Pelangi Di Langit Singasari Jilid 31

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
“Ayo mari kita tentukan. Di mana kita akan berkelahi kalau kau hendak menghindari saksi-saksi. Mungkin kau tidak ingin mendapat malu, atau mungkin kau akan berbuat curang, mengingkari perjanjian ini.”

“Nanti kita tentukan, di mana kita akan menguji diri.”

“Tidak nanti, sekarang.”

Ken Arok menggeleng, “Tidak. Aku tidak mau. Aku harus menunggui orang-orang yang sedang bekerja itu sampai selesai supaya mereka tidak kehilangan gairah. Supaya mereka tidak merasa bahwa mereka kehilangan kesempatan mereka beristirahat karena kau.”

“Persetan dengan cecurut-cecurut itu. Itu adalah kuwajibannya. Melakukan perintah atasannya.”

“Sejak semula kita berbeda pendirian. Kita masih belum menentukan siapa yang kalah dan menang di antara kita. Karena itu sampai saat ini aku masih tetap pimpinan tertinggi dari setiap orang yang berada di Padang Karautan ini. Kau juga masih tetap di bawah perintahku. Tetapi aku beri kau keleluasaan. Kalau kau mau beristirahat, beristirahatlah. Jangan ganggu aku dengan cara-cara yang selalu aku lakukan selama ini. paga itu pasti siap sebelum malam.”

Darah Kebo Ijo serasa mendidih di kepalanya. Sikap Ken Arok benar-benar menyakitkan hatinya. Meskipun Ken Arok itu seolah-olah bersikap acuh tak acuh saja, namun justru sikap yang demikian itu terasa sangat mengganggu. Ternyata Ken Arok sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Ken Arok ternyata sama sekali tidak menjadi cemas, apalagi takut.

Tetapi Kebo Ijo pun cukup percaya kepada diri sendiri. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya akhir-akhir ini membuatnya semakin rongeh. Meskipun di hadapan gurunya ia tampak baik dan tenang, tetapi di saat-saat lain, di saat ia tidak bersama gurunya, maka kadang-kadang ia menyadi seperti kuda lepas kendali. Kini Kebo Ijo seolah-olah sudah tidak menghiraukan lagi peringatan-peringatan yang diberikan oleh Mahendra, seandainya ia dianggap bersalah. Tetapi ia masih segan terhadap kakak seperguruannya yang tertua, Witantra, yang kebetulan menyadi senapatinya pula di dalam susunan keprajuritan.

“Jadi apa maumu?” bertanya Kebo Ijo sambil menggeram.

“Nanti malam kita pergi ke sendang buatan. Kita akan mendapat banyak waktu untuk berkelahi. Semalam suntuk. Kalau masih juga belum selesai, kita teruskan malam berikutnya.”

“Bagus,” sahut Kebo Ijo lantang, “aku akan melayanimu empat puluh malam. Tetapi aku kira tidak sampai tengah malam aku sudah dapat menyelesaikannya.”

Sekali lagi terasa sebuah gejolak yang tajam melanda dinding-dinding jantung Ken Arok. Bahkan sejenak ia terdiam. Namun pandangan matanya menyadi semakin tajam. Meskipun demikian, Ken Arok selalu berusaha untuk tidak kehilangan keseimbangan perasaan.

Dan ia mendengar Kebo Ijo berkata terus ,“Bagaimana? Apakah kau tidak senang mendengar kata-kataku?”

“Ya, kata-katamu memang memuakkan,” jawab Ken Arok.

“Persetan. Adalah hakku untuk berkata apa saja sesuka hatiku. Kalau kau mau marah, marahlah. Jangan menunda kemarahanmu itu, supaya kau tidak akan kehilangan.”

“Aku memang marah, dan aku memang tidak ingin menyembunyikan kemarahan. Tetapi aku tidak pernah berbuat sesuatu dalam kemarahanku.”

“Bohong,” Kebo Ijo itu berteriak lagi, ”kau memang pembohong dan pengecut.”

“Jangan berteriak-teriak,” potong Ken Arok, ”jangan membuat kesan yang jelek terhadap para prajurit. Sebaiknya kau tersenyum dan kalau tidak mampu, pergilah beristirahat.”

Terdengar Kebo Ijo itu menggeram. Tetapi ia tidak berhasil memancing kemarahan Ken Arok sehingga kehilangan keseimbangan diri. Karena itu, maka Kebo Ijo itu sendirilah yang harus menahan diri dan menunda pelepasan kemarahannya sampai malam nanti.

Dengan wajah yang gelap ia berkata, “Baik, aku akan tidur. Sebelum malam paga itu harus sudah siap. Aku akan mengatur pakaianku sebelum gelap. Sesudah itu, aku akan pergi ke sendang buatan menunggumu.”

“Baik. Pergilah. Aku sudah muak mendengar suaramu dan melihat tampangmu,” sahut Ken Arok.

Kebo Ijo yang sudah mulai melangkahkan kakinya, bahkan tertegun. Ketika ia berpaling ia melihat Ken Arok berjalan meninggalkannya.

“Ke mana kau?” bertanya Kebo Ijo.

“Aku akan membantu orang-orang yang sedang bekerja itu.”

Sejenak Kebo Ijo terpaku di tempatnya. Perwira muda itu tidak mengerti sikap Ken Arok. Ia menerima tantangannya, namun sementara itu keperluannya dicukupinya. Ia tidak menolak permintaannya untuk membuat sebuah paga . Ia tidak membuat perintah lain kepada para prajurit itu, ia sama sekali tidak melarang, dan bahkan akan membantunya.

“Ah, betapa liciknya,” geram Kebo Ijo itu tiba-tiba, “ia ingin mempengaruhi perasaanku supaya aku kehilangan kemarahanku. Ia sengaja menunda perkelahian itu untuk meredakan hatiku. Ternyata ia kini dengan tanpa malu-malu telah membantu para prajurit menyiapkan keperluanku. Hem, kenapa ia tidak saja berterus-terang dan minta maaf kepadaku? Tetapi biarlah ia menyadari, bahwa aku tidak senang terhadap sikapnya yang cengeng. Aku tidak ingin memanjakan para prajurit di sini. Dan aku ingin mengurungkan perkelahian nanti malam meskipun barangkali aku tidak akan terlampau menyakitinya. Aku pernah mendengar beberapa kelebihan anak muda itu. Tetapi ia tidak pernah mendapat tuntunan secara teratur, sehingga mungkin ia hanya mampu berbuat beberapa kelebihan yang liar. Namun ia tidak dapat berbuat sesuka hatinya.”

Dengan wajah yang berkerut-kerut Kebo Ijo melangkah kembali ke dalam gubugnya. Gubug yang sangat menjemukan bagi Kebo Ijo yang baru saja menempatinya. Pakaiannya masih berada dalam sebuah keranjang yang diletakkannya di samping tikar pembaringannya.

“Ken Arok memang pemalas. Ia dapat memerintahkan beberapa prajurit menjiapkan sebuah amben, sebuah paga, dan kalau mungkin sebuah geledeg kayu. Tetapi di sini tidak ada apa-apa selain rumput kering dan tikar pandan yang kasar ini.”

Sementara itu, Ken Arok telah berada di antara para prajurit yang sedang bekerja membuat paga. Beberapa orang melihat sikap Kebo Ijo yang aneh dari kejauhan. Bahkan ada yang melihat anak muda itu menyingsingkan kain panjangnya. Tetapi mereka tidak melihat suatu perubahan sikap Ken Arok, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa Kebo Ijo sedang berceritera. Begitu asyik dan mantapnya ia mengucapkan ceriteranya, sehingga ia membuat beberapa gerakan yang aneh-aneh.

Para prajurit itu sama sekali tidak menyadari, bahwa Ken Arok dan Kebo Ijo telah membuat perjanjian untuk berkelahi di sendang buatan nanti malam.

Apalagi sikap Ken Arok terhadap mereka sama sekali tidak berubah. Pemimpin mereka itu masih tetap tersenyum dan bahkan kemudian membawa para prajurit itu dalam suatu percakapan yang lucu.

Dengan demikian maka pekerjaan mereka telah mereka lakukan dengan tanpa merasa kehilangan atas sisa hari istirahat mereka. Mereka bekerja sambil bergurau, tertawa, dan yang tidak mereka lupakan adalah makan.

“Jangan takut kehabisan,” teriak salah seorang prajurit yang menyuapi mulutnya berlebih-lebihan, “juru masak istana masih berada di sini.”

“Tetapi sampai kapan? Hari ini adalah hari terakhir kita dapat bermalas-malasan. Tetapi apakah hari terakhir pula bagi mulut-mulut kita untuk bekerja keras?”

“Tidak,” Ken Aroklah yang menyahut, “madaran istana akan berada di sini tujuh hari tujuh malam. Besok kalian sudah bekerja kembali, tetapi persediaan makan kalianlah yang berbeda dengan hari-hari biasa.”

Hampir bersamaan para prajurit itu bersorak.

“Tetapi jangan kalian lepaskan bambu di tangan kalian,” Ken Arok memperingatkan.

“Sudah hampir selesai. Sebentar lagi paga ini sudah berdiri.”

“Bagus,” desis Ken Arok, “lebih cepat selesai lebih baik.”

Para prajurit itu pun kemudian mempercepat kerja mereka. Meskipun mereka masih tetap melakukannya sambil bergurau, namun tangan mereka menjadi semakin lincah menggerakkan alat-alat mereka.

Sebentar kemudian maka paga yang dimaksudkan itu sudah dapat didirikan. Dengan tali-tali ijuk maka setiap bagiannya diikat baik-baik. Tiang-tiangnya, belandar, dan pengeret-nya. Palang-palang dan kemudian galar.

“Bagus,” desis Ken Arok, “paga itu cukup baik. Tiga rak-rakan sudah cukup. Tetapi agak terlalu panjang.”

“O,” sahut salah seorang prajurit, “mungkin pakaiannya terlampau banyak. Kalau tidak, maka sebagian akan dapat dipakai untuk meletakkan barang-barang yang lain.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Bawa paga ini ke gubuk Kebo Ijo. Ia masih terlampau lelah. Jangan membantah apa pun yang dikatakannya. Besok ia akan berubah apabila ia sudah tidak lelah lagi. Ia seorang pemimpin yang baik. Mungkin ia lebih keras daripada aku dalam beberapa hal, tetapi maksudnya harus dapat kalian mengerti selaku prajurit-prajurit yang taat pada tugas-tugasnya sebagai seorang prajurit.”

Para prajurit itu mengerutkan keningnya. Peringatan itu ternyata memberikan kesan yang aneh di dalam hati para prajurit itu. Seakan-akan Ken Arok ingin mengatakan kepada mereka, bahwa mereka harus berusaha menyesuaikan diri mereka dengan pemimpin mereka yang baru.

Sementara itu Ken Arok berkata selanjutnya, “Kalau kau menjumpai sikapnya yang keras bahkan seakan-akan tampak kasar, kalian jangan terkejut. Itu adalah wataknya. Tetapi ia bermaksud baik,” Ken Arok berhenti sejenak, lalu diteruskannya, “Seperti pada saat ia memerintahkan kepada kalian membuat paga . Mungkin kalian terkejut dan kurang senang. Tetapi pemimpinmu yang baru itu tahu, bahwa membuat paga dan dilakukan bersama-sama oleh sepuluh orang bahkan lebih, sama sekali tidak akan memberati kalian meskipun kalian sedang beristirahat. Bukankah pekerjaan itu cepat selesai dan kalian masih sempat menikmati kegembiraan bersama kawan-kawan kalian yang lain.”

Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi ketika mereka menengadahkan wajah-wajah mereka ke langit, maka mereka melihat langit seolah-olah terbakar oleh sinar-sinar senja yang tersisa.

Ken Arok melihat wajah-wajah mereka yang kecewa, karena hari-hari yang menyenangkan ini sudah hampir habis.

“Kalian masih mempunyai semalam lagi. Malam nanti kalian dapat menghabiskan semua yang masih tersisa di hatimu dalam kegembiraan ini. Obor-obor akan dipasang. Makan yang paling enak akan disiapkan. Jangan menyesali sepotong hari yang hilang karena paga itu.”

Prajurit-prajurit itu pun kemudian tersenyum. Salah seorang diri yang berkata, “Marilah kita mandi. Kita habiskan malam ini dengan sebaik-baiknya. Besok dan seterusnya kita sudah akan terbenam lagi di bendungan atau di sendang itu.”

Yang lain pun kemudian tertawa pula.

“Nah, sekarang bawa paga itu kepada Adi Kebo Ijo,” berkata Ken Arok kemudian.

Beberapa orang pun kemudian mengangkat paga itu dan membawanya kepada Kebo Ijo.

Di dalam gubugnya Kebo Ijo sedang berbaring untuk melepaskan penatnya. Meskipun ia tahu bahwa di langit warna-warna merah telah menyala, tetapi ia masih saja berbaring diam. Angan-angannya membubung tinggi seolah-olah ingin menggapai awan. Dinikmatinya kembali saat wisudanya. Kemudian disesalinya perintah Akuwu yang mengirimkannya ke padang yang kering dan sepi ini.

“Gila,” gerutunya. Kebo Ijo merasa dirinya terlampau malang. Ia membayangkan isterinya yang belum lama dikawininya, pasti merasa sepi juga di rumah.

“Di sini aku berkumpul dengan orang-orang gila seperti Ken Arok. Kenapa Ken Arok itu mendapat kedudukan yang baik di dalam lingkungan pelayan dalam. Tetapi agaknya Akuwu kecewa juga atasnya ternyata ia dikirim ke Padang Karautan ini.” Tiba-tiba ia terkejut sendiri. Desisnya, “Jadi, apakah demikian juga terhadapku?” Lalu dijawabnya sendiri, “Ah, pasti tidak. Aku mempunyai kedudukan yang berbeda dengan Ken Arok. Ken Arok adalah seorang yang sepantasnya dilemparkan di padang ini. Sedangkan aku dikirim Akuwu untuk mengawasinya. Asal kami pun berbeda. Aku kira Ken Arok adalah anak padesan atau anak padang-padang rumput. Aku dilahirkan di Tumapel. Di dalam lingkungan orang-orang besar.”

Tiba-tiba Kebo Ijo itu terkejut ketika ia mendengar langkah-langkah kaki mendatanginya. Sambil berbaring saja ia berteriak, “He, siapa itu?”

“Kami,” terdengar seseorang menyahut, “kami mengantarkan paga yang telah selesai kami buat.”

Dengan malasnya Kebo Ijo pun bangkit. “Bawa masuk.”

Para prajurit pun kemudian membawapaga itu masuk ke dalam gubug Kebo Ijo.

“Ah,” Kebo Ijo berdesah, “macam itulah kecakapan kalian membuat perkakas?”

Para prajurit itu saling berpandangan. Mereka kemudian berdiri dengan gelisah ketika mereka melihat Kebo Ijo meraba-raba paga itu dan menggoyang-goyangkannya.

“Tidak sampai sebulan paga ini sudah roboh,” katanya, “padahal aku berada di padang ini sampai taman itu dibuka. Kalian benar-benar bodoh.”

Tak seorang pun yang menjawab.

“Apalagi yang kalian tunggu he? Kenapa kalian masih berdiri saja di situ? Apakah kalian menunggu aku memuji-muji kalian atas pekerjaan kalian yang jelek ini?”

Para prajurit itu terkejut. Kemudian satu demi satu mereka melangkah keluar meninggalkan gubug Kebo Ijo itu. Dengan dahi yang berkerut mereka melihat, bayangan hitam dari langit seolah-olah hendak menerkam mereka dan seluruh Padang Karautan.

Satu-satu bintang mulai bermunculan. Warna-warna senja yang menyangkut pinggiran awan yang hanyut di udara, semakin lama menjadi semakin pudar.

Para prajurit itu pun kemudian melangkah dengan tergesa-gesa ke gubug masing-masing. Salah seorang dari mereka berkata, “Semua orang telah siap mengitari makan mereka. Aku masih belum mandi.”

“Kau kira aku juga sudah mandi? Bukankah kita sekelompok yang sedang sial ini masih belum mandi seluruhnya.”

“Ayo, cepat kita mandi. Kalau kita terlambat, maka kita tidak akan mendapat bagian. Kita hanya akan menemukan sisa-sisa makan mereka.”

“Kita pasti terlambat. Lihat,” berkata salah seorang dari mereka sambil menunjuk ke tempat terbuka di samping perkemahan mereka. “Obor-obor telah dipasang. Mereka telah duduk berkeliling.”

“Uuah,” prajurit yang termuda di antara mereka menyahut, “aku akan menyesal sepanjang umurku kalau aku tidak dapat ikut makan bersama kali ini.”

Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara lirih di belakangnya, “Jangan takut. Aku akan menunggu kalian.”

Tersentak mereka berpaling. Ternyata di belakang mereka berdiri Ken Arok sambil tersenyum. “Itulah agaknya yang selalu kalian pikirkan. Sekarang, cepat, pergi mandi. Kami akan menunggu kalian supaya kalian tidak menyesal sepanjang umur kalian.”

Para prajurit itu pun tersenyum pula. Salah seorang dari mereka menjawab, “Mumpung. Mumpung kami mendapat kesempatan. Belum tentu kesempatan yang serupa akan datang di saat yang lain nanti.”

Kawan-kawannya pun tertawa pula.

“Ayo, cepat mandi. Kalau kalian terlampau lama, maka kami tidak akan menunggu kalian. Makan bersama itu akan segera aku buka.”

Para prajurit itu pun tertawa. Tetapi langkah mereka benar-benar menjadi semakin panjang. Dengan tergesa-gesa mereka pergi ke bendungan untuk mandi.

Di tempat yang terbuka, para prajurit dan orang-orang Panawijen telah duduk dalam satu lingkaran yang luas, bersap-sap. Hari ini mereka akan menikmati acara yang meriah. Makan bersama. Obor-obor telah dipasang hampir setiap sepuluh langkah. Beberapa orang yang bertugas telah sibuk menyiapkan makan mereka.

Ken Arok berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Diawasinya orang-orang yang duduk sambil berkelakar itu. Mereka tampak gembira. Satu dua di antara mereka mempercakapkan perkawinan Akuwu Tunggul Ametung dengan Ken Dedes. Terutama orang-orang Panawijen. Mereka pada umumnya merasa bangga, bahwa gadis dari Padepokan Panawijen akan menjadi seorang permaisuri Tumapel. Tetapi sebagian para prajurit itu sama sekali tidak mempedulikannya. Mereka hanya menjadi gelisah ketika makanan masih juga belum dibagi-bagikan.

Ternyata Ken Arok menepati janjinya. Ia menunggu beberapa orang yang sedang mandi setelah mereka membuat paga bagi Kebo Ijo. Baru setelah semua orang berkumpul, maka Ken Arok menyuruh seorang prajurit yang paling jenaka di antara mereka, untuk membuka acara makan bersama itu. Dengan gayanya yang khusus prajurit itu berdiri di dalam lingkaran, dan dengan lucunya ia mengucapkan beberapa patah kata. Setiap kali terdengar kawan-kawannya tertawa meledak. Orang-orang Panawijen pun tertawa pula terkekeh-kekeh sehingga ada di antara mereka yang terpaksa memegangi perut mereka yang belum terisi.

Ken Arok berdiri saja sambil tersenyum-senyum. Namun tiba-tiba wajahnya berkerut ketika tiba-tiba saja Kebo Ijo telah berdiri di sampingnya. “ Aku menunggumu di sendang buatan itu,” desisnya.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Baik. Aku akan menyelesaikan acara ini. Dan aku akan segera pergi ke sendang itu.”

“Kau menunggu marahku lilih? ”

Dada Ken Arok berdesir. Tetapi ia tidak ingin mengganggu kegembiraan orang-orangnya bersama orang-orang Panawijen. Jawabnya pelahan-lahan, “Tidak, justru aku menunggu kau menjadi semakin marah. Aku ingin kita berkelahi dengan sungguh-sungguh.”

“Setan alas,” Kebo Ijo berdesis.

“Jangan keras-keras,” potong Ken Arok. Ia masih tetap menyadari keadaan sepenuhnya, “jangan merusak suasana.”

“Persetan dengan acara gila-gilaan ini,” jawab Kebo Ijo, “atau kita manfaatkan pertemuan ini sama sekali?”

“Buat apa?”

“Kita buat acara yang pasti paling meriah. Kita berkelahi di tengah-tengah arena ini.”

“Kau gila. Sudah aku katakan bahwa aku tidak mau memberi mereka contoh yang jelek.”

“Kalau begitu, cepat, pergi ke sendang itu.”

“Aku akan menyelesaikan acara ini. Sebaiknya kau ikut pula bergembira bersama para prajurit dan orang-orang Panawijen itu.”

“Huh, aku bukan termasuk orang-orang yang dapat digembirakan oleh sebungkus nasi gebuli. ”

“Oh, kau salah. Yang membuat mereka bergembira bukan sebungkus nasi gebuli. Tetapi mereka merasakan kemesraan hubungan antara mereka. Itulah yang menggembirakan.”

“Omong kosong. Kegembiraan yang demikian hanyalah untuk prajurit-prajurit rendahan dan orang-orang padesan seperti orang-orang Panawijen. Cepat, selesaikan acaramu yang gila ini. Aku hampir tidak sabar. Aku akan pergi dahulu. Kalau lewat tengah malam kau tidak datang, aku anggap kau kalah dalam pertaruhan ini, dan kekuasaan di sini berada di tanganku. Akulah yang berhak mengatur semuanya. Aku ingin menghilangkan setiap kebiasaan yang jelek di sini. Cengeng, bermanja-manja, dan malas. Sama sekali bukan sikap dan sifat seorang prajurit Tumapel yang perkasa.”

Ken Arok tidak segera menyahut. Ia menganggap bahwa lebih baik ia berdiam diri supaya Kebo Ijo tidak berteriak-teriak. Apabila anak itu kehilangan pengendalian diri, maka ia pasti akan berteriak-teriak dan berbuat di luar sadarnya. Dengan demikian maka akan dapat timbul hal-hal yang tidak dikehendakinya.

Tetapi Kebo Ijo itu mendesaknya, “Bagaimana?”

Ken Arok mengangguk, “ya, aku sanggupi,” jawabnya.

“Bagus,” sahut Kebo Ijo, “aku akan pergi saja dari tempat yang memuakkan ini. Biarlah mereka makan makanan yang belum pernah mereka makan. Tetapi bagiku makanan-makanan itu sama sekali tidak menimbulkan selera lagi. Aku akan berbaring saja di bilikku, lalu pergi ke sendang itu. Seleraku hari ini adalah berkelahi.”

“Baik,” jawab Ken Arok, “kita berjanji saja.. Tepat tengah malam.”

“Bagus.”

Kebo Ijo pun kemudian meninggalkan tempat yang riuh oleh suara gelak tertawa itu. Suara gelak tertawa yang baginya sangat mengganggu perasaannya. Ia ingin melihat para prajurit itu hormat kepadanya di segala tempat dan waktu. Dalam pertemuan yang demikian, maka ia harus mendapat tempat yang terhormat dan khusus. Tidak berada bersama-sama dalam lingkungan para prajurit dan orang-orang Panawijen seperti Ken Arok dan Ki Buyut.

“Betapa bodohnya mereka itu. Mereka merendahkan dirinya,” gumamnya di sepanjang langkahnya menuju ke biliknya. Wajahnya menjadi sedemikian gelap. Seolah-olah tengah malam datangnya terlampau lama.

Ken Arok dapat mengerti juga pendirian Kebo Ijo. Tetapi ia berpendirian lain. Kewibawaan tidak perlu dibangunkan dengan membuat garis pemisah antara pemimpin dan yang dipimpin. Setiap kali para pemimpin harus menunjukkan kelebihannya dalam keadaan yang wajar. Memberi petunjuk-petunjuk dan contoh-contoh yang baik. Memang sekali-sekali perlu berbuat keras, tetapi dalam batas-batas kewajaran. Tidak berlebih-lebihan. Apalagi sengaja dipamerkan berlandaskan kekuasaan.

Sementara itu kegembiraan orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel berjalan dengan riuhnya. Setiap kali terdengar suara tertawa. Meskipun mereka telah mendapatkan makan masing-masing, tetapi suara kelakar mereka masih saja terdengar. Orang-orang itu mulai mengelompokkan diri dalam lingkaran-lingkaran yang lebih kecil. Dan di antara mereka mulai timbul permainan-permainan yang lucu. Setiap kelompok mempunyai cara masing-masing untuk bergembira dan tertawa.

“Kalau mereka telah lelah, maka mereka akan berhenti dengan sendirinya,” guman Ken Arok.

Maka dengan diam-diam ditinggalkannya tempat yang riuh itu. Ia ingin memenuhi janjinya terhadap Kebo Ijo. Karena itu maka dibenahinya pakaiannya. Mungkin ia harus berkelahi dengan sepenuh tenaganya. Ia belum tahu pasti kekuatan Kebo Ijo. Tetapi ia dapat menduganya, bahwa anak itu pasti sudah menjadi semakin maju.

Sejenak ia singgah ke dalam gubugnya. Disuapinya mulutnya dengan beberapa potong makanan dan beberapa teguk minuman. Ia tahu dan menyadari bahwa ia sedang melakukan suatu permainan yang berbahaya. Tetapi ia tidak mempunyai cara lain untuk menundukkan Kebo Ijo.

“Tetapi kalau aku tidak dapat memenangkan perkelahian ini, maka semua jabatanku pasti akan lenyap bersama kekalahanku. Apabila Akuwu mendengarnya, mungkin aku akan ditarik kembali ke Tumapel, untuk menerima kemarahannya. Bahkan mungkin aku akan dapat disingkirkan. Akuwu pasti tidak akan senang mendengar hal ini terjadi.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian desahnya, “Itu akan lebih baik daripada Kebo Ijo selalu mengganggu semua rencana dan cara yang aku lakukan. Kalau ia menang, biarlah ia mengambil-alih pimpinan dengan akibat yang paling pahit yang dapat terjadi atasku. Tetapi kalau aku berhasil, aku tidak akan diganggunya lagi.”

Sejenak kemudian Ken Arok itu berdiri. Sekilas dipandanginya pedangnya yang tersangkut di dinding. Tetapi kemudian ia menggeleng, “Tidak perlu. Senjata akan sangat berbahaya bagi orang-orang yang kadang-kadang dapat lupa diri. Kebo Ijo adalah seorang yang mudah kehilangan pengendalian diri, dan aku agaknya bukan seorang yang terlalu kuat bertahan dalam kesadaran yang penuh. Biarlah aku tidak usah membawa senjata apa pun.”

Sejenak kemudian Ken Arok itu pun melangkah keluar. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya bintang-bintang sudah jauh berkisar. Tetapi lamat-lamat ia masih mendengar gelak tertawa di pinggir perkemahan, dan ia masih melihat cahaya api obor yang seolah-olah memancar ke langit.

Pelahan-lahan ia berjalan meninggalkan perkemahannya. Langkahnya berdesir di antara gubug-gubug yang sepi. Tetapi Ken Arok sengaja tidak melalui gubug Kebo Ijo. Ia ingin berjalan sendiri. Biarlah Kebo Ijo itu mendahuluinya atau menyusulnya kemudian.

“Aku masih mempunyai waktu,” desis Ken Arok, “masih belum tengah malam.”

Dalam kesepian padang rumput Karautan, Ken Arok melangkah setapak demi setapak. Dipandangnya parit induk yang membujur di samping kakinya. Parit itu sudah cukup dalam dan lebar. Apabila air sudah naik dari bendungan, maka parit induk itu sudah cukup dapat menampung airnya, dan mengalirkannya sampai ke sendang buatan. Di sepanjang susukan itu beberapa kali Ken Arok harus meloncati parit-parit yang bercabang-cabang. Seperti akar pepohonan yang menghujam langsung ke dalam bumi, demikianlah parit-parit itu menjalar ke seluruh bagian Padang Karautan yang akan dijadikan tanah persawahan.

Alangkah jauh perbedaan perasaan yang dialaminya. Dahulu ia juga selalu berkeliaran di padang ini. Tetapi kini terasa bahwa kehadirannya di Padang Karautan itu bermanfaat. Tidak saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi banyak orang yang memerlukan tempat tinggalnya.

Malam pun menyadi semakin malam. Ken Arok masih melangkah pelahan-lahan. Dilepaskannya pandangan matanya sejauh-jauh dapat dicapainya. Dipandanginya bintang-bintang di langit dan mega yang keputih-putihan memulas wajah yang kehitam-hitaman yang terbentang dari ujung bumi ke ujung yang lain.

Sekali-sekali terasa desir yang halus terasa di dalam dada anak muda itu. Anak muda yang tidak pernah menikmati masa-masa mudanya dengan wajar. Namun justru karena itulah, maka ia menjadi cukup dewasa menghadapi berbagai masalah. Ia tampak jauh lebih matang daripada anak-anak muda sebayanya.

Dan kini ia akan berhadapan dengan anak muda yang masih kekanak-kanakan, Kebo Ijo.

“Kemampuan anak itu terlampau tinggi dibandingkan dengan sifat kekanak-kanakannya,” katanya di dalam hati, “apabila tidak ada keseimbangan, maka hal itu akan berbahaya baginya sendiri dan bagi lingkungannya.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia berdesis, “Kini akulah yang pertama-tama akan mempertaruhkan diri. Kalau aku kalah, maka akulah korban di antaranya. Dan korban-korban semacam itu akan terus-menerus berjatuhan.”

Ken Arok menengadahkan wajahnya ketika terasa angin kencang mengusap tubuhnya. Dingin malam mulai merayapi kulitnya yang berwarna merah tembaga karena terik matahari yang setiap hari menyengatnya.

Langkahnya terhenti ketika ia mulai menginjakka kakinya di atas tanah yang mulai dipagarinya. Bagian dari taman yang sedang dibuatnya. Di tengah-tengah taman itulah ia membuat sebuah sendang .

Ternyata justru Kebo Ijolah yang belum sampai ke tempat itu. Karena itu maka ia masih harus menunggu. Diletakkannya tubuhnya di atas sebongkah batu yang masih belum dipasang.

Tetapi ternyata ia tidak menunggu terlalu lama. Di dalam gelapnya malam ia melihat sesosok bayangan mendekati sendang itu. Belum lagi ia sempat menegurnya, didengarnya bayangan itu telah memanggil namanya keras-keras. “He, Ken Arok. Di mana sendang itu? Apakah kau sudah berada di sana?”

Sengaja Ken Arok tidak segera menjawab. Ia menyadari bahwa dirinya berada di bawah lindungan pepohonan yang masih belum terlampau tinggi, sehingga tempatnya duduk pasti lebih gelap dibandingkan dengan tempat-tempat yang terbuka.

“Ken Arok, he Ken Arok. Apakah kau belum datang?”

“Gila,” desis Ken Arok di dalam hatinya, “seandainya aku belum datang, siapakah yang harus menjawab?”

Kemudian didengarnya Kebo Ijo itu menggerutu, “Setan alas. Aku masih harus menunggu. Kalau ia tidak datang tengah malam, maka aku akan mengambil-alih semua pimpinan. Disetujui atau tidak disetujui oleh Akuwu,” Kebo Ijo terdiam sejenak. Dan bayangan yang lamat-lamat di dalam gelapnya malam itu menjadi semakin dekat. Dan sekali lagi terdengar Kebo Ijo itu bergumam, “Inilah agaknya taman dan sendang buatan itu.”

Anak muda itu kini berhenti melangkah. Sambil bertolak pinggang ia memandang berkeliling. Tetapi ternyata gelap malam telah mengganggunya.

“Hem,” ia berdesis, “sampai kapan aku harus menunggu.”

Tetapi tiba-tiba ia terlonjak. Selangkah ia mundur namun jelas bagi Ken Arok, bahwa anak itu benar-benar lincah dan tangguh. Begitu ia tegak berdiri, maka ia pun telah siap untuk melawan setiap serangan yang datang.

“Siapa kau he?” Kebo Ijo berteriak, “ayo, mendekatlah. Kita berhadapan secara jantan.”

Ternyata Kebo Ijo telah dikejutkan oleh desir kaki Ken Arok yang sedang berdiri. Ia sengaja memperdengarkan geraknya supaya Kebo Ijo mengetahui bahwa seseorang telah menunggunya. Karena itu maka sambil tertawa pendek Ken Arok berkata, “Jangan terkejut adi Kebo Ijo. Aku sudah lama menunggumu.”

“Demit, tetekan,” Kebo Ijo mengumpat, “kenapa kau diam saja ketika aku memanggil namamu? Ken Arok, apakah kau ingin menyerang aku dengan diam-diam he?”

“Tidak Kebo Ijo,” jawab Ken Arok, “aku mencoba mendengar pendapatmu tentang taman ini. Tetapi kau tidak mengucapkan pendapat itu. Bahkan kau selalu menggerutu dan mengumpat-umpat saja.”

“Jelek,” desis Kebo Ijo, “taman ini jelek sekali. Akuwu Tunggul Ametung pasti tidak akan puas melihatnya.”

Ken Arok melangkah maju. Sekali lagi ia tertawa pendek sambil berkata, “Mudah-mudahan Akuwu tidak sependapat dengan kau. Aku mengharap bahwa taman ini akan menggembirakan hatinya dan hati permaisurinya.”

“Mungkin kau dapat menggembirakan hati permaisurinya. Permaisuri yang meskipun cantiknya melampaui bintang pagi, tetapi ia berasal dari Panawijen. Tamanmu ini pasti akan lebih baik dari taman di padepokan gadis itu. Tetapi berbeda dengan Akuwu Tumapel. Akuwu itu sejak kecilnya hidup di dalam lingkungan yang baik. Itulah sebabnya maka Akuwu pasti mampu menilai tamanmu itu.”

“Aku tidak berkeberatan,” sahut Ken Arok, “seandainya Akuwu tidak tidak puas dengan taman itu, maka itu akan menjadi pelajaran bagiku, bahwa aku masih belum mampu memenuhi tugasku.”

“Dan kau akan mendapat hukuman darinya. Kau akan dipecat dari jabatanmu.”

“Biarlah.”

“Mungkin kau akan dihukum gantung.”

“Biarlah. Kalau memang seharusnya demikian.”

“Gila. Kau mudah berputus-asa,” geram Kebo Ijo, “ayo, sekarang kita selesaikan persoalan kita. Apakah kau tetap pada pendirianmu? Atau barangkali kau sudah mengubah keputusanmu untuk mengurungkan niatmu berkelahi dan tidak lagi berkeras kepala tentang sikap dan pendirianmu yang salah itu.”

Ken Arok memandangi Kebo Ijo dengan tajamnya. Tetapi dalam kegelapan, Kebo Ijo tidak dapat melihat sorot mata Ken Arok yang seolah-olah menyalakan api.

Tetapi yang didengar oleh Kebo Ijo, Ken Arok itu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu masih mencoba untuk menahan gelora di dadanya. Meskipun penghinaan itu hampir tak tertahankan, namun ia masih tetap mengingat diri, bahwa setiap perbuatannya pasti akan dilihat oleh segenap prajurit Tumapel di Padang Karautan, orang-orang Panawijen, dan bahkan seluruh prajurit Tumapel dan Akuwu Tunggul Ametung.

Kebo Ijo yang merasa kata-katanya tidak terjawab, dan bahkan Ken Arok masih diam saja mematung, mengulanginya, “He, Ken Arok. Bagaimanakah sikapmu sekarang. Apakah kau masih tetap ingin memaksakan caramu itu terhadapku? Kalau kau merasa bahwa perkelahian tidak akan menguntungkan kedudukanmu, maka kau masih mempunyai kesempatan untuk mengubah pendirianmu. Aku tidak bernafsu menggantikan kedudukanmu, tetapi dengan cara-cara yang pernah kau pergunakan itu harus kau tinggalkan. Kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk berbuat menurut caraku atas prajurit-prajurit Tumapel di sini.”

“Kebo Ijo,” sahut Ken Arok pelahan-lahan, “sebenarnya persoalan yang kau katakan itu sudah tidak penting lagi bagimu. Aku tahu tanpa soal atau ada soal, kau hanya ingin berkelahi. Kau hanya ingin menunjukkan kelebihanmu.”

“Bohong,” sahut Kebo Ijo hampir berteriak, “kau yang akan mempergunakan kekerasan dan memaksaku.”

“Itu hakku sebagai pimpinan di sini.”

“Omong kosong.”

“Baiklah. Tidak ada jalan lain daripada berkelahi,” berkata Ken Arok akhirnya, “marilah. Apakah kau sudah siap?”

“O,” desis Kebo Ijo, “jadi kau tidak dapat menilai sikapku. Apakah sikapmu ini sama sekali tidak meyakinkanmu bahwa aku sudah siap memukul tengkukmu. Mudah-mudahan tengkukmu tidak akan patah karenanya.”

Terdengar Ken Arok menggeram. Kebo Ijo itu ternyata terlampau sombong melampaui dugaannya.

“Ayo, berbuatlah sesuatu,” bentak Kebo Ijo itu kemudian.

Sekali lagi Ken Arok menggeram. Kini ia melangkah maju beberapa langkah sehingga jarak mereka menjadi lebih dekat.

“Ternyata kau memang bodoh,” gumam Kebo Ijo, “kalau kau mulai benar-benar dengan perkelahian ini karena kesombonganmu, maka kau akan menyesal, sebab kau akan kehilangan semuanya.”

Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian bersiap menghadapi setiap kemungkinan.

“Ayo mulailah,” teriak Kebo Ijo.

Ken Arok tidak bergerak. Ia berdiri saja di tempatnya. Kaki-kakinya yang kuat merenggang, seolah-olah terhujam ke dalam tanah.

“He, apakah kau gila?” Kebo Ijo semakin berteriak, “Ayo, mulailah. Aku ingin melihat apa yang dapat kau lakukan?”

Ken Arok masih tetap berdiam diri. Namun kediamannya itu ternyata telah membuat Kebo Ijo gelisah, sehingga sekali lagi ia berteriak-teriak, “He, Ken Arok. Ayo, mulailah. Apakah kau takut? Kalau kau memang tidak berani berbuat sesuatu, katakanlah. Aku akan memaafkan kau.”

Tetapi Ken Arok masih tetap tidak berkata sepatah kata pun. Dengan demikian maka kegelisahan Kebo Ijo itu pun memuncak. Ia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, sehingga kakinya beringsut setapak maju.

Tiba-tiba Ken Arokpun memiringkan tubuhnya. Lambat tetapi penuh keyakinan, lututnya merendah.

“Gila,” geram Kebo Ijo. Kini ia benar-benar tidak akan menunggu lagi. Sikap Ken Arok telah meyakinkannya. Meskipun sejenak ia menjadi heran melihat sikap itu. Sikap itu benar-benar meyakinkan. Bukan sikap seekor serigala liar tanpa pegangan.

Sesaat kemudian terdengar gigi Kebo Ijo beradu. Ketika di kejauhan terdengar burung hantu memekik dengan nada suaranya yang berat, maka terdengar suara Kebo Ijo melengking, “Baiklah Ken Arok, kalau kau takut memulai, akulah yang akan memulainya.”

Sebelum gema suara itu lenyap, maka Kebo Ijo telah meloncat dengan tangkasnya, seperti lidah api yang melenting di udara.

Tetapi ternyata Ken Arok pun telah cukup siap menunggu serangan itu. Itulah sebabnya, maka serangan yang pertama itu sama sekali tidak berbahaya bagi Ken Arok. Dengan lincahnya ia menarik tubuhnya ke sisi, merendah, dan tangannya menyambar lambung.

Namun Kebo Ijo sama sekali tidak terkejut melihat gerakan itu. Gerakan yang sederhana, yang hampir selalu dijumpainya pada permulaan serangan. Dengan cepatnya ia menggeliat, berputar di udara, dan kemudian demikian ia menginjak tanah, maka segera ia melenting dan menyambar lawannya dengan tumitnya.

Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin cepat. Kebo Ijo yang marah itu menjadi semakin marah. Ia tidak menyangka bahwa gerakan-gerakan Ken Arok cukup cermat dan teratur. Tidak seperti yang disangkanya. Anak itu menurut pendengarannya tidak begitu memperhatikan ikatan-ikatan dan unsur-unsur gerak yang tersusun.

“Mungkin ia menemukan bentuk dari seorang guru,” desis Kebo Ijo di dalam hatinya, “sepengetahuanku, Lohgawe, orang yang terdekat dengan Ken Arok, bukan seorang yang menekuni olah kanuragan seperti guruku.”

Tetapi ia harus menghadapi kenyataan. Ternyata Ken Arok tidak dapat dikalahkan semudah dugaannya. Meskipun anak muda itu seorang pelajan dalam, namun ia mempunyai cukup kemampuan untuk mengimbanginya.

Tata gerak keduanya semakin lama menyadi semakin cepat. Kebo Ijo, murid Panji Bojong Santi, ternyata memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Seperti seekor burung srigunting ia meloncat dan menyambar-nyambar. Lincah, cepat namun betapa tangannya seakan-akan menjadi seberat timah.

Dada Ken Arok menyadi berdebaran. Ia melihat kecepatan gerak lawannya. Ternyata Kebo Ijo telah benar-benar mendapat banyak pengetahuan tentang tata gerak dalam olah kanuragan.

Ken Arok sendiri tidak terlampau banyak mempelajari ilmu tata bela diri dengan teratur. Bahkan secara terperinci ia sendiri tidak dapat mengerti dari mana ia menemukan kekuatan yang dikagumi oleh orang lain. Kekuatan yang tidak ada pada kebanyakan orang.

Dalam perkelahian dengan Kebo Ijo, Ken Arok harus ber-hati-hati. Ia tidak boleh kehilangan pengamatan diri. Ia harus tetap sadar dan menjaga jangan sampai terjadi bencana atas dirinya sendiri dan atas lawannya.

Yang membuat Ken Arok cemas adalah kesadarannya, bahwa ia tidak mampu untuk mengukur kekuatan sendiri secara teliti. Ia tidak dapat mengerti, ukuran kekuatan-kekuatan yang dilontarkannya. Dengan demikian, setiap kali ia harus menjajagi sampai di mana daya tahan lawannya. Namun kadang-kadang dirinya sendirilah yang mengalami goncangan-goncangan.

Terhadap Kebo Ijo, Ken Arok juga berusaha untuk mencari-cari keseimbangan. Ketika perkelahian itu berlangsung beberapa lama, maka ia segera meyakini, bahwa ia memiliki beberapa kelebihan dari lawannya. Tetapi sampai di mana kekuatannya harus dilontarkan dalam perlawanan ini, masih harus dijajaginya.

Karena itu, setiap kali Ken Arok berusaha untuk membentur serangan Kebo Ijo. Dengan sebagian dari tenaganya ia berusaha untuk menemukan keseimbangan kekuatan. Tetapi kadang-kadang ia terlampau sedikit memberikan tenaganya, sehingga Ken Arok itu sendiri terlontar beberapa langkah surut dan berusaha untuk menemukan keseimbangannya kembali.

Dalam keadaan yang demikian, Kebo Ijo merasa bahwa lawannya tidak kuasa mengimbangi kekuatannya. Anak muda itu sama sekali tidak berusaha mengekang diri. Setiap kali ia melepaskan seluruh kekuatannya. Apalagi apabila ia merasakan perlawanan lawannya terlampau menjengkelkannya.

Semakin lama Kebo Ijo menyadi semakin berdebar hati. Ia merasa bahwa lawannya tidak cukup kuat untuk melawan tenaganya. Ia merasa bahwa ia masih mempunyai beberapa kelebihan yang lain selain kekuatan tenaga, ia mampu bergerak terlampau cepat dan memiliki unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawannya.

Dengan demikian maka Kebo Ijo menjadi semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan lawannya. Geraknya menyadi semakin cepat dan tangkas. Tangannya yang sepasang itu bergerak-gerak dengan cepat dan membingungkan, seolah-olah menyadi berpasang-pasang tangan yang mematuk dari segenap arah. Setiap kali terasa desir angin me-nyambar-nyambar tubuh lawannya yang beberapa kali terpaksa meloncat surut membuat jarak dari padanya.

“Ayolah,” teriak Kebo Ijo, “jangan berlari-lari saja. Kita sedang berkelahi, bukan sedang bermain kejar-kejaran.”

Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi kini ia sudah menemukan ancar-ancar. Sampai di sini Kebo Ijo masih merasa dirinya melampaui kekuatan lawannya. Dan Ken Arokpun menjadi semakin mantap bahwa dengan ukuran kekuatan itu, ia tidak akan mencelakakan lawannya dan juga dirinya sendiri.

Dengan demikian maka Ken Arok kini tinggal melayani lawannya. Ia tidak ingin mengalahkan dengan menjatuhkan Kebo Ijo atau membuatnya pingsan atau hal-hal yang jelas menunjukkan kemenangannya. Ia ingin membiarkan Kebo Ijo bertempur dengan sepenuh tenaganya, kemudian menjadi kelelahan.

Karena itu maka perkelahian itu masih tetap seimbang. Setiap kali Kebo Ijo meningkatkan daya kemampuannya, setiap kali ia tidak dapat melampaui lawannya. Lawannya itu seakan-akan selalu saja berada dalam keadaannya.

Maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat dan cepat. Loncatan-loncatan yang hampir tidak dapat diikuti oleh mata yang wajar. Gerak-gerak yang aneh dan membingungkan. Namun keduanya mampu mengamati setiap unsur perlawanan masing-masing.

Yang kemudian menjadi berdebar-debar adalah Kebo Ijo. Setiap ia mendesak lawannya dengan kecepatan gerak yang dianggapnya telah dapat melampaui kecepatan gerak lawannya, namun setiap kali lawannya bergerak semakin cepat pula. Sehingga akhirnya Kebo Ijo itu sudah sampai pada puncak kemampuannya. Puncak kekuatannya dan puncak ketangkasannya. Dikerahkan segala macam ilmu yang ada padanya. Namun Ken Arok itu masih saja tetap dapat mengimbanginya, meskipun setiap kali anak muda itu masih juga meloncat menjauhinya, mengambil jarak daripadanya, dan kemudian meneruskan perlawanannya.

“Apakah orang ini kerasukan setan,” pikir Kebo Ijo, “setiap kali ia tidak dapat menyamai kecepatan gerakku. Tetapi setiap aku meningkatkan tata gerakku, jarak itu masih saja tetap sama. Aku tidak dapat menguasainya. Dan ia masih saja mampu menghindar dan kadang-kdang malahan menyerang.”

Tetapi Kebo Ijo tidak dapat menemukan jawabannya. Meskipun kadang-kadang serangannya datang mengejut seperti hentakan angin ribut, namun ia tidak mampu menjatuhkan lawannya, bahkan tidak pula dapat mengejutkan. Sehingga, Kebo Ijo itu semakin lama menjadi semakin berdebar-debar.

“Apakah aku berkelahi melawan setan Padang Karautan dan bukan melawan Ken Arok,” katanya di dalam hatinya, “apakah ada setan yang mewujudkan dirinya seperti Ken Arok?”

Ternyata betapapun ia berusaha, namun ia tidak mampu menguasai lawannya yang disangkanya terlampau mudah untuk dikalahkannya. Bahkan, ternyata bukan lawannya itu yang menjadi bingung karena gerakan-gerakannya yang cepat, tetapi lambat-laun maka Kebo Ijo sendirilah yang kebingungan. Bagaimana ia harus melawan dan mengalahkan orang yang dianggapnya tidak cukup ilmu untuk mengimbanginya. Betapa dadanya dicekam oleh kebingungannya, sehingga tiba-tiba saja terkilas di dalam otaknya untuk mempergunakan apa saja yang dimilikinya. Ilmu yang paling dahsyat sekalipun.

Ken Arok kemudian melihat bahwa Kebo Ijo telah benar-benar mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya. Anak muda itu meloncat-loncat seperti tatit yang menyambar-nyambar di langit. Tangannya bergerak semakin cepat dan nafasnya berdesakan di lubang hidungnya. Tetapi ia tidak berhasil menjatuhkan lawannya. Kebo Ijo masih merasakan benturan-benturan yang berat dan seimbang. Meskipun ia sudah sampai ke puncak kekuatannya, namun lawannya masih juga mampu mengimbanginya. Bahkan sekali-sekali ia merasakan sentuhan-sentuhan tangan lawannya, yang menyerang dengan gerak yang tidak dimengertinya.

Namun, justru karena itu maka dada Kebo Ijo menjadi semakin bergelora. Darahnya serasa mendidih sampai di kepala. Ternyata ia berhadapan dengan seorang yang sama sekali berbeda dari dugaannya. Seorang yang cukup tangguh dan cekatan. Meskipun tampaknya Ken Arok tidak melampauinya, namun ia tidak berhasil untuk mengalahkannya.

Tata gerak Ken Arok yang disangkanya tidak teratur dan liar karena anak muda itu tidak pernah mendapat tuntunan dari seorang yang berilmu, ternyata justru mengejutkannya. Tata gerak itu memang aneh. Kadang-kadang sama sekali tidak dimengertinya. Tetapi yang melontarkan tubuh Ken Arok dengan loncatan-loncatan yang membingungkan itu bukan sekadar gerakan-gerakan yang liar tidak terkendali. Gerakan-gerakan itu ternyata mempunyai hubungan yang teratur dan tersusun. Meskipun susunannya sama sekali tidak lazim dan bahkan sebagian besar belum pernah dikenalnya. Tetapi itu tidak berarti bahwa Ken Arok tidak mengenal tata gerak yang wajar seperti yang dipergunakannya. Anak muda itu seolah-olah mempunyai pengamatan yang sangat tajam. Unsur-unsur gerak yang khusus dari perguruannya tidak mampu untuk membuat Ken Arok itu menjadi bingung. Bahkan benturan-benturan yang direncanakannya, sama sekali tidak mampu untuk mengejutkannya.

Dalam pada itu, Ken Arok sendiri menjadi semakin lama semakin tenang. Kini ia telah mendapatkan ukuran yang semakin mantap. Kebo Ijo telah sampai pada puncak kemampuan dan kekuatannya. Kalau ia tetap bertahan dalam tingkatan itu, maka ia hanya tinggal menunggu saja, kapan Kebo Ijo menjadi lelah dan berhenti dengan sendirinya. Pekerjaannya tinggallah merangsang supaya Kebo Ijo mengerahkan segala kekuatannya, memeras tenaganya, sehingga dengan demikian, maka ia akan menjadi lebih cepat lelah.

Tetapi semakin susut tenaga Kebo Ijo, maka hatinya menjadi semakin menyala. Kemarahannya sudah tidak tertahankan lagi, sehingga ia sudah bertempur benar pada puncak kemampuannya. Ia sama sekali sudah tidak mengekang diri, apa pun akibatnya. Bahkan semakin memuncak kemarahannya, bayangan tentang aji pamungkasnya menjadi semakin jelas pula. Aji Bajra Pati.

Sesaat ia masih mencoba untuk mempergunakan kekuatannya secara wajar. Ia masih berusaha untuk menemukan titik-titik kelemahan lawannya. Tetapi ia sama sekali tidak berhasil. Kekuatan lawannya seolah-olah meningkat dan kelincahannya pun menyadi semakin membingungkannya sejajar dengan meningkatnya serangan-serangannya.

Akhirnya Kebo Ijo kehilangan segenap pertimbangannya. Perkelahian itu baginya bukan sekadar mempertaruhkan jabatannya, tetapi ia sudah tidak mempedulikan lagi apa yang akan terjadi.

Sehingga ia yakin bahwa ia sudah tidak akan mampu lagi mengalahkan lawannya, meskipun ia menyerangnya seperti burung rajawali di langit, dan membenturnya seperti seekor gajah yang sedang mengamuk. Lawannya benar-benar seperti sebongkah gunung yang tegak dengan garangnya. Yang tidak tergerakkan oleh angin dan badai yang betapapun dahsyatnya.

Itulah sebabnya maka Kebo Ijo sampai pada puncak kemarahannya, marah dan malu. Seandainya ia tidak mampu mengalahkan lawannya, lalu apakah kata Ken Arok itu kemudian? Apakah ia harus tunduk dan menyembahnya. Melakukan perintahnya tanpa dapat berbuat apa pun.

“Tidak,” Kebo Ijo menggeram di dalam hatinya, “aku tidak mau. Biar sajalah aku dihukum gantung karena aku telah membunuhnya. Tetapi itu lebih baik daripada aku harus bersimpuh di hadapannya.”

Ketika kemudian angin padang bertiup makin kencang, maka darah Kebo ljo pun mengalir semakin cepat. Terasa kepalanya menjadi panas dan pening. Ia sudah tidak mampu lagi untuk berpikir terlampau banyak.

Dengan demikian maka segera ia meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak dari lawannya. Ia memerlukan kesempatan betapapun pendeknya, untuk membangunkan kekuatan Aji Bajra Pati.....

Semula Ken Arok tidak menaruh prasangka apa pun. Ia menyangka bahwa Kebo Ijo sudah mulai lelah dan ingin mendapatkan kesempatan untuk bernafas. Tetapi tiba-tiba yang dilihatnya sangat mengejutkannya.

Ken Arok kemudian melihat Kebo. Ijo bersikap dalam pemusatan pikiran dan tenaga. Membangun segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya, yang dalam keadaan yang wajar seolah-olah tersimpan di belakang urat-urat nadinya. Namun dalam mateg Aji Bajra Pati maka kekuatan-kekuatan itu pun seolah-olah terbangunkan, merayap di sepanjang urat nadinya, menjalar ke permukaan tubuhnya.

Kekuatan itu seolah-olah mengalir menurut kehendak, berpusar di tangan Kebo Ijo. Tangan yang kemudian menjadi gemetar oleh tekanan kekuatannya yang memerlukan saluran.

Sikap itu telah benar-benar mengejutkan Ken Arok. Ia segera menyadari apa yang akan terjadi. Ia tahu benar bahwa sikap pemusatan pikiran dan kekuatan itu adalah suatu sikap yang akan sangat membahayakan baginya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo Ijo sedang membangunkan suatu kekuatan yang betapa dahsyatnya.

Tetapi Ken Arok tidak mendapat banyak waktu untuk berpikir. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mencegah dengan kata-kata dan ia pun yakin bahwa Kebo Ijo pasti tidak akan mendengarkannya. Apalagi Bajra Pati itu kini sudah tersalur ke tangannya.

Dengan demikian maka Ken Arok telah kehilangan sekesempatan untuk mencegah Kebo Ijo menggunakan ilmu pamungkasnya. Betapa hati Ken Arok itu menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa kegelapan hati Kebo Ijo akan sampai sedemikian jauh sehingga dalam taruhan yang serupa itu, ia sudah berusaha melepaskan aji yang seharusnya disimpannya untuk suatu keharusan yang tidak dapat dihindarinya dalam pertaruhan hidup dan mati. Tetapi dalam perselisihan di antara kawan sendiri, maka ia sudah demikian bernafsu untuk mempergunakan aji pamungkasnya itu.

Ternyata hati Kebo Ijo telah benar-benar menjadi gelap. Ketika ia melihat Ken Arok terpaku seperti patung, maka hatinya bahkan berdesis, “Mampuslah kau anak yang gila. Yang tidak tahu diri. Yang ingin melawan kekuatan Kebo Ijo, murid Panji Bojong Santi.”

Bersamaan dengan itu, maka terdengar suara Kebo Ijo menggeram. Semakin keras, dan tanpa menahan diri lagi maka segera ia meloncat melontarkan seluruh kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya yang dibangunkannya berlandaskan ilmu yang oleh gurunya disebut Aji Bajra Pati.

Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan yang dahsyat. Ternyata Ken Arok tidak dapat lagi menghindari benturan itu, sehingga tidak ada pilihan lain baginya daripada membentur kekuatan Aji Bajra Pati.

Benturan itu ternyata telah menimbulkan akibat yang dahsyat pula. Kebo Ijo sendiri terlempar surut beberapa langkah, sedangkan Ken Arok terdorong ke belakang setapak, kemudian terhuyung-huyung sejenak. Dengan susah-payah ia mencoba untuk menahan keseimbangan dirinya. Tetapi anak muda itu pun jatuh terduduk, bersandar pada kedua tangannya. Ketika ia mengangkat wajahnya yang pucat maka dilihatnya Kebo Ijo terguling beberapa kali.

Sejenak suasana diterkam oleh kesenyapan. Yang terdengar hanyalah gemerisik angin menyentuh dedaunan gerumbul-gerumbul taman yang masih belum begitu rimbun, di antara desah nafas kedua anak-anak muda yang seolah-olah membeku di tempatnya.

Tetapi sejenak kemudian Ken Arok mencoba menjulurkan kakinya. Kemudian menggeliat perlahan. Dengan susah-payah ia mencoba untuk berdiri. Menggerakkan kaki-kakinya dan tangannya. Ketika ia menarik nafas dalam-dalam, maka dadanya terasa sedikit nyeri. Tetapi sekali dua kali, maka perasaan nyeri itu pun berangsur hilang.

“Hem,” ia berdesah. Dadanya pernah pula dihantam oleh sebuah ilmu yang tidak kalah dahsyatnya, yang dilontarkan oleh seorang yang lebih jauh memiliki pengalaman dan kematangan dalam ilmunya. Kebo Sindet. Saat itu matanya menjadi gelap dan ia pun jatuh pingsan. Tetapi kali ini ia berhasil membebaskan dirinya dari cedera yang dapat ditimbulkan oleh Aji Bajra Pati, karena yang melepaskan aji itu masih belum cukup masak.

Sementara itu Kebo Ijo sendiri untuk beberapa lama tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Terasa dadanya sendiri seperti telah meledak ketika kekuatan Aji Bajra Pati se¬olah-olah telah membentur sebuah dinding baja setebal depa tangannya. Kekuatannya sendiri telah melemparkannya dan membantingnya di tanah begitu kerasnya, sehingga tulang-tulangnya terasa seakan-akan remuk terpatah-patah.

Sejenak ia memejamkan matanya. Memusatkan segala sisa-sisa tenaganya. Pelahan-lahan ia mencoba menarik napas. Berulang kali meskipun terasa betapa pedihnya. Namun lambat-laun perasaan sakit di sekujur badannya itu pun terasa berkurang.

Ketika ia membuka matanya, maka alangkah terkejutnya. Dilihatnya sesosok bayangan tegak berdiri di hadapannya. Sepasang kakinya yang merenggang serta sikapnya yang meyakinkan itu menambah dadanya menjadi sesak. Pelahan-lahan ia mencoba bangkit, tetapi kekuatannya belum mengizinkannya. Karena itu maka ia hanya mampu mengumpat dengan suara gemetar, “Anak setan. Kau tidak mampus juga.”

Yang berdiri di hadapannya itu adalah Ken Arok.

“Ayo,” desis Kebo Ijo, “kalau kau mampu, bunuhlah aku. Aku tidak saja mempertaruhkan jabatan, tetapi aku mempertaruhkan kehormatan. Dan kehormatanku bernilai sama dengan jiwaku.”

Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia melangkah maju.

“Apa yang kau tunggu lagi,” terdengar suara Kebo Ijo di antara desah nafasnya yang sesak.

“Cepat, lakukanlah.”

Tiba-tiba dalam keremangan malam Kebo Ijo itu melihat Ken Arok menggelengkan kepalanya. Pelahan-lahan ia menyawab, “Tidak Kebo Ijo. Aku tetap pada perjanjian kita. Yang kita pertaruhkan adalah kekuasaan di Padang Karautan ini atas para prajurit Tumapel.”

“Tidak. Hanya ada dua pilihan. Membunuh atau dibunuh. Ayo bunuhlah aku.”

“Jangan kau turuti perasaanmu.”

“Cepat sebelum aku dapat bangkit dan akulah yang akan membunuhmu.”

“Jangan terlampau keras hati.”

“Aku adalah seorang laki-laki. Aku adalah seorang perwira Tumapel yang perkasa. Seorang prajurit hanya akan mengakhiri perlawanannya apabila nyawanya telah terpisahkan dari tubuhnya. Hanya seorang pengecutlah yang mundur setengah jalan hanya sekadar untuk menyelamatkan hidupnya.”

“Apakah kau berpendirian demikian?”

“Ya.”

“Dalam segala keadaan?”

Kebo Ijo terdiam sejenak. Ia tidak tahu maksud pertanyaan Ken Arok, sehingga dengan suaranya yang parau ia bertanya, “Apakah maksudmu dalam segala keadaan.”

“Maksudku, bahwa bagimu tidak ada jalan surut, betapapun keadaanmu.”

“Ya, meskipun aku terluka di dalam, tetapi aku tetap dalam pendirianku. Hidup atau mati. Membunuh atau dibunuh.”

Ken Arok menarik keningnya. Sejenak ia berdiam diri sambil memandangi Kebo Ijo yang masih berbaring di tanah. Kini ia mencoba bangkit sambil bertelekan padu tangan-tangannya.

Terdengar ia mengaduh pendek. Dadanya tiba-tiba terasa nyeri oleh tekanan tangannya yang menahan tubuhnya. Tetapi ia berusaha terus. Bahkan ia berkata, “Ken Arok, aku hampir mampu berdiri dan berkelahi lagi. Aku akan segera membunuhmu. Kalau kau ingin mempergunakan kesempatan, cepatlah. Pergunakan sekarang. Kau mampu bertahan atas kekuatan Aji Bajra Pati. Dengan demikian kau pun pasti mempunyai ilmu pamungkas yang akan dapat kau pergunakan membunuhku dengan tanganmu. Tanpa sehelai senyata apa pun.”

Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi ia merasa aneh mendengar kata-kata Kebo Ijo yang menganggapnya mempunyai sebuah ilmu yang sedahsyat Bajra Pati.

Sejenak Ken Arok itu berpikir tentang dirinya sendiri. Ia tidak pernah belajar pada seorang guru pun sebelum ia bertemu dengan Lohgawe. Orang tua itu pun sama sekali tidak mengajarnya berkelahi. Tidak menuntunnya dalam olah kanuragan. Orang tua itu hanya memberinya beberapa nasihat supaya ia menjauhi cara hidupnya yang lama, dan menuntunnya untuk menemukan hidupnya yang baru. Selain itu, Lohgawe hanya memberitahukan kepadanya beberapa hal mengenai tubuh manusia, tubuhnya sendiri itu juga. Dan yang terakhir orang tua itu menuntunnya untuk mempelajari cara-cara memusatkan pikiran, kehendak, dan semua getar di dalam dirinya. Lambat-laun dan dengan pelahan-lahan sekali.

“Hanya itu,” desisnya di dalam hati, “sama sekali bukan ilmu kanuragan. Bukan unsur-unsur gerak dalam tata bela diri. Bukan pula kemampuan untuk membangunkan sebuah ilmu yang dahsyat, sedahsyat Aji Bajra Pati dan Aji Bayang. Tetapi aku telah mampu melepaskan diri dari kehancuran.”

Wajah Ken Arok tiba-tiba menegang karena persoalan di dalam dirinya sendiri. Ia seolah-olah sudah lupa bahwa di hadapannya Kebo Ijo sedang merangkak-rangkak untuk mencoba bangun.

“Aku berkelahi asal saja aku berkelahi,” berkata Ken Arok itu seterusnya di dalam hatinya, “Aku hanya mencoba menirukan unsur-unsur gerak yang pernah aku lihat dilakukan oleh Mahisa Agni, Witantra, Kuda Sempana, dan para prajurit yang lain. Tetapi, apakah pemusatan pikiran, kehendak, dan segala macam getar di dalam diri ini termasuk juga membangunkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuh kita untuk segala kepentingan? Termasuk dalam olah kanuragan, tidak saja dalam hasrat, kemauan, dan keinginan lahir dan batin, tetapi juga dalam membangunkan kekuatan dan kekuatan-kekuatan simpanan di dalam tubuh ini?”

Justru pertanyaan itulah yang tumbuh di dalam diri Ken Arok. Dan ia mencoba untuk menilai apakah yang sedang dilakukannya. Pada saat ia melihat lawannya mempersiapkan diri, memusatkan pikiran dan perasaan membangun Aji Bajar Pati, maka ia pun dengan segenap tekad, hasyrat dan kehendak, telah mempersiapkan dirinya untuk melawannya, seperti pada waktu ia menghadapi aji yang akan dilepaskan oleh Kebo Sindet. Ternyata apa yang dilakukannya itu adalah pengerahan segenap kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya yang didasarinya pada pemusatan pikiran, kehendak, dan segala macam getar di dalam dirinya.

Tetapi Ken Arok tetap tidak tahu, lalu kekuatan apakah dan dorongan oleh ilmu apakah, maka ia mampu membangunkan kekuatan itu. Yang diketahuinya kini adalah, apabila ia menghendaki, maka ia dapat mengimbangi kekuatan Bajra Pati dalam tataran yang belum terlampau sempurna, dan dapat menyelamatkannya dari kekuatan aji yang dilepaskan oleh seorang Kebo Sindet.

Dan Ken Arok kini meyakini, semuanya itu sebagian besar adalah karena latihan-latihan memusatkan pikiran yang dipelajarinya dari Lohgawe. Sebelum itu apa yang dilakukan adalah seperti seekor serigala liar di Padang Karautan, meskipun pada saat-saat yang serupa itu apa yang dilakukan telah mengherankan bagi orang banyak. Seolah-olah tubuhnya menjadi kebal dan tidak dapat disakiti oleh lawannya, seperti pada saat ia berkelahi untuk pertama kali melawan Mahisa Agni. Bagaimanapun juga ia terbanting, terdorong, dan bahkan jatuh terjerembab dan terguling-guling di tanah, tetapi ia selalu bangkit kembali dan melawan membabi-buta.

Ken Arok itu tersadar ketika tiba-tiba saja ia melihat Kebo Ijo telah berdiri di hadapannya. Meskipun masih belum tegak benar namun anak muda itu sudah berteriak, “Ayo, aku ternyata masih belum kau kalahkan. Kita akan segera mulai lagi.”

Angin malam terhembus semakin kencang. Usapan yang sejuk di tubuh Kebo Ijo telah membuatnya bertambah segar. Tetapi sekali-sekali masih terasa dadanya menyadi nyeri. Meskipun demikian sejenak kemudian ia berteriak pula, “Ayo, Ken Arok, kita mulai lagi.”

“Kau masih ingin berkelahi?” bertanya Ken Arok.

“Aku belum kau kalahkan. Hanya mautlah pertanda yang paling jelas, siapakah yang kalah, dan siapakah yang menang.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah anak muda yang berdiri terhuyung-huyung di hadapannya itu dengan dada yang berdebaran. Alangkah keras hatinya.

Tetapi tiba-tiba Ken Arok itu menggelengkan kepalanya, “Tidak Kebo Ijo. Aku kira kita sudah cukup lama berkelahi. Kalau seseorang mencari aku dan datang kemari, melihat kita berkelahi maka akibatnya kurang baik.”

“Persetan dengan alasanmu yang memuakkan itu. Kau selalu mengatakan tentang prajurit-prajurit Tumapel. Biarlah mereka belajar dari peristiwa ini. Biarlah mereka tahu, bahwa bagi prajurit Tumapel hanya ada dua pilihan dalam setiap perkelahian. Menang atau mati.”

“Sikap itu amat terpuji Kebo Ijo. Tetapi terhadap lawan, lawan bebuyutan. Tidak terhadap kawan sendiri yang hanya sekadar bcrmain-main. Katakanlah sedang bertaruh dengan taruhan yang sama sekali tidak berarti.”

Kata-kata itu menyentuh hati Kebo Ijo juga. Sejenak ia berdiam diri memandangi Ken Arok yang berdiri tegak seperti sebatang tugu yang kokoh. Tetapi sejenak kemudian di dalam hati Kebo Ijo itu terjadi lagi sebuah pergolakan. Kambuhlah sifat-sifatnya yang keras. Maka katanya, “Kita pun tidak sedang bermain-main. Kita memang sedang bertaruh. Tetapi taruhan kita tidak sekadar tidak berarti seperti yang kau katakan. Taruhan kita adalah kehormatan kita. Kehormatan kita sebagai laki-laki dan sebagai seorang prajurit. Kehormatan laki-laki dan seorang prajurit sama harganya dengan nyawanya.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Disabarkannya hatinya dengan segala usaha. Meskipun terasa getaran di dalam nada suaranya, namun kata-katanya meluncur pelahan-lahan, “Kau keliru Kebo Ijo. Kau terlampau dikuasai oleh perasaan.”

“Tidak. Ayo, bersiaplah. Apakah kau takut menghadapi aku yang telah berhasil memperoleh kekuatanku kembali?”

Tetapi Kebo Ijo sendiri tidak dapat meyakini kata-katanya. Ia masih harus bersusah-payah mempertahankan keseimbangannya. Sekali-sekali masih terasa tubuhnya memberat seperti timah dan dadanya serasa disobek dengan sembilu.

Namun ia masih berteriak, “Untuk kedua kalinya aku akan menghantammu dengan Aji Bajra Pati. Kali ini kau pasti akan terbunuh.”

“Kau keras kepala,” desis Ken Arok.

“Aku seorang prajurit,” sahut Kebo Ijo, “bukan pengecut cengeng seperti kau. Kalau kau tetap berkuasa di Padang Karautan, maka seluruh prajurit Tumapel yang ada di sini pun akan menjadi pengecut cengeng seperti kau.”

Terasa dada Ken Arok bergetar. Hampir saja ia meloncat memukul mulut Kebo Ijo pasti akan terpelanting jatuh. Untunglah bahwa rasa tanggung jawabnya terhadap seluruh keadaan di Padang Karautan telah mampu mencegahnya. Meskipun demikian terdengar anak muda itu menggeram.

“Ayo Ken Arok, apa yang kau tunggu.”

Tiba-tiba jawaban Ken Arok sangat mengejutkan Kebo Ijo. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Tidak Kebo Ijo. Aku tidak akan berkelahi lagi. Apabila kita terlibat dalam perkelahian sekali lagi, maka kita akan terdorong semakin jauh ke dalam kegelapan hati. Kita akan kehilangan pengamatan diri sendiri. Maka kita tidak lagi menjadi seorang pemimpin yang baik bagi para prajurit dan orang-orang Panawijen. Aku tidak peduli, apakah alasan ini kau anggap memuakkan atau tidak, tetapi itulah pendirianku. Dan kau tidak akan dapat mengubahnya.”

“Pendirian semacam itu ada di dalam pertaruhan kita. Karena itu mari kita teruskan. Baru kau dapat mengatakan tentang pendirianmu sebagai seorang pemimpin apabiIa aku sudah terbunuh mati di sini.”

“Kita bukan lagi orang-orang liar yang berkeliaran di hutan-hutan rimba. Kita adalah orang-orang yang beradab. Dengan demikian kita harus dapat membedakan diri.”

“Omong kosong.”

“Kau pasti belum pernah mengalami hidup berkeliaran di hutan-hutan belantara, di mana tidak ada adab dan tata pergaulan. Dalam dunia yang demikian maka manusia tidak ubahnya seperti binatang hutan. Siapa yang kuat, yang bertaring tajam, ialah yang menang. Apakah kau akan membangunkan peradaban yang demikian di kalangan kita. Di kalangan prajurit Tumapel? Siapa yang paling kuat, siapakah yang paling tajam pedang dan tombaknya, ialah yang akan menguasai pimpinan. Begitu?”

“Terserah. Terserah apa yang kau katakan. Aku tidak peduli juga seperti kau tidak mempedulikan pendirianku.”

Ken Arok sekali lagi menarik nafas. Dan tiba-tiba kata-katanya semakin mengejutkan Kebo Ijo, “Adi Kebo Ijo,” suara Ken Arok datar bernada rendah. Tetapi terasa sebuah getaran yang tertahan memancar di antara kata-katanya, “Kalau kau memang berkeras hati, baiklah aku akan menyatakan kekalahan diri. Lebih baik aku menyerahkan pimpinan para prajurit di Padang Karautan ini kepadamu. Aku akan dapat mengundurkan diri dengan mengajukan permohonan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Selebihnya kau akan dapat memimpin para prajurit menurut caramu. Itu akan lebih baik daripada kita selalu bertengkar tanpa berkeputusan. Akibat dari pertengkaran itu akan menjalar kepada para prajurit. Mereka akan bertengkar pula dan berkelahi. Mereka akan berkata seperti apa yang kau katakan, “Prajurit hanya mengenal menang atau mati.” Maka habislah prajurit di padang ini. Separuh dari mereka akan terbunuh dan yang separuh itu pun masih akan berkelahi lagi.”

“O,” tiba-tiba Kebo Ijo itu tertawa. Suaranya berkumandang memenuhi padang yang kering. Berkepanjangan semakin lama semakin keras, seperti ombak di pantai memercik terhempas di batu-batu karang. Tidak putus-putusnya.

Ken Arok menjadi heran mendengar suara tertawa itu. Ia tidak mengerti kenapa Kebo Ijo itu tiba-tiba tertawa. Apakah ia bergembira mendengar keputusannya, apakah ia menjadi marah?

Tetapi Ken Arok membiarkan saja anak muda itu tertawa. Di dalam hatinya ia berkata, “Kalau ia telah tertawa, maka ia pasti akan berhenti dengan sendirinya. Kalau tidak maka ia pasti akan pingsan sendiri karenanya.”

Ternyata Kebo Ijo itu pun menjadi lelah. Suara tertawanya menurun. Namun tiba-tiba anak muda itu menuding wajah Ken Arok sambil berkata, “Kau benar-benar pengecut yang sedang berputus asa. O, bagaimana mungkin Akuwu Tunggul Ametung menunjukmu menjadi seorang pemimpin pada suatu kerja yang cukup besar ini. Kalau itu yang kau kehendaki, maka kecewalah seluruh prajurit Tumapel atasmu. Kecewa pulalah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Ken Arok, yang diserahi pimpinan atas para prajurit Tumapel di Padang Karautan, ternyata lari terbirit-birit seperti seekor kucing melihat anjing.”

Ken Arok bukanlah seorang anak muda yang mempunyai kesabaran tanpa batas. Bahkan sebenarnya Ken Arokpun terlampau banyak dipengaruhi oleh perasaannya. Justru karena perasaan tanggung jawabnya, maka ia berhasil menekan dirinya sampai batas itu. Tetapi batas itu kini telah hampir terpatahkan karena sikap Kebo Ijo yang berlebih-lebihan. Karena itulah maka terasa getar di dalam dada Ken Arok pun menjadi semakin tajam.

Ken Arok hanya memerlukan sentuhan yang betapapun halusnya untuk membakar darahnya. Dan Kebo Ijo ternyata masih mencobanya dan berkata, “Ayo, Ken Arok. Pilihlah. Berkelahi atau lari dari Padang Karautan ini.”

Gigi Ken Arok pun menyadi gemeretak. Ia sadar bahwa keadaan Kebo Ijo kini telah semakin baik. Namun kini ia sudah tidak dapat membendung kemarahannya.

Dengan suara yang tertahan-tahan karena gelora di dadanya, Ken Arok menggeram, “Baiklah Kebo Ijo. Kalau itu yang kau ingini. Aku tidak berkeberatan. Kalau kau ingin membunuh atau dibunuh, maka aku akan berkata seperti itu juga.”

Meskipun Kebo Ijo sengaja telah membakar kemarahan Ken Arok yang dianggapnya terlampau lemah dan tidak dapat bertindak keras itu, namun ia terkejut juga. Ia menganggap bahwa Ken Arok tidak akan berani berbuat lebih banyak lagi karena ia harus bertanggung jawab kepada Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kesombongan dan harga diri Kebo yang berlebih-lebihan itu juga menjadi sebab, sehingga sikapnya menyadi kasar dan sombong.

Kini mendengar bahwa Ken Arok pun telah bersikap. Ternyata kesabaran Ken Arok telah sampai pada batasnya sehingga ia pun kemudian lupa, bahwa apabila terjadi bencana atas dirinya atau atas diri Kebo Ijo, maka persoalannya tidak akan terhenti demikian saja. Mereka adalah prajurit-prajurit Tumapel, dan mereka mempunyai pertanggungjawaban untuk itu.

Tetapi agaknya keduanya sudah tidak mempedulikannya lagi. Kebo Ijo yang merasa tubuhnya menjadi semakin baik karena silir angin yang segar, telah mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya. Kini ia tidak hanya akan menghadapi Ken Arok dengan tangannya untuk melontarkan Aji Bajra Pati. Tetapi tiba-tiba tangannya menarik sebuah cundrik kecil dari ikat pinggangnya. Ia berketetapan hati untuk membunuh lawannya. Cundrik itu harus diayunkan dengan tangannya yang dilambarinya kekuatan Aji Bajra Pati sehingga apabila senjata itu menyentuh lawannya, maka senyata yang kecil itu pasti akan membenam jauh ke dalam tubuh lawan itu, oleh lontaran kekuatan yang tiada taranya.

“Tak seorang pun yang dapat hidup karena serangan yang demikian,” desisnya, “kau pun akan mati juga malam ini Ken Arok.”

Dari mata Ken Arok itu seolah-olah telah memancar api kemarahaannya. Dipandanginya Kebo Ijo dengan tajamnya. Tetapi ia tidak menjawab sepatah kata pun.

Keduanya kini telah berdiri berhadapan berjarak beberapa langkah saja. Masing-masing telah dikuasai oleh kemarahan yang tidak terkendali. Keduanya bahkan telah berada di dalam tataran tertinggi dari kekuatan masing-masing.

Dengan tajamnya Ken Arok memandangi tangan Kebo Ijo yang menggenggam cundrik-nya. Apabila tangan itu terayun, maka ia yakin, bahwa ayunan itu pasti dilambari Aji Bajra Pati yang kini sedang dibangunkan. Ia tidak akan dapat membenturnya seperti membentur aji itu sendiri. Tetapi kini di dalam tangan itu tergenggam sebilah cundrik kecil yang akan dapat membenam ke dalam dagingnya.

Karena itu ia harus berhati-hati. Ia harus memusatkan segenap kekuatan lahir dan batin, untuk dapat melakukan perlawanan terhadap kekuatan Aji Bajra Pati. Tetapi ia harus menghindari sentuhan cundrik di tangan Kebo Ijo itu.

Dengan demikian, karena pemusatan kekuatan yang memuncak, maka keduanya tidak mendengar ketika dedaunan di samping mereka tersibak. Mereka tidak melihat sebuah bayangan yang datang mendekati mereka pelahan-lahan.

Tepat pada waktunya, ketika keduanya hampir saja meloncat dan mulai lagi dengan perkelahian yang pasti akan jauh lebih dahsyat dari perkelahian yang baru saja terjadi, maka mereka terkejut karena mereka mendengar suara nafas yang berdesah di dekat mereka. Desah yang sebenarnya terlampau keras.

Ketika mereka berpaling, dalam keremangan malam, di dalam lindungan dedaunan, mereka melibat sebuah bayangan yang meremang. Dalam kegelapan rimbunnya gerumbul-gerumbul taman yang sedang mulai tumbuh, mereka tidak segera dapat mengenal bayangan itu.

Karena itu hampir bersamaan Ken Arok dan Kebo Ijo bertanya, “Siapakah kau?”

Terdengar suara terbatuk-batuk kecil. Tetapi suara itu telah menggoncangkan dada Kebo ljo. Dengan serta-merta ia bertanya sekali lagi, “Siapa?”

“Aku! Kebo Ijo.”

Jawaban itu benar-benar seperti suara petir yang meledak di dalam dadanya. Tubuhnya tiba-tiba menyadi gemetar. Dan dengan suara yang gemetar pu!a ia berkata, “ Apakah guru yang berdiri di situ?”

“Ya.”

Wajah Kebo Ijo tiba-tiba berubah menjadi seputih mayat. Tetapi malam yang gelap telah menyaputnya, sehingga Ken Arok tidak dapat melihat perubahan wajah itu. Ia hanya mendengar suara Kebo Ijo gemetar. Tetapi ia tidak tahu, apakah sebabnya maka suara itu gemetar.

Namun dengan demikian maka hati Ken Arok itu pun menjadi berdebar-debar. Kedatangan guru Kebo Ijo yang tanpa disangka-sangka itu telah mempengaruhi pikirannya. Ia merasakan sesuatu yang kurang wajar atas kehadiran guru Kebo Ijo itu. Mungkin guru Kebo Ijo telah lama berada di tempat itu, telah melihatnya pula ketika ia berhasil menyelamatkan diri dari kekuatan Aji Bajra Pati. Lalu apakah maksud kedatangannya itu ada hubungannya dengan kegagalan muridnya.

Kedua anak-anak muda itu kemudian berdiri tegak seperti patung. Mereka hanya dapat memandangi saja seorang tua yang berjalan mendekati mereka. Semakin lama semakin dekat.

“Hem,” mereka mendengar Panji Bojong Santi menarik napas dalam-dalam, “aku telah melihat kalian berkelahi. Sejak permulaan sampai kalian hampir-hampit menjadi gila.”

Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Tetapi mereka masih saja berdiam diri.

“Aku berbangga atas kalian. Ternyata anak-anak muda kini memiliki kemampuan yang cukup memberi kebanggaan kepada orang-orang tua. Ketika aku seumurmu Kebo Ijo,” berkata orang tua itu seterusnya, “Aku tidak akan mampu berbuat terlampau banyak seperti apa yang telah kau lakukan. Aku sama sekali belum dipercaya oleh guruku untuk menerima Aji Bajra Pati. Tetapi ternyata anak-anak muda sekarang jauh berbeda dengan anak-anak muda pada zamanku. Kau ternyata telah mampu menguasai Aji Bajra Pati dengan baik. Dan aku pun berbangga pula karenanya.”

Hati Kebo Ijo menyadi semakin berdebar-debar. Dan Ken Arok pun hanya dapat berdiri tegak membeku. Ia tidak tahu arah pembicaraan guru Kebo Ijo. Apakah ia sedang memuji muridnya, ataukah sedang menyesalinya. Namun sejenak kemudian Ken Arok menjadi jelas melihat sikap Panji Bojong Santi, ketika orang tua itu berkata, “Tetapi Kebo Ijo, ternyata anak-anak sekarang pun lebih banyak dikuasai nafsunya daripada pikirannya yang bening. Justru karena itu, maka keadaan sekarang ini jauh lebih membuat orang-orang tua berprihatin.” Panji Bojong Santi berhenti sejenak. Kemudian dilanjutkannya, “Coba pikirkanlah. Anak-anak muda sekarang ini lebih pandai, lebih cakap, dan lebih cepat mempelajari berbagai macam ilmu. Tetapi juga lebih cepat naik darah dan dikejar oleh nafsunya sendiri.”

Ketika Panji Bojong Santi berhenti berbicara, maka Padang Karautan itu menjadi sepi. Yang terdengar hanya gemersik dedaunan disentuh oleh angin yang menyapu wajah padang yang kering itu.

Baru sesaat kemudian orang tua itu menyambung kata-katanya, “Tetapi itu bukan salah anak-anak muda saja. Kami yang tua-tua pun ternyata ikut serta mendorong kalian ke dalam tindakan-tindakan yang mencemaskan. Kebo Ijo, apakah aku harus menyesal bahwa aku telah memberimu bekal sebelum kau memasuki dunia keprajuritan? Apakah aku harus menangkapmu dan berusaha memunahkan kembali Aji Bajra Pati dari tubuhmu dengan melemahkan beberapa urat nadimu untuk sementara, sehingga kau tidak mungkin lagi berbuat dan bersikap seperti yang baru saja kau lakukan?”

Tubuh Kebo Ijo itu pun menyadi gemetar. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa gurunya akan sampai juga di Padang Karautan dan menyaksikan apa yang telah dilakukannya.

Kebo Ijo itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar gurunya bertanya, “Bagaimana Kebo Ijo?”

Keringat Kebo Ijo yang sudah terperas pada saat ia berkelahi melawan Ken Arok, kini masih juga mengalir. Keringat dingin. Anak muda itu tidak berani menatap wajah gurunya yang memandangi dengan tajam.

Karena Kebo Ijo tidak segera menjawab, maka gurunya mendesaknya, “Bagaimana Kebo Ijo? Bagaimana perasaanmu setelah kau dapat memancing perkelahian?”

Kepala Kebo Ijo menjadi semakin tunduk. Tetapi mulutnya masih belum dapat mengucapkan jawaban.

“Kau berbangga?”

Pelahan-lahan Kebo Ijo menggelengkan kepalanya.

“Bagaimana?”

Sekali lagi Kebo Ijo menggeleng dan menjawab lambat sekali, hampir tidak terdengar, “Tidak guru.”

“Tidak apa?”

Jawabannya semakin sendat, “Tidak berbangga guru.”

“Lalu apa maksudmu kau memancing perkelahian? Supaya kau mendapat kedudukan tertinggi di dalam kerja besar ini?”

Sekali lagi Kebo Ijo terdiam.

“Dengarlah Kebo Ijo,” berkata Bojong Santi kemudian, “ternyata kau keliru menilai kejantanan diri. Kau menganggap bahwa apabila kau berkelahi sampai mati, itu adalah suatu sikap jantan. Membunuh atau dibunuh. Begitu bukan istilahmu untuk menyatakan dirimu sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang prajurit pilihan?”

Mulut Kebo Ijo menjadi seolah-olah tersumbat. Sedangkan Ken Arok berdiri saja seperti tonggak. Ia menjadi heran dan kemudian kagum terhadap guru Kebo Ijo. Ternyata ia mampu melihat dengan jujur apa yang telah terjadi. Orang tua itu tidak diburu oleh sikap berat sebelah menghadapi persoalannya dengan Kebo Ijo. Meskipun Kebo Ijo itu muridnya, dan ia sendiri hampir dikenal oleh orang tua itu, tetapi sikap orang tua itu benar-benar terpuji.

“Kebo Ijo,” terdengar Panji Bojong Santi itu berkata, “Kau dapat bersikap demikian apabila kau berdiri di atas kebenaran yang kau yakini. Tidak sekadar karena kesombongan, harga diri, dan pamrih duniawi yang memalukan. Nama, misalnya. Atau kedudukan. Tidak. Dalam persoalanmu, persoalan yang telah kau ikat dengan perjanjian bersama sebelum kalian mulai, maka sikap jantan adalah memenuhi perjanjian itu dengan jujur. Tetapi kau tidak. Perasaanmu telah dibakar oleh nafsu, kesombongan, dan harga diri yang berlebih-lebihan. Nah, ternyata kau kalah Kebo Ijo. Kau kalah, itu harus kau akui. Sampai mati pun kau tetap kalah. Tak ada orang yang akan mengagumi mayatmu. Sebab kau mati dalam kesombonganmu. Tidak seperti seorang prajurit yang mati di peperangan atau seorang laki-laki yang sedang membela kebenaran. Sikap jantan bagimu sekarang adalah mengakui kekalahanmu dan minta maaf atas sikapmu itu. Sombong dan tidak sopan.”

Mendengar kata-kata gurunya itu terasa darah Kebo Ijo seolah-olah berhenti mengalir. Bagaimana mungkin ia harus mengakui kesalahan dan minta maaf kepada Ken Arok. Bukankah dengan demikian Ken Arok akan menjadi besar kepala dan bersikap sekehendak hati kepadanya nanti. Ia akan dapat menghinakan dirinya di hadapan para prajurit Tumapel. Menceriterakan apa yang terjadi dan menertawakannya.

“Penghinaan yang demikian lebih parah daripada mati sama sekali,” desisnya di dalam kati.

Tetapi gurunya mendesaknya, “Cepat Kebo Ijo. Cepat mintalah maaf.”

Kebo Ijo masih berdiri tegak seperti patung. Cundrik-nya masih digenggamnya erat-erat.

“Apakah kau tidak mau? Apakah kau masih ingin berkelahi lagi? Kalau kau masih ingin berkelahi lagi, maka aku akan melihatnya lebih dekat lagi. Aku akan berpesan kepada lawanmu untuk berbuat lebih parah daripada membunuhmu. Kau tahu bahwa dengan melemahkan beberapa urat nadimu, maka Aji Bajra Pati akan punah untuk sementara. Dan aku akan mengajari lawanmu berbuat demikian.”

Tubuh Kebo Ijo telah menyadi basah oleh keringat dinginnya seperti baru saja mandi. Nafasnya menyadi terengah-engah, melampaui pada saat ia baru berkelahi.

Ken Arok melihat betapa hati anak muda itu menjadi terlampau pedih menghadapi kenyataan itu. Perintah gurunya terasa terlampau berat untuk dilakukannya. Maka se¬olah terlihat olehnya wajah Kebo Ijo yang pucat, titik-titik keringatnya yang menetes dari kening, dan tubuhnya yang gemetar, maka ia menjadi beriba hati. Kemarahannya telah hanyut oleh sikap guru Kebo Ijo yang mengagumkannya. Dan ia yakin bahwa dengan sikap gurunya itu Kebo Ijo akan menjadi jera. Ia pasti tidak akan mengganggunya lagi selama tugasnya di Padang Karautan.

Karena itu maka pelahan-lahan terdengar Ken Arok itu berkata sambil membungkukkan badannya, “Aku mengagumi sikap tuan. Karena itu, maka aku kira tidak ada yang paling bersalah di antara kita. Bukan saja adi Kebo Ijo yang bersalah, tetapi aku pun telah bersalah karena aku melayaninya Karena itu, maka aku kira adi Kebo Ijo sudah tidak perlu lagi minta maaf atas kesalahannya.”

“Hem,” Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Ken Arok dengan tajamnya. Kemudian ia mengangguk sambil berkata, “Sikapmu mengagumkan aku anak muda. Tetapi sayang, aku tidak sependapat dengan kau. Kebo Ijo harus mendapat hukuman karena sikapnya yang sombong dan keras kepala.” Kepada Kebo Ijo Panji Bojong Santi mengulanginya, “Ayo, cepat. Minta maaf kepada anak muda ini. Kau telah bersalah. Kesalahan yang demikian harus diakui. Kalau kau tidak juga mau minta maaf, maka berarti bahwa kau tidak merasa bersalah dalam hal ini. Dengan demikian maka kesalahan yang serupa akan kau ulangi lagi. Daripada hal itu terjadi, Kebo Ijo, maka lebih baik aku mencegahnya. Memunahkan untuk sementara Aji Bajra Pati sampai benar-benar jera. Sebab kekuatan itu bukanlah kekuatan yang dapat kau pakai untuk bersombong diri dan berkeras kepala.”

Wajah Kebo Ijo menjadi semakin pucat. Betapa jantungnya berdentangan, betapa hatinya dicekam oleh kesombongan dan harga diri yang berlebih-lebihan, tetapi kini ia berhadapan dengan gurunya. Bahkan gurunya telah mengancamnya untuk melemahkan kekuatan Aji Bajra Pati yang telah dimilikinya. Karena itu, maka keringat dikeningnya menjadi semakin deras mengalir dan menetes satu-satu, seolah-olah menetes dari sudut matanya.

“Aku memberimu kesempatan terakhir sekarang Kebo Ijo,” terdengar suara gurunya dalam nada yang rendah.

Kebo Ijo benar-benar tidak dapat menghindar lagi. Betapa berat dan sakit hatinya, tetapi ia akhirnya berkata pelahan-lahan, “Ya, guru. Aku bersalah. Aku minta maaf.”

“Tidak kepadaku,” sahut gurunya, “kepada anak muda yang bernama Ken Arok ini.”

Wajah Kebo Ijo terasa seolah-olah menjadi semakin tebal.

Bibirnya menjadi berat seperti batu. Tetapi ia berkata juga, “Maafkan aku Ken Arok.”

Dan Ken Arok menyahut, “Aku pun minta maaf pula Kebo Ijo.”

Kebo Ijo tidak menjawab. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Meskipun malam ditandai oleh kegelapan, tetapi seolah-olah ia melihat jelas sekali Ken Arok tersenyum atas kemenangannya.

Tetapi Kebo Ijo terkejut mendengar gurunya berkata, “Kau tidak ikhlas Kebo Ijo. Tetapi aku tidak dapat memaksamu tiba-tiba saja menjadi seorang yang rendah hati. Tetapi hal ini hendaknya menjadi pelajaran bagimu. Lain kali kau harus lebih berhati-hati. Menjaga diri dan berbuat baik supaya kau tidak terjerumus ke dalam keadaan yang dapat menyulitkan dirimu. Jangan kau sangka bahwa aku tidak mengetahui sifat-sifatmu. Aku sering mendengar kawan-kawanmu mengeluh, bahkan kakakmu Witantra pun mengeluh kepadaku, bahwa kau terlampau sombong, tinggi hati, dan merasa dirimu lebih baik, lebih cakap, dan lebih pandai dari orang lain. Sadari, sebelum kau terperosok semakin dalam.”

Kebo Ijo tidak menjawab. Sebagian ia dapat mengerti kata-kata gurunya, tetapi yang sebagian lagi telah membuatnya jengkel. Meskipun demikian ia tidak berani untuk membantah atau bersikap lain daripada menundukkan kepalanya.

“Nah, sekarang kau boleh pergi Kebo Ijo. Kembalilah ke perkemahan.”

Perintah itu serasa tetesan embun yang sejuk menyiram hatinya yang membara. Segera ia membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Terima kasih guru. Aku akan segera pergi ke perkemahan.”

“Ingatlah. Aku tidak rela kau berbuat serupa itu lagi.”

Kebo Ijo mengangguk sekali lagi, “Ya, guru. Aku akan mengingatkan untuk selanjutnya.”

Ketika Kebo Ijo telah meninggalkan taman itu, maka terdengar Bojong Santi berkata, “Tinggallah di sini sebentar Ken Arok.”

Mendengar kata-kata Panji Bojong Santi itu Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Sejenak ia mengawasi langkah Kebo Ijo yang semakin lama menjadi semakin jauh.

Sekali Kebo Ijo berpaling, tetapi bayangan Ken Arok dan gurunya, Panji Bojong Santi, sudah menjadi kabur, dan sesaat lagi seolah-olah hilang ditelan kegelapan. Dan langkahnya pun menjadi tergesa-gesa menjauhi taman yang belum selesai dibuat itu.

Ketika ia mendengar gurunya menyuruhnya pergi, maka ia merasa terlepas dari suatu keadaan yang seakan-akan mencekik lehernya sehingga ia tidak lagi bebas bernafas. Seolah-olah ia telah terlepas dari panggangan api yang membara di bawah kakinya.

Gurunya yang memaksanya untuk minta maaf kepada Ken Arok telah membuatnya seperti terlempar ke dalam neraka. Tetapi ia tidak dapat menolak, karena gurunya sendirilah yang menyuruhnya berbuat demikian. Seandainya orang itu bukan gurunya, bahkan Akuwu Tunggul Ametung sekalipun, maka ia akan tetap berdiam diri meskipun akibatnya nyawanya akan menyadi tebusan dari sikapnya yang keras kepala itu. Tetapi ia tidak dapat menolak terhadap gurunya.

“Hem,” ia bergumam kepada diri sendiri, “kalau saja guru tidak memaksa aku. Kalau saja guru tidak hadir di tempat itu.” Tetapi kemudian hatinya sendiri menjawab, “Kalau guru tidak ada di tempat itu aku pasti sudah mati.”

Namun dibantahnya sendiri, “Lebih baik mati daripada mengalami penghinaan yang begitu berat.”

Dan hatinya pun berbantah sendiri.

Tetapi di antara kemarahan, kekecewaan, dan kejengkelannya, terselip juga di dalam hatinya perasaan heran dan kagum terhadap Ken Arok. Orang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Dengan gerak dan sikap yang sederhana ia telah mampu melepaskan diri dari kehancuran akibat sentuhan Aji Bajra Pati. Kekuatan yang dahsyat yang jarang tandingnya. Namun Ken Arok dapat terlepas daripadanya.

Bukan kekuatan dan kecepatan bertempur Ken Arok sajalah yang telah membuat Kebo Ijo heran dan kagum, tetapi juga sifat-sifatnya yang aneh. Anak muda itu terlampau sabar. Bertanggung jawab atas kata-kata dan perbuatannya. Dan bertanggung jawab atas tugas-tugas yang diserahkan kepadanya, sehingga ia bersedia untuk mengorbankan beberapa kepentingannya sendiri.

Dalam keangkuhan dan harga diri yang berlebih-lebihan, Kebo Ijo melihat sikap Ken Arok itu aneh. Tetapi memberinya beberapa pengertian baru, bahwa orang-orang yang dianggapnya remeh tidak selalu dapat diatasinya dalam beberapa persoalan. Dan ternyata Ken Arok jauh lebih baik daripadanya dalam beberapa hal. Dalam kekuatan, keteguhan, dan tata perkelahian, juga dalam sikap kepemimpinan. Itulah sebabnya Ken Arok dapat mencekam hati prajurit-prajurit Tumapel di Padang Karautan.

Dengan desah nafas yang semakin cepat Kebo Ijo itu pun berjalan semakin cepat pula menyusuri parit induk kemudian berbelok ke arah perkemahan para prajurit Tumapel. Perkemahan yang sama sekali tidak menyenangkannya, meskipun gubugnya sendiri khusus telah mendapat sebuah rak-rakan.

Di taman yang sedang disiapkannya, Ken Arok masih berdiri termangu-mangu di hadapan Panji Bojong Santi.

Ketika Kebo Ijo sudah tidak tampak lagi, maka bertanyalah Panji Bojong Santi, “Anggerkah yang bertanggung jawab atas pekerjaan besar yang sedang dilakukan di padang ini oleh prajurit-prajurit Tumapel dan orang-orang Panawijen?”

“Ya Bapa Panji.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, “Meskipun kau masih muda, tetapi kau sudah cukup mengagumkan.”

“Ah, jangan memuji.”

“Tidak Ngger, aku tidak hanya sekadar memuji. Tetapi aku melihat suatu keanehan pada dirimu.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Aku melihat kau berkelahi dengan Kebo Ijo sejak permulaan sekali. Aku melihat kau datang, dan aku melihat pula kemudian Kebo Ijo menyusulmu.”

“Hem,” Ken Arok bergumam di dalam hatinya, “kenapa guru Kebo Ijo ini membiarkan saja perkelahian itu berlangsung, dan dibiarkannya muridnya mempergunakan Aji Bajra Pati? Apabila aku tidak berhasil menahan serangan aji itu, maka aku akan lumat di hadapannya, dan ia hanya akan dapat menyesali muridnya yang lancang itu. Namun terlambat.”

“Aku melihat kau mengalahkan Kebo Ijo, kemudian memaksa Kebo Ijo melepaskan Aji Bajra Pati.”

“Sama sekali bukan maksudku Bapa Panji.”

“Ya, ya aku tahu. Memang bukan maksudmu. Itu se¬mata-mata karena nalar Kebo Ijo terlampau pendek.”

“Dan Bapa Panji membiarkannya melepaskan aji itu,” Ken Arok ingin mendapat penjelasan daripadanya, kenapa guru Kebo Ijo itu tidak mencegahnya.

“Oh,” Ken Arok heran ketika ia melihat Panji Bojong Santi itu tersenyum, “maafkan aku Ngger. Sebenarnya aku pun ingin mencegah perbuatan itu. Tetapi tiba-tiba aku melihat sesuatu yang membuat aku heran. Semula aku menyangka bahwa itu hanyalah penglihatanku saja. Tetapi aku menjadi yakin ketika kau memusatkan segenap kekuatanmu untuk melawan Aji Bajra Pati.”

“Apakah yang Bapa lihat?”

Panji Bojong Santi menjadi ragu-ragu. Ia ingin mengatakan apa yang dilihatnya, tetapi apabila demikian, maka hal itu akan sangat berbahaya bagi Ken Arok. Anak itu akan demikian besar kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga ia akan dapat melakukan hal-hal yang tidak terkendali. Meskipun agaknya sampai saat ini Ken Arok adalah anak muda yang baik, sabar, dan bertanggung jawab, tetapi apabila ia terlampau sadar akan kelebihannya, maka hal itu akan dapat mempengaruhi bahkan mengubah sama sekali tabiatnya itu.

Karena itu maka sejenak Panji Bojong Santi itu hanya berdiri saja termangu-mangu. Dipandanginya wajah Ken Arok yang keheran-heranan melihat keragu-raguan orang tua itu.

Sejenak kemudian Panji Bojong Santi itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya pelahan-lahan, “Kau memang mengagumkan anak muda. Aku melihat beberapa kelebihan ada padamu. Karena itulah maka aku berniat untuk melihat, apakah kau mampu melawan Aji Bajra Pati.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam di dalam hati, “Sangat berbahaya. Kalau aku menjadi lumat, maka sebagian adalah kesalahannya.”

Agaknya Panji Bojong Santi dapat menangkap perasaannya itu sehingga ia berkata, “Ternyata tangkapanku atas kau tidak jauh meleset Ngger. Kau memang luar biasa. Tetapi seandainya kau mendapat bencana karena Aji Bajra Pati, maka aku sudah bersedia untuk mencoba mengobatimu. Aku membawa beberapa macam obat untuk luka-luka dalam akibat benturan dengan Aji Bajra Pati.”

Ken Arok menarik nafas. Tetapi ia masih juga berdiam diri.

“Tetapi ternyata kau sama sekali tidak memerlukan obat itu. Kau hanya terdorong dan terjatuh pelahan-lahan. Sejenak kemudian kau sudah dapat menguasai dirimu. Seperti yang kau lihat maka justru Kebo Ijo sendirilah yang terlempar dan jatuh berguling di tanah. Itu adalah pertanda bahwa daya tahanmu benar-benar luar biasa, bahkan mengandung daya dorong yang tidak kau sadari. Kalau kau hanya memiliki daya tahan, maka Kebo Ijo tidak akan mengalami keadaan yang cukup berat baginya, yang cukup waktu bagimu untuk membinasakan apabila kau kehendaki.”

Ken Arok sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau kau mampu mengetrapkan kekuatanmu dalam sikap dan unsur-unsur gerak yang tersusun, maka kau akan menjadi seorang anak muda yang luar biasa.”

“Ah,” Ken Arok berdesah.

“Ilmumu adalah kurnia dari Yang Maha Agung. Agaknya kau tidak berguru kepada seseorang yang cukup berpengalaman untuk menuntunmu menyusun ilmu yang dahsyat Tetapi seandainya kau berguru maka gurumu itu pun kelak tak akan dapat menyamaimu.”

“Ah,” sahut Ken Arok, “itu berlebihan Bapa Panji. Tak ada kelebihan apa pun padaku. Tetapi memang aku tidak pernah berguru dalam ilmu kanuragan. Aku hanya mendapat sedikit tuntunan dari Bapa Lohgawe. Itu pun bukan soal-soal badani. Aku hanya diajarinya memusatkan pikiran, kehendak, dan getaran-getaran yang ada di dalam diriku.”

“Nah, kau, berhasil,” potong Panji Bojong Santi, “itu adalah sumber dari kekuatan. Semua aji yang dinamai oleh penyusunnya dengan bermacam-macam, nama menurut kesenangan dan selera masing-masing pada dasarnya bersumber pada pemusatan pikiran, kehendak, dan getaran-getaran yang ada di dalam tubuh untuk dapat membangunkan segenap kekuatan yang pada keadaan wajar seolah-olah tersembunyi. Seseorang harus berbuat banyak untuk dapat berbuat demikian. Latihan-latihan dengan tekun. Percobaan-percobaan yang kadang-kadang sangat berbahaya bagi dirinya. Pengenalan atas bentuk-bentuk kekuatan dan watak-wataknya, serta pengenalan atas diri sendiri. Dengan mesu diri seseorang baru akan mendapatkan apa yang dicarinya itu pada dirinya, yang kemudian dicarinya bentuk-bentuknya yang lebih umum untuk dapat diterapkan pada orang lain. Tentu saja orang-orang yang dipilihnya sesuai dengan pengamatannya atas watak dan sifat-sifatnya, yang pada umumnya disebut murid. Tetapi agaknya kau agak lain daripada keadaan yang umum itu. Agaknya kau mendapatkan kekuatan untuk itu tanpa kau sadari. Dan itu adalah kekhususan.”

Terasa dada Ken Arok berdesir. Tebersitlah perasaan bangga di dalam dirinya. Namun segera ia berkata, “Mungkin cara hidupku yang keras di masa kanak-kanak telah membentuk aku demikian.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada rendah ia berkata, “Mungkin, karena itu.” Tetapi apa yang tebersit di dalam hatinya tidak diucapkannya. Ia belum mengenal terlampau banyak tentang sifat-sifat anak itu. Keadaan sebelum ia berada di Padang Karautan ini bersama-sama dengan prajurit Tumapel. Karena itu, apa yang diketahuinya disimpannya saja di dalam hatinya.....

Sejenak ia melihat Ken Arok mulai mengerahkan kekuatannya, ia sudah melihat keanehan pada anak itu. Mula-mula tidak terlampau jelas. Ia melihat warna semburat merah di atas kepala Ken Arok. Hanya kadang-kadang dilihatnya warna itu membersit, tetapi ketika dipandanginya semakin tajam maka warna itu pun lenyap. Tetapi ketika Kebo Ijo bersiap melepaskan Aji Bajra Pati, dan ketika Panji Bojong Santi itu telah bersiap untuk mencegahnya, maka warna merah di atas kepala Ken Arok itu menjadi semakin nyata. Pada saat itu Ken Arok pun ternyata sedang memusatkan segenap pikiran, kehendak, dan getaran-getaran yang ada di dalam dirinya. Dan pada saat yang demikian itulah warna merah di kepalanya menjadi semakin nyata. Warna merah seakan-akan memancar dari ubun-ubun kepalanya itu.

Apa yang dilihat oleh Panji Bojong Santi itu sangat mempengaruhinya. Warna merah yang pernah dilihatnya pula oleh orang-orang tua sebayanya. Empu Purwa, guru Mahisa Agni, pun pernah melihat warna itu pula. Ketika ia berkelahi melawan Kebo Sindet maka warna yang demikian itu ternyata membersit pula di atas ubun-ubunnya.

Dan justru warna merah itulah yang mencegah Panji Bojong Santi untuk mengurungkan niat muridnya mempergunakan Aji Bajra Pati. Ia ingin melihat, apakah pengaruh warna di atas kepala itu.

Ternyata anak muda yang dari ubun-ubunnya seolah-olah membersit warna merah itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Dengan caranya sendiri ia berhasil menahan serangan Aji Bajra Pati, bahkan mampu melemparkan orang yang melepaskan aji itu sendiri sehingga terbanting jatuh.

Ketika angin malam yang silir berembus semakin keras mengusap tubuh-tubuh yang berdiri tegak di Padang Karautan itu maka Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Ia telah memutuskan untuk tidak mengatakan kepada Ken Arok apa yang sudah dilihatnya.

“Aku tidak akan mengatakannya,” katanya di dalam hati, “Entahlah kalau ia sudah tahu dan menyadarinya. Tetapi seandainya demikian, maka aku kira kurang baik akibatnya baginya sendiri. Ia akan dapat menyadi terlampau percaya pada kekuatan sendiri. Ia masih terlampau muda. Apabila kelak perasaannya sudah mengendap, maka akan berbedalah akibatnya.”

Tetapi yang dikatakan oleh Panji Bojong Santi adalah, “Mari Ken Arok. Apakah kau akan mempersilakan aku mampir ke perkemahanmu?”

“Oh,” Ken Arok tergagap, “marilah Bapa Panji. Kalau sudi maka aku persilakan singgah sebentar di perkemahan kami.”

Panji Bojong Santi tersenyum. “Aku memang ingin melihat perkemahanmu Ngger.”

“Terima kasih Bapa. Marilah.”

Keduanya pun kemudian berjalan meninggalkan taman yang belum siap itu, pergi ke perkemahan. Mereka melintasi beberapa parit dan susukan induk.

“Rencana ini amat baik,” desis Panji Bojong Santi. “Parit induk yang membelah padang, kemudian parit-parit yang seperti jari-jari yang puluhan banyaknya mencekam padang di sekitar susukan ini. Siapakah yang merencanakan semua ini?”

“Mahisa Agni Bapa Panji. Tetapi kemudian aku mendapat perintah dari Akuwu untuk menampung air dari susukan induk ini dengan sebuah sendang buatan di tengah-tengah taman ini.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sebuah perpaduan rencana yang pasti akan memuaskan sekali. Memuaskan bagi orang-orang Panawijen yang kehilangan tanahnya yang subur, dan memuaskan bagi Akuwu Tunggul Ametung. Bukankah Akuwu ingin menghadiahkan taman itu kelak kepada permaisurinya yang juga berasal dari Panawijen itu?”

“Ya, ternyata Bapa Panji telah mengetahuinya.”

“Aku mendengar dari orang-orang istana Ngger.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Panji Bojong Santi adalah guru Witantra dan Kebo Ijo, yang kedua-duanya adalah orang-orang dalam juga.

“Dan kali ini aku memerlukan untuk melihat sendiri, apakah yang telah kalian buat di sini. Ternyata apa yang aku lihat sangat mengagumkan. Sayang, bahwa Angger Mahisa Agni tidak dapat ikut melaksanakan rencana yang amat bagus ini.”

“Ia hanya sempat memulainya Bapa.”

“Ya, ya. Sayang sekali. Mudah-mudahan ia dapat juga melihat kelak, apabila rencana ini telah siap. Parit-parit telah mengalir dan taman ini telah dipajang dengan bunga-bunga. Sebuah rakit yang indah di tengah-tengah sendang yang sedang dipersiapkan itu dan sebuah pesanggrahan kecil di pinggirnya.”

“Ya Bapa. Apabila dinding taman itu telah siap, parit induk sudah dapat mengalirkan air dan parit yang akan menampung limpahan airnya kelak siap pula untuk mengalirkannya ke padang di bawah taman ini untuk kemudian melimpahkannya ke sawah-sawah pula dan sisanya akan dilepaskan kembali ke dalam sungai, maka barulah pesanggrahan kecil itu akan mulai dibangun.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah cukup waktu bagimu untuk menyiapkan pesanggrahan itu dalam waktu yang ditetapkan apabila kau bangun terakhir setelah semuanya siap?”

“O, kayu-kayunya telah disiapkan di Tumapel. Di sini kita tinggal memasangnya.”

Panji Bojong Santi masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak-anak muda di Padang Karautan ini ternyata mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar dan mengagumkan. Mahisa Agni ternyata mempunyai pandangan yang tajam buat masa-masa mendatang, dan Ken Arok adalah seorang pelaksana yang baik, yang mampu mewujudkan angan-angan di dalam kenyataan. Taman itu nanti pasti akan menjadi tempat yang sangat menyenangkan, seperti sebuah taman di dalam mimpi. Sebuah sendang buatan, sebuah pulau kecil di tengah-tengah taman, yang dibuat seperti sebuah bukit karang, tetapi dapat ditanami bunga-bungaan. Sebuah pesanggrahan kecil.

Ternyata Padang Karautan akan segera berubah menjadi sebuah tempat yang memberi kebanggaan bagi Tumapel. Sawah yang seolah-olah tanpa batas. Sebuah taman yang indah. Sebuah perpaduan antara kesuburan dan keindahan yang seimbang. Antara kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Dan kedua-duanya bersumber kepada Yang Maha Agung, Yang Maha Kasih, Yang Maka Murah. Yang menciptakan alam seisinya, dan memelihara dengan keindahan kasih-Nya tetapi yang kelak apabila datang saatnya akan menuntut pertanggungjawaban yang paling adil.

“Sayang,” tiba-tiba Panji Bojong Santi itu berdesis.

“Kenapa Bapa?” bertanya Ken Arok.

“Ada juga yang mengganggu pelaksanaan kerja yang besar ini.”

“Ya,” suara Ken Arok menjadi rendah, “hilangnya Mahisa Agni sangat mengganggu kerja ini.”

“Karena kecemasan akan hal itu pulalah aku tidak dapat melepaskan Kebo Ijo pergi hanya dengan beberapa orang pengawalnya. Aku terpaksa mendahuluinya dan mengawasinya, kalau-kalau ia bertemu dengan orang-orang yang telah mencoba menggagalkan kerja ini. Kebo Sindet misalnya.”

“Oh,” Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, “jadi hal itulah yang mendorong Bapa datang ke padang ini?”

“Bukan hanya itu, tetapi aku juga harus mengawasi kelakuan Kebo Ijo yang sering membuat aku berprihatin. Seperti apa yang baru saja terjadi. Aku menyadarinya, bahwa ia bukan seorang pemimpin yang baik. Untunglah yang bertanggung jawab di sini adalah Angger Ken Arok. Aku akan dapat menitipkannya kepadamu.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa kata-kata Panji Bojong Santi itu hanya sekadar untuk menyenangkannya. Karena itu maka ia tidak menjawab.

Tetapi ternyata Panji Bojong Santi itu berkata bersungguh-sungguh, “Jarang aku menjumpai anak-anak muda seperti kau Ngger. Meskipun kau memiliki keluarbiasaan, tetapi kau tetap sabar dan rendah hati. Karena itu maka aku berharap, bahwa cara hidup Kebo Ijo akan terpengaruh oleh sifat dan watakmu di sini. Mudah-mudahan ia dapat bercermin dan mengubah dirinya sendiri.”

“Ah,” Ken Arok berdesah, tetapi segera Panji Bojong Santi menyambung kata-katanya, “Aku berkata sesungguhnya Ngger. Dan aku akan berkata seperti ini juga nanti kepada Kebo Ijo. Ia adalah bawahanmu di sini. Adalah kewajiban seorang prajurit untuk tunduk dan taat kepada atasannya.” Nada suara Panji Bojong Santi pun segera merendah, “Tetapi kau sudah mempunyai cara yang sebaik-baiknya untuk menguasai anak buahmu. Tanpa kekerasan dan tekanan dengan kekuasaan. Mereka taat dan patuh kepadamu karena mereka menyadari keharusan itu dengan ikhlas. Kau adalah seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang mengutamakan kepentingan bawahanmu daripada kepentinganmu sendiri.”

Sekali lagi Ken Arok berdesah, Bapa memuji aku berlebih-lebihan. Aku tidak lebih dari seorang yang bodoh. Aku berbuat sekadar memenuhi kewajibanku. Meskipun aku berusaha untuk melakukannya sebaik-baiknya.”

“Terlampau baik buat seorang anak muda seumurmu,” sahut Panji Bojong Santi.

Ken Arok tidak menyahut lagi. Ia melangkah pergi pelahan-lahan sambil memandangi bintang-bintang di atas cakrawala. Kini terasa betapa segarnya angin padang yang bertiup pelahan-lahan menyentuh tubuhnya yang kotor oleh keringat dan debu. Di sampingnya Panji Bojong Santi pun terdiam untuk sejenak. Langkah mereka gemerisik di atas rerumputan yang kekuning-kuningan. Sekali-sekali mereka melangkahi parit-parit yang menjelujur menyusuri padang yang kering. Sebentar lagi, apabila parit-parit itu sudah mengalirkan air, maka keadaan padang akan segera berubah. Tanah yang kering yang ditumbuhi oleh rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu yang liar itu akan segera berubah menjadi tanah persawahan yang hijau subur.

Akhirnya mereka berdua sampai di perkemahan para prajurit Tumapel. Beberapa buah gubug telah menyadi gelap. Penghuni-penghuninya sengaja memadamkan lampu-lampu minyak di dalam gubug mereka, supaya mereka dapat tidur dengan nyenyak, meskipun dengan demikian kadang-kadang mereka terganggu juga oleh nyamuk yang beterbangan di sekitar telinga mereka.

“Tolong bawa aku ke gubug Kebo Ijo, Bgger,” minta Panji Bojong Santi.

“Baiklah Bapa,” sahut Ken Arok.

Keduanya pun kemudian pergi ke gubug Kebo Ijo. Gubug kecil yang dipergunakannya seorang diri.

Ketika keduanya sampai di muka pintu gubug itu, maka pelahan-lahan pintunya ditarik oleh Ken Arok sambil berkata, “Adi, Bapa Panji ingin berkunjung ke pondokmu.”

Kebo Ijo yang sudah berbaring, segera meloncat bangkit. Dengan tergopoh-gopoh ia mempersilakan gurunya. “Marilah guru. Inilah pondokku yang kotor. Aku tidak dapat berbuat banyak, sebab aku tinggal mempergunakannya. Para prajurit yang mendahului akulah yang telah membuat gubug macam begini, lebih jelek dari sebuah kandang kambing.”

Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya. Ketika selangkah ia memasuki pintu, maka ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Pelahan-lahan ia bergumam, “Gubug ini terlampau baik buat padang yang kering ini. Ternyata persiapan kalian cukup baik. Kalian masih sempat juga membuat gubug-gubug serupa ini. Aku tidak membayangkan sebelumnya bahwa gubug-gubug di sini demikian baik. Aku kira kalian hanya memancangkan beberapa tiang-tiang bambu, kemudian memasang anyaman ilalang di atasnya. Ternyata kalian sempat membuat dinding dan membuat pondok terpisah-pisah.”

“Tidak semua Bapa,” sahut Ken Arok, “hanya beberapa buah. Yang lain adalah barak-barak kecil untuk lima sampai sepuluh orang.”

“Tetapi bukankah kau beri berdinding juga untuk menahan dingin dan debu.”

“Ya,” Ken Arok mengangguk.

“Bagus,” Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya pula. “Apalagi kalian masih sempat membuat rak-rakan tempat pakaian. Ada berapa puluh rak-rakan semacam ini harus kau buat Ngger?”

Ken Arok terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Di perkemahan ini hanya ada satu paga semacam itu. Hanya khusus buat Kebo Ijo. Karena itu maka sejenak ia berdiam diri sambil memandangi wajah Kebo Ijo yang gelisah.

Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya. Dilihatnya kedua anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu justru hanya karena pertanyaannya yang terlampau sederhana. Tetapi karena itu timbullah keinginannya untuk mengetahui lebih banyak mengenai pertanyaannya itu.

“Angger Ken Arok, ada berapa ratus rak-rakan di seluruh perkemahan ini? Apakah orang-orang Panawijen juga membuat paga – paga semacam itu untuk meletakkan pakaian dan alat-alatnya?”

Pelahan-lahan sekali Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Tidak Bapa.”

“Jadi hanya para prajurit Tumapel saja yang membuat paga – paga semacam itu.”

Sekali lagi Ken Arok menggeleng lemah, “Tidak Bapa.”

Kini Panji Bojong Santi mcngangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Kebo Ijo yang menjadi semakin gelisah. Pelahan-lahan terdengar ia berkata, “Aku sudah menyangka. Meskipun hal ini tampaknya tidak terlampau penting, tetapi ini adalah gambaran dari segenap sifat-sifatmu Kebo Ijo. Kau selalu ingin berlebih-lebihan, melampaui yang lain.”

Kebo Ijo menggerutu di dalam hatinya. Ketika ia disuruh meninggalkan taman yang sedang disiapkan itu, ia merasa terlepas dari ketegangan semacam ini. Tetapi kini gurunya datang lagi kepadanya. Bahkan soal-soal yang sama sekali tidak penting diurusinya. Soal paga pun ditanyakannya, bahkan dijadikannya bahan untuk memarahinya.

Tetapi bagi Panji Bojong Santi ternyata bukan sekadar soal sebuah rak-rakan bambu. Yang penting baginya adalah sifat yang sombong dari muridnya itu, sehingga dilanjutkannya kata-katanya, “Kebo Ijo. Kau harus segera menyadari rasa tinggi hati dan rasa berlebihan itu. Kalau kau masih juga suka menyombongkan dirimu, maka kau suatu ketika akan terjerumus ke dalam suatu keadaan yang tidak kau duga-duga sebelumnya. Setiap orang di Tumapel mengenalmu sebagai seorang pembual, seorang yang pameran, dan sombong. Itu harus kau hentikan. Betapa kau mencoba bersikap tenang dan pendiam di hadapanku, tetapi aku masih juga mempunyai telinga. Aku selalu mendengar apa kata orang tentang murid-muridku. Kakakmu Mahendra kini sudah menjadi agak tenang. Kau, yang sudah berkeluarga, seharusnya lebih hati-hati menjaga diri.”

Kebo Ijo mengumpat di dalam hati. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya guru.”

“Di sini kau mendapat seorang kawan yang baik,” berkata gurunya lebih lanjut, “Ken Arok pasti akan dapat menuntunmu. Aku memang menitipkan kau kepadanya. Aku beri Angger Ken Arok wewenang untuk memberimu petunjuk-petunjuk. Agal atau halus. Dan kau harus menerima petunjuk-petunjuknya seperti dari aku sendiri.”

Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Dan ia terkejut ketika gurunya berkata pula, “Memang tidak menyenangkan bagimu. Apalagi kau merasa dirimu berlebih-lebihan di sini. Kau merasa lebih tinggi dari semua orang dalam semua soal. Lebih pandai, lebih mengerti, dan lebih cakap untuk memecahkan persoalan-persoalan. Kau merasa bahwa hanya pendirianmulah yang benar.”

Kebo Ijo menggigit bibirnya. Tetapi gurunya berkata terus, “Tak ada orang yang paling pandai dan paling mengerti di muka bumi ini. Tak ada orang yang sempurna. Hanya Yang Maha Agunglah yang sempurna, Maha Sempurna. Karena itu sadarilah kekecilan dirimu.”

Kebo Ijo mengangguk sambil menjawab untuk menyenangkan hati gurunya, “Ya guru.”

“Apakah kau menjawab sesungguhnya?”

Kebo Ijo menarik alisnya. Jawabnya, “Ya guru.”

“Tidak sekadar untuk menyenangkan hatiku.”

“Ah,” Kebo Ijo berdesah. Tetapi hatinya mengumpat tidak habis-habisnya.

“Baiklah,” berkata gurunya, “mungkin kau tidak dapat mengerti sekarang. Mungkin kau jemu dan bahkan muak mendengar nasihatku. Mungkin kau mengumpat-umpat di dalam hatimu.”

Dada Kebo Ijo menjadi berdebar-debar. Apakah Panji Bojong Santi itu dapat membaca perasaannya.

“Tetapi Kebo Ijo,” berkata gurunya itu seterusnya, “kalau kau nanti sempat merenungkannya, maka aku mengharap bahwa kau akan dapat membenarkan kata-kataku.”

Tanpa sesadarnya sekali lagi Kebo Ijo mengangguk, “Ya guru.”

Panji Bojong Santi pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah bibirnya tersenyum. Katanya, “Aku tidak yakin terhadap anggukan kepalamu itu Kebo Ijo. Tetapi biarlah. Kau memerlukan waktu dan pengalaman untuk memahami kebenaran kata-kataku.” Kemudian kepada Ken Arok ia berkata, “Sudahlah Ngger. Tinggalkanlah aku di sini. Malam ini aku minta izin untuk bermalam di perkemahan ini.”

“Oh, kami akan sangat bersenang hati Bapa. Bukan saja malam ini, tetapi malam-malam berikutnya pun akan sangat memberi kegembiraan kepada kami, seperti paman Mahisa Agni pernah berada di perkemahan ini pula.”

“Paman Mahisa Agni?”

“Ya, Empu Gandring.”

“Oh,” Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku pernah juga mendengar. Bahkan kehadirannya di sini tidak dapat menyelamatkan Mahisa Agni.”

“Ya. Meskipun Empu Gandring telah berusaha sekuat-kuat tenaganya. Akulah yang terlampau bodoh waktu itu. Aku tidak dapat membantunya sama sekali. Padahal yang datang mengambil Mahisa Agni waktu itu adalah kakak-beradik dari Kemundungan dan Kuda Sempana, murid Empu Sada.”

“Ya, ya aku pernah mendengar.” Panji Bojong Santi terdiam sesaat. Wajahnya menyadi berkerut-merut. Dan pelahan-lahan ia berkata, “Karena itu Kebo Ijo, kau harus berhati-hati. Sebelum kalian datang ke taman malam ini, aku melihat dua orang berkuda melintas tidak terlampau jauh dari taman yang sedang kalian buat itu. Aku tidak begitu jelas siapakah mereka itu. Tetapi menilik cara mereka berkuda, terutama yang seorang, maka aku menduga bahwa orang itu adalah Kebo Sindet. Tetapi mereka tidak mendekati perkemahan ini. Mereka hanya melintas. Aku tidak tahu, dari manakah mereka dan untuk apa mereka berkeliaran di sekitar tempat ini.”

Wajah Kebo Ijo menjadi tegang. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Yang bertanya kemudian adalah Ken Arok. “Apakah menurut pendapat Bapa mereka hanya sekadar lewat?”

“Kali ini aku kira begitu. Entahlah kalau ada maksud maksud lain yang tidak aku ketahui.”

“Tetapi mereka tahu, di sini ada sepasukan prajurit segelar sepapan. Kami tidak akan melakukan kesalahan yang serupa, datang kepada mereka ketika kami dipancingnya.”

Panji Bojong Santi mengangguk-angguk. Tetapi Mahisa Agni itu sudah telanjur lenyap ditelan oleh iblis Kemundungan itu.

Kini sejenak mereka saling berdiam diri. Wajah-wajah mereka yang tenang memancarkan pergolakan di dalam dada masing-masing. Ternyata orang yang telah mengambil Mahisa Agni itu masih saja berkeliaran di sekitar bendungan ini.

“Apakah yang sebenarnya mereka kehendaki?” desis Ken Arok kemudian, “Mahisa Agni itu, atau menggagalkan rencana pembuatan bendungan ini? Kalau yang mereka kehendaki Mahisa Agni, maka mereka aku kira sudah tidak akan mengganggu pekerjaan kita di sini. Tetapi apa bila mereka mengambil Mahisa Agni sebagai suatu cara untuk menggagalkan pembuatan bendungan ini, maka kita yang di sini harus memperhitungkan kehadirannya setiap saat.”

Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Menurut pendengaranku Ngger, Kebo Sindet hanya berkepentingan dengan Mahisa Agni. Itu pun hanya akan dipergunakannya sebagai alat pemerasan. Ia mengharap Tuan Puteri Ken Dedes akan menukar kakak angkatnya itu dengan apa saja yang diminta oleh Kebo Sindet.”

“Licik dan memuakkan,” geram Ken Arok.

“Bagi orang semacam Kebo Sindet maka segala jalan akan dapat ditempuh untuk mencapai maksudnya. Licik, memuakkan, bengis, dan segala macam cara.”

Ken Arok tiba-tiba menggeram. Katanya, “Kalau aku diberi wewenang maka aku akan dapat membawa pasukan untuk menangkapnya. Aku tidak akan kembali tanpa membawanya hidup atau mati. Untuk meyakinkan usaha itu, maka aku akan dapat memohon bantuan kepada Empu Gandring kepada Bapa Panji Bojong Santi dan kepada para perwira yang tangguh. Mereka pasti tidak akan berkeberatan. Dan Kebo Sindet itu pasti akan dapat aku tangkap.”

“Hal itu dapat kau lakukan pada saat-saat tidak seperti sekarang Ngger,” sahut Panji Bojong Santi, “Sekarang Angger Mahisa Agni sudah telanjur berada di sarang mereka. Itu terlampau berbahaya bagi jiwanya.”

“Itulah sebabnya Bapa,” desis Ken Arok, “Empu Gandring pun berkata demikian. Kini sedang dilakukan usaha untuk melepaskannya dengan cara yang lain. Cara yang tidak aku mengerti dan tidak seorang pun yang mengerti. Sehingga perkembangan usaha itu pun sama sekali tidak dimengerti oleh siapa pun. Entahlah apabila Empu Gandring telah mendapat beberapa keterangan tentang itu.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi persoalan itu bukan persoalan yang terlalu mudah untuk dipecahkan seperti akan menangkap Kebo Sindet itu sendiri. Di mana pun ia bersembunyi, namun mencari dan menangkapnya pasti akan lebih mudah daripada melepaskan Mahisa Agni dari tangan hantu Kemundungan itu sendiri.

“Sudahlah Ngger. Pikirkanlah hal itu sebaik-baiknya. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Tetapi kini yang terbentang di hadapan kaki Angger adalah bendungan, susukan induk, parit-parit, dan sendang buatan itu. Kalau Angger melaksanakan rencana ini dengan baik, maka apa yang Angger kerjakan itu pasti akan menyenangkan hati Angger Mahisa Agni, Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, orang-orang Panawijen, dan bahkan seluruh rakyat Tumapel. Berkembangnya Padang Karautan menjadi daerah yang reja, akan berpengaruh pula atas kebesaran Tumapel seluruhnya.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar akan kewajibannya. Kalau Akuwu Tunggul Ametung benar-benar ingin menangkap Kebo Sindet maka hal itu dapat diserahkan kepada orang lain tanpa menghentikan kerja di Padang Karautan. Mungkin Witantra sendiri atau Sidatta atau perwira-perwira yang lain.

Ken Arok kemudian mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Panji Bojong Santi itu berkata, “Nah, beristirahatlah Ngger. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Angger perlu tidur meskipun hanya sejenak supaya tubuh Angger besok menjadi segar kembali.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja terasa badannya penat dan kantuk. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah Bapa, aku minta diri. Mungkin aku masih dapat tidur beberapa saat.”

“Silakanlah.”

Ketika Ken Arok kemudian sampai di muka pintu, ia berpaling sambil berkata, “Beristirahatlah pula adi Kebo Ijo. Aku kira kau lebih lelah daripada aku karena perjalananmu hari ini. Besok kau akan melihat cara kami bekerja untuk yang pertama kali.”

“Ya,” jawab Kebo Ijo singkat. Terlalu singkat.

Ken Arok menarik alisnya, bahkan Panji Bojong Santi terpaksa berpaling ke arahnya. Tetapi Kebo Ijo telah memalingkan wajahnya pula memandangi rak-rakan tempat ia meletakkan sebungkus pakaian.

“Selamat malam Bapa,” desis Ken Arok pelahan sambil meninggalkan gubug itu. Dan ia mendengar orang tua itu menyahut pelahan-lahan pula, “Selamat tidur Ngger.”

Tetapi Ken Arok mengerutkan dahinya ketika ia memandangi cakrawala di ujung timur. Ia melihat cahaya di langit yang sudah mulai semburat merah. “Ah, hampir fajar,” desisnya, “apakah aku masih dapat tidur?”

Ketika Ken Arok sampai ke tempat terbuka di sisi perkemahan ia menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sebagian dari orang-orang Panawijen dan prajurit Tumapel bergelimpangan tidur terbujur lintang. Agaknya mereka menjadi penat dan kantuk, sehingga mereka tidak sempat untuk kembali ke gubug masing-masing.

“Ternyata besok kita masih belum dapat bekerja sepenuh tenaga. Orang-orang ini pasti masih lelah dan kantuk. Agaknya mereka pun belum lama tertidur,” gumam Ken Arok kepada diri sendiri. Ia masih melihat perapian yang membara. Bahkan ia masih melihat bumbung-bumbung tempat minum masih terisi dan makanan di mangkuk-mangkuk masih berserakan.

Akhirnya Ken Arok itu pun memasuki gubugnya sendiri. Dibaringkannya tubuhnya tanpa membuka dan berganti pakaian. Pakaian yang basah oleh keringat dan kotor karena tanah dan debu. Namun karena lelah, maka ia pun akhirnya tertidur juga.

Tetapi Ken Arok ternyata tidak terlalu lama lelap dalam tidurnya. Dipengaruhi oleh kebiasaannya maka ia pun segera terbangun ketika fajar di timur telah memancarkan sinarnya yang merah, seolah-olah langit di cakrawala itu sedang terbakar. Namun waktu yang pendek itu ternyata telah dapat menyegarkan tubuhnya.

Sambil menguap Ken Arok menggeliat. Sebenarnya ia masih ingin tidur lebih lama lagi. Tetapi tanggung jawabnya telah memaksanya bangkit dan berjalan keluar dari gubugnya.

Ketika ia menyuruk pintu, dan kemudian berada di luar, maka perkemahan itu masih terlampau sepi. Meskipun padang itu sudah menjadi semakin terang oleh cahaya pagi yang turun pelahan-lahan, namun Ken Arok belum melihat seorang pun.

“Hem, mereka masih nyenyak dalam tidurnya,” desisnya.

Pelahan-lahan ia melangkah ke sudut gubugnya. Diambilnya air sesiwur untuk mencuci mukanya, menghilangkan sisa-sisa kantuknya. Kemudian diambilnya air sesiwur pula. Tetapi kali ini diminumnya. Terasa tenggorokannya menjadi jernih dan bening. Banyu wayu selalu dipakainya untuk mencuci tenggorokkannya, sehingga hal itu menjadi kebiasaan baginya.

Ken Arok itu pun kemudian berjalan menyusur gubug demi gubug. Sebagian gubug-gubug itu masih kosong. Ternyata orang-orangnya tertidur di tempat mereka bersenang-senang semalam. Tetapi ada pula di antaranya yang sudah berada di dalam gubugnya namun mereka masih nyenyak membenamkan dirinya di bawah kain panjangnya.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Hari ini seharusnya mereka telah mulai lagi dengan kerja mereka. Tetapi Ken Arok serasa tidak sampai hati untuk membangunkan mereka, dan memaksa mereka untuk bekerja.

Meskipun demikian Ken Arok tidak akan dapat membiarkannya. Untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan mendatang, maka ia harus menepati peraturan yang sudah dibuatnya, supaya tidak menjadi kebiasaan, bahwa para prajurit dan orang-orang Panawijen itu bekerja seenaknya. Apabila mereka ingin sajalah, mereka bekerja tanpa perencanaan waktu yang baik.

“Aku terpaksa membangunkan mereka,” desisnya.

Ketika Padang Karautan itu menjadi semakin terang, maka Ken Arok melihat seseorang keluar dari gubugnya. Ketika dilihatnya Ken Arok telah berada di sampingnya, ia terkejut. Terbata-bata ia berkata, “Aku kerinan. Semalam aku bangun hampir semalam suntuk.”

Tetapi Ken Arok tersenyum dan berkata, “Ternyata kau bangun paling pagi. Kau adalah orang yang paling rajin hari ini. Nah, pergilah ke sudut perkemahan itu. Bunyikanlah kentongan supaya kawan-kawanmu terbangun.”

Orang-orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia bangun paling pagi. “Hari ini aku adalah orang yang paling rajin,” katanya di dalam hatinya. Dan ia berbangga karenanya.

Dengan tergesa-gesa orang itu memaksa dirinya yang masih terkantuk-kantuk berjalan ke sudut perkemahan untuk membunyikan kentongan. Sekali ia menguap, namun kemudian diayunkannya tangannya memukul kentongan itu. Sekejap kemudian bergemalah suara kentongan itu ke seluruh perkemahan, bahkan seolah-olah udara Padang Karautan itu telah digetarkan oleh suaranya.

Ternyata suara kentongan itu telah mengejutkan para prajurit dan orang-orang Panawijen. Mereka yang masih tidur dengan nyenyaknya segera berloncatan berdiri. Sebagian dari mereka yang tertidur di tepi perapian di luar gubug-gubug mereka segera berlari-larian ke gubug masing-masing untuk menyiapkan diri, mengambil peralatan-peralatan kecil, dan membenahi pakaian mereka. Tetapi ada pula yang menggeliat dengan malasnya sambil bergumam, “Ah, serasa baru saja mataku terpejam.”

Ternyata Kebo Ijo pun tcrkejut mendengar suara kentongan itu. Ia pun belum lama dapat tertidur. Ketika ia bangkit maka segera ia mengumpat, “Setan mana yang berani mengejutkan aku itu? Seharusnya ia tidak mempergunakan kentongan yang memekakkan telinga itu.” Tetapi ia terdiam ketika kemudian dilihatnya gurunya telah duduk bersila di sudut perkemahannya. Agaknya gurunya telah lama terbangun. Bahkan mungkin tidak tidur sama sekali. Panji Bojong Santi telah merapihkan pakaiannya. Rambutnya telah dibenahinya dengan baik.

“Bukan suara kentongan itu yang salah Kebo Ijo,” berkata gurunya, “tetapi kaulah yang terlambat bangun.”

“Ya guru,” sahut Kebo Ijo.

“Kentongan itu mungkin suatu tanda, bahwa para prajurit harus sudah siap untuk berangkat. Begitu barangkali? Aku tidak tahu isyarat-isyarat yang dipergunakan di sini.”

Kebo Ijo menggeleng, “Aku pun belum tahu guru. Kami belum pernah membicarakan masalah tengara yang dapat kita pergunakan di padang ini. Itu adalah pokal Ken Arok sendiri.”

“Mungkin kebiasaan itu berlaku sejak kau belum datang kemari, sehingga sampai saat ini masih dipergunakannya.”

“Tetapi sejak kehadiranku, maka aku pun harus tahu setiap persoalan dan persetujuan di sini. Semuanya harus dibicarakan dengan aku.”

“Kenapa?”

“Aku termasuk seorang pimpinan di antara dua. Aku dan Ken Arok.”

Tiba-tiba Panji Bojong Santi menggeleng, “Tidak. Jangan kau sangka aku tidak tahu Kebo Ijo. Coba, apakah perintah yang diberikan oleh Akuwu kepadamu?”

Kebo Ijo terdiam.

“Menurut kakakmu Witantra, kau dikirim untuk membantu Ken Arok di sini, karena menurut rencana Ken Arok, waktu bekerja akan diperpanjang, sehingga ia memerlukan seorang pembantu untuk melaksanakan kerja ini. Pembantu. Seorang pembantu yang dapat memimpin pekerjaan ini apabila ia beristirahat. Itu saja. Jangan merasa dirimu terlampau berkuasa. Kalau Ken Arok seorang pemimpin yang baik, ia pasti akan membawamu berbincang. Kalau tidak, itu adalah haknya untuk membuat keputusan.”

Kebo Ijo tidak menjawab. Ia tidak mau berbantah dengan gurunya, meskipun ia tidak sependapat, di dalam hatinya ia bergumam, “Tidak. Aku bukan sekadar seorang pembantu yang harus tunduk pada perintah. Aku adalah seorang pemimpin sepasukan prajurit yang diperbantukan kepada Ken Arok. Di antara keduanya ada perbedaan.” Tetapi Kebo Ijo tidak mengucapkannya. Bahkan ia mendengar gurunya berkata, “Cepatlah Kebo Ijo, kau harus ada di antara prajurit-prajurit yang sedang bekerja itu di harimu yang pertama. Kau harus menunjukkan bahwa kau bersungguh-sungguh.”

Kebo Ijo mengerutkan dahinya. Tetapi ia menyawab, “Baik guru.”

Kebo Ijo itu pun segera meninggalkan gubugnya. Di sepanjang langkahnya ia menggerutu, “Ah, aku masih juga dianggapnya seorang anak kecil. Aku sudah cukup dewasa. Sudah berkeluarga pula. Seharusnya guru bersikap lain terhadapku. Tidak seperti seorang anak yang sedang dituntun belajar berjalan.”

Tetapi ia terdiam ketika ia melihat bahwa para prajurit dan orang-orang Panawijen telah berkumpul dan siap untuk berangkat. Ketika ia sampai di tempat itu, ia mendengar Ken Arok berkata, “Ternyata kalian hari ini terlambat bangun.”

“Setan,” geram Kebo Ijo, “apakah ia menyindir aku.”

Tetapi ia mendengar Ken Arok berkata seterusnya, “Juru masak pun terlambat pula bangun, sehingga saat ini mereka masih belum dapat menyediakan makan pagi kalian. Tetapi tidak apa. Setelah kalian beristirahat maka agaknya kalian masih belum siap benar menghadapi kerja hari ini. Selanjutnya, kalian harus segera berangkat. Makan pagi kalian akan diantar ke tempat pekerjaan kalian masing-masing. Yang belum sempat mandi atau mencuci muka, tidak ada waktu lagi untuk melakukannya. Kalian harus segera berada di tempat kerja kalian masing-masing.” Ken Arok berhenti sejenak. Ketika kemudian dilihatnya Kebo Ijo, ia berkata, “Prajurit-prajurit yang datang kemudian, bekerja pula seperti dahulu. Kita masih harus membicarakan pembagian waktu sebaik-baiknya sebelum dilakukan perpanjangan waktu bekerja. Sekarang, berangkatlah ke tempat masing-masing. Para prajurit yang baru aku tempatkan di sendang dan taman. Orang-orang yang lama, yang aku serahi memimpin bagian-bagian dari kerja itu, akan menunjukkan kepada kalian, apa saja yang dapat kalian lakukan di hari pertama ini.”

Kebo Ijo yang berdiri di sisi para prajurit dan orang-orang Panawijen itu mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang menggetarkan perasaannya. Ternyata Ken Arok cukup disuyuti oleh orang-orangnya. Meskipun pimpinan yang masih muda itu tidak bersikap keras dan kasar, tetapi Kebo Ijo melihat betapa wajah para prajurit Tumapel yang berdiri dengan alat-alat mereka di tangan itu merasa takut dan menyesal atas keterlambatan mereka. Sehingga ketika Ken Arok telah memerintahkan kepada mereka untuk berangkat, maka mereka pun segera menghambur ke tempat kerja masing-masing seperti sedang dikejar hantu.

Yang tinggal di perkemahan, kecuali para juru masak dan orang-orang yang memang bertugas menjaga perkemahan, adalah Ken Arok dan Kebo Ijo. Betapa Kebo Ijo mengagumi sikap kepemimpinan Ken Arok, namun kemudian ia pun mendekatinya dan masih juga mencelanya. “Ken Arok, kau tidak dapat menangkap gelagat orang-orangmu. Mereka masih terlampau letih. Sekarang kau paksa mereka untuk bekerja.”

Sesaat Ken Arok memandangi wajah Kebo Ijo dengan penuh keheranan. Tetapi kemudian ia menyawab, “Kau memang aneh adi Kebo Ijo. Aku kira kau akan menyalahkan aku, kenapa aku tidak marah-marah dan membentak-bentak karena orang-orang itu terlambat bangun, atau akan menyuruh aku memukul satu-dua di antara mereka untuk memberi sedikit pelajaran, agar hal-hal yang serupa tidak terulang.”

Dada Kebo Ijo berdesir mendengar jawaban itu. Sejenak ia terdiam. Ia merasa sebuah sindiran yang tajam terhadapnya. Dan tiba-tiba ia menyadari pertentangan dalam sikapnya sendiri. Suatu ketika ia ingin menegakkan ketaatan para prajurit Tumapel, bahkan apabila perlu dengan kekerasan, tetapi tiba-tiba ia bersikap terlampau kendor menghadapi keadaan.

Dan ia mendengar Ken Arok meneruskan, “Meskipun aku tidak mempergunakan kekerasan, tetapi aku pun ingin setiap peraturan yang telah aku buat, dilakukan dengan baik oleh para prajurit. Lihat, meskipun aku tidak memberikan perintah apa pun terhadap orang-orang Panawijen, karena mereka memang berada di luar kesatuan prajurit Tumapel, sehingga terhadap mereka harus dilakukan sikap yang lain, namun mereka pun terpengaruh pula oleh sikap para prajurit. Ketika para prajurit berhamburan ke pekerjaan masing-masing, maka orang-orang Panawijen pun berlari-larian pula ke bendungan. Meskipun mereka lelah dan kantuk, tetapi mereka harus berangkat ke tempat kerja mereka. Jangan menjadi kebiasaan untuk menyimpang dari keharusan, kecuali dalam hal-hal yang sangat khusus.

Kebo Ijo tidak menyahut. Wajahnya menjadi panas, seolah-olah ia dihadapkan pada cermin yang membayangkan cacat sendiri. Betapa ia mencari alasan untuk mempertahankan kata-katanya, tetapi ia terpaksa untuk diam diri beberapa lama.

Bahkan yang berbicara kemudian adalah Ken Arok, “Nah, sekarang marilah. Kita pun pergi ke tempat kerja itu. Mungkin di hari pertama kau ingin melihat-lihat setiap pekerjaan yang kita lakukan di sini. Kita akan pergi ke bendungan, kemudian menyusur parit induk pergi ke tanah yang akan dipergunakan sebagai tanah persawahan, sehingga akhirnya kita akan sampai ke taman yang sedang dikerjakan itu. Dengan demikian kau akan mendapat gambaran, bagaimana kerja ini dilakukan.”

Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata.

“Marilah. Kita akan melihat apa saja yang telah kita lakukan dan apa yang masih harus kita perbuat.”

Akhirnya Kebo Ijo itu menyawab, “Marilah.”

Tetapi ia menjadi heran ketika ia melihat Ken Arok melangkahkan kakinya, sehingga terloncat pertanyaannya, “Apakah kita akan berjalan kaki saja?”

Kini Ken Aroklah yang menjadi keheran-heranan mendengar pertanyaan itu. Sambil menghentikan langkahnya, dipandanginya wajah Kebo Ijo. Sejenak kemudian terdengarlah ia bertanya, “Lalu, apakah kita harus naik pedati?”

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah menjadi kebiasaanmu berbuat demikian? Berjalan ke bendungan, menyusur susukan induk sampai ke sendang yang sedang kau buat itu? Itu hanya akan membuang waktu dan tenaga.”

“Bagaimanakah sebaiknya?” bertanya Ken Arok.

“Bukankah kau dapat naik kuda?”

Ken Arok menarik nafas panjang. Sambil menggelengkan kepalanya pelahan-lahan ia berkata, “Tidak. Kalau kita naik kuda, kita hanya seperti orang yang sedang lewat saja. Kita tidak dapat menyaksikan dari dekat, apa yang telah kita kerjakan.”

“O, kau berpikir seperti kanak-kanak. Kau sangka kita akan berkuda tanpa berhenti? Tanpa aku terangkan, seharusnya kau sudah tahu. Di tempat-tempat tertentu kita berhenti dan melihat kerja para prajurit. Kemudian kita tinggalkan mereka pergi ke tempat yang lain. Dengan demikian kita tidak kehilangan waktu di sepanjang jalan, dan kita tidak terlalu letih karenanya. Sebab kerja ini tidak hanya satu-dua hari saja.”

Tetapi sekali lagi Ken Arok menggeleng, “Aku di sini adalah sebagian dari mereka. Sebagian dari para pekerja. Aku harus ada di antara mereka. Aku harus melihat setiap jengkal tanah yang sedang dikerjakan. Kalau aku berkuda, maka aku akan memisahkan diri dari mereka. Dan aku adalah seorang pemimpin yang menarik garis pemisah dengan orang-orangku sendiri.”

“Ah, alasanmu selalu itu-itu saja.”

“Kau melihat hasilnya. Apakah aku harus marah-marah dan membentak-bentak setiap kali? Tidak, dan orang-orangku cukup menaati perintahku. Mereka menyadari apa yang mereka lakukan. Bukan sekadar karena terpaksa. Kerja di Padang Karautan ini tidak seluruhnya sama seperti di medan perang. Dan kita, yang diserahi pimpinan harus dapat menyesuaikan diri, di mana medan yang sedang kita hadapi. Bendungan, susukan , dan sendang itu bukanlah musuh yang harus dihadapi dengan kekerasan, tetapi harus dilakukan dengan hati gembira, menyenangi kerja yang sedang dilakukan. Dengan demikian maka hasilnya pun akan memancarkan kegembiraan pula. Kelak, setiap prajurit yang lewat di samping bendungan dan taman ini akan berkata sambil berbangga, “Aku ikut membuat bendungan dan taman ini.” Dan mereka tidak melakukan sebaliknya, mengeluh sambil mengutuk, “Terkutuklah bendungan dan taman ini, yang telah memeras keringatku sampai kering.”

Jawaban Ken Arok itu ternyata telah menyentuh perasaan Kebo Ijo. Tetapi karena sifat-sifatnya yang tinggi hati dan sombong maka ia tidak segera mengakui kebenaran kata-kata Ken Arok itu. Bahkan ia masih membantah, “Tetapi untuk itu kau tidak perlu terlampau merendahkan dirimu.”

“Hanya orang-orang yang merasa dirinya terlampau berharga yang berpendirian demikian. Tetapi perasaan tinggi hati yang berlebih-lebihan itu sama sekali tidak akan bermanfaat dalam kerja ini. Kerja yang besar dan akan bermanfaat bagi banyak orang.”

Kebo Ijo terdiam sejenak. Ia tidak segera menemukan jawaban yang tepat. Tetapi ia telah mendengar Ken Arok itu berkata, “Marilah, jangan terlampau lama menunggu. Orang-orang itu sudah mulai dengan kerja mereka, dan kita hanya berbicara saja di sini. Di Padang Karautan ini, berbicara berkepanjangan tidak akan berguna sama sekali.”

Seleret warna merah menyambar wajah Kebo Ijo. Tetapi sebelum ia menjawab, didengarnya suara yang telah dikenalnya baik-baik. “Aku ikut Ngger. Apakah Angger tidak berkeberatan?”

Ken Arok dan Kebo Ijo berpaling. Di sudut sebuah gubug berdiri guru Kebo Ijo itu.

“Tentu,” sahut Ken Arok, “kami akan senang sekali mengantarkan Bapa Panji melihat kerja kami.”

“Marilah.” Panji Bojong Santi tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia melangkah mendekati Ken Arok. Kemudian katanya pula, “Marilah kita berangkat, mumpung belum terlampau siang.”

“Marilah,” sahut Ken Arok. Keduanya segera berjalan ke arah bendungan yang sedang dikerjakan. Seperti berjanji mereka sama sekali tidak mengacuhkan Kebo Ijo lagi.

Kebo Ijo kini tidak dapat berbuat lain. Gurunya dan Ken Arok telah berjalan mendahuluinya. Sehingga ia pun terpaksa melangkahkan kakinya sambil mengumpat-umpat di dalam hatinya. Namun ia pun berjalan di samping Ken Arok dan gurunya itu pula.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Langkah mereka seolah-olah menjadi terlampau tergesa-gesa. Sekali-dua kali mereka meloncati parit, gundukan-gundukan tanah, dan timbunan rangka-rangka brunjung bambu yang masih belum terisi batu.

Sebelum mereka sampai di bendungan, mereka telah melihat orang-orang yang sedang bekerja menyelesaikan beberapa buah bendungan-bendungan kecil pada susukan induk untuk membagi air ke parit-parit. Kemudian mereka melihat orang-orang yang sedang memperdalam beberapa bagian dari jari-jari parit yang mencekam tanah yang telah disiapkan untuk menjadi daerah persawahan. Beberapa buah pedati berjalan tertatih-tatih membawa beberapa macam peralatan, dan beberapa orang sibuk mengemudikan bajak untuk melunakkan tanah. Beberapa pasang lembu berjalan menarik pedati dan bajak, yang dari kejauhan tampak seperti sebuah permainan yang mengasyikkan. Bulu-bulunya yang putih tampak berkilat-kilat ditimpa oleh cahaya matahari pagi. Sekali-sekali terdengar cambuk melengking memecah hiruk-pikuk orang-orang yang sedang mengisi brunjung-brunjung dengan pecahan batu dan mendorongnya turun ke sungai.

Ketika mereka sampai ke bendungan, maka mereka pun berhenti. Panji Bojong Santi memandangi orang-orang yang sedang bekerja itu dengan penuh kekaguman. Hampir tak seorang pun yang sempat berbicara di antara mereka. Kerja.

Memang di dalam kerja seperti ini tidak ada waktu untuk terlampau banyak berbicara. Pembicaraan yang berkepanjangan hanya akan menggangu saja.

Kebo Ijo pun ternyata berdiri tegak dengan penuh kekaguman. Ia tidak dapat membayangkan sebelumnya, bagaimanakah bentuk dari kerja yang dilakukan oleh Ken Arok di Padang Karautan. Ternyata bahwa kerja yang dihadapinya benar-benar suatu kerja raksasa. Bukan hanya sekadar bermain-main seperti orang-orang yang sedang memperbaiki parit yang sering dilihatnya di tepi jalan-jalan Tumapel. Orang yang lebih banyak duduk, atau berjongkok atau bercakap-cakap daripada kerja.

Tetapi di sini sama sekali tidak terbayang sejumput pun kemalasan dan keseganan dari para pekerja. Apakah mereka itu orang Panawijen atau prajurit-prajurit dari Tumapel, sudah tidak dapat dibedakan lagi di dalam kerja itu. Mereka ber¬sama-sama melakukan pekerjaan mereka, yang sudah terbagi di dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok. Kemudian beberapa kelompok kecil merupakan suatu kesatuan yang lebih besar di bawah pimpinan seseorang. Dengan demikian maka kerja yang tampaknya ribut itu ternyata tidak saling bersimpang-siur. Masing-masing melakukan kerjanya sendiri-sendiri dengan tertib dan teratur.

“Gila,” Kebo Ijo mengumpat di dalam hatinya, “ternyata Ken Arok mampu menguasai orang-orang itu dengan caranya. Tampaknya mereka bekerja dengan penuh kesungguhan, tetapi wajah-wajah mereka tampaknya jernih dan gembira. Adalah suatu keahlian tersendiri untuk memimpin orang-orang yang sekian banyaknya dengan cara yang demikian.”

Dan yang terdengar adalah suara Panji Bojong Santi, “Aku sama sekali tidak melihat prajurit-prajurit yang sedang bekerja sebagai seorang prajurit dengan kepatuhan yang mati. Tetapi aku melihat sesuatu yang hidup dan menyala di dalam kepatuhan mereka melakukan kerja ini. Mereka sudah menganggap kerja mereka ini sebagai suatu pengabdian, seperti mereka sedang berperang mengusir musuh dari tanah tumpah darah. Namun kali ini mereka tidak dicekam oleh ketegangan karena bergulat melawan maut. Tetapi wajah-wajah mereka menjadi cerah dalam terik matahari seperti mereka sedang bertamasya.”

Ken Arok tersenyum mendengar pujian itu. Katanya, “Bapa selalu memuji kami di padang yang kering ini.”

“Aku melihat kerja yang sebenarnya, Ngger. Di sinilah aku melihat orang bekerja. Tidak saja di bangsal-bangsal istana atau di banjar-banjar padukuhan. Bukan hanya mereka yang berbicara dan berbincang untuk melahirkan perintah-perintah bagi rakyat Tumapel. Tetapi di sinilah aku melihat kerja yang sebenarnya. Kerja yang langsung bermanfaat tidak saja bagi orang-orang Panawijen.”

“Mudah-mudahan kami berhasil di sini Bapa.”

“Tentu. Kalian akan berhasil. Kecuali apabila ada hal-hal yang tidak disangka-sangka. Hilangnya Angger Mahisa Agni adalah salah satu hambatan dari kerja raksasa ini. Seandainya masih ada, maka Angger akan mendapat kawan kerja yang luar biasa.”

“Bukan saja kawan kerja Bapa,” sahut Ken Arok, “tetapi ia adalah seorang yang mempunyai otak cemerlang. Aku sekarang tinggal melaksanakan saja rencana yang telah dibuatnya, kecuali sendang dan taman itu.”

“Huh,” tiba-tiba Kebo Ijo memotong, “kau mempunyai tanggapan yang berlebih-lebihan atas Mahisa Agni. Ia adalah seorang anak muda padesan biasa saja. Ia tidak lebih dari anak-anak padesan yang lain.”

“Tetapi bendungan itu adalah perwujudan dari rencananya,” sahut Ken Arok.

“Ia hanya merencanakan sebuah bendungan, tidak lebih. Prajurit-prajurit Tumapel lah yang meneruskan rencana itu dan kemudian mclaksanakannya dengan baik, yang barangkali tidak pernah diimpikan oleh Mahisa Agni sendiri.”

“Hem,” terdengar Panji Bojong Santi berdesah. Dan tiba-tiba saja Kebo Ijo menyadari bahwa ia berada di samping gurunya, sehingga ia pun kemudian terdiam.

Yang berbicara kemudian adalah Ken Arok, “Kesalahan yang serupa tidak boleh terulang Bapa. Kegagalan-kegagalan yang akan sangat menghambat kerja ini harus dihindari sejauh mungkin.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tak habis-habisnya ia mengagumi kerja yang besar itu. Dan tanpa sesadarnya ia berkata, “Kebo Ijo. Kau harus mencoba menyesuaikan dirimu dengan kerja ini. Kerja ini bukanlah sekadar permainan yang dilakukan kapan saja kau mengingini. Tetapi kerja ini adalah kerja yang terus-menerus. Kerja ini berhenti apabila benar-benar telah rampung.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar