Pelangi Di Langit Singasari Jilid 22

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Empu Gandring tidak segera berkata sesuatu. Dibiarkannya Mahisa Agni duduk dengan nafas yang berkejar-kejaran dari lubang hidungnya. Ditatapnya wajah pamannya dengan penuh pertanyaan yang bergelut di dalam dadanya, “Kenapa pamannya menghalanginya untuk berbuat sesuatu?”

Sejenak kemudian baru Empu Gandring berkata, “Kau akan mengumpat-umpat di depan mereka Agni?” Agni tdak menjawab.

“Kalau kau berbicara sekarang, sedang hatimu masih dibakar oleh kemarahan dan kekecewaan, maka kalimat yang akan meloncat dari mulutmu adalah kalimat-kalimat yang mencerminkan kepahitan tanggapan perasaanmu atas peristiwa ini. Dengan demikian maka kau sama sekali tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali menyinggung perasaan kawan-kawan seperjuanganmu. Kau sangka bahwa mereka dapat kau perlakukan seperti bajak dan cangkul itu? Tidak Agni” Empu Gandring berhenti sejenak

Dipandanginya wajah kemanakannya yang sekarang tertunduk itu. Sejenak kemudian diteruskannya, “Aku bangga melihat nafsu kerjamu yang meluap-luap. Tenagamu cukup tangkas dan kuat melawan terik matahari, melawan udara yang panas dan melawan kerja yang berat. Tetapi tidak semua orang-orang Panawijen memiliki ketahanan tubuh seperti kau. Kalau kau tidak percaya, ayo berlomba lari dengan aku. Meskipun aku sudah setua ini. Tetapi dengan janji, kau tidak boleh berhenti? Kau tahu maksudku? Aku hanya ingin mengatakan bahwa ketahanan tubuh seseorang tidak selalu sama. Kau dan aku. Dan kau dengan orang-orang lain. Kalau kau marah-marah kepada mereka hari ini, maka kau benar-benar akan kehilangan hari ini. Mereka sudah pasti bahwa hari ini tidak dapat dan sudah nyata, tidak berbuat apa-apa. Mereka hari ini tidak bekerja. Tetapi kalau kau marah-marah, maka istirahat yang sudah terlanjur dijalani ini akan tidak terasa nikmatnya” Empu Gandring berhenti sejenak sambil menelan ludahnya.

Kepala Mahisa Agni yang tunduk menjadi semakin tunduk. Dadanya yang bergejolak itupun sedikit demi sedikit mereda. Pamannya telah memaksanya untuk mencoba mengerti keadaan yang dihadapinya kini.

Dalam pada itu pamannya berkata pula, “Agni. Manfaatkanlah keadaan ini. Hari ini adalah hari yang menyenangkan. Jangan kau biarkan hari ini menjadi hari yang benar-benar tidak berarti. Karena itu, senangkanlah hati mereka dengan istirahat ini, supaya terasa benar nikmatnya. Besok mereka pasti akan dengan senang hati bekerja kembali. Tetapi kalau hari ini kau jadikan hari yang gelap, maka besok mereka akan mengangkat alat-alat mereka dengan hati yang gelap pula.”

Kini Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Hari ini memang sudah terjadi dan hampir dilampaui. Ia tidak akan dapat memutar matahari untuk kembali kearah Timur. Karena itu, mau tidak mau ia harus menerimanya sebagai kenyataan, apa yang telah terjadi. Dan sebenarnyalah kata pamannya, bahwa ia harus memanfaatkan yang ada untuk kepentingan hari-hari mendatang.

Terdengar kemudian pamannya bertanya, “Kau tahu maksudku Agni?”

“Ya paman” Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ki Buyut Panawijen yang sejak tadi duduk mematung, tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesah, “Hem. Demikianlah Ngger. Hatiku yang tinggal semenir dapat menjadi tegar kembali.”

Empu Gandring tersenyum. Katanya, “Ki Buyut sudah berbuat sebaik-baiknya yang mungkin dapat Ki Buyut lakukan.”

Orang tua itu mengangguk-angguk, jawabnya, “Ya, ya Empu. Aku sudah mencoba apa saja yang dapat aku lakukan.”

“Tetapi, kemampuanku memang terlampau jauh ketinggalan.”

“Tidak Ki Buyut. Siapa pun yang menghadapi persoalan ini, tidak akan dapat mengambil sikap yang lebih baik dari pada yang telah Ki Buyut lakukan.”

Kembali orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-kali tangannya mengusap dadanya sambil bergumam, “O, rasa-rasanya dada ini hampir pecah.”

Empu Gandring tertawa perlahan-lahan. Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya. Tetapi dengan demikian ia dapat mengerti pula, betapa berat perasaan orang tua itu menghadapi orang-orangnya.

“Nah Agni” berkata Empu Gandring kemudian, “sekarang ambillah obat yang kau bawa itu. Obat itu harus dilumatkan, dan kemudian air perahannyalah yang harus diminum sebagai obat.”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Pamannya benar. Adalah lebih baik berbuat sesuatu yang dapat menyenangkan hati orang-orang Panawijen dari pada mengumpati mereka itu. Karena itu maka Mahisa Agni pun menjawab, “Baik paman. Aku akan mencoba mengobatinya.”

Ketika Mahisa Agni kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan pamannya dan Ki Buyut, sekali lagi pamannya berpesan, “Jangan membuat hati orang-orang Panawijen tersinggung. Tetapi usahakan mengatakan dengan baik, bahwa tidak seharusnya mereka bermalas-malas.”

Mahisa Agni mengangguk, jawabnya, “Ya paman. Akan aku usahakan.”

Anak muda itu pun kemudian melangkah meninggalkan gubug itu. Ketika ia sampai di luar, maka sikapnya pun menjadi canggung. Perasaannya sama sekali tidak senang melihat orang-orang Panawijen duduk-duduk bermalas-malasan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan perasaannya itu. Pikirannya membenarkan pendapat pamannya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni harus mengekang sikapnya sejauh-jauh dapat dilakukan.

Orang-orang yang berada di sekitar gubug Ki Buyut itupun menjadi berdebar-debar ketika mereka melibat Mahisa Agni keluar seorang diri. Bermacam-macam tanggapan merayap di dalam dada masing-masing.

Tetapi mereka menjadi heran ketika mereka melihat Mahisa Agni itu tersenyum kepada mereka sambil berkata, “Apakah kalian sudah tidak lelah lagi?”

Sejenak mereka menjadi bingung. Senyum Mahisa Agni memang terasa agak hambar. Tetapi mereka tidak menyangka bahwa Mahisa Agni tidak menjadi kecewa melihat keadaan itu.

“Siapakah yang kakinya menjadi bengkak?” bertanya Mahisa Agni sekenanya.

Orang-orang itupun menjadi saling berpandangan. Tetapi belum ada seorang pun yang menjawab.

“Siapa?” desak Mahisa Agni, “aku dengar ada diantara kalian yang kaki-kakinya menjadi bengkak karena pekerjaan yang terlampau berat ini. Ada yang punggungnya hampir patah. Nah, aku ingin tahu, siapa yang telah menderita itu.”

Orang-orang itupun menjadi ragu-ragu. Apakah Mahisa Agni benar-benar bertanya tentang kaki yang bengkak dan punggung yang sakit, atau sekedar merupakan pendahuluan untuk menumpahkan kemarahannya.

Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahisa Agni berkata, “Kalau demikian, memang sebaiknya kalian beristirahat hari ini. Matahari sebentar lagi akan turun ke cakrawala. Nikmatilah hari istirahat ini sebaik-baiknya supaya besok kita dapat mulai lagi dengan tenaga baru.” Mahisa Agni berhenti sejenak, tetapi ia bertanya kembali, “Tetapi siapakah yang menjadi sakit?”

Tiba-tiba terdengar jawaban penuh keragu-raguan, “Aku Agni. Kakiku menjadi bengkak.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sejenak kemudian ia melangkah mendekati orang itu sambil berkata, “Lihat. Kenapa kakimu menjadi bengkak?”

Orang itu menjulurkan kakinya dan memperlihatkan bagian yang bengkak.

Mahisa Agni terkejut melihat kaki yang bengkak itu. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa satu di antara kawan-kawannya menderita sakit semacam itu. Karena itu maka dengan serta-merta ia bertanya, “Kenapa kakimu bengkak?”

Orang itu menjawab, “Kakiku tertimpa pecahan batu, Agni.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera berkata apapun.

Diamatinya kaki yang bengkak itu seperti melihat sesuatu yang ganjil baginya. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika dilihatnya sebuah luka hampir pada mata kakinya.

“Apakah luka itu sakit?” bertanya Mahisa Agni.

Orang itu memandang Mahisa Agni dengan sorot mata yang aneh. Ia tidak segera dapat menjawab karena keheranannya atas pertanyaan itu. Sehingga Mahisa Agni mendesaknya, “Sakit?”

“Tentu Agni” jawab orang itu kemudian, “kalau tidak sakit maka aku tidak akan menyeringai sepanjang hari.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa-peristiwa semacam ini berada di luar perhitungannya. Disangkanya bahwa setiap orang akan mampu bekerja seperti dirinya, dan memiliki ketahanan tubuh seperti dirinya pula.

Dalam pada itu teringatlah ia akan pesan pamannya. Maka dengan ramahnya ia berkata, “Baiklah. Beristirahatlah hari ini. Gunakanlah hari ini sebaik-baiknya untuk menenangkan diri, besok kita akan mulai kembali.”

Mahisa Agnipun kemudian melangkah pergi. Tetapi ia tidak sempat melihat wajah orang itu. Wajah orang yang kakinya bengkak karena lukanya yang rnenjadi semakin parah.

Ketika Mahisa Agni sudah berjalan beberapa langkah dari padanya terdengar ia bergumam, “Bagaimana mungkin aku harus bekerja besok. Apakah kakiku malam nanti sudah akan sembuh?”

Beberapa kawan-kawannya mernandanginya dengan iba. Tetapi sebagian dari mereka menjadi berlega hati. Ternyata Mahisa Agni tidak menjadi marah seperti yang mereka sangka. Meskipun seandainya demikian, mereka sudah terlanjur tidak bekerja hari ini. Dan hari ini kini sudah hampir sampai ke ujungnya.

Mahisa Agni berjalan dengan berbagai angan-angan di kepalanya. Apa yang dilihatnya telah meninggalkan bermacam-macam kecemasan. Beberapa orang yang sakit pasti akan benar-benar menghambat pekerjaan itu. Orang-orang yang lain, yang sekedar karena malas, akan dapat berpura-pura sakit pada punggungnya atau pada tulang rusuknya atau sakit perutnya. Semakin banyak orang yang sakit dan berpura-pura sakit, maka pekerjaannya akan menjadi semakin lama. Musim hujan sama sekali tidak dapat diajaknya berbicara tentang orang-orang yang sakit dan berpura-pura sakit.

Langkah Mahisa Agni terhenti diantara beberapa anak-anak muda yang duduk di bawah sebuah gubug. Ketika mereka melihat Mahisa Agni berhenti di depan gubug itu, maka anak-anak muda itu pun menundukkan kepalanya. Dada mereka pun menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka dengan sengaja tidak bekerja hari ini, tetapi ketika mereka melihat Mahisa Agni berada dihadapan hidung mereka, maka jantung mereka pun menjadi semakin cepat berdenyut.

Ketika Mahisa Agni melihat anak-anak muda yang sehat-sehat itu, hatinya menjadi agak tenang. Anak-anak muda inilah yang harus membantunya sepenuh tenaga untuk membangun bendungan itu. Namun ketika dilihatnya anak-anak muda itu duduk bermalas-malasan, maka hatinya pun menjadi kecewa. Sebenarnya mereka hari ini tidak perlu beristirahat seperti orang-orang yang sudah berumur agak lanjut. Biarlah orang-orang tua dan mereka yang sakit beristirahat. Tetapi anak-anak muda ini seharusnya menggunakan setiap waktu dengan sebaik-baiknya. Bahkan apabila ada diantara kawan-kawannya yang terpaksa tidak dapat bekerja, maka mereka yang sehat-sehat itu harus melipat-gandakan kerja yang mungkin dilakukan.

Sejenak Mahisa Agni berdiri saja mematung di luar gubug itu. Sedang anak-anak muda yang duduk di dalam pun tidak menegurnya, sehingga sejenak mereka saling berdiam diri? Meskipun mereka setiap hari bertemu, kekerja bersama-sama dan kadang kala bergurau pula, namun kali ini seolah-olah mereka merupakan kawan yang baru saja dikenalnya. Masing-masing menjadi canggung dan tidak segera menemukan kata-kata pertama untuk saling berbicara.

Yang mula-mula mencoba menegur adalah Mahisa Agni, sekenanya ia bertanya, “Apakah yang kalian kerjakan?”

Pertanyaan itu tidak segera terjawab. Beberapa anak-anak muda saling berpandangan. Namun kemudian kembali mereka menundukkan kepala mereka.

“Baru apakah kalian kini?” bertanya Mahisa Agni kembali.

Sejenak kemudian terdengar jawab perlahan-lahan, “Kami sedang beristirahat, Agni.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sinar matahari yang semakin condong masih juga memanasi kulitnya yang berwarna tembaga oleh keringat yang membasahinya.

Tampaklah keningnya berkerut mendengar jawaban itu. Dengan serta-merta pula ia bertanya, “Apakah kalian sakit?”

Kembali anak-anak muda di dalam gubug itu menjadi bingung. Kembali mereka saling berpandangan. Namun tak seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan itu, sehingga Mahisa Agni terpaksa memperbaiki pertanyaannya, “Apakah ada diantara kalian yang sakit?”

Mahisa Agni melihat beberapa diantara mereka menggelengkan kepalanya dan terdengar jawaban lirih, “Tidak Agni. Kami tidak sakit. Tetapi ada diantara kami yang sakit. Tubuhnya menjadi panas tetapi ia menggigil seperti orang kedinginan.”

“Bitung yang kau maksud?”

“Ya.”

“Aku sudah mengambil obat untuknya. Bitung memang sakit, tetapi bukankah kalian tidak sakit?”

Kembali Mahisa Agni melihat beberapa diantara mereka menggeleng.

“Mereka tidak sakit” berkata Mahisa Agni didalam hatinya, “mereka hanya malas saja.”

Tetapi ditahannya hatinya. Diingatnya kata-kata pamannya. Biarlah mereka menikmati istirahat yang sudah terlanjur dilakukannya.

“Baiklah” berkata Mahisa Agni kemudian, “beristirahatlah. Besok kita bekerja kembali.”

Mahisa Agni itu pun segera melangkah pergi. Kini ia akan mengambil obat yang masih terikat di kudanya. Ia ingin segera memberikannya kepada Bitung, supaya sakitnya segera menjadi berkurang.

Tetapi betapapun Mahisa Agni berusaha, namun perasaannya masih juga bergolak melihat orang-orang Panawijen duduk dengan malasnya. Meskipun apabila Mahisa Agni lewat disamping mereka, tampak juga mereka menjadi seakan-akan malu. Tetapi Mahisa Agni selalu ingat akan kata-kata pamannya. Karena itu, ia sama sekali berusaha untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Bahkan setiap kali ia melewati kelompok-kelompok orang-orang Panawiijen, anak muda itu selalu mencoba tersenyum dan berkata, “Mudah-mudahan kalian, puas dengan istirahat ini.” Namun tidak lupa ia selalu mengatakan, “Besok kita segera mulai kembali. Mudah-mudahan pula kita mendapatkan tenaga baru.”

Apabila Mahisa Agni telah lampau, maka mereka pun saling berpandangan. Tetapi tanggapan mereka atas sikap Mahisa Agni itu pun berbeda-beda. Mereka yang masih mempunyai tanggung jawab atas pekerjaan itu berkata di dalam hatinya, “Ya, besok aku akan bekerja lebih baik setelah hari ini aku beristirahat.”

Tetapi yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Mahisa Agni adalah mereka yang memang tidak mempunyai nafsu untuk berjuang. Mereka yang acuh tak acuh menghadapi masa-masa yang akan datang. Ketika mereka melihat sikap Mahisa Agni yang lunak itu, mereka berkata di dalam hati, “Nah, lihat. Mahisa Agni tidak berani berbuat apa-apa. Kenapa kita terlampau bodoh pada masa-masa yang lewat. Bekerja terlampau banyak sehingga tubuh kita hampir remuk karenanya. Di saat-saat yang akan datang, ia pasti akan berdiam diri pula apabila kita memaksa beristirahat seperti hari ini.”

Alangkah sayangnya, bahwa justru pikiran yang demikian itulah yang lebih banyak menguasai orang-orang Panawijen yang sebagian dari mereka sudah menjadi jemu menghadapi pekerjaan yang berat itu.

Mahisa Agni tidak dapat membedakan wajah-wajah mereka yang menyimpan perasaan yang berbeda-beda itu. Karena itu ia berjalan terus ke tambatan kudanya. Diambilnya obat yang dibawanya dari Panawijen dan dimintanya kemudian petunjuk dari pamannya. Bagaimana ia harus membuatnya.

Dengan petunjuk pamannya Mahisa Agni menumbuk bagian-bagian dari pohon kates itu sendiri dengan tangannya, kemudian memerasnya ke dalam mangkuk dan membawanya kepada Bitung bersama dengan Empu Gandring dan Ki Buyut Panawijen.

Bitung berbaring di atas anyaman ilalang. Dikerudunginya tubuhnya dengan selimut kain berlapis-lapis. Beberapa orang kawan-kawannya meminjaminya kain kepadanya. Tetapi ia masih juga menggigil kedinginan. Sekali-kali terdengar mulutnya berdesah menahan perasaaan dingin panas dan nyeri-nyeri di sendi-sendi tulangnya.

Ketika tangannya yang gemetar menerima semangkuk cairan yang kehijau-hijauan, maka anak itu mengerutkan keningnya.

“Minumlah” berkata Ki Buyut.

“Kalau kau tidak mau meminumnya, maka sakitmu tidak akan berkurang, “ berkata Empu Gandring.

Bitung pun kemudian terpaksa minum obat itu. Ketika ia hampir muntah karena obat yang pahit itu, Mahisa Agni berkata, “Bitung, aku ambil obat itu dengan taruhan yang mahal sekali. Aku hampir mati dipenggal leherku oleh iblis yang belum pernah aku kenal. Untunglah paman melindungi aku. Karena itu jangan kau muntahkan obat itu, supaya aku tidak perlu lagi pergi ke Panawijen. Meskipun aku tidak hanya membawa untuk satu kali pengobatan, namun setiap teguk obat itu akan berarti bagimu.”

Bitung menahan mulutnya dengan kedua belah tangannya. Namun ia berhasil untuk menelannya betapapun pahitnya.

Dalam pada itu, matahari kini sudah menjadi semakin rendah. Setiap saat matahari itu bergeser turun. Sehingga akhirnya, matahari itu pun tenggelam di balik bukit di ujung Barat.

Mahisa Agni merasa, betapa lambatnya waktu merayap. Ia hampir-hampir tidak sabar menunggu malam itu berjalan. Terasa seakan-akan waktu terhenti., “Waktu pun menjadi sangat malasnya berjalan” gumamnya.

Anak muda itu ingin matahari segera terbit. Ia ingin segera berada kembali di bawah teriknya sambil bekerja memeras segenap tenaga. Meskipun debu yang kotor melekat di kulitnya yang basah karena keringat, meskipun tubuhnya menjadi merah-merah hangus oleh sinar matahari, tetapi ia merasa mendapatkan kepuasan. Ia merasa bahagia berada di tengah-tengah derunya kerja yang berat itu. Sebab anak muda itu berkeyakinan, bahwa hanya dengan kerja, maka hari depan mereka dan anak cucu menjadi baik.

Oleh karena itu, maka justru Mahisa Agni tidak dapat memejamkan matanya. Hatinya menjadi risau dan gelisah. Sekali-kali terasa ia terlena sejenak, tetapi seperti dikejutkan oleh deru guguran batu-batu di tebing, ia tersentak bangun.

Akhirnya Mahisa Agni itu bangkit dari pembaringannya, sehelai tikar yang dibentangnya diatas tumpukan daun-daun ilalang. Perlahan-lahan ia berjalan menyusuri gubug demi gubug. Ia masih melihat beberapa perapian yang masih membara. Tetapi ia tidak melihat seorang pun yang masih menunggui perapian itu.

Tetapi langkahnya kemudian tertegun ketika ia berjalan di samping gubug Bitung. Ia mendengar anak itu merintih. Sekali-kali terdengar suara kawannya menghibur. Tetapi agaknya sakit anak itu belum juga susut.

Perlahan-lahan Mahisa Agni mendekat. Kemudian ia pun menyusup kedalam gubug itu pula.

Kawan Bitung agak terkejut melihat kehadirannya. Tetapi kemudian matanya menyala, Seakan-akan berkata kepadanya, “Sakit Bitung adalah tanggung jawabmu, Agni.” Tetapi anak muda, kawan Bitung tidak berkata sepatah katapun.

Mahisa Agni pun kemudian duduk disamping Bitung. Tangannya mencoba meraba dahi anak muda itu. Tetapi ia menjadi terkejut. Terasa dahi itu panas sekali.

Mahisa Agni menggigit bibirnya. Tanpa disadarinya ia berkata, “Obat itu baru saja diminumnya. Mudah-mudahan nanti akan berpengaruh. Besok pagi-pagi aku buat obat untuknya sebelum kita bekerja.”

“Apakah besok kita akan bekerja lagi?” bertanya kawan Bitung.

Pertanyaan itu telah mengguncang perasaan Mahisa Agni. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan menghadapi pertanyaan seorang anak muda yang demikian. Meskipun ia dapat meraba bahwa anak-anak muda lebih senang beristirahat, duduk-duduk dan berbaring sambil mengunyah makanan, namun bahwa seseorang langsung mengucapkan pertanyaan itu adalah sangat mengecewakan.

Tetapi Mahisa Agni segera berusaha menahan perasaannya sendiri seperti pesan pamannya. Beruntunglah bahwa pamannya telah memberinya pesan, sehingga setiap kali pesan-pesan itu dapat mengekangnya.

Dengan menahan diri Mahisa Agni kemudian bertanya kepada anak muda itu, “Jadi, bagaimana maksudmu?”

“Kita perlu beristirahat” jawab kawan Bitung itu.

“Bukankah hari ini kita sudah beristirahat.”

“Sehari tidak cukup untuk menghilangkan lelah.”

Mahisa Agni menarik nafas. Kekecewaanya menjadi kian bertambah. Tetapi ia menjawab hati-hati, “Kita tidak boleh terlampau lama beristirahat. Musim hujan tidak akan dapat ditunda.”

“Tetapi kita tidak akan dapat bekerja terus-menerus. Bitung sakit Aku harus menunggui. Meskipun seandainya kita besok bekerja kembali, aku tidak akan dapat ikut serta. Kasihan apabila tak ada yang mengawani anak yang sakit ini.”

“Besok aku carikan kawan buat Bitung. Biarlah orang-orang tua atau orang yang lagi berhalangan bekerja, karena sakit kakinya, misalnya. Dengan demikian kita tidak akan banyak kehilangan tenaga.”

Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya tidak mejakinkan bahwa ia dapat mengerti kata-kata Mahisa Agni.

Namun ketika anak muda itu tidak menyahut, Mahisa Agni pun tidak berkata lagi.

Mereka kemudian terdorong dalam kesepian yang mencengkam. Malam yang kelam menjadi semakin jauh merayap. Dikejauhan terdengar korek bilalang yang sedang berlari-larian, berloncat-loncatan di padang rumput.

Mereka berpaling ketika mereka mendengar Bitung merintih perlahan-lahan. Tetapi anak itu kini telah tertidur. Tubuhnya tidak lagi terlampau panas dan tidak lagi menggigil ke dinginan.

“Mudah-mudahan obat yang diminumnya itu akan berarti baginya” gumam Mahisa Agni.

Tak ada jawaban.

“Tidurlah. Kau pasti lelah pula. Besok aku harap seseorang merawat Bitung. Kita yang muda-muda wajib bekerja menyelesaikan bendungan itu.” Masih tak ada jawaban.

Mahisa Agni pun kemudian bergeser sambil berkata, “Aku pun akan beristirahat pula.”

Anak muda yang sedang menunggui Bitung itu mengangguk, “Silahkan” jawabnya hambar, “aku akan tidur, selagi Bitung juga sedang tidur.”

Mahisa Agni pun meninggalkan gubug itu. Kembali ia berjalan menyusuri celah-celah gubug yang bertebaran. Ia terhenti ketika ia mendengar seseorang merintih pula. Orang yang kakinya sedang bengkak.

“Hem” Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang. Panjang sekali.

Tetapi ia tidak singgah ke gubug itu. Ia berjalan terus dalam kegelapan, menuju ke gubugnya sendiri.

Kembali anak muda itu berbaring di atas tikar yang di bentangkan pada tumpukan jerami. Tetapi kembali angan-angannya mengganggunya. Meskipun demikian, karena lelah, maka akhirnya Mahisa Agni itu pun tertidur pula.

Gubug-gubug itu pun kini telah menjadi sepi. Hampir tak seorang pun yang masih tinggal bangun kecuali satu dua yang selalu diganggu oleh berbagai perasaan sakit. Tetapi mereka pun tidak beranjak dari pembaringannya. Sekali-kali terdengar suara mereka merintih di antara bunyi cengkerik dan bilalang yang bersahut-sahutan.

Tetapi Mahisa Agni pun tidak dapat tidur dengan nyenyak. Belum juga ia dapat tenang. Sekali-kali ia terbangun. Gigitan nyamuk benar-benar telah mengganggunya seperti perasaannya sendiri yang selalu mengganggunya pula.

Menjelang fajar, maka Mahisa Agni tidak lagi dapat berbaring diam, apalagi mencoba kembali tidur. Nalurinya yang selalu membangunkannya, pagi itu agak terlampau cepat membawanya bangkit dari pembaringannya. Ia menjadi kian jemu menahan kesabarannya. Malam terasa terlampau panjang, sehingga seakan-akan waktunya telah dihabiskannya untuk menunggu pagi.

Ketika kemudian warna-warna merah membayang di ujung Timur, Mahisa Agni telah berada di luar gubugnya. Pamannya pun ternyata bangun pula. Segera mereka pergi ke sungai untuk mencuci muka. Sebentar lagi, mereka harus menyiapkan alat-alat mereka. Kerja akan dimulai lagi. Kali ini Mahisa Agni tidak akan dapat menunda lagi rencananya, meletakkan dasar bendungan di sisi-sisi seberang.

Tetapi terasa pagi ini agak asing bagi Mahisa Agni. Dilihatnya beberapa orang dengan malasnya keluar dari gubug masing-masing. Ada pula di antara mereka yang masih berselimut kain dan sebelum berbuat sesuatu, mereka itu pun menguap dengan malasnya sambil berjongkok di depan gubugnya.

Mahisa Agni menjadi gelisah. Tetapi kemudian dilihatnya Ki Buyut Panawijen telah siap pula di luar gubugnya. Orang itu meskipun usianya telah melampaui pertengahan abad, namun rasa tanggung jawabnya telah mendorongnya untuk berbuat lebih banyak dari orang-orang lain.

“Kita akan bekerja kembali Ki Buyut” berkata Mahisa Agni.

“Ya. Semuanya telah bangun.”

Mahisa Agni mengangguk. Dilihatnya kemudian Ki Buyut seakan-akan mengguncang perkemahan itu dengan suaranya. Di bangunkannya mereka yang masih tidur. Dan bayangan kemerahan di Timur pun menjadi semakin nyala.

Satu-satu orang-orang Panawijen pun meninggalkan gubug masing-masing. Mereka yang tertidur di samping perapian-perapian pun telah menggeliat pula sambil bardiri dengan malasnya.

Mahisa Agni memandangi mereka dengan dada yang berdebar. Ia melihat sikap yang lain dari pada sikap mereka dua tiga hari yang lalu. Mata mereka tidak lagi memancarkan kegairahan bekerja dan gerak mereka pun kini menjadi kemalas-malasan.

Ketika kemudian matahari menjenguk dari balik bukit dan menebarkan sinarnya yang masih kemerah-merahan ke atas rumput itu, maka orang-orang Panawijen sama selali tidak memperhatikannya lagi. Masih juga ada satu dua orang yang tampak tergesa-gesa mengambil alat-alat mereka. Ada juga yang dengan tergesa-gesa menyalakan api dan memanasi air minum seperti biasa. Tetapi sebagian besar dari mereka masih lebih senang berdiri menggeliat atau menguap sambil berkerudung kain.

Dengan wajah yang berkerut-merut Mahisa Agni memandangi pamannya, seakan-akan ingin menumpahkan kejengkelannya melihat suasana itu.

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar perasaan kemanakannya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun.

Betapapun lambannya, namun orang-orang Panawijen itu pun akhirnya berkumpul pula. Mereka telah menjinjing alat masing-masing. Tetapi mereka tidak segera bergerak ke tempat kerja mereka.

Hal yang demikian tidak pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang tua biasanya datang kepada Mahisa Agni dan bertanya apa yang akan dilakukan. Pagi-pagi mereka beramai-ramai berjalan tanpa perintah menuju ke tempat pekerjaan mereka masing-masing. Tetapi kali ini dengan segannya mereka berdiri saja menunggu, apa yang harus mereka lakukan.

Meskipun demikian, di antara mereka itu masih juga ada orang-orang yang memahami tanggung jawab. Dua orang yang justru telah agak lanjut usianya mendekati Mahisa Agni sambil bertanya, “Apa yang akan kita lakukan Agni?”

Mahisa Agni berpaling memandangi wajah Ki Buyut Panawijen yang menjadi cemas pula. Katanya, “Kita lakukan rencana kita yang tertunda satu hari Ki Buyut.”

“Baiklah Ngger” sahut Ki Buyut, “maksud Angger menurunkan brunjung-brunjung di sisi seberang?”

“Ya, “ jawab Agni sambil mengangguk.

“Baiklah. Kita akan melakukan rencana itu.”

Mahisa Agni pun kemudian berkata kepada kedua orang yang bertanya kepadanya, “kita turunkan brunjung-brunjung di sisi seberang. Sebagian dari kita mengisi brunjung-brunjung baru.”

Kedua orang itu mengangguk dan salah seorang dari mereka menjawab, “Baik. Kita akan berangkat sekarang?”

“Berangkatlah. Aku akan pergi juga sekarang” sahut Agni.

Kedua orang itu pun kemudian berjalan kembali ke dalam kelompok orang-orang Panawijen yang menunggunya dengan malas. Seakan-akan mereka tidak mau pergi dahulu sebelum Mahisa Agni pun pergi pula. Dengan demikian maka Mahisa Agni pun menjadi semakin canggung menghadapi orang-orang itu. Keadaan yang demikian tidak pernah terjadi pula sebelumnya. Mereka segera berangkat setelah mereka mengerti apa yang mereka lakukan. Tetapi kali ini mereka tampaknya menjadi sangat segan beranjak dari perkemahan itu.

“Kita pergi ke sisi seberang” terdengar salah seorang yang datang kepada Mahisa Agni berkata.

Orang-orang itu masih berdiam diri. Bahkan kemudian terdengar seseorang berteriak diantara mereka, “Apakah kau dan Ki Buyut Panawijen tidak pergi Agni?”

Dada Mahisa Agni berdesir. Bahkan darah mudanya segera menjadi panas. Tetapi ketika dilihatnya pamannya tersenyum, anak muda itu berusaha sekeras-kerasnya menahan diri.

“Tentu, “ yang menjawab adalah Empu Gandring, “bukankah kau juga akan pergi Agni.”

Mahisa Agni mengangguk kaku. Pertanyaan itu terasa menyinggung-nyinggung perasaannya. Namun bukan saja Empu Gandring tetapi juga Ki Buyut Panawijen tersenyum dan menjawab, “Kami akan pergi juga sekarang.”

Ki Buyut itu pun segera melangkah maju diikuti oleh Mahisa Agni di belakangnya. Disampingnya berjalan pamannya.

Orang-orang Panawijen pun kemudian bergerak pula dengan malasnya, dijinjingnya alat-alat mereka tanpa gairah dan nafsu, seakan-akan alat-alat itu menjadi beban yang sangat memberatinya.

Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni tertegun ketika ia mendengar suara memanggilnya. Bukan saja Mahisa Agni tetapi semua orang pun berhenti pula bersamanya.

“Agni, Agni” terdengar suara itu.

Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya kawan Bitung berdiri di muka gubugnya. Dada Mahisa Agni berdesir. Ia lupa mengurus anak itu karena pikirannya dipenuhi oleh rencana bendungannya dan kekecewaan tentang sikap orang-orang Panawijen.

“Bagaimana dengan Bitung?” bertanya Agni dengan serta-merta.

“Ia tidak menggigil lagi. Tetapi manakah obat yang kau janjikan semalam. Sebelum kau berangkat, kau akan membuat obat buat Bitung. Kalau anak itu tidak kau obati maka sakitnya akan datang lagi.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “ Kemarilah. Aku ajari kau membuat obat itu.”

“Aku tidak dapat.”

“Tentu dapat. Kemarilah supaya kita tidak saling berteriak.”

“Aku menunggu Bitung” sahut anak itu.

“Bukankah kau dapat meninggalkan sebentar kemari.”

“Aku tidak sempat membuat obat itu.”

Wajah Agni segera memerah. Darahnya yang telah panas, serasa menjadi semakin panas. Tetapi kembali pamannya tersenyum sambil berkata, “Adalah terlampau mudah untuk membuatnya.”

Tetapi kawan Bitung itu berteriak, “Buatlah obat itu sebentar Agni. Kemudian pergilah ke bendungan itu. Jangan kau anggap bahwa nilai anak ini kalah dengan nilai timbunan batu-batu di kali itu.”

Telinga Mahisa Agni serasa tersentuh bara. Hampir ia kehilangan kesabarannya seandainya pamannya tidak menyahut, “Nah, baiklah aku membuat obat itu.”

“Apakah kau dapat membuatnya paman?” bertanya kawan Bitung.

“Akulah yang memberitahukan obat itu kepada Mahisa Agni bukan? Aku pulalah yang mengatakan bahwa bagian-bagian tumbuhan Kates Grandel itu harus di tumbuk dan diperes airnya untuk diminum. Akulah yang mengajari Mahisa Agni membuat obat itu. Karena itu, maka aku pasti lebih cekatan untuk membuatnya. Muda-mudahan obat itu menjadi lebih mujarab.”

Orang tua itu melangkah kembali sambil tersenyum-senyum. Wajahnya sama sekali tidak berkesan sesuatu. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar salah seorang yang telah berada di dalam kelompok orang-orang Panawijen yang siap berangkat itu berteriak, “Agni. Rawatlah dahulu anak itu.”

“Aku yang akan merawatnya” Empu Gandringlah yang menyahut.

“Itu adalah kuwajiban Mahisa Agni. Setiap orang di dalam perkemahan ini adalah tanggung jawab Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen. Bukan saja Bitung yang sakit panas dan dingin, tetapi beberapa orang lain menjadi sakit pula. Ada yang kakinya terluka, ada yang punggungnya terkilir.”

“Biarlah mereka beristirahat” Potong Empu Gandring.

“Tidak hanya beristirahat. Rawatlah mereka Agni. Obatilah supaya mereka sembuh. Bendungan itu tidak akan lari kau biarkan sehari dua hari tidak dijamah tangan. Bendungan itu tidak akan mati. Tetapi anak-anak itu dapat mati.”

“Ya” tiba-tiba terdengar suara yang lain, “sebaiknya hari ini kita urungkan kerja kita. Kita merawat kawan-kawan kita yang sedang sakit.”

“Pendapat yang baik” teriak yang lain, “kita belum cukup beristirahat sehari kemarin. Pegal-pegal punggungku belum sembuh.”

Tiba-tiba suara-suara itu disusul oleh sebuah ledakan gemuruh, “Kita beristirahat. Kita perpanjang istirahat kita.”

Dada Empu Gandring dan Ki Buyut Panawijen menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika mereka berpaling memandangi wajah Mahisa Agni yang seakan-akan membara. Darahnya kini telah mendidih memanasi segenap tubuhnya. Giginya gemeretak dan matanya seakan-akan menyala.

“Inilah akibat kemalasan mereka kemarin” ia menggeram, “sehari mereka beristirahat, maka mereka segan untuk memulai pekerjaan ini kembali.”

Ki Buyut Panawijen dan Empu Gadrirg tidak menyahut. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Empu Gandring pun mencoba mencari jalan untuk mencegah Mahisa Agni kehilangan pengamatan diri.

Suara-suara orang-orang Panawijen itu masih juga terdengar sahut-menyahut. Bahkan beberapa orang diantara mereka kini telah menjatuhkaa diri masing-masing duduk dengan malasnya memeluk lutut sanbil berteriak, “Kita masih perlu beristirahat. Kita terlampau lelah.”

Yang lain lagi, “Aku tidak mau mati kehabisan tenaga. Siapa yang ingin mati lemas, biarlah mereka lakukan sendiri.”

Suara-suara itu terdengar ditelinga Mahisa Agni seperti gemuruhnya Gunung runtuh. Runtuh bersama harapan-harapan yang selama ini disimpannya di dalam hati. Harapan tentang tanah garapan yang subur karena air yang meluap-luap dari bendungan itu mengalir disepanjang parit yang memanjang membelah Padang Karautan. Merubah warna padang yang kekuning-kuningan karena rerumputan yang kering menjadi hijau segar oleh batang-batang padi yang terbentang.

Tetapi tiba-tiba ia dihadapkan pada keadaan yang sangat menyakitkan hati. Orang-orang yang dibawanya bekerja untuk mewujudkan cita-cita bersama itu, tiba-tiba terganggu ditengah jalan.

Mata Mahisa Agni yang menyala, memandangi orang-orang dalam kelompok yang menjadi semakin tidak keruan. Dengan sengaja mereka memperlihatkan kemalasan mereka. Ada yang duduk-duduk bahkan ada yang kemudian berbaring di bawah sinar matahari pagi.

“Gila” geram Mahisa Agni.

Tiba-tiba Mahisa Agni itu meloncat ke atas sebuah pedati di samping orang-orang Panawijen itu. Beberapa orang terkejut karenanya sehingga mereka pun berloncatan menjauh. Di belakang Mahisa Agni itu menyusul pamannya yang mecemaskan kemanakannya.

Ternyata betapapun kecewa hati Mahisa Agni, tetapi ia tidak lekas menjadi berputus asa. Meskipun ia melihat keruntuhan tekad dari orang-orang Panawijen, tetapi ia tidak menyerah tertimbun oleh reruntuhan itu. Sekali lagi kembali ia mencoba berusaha membawa orang-orang Panawijen kedalam suatu gairah kerja seperti yang diharapkannya.

Ketika orang-orang Panawijen melihat Mahisa Agni berdiri tegak di atas sebuah pedati, maka teriakan-akan itu pun terdiam. Mereka melihat anak muda itu merah biru menahan gejolak perasaannya.

Ketika orang-orang itu terdiam, maka mulailah Mahisa Agni menebarkan pandangannya dari ujung kelompok itu ke ujung yang lain. Ditatapnya setiap mata orang-orang Panawijen yang diam mengawasinya. Anak-anak muda, orang-orang separo baya dan orang-orang yang telah menjadi agak tua. Setiap orang yang bertemu pandang dengan anak itu, tiba-tiba menundukkan kepalanya. Mata Mahisa Agni terlampau tajam menghunjam ke pusat jantung mereka.

Sejenak kemudian terdengar suara Mahisa Agni gemetar, “Aku sudah mendengar permintaan kalian” Mahisa Agni berhenti sejenak. Beberapa wajah tampak menengadah, tetapi ketika terpandang oleh mereka wajah Mahisa Agni itu, maka kembali wajah-wajah itu tertunduk. Mata Mahisa Agni masih saja menyala menembus jantung mereka.

Tetapi, Mahisa Agni itu pun tidak segera menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kekecewaan hatinya. Dengan demikian maka suasana menjadi sepi lengang. Tetapi hati mereka dicengkam oleh ketegangan. Beberapa orang Panawijen menjadi bingung menghadapi keadaan itu. Ada di antara mereka yang menjadi takut dan berdebar-debar, kalau-kalau Mahisa Agni tiba-tiba mengamuk dan membunuh mereka. Tetapi ada yang menyesal bukan karena ketakutan. Menyesali sikapnya sendiri. Mereka menjadi heran sendiri, kenapa tiba-tiba mereka, hanyut dalam suasana kemalasan. Tetapi ada pula yang mengerutu di dalam batinya, mengumpati Mahisa Agni tak habis–habisnya, namun mereka tidak berani mengucapkannya.

Sesaat kemudian, barulah terdengar suara Mahisa Agni kembali, “Apakah maksud kalian sebenarnya?”

Tak seorang pun yang berani menjawab pertanyaan itu. Tetapi berbagai-bagai tanggapan bergelora disetiap dada.

“Apakah kalian telah benar-benar jemu meneruskan pekerjaan itu?”

Orang-orang Panawijen itu masih terdiam.

“Bagaimana?,” desak Mahisa Agni semakin keras. Ketika masih juga tidak ada jawaban, maka kembali Ma bisa Agni berkata, “Aku ingin mendengar pendapat kalian. Mumpung kita kali ini berhadapan. Jangan mengambil sikap sendiri-sendiri. Kita datang bersama-sama dan membawa tekad bersama-sama untuk membuat bendungan itu. Karena itu, marilah kita tentukan sikap kita bersama-sama. Aku ingin mendengar, apakah kalian memang telah jemu melakukan pekerjaan ini.”

Sejenak, kembali kesepian menguasai padang itu. Yang terdengar adalah angin pagi yang silir menggerakkan dedaunan. Daun ilalang dan daun-daun gerumbul perdu di sana-sini, gemerisik seperti suara orang berbisik-bisik.

Disela-sela kesepian orang-orang Panawijen seorang berdesis perlahan-lahan, “Tidak Agni, Kami sama sekali tidak jemu melakukan pekerjaan ini. Kami hanya ingin sekedar beristirahat.”

Mahisa Agni memandangi orang yang sedang berbicara itu. Dan orang itu pun menundukkan kepalanya.

“Bagus” sahut Mahisa Agni, “kalau demikian aku masih mempunyai harapan.”

Tak ada yang menyahut sepatah katapun.

“Tetapi kalian telah beristirahat sehari kemarin.”

Kembali orang-orang Panawijen itu terdiam.

Yang terdengar adalah suara Mahisa Agni kembali, “Tak ada alasan lagi untuk memperpanjang waktu beristirahat. Bendungan kita harus segera jadi.”

Mahisa Agni melihat beberapa di antara mereka saling berpandangan. Tetapi Mahisa Agni tidak mendengar seorang pun dari mereka yang menjawab.

“Marilah” berkata Mahisa Agni, “kita berangkat bekerja.”

Meskipun tak seorang pun yang membantah, namun Mahisa Agni tidak segera melihat mereka berdiri dan dengan gairah berangkat ketempat kerja mereka. Sejenak orang-orang Panawijen itu masih saja duduk sambil saling berpandangan. Bahkan sebagian dari mereka menjadi kecewa karena istirahat hari itu yang bahkan kalau mungkin diperpanjang lagi tidak terpenuhi.

Karena itu maka sekali lagi Mahisa Agni berkata lebih keras lagi, “Apakah yang kita tunggu lagi? Apakah kalian masih akan memaksaku untuk membuat obat bagi sakit Bitung? Kalian telah mendengar, pamanku telah menyanggupinya. Sekarang apa lagi? Ayo berdirilah. Berangkatlah sekarang, selagi matahari belum tinggi, kita akan meletakkan brunjung-brunjung di sisi seberang hari ini.”

Beberapa orang pun kemudian berdiri sambil menggeliat. Alangkah berat rasanya untuk mulai lagi pekerjaan yang berat itu. Ternyata lebih senang menikmati istirahat kemarin dari pada bekerja keras di bawah terik matahari.

Mahisa Agni yang tidak telaten berteriak, “Kenapa kalian tidak segera berangkat. Apakah kalian telah benar-benar jemu he? Baik. Kalau demikian aku tidak akan memaksa.”

Kata-kata Mahisa Agni itu benar-benar menarik perhatihan mereka. Beberapa orang tertegun sambil memandangi wajah Agni yang tegang. Tetapi mereka tidak segera menangkap maksud kata-katanya. Apakah dengan demikian Mahisa Agni akan memberi mereka kesempatan untuk beristirahat lagi.

Terdengar suara Mahisa Agni pula, “Kalau kalian memang sudah jemu, marilah kita berjanji untuk menghentikan saja pekerjaan ini. Kita tidak usah berpikir apakah yang akan terjadi atas kita masing-masing. Biarlah daun-daun pepohonan di Panawijen satu-satu menguning dan gugur di tanah. Biarlah ladang dan sawah yang kering itu menjadi keras. Kita tidak menghiraukannya lagi. Apalagi aku. Aku tidak mempunyai keluarga seorang pun. Aku tidak akan bertanggung jawab terhadap anak cucu seandaianya mereka kelak hidup sengsara. Aku juga tidak berkeberatan seandainya kita pergi saja bercerai-berai. Aku, seorang diri, akan lebih cepat menyesuaikan diriku dengan tempat yang baru dimana pun aku berada. Aku akan pergi ke Tumapel, menerima tawaran Akuwu untuk menjadi seorang Prajurit. Kalau demikian, maka aku menyesal bahwa aku dahulu tidak saja segera menerima tawaran itu karena aku lebih mementingkan bendungan ini. Nah, sekarang pilihlah. Kita pergi berpencaran mencari hidup masing-masing dengan menggantungkan belas kasian orang, atau tetap berada di Panawijen, tempat kita bermain dan dibesarkan, tetapi kita akan mati kelaparan Atau kita membuat daerah baru dengan memeras keringat kita, tetapi dengan demikian kita telah berbuat sesuatu untuk kita sendiri dan anak cucu kita.”

Mahisa Agni berhenti sejenak Dipandanginya setiap wajah orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Tampaklah wajah-wajah itu menjadi tegang. Ternyata bahwa kata-kata Mahisa Agni itu bergolek di dalam dada mereka. Meskipun demikian, tak seorang pun yang menjawab. Mulut-mulut mereka yang ternganga itu seakan-akan terbungkam untuk mengucapkan kata-kata.

Sejenak Mahisa Agni memberikan kata-katanya mengendap ke dasar hati orang-orang Panawijen. Dibiarkannya orang-orang Panawijen itu menyadari keadaannya. Menilik perubahan pada wajah-wajah mereka, serta sikap mereka, yang satu demi satu berdiri dan menggenggam alat-alat mereka kembali, maka timbullah harapan di dalam dada Mahisa Agni.

Dengan suara yang menggeletar ia bertanya, “Jadi apakah yang akan kita lakukan kini? Bekerja dengan nafsu seperti sediakala atau tidak sama sekali?”

Mahisa Agni melihat kebimbangan pada wajah orang-orang Panawijen itu. Maka katanya, “Aku tidak mau bekerja dengan separo hati. Hanya ada satu syarat untuk bekerja. Bekerja dengan gairah dan sepenuh hati. Mereka yang meninggalkan tugas ini karena mereka tidak kuat lagi, atau jemu atau sakit-sakitan, aku persilahkan. Hanya yang berkemauan keras sajalah yang akan dapat bekerja terus.”

Orang-orang Panawijen masih terdiam. Tetapi tangan mereka telah mulai menggenggam alat-alat mereka dengan eratnya.

“Aku ingin jawaban supaya aku tidak menjadi kecewa kembali.”

Tiba-tiba meledaklah jawaban orang-orang Panawijen itu, “Baik Agni. Kami akan bekerja kembali seperti sediakala.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dadanya terasa berdesir dan seluruh permukaan kulitnya meremang. Dengan penuh harapan ia berkata, “Kalau demikian, marilah kita berangkat. Matahari bulum sepenggalah. Marilah kita susul keterlambatan kita. Satu hari lebih seujung pagi.”

Mahisa Agni tidak perlu mengatakannya lagi. Orang-orang Panawijen itu pun kemudian seakan menggelepar dan berjalan ke arah masing-masing yang sudah ditentukan. Namun sebagian besar dari mereka berjalan ke bendungan untuk menurunkan brunjung-brunjung di sisi seberang. Sebagian kecil pergi ke ujung susukan yang sedang mereka kerjakan untuk menggalinya lebih panjang lagi. Keinginan orang-orang Parawijen adalah, susukan itu akan mampu membelah Padang Karautan, dan menjadikannya tanah persawahan yang subur.

Beberapa pedati pun segera berjalan untuk mengambil batu-batu yang telah dipecah untuk kemudian dimasukkannya ke dalam brunjung-brunjung bambu.

Ketika kemudian Mahisa Agni berpaling dilihatnya pamannya serta Ki Buyut Panawijen tersenyum kepadanya. Tetapi didalam hati Empu Gandring berkata, “Belum merupakan persoalan yang terakhir Agni. Tetapi mudah-mudahan kerjamu akan berhasil.”

Sehari itu Mahisa Agni melihat orang-orang Panawijen bekerja dengan nafsu yang menyala-nyala. Mereka serasa telah memeras tenaga memenuhi permintaan Mahisa Agni, menebus yang telah hilang. Kemarin dan ujung pagi ini.

Matahari di langit berjalan dalam iramanya yang tetap.

Tetapi hari ini terasa berjalan terlampau cepat bagi Mahisa Agni. Kegembiraannya melihat nafsu bekerja orang-orang Panawijen telah membuat dirinya lupa waktu. Betapa ia telah memeras segenap tenaganya melampaui waktu yang sudah-sudah. Kekuatan tubuhnya benar-benar mengherankan. Dan kerjanya ternyata telah mempengaruhi, terutama anak-anak mudanya yang merasa malu ketika mendengar Mahisa Agni menantangnya untuk menghentikan sama sekali pembuatan bendugan itu.....

Sampai matahari turun rendah di langit Barat, maka seakan-akan kerja itu berlangsung tanpa beristirahat. Betapa terik matahari telah membakar kulit mereka, tetapi mereka sama sekali tidak melepaskan pekerjaan mereka, seperti pada saat mereka baru mulahi, satu dua hari.

Ketika malam kemudian turun menyelubungi Padang Karautan, maka orang-orang Panawijen itu telah berkerumun di dalam gubug masing-masing. Bitung kini telah dapat duduk bersama dengan beberapa kawannya meskipun wajahnya masih pucat. Pagi-pagi siang serta sore hari, Empu Gandring telah merawatnya dan memberinya obat sekadarnya.

Namun dalam pada itu, ketika orang-orang Panawijen itu mendapat kesempatan untuk beristirahat, mulailah terasa betapa tubuh tubuh mereka dijalari penat dan lelah. Betapa kaki-kaki mereka serasa menjadi hangus dan punggung-punggung mereka hampir patah.

Seorang dua orang duduk menyelujurkan kaki-kaki mereka sambil memijit-mijitnya. Orang-orang lain saling memijit punggung berganti-gantian. Mahisa Agni sendiri telah berbaring-baring dipembaringannya dengan bati yang lapang. Ia puas melibat kerja yang telah mereka lakukan hari ini. Karena itu, maka hatinya pun menjadi gembira. Dalam kegembiraan itulah, anak muda itu jatuh tertidur, meskipun malam belum begitu dalam. Tetapi kerja yang keras, angin yang silir sejuk dan hati yang puas, telah membelai dan menidurkannya terlampau cepat.

Tetapi yang terjadi digubug-gubug yang lain adalah jauh berbeda. Anak-anak muda, orang-orang separo baya dan orang-orang tua, terdengar mengeluh tak berkeputusan. Kerja hari ini ternyata agak berlebih-lebihan bagi mereka. Setelah beristirahat satu hari, mereka telah bekerja melampaui kemampuan wajar mereka. Dengan demikian maka tubuh-tubuh mereka menjadi sakit dan penat, sehingga mereka itu menjadi agak sukar untuk segera dapat menikmati mimpi.

Dalam malam yang semakin dalam itu terdengar seseorang mengeluh, “Betapa sakit lenganku. Siang tadi aku terlampau banyak mengangkat batu-batu. Batu-batu besar yang biasanya tidak terangkat, siang tadi aku angkat juga seorang diri.”

“ Kenapa kau paksakan juga temanmu?”

Orang itu menggeleng, “Aku tidak tahu. Tetapi nafsuku bekerja ternyata melonjak-lonjak. Mahisa Agni seakan telah mendorongku dengan kemauan yang segar. Tetapi akibatnya, tubuhku hampir remuk dan lapuk.”

Kawannya tidak menyahut. Orang itu pulalah yang berkata, “Hem. Apakah besok kita masih akan mengulagi lagi kerja semacam ini.”

Tak ada yang menyahut. Dengan demikian maka orang itu pun berhenti berbicara.

Semetara itu malam menjadi bertambah malam. Angin yang dingin berhembus menjentuh atap-atap ilalang yang berpencaran di sudut kecil Padang Karautan yang luas itu. Disana-sini tampak berkerdipan pelita-pelita minyak dan api-api perapian yang tinggal membara.

Akhirnya perkemahan itu pun terlempar dalam kesenyapan. Orang-orang Panawijen itu pun kemudian tertidur pula dengan nyenyaknya, meskipun ada pula yang menjadi gelisah karena kelelahan. Bitung malahan kini telah menjadi agak baik. Tubuhnya masih juga kadang-kadang menjadi panas, tetapi ia sudah tidak lagi mengigau dan berteriak-teriak. Meskipun hanya sesuap, namun anak itu telah mau menelan makanan. Tetapi orang yang kakinya bengkak, masih saja merintih-rintih, juga dalam tidurnya. Serasa mimpinya pun berceritera tentang kakinya yang sakit.

Namun malam tidak juga berkepanjangan. Pada saatnya, maka membayanglah bayangan fajar. Bayangan yang memberi Mahisa Agni berbagai macam harapan. Anak muda itu terbangun seperti biasa ia bangun. Yang pertama-tama ditatapnya adalah langit yang kemerah-merahan. Di dalam hatinya ia berkata, “Kalau kau datang, aku menyambutmu dengan gairah. Sebab kau adalah pertanda bahwa saatnya telah tiba untuk melakukan kerja.”

Sejenak kemudian seluruh perkemahan itu pun telah terbangun. Mahisa Agni dengan gembira melihat orang-orang Panawijen mempersiapkan alat-alat mereka. Seperti kemarin, Mahisa Agni melihat gairah yang besar dari orang-orang Panawijen itu. Tetapi di antara mereka, beberapa orang telah mulai mengeluh pula di dalam hatinya.

Ketika rombongan orang-orang Panawijen itu mulai berangkat ke tempat kerja masing-masing, maka di kejauhan berpacu seekor kuda yang tegar. Di punggungnya bertengger seorang yang bertubuh kasar, sekasar tebing pegunungan padas. Dengan mengumpat-umpat orang itu memacu kudanya menjauhi perkemahan orang-orang Panawijen. Meskipun kuda itu tidak ber pelana, namun agaknya penunggangnya sama sekali tidak terpengaruh olehnya.

“Kapan aku mendapat kesempatan itu lagi” gerutu penunggang kuda itu, wajahnya yang kasar menjadi semakin kasar dan keras, “Kakang Kebo Sindet hampir-hampir tidak sabar lagi menunggu” orang itu berhenti sejenak.

Ketika ia berpaling maka perkemahan orang-orang Panawijen pun sudah tidak tampak lagi. Penunggang kuda itu adalah Wong Sarimpat. Ia datang kembali ke Padang Karautan itu untuk melihat kemungkinan, apakah mereka akan mendapat kesempatan baru untuk menangkap Mahisa Agni. Tetapi agaknya kesempatan itu masih belum diketemukan oleh Wong Sarimpat. Sehingga kakaknya selalu marah saja kepadanya. Kebo Sindet menganggap bahwa kebodohannyalah yang telah menyebabkan rencana itu selalu tertunda. Bahkan Wong Sarimpat memaksa dirinya semalam merayap mendekati perkemahan itu. Namun ia masih belum melibat cara yang sebaik-baiknya untuk berbuat sesuatu. Kali ini pun ia akan datang kepada kakaknya dengan laporan yang masih akan membuat kakaknya mengumpatinya.

“Besok aku akan datang lagi,” gumamnya, “setiap kali aku akan datang. Suatu saat pasti akan aku ketemukan cara untuk menangkapnya. Bahkan aku pasti mampu menebus kegagalanku. Aku akan menangkap Mahisa Agni seorang diri. Tanpa kakang Kebo Sindet. Aku yakin, bahwa Empu Gandring suatu ketika akan terpisah dari Mahisa Agni.”

Wong Sarimpat itu pun memacu kudanya lebih cepat lagi. Ia ingin segera sampai di rumah untuk beristirahat. Baru kemarin lusa ia gagal menangkap Mahisa Agni, semalam ia sudah harus berada di Padang Karautan itu kembali. Meskipun Wong Sarimpat bukan orang yang mudah menjadi lelah, tetapi ia menjadi jemu mengintai saja di padang yang dingin itu. Lebih baik ia menyerbu saja ke perkemahan orang-orang Panawijen itu, dari pada duduk memeluk lutut sambil melihat-lihat apabila ada orang yang hilir mudik ke luar perkemahan. Tetapi pesan kakaknya lebih menjemukan lagi baginya. Ia hanya boleh melihat kebiasaan Mahisa Agni. Bagaimana anak muda itu hidup diperkemahannya. Apakah kadang kala ia berjalan-jalan keluar lingkungannya atau kebiasaann-kebiasaan lain yang memungkinkan untuk mengambilnya tanpa diketahui oleh orang lain. Apabila ia melihat Mahisa Agni pergi ke Panawijen, ia harus segera berpacu pulang. Ia akan datang kembali bersama kakaknya untuk mencegah Mahisa Agni kembali ke perkemahannya.

“Itu adalah pekerjaan gila” gerutunya sambil memacu kuda di antara gerumbul-gerumbul di Padang Karautan.

Perjalanan ke Kemundungan tidak lebih dekat daripada Panawijen. Namun kemudian dibantahnya sendiri, “tetapi kakang Kebo Sindet memperhitungkan bahwa Mahisa Agni pasti berbuat sesuatu yang memerlukan waktu di Panawijen.”

Kuda itu pun kemudian berpacu lebih cepat.

Sementara itu, orang-orang Panawijen pun telah mulai sibuk dengan kerja masing-masing. Bahkan kali ini Empu Gandring pun turut pula berada di antara orang-orang yang sedang bekerja itu. Namun pikirnya selalu diganggu oleh gumpalan debu yang lamat-lamat sekali dapat dilihatnya pagi tadi jauh dari perkemahan.

“Debu itu seakan-akan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda” gumamnya di dalam hati. Tetapi ia tidak sempat melihat kuda berlari meninggalkan Padang Karautan pergi ke Kemundungan.

Tanpa disengaja, maka Empu Gandring itu mencari kemanakannya. Ketika dilihatnya anak muda itu bekerja dengan sepenuh tenaga, maka kembali ia bergumam di dalam hatinya, “Kasian anak itu. Ia menghadapi rintangan dari luar dan dari lingkungannya sendiri. Muda-mudahan ia tabah dan bendungan ini akan dapat berwujut. Dengan demikian, maka Mahisa Agni akan mendapat kepuasan sebagai imbalan kerjanya. Hanya kepuasan itulah yang diharapkannya dalam perjuangannya. Ia akan puas melihat hari depan Panawijen telah mendapat alas yang kuat. Sedang ia sendiri sampai saat ini masih seorang diri.” Dan hati orang tua itu pun menjadi semakin iba ketika ia melihat beberapa orang telah menjadi kendor dan segan mengangkat alat-alat di tangannya.

Tetapi Mahisa Agni sendiri, yang tenggelam ke dalam kerja yang mantap, hampir-hampir tak dapat melihat keadaan itu. Anak-anak muda di sekitarnya pun bekerja dengan giatnya, hampir seperti dirinya sendiri. Meskipun demikian, namun Mahisa Agni merasakan pula, bahwa kerja hari ini sudah mulai berkurang dari pada kerja yang kemarin. Tetapi dalam tanggapan Mahisa Agni, hal itu adalah karena tenaga mereka yang memang tidak setahan dirinya sendiri.

Hari itu Mahisa Agni masih dapat tersenyum. Ketika matahari kemudian turun ke Barat, maka orang-orang Panawijen itu pun segera meninggalkan kerja mereka. Mahisa Agni memandangi iring-iringan itu dengan hati yang mantap. Bahkan ia begumam, “Kalau mereka tetap bekerja seperti ini, maka aku yakin, orang-orang Panawijen akan segera dapat menikmati basil kerjanya.”

Mahisa Agni itu berpaling ketika ia mendengar pamannya berkata disampingnya, “Marilah, kita pulang Agni.”

“Oh” desis Agni, “Marilah paman. Mereka berdua pun kemudian berjalan membelakangi iring-iringan orang Panawijen yang dengan lelah kembali ke perkemahannya.

Tetapi hari-hari berikutnya, Mahisa Agni tidak lagi melihat gairah kerja yang membesarkan hatinya itu. Ia tidak lagi tersenyum di dalam tidurnya. Kerja orang-orang Panawijen itu pun mulai mengendor lagi. Bahkan beberapa orang kemudian berkata kepadanya, “Besok aku tidak dapat ikut serta Agni. Punggungku sakit.” Yang lain berkata, “Kakiku hampir patah Agni. Kelak apabila sudah sembuh aku akan bekerja kembali.” Dan yang lain lagi berkata, “Kepalaku pening Agni. Ternyata aku tidak tahan terik matahari yang memanasi rambutku, sehingga setiap kali kepalaku menjadi sakit seperti ditusuk-tusuk di pelipisku.”

Alangkah kecewanya anak muda itu. Hampir-hampir ia kehilangan kesabaran. Tetapi pamannya selalu menasehatinya. Kerja itu harus didasari oleh kerelaan hati. Kerja itu bukan kerja paksa. Karena itu maka pekerjaan Mahisa Agni adalah memberi mereka kesadaran untuk bekerja, bukan memaksa mereka dengan mengancam dan menakuti.

Mahisa Agni mengerti nasehat itu. Tetapi ia sudah kehabisan cara untuk memberi pengertian yang wajar kepada orang Panawijen itu. Bahkan satu dua, orang di antara mereka telah mulai lagi mengumpati Empu Purwa yang merusak bendungan lama di Panawijen. Meskipun bendungan itu di buatnya sendiri, tetapi bendungan itu kemudian telah menjadi milik rakjat Panawijen, bendungan itu telah menjadi sumber penghidupan mereka.

“Apakah kita cukup dengan menyesali pecahnya bendungan yang lama” suatu ketika Mahisa Agni mencoba memberi penjelasan, “dengan menyesal dan mengumpat kita tidak akan mendapat bendungan yang baru.”

Tetapi hatinya menjadi pedih ketika ia mendengar seorang bertanya, “Kapan kita berhenti bekerja Agni?”

“Tidak ada batas yang dapat kita lampaui. Selama kita masih merasa bahwa kita bertanggung jawab terhadap keadaan kita sendiri, keadaan masyarakat kita dan anak cucu kita di masa yang akan datang. Kerja adalah isi dari hidup kita. Karena itu kerja akan berlangsung sepanjang umur kita masing-masing.”

Hati Mahisa Agni itu menjadi semakin pedih ketika ia mendengar jawaban, “Tetapi aku sudah jemu Agni. Aku sudah jemu berjemur di terik matahari, sedang apabila malam dilanda oleh udara dingin di padang yang sepi ini. Aku ingin segera berada kembali di antara keluargaku. Isteriku dan anak-anakku.

“Apakah kau cukup berada saja di dekat isteri dan anak-anakmu tanpa suatu kepastian buat masa datang? Buat anak-anakmu itu? Apakah kau pasti bahwa anak-anakmu itu akan dapat makan dari tanah yang kering di Panawijen?”

Orang itu terdiam. Tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan pengertiannya akan kata-kata Mahisa Agni, sehingga Mahisa Agni berkata terus, “Tidak saudaraku-saudaraku. Tanah yang kering itu tidak akan dapat memberi kita harapan.”

“ Tetapi bendungan ini pun akan merusak tubuh kita.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menahan perasaannya. Katanya, “Itu terlampau berlebih-lebihan kerja pasti mengeluarkan tenaga. Mungkin satu dua di antara kita tidak tahan melawan udara yang panas dan dingin. Tetapi sebagian besar dari kita harus mampu mengatasinya.”

Dada Mahisa Agni bergelora ketika ia melihat beberapa kepala menggeleng lemah.

Mahisa Agni masih mencoba mengulangi kata-katanya yang beberapa saat yang lampau dapat membangkitkan gairah kerja kembali. Katanya, “Kerja ini adalah kerja kalian. Aku adalah seorang di sini. Kalau kerja ini terhenti, aku pun tidak akan mengalami kesulitan apa-apa. Aku akan dengan mudahnya dapat mencari penghidupan di Tumapel. Tetapi bagaimana dengan kalian? Apalagi yang mempunyai keluarga yang besar.”

Jawaban yang didengar oleh Mahisa Agni kali ini berbeda dengan jawaban yang terdahulu. Bahkan jawaban itu seakan-akan telah menghentikan arus darah di urat-urat nadi anak muda itu, “Agni, jangan kau merasa dirimu jauh lebih baik daripada kami. Meski pun kami tidak mampu berkelahi tidak mampu menjadi prajurit, tetapi segi kehidupan seseorang bukanlah hanya berkelahi saja. Aku pun akan dapat mencari penghidupan di tempat-tempat lain. Mungkin menjadi undagi, mungkin menjadi pekatik atau bertani di tempat-tempat baru yang sudah terbuka.”

“Oh,” tanpa disengaja Mahisa Agni tiba-tiba memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, seakan-akan kepalanya itu akan terlepas dari lehernya. Dadanya yang bergelora terasa menjadi sesak, dan dengan demikian Mahisa Agni justru terbungkam. Ia tidak mampu lagi berkata apapun kepada orang-orang Panawijen itu. Ketika orang-orang itu kemudian satu-satu meninggalkannya, maka Mahisa Agni seakan-akan sama sekali tidak lagi mampu mengucapkan kata-kata. Yang didengarnya kemudian adalah, “Sudahlah Agni. Lepaskanlah keinginanmu membuat bendungan itu dengan mengumpankan kami. Biarkanlah kami mencari jalan sendiri-sendiri.”

Kepala Mahisa Agni menjadi pening karenanya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa ada di antara orang-orang Panawijen yang menganggap bahwa apa yang dilakukannya itu adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan orang-orang lain di Panawijen. Bahkan ada orang yang merasa dirinya menjadi alat untuk kepentingan Mahisa Agni.

Hati anak muda itu menggelegak. Berdesak-desakan kata-kata di dalam hatinya untuk membantah anggapan itu. Ingin ia berteriak, tetapi mulutnya seakan-akan terbungkam. Seribu kali ia menjelaskan apa yang sedang dilakukannya kini. Setiap kali orang-orang Panawijen itu pada saat-saat yang lampau menjadi gairah kembali atas kerja mereka apabila mereka mendengar keterangan Mahisa Agni tentang bendungan itu. Tetapi kali ini kata-katanya sama sekali tidak berarti bagi mereka, bahkan mereka menganggap, seakan-akan umpan saja untuk kesenangannya.

“Tidak. Aku sama sekali tidak bekerja untuk kemasyuran namaku. Aku tidak ingin di atas bendungan ini kelak dipahatkan namaku. Mahisa Agni. Tidak. Aku membuat bendungan bersama dengan kalian karena aku ingin melihat kalian mendapat sesuatu. Kalian tidak akan kehilangan lingkungan kehidupan Aku bekerja bukan untuk kepentinganku sendiri.” Tetapi kata-kata itu hanya bergumul saja di dalam dadanya. Sihingga dengan demikian nafasnya justru menjadi semakin sesak.

Sekali-kali terdengar Mahisa Agni, “Inikah tanggapan orang-orang Panawijen atas jerih payahku” katanya di dalam hati.

Ketika Mahisa Agni kemudian mengangkat wajahnya, dilihatnya udara telah disaput oleh malam yang turun perlahan-lahan. Bintang-bintang berhamburan memencar dari ujung ke ujung langit yang lain. Gemerlapan. Tetapi hati Mahisa Agni sendiri kini menjadi betapa suramnya. Ditatapnya padang yang luas terbentang dihadapannya, seakan-akan tidak bertepi, menjorok masuk ke dalam kegelapan malam di kejauhan.

Kini ia duduk seorang diri di sisi perkemahannya. Orang-orang Panawijen telah masuk ke dalam gubug masing-masing. Satu dua dilihatnya anak-anak muda duduk di sekitar perapian yang menyala.

Perlahan-lahan Mahisa Agni bangkit. Dengan langkah yang berat ia berjalan ke gubugnya. Perasaannya dibebani oleh ke pedihan hati dan hampir keputus-asaan. Ia tidak tahu lagi, bagaimana ia harus berkata untuk meyakinkan maksudnya yang baik justru untuk kepentingan orang-orang Panawijen itu sendiri.

Dari celah-celah dinding anyaman bambu yang jarang ia me lihat beberapa telah berbaring di dalam gubugnya. Tetapi tiba-tiba langkah Mahisa Agni tertegun ketika ia melihat beberapa orang membenahi bungkusan. Dengan serta merta Mahisa Agni berbelok masuk ke dalamnya.

Orang-orang itu pun terkejut. Tetapi sejenak kemudian mereka seakan-akan menjadi acuh tidak acuh. Diteruskaunya kerjanja berbenah-benah. Ketika Mahisa Agni melihat apa yang sedang dibenahi itu, hatinya berdesir-desir. Tanpa disadarinya terloncat kata-kata dari bibirnya, “Apakah artinya ini?”

Orang itu berpaling. Hanya sejenak. Kembali mereka minjadi acuh tak acuh. Meski pun demikian salah seorang dari mereka menjawab, “Aku membenahi pakaian Agni”

“Kenapa?, “ bertanya Agni.

“Aku besok akan kembali ke Panawijen.”

Darah Mahisa Agni serasa membeku mendengar jawaban itu. Sejenak ia diam mematung. Ditatapnya saja orang itu membungkus beberapa potong pakaiannya dan beberapa macam peralatan kecil. Di sudut gubug itu Mahisa Agni melihat seikat alat-alat yang lebih besar. Cangkul, kelewang pemotong kayu dan sebuah kapak.

Baru sejenak kemudian ia mampu bertanya, “Kenapa kalian akan kembali ke Panawijen?”

“Aku sudah jemu berjemur diterik matahari. Beberapa orang menjadi sakit. Ada yang bengkak kakinya, ada yang sakit panas dingin, ada yang punggungnya patah. Mungkin kau tidak melihatnya Agni.”

“Bukankah Bitung telah sembuh?” bertanya Agni.

“Ya, Bitung telah sembuh. Tetapi ada tiga anak yang sakit seperti gejala-gejala sakit Bitung ketika baru mulai.”

“Oh. Aku memang belum tahu. Kenapa tidak ada yang mcmberitahukannya kepadaku? Paman telah menanam beberapa batang Kates Grandel di sini. Mungkin satu dua dapat diambil untuk mengobatinya.”

Orang itu menggeleng, “Tidak banyak manfaatnya. Kalau ketiganya nanti sembuh, maka yang sepuluh akan menderita sakit serupa. Karena itu sebelum aku menderita pula seperti mereka lebih baik aku kembali ke Panawijen. Apabila benar-benar menjadi kering, aku akau mengungsi ke tempat lain. Mungkin aku dapat mencari kemanakanku ke Gangsa atau mencari pamanku ke Sambitan.”

“Apa yang kalian lakukan akan mempunyai pengaruh yang sangat jelek bagi orang-orang lain.”

Orang itu mengangkat bahunya. Sejenak mereka saling berpandangan. Kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Terserah kepada mereka masing-masing Agni. Karena itu nasehatku kepadamu Ngger, tinggalkan saja keinginanmu untuk membangun bendungan ini. Memang, kelak namamu akan tetap dikenal oleh anak cucu apabila bendunganmu mu berwujud tetapi jangan membiarkan korban terlampau banyak untuk kepentingan itu.”

Sekali lagi dada Mahesa Agni serasa terhantam reruntuhan Gunung Kawi. Hampir-hampir ia kehilangan kesabaran. Bahkan hampir-hampir ia berbuat sesuatu untuk melepaskan kemarahannya. Tetapi tiba-tiba ia tertegun ketika terdengar suara di luar gubug itu, “Ya, Agni berada di dalam.”

Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya seorang anak muda yang pucat berdiri di muka pintu. Ketika dilihatnya Mahisa Agni, maka katanya, “Agni, aku memerlukan kau.”

“Kenapa?”

“Wajahku menjadi panas, tetapi tubuhku terasa dingin.”

Orang-orang yang sedang berbenah itu menyahut, “Itu adalah gejala-gejala seperti penyakit Bitung.”

Wajah yang pucat itu menjadi semakin pucat. Selangkah ia maju masuk ke dalam gubug. Dengan suara gemetar ia berkata, “Apakah aku akan sakit seperti Bitung?”

Yang menjawab adalah salah seorang yang berada di dalam gubug dan sedang membenahi pakaiannya, “Ya, kau akan sakit seperti Bitung. Bukan hanya kau, telah ada tiga orang lagi yang akan sakit seperti kau.”

Anak muda itu menjadi semakin cemas. Tiba-tiba ia berkata, “Agni, aku takut.”

Dada Mahisa Agni yang bergelora itu menjadi kian bergolak. Dengan suara bergetar ia bertanya, “Kenapa kau takut?”

“Aku tidak mau sakit.”

“Kami telah menyimpan obatnya. Bukankah Bitung kini telah berangsur sembuh?”

Anak muda itu terdiam sesaat. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi siapakah yang akan mengurus aku selama aku sakit?”

Selagi kau belum sakit, besok aku akan membuat obat untukmu. Aku masih ada persediaan obat itu, bahkan telah ditanam pula beberapa batang oleh paman Empu Gandring di sini, dan kini telah mulai tumbuh subur.

“Tetapi aku takut Agni. Kalau aku sakit, aku akan kembali kepada ibuku.”

“He” Mahisa Agni menahan nafasnya, “ kau masih juga biyung-biyungan.”

Anak itu terdiam. Tetapi yang menjawab adalah orang lain yang sejak semula telah berada di tempat itu, “Biarlah ia kembali ke ibunya Agni.” Kepada anak muda itu ia berkata, “Benahilah pakaianmu. Besok kembali bersama aku ke Panawijen.”

“Apakah paman akan kembali ke Panawijen?”

“Ya, besok aku akan kembali.”

“Baik, baik paman” wajah anak muda yang pucat itu tiba-tiba menjadi cerah. Tanpa kerkata sepatah kata pun lagi ia berlari meninggalkan gubug itu.

Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya bergejolak semakin dahsyat, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Karena itu, maka dadanya sendirilah yang terasa menjadi pepat.

“Maafkan kami Agni” terdengar salah seorang itu berkata, “Aku tidak dapat mengikuti jalan pikiranmu. Bendungan itu bagi kami hanyalah tinggal suatu mimpi yang mengagumkan.

“Tidak” terdengar suara Mahisa Agni bergetar, “aku aku akan mewujudkan bendungan itu. Kalian akan melihat kelak tanah ini menjadi subur. Tanam-tanaman akan menjadi hijau segar seperti beberapa batang Kates Grandel yang ditanam oleh paman Empu Gandring. Baru beberapa hari saja, pohon karena itu telah menjadi tiga kali lipat tingginya dari pada alat batang itu ditancapkan di tanah.”

Orang itu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan Agni. Tetapi aku tidak akan turut serta.”

Wajah Mahisa Agni menjadi merah karena perasaan yang bercampur baur di dalam dadanya. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia berkata, “Terserah kepada kalian. Kami di sini tidak tergantung kepada satu dua tiga orang yang sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab buat masa mendatang. Pergilah kalau kalian akan pergi. Orang-orang semacam kalian pasti hanya akan memperlambat pekerjaan dan mengendorkan nafsu bekerja.”

“Agni” potong orang-orang itu, dan salah seorang di antara mereka meneruskan, “kata-kata itu terlampau kasar buat kami.”

“Hatiku terlampau sakit melihat sikap kalian dan alasan kalian yang tidak masuk akal bagiku.”

Orang-orang itu tidak menjawab lagi. Tetapi mereka kini membenahi pakaian mereka dengan tergesa-gesa, “Aku akan segera pergi.”

“Pergilah. Mudah-mudahan Hantu Karautan menyadap darahmu” desis Mahisa Agni hampir-hampir tidak dapat mengendalikan diri.

Tiba-tiba orang-orang itu mcnjadi pucat. Mereka takut mendengar Agni menyebut Hantu Karautan, sejenak mereka saling berpandangan. Kemudian berkatalah salah seorang dari mereka, “Kami akan pergi pagi-pagi besok.”

“Kalian akan kemalaman di jalan.”

“Terpaksa kami akan membawa kuda-kuda kami, seekor buat dua orang.”

“He” kembali Mahisa Agni terkejut. Kuda yang ada di padang itu di antaranya memang milik orang-orang itu. Dua di antara mereka. Tetapi apa boleh buat. Dengan lemahnya Agni berkata, “Bawalah. Kau sangka hantu Karautan tidak dapat mengejarmu lebih cepat dari lari seekor kuda. Dan kudamu akan mati kelelahan.”

Tetapi Mahisa Agni tidak mau mendengar jawaban mereka lagi supaya hatinya tidak bertambah panas. Segera ia melangkah meninggalkan gubug itu. Hatinya mcnjadi kian risau dan gelisah. Pasti bukan hanya orang-orang itulah yang berperasaan demikian. Apabila seorang mulai dengan yang meyakinkan hatinya itu, maka orang-orang lain pasti akan mengikutinya.

Langkah Mahisa Agni tersendat-sendat di antara gubug-gubug yang berserakan. Tetapi tiba-tiba ia mereka takut untuk melihat keadaan di dalam gubug-gubug itu. Takut bahwa ia akan melihat orang-orang yang lain berbenah lagi seperti yang baru saja dilihatnya Atau orang-orang yang sedang terkena penyakit seperti sakit Bitung. Atau yang kakinya bengkak dan punggungnya terkilir.

Tiba-tiba Mahisa mempercepat langkahnya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia berjalan cepat-cepat meninggalkan perkemahannya, masuk kedalam gelapnya malam.

Anak muda itu sadar, ketika ia sudah berdiri di sisi bendungan yang sedang dikerjakannya. Dengan hati yang pedih ia berjalan menyelusuri brunjung-brunjung yang sudah dan belum terisi batu. Disentuh-sentuhnya benda itu dengan tangannya seperti ia sedang membelai anak-anak kesayangannya. Di sana-sini, teronggok patok-patok bambu yang sudah siap diruncingkan. Besok benda-benda itu akan diturunkan ke kali. Tetapi, siapakah yang akan melakukannya, apabila orang-orang Panawijen itu satu-satu meninggalkannya? Apakah ia sendiri, bersama Ki Buyut dan Empu Gandring mampu melakukanya?

Alangkah gelisahnya hati Mahisa Agni. Terbayang di dalam angan-angannya, benda-benda itu akan terbengkelai. Brunjung-brunjung dan segala macam perlengkapan. Semuanya itu akan teronggok untuk seterusnya. Tak akan ada lagi tangan yang menyentuhnya. Tak ada lagi yang menaruh perhatian atasnya. Kalau kelak beberapa tahun lagi ia sempat datang ke tempat itu pula. Sama sekali tidak berubah seperti saat ditinggalkannya. Hanya apabila kerangka-kerangka bambu itu menyadi lapuk, batu-batu itu pun akan berserakan di sekitarnya, untuk seterusnya tergolek saja disitu. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia meletakkan tubuhnya duduk di atas sebuah brunjung yang sudah berada di sisi dasar bendungan. Dari tempat duduknya Mahisa Agni dapat melihat air yang mengalir hampir dibawah kakinya. Air itu sebenarnya sudah tampak naik dan tergenang beberapa cengkang dari dasarnya.

“Apakah pekerjaan ini akan terhenti?” gumamnya seorang diri. Ia akan dapat membayangkan, seandainya satu dua orang saja yang meninggalkan kerja itu, maka sehari dua hari lagi, hal itu pasti akan menjalar kepada orang-orang lain. Mereka pun akan segera meninggalkan padang ini, untuk seterusnya berpencaran mencari tempat-tempat baru di padukuhan-padukuhan yang telah terbuka. Mungkin sekedar menjadi pekerja, atau pencari kayu,atau pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat mereka lakukan, sekedar untuk mendapatkan upah.

“Kenapa mereka tidak mempertahankan harga diri meskipun pada permulaannya semuanya dilakukan dengan prihatin” gumamnya seorang diri, “Meskipun kini mereka harus membanting tulang, tetapi mereka tidak perlu mencari belas kasian orang lain. Mereka kelak akan menikmati hasil tangan sendiri.”

Tetapi orang-orang Panawijen berpendirian lain. Mereka tidak setabah Mahisa Agni menghadapi kesulitan. Setelah berpuluh tahun mereka hidup dengan senang, setiap cengkang tanah memberi mereka makan, setiap dahan yang ditancapkan akan berbuah, maka mereka benar-benar menjadi pekerja-pekerja yang kurang baik.

Dengan hati yang risau Mahisa Agni duduk tepekur. Dipandanginya arus sungai yang gemericik membawakan lagu yang rawan, seperti lagu yang bergema didalam hati Mahisa Agni itu sendiri.

Dalam pada itu Mahisa Agni sama sekali tidak merasakan, bahwa sepasang mata selalu saja memperhatikannya. Jarak mereka memang belum terlampau dekat. Tetapi ketajaman mata itu dapat melihat bahwa seseorang duduk termenung di sisi bendungan yang sedang dibangun.

“Pasti Mahisa Agni” gumam orang itu, “tak ada orang lain yang berani keluar seorang diri dari perkemahannya.”

Orang itu berwajah beku seperti wajah sosok mayat.

Kebo Sindet. Selama ini ia tidak sabar lagi menunggu adiknya setiap kali kembali dengan laporan yang sama. Belum ada kesempatan. Karena itu, maka kini ia ingin melihat sendiri, apakah yang dikatakan adiknya itu benar.

Karena itu, ketika dilihatnya seorang anak muda duduk saorang diri disisi bendungan yang sedang dikerjakan itu, Kebo Sindet mengumpat didalam hatinya, “Wong Sarimpat benar-benar anak yang malas. Mungkin ia tidak telaten menunggu kesempatan-kesempatan seperti ini. Bukankah mudah sekali untuk menerkamnya, memijit tengkuknya dan membawanya ke Kemundungan?” tetapi kemudian dijawabnya sendiri, “Ah, agaknya pesanku yang telah mengekangnya. Aku mengharap ia tidak berbuat sendiri, supaya tidak mengalami kegagalan seperti yang pernah terjadi. Tetapi orang itu benar-benar bodoh. Sebenarnya ia dapat mempergunakan kebijaksanaan. Kesempatan serupa ini tidak boleh lewat.”

Kebo Sindet tersenyum di dalam hati. namun wajahnya yang beku masih saja membeku. Dikepalanya telah berputar berbagai rencana dengan anak muda yang bernama Mahisa Agni itu. Dari Kuda Sempana ia akan menerima hadiah yang cukup. Seterusnya ia akan dapat melontarkan kesalahan kepada Empu Sada.

Kebo Sindet itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia mengumpat perlahan-lahan, “Wong Sarimpat benar-benar bodoh. Empu Gandring pasti akan memperhitungkannya pula, apabila Mahisa Agni hilang.”

Orang yang berwajah beku itu tertegun sejenak. Namun katanya di dalam hati, “Hem, kami harus mengakui lebih dahulu, bahwa kami mendapat permintaan dan kemudian bekerja bersama dengan Empu Sada. Seterusnya, aku dapat mengatakan kepada permaisuri itu, bahwa kami terpaksa membunuh Empu Sada, karena ternyata maksudnya terlampau jahat. Sedang anak muda yang bernama Mahisa Agni ternyata tidak bersalah, apalagi ia adalah adik tuan puteri Ken Dedes. Dan kami akan merebut Mahisa Agni. Namun sayang, anak muda itu telah menjadi cacat karena perlakuan Empu Sada dan Kuda Sempana. Buta, tuli dan bisu” Kebo Sindet mengangguk-anggukkan kepalanya, “Meskipun Mahisa Agni telah cacat, namun adiknya yang terlampau mengasihinya dan kini menjadi seorang permaisuri itu pasti akan memberi kami hadiah. Apalagi kalau kami sempat menyerahkan Kuda Sempana pula. Mungkin Kuda Sempana harus menjadi bisu pula supaya tidak dapat mengatakan apapun lagi. Tetapi seandainya tidak, maka kata-katanya pasti tidak akan dipercaya, sebab selama ini Kuda Sempana lah yang selalu mengejar-ngejar Mahisa Agni.” Namun Kebo Sindet itu berguman, “Tentu saja tidak terlampau sederhana seperti itu, tetapi gambaran yang demikian bukan berarti terlampau jauh.”

Kembali Kebo Sindet memandangi bayangan yang duduk termenung itu. Perlahan-lahan ia merayapi tebing supaya Mahisa Agni tidak melihatnya. Ia akan muncul dengan tiba-tiba dan menerkamnya, langsung menekan urat-urat lehernya dan membuat anak itu pingsan.

Tetapi Kebo Sindet itu terkejut. Agak jauh ia mendengar suara batuk-batuk. Tetapi semakin lama semakin dekat.

Dan ia mengumpat habis-habisan di dalam hatinya ketika ia mendengar anak muda itu menyapa, “Siapa?”

Bayangan yang mendatang itu tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia melangkah semakin dekat.

Kebo Sindet yang bersembunyi di sisi tebing di balik rumpun-rumpun perdu segera melihat pula bayangan itu. Remang-remang di dalam gelap malam berjalan mendekati Mahisa Agni
.
“Siapa?,” sekali lagi Mahisa Agni menyapanya. Tiba-tiba ia menyadari, bahwa bahaya masih saja selalu mengerumuninya. Karena itu maka segera ia berdiri tegak dan siap menghadapi setiap kemungkinan.

Tetapi jawaban yang didengarnya telah mengendorkan ketegangan uratnya, “Aku Agni.”

Namun Kebo Sindetlah yang kemudian menjadi tegang ketika ia mendengar Agni menyahut, “Paman Empu Gandring?”

“Ya Agni.”

Mahisa Agni pun kemudian duduk kembali di atas brunjung-brunjung yang sudah penuh berdiri batu, sedang pamannya duduk pula disampingnya. Tetapi mereka sama sekali tidak menyadari bahwa sepasang mata sedang mengintai mereka.

Alangkah kecewanya Kebo Sindet melihat kehadiran Empu Gandring. Kembali ia mengumpat-umpat di dalam hatinya., “Setan belang. Apakah yang dicarinya setan tua itu?” Namun tiba-tiba timbullah pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah orang itu mengetahui bahwa aku berada disini?”

Kebo Sindet mengatupkan giginya rapat, tetapi sorot matanya seakan-akan memancarkan api kemarahannya., “Hem,” ia menggeram di dalam hati, “Ternyata benar juga kata Wong Sarimpat. Orang tua itu seolah-olah tidak pernah terpisah dari kemanakannya. Tetapi ini akibat dari kelalaian Wong Sarimpat pula, sehingga Empu Gandring menjadi semakin berhati-hati. Setiap kali ia tidak melibat kemanakannya, maka pasti ia akan mencarinya.

Terasa dada orang itu bergelora, meskipun wajahnya masih saja membeku. Namun Kebo Sindet ternyata lebih mampu mengendalikan perasaannya dari pada adiknya. Seandainya yang ada di tebing itu Wong Sarimpat, maka pasti ia akan melepaskan kemarahannya. Mungkin ia akan melompat meskipun ia ia tahu bahwa itu tidak akan ada gunanya.

Tetapi Kebo Sindet tidak berbuat demikian. Perlahan-lahan ia malangkah surut semua tindakannya atas anak muda itu saat ini pasti tidak akan berhasil. Karena itu, lebih baik menyingkir untuk sementara sampai di saat lain ada kesempatan yang terbuka.

“Aku harus bersabar” katanya di dalam hati, “aku harus menunggu keduanya menjadi lengah sehingga mereka melupakan bahaya yang dapat mengancam anak muda itu.”

Empu Gandring dan Mahisa Agni sama sekali tidak tahu bahwa seseorang sedang meninggalkan tepian itu sambil mengumpat-umpat tak putus-putusnya. Mereka tidak menyadari bahwa hampir-hampir saja Mahisa Agni diterkam oleh bahaya yang selalu membayanginya. Seperti semula ia tidak tahu, bahwa orang-orang Panawijen sendirilah yang akan menggagalkan rencana pembuatan bendungan itu.

Ternyata Kebo Sindet cukup berhati-hati, sehingga ia tidak menimbulkan kegaduhan. Kudanya yang ditambatkannya agak jauh, tidak segera dipacunya. Tetapi dibiarkannya kuda itu berjalan perlahan-lahan menjauh. Meskipun demikian, hatinya benar-benar menjadi kecewa. Anak muda yang dicarinya itu seakan-akan telah ada di dalam genggamannya. Tetapi tiba-tiba lepas kembali.

“Hem” gumamnya, “Wong Sarimpat pernah berkata demikian pula beberapa saat yang lalu.”

Di atas bendungan yang sedang dikerjakan itu, Mahisa Agni dan Empu Gandring masih saja duduk sambil berdiam diri. Mereka masih saja memandangi arus air yang bergejolak menggelepar melanda dasar bendungan yang sudah diletakkan di dasar sungai itu.

Angin malam yang sejuk berhembus perlahan-lahan mengusap tubuh mereka. Dikejauhan terdengar lamat-lamat burung-burung malam bersahut-sahutan, diantara derik suara bilalang.

Yang sejenak kemudian berkata memecah sepinya malam adalah Empu Gandring. Dengan nada yang rendah ia bertanya, “Mahisa Agni, apa kerjamu malam-malam disini?”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Tetapi kembali wajah itu menunduk memandangi air dibawah kakinya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Tidak apa-apa paman.”

Pamannya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah kcmanakannya yang tunduk. Iba batinya terhadap anak itu menjadi semakin dalam. Ia tahu apa yang telah terjadi diperkemahan. Ia tahu bahwa beberapa orang telah membenahi diri dan besok akan meninggalkan padang itu kembali ke Panawijen.

Karena itu maka katanya, “Agni, apakah kau sedang memikirkan bendungan itu?”

Kembali Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Apakah kau sedang dibingungkan oleh beberapa orang yang besok akan kembali ke Panawijen?”

Mahisa Agni masih berdiam diri.

“Dan kau tidak dapat mencegahnya lagi?”

Akhirnya Mahisa Agni menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya paman. Beberapa orang besok akan kembali ke Panawijen. Kalau itu benar-benar terjadi, maka orang-orang yang lain pun akan pergi juga dari padang ini, sehingga akhirnya aku akan kehabisan kawan. Pasti tidak mungkin aku akan melakukannya sendiri.”

Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Ya, kau tidak akan dapat melakukannya sendiri. Tetapi bukankah kau masih dapat mengharap beberapa orang akan tetap berada di padang ini dan bekerja bersamamu?”

“Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang besar dan berat paman. Aku memerlukan teman sebanyak-banyaknya yang dapat mengerti arti perjuangan ini. Tetapi ternyata mereka sama sekali tidak dapat membayangkan arti dari perjuangannya itu, sehingga sebagian dari mereka menjadi jemu karenanya. Besok sebagian dari mereka akan kembali. Lusa yang lain menyusul. Esok kemudian yang lain lagi, sehingga akhirnya aku akan tinggal di sini seorang diri.”

Empu Gandring mengagguk-anggukkan kepalanya mendengar keluhan Mahisa Agni itu. Ia dapat mengerti luka parah luka dihatinya. Meskipun demikian orang tua itu berkata, “Agni, kau adalah seorang anak muda. Karena itu jangan mengeluh dan lekas berputus asa. Lakukan segala usaha, kau pasti akan menemukan jalan. Bukankah usahamu ini adalah usaha yang baik. Yang Maha Agung pasti akan menyertaimu.”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia percaya benar kepada kekuasaan tertinggi diluar kemampuan jangkau otak manusia. Ia percaya bahwa usahanya itu adalah usaha yang baik. Usaha untuk kesejahteraan manusia, meskipun hanya dalam lingkungan yang kecil.

Tetapi kali ini seakan-akan pekerjaannya sama sekali tidak dapat berjalan dengan lancar. Seakan-akan Yang Maha Agung tidak memberinya kesempatan untuk berbuat, untuk melakukan pengabdian yang kecil ini. Ada saja rintangan-rintangan yang harus dihadapinya. Dari dalam tubuh orang-orang Panawijen sendiri dan dari luar lingkungan mereka.

Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka Empu Gandring itu pun berkata pula, justru langsung menjentuh perasaan Mahisa Agni yang sedang diliputi oleh kerisauan itu, “Agni. Mungkin tangan Yang Maha Agung itu tidak segera dapat kau rasakan. Mungkin kau justru merasa sama sekali tidak mendapat tuntunan-Nya. Tetapi kau barus mencari kesalahan itu pada dirimu sendiri. Mungkin kau kurang tekun memanjatkan permohonan kepada-Nya. Mungkin kau kurang prihatin. Tetapi mungkin juga kali ini permohonanmu memang belum selayaknya dipenuhi seluruhnya. Setiap kesulitan adalah pelajaran bagimu. Hanya kitalah yang kadang-kadang tidak dapat menangkap maksud tuntunan itu. Namun seandainya demikian buat kali ini, baiklah kita mencoba meraba-raba maksud itu. Yang Maha Agung tidak akan memberikan bendungan begitu saja. Tetapi pasti ada tuntunan bagi kita sekalian. Kita ternyata mendapat latihan untuk bekerja keras dan berusaha tidak mengenal putus asa.”

Empu Gandring diam sejenak. Ia ingin tahu, apakah yang dirasakan oleh kemanakannya.

Sesaat kemudian berkatalah Mahisa Agni, “Paman bagaimana aku akan dapat melangsungkan kerja tanpa orang-orang lain. Mungkin aku dan Ki Buyut Panawijen dapat tinggal di sini dengan kesadaran sepenuhnya, bahwa apa yang kita lakukan ini akan berarti tidak saja buat masa depan yang dekat, tetapi juga buat masa-masa mendatang. Buat anak cucu. Namun apakah arti kami berdua, dan mungkin juga paman untuk beberapa lama, karena mustahil paman akan dapat tinggal bersama kami terus-menerus, karena paman mem punyai padepokan dan beberapa orang cantrik. Apakah yang dapat kita lakukan untuk melawan alam yang garang dan kasar ini?”

“Agni” berkata pamannya, “kau hanya melihat kekuatan lahiriah. Kau melupakan kekuatan yang tidak kasat mata. Ingatkah kau Agni, apa yang pernah dilakukan oleh gurumu? Aku pernah mendengar, dan kau pernah pula mengatakan kepadaku. Bagaimana ia membuat bendungan di Panawijen?”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Dan pamannya berkata seterusnya, “Gurumu, Empu Purwa bekerja seorang diri. Hanya dengan beberapa orang cantrik yang setia dan beberapa orang dalam jumlah yang sangat kecil, ia berhasil membangun bendungan, meskipun sampai berbilang tahun. Apakah kau sangka Empu Purwa mempunyai Aji Bala Srewu yang berwujud seribu raksasa untuk membantunya membangun bendungan itu? Tidak Agni. Bala Srewu milik gurumu adalah ketekunannya berlandaskan pada kepercayaannya kepada Yang Maha Tinggi. Gurumu tidak akan mampu membuat apa pun tanpa tuntunan-Nya. Tanpa Tangan-Nya Yang Agung. Adalah di luar akal, bahwa gurumu dan beberapa orang saja mampu membuat bendungan itu, apabila tidak ada kekuasaan yang melampaui segala kekuasaan ikut membantunya.”

Mahisa Agni menggigit bibirnya. Terasa jantungnya berderak-derak seperti akan meledak. Kata-kata pamannya serasa menyentuh batinnya dan mengalir menelusur urat-urat darahnya, memanasi seluruh bagian tubuhnya.

Kata-kata itu bagaikan kekuatan yang tidak ada taranya menyusup ke dalam dirinya.

Mahisa Agni itu pun tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Kini seakan-akan ia telah menemukan dirinya dan menemukan gairah serta nafsu yang menyala-nyala itu kembali. Ketika ia melihat langit diatas kepalanya, kini dilihatnya bintang gemintang berbinar terang bergayutan pada tabir yang biru gelap. Terdengar suara derik jengkerik seperti suara genderang perang, serta suara burung-burung malam yang memekik-mekik itu, seperti suara sangkakala yang berbunyi dari celah-celah langit.

Tiba-tiba terdengar anak muda itu menggeram, “Ya, paman. Aku menyadari keadaanku. Aku telah terseret oleh arus keputus-asaan. Aku melupakan setiap kemungkinan, yang teraba dan yang tidak teraba oleh panca indera. Karena itu, aku berjanji paman, bahwa aku akan berusaha sampai kemungkinan yang terakhir untuk mewujudkan bendungan ini. Meskipun seandainya aku tinggal seorang diri.”

“Bagus” sahut pamannya, “setidak-tidaknya cantrik-cantrik gurumu akan membantumu seperti gurumu pada saat membuat bendungan itu. Apabila demikian, apabila kau harus bekerja sendiri, maka yang pertama-tama harus kau kerjakan adalah, berusaha mendapatkan perbekalan secara terus-menerus. Tanamlah macam-macam ubi-ubian di tebing-tebing sungai ini supaya kau dapat menyimpan makanan untuk waktu yang panjang.”

“Baik paman” sahut Mahisa Agni dengan mantap. Ia kini tidak lagi dilanda oleh keragu-raguan dan kebimbangan.

“Tetapi kini kau belum sendiri. Kau masih mempunyai cukup kawan.”

“Mereka besok akan meninggalkan padang ini. Satu demi satu. Tetapi aku sudah tidak mempedulikannya lagi. Biarlah mereka pergi seluruhnya. Biarlah mereka meninggalkan aku seorang diri. Tetapi kini aku menemukan keyakinan di dalam diriku, seperti kata paman, bahwa ada yang selalu bersamaku, justru Yang Maha Agung.”

Terasa sesuatu bergetar di dalam dada Empu Gandring mendengar kata-kata kemanakannya, yang agaknya kini benar-benar telah menemukan kembali hubungan yang erat antara dirinya dengan Sumbernya, yang selama ini telah terganggu oleh keragu-raguan, kecemasan dan ketidak-tentuan.....

Karena itu maka orang tua itu berkata, “Bagus Agni. Dengan bekal itu kau pasti akan dapat menyelesaikan pekerjaanmu. Kau tidak perlu tergesa-gesa. Kau tidak perlu mengharap bendunganmu itu akan siap sebelum musim hujan yang akan datang. Meskipun di musim hujan air akan menjadi lebih besar, tetapi banjir yang besar yang akan menghanyutkan brunjung-brunjung yang telah kau letakkan pada dasar sungai itu tidak selalu datang. Mungkin banjir-banjir itu akan datang melandanya dan menghanyutkannya, tetapi mungkin pula tidak. Kalau kau pasang dasar bendungan itu dengan perhitungan yang baik, dengan dasar kemungkinan yang paling pahit, maka kau akan berhasil mengatasi banjir yang bagaimanapun besarnya.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia menjadi semakin mantap. Dan kini ia tidak lagi menjadi cemas menghadapi setiap ancaman.

Karena itu, maka ketika pamannya mengajaknya kembali keperkemahan, Mahisa Agni tidak lagi berjalan dengan ragu. Ia melangkah dengan dada tengadah.

Ketika mereka sampai di perkemahannya, maka Empu Gandring pun segera masuk ke dalam gubugnya. Tetapi Mahisa Agni tidak berbuat demikian. Ia masih ingin melihat-lihat perkemahan itu sekali lagi dengan tanggapan yang jauh berbeda.

“Kau harus beristirahat Agni.”

“Ya paman, tetapi aku ingin meneruskan melihat-lihat perkemahan ini sebentar. Aku tadi terhenti di tengah-tengah ketika hatiku menjadi bingung melihat orang-orang yang sedang sibuk berkemas-kemas. Kini aku akan melihat gubug demi gubug. Apa pun yang akan aku lihat, aku sudah tidak akan terpengaruh lagi. Bahkan aku ingin melihat, siapakah yang kira-kira akan dapat bekerja bersamaku seterusnya apabila orang-orang lain satu demi satu meninggalkan padang yang keras ini.”

“Aku kira semua orang telah tidur.”

“Biarlah. Kalau ternyata demikian, aku pun akan segera tidur pula.”

Pamannya tidak menahannya lagi. Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah kembali menyusuri perkemahan itu. Gubug demi gubug dilihatnya. Beberapa anak-anak muda tidur mendekur berselimut kain panjang. Ada pula diantara mereka yang tidur di samping perapian yang masih membara.

Tetapi bagaimanapun juga, hati anak muda itu menjadi berdebar-debar ketika sekali lagi ia melihat beberapa orang tidur dengan beberapa bungkusan yang telah siap di sampingnya. Sejenak Mahisa Agni berhenti. Ditatapnya orang-orang itu sambil bergumam didalam hatinya Hem, agaknya kalian tidak menyadari apa yang kalian lakukan.”

Kini Mahisa Agni tidak lagi menjadi cemas, ketakutan dan berputus-asa, tetapi tiba-tiba ia merasa kasihan kepada orang-orang itu. Kasihan mereka menjadi berputus-asa dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Mereka lebih senang melarikan diri dari usaha ini dan menggantungkan diri kepada kemungkinan-kemungkinan yang akan dijumpainya. Mungkin karena belas kasihan seseorang, mungkin karena kebetulan.

Tetapi Mahisa Agni menjadi kecewa pula. Sikap itu pasti akan mempengaruhi sikap orang-orang lain yang memang sudah dihinggapi oleh perasaan yang serupa.

Meskipun demikian, kini Mahisa Agni sendiri tidak terpengaruh olehnya. Ia tidak lagi menjadi bingung dan putus-asa seperti orang-orang itu.

Perlahan-lahan Mahisa Agni meneruskan langkahnya. Kini ia mendengar seseorang mengeluh karena kakinya bengkak dan di gubug yang lain ia mendengar seseorang menggigil kedinginan meskipun tubuhnya menjadi panas.

Mahisa Agni menarik nafas panjang. Ia tidak boleh mundur karena keadaan itu. Tetapi ia harus maju justru mengatasi keadaan itu.

Yang ada di kepala Mahisa Agni kini adalah angan-angan, bagaimana ia dapat mencari jalan keluar dari segala macam kesulitan. Bagaimana ia dapat mengatasinya dan menemukan suatu keadaan yang mantap, meskipun hanya tinggal beberapa orang saja yang bersedia bekerja bersamanya.

Tanpa diketahuinya Mahisa Agni kini telah berdiri di ujung perkemahannya. Seperti sebatang tonggak ia berdiri dan mengawasi padang yang luas terbentang dihadapannya. Padang yang kelak akan dibelahnya dengan saluran air dan akan dirobek-robeknya dengan parit-parit yang mengalirkan air yang jernih.

Mahisa Agni berpaling ketika ia melihat seseorang yang tidur di samping perapian menggeliat bangun. Orang itu agak terkejut ketika dilihatnya sesosok tubuh berdiri membeku di sampingnya. Tetapi kemudian orang itu berkata, “Hem, kau Agni. Apakah kau tidak tidur?”

“Aku tidak mengantuk” jawab Agni.

“Aku lelah sekali, “ sahut orang itu pula, “tangan dan kakiku serasa akan terlepas.”

Mahisa Agni yang sedang risau itu tiba-tiba merasa tersinggung. Tanpa memandang ke arah orang itu ia berkata, “Apakah kau juga akan kembali ke Panawijen seperti beberapa orang lain?”

Orang itu menjadi heran. Perlahan-lahan ia bertanya, “Apakah ada orang yang akan kembali ke Panawijen?”

“Ya Orang-orang yang berputus-asa. Apakah kau mau ikut supaya kaki dan tanganmu tidak terlepas?”

Orang itu diam sejenak. Dengan heran dipandanginya wajah Mahisa Agni yang seolah-olah membeku. Namun tiba-tiba ia berkata, “Agni kau salah sangka. Aku sudah bersedia bekerja di padang ini. Bukankah kau melihat bahwa aku telah bekerja dengan sekuat tenagaku? Kenapa kau berkata begitu? Meskipun semua orang akan kembali ke Panawijen, namun aku akan tetap berada di sini selagi masih ada orang yang memimpinku mengerjakan bendungan itu.”

Hati Mahisa Agni bcrgejolak mendengar jawaban itu. Tiba-tiba ia menyadari kesalahannya. Karena itu dengan serta-merta ia berkata, “Maafkan aku. Hatiku sedang diamuk oleh kekecewaan karena aku melihat beberapa orang yang akan meninggalkan padang ini besok pagi.”

Orang itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Kembali ia bertanya, “Jadi benarkah bahwa ada orang-orang yangg akan kembali ke Panawijen besok?”

“Ya.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia bergumam, “Suatu pertanda bahwa pekerjaan kita akan menjadi semakin berat. Pasti bukan hanya orang itu sajalah yang kemudian akan meninggalkan kita.”

“Apakah kau keberatan?”

Orang itu menggeleng, dan Mahisa Agni pun menjadi malu kepada diri sendiri. Apalagi ketika orang itu menjawab, “Bukankah kita tidak akau dapat memaksanya? Kalau orang-orang itu memang telah menjadi jemu, biarlah mereka pergi. Di tempat ini mereka hanya akan mengganggu dengan berbagai macam hasutan dan menghabiskan persediaan makan yang sudah menipis itu.”

Mahisa Agni menggigit bibirnya. Ia kagum mendengar tekad dan pendapat orang itu. Ternyata di antara orang-orang Panawijen yang malas dan berhati goyah, ada juga orang-orang serupa orang ini.

“Bagaimana kalau mereka semuanya pergi meninggalkan padang ini?” Mahisa Agni mencoba menjajagi hatinya.

“Hem” orang itu berdesah, “kalau demikian maka kita yang tinggal akan bekerja untuk dua tiga musim.”

“Bagus” sahut Mahisa Agni, “ternyata kau adalah seorang yang berhati baja. Setidak-tidaknya kita bertiga dan beberapa orang cantrik akan tinggal disini. Aku, kau, Ki Buyut Panawijen dan cantrik-cantrik dari padepokan Empu Purwa itu.”

Orang itu tersenyum. Sambil menguap ia bergumam, “Aku mengantuk. Aku akan tidur.”

Sejenak kemudian orang itu pun telah berbaring kembali di samping perapian sambil menyelimuti seluruh tubuhnya dengan kain panjang yang lungset.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hatinya tidak setenang dan setabah hati orang itu. Orang itu sama sekali tidak menjadi gelisah dan kecewa. Bahkan sejenak kemudian orang itu telah mendekur pula.

Namun dengan demikian, hati Mahisa Agni kini menjadi semakin mantap. Ternyata Yang Maha Agung benar-benar besertanya. Lewat pamannya dan orang yang kini telah tertidur kembali itu, ia mendapat tuntunan-Nya, mendapat peringatan-Nya sehingga ia mendapatkan kekuatannya kembali.

Kini Mahisa Agni kembali memandangi padang yang luas dan gelap itu. Padang itu harus ditaklukkannya, sehingga padang itu akan menuruti kemauannya.

Malam yang gelap menjadi semakin gelap. Angin malam berhembus mengusap tubuh Mahisa Agni yang berdiri tegang. Titik-titik embun telah mulai membasahi atap-atap gubug dan rerumputan yang terbentang dihadapannya.

Tetapi titik embun itu sama sekali tidak mampu menyejukkan hati Mahisa Agni yang kecewa. Meskipun ia tidak lagi menjadi gelisah dan bingung, namun sikap beberapa orang itu masih saja tidak dapat dimengertinya.

Ketika Mahisa Agni mendengar suara batuk-batuk seseorang yang sedang tidur di gubug yang paling ujung, maka tersadarlah bahwa malam telah terlampau dalam, bahkan telah melampaui titik pusatnya. Karena itu, maka perlahan-lahan Mahisa Agni menggeliat dan melangkah kembali ke gubugnya sambil bergumam, “Persetan. Pergilah yang mau pergi. Pendapat orang itu baik sekali. Disini mereka hanya akan mengganggu dan menghabiskan persediaan makanan.” Tetapi Mahisa Agni berdesah pula, “Kasian. Mereka telah kehilangan segenap kepercayaan. Kepada diri sendiri dan kepada Sumber Hidup-Nya.”

Tiba-tiba langkah Mahisa Agni tertegun. Ia melihat sesuatu bergerak-gerak dikejauhan. Mula-mula samar-samar, tetapi semakin lama menjadi semakin jelas.

Jantung Mahisa Agni serasa berdentang karenanya. Ia melihat nyala obor. Tidak hanya sebuah, tetapi dua, tiga bahkan lebih.

“Apakah aku bermimpi?” desis Mahisa Agni. Namun obor itu masih saja dilihatnya semakin lama semakin nyata.

“Obor itu mendekati perkemahan ini” gumamnya.

Sejenak Mahisa Agni berdiri mematung. Ia mencoba untuk menebak apakah kira-kira yang dilihatnya itu. Apakah benar-benar obor, atau yang sering disebut orang kemamang? Semacam burung yang dapat menyala dan berterbangan di malam hari.

Tetapi segera Mahisa Agni dapat memastikan bahwa yang dilihatnya itu adalah nyala beberapa buah obor.

Untuk meyakinkan penglihatannya, Mahisa Agni melangkah kembali mendekati orang yang sedang mendekur itu. Perlahan-lahan orang itu dibangunkannya.

Sambil menggeliat orang itu bertanya, “Ada apa Agni?”

“Bangunlah. Lihatlah. Apakah kau melihat seperti yang aku lihat?”

“Apa?”

“Bangunlah.”

Wajah orang itu memjadi tegang. Perlahan-lahan ia bergumam, “Apakah kau sedang menakut-nakuti aku? Atau apakah kau melihat Hantu Karautan?”

“Aku tidak takut kepada Hantu Karautan. Tetapi yang aku lihat adalah obor.”

“O, kemamang kau maksudkan? Hantu api yang menyebarkan bala penyakit.”

“Bangunlah dan lihatlah. Menurut pengamatanku yang aku lihat adalah nyala obor. Sama sekali bukan kemamang Apalagi yang menjebarkan penyakit.”

Dengan tergesa-gesa orang itu bangkit dan segera pula berdiri. Ditatapnya arah yang ditunjuk oleh Mahisa Agni dengan jarinya. Wajah itu pun segera menjadi semakin tegang. Seperti bergumam kepada diri sendiri orang itu berkata, “Ya ya. Obor.”

“Nah” berkata Mahisa Agni, “bukankah benar-benar obor, api obor? Bukan kemamang yang akan menyebarkan penyakit?”

“Tetapi siapakah yang membawa obor di malam begini di Padang Karautan?, “ Orang itu berhenti sejenak. Terapi hampir memekik ia berkata, “Pasti Hantu Karautan. Hantu Karautan bersama kawan-kawannya berbaris. Oh, memang hantu-hantu sering berbaris pula seperti manusia. Mungkin hantu-hantu itu terjadi oleh roh-roh jahat. Mungkin gerombolan-gerombolan perampok yang terbunuh di padang ini oleh prajurit Tumapel.”

“Hantu-hantu tidak memerlukan obor” sahut Mahisa Agni, “mereka dapat melihat jelas di dalam gelap. Justru semakin gelap, mereka semakin dapat melihat dengan tajamnya.”

Orang itu menarik nafas., “ Lalu siapakah mereka?”

Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab.

Kembali orang itu berkata dengan serta-merta, “Kalau begitu mereka bukan roh perampok-perampok yang mati di padang ini, tetapi justru mereka adalah perampok-perampok yang masih hidup. Mereka menyangka kita membawa banyak perbekalan disini.”

Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata itu. Meskipun angan-angannya tidak sejalan dengan orang itu, bahwa yang datang itu gerombolan perampok yang akan merampas harta benda, tetapi ada juga persamaaanya dengan itu. Angan-angannya segera hinggap kepada Empu Sada, Kuda Sempana, dan orang yang ditemuinya terakhir di Padang Karautan Wong Sarimpat.

Wajah Mahisa Agni pun menjadi semakin tegang. Di kenangnya pula ceritera Witantra ketika pemimpin prajurit pengawal Akuwu itu mengantar Ken Dcdes ke Panawijen. Ternyata Empu Sada mampu membawa segerombol orang-orangnya untuk mencegat para pengawal.

“Apakah mereka datang kemari pula?” katanya di dalam hati, “tetapi apakah mereka memerlukan obor juga?”

Meskipun Mahisa Agni menjadi bimbang, tetapi kemungkinan itulah yang paling besar dapat terjadi. Tidak ada hantu tidak ada kemamang yang menyebarkan penyakit, tetapi apabila yang datang itu Empu Sada dan Wong Sarimpat, maka akibatnya lebih dari hantu yang mana pun juga, lebih daripada kemamang yang menyebarkan penyakit.

Tetapi Mahisa Agni tidak mau menggelisahkan orang-orang Panawijen. Dengan tenang ia berkata, “Marilah kita tunggu, siapakah yang datang itu. Sebaiknya Ki Buyut Panawijen siap pula menyambutnya. Mungkin orang-orang yang datang itu sebuah rombongan pedagang yang tersesat atau mencari perlin dungan.”

“Apakah mereka tahu, bahwa di sini ada perkemahan?”

“Api yang menyala di perapian dan lampu-lampu itulah agaknya yang menuntun mereka kemari.”

Orang itu pun meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dari sela-sela bibirnya ia bergumam, “Mungkin. Mungkin pula demikian.” Namun terasa bahwa batinya diganggu oleh keragu-raguan dan kecemasan.

“Awasilah obor-obor itu” berkata Mahisa Agni, “aku akan membangunkan Ki Buyut.”

“Baiklah, “ jawab orang itu, “tetapi jangan terlampau, lama.”

“Kenapa?”

Orang itu tidak menjawab, tetapi Mahisa Agni dapat meraba perasaannya. Orang itu agaknya menjadi takut.

“Jangan takut dan cemas. Obor-obor itn masih terlalu jauh. Kalau benar mereka itu para pedagang yang tersesat, maka kau pasti akan mendapat hadiah nanti. Tenanglah.”

Orang itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja, tanpa sepatah jawabanpun.

Dengan tenangnya Mahisa Agni berjalan meninggalkannya seorang diri. Tetapi ketika Agni telah membelok ke balik sebuah gubug, maka segera ia mempercepat langkahnya. Hatinya sendiri sebenarnya telah dilanda pula oleh kegelisahan dan berbagai pertanyaan mengenai obor-obor itu.

Ki Buyut yang kemudian dibangunkan dari tidurnya, dengan tergesa-gesa pergi keluar gubugnya dan berjalan ke sisi perkemahan. Atas petunjuk Mahisa Agni, segera ia pun melihat beberapa buah obor yang kini menjadi semakin dekat.

“Apakah menurut dugaanmu Ngger?”

“Aku tidak tahu Ki Buyut.”

Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia pun menjadi gelisah pula.

“Aku akan membangunkan paman pula Ki Buyut.”

“Bagus, “ sahutnya, “aku menunggu disini.”

Kembali Mahisa Agni melangkah dengan tergesa-gesa. Berbagai gambaran hilir mudik dikepalanya. Namun yang paling tajam adalah gambaran tentang Kuda Sempana, Empu Sada dan orang yang berwajah kasar, sekasar batu padas, yang mampu memacu kuda tanpa pelana.

Empu Gandring mengerutkan keningnya ketika ia mendengar tentang obor-obor itu dari Mahisa Agni. Seperti Ki Buyut maka orang tua itu pun segera pergi ke sisi perkemahan untuk dapat melihat obor-obor itu dengan jelas.

“Apakah dugaan Empu tentang obor-obor itu?”

Empu Gandring menggeleng, “Aku belum dapat menduga Ki Buyut.”

Namun Mahisa Agnilah yang menjawab dengan ragu-ragu, “Apakah mungkin mereka itu sebuah gerombolan seperti yang diceriterakan oleh Witantra itu paman. Bukankah Empu Sada pernah mencoba mencegat Ken Dedes?”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berdesis, “Apakah mereka akan datang dengan membawa obor?”

“Mereka yakin bahwa usahanya akan berhasil kali ini. Bukankah Empu Sada tidak sendiri?”

“Ya, Bersama Wong Sarimpat, Kebo Sindet dan beberapa orang muridnya.”

Mahisa Agni menjadi berdebar-debar mendengar jawaban pamannya, meskipun ia sudah menduga pula. Nama-nama itu kembali diulanginya didalam hatinya, Empu Sada, Wong Sarimpat dan Kebo Sindet.

“Hem” desahnya.

Ki Buyut Panawijen yang mendengar pembicaraan itu pun menjadi cemas pula. Terbata-bata ia bertanya, “Siapakah mereka itu Empu? Apakah mereka itulah yang ingin berbuat jahat atas Angger Mahisa Agni?”

“Belum pasti Ki Buyut. Kita belum tahu pasti siapakah yang akan datang itu.”

“Tetapi kemungkinan terbesar adalah mereka itu. Siapa lagi? Siapa lagi yang akan datang dilewat tengah malam ini kecuali orang jahat? Mereka sengaja datang sambil membawa obor untuk memberitahukan kepada kita bahwa mereka datang dengan dada tengadah.”

Empu Gandring masih berusaha menenangkan, “Ki Buyut, Padang Karautan ini adalah padang yang terlampau sepi. Seandainya ada satu dua penjahat atau penyamun, maka mereka pasti berada di sisi lain, yang sering dilalui orang.”

“Mereka pun pasti hanya seorang atau dua, tidak dalam jumlah yang besar.”

“Mereka dapat memanggil kawan-kawan mereka Empu.”

“Apakah yang akan mereka cari di sini? Bukankah mereka mengetahui bahwa kita sedang bekerja membuat bendungan? Seandainya mereka ingin merampok kita, maka mereka pasti akan datang ke Panawijen justru di sana hampir tidak ada seorang laki-laki pun.”

Ki Buyut memandangi wajah Empu Gandring dengan gelisahnya. Pcrlahan-lahan ia menjawab ragu-ragu sambil berpaling kepada Mahisa Agni, “Bukan Empu, bukan harta benda yang mereka cari, bukankah mereka mencari Angger Mahisa Agni.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, sedang Mahisa Agni mcnggeretakkan giginya. Sambil mengangguk perlahan-lahan Empu Gandring berkata, “Mungkin. Tetapi itu pun baru kemungkinan. Kita semua tidak tahu, siapakah yang datang itu?”

Sejenak mereka terdiam. Obor-obor itu bergerak-gerak seperti siput yang sedang merayap. Perlahan-lahan tetapi pasti maju mendekati perkemahan ini.

Mereka terkejut ketika kemudian terjadi hiruk pikuk di sisi perkemahan itu. Ternyata beberapa orang telah bangun.

Oleh orang yang melihat obor itu bersama Mahisa Agni, beberapa kawannya telah dibangunkannya karena perasaan takut. Tetapi ternyata ketakutannya itu pun telah menjalar pula, sehingga kemudian hampir semua orang di perkemahan itu terbangun.

Beberapa orang berlari-lari mencari Ki Buyut Panawijen. Dengan nafas terengah-engah salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah yang datang itu Ki Buyut?”

Ki Buyut Panawijen menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku belum tahu. Tak seorang pun yang tahu, siapakah yang datang itu.”

“Apakah mereka orang-orang jahat atau hantu-hantu yang akan berbuat jahat atas kita?”

Ki Buyut Panawijen itu menggeleng pula, “Aku tidak tahu.”

Orang-orang itu terdiam sejenak. Dengan wajah yang tegang mereka memandangi api-api obor yang bergerak-gerak di tengah Padang Karautan itu.

Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Apakah mereka itu orang-orang yang dibawa oleh Kuda Sempana mencari Mahisa Agni. Bukankah menurut pendengaran kami, Kuda Sempana selalu berusaha menangkap Mahisa Agni dengan bantuan gurunya atau orang-orang lain yang mereka anggap mampu berbuat demikian?”

Sekali lagi Ki Buyut Panawijen menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu.”

“Kalau demikian celakalah kami, “ desis seseorang.

“Mengapa?, “ dengan serta-merta terdengar Mahisa Agni bertanya.

“Kami yang tidak tahu menahu sengketa antara kau dan Kuda Sempana pasti akan mengalami bencana pula di perkemahan ini. Kalau Kuda Sempana datang bersama gurunya dan saudara-saudara seperguruannya menyerang kita, maka matilah kita semua” berkata yang lain.

Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata itu. Apa lagi ketika yang lain menyambung, “Hem, ternyata Mahisa Agni semalam ini selalu menyusahkan kita. Mahisa Agni sekeluarga. Empu Purwa dan Ken Dedes itu pula. Merekalah sumber bencana yang selama ini melanda pedukuhan kita. Bukankah Kuda Sempana sebenarnya hanya menghendaki gadis itu. Bukankah bendungan kita hancur karena Empu Purwa dan apabila kita sekarang binasa adalah karena Mahisa Agni.”

“Kenapa kita…..” kata-kata orang itu tidak dapat diselesaikan. Alangkah terperanjatnya, dan kemudian terdengar ia menjerit ketika tiba-tiba tangan Mahisa Agni telah menampar mulutnya. Meskipun bagi Mahisa Agni ayunan tangannya itu hanya sekedar untuk membungkam kata-kata yang menyakitkan hatinya, tetapi bagi orang yang ditamparnya serasa bagaikan tersambar petir.

“Agni” terdengar suara pamannya lantang.

Tetapi orang itu telah terduduk di tanah sambil menutup mulutnya yang berdarah.

Semua orang memandang Mahisa Agni dengan wajah yang tegang. Terasa berbagai perasaan bergolak di dalam dada mereka. Ketakutan, kecemasan dan kegelisahan. Mereka takut melihat obor-obor yang merayap semakin dekat. Teiapi mereka pun menjadi takut apabila tiba-tiba Mahisa Agni menjadi marah dan mengamuk.

Mahisa Agni masih berdiri tegang, namun kepalanya tiba-tiba menunduk Ia tidak berani menatap mata pamannya yang memandanginya dengan tajam. Perlahan-lahan sekali pamannya itu berkata, “Agni, jagalah perasaanmu” Namun suara yang perlahan-lahan itu serasa jauh lebih keras dari ayunan tangannya.

Kini suasana sejenak ditelan oleh kesepian. Kesepian yang diwarnai oleh berbagai macam perasaan yang bercampur-aduk. Kesepian yang menyesakkan dada.

Sementara itu obor di Padang Karautan itu masih saja merayap semakin dekat. Dalam kepekatan malam, maka tampaklah titik-titik api itu sedemikian jelasnya, bergerak-gerak silang menyilang.

Tiba-tiba kesenyapan di perkemahan itu dipecahkan oleh suara Mahisa Agni perlahan-lahan, “Paman Empu Gandring, Ki Buyut Panawijen dan saudara-saudaraku rakyat Panawijen. Mungkin kalian benar. Akulah yang telah menyeret kalian kedalam bencana. Tidak saja aku telah membakar kalian setiap hari dipanas terik matahari, dan membekukan kalian diembun malam yang dingin di Padang Karautan, tetapi apabila benar yang datang itu Kuda Sempana, maka kalian mungkin akan terpercik bencana pula. Karena itu, biarlah aku menyongsong bencana yang akan datang. Biarlah kalian terlepas dari setiap kemungkinan yang tidak kalian kehendaki” Mahisa Agni berhenti sejenak. Ditatapnya wajah-wajah yang tegang di sekelilingnya. Tetapi wajah-wajah itu masih saja tegang membeku.

Maka sambungnya, “Paman, Ki Buyut dan saudara-saudaraku. Aku tidak akan menunggu obor itu sampai di perkemahan. Biarlah aku pergi menyongsongnya. Jangan diharap aku kembali ke tengah-tengah kalian. Kalau kemudian kalian merasa tidak perlu lagi dengan bendungan ini, maka tinggalkanlah.”

“Kenapa kau akan pergi Angger?” potong Ki Buyut dengan cemas.

“Kalau yang datang itu Kuda Sempana Ki Buyut, biarlah mereka akan aku hadapi. Tetapi tidak di sini.”

“Agni” berkata Ki Buyut terbata-bata, “kalau benar yang datang itu Kuda Sempana, kenapa Angger tidak saja berusaha melarikan diri sebelum terlambat.”

Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Meskipun ia akan dapat berusaha menyingkir, namun akibatnya akan menimpa orang-orang Panawijen. Kuda Sempana dan kawan-kawannya pasti akan marah. Sasarannya pasti orang-orang Panawijen itu. Karena itu maka katanya, “Tidak Ki Buyut. Dengan demikian, maka aku telah menyerahkan orang-orang Panawijen kedalam suatu keadaan yang sulit. Mereka pasti akan mencari aku dan memaksa orang-orang Panawijen ini menunjukkan dimana aku bersembunyi.”

Ki Buyut itu pun terdiam. Tetapi beberapa orang menjadi sangat cemas dan ketakutan.

“Karena itu Ki Buyut,” Mahisa Agni melanjutkan, “aku akan menyongsong mereka, dengan demikian maka kalian, orang-orang Panawijen ini akan terlepas dari bahaya.”

Terasa sesuatu bergetar di dalam dada Ki Buyut yang tua itu. Mahisa Agni baginya adalah lambang dari masa depan. Kerja yang tak dapat dilakukan oleh orang lain telah dilakukannya. Kini ketika bahaya mengancamnya, maka apakah ia akan dapat melepaskannya?

Tetapi sebelum Ki Buyut mengucapkan sepatah kata pun maka Mahisa Agni itu segera melangkah meninggalkannya kembali ke gubugnya. Tak seorang pun yang tahu, apa yang akan dilakukannya. Sementara itu pamannya pun mengikutinya pula dibelakangnya.

“Kau akan pergi Agni?” bertanya pamannya.

“Ya paman. Tak ada jalan lain untuk menyelamatkan orang-orang Panawijen. Kalau Kuda Sempana dan gurunya akan menangkap aku, biarlah mereka membawa mayatku.”

Dada pamannya berdesir mendengar jawaban itu. Apalagi ketika kemudian ia melihat Mahisa Agni meraih pedangnya dan disangkutkannya di lambungnya. Bukan hanya pedang itu, tetapi dari bawah tikar pembaringannya diambilnya pusakanya yang jarang-jarang dirabanya. Pusaka itu adalah sebilah keris buatan Empu Gandring sendiri. Meskipun demikian, Mahisa Agni mula-mula masih menyesal bahwa pusaka peninggalan gurunya tidak dibawa pula. Kalau demikian akan lengkaplah perlawanannya. Ia akan melawan dengan segenap tenaga kemampuan yang ada padanya meskipun ia sadar, bahwa Empu Sada, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bukanlah lawannya.

“Muda-mudahan seorang yang tepat menemukan trisula itu” desisnya di dalam hati. Bahkan kemudian ia merasa beruntung bahwa pusaka itu tidak dibawanya. Sebab dengan demikian trisula itu akan dapat jatuh ketangan musuh-musuhnya.

“Sudahlah paman. Aku akan pergi, “ Tetapi kata-kata itu terputus ketika melihat pamannya menyelipkan pula kerisnya yang besar itu di punggungnya.

“Apakah yang akan paman lakukan?”

“Jangan pergi sendiri Agni. Aku pun akan pergi. Aku ingin melihat apa yang sebenarnya akan terjadi. Aku masih selalu dicengkam oleh keragu-raguan. Bukankah semua itu baru dugaan saja? Tetapi seakan-akan semua orang telah memastikan apa yang akan terjadi.”

Terasa mata Mahisa Agni menjadi panas. Perlahan-lahan ia bergumam, “Paman, aku menyampaikan terima kasih. Tetapi aku kira paman tidak usah pergi bersamaku. Biarlah cukup aku saja yang akan menjadi korban dari dendam yang membara di dada Kuda Sempana. Bukankah paman harus kembali ke Padepokan paman. Bukankah masih banyak yang dapat paman kerjakan?”

Pamannya tersenyum, tetapi senyum itu terasa terlampau pedih di hati Mahisa Agni.

“Aku adalah pamanmu Agni. Kalau masih ada ayahmu, mungkin aku tidak akan mempedulikan lagi apa yang terjadi atasmu. Tetapi ayahmu kini sudah tidak ada lagi. Karena itu adalah menjadi kuwajibanku untuk melihat apa saja yang dapat terjadi atasmu.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kepalanya tiba-tiba terkulai jatuh pada ujung jari-jari kakinya.

“Obor itu pasti sudah semakin dekat. Mari kita berangkat” ajak pamannya.

Mahisa Agni tidak menjawab. Ketika pamannya melangkah keluar ia mengikutinya saja dibelakangnya.

Di sisi perkemahan itu, orang-orang Panawijen sudah menjadi semakin tegang. Obor itu sudah semakin dekat. Ketika mereka melihat Agni dan pamannya datang menyandang senjata, maka hati mereka pun menjadi semakin berdebar-debar.

Sejenak Mahisa Agni berdiri mematung. Gelora di dalam dadanya kian berkecamuk. Sekali dipandanginya wajah-wajah orang Panawijen yang tegang, dan sekali ditatapnya api obor yang menjadi semakin dekat.

Ketika Ki Buyut Panawijen melihatnya telah bersiap untuk menyongsong obor-obor itu yang mungkin akan dapat mencelakakannya, maka hatinya pun menjadi pedih. Pada saat-saat terakhir Mahisa Agni telah menyerahkan hampir segenap waktu dan kemampuannya untuk membangunkan sebuah bendungan bagi kesejahteraan orang-orang Panawijen, dan kini bahwa miliknya yang paling berharga, yaitu hidupnya sekali, akan diserahkannya pula. Meskipun sebenarnya Mahisa Agni masih mempunyai kesempatan untuk lari, namun anak muda itu tidak mempergunakannya, karena ia tidak mau mengorbankan orang-orang lain untuk kepentingannya.

Tiba-tiba, seakan-akan di luar sadarnya orang tua itu berkata, “Agni, tanpa kau, kerja kami tidak akan berarti. Aku tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di hampir setiap dada orang-orang Panawijen. Jemu. Karena itu sepeninggalmu, maka aku pun akan tidak berarti apa-apa. Dengan demikian Ngger, maka aku kira lebih baik aku pergi juga bersamamu, melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kalau bahaya itu datang menerkammu, biarlah aku mencoba membantumu meskipun aku tahu, bahwa tenagaku tidak akan berati apa-apa. Tetapi aku sudah berbuat sesuatu. Aku tidak apat melepaskanmu begitu saja setelah kau bekerja sekuat-kuat tenagamu untuk kami disini.”

Mahisa Agni menggeleng. Katanya, “Jangan Ki Buyut. Dengan demikian maka orang-orang Panawijen akan kehilangan pemimpinnya. Ki Buyut akan dapat berbuat banyak untuk kepentingan mereka.”

“Tidak” sahut Ki Buyut, “aku tidak akan mampu berbuat sesuatu mengatasi kejemuan mereka.”

“Jangan Ki Buyut” potong Mahisa Agni, “aku berkeberatan. Tinggallah di sini. Kalau Ki Buyut pergi juga, maka hatiku akan menjadi semakin pahit. Ternyata Ki Buyut juga tidak lagi menghiraukan aku lagi.”

Ki Buyut terdiam. Ia menjadi bingung. Tetapi kata-kata Mahisa Agni itu seperti telah mencengkamnya di atas tempatnya berdiri. Ketika ia melihat Mahisa Agni itu bergerak, maka kakinya seakan-akan telah tertancap dalam-dalam di Padang Karautan itu.

“Kalau Ki Buyut masih juga mau mendengarkan kata-kataku, tinggallah di sini. Dengan demikian hatiku masih juga mengucap syukur, bahwa Ki Buyut akan tetap berusaha meneruskan kerja ini meskipun hanya dengan tiga empat orang seperti yang dilakukan oleh Empu Purwa dahulu. Tiga empat tahun kerja Ki Buyut itu akan selesai.”

Ki Buyut tidak dapat menjawab. Mulutnya serasa terbungkam dan tenggorokannya serasa tersumbat sesuatu.

“Sudahlah Ki Buyut” Mahisa Agni bergumam dengan nada yang rendah datar.

Ki Buyut hanya mampu menganggukkan kepalanya. Tetapi mulutnya tidak dapat mengucapkan kata-kata.

Betapapun orang-orang Panawijen itu merasa bahwa Mahisa Agni telah menyebabkan mereka terdorong ke dalam suatu kesulitan, betapa mereka menyesali Empu Purwa, namun ketika kemudian mereka melihat anak muda itu berjalan meninggalkan mereka menyongsong nyala-nyala obor dikejauhan, maka hati mereka pun menjadi trenyuh. Beberapa anak-anak mengepalkan tangannya dan berkata di dalam hatinya, “Oh, seandainya aku mampu berkelahi, aku pasti akan mengawaninya.” Apalagi Jinan dan Sinung Sari. Mereka adalah anak-anak muda yang pertama-tama mengikuti Mahisa Agni mencari tempat ini. Tetapi mereka hanya berani menggeretakkan gigi-gigi mereka. Betapa besar keinginan mereka untuk membantu Mahisa Agni, tetapi mereka tidak memiliki keberanian untuk itu.

Sedangkan orang tua-tua hanya dapat mengusap dada mereka sambil berdoa, semoga Mahisa Agni tidak menemukan sesuatu bencana, apalagi yang dapat membahayakan jiwanya.

Berbeda dengan mereka adalah Patalan. Ia tidak dapat lagi menahan perasaannya melihat Mahisa Agni melangkah meninggalkan mereka masuk ke dalam malam yang gelap. Pedang dilambungnya telah membuat anak muda itu menjadi semakin berdebar-debar. Sedangkan yang pergi bersamanya hanyalah seorang yang telah lanjut usia dengan sebilah keris raksasa di punggungnya.

“Apakah kita sampai hati melepaskannya?” desis Patalan di dalam hatinya. Patalan bukanlah seorang pemberani. Tetapi perasaannya ternyata lebih tajam dari kawan-kawannya. Betapapun ia dikuasai oleh kecemasan, tetapi tiba-tiba ia berlari masuk ke dalam gubugnya. Diraihnya pedang di dinding gubug itu, dan tanpa berkata apa pun kepada kawan-kawannya, maka segera ia pun berlari menyusul Mahisa Agni.

“Patalan” terdengar beberapa orang memanggilnya. Tetapi Patalan sama sekali tidak berpaling. Ia berlari semakin kencang. Dan bahkan kemudian terdengar ia berteriak, “Agni, tunggu. Tunggu. Aku pergi bersamamu.”

Kepergian Patalan telah menggoncangkan dada orang-orang Panawijen. Tiba-tiba merekapun ingin juga berlari menyusul seperti Patalan. Namun mereka telah diikat oleh kecemasan dan ketakutan. Mereka tidak berani beranjak dari tempatnya.

Tetapi dengan demikian, merayaplah kesadaran di dalam hati mereka, bahwa sebenarnya Mahisa Agni selama ini telah mengorbankan apa saja yang ada padanya untuk kepentingan mereka. Untuk kepentingan Panawijen. Sama sekali bukan untuk kepentingan diri sendiri.

Orang-orang Panawijen yang selama ini telah menyakiti hatinya menjadi kecewa. Kecewa sekali. Tetapi apakah mereka masih akan mendapat kesempatan untuk menyatakan penyesalannya dan minta maaf kepada anak muda itu. Mahisa Agni telah pergi dan berkata kepada mereka, supaya mereka tidak lagi mengharapkan ia kembali. Beberapa orang merasa, betapa besar kesalahan mereka terhadap anak muda itu. Anak muda yang kini berjalan menembus gelap malam meninggalkan mereka dengan pedang di lambungnya.

Orang-orang Panawijen yang tinggal di perkemahan itu kini masih saja berdiri tegak seperti patung. Mereka melihat Mahisa Agni dan Empu Gandring menghilang seperti ditelan oleh gelap malam yang menganga di Padang Karautan. Sejenak mereka masih dapat menyaksikan Patalan berlari menyusul keduanya.

Kemudian mereka pun hilanglah. Hilang, dan terasa betapa kini mereka kehilangan anak muda yang telah banyak berkorban untuk mereka.

Mahisa Agni yang berjalan meninggalkan orang-orang Pana wijen bersama pamannya terkejut mendengar seseorang memanggilnya. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Patalan berlari-lari menyusul.

“Ada apa Patalan?” bertanya Mahisa Agni.

“Aku akan pergi bersamamu Agni” sahut Patalan dengan nafas terengah-engah.

Mahisa Agni dan Empu Gandring menjadi heran.

“Kenapa kau akan ikut kami” bertanya Mahisa Agni.

“Kita pergi bersama-sama sejak kita mencari tempat ini Agni. Kita telah bekerja pula bersama-sama. Sekarang berilah aku kesempatan mengikutimu, apa pun yang akan terjadi.”

“Patalan” dada Agni berdesir tajam, “terima kasih, tetapi kali ini aku akan menghadapi keadaan yang tidak menentu. Aku belum tahu apakah kira-kira yang akan terjadi. Karena itu kembalilah.”

“Dahulu, ketika kita meninggalkan Panawijen masuk ke dalam padang ini, kita juga belum tahu apa yang akan terjadi. Agni, berilah aku kesempatan, Mungkin aku tidak berarti bagimu, tetapi aku tidak dapat kembali. Aku tidak dapat melihat kau seoang diri menyongsong bahaya tanpa perhatian. Aku tidak akan mampu membelamu dalam keadaan apapun. Tetapi setidak-tidaknya aku sudah menyatakan kesetia-kawananku terhadapmu.”

“Terima kasih” sekali lagi Mahisa Agni menyalakan perasaannya, “tetapi kembalilah. Mungkin aku tidak akan sempat berbuat sesuatu atasmu, sebab keadaanku sendiri sama sekali tidak aku ketahui.”

“Tidak” sahut Patalan, “kali ini aku tidak akan minta perlindunganmu. Sejak aku hampir mati ketakutan di Padang Karautan bukankah aku belajar memegang hulu pedang? Bukankah kau juga yang mengajari aku? Mudah-mudahan aku dapat mempergunakannya.”

“Oh” Mahisa Agni menarik nafas, “apa yang aku berikan itu sama sekali belum berarti apa-apa Patalan.”

“Beri aku kesempatan Agni. Bukan terdorong karena kesombonganku, tetapi katakanlah bahwa kau menghadapi bahaya maut, dan aku pun bersedia menghadapinya.”

“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Betapa ia menjadi heran melihat Patalan tiba-tiba saja tidak takut menentang maut. Karena itu, maka akhirnya ia kembali. Katanya, “Baiklah Patalan. Kalau kau bersedia ikut bersama kami. Tetapi kau harus sudah dapat membayangkan, bahwa kita kali ini tidak sedang bertamasya.”

“Aku tahu Agni” sahut Patalan.

“Baiklah” gumam Mahisa Agni.

Ketiganya pun kemudian meneruskan perjalanan mereka menyongsong api-api obor yang semakin lama menjadi semakin dekat.

Langkah-langkah mereka semakin lama menjadi semakin cepat. Mahisa Agni berjalan dipaling depan, kemudian pamannya dan Patalan berjalan berjajar dibelakangnya. Tak sepatah kata pun yang mereka ucapkan. Meskipun demikian semakin dekat mereka dengan obor-obor itu, hati mereka pun menjadi semakin berdebar-debar.

Tanpa sesadarnya, maka tangan Mahisa Agni telah melekat di hulu pedangnya. Dengan gigi gemeretak ia memandang lurus ke depan. Memandang pada setiap kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Sedang Patalan pun benar-benar mengherankan. Ia kini tidak lagi gemetar dan bahkan hampir pingsan ketakutan seperti pada saat ia bertemu dengan orang yang menyebut dirinya hantu Karautan di padang ini beberapa saat yang lampau. Tetapi kini ia berjalan dengan langkah yang tetap seperti Mahisa Agni. Tangannya pun telah melekat pula di hulu pedangnya.

Empu Gandringlah yang masih juga memandangi setiap titik nyala obor dihadapannya dengan tenang. Kerut-kerut umur di wajahnya seakan-akan menjadi kian bertambah. Tetapi orang itu masih juga sempat memperhatikan sikap kemenakannya. Meskipun demikian Empu Gandring tidak berkata sepatah katapun.

Jauh di belakang mereka, orang-orang Panawijen masih juga berdiri di tempatnya. Mereka seakan-akan telah membeku.

Mata mereka terhunjam ke dalam gelap malam yang terbentang di atas padang Karautan. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu kecuali nyala-nyala obor itu.

Dengan hati yang gelisah, cemas dan berdebar-debar mereka memandangi api itu. Api itu masih saja merayap mendekat.

Tiba-tiba hati mereka terguncang ketika mereka melihat obor-obor itu berhenti. Seperti nyala-nyala api itu mengambang di udara yang dingin pekat. Tak seorang pun yang dapat membayangkan apa yang terjadi dikejauhan itu. Mereka benar-benar tidak melihat sesuatu kecuali api itu. Tangan-angan yang menggenggam obor itu pun sama sekali tidak mereka libat. Apalagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

Mereka tidak akan dapat melihat seandainya di sekitar obor-obor itu kini terjadi perkelahian yang sengit. Mereka tidak akan dapat melihat seandainya Mahisa Agni terluka atau bahkan terbunuh. Atau mungkin pula Mahisa Agni itu kini telah mereka tangkap dan mereka seret dengan kasarnya di tengah-tengah padang yang gelap itu. Tetapi mungkin pula terjadi sebaliknya. Mungkin pedang Mahisa Agni dan keris raksasa pamannya telah berhasil membersihkan lawannya.

Tetapi obor itu masih juga menyala di tempatnya Tidak bergerak dan tidak menjauh.

Dada orang-orang Panawijen itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tidak merasa bahwa mereka telah berdiri terlampau lama di tempatnya. Mereka tersadar ketika tiba-tiba mereka melihat obor itu bergerak pula dan darah mereka serasa berhenti mengalir ketika tiba-tiba pula mereka melihat seseorang berlari-lari menuju kepada mereka sambil berteriak, “Ki Buyut. Ki Buyut.” Orang itu adalah Patalan.

Betapa terkejut Ki Buyut Panawijen melihat Patalan yang seakan-akan dimuntahkan dari mulut kegelapan yang pekat itu Terhuung-huyung anak itu menjadi semakin dekat. Beberapa langkah lagi Patahan akan sampai di perkemahan, tetapi seakan-akan tenaganya telah terperas habis.

“Patalan” Ki Buyut Panawijen berlari tertatih-tatih menyongsongnya, “kenapa kau?”

Nafas Patalan seakan-akan telah terputus di kerongkongannya. Kini ia sudah tidak berlari lagi. Anak muda itu berdiri seperti sehelai daun ilalang ditiup badai. Sehingga ketika Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang yang berlari-lari menyusulnya sampai dihadapannya, maka Patalan itu pun terjatuh.

“Patalan” panggil Ki Buyut sambil berjongkok di sampingnya. Diangkatnya kepala anak itu sambil bertanya, “Ada apa? Ada apa Patalan?”

“Ki Buyut” Patalan mencoba berkata sesuatu. Tetapi nafasnya telah menjadi terlampau sendat, sehingga akhirnya anak itu jatuh pingsan kelelahan.

“Pingsan,” desis Ki Buyut, “ambil air. Cepat. Ia akan dapat segera sadar dan mengatakan kepada kita, apa yang telah terjadi.”

Beberapa orang berlari-larian mencari air. Sedang beberapa orang lain berdiri dengan wajah pucat gemetar.

“Apakah yang terjadi?” desis sesama mereka.

“Bencana. Bencana akan menimpa kita sekalian” berkata salah seorang dari mereka.

“Lihat” sabut yang lain, “kini obor-obor itu telah mendekat. Mahisa Agni pun pasti telah mereka tangkap. Agaknya mereka tidak puas dengan menangkap Mahisa Agni dan pamannya yang tua itu. Untunglah Patalan sempat melarikan diri.”

“Ya, sekarang bagaimana dengan kita?”

“Kita harus melarikan diri pula.”

“Ya. Kita harus melarikan diri.”

Tetapi percakapan itu terputus oleh suara Ki Buyut lantang, “Kita tetap disini. Apa pun yang akan terjadi.”

“Tetapi bagaimana kalau mereka akan membunuh kita semua Ki Buyut?”

“Tak ada gunanya melarikan diri. Mereka akan mengejar dan menangkap kita. Dengan demikian kita hanya akan menambah kemarahan mereka sehingga mereka akan berbuat jauh lebih mengerikan lagi.”

Orang-orang Panawijen itu kini telah benar-benar menggigil. Betapa anak-anak muda seakan-akan tidak lagi mampu berdiri di atas kaki mereka. Namun dalam pada itu Ki Buyut berkata, “Dari pada kita berusaha melarikan diri, bukankah jumlah kita cukup banyak? He anak-anak muda, kenapa kalian tidak mengambil Senjata-senjata kalian?”

Tak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Bahkan darah mereka seakan-akan telah benar-benar membeku.

Ketika beberapa orang yang mengambil air telah datang, maka obor di Padang Karautan itu pun telah menjadi semakin dekat.

“Ki Buyut” tiba-tiba seorang anak muda berkata gemetar, “Kenapa kita tidak boleh lari? Bukankah lebih baik menyelamatkan diri daripada kita dibinasakanya disini?”

“Ambil senjatamu” teriak Ki Buyut yang tua itu, “kalau kau tidak mempunyai pedang, ambillah kapak atau beliung atau apa saja yang dapat kau pergunakan sebagai senjata. Jangan menjadi pengecut sampai akhir hayatmu.”

Tetapi teriakan Ki Buyut itu menambahnya menjadi ketakutan.

Jinan dan Sinung Sari pun kini telah berjongkok di samping Patalan yang pingsan itu pula. Perlahan-lahan dititikkan nya air ke bibir anak itu.

“Setetes demi setetes” Ki Buyut memperingatkan. Kemudian katanya pula, “Jaga Patalan baik-baik. Usahakan anak ini segera menjadi sadar.”

“Apakah Ki Buyut akan pergi” bertanya Sinung Sari.

“Tidak. Aku tetap disini” sahut Ki Buyut, “tetapi aku tidak akan berdiam diri meskipun aku sudah tua.”

Ki Buyut itu pun segera menyerahkan Patalan kepada Sinung Sari dan Jinan. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan melangkah ke gubugnya.

Berpasang-pasang mata mengikutinya dengan pertanyaan di dalam setiap hati. Namun segera mereka mengetahui, apakah yang telah dikerjakan oleh Ki Buyut itu.

Sejenak kemudian Ki Buyut itu pun telah kembali pula diantara orang-orang Panawijen. Tetapi kini ia memegang pedang di tangannya. Tangan yang sudah berkeriput, namun genggaman atas pedangnya masih cukup kuat. Ki Buyut bukanlah seseorang yang sama sekali tidak mampu menggenggam pedang. Meskipun ia bukan seorang yang cukup baik untuk berkelahi, namun ia mampu pula menggerakkan senjata.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar