Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 35

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Kawan-kawannya sependapat bahwa Sempati tentu sudah bertindak tergesa-gesa tanpa perhitungan. Akhirnya, ia telah terbunuh.

“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Laleyan kepada kawan-kawannya.

Kawan-kawannya saling berpandangan. Mereka sadar, bahwa ilmu mereka tentu terpaut banyak. Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Kita dapat bekerja bersama.”

“Sudah tentu.” jawab Laleyan, “Tapi apakah kita akan mencari mereka, atau membiarkan mereka datang kepada kita?”

“Kita mencari mereka. Aku kira sikap kedua orang itu bukannya sikap para cantrik di padepokan itu.”

“Ya. Masih ada satu dua orang cantrik yang ditinggalkan di padepokan itu.”

Tetapi Laleyan berkata, “Aku meragukan. Apakah para cantrik itu tidak sependapat dengan kedua penghubung itu. Jika kita datang ke padepokan itu, ternyata para cantrik yang ada di sana sependapat dengan kedua penghubung itu maka kita akan masuk perangkap. Dan kita akan mereka bantai di padepokan.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berkata, “Kita akan minta bantuan anak-anak muda yang selama ini terpisah dari kita. Tetapi mereka sudah menerima kita kembali.”

Laleyan menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Kita akan memperluas korban. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu untuk mempertahankan diri. Meskipun seandainya mereka berada dalam satu kelompok, namun mereka tidak akan mampu melepaskan diri dari maut seandainya kedua orang penghubung itu datang kepada mereka.”

Kawan-kawannya yang menyadari keadaan itu pun mengangguk-angguk. Apalagi anak-anak muda yang, selama itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk mempelajari ilmu kanuragan, sedangkan mereka yang serba sedikit pernah belajar ilmu kanuragan, mereka tidak berani menentang kedua penghubung itu secara langsung.

Namun. Laleyan kemudian berkata, “Bagaimana kalau kita mencoba menghubungi prajurit-prajurit yang ada itu?”

Seorang kawannya melonjak sambil berkata, “Itu pikiran yang baik. Aku sebenarnya sudah mereka-mereka untuk berkata seperti itu. Tetapi aku ragu-ragu.”

Ternyata kawan-kawannya sependapat. Mereka harus secepatnya pergi ke banjar menjumpai prajurit-prajurit itu.

“Tetapi, kedua orang itu tentu akan mendendam kita jika mereka tahu, kita telah melaporkan kepada mereka.” desis seseorang.

“Mereka akan mendendam kita, lapor atau tidak lapor.” sahut Laleyan.

Tetapi ternyata bahwa mereka masih juga ragu-ragu. Mereka tidak akan dapat berbuat banyak, jika kedua orang itu telah memperhitungkan bahwa mereka akan pergi ke banjar. Sementara itu kedua orang itu sengaja menunggu mereka sebelum mereka mencapai banjar.

“Kita mencari jalan yang menurut perhitungan mereka tidak akan kita lalui.” berkata salah seorang dari mereka.

“Tetapi mereka pun telah memperhitungkan pula.” desis yang lain.

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun memang sulit bagi anak-anak muda itu untuk menemukan pemecahan.

Akhirnya seseorang di antara mereka berkata, “Kita akan memecah diri. Kita akan bersama-sama pergi ke banjar menurut jalan yang berbeda-beda. Jika ada di antara kita yang bertemu dengan kedua orang itu, adalah nasib kita yang ternyata sangat buruk. Teapi dalam pada itu, yang lain akan segera dapat mencapai banjar, dan memberitahukan apa yang telah terjadi. Sementara itu, kita yang bernasib buruk akan dapat memberikan isyarat, agar prajurit-prajurit itu datang membantu kita.”

Sejenak anak-anak muda itu berpikir. Kemudian mereka mengangguk-angguk sambil berkata di antara mereka, “Pendapat yang baik. Kita akan melakukannya.”

Telapi ternyata mereka tidak perlu melaksanakan rencana itu. Tiba-tiba saja rumah Sempati itu menjadi sibuk karena kedatangan lima orang prajurit Singasari yang untuk sementara tinggal di banjar.

Orang tua Sempati menerima mereka dengan ratap dan tangis. Diluar sadar, mereka seakan-akan telah menuntut kepada para prajurit itu untuk membalaskan dendam dan sakit hati mereka terhadap pembunuh anaknya.

“Kita harus menemukan pembunuh itu.” berkata salah seorang prajurit itu, “Sementara kita belum mengetahui siapakah pembunuhnya, kita tentu masih belum dapat menentukan sikap apapun.”

“Tuan harus mencarinya.” teriak ibu Sempati.

Prajurit-prajurit itu menarik nafas. Sambil mengangguk-angguk salah seorang, dari mereka menjawab, “Baiklah. Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan dapat menyanggupinya dengan pasti.”

Orang tua Sempati menjadi kecewa. Dengan tatapan mata yang basah ibu Sempati berkata, “Jika tuan tidak menemukan, maka tidak ada gunanya tuan berada di sini. Tuan hanya merusakkan suasana yang telah mulai mapan di padukuhan ini beberapa saat yang lalu. Apapun yang dilakukan oleh anakku dalam lingkungan Empu Purung, namun saat itu tidak ada yang akan dapat dan berani membunuhnya. Tetapi ternyata kemudian prajurit Singasari telah mengguncang sendi-sendi kehidupan itu. Mungkin menjadi baik bagi orang lain, bagi padukuhan ini, tetapi alangkah buruknya bagiku karena anakku harus mati karenanya.”

“Tidak hanya Sempati yang harus mati.” jawab salah seorang prajurit itu, “Tetapi saat pertempuran itu terjadi, banyak anak-anak muda yang mati lebih dahulu dari Sempati. Saat terjadi goncangan atas tata kehidupan yang semula dikuasai oleh padepokan Empu Purung, korban telah jatuh. Tetapi dengan demikian maka yang tinggal hidup akan mengalami perubahan. Tata kehidupan akan menjadi jauh lebih baik. Terutama bagi masa depan anak cucu kita.”

“Tetapi kenapa korban itu harus anakku?” bertanya ayah Sempati.

“Tidak hanya anakmu. Tetapi juga anak beberapa orang yang jauh mendahuluinya.”

Kedua orang tua Sempati tidak menjawab. Mereka juga mendengar bahwa beberapa orang telah terbunuh dalam geseran kehidupan yang terjadi di padukuhan itu.

Bagi Singasari, yang terjadi sebenarnya bukannya sekedar sebuah geseran tata kehidupan di daerah kecil itu. Tetapi yang terjadi adalah suatu rangkaian peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Tetapi merupakan persoalan yang memerlukan penanganan yang menyeluruh di seluruh wilayah kekuasaannya.

Laleyan yang melihat, para prajurit itu berbicara panjang dengan orang tua Sempati, masih belum memotong dan memberikan penjelasan tentang peristiwa yang diketahuinya ada sangkut pautnya dengan kehadiran kedua orang penghubung itu. Baru kemudian, ketika kedua orang tua Sempati telah menjadi agak mengendap, Laleyan datang kepada para prajurit itu untuk menyampaikan pendapatnya.

“Aku yakin, bahwa kedua penghubung itulah yang melakukannya.” katanya kemudian setelah ia menceriterakan apa yang diketahuinya.

Prajurit-prajurit itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka bertanya, “Jadi, apakah mereka berada di padepokan itu menurut dugaanmu?”

“Sulit bagi kami untuk mengatakannya.” jawab Laleyan. “Tetapi mungkin juga cantrik yang tersisa di padepokan itu mengetahuinya.”

Prajurit-prajurit yang ada di rumah keluarga Sempati itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka sadar, bahwa yang terjadi itu merupakan sebuah tantangan bagi mereka.

Demikianlah ketika mereka meninggalkan rumah keluarga Sempati, kelima orang prajurit itu telah bersepakat untuk langsung pergi ke padepokan, bekas tempat tinggal Empu Purung.

“Mungkin kita akan menghadapi mereka dengan kekerasan.” berkata prajurit teretua di antara mereka.

Yang lain mengangguk-angguk. Salah seorang menyahut, “Mungkin. Tetapi itu merupakan tanggung jawab kita semuanya.”

Kelima prajurit itupun menjadi berhati-hati ketika mereka mendekati regol padepokan yang sepi itu. Padepokan yang tidak lagi nampak ramai oleh para cantrik, oleh anak-anak muda yang sedang berlatih olah kanuragan hampir tidak ada hentinya siang dan malam.

Tetapi kini padepokan itu menjadi sepi.

Sejenak para prajurit itu termangu-mangu di depan regol. Namun kemudian mereka memutuskan untuk memasuki regol yang lengang itu.

Dengan tangan di hulu senjata masing-masing, kelima prajurit itu memasuki regol padepokan. Tidak ada seorangpun yang nampak di halaman depan. Halaman yang biasanya penuh dengan para murid.

Sejenak kelima orang prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata. “Aku akan masuk.”

“Tunggu.” berkata yang, tertua, yang menjadi pemimpin dari kelima orang prajurit itu, “Kita memanggil cantrik yang tersisa di padepokan ini.”

Sejenak kemudian, maka terdengarlah suara prajurit itu, “He, siapakah yang ada di dalam?”

Suara bergema di seluruh padepokan. Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian seorang cantrik telah muncul dari balik regol longkangan. Cantrik itupun nampak ragu-ragu, bahkan agak ketakutan.

Pemimpin prajurit itu melambaikan tangannya memanggil cantrik yang ragu-ragu itu untuk mendekat. Kemudan dengan pendek bertanya tentang kemungkinan datangnya orang-orang yang masih belum dapat menerima perubahan yang terjadi di sekitar padepokan itu.

Cantrik itu menjadi semakin ragu-ragu. Nampak sesuatu terbersit di sorot matanya, sehingga pemimpin prajurit itupun langsung bertanya, “Apakah ada dua orang penghubung yang baru datang dari padepokan Empu Baladatu yang tidak mau mengerti perkembangan keadaan di padepokanmu ini?”

Cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian ia tidak dapat mengelak lagi.

Kedua orang yang dimaksud tentu kedua orang yang berusaha mencari dukungan atas usahanya untuk membalas dendam kematian kawan-kawannya, termasuk pemimpin tertinggi padepokan itu.

Betapapun ia ragu-ragu, namun iapun kemudian menjawab, “Ya tuan. Dua orang kawanku yang bertugas sebagai penghubung telah datang. Mereka tidak melihat peristiwa yang telah terjadi di sini. Ketika aku menceriterakannya, maka mereka sama sekali tidak mau menerima keadaan itu. Hatinya telah memberontak sehingga ia telah dicengkam oleh dendam dan kebencian.”

Prajurit-prajurit Singasari itu mengangguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Tentu orang itu yang kami maksud. Apakah kau sudah mendengar peristiwa yang terjadi di padukuhan hari ini?”

Cantrik itu mengangguk. Jawabnya, “Ya tuan. Aku sudah mendengar. Sempati telah terbunuh.”

“Apakah kau melihat hubungan antara Sempati dengan kedua orang kawanmu yang datang itu?”

Cantrik itu mengangguk. Jawabnya, “Aku melihat tuan. Justru karena itu, aku tidak datang menengok keluarganya. Aku takut jika terjadi salah paham. Keluarganya tentu akau menganggap bahwa aku terlibat dalam pembunuhan itu.”

Tetapi prajurit itu menggeleng. Katanya, “Keluarganya tidak tahu menahu tentang kedua orang penghubung yang datang itu.”

“Tetapi darimana tuan tahu?” bertanya cantrik itu.

“Seseorang telah memberitahukan kepadaku, bahwa ada dua orang penghubung dari padepokan ini yang berusaha untuk mengeruhkan suasana di padepokan ini.”

Cantrik itu menangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnyalah memang telah terjadi demikian. Terserah kepada tuan, apa yang sebaiknya dilakukan dalam keadaan seperti ini.”

Prajurit-prajurit Singasari itu termenung. Namun salah seorang dari mereka tiba-tiba bertanya, “Apakah kau sendiri di padepokan ini?”

Cantrik itu menggeleng sambil menjawab, “Tidak. Aku tidak sendiri. Aku bertiga di padepokan ini.”

“Apakah kedua kawanmu itu tidak akan berbuat sesuatu atas kalian bertiga?”

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Memang mungkin. Tetapi di samping kami bertiga, masih ada beberapa orang penghuni padepokan ini. Meskipun mereka bukan cantrik dan murid Empu Purung, tetapi mereka akan dapat kami jadikan kawan jika terjadi sesuatu. Bukankah maksud tuan ingin bertanya, apakah mungkin pada suatu saat, kedua orang itu akan membunuh kami?”

Prajurit-prajurit itu mengangguk.

“Kami telah bersiap menghadapi kemungkinan itu tuan. Agaknya mereka berdua tidak banyak mempunyai kelebihan daripada kami. Jika perlu kami harus mempergunakan kekerasan, maka kami tidak akan ingkar.”

Prajurit-prajurit itu mengerti, bahwa kemampuan para cantrik pada umumnya tidak banyak berbeda. Namun demikian yang dicemaskan oleh prajurit-prajurit itu, mungkin kedua orang penghubung itu akan berbuat licik.

Namun demikian, prajurit-prajurit itu masih lebih banyak dicemaskan oleh kemungkinan-kemungkinan lain di padukuhan. Kali ini Sempati. Mungkin saat lain anak-anak muda yang lain lagi.

Karena itu, maka prajurit-prajurit itupun kemudian berpesan agar para cantrik menjadi lebih berhati-hati.

“Kami akan berusaha menjaga diri tuan. Memang mungkin dalam keputusan atasan dan ketidak tentuan, mereka dapat berbuat apa saja dengan cara yang paling licik sekali pun. Aku yang telah lama berada di dalam lingkungan ini memang dapat melihat, bahwa kami mempergunakan segala cara untuk mencapai tujuan kami, meskipun cara itu adalah cara yang sangat licik.”

“Baiklah. Kami akan meninggalkan padepokan ini. Kami berharap bahwa para cantrik yang tersisa akan dapat membantu kami memelihara ketenangan yang sudah mulai kita rintis ini.”

“Baiklah tuan. Kami akan berusaha sejauh dapat kam lakukan.” jawab cantrik itu.

Prajurit-prajurit itupun kemudian minta diri meninggalkan padepokan yang telah menjadi sepi itu.

Di sepanjang jalan mereka berbincang apakah yang sebaiknya mereka lakukan untuk menghadapi kemungkinan yang memburuk di hari-hari mendatang.

“Kita harus berada di antara anak-anak muda itu.” berkata salah seorang dari prajurit-prajurit itu, “Kita akan membantu mereka menambah kemampuan mereka untuk membela diri.”

“Aku sependapat. Tetapi kami harus berusaha, menangkap keduanya. Sebelum keduanya tertangkap, kita masih akan banyak mengalami kesulitan.”

Para prajurit itu mengangguk-angguk. Mereka bersepakat untuk segera menangkap keduanya. Tetapi yang sulit adalah, bagaimana caranya. Keduanya tentu tidak akan menetap di tempat yang mudah diketemukan.

Tetapi yang pertama-tama dapat mereka lakukan adalah memperingatkan anak-anak muda agar berhati-hati, terlebih-lebih mereka yang pernah mempunyai hubungan dengan padepokan yang dipimpin oleh Empu Purung, karena peristiwa yang terjadi pada Sempati akan dapat terjadi pada anak-anak muda yang lain, yang menolak niat kedua penghubung itu.

Prajurit-prajurit Singasari itu pun kemudian selalu mengadakan perondaan di sekitar padepokan dan padukuhan-padukuhan di sekelilingnya. Tetapi mereka tidak pernah bertemu dengan orang yang sesuai ciri-cirinya dengan penghubung yang sedang mereka cari, seperti yang diberitahukan kepada mereka oleh. para cantrik.

Tetapi sekali lagi padukuhan Alas Pandan digemparkan, ketika di tengah bulak diketemukan lagi sesosok mayat anak muda yang dikenal sebagai salah seorang yang pernah menjadi pengikut Empu Purung. Mayat itu diketemukan dengan beberapa luka tusukan senjata di tubuhnya.

“Gila.” Laleyan menggeram, “Korban akan berjatuhan sebelum kedua orang itu dapat kami tangkap.”

“Apakah kau berani menangkap mereka?” bertanya seorang kawannya.

“Tidak, tidak jika aku seorang diri. Tetapi jika kita bersama-sama, maka pekerjaan itu tentu akan dapat kita selesaikan.”

“Tetapi kemana kita harus mencari keduanya?” bertanya yang lain.

Semuanya terhenti pada pertanyaan itu. Kedua orang itu ternyata tidak pernah menampakkan diri pada saat-saat yang tidak menguntungkan bagi mereka, karena mereka pun mempunyai perhitungan yang cermat pula.

Kematian anak muda yang kedua itu telah membuat anak-anak muda yang lain menjadi marah, tetapi juga ketakutan. Tidak ada di antara mereka yang berani keluar dari rumah mereka di malam hari. Apalagi keluar, sedangkan di dalam rumah masing-masing anak-anak muda itu selalu menyediakan senjata di sampingnya dengan hati yang cemas.

Yang pertama-tama mereka lakukan adalah menyimpan alat alat yang, dapat mereka jadikan penghubung yang satu dengan yang lain apabila keadaan memaksa. Hampir setiap anak muda telah menyimpan kentongan di dalam rumahnya. Jika satu dari kentongan itu berbunyi, maka di seluruh padukuhan akan menjadi riuh karena berpuluh-puluh kentongan lainnya akan berbunyi pula.

Sementara itu para prajurit Singasari menjadi gelisah pula oleh peristiwa semacam itu. Mereka mulai membayangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah lain, yang tentu mulai menjadi panas pula. Empu Baladatu yang sudah mendapat pemberitahuan tentang peristiwa yang terjadi di padepokan Empu Purung oleh kedua penghubung itu sebelum mereka mengetahui bahwa Empu Purung telah mereka hancurkan.

“Mungkin kedua penghubung itu telah pergi.” berkata salah seorang anak muda pada suatu saat kepada kawannya.

“Kenapa mereka pergi?”

“Mungkin mereka melaporkan apa yang terjadi di daerah ini kepada Empu Baladatu.”

“Mungkin. Tetapi masih ada kemungkinan lain. Mereka bersembunyi sebaik-baiknya. Jika kita lengah, pada suatu saat mereka akan menerkam kita. Justru lebih parah lagi.”

Sementara itu, para prajurit yang membawa beberapa orang tawanan telah berada di Singasari. Beberapa orang petugas telah menampung mereka pada suatu tempat yang telah ditentukan. Orang-orang yang terluka telah mendapat perawatan. Sedangkan yang tidak berbahaya lagi, mendapat perlakukan khusus sehingga mereka lebih banyak mendapat kesempatan berada di luar dinding bilik yang sempit.

Namun dalam pada itu, para penghubung prajurit Singasari telah berpencar. Mereka telah menghubungi barak-barak yang tersebar, karena mereka pun telah mendapat keterangan, bahwa Empu Baladatu tentu akan segera bertindak pula, karena peristiwa yang, telah meledak di padepokan Empu Purung.

Seperti yang telah diperhitungkan, maka di beberapa tempat segera pecah pula pertempuran-pertempuran seperti yang telah terjadi di Alas Pandan. Beberapa orang, yang telah siap, dan bahkan mereka menunggu terlalu lama, telah menggerakkan pengikut-pengikutnya menyerang barak-barak yang mereka anggap terpencil. Namun barak-barak itu sebenarnya telah diperkuat dengan beberapa orang prajurit pilihan pada saat-saat terakhir, karena menurut perhitungan mereka, petempuran- petempuran tentu akan segera pecah.

Namun bagaimanapun juga, Singasari merasa gelisah juga atas pecahnya pertempuran-pertempuran di beberapa tempat yang tersebar. Dengan demikian, maka Singasari harus mengirimkan pasukannya ke beberapa tempat. Singasari tidak dapat dengan acuh tidak acuh membiarkan pasukan mereka yang tersebar itu berusaha menolong diri sendiri jika mereka berada didalam kesulitan.

Seorang Senapati yang memimpin sepasukan prajurit di hadapan sebuah padepokan di pantai Selatan, telah mengirimkan dua orang penghubung untuk memberitahukan, bahwa pasukannya tidak mungkin dapat menghadapi kekuatan di padepokan itu, karena jumlah mereka terlalu banyak.

Dengan hitungan angka-angka yang terperinci, maka Singasari merasa wajib untuk mengirimkan sepasukan lagi prajuritnya ke tempat itu, tepat sebelum pertempuran meletus.

Namun dalam pada itu, pada umumnya Singasari dapat menguasai keadaan. Perlawanan yang berarti di beberapa tempat telah dapat dilumpuhkan.

Meskipun demikian, tugas para prajurit belum berarti selesai seluruhnya. Lima orang prajurit di Alas Pandan masih dipusingkan.

Selain mereka, maka Singasari tidak boleh melepaskan pengawasan mereka terhadap Mahibit.

Sementara itu, Linggapati mengikuti perkembangan keadaan dengan seksama. Ia merasa berhasil membenturkan pasukan Singasari dengan orang-orang yang, berada di bawah pengaruh Empu Baladatu. Linggapati yang menganggap bahwa Singasari telah mempercayai laporan-laporan yang dengan sandi diberikan oleh pengikut Linggapati, sehingga Singasari telah mengirimkan pasukannya kebeberapa tempat yang berada di bawah pengaruh Empu Baladatu.

“Perhatian Singasari kini telah tertumpah kepada pasukan Empu Baladatu.” berkata Linggapati kepada orang-orang kepercayaannya.

“Saatnya kini telah tepat.” berkata salah seorang dari kepercayaannya itu.

Linggapati tidak segera mengambil keputusan. Namun katanya kemudian, “Kita harus memperhitungkan keadaan dengan sebaik-baiknya. Empu Baladatu agaknya telah terpancing untuk dengan tergesa-gesa membenturkan kekuatannya, sehingga sebelum persiapannya masak, ia sudah terlibat dalam pertempuran yang menyeluruh.”

Para pengawal kepercayaan mengangguk-angguk. Merekapun mengerti bahwa pada mulanya, Linggapatilah yang memancing prajurit Singasari untuk pergi ke tempat-tempat yang sedang di persiapkan. Kemudian ternyata bahwa pasukan Singasari telah berhasil memancing pertempuran sebelum Empu Baladatu siap seluruhnya.

Linggapati yang tidak mau gagal lagi, setelah adiknya terbunuh dalam serangan yang tergesa-gesa atas sebuah padepokan yang dikuasai oleh kakak Empu Baladatu.

“Kita harus mengirimkan petugas-petugas terpercaya ke Kota Raja untuk melihat keadaan. Aku sendiri lah yang akan memimpin mereka. Jika keadaan memungkinkan, karena Kota Raja telah menjadi kosong, kita akan langsung bertindak, sementara pengikut-pengikut kita di daerah-daerah yang jauh harus bergerak lebih dahulu, agar pasukan Singasari menjadi semakin kalang kabut.”

Para pengawalnya mengangguk-angguk. Mereka memang melihat keadaan yang paling tepat untuk melakukannya. Jika pasukan Empu Baladatu sudah dihancurkan, maka prajurit-prajurit Singasari tentu akan segera kembali ke Kota Raja, sehingga usahanya tentu akan gagal.

Linggapati pun kemudian telah menyiapkan sekelompok kecil pengawal-pengawal pilihan. Mereka akan pergi ke Kota Raja untuk melihat keadaan. Agar tidak menarik perhatian, maka merekapun telah mengenakan pakaian orang kebanyakan. Seakan-akan mereka adalah orang-orang padesan yang akan pergi ke kota untuk menjual hasil sawahnya dan membeli kebutuhan mereka sehari-hari.

Dalam pada itu, Kota Raja memang sedang sepi. Sebagian besar pasukan Singasari berada di medan yang terpencar. Dengan demikian, maka Kota Raja seakan-akan telah dikosongkan, tanpa pengawasan atas kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

Yang nampak di Kota Raja hanyalah satu dua orang prajurit yang, meronda, menjaga agar tidak ada pencuri ternak atau perampokan di malam hari oleh tiga atau empat orang penyamun.

“Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa, jika. kita datang dengan pasukan segelar sepapan.” berkata Linggapati.

Pengawal mengangguk-angguk. Katanya, “Kita harus bertindak cepat. Jangan terlambat. Sekarang kita akan kembali ke padepokan, dan besok lusa kita akan memasuki Kota Raja.”

Linggapati mengerutkan keningnya.

“Jika kita terlambat sehari saja, maka mungkin sekali sepasukan prajurit telah kembali, seperti mereka yang telah kembali dari Alas Pandan. Tetapi agaknya mereka telah dikirim kembali ke tempat-tempat lain yang memerlukan.” desak pengawalnya.

Linggapati akhirnya menjawab, “Pada dasarnya aku sependapat. Tetapi kita belum melihat Kota Raja ini seluruhnya.”

“Apalagi yang akan kita lihat?”

Tetapi Linggapati masih tetap pada pendiriannya untuk melihat kota itu dalam keseluruhan.

Pengawalnya tidak dapat membantah lagi. Ia pun dengan tidak sabar mengikuti Linggapati yang berjalan mengelilingi Kota Raja.

“Kau sangka bahwa pengamatan semacam ini akan selesai dalam sehari?” bertanya Linggapati kepada pengawalnya.

“Dalam keadaan yang wajar memang tidak. Tetapi kita sudah dapat mengetahui, apakah yang sedang bergejolak di Singasari sekarang.”

“Jangan tergesa-gesa. Aku sudah pernah tersungkur terantuk oleh ketergesa-gesaan itu. Kau tahu. adikku terbunuh karena kebodohan kami.” jawab Linggapati, lalu, “Selebihnya jangan takut terlambat. Jika pasukan Singasari itu selesai dengan parapengikul Empu Baladatu, maka orang-orang kita sendiri baru mulai dengan gerakan mereka yang mengundang prajurit Singasari lebih banyak lagi.”

“Jika kita memanfaatkan keadaan ini, maka sebagian dari mereka dapat kita tarik untuk membantu kita menduduki Kota Raja.”

“Mereka dapat mengacaukan rencana kita. Biarlah mereka saling membunuh dengan prajurit-prajurit Singasari di tempat yang jauh. Semakin banyak di antara mereka terbunuh bersama prajurit Singasari, akibatnya tentu akan lebih baik.”

Pengawalnya menjadi heran. Mereka tidak segera dapat menangkap maksud Linggapati.

Agaknya Linggapati mengetahui keragu-raguan para pengikutnya, sehingga ia menjelaskan, “Mereka hanyalah aku perlukan dalam pertempuran-pertempuran yang akan terjadi dengan prajurit-prajurit Singasari. Selebihnya mereka hanya akan mengganggu karena setiap orang menghendaki untuk mendapat tempat yang paling baik, sehingga lebih baik jika merekapun dimusnahkan oleh prajurit-prajurit Singasari. Tetapi dengan demikian akan berarti bahwa prajurit-prajurit Singasari akan menjadi lemah dan tidak akan berdaya lagi menghadapi pasukan Mahibit yang sebenarnya.”

Pengawalnya mengangguk-angguk. Tetapi cara itu baginya terlalu lambat, meskipun mungkin hasilnya akan lebih sempurna.

Demikianlah akhirnya Linggapati pun yakin, bahwa Kota Raja Singasari memang dalam keadaan sepi. Prajurit-prajuritnya telah dikirim keluar untuk menghadapi perlawanan pasukan-pasukan yang berada di bawah pengaruh Empu Baladatu.

Tetapi ternyata Linggapati benar-benar ingin mengetahui terlalu banyak. Itulah sebabnya, ia tidak segera kembali ke Mahibit. Tetapi ia bermalam di tempat yang sepi di luar Kota Raja. Di hari berikutnya, ia telah kembali memasuki Kota Raja untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang keadaan yang berkembang.

Di Kota Raja, Linggapati mendengar beberapa orang prajurit yang telah menjadi korban di beberapa tempat. Pada umumnya korban-korban itu dibawa kembali ke Kota Raja sebagai pahlawan, kecuali mereka yang tidak lagi dapat diselamatkan jasmaninya. Tetapi prajurit-prajurit yang sebelumnya bertugas dan berasal dari daerah-daerah lain pun dikembalikan pula ke daerahnya.

“Korban telah jatuh semakin lama semakin banyak.” berkala Linggapati, “Pertempuran tidak hanya terjadi sehari semalam. Ada daerah yang mengalami pergolakan sampai sepekan. Tetapi ada yang. selesai sebelum matahari terbenam di hari pertama.”

Pengawal-pengawalnyapun mengangguk-angguk. Tetapi mereka tetap berpendapat bahwa saat itu adalah saat yang paling baik untuk menduduki Kota Raja. Tetapi ternyata Linggapati mempunyai perhitungan lain. Ia membiarkan Singasari menyelesaikan tugasnya. Kemudian di saat prajurit-prajurit Singasari yang parah itu mulai beristirahat, maka pasukan-pasukan yang sudah disiapkan Linggapati akan mulai bergerak. Sisa prajurit Singasari akan dihancurkan, sementara para pengikutnya pun akan berkurang cukup banyak seperti yang dikehendakinya.

Sementara itu, di tempat yang terpencar prajurit Singasari pada umumnya berhasil menguasai keadaan, meskipun seperti yang dikehendaki oleh Linggapati, mereka menjadi lemah karena korban yang berjatuhan. Bahkan ada daerah yang tidak terduga-duga telah berhasil mendesak pasukan Singasari untuk beberapa lamanya, sehingga prajurit Singasari terpaksa mundur sambil menunggu bantuan yang datang, beberapa hari kemudian.

Dalam pada itu, di Kota Raja kesulitan-kesulitan itupun telah mulai terasa. Barang-barang tidak lagi mengalir seperti masa-masa tenang. Prajurit-prajurit tidak lagi banyak nampak di sepanjang jalan di Kota Raja, karena mereka tidak berada di tempat.

Tetapi yang tidak diduga oleh Linggapati, dalam keadaan yang demikian, Singasari tetap memperhatikan kegiatan yang terjadi di Mahibit. Meningkatnya kegiatan yang nampak memang sangat menarik perhatian Singasari. Mereka pun mulai memperhitungkan, bahwa pada suatu saat, Linggapati akan mengambil keuntungan dari keadaan itu.

Karena itu, maka para pemimpin di Singasari telah membuat perhitungan yang sangat cermat terhadap keadaan yang pada suatu saat akan dapat menghimpit kekuatan Singasari dari dua arah.

Tetapi para pemimpin prajurit Singasari cukup berhati hati menghadapi keadaan. Mereka tidak sekedar berbuat, tanpa pertimbangan-pertimbangan yang panjang.

Dalam pada itu, di Alas Pandan, lima orang prajurit Singasari masih merasa terganggu oleh dua orang penghubung yang tersembunyi. Hampir saja mereka berhasil membunuh korban berikutnya. Untunglah anak muda yang hampir saja terbunuh itu sempat berteriak keras-keras, sehingga beberapa orang yang mendengarnya berlari-larian mendekat. Meskipun anak muda itu terdapat dalam keadaan luka-luka, tetapi ia masih dapat diselamatkan. Ia sempat memberikan perlawanan meskipun hanya sekedar memperpanjang saat-saat yang mengerikan. Tetapi agaknya teriakannya dapat membantunya, menyelematkannya dari maut.

Agaknya peristiwa itu telah membuat seluruh padukuhan menjadi prihatin. Anak-anak muda baik yang pernah bersinggungan maupun yang belum dengan padepokan Empu Purung, telah menyerahkan persoalannya kepada prajurit-prajurit Singasari yang ada di padukuhan mereka.

“Kita tidak boleh sekedar menunggu.” berkata prajurit-prajurit itu, “Karena itu, kita harus mulai berbuat sesuatu. Kita akan membuat diri kita masing-masing cukup kuat untuk menghadapi kedua orang itu.”

Agaknya anak-anak muda Alas Pandan mendukung pendapat itu sepenuhnya. Mereka yang sudah pernah mempelajari olah kanuragan telah berusaha memperdalam lagi ilmunya, dengan alas dan tujuan yang berbeda. Sedang yang lain mulai dengan unsur-unsur gerak yang permulaan sekali, dibawah petunjuk para prajurit Singasari.

Ternyata usaha prajurit-prajurit Singasari itu telah menumbuhkan kegelisahan di hati kedua orang penghubung itu. Mereka dengan cemas mengikuti perkembangan keadaan meskipun secara tersembunyi.

Ternyata bahwa padepokan Empu Purung telah menjadi ramai kembali. Beberapa orang anak muda telah berkumpul di padepokan itu. Tetapi bukan Empu Purung dan para cantriklah yang memberikan bimbingan kepada mereka dalam ilmu yang keras dan kasar, tetapi para prajurit Singasari lah yang memberikan ilmu olah kanuragan.

Beberapa orang cantrik yang masih ada di padepokan itu pun berusaha membantu para prajurit. Tetapi karena pada dasarnya ilmu merekapun adalah ilmu yang keras dan kasar, maka mereka justru berusaha untuk ikut serta mempelajari beberapa unsur gerak yang lebih baik dengan sifat-sifat kejantanan seorang kesatria.

Perasaan kedua penghubung itu bagaikan terbakar menyaksikan perkembangan keadaan itu. Bagi mereka sumber segala kerusakan dan kehancuran perguruan Empu Purung itu adalah para prajurit Singasari.

Tetapi keduanya tidak mempunyai cara yang paling baik untuk melenyapkan mereka. Jika hanya berdua saja, tentu mereka tidak akan berhasil.

“Kita akan mencari kesempatan, saat mereka terpisah yang satu dengan yang lain.” berkata salah seorang, dari keduanya.

“Itu tidak pernah terjadi. Sedikitnya, tentu ada dua orang di antara mereka. Apakah mereka berada di sepanjang jalan atau di banjar padukuhan.” sahut yang seorang.

Yang lain mengangguk-angguk. Namun mereka bertekad untuk membuat kegemparan-kegemparan baru dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan lagi. Mereka telah kehilangan dasar usaha mereka untuk berbuat sesuatu berdasarkan atas suatu tujuan. Yang mereka lakukan kemudian adalah sekedar membuat kerusuhan dan melakukan perbuatan-perbuatan beralasan dendam dan nafsu semata-mata. Mereka tidak lagi memikirkan apakah yang dilakukan itu berarti bagi diri mereka sendiri atau bagi lingkungan mereka.

Sementara itu, para prajuritpun tengah mencari jalan bagaimanakah sebaiknya memancing kedua orang itu keluar dari persembunyiannya.

“Aku akan berada di sawah di malam hari.” berkata salah seorang dari prajurit itu, “Dengan sengaja aku akan menyusuri parit. Mungkin aku akan bertemu dengan mereka, karena mereka akan menganggap bahwa aku adalah seorang dari anak muda padukuhan Alas Pandan.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Sejenak mereka mencoba untuk menilai rencana itu. Namun kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Mereka berdua. Kita belum mengetahui tingkat kemampuan mereka sebenarnya.”

“Aku akan memberikan isyarat, jika mereka berdua datang. Kalian akan berada di sudut padukuhan kecil di sebelah padepokan itu. Aku akan menyusuri parit yang mengalir melalui padukuhan kecil itu sampai beberapa puluh langkah.”

“Apakah keduanya berada di sana?”

“Kita tidak tahu pasti. Mungkin keduanya berkeliaran. Mudah-mudahan pada suatu saat mereka melihat aku, karena aku akan melakukannya beberapa malam sampai suatu saat mereka datang.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang menjawab, “Kita akan mencobanya.”

Di malam berikutnya, seorang prajurit telah menyamar seperti anak-anak muda yang lain. Dengan cangkul di pundak ia berjalan menyelusuri parit dan berhenti beberapa puluh langkah dari sudut padukuhan. Beberapa saat ia berdiri di tempatnya, kemudian melangkah hilir mudik. Namun orang yang di harapkannya tidak datang pada malam pertama itu.

Di malam berikutnya, prajurit itu mengulanginya kembali. Kawan-kawannya bersembunyi di sudut padukuhan dan siap bertindak apabila diperlukan.

Tetapi yang terjadi sangat mengejutkan padukuhan itu. Dipintu padepokan, seorang anak muda terdapat luka-luka parah terbaring dengan senjata di tangan. Agaknya ia masih sempat melawan. Tetapi ia tidak mampu bertempur melawan kedua orang lawan. Seperti yang pernah terjadi, ia sempat berteriak, sehingga kedua orang yang menyerangnya itu lari meninggalkannya.

Prajurit-prajurit itu hanya dapat menggeretakkan gigi. Adalah sulit sekali untuk dapat menangkap mereka berdua. Keduanya bagaikan iblis yang dapat lenyap seperti asap. Kemudian muncul dengan tiba-tiba di tempat yang mereka kehendaki.

Tetapi prajurit-prajurit itu tidak menjadi jemu dan putus asa. Anak-anak muda padukuhan itupun berlatih semakin tekun, karena mereka merasa perlu untuk melindungi diri mereka sendiri.

Tetapi yang terjadi di padukuhan itu, tanpa disengaja telah berjalan seperti yang direncanakan oleh para pimpinan prajurit di Singasari.

Untuk menanggapi perkembangan keadaan, dengan digunakannya prajurit Singasari di medan yang luas, maka para pemimpin telah memerintahkan agar diberikan pengampunan kepada anak-anak muda yang diluar sadarnya telah terlibat dalam perlawan terhadap Singasari. Mereka justru mendapat kesempatan untuk mengabdikan dirinya bagi keselamatan Singasari menanggapi kesiagaan orang-orang di Mahibit.

Diberbagai tempat yang telah berhasil dikuasai keadaannya oleh pasukan Singasari, maka prajurit-prajurit Singasari telah mengumpulkan anak-anak muda yang masih mungkin, dipercaya untuk ikut serta menegakkan kewibawan Singasari.

Mereka mendapat bimbingan terutama jiwanya untuk mengenali diri sendiri dan tingkah laku mereka.

Yang telah terjadi itu ternyata dapat menolong keadaan. Singasari tidak dipenuhi oleh tawanan-tawanan yang, berjejalan. Tetapi justru memberikan bentuk jiwani pada anak-anak muda yang telah tersesat.

Ternyata bahwa Linggapati pun memperhatikan semua yang telah dilakukan oleh Singasari. Dengan saksama ia mendengarkan laporan-laporan yang beruntun datang dari beberapa daerah oleh penghubung-penghubung yang di tempatkannya khusus utuk mengamati keadaan.

“Kita terlambat.” berkata salah seorang pengawalnya yang sejak semula telah mendesaknya untuk bertindak.

Linggapati menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Singasari masih belum dapat menangkap Empu Baladatu. Ia masih berkeliaran dan memberikan perlawanan di mana-mana.”

“Tetapi kekuatan Empu Baladatu telah hampir dapat di lumpuhkan di segala tempat.”

“Biarlah yang tersisa itu memeras kekuatan Singasari. Yang tersisa itu masih sempat membunuh beberapa puluh orang korban di medan yang tersebar.”

Pengawalnya hampir-hampir tidak telaten lagi menunggu perintah Linggapati. Dengan cemas ia mengikuti setiap laporan mengenai perkembangan keadaan di daerah-daerah. Apalagi jika ada di antara para penghubung itu memberikan laporan tentang kemungkinan terbentuknya satu kekuatan cadangan dari anak-anak muda yang justru semula berpihak kepada Empu Baladatu.

Dalam pada itu, prajurit-prajurit Singasari telah benar-benar bertindak tegas terhadap para pengikut Empu Baladatu.

Dibeberapa tempat korban menjadi terlalu banyak. Namun hal itu tidak dapat dihindarinya dalam keadaan yang gawat bagi Singasari.

Apalagi ketika Singasari mendapat laporan dari para petugas sandinya tentang kegiatan yang semakin meningkat di Mahibit, maka mereka pun menjadi semakin banyak memperhatikan kemungkinan untuk meningkatkan ketahanan prajurit Singasari yang semakin lemah karena perlawan Empu Baladatu.

“Perlawanan itu harus diakhiri segera.” berkata Manisa Agni ketika ia berada di dalam sidang para pemimpin Singasari.

“Ia berada di tengah-tengah induk pasukan yang kuat yang bergerak mendekati Kota Raja.” berkata seorang petugas sandi yang mengikuti gerakan di induk pasukan Empu Baladatu.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mulai menjadi cemas karena perkembangan keadaan yang gawat. Mereka sadar, bahwa setelah mereka menyelesaikan dan mematahkan kekuatan Empu Baladatu, mereka masih harus berhadapan dengan kekuatan yang sudah tersusun di Mahibit.

“Tuanku.” berkata Mahisa Agni, “Menurut pertimbangan hamba, biarlah kekuatan induk pasukan Empu Baladatu itu mendekat Kota Raja. Kita harus menjebaknya dan membinasakannya. Sebelum Empu Baladatu sendiri dapat dilumpuhkan, maka perkembangan keadaan masih akan tetap memburuk. Menurut pertimbangan hamba, Mahibit sengaja menunggu segalanya selesai, karena dengan demikian Singasari menurut perhitungan mereka telah menjadi lemah.”

Linggapati menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Singasari masih belum dapat menangkap Empu Baladatu. la masih berkeliaran dan memberikan perlawanan di mana-mana.”

Ranggawuni mengangguk. Katanya, “Pasukan Singasari memang, telah terpencar. Kesatuan-kesatuan yang ditarik dari daerah-daerah yang jauhpun telah terlibat. Tetapi pasukan cadangan di Kota Raja masih tetap kuat untuk melawan induk pasukan Empu Baladatu jika mereka benar-benar memotong perlawanan mereka langsung ke Kota Raja.”

“Hamba tuanku. Namun masih harus diperhitungkan kekuatan Linggapati yang akan menyusul kemudian.”

“Jadi bagaimana menurut pertimbangan paman?”

“Kita dapat mempercayakan kepada para prajurit yang telah menyelesaikan tugasnya untuk menghadapi kekuatan yang akan digerakkan oleh Mahibit tuanku. Tetapi induk kekuatan Mahibit itu tentu akan melanda Kota Raja juga seperti yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu. Justru beruntun, karena Linggapati memiliki perhitungan yang baik. Lebih dari Empu Baladatu.”

“Aku dapat mengerti.”

“Untuk menghadapi kekuatan Mahibit tentu diperlukan kekuatan yang segar. Bukan dari pasukan yang telah telah bertempur melawan pasukan Empu Baladatu.”

“Apakah pasukan cadangan itu harus dibagi? Bukankah dengan demikian berarti kekuatan Singasari akan nampak terlalu kecil?”

“Tuanku. Masih ada kekuatan yang tersimpan. Untuk menghadapi Empu Baladatu hamba kira kira dapat berhubungan dengan Empu Sanggadaru. Padepokan itu kini menjadi besar. Kekuatan yang ada di padepokan itu adalah kekuatan dari padepokan Empu Sanggadaru sendiri, dari padepokan Macan Kumbang, dan Serigala Putih. Bersama sekelompok kecil prajurit, mereka akan dapat kita hadapkan, kepada pasukan Empu Baladatu. Beberapa orang Senapati Singasari akan menyertai mereka. Dengan demikian maka seperti kekuatan anak-anak muda yang berpencaran di setiap daerah perlawanan, maka kekuatan Empu Sanggadaru akan berada di Kota Raja.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Ia mengenal kekuatan dan kesetiaan Empu Sanggadaru, sehingga jika anak buahnya diserahi tugas tertentu, maka Empu Sanggadaru akan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Sementara Ranggawunipun mengetahui, bahwa jumlah pasukan Empu Sanggadaru cukup besar, apalagi ditambah dengan Serigala Putih dan Macan Kumbang.

Dalam pada itu Mahisa Agni pun berkata, “Tuanku, jika kita berhubungan dengan Empu Sanggadaru, maka ia akan merasa mendapat kehormatan atas kepercayaan kita. Sedangkan hal itu bukanlah sesuatu yang berlebihan kita bebankan kepada mereka, karena mereka pun mempunyai kewajiban untuk ikut serta mempertahankan dan menyelamatkan seluruh Singasari dari kemunduran.”

“Baiklah.” jawab Ranggawuni kemudian, “Tetapi jangan beri beban terlalu berat kepada mereka. Apalagi beban yang tidak terpikulkan.”

“Baiklah tuanku. Kita akan segera mengatur segala sesuatu menghadapi keadaan yang akan berkembang dengan cepat. Tetapi penghubung-penghubung kita pun mampu bergerak cepat untuk menyesuaikan segala gerakan dengan keadaan yang berkembang terus.”

“Kita harus melihat Singasari dalam keseluruhan paman.” berkata Mahisa Cempaka, “Bukan bagian-bagian kecil yang diselesaikan dalam potongan-potongan kecil pula.”

“Hamba mengerti tuanku. Dan hamba pun selalu mencoba memperhatikan setiap gejala yang berkembang, seperti yang terjadi di Mahibit di samping kerusuhan yang timbul karena tindakan Empu Baladatu.”

Demikianlah, maka atas ijin Ranggawuni dan Mahisa Cempaka maka Mahisa Agni pun telah memerlukan pergi ke padepokan Empu Sanggadaru yang telah menjadi sebuah padepokan yang besar dan ganda. Seolah-olah ada tiga buah padepokan yang berkembang menjadi padukuhan- padukuhan terpisah.

Kedatangan Mahisa Agni telah disambut dengan kegembiraan di padepokan Empu Sanggadaru. Mahisa Agni tidak dapat mengenal lagi orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang sebagai dua kelompok yang, hampir tidak akan pernah dapat bertemu. Namun ternyata bahwa akhirnya keduanya yang memiliki aliran dari satu sumber itu, kembali menggenang dalam satu pelimpahan.

Sebenarnyalah Empu Sanggadaru bukannya sama sekali tidak acuh terhadap perkembangan keadaan. Ia pun selalu mengikuti pergolakan yang terjadi. Ia menyebar petugas-petugas sandi sampai ke tempat yang jauh sekedar untuk mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi, dan apakah yang telah di lakukan oleh adiknya yang telah berkhianat terhadap pemerintahan Singasari itu.

Oleh karena itu maka Empu Sanggadaru sama sekali tidak terkejut ketika Mahisa Agni membeberkan keadaan di beberapa tempat di Singasari.....

“Sementara memang memerlukan perhatian.” berkata Empu Sanggadaru, “Kami telah mencoba untuk mengikuti setiap perkembangan. Tetapi kami di padepokan kecil ini tidak banyak mengetahui apa yang terjadi. Tapi agaknya adikku itu kembali telah menimbulkan kegemparan yang lebih merata lagi.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Empu. Agaknya Empu sudah mengetahui beberapa hal tentang kekalutan yang terjadi. Ternyata bahwa Singasari akan mengalami kesulitan jika Singasari hanya menumpukan kekuatannya pada prajurit-prajuritnya saja.”

Empu Sanggadaru tersenyum. Ia justru meneruskan, “Karena itu maka rakyat Singasari pun berkewajiban untuk ikut serta membantu dan bersama-sama dengan para prajurit mempertahankan keseimbangan keadaan, karena tanpa kekuatan rakyat Singasari, prajurit-prajurit Singasari tidak aka banyak dapat berbuat.”

Mahisa Agni pun tersenyum pula. Jawabnya, “Kau benar Empu. Dan kini kami datang untuk mendengarkan prasetya Empu sebagai rakyat Singasari yang baik, yang melihat dan mengetahui kekalutan yang terjadi di seluruh negeri.”

Empu Sanggadaru masih tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah kami sudah menyiapkan diri. Kami telah menunggu perintah yang menurut perhitungan kami tentu akan dilimpahkan kepada kami.”

“Baiklah Empu.” jawab Mahisa Agni, “Agaknya aku tidak perlu memberikan banyak petunjuk dan penjelasan. Empu telah banyak mengetahui keadaan ini.”

“Kami memang telah mempersiapkan diri. Apapun perintah yang akan diberikan kepada kami untuk ikut menegakkan keutuhan Singasari, kami telah siap melakukannya.”

Tidak banyak kesulitan dalam pembicaraan itu. Empu Sanggadaru telah mendapat perintah untuk mempertahankan Kota Raja. Sepasukan prajurit akan memancing pasukan induk Empu Baladatu yang kuat yang akan menyerbu Kota Raja mendahului serangan yang akan menyusul dari Mahibit. Agaknya Linggapati pun telah memperhitungkan setiap kemungkinan.

“Untuk menghadapi Mahibit, kami telah mengambil langkah-langkah tertentu.” berkata Mahisa Agni, “Di antaranya pengampunan yang luas kepada pengikut-pengikut Baladatu yang tidak menyadari keterlibatannya dalam pengertian jiwani.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ia mengerti, tugas apakah yang harus dilakukannya. Membantu prajurit-prajurit Singasari mempertahankan Kota Raja. Kemudian dengan pasukan cadangannya berbuat serupa menghadapi pasukan Mahibit.

Dalam pada itu, selama Mahisa Agni berada di padepokan Empu Sanggadaru, ia sempat menyaksikan kesiagaan padepokan itu. Bersama orang-orang yang semula menyebut dirinya gerombolan Macan Kumbang dan Serigala, Putih Empu Sanggadaru telah membentuk satu pasukan yang kuat.

Anak-anak muda yang sebelumnya masih belum diikut sertakan karena umurnya, kemudian telah mendapatkan latihan-latihan yang berat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan pribadinya. Di masa-masa datang yang dekat, mereka akan segera memikul tanggung jawab seperti angkatan sebelumnya. Bahkan mereka mempunyai dasar jiwani yang lebih bersih dan kuat.

“Inilah yang dapat kami sediakan bagi Singasari.” berkata Empu Sanggadaru, “Mudah-mudahan mereka dapat memenuhi tugasnya dengan baik, sesuai dengan kedudukan mereka sebagai rakyat Singasari.”

“Terima kasih.” berkata Mahisa Agni, “Pada saatnya kami menghubungi Empu. Kami telah menyediakan segalanya di Singasari. Barak-barak dan persediaan senjata yang mungkin dapat dipergunakan.”

“Kami membuat senjata kami sendiri di padepokan ini. Mereka dapat membuat senjata sesuai dengan keinginan masing-masing. Yang lebih kuat dapat membuat pedang yang lebih besar dan berat. Yang kurang kuat, perlu membuat senjata yang tipis tetapi tajamnya dapat diandalkan.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa Empu Sanggadaru sanggup membuat semuanya yang diperlukannya.

Demikianlah sepeninggal Mahisa Agni, Empu Sanggadaru menjadi semakin tekun mempersiapkan pasukannya. Anak-anak muda di padepokan itu telah menempa diri dengan sungguh-sungguh. Mereka menyadari tugas apakah yang akan segera dibebankan di pundak mereka.

Karena itulah, maka mereka pun telah berlatih sesuai dengan kemungkinan yang bakal terjadi. Mereka selain mempertinggi kemampuan setiap pribadi, maka mereka pun telah berusaha untuk berlatih perang di dalam gelar yang besar.

Dalam pada itu. pasukan Empu Baladatu yang kuat telah bergerak mendekati Kota Raja. Ia sadar, bahwa di beberapa tempat, pasukan orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya telah dapat diatasi oleh prajurit-prajurit Singasari. Namun ia pun mengetahui, bahwa kekuatan Singasari benar-benar telah terpecah belah. Beberapa daerah telah memerlukan kekuatan yang cukup besar untuk mengatasi kekalutan yang sengaja ditimbulkannya.

Namun Empu Baladatu sadar, bahwa jika ia berhasil, maka ia masih mempunyai persoalan dengan Mahibit. Mungkin Linggapati dapat dibujuknya. Tetapi mungkin pula tidak. Itulah sebabnya, maka ia harus segera menguasai Kota Raja dan memaksa para Senapati untuk mempergunakan sisa prajurit yang ada dengan jaminan pengampunan.

“Mereka harus mempunyai harapan, bahwa setelah perang melawan Mahibit itu berakhir, keadaan mereka akan tetap baik. Sementara mereka harus diberi gambaran yang parah jika Mahibit yang akan memegang kekuasaan di Singasari.” berkata Empu Baladatu kepada orang-orang yang paling dekat dengan dirinya.

Meskipun kekalahan-kekalahan di beberapa tempat yang terpisah telah sampai ketelinganya, namun Empu Baladatu masih tetap berpengharapan, karena pusat pemerintahan ada di Kota Raja. Jika ia dapat menguasai pemimpin-pemimpin pemerintahan di Singasari, maka semuanya akan berjalan sesuai dengan rencananya.

Sementara itu. Singasari telah mempersiapkan pasukan yang akan memancing Empu Baladatu untuk langsung mendekati, Kota Raja dan menjebaknya dalam jaringan yang telah di siapkan.

Mahisa Agni yang memimpin langsung perlawanan terhadap Empu Baladatu telah membuat Singasari seolah-olah benar-benar tidak berdaya, sehingga para petugas sandi, baik yang dikirim oleh Empu Baladatu, maupun orang-orang Mahibit, menganggap bahwa Singasari benar-benar telah kosong.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni telah menempatkan pasukannya yang kuat terpercar di beberapa padukuhan di luar gerbang Kota,Raja. Namun dalam keadaan tertentu mereka akan dapat dikumpulkan dalam waktu yang dekat.

Sementara itu, maka pasukan Empu Sanggadaru pun telah dihubunginya pula. Mereka diminta bersiap untuk datang setiap saat di Kota Raja.

Dalam pada itu, pasukan yang telah disiapkan untuk memancing pasukan Empu Baladatu telah berada di hadapan hidung pasukan Empu Baladatu yang kuat. Dengan keterangan-keterangan yang masak, maka pasukan kecil itu telah memperhitungkan setiap kemungkinan yang harus dilakukan.

Sesuai dengan kemampuannya, maka Mahisa Bungalan sudah di tempatkan pula pada pasukan kecil itu mendampingi seorang Senapati muda. Ia harus melawan pasukan Empu Baladatu dengan gerak surut mendekati .Kota Raja sesuai dengan keinginan. Empu ,Baladatu sendiri. Sementara para pemimpin di Singasari telah mempersiapkan kekuatan yang akan langsung menghancurkan.

Dengan perhitungan yang cermat, maka akhirnya pasukan Singasari itu pun telah bertemu dengan pasukan Empu Baladatu yang dipimpinnya sendiri. Dengan penuh nafsu maka pasukan Empu Baladatu itu pun segera menghadapi lawannya yang menurut keterangan para petugas sandinya, tidak cukup kuat untuk menghentikan gerakannya.

“Singasari sudah kehabisan prajurit.” laporan itu memberikan harapan yang besar kepadanya.

Sentuhan pertama antara pasukan Empu Baladatu dengan pasukan Singasari telah terjadi di sebuah padukuhan kecil di ujung sebuah hutan. Dengan tiba-tiba saja pasukan Singasari telah menyergap pasukan Empu Baladatu yang sedang terhenti di padukuhan itu dalam gerakannya mendekati Kota Raja.

Meskipun pasukan Empu Baladatu terbagi dalam tiga padukuhan, namun ternyata pasukan yang besar itu tidak perlu menggerakkan seluruh kekuatannya. Dengan pasukan yang ada di satu padukuhan, saja, Empu Baladatu telah berhasil mengusir pasukan Singasari.

“Untunglah bahwa gerakan itu dilakukan menjelang malam.” berkata Empu Baladatu, “Jika tidak, kita akan mengejar pasukan itu sampai ke ujung hutan dan menghancurkan mereka sampai orang terakhir.”

Kemenangan kecil itu telah membuat Empu Baladatu semakin bernafsu. Di hari berikutnya pasukannya telah bergerak lebih jauh mendekati Kota Raja.

“Di depan kita terdapat sebuah pertahanan yang kuat Empu.” seorang pengawas melaporkan kepada Empu Baladatu.

“Apakah kekuatan mereka melampaui kekuatan kita?” bertanya Empu Baladatu.

“Aku kurang yakin bahwa mereka memiliki ketahanan yang dapat menghentikan gerakan kita. Tetapi mereka berada di sebuah padukuhan yang besar dan banjar panjang. Mereka telah menyiapkan senjata-senjata jarak jauh. Agaknya mereka ingin menghentikan gerakan kita dengan anak panah dan busur.”

Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Prajurit Singasari ternyata telah menjadi kebingungan. Meskipun mereka berhasil memenangkan pertempuran di beberapa tempat yang terpisah, tetapi mereka benar-benar telah kekurangan prajurit, sehingga yang ada hanyalah pasukan-pasukan kecil yang tidak memiliki ketahanan sama sekali. Dengan bingung mereka berusaha menghentikan gerak maju kita. Tetapi semuanya tentu tidak akan berarti apa-apa.”

“Kita akan sampai ke Kota Raja.” berkata seorang pengawalnya.

“Ya. Tetapi itu belum berarti bahwa perjuangan kita selesai. Kita akan berhadapan dengan orang-orang Mahibit. Jika mereka sengaja menunggu kita kehabisan tenaga melawan orang-orang yang setia kepada Ranggawuni, maka ia akan menyesal. Justru kita akan memanfatkan prajurit-prajurit Singasari itu sendiri dengan memberikan harapan kepada mereka, meskipun pada saatnya mereka akan kita binasakan juga kelak setelah kita tidak memerlukan mereka lagi.”

Para pemimpin pasukan Empu Baladatu itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti rencana itu dan merekapun sama sekali tidak berkeberatan.

Di hari berikutnya, pasukan Empu Baladatu yang kuat telah dipersiapkan untuk menyerang kedudukan pasukan Singasari. Namun ternyata bahwa seorang petugas sandi berhasil mendapat beberapa keterangan dari seorang petani yang berada di sawahnya.

“Kau dari padukuhan sebelah?” bertanya petugas itu.

“Ya. Ki Sanak.”

“Apakah kau justru menjadi yakin akan keselamatan padukuhan karena rasukan Singasari ada di padukuhan mu.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Pertempuran apakah yang kau maksud?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Prajurit itu telah pergi. Kami mohon mereka meninggalkan padukuhan kami. Mereka merupakan beban yang tidak tertanggungkan oleh orang-orang miskin seperti aku.”

“Kenapa?” bertanya pengawas itu.

“Mereka adalah orang-orang besar. Mereka makan dengan kebiasaan mereka di Kota Raja, sehingga ternak kami hampir habis punah bagi mereka.”

“O. Lalu?”

“Kami mohon mereka mencari tempat lain yang lebih baik dari padukuhan kami. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa petugas mereka melihat pasukan yang besar di padukuhan lain. Pasukan yang akan dapat membebaskan kami dari kesulitan itu.”

“Apakah mereka tidak mempersiapkan pertahanan?”

Petani itu tertawa. Katanya, “Itulah yang aneh. Mereka dengan tergesa-gesa meninggalkan padukuhan kami. Namun dengan demikian kami merasa tenang, bahwa di tempat ini tidak akan terjadi pertempuran. Sejauh-jauh penderitaan kami, adalah padukuhan kami akan menjadi jalur jalan yang akan dilewati pasukan yang besar itu. Tetapi kami tidak akan berkeberatan.”

Laporan itu segera sampai ketelinga Empu Baladatu. Sepasukan kecil kemudian meyakinkan keterangan itu. Dan ternyata bahwa padukuhan itu benar-benar telah dikosongkan dengan tergesa-gesa. Pasukan Empu Baladatu yang kemudian datang, masih menemukan beberapa busur dan anak panah yang masih tertimbun di sebuah bilik kecil di banjar padukuhan itu.

“Inilah yang kita temukan pada prajurit-prajurit Singasari. Beberapa hari lagi, kita akan memasuki Kota Raja dengan tanpa perlawanan sama sekali seperti yang kita alami sekarang ini. Kita akan melihat, apakah kita akan memasuki lewat satu pintu gerbang, atau lebih. Jika mereka mencoba mempertahankan Kota Raja, maka mungkin kita akan menyerang mereka dari beberapa arah.”

Pengawal-pengawal Empu Baladatu menjadi semakin yakin akan kemenangan yang sudah berada diambang pintu. Mereka tidak mau menghiraukan lagi, pasukan-pasukan mereka yang terserak-serak oleh prajurit Singasari di beberapa daerah terpencil. Bahkan di beberapa daerah, anak-anak muda yang, semula terbius oleh harapan-harapan yang kosong, telah menyadari kesalahan mereka dan menempatkan diri pada alas yang; benar. Mereka telah menerima pengampunan dan bahkan telah bergabung dengan prajurit-prajurit Singasari, mengatasi kekalutan yang terjadi di daerah-daerah terpencil karena sisa-sisa pengikut Empu Baladatu yang segan menyerah.

Dalam waktu yang singkat, prajurit-prajurit Singasari yang terpencar itupun ditarik kembali. Tetapi tidak semua prajurit dapat, meninggalkan tempatnya. Beberapa daerah masih dicengkam oleh kekalutan dan bahkan di beberapa tempat yang lain keadaannya cukup parah.

Namun prajurit Singasari yang ada, telah siap menghadapi segala kemungkinan yang timbul. Juga seandainya Mahibit tiba-tiba saja mengangkat senjata.

Tetapi perintah yang mereka terima adalah, bahwa mereka harus menempati padukuhan-padukuhan yang telah ditentukan. Mereka harus memasuki pedukuhan itu dengan hati-hati dan tersamar. Mereka harus hilang berbaur dengan penduduk padukuhan yang telah disiapkan untuk menjebak pasukan Empu Baladatu. Padukuhan yang sebagian besar penduduknya yang sebenarnya telah diungsikan.

Namun padukuhan-padukuhan itu dalam keadaan sehari-hari masih nampak hidup. Masih ada suara pande besi menempa alat-alat. Pertanian. Masih terdengar lembu melenguh dan kambing mengembik.

Pasukan Singasari yang mundur ketakutan menurut penilaian Empu Baladatu itupun telah menentukan akhir dari permainan mereka. Mereka segera memasuki daerah pertahanan yang benar-benar akan mereka pergunakan sebagai alas untuk menghentikan gerak maju pasukan Empu Baladatu.

“Di sini kita akan berhenti.” berkata Mahisa Bungalan, “Kita tidak akan mundur lagi. apapun yang akan terjadi. Di padukuhan-padukuhan sebelah, prajurit Singasari telah menunggu kedatangan lawan yang berhasil kita pancing mendekati Kota Raja dari arah ini.

Demikian cermatnya rencana yang disusun oleh prajurit-prajurit Singasari, maka petugas sandi yang disebar oleh Empu Baladatu tidak melihat, bahwa yang bertebaran di padukuhan-padukuhan itu adalah prajurit-prajurit Singasari yang siap menunggu kedatang an mereka.

“Singasari tidak berhasil menyusun penahanan yang kuat.” seorang pengawas melaporkan kepada Empu Baladatu.

“Apakah kau tidak melihat prajurit-prajurit Singasari di luar dinding Kota Raja?” bertanya Empu Baladatu.

“Tidak. Kami melihat beberapa kelompok prajurit di pintu gerbang kota. Tetapi mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kami yang besar ini.”

“Mungkin Singasari ingin mengelabuhi kita. Mungkin di dalam rumah-rumah yang besar di dalam Kota Raja, prajurit Singasari bersembunyi.” desis Empu Baladatu.

“Tidak. Mereka justru mencoba mengelabui kita dengan cara yang lain. Beberapa orang prajurit berkuda berkeliling kota. Seolah-olah beberapa kelompok peronda sedang mengamati keadaan. Tetapi kami tidak dapat dikelabui. Dimana kami menjumpai empat prajurit berkuda yang sama, sehingga kami mengambil kesimpulan, bahwa jumlah prajurit Singasari memang sangat kecil.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kita akan bersiap untuk memasuki Kota Raja. Aku memberikan waktu sehari lagi bagi para petugas sandi untuk meyakinkan keadaan, sementara petugas-petugas sandi yang pergi ke Mahibit akan memberikan laporan pula, apakah orang-orang Mahibit bersiaga untuk mengambil keuntungan dati pertempuran ini.”

Seperti yang diperintahkan oleh Empu Baladatu, maka di hari berikutnya beberapa orang petugas sandi ingin meyakinkan, apakah Kota Raja Singasari itu benar-benar tidak memiliki prajurit cukup untuk mempertahankan diri.

Seperti penglihatan mereka di hari-hari sebelumnya, Singasari benar-benar tidak memiliki kekuatan cukup. Meskipun para petugas sandi itu melihat Senapati-senapati yang lengkap. Mahisa Agni sendiri turun untuk mengawasi beberapa kelompok kecil prajuritnya.

“Tetapi jumlah mereka terlalu kecil.” berkata petugas sandi itu.

Sementara itu, menilik sikap dan gelar pasukan Empu Baladatu maka petugas-petugas sandi Singasari sudah dapat membaca, bahwa mereka telah bersiap-siap untuk memasuki kota. Karena itu, maka Mahisa Agni pun segera memerintahkan untuk menghubungi pasukan Empu Sanggadaru. Mereka mendapat petunjuk untuk menyelusuri kembali gerak pasukan Empu Baladatu, sehingga pada saatnya, jika pasukan Empu Baladatu mundur, mereka harus bertindak cepat.

“Pasukan Empu Sanggadaru tidak perlu terlibat langsung. Kecuali karena Empu Baladatu adalah adiknya, pasukannya kita perlukan untuk menghadapi orang-orang Mahibit.” berkata Mahisa Agni kepada para Senapati, “Mudah-mudahan prajurit-prajurit Singasari yang tersembunyi dapat menyelesaikan lawan. Hanya dalam keadaan yang terpaksa, kita memerlukan sebagian dari pasukan Empu Sanggadaru. Namun mereka sudah disiapkan sehingga tidak akan terjadi bencana karena salah perhitungan.”

Para Senapati Singasari menyadari bahwa mereka menghadapi tugas yang berlapis-lapis. Itulah sebabnya maka mereka harus membuat perhitungan yang cermat. Penggunaan pasukan harus dipertimbangkan dua tiga kali sebelum mengambil keputusan.

Sementara itu, Empu Sanggadaru yang telah menerima pesan Mahisa Agni, segera menggerakkan pasukannya. Pasukan yang telah dipersiapkan sebaik-baiknya.

Ternyata bahwa pasukan Empu Sanggadaru benar-benar merupakan pasukan yang kuat. Para cantrik dari padepokannya. Orang-orang yang berguru kepadanya khusus dalam kanuragan. Ditambah dengan orang-orang dari bekas gerombolan Mancan Kumbang dan Serigala Putih yang telah mendapat banyak pengalaman dan unsur-unsur ilmu kanuragan dari para prajurit Singasari yarg sengaja berada di aratara mereka, sehingga dengan demikian, maka mereka hampir tidak ada bedanya dengan prajurit Singasari sendiri.

Seperti yang dipesankan oleh Mahisa Agni, maka Empu Sanggadaru telah membawa pasukannya ke jalur jalan pasukan Empu Baladatu. Seakan-akan mereka dengan sengaja mengikuti pasukan itu dari belakang.

Namun Empu Sanggadaru pun menyadari, bahwa mereka hanya akan bertindak, jika ada perintah khusus dari para Senapati di Singasari, atau jika pasukan Empu Baladatu menarik diri untuk menghindari tekanan pasukan Singasari.

“Mereka tidak boleh lolos.” berkata Empu Sanggadaru kepada pengikut-pengikutnya, “Jika pasukan Singasari gagal menjebak mereka, sehingga mereka sempat mengundurkan diri, maka tanpa perintah khusus, kita harus bertindak cepat.”

Para pemimpin kelompok di dalam pasukan Empu Sanggadaru telah menyadari apa yang harus mereka lakukan. Namun sebagian dari orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang, hampir tidak dapat menahan diri lagi. Betapapun prajurit Singasari berusaha untuk mengaburkan dendam di dalam hati mereka namun rasa-rasanya dalam keadaan yang gawat itu, hati mereka telah tergerak lagi untuk melepaskan sakit hati.

Tetapi mereka merasa terikat kepada perintah Empu Sanggadaru sehingga mereka tidak dapat berbuat menurut kehendak mereka sendiri.

Dalam pada itu, ketika sampai pada saatnya, menurut perhitungan Empu Baladatu, pasukannya telah disiapkan sebaik-baiknya. Setelah kesempatan terakhir diberikan kepada petugas sandinya untuk melihat sekali lagi keadaan Kota Raja, dan laporan yang diterimanya masih saja seperti laporan sebelumnya, maka Empu Baladatu pun segera menempatkan pasukannya pada tindakan terakhir yang akan menentukan.

Empu Baladatu sadar, bahwa Linggapati mempunyai kekuatan di banyak daerah. Namun ia masih tetap mempunyai harapan, bahwa pada saatnya ia akan dapat mempergunakan prajurit Singasari yang tersisa dari pertempuran yang telah berlangsung, di daerah-daerah dan di Kota Raja.

Ketika fajar menyingsing, di ujung Timur, Empu Baladatu telah berada di induk pasukannya. Ia sudah memutuskan, bahwa hari itu adalah hari yang akan sangat menentukan. Ia akan membawa pasukannya memasuki Kota yang hanya di pertahankan oleh kekuatan kecil saja.

“Kita sadar, bahwa prajurit yang ada di Kota Raja di bawah para Senapati yang terkenal itu tidak akan mau menyerah.” berkata Empu Baladatu kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya sebagai pesannya terakhir. “Tetapi jangan ragu-ragu. Binasakan saja mereka. Karena mereka adalah ular-ular berbisa yang setiap saat dapat menggigit tumitmu dan membinasakanmu. Mereka sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah membunuh diri di Kota Raja. Bahkan mungkin Ranggawuni dan Mahisa Ccmpaka pun akan membunuh diri mereka pula bersama para Senapatinya.”

Para pemimpin kelompok di dalam pasukan Empu Baladatu yang, besar itupun menyadari, bahwa mereka akan menghadapi prajurit-prajurit yang meskipun hanya sedikit, tetapi mereka tentu bagaikan orang-orang gila yang memilih mati dari kesempatan-kesempatan yang manapun juga.

Demikianlah, maka sebelum matahari naik ke punggung cakrawala, Empu Baladatu telah mengerahkan pasukannya. Ia membagi pasukannya dalam tiga kelompok yang cukup besar. Mereka akan bersama-sama menuju ke dinding yang melingkari Kota Raja. Induk pasukan mereka akan memasuki Kota Raja yang pertama-tama. Jika prajurit yang ada di regol kota itu melawan dan menutup jalan, maka yang lain akan meloncat dinding dan kemudian menyergap gerbang justru dari dalam.

Dalam keremangan cahaya fajar, maka tiga kelompok pasukan yang cukup besar itu nampak bagikan awan yang hitam, bergulung-gulung di atas tanah persawahan menerkam dinding Kota Raja yang sepi senyap.

Saat-saat yang memang sudah diperhitungkan oleh para prajurit Singasari itu datang. Di pintu gerbang prajurit Singasari siap menyongsong lawan yang mendekat. Jumlah prajurit yang ada di pintu gerbang itu memang tidak banyak.

Di hadapan pintu gerbang, adalah prajurit Singasari yang selalu mundur dan menghindar. Selain seorang Senapati, maka Mahisa Bungalan pun ada di dalam pasukan itu pula.

Namun jumlahnya yang sangat kecil benar-benar tidak dipehitungkan oleh Empu Baladatu. Mereka tentu hanya dapat menghambat jalan seperti seonggok sampah. Tetapi dengan sekali dorong, maka sampah itu tentu akan berhamburan dan lenyap ditiup angin.

Karena itulah, maka pasukan Empu Baladatu itu maju dengan penuh kepastian, bahwa sebentar lagi, mereka akan memasuki Kota Raja.

Namun dalam pada itu, berita tentang gerak pasukan Empu Baladatu itu telah merambat dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Hampir setiap orang laki-laki yang ada di padukuhan-padukuhan itupun segera mempersiapkan diri. Meskipun tidak mengenakan pakaian seorang prajurit, tetapi setiap orang telah mengenakan tanda-tanda yang menyatakan tentang diri mereka.

“Mereka terbagi dalam tiga kelompok.” berkata seorang penghubung kepada seorang yang berada di gerbang padukuhan.

Segala gerak pasukan Empu Baladatu pun ternyata telah di ketahui oleh setiap orang di padukuhan yang akan dilaluinya. Karena itulah, maka di setiap padukuhan itu pun telah timbul segala macam persiapan untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Mahisa Bungalan dan pasukan kecilnya telah mempersiapkan diri. Mereka akan berada di padukuhan yang ada dihadapan pintu gerbang, sehingga padukuhan itu tentu akan dilalui oleh induk pasukan Empu Baladatu.

Sesaat kemudian, maka di setiap padukuhan yang berpencaran agak jauh itupun telah siap beberapa kelompok pasukan yang akan menyongsong kedatangan pasukan Empu Baladatu.

Di sebuah padukuhan, Mahendra telah menunggu bersama sekelompok prajurit Singasari dalam pakaian sandi, sehingga tidak diketahui oleh para petugas lawan. Di padukuhan yang lain Witantra telah menunggu perintah untuk bertindak. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di sebuah padukuhan, bersama seorang Senapati yang, telah agak lanjut usia. Seperti yang lain, maka merekapun tidak menyatakan diri sebagai prajurit-prajurit Singasari. Sedangkan di paduhan yang lain lagi, Lembu Ampal siap bertindak cepat bersama pasukannya.

Sementara itu. Di pintu gerbang Kota Raja, Mahisa Agni bersama sekelompok prajurit telah bersiap pula. Mereka ternyata tidak hanya terdiri dari beberapa orang seperti yang dilihat oleh petugas-petugas sandi. Tetapi mereka terdiri dari sepasukan prajurit pilihan yang berada di beberapa rumah sebelah menyebelah jalan yang memanjang melalui gerbang, dinding Kota Raja itu.

Ranggawuni-dan Mahisa Cempaka ternyata tidak dapat dipaksa untuk tetap tinggal di dalam istana dengan pengawalan yang kuat. Di saat-saat yang menentukan, mereka telah berada di pintu gerbang bersama sekelompok pengawal pilihan.

“Tuanku.” desis Mahisa Agi.

Ranggawuni tersenyum. Katanya, “Aku merasa lebih aman berada di sini daripada di dalam istana. Selebihnya, aku akan dapat melihat langsung apa yang akan terjadi. Bukan sekedar sebuah laporan yang barangkali tidak akan dapat sejelas jika aku menyaksikannya sendiri.”

“Tuanku.” berkata Mahisa Agni, “Pasukan Empu Baladatu kali ini adalah pasukan yang kuat dan buas. Mereka terdiri dari kumpulan orang-orang yang tidak mengenal batasan antara peradaban, karena sebagian besar dari mereka adalah orang-orang berilmu hitam.”

Tetapi Rangsrawuni masih tetap tersenyum Katanya, “Bukankah aku seorang prajurit paman.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berhasil mempersilahkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berada di dalam istana.

Namun dengan demikian, maka tanggung jawab Mahisa Agni yang menjadi semakin tua itu menjadi bertambah berat. Kedua orang pemimpin tertinggi dari Singasari itu berada di dalam lingkungan pasukannya.

Dalam pada itu. Empu Sanggadaru ternyata telah berada di belakang pasukan Empu Baladatu. Mereka siap untuk bertindak, jika perintah datang. Setiap saat, demikian perintah itu sampai kepadanya, maka Empu Sanggadaru langsung dapat menikam pasukan Empu Baladatu dari belakang.

Sementara itu, tanpa prasangka atas kesiagaan pasukan Singasari yang tersembunyi itu, Empu Baladatu telah membawa pasukannya maju dalam tiga jalur. Ternyata Empu Baladatu masih juga berhati-hati. Ia menghentikan pasukannya beberapa ratus langkah dari pintu gerbang.

Sejenak Empu Baladatu mengawasi pasukan-pasukan yang mulai menjadi terang. Ia sudah menerima laporan, bahwa di padukuhan itu tidak ada rintangan yang pantas diperhitungkan. Beberapa orang petani tinggal di dalam gubug-gubug kecil tanpa menghiraukan pertentangan yang timbul di Singasari.

“Setiap laki-laki akan dapat menjadi hambatan gerakan kita.” berkata Empu Baladatu.

“Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Seandainya mereka mencoba, menunjukkan kesetiaannya kepada Singasari maka jumlah mereka tidak cukup banyak.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Sejenak ia melihat beberapa puluh langkah sebelah menyebelah, kelompok-kelompok pasukan yang seakan-akan merupakan sayap dari gelar yang belum berbentuk itu, siap melakukan segala perintahnya.

Tetapi Empu Baladatu tidak perlu memasang gelar, karena lawan yang dihadapinya tidak akan banyak berarti.

Sejenak kemudian, maka Empu Baladatu pun telah memerintahan pasukan kecilnya untuk mendahului pasukannya dalam keseluruhan. Pasukan kecil itu akan melalui jalan yang akan dilewati oleh pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Empu Baladatu.

Namun agaknya, para pengawas dari Singasari telah melihatnya, sehingga merekapun segera melaporkannya kepada setiap pemimpin pasukan di padukuhan-padukuhan tertentu.

Pengawas-pengawas itupun memberikan laporan terperinci tentang gerakan pasukan Empu Baladatu yang menjadi tiga kelompok yang terpisah.

“Menurut perintah, maka setiap kelompok pasukan harus menyesuaikan diri. Pertempuran tentu akan segera pecah. Pasukan Empu Baladatu belum memasang gelar, sehingga yang akan terjadi adalah perang yang terpisah.” berkata pengawas itu kepada para Senapati yang terpisah-pisah.

“Kita akan bertempur dalam perang brubuh.” berkata salah seorang Senapati, “Dengan demikian maka kita harus mempercayakan setiap tingkah laku di medan atas dasar kepercayaan kepada diri sendiri.”

“Demikianlah agaknya yang akan terjadi.”

Sepeninggal pengawas itu, maka setiap Senapati memberikan beberapa keterangan singkat kepada setiap pemimpin kelompok. Masing-masing diri, berusaha untuk menjaga keselamatan diri sendiri, karena yang akan terjadi adalah perang brubuh.

“Jumlah pasukan gabungan yang dipimpin oleh Empu Baladatu itu cukup banyak. Kita harus berhati-hati dan memperhatihan setiap keadaan yang berkembang.” berkata seorang Senapati kepada pemimpin kelompok di dalam pasukannya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mepersiapkan diri. Rasa-rasanya tidak sabar menunggu perintah untuk menyergap pasukan Empu Baladatu. Dari kejauhan keduanya telah melihat, pasukan yang datang mendekati pintu gerbang.

“Pasukan itu adalah sayap sebelah kanan dari pasukan Empu Baladatu.” berkata Mahisa Pukat.

“Kita akan bertempur di sayap kanan. Siapakah yang berada di induk pasukan?” bertanya Mahisa Murti.

“Kakang Mahisa Bungalan.”

“Kenapa kita tidak ikut kakang, Mahisa Bungalan saja?”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Katanya, “Sebenarnya kita lebih senang berada di dalam pasukan kakang Mahisa Bungalan. Kita akan berada di induk pasukan dan bertempur melawan induk pasukan lawan.”

Mereka terkejut ketika mereka mendengar suara di belakangnya, “Tetapi Senapati Besar. Mahisa Agni memerintahkan kalian berdua di sini.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak menjawab. Sementara Senapati itu meneruskan sambil tersenyum, “Aku kira tidak ada bedanya. Bertempur di sayap atau di induk pasukan. Kita akan melakukan perang brubuh. Karena itu kau berdua harus berhati-hati. Kita masing-masing tidak akan dapat mempercayakan diri pada kerjasama di antara setiap orang di dalam pasukan kita. karena pertempuran akan menjadi kacau dan bercampur baur. Kita hanya dapat mengenal ciri-ciri dan sekedar memberikan tekanan pada titik-titik tertentu dimana kita bertempur. Memang mungkin hal itu akan berakibat memberikan bantuan kepada kawan kita. Namun dalam hal tertentu kita akan terpisah dan bertempur dengan kekuatan sendiri. Tetapi itu bukan berarti bahwa apabila ada kesempatan kita akan tetap membiarkan seorang kawan kita mengalami kesulitan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk-angguk. Mereka sadar bahwa perang yang akan mereka hadapi adalah perang yang sangat ribut.

Dalam pada itu, pasukan kecil yang dikirim Empu Baladatu telah mendekati gerbang. Prajurit yang ada di sebuah padukuhan yang dilalui oleh sekelompok kecil itu sengaja membiarkan mereka lewat tanpa gangguan. Bahkan sebagian besar dari prajurit yang ada di padukuhan itu bersembunyi di balik dinding-dinding batu halaman.

“Empu Baladatu tetap berhati-hati.” desis Senapati yang ada di padukuhan itu. Tetapi kemudian, “Namun ia akan terkejut jika induk pasukannya akan menghadapi pasukan yang tidak tergoyahkan.”

Mahisa Bungalan yang ada di padukuhan itu pula, mengangguk-angguk. Katanya, “Pasukan kecil itu tidak akan pernah bertemu lagi dengan induk pasukannya.”

Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan, maka di padukuhan yang cukup besar, mendekati gerbang kota, maka pasukan Singasari tidak membiarkan mereka lewat. Meskipun mereka tidak langsung menyergapnya, namun seorang penghubung telah memberikan isyarat kepada prajurit yang berada di pintu gerbang untuk bersiap-siap menghadapi segala ke mungkinan.

Pasukan kecil itu melalui padukuhan demi padukuhan dengan tanpa gangguan. Mereka mendengar isyarat yang di lontarkan dari padukuhan yang baru saja mereka lewati.

Pasukan kecil itu termangu-mangu sejenak, ketika mereka melihat pintu gerbang masih terbuka. Agaknya setelah mendengar isyarat itu, barulah beberapa orang berusaha untuk dengan tergesa-gesa menutupnya.

Tetapi gerakan prajurit-prajurit Singasari terlalu lamban. Masih ada beberapa orang yang berada di luar, sehingga mereka masih harus menunggu.

“Kita akan mencegahnya.” berkata pemimpin kelompok kecil yang dikirim oleh Empu Baladatu. Lalu, “Lontarkan isyarat agar Empu Baladatu menyerang. Kita akan berusaha mencegah gerbang itu ditutup dan diselarak dengan sebatang kayu yang besar. Dengan demikian pasukan kita akan dengan mudah memasuki gerbang Kota Raja.”

Dengan demikian, maka pasukan kecil itu pun telah berlari langsung menuju ke pintu gerbang, sementara seorang di antara mereka telah membunyikan isyarat. Sebuah kentongan kecil yang melengking-melengking.

Suara kentongan kecil itu ternyata melengking terdengar sampai ke tempat yang jauh. Apalagi ternyata bahwa ada penghubung yang ada di antara pasukan kecil itu dengan induk pasukan yang dapat menyambung isyarat itu dengan suara kentongan pula.

Para prajurit Singasari sengaja telah membiarkan suara itu bersambung, agar terdengar oleh induk pasukan Empu Baladatu. Namun dengan demikian, mereka pun telah bersiap menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi.

Empu Baladatu yang berada di dalam induk pasukan mendengar isyarat itu. Karena itu, maka ia pun segera memerintahkan orang-orangnya untuk maju dengan cepat, menuju langsung ke pintu gerbang.

Sementara itu, pasukan kecil yang mencoba untuk mencegah agar pintu gerbang itu tidak tertutup, telah menyerang para prajurit. Tetapi prajurit-prajurit Singasari yang ada di pintu gerbang itu tidak mempertahankan diri. Mereka segera terdesak masuk ke dalam gerbang Kota Raja Singasari.

Dengan penuh gairah perjuangan pengikut-pengikut Empu Baladatu merasa bahwa mereka berhasil mendesak lawan-lawannya. Itulah sebabnya, mereka telah mengejar para prajurit memasuki pintu gerbang untuk mencegah agar pintu itu tidak tertutup dan diselarak dengan kuat dari dalam.

Ketika pengikut-pengikut itu memasuki gerbang, mereka merasa bahwa kemenangan telah mulai mereka miliki dengan menguasai gerbang Kota Raja itu. Sebentar lagi, induk pasukan mereka akan memasuki-Kota Raja dan menguasai seluruh isinya, termasuk tahta.

Tetapi yang kemudian terjadi, benar-benar telah mengejutkan para pengikut Empu Baladatu itu. Demikian mereka memasuki pintu gerbang, maka tiba-tiba saja sekelompok prajurit yang kuat telah menyerang dan mendesak mereka kesamping, sehingga mereka telah tergeser dari pintu gerbang itu.

Ketika sepasukan prajurit menyerang, mereka dengan anak panah bagaikan hujan dari balik dinding batu di sebelah pintu gerbang itu. maka mereka telah bergeser. Apalagi ketika kemudian berloncatan prajurit-prajurit Singasari dengan tombak di tangan.

Sejenak kemudian pertempuran telah terjadi .di dalam pintu gerbang Kota Raja itu. Sekelompok prajurit yang lain telah berusaha untuk menutup pintu itu dilindungi oleh prajurit-prajurit yang lain dari serangan para pengikut Empu Baladatu.

“Licik.” geram pemimpin kelompok pengikut Empu Baladatu.

Tetapi tidak seorang prajurit pun yang menjawab. Mereka dengan keras telah menekan pengikut-pengikut Empu Baladatu itu sehingga mereka benar-benar telah terdesak.

Tetapi mereka tidak dapat lagi keluar dari pintu yang telah tertutup rapat dan diselarak kuat-kuat dari dalam.

Namun demikian para pengikut Empu Baladatu itu tidak cemas. Jumlah prajurit Singasari terlalu sedikit. Jika Empu Baladatu tidak dapat memecahkan pintu, maka mereka akan meloncati dinding tanpa kesulitan apapun juga.

Karena itu dengan suara lantang pemimpin kelompok pasukan yang memasuki pintu gerbang itu berteriak, “Bertahanlah. Sebentar lagi, induk pasukan akan memasuki pintu gerbang ini, dan memusnakan segalanya. Kota Raja akan rata dengan tanah. Menjadi Karang .abang dan tidak berbekas. Kita akan membangun Kota Raja yang baru, yang jauh lebih besar dan agung dari Kota Raja ini.”

Para pengikutnya pun telah bersorak. Mereka ternyata benar-benar telah dibakar oleh hasrat untuk memenangkan pertempuran dengan membunuh lawan sebanyak- banyaknya.

Pertempuran di dalam gerbang Kota Raja itu pun segera berkobar dengan sengitnya. Prajurit-prajurit Singasari ternyata tidak terlalu sedikit sebagai yang mereka perhitungkan. Mereka muncul seorang demi seorang dari balik setiap daun dan bebatuan.

Tetapi para pengikut Empu Baladatu yang menganggap bahwa sebentar lagi induk pasukannya akan memasuki pintu itu, sama sekali tidak gentar menghadapi jumlah lawan yang semakin banyak.

Dalam pada itu, di atas regol dinding Kota Raja itu, dua orang prajurit berdiri mengawasi keadaan, Mereka seolah-olah tidak memperdulikan, apa yang terjadi di dalam pintu gerbang itu. Dengan saksama mereka mengamati keadaan, terutama jika ada gerakan yang mencurigakan, atau kedatangan pasukan Empu Baladatu.

Namun dalam pada itu, ketika semua pimpinan prajurit Singasari menerima keterangan mengenai keadaan di pintu gerbang, maka merekapun sadar, pengikut Empu Baladatu harus diserang sebelum mereka mendekati pintu gerbang itu dan memberi kesempatan orang-orangnya memanjat dinding.

Di padukuhan yang terletak langsung di hadapan pintu gerbang itu, Mahisa Bungalan telah bersiap. Pasukannya yang semula tersembunyi telah muncul di sebelah jalan yang akan dilalui pasukan Empu Baladatu.

“Demikian mereka memasuki padukuhan ini, kita akan menyergapnya.” berkata Mahisa Bungalan kepada Senapati yang ada di padukuhan itu pula, “Sementara itu, isyarat harus dibunyikan. Setiap pasukan akan keluar dari menyamaran mereka dan menyergap ketiga kelompok pasukan Empu Baladatu sesuai dengan arah masing-masing.”

Senapati itu pun mengangguk. Diperintahkannya pasukannya bersiap dan seorang penghubung dengan panah sendaren yang akan meluncur kesegala arah.

Sejenak kemudian suasana pun menjadi semakin tegang. Pasukan Empu Baladatu yang tergesa-gesa menjadi semakin dekat. Mereka akan melintasi padukuhan itu menuju langsung ke pintu gerbang.

Sementara itu, prajurit Singasari lelah berada di balik dinding padukuhan. Jika ujung pasukan Empu Baladatu memasuki padukuhan itu, maka merekapun akan segera bertoncatan keluar dan menyerang pasukan Empu Baladatu dari segala arah.

Empu Baladatu sama sekali tidak menyangka, bahwa prajurit Singasari akan menyergapnya. Menurut perhitungannya maka prajurit Singasari tidak akan cukup banyak untuk menahan serangannya.

Tetapi prajurit Singasari yang sebagian telah ditarik dari daerah-daerah yang telah dikalahkan, telah siap menunggu mereka. Justru suasana peperangan yang masih bergejolak di dalam dada mereka, membuat prajurit-prajurit Singasari itu bersiap dengan darah yang panas.

Demikian ujung pasukan yang tergesa-gesa itu memasuki padukuhan, maka Senapati yang memimpin prajurit Singasari di dalam padukuhan itupun telah melambaikan tangannya. Isyarat itu kemudian telah diikuti dengan meluncurnya panah sendaren. Tidak hanya sebatang, tetapi disusul oleh yang lain, berurutan.

Ketika anak panah sendaren yang pertama meraung di udara maka para pemimpin kelompok tidak menunggu lagi. Mereka pun segera meneriakkan aba-aba, yang melepaskan setiap prajurit untuk menyerang lawannya dengan senjata di tangan.

Empu Baladatu yang memimpin langsung pasukannya terkejut. Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa di balik dinding itu telah bersembunyi prajurit Singasari yang menunggunya.

Karena itu, maka langkahnya pun terhenti. Dengan serta merta ia memberikan isyarat, agar pasukannya melangkah surut, keluar dari mulut lorong yang memasuki gerbang padukuhan.

Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Kedua pasukan itupun segera berbenturan. Prajurit-prajurit Singasari berlari-larian di luar dinding padukuhan menyerang pengikut Empu Baladatu yang berada di ekor iring-iringan itu.

Sementara itu .pasukan Empu Baladatupun tidak menunggu. Mereka pun segera menghambur menebar menyongsong prajurit yang menyerang mereka dari balik dinding batu.

“Inikah cara prajurit Singasari bertempur.” teriak Empu Baladatu, “Aku kira prajurit Singasari akan bersikap menunggu kedatangan kami dalam gelar dan dengan dada terbuka. Ternyata kalian telah bersembunyi seperti perempuan, kemudian dengan licik telah menyergap kami.”

Tidak seorangpun yang menjawab. Tetapi prajurit-prajurit Singasari itu menyergap mereka dengan garangnya.

Dalam benturan itu ternyata bahwa prajurit Singasari jumlahnya memang terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah pengikut Empu Baladatu. Bukan saja di induk pasukan. Tetapi di kedua kelompok yang lain, yang telah disergap pula oleh prajurit-prajurit Singasari dari padukuhan terdekat, pasukan Empu Baladatu merasa bahwa tugas mereka akan segera selesai.

Tetapi Empu Baladatu menjadi tegang, ketika ia melihat dari padukuhan-padukuhan yang lain, kelompok-kelompok kecil prajurit Singasari lelah berlari-larian menuju ke arena pertempuran yang menjadi semakin panas.

Sekali lagi Empu Baladatu berteriak, “Licik. Singasari telah kehilangan sifat kesatrianya. Kalian tidak lebih dari berandal-berandal kecil yang menunggu pedagang lewat untuk menyamun barang-barang dagangan mereka.”

Prajurit-prajurit Singasari tidak menjawab. Akan tetapi kata-kata Empu Baladatu itu telah membuat darah mereka menjadi semakin panas.....

Mahisa Bungalan yang berada di induk pasukan masih berdiri termangu-mangu. Ia sadar, bahwa Empu Baladatu adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Apalagi karena dasar ilmu hitamnya, maka Empu Baladatu adalah orang yang sangat berbahaya.

Karena itu, maka ia merasa mempunyai kewajiban untuk berbuat sesuatu, agar Empu Baladatu tidak dengan garang menghancurkan pasukan Singasari. Ia merasa ikut bertanggung jawab, bahwa keganasan Empu Baladatu itu harus dicegah.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun telah mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan pemimpin tertinggi dari mereka yang menganut ilmu hitam dan yang telah terpengaruh olehnya dengan harapan yang disangkanya dapat memberikan kemukten di masa depan.

Dalam pada itu, kelompok-kelompok yang dipersiapkan sebagai sayap pasukan jika mereka harus memasang gelar, telah terlibat pula dalam pertempuran melawan prajurit Singasari. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang tidak sabar lagi menunggu, telah berlari-lari demikian mereka mendengar isyarat.

“Berhati-hatilah.” Senapati yang berada di dalam kelompoknya mencoba memperingatkannya.

Tetapi kedua anak muda itu tidak mendengarnya lagi. Mereka telah menghambur bersama prajurit-prajurit Singasari yang berada di paling depan.

Di bagian lain. Lembu Ampal menghadapi keadaan dengan tenang. Ia tidak terlalu tergesa-gesa. Dengan tenang pula prajuritnya mempersiapkan diri. Meskipun mereka bertindak cepat namun tidak ada kesan ketergesa-gesaan pada pasukannya.

Namun dalam pada itu, maka sejenak kemudian, maka di depan pintu gerbang. Kota Raja itupun telah terjadi pertempuran yang seru menebar pada arena yang luas.

Induk pasukan Empu Baladatu telah membentur pasukan yang kuat di padukuhan yang terletak langsung di depan gerbang, sementara pasukan yang telah dipersiapkan menjadi sayap pasukan jika kemudian membentuk gelar yang utuh, telah bertempur melawan kelompok-kelompok prajurit yang menyerang mereka.

Ternyata bahwa prajurit Singasari masih cukup banyak dan cukup kuat untuk menahan pasukan Empu Baladatu yang besar. Agaknya pasukan Empu Baladatu yang terkejut itu untuk beberapa saat masih harus menyesuaikan diri dengan medan yang tidak disangka-sangkanya.

Sementara itu, Empu Sanggadaru telah siap pula dengan pasukannya di belakang medan. Jika perintah Senapati prajurit Singasari jatuh, maka pasukannya telah siap untuk melakukan apa saja.

Tetapi Empu Sanggadaru pun menyadari kedudukan pasukannya sebagai pasukan cadangan. Jika tidak ada perintah, maka pasukannya akan tetap berada di tempat. Seperti pesan Senapati prajurit Singasari kepadanya, bahwa pertempuran yang membakar Kota Raja itu bukanlah bencana yang terakhir.

“Kita masih harus tetap berhati-hati terhadap Mahibit.” pesan Senapati Singasari kepada Empu Sanggadaru.

Karena itu, Empu Sanggadaru pun telah menahan diri. Betapapun besar keinginannya untuk ikut serta membinasakan pasukan Empu Baladatu, yang meskipun adik kandungnya sendiri, tetapi yang sudah dilumuri oleh ketamakan dan kedengkian, namun pasukannya tetap berada di tempatnya.

Sebenarnyalah bahwa pimpinan pasukan Singasari masih belum memerlukan bantuan pasukan Empu Sanggadaru. Pasukan induk Singasari tidak terlalu mengalami kesulitan. Kejutan yang ditimbulkan telah berhasil mempengaruhi gairah perjuangan para prajurit untuk membinasakan lawannya. Dalam pada itu, pasukan kecil Empu Baladatu yang terjebak di dalam pintu gerbang Kota Raja tidak dapat bertahan terlalu lama. Mereka segera terdesak dan terhimpit oleh kekuatan yang, jauh lebih besar dari kekuatan mereka.

Dengan gelisah mereka mencoba bertahan sambil menunggu. Namun ternyata pasukan induk mereka tidak segera datang memasuki dinding dengan cara apapun juga.

“Jika mereka tidak dapat memecahkan pintu gerbang, maka tentu tidak akan terlalu sulit untuk memanjat dan meloncati dinding.” berkata pemimpin kelompok kecil itu di dalam hatinya.

Tetapi ternyata bahwa pasukan itu tidak kunjung datang. Sehingga kekuatan merekapun semakin lama menjadi semakin tipis dibandingkan dengan kekuatan prajurit Singasari yang mendesak mereka tanpa ampun.

Namun agaknya pemimpin prajurit. Singasari itu bukannya seseorang yang haus darah. Setiap kali ia masih memberikan kesempatan dan menawarkan agar para pengikut Empu Baladatu itu menyerah saja.

“Kau tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.” berkata seorang prajurit muda, “Letakkan senjatamu dan menyerahlah. Kami akan memperlakukan kalian sebaik-baiknya, karena kami tahu bahwa kalian tidak sadar apa yang sedang kalian lakukan.”

Para pengikut Empu Baladatu itu menjadi ragu-ragu. Mereka pun menyadari bahwa mereka tidak akan dapat berlahan lebih .ama lagi. Harapan mereka satu-satunya adalah kedatangan induk pasukan yang dipimpin langsung oleh Empu Baladatu. Tetapi ternyata bahwa pasukan itu tidak segera memasuki pintu gerbang.

Bahkan sejenak kemudian prajurit muda yang nampaknya memiliki pengaruh sangat besar di antara prajurit-prajurit Singasari itu berkata pula, “Induk pasukan yang tentu kalian tunggu itu tidak akan pernah memasuki Kota Raja lewat pintu gerbang atau memanjat dinding. Agaknya mereka telah membentur pasukan Singasari yang kuat di depan pintu gerbang.”

Pemimpin kelompok kecil yang masih mencoba bertahan itu berteriak mengatasi kecemasan yang tumbuh di hatinya, “Tidak ada prajurit Singasari di luar pintu gerbang.”

“Kau salah. Aku menawarkan kesempatan. Jika kau ingin mengirimkan seorang, penghubung untuk melihat kenyataan tentang induk pasukanmu, aku akan menjamin, bahwa ia akan dapat melihat induk pasukanmu yang menjelang saat kehancurannya dan kembali dengan selamat memasuki pintu gerbang itu.”

Pemimpin kelompok kecil itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Siapakah kau? Apakah kau benar-benar memiliki wibawa, untuk menjamin keselamatannya jika aku benar-benar mengirimkan seorang penghubung untuk melihat induk pasukan?”

“Aku menjamin.” sahut prajurit muda itu.

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun pasukannya benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Sabagian dari orang-orangnya telah terluka dan tidak mampu lagi mengangkat senjatanya. Yang lain terkurung oleh tiga atau empat orang prajurit, sehingga ia terpaksa melepaskan senjatanya.

“Tetapi siapa kau. Sebut kedudukanmu.”

Prajurit muda itu ragu-ragu. Namun ia ingin menghentikan pertumpahan darah lebih lama lagi di dalam pintu gerbang itu. Karena itu, maka iapun segera menjawab, “Aku adalah Ranggawuni.”

Pengakuan itu telah mengejutkan orang-orang yang mendengarnya. Pemimpin kelompok itupun terkejut bukan buatan. Ternyata yang ada di hadapannya itu adalah Ranggawuni. Maharaja di Singasari yang bergelar Wisnuwardhana.

Ia tidak menyangka sama sekali bahwa Maharaja Singasari itu berada di medan dengan pakaian seorang prajurit dan bertempur langsung di medan.

Namun dengan demikian pemimpin pasukan lawan itu dapat mengenal langsung, bahwa Ranggawuni adalah seorang anak muda yang luar biasa. Seorang, anak muda yang memiliki kelebihan bukan saja kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi menilik sikapnya, ia tentu seorang yang bijaksana.

Ia bukan saja karena kebetulan lahir dalam kedudukan yang memungkinkannya memegang pimpinan atas Singasari, namun ia memang memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Pemimpin pasukan yang terjepit itu masih sempat membuat pertimbangan dengan nalarnya. Pasukannya tidak akan mampu berbuat apa-apa. Sementara induk pasukannya tidak juga kunjung datang memasuki dinding Kota Raja.

“Aku menawarkan kesempatan itu sekali lagi.” berkata Ranggawuni.

Pemimpin pasukan pengikut Empu Baladatu yang ada di dalam regol dinding Kota Raja itu benar-benar telah tersudut ke dalam suatu kenyataan, jika ia tidak menyerah, maka akhirnya pasukannya akan hancur. Mungkin terbunuh atau terluka parah tanpa tersisa seorangpun.

Karena itu, maka tiba-tiba saja pemimpin pasukan itupun melemparkan senjatanya. Pengaruh kehadiran Ranggawuni dan menawarkan kesempatan langsung di medan peperangan itu telah menimbulkan kepercayaannya, bahwa Maharaja Singasari itu tentu akan bertindak bijaksana.

“Hamba menyerah tuanku.” berkata pemimpin pasukan itu, “Hamba mohon ampun.”

Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Ia menunggu sikap dari para pengikut Empu Baladatu yang lain.

Ternyata bahwa sebagian dari mereka pun tidak lagi dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari ujung senjata prajurit Singasari jika mereka berkeras untuk tetap melawan.

Sesaat kemudian Ranggawuni pun memberikan isyarat kepada para prajurit untuk menghentikan pertempuran. Ternyata bahwa pasukan yang memasuki regol itu benar-benar sudah tidak berdaya. Satu-satu mereka melepaskan senjata mereka dan menyerahkan diri untuk diperlakukan apapun juga.

Tetapi ternyata bahwa prajurit Singasari bukannya orang orang yang buas seperti yang pernah mereka bayangkan. Prajurit-prajurit Singasari dengan patuh melakukan segala perintah Senapatinya. Juga perlakuan atas para tawanan itupun di landasi pada sikap dan ketentuan yang ada di dalam lingkungan keprajuritan Singasari.

Dalam waktu yang, singkat, maka para tawanan itupun telah dibawa ke tempat yang sudah ditentukan, seolah-olah Singasari memang sudah menyediakan tempat untuk menampung lawan yang akan tertawan.

Beberapa orang prajuritpun segera ditugaskan untuk menjaga mereka dengan ketat, sementara yang lain segera menempatkan diri pada tugas-tugas yang baru sesuai dengan perkembangan keadaan.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ternyata tidak sekedar ingin bermain-main di dalam dinding Kota Raja. Setelah pasukan yang memasuki Kota Raja itu menyerah, maka Ranggawuni pun berkata kepada Mahisa Agni, “Paman, agaknya pasukan Empu Baladatu tidak sempat mencapai pintu gerbang. Tetapi kita belum yakin, bahwa induk pasukan kita akan dapat bertahan atas tekanan pasukan Empu Baladatu yang kuat.”

Mahisa Agni segera menangkap maksud Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Karena itu, maka katanya, “Tuanku, di seberang arena pertempuran, pasukan Empu Sanggadaru sudah siap menunggu perintah. Jika induk pasukan itu terdesak dan tidak mungkin lagi bertahan, maka perintah yang akan dilontarkan lewat isyarat akan segera menggerakkan pasukan itu.”

Ranggawuni tersenyum. Jawabnya, “Kita akan membiarkan pasukan Empu Sanggadaru di tempatnya. Bukankah kita masih harus mempertimbangkan kemungkinan yang akan datang? Jika kita tidak mempunyai pasukan yang segar, maka jika Mahibit benar-benar bergerak, maka kita semuanya sudah kehabisan nafas.”

“Seandainya tuanku memerintahkan, biarlah hamba dengan pasukan yang tidak diperlukan di sini, turun kemedan perang di induk pasukan itu.” berkata Mahisa Agni.

“Aku akan berada di medan. Aku tahu kecemasan paman tentang aku dan adinda Mahisa Cempaka. Tetapi aku berjanji bahwa aku akan berlaku sebaik-baiknya, sesuai dengan petunjuk paman.” sahut Ranggawuni.

Mahisa Agni tidak dapat menahannya lagi. Karena itu, maka iapun segera menyiapkan sekelompok pengawal pilihan yang akan pergi bersama Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kemedan perang.

Namun Mahisa Agni sendiri tidak dapat melepaskan kedua pemimpin Singasari itu pergi ke medan di luar pengamatannya. Karena itu, maka ia pun telah ikut pula di dalam kelompok pengawal yang menyertai Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ke garis pertempuran di depan pintu gerbang.

Karena itu, maka sesaat kemudian, perlahan-lahan pintu gerbang itupun terbuka. Dua orang prajurit yang berada di atas dinding mengawasi keadaan dengan saksama.

Demikian pintu Gerbang itu terbuka, maka sepasukan kecil telah keluar dengan cepat. Tidak ada tanda-tanda kebesaran pada pasukan itu. Tidak ada tanda-tanda umbul-umbul atau panji-panji dan tunggul yang memberikan pertanda bahwa Maharaja Singasari turun kearena pertempuran.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang dikawal dengan kuat oleh prajurit-prajurit pilihan itu, seakan-akan sepasukan prajurit biasa yang dipimpin seorang Senapati pergi kemedan membantu pasukan yang sedang dalam tekanan lawan.

Mahisa Agni yang sangat berhati-hati karena di dalam pasukannya terdapat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, telah mengirimkan dua orang pengawas mendahului perjalanan mereka untuk melihat dari dekat, apakah yang telah terjadi di medan, di seberang padukuhan.

“Kita akan berhenti sejenak di muka padukuhan itu tuanku.” berkata Mahisa Agni.

“Untuk apa?” bertanya Ranggawuni.

“Kita menunggu laporan pengawas yang mendahului perjalanan kita.”

Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat memaksa Mahisa Agni berjalan terus, karena ketika Mahisa Agni melihat gelagat itu ia berkata, “Bukankah tuanku akan menurut petunjuk-petunjuk hamba?”

Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sambil tersenyum ia mengangguk. Jawabnya, “Baiklah paman. Aku akan tetap patuh.”

Tetapi mereka tidak menunggu terlalu lama. Pengawas itupun segera datang menghadap untuk melaporkan bahwa pertempuran masih berkobar dengan sengitnya.

“Empu Baladatu sendiri memimpin induk pasukannya.” berkata pengawas itu.

“Bagaimana dengan Mahisa Bungalan?” bertanya Mahisa Agni.

“Mahisa Bungalan telah terlibat dalam pertempuran melawan Empu Baladatu sendiri.”

Ranggawuni yang mendengarkan laporan itu pun segera bertanya, “Bukankah kita dapat meneruskan perjalanan ini paman. Mudah-mudahan Mahisa Bungalan tidak menjumpai kesulitan apapun juga.”

Mahisa Agni mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah tuanku. Kita akan melanjutkan perjalanan ke medan yang berada di seberang padukuhan ini.”

Ranggawuni mengangguk kecil, iapun kemudian berjalan bersama Mahisa Cempaka menyusuri jalan induk. Tetapi Mahisa Agni masih tetap berhati-hati dengan menempatkan beberapa orang pengawal di depan pasukannya.

Ternyata bahwa pertempuran di seberang padukuhan masih tetap berjalan dengan serunya. Suara dentang senjata di antara pekik dan erang. Tetapi juga teriakan penuh dendam dan kemarahan.

Empu Baladatu memang sedang bertempur melawan Mahisa Bungalan yang datang menyongsongnya.

Kehadiran pasukan kecil itu semula tidak begitu menarik perhatian. Pasukan Singasari yang sedang bertahan itu nampak berhasil menahan desakan pasukan Empu Baladatu meskipun mereka harus mengerahkan segenap kemampuan. Ketika tubuh mereka telah basah oleh keringat, serta nafas mereka mulai berkejaran, barulah mereka menjadi agak cemas, bahwa mereka lelah memeras terlalu banyak tenaga menghadapi pasukan Empu Baladatu yang kuat.

Yeng terbersit pertama-tama di hati setiap prajurit Singasari adalah kemungkinan untuk memperpanjang perlawanan. Jika mereka kehabisan tenaga, sementara pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, maka akibatnya akan sangat berat bagi para prajurit Singasari.

Kehadiran sekelompok prajurit itu akan membantu mereka menghemat tenaga meskipun masih belum berarti akan dapat menentukan akhir dari pertempuran itu dalam keseluruhan.

Tetapi ketika Senapati di induk pasukan itu melihat, siapakah yang hadir, hampir saja ia meneriakkan gejolak perasaannya. Namun Mahisa Agni sempat memberikan isyarat, agar Senapati itu tidak berteriak-teriak menyambut kedatangan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di medan yang sengit itu.

“Kami akan bertempur.” berkata Mahisa Agni, “Tetapi kami akan bertempur sebagai prajurit.”

Senapati itu tidak mengerti, kenapa prajurit Singasari tidak boleh mengerti, bahwa kedua pemimpin tertinggi Singasari berada di antara mereka.

Tetapi Senapati itu tidak berani melanggar pesan Mahisa Agni. Ia benar-benar tidak memberitahukan kepada siapapun bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ada di antara prajurit Singasari yang bertempur dengan garangnya itu.

Untuk beberapa saat, kehadiran pasukan kecil itu memang belum terasa pengaruhnya. Namun kemudian ternyata bahwa prajurit-prajurit pilihan di dalam pasukan kecil itu seolah-olah merupakan gulungan prahara yang menelan setiap lawan yang terlibat ke dalamnya.

Sementara itu, di bagian lain dari pertempuran itu, prajurit Singasari telah bekerja keras untuk menahan tekanan lawan yang jumlahnya cukup banyak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur seperti burung sikatan. Mereka menyambari dengan tangkasnya. Setiap kali senjatanya berhasil menyentuh lawan dan menitikkan darah.

Namun lawan memang terlalu banyak, sehingga keduanya harus bertempur mati-matian untuk menahan agar prajurit Singasari tidak terdesak.

Tetapi betapa lincahnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat namun kemampuan merekapun terbatas. Mereka tidak dapat bertempur melampaui kemampuan mereka masing-masing, sehingga pada suatu saat, terasa betapa beratnya medan.

Selagi keduanya mengalami kesulitan. Senapati yang sudah agak lanjut usia yang memimpin pasukan Singasari itupun baru memeras kemampuannya. Tiga orang lawan sekaligus harus dihadapinya, sahingga Senapati itu tidak mampu berbuat banyak, selain mempertahankan diri sambil sekali-sekali mengawasi keadaan anak buahnya.

Sekali-sekali terasa dadanya berdesir saat-saat ia melihat cara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur. Di medan yang berat, maka akan sangat berbahaya sekali, jika keduanya bagaikan berterbangan. Suatu saat, tentu ada sekelompok lawan yang jumlahnya memang lebih banyak itu, menjebaknya dan membinasakannya.

Namun dalam pada itu, selagi sekelompok lawan sedang menyusun jaring untuk menjebak kedua anak-anak muda itu, seseorang berdiri mengawasi dengan tajamnya. Sekelompok pasukan Singasari yang lain telah datang membantu meskipun jumlahnya juga tidak terlalu banyak.

Tetapi bahaya bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tetap dapat terjadi setiap saat, sehingga orang yang sedang mengawasinya itu berusaha untuk selalu mengikuti setiap langkah kedua anak muda itu.

Yang dicemaskan oleh Senapati itupun ternyata telah mulai membayang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, dengan tidak sadar, telah memasuki sebuah putaran lawan yang kuat. Demikian keduanya berada di antara jebakan yang telah disiapkan, maka seakan-akan sebuah lingkaran telah berputar dengan cepat. Semakin lama semakin cepat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Mereka sadar, bahwa mereka telah memasuki putaran orang-orang berilmu hitam. Dan merekapun mengerti, bahwa orang-orang yang terjebak dalam putaran seperti itu, biasanya akan terlempar dengan kulit yang bagaikan terkelupas oleh sentuhan senjata arang kranjang.

Sejenak keduanya menjadi berdebar-debar. Tetapi keduanya sadar, bahwa mereka tidak boleh menjadi bingung dan apalagi berputus asa.

“Kita terseret ke dalam arus pusaran.” desis Mahisa Pukat.

“Kita akan memecahkan dinding pusaran itu.” sahut Mahisa Murti, “Kita akan melihat, di bagian mana kita akan menembus dan memutuskan lingkaran itu, dan bahkan membuatnya terkoyak-koyak.”

Namun ternyata bahwa untuk melakukannya tidak semudah seperti yang dikatakannya. Agaknya sekelompok orang-orang pilihan dari perguruan Empu Baladatu telah mempersiapkan jebakan yang sangat kuat.

Setiap kali keduanya mencoba memecahkan kepungan, terasa sambaran angin bagaikan menyobek kulit. Hanya karena ketangkasan mereka berdua sajalah, maka senjata yang menyambar seperti berpuluh-puluh kelelawar liar itu dapat dihindarkan.

Kegelisahan kedua anak muda itu menjadi semakin mengganggu mereka. Lingkaran itu semakin lama seolah-olah menjadi semakin sempit. Senjata-senjata yang berjuluran bagaikan hampir bertautan.

“Gila.” geram Mahisa Murti, “Kita harus membuat kejutan yang dapat menarik perhatian mereka untuk sesaat, sebelum kita berbuat sesuatu.”

Mahisa Pukat diam saja. Ia sedang memikirkan kemungkinan itu. Tetapi medan bagi mereka berdua menjadi terlalu sempit.

Ternyata bahwa orang-orang berilmu bitam itu yakin, akan dapat menghancurkan kedua anak muda yang luar biasa, yang telah mengoyak pasukan pengikut Empu Baladatu dengan ilmunya yang mengagumkan.

Namun setelah beberapa orang terpilih menjebaknya, maka keduanya benar-benar dalam kesulitan.

Senapati yang memimpin pasukan Singasari itu melihat kesulitan kedua anak muda itu. Karena itu, maka iapun segera meneriakkan aba-aba, karena ia sendiri tidak dapat berbuat banyak.

Beberapa orang prajurit yang mendengar aba-aba itupun telah berusaha mendekati kedua anak muda itu. Tetapi rasa-rasanya lawan bertebaran di segala tempat, sehingga mereka merasa sulit untuk melangkah maju. Ujung senjata teracu-acu di segala tempat, dan maut bagaikan mengintai setiap saat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar berada dalam kesulitan. Putaran di sekelilingnya menjadi bertambah rapat. Bahkan kemudian kepalanya seolah-olah menjadi pening ketika ia mendengar orang-orang yang berlari-larian berputaran itu bagaikan bergumam dalam irama yang menghentak-hentak tetapi terus menerus.

“Gila. Ilmu ini ilmu iblis.” tiba-tiba saja Mahisa Pukat berteriak.

Yang terdengar adalah suara tertawa. Benar-benar suara tertawa iblis. Di sela-sela suara tertawa itu terdengar jawaban, “Kegelisahanmu adalah pertanda akhir dari hayatmu. Anak manis. Berdoa sajalah agar akhir hidupmu akan kalian jalani dengan baik. Sebutlah nama ayah ibumu.”

Mahisa Murtilah yang kemudian berteriak, “Gila. Iblis gila.”

Suara tertawa itu masih terdengar. Tetapi tiba-tiba saja suara itu terputus oleh suara lain. “Ayahmu ada di sini anak-anak manis. Sebutlah namanya. Mahendra.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengenal suara itu. Karena itu sambil melonjak kegirangan mereka berbareng menyebut, “Ayah.”

Orang-orang yang mengepungnya terkejut pula. Mereka mencoba untuk melihat, siapakah yang datang.

“Seperti yang kalian kehendaki.” berkata Mahendra, “Kedua anak-anakku sudah menyebut ayahnya. Tetapi jangan mimpi untuk membunuh keduanya. Meskipun mereka anak nakal, tetapi bagi ayahnya, keduanya adalah mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena itu, dalam keadaan yang paling gawat seperti sekarang, aku akan mempertahankan kedua anak-anakku.”

“Persetan.” geram salah seorang dari mereka yang mengepung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Kaupun akan kami bunuh sama sekali.”

“Jika kalian ingin mencoba, baiklah. Aku akan memasuki lingkaran kalian.”

Lingkaran yang tidak berputar lagi karena kejutan itu, bergerak selangkah. Tiba-tiba saja pemimpinnya berkata kasar, “Masuklah Mahendra. Kami akan mencincangmu menjadi bangkai.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat peperangan yang sengit. Tetapi ia tidak mencemaskan seluruh pasukan yang sedang bertempur itu, sehingga karena itu, maka ia telah mengikatkan diri. melawan orang-orang yang telah mengepung anaknya.

Ketika lingkaran itu menyibak, maka Mahendra benar-benar melangkah memasukinya meskipun Mahisa Pukat berteriak, “Jangan berada di dalam lingkaran ayah.”

Mahendra tersenyum. Jawabnya, “Aku akan mencoba, apakah putaran angin pusaran itu tidak dapat dipecahkan.”

Sejenak kemudian, demikian Mahendra memasuki lingkaran, maka orang-orang berilmu hitam itupun segera bergerak dan putaran itupun kembali melingkari Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahendra.

“Lingkaran itu berbahaya sekali ayah.” desis Mahisa Murti.

“Ya, memang berbahaya sekali. Karena itu, kita bertiga memang harus berhati-hati.” jawab Mahendra.

Kedua anak-anaknya mengerutkan keningnya. Merekapun kemudian mengerti bahwa yang mereka hadapi benar benar bahaya yang dapat mengancam jiwa mereka bersama ayahnya, sehingga merekapun bergumam di dalam hati, “Pertempuran bukannya arena permainan yang selalu menyenangkan.”

Mahendra memang menghendaki anak-anaknya mengerti, bahwa pada suatu saat, lawan yang tangguh akan dapat mengurung mereka dalam ancaman bahaya maut. Dengan demikian, maka setiap orang yang memasuki arena pertempuran mempunyai kemungkinan yang sama antara dua peristiwa. Hidup atau mati.

Tekanan yang hampir saja merenggut jiwa mereka, telah menjadi pengalaman yang berharga bagi Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Mereka bersukur kepada Yang Maha Agung bahwa ayah mereka masih dapat melihat nasib yang hampir saja mencekik leher mereka. Namun dalam pada itu, merekapun merasa bahwa medan adalah tempat yang harus ditanggapi secara bersungguh-sungguh.

Dalam pada itu, sejenak kemudian orang-orang berilmu hitam itu telah melingkari mereka kembali. Senjata mereka mulai teracu dan menyambar-nyambar. Tetapi lingkaran itu telah menjadi lebih besar.

Namun demikian, setiap orang di dalam pertempuran itu melihat, bahwa lingkaran itu berputar semakin lama semakin cepat dan menjadi semakin sempit seperti yang pernah terjadi. Sementara ketiga orang yang ada di dalamnya akan meng hadapi masa-masa yang sulit untuk mempertahankan diri.

Senapati prajurit Singasari yang melihat kehadiran Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ketiga ayah beranak itu masih akan menghadapi masa-masa yang berat, tetapi mereka bertiga tentu akan menjadi lebih kuat daripada hanya kedua anak-anak muda itu saja.

Lingkaran itu semakin lama memang menjadi semakin sempit. Kehadiran Mahendra seolah-olah tidak banyak memberikan perubahan. Orang-orang berilmu hitam itu masih tetap melingkari lawan mereka dengan sekali-sekali menyerang dengan senjata mereka yang tajam.

Setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa. Pukat harus menghindar dan bahkan berdesakan. Mereka tidak dapat meloncat surut, karena di bagian punggung, mereka, senjatapun siap menyobek kulit mereka dari belakang, karena lawan berada dalam putaran.

Mahendra nampaknya tidak berbuat banyak menghadapi putaran itu. Ia masih seperti juga kedua anak-anaknya, bergeser dan beringsut.

Namun Mahendra adalah orang yang luar biasa. Ia memiliki ilmu yang hampir sempurna. Karena itu, maka iapun mulai mempelajari kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan kedua anak-anaknya.

Ketika putaran itu menjadi semakin cepat dan semakin sempit, maka Mahendrapun berkata, “Berhati-hatilah. Jangan terpengaruh oleh pendengaranmu. Mereka mulai berteriak-teriak dan membuat kau bingung.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tidak menyahut tetapi mereka telah mencoba untuk melawan pengaruh pendengaran mereka yang kacau karena orang-orang yang mengepungnya mulai mengganggu mereka dengan suara dan kata yang membingungkan.

“Hati-hatilah.” berkata Mahendra tiba-tiba, “Aku akan memecahkan kepungan mereka. Mungkin mereka melakukan suatu sikap dan gerakan yang tiba-tiba pula. Hadapi mereka dengan tenang dan jangan bingung.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi mereka mencoba menyesuaikan diri dengan gerakan ayahnya yang akan memecah kepungan orang-orang berilmu hitam itu, meskipun ia sama sekali tidak memerintahkan anaknya untuk keluar.

Sejenak Mahendra memusatkan inderanya pada pusaran lawannya. Ia berusaha untuk mengenali irama gerakan mereka, yang ternyata berjalan ajeg.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Seakali-seakali ia telah menemukan jalan untuk keluar dari kepungan itu bersama dengan anak-anaknya.

Sejenak ia masih tetap berdiam diri. Ia hanya bergeser setapak-setapak jika senjata lawan-lawannya menyambarnya.

Namun tiba-tiba saja Mahendra telah meloncat sambil berkata, “Ikuti aku. Hati-hati. Serangan itu akan tetap mengarah ke tubuhmu. Tetapi jika kita berhasil, maka lawan kita hanyalah seorang dari antara mereka.”

Kedua anaknya telah mengikutinya. Ketiganya telah menyusun suatu lingkaran kecil yang berputar seirama dengan putaran lawannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud ayahnya. Mereka telah memiliki lawan masing-masing dalam putaran itu. sehingga justru kedua anak muda itulah yang mengejar lawannya yang berada, di dalam lingkaran, sehingga dengan demikian maka seakan-akan mereka telah bertempur sambil berlari-lari.

Orang-orang berilmu hitam di dalam putaran itu terkejut melihat gerakan ketiga orang yang berada di dalam lingkaran. Mereka tidak dapat menyerang berurutan dan membuat ketiganya bingung, karena ketiganya ikut pula berlari dengan telah memilih seorang lawan.

Tetapi sejenak kemudian, maka orang-orang berilmu hitam itu dapat menguasai diri. Ketika salah seorang dari mereka memberikan isyarat, maka tiba-tiba saja putaran itu berhenti.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terdorong beberapa langkah. Hampir saja mereka terjebak dalam senjata lawan yang sengaja menunggu. Untunglah, bahwa Mahendra dapat bertindak cepat. Dengan tangkasnya ia mengatasi keadaaan yang tiba-tiba itu. la sempat menahan kedua anak-anaknya dan memberikan peringatan, “Jaga serangan dari belakang kalian. Aku akan menghadap ke arah lain.”

Kedua anak muda itupun kemudian berdiri beradu punggung dengan ayahnya menghadap lawan-lawan mereka yang tegang. Namun kesempatan itulah yang ditunggu oleh Mahendra. saat putaran itu telah berhenti.

“Sekarang.” geram Mahendra, “Pecahkan dinding lingkaran.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud ayahnya. Karena itu, maka ketiganya hampir serentak telah menyerang dinding lingkaran yang sudah tidak berputar lagi itu.

Serangan yang tiba-tiba itupun sudah diperhitungkan oleh orang-orang berilmu hitam itu, sehingga merekapun telah siap untuk menghadapinya.

Namun Mahendra ternyata terlalu kuat bagi mereka. Disaat perhatian mereka terbagi oleh serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang membadai. Mahendra tiba-tiba saja, hampir tidak diketahui apa yang telah dilakukannya, tiba-tiba saja telah berada di luar lingkaran. Tiga orang telah terlempar dengan luka di tubuh mereka.

Oranga berilmu hitam itu benar-benar terkejut. Serentak mereka bagaikan terpukau oleh peristiwa yang sama sekali tidak dapat mereka mengerti itu.

Dalam kebingungan itu. sekali lagi mereka dikejutkan oleh sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Merekalah yang kemudian mempergunakan kesempatan untuk melepaskan diri dari kepungan maut itu. Seperti yang dilakukan oleh ayahnya, merekapun telah menyerang serentak, meskipun keduanya tidak dapat melakukannya dalam tataran ilmu Mahendra.

Namun demikian, ternyata bahwa kedua anak muda itu berhasil membuka kepungan di depan mereka. Beberapa orang telah menyibak, meskipun senjata kedua anak-anak muda itu tidak dapat menyentuh mereka.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang ayah beranak itu telah berada di luar kepungan orang-orang berilmu hitam itu. Dengan sigapnya ketiganya segera bersikap uniuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka.

Pecahnya kepungan itu telah membuat orang-orang berilmu hitam itu bingung sesaat. Dengan demikian, maka akan sulitlah bagi mereka untuk mengulanginya, menjebak ketiganya ke dalam lingkaran maut itu.

Sementara itu, Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahendra telah bersiap untuk bertempur, sementara pertempuran berjalan semakin lama semakin sengit.

Namun, dengan pecahnya kepungan itu, maka kembali kedua anak-anak muda itu bertempur seperti burung Sikatan. Mereka tidak lagi menjadi cemas jika mereka terjebak. Ayahnya akan selalu mengawasi mereka dalam keadaan yang paling sulit.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang terpikir oleh anaknya, sehingga karena itu, maka iapun telah berkata kepada diri sendiri, “Seharusnya mereka tidak berbuat demikian. Mereka mulai menggantungkan keselamatan mereka justru aku berada di sini.”

Namun hal itu merupakan suatu pengalaman baru bagi Mahendra. Ia harus berusaha untuk membuat anak-anaknya lebih berhati-hati dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain.

“Mereka masih cukup muda untuk menempuh masa depan yang lebih baik.” berkata Mahendra kepada diri sendiri, sementara ia berusaha untuk menemukan anak-anaknya dan berpura-pura meninggalkan arena pertempuran itu.

Untuk beberapa saat Mahendra masih berada di dalam kancah peperangan. Namun kemudian ketika nampak olehnya Mahisa Pukat dan Mahisa Murti bersama menghalau beberapa orang lawan, maka Mahendra pun mendekatinya sambil berbisik, “Hati-hatilah Aku akan melihat pertempuran di induk pasukan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti terkejut. Dengan serta merta Mahisa Pukat bertanya, “Kenapa ayah pergi? Bukankah pertempuran di sini masih cukup sengit?”

“Di sini ada Senapati itu.”

“Ia sudah terlalu tua.” jawab Mahisa Pukat.

“Ada kau ada Murti.”

“Kami masih terlalu muda.” sahut Mahisa Murti.

“Justru ada yang tua ada yang muda. Nah. berhati-hatilah.” Mahendra tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian meloncat di antara riuhnya pertempuran dan hilang di balik bayangan lawan dan kawan.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun kemudian menjadi semakin berhati-hati. Ayahnya tidak ada lagi di antara mereka, sehingga jika terjadi sesuatu tidak ada lagi yang dapat membantu.

Tetapi memang sikap itulah yang dikehendaki oleh Mahendra. Dengan demikian ia mengharap bahwa anaknya tidak lagi menggantungkan diri kepada perlindungan orang lain, meskipun dengan diam-diam Mahendra masih harus tetap mengawasi.

Dalam pada itu, di bagian lain dari arena pertempuran yang menebar semakin luas itu. Lembu Ampal bertempur dengan serunya melawan beberapa orang lawan. Tetapi ia adalah Senapati pilihan, sehingga ia sama sekali tidak menjadi gugup meskipun lawannya berada di segala tempat.

Beberapa langkah dari padanya, ternyata Witantra berusaha menghalau lawan-lawannya seperti menghalau ayam yang mengerumuni butiran-butiran nasi.

Sekali-sekali mereka berloncatan menjauh jika senjata Witantra berputar. Namun kemudian mereka dengan hati-hati bergeser mendekat. Bahkan satu dua orang mencoba untuk menyerang. Namun merekapun terhalau lagi beberapa langkah surut jika Witantra bergerak.

Pertempuran itu memang agak menjemukan bagi Witantra. Tetapi ia bukan pembunuh yang buas meski di medan perang sekalipun.

Meskipun sekali-sekali senjatanya menitikkan darah, dan bahkan memungut nyawa lawannya, namun bukan maksudnya untuk menebas lawannya di medan perang meskipun ia dapat melakukannya. Ia lebih banyak berusaha melindungi kawan-kawannya dan hanya jika terpaksa dan bahkan kadang-kadang di luar kehendaknya sendiri, senjatanya mematuk jantung.

Namun demikian, kehadiran Witantra dan Lembu Ampal benar-benar merupakan hantu yang menakutkan, sehingga lawan merekapun bergeser menjauhinya. Hanya jika mereka bersama-sama beberapa orang sajalah mereka berani mendekati dan menyerang keduanya.

Di induk pasukan, pertempuran berlangsung dengan dahsyatnya. Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Empu Baladatu seakan-akan mendapat kesempatan untuk benar mengadu tenaga dan ilmu. Tidak seorangpun yang. berusaha untuk mencampurinya, karena mereka tidak ingin hangus tersentuh api pertempuran yang sangat dahsyal itu.

Empu Baladatu yang melandasi kemampuan dan tenaganya pada ilmu hitam, bertempur semakin lama menjadi semakin buas. Wajahnya yang tegang dan berkerut merut itu seolah-olah telah berubah menjadi wajah iblis yang mengerikan.

Sikapnya telah berubah semakin liar dan buas, sementara dari mulutnya sekali-sekali meloncat umpatan yang kasar.

Namun Mahisa Bungalan sama sekali tidak terpengaruh. Ketahanan jiwanya cukup kuat untuk menangkis serangan-serangan yangg tidak bersifat wadag. Bahkan kadang-kadang hentakan ilmu yang tiba-tiba saja bagaikan menyusup ke pusat jantung.

Tetapi jantung Mahisa Bungalan tidak berhenti berdenyut. Bahkan ia masih tetap segar dan tangkas. Ketahanan jiwanya mampu mengatasi segala pengaruh yang tidak bersifat wadag, yang dilontarkan oleh Empu Baladatu.

Sekali-sekali terdengar Empu Baladatu menggeram. Ia tidak mengira bahwa di pertempuran itu ia akan bertemu dengan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan, yang pernah mendapat gelar pembunuh orang berilmu hitam bersama Linggadadi. Tetapi ternyata bahwa pada suatu saat. Linggadadi itu telah dibunuhnya pula.

Kini ia harus berhadapan dengan pembunuh orang berilmu hitam dengan landasan ilmu hitam pula. Namun Empu Baladatu yakin, bahwa ilmunya cukup masak untuk melawan ilmu pembunuh saudara-saudara seperguruan yang menyadap ilmu dari sumber yang sama itu.

Namun semakin lama semakin ternyata bahwa Mahisa Bungalan benar-benar seorang yang mumpuni. Ia tidak hanya sekedar membunuh orang-orang yang baru mulai menyadap ilmu hitam, tetapi kini, Empu Baladatu, pimpinan tertinggi dari orang-orang berilmu hitam itu, dapat menjajagi, bahwa anak muda yang bernama Mahisa Bungalan dan bergelar Pemhunuh orang berilmu Hitam itu benar-benar orang yang pilih tanding.

Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing telah sampai pada puncak ilmu pamungkasnya, sehingga saat yang menentukan agaknya telah hampir tiba.

Agaknya kedua orang yang sedang bertempur itupun menyadari pula, apa yang mereka hadapi.

Dengan demikian, maka baik Mahisa Bungalan maupun Empu Baladatu tidak lagi sempat memperhatikan seluruh arena pertempuran. Mereka berdua telah tenggelam dalam pemusatan ilmu untuk saling menghancurkan.

Pertempuran antara keduanya, benar-benar merupakan perang tanding yang tidak ada taranya. Tidak ada seorangpun yang berani mendekat, apalagi mengganggunya. Seolah-olah para prajurit dan para pengawal Empu Baladatu sedang menyaksikan dua orang raksasa yang sedang bersabung dengan mempertaruhkan nyawanya.

Dalam pada itu, Ranggawuni, Mahisa Cempaka dan Mahisa Agni pun telah berada di sekitar arena pertempuran yang dahsyat itu. Dengan berdebar-debar mereka melihat, betapa Mahisa Bungalan sedang dalam puncak kemampuannya untuk mempertahankan dirinya dari serangan Empu Baladatu yang membadai.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menarik nafas dalam-dalam. Mereka melihat, betapa kasarnya Empu Baladatu. Untuk mengalahkan lawannya, Baladatu telah berbuat apa saja yang dapat dilakukan. Kasar bahkan liar sekalipun.

Tetapi Mahisa Bungalan telah cukup berpengalaman menghadapi orang-orang berilmu hitam. Mahisa Bungalan telah mengenal betapa buas dan liarnya mereka. Sejak ia melihat orang-orang yang berada di rumah seorang bekas prajurit yang menguasai sebuah padukuhan terpencil. Mahisa Bungalan telah melihat, betapa buasnya mereka.

Sekilas Mahisa Bungalan sempat membayangkan, orang-orang yang dikorbankan di saat purnama naik untuk memperdalam ilmu yang sedang mereka sadap.

“Gila.” geram Mahisa Bungalan tiba-tiba. Wajah Empu Baladatu benar-benar merupakan wajah hantu yang mengerikan. Bukan karena Mahisa Bungalan menjadi ketakutan melihat wajah itu, namun kebencian yang belum pernah dirasakannya telah melonjak di dadanya, sehingga denyut jantungnya bagaikan semakin keras berdetak.

Dalam arena pertempuran yang semakin dahsyat itu, maka Mahisa Bungalan dan Empu Baladatupun bertempur semakin dahsyat pula. Empu Baladatu telah mencoba untuk membuat lawannya bingung dengan gerakan-gerakan melingkar. Tetapi Mahisa Bungalan yang sudah mengenalnya, tidak membiarkannya dirinya terperosok ke dalam angin pusaran, sehingga setiap kali ia pun harus cepat meloncat memotong usaha Empu Baladatu untuk berputar mengitari Mahisa Bungalan itu.

Setiap kali Empu Baladatu mengalami kegagalan, ia selalu mengumpat dengan kasarnya. Namun ia tidak dapat terbuat apa-apa untuk memaksa Mahisa Bungalan memberikan kesempatan kepadanya. Bahkan Mahisa Bungalanpim berjuang semakin keras untuk mempercepat penyelesaian yang nampaknya masih kabur itu.

Sekali-sekali Empu Baladatu masih saja berusaha untuk membuat Mahisa Bungalan bingung. Kadang-kadang ia menyerang dengan garang dalam kejutan-kejutan ilmu. Sementara Mahisa Bungalan berusaha menghindarinya, maka Empu Baladatu telah meloncat, di sampingnya dan berlari mengitarinya sambil menyerang dengan senjatanya.

Namun Mahisa Bungalan tidak membiarkannya. Ia tidak terputar dengan bingung dan bahkan kehilangan pengamatan diri. Namun setiap kali ia berhasil meloncat di hadapan lawannya sambil menyerang dengan dahsyatnya, sehingga putaran Empu Baladatupun telah terputus.

Dalam keadaan yang demikian Mahisa Bungalan tidak memberikan kesempatan lagi. Iapun segera menyerang dengan garangnya pula. Senjatanya berputar seperti baling-baling. Namun kemudian mematuk ke arah jantung.

Empu Baladatu masih selalu sempat menghindari. Ia mampu bergerak dengan cepat dan tangkas. Namun Mahisa Bungalan tidak membiarkannya. Ketika senjatanya tidak mengenai sasarannya, maka senjatanya segera menebas mendatar.

Empu Baladatu adalah seorang yang buas, liar dan kasar. Sekali-sekali terdengar ia berteriak nyaring. Sambil menghindar ia masih sempat mengumpat, kemudian berteriak keras-keras sambil membalas serangan lawannya.

Sikap Empu Baladatu memang kadang-kadang menggelisahkan Mahisa Bungalan. Bukan karena kemampuan ilmunya, tetapi justru karena kekasaran dan keliarannya.

Sementara itu Mahisa Agni memperhatikan Mahisa Bungalan dengan saksama. Ia telah dapat menghindarkan diri dan lawannya, karena prajurit-prajurit Singasari telah melindunginya. Para pengawal pilihan telah berada di seputarnya, sehingga Mahisa Agni sendiri dapat meluangkan waktu untuk memperhatikan pertempuran itu.

Sepercik kecemasan telah membayang di wajahnya. Mahisa Bungalan yang muda itu, kadang-kadang masih saja diburu oleh perasaannya yang kurang terkendali. Jika kemarahannya memuncak karena sikap kasar dan liar Empu Baladatu, maka ia akan menemui kesulitan. Dalam keadaan marah yang tidak terkendali, maka sikap dan perhitunganpun tidak terkendali pula.

Mahisa Agni sadar, bahwa Empu Baladatu tidak memperhitungkan sampai sekian jauh. Tetapi tanpa sengaja Empu Baladatu telah memancing kemarahan Mahisa Bungalan, sehingga anak muda itu akan dapat terjerumus kedalam keadaan yang gawat dan tidak berperhitungkan.

Akan tetapi Mahisa Agni tidak ingin mengganggunya dalam pemusatan ilmunya melawan pimpinan Ilmu Hitam itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar