makin gembira.

Kini ia berloncatan, tidak hanya di atas perahu, bahkan ia meloncat dari bangkai ke bangkai sambil mencari-cari. Kalau ada ikan hiu biarpun hanya tampak siripnya meluncur dekat, ia akan menyerang dengan kerisnya ke sebelah depan sirip. Kerisnya masuk ke dalam air dan ikan yang tertusuk keris itu pasti berkelojotan dan tewas! Akan tetapi, perut ikan tidak sama dengan perut perahu, perut ikan ini licin sekali sehingga ketika Endang meloncat ke sebuah bangkai ikan, tiba-tiba ikan yang di injaknya itu bergerak!

Ternyata ikan itu belum mati dan masih berkelojotan. Tentu saja Endang tak dapat mempertahankan diri di atas perut ikan yang licin itu dan terpelesetlah ia, jatuh ke dalam air! Belasan sirip ikan meluncur dari sekelilingnya, menuju ke arahnya! Ngeri juga hati Endang, karena biarpun ia pandai berenang, namun dikeliling ikan-ikan buas itu bagaimana ia mampu melawan?

"Hua-ha-ha-ha, hebat... hebat... luar biasa sekali kau!"

Tiba-tiba terdengar suara ini yang keras sekali dan tahu-tahu Endang merasa tubuhnya melayang ke atas. Ketika ia melihat, ternyata ia sudah berada di pondongan tangan kiri seorang laki-laki tua yang tinggi besar, bermata lebar bundar menciutkan.

Teringat akan keris pusakanya yang tidak boleh kelihatan orang lain, Endang cepat-cepat menyimpannya ke dalam kemben. Ia memperhatikan kakek tinggi besar yang menakutkan ini. Kulit kakek itu hitam mengkilap, rambutnya sudah penuh uban, terbungkus kain berwarna ungu kehitaman. Jenggotnya sekepal sebelah, menutupi sebagian mulutnya yang lebar.

Ketika Endang memperhatikan, ia dapat menduga bahwa kakek ini adalah orang yang tadi ia lihat berlari di atas air! Bahkan sekarang juga ia masih berlari di atas air! Kedua kakinya bergerak ke depan, cepat sekali dan kainnya yang dikembangkan ke kanan kiri tubuhnya, tertiup angin dari belakang merupakan layar kembar sehingga kedua kakinya amat laju bergerak ke depan!

Benar-benar luar biasa sekali dan sebagai puteri seorang sakti, Endang Patibroto dapat menduga bahwa kakek yang aneh dan berwajah menakutkan ini tentulah seorang yang luar biasa saktinya! Oleh karena ini ia membiarkan saja dirinya dipondong. Hanya saja, hatinya berdebar ketika ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu meluncur kemhali ke arah pulau Sempu!

"Hua-ha-ha! Genduk bocah ayu, kau siapakah?"

Sambil meluncur cepat di atas air, menggerak-gerakkan kedua kakinya, kakek itu bertanya, tangan kiri memondong, tangan kanan mengelus-elus kepala memijit-mijit perlahan dan meraba raba bentuk kepala orang.

Karena sikapnya halus dan biar suaranya kasar keras akan tetapi menyenangkan, sekaligus timbul rasa percaya dan suka di hati Endang Patibroto terhadap kakek ini.

"Namaku Endang Patibroto, eyang."

"Ha-ha-ha! Memang aku patut menjadi eyangmu. Endang Patibroto, cah ayu (anak cantik), tandangmu (sepak terjangmu) seperti peri lautan saja tadi. Ha-ha-ha! Kau anak siapa, cah ayu?"

Melihat kakek ini sikapnya ramah dan lucu, tertawa-tawa dan kasar, timbul keberanian hati Endang untuk main-main pula. Kakeknya, Bhagawan Rukmoseto sudah berkali-kali memberi nasehat bahwa pada waktu itu kerajaan sedang kacau-balau, orang-orang sakti saling bermusuhan sehingga lebih baik tidak memperkenalkan nama orang-orang tua kepada orang lain agar tidak menemui bencana. Siapa tahu kakek yang amaat sakti dan pandai berjalan di atas air ini juga musuh eyangnya, atau musuh ibunya. Maka ia menjawab sambil main-main, "Aku anak Ratu Laut Kidul, eyang!"

"Hah? Hua-ha-ha-ha, pantas, pantas! Kau memang pantas menjadi puteri Ratu Laut Kidul dan lebih patut lagi menjadi murid Dibyo Mamangkoro, ha-ha-ha!"

"Siapakah itu Dibyo Mamangkoro, eyang?" Belum pernah Endang mendengar seorang berjuluk Dibyo yang artinya seperti Dewa!

"Ha-ha, siapa lagi kalau bukan eyangmu ini, cah ayu! Tulang-tulangmu amat baik, bentuk kepalamu pilihan, sukar mencari keduanya di dunia ini. Mau engkau menjadi muridku, cah ayu?"

Endang Patibroto memang semenjak kecil suka sekali mempelajari ilmu dan ia yakin bahwa kakek yang menggendongnya sambil berlari di atas lautan ini sudah pasti memiliki kesaktian yang melebihi ibunya maupun eyangnya, maka ia senang sekali dan menjawab tanpa ragu-ragu lagi, "Aku mau, eyang! Aku mau!"

"Ha-ha-ha, bagus! Sepuluh tahun lagi, engkau menjadi orang yang paling sakti di dunia ini!”

Kakek aneh itu terus tertawa berkakakan dan pada saat itu ia telah tiba di tepi pantai Pulau Sempu. Dengan gerakan seperti seekor burung camar raksasa melayang, tubuhnya melompat ke atas pasir dan ia menurunkan Endang Patibroto. Sekarang tampaklah oleh anak itu bahwa kaki kakek itu ternyata memakai mancung (kelopak manggar kelapa) yang bentuknya seperti perahu. Dua buah mancung itu diikatkan di bawah kaki sehingga kedua kaki kakek itu seakan-akan berdiri di atas perahu-perahu kecil dan angin laut menggerakkan jubahnya yang dikembangkan di kanan kin tubuhnya seperti layar.

Sungguh pun angin yang mendorong jubahnya dan kedua buah kelopak manggar (bungakelapa) itu yang menahan tubuhnya, namun kalau tidak seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa takkan mungkin dapat melakukan penyeberangan seperti itu. Dapat berdiri tanpa tenggelam hanya dengan bantuan mancung kelapa di atas air ini saja sudah membutuhkan aji meringankan tubuh yang hebat, belum lagi diingat betapa air dilaut bergelombang dan bahayanya ikan-ikan besar yang dapat menyerang kaki! Setelah membuang dua buah mancung kelapa dari kakinya yang telanjang, kakek itu menggandeng tangan Endang diajak berjalan ke dalam pulau.

"Mari nonton keramaian, cah ayu. Mari nonton pertunjukan bagus!" katanya dan Endang hanya menurut saja karena anak ini merasa yakin bahwa di samping kakek ini, ia akan aman.

Sementara itu, di tengah Pulau Sempu terjadi pula hal-hal luar biasa. Ketika Endang Patibroto dan Joko Wandiro berlari pergi setelah menerima bagian pusaka Mataram untuk melakukan perintahnya menyembunyikan pusaka masing-masing, Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo duduk bersila di depan pondoknya, bersila di atas batu hitam bundar sambil mengheningkan cipta. Sebagai seorang berilmu dan seorang pertapa, perasaan kakek ini sudah peka dan halus sekali sehingga getaran-getaran aneh yang terasa olehnya di saat itu seperti membisikkan kepadanya bahwa ia menghadapi hal-hal yang hebat. Namun dengan tenang ia sengaja bersila di depan pondoknya, menanti datangnya hal-hal itu sambil mempertebal penyerahan diri kepada Hyang Murbeng Dumadi.

Tak lama kemudian tubuh Bhagawan Rukmoseto tampak menggigil dan menggetar. Beberapa lama tubuhnya gemetar keras, akhirnya tenang kembali dan ia menarik napas panjang sambil membuka mata, menengadah ke langit sambil mengeluh, "Ya Jagad Dewa Batara...! Terserah kehendak Hyang Widdhi, hamba tidak kuasa apa-apa!" Kakek yang awas paninggal ini seperti telah mendapat sasmito dari alam gaib bahwa yang akan datang menimpanya bukanlah hal yang biasa! Dan ia menyerah, rnenyerah bulat-bulat kepada kehendak Tuhan.

Bhagawan Rukmoseto turun dari atas batu, lalu memasuki pondoknya, membiarkan pintu pondok terbuka. Tidak lama kemudian, dari pondok yang sunyi itu keluarlah asap tipis yang harum. Juga dari dua buah lubang jendela di kanan kiri pondok, asap tipis itu keluar perlahan membawa ganda harum dupa cendana. Makin sunyi keadaan sekeliling tempat itu. Tiada suara lain kecuali debur ombak memecah di pantai pasir.

Sebuah perahu layar besar mendekati pantai Sempu dari selatan. Kemudian berlompatan keluar enam bayangan orang dengan gerakan yang luar biasa. Perahu itu tidak menempel di darat, masih beberapa meter jauhnya, namun enam orang itu dapat melompat ke darat dengan gerakan ringan. Hal ini menandakan bahwa mereka bukanlah orang sembarangan. Ketika enam orang itu melompat ke darat, di atas perahu layar masih terdapat banyak anak buah perahu yang terdiri dari orang-orang tinggi besar, berpakaian seragam dan dipimpin oleh seorang yang berpakaian senopati kerajaan.

Bendera di tiang layar membuktikan bahwa perahu ini bukanlah perahu pedagang atau nelayan, melainkan perahu milik seorang pembesar tinggi , Hal ini memang benar karena sesungguhnya perahu layar itu milik Pangeran Muda, putera Sang Prabu Airlangga!. Enam orang itu adalah tokoh-tokoh yang sudah kita kenal baik. Mereka bukan lain adalah Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, Ni Nogogini, Ni Durgogini, dan Jokowanengpati!

Seperti kita ketahui, mereka ini adalah orang-orang yang bersekutu dengan Adipati Joyowiseso di Kadipaten Selopenangkep. Sudah jelas bahwa adipati ini berniat memberontak terhadap Kahuripan, namun karena maklum akan hebatnya kekuasaan kerajaan itu maka usaha pembrontakan mereka hanya terbatas pada membuat kekacauan-kekacauan belaka.

Kemudian terjadilah perebutan kekuasaan di Kahuripan setelah Sang Prabu Airlangga mengundurkan diri dari istana untuk bertapa menjadi pendeta. Kesempatan baik ini dipergunakanlah oleh para pemberontak ini untuk memilih sekutu dan tak lama kemudian mereka ini telah diterima menjadi kaki tangan atau sekutu Pangeran Muda!

Telah kita ketahui bahwa sesungguhnya yang menjadi pencuri pusaka keraton yang hilang, yaitu patung kencana Batara Whisnu, bukan lain adalah Jokowanengpati sendiri. Akan tetapi kemudian di lereng Gunung Lawu, Jokowanengpati kehilangan pusaka itu yang terampas oleh seorang kakek berkedok. Jokowanengpati yang amat cerdik itu akhirnya dapat menduga dari gerakan-gerakan kakek berkedok tadi yang tidak banyak bedanya dengan gerakannya sendiri, bahwa kakek berkedok itu tentulah Resi Bhargowo!

Maklum bahwa dia sendiri, seorang diri, takkan mungkin dapat menangkan Resi Bhargowo atau merampas kembali patung pusaka, maka ia lalu memberitahukan semua sekutunya bahwa ia telah melihat paman gurunya itu membawa patung pusaka akan tetapi tidak berani merampasnya. Berita ini menggemparkan para tokoh yang menjadi sekutunya dan mulailah mereka mencari tempat sembunyi Resi Bhargowo. Namun sia-sia belaka. Sampai, tiba saatnya ia menjadi kaki tangan Pangeran Muda, usaha mereka mencari Resi Bhargowo tetap nihil. Akan tetap setelah mereka menjadi kaki tangan Pangeran Muda, usaha mereka mencari Resi Bhargowo diperhebat, mata-mata disebar luas, bahkan pulau-pulau kosong mereka selidiki.

Akhirnya mata-mata mereka mengirim berita bahwa di Pulau Sempu tinggal seorang kakek yang bertapa seorang diri yang diduga adalah Resi Bhargowo yang mereka cari-cari. Mendengar berita ini, segera mereka melaporkan kepada Pangeran Muda yang amat ingin mendapatkan pusaka yang hilang karena pusaka itu dapat menjadi lambang pegangan seorang raja!

Diperintahnya tokoh-tokoh sakti itu untuk menyerbu Pulau Sempu, dan untuk keperluan penyeberangan dipergunakan perahu layar milik Pangeran Muda sendiri! Sebelum perahu layar besar itu menyeberang, lebih dulu mereka mengirim dua orang mata-mata menyeberang dengan perahu kecil. Namun sungguh sial nasib dua orang mata-mata itu karena mereka kebetulan bertemu dengan Endang Patibroto dan tewas oleh anak perempuan itu. Demikianlah, enam orang sakti yang kini bekerja sebagai anak buah atau kaki tangan Pangeran Muda itu kini berjalan memasuki pulau, menuju ke pondok yang sunyi.

Sementara itu, di sebelah barat Pulau Sempu, sebuah perahu hitam kecil bergerak mendekati pantai. Seorang laki-laki tua tinggi kurus melompat dengan sigapnya ke pantai, memegangi ujung perahunya dan sekali sendal (tarik tiba-tiba) perahunya terlempar ke pantai. Kemudian ia berindap-indap memasuki pulau, matanya memandang ke kanan kiri seperti sikap seorang maling. Tangan kanannya meraba-raba gagang golok yang tergantung di pinggang, agaknya siap menghadapi bahaya setiap saat. la tidak berani berjalan di tempat terbuka, melainkan lari dari batu ke batu, dari pohon ke pohon sambil bersembunyi.

Siapakah kakek ini? Melihat gerak-geriknya yang cekatan dan sepasang golok yang tergantung di pinggang, ia mudah dikenal. Bukan lain adalah Ki Tejoranu, kakek pertapa di Danau Sarangan, ahli bermain golok. Seperti telah kita ketahui, tadinya Ki Tejoranu juga termasuk anggota persekutuan pemberontak, karena ia terbawa oleh Ki Warok Gendroyono yang menjadi sahabatnya. Akan tetapi kakek asing ini lebih terdorong oleh watak petualangannya sebagai seorang ahli silat dari pada dorongan ambisi kedudukan. Oleh karena itu, dalam pertandingan melawan Ki Patih Narotama, ia tidak mau melakukan pengeroyokan sehingga ia dianggap pengkhianat dan semenjak itu ia malah dimusuhi dan terpaksa menjauhkan diri dari persekutuan yang membantu Adipati Joyowiseso.

Telah lama Ki Tejoranu melakukan perantauan setelah ia sembuh dari lukanya karena senjata rahasia ganitri yang dilepas oleh Cekel Aksomolo. Kakek ini merantau dalam usahanya mencari Joko Wandiro yang dianggap telah melepas budi dan menolong nyawanya ketika ia hampir tewas oleh Cekel Aksomolo. Usahanya mencari Joko Wandiro inilah yang membuat ia sampai di pantai Laut Selatan dan tanpa disengaja ia melihat rombongan Cekel Aksomolo yang menyeberang ke pulau dengan sebuah perahu layar besar. ia menjadi curiga, lalu diam-diam dari pantai lain ia menggunakan perahu menyeberang pula ke Pulau Sempu.

Ketika Ki Tejoranu mengindap-indap dan matanya memandang ke kanan kiri, tiba-tiba di sebelah kanan, agak jauh dari situ, ia melihat tubuh seorang anak laki-laki menggeletak di atas tanah. Ki Tejoranu kembali memandang ke sekeliling. Sunyi tidak tampak bayangan seorangpun manusia, tidak terdengar suara apa-apa. Cepat ia melompat dan lari ke arah tubuh yang menggeletak seperti mayat.

"Hayaaaa...!"

la berseru kaget ketika melihat bahwa tubuh yang menggeletak seperti mayat itu adalah Joko Wandiro yang selama ini ia cari-cari. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan memeriksa. Kagetnya bukan main melihat bangkai ular yang lehernya hampir putus dan masih tergigit oleh mulut anak itu. Bangkai ular yang sudah kering dan habis darahnya!

Hatinya agak lega ketika memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa Joko Wandiro masih bernapas dan jantungnya masih berdetik. Cepat ia membuang bangkai ular, memondong tubuh itu dan membawanya lari ke pantai. Tiba-tiba Ki Tejoranu dengan gerakan bagaikan seekor bajing melompat telah lenyap di balik semak-semak sambil membawa tubuh Joko Wandiro. la bersembunyi di balik semak-semak, matanya yang sipit mengintai dari balik daun dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat, matanya yang sipit terbelalak dan mulutnya melongo.

Apa yang dilihatnya benar-benar kaget dan terheran-heran, melongo saking kagumnya. Biarpun dia sendiri adalah seorang berilmu yang sudah menyeberangi lautan berpekan-pekan jauh dan lamanya, sudah banyak mengalami hal-hal luar biasa, banyak pula menghadapi orang sakti, namun baru sekarang ia melihat orang dapat meluncur seperti terbang di atas lautan! ia melihat seorang kakek tinggi besar bermuka menyeramkan memondong seorang anak perempuan, dan kakek ini mengembangkan kainnya di kanan kiri tubuhnya seperti layar sedangkan kedua kakinya berdiri di atas air dan meluncur ke depan dengan cepatnya!.

"Bukan main...!"

Ki Tejoranu menggeleng-geleng kepala. Sukar dipercaya apa yang dilihatnya ini. Betapa pun saktinya, bagaimana ada orang dapat meluncur di atas ombak lautan? ia maklum bahwa kalau sampai tampak oleh orang sakti itu, tentu ia akan celaka dan tidak akan dapat menolong Joko Wandiro yang pingsan. Maka ia cepat-cepat menyelinap dan melihat kakek itu kini meluncur membelakanginya, ia cepat memondong tubuh Joko Wandiro dan membawanya lari ke pantai di mana perahunya berada.

Cepat ia meluncurkan perahu ke air dan membawa anak yang masih pingsan itu menyeberang ke arah daratan. Ketika ia menengok, ia melihat kakek sakti tadi sudah berjalan di atas pasir sambil menggandeng si anak perempuan. Kembali Ki Tejoranu menggeleng-geleng kepalanya penuh kekaguman…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar