Pelangi Di Langit Singasari Jilid 32

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengangguk sambil menjawab, “Ya guru.”

Sementara itu matahari di langit merambat semakin tinggi. Awan yang putih selembar- selembar mengalir ke Utara didorong oleh angin padang yang kering.

Ketika Ken Arok menengadahkan wajahnya, maka segera keningnya berkerut. Dilihatnya di sudut langit segumpal awan yang kehitaman-hitaman. Jauh dan semakin menjauh. Tapi ia bergumam di dalam hatinya. “Langit telah memberi peringatan. Kita harus semakin cepat bekerja sebelum musim basah tiba. Yang penting adalah, bendungan ini harus siap lebih dahulu. Yang lain-lain dapat dilakukan meskipun dimusim basah.”

Anak muda itu berpaling ketika ia mendengar Panji Bojong Santi berkata, “Nah, akan kau bawa kemana lagi kami ngger?”

“Kita akan berjalan menyusur susukan ini Bapa. Setiap kali kita akan menjumpai orang-orang yang sedang bekerja menurut tugas masing-masing. Aku ingin menunjukkan kepada Adi Kebo Ijo, keseluruhan dari tugas kita di Padang Karautan ini.”

“Marilah, aku juga ingin melihatnya. Aku pasti akan menjadi semakin kagum karenanya.” sahut Panji Bojong Santi.

Ketiganya pun kemudian meninggalkan bendungan. Mereka berjalan menyusur susukan induk. Ternyata susukan itu pun masih juga dikerjakan. Dibeberapa bagian masih perlu diperdalam, dan di tempat-tempat tertentu telah dibangunkan bendungan-bendungan kecil untuk mengangkat air dari susukan induk itu ke parit-parit.

“Bukan main.” desis Panji Bojong Santi.

“Bagaimana bapa?” bertanya Ken Arok.

“Pekerjaan ini hampir tidak ada celanya. Semua bagian yang paling kecil pun tidak terlepas dari perhitungan.”

“Ya.” sahut Ken Arok, “agaknya Mahisa Agni benar-benar menguasai persoalan yang sedang direncanakan.”

“Ah.” Kebo Ijo tiba-tiba berdesah, sehingga gurunya dan Ken Arok bersama-sama berpaling kepadanya. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Wajahnya menjadi semakin suram ketika ia mendengar Ken Arok meneruskan kata-katanya. “Mahisa Agni telah membuat patok-patok di Padang ini, dan kita sekarang tinggal meneruskannya.”

Panji Bojong Santi mengangguk-angguk, sementara kaki-kaki mereka melangkah terus di atas tanah berdebu. Sedang mata hari melambung semakin tinggi di langit, dan sinarnya pun kini telah mulai menggatalkan kulit.

Sekali-sekali Kebo Ijo mengusap peluh yang telah membasahi keningnya. Dengan malas ditariknya kakinya di atas Padang yang kering itu. Tidak habis-habisnya ia mengumpat di dalam hati, “Bodoh benar Ken Arok ini. Apakah bedanya apabila kita berkuda sekarang ini?”

Tetapi ia masih harus melangkahkan kakinya terus. Tersuruk-suruk ke dalam debu yang sudah mulai hangat.

Apalagi ketika diangkatnya kepalanya, memandangi Padang yang kering itu. Matanya seakan-akan menjadi silau.

Di kejauhan, dilihatnya segerumbul warna hijau. Itu adalah pepohonan yang dipelihara di taman dan di sekeliling sendang buatan, yang setiap hari masih harus disiram dengan air yang diambil dari sungai. Berpuluh-puluh lodong bambu yang diisi air diangkut dengan pedati-pedati setiap sore, sampai pada saatnya susukan induk itu kelak mengalirkan air yang naik dari bendungan dan mengalir ke sendang buatan, setelah di sepanjang jalannya, beberapa kali harus melampaui bendungan-bendungan kecil untuk menaikkan air ke parit-parit.

Setiap kali ketiga orang yang melihat-lihat kerja raksasa itu berhenti, setiap kali Ken Arok memberi beberapa penjelasan kepada Kebo Ijo tentang pekerjaan itu. Meskipun semula Kebo Ijo itu acuh tak acuh saja mendengar keterangan Ken Arok, tetapi lama kelamaan, keterangan-keterangan itu menarik perhatiannya juga. Kekagumannya menjadi semakin besar atas kerja raksasa itu meskipun ada sesuatu yang seolah-olah menahannya untuk mengakui betapa cakapnya Mahisa Agni menyusun perencanaan itu, meskipun di sana-sini telah banyak mendapat penyempurnaan dari Ken Arok dan nasehat-nasehat dari pamannya Empu Gandring dan Ki Buyut Panawijen.

Demikianlah, maka sehari itu Ken Arok memperkenalkan kerja raksasa yang harus dihadapnya kepada Kebo Ijo. Bendungan yang akan mengaliri sawah dan memberi lapangan hidup yang baru bagi orang-orang Panawijen, dan sebuah taman dan sendang buatan yang indah, yang akan dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada permaisurinya, seorang gadis dari Panawijen. Sehingga dengan demikian Kebo Ijo segera mendapat gambaran, betapa besarnya kerja di Padang Karautan. Kerja yang tidak dibayangkannya semula.

Dalam pada itu, dua orang sedang berkuda perlahan-lahan menyusur sebuah hutan yang tidak terlampau lebat, masuk ke daerah yang berawa-rawa. Mereka adalah Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Dalam perjalanan kembali ke persembunyian mereka, mereka tidak terlampau banyak berbicara.

Ketika mereka telah berada di bibir rawa-rawa itu, maka mereka pun berhenti. Dengan ketajaman matanya Kebo Sindet memandang berkeliling. Tetapi tak ada yang mencurigakan baginya.

“Kuda Sempana,” desis Kebo Sindet itu kemudian, “lama-kelamaan kau pasti akan juga dapat mengenali jalan keluar dan masuk daerah ini. Tetapi sementara itu aku telah yakin, bahwa kau tidak akan dapat meninggalkan aku lagi. Dunia di luar dunia kita, tidak akan dapat lagi menerimamu. Karena itu, jangan mencoba mempertimbangkan untuk lari dari padaku.”

Kuda Sempana tidak menjawab. Bahkan wajahnya pun sama sekali tidak bergerak. Ia duduk saja berdiam diri sambil memandangi batang-batang pohon air yang berdiri tegak di tengah-tengah rawa-rawa itu. Pohon-pohonan dengan akar-akarnya yang berjuntai dan bahkan seolah-olah tumbuh dari dalam air.

Beberapa cercah sinar matahari yang menyusup lewat sela-sela dedaunan memercikkan kilatan yang putih dari dalam air yang berlumpur itu. Meskipun matahari telah naik semakin tinggi, tetapi rawa-rawa itu seolah-olah masih diliputi oleh selembar kabut yang tipis.

“Marilah,” berkata Kebo Sindet kemudian, “kali ini kita telah gagal lagi. Perkawinan itu telah berlangsung. Tetapi kita masih belum menemukan seseorang yang dapat dibawa untuk bekerja bersama menyampaikan tawaran kepada Ken Dedes tentang kakaknya laki-laki itu.”

Kuda Sempana menganggukkan kepalanya, tetapi, ia tidak menjawab.

Kebo Sindet pun tidak berbicara lagi. Segera kudanya disentuhnya. Perlahan-lahan kuda itu turun ke dalam air dan perlahan-lahan pula berjalan menyeberang diikuti oleh Kuda Sempana. Sesaat kemudian maka bayangan mereka pun telah hilang, tenggelam ke dalam kabut.

Begitu bayangan itu telah menghilang, maka sekali lagi perdu di tepi rawa-rawa itu bergerak. Sejenak kemudian muncul pulalah sebuah bayangan. Dengan hati-hati sekali sesosok tubuh bergerak mendekati tempat Kebo Sindet turun ke dalam air.

“Di sini mereka menyeberang.” desisnya.

Dan sesosok tubuh itu pun berdiri tegak dengan tegangnya di tepi rawa itu. Sekali-sekali dipandanginya air yang berwarna lumpur, kemudian dicobanya untuk menembus kabut yang tipis di atas rawa-rawa itu dengan sorot matanya yang tajam. Tetapi sesosok tubuh itu, seorang laki-laki tua, tidak berhasil melihat sesuatu selain pohon-pohon air yang berdiri liar berserakan dirawa-rawa itu.

“Tetapi aku harus menyeberang.” terdengar ia berdesis perlahan-lahan. “Kukorbankan nyawaku yang seolah olah tinggal merupakan kelebihan saja dari keharusan hidupku. Dan dengan sisa inilah aku akan mencobanya.”

Selangkah orang itu maju, tetapi kemudian sekali lagi ia berdiri tegak seperti pepohonan di sekitarnya.

“Aku harus menunggu dan yakin bahwa Kebo Sindet telah jauh masuk ke dalam sarangnya.”

Laki-laki itu pun kemudian melangkah surut. Perlahan-lahan ia duduk di balik sebatang pohon. Tanpa sesadarnya dirabanya hulu pedang yang tersangkut di lambungnya.

“Mudah-mudahan kau pun dapat membantuku.” desisnya.

Ketika hulu pedangnya itu dilepaskannya, maka tangannya pun kemudian menarik sebuah belati panjang dari lambungnya di sisi yang lain, dan ditimang-timangnya.

“Sepasang senjata yang akan dapat memberi keteguhan hati.” laki-laki itu berdesis pula. “Mudah-mudahan Kebo Sindet tidak menjadi semakin garang.”

Sejenak kemudian, maka laki-laki itu pun berdiri. Ia merasa bahwa waktunya telah cukup lama. Kebo Sindet pasti sudah jauh menyeberangi rawa-rawa itu.

Maka sekali lagi ia melangkah ke tepi air, ke tempat Kebo Sindet menyeberang. Sejenak laki-laki tua itu tampak ragu ragu, tetapi kemudian ia bergumam. “Tidak ada jalan lain. Umur yang ada ini sudah terlampau banyak. Biarlah aku mencoba berbuat sesuatu sebelum aku kehilangan kesempatan.”

Perlahan-lahan laki-laki tua itu mencelupkan kakinya ke dalam air. Dengan sangat hati-hati kaki itu meraba-raba jalan yang akan dapat dilaluinya menyeberangi rawa-rawa itu.

“Di sini Kebo Sindet tadi membelok sedikit kekiri,” katanya di dalam hatinya, sedang kakinya pun masih juga terus meraba-raba mencari tumpuan yang cukup keras.

Tetapi laki-laki tua itu tidak dapat melihat Kebo Sindet dalam jarak yang agak jauh, karena kabut yang seolah-olah masih saja bergulung-gulung di atas rawa-rawa itu. Meskipun semakin tinggi matahari kabut itu menjadi semakin tipis, tetapi masih juga seolah-olah sebuah tirai putih yang membatasi pandangan matanya.

Kini orang tua itu harus menjadi semakin hati-hati. Setapak demi setapak ia maju. Sekali-sekali terasa kakinya terperosok ke dalam lumpur, sehingga ia harus melangkah surut.

“Hem.” desahnya “berapa hari aku akan sampai ke seberang rawa-rawa ini. Kalau aku bertemu dengan Kebo Sindet sebelum aku menginjakkan kakiku di atas tanah, maka aku pasti akan dijadikan permainannya. Ia pasti lebih mengenal rawa-rawa ini dari padaku. Tetapi untuk sampai ke tanah itu pun aku memerlukan waktu yang pasti cukup lama.”

Lambat sekali laki-laki tua itu meraba-raba dengan kakinya. Setapak ia maju, tetapi kadang-kadang ia harus surut beberapa langkah ketika kakinya tidak lagi menemukan tanah yang cukup keras di hadapannya. Bahkan kadang-kadang ia kehilangan jalan dan ia harus berdiri saja beberapa lama di tempatnya. Menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Kemudian kembali kakinya berusaha untuk menemukan tempat berpijak.

“Tetapi aku tidak boleh berputus-asa. Kalau hari ini aku belum berhasil, maka besok harus aku teruskan. Di tengah-tengah rawa ini banyak pepohonan yang dapat aku pakai untuk bersembunyi sebelum aku menemukan jalan.” berkata orang tua itu di dalam hatinya. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. “Apakah ada jalan yang dapat sampai kepada setiap pohon-pohonan itu?”

Laki-laki tua itu menggelengkan kepalanya. Desisnya, “Gila benar Kebo Sindet. Ia menemukan tempat persembunyian yang sebaik-baiknya.”

Sementara itu kabut yang tipis menjadi semakin tipis sedang matabari telah terlampau tinggi menggantung di langit. Hampir sampai ke puncaknya. Tetapi pandangan mata laki-laki tua itu masih juga dikaburkan oleh selembar-selembar kabut yang seakan-akan sedang bergeser naik.

Tetapi tiba-tiba saja dada laki-laki tua itu menjadi ber¬debar-debar. Beberapa puluh langkah daripadanya, ia melihat permukaan air bergetar. Semakin lama semakin dekat. Dilihatnya sebuah benda yang bergerak-gerak di atas permukaan air, kemudian seleret tubuh yang berenang membuat gelombang-gelombang kecil.

“Hem ular air hitam.” desis laki-laki tua itu.

Semakin dekat laki-laki tua itu melihat bahwa ular itu ternyata cukup besar. Hampir sebesar lengan tangannya. Tetapi laki-laki tua itu tidak mengganggunya. Bahkan ia berdiri saja tegak seperti patung, sehingga ular itu meluncur beberapa langkah daripadanya. Dan ular itu berpaling pun sama sekali tidak.

“Terlampau banyak bahaya dirawa-rawa ini.” desisnya.

Ketika ular itu sudah semakin jauh, maka kakinya pun digerakkannya lagi. Setapak demi setapak. Namun sekali lagi ia terkejut. Kali ini ia tidak diganggu oleh ular air, seperti yang baru saja dilihatnya. Untung bahwa ia mampu bergerak cukup cepat tanpa meninggalkan sikap hati-hati. Ketika seekor ular hijau menyambarnya dari sebatang pohon, maka ia tidak sempat menghindarinya. Tetapi agaknya ular itu tidak melepaskannya. Demikian ular itu tejun ke dalam rawa-rawa, maka segera binatang itu berenang dan menyerang laki-laki tua itu lagi. Kali ini tidak ada pilihan lain daripadanya kecuali melawan tanpa terperosok ke dalam lumpur. Dengan sebuah ayunan belati panjangnya, ia segera dapat memotong leher ular. Tetapi dengan demikian darah ular itu menyembur dari tubuhnya dan mewarnai air rawa itu serta menyebarkan baunya yang khusus.

Laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin yakin bahwa bahaya yang dihadapinya memang terlampau besar. Tetapi ia sudah bertekad untuk melakukannya.

Ketika laki-laki tua itu mengangkat wajahnya, maka dilihatnya kabut sudah menjadi tipis, bahkan sudah hampir lenyap sama sekali. Tetapi sejalan dengan itu, merayap pulalah kekecewaan di dalam hatinya.

“Oh.” ia mengeluh, “sudah hampir sampai tengah hari aku berdiam diri. Maju mundur, maju mundur. Ternyata aku baru mencapai jarak beberapa langkah saja dari tepi.”

Dengan sorot mata yang suram dipandanginya tepi rawa-rawa itu. Masih dilihatnya perdu tempat ia bersembunyi ketika Kebo Sindet lewat, kemudian terjun ke dalam rawa-rawa ini.

Ia menundukkan kepalanya ketika dilihatnya warna-warna merah yang seolah-olah menjalar diwajah air berlumpur itu. Ternyata darah ular hijau yang telah dibunuhnya telah terperas dari dalam tubuhnya.

Tetapi tiba-tiba laki-laki tua itu terkejut. Ia mendengar suara orang terbatuk-batuk. Tidak seperti lajimnya, tetapi menurut pendengarannya agak terlampau keras. Karena itu maka segera ia menegakkan kepalanya. Dicobanya untuk mengetahui arah suara itu. Akhirnya ia memutar dirinya, menghadap ke arah sebuah perdu di pinggir rawa-rawa itu. Dari sana ia menduga, seseorang telah dirinya memberitahukan kehadirannya.

“Siapa kau?” desis laki-laki tua itu.

Tetapi ia tidak segera mendengar jawabannya. Namun tiba-tiba ia melihat gerumbul itu menguak, dan dilihatnya sesosok tubuh keluar dari rimbun perdu itu. Meskipun jarak mereka agak jauh, tetapi segera mereka dapat mengenal yang satu dengan yang lain.

Wajah laki-laki tua itu menjadi tegang. Terdengar suaranya bergetar, “Kau?”

“Ya Empu.” jawab orang yang baru datang itu.

“Kau juga berada di sini?”

“Ya Empu.”

“Dan kau tidak berbuat apa-apa?”

“Kemarilah. Agak cepat sedikit.”

“Kenapa?”

“Tinggalkan tempat itu.”

“Apakah Kebo Sindet akan datang?”

“Tidak. Aku yakin bahwa kau sedang mencarinya, karena itu kau tidak perlu menghindar seandainya ia yang datang.”

“ Lalu apa yang harus aku hindari di sini?”

“Darah ular itu berbahaya bagimu Empu.”

“Apakah darah itu mengandung bisa?”

“Tidak. Tetapi bau darah itu telah memanggil berbagai binatang air yang lain. Binatang-binatang air yang buas. Buaya-buaya kerdil, atau sejenis kadal-kadal air yang berbisa.”

“Ah,” laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Peringatan itu dapat dimengertinya. Darah memang dapat memanggil binatang-binatang buas dari segala jenis. Di darat, di udara mau pun di dalam air.

Meskipun demikian ia berkata, “Hem, apakah kau akan membuat perhitungan dengan aku sebelum aku bertemu dengan Kebo Sindet.”

“Ah,” sahut orang di pinggir rawa, “jangan terlampu berprasangka.Kalau demikian maka aku tidak akan memanggilmu menepi, sebab kalau kau tidak pergi juga, maka kau akan diseret kedalam lumpur.”

“Kau menakut-nakuti aku untuk memancingku datang kepadamu.”

“Sekali lagi jangan berprasangka. Aku tahu bahwa kau seharusnya tidak ikut bertanggung jawab atas hilangnya Mahisa Agni. Aku tahu bahwa kau akan berusaha membebaskan dia. Aku tahu bahwa kau akan menemui Kebo Sindet dan menantangnya bertempur sampai salah seorang dari kalian mati. Tetapi sebelum itu kau harus banyak menghemat tenaga. Jangan kau biarkan dirimu dicincang oleh buaya-buaya kerdil, kadal-kadal air dan ular-ular hitam. Kemarilah cepat sebelum kau terlambat, Darah itu telah menyebarkan bau yang segera dapat dikenal oleh binatang-binatang air.”

Laki-laki tua itu ragu-ragu sejenak. Tetapi tanpa sesadarnya ia maju mendekati orang yang berdiri di pinggir rawa, se¬langkah-selangkah dan dengan sangat hati-hati.

“Cepat sedikit.”

“Supaya aku terperosok dan terbenam ke dalam lumpur.”

Ternyata laki-laki tua itu sama sekali tidak kehilangan ketenangannya. Namun dadanya pun berdesir ketika ia melihat wajah air yang buram itu seolah-olah menjadi berkerut merut.

Terpaksa laki-laki tua itu mempercepat langkahnya. Tetapi ia tidak berani tergesa-gesa sekali supaya kakinya tidak terperosok.

“Ah,” orang yang berdiri di tepi rawa itu berdesah, “kau terlampau lamban.”

Dan tiba-tiba saja orang itu pun segera meloncat ke dalam air, berjalan cepat-cepat menyongsong laki-laki tua yang berjalan sambil meraba-raba dengan kakinya.

“Marilah,” berkata orang yang baru datang, “ikutlah di belakangku. Kau pasti tidak akan terperosok ke dalam lumpur.”

Melihat sikap orang itu, maka dada laki-laki tua itu berdesir. Dengan demikian ia menyadari bahwa bahaya benar-benar sedang mengancamnya, sehingga ia pun kemudian dengan tanpa ragu-ragu lagi berjalan pula cepat-cepat meninggalkah tempat itu.

Ternyata waktu hanya terpaut sekejab. Belum lagi mereka cukup melangkah sepuluh kali, maka mereka telah melihat sesuatu tersembul kepermukaan air noda darah di air yang keruh itu.

“Lihat,” desis orang yang membawa laki-laki tua itu menepi, “sebentar lagi akan terjadi permainan yang mengasyikkan.”

Ketika mereka menjadi semakin jauh, maka mereka pun memperlambat langkah mereka. Ketika mereka berpaling, maka dada mereka pun menjadi berdebar-debar.

Dari beberapa penjuru kedua orang itu melihat benda-benda yang tersembul di atas permukaan air seolah-olah meluncur dengan lajunya mendekati warna merah yang semakin banyak menodai wajah rawa-rawa yang buram itu. Sejenak kemudian air rawa itu pun memercik dan tubuh ular yang mati itu seolah-olah terlempar ke permukaan air. Namun sejenak kemudian terjadilah suatu peristiwa yang menegangkan wajah kedua orang itu.

Mereka melihat beberapa ekor binatang air desak mendesak berebut bangkai ular yang terlampau kecil bagi mereka. Tetapi agaknya bau darah telah membuat binatang-binatang air itu menjadi buas, sehingga mereka pun kemudian berkelahi satu dengan yang lain.

Beberapa jenis buaya-buaya kerdil, sejenis biawak berleher dan bahkan ular hitam yang berkulit mengkilat tampak juga bergumul di antara mereka. Terdengar suara binatang-binatang itu seperti sedang memekik-mekik karena marah. Mereka semakin lama menjadi semakin liar dan saling menggigit.

Sejenak kemudian darah yang memerahi wajah air yang berwarna lumpur itu menjadi semakin banyak. Tidak saja dari tubuh ular yang mati dibunuh oleh laki-laki tua itu, tetapi darah yang mengalir dari tubuh-tubuh binatang yang sedang berkelahi.

Binatang-binatang yang tidak dapat mempertahankan dirinya segera mati terbunuh dan tubuhnya dikoyakkan oleh binatang binatang yang lain.

“Marilah kita ketepi,” ajak orang yang datang kemudian.

“Mengerikan.” desis laki-laki tua itu.

“Untunglah kau telah meninggalkan tempat itu Empu. Kalau tidak maka kau pun akan ikut serta bergumul bersama mereka.” sahut yang lain. “Seandaianya dasar sungai ini tidak berlumpur dan gembur, aku tidak akan mencemaskan nasibmu. Aku melihat kau membawa sehelai pedang dan sehelai pisau belati panjang. Binatang-binatang itu pasti tidak akan dapat mendekatimu. Tetapi dasar rawa-rawa ini adalah lawan yang hampir tak terkalahkan. Itulah sebabnya aku minta kau menghindar.”

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan menarik nafas dalam-dalam ia berjalan mengikuti orang yang memberi petunjuk kepadanya sambil bergumam. “Terima kasih. Aku kira bagiku lebih baik langsung berkelahi melawan Kebo Sindet dari pada melawan buaya-buaya kerdil itu.”

Orang yang berjalan dimukanya tersenyum. “Bagi kami, maksudku, aku dan Kebo Sindet, hal-hal yang serupa itu telah dapat kami kenali, sehingga kami akan dapat segera menghindarinya. Hal-hal semacam itu pulalah agaknya yang telah melindungi Kebo Sindet dari segala macam kemungkinan yang membahayakan. Hampir tidak ada orang lain yang dapat sampai ketempatnya dengan selamat.”

“Ya, aku sudah melihatnya sendiri.” sahut laki-laki tua itu. “Karena itu maka aku berterima kasih kepadamu. Aku akan menunggu saja Kebo Sindet keluar dari sarangnya. Aku akan menemuinya dan menantangnya untuk berkelahi. Tetapi tidak dengan Kuda Sempana. Aku ingin mencoba dan memperbandingkan, apakah aku masih juga mampu mengimbangi kekuatannya.”

“Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan itu.” jawab orang yang membawanya menepi, “Kuda Sempana selalu dibawanya kemana ia pergi.”

“Kenapa?”

“Kebo Sindet mencemaskan nasib Mahisa Agni. Kalau Kuda Sempana ditinggalkannya, maka ia akan melepaskan dendamnya kepada Mahisa Agni. Mungkin anak itu akan dibunuhnya atau disiksanya sampai mati.”

“Apakah Mahisa Agni tidak mendapat kesempatan untuk melawan.”

“Kesehatannya belum pulih kembali sejak ia datang dalam keadaan yang sangat parah.”

“Ah itu terjadi beberapa waktu yang lampau. Waktu yang panjang ini aku rasa telah cukup baginya untuk mendapatkan segala kekuatannya.”

“Mungkin apabila Mahisa Agni itu berada di Padang Karautan. Tetapi ia berada di sarang Kebo Sindet.”

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana dengan Empu Gandring? Apakah ia tidak berbuat sesuatu seperti kau tidak berbuat apa-apa selain menonton dan mengamati saja?”

“Empu Gandring telah pernah mencoba pula seperti apa yang kau lakukan. Tetapi ia pun tidak dapat segera menemukan jalan kesarang iblis itu.”

“Dan Empu tukang keris itu menjadi berputus asa dan mengurungkan niatnya untuk menolong kemanakannya?”

“Tidak. Aku telah menemuinya pula seperti aku menemui sekarang. Aku minta Empu Gandring meninggalkan saja tempat ini seperti aku ingin minta pula kepadamu. Serahkan Mahisa Agni kepadaku.”

“He.” laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Sementara itu mereka telah sampai di atas tanah yang lembab dan licin. Sejenak kemudian mereka telah berada di tepi rawa-rawa itu.

Ketika mereka telah menghibaskan kaki-kaki mereka, maka mereka pun kemudian berpaling. Lamat-lamat mereka masih melihat air yang bergolak.

“Binatang-binatang itu masih bergumul.” desis orang yang membawa laki-laki tua itu menepi.

“Ya” sahut laki-laki itu. “Ternyata darah ular itu telah memancing pergulatan yang tidak menentu di antara binatang-binatang air itu.”

“Pergumulan itu akan berlangsung lama. Semakin lama semakin banyak. Tetapi akhirnya mereka akan berhenti dengan sendirinya apabila sebagian terbesar dari mereka telah menjadi luka-luka dan lari meninggalkan pergumulan itu. Hanya ular-ular hitamlah yang biasanya paling betah berkelahi. Tidak untuk mangsa, tetapi hanya sekedar melepaskan nafsu menyerangnya saja.”

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan dada yang masih berdebar-debar dipandanginya air yang masih saja bergolak, meskipun tidak begitu jelas lagi.

Tetapi tiba-tiba ia berpaling memandangi orang yang telah membawanya menepi, katanya “Apakah yang kau katakan tadi? Kau minta Empu Gandring mengurungkan niatnya untuk menolong kemanakannya? Dan kau sekarang juga akan berbuat serupa kepadaku?”

“Ya Empu.” jawab orang itu.

Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Sekali-sekali ia masih juga memandang kearah buaya-buaya. kerdil yang saling berkelahi dengan binatang-binatang air yang liar lainnya.

“Kau aneh.” kemudian laki-laki tua itu berkata, “kalau demikian apakah kau ingin melihat Mahisa Agni itu mati perlahan-lahan, di sarang Kebo Sindet? Kau halangi orang yang akan menolongnya, tetapi kau sendiri tidak berbuat apa-apa. Padahal agaknya kau sudah mengenal jalan di dalam rawa-rawa ini seperti juga Kebo Sindet mengenalnya.”

“Ya, aku memang sudah mengenal jalan-jalan di dalam air itu. Di sini ada tiga jalan yang dapat ditempuh. Jarak dari ketiganya itu tidak terlampau jauh. Di sini, ditempat Kebo Sindet tadi masuk, kemudian kira-kira limapuluh langkah dari sini, dan yang lain kira-kira dalam jarak yang sama sebelah lain. Jalan ini adalah jalan yang tengah.”

“Ah, kau malah berceritera tentang jalan menuju kesarang itu.” sahut laki-laki tua, “kenapa kau tidak mengantarkan saja Empu Gandring kesana?”

Orang itu menggeleng. “Aku tidak dapat melakukannya, supaya Mahisa Agni tidak dibunuhnya. Kalau Kebo Sindet melihat seorang dari kita datang kepadanya, mungkin Empu Gandring, mungkin kau dan mungkin aku, maka yang pertama-tama dilakukan sebelum melawan salah seorang dari kita adalah membunuh Mahisa Agni, atau ia memerintahkan kepada Kuda Sempana untuk membunuhnya selama ia melayani salah seorang dari kita.”

Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kalau begitu kita pergi berdua. Seharusnya sudah kau lakukan bersama-sama dengan Empu Gandring. Salah seorang dari kita melawan Kebo Sindet, yang lain berusaha menolong Mahisa Agni. Kalau perlu membinasakan Kuda Sempana.”

“Itu pun berbahaya. Apalagi kalau Kebo Sindet melihat dua orang datang bersama-sama. Segera ia akan mencekik Mahisa Agni sampai mati, atau berbuat hal-hal diluar dugaan. Mungkin ia menyeret Mahisa Agni ke hadapan kita dan mengancam akan membunuhnya. Sementara itu ia minta kita untuk menyelam ke dalam lumpur.”

“Apakah kita akan bersedia untuk melakukan?”

“Ah, sudah tentu kita akan dapat meloncat menepi dan membunuh Kebo Sindet itu. Kita berdua pasti mampu melakukan. Tetapi Mahisa Agni pun pasti sudah menjadi bangkai.”

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Sambil memutar tubuhnya ia berkata, “Aku menganggap kau orang aneh. Kau mengenal jalan-jalan di dalam rawa-rawa ini. Kau pasti pernah melihat Kebo Sindet pergi meninggalkan sarangnya. Nah, kenapa kau tidak masuk ke dalamnya pada saat-saat Kebo Sindet itu pergi, dan menyelamatkan Mahisa Agni? Kalau Mahisa Agni itu sudah lepas dari tangan Kebo Sindet, maka kau pasti akan dapat berbuat sekehendakmu atasnya. Menantangnya berkelahi sampai salah seorang dari kalian mati. Kau atau Kebo Sindet.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya tidak menunjukkan kesan apa pun juga. Suaranya masih juga bernada datar. Tanpa ragu-ragu orang itu berkata, “Ya. Kalau aku mau aku akan dapat melakukannya.”

“Kenapa tidak kau lakukan hal itu?”

“Aku mempunyai pertimbangan lain.”

“Pertimbangan apa”?

Orang itu tidak segera menjawab. Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh ketengah-tengah rawa-rawa itu. Sekali-sekali dipandanginya sulur-sulur yang bergayutan pada cabang-cabang pepohonan berjuntai dan menyentuh wajah air yang keruh, dan sekali sekali dipandanginya binatang-binatang air yang masih saja bergulat meskipun sudah agak berkurang.

“Bagaimanakah pertimbanganmu?” desak laki-laki tua itu.

Orang itu tidak segera menjawab. Matanya yang cekung masih juga menatap jauh ke tengah-tengah rawa-rawa itu.

Tiba-tiba ia berkata, “Jauh ke sanalah, sarang Kebo Sindet itu.”

“Kenapa kau tidak pergi kesana?”

Orang itu menggeleng. “Tidak. Aku sedang melakukan rencanaku sendiri.”

“Aneh,” laki-laki tua itu berdesis, “kau memang orang aneh bagiku. Aku belum mengenal tabiatmu sebaik-baiknya, seperti kau belum mengenal aku pula. Mungkin kau masih juga menaruh curiga. Atau malahan kau ingin berbuat atasku, tetapi kau mencari jalan yang berputar-putar.”

“Tidak.” sahut orang tua itu, “aku sudah yakin bahwa kau akan pergi menolong Mahisa Agni.”

“Kalau yang berbicara dengan aku sekarang ini bukan kau, maka aku pasti tidak akan percaya bahwa kau benar-benar bermaksud baik terhadap Mahisa Agni,” jawab laki-laki tua itu. “Aku tidak melihat tanda-tanda, bahwa kau bersungguh sungguh ingin melepaskannya dari tangan Kebo Sindet. Seandainya Empu Gandring pada saat ini ada juga di sini, maka ia pasti akan berpendirian sama seperti aku.”

“Kau salah mengerti.”

“Tidak. Aku tidak salah mengerti. Aku memang sama sekali tidak mengerti maksudmu dan caramu.”

“Serahkan kepadaku. Tinggalkanlah tempat ini. Aku akan menyelesaikan sesuai dengan rencanaku.”

Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kau benar-benar membuat aku heran. Barangkali akan lebih baik apabila aku menunggu di sini. Kalau Kebo Sindet itu keluar, kita bunuh bersama-sama. Kita akan dapat melepaskan Mahisa Agni tanpa membahayakan jiwanya.”

Orang itu tidak segera menjawab. Kerut-merut dahinya membayangkan suatu pergolakan di dalam dadanya. Sejenak kemudian, perlahan-lahan ia menjawab, “Hal itu memang mungkin kita lakukan Empu, tetapi aku tidak akan puas. Meskipun Kebo Sindet akan terbunuh, namun kematiannya tidak akan menumbuhkan persoalan di dalam dirinya. Disaat-saat ia menghadapi maut karena kita berdua bersama-sama melawannya, ia tidak akan heran, bahwa akhirnya ia harus mati. Tetapi aku tidak ingin berbuat demikian. Aku akan membuatnya menjadi bingung dan tidak dapat mengerti apa yang terjadi.”

Laki-laki tua itu masih menggelengkan kepalanya, “Aku pun tidak mengerti. Kalau kau ingin membuat Kebo Sindet bingung, maka yang pertama-tama menjadi bingung adalah aku.”

“Selain hal-hal yang membingungkan kau Empu,” orang itu telah menyambung, “aku pun sudah mematerikan suatu keinginan di dalam hatimu, bahwa tanganku sudah tidak pantas lagi untuk diwarnai dengan darah. Seumurku dan seumurmu Empu, sebaiknya sudah tidak menambah dosa lagi.”

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepala, kemudian perlahan-lahan ia menjawab, “Sebenarnya aku pun berkeinginan untuk berbuat demikian. Tetapi kali ini aku berada dalam keadaan yang khusus. Aku akan merasa berdosa dan menambah dosaku yang telah bertimbun-timbun itu apabila aku tidak berbuat sesuatu untuk melepaskan Mahisa Agni dari tangan iblis-iblis dari Kemundungan.”

“Kau telah melakukannya.” sahut orang itu, “kau sudah terlepas dari segala akibat yang timbul dari keadaan Mahisa Agni yang bagaimanapun juga. Aku sudah mengambil keputusan bahwa aku akan membebaskan dengan caraku.”

“Hem,” laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam, “aku benar-benar bingung dan tidak mengerti. Apakah kau sudah kerasukan roh jahat dari Wong Sarimpat.”

Orang itu mengerinyitkan alisnya. “Ah,” desahnya, “apakah kau tidak percaya kepadaku.”

“Seharusnya aku percaya. Terlampau percaya. Tetapi sikapmu meragukan aku. Atau, apakah kau sedang memperolok-olokkan aku?”

“Tidak, aku berkata sebenarnya.”

Laki-laki tua itu terdiam sejenak. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Tidak masuk di-akalku.”

“Jangan kau peningkan kepalamu karena persoalanku dengan anak itu, Empu. Sebaiknya kau kembali, beristirahat dan mensucikan diri.”

Laki-laki itu masih berdiam diri sejenak. Tetapi tiba-tiba ia menggeleng. “Tidak. Aku akan pergi ke sarang iblis itu untuk membebaskan Mahisa Agni. Kalau kau tidak mau mengotori tanganmu dengan darah, maka biarlah aku sendiri yang melakukan. Aku hanya minta kau menunjukkan jalan.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Jangan Empu. Tinggalkan saja tempat ini. Empu Gandring pun bersedia berbuat demikian. Kenapa kau tidak?”

“Empu Gandring pada saat itu tidak dapat meragukanmu. Pada saat itu semuanya baru saja terjadi. Tetapi kini beberapa waktu telah lampau, dan Mahisa Agni masih saja belum terbebaskan. Apakah aku masih dapat mempercayaimu? Setidak-tidaknya aku mencurigai kemampuanmu, seandainya kau benar-benar ingin melepaskannya dari tangan Kebo Sindet. Yang tidak masuk diakalku adalah, karena kau menolak bekerja bersama dengan aku untuk kepentingan Mahisa Agni itu.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kerut merut di wajahnya seakan-akan menjadi semakin dalam. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis. “Aku dapat mengerti seandainya kau menjadi ragu-ragu Empu. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain.”

“Kalau kau bersedia, aku ingin membantumu. Atau kau membantuku seandainya kau tidak mau lagi mengotori dirimu dengan dosa-dosa baru. Sebab bagiku, apa yang aku lakukan ini justru untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi dosa-dosa baru yang akan terpaksa terjadi karena dosa-dosaku yang telah bertumpuk itu.”

Orang itu tidak segera menjawab. Direnunginya rawa-rawa yang kini telah menjadi semakin jelas terhampar dimuka kaki mereka. Pedut semakin tipis-tipis kini telah lenyap disapu oleh angin yang semakin keras berhembus dari dalam hutan.

“Empu, apakah kau sudah tidak mempunyai tanggungan apa pun lagi?”

Laki-laki tua itu berpaling. Wajahnya yang keheran-heranan itu tampak berkerut-merut.

“Apakah maksudmu?” laki-laki tua itu bertanya.

“Apakah kau sudah tidak mempunyai kewajiban-wajiban lagi di padepokanmu, misalnya menyiapkan murid-muridmu atau kewajiban apa pun lagi?”

“Aku tidak tahu maksudmu. Tetapi aku kira aku sudah tidak mempunyai tanggungan dan kewajiban apa pun lagi selain melepaskan Mahisa Agni.”

“Tidak ada lagi muridmu yang memerlukan bimbinganmu.”

Laki-laki tua itu menggeleng. Tetapi ia bertanya, “Apakah maksudmu bahwa aku pasti akan mati di tengah rawa-rawa itu. Tidak. Kau selalu salah paham.”

“Lalu?”

“Aku tidak dapat menolak keinginan baikmu menolong aku melepaskan Mahisa Agni. Tetapi itu memerlukan waktu yang lama, Karena itu aku tidak dapat minta kepada Empu Gandring untuk melakukannya, sebab ia mempunyai anak isteri tanggungan dan kewajiban. Tetapi seandainya kau bersedia, maka aku akan berterima kasih sekali kepadamu.”

“Apa yang harus aku lakukan?”

“Tinggal di sini bersama aku. Tidak terbatas waktu, sampai. Mahisa Agni dapat terlepas dari tangan Kebo Sindet dengan caraku.”

Laki-laki tua itu terdiam sejenak. Kerut merut di keningnya menjadi semakin dalam. Berbagai pertimbangan berkecamuk di dalam dadanya.

Namun, kemudian laki-laki tua itu terlempar ke dalam suatu keinginan untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh orang itu. Cara yang akan dipakainya untuk melepaskan Mahisa Agni. Sekilas ia ingin bertanya, cara apa yang akan ditempuhnya, tetapi agaknya orang itu, merasa bahwa saatnya belum tiba untuk menyebutkannya.

“Bagaimana?” terdengar orang itu bertanya, “apakah kau dapat menyediakan waktu yang tidak terbatas itu.”

Laki-laki tua itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun keinginannya untuk mengetahui apa yang akan terjadi mendesaknya, sehingga ia berkata, “Sebenarnya aku tidak tahu apakah yang akan kau lakukan itu menguntungkan Mahisa Agni. Tetapi aku ingin tahu apa yang akan terjadi. Karena itu, maka biarlah aku tinggal di sini bersamamu. Aku tidak berkeberatan seandainya tiba-tiba saja kau membunuhku untuk melepaskan dendam hatimu.”

“Hem.” orang itu menarik nafas dalam, “kau masih juga prasangka. Kalau aku ingin membunuh dengan curang, maka yang pertama-pertama aku bunuh sambil bersembunyi adalah Kebo Sindet. Mungkin aku dapat mengintainya dan dengan diam-diam aku melontarnya dengan sebilah pisau. Dengan tangan kiri kepunggung Kuda Sempana, dan dengan tangan kanan kepunggung Kebo Sindet. Seandainya Kebo Sindet tidak mati seketika itu, tetapi tanaganya pasti sudah separo surut, sedang Kuda Sempana pasti tidak usah mengulangi untuk yang kedua kalinya.”

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak menyangkal bahwa hal yang demikian itu dapat terjadi. Ia yakin, seandainya orang itu ingin, maka pasti dapat dilakukannya.

Karena itu maka jawabnya, “Baiklah, aku tinggal di sini. Aku masih mempunyai sisa-sisa kepercayaan kepadamu.”

“Terserahlah, tetapi apabila kau bersedia tinggal di sini, aku akan sangat berterima kasih. Tetapi kau harus menahan nafsumu. Betapapun mengendap hati dan nalarmu, tetapi sifat-sifatmu masih saja tumbuh setiap saat. Karena itu, kau harus bersabar. Terlampau sabar untuk melakukan pekerjaan ini.”

Laki-laki tua itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku akan mencobanya.”

“Mudah-mudahan kau berhasil. Kalau kau dicengkam oleh nafsumu maka semuanya akan gagal.”

“Mudah-mudahan.” desis laki-laki tua itu.

“Kalau begitu, marilah kita menepi. Jalan ini adalah jalan yang sering dilalui oleh Kebo Sindet dan Kuda Sempana.”

“Baru saja ia masuk ke dalam sarangnya.”
“Tetapi mereka tidak kerasan berada di rumah mereka. Paling lama mereka berada di sana satu hari satu malam. Kemudian mereka pergi lagi untuk dua tiga hari.”

“Kemana saja mereka itu pergi?”

Orang itu menggeleng. “Aku tidak tahu. Tetapi adalah kebiasaan Kebo Sindet untuk berjalan dari lorong kelorong, dari padesan ke padesan. Dari rumah ke rumah. Ia adalah seorang raja yang tidak bermahkota. Tak seorang pun yang berani menentang kebendaknya.”

“Dan kau lebih baik tidur saja selama ini.”

“Sudah aku katakan. Ikutlah aku berbuat sesuatu.”

Laki-laki tua itu terdiam. Dan sejenak mereka saling berdiam diri, sehingga desir angin di dedaunan terdengar semakin nyata di antara gemersik sayap burung-burung liar yang berkeliaran di pepohonan.

“Mari kita menepi.”

“Dimana kau tinggal selama ini?”

“Dimana-mana. Diantara pepohonan dan gerumbu-gerumbu liar itu. Tetapi aku kadang-kadang berada di lereng-lereng bukit kecil itu.”

“Bagaimana kalau tanah itu longsor?”

“Akibatnya sudah pasti. Aku mati tertimbun di bawahnya.”

Laki-laki tua itu bertanya lagi. Keduanya berjalan dan menyelinap di belakang gerumbul-gerumbul liar. Mereka kemudian berhenti di sebuah ereng-ereng padas dari sebuah gumuk kecil.

“Di sini aku berteduh bila hujan turun.”

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keningnya kemudian tampak berkerut merut. Dilihatnya di dalam ereng-ereng itu berbagai macam benda yang semula tidak dikenalnya. Sulur-sulur kayu, kepingan batu-batu kecil dan gulung tali tersangkut di pinggiran ereng-ereng itu.

“Hem.” laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. “Ternyata kau masih juga tekun. Ilmu apa lagi yang akan kau lahirkan di sini?”

Orang itu menggeleng. “Aku hanya membiasakan diri mempergunakan alat-alat yang dapat aku temui di sini.”

“Apakah kau sedang menciptakan suatu tata gerak dari sebuah ilmu yang akan kau persiapkan untuk membunuh Kebo Sindet. Itu adalah lucu sekali. Sekarang juga kau tidak akan dapat dikalahkan, meskipun kau tidak juga yakin akan mengalahkannya. Kalau kau memerlukan waktu terlalu lama dengan sebuah ilmu baru, maka Mahisa Agni pasti sudah menjadi makanan buaya-buaya kerdil.”

Orang itu menggeleng. “Kau salah. Mahisa Agni tidak akan dibunuhnya. Anak itu akan dijual oleh Kebo Sindet kepada permaisuri Tunggul Ametung itu.”

Laki-laki itu sekali lagi terdiam. Namun pandangan Matanya beredar ke tempat-tempat di sekitarnya. Batu-batu yang pecah berhamburan. Batang-batang kayu yang patah. Dan yang paling menarik baginya adalah batu-batu kecil yang masuk membenam ke dalam batang-batang kayu. Sambil menarik nafas ia bergumam. “Kau telah menemukan ilmu lemparan yang tiada taranya. Kau dapat membenamkan batu-batu kecil itu ke dalam tubuh batang-batang kayu sedemikian dalamnya.”

Orang itu menggeleng. “Tidak terlampau aneh. Kita sudah mengenal bandil sejak bertahun-tahun sebelumnya.”

“Tetapi dengan bandil batu-batu itu tidak akan dapat membenam sekian dalam.”

Orang itu memandangi laki-laki tua itu dengan herannya. Sejenak ia tidak menyahut. Namun kemudian sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Kau memang orang aneh. Seolah-olah kau adalah anak kemarin sore yang kagum melihat tupai berloncat-loncatan di dahan-dahan.”

“Tidak, tetapi kau memang dahsyat.”

Laki-laki itu kemudian berdiri. Melangkah perlahan-lahan mengamat-amati beberapa lubang bekas lemparan. Bahkan kemudian ia mengangguk-angguk sambil bergumam, “Luar biasa. Dahan-dahan kecil ini tidak saja dibenami oleh kerikil-kerikil yang kau lemparkan, tetapi dahan-dahan kecil ini berlubang tembus karenanya.”

“Ah.” sahut orang itu, “jangan terlampau memuji. Aku kira bagimu hal itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Marilah, Empu duduklah di sini. Kita berbicara sebagai orang tua-tua yang tidak lagi terlampau banyak menghiraukan masalah-masalah lahiriah.”

“Aneh. Kau sendiri masih mesu diri, memperdalam ilmu-ilmu kanuragan. Tetapi kau berkata, bahwa kita tidak perlu lagi terlampau banyak menghiraukan masalah-masalah lahiriah.”

“Aku tidak menyadap ilmu itu untuk kepentingan sendiri.”

“Ya, untuk orang lain, untuk muridmu misalnya. Tetapi dengan demikian bukankah kau ingin mendapat kelangsungan dari masalah-masalah lahiriah yang kau tekuni ini.”

“Ya.” orang itu termenung sejenak. Perlahan-lahan ia menjawab, “Itulah keringkihan jiwa manusia. Manusia selalu dibayangi oleh nafsu-nafsu lahiriah, biarpun aku telah mencoba mengasingkan diriku, tetapi aku pun masih juga diburu oleh nafsu yang tidak akan dapat dipadamkan dengan kekuatanku sendiri, kecuali —- tidak jelas —- Maha Agung. Dan aku berdoa —- tidak jelas —- dari nafsu yang demikian.” (ada bagian lontar yang sobek)

“Akan tetapi…” laki-laki itu menyahut, “kau ingin menurunkan ilmu ini kepada orang lain. Bukankah begitu.”

Orang itu kemudian memandangi bintik-bintik di kejauhan dengan sinar matanya yang buram. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya.”

Laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “itu adalah sifat manusiawi. Tetapi aku kira kau memiliki cita-cita yang lebih bening dari pada aku. Aku kira kau masih juga memikirkan kebenaran dan keadilan, meskipun tidak seorang pun yang dapat melihatnya dengan sempurna.”

“Setiap mulut yang menyebut kebenaran dan keadilan tidak akan dapat dilepaskan dari kepentingan pribadi. Aku pun tidak dapat melepaskannya pula. Kebenaran dan keadilan yang menguntungkan diriku sendiri.”

“Tetapi ada nilai-nilai yang umum dari kebenaran dan keadilan. Nilai-nilai yang sewajarnya menurut penilaian manusia yang picik betapapun juga ilmunya bertimbun di dalam diri. Dan penilaian itulah yang sejauh-jauhnya kita pergunakan.”

“Nilai-nilai manusiawi yang goyah,” sahut orang itu, “kalau saja kita dapat berpegangan kepada nilai-nilai yang abadi.”

“Nilai-nilai yang tidak dapat digayuh oleh kekuatan manusia.”

“Setidak-tidaknya kita berusaha. Tetapi kita memang harus menyadari, bahwa tidak ada seorang pun, ya tidak seorang pun yang dapat melihat nilai-nilai yang sempurna dari kebenaran dan keadilan itu. Meskipun demikian, kita berusaha untuk menemukannya. Kita harus bersandar diri kepada budi yang bening. Bukan datang dari kebijaksanaan kita sendiri, tetapi hanya dapat ada pada diri kita apabila kita mendapat kemurahan dari Yang Maha Agung.” Orang itu berhenti sejenak sedangkan laki-laki tua yang berdiri beberapa langkah daripadanya itu memperhatikannya dengan sungguh-sungguh

“Kau telah …. tidak jelas …. yang kuat disaat-saat umurmu semakin …. tidak jelas …. rti apa yang kau katakan” (ada bagian lontar yang sobek)

“Kau akan mengerti. Kemarilah. Duduklah di sini. Aku dapat merebus air buat menghangatkan tubuh kita, Empu.”

“Ya.” laki-laki itu memutar tubuhnya dan berjalan mendekati orang yang masih saja duduk di pereng gumuk padas.

“Salah satu dari kebodohanku adalah, bahwa aku lebih tertarik pada kedahsyatan permainan kerikil dari pada nilai-nilai yang kau katakan.”

“Jangan cemas. Aku pun masih juga lebih banyak berbuat demikian. Sudah aku katakan. Marilah kita memohon, agar kepada kita diturunkannya budi bening dan mulus-mulus, supaya kita dapat melihat jalan yang paling bersih yang harus kita tempuh.”

“Hem.” laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam, “sekali lagi aku mengagumi nilai kanuraganmu. Kau agaknya telah berhasil meletakkan dasar dari ilmumu yang baru.”

“Ah, kau selalu kembali kepada hal itu juga.”

“Apakah kau mempunyai nama buat ilmumu yang baru?”

“Sama sekali bukan baru. Kau pun akan dapat melakukannya. Kita tinggal menyalurkan-menyalurkan kekuatan yang telah kita miliki untuk mendasari lontaran batu itu.”

“Aku mengerti. Tetapi menilik bekas-bekasnya, kau dapat melempar lebih dari satu batu. Bahkan lebih dari lima batu sekaligus dan mengenai sasaran yang kau kehendaki.”

“Permainan kanak-kanak. Sudahlah. Marilah kita berbicara tentang yang lain. Tentang sepasang pedangmu misalnya. Apakah itu juga sejenis ilmu yang baru. Sepanjang umurmu kau tidak pernah membawa pedang. Apalagi berpasangan.”

“Aku akan berhadapan dengan iblis Kemundungan. Aku sudah berniat bertempur sampai salah seorang dari kami mati. Itulah sebabnya aku membawa senjata rangkap. Seandainya tanganku ada tiga, maka aku pun pasti membawa tiga pucuk senjata.”

Orang yang diajaknya berbicara tersenyum. Jawabnya, “Kenapa tidak kau pasang tanduk sama sekali dikepalamu, taji dikaki dan siku tanganmu, Empu.”

Laki-laki tua itu pun tersenyum pula. Katanya, “Aku bersungguh-sungguh ingin membunuh Kebo Sindet.”

“Dimana senjatamu, ciri kebesaran namamu selama ini?”

Laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menjawab pertanyaan itu.....

Sejenak kedua orang tua-tua itu terdiam. Akan tetapi laki-laki tua berpedang itu tak henti-hentinya mengherani kerikil-kerikil yang membenam ke dalam batang-batang kayu. Maka katanya kemudian, “Pedang, tombak atau apa pun adalah senjata-senjata yang paling umum dipakai. Tetapi ketepatan membidik adalah kekhususan. Mungkin aku juga dapat melontarkan batu dengan kekuatan seperti yang kau lakukan. Tetapi aku tidak mempelajari sifat-sifat dari cara yang demikian. Sehingga aku pasti tidak akan setangkas dan secepat kau melakukannya, apalagi ketepatan membidik sekaligus untuk lima sampai sepuluh butir kerikil.”

“Ah.” lawannya berbicara menyahut, “kau yakin bahwa aku dapat berbuat demikian.”

“Pengamatanku biasanya tidak berbohong. Apalagi menilik kebesaran namamu.”

“Kau memuji.”

“Tidak.” sejenak orang itu terdiam, “apakah kau mau mencobanya sekali saja supaya aku yakin.”

“Tidak perlu.”

“Aku perlu meyakinkan pengamatanku.”

“Kalau kau tidak yakin sekalipun, aku tidak berkeberatan.”

“Apakah ilmumu itu kau rahasiakan.”

Orang itu terdiam.

“Berilah aku kesempatan melihat ilmumu. Kalau kau tidak menyebutnya sebagai suatu cabang ilmu tata bela diri, katakanlah permainan batu-batu kerikilmu.”

Orang itu menggeleng. “Tidak perlu.”

“Jangan seperti laki-laki cengeng,” berkata laki-laki tua itu, “kita sudah sama-sama tua. Dan bukankah kita sudah saling berjanji untuk bersama-sama melepaskan Mahisa Agni?”

“Kelak kau akan melihatnya, tetapi tidak perlu dengan khusus aku perlihatkan kepadamu. Hanya anak-anak muda yang masih mengagumi dirinya sendiri akan berbuat demikian.”

Laki-laki itu tidak memaksanya lagi. Ia tahu bahwa orang itu telah melatih dirinya dalam kecepatan melepaskan batu-batu dengan tenaga lontaran yang dahsyat.

Tetapi agaknya bukan itu saja. Ia melihat sulur-sulur di dalam pereng itu. Agaknya ia telah melatih diri dalam berbagai macam penggunaan senjata yang dapat diketemukannya di dalam hutan itu.

Ternyata orang itu dapat melihat perasaannya menilik sikapnya. Maka katanya, “Apakah kau heran melihat benda-benda itu di sini? Kalau demikian kau seperti aku pula yang heran melihat pedang-pedang itu di lambungmu. Kau belum menjawab pertanyaanku, dimana senjatamu itu.”

“Aku kini membawa pedang.” jawab laki-laki itu, “Tetapi sebaliknya, kau mencoba mempergunakan senjata-senjata yang kau ketemukan di sekitar tempat ini. Kau Ternyata tidak lagi mempergunakan senjata-senjata yang biasa dipakai orang.”

“Kau menghindari pertanyaanku Empu. Dimana senjatamu itu.”

Laki-laki tua itu termenung sejenak. Dipandanginya pepohonan di sekitarnya. Hutan ini memang tidak begitu lebat, tetapi pepohonan raksasa tumbuh pula satu-satu di sana-sini.

“Kau berkeberatan untuk mengatakannya? Tetapi aku sudah melihat bahwa kau membawa sepasang pedang, besar dan agak kecil.”

Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia berdesis lambat sekali. “Senjataku telah patah.”

“He.” orang itu mengerutkan keningnya, “bertahun-tahun kau mempergunakannya. Kenapa tiba-tiba saja patah?”

“Tidak. Senjataku yang bertahun-tahun ikut dalam petualanganku yang jahat itu tidak patah. Senjata itu harus berpisah dengan aku. Kalau senjataku itu masih tersentuh nafasku, maka aku kira masih akan datang petualangan itu berulang. Senjata itu telah aku berikan kepada muridku.”

“He.” sekali lagi orang itu menjadi heran, “jadi kau ingin menghentikan petualanganmu dan membiarkan muridmu itu bertualang. Aku tidak dapat mengerti Empu.”

“Muridku mempunyai jiwa yang kuat. Ia adalah anak yang baik, dan aku sudah mencoba menasehatinya supaya ia bercermin kepadaku, kepada gurunya. Beberapa puluh tahun aku bertualang tanpa ujung dan pangkal untuk mengumpulkan kekayaan. Namun sekarang aku sama sekali tidak memerlukannya. Aku tidak dapat membebaskan Mahisa Agni itu dengan kekayaan yang ada padaku. Meskipun mungkin aku dapat menawar untuk kebebasan Agni dengan tebusan itu, tetapi aku tahu betapa liciknya Kebo Sindet. Ia akan menerima uang dan kekayaan itu. Tetapi aku yakin bahwa Mahisa Agni tidak akan dibebaskannya, apabila iblis itu belum terbunuh.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi kau yakin bahwa muridmu itu tidak akan berbuat seperti kau?”

“Ya. Ia adalah anak yang paling aku benci sebelumnya karena ia tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan keinginanku. Namun akhirnya aku tahu, bahwa ia adalah murid yang paling baik. Apalagi ketika aku tahu, bahwa ia terjerumus masuk kedalam padepokanku. Aku tahu, bahwa ia. menentang sikapku saat-saat itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia kemudian bersikap acuh tak acuh saja, asal ia menerima sekedar ilmu. Dan aku pun menurunkan ilmu yang paling sedikit kepadanya. Tetapi akhirnya ia adalah muridku yang paling baik. Kepadanya aku serahkan semuanya. Senjata ciri kebesaranku itu pun aku berikan kepadanya. Sentuhan senjata itu dengan aliran darahnya, tidak akan menimbulkan kejahatan seperti yang pernah aku lakukan.”

Orang itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Lalu apakah yang Empu katakan patah itu?”

“Senjata semacam itu juga. Tetapi yang lain, rangkapannya. Senjata itu patah ketika aku berkelahi dengan iblis dari Kemundungan ini. Kemudian aku terpaksa mempelajari ilmu pedang. Aku tidak akan minta senjataku kembali. Aku ingin melawan Kebo Sindet yang bersenjata golok itu dengan pedang.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia tidak mengucapkan kata-kata. Diamatinya beberapa macam benda yang ada di pereng padas yang dipergunakannya sebagai rumahnya itu. Untuk berteduh jika hujan turun.

Namun tiba-tiba ia berkata, “Empu, kalau muridmu yang seorang itu tidak kau sukai, kenapa ia dapat menjadi muridmu?”

“Itu adalah karena ketamakanku masa-masa yang lampau. Aku ingin mempunyai murid yang sesebanyak-banyaknya.”

“Murid-murid yang tidak sesuai dengan pendirian gurunya akan banyak merugikan perguruannya.”

“Aku tidak mempedulikan di saat-saat itu. Siapa yang dapat memenuhi syarat yang aku tetapkan, maka ia dapat menjadi muridku.”

“Apakah syarat itu?”

“Sekeping emas, atau sekerat permata.”

“Oh,” orang itu menarik nafas dalam-dalam. “Kau memang aneh.”

“Tetapi saat-saat yang demikian itu sudah lampau. Aku sudah menyerahkan semuanya kepada muridku. Aku sudah berkata kepadanya beberapa kali dan aku ulangi lagi ketika aku pergi yang terakhir bahwa yang lampau itu ternyata salah dan tidak berarti apa-apa.”

“Muridmu yang mana?”

“Justru yang dahulu kurang dapat mengikuti keinginan-keinginanku. Ketika aku pergi untuk mencari Mahisa Agni yang terdahulu, aku pun sudah bertekad untuk mati seperti saat ini. Tetapi aku tidak mati, justru Wong Sarimpat lah yang mati. Aku masih dapat kembali ke padepokanku dan menyembuhkan luka-lukaku. Tetapi Ternyata Mahisa Agni belum terbebaskan. Nah, sekarang, sisa-sisa umurku ini akan aku pergunakan dalam usaha membebaskan anak yang terperosok ke tangan iblis dari Kemundungan ini, karena sebagian terbesar adalah karena salahku.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. “Aku dapat mengerti. Dan kau telah mencoba menyusun ilmu pedang untuk melawan ilmu Kebo Sindet yang terkenal serta goloknya yang berbau maut itu. Sebenarnya kau lebih menakutkan dengan tongkat panjangmu yang menggemparkan itu Empu.”

Laki-laki tua itu menggeleng. “Tidak. Aku tidak akan membawa tongkat panjang itu lagi, supaya aku yang sekarang berbeda dengan aku yang lampau.”

Lawan bicaranya itu tersenyum. “Kau telah benar-benar menyesal.”

“Kalau tidak, maka kaulah yang pertama sekali harus berkelahi melawan aku.”

“Terima kasih, kau akan menjadi kawanku yang baik. Tetapi tidak untuk membunuh Kebo Sindet.”

“Hem, aku tidak mengerti.”

“Bukankah tujuan kita adalah membebaskan Mahisa Agni, tidak untuk membunuh Kebo Sindet.”

“Aku tetap tidak mengerti, tetapi aku akan mengikutimu, justru karena aku ingin tahu bagaimana caramu itu.”

Orang itu mengangguk-angguk sambil berkata, “Terima kasih atas kesediaanmu.”

Pembicaraan itu terputus ketika mereka mendengar lamat-lamat suara kentongan. Laki-laki tua yang membawa pedang dan belati panjang itu mengangkat kepalanya sambil bertanya, “Suara apakah itu?”

“Kentongan. Siapakah yang membunyikan kentongan itu?”

“Kebo Sindet.”

Laki-laki itu mengerutkan keningnya, “Untuk apa?”

“Kebo Sindet sedang memanggil Mahisa Agni, Kalau ia kembali dan Mahisa Agni sedang tak berada di dalam goanya, maka Kebo Sindet selalu memanggilnya dengan kentongan.”

Kerut merut didahi laki-laki tua itu menjadi semakin dalam. “Apakah yang harus dilakukan oleh Mahisa Agni?”

“Ia tidak lebih dari seorang pelayan. Mahisa Agni harus menyediakan makan untuk kedua orang itu. Setiap saat makanan itu harus sudah tersedia. Apabila mereka datang dan tidak dilihatnya Mahisa Agni dan segera dimenyediakan makan mereka, maka dipukulnya kentongan itu. Apabila nanti Mahisa Agni datang, maka Mahisa Agni lah yang akan dipukulnya.”

“Ah,” laki-laki tua itu berdesah, “dan kau diam saja di sini?”

“Sudah aku katakan, aku mempunyai rencana tersendiri.”

“Gila. Itu adalah perbuatan gila, sementara itu Mahisa Agni mengalami siksaan lahir dan batin.”

“Bukankah itu akan menjadi pengalaman yang baik baginya. Suatu gemblengan lahir dan batin pula.”

“Oh, kau salah. Hal-hal yang serupa itu dapat membunuh keberaniannya. Ia akan menjadi seorang laki-laki yang tidak berani berbuat apa-apa. Kalau kau biarkan berlama-lama maka benar-benar Mahisa Agni tidak lebih dari seorang budak. Seorang yang takut melihat perjuangan.”

Tetapi orang itu menggeleng. “Marilah kita melihat bersama-sama. Apakah Mahisa Agni akan menjadi seorang yang dapat menengadahkan wajahnya lagi dihadapan Kebo Sindet atau tidak.”

“Hem.” laki-laki tua itu tidak menjawab. Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu masih terdengar beberapa kali suara kentongan dari mulut sarang Kebo Sindet. Kuda Sempana yang memukul kentongan itu mengayunkan tangan dengan acuh tak acuh.

Sejenak kemudian Mahisa Agni yang basah datang berlari-lari mendekatinya.

Tiba-tiba terdengar Kebo Sindet membentaknya. “He kelinci bodoh. Dari mana kau he?”

“Aku baru mandi tuan.” jawab Mahisa Agni ketakutan.

Dengan tajamnya Kebo Sindet memandangi tubuh Mahisa Agni yang basah. “Pemalas,” geramnya, “matahari sudah ada di puncak langit kau baru saja mandi. Apa kerjamu. sepagi ini he?”

Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia terdorong dan jatuh terpelanting ketika tangan Kebo Sindet menampar pipinya.

Kuda Sempana memalingkan mukanya. Ia melihat Mahisa Agni dengan susah payah bangun dan duduk sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tetapi Kuda Sempana itu menjadi acuh tak acuh saja. Bahkan kemudian dengan tidak berpaling lagi ia melangkah pergi.

Meskipun demikian, tumbuh suatu pertanyaan di dalam hatinya. Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang keras hati. Seorang yang hampir tidak mengenal takut sampai pun bertaruh nyawa, apalagi apabila ia berada dipihak yang tidak bersalah. Bahkan terhadap Akuwu Tunggul Ametung pun Mahisa Agni tidak dapat menundukkan kepalanya, pada saat ia melarikan diri Ken Dedes dari Panawijen. Namun tiba-tiba anak itu kini menjadi benar-benar sejinak kelinci. Setiap kali Mahisa Agni hanya dapat menundukkan kepalanya dengan gemetar ketakutan.

“Apakah benar kata paman Kebo Sindet.” Kuda Sempana berguman di dalam hatinya, “bahwa dengan menekan perasaan Mahisa Agni setiap saat, maka jiwa anak muda itu pasti akan berubah dengan sendirinya. Ketahanan jiwa pasti akan goyah. Setiap kali ia harus mengalami ketakutan dan kecemasan. Setiap kali ia harus dipaksa untuk tunduk dan berlutut, sehingga akhirnya ia akan kehilangan segala sifat-sifatnya.”

“Mustahil.” hatinya terbantah sendiri, “kekerasan hati Mahisa Agni tidak akan dapat dicairkan dengan cara itu.”

“Tetapi kenapa sifat-sifatnya sekarang telah berubah sama sekali?” pertanyaan itu selalu mengganggunya, “apakah aku pun akhirnya akan kehilangan kedirianku.”

Kuda Sempana itu mengangguk-anggukkan kepala, “Ya, aku memang sudah kehilangan diriku sendiri. Guruku hampir terbunuh oleh paman Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bahkan mungkin kini sudah mati benar-benar. Dan aku berada di sini membantunya.”

Kuda Sempana itu tertegun sejenak. Tetapi ketika ia berpaling maka ia sudah agak jauh sehingga ia tidak melihat lagi apa yang dilakukan oleh Kebo Sindet atas Mahisa Agni.

“Mungkin pendapat itu benar, dan paman Kebo Sindet sedang membentuk seorang Mahisa Agni yang jinak dan tidak berani berbuat apapun.”

Kuda Sempana itu pun kemudian melangkah terus. Ia ingin membersihkan dirinya, mandi justru di dalam air yang keruh. Tetapi kini ia sudah menjadi biasa dengan air yang keruh itu. Bahkan minum pun tidak lagi terasa muak, meskipun ia tahu bahwa di dalam rawa-rawa itu kadang-kadang terapung sisa bangkai binatang-binatang yang mesti dibunuh oleh buaya-buaya kerdil.

Kebo Sindet yang melihat Mahisa Agni duduk dengan gemetar membentak dengan kerasnya. “Ayo pergi. Siapkan makan kami. Kalau masih juga selalu bermalas-malas, maka kau sekali lagi akan aku ikat di pohon itu dan aku pukuli sampai kulitmu terkelupas.”

Dengan menggigil Mahisa Agni bangkit perlahan-lahan. Ketika ia telah tegak berdiri dan melangkah meninggalkan Kebo Sindet, tiba-tiba kaki iblis itu mendorong punggungnya, sehingga anak muda itu jatuh terjerembab.

Sekali lagi Mahisa Agni mencoba merangkak bangkit. Ketika ia mencoba berpaling, dilihatnya sorot mata Kebo Sindet seolah-olah menusuk jantungnya, sehingga segera Mahisa Agni itu memalingkan wajahnya.

“Cepat pergi setan kecil.” teriak Kebo Sindet.

Mahisa Agni pun segera bangkit dan berjalan cepat-cepat meninggalkan Kebo Sindet yang berdiri saja mengawasinya. Meskipun wajahnya sama sekali tidak berkesan apapun, namun sorot matanya memancarkan kepuasan hatinya. Perlahan-lahan ia berdesis. “Sebentar lagi anak itu pasti akan menjadi seekor siput yang tidak berani berbuat apapun. Jika demikian maka ia akan menjadi barang dagangan yang menyenangkan sekali. Aku akan dapat membawanya ke Tumapel tanpa cemas lagi bahwa pemalas kecil itu akan berani melarikan dirinya. Atau membawa seseorang yang dapat menawarkannya kepada permaisuri untuk datang kemari. Anak itu pasti tidak akan berani berbuat apa-apa lagi.”

Demikianlah yang dilakukan oleh Kebo Sindet. Setiap hari apabila ia berada di dalam sarangnya itu, selalu menakut-nakuti, membentak-bentak, memukul dan apa saja untuk membuat Mahisa Agni kehilangan keberanian. Kebo Sindet berharap, betapapun kuatnya jiwa seseorang, tetapi apabila setiap hari ia mendapat perlakuan yang mempengaruhi keberaniannya, maka akhirnya ketahanan jiwanya itu pasti akan runtuh pula. Seperti apa yang dilakukannya atas Kuda Sempana meskipun dengan cara yang berbeda.

Kini ia melihat Mahisa Agni menjadi ketakutan apabila melihatnya sebelum ia berbuat apa-apa. Maka Kebo Sindet itu mengharap dalam waktu singkat, Mahisa Agni telah menjadi seorang yang mempunyai sifat seperti yang dikehendakinya.

Mahisa Agni pun kemudian segera berlari ke dapur yang kotor. Segera dipersiapkannya makan buat Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Nasi jagung dan daging rusa. Ikan yang di dapatnya dari dalam rawa-rawa dan sejenis daging burung air. Mahisa Agni sendirilah yang harus memburu makanan yang disediakannya kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat dengan panah. Di sekitar sarang yang dikitari rawa-rawa itu memang terdapat beberapa ekor rusa liar. Ternyata pulau di tengah-tengah rawa itu cukup luas bagi rusa-rusa itu untuk menikmati hidupnya. Dan rusa-rusa itulah yang setiap kali harus dicari oleh Mahisa Agni. Tetapi yang paling mudah dilakukan adalah mengail ikan di rawa-rawa itu dan mencari burung-burung air.

Hanya jagungnyalah yang diterimanya dari Kuda Sempana setiap kali. Apabila jagung itu habis, maka Kuda Sempana dan Kebo Sindet mencarinya kemana saja, padesan-padesan yang dilaluinya.

Hidup yang demikian itu harus dijalani oleh Mahisa Agni tanpa batas, kapan ia dapat lepas daripadanya, Untunglah bahwa Kebo Sindet dan Kuda Sempana jarang berada di sarang mereka. Setiap kali mereka pergi meninggalkan tempat itu untuk waktu yang kadang-kadang cukup lama. Secepat-cepatnya tiga empat hari mereka baru kembali, dan tinggal di tempat itu untuk waktu yang sama.

Ketika kemudian Kebo Sindet dan Kuda Sempana makan, maka Mahisa Agni harus duduk di dekat mereka. Setiap kali Kebo Sindet memerlukan sesuatu, maka disuruhnya Mahisa Agni untuk mengambilkannya.

“Ambil air panas.” teriak Kebo Sindet tiba-tiba.

Mahisa Agni terkejut. Segera ia bangkit dan berjalan tergesa-gesa kebahagian belakang dari sarang mereka itu untuk mengambil air hangat.

“Ia sudah menjadi semakin sehat.” desis Kebo Sindet kemudian kepada Kuda Sempana, “apabila ia telah menjadi sehat benar, maka ia harus dilemahkan. Setidak-tidaknya ia tidak dapat menyamaimu.”

Wajah Kuda Sempana sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun. Namun ia menjawab, “Terserah kepada paman. Tetapi dalam keadaan apa pun aku masih sanggup membunuhnya.”

“Sekarang. Ia sudah kehilangan sebagian terbesar dari keberaniannya. Kau memang dapat berbuat apa saja atasnya tanpa perlawanan. Tetapi kemajuan kekuatannya akan sedikit berbahaya juga bagimu.”

“Sama sekali tidak.”

Kebo Sindet terdiam ketika ia melihat Mahisa Agni datang membawa mangkuk berisi air hangat. Setelah air itu seteguk diminumnya, maka sisanya tiba-tiba saja disiramkannya kepada Mahisa Agni yang duduk tepekur di sampingnya. “Gila.” Kebo Sindet itu menggeram, “kau tidak menyediakan gula kelapa untukku?”

Mahisa Agni terkejut. Sekali lagi ia meloncat berdiri dan melangkah pergi. Tetapi Kebo Sindet berteriak. “Kemana kau?”

“Mengambil gula kelapa.” jawab Mahisa Agni.

“Kau memang gila. Kau lihat, bahwa air panas itu telah habis seluruhnya?”

Mahisa Agni berdiri termangu-mangu. Ia tidak tahu apa yang harus segera dilakukan.

“Pergi, pergi.” Kebo Sindet itu masih berteriak-teriak, “ambil air panas dan gula kelapa.”

Mahisa Agni pun segera meloncat pergi untuk memenuhi permintaan Kebo Sindet.

“Aku hampir berhasil.” desis Kebo Sindet kepada Kuda Sempana. “Lihat ia menjadi sangat ketakutan.”

Kuda Sempana tidak menjawab.

“Sudah beberapa hari aku tidak mengajarnya. Besok, setelah kita pergi ke Balantur, aku akan mencambuknya supaya ia menjadi agak lemah dan menjadi semakin ketakutan.”

Kuda Sempana masih berdiam diri.

“Apakah kau ingin melakukannya lagi seperti beberapa waktu yang lalu?”

“Tidak. Saat itu pun aku sebenarnya tidak ingin mencambuknya. Tetapi paman memaksa aku untuk melakukannya.”

“Huh.” Kebo Sindet menyahut, “apakah kau juga sudah menjadi pengecut seperti Mahisa Agni.”

Kuda Sempana terdiam.

“Kalau begitu aku harus berbuat sebaliknya terhadapmu. Kau harus menjadi laki-laki yang berani melihat darah, tetapi kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku-tanganku Kau mengerti? Kau harus melakukan beberapa kali. Mengelupas kulit Mahisa Agni, tetapi jaga jangan sampai ia mati. Kau harus dapat melakukannya tanpa kesan apa pun di hatimu.”

“Tidak perlu Aku tidak kehilangan keberanianku menghadapi apa saja. Tetapi tidak menghadapi orang yang terikat. Hal itu tidak akan menambah kemampuan apa pun padaku.”

Kebo Sindet lah yang kemudian berdiam diri untuk sejenak. Mereka tidak meneruskan pembicaraan itu ketika Mahisa Agni datang sambil membawa mangkuk air panas dan segumpal gula kelapa.

“Letakkan di situ.” perintah Kebo Sindet, “lalu pergi dari sini.”

“Baik tuan.” sahut Mahisa Agni dengan suara gemetar.

Mahisa Agni pun segera pergi. Ia tahu, bahwa untuk sementara ia tidak diperlukan lagi sampai datang saatnya Kebo Sindet memanggilnya.

Segera dipersiapkannya pancingnya. Dengan kepala tunduk ia melangkah ke pinggir rawa-rawa sambil menjinjing pancing di tangan kanan dan busur serta beberapa anak panah di tangan kiri. Dalam saat-saat senggang demikian, Mahisa Agni lebih senang mengail atau berburu dari pada berada di dekat Kebo Sindet yang selalu membentak-bentaknya dan memukulnya.

Sejenak kemudian Mahisa Agni sudah duduk terkantuk-kantuk di pinggir rawa, di atas sebongkah batu, dengan pakaian yang basah. Dilemparkannya umpan kailnya ke dalam air yang keruh, kemudian di letakkannya walesan kailnya di atas batu tempat ia duduk, ditindih dengan busur dan anak panahnya. Sementara ia duduk memeluk lututnya dan meletakkan kepalanya di atas mulut itu.

Mahisa Agni itu terkejut ketika ia mendengar desir di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Kuda Sempana berdiri tegak dengan sehelai pedang di lambungnya.

Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Jalur-jalur cambuk di punggungnya masih membekas sejak beberapa hari yang lalu ketika Kuda Sempana itu memukulinya, sementara ia diikat pada sebatang pohon.

“Apa yang kau lakukan?”

“E, mengail, Kuda Sempana.”

Kuda Sempana berdiam sejenak. Dipandanginya wajah Mahisa Agni yang pucat. Tampaklah pada sorot matanya, Kuda Sempana ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan di mulutnya.

Sesaat mereka saling berdiam diri. Kuda Sempana memandangi Mahisa Agni dengan mata yang hampir tidak berkedip, sedang Mahisa Agni menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Tetapi belum lagi Kuda Sempana mengucapkan sesuatu terdengar Kebo Sindet berdesis di belakang mereka. “Kuda Sempana, tinggalkan setan kecil itu.”

Kuda Sempana terperanjat juga mendengar suara itu. Tetapi tanpa kesan apa pun ia berpaling. Dipandanginya Kebo Sindet yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Mahisa Agni pun mengangkat wajahnya pula. Terbayang perasaan kesal pada sorot matanya. Tetapi kemudian ia pun menunduk pula.

Karena Kuda Sempana masih juga tidak beranjak pergi, maka sekali lagi Kebo Sindet berkata, “Tinggalkan tikus itu dengan kesenangannya. Ia baru menangkap ikan untuk menyediakan makan kita nanti.”

Kuda Sempana menarik nafas. Perlahan-lahan ia melangkah meninggalkan tempat itu. Ketika mereka telah berbelok ke belakang sebuah gerumbul kecil, Kebo Sindet yang berjalan di belakangnya berkata, “Aku peringatkan sekali lagi, jangan kau bunuh dia, supaya kau pun tidak aku bunuh pula.”

Kuda Sempana tidak menjawab. Ancaman itu telah didengarnya berpuluh kali. Karena itu maka telinganya telah menjadi kebal karenanya.

“Kuda Sempana.” berkata Kebo Sindet itu pula, “sebaiknya kau selalu saja aku bawa berjalan berkeliling daerah Tumapel dan Kediri. Di sini kau ternyata berbahaya bagi Mahisa Agni. Kalau aku sedang tidur atau lengah sedikit saja, mungkin kau akan melakukan pembunuhan itu meskipun kau tahu akibatnya. Karena itu, biarlah kita berjalan lagi. Bukankah kita telah mendapat sedikit jalan untuk dapat berhubungan dengan permaisuri. Agaknya orang yang kita datangi beberapa saat yang lalus meskipun belum menyediakan diri, tetapi kemungkinan itu dapat terjadi. Baiklah besok kita datang kepadanya sekali lagi. Kita berijanji yang lebih baik kepadanya. Tetapi kalau ia berkhianat, lebih baik kita binasakan saja.”

Kuda Sempana tidak menjawab. Ia berjalan saja selangkah demi selangkah.

“Orang itu adalah orang licik. Tetapi ia senang sekali kepada harta kekayaan. Kau telah menunjuk orang yang dapat diharapkan.”

Kuda Sempana masih berdiam diri. Kebo Sindet pun kemudian berkata pula, “Tetapi kita harus mencari orang lain yang lebih pasti dari padanya.”

Kuda Sempana akhirnya berkata, “Kita sebenarnya tidak perlu bersusah payah mencari. Permaisuri itulah kelak yang akan mencari kita.”

“Aku tahu.” jawab Kebo Sindet, “tetapi itu akan langsung terjadi semacam jual beli. Aku tidak senang. Aku perlu perantara. Aku sama sekali tidak ingin berhubungan langsung dengan Akuwu Tunggul Ametung.”

“Apakah paman menyangka permaisuri dan Akuwu akan sebodoh itu memenuhi tuntutan paman tanpa mendapat jaminan apapun.”

“Mereka harus memenuhi tuntutanku. Kunci persoalan ini ada di tanganku.”

“Bagaimana kalau mereka tidak mau?”

“Mereka harus mau. Bagaimana pertimbanganmu seandainya sepotong kuping Mahisa Agni aku kirimkan kepada permaisuri?”

Kuda Sempana adalah seorang anak muda yang berhati batu. Tetapi mendengar kata-kata Kebo Sindet itu hatinya berdesir. Sehingga wajahnya yang hampir-hampir membeku itu tampak menegang untuk sejenak. Tetapi sejenak kemudian kesan yang mengerikan itu segera terhapus dari wajahnya.

“Bagaimana?” bertanya Kebo Sindet, “apakah dengan demikian permaisuri tetap menolak tuntutanku?”

Kuda Sempana tidak menjawab.

“Nah, sekarang beristirahatlah. Aku pun akan tidur sebentar. Tetapi ingat, jangan kau ganggu anak itu supaya bukan kuping atau hidungmu yang terpaksa aku kirimkan kepada Ken Dedes.”

Kuda Sempana masih berdiam diri.

Kebo Sindet pun kemudian tidak berbicara lagi. Langsung ia masuk kedalam sarangnya dan merebahkan dirinya di atas sepotong amben kayu yang kasar. Sedang Kuda Sempana pun kemudian masuk pula. Ia duduk sebentar di amben yang lain sambil melepas pedangnya.

“Tidurlah. Aku tidak akan terlalu lama di sini. Kau berbahaya bagi Mahisa Agni. Lagi pula aku ingin persoalan anak itu segera selesai, supaya kita tidak terlampau lama memeliharanya. Kita harus segera menemukan orang yang dapat dipercaya untuk membicarakan masalah jual beli ini. Kau harus sedikit mempergunakan otakmu. Bukankah kau bekas seorang pelayan dalam, sehingga sebenarnya terlampau banyak orang yang seharusnya kau kenal untuk kepentingan ini.”

Kuda Sempana tidak menjawab. Direbahkannya dirinya dan dicobanya untuk menghentikan angan-angannya. Ia ingin tidur. Tidur sepuas-puasnya.

Hari-hari yang demikian sangat menjesakkan napas Mahisa Agni. Pada saat-saat Kebo Sindet dan Kuda Sempana ada disarangnya. Banyak sekali yang harus dilakukannya. Bahkan hampir-hampir ia tidak sempat berbuat apa-apa. Menyediakan makanan, kemudian mencuci mangkuk dan alat-alat, merebus air, dan sisa waktunya dipergunakan untuk berburu atau mengail. Apabila ia tidak mendapat buruan cukup, maka tubuhnya pasti akan menjadi babak belur.

Hal yang demikian itu hampir-hampir tidak dapat masuk akal Kuda Sempana. Pertanyaan tentang Mahisa Agni selalu saja menyelimutinya. Seperti pertanyaan tentang dirinya sendiri. Dengan sadar Kuda Sempana merasa bahwa ia sudah tidak mempunyai minat untuk berbuat sesuatu. Ia kini tinggal menurut saja perintah apa pun yang diberikan kepadanya oleh Kebo Sindet. Semua keinginan dan cita-cita untuk dirinya sendiri seolah-olah telah mati.

Kuda Sempana dan Kebo Sindet itu pun kemudian tertidur pula. Dalam saat-saat yang demikian, di masa-masa sebelumnya tumbuh di dalam angan-angan Mahisa Agni untuk membunuh saja keduanya. Tetapi Kebo Sindet adalah orang yang luar biasa, sehingga langkahnya betapapun lambatnya pasti akan membangunkannya. Apalagi di dalam sarang itu terdapat berbagai macam barang-barang yang terbujur lintang tidak keruan.
Kayu-kayu dan bambu-bambu. Gledeg dan barang-barang pecah belah yang berserakan.

Tetapi lambat laun keinginan itu pun padam dengan sendirinya, sehingga Mahisa Agni sama sekali-sekali belum pernah melakukan percobaan itu.

Kebo Sindet sendiri merasa yakin bahwa Mahisa Agni tidak akan berani berbuat sesuatu. Semula ia pun memperhitungkan pula kemungkinan itu, sehingga beberapa kali ia berpura-pura tidur di tempat yang mudah sekali didatangi oleh Mahisa Agni seandainya ia ingin melakukan percobaan untuk membunuhnya. Tetapi percobaan itu sama sekali tidak pernah terjadi, sehingga Kebo Sindet akhirnya mengambil kesimpulan bahwa Mahisa Agni tidak akan berani melakukannya. Apalagi setelah anak itu menjadi jinak.

Kali ini seperti biasanya, Kebo Sindet tidak terlampau lama berada di sarangnya yang menjemukan itu. Menjemukan bagi Kebo Sindet sendiri. Sepeninggal adiknya, ia lebih suka merantau. Mendatangi padesan-padesan dan kampung-kampung. Masuk keluar warung tanpa mempersoalkan uang untuk membayarnya. Berdjudi bersama-sama dengan orang-orang jahat dan kasar seperti dirinya sendiri. Berkelahi dan saling membunuh. Tetapi tidak seorang pun yang pernah dijumpainya dapat mengalahkannya. Kadang-kadang di dalam lingkaran judi orang-orang yang belum mengenalnya berani menentang kehendaknya. Tetapi biasanya orang itu akan kehilangan semuanya. Uang dan barang-barangnya. Bahkan nyawanya.

Ketika matahari mulai melontarkan sinarnya yang kuning kemerah-merahan, maka Kebo Sindet dan Kuda Sempana telah siap untuk meninggalkan sarangnya yang kotor itu, setelah tiga hari ia tinggal. Meskipun rawa-rawa di sekitar sarangnya masih disaput oleh kabut yang rapat, namun Kebo Sindet sama sekali tidak menjadi cemas bahwa ia akan terjerumus ke dalam lumpur di dalam dasar rawa-rawa itu. Ia sudah begitu hafalnya. Bahkan sambil berlari pun ia dapat melintasinya tanpa terperosok kedalam lumpur.

Kuda yang dipergunakan oleh Kebo Sindet pun lambat laun menjadi hafal pula seperti penunggangnya. Kemana kakinya harus melangkah supaya ia tidak tersesat. Dengan demikian maka Kebo Sindet hampir-hampir tidak perlu lagi mengendalikan kudanya di sepanjang rawa-rawa itu, betapa tebalnya kabut dan bahkan di malam hari sekalipun. Hidung kuda itu seolah-olah telah mendapatkan sebuah mata yang dapat melihat langsung menembus air yang berwarna lumpur itu, melihat sampai kedasarnya.

Ketika mereka berdua, Kebo Sindet dan Kuda Sempana sudah berada di punggung kudanya, maka berkatalah iblis dari Kemundungan itu kepada Mahisa Agni. “He, pemalas. Kau harus menunggu rumah ini. Pelihara baik-baik. Aku akan pergi untuk sepekan atau dua pekan mencari orang yang sudi mengambilmu dari tempat ini. Kau sudah terlampau lama mengotori rumahku. Seharusnya kau segera mendapat tebusan. Tetapi agaknya tidak seorang pun di dunia ini yang mempedulikanmu. Adikmu, apalagi Tunggul Ametung.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kepala tertunduk dalam-dalam.

“He, apa katamu?”

“Ya, ya, aku mengerti.” jawab Agni tergagap.

“Apa yang kau mengerti he?”

“Menjaga dan memelihara rumah ini baik-baik.”

“Hanya itu?”

Mahisa Agni terdiam. Ia tidak mengerti apa yang harus dikatakannya.

“Apa he?” Kebo Sindet tiba-tiba berteriak.

Mahisa Agni masih terbungkam. Ia masih belum mengerti maksud Kebo Sindet itu.

Sekali lagi Mahisa Agni mendengar Kebo Sindet berteriak-teriak. Ia melihat kuda yang ditungganginya bergerak maju ke arahnya, dan sejenak kemudian ia terdorong jatuh karena sentuhan kaki iblis yang garang itu.

“Pemalas yang bodoh. Kau harus berkata bahwa memang tidak ada seorang pun yang mempedulikan kau lagi. Kau tinggal menunggu nasib jelek yang bakal datang. Apabila aku tidak segera dapat berhubungan dengan orang yang masih bersedia mengambilmu, maka kupingmu sepotong-sepotong akan aku kirimkan kepada Ken Dedes. Kemudian hidung, tangan dan kaki-kakimu sebelum kau aku lemparkan ke rawa-rawa itu, kecuali kepalamu yang akan aku simpan sebagai pesugihan.”

Tertatih-tatih Mahisa Agni mencoba berdiri. Tetapi Kebo Sindet itu telah menggerakkan kudanya meninggalkannya diikuti oleh Kuda Sempana.

Ketika Kebo Sindet berpaling, dilihatnya MahisaAgni berdiri dengan lemahnya, memandanginya.

“Anak itu memang bodoh.” gumamnya.

Kuda Sempana pun berpaling, tetapi ia tidak menyahut.

“Ternyata ia tidak lebih dari seekor tikus pengetjut. Aku yakin bahwa ia telah kehilangan seluruh kepribadiannja. Dan aku semakin senang melihatnya.

Kuda Sempana masih berdiam diri. Ternyata Kebo Sindet itu pun tidak berbicara lagi. Kini mereka telah turun ke dalam air dan sejenak kemudian mereka berdua hilang ditelan oleh kabut di atas rawa-rawa yang keruh itu.

Ketika mereka sudah tidak tampak lagi, Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Seperti ia ingin melepaskan semua yang sedang menyumbat dadanya. Sekali disekanya keringat yang seakan-akan mengembun dipelipisnya. Dikibaskannya pakaiannya yang kotor oleh tanah lembab ketika ia jatuh berguling disentuh kaki Kebo Sindet.

Perlahan-lahan matahari merayap di kaki langit. Semakin lama menjadi semakin tinggi. Dan Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya memandangi kabut yang putih.

Tetapi tiba-tiba wajahnya yang lesu itu menjadi semakin terang seperti matahari yang semakin meninggi. Bahkan anak muda itu pun kemudian tersenyum.

Lenyaplah segala kelesuan dan ketakutan dari wajahnya. Tiba-tiba ia meloncat-loncat tinggi-tinggi. Menggeliat dan tangannya menggapai dahan kayu di atasnya. Sejenak kemudian tubuhnya menggantung di dahan itu, dan sambil menggeram diangkatnya tubuh itu tinggi-tinggi. Demikian dilakukannya berkali-kali. Sesaat kemudian maka tubuh itu pun berputar seperti baling-baling. Ketika tangan Mahisa Agni terlepas maka tubuhnya itu pun terlempar ke tanah. Tetapi dengan lincahnya ia melenting dan ia pun telah berdiri di atas tanah, pada kedua belah kakinya.

Mahisa Agni menarik nafas panjang. Terdengar ia berdesis perlahan “Mudah-mudahan aku berhasil.”

Mahisa Agni itu pun kemudian berjalan dengan langkah yang cepat menuju ketepi rawa-rawa di ujung lain. Tersuruk-suruk ia menyelinap ke balik gerumbul-gerumbul liar, kemudian sampailah ia ketempat yang agak lapang, di bawah pepohonan yang jarang.

“Sudah beberapa hari aku tidak sempat mengunjungi tempat ini.” Desisnya, “iblis itu selalu saja mengganggu aku. Mumpung masih pagi, biarlah segera aku mulai.”

Mahisa Agni itu pun kemudian berjongkok pada lutut-lututnya. Sejenak kemudian tiba-tiba saja ia melinting tinggi. Dan mulailah ia berlatih. Mula-mula gerakannya tidak begitu cepat, sekedar untuk memanaskann badannya. Tetapi semakin lama gerakan itu menjadi semakin lincah. Seperti kijang ia berloncat-loncatan, sambil mengayun-ayunkan tangannya. Setiap kali disentuhnya ujung-ujung perdu yang sudah ditandainya. Semakin lama semakin cepat, semakin cepat. sehingga sesaat kemudian gerakannya hampir-hampir tidak dapat diikuti dengan mata. Sekali ia meloncat ke depan, namun tiba-tiba ia sudah meluncur surut. Berputar, melenting dan menggeliat.

Ketika tubuh Mahisa Agni telah dibasahi oleh keringatnya yang hangat, maka ia pun memperlambat gerakannya. Namun dalam pada itu, gerakannya yang semakin lambat itu, tampak menjadi semakin tangguh dan kuat. Kini ia tidak melatih kecepatan bergerak, tetapi ia ingin melatih kekuatan tenaganya. Pada saat ia menerima Aji tertinggi dari perguruannya, ia sudah mampu menghantam hancur batu padas. Tetapi kini kekuatannya telah bertambah-tambah. Tidak saja batu padas dan batu hitam, bahkan batang-batang kayu yang masih berdiri tegak itu, akan berguncang oleh sentuhan tangannya.

Demikianlah, maka sesaat kemudian maka hutan kecil di tengah-tengah rawa-rawa itu menjadi seolah-olah dihantam oleh badai yang keras. Dari kejauhan akan tampak daun-daunnya bergetar seperti diguncang oleh angin prahara. Dengan dahsyatnya Mahisa Agni meloncat dari sebatang pohon ke batang yang lain. Pohon-pohon yang cukup besar itu dipukulnya berganti ganti sehingga pohon-pohon itu tergetar. Daun-daunnya yang mulai menguning berguguran jatuh di tanah. Bahkan kemudian cabang-cabangnya yang mulai mengering pun terdengar berderak-derak patah.

Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni itu terloncat. Ia berdiri tegak seperti patung. Matanya tiba-tiba seolah-olah menyala ketika ia melihat seseorang tanpa di ketahuinya telah berdiri beberapa langkah dari padanya.

“Alangkah dahsyatnya.” terdengar orang itu berkata Mahisa Agni masih berdiri tegak di tempatnya. Matanya kini bagaikan menyala. Tiba-tiba detak jantungnya seolah-olah menjadi berlipat ganda memukul dinding dadanya.

“Kau.” terdengar menggeram.

“Ya, aku datang kepadamu Agni.”

Mulut Mahisa Agni tiba-tiba mengatup rapat-rapat. Terdengar giginya gemeretak. “Apakap kau akan membunuhku.”

“Apakah aku sekarang mampu melakukannya? “

Mahisa Agni terdiam sejenak. Dilihatnya orang itu dari ujung kakinya sampai ujung kepalanya.

Beberapa waktu yang lampau ia sama sekali tidak berdaya menghadapinya. Tetapi kini ia telah berubah. Sejak ia berada di pengasingan ini, ia merasa bahwa ilmunya telah bertambah maju. Meskipun demikian ia masih belum berani meyakini dirinya, bahwa ia sudah dapat menyamai Kebo Sindet. Karena itu, maka ia pun masih belum yakin bahwa ia dapat menyamai orang yang dengan tanpa disangka-sangkanya telah berdiri di hadapannya.

“Bagaimana Agni, apakah aku masih mampu melakukannya?”

Mahisa Agni menggeram. Ia merasa bahwa pertanyaan itu semata-mata untuk menghina dirinya. Bagaimana pun juga orang itu adalah seseorang yang tidak kalah dahsyatnya dari Kebo Sindet sendiri. Dan apa pun yang pernah dilakukannya dan terjadi atas diri orang itu, namun Mahisa Agni masih merasakan sikap yang berbahaya baginya.

Tetapi Mahisa Agni telah bertekad untuk keluar dari rawa-rawa itu dengan cara yang akan mengejutkan Kebo Sindet. Karena itu, maka sudah barang tentu ia tidak akan dengan suka rela menyerahkan kepalanya kepada orang yang sangat dibencinya itu, apa pun yang sudah diperbuatnya.

“Apakah yang kau kehendaki sekarang?” bertanya Mahisa Agni, “apakah kau masih belum puas melihat aku berada di sarang iblis ini? Meskipun aku tidak pasti, tetapi aku mendengar sedikit banyak tentang kau dan Kebo Sindet. Percakapan-percakapan yang aku dengar dan kenyataan yang aku lihat. Apakah kau masih menganggap aku sebagai barang yang sangat berharga untuk kau perebutkan? Kenapa kau tidak datang menemui Kebo Sindet langsung?”

“Mungkin kau pernah mendengar percakapan Kuda Sempana dan Kebo Sindet, mungkin dari orang lain. Bagaimana tanggapanmu sekarang tentang diriku. Apakah sekian lama kau di sini, maka kau tidak lagi dapat melihat sesuatu di luar daerah rawa-rawa ini?”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi sekali lagi direnunginya laki-laki itu. Terasa suatu perbedaan yang dalam terpancar dari wajah orang itu dari pada wajahnya yang pernah dikenalnya dahulu.

Namun demikian terbersit suatu pertanyaan didalam dirinya. “Apakah aku telah benar-benar berubah setelah aku terasing di daerah neraka yang memuakkan ini?” Lalu katanya pula di dalam hatinya itu. “Aku memang merasa asing. Juga terhadap diriku sendiri.”

“Bagaimana?” terdengar laki-laki itu bertanya pula.

Mahisa Agni masih memandanginya dengan saksama. Semakin tajam ia memandang wajah orang itu, semakin terasa, bahwa orang ini seolah-olah bukan orang yang pernah dikenalnya dahulu, meskipun wadagnya adalah wadag yang itu juga.

“Apakah kau tidak dapat mengenal aku lagi dengan baik?” bertanya orang itu pula.

Mahisa Agni tidak mau berlama-lama diombang-ambingkan oleh perasaan dan keragu-raguannya. Karena itu maka apa pun yang pernah didengarnya tentang orang itu, namun ia akan mengambil sikap yang paling hati-hati. Ia harus menjaga dirinya baik-baik.

“Agni.” berkata laki-laki itu, “mungkin kau pernah mendengar serba sedikit tentang diriku. Tetapi Ternyata sekarang aku datang mencarimu. Anggaplah bahwa tidak ada suatu perubahan apa pun tentang aku. Anggaplah seandainya kau pernah mendengar serba sedikit tentang aku, itu sama sekali tidak benar. Aku masih tetap ingin mendapatkan hadiah yang sebesar-besarnya dengan menemukanmu. Meskipun aku dapat berbuat seperti Kebo Sindet, menyembunyikan kau dan menuntut agar kau ditukar dengan harta benda, meskipun setelah harta benda itu diterima, kau pasti akan dibunuhnya juga, tetapi aku akan berbuat lain. Aku akan membebaskanmu. Aku akan menjadi seorang pahlawan. Dan aku akan mendapat harta yang aku kehendaki seperti yang diingini oleh Kebo Sindet. Bedanya, Kebo Sindet akan selalu dikejar-kejar oleh Akuwu Tunggul Ametung yang pasti tidak akan dapat kami kalahkan karena pusaka penggadanya yang nggegirisi itu, sedang aku akan disanjungnya sebagai seorang pahlawan yang telah membebaskan kau.”

Kesan di dalam hati Mahisa Agni tentang laki-laki itu segera larut seperti awan yang disapu angin kencang. Sekali lagi ia menggeretakkan giginya. Terdengar ia menggeram. “Licik. Kau ternyata lebih licik dari Kebo Sindet. Apakah dengan demikian kau sangka, aku tidak dapat berbicara dengan mulutku tentang engkau?”

“Oh, jadi kau tidak akan berterima kasih kepadaku apabila aku berbuat demikian?”

“Kau adalah sumber dari bencana ini.”

Laki-laki itu tertawa. Katanya, “Tetapi aku adalah pahlawan yang akan membebaskan kau dari bencana ini.”

“Itulah kelicikanmu. Dan kau akan digantung karenanya.”

Laki-laki itu masih tertawa. Katanya kemudian, “Bagaimanakah kalau aku berhasil merebutmu dari tangan Kebo Sindet dalam keadaan yang tidak dikehendaki oleh Permaisuri dan Akuwu Tunggul Ametung?”

“Maksudmu?” bertanya Mahisa Agni.

“Aku berkelahi dengan Kebo Sindet. Aku berhasil mengalahkannja. Tetapi sebelum ia lari, maka kau dibunuhnya lebih dahulu, sehingga aku tinggal dapat merebut mayatmu.”

Darah Mahisa Agni serasa mendidih mendengar jawaban itu. Tiba-tiba ia merenggangkan kakinya sambil bergumam. “Bunuhlah kalau kau ingin membunuh Mahisa Agni. Aku sudah bersedia tetapi aku tidak akan menyerahkan nyawaku seperti seekor kerbau di pembantaian.”

“Bagus, kau sudah terlalu jauh maju. Apakah Kebo Sindet selama ini telah memberimu ilmunya yang hitam itu?”

“Persetan dengan Kebo Sindet. Seperti sikapku terhadapmu, aku akan bersikap serupa terhadap Kebo Sindet.”

“He?” tiba-tiba laki-laki tertawa berkepanjangan, “sudah berapa lama kau berada di sini tanpa berbuat sesuatu. He?”

Mahisa Agni terdiam sejenak. Terbayang apa yang selalu dilakukan di sarang iblis kemundungan ini. Berlutut dan tunduk dalam-dalam. Menjatuhkan diri berguling-guling apabila ditampar pipinya. Jawabannya selalu tergagap ketakutan apabila dibentak oleh iblis itu.

Tiba-tiba suaranya meledak. “Tetapi itu bukan maksudku. Aku bukan pengecut yang sekedar menyembunyikan nyawa dengan mengorbankan harga diri.”

“Oh,” laki-laki itu mengerutkan keningnya, “bukan maksudmu sendiri? Lalu, apakah itu maksud Kebo Sindet.”

“Tidak.”

“Lalu siapa?”

Sekali lagi Mahisa Agni terdiam. Tetapi sorot Matanya menjadi merah seperti soga.

“Itu bukan urusanmu.” ia menggeram, “sekarang kalau kau ingin membunuhku, lakukanlah.”

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kau masih juga keras kepala. Aku memberi kau kesempatan untuk memilih. Sebenarnya aku ingin menyerahkan kau dengan baik. Tetapi kau sudah mengancamku untuk membuka rahasia. Karena itu, maka pilihan itu menjadi tidak terlampau menyenangkan. Yang pertama, apabila kau tidak melawan, kau akan tetap hidup. Kau aku bawa kepada permaisuri, tetapi dalam keadaan gagu. Aku akan memilin lidahmu dan membuat kau tidak dapat berkata-kata untuk waktu yang agak lama. Maaf, itu adalah karena pokalmu sendiri. Yang kedua, apabila kau melawan, maka kau akan aku bunuh. Mayatmulah yang akan abu bawa ke Tumapel. Tetapi itu akan lebih baik dari pada tubuhmu menjadi makanan buaya-buaya kerdil di rawa-rawa itu.”

Tubuh Mahisa Agni kemudian menggigil karena kemarahan yang sudah hampir tidak tertahankan lagi. Kebenciannya kepada orang itu telah mencapai puncaknya. Namun ia masih tetap sadar dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka ia tidak mau berbuat tergesa-gesa. Ia harus ber-hati-hati sekali.

Dadanya berdentangan ketika ia mendengar orang itu berkata, “Nah, Agni. Manakah yang kau pilih di antara keduanya?”

“Jangan banyak bicara lagi Empu. Kalau kau ingin membunuh cepatlah. Tetapi kau barus sadar pula bahwa aku pun ingin membunuhmu.”

Laki-laki itu tertawa. Katanya, “Apakah dengan permainan loncat-loncatan itu kau merasa mampu mengimbangi aku kini?”

“Persetan.” jawab Mahisa Agni, “Ayo berbuatlah.”

“Nanti dulu. Aku senang melihat kau ketakutan. Aku tidak ingin cepat-cepat berbuat sesuatu.”

Hampir saja Mahisa Agni meloncat menerkam laki-laki itu. Untunglah bahwa bekalnya kini menjadi semakin banyak untuk menghadapi keadaan yang demikian. Bahkan tiba-tiba ia menyadari, bahwa di dalam setiap benturan badaniah, maka kemarahan yang meluap-luap hanya akan membuat akalnya menjadi gelap. Itulah sebabnya. maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan lagi darahnya yang telah mendidih sampai di ubun-ubun.....

Dengan berusaha untuk menekan luapan perasaannya ia berkata, “Baiklah Empu. Kalau kau masih akan menunggu. Aku pun akan bersabar pula. Mungkin kau sedang mempertimbangkan apakah kau masih mampu berbuat sesuatu.”

Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Sekilas terbersit di dalam dadanya, pertanyaan tentang anak itu. Ternyata Mahisa Agni telah menjadi semakin mengendap dan mampu menahan diri menghadapi sentuhan-sentuhan perasaan. Anak itu kini telah berhasil menahan diri, menenan kemarahan yang telah sampai membakar kepalanya.

Laki-laki itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih berkata, “Hem, agaknya kau menjadi semakin berhati-hati. Apakah gurumu yang baru, Kebo Sindet mengajarmu demikian?”

“Ya.” sahut Mahisa Agni pendek.

Sekali lagi orang itu mengerutkan keningnya.

Tetapi tiba-tiba wajahnya menegang. Dengan gemetar tangannya diangkatnya menunjuk kehidung Mahisa Agni. “Agni, Ternyata kau memilih cara yang kedua. Kau akan melawanku. Bukankah begitu?”

“Ya.” sahut Mahisa Agni pendek. Tetapi ia telah berhasil menahan hati untuk tidak dicengkam oleh kemarahannya sendiri. Justru dengan demikian ia mampu melihat lawannya dengan terang. Sikapnya, langkahnya dan bahkan yang agak mengejutkan adalah senjatanya. Sehingga dengan herannya ia bertanya, “Empu, baru sekarang aku melihat sesuatu yang lain daripadamu. Kenapa membawa pedang. Kenapa kau tidak membawa tongkat panjangmu?”

Laki-laki itu tertawa, katanya, “Kau memperhatikan senjataku pula? Baiklah, dengan pedang-pedang ini aku akan dengan mudahnya membunuhmu. Begitu?”

Mahisa Agni tidak menjawab, tetapi tampaklah dari sorot matanya, bahwa ia tidak mempercayainya.

“Oh, kau tidak percaya?” laki-laki itu menebak perasaannya, “Baiklah. Kalau begitu aku akan berterus terang. Tongkatku telah aku berikan kepada muridku. Nah, apakah kau sekarang percaya?”

Mahisa Agni masih saja berdiam diri.

“Nah, sekarang aku akan sampai pada rencanaku. Kalau mungkin aku akan membuatmu pingsan saja. Kemudian sesudah aku rusakkan lidahmu, maka kau akan aku serahkan kepada adikmu. Aku akan menerima hadiah yang cukup besar. Menurut perhitunganku, hadiahnya pasti akan lebih besar seandainya aku menyerahkanmu hidup-hidup.”

Terdengar Mahisa itu menggeram. Tetapi sekali lagi ia menekan perasaannya untuk tidak membakar akalnya.

“Kau tidak marah? Apakah kau telah benar-benar menjadi seorang pengecut setelah sekian lama kau berada di sini.”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi Mahisa Agni. Tetapi ia masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Namun kesiagaannya menjadi semakin mantap.

Ternyata laki-laki itulah yang kemudian tidak sabar menunggu. Perlahan-lahan ia melangkah maju sambil berkata, “Bersiaplah. Aku akan segera membunuhmu.”

Mahisa Agni memang sudah bersiap sejak lama. Karena itu, maka ia tidak merubah sikapnya.

Tetapi Mahisa Agni menjadi semakin heran melihat gerak orang itu. Orang itu melangkah saja seenaknya mendekatinya. Beberapa langkah daripadanya kedua belah tangannya terjulur sambil berkata, “Aku akan mencekikmu, tetapi tidak sampai mati.”

Betapa laki-laki itu telah menghina Mahisa Agni. Bagaimanapun juga penghinaan itu tidak akan dapat ditahankanya. Karena itu, maka Mahisa Agni sudah tidak dapat mengekang diri lagi. Terdengar ia menggeram, dan tiba-tiba saja tubuhnya melenting dengan cepatnya. Kakinya terjulur lurus mengarah ke lambung orang itu.

“Oh.” Ternyata orang itu terperanjat. Benar-benar terperanjat. Kecepatan gerak Mahisa Agni itu sama sekali tidak terduga-duga. Karena itu maka dengan tergesa-gesa ia meloncat menghindarinya.

Tetapi sekali lagi ia terkejut. Ternyata serangan berikutnya telah mengejarnya.

Dengan demikian maka sekali lagi ia terpaksa meloncat menghindar. Kali ini orang itu melontar cukup jauh, sehingga ia sempat untuk menyiapkan dirinya menerima serangan Mahisa Agni berikutnya yang datang seperti badai.

“Bukan main.” desis orang itu, “kau maju pesat sekali Agni, Ternyata gurumu benar-benar mampu menuntunmu. Kau akan menjadi murid Kebo Sindet yang jauh lebih baik dari Kuda Sempana.”

Mahisa Agni sama sekali tidak bernafsu untuk menjawab. Namun geraknya menjadi lebih lincah dan mantap. Serangannya beruntun berurutan sehingga lawannya terpaksa meloncat surut beberapa kali.

Tetapi Mabisa Agni mengerti, bahwa tidak hanya sekian jauh nilai lawannya. Itulah sebabnya, maka ia pun telah bersiap untuk bertempur dalam tataran yang lebih tinggi.

Ternyata perhitungan Mahisa Agni itu tidak meleset. Sesaat kemudian lawannya tidak mau lagi hanya berloncatan mundur dan menghindar. Pada saatnya, maka mulailah lawannya itu melakukan serangan untuk mematahkan serangan-serangan Mahisa Agni.

Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin sengit. Masing-masing mencoba mencari kelemahan lawannya. Dengan gerak yang berubah-ubah Mahisa Agni mencoba untuk mendesak lawannya. Namun lawannya pun memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak daripadanya sehingga mampu untuk melakukan gerak memotong hampir setiap serangan Mahisa Agni.

Meskipun demikian, Ternyata bahwa Mahisa Agni kini bukan Mahisa Agni beberapa waktu yang lampau. Meskipun belum sampai pada tataran Kebo Sindet, tetapi lawan Mahisa Agni itu tidak dapat menguasainya sepenuhnya. Setiap kali ia dikejutkan oleh gerak Mahisa Agni yang terlampau cepat. Terlampau cepat menurut perhitungannya, bahwa gerak itu dapat dilakukan oleh Mahisa Agni.

“Anak ini benar luar biasa.” berkata laki-laki itu di dalam hatinya, “ia sudah mendapat kemajuan yang tidak aku duga.”

Dengan demikian maka laki-laki itu pun harus mengerahkan sebagian besar dari tenaga dan kemampuannya untuk melawan Mahisa Agni itu.

Perkelahian itu semakin seru dan seru. Mereka berloncatan seperti ayam-ayam jantan sedang berlaga. Melontar dan menyerang dengan dahsyatnya. Sentuhan-sentuhan tangan mereka pada pepohonan telah menimbulkan goncangan-goncangan yang keras, sehingga ranting-ranting dan daun-daun yang sudah mulai kuning berguguran di tanah, seolah-olah hujan bunga yang turun dari langit, mengagumi dua orang yang sedang bertempur dengan dahsyatnya itu.

“Hem.” berkata laki-laki itu di dalam hati, “aku kini benar-benar tidak dapat berbuat sekehendak hatiku atasnya. Kini bukan akulah yang menentukan bentuk dari perkelahian ini. Tetapi kekuatan dan kecepatannya bergerak benar-benar merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan.”

Namun sementara itu Mahisa Agni pun menyadari, bahwa ilmunya masih belum dapat menyamai ilmu lawannya. Betapa ia mengerahkan segenap kemampuannya, namun ia merasa, bahwa akhirnya dengan cara yang demikian, ia pasti tidak akan dapat berbuat lebih banyak lagi. Karena itu ia harus berbuat lain. Ia harus mencari cara untuk setidak-tidaknya memperpanjang waktu perlawanannya, sehingga ia menemukan kesempatan untuk melepaskan diri atau mati.

Pada saat lawannya kemudian mengerahkan tenaganya, maka terasa betapa Mahisa Agni menjadi semakin terdesak. Kini anak muda itulah yang terpaksa harus meloncat surut setiap kali. Menghindari serangan yang semakin lama semakin dahsyat.

Ketika Mahisa Agni merasa bahwa ia sudah tidak akan tahan lebih lama dengan cara itu, maka tiba-tiba ia melenting tinggi. Digapainya sepotong sulur batang preh yang berjuntai hampir sampai ketanah. Dengan kekuatan yang luar biasa direnggutnya sulur preh itu sehingga berderak patah.

“He.” teriak lawannya berkelahi, “apakah yang sedang kau lakukan.”

Tetapi Mahisa Agni tidak menyahut. Akar preh itu di putar di atas kepalanya seperti baling-baling, kemudian anak muda itu meloncat maju dengan garangnya.

Kini sekali lagi Mahisa Agni melibat lawannya dengan akar preh yang dipergunakannya sebagai senjata. Ujungnja yang lentur Ternyata cukup berbahaya bagi lawannya. Agaknya tangan Mahisa Agni benar-benar mampu menguasai senjatanya, sehingga sulur preh itu rasa-rasanya mempunyai mata yang selalu dapat melihat tempat-tempat yang lemah dan berbahaya.

“He.” sekali lagi lawannya berteriak, “cara apakah yang kau pakai untuk melawanku ini? Senjata apakah namanya yang kau pergunakan itu?”

Mahisa Agni tidak menjawab, tetapi sulur pohon preh yang ditangannya berputar semakin cepat. Melingkar dan mematuk-matuk seperti ribuan ular menyerang bersama-sama.

“Hem.” lawannya berkata lagi, “ilmu sulur preh ini memang dahsyat sekali. Karena itu aku pasti tidak akan mampu melawannya tanpa bersenjata. Karena itu aku terpaksa mempergunakan senjataku. Sebenarnya aku segan menjentuh kulitmu dengan ujung pedangku. Tetapi apa boleh buat. Kau benar-benar telah membabi buta dengan permainan sulur prehmu itu.”

Laki-laki itu tidak menunggu mulutnya terkatub rapat. Tiba-tiba saja tangannya telah menggenggam pedang di tangan kanan dan sebuah pisau belati panjang di tangan kirinya.

“Nah.” katanya, “aku kini sudah bersenjata pula. Mudah-mudahan aku dapat melawan senjatamu yang aneh itu.”

Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Tetapi tiba-tiba wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Ternyata orang yang biasa mempergunakan sebatang tongkat panjang itu, mampu mempermainkannya dengan dahsyatnya. Kedua pedang itu saling bergulung dalam suatu gumpalan maut yang mengerikan.

“Bukan main,” Mahisa Agni menggeram di hatinya, “ilmu pedang ini benar sulit untuk ditembus. Apalagi hanya sekedar dengan sebatang sulur.”

Tetapi Mahisa Agni tidak boleh berputus asa menghadapi keadaan yang betapapun beratnya.

Karena itu maka ia pun semakin memperketat serangannya. Ia masih mencoba untuk mencari kemungkinan menemukan lubang-lubang pertahanan lawannya.

Tetapi sepasang senjata lawannya benar-benar merupakan perisai yang sangat rapat. Tidak ada kesempatan sama sekali bagi Mahisa Agni. Bahkan ketika sulur prehnya mematuk dari ataspun, terasa sulur itu bergetar. Ketika sulur itu di tariknya, maka ujungnya telah tertebas beberapa cengkang.

“Bukan main, bukan main.” berkali-kali Mahisa Agni memuji permainan pedang itu di dalam hatinya. Ia mengenal orang itu dengan senjatanya yang khusus. Sebatang tongkat panjang sebagai ciri kebesarannya. Dengan tongkat panjangnya, orang itu hampir-hampir tidak terkalahkan. Tetapi Ternyata ia tidak hanya mampu mempergunakan senjatanya yang khusus. Kini ternyata ia mampu menggerakkan sepasang pedang dengan dahsyatnya, awan yang putih bergumpal-gumpal menyelubunginya.

Setelah sekian lama bertempur dengan sekuat tenaganya, bahkan kadang-kadang Mahisa Agni harus mengerahkan tenaganya berlebih-lebihan, maka semakin lama tenaga anak muda itu menjadi semakin susut. Sementara itu matahari yang merayap di langit menjadi semakin jauh melampaui titik puncak langit. Tanpa mereka sadari maka keduanya telah berkelahi lebih dari setengah hari.

Meskipun lawan Mahisa Agni itu semakin lama menjadi semakin melihat kelemahan lawannya, tetapi apa yang dihadapinya benar-benar mengherankan. Setengah hari ia sudah melakukan perlawanan. Tetapi benar-benar di luar dugaannya, bahwa ia masih belum mampu menguasai lawannya sepenuhnya. Setiap kali ia masih dikejutkan oleh serangan-serangan Mahisa Agni dengan bentuk tata gerak yang sangat dikaguminya.

Tetapi laki-laki tua itu pun melihat bahwa ketika matahari telah mulai menurun, tenaga Mahisa Agni yang diperasnya berlebih-lebihan itu sudah mulai susut. Maka ketika Mahisa Agni terdorong beberapa langkah surut, orang itu tertawa sambil berkata, “Nah, Mahisa Agni, tenagamu sudah menjadi susut. Aku akan melihat apakah kau mampu berkelahi sampai matahari terbenam.”

Mahisa Agni menggeram. Ia merasakan pula bahwa tenaganya memang telah mulai susut. Tetapi ia pun menyadari bahwa ia telah mengerahkan tenaganya agak berlebih-lebihan. Seandainya ia tidak harus melawan orang tua itu, maka ia tidak akan segera menjadi lelah. Kalau ia harus bertempur kekuatan ilmu yang sebayanya, maka ia akan tahan berkelahi empat hari empat malam tanpa berhenti. Tetapi lawannya kini ada ditataran yang lebih tinggi. Dengan demikian maka ia harus berbuat terlampau banyak, meskipun perlawanan yang diberikan kali ini jauh lebih banyak dari perlawanannya pada masa-masa lampau.

Memang sebagai seorang laki-laki Mahisa Agni tidak dapat mengharapkan bantuan orang lain, namun kadang-kadang terbersit pula di dalam hatinya, harapan, bahwa ia akan dapat lepas dari tangan orang ini. Ia merasa masih mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan persoalannya dengan Kebo Sindet. Tetapi tiba-tiba orang ini datang merusak rencananya. Tetapi ia tidak akan dapat menghindar. Ia harus melawan, apa pun yang terjadi.

Semakin lama maka perkelaian itu menjadi semakin dahsyat. Mahisa Agni mencoba mempergunakan segenap sisa-sisa tenaganya untuk mematahkan serangan-serangan pedang lawannya. Tetapi ia tidak mampu melakukannya. Apalagi nafasnja kemudian mulai berdesakan di lubang hidungnya.

“Aku tidak dapat melawannya terus-menerus.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “aku harus mengurangi tenaganya. Kalau mungkin membuatnya lelah seperti aku.”

Sesaat kemudian ketika tekanan orang itu hampir tidak terhindarkan lagi, maka Mahisa Agni telah mencoba dengan sekuat tenaganya untuk melibat pedang orang tua itu dengan ujung sulurnya. Setidak-tidaknya ia akan mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu selama pedang itu belum dapat diurai.

Namun alangkah terkejut Mahisa Agni ketika sentuhan senjatanya atas pedang lawannya, telah menggetarkan tangannya. Sejenak kemudian ia merasakan suatu tarikan yang keras. Meskipun Mahisa Agni tidak melepaskan pangkal senjatanya, tetapi kemudian disadarinya bahwa senjatanya telah terpotong hampir separo.

Mengalami kejadian itu, maka tidak ada jalan lain baginya dari pada menghindar sejenak. Karena itu, maka segera ia melontar beberapa langkah surut.

Kini tidak ada jalan lain baginya selain mempergunakan cara perlawanan yang terakhir. Setidak-tidaknya ia akan membuat lawannya menjadi lelah. Apalagi setelah senjatanya terputus hampir separo. Ia sudah tidak ingin lagi mempergunakan senjata serupa dengan merenggutnya lagi dari pohon preh di samping tempat mereka bertempur. Senjata yang serupa ternyata tidak akan banyak bermanfaat untuk melawan ilmu pedang lawannya yang dahsyat itu.

Mahisa Agni pun sama sekali tidak ingin mempergunakan ilmu pamungkasnja. Ia menyadari bahwa hal itu pun tidak akan banyak berarti. Bahkan benturan antara Aji tertingginya dengan ilmu laki-laki itu pasti tidak akan menguntungkannya lagi, Mahisa Agni terpaksa mengaguminya. Sepasang senjata itu pun seolah-olah memiliki mata yang tajam, yang dapat melihat setiap batu yang menyambarnya.

Setiap kali terdengarlah senjata-senjata itu berdentangan. Setiap kali senjata-senjata itu membentur batu-batu kerikil yang dilemparkan oleh Mahisa Agni.

“He, Mahisa Agni.” teriak laki-laki tua itu, “ilmu apakah yang kau pergunakan ini? Ilmu batu kerikil?”

Mahisa Agni tidak menjawab. Dipungutinya batu-batu kerikil yang berserakan. Satu-satu batu itu melontar dari tangannya, seperti batu-batu itu sendiri yang berloncatan.

“Apakah akan kau kuras habis batu-batu kerikil di kandang Kebo Sindet.”

Mahisa Agni masih tetap membisu. Tetapi tangannya semakin cepat bergerak, dan batu-batu kerikil pun semakin bayak berloncatan.

“Ternyata kau seperti juga pamanmu Empu Gandring, lebih senang melempar-lempar lawannya dengan batu-batu kerikil.” berkata laki-laki tua itu sambil berloncatan dan memutar senjatanya menangkis serangan-serangan Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni seakan-akan tidak mempedulikannya. Ia masih sibuk melempar lawannya dengan batu-batu kecil.

Namun, dengan demikian usahanya ternyata cukup berhasil. Ia pasti akan dapat membuat lawannya menjadi lelah. Dengan demikian maka ada suatu saat ia akan dapat berbuat sesuatu, memberi serangan-serangan yang sebenarnya, yang akan dapat mempengaruhi lawannya yang perkasa itu.

Sejenak orang tua itu masih terpaksa meloncat-loncat sambil menangkis batu-batu yang dilemparkan oleh Mahisa Agni dengan senjatanya. Ia tidak dapat membiarkan batu-batu itu menyentuh tubuhnya. Benturan-benturan pada senjatanya memberitahukan kepadanya bahwa tenaga Mahisa Agni ternyata cukup kuat, sehingga akan mampu menyakitinya apabila lemparan itu dapat mengenainya.

“Apakah kau tidak dapat berbuat lain dari pada dengan ilmu kerikilmu itu.” bertanya orang tua itu sambil melontar-lontarkan dirinya dan memutar senjatanya.

Mahisa Agni masih saja tetap berdiam diri. Bahkan ia menjadi semakin cepat melontar-lontarkan batu kerikilnya. Kini ia telah berjongkok. Tangannya semakin cepat bergerak, supaya orang tua itu semakin cepat menjadi lelah.

“Bukan main.” desis lawannya itu di dalam hati, “tangannya menjadi demikian cekatan. Hampir tidak tampak gerak jari dan pergelangan tangannya, tetapi batu-batu kerikil itu terlontar juga kearah yang dikebendakinya.”

Sementara itu laki-laki tua itu masih harus bekerja keras. Tetapi apa yang dilakukan oleh Mahisa Agni itu ternyata hanya akan mempercepat penyelesaian dari perkelahian itu.

Sejenak kemudian laki-laki itu berkata, “Mahisa Agni. Aku mengerti bahwa kau ingin membuat aku lelah, supaya tenagaku susut seperti tenagamu. Tetapi apa yang kau lakukan itu membuat aku menjadi semakin bernafsu untuk menangkapmu sebelum aku menjadi kehabisan tenaga. Kau dengar?”

Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Apakah yang akan dilakukan oleh laki-laki tua itu.

Dengan demikian maka Mahisa Agni menjadi semakin berhati-hati. Ia berkisar beberapa langkah untuk mendapatkan tempat yang masih banyak bertebaran batu-batu kerikil yang cukup besar untuk melempar lawannya. Ia tidak mau lawannya itu mendahuluinya. Karena itu, maka ia pun segera menyerangnya semakin sengit. Batu-batu yang berterbangan menjadi semakin banyak mengarah ke segenap tubuh laki-laki itu. Tetapi, sepasang senjatanya benar-benar merupakan perisai yang sangat rapat. Meskipun demikian sekali-sekali ia masih harus meloncat menghindar apabila satu dua batu berhasil melampaui putaran pedangnya.

Namun kini laki-laki itu tidak hanya sekedar menangkis dan menghindar. Beberapa langkah ia bergerak maju sambil berloncatan. Semakin lama semakin mendekati Mahisa Agni.

Tetapi Mahisa Agni mengetahuinya pula, sehingga ia pun selalu bergeser mundur.

“Hem, inikah caramu berkelahi? Apakah cara ini dapat disebut jujur dan jantan?”

Mahisa Agni tidak ingin menjawab. Tetapi terasa harga dirinya tersentuh. Karena itu maka ia menggeram, “Aku tidak bersenjata.”

“Apakah kau ingin mempergunakan salah satu dari senjataku supaya kau tidak usah memunguti batu-batu kerikil?”

Terasa sesuatu berdesir didalam dada Mahisa Agni. Memang terasa olehnya bahwa perlawanannya kali ini atas laki-laki tua itu kurang sewajarnya. Ia masih belum menguasai ilmu itu sebaik-baiknya, sehingga ia masih belum dapat menunjukkan nilai dari perlawanannya yang seolah-olah tanpa perhitungan melempar-lempar dengan batu begitu saja asal melempar sebanyak-banyaknya.

“Bagaimana?”

Mahisa Agni mendengar lawannya bertanya pula. Dan Mahisa Agni pun menjawab, “Aku tidak memerlukannya. Aku cukup mempergunakan senjata apa saja aku pegang dengan tanganku.”

“O, batu-batu kerikil, sulur pohon preh dan kemudian pasir dan tanah kau hambur-hamburkan kemataku? Inikah seorang laki-laki yang sedang berkelahi?”

Terasa darah Mahisa Agni seakan-akan tersirat kekepalanya. Tetapi dengan serta merta pula ia menjawab, “Dan kau hanya berani berkelahi dengan orang-orang yang pasti tidak akan dapat melawanmu.”

“Itu bukan salahku, kenapa kau tidak mampu mengimbangi ilmuku. Sebenarnya aku memang tidak ingin berkelahi melawanmu. Aku hanya akan menangkapmu. Salahmulah kalau kau mengadakan perlawanan sehingga terpaksa aku berkelahi. “

“Sekehendakku pula bagaimana caraku melawanmu, Dengan batu, sulur atau tanah dan pasir.”

Laki-laki tua itu menggeram, katanya, “Bagus. Kalau begitu kau benar-benar harus menjadi korban. Kau tidak melihat kenyataan yang kau hadapi, bahwa kau pasti tidak akan dapat melawanku.”

“Kau hanya dapat menangkap aku sesudah aku mati.” sahut Mahisa Agni dengan pasti.

Laki-laki itu tidak berkata-kata lagi. Tandangnya menjadi semakin cepat dan garang. Seperti burung srigunting ia berloncatan dengan lincahnya, meskipun batu-batu Mahisa Agni semakin banyak berterbangan. Bahkan orang itu mampu mendekati Mahisa Agni semakin dekat.

Akhirnya, Mahisa Agni pun sampai pada suatu kesimpulan bahwa perlawanannya segera akan berakhir. Nyawanya pun segera akan terbang meninggalkan tubuhnya.

Sejenak ia menjadi ragu-ragu menghadapi keadaannya. Ia telah mempersiapkan dirinya sekian lama dan dengan berbagai macam pengorbanan dan penderitaan untuk menghadapi Kebo Sindet. Ia ingin berbuat sesuatu karena perlakuan Kebo Sindet atasnya. Tetapi tiba-tiba datang orang lain untuk merenggut jiwanya.

Tetapi ia membenci orang ini seperti ia membenci Kebo Sindet. Karena itu, maka seandainya ia harus mati, maka ia harus mati sebagai seorang laki-laki.

Hati Mahisa Agni pun menjadi semakin mantap menghadapi lawannya. Tiba-tiba ia pun meloncat. Ditinggalkannya caranya melawan orang itu dengan ilmu lemparannya yang sama sekali belum sempurna. Kini sekali lagi ia merenggut sulur pohon preh yang tumbuh di dekat tempat ia berkelahi. Dengan sulur preh itulah maka ia akan mengadakan perlawanan terakhir.

Maka sejenak kemudian mereka pun telah terlibat dalam perkelahian yang sengit pula. Tetapi tenaga Mahisa Agni benar-benar telah menjadi susut. Meskipun demikian ia melihat tenaga orang tua itu pun telah menjadi surut setelah ia berloncat-loncatan beberapa lama. Namun meskipun demikian, tenaga orang itu masih terasa terlampau kuat buat Mahisa Agni yang lelah, sehingga beberapa kali senjata laki-laki tua itu hampir menyentuh tubuhnya.

Tetapi Mahisa Agni sudah bertekad untuk melawan sampai mati. Ia tidak ingin tertangkap hidup-hidup. Perlawanannya akan berakhir bersama dengan umurnya. Karena itulah maka perlawanannya menjadi sangat gigih. Betapa tenaganya semakin susut, namun tekadnya justru menjadi semakin bulat. Dan tekad yang bulat itulah agaknya, yang seolah-olah selalu memberikan tenaga baru kepadanya.

Demikianlah maka sulur preh ditangannya itu pun berputar dengan cepatnya di atas kepalanya. Sekali-sekali melecut dan sekali-sekali mematuk.

Tetapi bagi laki-laki tua itu perlawanan Mahisa Agni kini sudah tidak sedahsyat semula. Tenaga anak muda itu yang terperas benar-benar telah menyulitkannya. Dengan demikian, maka ia pun menjadi semakin terdesak.

Ketika keadaannja menjadi semakin sulit, maka perlawanannya pun menjadi semakin tidak terarah. Kini ia tinggal bertahan untuk tidak dapat ditangkap hidup-hidup oleh laki-laki tua itu. Ia harus bertahan terus sehingga ujung pedang lawannya itu benar-benar membenam di dadanya. Tidak hanya sekedar melukainya.

Tetapi Mahisa Agni tidak dapat menentukan akhir perkelahian itu menurut kehendaknya. Sebagian besar dari perkelahian ini sudah tergantung pada lawannya, apa pun yang akan diperbuatnya.

Maka kemudian terulanglah apa yang sudah terjadi. Tiba-tiba saja pedang-pedang lawannya itu berhasil memutus senjatanya. Secengkang, kemudian secengkang lagi. Berturut-turut seolah-olah dengan dirinya ia membuat Mahisa Agni jatuh kehabisan tenaga.

Dalam saat-saat terakhir itu Mahisa Agni mencoba mengerahkan segenap sisa-sisa tenaganya. Dengan senjatanya yang menjadi semakin pendek ia menyerang sejadi-jadinya. Namun dengan darah yang bergelora ia terpaksa melihat senjatanya itu terpotong sekali lagi. Kali ini tidak hanya secengkang, tetapi yang digenggamnyalah yang tinggal terlampau pendek. Secengkang dari genggamannya.

Tubuh Mahisa Agni itu pun tiba-tiba menjadi bergetar oleh kemarahan yang membara di dadanya. Kini ia sudah tidak bersenjata lagi. Tetapi ia tidak ingin menyerah. Itulah sebabnya maka ia akan melakukan perlawanannya yang terakhir. Berkelahi sampai mati. Dan cara yang dipilihnya kali ini adalah membenturkan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang kini telah ditekuni menjadi semakin nggegirisi. Meskipun dalam benturan yang akan terjadi ia akan binasa, namun memang memilih jalan itu dari pada tertangkap hidup-hidup sebagai barang dagangan, setelah ia menjadi cacat,

Mahisa Agni itu pun kemudian tidak mendapat kesempatan lagi untuk mempertimbangkan terlampau lama. Ia harus cepat mengambil keputusan sebelum ia jatuh ketangan orang tua itu.

Karena itu maka Mahisa Agni pun segera meloncat surut beberapa langkah untuk mendapat waktu memusatkan segenap kekuatannya dalam ilmu pamungkasnya, Gundala Sasra. Waktu yang diperlukan dalam keadaannya kini, hanyalah sekejap saja. Sehingga lawannya yang terkejut melihat sikapnya, tidak mendapat kesempatan lagi untuk mencegahnya.

Ketika Mahisa Agni telah siap dengan kekuatan terakhirnya, maka segera ia meloncat maju, mengayunkan tangannya untuk membenturkan kekuatan Aji Gundala Sasra. Ia menyangka bahwa lawannya pun pasti akan melepaskan Aji pamungkasnja pula. Aji yang tidak kalah dahsyatnya, Kala Bama.

Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika ia melihat lawannya itu sama sekali tidak bersikap melawan serangannya dengan sebuah benturan yang akan dapat mematikannya. Ia melihat lawannya terkejut. Tetapi kemudian justru melepaskan kedua senjatanya dan menyilangkan tangannya.

Namun Mahisa Agni sudah tidak sempat membuat penilaian lagi. Loncatannya yang terlampau cepat seperti tatit yang menyambar di langit tidak memberinya kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang tumbuh di dalam dadanya.

Sejenak kemudian tangannya telah terayun dengan derasnya, langsung mengenai pundak lawannya yang berdiri tegang sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Ternyata lawannya benar-benar tidak berusaha membentur serangannya. Meskipun demikian, tetapi lawannya itu pun tidak membiarkan tubuhnya lumat oleh Aji Gundala Sasra.

Ketika tangan Mahisa Agni membentur tubuh orang itu, maka terasa seolah-olah tangannya itu menyentuh seonggok baja yang tidak terduga betapa kerasnya. Mahisa Agni merasakan kekuatan yang tersalur pada tangannya itu menggelegak pada telapak tangannya. Kekuatan yang dilepaskan telah menyentak di dalam tubuhnya sendiri. Terasa sesuatu seakan-akan meledak di dalam dadanya Cepat ia memusatkan segenap daya tahannya. Mencoba untuk manahan sentakan yang mengejut di dalam dirinya. Namun demikian Mahisa Agni itu pun terlempar surut beberapa langkah dan terbanting jatuh di tanah. Yang terakhir diingatnya adalah, bahwa tubuhnya serasa pecah karena kekuatan Aji Gundala Sasra. Tetapi itulah yang diharapkannya, daripada menjadi tangkapan hidup-hidup. Menjadi rebutan antara orang-orang jahat yang mencoba memperdagangkannya.

Tetapi Ternyata Mahisa Agni tidak mati. Mahisa Agni yang terlempar dan terbanting di tanah itu hanyalah sekedar pingsan karena lawannya dirinya tidak membentur serangannya, Seandainya tidak demikian, maka akibatnya pun pasti akan berbeda.

Sementara itu angin yang sejuk telah mengusap tubuh Mahisa Agni yang terbaring diam. Dedaunan yang bergerak-gerak di sekitanya berdesir lembut, seolah-olah sedang saling membisikkan nama Mahisa Agni yang sedang pingsan itu.

Namun angin yang segar yang mengalir perlahan-lahan telah menyegarkan tubuh Mahisa Agni yang sedang pingsan itu. Ia tidak tahu, berapa lama ia berbaring diam. Tetapi ketika ia kemudian telah dapat mencoba membuka matanya dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri disampingnya.

Terdengar Mahisa Agni yang lemah itu menggeram. Ia meloncat dan mencekik lawannya. Tetapi ia tidak mampu untuk bergerak. Bahkan bernafas pun hampir tidak dapat dilakukannya.

Anak muda itu mengumpat di dalam hati ketika ia melihat laki-laki ia berjongkok di sampingnya. Kini ia tahu, bahwa laki-laki tua itu dirinya tidak membentur Aji Gundala Sasra supaya ia tidak mati. Orang itu hanya membangun kekuatannya untuk menerima serangannya dan melumpuhkan lawannya dengan kekuatan lawan itu sendiri.

Meskipun demikian, Mahisa Agni melihat bahwa orang tua itu menjadi pucat dan gemetar. Bahkan kemudian Mahisa Agni mendengar orang itu berdesis, “Agni, kekuatan Ajimu benar-benar luar biasa. Aku tidak menyangka bahwa kau sudah sampai pada tataran ini, sehingga aku hampir-hampir pingsan dibuatnya.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi dadanya yang sesak itu terasa semakin sesak.

“Kalau aku tidak segera berhasil mengerahkan daya tahan yang ada di dalam diriku dalam lindungan Aji Kala Bama, maka aku kira aku pun akan menjadi lumat.”

“Ah” terdengar Mahisa Agni berdesah, “kenapa aku tidak mati atau kenapa kau tidak membunuhku saja.”

Mahisa Agni menjadi sangat muak ketika melihat orang itu tersenyum.

“Aku memang tidak ingin membunuhmu Agni.”

“Persetan. Ayo, bunuhlah aku. Kalau aku nanti menjadi kuat kembali, maka kaulah yang pasti akan aku bunuh.”

“Jangan berkata begitu.”

“Aku akan membunuhmu.” Mahisa Agni berteriak. Tetapi karena itu maka terasa dadanya serasa menjadi retak. Sambil menyeringai Mahisa Agni mencoba menggerakkan tangannya. Perlahan-lahan ia berhasil. Ditekankannya tangannya itu di dadanya. Tetapi rasa nyeri dan pedih masih saja terasa menyengat jantungnya.

Sejenak kemudian Mahisa Agni memejamkan matanya. Kalau ia tidak mati, maka ia harus berhasil menenangkan darahnya yang serasa bergolak. Seandainya ia nanti mampu bangun dan berdiri, maka sudah ditetapkannya di dalam hatinya, bahwa ia akan mengulangi serangannya dalam kekuatan Aji Gundala Sasra. Meskipun kekuatan itu tidak akan melumpuhkan lawannya, tetapi biarlah seandainya ia sendiri yang binasa.

“Sudahlah Agni.” laki-laki tua itu kemudian berkata, “jangan kau gelisahkan dirimu dengan berbagai prasangka. Kau benar-benar luar biasa. Kau maju dengan pesatnya. Jauh diluar dugaanku semula.”

Tetapi bagi Mahisa Agni kata-kata itu tidak lebih dari kata-kata sindiran yang sangat menyakitkan hati. Seolah-olah laki-laki tua yang kini berjongkok di hadapannya itu menyeringaikan wajahnya yang pucat dengan penuh hinaan.

Karena itu maka dengan perasaan marah yang meluap-luap Mahisa Agni berkata, “Bunuhlah aku. Kau tidak akan dapat membawa aku hidup-hidup.”

“Agni.” berkata orang itu, “tenangkan hatimu. Pusatkan tenagamu untuk penyaluran ketahanan tubuhmu dalam tataran tertinggi. Kau tidak terlampau parah.”

“Aku sudah akan mati.” sahut Agni.

“Tidak. Lukamu tidak terlampau parah. Tetapi karena hatimu dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap, maka kau tidak dapat memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinmu.”

“Tidak ada gunanya.”

“Baiklah Agni. Kau tidak bersedia melakukannya karena kau melihat aku di sini. Tetapi biarlah orang lain menuntunmu untuk menyembuhkan luka-lukamu karena sentakan kekuatanmu itu sendiri.”

Mahisa Agni menjadi heran mendengar kata-kata orang tua itu. Tetapi belum lagi ia bertanya sesuatu, maka dilihatnya seseorang muncul dari balik gerumbul-gerumbul di sampingnya berbaring. Seorang tua yang ternyata berada di dekatnya dalam keadaannya itu.

“Guru.” desisnya.

“Ya, Agni.”

Namun Mahisa Agni kemudian dibakar oleh keheranannya. Agaknya gurunya telah lama berada di tempat itu. Orang tua itu sama sekali tidak heran dan terkejut melihat kehadiran laki-laki tua yang telah melukainya.

Kini orang tua itu, gurunya yang bernama Empu Purwa telah berjongkok pula di sampingnya, di sisi laki-laki tua yang melukainya itu.

Dengan nada yang dalam gurunya berkata, “Pusatkan daya tahanmu Agni. Marilah aku bantu supaya luka-luka di dalam tubuhmu itu dapat berkurang.”

Wajah Mahisa Agni benar-benar diwarnai oleh keheranan yang memuncak. Tetapi ia tidak sempat bertanya. Dirasakannya gurunya memegang pergelangan tangannya. Kemudian berkata pula. “Marilah Agni.”

Mahisa Agni pun segera memusatkan segenap kekuatan yang tersisa di dalam dirinya. Disalurkannya segenap kemampuan daya tahannya untuk melawan luka di dadanya. Terasa pula dari pergelangan tangannya seolah-olah tenaga yang segar mengalir kesegenap tubuhnya yang nyeri dan pedih.

Mahisa Agni berusaha mengatur jalan pernafasannya. Perlahan-lahan. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya yang masih saja bergolak Namun kini gurunya ada di sampingnya, sehingga lambat laun ia dapat menjadi tenang dan dapat memusatkan pikiran perasaan dan setiap getaran di dalam dirinya, untuk menahankan luka di dalam dirinya. Apalagi saluran kekuatan gurunya kini telah menjalari urat-urat nadinya pula, sehingga dengan demikian maka tubuhnya menjadi semakin lama semakin segar pula.

Akhirnya, luka-luka di dadanya itu tidak lagi sangat mengganggunya. Jantungnya tidak lagi digigit oleh kenyerian yang sangat, meskipun keadaan tubuhnya masih belum pulih sama sekali.

“Apakah keadaanmu sudah menjadi bertambah baik?” bertanya gurunya.

“Sudah guru.” sahut Mahisa Agni.

“Bangunlah.”

Perlahan-lahan Mahisa Agni mencoba untuk bangun. Bertelekan atas kedua tangan ia mengangkat kepalanya, kemudian badannya sehingga ia berhasil duduk di muka gurunya.

Empu Purwa pun kemudian mengambil sebutir obat dan memberikannya kepada muridnya. “Makanlah, kau akan segera menjadi sehat kembali. Tenagamu akan segera pulih. Setiap saat Kebo Sindet akan datang kembali ke pulau hantu ini. Dan ia akan menemuimu dalam keadaan yang wajar.”

Mahisa Agni segera menerima obat yang diberikan oleh gurunya itu dan kemudian menelannya. Perlahan-lahan ia merasakan sesuatu menyelusuri peredaran darahnya. Terasa tubuhnya menjadi hangat dan perlahan-lahan kekuatannya pun tumbuh kembali.

Ketika terasa tubuhnya telah menjadi segar, serta luka-luka di dadanya tidak mengganggunya lagi, maka tiba-tiba Mahisa Agni menyadari keganjilan yang dihadapinya. Ternyata gurunya sama sekali tidak berbuat sesuatu atas laki-laki yang telah melukainya. Terasa bahwa ada ketidak wajaran terjadi atas dirinya. Karena itu maka diberikannya dirinya kepada gurunya, “Empu, apakah yang sebenarnya terjadi atas diriku. Orang inilah yang bernama Empu Sada, yang telah melukai dadaku. Ia pulalah yang telah mendorong aku, ke dalam neraka ini dan menghambat usahaku membangun bendungan. Orang ini pernah bertemu dengan paman Empu Gandring dan yang pernah berusaha mencegat Ken Dedes di tengah- tengah hutan.”

Empu Purwa berpaling. Dipandanginya wajah Empu Sada. Namun kemudian ia berkata, “Ya, aku sudah mendengarnya Agni. Empu Sada sendiri tidak akan mengingkarinya. Tetapi sesuatu telah terjadi di dalam dirinya. Bukankah kau mendengar bahwa Empu Sada pulalah yang telah berkelahi melawan Wong Sarimpat sehingga Wong Sarimpat mati karenanya.”

“Ya guru. Tetapi itu adalah karena pertengkaran yang terjadi di antara mereka yang berebut rejeki.”

“Ya. Mungkin begitu. Tetapi mungkin pula tidak. Di dalam diri seseorang dapat berkembang perasaan dan nalar. Suatu ketika ia berpinjak pada suatu pendirian yang salah, perkembangan budi yang ada didalam dirinya telah menuntunnya kejalan yang lain. Peristiwa-peristiwa yang beruntun terjadi pada diri seseorang akan dapat mempengaruhi sikap dan pandangannya terhadap sesuatu persoalan.”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah gurunya dan Empu Sada berganti-ganti. Wajah gurunya yang tenang sejuk, seperti rimbunnya daun preh yang tumbuh di dekat tempat itu. Bagi Mahisa Agni wajah itu telah memberinya ketenangan lahir dan batin.

Di sisinya berjongkok pula seorang yang hampir sebaya dengan gurunya Empu Sada. Orang yang pernah mendorongnya ke dalam keadaan yang sampai saat ini masih dialaminya. Tetapi dalam keadaannya kini, Mahisa Agni memang melihat beberapa perubahan. Sejak ia bertemu dengan orang ini sebelum berkelahi, dilihatnya sorot mata yang berbeda dengan sorot mata Empu Sada beberapa waktu yang lampau. Tetapi ia tidak sempat mempertimbangkannya. Kebenciannya segera membakar hatinya, dan hilanglah segala macam perhitungan.

Apa yang dialaminya selama ia berada di dalam sarang iblis Kemundungan itu pun ternyata mempengaruhi perasaan dan nalarnya. Meskipun Mahisa Agni tidak mengarah ke dalam keadaan seperti yang diharapkan oleh Kebo Sindet, kehilangan keberanian dan harga diri, tetapi bahwa ia terpisah dari pergaulan yang layak telah menjadikannya kehilangan beberapa bentuk pertimbangan. Kejemuan yang tertahan-tahan membuat hatinya lekas bergejolak.

Mahisa Agni kini kekuatannya telah hampir pulih kembali. Hanya sekali-sekali terasa dadanya bergetar dan agak nyeri, tetapi sama sekali sudah tidak mengganggunya lagi.

“Kau sudah baik Agni?” bertanya gurunya.

“Sudah guru.” sahutnya.

“Nah, sekarang kau harus mencoba mengerti, bahwa kedatangan Empu Sada sama sekali tidak akan bermaksud buruk.”

“Tetapi ia masih ingin menangkap aku hidup-hidup guru Ia masih ingin membawa aku sebagai barang dagangan yang akan dijualnya kepada Ken Dedes dan Akuwu Tunggul Ametung.”

Empu Purwa tersenyum. Sekali ia berpaling kepada Empu Sada, kemudian katanya, “Tidak, Agni. Ia tidak ingin berbuat demikian lagi.”

“Mungkin karena guru segera datang.”

Empu Purwa menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku datang bersama Empu Sada.”

“Guru melihat aku berkelahi.”

“Ya.”

“Aku melepaskan Aji Gundala Sasra.”

“Ya.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Empu Sada yang telah dilukisi oleh garis-garis umurnya yang semakin banyak dan dalam. Terasa kini di dalam dirinya, perbedaan sorot mata orang tua itu. Sorot mata itu kini sudah tidak liar dan buas lagi. Sorot mata yang lain sama sekali dari sorot mata Empu Sada yang pernah dikenalnya dahulu.

“Tetapi.” tiba-tiba Mahisa Agni bertanya, “apakah maksudnya bahwa aku telah dipaksanya untuk berkelahi?”

Empu Purwa tersenyum-senyum mendengar pertanyaan itu. Ketika ia berpaling dan memandangi wajah Empu Sada, orang tua itu pun tersenyum pula.

“Agni.” berkata gurunya, “aku bertemu dengan Empu Sada pada saat Kebo Sindet datang ke sarangnya ini beberapa hari yang lalu. Aku telah mengatakan kepadanya apa yang sedang kau lakukan di sarang iblis ini. Agaknya Empu Sada ingin membuktikan sendiri, sampai dimana kau mendapat kemajuan selama ini. Ternyata cara yang ditempuhnya agaknya tidak kau senangi. Tetapi apabila tidak demikian, maka ia tidak akan dapat mengerti ukuran yang sebenarnya dari tingkat ilmumu sekarang.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk anggukkan kepalanya la berkata, “Aku dapat mengerti, tetapi aku benar-benar hampir mati karenanya.”

“Bukan maksudku Agni.” berkata Empu Sada kemudian, “dan aku pun telah menemukan ukuran, bahwa dengan demikian kau tidak akan mati. Bahkan aku agaknya terlampau rendah menilai ilmumu yang sekarang berkembang dengan pesatnya, sehingga jantungku sendiri terasa akan rontok membentur kekuatan Aji Gundala Sasra yang telah jauh maju.”

“Ah.” Mahisa Agni berdesah.

“Dengan demikian Agni.” berkata Empu Purwa kemudian, “kau dapat menilai dirimu pula. Kebo Sindet dan kami yang tua-tua ini pasti tidak akan terlampau banyak terpaut. Kini kau akan mendapat ukuran, bahwa kau masih belum mampu mengimbangi Kebo Sindet. Jarak itu masih agak jauh. Dan kau masih harus bekerja lebih keras lagi.”

Mahisa Agni yang kini telah duduk di hadapan gurunya dan Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku sudah terlampau jemu berada di sini guru.” katanya kemudian.

“Karena itu kau harus bekerja lebih keras Agni, supaya kau dapat segera melepaskan dirimu.” sahut gurunya, “aku sudah memberitahukan kepadamu Agni, bahwa aku dan sekarang Empu Sada tidak ingin membebaskan kau dengan cara yang terlampau biasa. Aku sekarang mendapat kawan untuk mengalahkan Kebo Sindet seandainya aku sendiri tidak mampu karena kekuatan kami berimbang. Tetapi dengan Empu Sada, kami berdua pasti akan dapat membunuhnya. Namun dengan demikian Kebo Sindet tidak akan mengalami goncangan perasaan yang dahsyat. Ia tidak akan terkejut. Adalah wajar, bahwa aku berdua dengan Empu Sada dapat mengalahkannya. Tetapi apabila ia harus berhadapan dengan kau sendiri, yang selama ini disangkanya telah kehilangan segala keberanian dan keinginan untuk lepas dari padanya, maka ia pasti akan terkejut sekali. Sikapmu yang seakan-akan kehilangan segala macam harga diri adalah suatu loncatan yang jauh, loncatan yang akan menentukan hari depanmu sendiri dan hari-hari terakhir bagi Kebo Sindet.”

Mahisa Agni tidak segera menjawab kata-kata gurunya. Meskipun ia dapat mengerti, tetapi ia hampir-hampir sudah tidak tahan lagi berada di sarang Kebo Sindet yang menjemukan itu. Bukan karena tekanan-tekanan badaniah yang harus ditanggungkannya, bukan pula karena pekerjaan-pekerjaan berat yang harus dilakukannya, tetapi berbagai hal selalu saja mengganggunya.

Karena itu maka sejenak kemudian ia berkata, “Guru, aku dapat mengerti, dan aku akan sangat senang melakukannya. Tetapi dengan demikian maka aku tidak dapat lagi berada di lingkungan pekerjaan yang sudah aku mulai. Bendungan di Padang Karautan seperti yang guru sendiri menghendaki.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya Agni. Kau memang tidak akan dapat melupakan pekerjaan yang kau tinggalkan setengah jalan itu. Aku pun dapat mengerti. Bahkan kau pasti merasa banyak kehilangan waktu selama kau berada di tempat ini. Tetapi Agni, kalau tidak sekarang, maka kapan kau akan mendapat kesempatan untuk memperdalam ilmumu? Mumpung kau masih cukup muda dan mumpung kesempatan ini datang kepadamu. Agni, kau tidak usah mencemaskan bendunganmu. Anak muda yang bernama Ken Arok itu telah melakukan apa saja yang akan kau lakukan. Orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel bekerja dengan baik sehingga pekerjaan itu pasti akan cepat selesai.”

Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Terbayanglah Padang rumput yang luas dan kering terbentang dihadapannya. Dikenangkannya bagaimana ia merentang tali dan memasang patok-patok di Padang yang panas itu. Kemudian terbayang pula, betapa kerja itu dimulai dengan penuh tekad yang menyala di dalam setiap orang Panawijen. Apalagi ketika Tunggal Ametung mengirimkan sepasukan pradjurit di bawah pimpinan Ken Arok, seorang Pelayan Dalam, untuk membantunya.

“Agni.” berkata gurunya, “kerja itu kini dipimpin oleh orang yang mengenal watak dan keadaan Padang yang kering itu. Tidak seorang pun yang lebih mengenal daerah itu selain Hantu Karautan. Dan hantu itu kini telah banyak sekali berbuat untuk merubah wajah Padang Karautan itu.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau dapat mengerti Agni?”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula.

“Ya, aku pun dapat merasakan kerinduanmu untuk segera keluar dari lingkungan ini. Kau di sini seakan-akan sedang berada dalam pengasingan yang sangat menjemukan. Bahkan setiap kali kau masih harus mengalami perlakuan yang kasar dan memuakkan dari Kebo Sindet yang ingin membuatmu kehilangan segala akal dan budi. Kehilangan keberanian dan harga diri. Dan agaknya kau sudah bermain bagus sekali sehingga sampai saat ini Kebo Sindet itu tidak mencurigaimu.”

“Ya guru.” jawab Agni “sampai saat ini Kebo Sindet masih menganggap aku menjadi semakin kehilangan nafsu untuk melepaskan diriku.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar