Pelangi Di Langit Singasari Jilid 05

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Sekali lagi Mahisa Agni memandangi akar Wregu itu, dan kemudian dibalutnya dengan rapi. Diselipkannya akar itu di ikat pinggangnya di bawah bajunya. Kini tangannya sekali-kali meraba hulu kerisnya. Seakan-akan ia berkata kepada pusaka itu. Kita akan menghadapi setiap kemungkinan bersama-sama untuk melindungi akar wregu putih ini.

Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah keluar dari ujung gua itu. Setelah sekali ia membelok maka ia sampai pada daerah yang gelap. Sekali ia masih menemui lubang udara lagi, namun sesaat kembali ia terlempar ke daerah yang kelam.

Dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan Mahisa Agni berjalan sambil meraba-raba dinding. Dengan hati-hati pula ia menuruni tangga dan kemudian menyusur daerah yang lembab. Di kejauhan Mahisa Agni melihat remang-remang sinar jatuh ke dalam gua. Sinar yang masuk lewat lubang-lubang seperti yang beberapa kali telah dilihatnya.

Namun tiba-tiba langkah Mahisa Agni terhenti. Di muka sinar yang samar-samar itu ia telah melemparkan Buyut Ing Wangon. Karena ini tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Apakah orang itu masih di sana? Pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Namun dijawabnya sendiri, “Aku telah memiliki akar ini. Biarlah aku tidak menghiraukannya lagi.”

Kemudian Mahisa Agni itu pun bahkan mempercepat langkahnya. Ia ingin segera melampaui orang bongkok dari Wangon itu. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun kemudian berjalan semakin cepat pula.

Tetapi sekali lagi langkahnya terhenti. Lamat-lamat ia telah mendengar suara orang itu merintih.

“Gila!” desahnya, “Kenapa orang itu masih belum pergi juga?”

Ketika sekali lagi Mahisa Agni mendengar rintihan itu terasa dadanya berdesir. Namun sambil mengatupkan giginya rapat-rapat sambil menggeram ia melangkah maju. Ia ingin melompati orang itu untuk kemudian dengan cepat meninggalkannya. Namun, desir di dadanya itu semakin lama menjadi semakin tajam. Bahkan kemudian Mahisa Agni itu terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat maju lagi.

Kini Mahisa Agni harus berjuang melawan perasaannya. Suara orang dari Wangon itu terdengar sangat memelas. Tetapi apakah yang dapat dilakukan?

Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun berteriak sekeras-kerasnya untuk menindas perasaan yang semakin menggelora di dalam dadanya. Katanya, “He, Buyut Ing Wangon. Menepilah! Aku akan lewat, supaya kau tidak terinjak karenanya.”

“Oh,” terdengar orang itu berdesis. Tidak terlalu keras, namun Mahisa Agni dapat mendengarnya, “kaukah Empu dari Gunung Merapi itu?”

“Ya,” sahut Mahisa Agni pendek. Tetapi kemudian ia berteriak, “Aku akan membunuh siapa saja yang menghalangi aku!”

“Apakah kau sudah berhasil menemukan akar wreguitu?” terdengar Buyut itu bertanya.

“Sudah!” jawab Agni kasar, “Apakah maumu?”

“Syukur. Syukur,” gumam orang itu.

Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Dan sekali lagi ia berusaha menindas perbuatannya. Ia berteriak-teriak untuk mengusir setiap bisikan di dalam hatinya, “Pergilah supaya aku tidak membunuhmu!”

“Kau tak usah melakukannya, Ki Sanak,” terdengar suara itu semakin lemah, “sebentar lagi aku akan mati dengan sendirinya. Tidak hanya aku, tetapi beribu-ribu orang lain.”

“Persetan! Persetan!” Mahisa Agni itu berteriak-teriak seperti orang gila. Katanya seterusnya, “Pusaka ini sangat penting bagiku. Matilah orang Wangon. Matilah bersama segenap keluarga dan orang-orangmu.”

“Ya,” jawab Buyut Ing Wangon itu, “aku memang akan mati. Dan sebelum mati aku akan mengucapkan selamat kepadamu, Ki Sanak. Namun, apakah aku boleh mendengar kegunaan akar itu padamu? Biarlah aku mengetahuinya .Mungkin pengetahuan itu akan mempermudah perjalananku ke alam yang langgeng.”

Terasa dada Mahisa Agni itu bergelora. Namun seperti orang gila ia berteriak-teriak pula, “Ketahuilah, he, Buyut Ing Wangon. Pusaka ini akan menjadikan aku seseorang yang sakti pilih tanding.”

“Oh,” desah orang itu, “hanya itu?”

“Kenapa hanya itu?” ulang Mahisa Agni, “dengan kesaktianku aku akan dapat berbuat apa saja. Aku akan berbuat kebajikan dan menjunjung kebenaran. Kau dengar?”

“Ya, ya. Aku dengar. Syukurlah apabila demikian. Mudah-mudahan kau akan dapat mengamalkannya,” sahut Buyut dari Wangon. Dan perlahan-lahan orang itu berkata pula, “Tetapi Ki Sanak, apakah aku dapat menitipkan satu pesan kepadamu?”

Gelora di dalam dada Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin keras. Setiap kata yang terpancar dari mulut orang bongkok itu serasa sebuah tusukan yang menghunjam dadanya. Meskipun demikian Mahisa Agni menyahut juga, “Apakah pesan itu?”

“Ki Sanak,” berkata Buyut Ing Wangon yang sudah menjadi semakin lemah, “terima kasih.”

“Jangan berterima kasih kepadaku!” bentak Mahisa Agni, “aku belum menyatakan kesediaanku. Aku ingin mendengar dulu pesan itu.”

“Oh,” desah Buyut Wangon, “baiklah. Aku ingin kau menyampaikan pesanku. Katakanlah kepada orang-orang Wangon, bahwa Buyut Ing Wangon telah berusaha untuk mendapatkan obat itu. Namun ia tidak berhasil. Sampaikan permintaan maafku yang sebesar-besarnya kepada mereka, bahwa aku mati di dalam gua di mana akar wregu itu disimpan. Dengan demikian..”

“Cukup!” bentak Agni semakin keras, “jangan lanjutkan supaya aku tidak menjadi semakin marah.”

“Oh,” sekali lagi Buyut Wangon itu berdesah, “kenapa Ki Sanak menjadi marah. Atau barangkali Ki Sanak berkeberatan untuk singgah di Wangon.”

“Aku belum pernah mendengar nama padukuhan Wangon,” jawab Mahisa Agni.

“Aku dapat memberimu ancar-ancar.”

“Tidak! Tidak!” dan tiba-tiba Mahisa Agni tersandar di dinding gua. Dan tiba-tiba pula kedua telunjuk tangannya menyumbat telinganya. Teriaknya, “Jangan berbicara lagi! Jangan berbicara lagi! Aku harus memenuhi perintah guruku. Akar wregu ini harus aku bawa pulang.”

Terdengar Buyut Wangon itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata. Meskipun Mahisa Agni telah menyumbat kedua lubang telinganya namun suara itu masih terdengar, “Ya. Ya. Bawalah Ki Sanak bawalah akar itu pulang.”

Mahisa Agni tiba-tiba terbungkam. Tubuhnya pun kemudian bergetar secepat getaran di dadanya. Tanpa sesadarnya Mahisa Agni itu berkata, “Bagaimanakah caramu mempergunakan akar ini untuk mengobati sakitmu itu?”

“Tak ada gunanya,” jawab orang bongkok itu. Mahisa Agni dapat mendengar kata-katanya dengan jelas. Meskipun kedua ujung telunjuknya masih melekat di telinganya, namun ia berusaha untuk mendengar jawaban Buyut Wangon itu.

“Bukankah Ki Sanak ingin menolongku dengan mempergunakan akar itu dahulu kemudian akar itu tetap kau miliki? Tidak bisa. Tidak bisa Ki Sanak. Sebab kami harus menyayat akar itu lumat-lumat. Kemudian setiap orang yang sakit harus menelan meskipun hanya sebagian kecil dari akar itu. Akar itu akan kami lumatkan dan kami aduk dengan air sebanyak-banyaknya sehingga setiap orang dapat minum air itu sebagai obat penyakitnya.”

“Gila!” teriak Mahisa Agni, “Jadi kau ingin merampas akar ini?”

“Tidak,” sahut orang itu cepat-cepat, “aku hanya mengatakan demikian.”

“Jangan berbicara lagi!” perintah Mahisa Agni.

“Tidak. Aku tidak akan berbicara lagi. Tetapi aku ingin menjelaskan. Aku sama sekali sudah tidak bernafsu lagi memiliki akar wregu itu. Milikilah, karena padamu pun wregu itu memiliki nilai kegunaan yang tinggi. Dengan kesaktian yang akan kau peroleh, kau akan dapat melakukan pengabdian pada kemanusiaan. Kau akan dapat menolong sesama yang mengalami kesulitan-kesulitan dan kau akan melakukan tindakan perikemanusiaan. Karena itu aku sekali lagi mengucapkan selamat padamu. Kalau kau tak mau pergi ke Wangon pun tak apa pula. Sebab di sana kau mungkin juga tinggal akan menemui mayat-mayat mereka.”

Kembali Mahisa Agni terdiam. Dan tiba-tiba perjuangan di dalam dadanya menjadi dahsyat. Mahisa Agni telah mengalami berbagai rintangan dalam perjalanannya. Ia harus bertempur dengan orang-orang jahat, dengan binatang-binatang buas sampai yang terakhir dengan Empu Pedek. Semuanya dapat di atasi dengan penuh tekad dan hasrat untuk melaksanakan perintah gurunya dan demi masa depannya.

Namun ketika ia harus berhadapan dengan lawan yang terakhir maka Mahisa Agni menjadi seakan-akan lumpuh. Kini ia tidak bertempur melawan orang-orang sakti dan binatang-binatang buas. Tetapi ia harus bertempur melawan perasaan sendiri. Sebagai seorang anak yang prihatin sejak masa kecilnya, yang merasakan duka derita manusia-manusia yang sedang mengalami kesulitan-kesulitan, yang telah menerima banyak pelajaran dan pendidikan mengenai manusia dan kemanusiaan dari gurunya, yang pernah mendengar cerita tentang ibunya yang membuang diri karena tekanan perasaan yang menghimpit hati, maka kini Mahisa Agni tidak dapat mengelak lagi dari cengkeraman perasaannya.

Dengan akar wregu putih itu ia masih harus melakukan pengabdian. Ia masih harus mencari persoalan. ia masih harus menemukan ketidak adilan dan pelanggaran atas sendi-sendi kemanusiaan untuk ditegakkan dan dibelanya. Ia masih harus mencari lawan, betapa lawan yang dicarinya itu adalah orang-orang jahat. Dan sekarang kesempatan pengabdian yang nyata telah ada di hadapannya. Bukankah dengan memberikan akar wregu putih itu ia telah melakukan pengabdian kepada kemanusiaan dalam bentuk yang nyata dan langsung. Beribu-ribu orang akan terbebas dari kematian yang mengerikan. Sakit, semakin lama menjadi semakin lemah, dan akhirnya kematian menerkamnya. Apakah dengan memiliki akar wregu putih itu kelak ia akan mendapat kesempatan untuk membela, melindungi atau tindak apapun yang dapat menyelamatkan jiwa sampai lebih dari seribu orang? Atau malahan dengan akar wregu itu ia akan menjadi takabur dan menyombongkan diri?”

Pertempuran di dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin dahsyat. Sekali-kali terbayang wajah gurunya yang tenang sejuk dan dalam, namun sekali-kali terbayang mayat yang membujur lintang di antara pekik anak-anak dan bayi yang mencari susu ibunya. Namun ibunya telah mati, dan perlahan-lahan bayi itu akan mati pula.

Gambaran-gambaran yang mengerikan semakin lama semakin jelas hilir mudik di kepala Mahisa Agni. Dan kini ia benar-benar tidak mampu lagi untuk mengelakkan diri dari terkaman-terkaman peristiwa-peristiwa yang membayanginya.

Mahisa Agni yang perkasa, yang mampu bertempur melawan orang-orang sakti dan binatang-binatang buas itu kini terduduk dengan lemahnya bersandar dinding. Sekali-sekali ia menggelengkan kepalanya untuk mengusir perasaannya yang telah melumpuhkannya. Namun perasaan itu telah melekat dengan eratnya pada dinding hatinya.

Ketika terngiang kembali pesan Buyut Ing Wangon itu kepadanya supaya disampaikan permintaan maafnya kepada orang-orang Wangon, maka Mahisa Agni menundukkan kepalanya, bahkan tiba-tiba sepasang tangannya yang kokoh seperti baja itu menutupi wajahnya. Sebab di dalam dadanya, pesan itu diperpanjangnya sendiri, katanya kepada diri sendiri di dalam hati, “Buyut Ing Wangon itu gagal dalam usahanya, dan beribu-ribu orang mengalami bencana, karena seorang anak muda yang bernama Mahisa Agni telah merampas akar wregu itu untuk membuat dirinya sakti tiada bandingnya.”

“Oh,” Mahisa Agni mengeluh. Kini ia tidak tahan lagi melawan perasaannya, sehingga tiba-tiba dari mulutnya terdengar kata-katanya gemetar, “Ki Buyut Wangon, apakah kau yakin bahwa akar wregu ini akan dapat menyembuhkan orang-orangmu yang sakit itu?”

“He,” Buyut Wangon itu terkejut. Namun kemudian terdengar suaranya lemahnya, “aku yakin.”

Sekali lagi mereka berdua berdiam diri. Dan kembali gua itu dicengkam oleh kesepian yang mengerikan.

“Ki Buyut,” berkata Mahisa Agni kemudian, “apakah Ki Buyut ingin membuktikannya, bahwa akar wregu ini akan bermanfaat bagi penyakitmu itu?”

“Tidak Ki Sanak,” jawab Buyut Wangon itu.

“Kenapa tidak?” Mahisa Agni menjadi heran.

“Ki Sanak,” jawab orang bongkok itu, “aku bukan mencari akar wregu itu untukku sendiri. Tak ada gunanya seandainya aku dapat sembuh karenanya, namun beribu-ribu orang lain akan mati juga. Karena itu biarkanlah aku di sini.”

Tiba-tiba Mahisa Agni itu menggeleng. Dan terloncatlah dari bibirnya, “Tidak. Aku tidak dapat membiarkan kematian-kematian itu.”

“He,” sekali lagi Buyut Wangon itu terkejut, “apa maksudmu. Ki Sanak?”

Mahisa Agni menarik nafas panjang. Terdengarlah ia berkata lirih, “Ki Sanak. Bawalah akar ini kembali ke Wangon. Mudah-mudahan kalian akan benar-benar sembuh karenanya.”

“Apa katamu? Apa katamu?” orang bongkok itu tiba-tiba bergeser dan dengan susah payah ia berteriak terbata-bata, “Kau ingin memberikan akar itu kepadaku?”

“Ya,” sahut Agni pendek.

“Oh,” tiba-tiba orang itu menjadi lemah kembali. “Jangan!” katanya, “jangan. Aku ternyata terlalu mementingkan kepentinganku sendiri. Milikilah, masa depanmu masih panjang. Mudah-mudahan jagat yang gumelar ini akan dapat kau miliki dengan kesaktian itu.”

Tetapi hati Mahisa Agni menjadi semakin pedih mendengar kata-kata Buyut Wangon itu, jawabnya, “Tidak Ki Buyut. Betapapun aku akan dapat menggulung dunia seisinya, namun aku tidak akan dapat melupakan, bahwa aku telah berdiri di atas beribu-ribu mayat yang seharusnya dapat diselamatkan. Aku akan selalu ingat, bahwa kematian-kematian itu disebabkan karena keinginanku untuk menjadi seorang yang paling sakti di dunia. Dan bagiku tebusan itu terlalu mahal, sedangkan manfaatnya masih belum dapat dipastikan.”

“Oh,” orang itu pun terdengar menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apabila demikian Ki Sanak, maka aku akan mengucapkan terima kasih yang tak ada batasnya. Juga orang-orang Wangon dan sekitarnya akan berterima kasih pula kepadamu. Karena itu, apabila benar kau ingin menyerahkan akar wregu itu. Marilah. Aku antarkan kepadanya. Serahkanlah sendiri akar wregu milikmu itu. Dan kau akan diangkat menjadi pelindung mereka, atau tetua mereka atau apa saja yang dapat diberikan kepadamu.”

Mahisa Agni menggeleng lemah. Jawabnya, “Tidak Ki Sanak. Kau adalah tetua di daerahmu. Bawalah akar ini kepada mereka.”

“Kenapa kau tak mau singgah ke Wangon?”

“Tidak. Bawalah. Marilah, terimalah akar ini.”

Mahisa Agni dengan lemahnya merangkak maju. Dan dengan tangan yang gemetar dicabutnya akar wregu itu dari dalam bajunya. Ketika teraba benda itu, kembali ia menjadi ragu-ragu. Namun ketika kembali bayangan mayat-mayat yang bergelimpangan hadir di dalam rongga matanya, maka betapapun beratnya, akar wregu putih itu diserahkannya pula.

“Inilah,” katanya.

Ternyata Buyut Ing Wangon itu telah benar-benar menjadi sedemikian lemahnya. Tidak saja karena ia terbanting di lantai gua dan membentur batu-batu padas, namun katanya, “Penyakitku telah hampir sampai ke otakku. Sesaat lagi aku sudah akan mati.”

“Tidak!” sahut Agni, “Karena itu cepat, terimalah akar ini. Dan kaulah yang pertama-tama akan tahu khasiatnya, apakah akar ini benar-benar bermanfaat bagi penyakitmu.”

“Oh,” jawab Buyut bongkok itu, “kau benar. Marilah, aku terima akar itu dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Agung.”

Tangan Buyut Wangon yang sangat lemah itu pun bergerak-gerak menggapai akar yang diberikan Mahisa Agni kepadanya. Demikian ia menyentuh benda itu, maka katanya, “Tolong Ki Sanak, uraikan pembalutnya.”

Mahisa Agni pun memenuhi permintaan itu. Dan diberikannya kemudian akar wregu putih itu kepada Buyut Wangon yang sudah sedemikian lemahnya.

Dengan serta-merta, tangan yang lemah dan gemetar itu telah membawa akar wregu putih itu ke mulutnya. Digigitnya ujung akar itu sedikit. Dan bergumamlah Buyut Ing Wangon itu, “Alangkah pahitnya.”

Mahisa Agni tidak menyahut sepatah kata pun. Dibiarkannya Buyut Ing Wangon itu mengunyah sepotong serat yang kecil, sekecil sebutir beras. Dengan berdebar-debar ia menunggu, apakah akar itu benar-benar akan berpengaruh bagi penyakit yang aneh itu.

Sesaat kemudian Mahisa Agni dicengkam oleh ketegangan. Kali ini bukan karena ia takut kehilangan akar wregu putih itu, namun ia ingin menyaksikan, apa yang akan terjadi dengan Ki Buyut Wangon itu.

Perlahan-lahan Mahisa Agni mendengar Buyut Ing Wangon itu berdesis, kemudian terdengar ia bergumam, “Perutku dan seluruh tubuhku terasa dijalari oleh arus yang panas.”

Mahisa Agni tidak menyahut. Ia tidak tahu, apakah arus panas di dalam tubuh Buyut Wangon itu menguntungkan atau bahkan sebaliknya. Karena itu ia masih berdiam diri dan memandangi bayangan Buyut Ing Wangon itu dengan wajah yang tegang.

Sesaat kemudian terdengar Buyut Wangon itu berdesis. Tetapi kemudian, kembali ia mengeluh, “Alangkah panasnya.”

Mahisa Agni ikut menjadi gelisah karenanya. Namun ia ikut pula berdoa di dalam hatinya, “Mudah-mudahan akar wregu itu benar-benar dapat menolongnya.”

Gua itu kemudian seakan-akan telah tenggelam ke dalam kesepian yang tegang. Hanya kadang-kadang Mahisa Agni melihat Buyut Ing Wangon itu menggeliat, namun kemudian diam kembali. Hanya nafasnya sajalah yang terdengar berkejaran dari lubang hidungnya. Dengan demikian Mahisa Agni itu pun menjadi bertambah cemas. Jangan-jangan akar wregu putih itu telah menambah sakit Buyut dari Wangon menjadi bertambah parah.

Tetapi kemudian Mahisa Agni terkejut, ketika terdengar Buyut itu menarik nafas dalam-dalam. Dan terdengarlah ia berkata, “Alangkah segarnya tubuhku kini.”

Mahisa Agni menggeser maju. Terdengar ia bertanya, “Apakah keadaan Ki Buyut menjadi berangsur baik?”

“Ya,” jawab Ki Buyut, “aku menjadi baik kembali. Setidak-tidaknya sakitku tidak menjadi bertambah parah. Tetapi aku rasa bahwa sebagian kekuatanku justru telah pulih kembali.”

“Syukurlah,” desis Mahisa Agni, “mudah-mudahan akar itu bermanfaat bagi Ki Buyut. Nah, selagi masih ada kesempatan. Pulanglah ke Wangon dan selamatkanlah orang-orang di daerah itu.”

“Terima kasih,” sahut Ki Buyut, “terima kasih. Namamu akan tetap kami kenangkan, Empu Pedek dari Gunung Merapi.”

“Oh,” Mahisa Agni menggeleng, “Aku bukan Empu Pedek dan Gunung Merapi.”

Buyut Ing Wangon itu terkejut. Katanya, “Bukankah kau sebut namamu Empu Pedek? Dan bukankah kau katakan kau datang dari kaki Gunung Merapi?”

“Bukan Ki Buyut,” sahut Mahisa Agni, “aku adalah Mahisa Agni dari kaki Gunung Kawi.”

“Oh,” orang yang bongkok itu menjadi heran, “jadi siapakah Empu Pedek dari kaki Gunung Merapi?”

“Aku tidak tahu, “ jawab Mahisa Agni. Namun dengan demikian teringatlah olehnya seorang yang timpang yang mungkin telah menunggunya di kaki lereng gundul ini. Karena itu maka katanya, “Ki Buyut, yang kuketahui dengan Empu Pedek itu adalah, bahwa ia telah berusaha untuk menahan perjalananku. Aku bertempur dengan orang itu di bawah lereng gua ini.”

“Jadi kau bahkan telah bertempur dengan orang itu?”

“Ya.”

“Kalau demikian, maka nama Mahisa Agni akan tetap terpatri di dalam setiap hati penduduk Wangon. Seorang tukang yang paling cakap akan menulis nama itu di gapura-gapura padukuhan dan seorang pujangga yang paling baik akan menulis nama itu di lontar-lontar yang akan disimpan di pura-pura di seluruh daerah Wangon dan sekitarnya.”

“Jangan!” jawab Mahisa Agni, “Aku akan bergembira apabila beribu-ribu orang itu akan sembuh. Dan aku akan bergembira apabila mereka dapat melangsungkan hidup keturunan mereka seterusnya.”

“Mengagumkan,” desah Buyut dari Wangon itu.

Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar Buyut Wangon itu tiba-tiba berkata dengan gemetar, “Sungguh tak ada duanya. Kau benar-benar manusia yang terpuji.”

“Jangan memuji,” sahut Mahisa Agni, dan kemudian dilanjutkannya, “Nah, sebaiknya, apabila Ki Buyut telah dapat menempuh perjalanan pulang, pulanglah sebelum terlambat.”

“Baik,” jawab Buyut itu, “aku akan segera pulang. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Apabila aku terlambat, maka aku akan mengembalikan akar wregu putih ini kepadamu. Aku cari kau ke kaki Gunung Kawi. Apakah nama padukuhanmu?”

“Panawijen,” jawab Mahisa Agni tanpa sesadarnya.

Buyut Wangon itu pun perlahan-lahan mencoba untuk berdiri. Dan ternyata ia berhasil. Bahkan kemudian katanya, “Aku telah dapat berjalan seperti pada saat aku datang kemari.”

“Syukurlah,” sahut Mahisa Agni.

Buyut dari Wangon itu pun kemudian berjalan terbongkok-bongkok ke arah mulut gua. Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Mahisa Agni mengikutinya dari belakang. Mereka berjalan-jalan menyusur jalan yang mereka lalui semula. Namun kini perlahan-lahan sekali. Sebab orang bongkok itu benar-benar tak dapat berjalan lebih cepat dari seekor siput. Meskipun demikian Mahisa Agni dengan telatennya berjalan saja di belakangnya.

Perjalanan itu benar-benar makan waktu yang panjang sekali. Ketika mereka telah sampai di mulut gua, maka yang mereka lihat hanyalah warna-warna hitam melulu. Hari telah malam.

Ketika Mahisa Agni melihat orang bongkok itu akan menuruni tebing, maka dicobanya untuk mencegahnya, “Ki Buyut, adalah lebih baik Ki Buyut menuruni lereng ini besok pagi, apabila hari telah menjadi terang Adalah berbahaya untuk melakukannya sekarang.”

Ki Buyut itu menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “aku tidak mau terlambat. Biarlah aku menuruni tebing ini perlahan-lahan, namun aku tidak banyak kehilangan waktu.”

Buyut itu benar-benar tak mau dicegah lagi. Karena itu, justru Mahisa Agni tidak sampai hati membiarkannya turun sendiri. Betapapun sulitnya, maka Agni itu pun turut serta menuruni lereng yang curam itu pada saat itu juga.

Apalagi perjalanan menuruni tebing ini. Buyut Ing Wangon itu dengan hati-hatinya merayap setapak demi setapak. Tubuhnya yang bongkok itu ternyata menambah perjalanannya menjadi semakin sulit. Mahisa Agni yang merayap di belakangnya kadang-kadang sangat cemas, dan seakan-akan ingin ia mendukungnya. Tetapi Mahisa Agni itu terperanjat ketika dengan gembiranya Buyut dari Wangon itu berkata, “Ki Sanak, tubuhku benar-benar telah pulih kembali. Perjalananku menjadi sangat menggembirakan. Aku tidak menemui kesulitan-kesulitan apapun.”

“Syukurlah, “sahut Mahisa Agni.

Namun ternyata perjalanan itu tidak bertambah cepat. Dalam kegelapan mereka hanya dapat mengenal jalan dengan meraba-raba dan kadang-kadang mereka terpaksa berhenti untuk beberapa lama.

Menuruni tebing yang curam di malam hari adalah pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun untunglah mata Mahisa Agni yang terlatih itu cukup tajam untuk melihat batu-batu padas yang menjorok di sekitarnya sehingga betapapun sulitnya, tetapi ia dapat juga mempergunakan setiap keadaan untuk mempermudah penurunan itu. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak dapat turun lebih cepat lagi. Buyut Ing Wangon itu benar-benar merayap lambat sekali. Tetapi Mahisa Agni pun dapat menyadari keadaannya. Seorang yang telah lanjut usia, bertubuh bongkok dan baru saja ia kehilangan hampir segenap kekuatannya. Apalagi orang itu sama sekali tidak memiliki kelebihan apapun dari manusia biasa. Ia tidak mempelajari apapun tentang keterampilan jasmaniah, sehingga untuk melakukan pekerjaannya itu, ia harus bekerja, dengan penuh ketekunan dan tekad. Inilah yang mengagumkan Mahisa Agni. Ternyata tekad yang tersimpan di dalam dada orang Wangon itu pun tidak kalah bulatnya dari tekad yang tersimpan di dalam dadanya. Sehingga betapapun sulitnya perjalanan, namun Buyut dari Wangon itu sampai juga ke dalam gua. Dan tekad itu ternyata juga pada saat mereka menuruni tebing itu. Perjalanan itu pun memerlukan waktu yang sangat panjang. Tetapi Buyut dari Wangon itu berjalan terus, seakan-akan ia tidak mengenal lelah dan tidak menemui kesulitan-kesulitan apapun.

Demikian, meskipun lambat, akhirnya mereka sampai juga di bawah lereng gundul itu. Mengagumkan sekali. Bahkan hampir-hampir Mahisa Agni tidak percaya, bahwa orang bongkok itu telah berhasil melampaui perjalanan yang sedemikian sulitnya di malam hari. Sehingga dengan demikian Mahisa Agni bergumam, “Luar biasa, Ki Buyut. Ternyata Ki Buyut memiliki tenaga yang luar biasa pula.”

“Tidak Ki Sanak. Untunglah bahwa aku mencoba memperhatikan setiap lekuk dan batu-batu padas yang menjorok, sehingga aku dapat memilih jalan meskipun malam begini gelap.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia berkata, “Nah, apakah yang akan Ki Buyut lakukan?”

“Aku akan berjalan kembali ke Wangon,” jawab orang bongkok itu, “Dan sekali lagi aku ingin mempersilakan Ki Sanak untuk datang ke padukuhan itu. Mudah-mudahan kedatangan Ki Sanak akan sangat menggembirakan kami.”

Kembali terasa debar jantung Mahisa Agni bertambah cepat. Sebenarnya betapa ia ingin melihat, orang-orang sakit di Wangon menjadi sembuh kembali. Ia hanya ingin melihatnya, dan sama sekali ia tidak ingin mendapat penghormatan apapun dari mereka. Namun ketika kemudian terbayang wajah gurunya yang sayu seperti pada saat gurunya itu melepaskannya pergi, maka segera ia mengurungkan niatnya. Katanya, “Ki Buyut. Sayang aku tak dapat memenuhi permintaan Ki Buyut. Aku harus segera kembali kepada guruku. Melaporkan apa yang terjadi, dan menunggu apa yang akan ditentukan bagiku karena aku tidak berhasil membawa akar wregu putih itu untuknya.”

“Oh,” desis Buyut Ing Wangon, “kalau demikian, biarlah akar ini aku serahkan kembali kepadamu.”

“Tidak. Tidak!” sahut Agni cepat-cepat, “bukan maksudku demikian. Biarlah orang-orangmu menjadi sembuh dan aku pun akan ikut berbahagia karenanya.”

“Terima kasih,” terdengar suara Buyut Wangon itu bergetar, “kalau demikian, biarlah Ki Sanak pergi ke Wangon setiap saat yang kau kehendaki.”

“Biarlah demikian,” jawab Agni, “suatu saat apabila ada kesempatan, aku akan mengunjungi Wangon.”

“Baiklah aku memberimu beberapa petunjuk.”

“Jangan sekarang,” pinta Agni.

Buyut Wangon itu menjadi heran. Namun terdengar Agni berkata, “Setiap saat pendirianku dapat berubah-ubah. Karena itu biarlah aku tidak tahu, di manakah letak padukuhan itu, supaya apabila kelak hatiku digelapkan oleh persoalan-persoalan yang timbul kemudian, aku tidak pergi ke padukuhan itu untuk merampas kembali akar wregu itu dari tanganmu. Seandainya aku akan berbuat demikian, maka aku akan memerlukan waktu yang panjang untuk menemukan padukuhan itu, sehingga aku akan terlambat karenanya.”

“Jangan berpikir begitu,” sahut Buyut Ing Wangon, “Ki Sanak seharusnya mempunyai kepercayaan kepada diri. Dan Ki Sanak sebenarnya seorang yang sebaik-baiknya yang pernah aku temui.”

“Pergilah Ki Buyut!” potong Mahisa Agni, “Pergilah! Supaya aku tidak mengubah pendirianku.”

Buyut Wangon itu mengerutkan keningnya. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah Ki Sanak, baiklah. Sebentar lagi akan datang fajar. Tetapi biarlah aku pergi meninggalkan tempat ini dengan penuh kekaguman di dalam hati. Aku tak akan melupakan kau.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Namun terasa kepalanya menjadi pening dan tubuhnya seakan-akan menjadi lemah sekali. Betapa pikirannya menjadi bergolak. Akar wregu itu ternyata tidak berhasil dimilikinya. Meskipun demikian ketika Buyut Wangon itu berjalan ke arah timur sempat juga ia berkata, “Jangan tempuh perjalanan itu. Kau akan bertemu dengan Empu Pedek. Biarlah aku lewat jalan itu. Dan biarlah Empu Pedek mencegatku. Dengan demikian kau akan selamat dari tangannya.”

Buyut Wangon itu berhenti sesaat, kemudian ia berpaling. Dari matanya memancar sebuah pertanyaan. Namun sebelum pertanyaan itu terucapkan berkatalah Mahisa Agni, “Ki Buyut, carilah jalan yang lain. Di jalan itulah kemarin aku bertempur dengan Empu Pedek. Adalah suatu kemungkinan bahwa ia mencoba mencegat aku pula untuk merampas akar wregu itu. Karena itu, ambillah jalan yang lain.”

Buyut dari Wangon itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi Mahisa Agni mendengar suara Buyut tua itu bergetar, “Luar biasa. Apakah Angger masih akan mengorbankan diri sekali lagi untuk kepentinganku? Ki Sanak, kenapa kita tidak ber-sama-sama saja mencari jalan lain?”

“Tidak,” sahut Mahisa Agni, “kalau Empu Pedek itu tidak melihat aku lewat, maka ia pasti akan mencari aku di segenap sudut hutan ini. Tetapi apabila sudah ditemukannya aku, maka ia tidak akan mencari orang lain.”

“Terima kasih. Terima kasih Ki Sanak,” desis Buyuti ng Wangon yang kemudian dengan tersuruk-suruk ia membelok menyelinap di antara batang alang-alang sambil berkata, “Biarlah aku menempuh jalan ini. Mudah-mudahan aku tidak akan tersesat. Besok kalau matahari sudah terbit aku akan tahu dengan pasti, ke mana aku harus pergi. Sebab Wangon terletak tepat pada garis antara matahari terbit dan ujung Gunung Semeru itu pada bulan ini.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Ia melihat Buyut Ing Wangon itu hilang di antara batang-batang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu. Namun pada saat itu pula terasa dadanya bergelora. Akar wregu putih itu pun lenyap pula bersama lenyapnya Buyut Ing Wangon.

Mahisa Agni itu pun kemudian dengan lemahnya duduk di atas batu padas di kaki lereng gundul itu. Kembali kedua tangannya yang kokoh kuat itu menutupi wajahnya. Perlahan-lahan terdengar anak muda itu menggeram, “Maafkan aku, Guru. Aku tidak dapat membawa akar wregu itu kembali, karena aku tidak berhasil dalam perjuanganku melawan perasaanku.”


Angin yang basah bertiup di antara daun-daun perdu dan batang-batang ilalang yang liar. Terdengar di kejauhan suara-suara burung malam bersahut-sahutan.

Namun Mahisa Agni masih duduk tepekur di atas batu padas itu. Berbagai persoalan datang pergi di dalam kepalanya. Riuh seperti angin yang kencang bertiup berputaran. Sekali-kali tampak kabut yang lebat bergulung-gulung, namun di kali lain beterbanganlah daun-daun yang berguguran dari batang-batangnya. Semakin lama semakin kencang, semakin kencang. Dan Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba di kejauhan terdengar aum harimau lapar.

Mahisa Agni mengangkat wajahnya. “Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “Bagaimanakah kalau Buyut Ing Wangon itu bertemu dengan harimau itu?”

“Ah,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “ia sudah selamat sampai ke tempat ini. Ia pun akan selamat juga sampai ke padukuhannya kembali”

—–
Perlahan-lahan terdengar anak muda itu menggeram, “Maafkan aku, Guru. Aku tidak dapat membawa akar wregu itu kembali, karena aku tidak berhasil dalam perjuanganku melawan perasaanku.”
—–

Dan kini kembali Mahisa Agni merenungi dirinya sendiri. Terasalah kini betapa penat dan lelahnya setelah ia menempuh pendakian dan kemudian turun kembali dalam ketinggian yang cukup besar. Juga kini mulai terasa, betapa lapar dan hausnya.

Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri dan berjalan ke tempat ia menyimpan bungkusannya. Ia menarik nafas lega, ketika bungkusannya masih ditemukannya utuh seperti pada saat ditinggalkan. Ketika bungkusan itu dibukanya, maka masih didapatinya beberapa macam buah-buahan. Tetapi sebagian besar di antaranya telah tidak dapat dimakannya lagi. Meskipun demikian, satu dua ia masih juga menemukan di antaranya, yang masih baik untuk mengurangi hausnya.

Ketika Mahisa Agni kemudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna merah telah membayang di wajah langit. Tanpa sesadarnya, tiba-tiba saja ia mengharap supaya fajar lekas menyingsing. Namun agaknya ia tidak sabar lagi menunggu di tempat yang sesepi itu. Setelah selesai dengan membenahi bungkusannya, kembali Mahisa Agni menyangkutkan bungkusannya itu di ujung tongkat kayunya. Dan kembali Mahisa Agni melangkahkan kakinya. Namun kini ia berjalan dengan lesunya. Menempuh perjalanan yang berlawanan dengan jalan yang telah dilaluinya dengan gairah dan tekad yang bulat untuk menemukan akar wregu putih sebagai pelengkap pusakanya, untuk menjadikannya seorang manusia yang sakti pilih tanding. Tetapi kini ia berjalan kembali masih seperti pada saat ia berangkat. Ia sama sekali tidak akan menjadi seorang yang sakti. Apalagi maha sakti.

Namun apabila diingatnya, bahwa dengan demikian ia telah berusaha untuk menegakkan kemanusiaan, maka hatinya menjadi tenteram. Biarlah ia melepaskan cita-citanya untuk menjadi seorang yang pilih tanding, namun keseimbangan dari kegagalannya itu pun cukup memadainya.

Demikian maka Mahisa Agni berjalan terus. Kini kerisnya tidak lagi dimasukkan ke dalam bungkusannya. Bahkan sekali-sekali tangannya melekat di hulu kerisnya itu sambil berbisik, “Akhirnya aku mempercayakan diriku kepada tuntunan Yang Maha Agung, kepada karunia yang telah aku miliki sampai kini. Biarlah dimiliki yang menjadi hak orang lain, dan biarlah aku miliki yang menjadi hakku.”

Tetapi Kini Mahisa Agni harus berhati-hati. Ia hampir sampai ke tempat di mana Empu Pedek kemarin mencegatnya. Mungkin orang timpang itu kini telah bergeser maju dari tempatnya semula. Mungkin pula ia telah pergi. Namun sebagai seorang yang telah berbulan-bulan menunggu, pasti ia sampai saat ini menunggunya pula. Mungkin tidak sendiri.

Dan tiba-tiba langkah Mahisa Agni itu pun terhenti. Ia mendengar suara gemeresik daun di sekitarnya. Karena itu segera ia mempertajam telinganya. Dan ternyata pendengarannya itu telah meyakinkannya, bahwa seseorang berada dibalik daun-daunan yang rimbun. Mahisa Agni itu pun segera mempersiapkan dirinya. Diletakkannya bungkusan serta tongkat kayunya, dan ditengadahkannya dadanya. Meskipun tempatnya berbeda, namun yang pertama-tama terlintas di otak adalah Empu Pedek.

Beberapa saat Mahisa Agni menanti. Dengan penuh kewaspadaan diamat-amatinya setiap gerumbul yang ada di sekitarnya. Tetapi suara itu pun lenyap, seolah-olah hanyut dibawa angin malam.

Meskipun demikian, namun telah diketahuinya, bahwa seseorang telah mengintip perjalaannya. Karena itu ia harus sangat ber-hati-hati. Timbul niatnya untuk menunggu sampai matahari memancarkan wajahnya di pagi yang cerah nanti. Namun Mahisa Agni justru menjadi gelisah. Karena itu, meskipun lambat dan penuh dengan kewaspadaan ia berjalan juga. Namun firasatnya telah menuntunnya untuk menjauhi setiap daun-daun yang rimbun dan setiap pohon-pohon yang besar.

Kini Mahisa Agni tidak membawa bungkusannya di ujung tongkatnya, namun disangkutkannya bungkusan itu di pundak kirinya, sedang tangan kanannya memegangi tongkatnya. Setiap saat tongkat kayu itu dapat diayunkannya untuk mempertahankan diri apabila seseorang dengan tiba-tiba menyerangnya.

Tetapi untuk beberapa saat Mahisa Agni tidak mendengar suara apapun lagi. Betapa ia mempertajam pendengarannya yang telah terlatih baik, namun yang didengarnya hanyalah gemeresik angin. Meskipun demikian Mahisa Agni sama sekali tidak lengah seandainya bahaya dengan tiba-tiba datang menerkamnya.

Anak muda itu menerik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya samar-samar warna-warna yang cerah di balik dedaunan. Ketika ia berpaling, alangkah cerahnya ujung Gunung Semeru itu. Hijau kemerah-merahan oleh sinar-sinar yang pertama dari matahari yang bangkit dari tidurnya.

Langkah Mahisa Agni pun terhenti. Dipandanginya puncak Gunung Semeru itu dengan penuh kekaguman. Dan terasa pula kesegaran pagi mengusap tubuhnya yang letih.

Kini Mahisa Agni itu pun benar-benar ingin beristirahat. Hutan itu sudah tidak terlalu sepi. Hampir di setiap dahan Mahisa Agni melihat burung-burung bermain dan bernyanyi. Betapa riangnya. Tetapi apabila diingat akan dirinya, maka Mahisa Agni itu pun mengeluh di dalam hatinya. Namun dicobanya juga melupakan segala-galanya dan dicobanya menikmati kecerahan pagi yang segar itu.

Sesaat lagi ia akan sampai ke sebuah dataran yang agak luas. Namun hatinya berdesir ketika sekali lagi diingatnya orang timpang yang bernama Empu Pedek.

Dan dada Mahisa Agni itu pun berdesir ketika sekali lagi ia mendengar gemeresik halus di sampingnya. cepat-cepat ia tegak berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh kuat. Diletakkannya bungkusannya dan tongkatnya sekali. Dengan cermat diamatinya setiap lebar daun di sekitarnya. Dan sekali lagi desir di dadanya itu menyentuh jantungnya, ketika dilihatnya daun-daun yang bergoyang-goyang dengan kerasnya. Kini Mahisa Agni menjadi pasti, di balik daun itulah seseorang telah mengintipnya. Karena itu ia tidak mau berteka-teki lagi. Ia ingin segera menyelesaikan persoalannya. Mungkin dengan Empu Pedek, mungkin dengan orang lain. Maka terdengarlah anak muda itu berkata lantang, “He, siapakah kau. Marilah, aku telah menunggumu.”

Suara Mahisa Agni itu pun kemudian terpantul oleh dinding-dinding batu padas di lereng gunung dan oleh batang-batang pohon yang rapat, seakan-akan melingkar-lingkar di dalam hutan. Namun sesaat kemudian suara gemanya berangsur-angsur lenyap.

Namun tak seorang pun yang menjawab.

Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni itu pun terkejut bukan buatan. Hampir ia tidak percaya akan telinganya. Didengarnya dari balik gerumbul itu suara batuk-batuk beberapa kali. Suara yang telah dikenalnya baik-baik. Sehingga dengan demikian dada Mahisa Agni itu pun menjadi berdebar-debar.

Dan apa yang disangkanya itu ternyata benar-benar terjadi. Dari balik gerumbul itu muncullah seorang tua dengan wajah dalam yang bening. Dari bibirnya terbayanglah senyumnya yang segar.

Sesaat Mahisa Agni terpaku, di tempatnya. Sama sekali tak disangka-sangkanya bahwa akan dijumpainya orang itu di tempat itu. Terasa seakan-akan seluruh isi dadanya bergelora, dan hampir segenap tubuhnya bergetar.

Ketika orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, Mahisa Agni segera meloncat maju sambil berlutut di hadapannya. Desahnya, “Guru.”

Orang itu adalah Empu Purwa. Diangkatnya Mahisa Agni untuk berdiri. Katanya, “Ya Agni. Bagaimana dengan keadaanmu?”

“Baik Empu,” jawab Agni, “aku selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”

Empu Purwa itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dituntunnya Mahisa Agni seperti anak-anak yang sedang belajar berjalan. Diajaknya ia duduk di atas batu padas.

“Kau tampak letih sekali Agni,” berkata gurunya.

Mahisa Agni mengangguk, jawabnya, “Ya, Guru.”

“Tetapi aku bergembira bahwa kau selamat. Aku ingin melihatmu ke dalam gua. Sebab aku menjadi cemas, ketika kau terlalu lama belum juga kembali. Tetapi ternyata aku berpapasan denganmu hampir sampai di kaki lereng gundul itu. Dan aku mengikutimu sampai di sini.”

Perkataan gurunya itu telah menggores jantung Mahisa Agni. Segera disadarinya, bahwa ia tidak berhasil membawa kembali akar wregu putih itu. Karena itu, kini segenap tubuhnya menjadi basah oleh peluh yang dingin. Namun ia masih belum dapat mengatakan sesuatu.

“Agni,” berkata gurunya kemudian, “aku menjadi lebih bergembira lagi ketika aku melihat bahwa kau telah pergi meninggalkan gua itu. Bukankah dengan demikian aku akan dapat membanggakanmu?”

Kini wajah Mahisa Agni tertunduk lesu. Dikenangnya segalanya yang pernah terjadi dalam perjalanannya. Ditentangnya jurang dan ngarai. Dilawannya alam yang keras dan dilawannya pula semua rintangan yang menghalanginya. Orang-orang jahat dan binatang buas. Semuanya berhasil diatasinya. Namun, lawan yang tak dapat ditundukkan adalah perasaannya sendiri. Karena itu, maka gelora di dalam dadanya itu pun menjadi semakin gemuruh.

Apakah yang akan dapat dikatakan kepada gurunya? Ternyata ia lebih mementingkan perasaan sendiri daripada perintah gurunya itu. Namun kemudian timbul pula niatnya untuk berkata berterus terang. Gurunya adalah seorang manusia yang baik, seperti apa yang selalu diajarkan kepadanya. Apa yang harus dilakukan dalam hidupnya. Kasih mengasihi antara sesama, sebagai pancaran kasih dari Yang Maha Agung. Meskipun demikian getaran di dadanya menjadi semakin deras, ketika ia mendengar gurunya itu bertanya, “Agni, apakah benar dugaanku bahwa kau telah berhasil mendaki gua itu?”

Sesaat Agni memandang wajah gurunya. Wajah yang dalam dan bening. Karena itu timbullah harapannya, bahwa gurunya tidak akan marah kepadanya.

Perlahan-lahan Mahisa Agni menundukkan wajahnya kembali, dan dengan lemahnya ia mengangguk sambil menjawab lirih, “Ya, Guru.”

“Syukur, Syukurlah kalau kau telah berhasil mendaki gua itu,” gumam gurunya sambil menepuk pundak muridnya. Namun dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tegang. Dan berdesirlah dadanya seolah-olah sebuah goresan sembilu menyentuh hatinya, ketika ia mendengar gurunya itu bertanya, “Apakah akar wregu putih itu masih kau temukan?”

Mulut Mahisa Agni itu serasa terbungkam oleh gelora yang berkecamuk di dalam dadanya. Dan karena itu maka tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Wajah yang tunduk menjadi semakin dalam menekuri batu-batu di bawah kakinya. Karena itu ia tidak segera menjawab, sehingga Empu Purwa mengulanginya, “Bagaimanakah anakku. Apakah kau masih menemukan akar wregu itu?”

Gemuruh di dada Mahisa Agni serasa akan memecahkan jantungnya. Hampir saja Mahisa Agni berdusta. Ingin ia mengatakan bahwa akar wregu putih itu sudah tidak ada di tempatnya. Namun kejujurannya telah melawannya sehingga betapapun beratnya, ia harus mengatakan apa yang dilihat dan dialaminya. Maka dengan tegangnya ia menjawab, “Ya, Guru.”

“Oh,” sahut gurunya, “Syukurlah, Syukurlah. Jadi kau masih menemukan akar wregu itu di dalam gua?”

Mahisa Agni mengangguk.

“Pasti!” berkata gurunya, “Akar itu pasti masih di sana. Sebab tak seorang pun yang mengetahui, selain aku, bahwa akar itu ada di dalam gua.”

Empu Purwa itu terkejut ketika Mahisa Agni menjawab, “Tidak, Guru. Ternyata ada orang lain yang mengetahuinya pula.”

“Orang lain?” ulang Empu Purwa.

“Ya,” jawab Agni, “seorang dari Gunung Merapi, seorang bernama Empu Pedek dan seorang Buyut dari Wangon.”

Empu Purwa itu mengangkat keningnya. Tampaklah beberapa kerut di dahinya semakin nyata. Namun agaknya ia tidak ingin mempersoalkan orang-orang yang juga mengetahui akar wregu putih itu. Karena itu katanya, “Ah, biarlah orang-orang itu mengetahuinya. Namun asal kau masih sempat menemukan akar wregu putih itu.”

Kata-kata itu benar-benar menampar dada Mahisa Agni. Sebuah getaran yang keras telah mengguncangkan jantungnya. Kini ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

Mahisa Agni itu pun kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya di muka dadanya. Sambil membungkukkan badannya ia berkata dengan suara yang gemetar, “Maafkan Guru. Aku ternyata tidak dapat memenuhi perintah guru. Membawa akar wregu putih itu kembali ke padepokan Panawijen.”

Sesaat mereka berdua tenggelam dalam kesepian. Mahisa Agni masih menundukkan wajahnya. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh gurunya. Apa saja. Ia akan menerima keputusan itu dengan ikhlas. Baru kemudian akan dikatakannya, alasan-alasan yang telah memaksanya untuk menyerahkan akar wregu itu kepada orang lain. Bukan karena kekerasan, dan bukan pula karena ketakutannya menghadapi bahaya. Ia telah mengalahkan semua rintangan, kecuali satu yang justru datang dari dirinya sendiri.

Perlahan-lahan ia mendengar gurunya bertanya, “Kenapa Agni?”

Mahisa Agni menjadi heran. Ketika ia mencoba mencuri pandang wajah gurunya, ia pun menjadi semakin heran. Wajah itu masih saja dalam dan bening. Ia tidak mendapat kesan bahwa gurunya terkejut dan marah kepadanya. Dan ia tidak tahu, keadaan apakah yang sebenarnya sedang dihadapinya. Apakah gurunya sedang mempertimbangkan alasan-alasan yang harus dikemukakan, ataukah gurunya sedang mencoba menahan diri. Namun kini gurunya itu bertanya, kenapa.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengatur perasaannya supaya ia dapat mengatakan segala sesuatu dengan teratur dan dimengerti. Baru kemudian setelah hatinya menjadi tenang, maka diceritakannya kepada gurunya itu, apa yang dialaminya sejak ia meninggalkan padukuhan Panawijen.....

Perjalanan yang berat, namun penuh dengan gairah untuk menyelesaikannya. Ditantangnya kekerasan alam dan ditantangnya kekerasan manusia. Akhirnya sampailah cerita Mahisa Agni kepada seseorang yang datang dari Wangon, yang menyebut dirinya Buyut dari Wangon. Seorang tua yang bongkok dan berjalan tersuruk-suruk. Namun tekadnya jauh melalui keadaan jasmaniahnya. Betapa teguhnya kemauan yang tersimpan di dalam dada orang itu, sehingga betapapun ia merasa dirinya tidak mampu melawan dalam tindak kekerasan, namun orang itu dengan beraninya telah memeluk kakinya untuk mencoba menahannya.

“Aku mengaguminya,” berkata Mahisa Agni, “mengagumi tekadnya dan hasrat kemanusiaannya, di samping tanggung jawabnya atas kewajibannya. Hidup dan mati beribu-ribu orang tergantung kepadanya. Kepada akar wregu putih itu. Dan ternyata orang itu telah memasuki gua tempat penyimpanan akar itu. Beberapa langkah lagi ia akan berhasil menyelamatkan beribu-ribu orang itu. Pada saat harapannya telah memenuhi dadanya, bukan saja harapan baginya, namun harapan bagi beribu-ribu orang itu, maka datanglah Mahisa Agni itu. Aku. Guru, aku tidak sampai hati merampas harapan itu. Merampas harapan beribu-ribu orang untuk memperpanjang hidupnya.

Mahisa Agni berhenti sesaat. Terasa seluruh tubuhnya menjadi basah, dan detak jantungnya menjadi semakin cepat. Namun ia tidak dapat meraba, bagaimanakah tanggapan gurunya atas peristiwa itu. Ketika sekali lagi ia mencoba memandang wajah gurunya, wajah itu masih saja sebening semula.

Dengan nafas yang terengah-engah Mahisa Agni meneruskan, “Itulah, Bapa. Buyut Ing Wangon telah berhasil merampas akar wregu putih itu tidak dengan kekerasan. Hatiku luluh ketika aku mendengar ia bertanya, apakah kekerasan yang dapat menentukan segala-galanya. Apakah hanya dengan kekerasan kita harus menilai semoa persoalan?”

“Bapa, Buyut Ing Wangon itu bertanya, apakah kepentinganku dengan akar wregu putih itu? Seandainya akar itu mempunyai nilai yang lebih besar padaku, maka dengan ikhlas Buyut Ing Wangon itu akan menyerahkannya, namun apabila nilai akar itu lebih bermanfaat padanya, maka ia minta akar itu untuk dibawanya. Aku diajaknya untuk menilainya dengan wajar. Manfaatnya bagi manusia dan kemanusiaan. Dan manfaat itulah yang akan menentukan. Bukan kekerasan, bukan kemenangan jasmaniah. Bukan perkelahian dan pertempuran.”

Kembali Mahisa Agni berhenti. Dan peluh yang dingin masih saja mengalir membasahi tubuhnya, pakaiannya dan batu padas tempat duduknya. Angin yang lembut masih juga mengalir perlahan-lahan. Dan jauh di sebelah selatan dilihatnya awan yang putih seputih kapas terbang di atas kehijauan hutan dan lembah.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata lembut Empu Purwa, selembut angin dari lembah, “Agni, jadi kau tidak berhasil mendapatkan akar wregu itu?”

“Ampun, Guru,” jawab Agni, “aku gagal menjalankan tugasku kali ini. Aku tidak sampai hati.”

Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya awan yang bertebaran di langit dan di pandangnya puncak Gunung Semeru yang menjadi semakin cerah. Kemudian terdengarlah ia bertanya, “Apakah kau masih akan dapat mengenal Empu Pedek dan Buyut Ing Wangon itu apabila kau bertemu?”

Mahisa Agni berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Kedua-duanya memiliki kekhususannya, Bapa. Empu Pedek itu ternyata timpang dan Buyut Ing Wangon itu bongkok.”

“Apakah kau tahu letak padukuhan Wangon?”

Mahisa Agni menggeleng. Namun hatinya menjadi berdebat. Apakah gurunya akan pergi sendiri mengambil akar itu dari Wangon? Maka terdengar ia menjawab, “Tidak guru. Aku menghindari petunjuk tentang padukuhan itu. Aku takut kalau pendirianku akan berubah. Dan beribu-ribu orang itu tidak tertolong lagi karenanya.”

Kembali mereka berdua terdiam. Dan kembali suara burung-burung di dahan-dahan menjadi semakin nyata. Melengking dengan riangnya. Seriang daun-daun yang menari-nari ditiup angin pagi. Namun hati Mahisa Agni tidak ikut serta menari-nari bersama angin pagi.

“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian, “apakah kausangka Empu Pedek itu masih belum melepaskan keinginannya untuk mendapatkan akar wregu putih itu?”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, maka jawabnya, “Ya Empu, aku menyangka demikian.”

“Dan bagaimanakah dengan Buyut dari Wangon itu?”

Mahisa Agni tidak segera dapat mengetahui maksud gurunya. Buyut dari Wangon itu telah membawa serta akar wregu putih itu pulang ke padukuhannya. Karena itu ia bertanya, “Apakah maksud guru dengan Ki Buyut Ing Wangon?”

Mahisa Agni menjadi bingung ketika dilihatnya gurunya itu tersenyum. Dan terjadilah kemudian hal yang sama sekali tak disangka-sangka, sehingga Mahisa Agni itu pun terkejut bukan kepalang. Sejengkal ia bergeser surut, dan dengan sinar mata yang penuh dengan berbagai persoalan bercampur baur dipandanginya wajah gurunya seolah-olah baru dikenalnya saat itu. Dan tebersitlah kata-katanya, “Guru, apakah guru telah mendapatkannya?”

Empu Purwa masih tersenyum. Katanya kemudian masih sesareh semula, “Agni, bukankah akar wregu ini yang kaucari?”


Kini pandangan mata Agni tertancap kepada sebuah benda di tangan gurunya. Akar wregu putih yang diperebutkannya dengan Buyut Ing Wangon. Dan ternyata akar itu kini berada di tangan gurunya. Aneh. Apakah gurunya telah berhasil mencegat Buyut Ing Wangon dan merampas dari tangannya? Demikianlah beribu-ribu persoalan bergulat di dalam dada Mahisa Agni. Namun karena itu, maka tak sepatah kata pun yang dapat diucapkannya.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Empu Purwa pula mendesaknya, “Benarkah pengamatanku ini Agni. Apakah benda ini pula yang kau lihat di dalam gua itu?”

“Ya. Ya Empu,” sahut Agni terbata-bata. Namun terloncat pula pertanyaannya, “Tetapi bagaimanakah benda itu dapat sampai di tangan Empu?”

Empu Purwa tersenyum. Katanya, “Kepada siapa benda ini kau berikan?”

“Kepada orang bongkok dari Wangon. Buyut Ing Wangon,” sahut Mahisa Agni.

Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Sudahlah, jangan kau risaukan orang lain. Kau sekarang akan berhasil memiliki benda ini. Akar wregu putih. Rangkapan pusakamu yang kecil itu. Bukankah dengan akar ini kau dapat membuta tangkai trisula kecil itu?”

Mahisa Agni itu pun menjadi semakin bingung. Bagaimanakah jadinya dengan Buyut dari Wangon? Apakah yang akan dilakukannya seandainya akar wregu itu lenyap dari tangannya? Dan bagaimanakah dengan beribu-ribu orang yang hampir mati karena penyakitnya? Dan kini tiba-tiba tubuh Mahisa Agni itu pun bergetar kembali. Betapa ia menjadi gelisah. Ia tidak tahu apakah sebenarnya yang terjadi. Tetapi yang dilihatnya akar wregu putih itu sudah di tangan gurunya.

“Guru,” terdengar Mahisa Agni bertanya dengan suara yang gemetar, “Di manakah Buyut Ing Wangon itu sekarang?”

Empu Purwa itu tidak segera menjawab. Namun ditatapnya Mahisa Agni itu dengan pandangan yang sejuk. Dan kediamannya itu telah membuat hati Mahisa Agni menjadi semakin tegang. Sehingga diulanginya pertanyaannya, “Guru, apakah guru bertemu dengan Buyut Ing Wangon dan mendapatkan akar wregu itu daripadanya?”

Dan jantung Mahisa Agni menjadi semakin bergolak ketika ia melihat gurunya tersenyum. Timbullah berbagai sangkaan di dalam hatinya. Apakah gurunya telah mencederai Buyut dari Wangon itu? Tak mungkin. Buyut dari Wangon bukan seorang yang mampu untuk berkelahi, apalagi melawan gurunya. Sehingga dengan mudahnya akar itu akan dapat diambilnya.

Mahisa Agni menjadi semakin tidak mengerti ketika kemudian gurunya itu menepuk bahunya, dan dengan lembut berkata, “Kenapa kau prihatin atas Buyut yang bongkok itu?”

“Ya, kenapa?” Mahisa Agni mengulang pertanyaan itu di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka dengan lemahnya ia menggeleng. Jawabnya, “Entahlah, Bapa. Mungkin aku menjadi iba kepadanya, kepada orang-orangnya yang menantinya dengan penuh kecemasan dan penderitaan.”

“Buyut Ing Wangon itu kini telah tidak ada lagi.”

“He?” Agni terkejut sehingga ia bergeser. Ditatapnya wajah gurunya dengan pancaran pertanyaan dari bola matanya.

Ketika ia melihat gurunya memandangnya dengan iba, maka desahnya di dalam hati, “Betapa aneh persoalan yang aku hadapi.”

“Agni,” berkata gurunya, “Buyut Ing Wangon itu benar-benar sudah tidak ada lagi. Yang ada kini adalah aku gurumu.”

Nafas Mahisa Agni menjadi semakin terengah-engah, melampaui pada saat ia mendaki lereng yang gundul itu. Dan ketika ia mendengar gurunya menjelaskan, serasa ia sedang dibuai oleh mimpi yang aneh. Didengarnya gurunya itu berkata, “Kauserahkan akar ini kepada orang yang menamakan diri Buyut Ing Wangon, Agni. Dan sekarang kau lihat akar wregu ini berada di tanganku. Tak ada perjuangan yang terjadi, tak ada perampasan dan pemerkosaan. Aku terima akar ini langsung dari tanganmu.”

“He?” kini Mahisa Agni benar-benar terkejut bukan buatan. Ia mendengar kata demi kata dengan jelas. Ia mendengar dan mengerti maksud gurunya. Meskipun demikian dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Jadi, apakah mataku yang kurang wajar, atau apa akukah yang tidak pada tempatnya. Apakah maksud guru mengatakan, bahwa yang bertemu dengan aku di dalam gua itu guru sendiri?”

Empu Purwa mengangguk. Tampaklah kebeningan matanya memancarkan keibaan hatinya. Karena itu ia berkata seterang-terangnya, “Agni. Sadarilah. Akulah yang menamakan diri Buyut Ing Wangon.”

Sekali lagi Mahisa menangkupkan kedua telapak tangannya, di muka dadanya sambil membungkukkan badannya dalam-dalam sehingga wajahnya hampir menyentuh tanah. Dengan suara gemetar ia berkata, “Ampun, Bapa. Aku tidak tahu, apakah yang sudah aku lakukan. Aku tidak tahu, bagaimana Bapa menilai diriku.”

Seterusnya Mahisa Agni itu menekurkan wajahnya. Ia tidak berani memandang gurunya. Bahkan ujung kakinya pun tidak. Ditatapnya tanah padas yang berlapis-lapis di bawah kakinya. Namun hatinya sibuk dengan persoalan yang tak dapat dimengertinya. Ia melihat seorang bongkok yang berjalan tersuruk-suruk di dalam gua itu. Namun betapa gelapnya. Ia hanya melihat bayangan yang hitam dan garis-garis tubuh yang bongkok itu. Tetapi apakah ia pernah melihat wajah orang itu dengan jelas? Tidak. Ia tidak melihatnya. Dan bagaimanakah dengan pakaiannya? Pakaian ini pun tak jelas diketahuinya. Tetapi yang dilihatnya sekarang, gurunya tidak mengenakan jubah putih dan tidak pula mengenakan kain kelengan seperti kalau gurunya itu sedang bepergian, tidak dalam kedudukannya sebagai seorang pendeta. Tetapi gurunya itu mengenakan kain lurik yang dibalutkan di tubuhnya.

Mahisa kemudian memejamkan matanya. Dicobanya untuk mengingat-ingat bentuk tubuh orang yang ditemuinya di dalam gua itu. Namun ia tidak berhasil.

Dalam pada itu terdengarlah gurunya berkata, “Agni, jangan menyesal. Kau telah berbuat sesuatu yang sebenarnya aku harapkan. Kau dihadapkan pada persoalan yang tak mudah kau pecahkan. Di sinilah watak seseorang yang sebenarnya dapat dilihat. Apabila ia dihadapkan pada kepentingan diri dan kepentingan manusia, namun di luar dirinya. Betapa ia harus melihat kepentingan-kepentingan itu dengan wajar. Apakah seseorang akan mementingkan dirinya sendiri, apakah ia akan mementingkan manusia dan kemanusiaan di luar dirinya, namun kepentingan itu jauh lebih besar. Dan ternyata kau berhasil melihatnya dengan mata hatimu yang bersih. Kau berhasil menyingkirkan nafsu diri sendiri untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan di luar dirimu. Bahkan kau telah sanggup mengorbankan kepentinganmu itu, namun kepentingan sendiri, seorang Mahisa Agni, untuk kepentingan yang lebih besar. Meskipun ternyata kepentingan yang lebih besar itu sebenarnya tidak ada, namun itu tidak akan mengurangi nilai pribadimu. Tidak akan mengurangi kejernihan mata hatimu. Sebenarnyalah bahwa Yang Maha Agung telah berkuasa di dalam hatimu dengan cinta kasihnya, sehingga dari dalam hatimu itu pun memancar pula cinta kasih itu.”

Kini dada Mahisa Agni itu pun bergelora. Namun dalam bentuknya yang lain. Setelah sekian lama ia ditegangkan oleh teka-teki tentang orang bongkok itu, tiba-tiba kini ia mendengar kata-kata gurunya itu. Jelas dan hatinya pun menjadi terang. Gurunnya itu ternyata membenarkan sikapnya. Dan karenanya, maka ia pun menjadi terharu. Betapa ia bersyukur di dalam hatinya, bahwa Tangan Yang Maha Besar telah menuntunnya untuk memilih sikap yang dibenarkan oleh gurunya dan benar pula menurut keyakinannya.

Dan didengarnya gurunya itu berkata seterusnya, “Meskipun demikian Mahisa Agni. Apa yang terpuji pada saat ini bukan berarti untuk seterusnya tak akan terkena salah. Jangan menjadi lupa diri. Akar wregu itu akan dapat menjadi alat untuk mengenangkan masa ini. Sebenarnyalah hanya itu manfaat yang dapat kau ambil daripadanya.”

Sekali lagi Mahisa Agni dikejutkan oleh kata-kata gurunya itu. Akar wregu putih itu hanya akan bermanfaat baginya untuk mengenangkan masa ini. Suatu masa di mana ia harus berjuang untuk menumbangkan nafsu yang menyala-nyala untuk menjadikan dirinya orang pilih tanding, karena suatu pengabdian pada kemanusiaan memanggilnya. Meskipun kemudian ternyata, bahwa perjuangan yang terjadi di dalam dirinya itu adalah hasil ciptaan gurunya untuk mengetahui kematangan sifat dan wataknya sebagai manusia, namun apakah itu mempunyai suatu pengaruh yang langsung atas khasiat akar wregu putih itu?

Karena itu maka Mahisa Agni itu memberanikan diri untuk bertanya, “Guru, apakah maksud guru dengan mengecilkan arti akar wregu putih itu?”

Empu Purwa tertawa pendek. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Agni, aku sama sekali tidak mengecilkan arti akar wregu putih ini. Sebab sebenarnyalah demikian. Lihatlah. Akar ini tidak lebih dari sebuah akar wregu biasa. Apakah bedanya? Kau melihat akar ini agak keputih-putihan. Demikianlah sebenarnya warna akar wregu itu apabila kau sayat kulit arinya.”

Mahisa Agni menjadi semakin bingung. Jadi apakah artinya perjuangan yang selama ini dilakukan, sejak ia meninggalkan padepokan Panawijen dan menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, melawan kegarangan alam dan melawan berbagai kejahatan manusia dan kebuasan binatang-binatang?”

Empu Purwa melihat beribu-ribu persoalan bergelut di dalam dada Mahisa Agni. Karena itu maka katanya kemudian, “Mahisa Agni. Jangan menilai akar wregu ini ber-lebih-lebihan. Meskipun demikian itu bukan salahmu. Aku memang mengatakan kepadamu, bahwa akar ini akan mampu menjadikan kau seorang yang pilih tanding. Dan ternyatalah demikian. Kau telah berjuang dengan tekad yang membara di dalam hatimu. Kau telah melakukan apa saja yang jarang dapat dilakukan oleh orang lain. Dan yang jarang dapat aku temui pada masa kini, masa-masa yang lampau dan bahkan mungkin masa-masa yang akan datang, adalah kesediaanmu berkorban. Bukankah dengan demikian kau telah menemukan nilai-nilai yang sangat berharga bagi dirimu. Bukankah perjalanan yang kau lakukan itu adalah suatu penempaan jasmaniah yang tak ada taranya dan bukankah penyerahan akar ini kepada orang lain itu pun akan merupakan penempaan rohaniah yang tak kalah nilainya dari seluruh perjalananmu itu, sebab hasil perjalananmu itulah yang telah kau korbankan bahkan masa depan yang panjang telah kau serahkan pula. Karena itu ketahuilah anakku, akar wregu ini sebagai suatu benda tak memiliki nilai apapun.”

Bergetarlah dada Mahisa Agni mendengar keterangan gurunya itu. Benar-benar persoalan yang tak disangka-sangkanya. Apakah ini yang dimaksud oleh gurunya suatu ujian baginya? Dan gurunya sendiri telah hadir untuk mengujinya? Dan inilah sebabnya, maka pada saat gurunya memerintahkannya pergi mencari akar wregu itu terasa beberapa kejanggalan pada pesannya. Gurunya yang dalam masa-masa yang lewat, selalu memandang hampir setiap persoalan dari segala segi, keseimbangan antara lahir dan batinnya, namun pada saat-saat ia berangkat meninggalkan Panawijen, gurunya seolah-olah sama sekali tak menghiraukan masalah- masalah yang lebih dalam dari masalah- masalah lahiriah. Yang disebut-sebut oleh gurunya itu tidak lebih dari akar wregu putih yang akan mampu menjadikannya manusia yang sakti. Lebih dari itu tidak. Namun gurunya itu kemudian berkata bahwa ‘Hitam putih namamu, tergantung kepadamu sendiri’.

Kini ternyata, bahwa gurunya dengan sengaja berbuat demikian. Gurunya sengaja memberinya persoalan, dan diserahkannya kepada dirinya, bagaimana ia akan memecahkannya.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Terasalah sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni itu menyadari, bahwa tidak hanya seorang gurunya sajalah yang menginginkan akar itu, meskipun dengan maksud yang berbeda-beda. Apakah orang lain percaya bahwa akar itu memiliki nilai yang dapat mempengaruhi seseorang. Karena itu maka dengan serta-merta ia bertanya kepada gurunya, “Bapa, seandainya akar itu dalam ujudnya sebagai benda tak memiliki nilaianya yang khusus. Apakah artinya perjuangan Empu Pedek untuk mendapatkannya. Berbulan-bulan ia berada di tempat ini untuk menunggu seseorang yang akan lewat dengan membawa sebuah trisula rangkapan dari akar wregu itu.”

Empu Purwa itu tertawa, namun dari sepasang matanya memancarlah keibaan hatinya kepada muridnya itu. Sekali lagi Empu Purwa menepuk bahu Mahisa Agni. Dengan lembut ia berkata, “Anakku. Tak seorang pun di dunia ini yang pernah mendengar tentang akar wregu putih itu. Bukankah sudah aku katakan.”

“Tetapi Bapa,” bantah Agni, “Empu Pedek itu menyebut-nyebutnya pula. Tepat diketahui nama dan kegunaan dari akar wregu itu.”

“Agni,” sahut gurunya, “ada dua kemungkinan. Aku yang salah sangka tentang akar itu bahwa tak seorang pun yang mengetahuinya, atau akar itu benar-benar hanya diketahui oleh seseorang saja. Sehingga setiap orang yang menyebut nama akar wregu putih itu adalah orang yang sama.”

“Guru,” potong Agni, “jadi juga yang menamakan diri Empu Pedek dan Buyut Ing Wangon itu guru sendiri?”

Empu Purwa mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Benar Agni. Dan telah aku korbankan sebagian janggutku tersayang untuk kepentingan itu.”

“Oh,” Agni itu pun tertunduk kembali. Berbagai masalah yang simpang siur, hilir mudik di dalam di kepalanya. Sehingga kemudian ia berkata, “Jadi bagaimanakah dengan orang dari Gunung Merapi yang datang tiga hari sebelum kedatanganku.”

“Itulah aku,” jawab gurunya.

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini semuanya menjadi jelas. Itu pulalah sebabnya gurunya berpesan kepadanya supaya ia berjalan dari batu karang itu pada malam hari, supaya gurunya dapat mengganggunya.

Sesaat mereka berdua itu pun berdiam diri. Matahari yang cerah telah semakin tinggi memanjat di kaki langit,dan pagi itu pun menjadi semakin bening.

Namun masih ada satu soal yang ingin diketahui oleh Mahisa Agni, bagaimanakah akar wregu itu berada di dalam gua.

Maka kemudian diberanikannya pula untuk bertanya kepada gurunya, “Bapa, bagaimanakah maka akar wregu putih itu berada di dalam gua ini. Apakah guru telah meletakkannya tiga tahun yang lampau?”

Kembali Empu Purwa tersenyum. Jawabnya, “Bukankah Buyut dari Wangon itu telah memasuki gua lebih dahulu? Alangkah mudahnya meletakkan akar wregu itu di sana, kemudian berbaring kembali di tikungan dalam gua itu.”

Mahisa menggigit bibirnya. “Sederhana sekali,” pikirnya. Sehingga anak muda itu tanpa sesadarnya telah mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kini semuanya sudah jelas bagi Mahisa Agni Apa yang dilakukan gurunya sebelum ia berangkat sampai saat iri. Ternyata gurunya telah menjajaki kebulatan tekadnya dengan orang timpang yang menamakan dirinya Empu Pedek. Apakah ia benar-benar pantang surut dalam perjuangannya mencapai masa depannya dengan cita-cita yang diletakkan di hatinya. Namun dengan Buyut Ing Wangon gurunya ingin mengetahui, apakah ia mampu memandang kepentingan kemanusiaan yang lebih besar dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Dalam pada itu kembali Empu Purwa itu bertanya, “Mahisa Agni, apakah kau menjadi kecewa, setelah kau mengetahui bahwa akar wregu putih itu sama sekali tak berarti bagimu dalam olah kanuragan?”

Sebenarnya, di dalam hati Mahisa Agni walau pun betapa kecilnya, ada juga rasa kecewa itu. Namun demikian, dapat juga ia mengurangi keadaan, sehingga kemudian ia menjawab, “Tidak guru. Kalau ada maka kekecewaan itu tak akan berarti, dibandingkan dengan kebanggaan yang aku dapatkan karena Bapa telah membenarkan sikap dan tanggapanku atas persoalan-persoalan yang Guru berikan.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula, “Nah, meskipun demikian simpanlah akar wregu ini. Sudah aku katakan, bahwa akar ini akan bermanfaat pula bagimu. Akan selalu memberimu peringatan, bahwa menurut pendapat gurumu, kau telah melakukan sesuatu yang terpuji. Karena itu, setiap kau menghadapi persoalan yang serupa, maka akar wregu ini akan membantumu memecahkan persoalanmu. Namun, kau adalah manusia biasa Agni. Suatu ketika kau akan menghadapi persoalan-persoalan yang lebih sulit dan suatu ketika kau akan mungkin melakukan pilihan yang salah. Namun kau harus berusaha mengurangi kesalahan-kesalahan itu. Sadarilah ini, supaya untuk seterusnya kau tidak menganggap bahwa pilihanmu selalu benar, dan apabila ada perbedaan pikiran dan pendapat dengan orang lain, kau selalu merasa bahwa kau sendirilah yang benar.”

Mahisa Agni kini menundukkan wajahnya. Kata-kata gurunya itu menyentuh hatinya dan menumbuhkan suatu pengertian yang mendalam. Mahisa Agni itu pun kemudian menjadi sadar akan keadaannya. Manusia yang lemah, jasmaniah maupun rohaniah. Manusia yang selalu diliputi oleh kesalahan-kesalahan dan kebodohan- kebodohan.

“Marilah Agni,” berkata gurunya pula, “terimalah akar wregu ini. Jangan kau nilai benda itu berlebih-lebihan. Namun jangan kau abaikan pula hikmah yang telah kau letakkan sendiri pada benda itu.”

Mahisa Agni itu pun mengangkat wajahnya. Dipandangnya akar wregu itu dengan perasaan yang aneh. Namun dimengertinya pula nasihat gurunya. Karena itu, maka akar itu pun diterimanya dengan hasrat yang mantap untuk mencoba memenuhinya. Meskipun demikian terasa juga kehambaran di dalam dadanya.

Kembali mereka berdua terlempar dalam kesenyapan. Dan kembali mereka membiarkan tubuh mereka dibelai angin yang mengalir dari lembah. Namun angan-angan Mahisa Agni terbang melambung ke daerah-daerah yang aneh. Ke masa-masa yang lewat dan ke masa-masa yang akan datang.

Seperti orang tersentak diri mimpinya ia mendengar gurunya berkata kepadanya, “Mahisa Agni. Aku tahu, bahwa kau dengan peristiwa ini merasa kehilangan sesuatu, meskipun kau dapat mengerti dan memahami artinya. Karena itu Anakku, sebenarnyalah bahwa kau akan mendapatkannya sesuatu yang bermanfaat bagi hidupmu kelak. Bukan dari akar wregu itu, tetapi dari dirimu sendiri.”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Terasa debar yang halus menyentuh hatinya. Dan didengarnya gurunya berkata, “Agni, ada sesuatu yang ingin aku beri tahukan kepadamu. Bahwa aku telah mendapat ilmu yang turun temurun mengalir dari guru ke muridnya yang tepercaya. Itulah sebabnya, setiap guru yang akan memberikan kepada muridnya, maka guru itu harus yakin akan sifat dan watak muridnya itu. Itulah yang memaksa aku membuat cerita tentang akar wregu putih, karena aku ingin mengetahui, apakah sudah masanya aku menurunkan ilmu itu kepadamu. Apakah ilmu itu akan bermanfaat bagimu dan bagi bebrayan manusia. Sebab seandainya ilmu itu kau terima, namun penggunaannya tidak seperti yang diharapkan, maka ilmu itu akan kehilangan artinya, bahkan akan menjadi sangat berbahaya. Namun kini aku telah menemukan suatu keyakinan, bahwa ilmu itu padamu akan menemukan sasaran pengamalan seperti yang diharapkan.”

Debar yang halus di dalam dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tajam. Bahkan kemudian terasa tubuhnya bergetar. Kata-kata gurunya itu seperti tetesan embun yang menyentuh ubun-ubunnya. Namun kemudian seperti menyalanya bara harapan di dalam hatinya.

Dan didengarnya gurunya itu berkata seterusnya, “Mahisa Agni. Ilmu itu adalah ilmu yang didasari pada kekuatan- kekuatan yang tersimpan di dalam dirimu sendiri. Karena itu kau harus selalu ingat kepada sumbernya. Setiap penggunaan ilmu itu pun harus diperuntukkan bagi sumber itu sendiri. Sumber kekuatan- kekuatan di tubuhmu itu, dan lebih jelas lagi, adalah sumber hidupmu itu, Yang Menciptakanmu. Yang Menciptakan manusia.”

Semuanya kini menjadi semakin terang bagi Mahisa Agni. Dengan cepat ia dapat menghubungkan setiap peristiwa yang pernah dialami dengan kata-kata gurunya itu. Sekali lagi terucapkan puji dan sukur di dalam hati Mahisa Agni. Dan apa yang dikecewakannya atas akar wregu putih itu, seakan-akan telah larut dihanyutkan oleh harapan-harapan baru yang tumbuh di dalam hatinya. Harapan baru tentang ilmu yang disebut oleh gurunya, namun dilandasi oleh semua penjelasan dan nasihat-nasihat gurunya itu.

Maka kini ternyatalah baginya, bahwa gurunya telah menganggapnya lulus dari ujian yang dibebankan di atas pundaknya.

Sesaat kemudian gurunya meneruskan pula, “Agni. Untuk menerima ilmu itu, maka kau tidak cukup memerlukan waktu sehari dua hari. Namun sebenarnya sebagian besar dari dasar-dasarnya, dan persiapan- persiapan jasmaniah telah kau miliki. Karena itu, kau tinggal harus bekerja tidak lebih dari sebulan dua bulan.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Waktu itu tidak terlalu lama. Perjalanan yang ditempuhnya itu pun telah memakan waktu lebih dari sebulan. Dan kalau ia harus bekerja keras sebulan dua bulan lagi, maka waktu itu tak akan berarti baginya dibandingkan dengan waktu yang panjang yang terbentang di hadapannya.

Dan berkata pulalah gurunya, “Agni. Ilmu yang akan kauterima adalah ilmu yang harus kau tekuni untuk seterusnya. Ilmu itu tidak sekaligus menjadi sempurna. Aku hanya akan memberikan beberapa petunjuk dan membuka pintu saja bagimu. Seterusnya terserah kepadamu sendiri.”

Gurunya berhenti sebentar, seakan-akan menunggu kata-kata itu dicernakan oleh muridnya. Kemudian sambungnya, “Anakku. Ilmu itu aku terima dari guruku dengan sebuah nama yang dibuat oleh guruku sendiri. Nama ilmu itu tidak penting bagimu. Yang penting adalah isi dan pengamalannya. Aku terima ilmu itu dengan nama Gundala Sasra. Nah, sebaiknya kau sebut juga nama ilmu itu dengan nama Gundala Sasra.”

Dada Mahisa menjadi berdebar-debar mendengar nama itu. Gundala Sasra. Nama itu tidak, segarang nama-nama ilmu yang pernah didengarnya. Bajra Pati, Guntur Geni, Sapu jagat, dan lain-lainnya. Nama-nama yang pernah didengarnya dari gurunya itu pula, sebagai senjata-senjata pamungkas dari beberapa orang sakti. Memang sejak ia mendengar nama-nama ilmu itu, terbelit pula pertanyaan di dalam dadanya, apakah gurunya sendiri tidak memiliki aji yang dapat dibanggakan? Namun ia tidak pernah berani menanyakannya. Mungkin gurunya tidak akan senang mendengar pertanyaan itu. Apalagi seandainya gurunya itu benar-benar tidak memilikinya. Tetapi kini ternyata pertanyaan itu telah terjawab. Gurunya pun memiliki ilmu yang disimpannya baik-baik. Dan ilmu itu bernama Gundala Sasra, yang kini akan diturunkannya kepadanya. Karena itu dengan penuh harapan ia menyambut kata-kata gurunya itu. Bahkan telah dibayangkannya, bahwa ia harus memeras tenaga, mesu diri untuk mendapatkan jalan menerima kesaktian gurunya.

Yang didengarnya kemudian gurunya itu berkata, “Mahisa Agni, namun ilmu harus kau terima dengan kerja dan usaha. Aku tidak dapat meniup tengkukmu, dan kemudian ilmu ini telah meresap dengan sendirinya ke dalam tubuhmu. Atau mengusap ubun-ubunmu atau menghembus hidungmu. Namun aku sendirilah yang harus menempatkan dirimu dalam keadaan yang memungkinkan bagimu untuk menerima ilmu ini.”

Kembali gurunya itu berhenti sesaat. Sedang dada Mahisa Agni pun menjadi semakin berdebar-debar. Dan didengarnya gurunya itu berkata pula, “Agni. Marilah kita hidup di tengah-tengah hutan ini untuk beberapa lama, supaya kau leluasa memperkembangkan dirimu dalam ilmu yang akan kau terima. Prihatin dan mesu diri, menguasai tindak tanduk dan angan-angan adalah sumber dari kekuatan ilmu ini. Namun kita manusia hanya dapat berusaha, sedang ketentuan terakhir adalah di tangan Yang Maha Agung. Karena itu jangan menyesal apabila kekuatan ilmu itu tidak seperti apa yang kau harapkan, namun jangan sombong dan takabur apabila ilmumu akan berkembang menjadi ilmu yang dahsyat. Sedahsyat seribu guntur yang menyala di langit.”

Debar di dada Mahisa Agni menjadi semakin bergelora. Kini titik-titik keringatnya menetes satu-satu dari keningnya. Apa yang harus dihadapinya ternyata tidak lebih ringan dari perjalanannya yang telah dilakukannya. Meskipun demikian, dihadapinya masa-masa yang berat itu dengan penuh tekad. Dengan penuh gairah, segairah pada saat ia berangkat untuk menemukan akar wregu putih itu. Ternyata yang akan didapatnya bukan khasiat dari akar wregu itu, namun ilmu yang tak akan kalah dahsyatnya.

Ternyata Empu Purwa tidak menyia-nyiakan waktu. Setelah ia memberi kesempatan Mahisa Agni berburu sesaat dan mendapatkan makanan secukupnya setelah berhari-hari ia menahan lapar, maka Empu Purwa segera mulai dengan pekerjaannya, mengolah Mahisa Agni untuk dapat mewarisi ilmunya.

Yang dilakukan oleh Empu Purwa adalah membuka setiap kemungkinan pada setiap urat dan syaraf di dalam tubuh Mahisa Agni. Dihilangkannya setiap simpul-simpul yang dapat mengganggu mengalirnya kekuatan-kekuatan di dalam tubuhnya. Kekuatan-kekuatan yang tersimpan dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi.

Dan sejak hari itu, mulailah Agni melewati hari-hari yang maha berat. Setiap hari, bahkan siang dan malam. Dipelajarinya beberapa unsur-unsur gerak pokok. Dan dilatihnya untuk dapat menguasai tubuhnya dengan baik. Dilatihnya untuk dapat mengenal, memerintah menurut kehendak setiap gumpal daging di dalam tubuhnya. Dilatihnya untuk dapat merasakan setiap titik darah yang mengalir di dalam nadinya dan dilatihnya untuk mengatur setiap tarikan nafas di dalam dadanya. Dan ternyatalah bahwa sejak lama Empu Purwa telah menyiapkannya untuk pada suatu saat akan mengalami masa-masa yang amat berat ini. Karena itu, maka betapapun beratnya, namun jasmaniah dan rohaniah Mahisa Agni telah masak untuk melakukannya.

Namun bukan masalah lahiriah yang paling berat harus diatasinya. Sebagai seorang manusia yang mendapatkan kekuatan-kekuatan dari sumbernya, maka setiap hasrat dan angan-angannya pun harus dikuasainya pula. Ditekuninya dirinya dalam setiap tindak tanduk dan perbuatan, ditekuninya pula setiap pikiran, perasaan dan angan-angan. Dipanjatkannya setiap hakikat dari gerak rohaniahnya, melambung tinggi mencapai inti dari hidup dan kehidupan. Terpisahnya dan terpadunya dunia yang besar di luar dirinya dengan dunia yang sempit di dalam dirinya. Sehingga terbenamlah Mahisa Agni dalam suatu perjuangan, untuk menemukan keserasian gerak timbal balik dalam hubungan antara dirinya dan sumbernya, antara dirinya dengan wadaknya dan wadak yang tergelar di sekitarnya.

Sebenarnya apa yang dilakukan Mahisa Agni sangat beratnya. Namun Mahisa Agni mampu untuk melakukannya. Menerima ilmu gurunya itu ternyata tidak semudah seperti dongeng-dongeng yang pernah didengarnya. Seorang murid menundukkan kepalanya, kemudian dengan meniup ubun-ubunannya maka menjalarlah ilmu itu lewat hembusan gurunya dan hadir di dalam diri murid itu. Ternyata yang dilakukan adalah jauh lebih berat daripada itu. Ia harus bekerja keras siang dan malam. Menirukan unsur-unsur gerak yang baru dan memahami sampai ke tujuan dan alasan-alasan gerak itu. Mempelajari segenap guratan-guratan di dalam tubuhnya, urat darah dan nadi, urat-urat daging dan segala macam unsur penggerak, unsur penguat dan unsur perangsangnya.

Dan ternyata pula apa yang pernah dimiliki, kekuatan-kekuatan di sisi-sisi telapak tangannya, hanyalah sekedar kekuatan lahiriah yang sangat kecil dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan kekuatan yang tersimpan dalam-dalam di dalam dirinya.

Demikianlah, maka di dalam hutan di kaki Gunung Semeru itu telah terjadi suatu peristiwa yang penting bagi perguruan Panawijen. Di balik dinding-dinding yang seakan-akan membatasi daerah itu, dengan pohon-pohonnya yang lebat, Mahisa Agni sedang berjuang untuk menampakkan dirinya pada keadaan yang memungkinkan baginya, untuk menerima ilmu gurunya.

Sehari dua hari, seminggu dua minggu dan lambat laun, terasalah beberapa perubahan di dalam diri Mahisa Agni itu. Setelah dengan penuh tekad ia berusaha di bawah tuntunan gurunya, maka akhirnya ditemukannya juga dasar-dasar yang dalam dari ilmu itu. Gundala Sasra.

Pada taraf terakhir dari masa penempaannya itu, Mahisa Agni benar-benar memeras segenap tenaga yang mungkin di dalam tubuhnya. Setelah segenap petunjuk, tuntunan dan latihan-latihan dengan gurunya dilakukan, maka akhirnya Mahisa Agni pun sampai pada taraf menunjukkan hasil perjuangannya. Hasil perjuangan yang memiliki nilai kembar yang saling bersangkut paut. Apa yang dicapainya adalah hasil hubungannya timbal balik dengan sumbernya. Cinta kasih yang memancar dari Sumbernya yang telah dapat dihayatinya, dan kemudian terpancarlah cinta kasih dari dalam dirinya, dalam kesetiaan dan pengabdiannya, maka Yang Maha Agung telah mengizinkannya, mengungkapkan semua kekuatan-kekuatan yang memang dianugerahkan dalam dirinya untuk melakukan hubungan timbal balik yang kedua dengan sesamanya. Hubungan cinta kasih antara sesama titah dalam pengamalan ilmunya.

Sehingga akhirnya sampailah saatnya kini Mahisa Agni diliputi oleh getaran-getaran yang terakhir dari penerapan ilmunya itu. Getaran-getaran yang seakan-akan menusuk-nusuk tubuhnya dari segenap arah. Seakan-akan dunia ini pun kemudian ikut bergetar pula dalam suatu gerak yang beraneka warna. Getaran-getaran yang kasar, yang halus, yang tajam dan dalam segala bentuk. Kemudian menyusullah getaran-getaran yang seakan-akan mengguncang-guncang tubuhnya. Seperti gempa yang melandanya bertubi-tubi. Namun Mahisa Agni sadar, bahwa ia harus menyelesaikan taraf yang terakhir ini. Karena itu dengan memejamkan matanya ia duduk bersila. Kedua tangannya bersilang dan telapak-telapak tangannya terletak di kedua pundaknya yang berlawanan. Dengan sepenuh tenaga lahir dan batin Mahisa Agni menghayati masa-masa terakhir itu.

Getaran-getaran itu pun semakin lama menjadi semakin terasa, dan bahkan kemudian, meskipun Agni telah memejamkan matanya, namun seolah-olah dilihatnya dunia ini dengan jelasnya. Semua warna yang ada, berputar-putar di dalam rongga matanya. Hijau, merah, hitam, kuning, ungu, biru dan segala macam warna. Namun itu sendiri tidak membawa arti apapun bagi Mahisa Agni. Yang kemudian dilihatnya adalah watak dari warna-warna seakan-akan wajah-wajah yang bengis, pucat, licik, suram dan segala macam. Namun akhirnya warna-warna itu berputaran dalam satu pusat. Bercampur baur menjadi satu. Segala macam warna dengan wataknya masing-masing. Semakin lama semakin cepat semakin cepat. Dan akhirnya luluhlah segala warna itu menjadi warna yang tunggal. Putih.

Warna putih itu pun berputar dengan cepatnya, Semakin lama menjadi semakin cepat. Dan seakan-akan dari pusat warna itu memancarlah cahaya yang terang semakin terang semakin terang. Akhirnya warna itu pun menjadi gemerlapan. Di dalam warna yang terang itulah Mahisa Agni seolah-olah melihat dirinya sendiri. Betapa lemahnya dirinya. Hanyut dalam pusaran warna yang putih dan gemerlap itu. Semakin cepat semakin cepat. Namun Agni yang berputar itu pun telah berusaha untuk menahan dirinya. Dengan segala usaha akhirnya gambaran dirinya yang berputar itu pun semakin dapat menguasai keadaannya. Sehingga akhirnya Agni itu pun kemudian berhasil tegak di atas kedua kakinya. Tegak dalam pancaran cahaya yang putih. Sehingga putaran cahaya yang putih itu pun menjadi semakin lambat, semakin lambat. Namun demikian cahaya itu berhenti, kembali tampak segala macam warna seolah-olah melanda warna yang putih itu. Namun cahaya yang memancar dari dalam diri Agni itu pun kemudian berhasil mengusirnya.

Kini dilihatnya bayangan dirinya itu membentangkan tangannya. Kemudian bersilang di muka dadanya sudut menyudut, kedua telapak tangannya terbuka dengan keempat jarinya merapat tegak. Dan dengan satu loncatan maju bayangan itu telah mengayunkan tangannya. Betapa dahsyat akibatnya. Seolah-olah angin Yang Maha Dahsyat melanda dirinya. Demikian dahsyatnya sehingga kepala Mahisa Agni itu serasa berputar dalam saat-saat yang terakhir itu, dunia telah menjadi gelap semakin gelap. Dan tubuh Mahisa Agni yang lemah itu pun kemudian terjatuh di tanah.

Gurunya, yang duduk di belakang Mahisa Agni, melihat perkembangan keadaan muridnya dengan tegang. Namun terasa olehnya, bahwa muridnya telah berhasil memusatkan segenap panca inderanya dalam satu karya. Bergabungnya segenap kekuatan, dan terungkitnya kekuatan-kekuatan itu, telah membebani muridnya dengan keadaan yang sangat berat. Demikian beratnya, sehingga akhirnya Mahisa Agni itu menjadi seolah-olah pingsan. Namun itu adalah pertanda, bahwa muridnya telah berhasil membuka hatinya dalam satu pemusatan pikiran yang akan dapat melandasi ilmu Gundala Sasra dalam pelaksanaannya.

BAGIAN II – Bunga Kembang Di Angin Kencang

Ketika Matahari menjenguk dari punggung cakrawala di timur, maka warna-warna yang kelam di dalam hutan di kaki Gunung Semeru itu pun menjadi cair pula karenanya.

Mahisa Agni perlahan-lahan menggeliat. Kemudian memandang berkeliling. Dilihatnya gurunya duduk menunggunya seperti seorang yang sedang bersemadi. Namun ketika dilihatnya Mahisa Agni terbangun maka orang tua itu pun kemudian tersenyum.

“Tidur yang nyenyak, Agni. Apakah kau bermimpi?”

Mahisa Agni pun tersenyum pula. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di muka gurunya. Diamat-amatinya tubuhnya seperti ada sesuatu yang tidak dikenalnya pada dirinya. Namun demikian, sebelum ia bertanya kepada gurunya, dicobanya untuk mengetahuinya sendiri, perubahan-perubahan apakah yang telah terjadi pada dirinya itu. Tubuhnya kini terasa betapa segar dan ringan. Darahnya yang hangat serta detak jantungnya, tarikan nafasnya dan simpul-simpul sarafnya seakan-akan menjadi semakin teratur dan dikenalnya dengan sempurna.

Ketika kemudian dikenangnya apa yang telah terjadi kemarin, maka segera disadarinya, bahwa pasti ada perubahan di dalam dirinya itu.

Empu Purwa itu melihat betapa muridnya menjadi heran atas keadaan diri. Karena itu maka katanya, “Agni, adakah sesuatu yang lain kau rasakan dalam dirimu?”

“Ya, Guru,” jawab Mahisa Agni.

Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dirabanya tubuh muridnya. Dipijatnya setiap simpul-simpul syaraf dan nadinya pada punggung dan tengkuk muridnya. Sebagai seorang yang telah mengenal setiap simpul-simpul tubuh manusia, maka segera Empu Purwa mengetahui, bahwa tubuh Mahisa Agni pun telah terbuka. Maka katanya, “Agni, apakah yang terjadi pada dirimu?”

Mahisa Agni mencoba mengingat semua peristiwa yang tampak olehnya dalam pemusatan pikiran, perasaan dan angan-angannya. Satu demi satu, sehingga akhirnya semuanya menjadi gelap.

“Mahisa Agni,” berkata gurunya, “peristiwa yang terjadi dalam dunia yang tak kasatmata itu, tidak sama bagi setiap orang yang menjalani pemusatan pikiran, perasaan dan angan-angan seperti yang kau lakukan. Semuanya itu tergantung atas tanggapannya terhadap dunia besar dari dunia kecilnya. Juga sikap yang kau lihat itu pun tergantung pada unsur-unsur gerak yang paling merangsang dalam dirimu. Namun, adalah satu persamaan, bahwa kau telah diizinkan oleh Yang Maha Agung, untuk menguasai cara-cara yang se-baik-baiknya untuk mengungkapkan setiap kekuatan di dalam tubuhmu.”

Terasa dada Mahisa Agni berdesir halus. Sekali lagi ia mengucap syukur di dalam hatinya atas karunia itu Dan karena itu maka betapa ia menjadi terharu. Dengan demikian, maka tak sepatah pun yang dapat diucapkannya, karena kerongkongannya tiba-tiba serasa tersumbat.

Apalagi ketika kemudian gurunya itu berkata kepadanya, “Agni. Berdirilah. Lihatlah ke sekelilingmu. Dan cobalah, apakah kau benar-benar mampu menyalurkan kekuatan-kekuatan di dalam tubuhmu.”

Dada Mahisa Agni kini menjadi berdebar-debar. Ditatapnya wajah gurunya seakan-akan minta penjelasan. Sehingga kemudian gurunya itu pun berkata, “Berdirilah. Bersikaplah menurut ungkapan indramu dalam unsur-unsur gerak yang paling merangsang dalam dirimu. Salurkanlah kekuatan di dalam tubuhmu ke bagian-bagian tubuh yang kau kehendaki. Niscaya kau akan berhasil.”

Perlahan-lahan Mahisa Agni itu pun berdiri. Meskipun dengan agak ragu-ragu, namun ia melangkah pula agak menjauh. Dipandangnya keadaan di sekelilingnya. Yang ada hanyalah pokok-pokok kayu dan gumpalan-gumpalan batu padas yang berbongkah-bongkah.

“Mulailah Agni,” berkata gurunya.

Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Akan aku coba, Guru.”

Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri tegak. Dipusatkannya segenap kekuatan batinnya, diaturnya jalan pernafasannya seperti yang telah dipelajarinya. Ketika terasa di dalam dadanya getaran-getaran yang bergerak-gerak, maka dicobanya untuk mengaturnya dan menyalurkannya ke telapak tangannya.

Tiba-tiba seakan-akan digerakkan oleh tenaga yang tak dikenalnya, Mahisa Agni itu pun mengangkat kedua tangannya, kemudian disilangkannya kedua tangannya itu di muka dadanya, sedang keempat jari-jarinya tegak merapat. Satu kakinya pun kemudian terangkat ke depan. Dan ketika getaran yang mengalir dari pusat dadanya dan dari bagian-bagian tubuhnya yang lain seakan-akan telah mengendap di telapak tangannya, maka Mahisa Agni itu pun meloncat maju. Dengan telapak tangannya ia memukul sebongkah batu padas yang telah menjadi kehitam-hitaman. Betapa dahsyat tenaganya. Batu itu pun seolah-olah meledak dan pecah berserakan.


Mahisa Agni sendiri terkejut melihat akibat dari pukulannya. Namun ketika ia berpaling kepada gurunya, dilihatnya gurunya tersenyum.

“Bagus Agni,” berkata gurunya, “sekarang lepaskanlah kekuatan-kekuatan itu dan salurkan kembali ke tempatnya.”

Mahisa Agni menarik nafas. Diangkatnya kedua tangannya merentang. Dan terasa otot-ototnya seakan-akan mengendur kembali.

“Kau harus melatihnya setiap kali Agni,” berkata gurunya, “namun ingatlah bahwa ilmu itu, yang kau sebut untuk seterusnya aji Gundala Sasra, bukan seperti permainan kanak-kanak yang dapat kau pamerkan setiap saat. Tekunilah dan dalamilah. Namun aku akan bergembira kalau kau tidak perlu mempergunakannya.”

Gurunya itu berhenti sesaat, kemudian katanya pula, “Agni, kelak apabila ilmu itu telah mapan di dalam tubuhmu, maka kau tidak akan memerlukan waktu lagi untuk melepaskannya. Sesaat saja, setiap kau kehendaki. Namun mudah-mudahan itu tidak akan terjadi.”

Mahisa Agni itu pun perlahan-lahan duduk kembali. Betapa dadanya seakan-akan bergolak. Berbagai perasaan merayap-rayap tak menentu. Bangga, gembira namun disadarinya pula tanggung jawabnya atas ilmunya itu. Dan wajah Mahisa Agni pun tertunduk karenanya.

Namun pekerjaannya yang berat kini telah lampau. Masa pengasingan di hutan yang sepi itu pun telah lampau pula. Karena itu, maka akan datang masa berikutnya, kembali ke Panawijen dalam pergaulan antar manusia untuk mendapatkan kesempatan mengamalkan ilmunya dengan wajar dan bertanggung jawab.....

Matahari yang merayap di kaki langit itu semakin lama menjadi semakin tinggi pula. Empu Purwa yang masih saja duduk di atas batu padas itu pun kemudian berdiri. Diamatinya beberapa coretan pisau di sebatang pokok kayu. Dihitungnya setiap goresan dan kemudian katanya, “Empat puluh dua. Ya, kau telah tinggal di dalam hutan ini selama empat puluh dua hari Agni, selain hari-hari yang pernah kau tempuh untuk sampai ke tempat ini. Hari ini adalah hari yang keempat puluh tiga.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Telah cukup lama ia meninggalkan padepokan Panawijen. Meninggalkan sahabatnya Wiraprana. Ibunya dan gadis momongan ibunya, Ken Dedes. Dan tiba-tiba tumbuhlah perasaan rindu kepada padukuhannya itu. Meskipun demikian, Mahisa Agni menunggu apa yang akan dikatakan oleh gurunya. Ia mengharap bahwa gurunya itu akan membawanya pulang ke padepokan.

Ternyata gurunya itu pun kemudian berkata, “Mahisa Agni. Kita telah terlalu lama meninggalkan padepokan. Karena itu, apabila telah memungkinkan, pulanglah kau ke Panawijen. Padepokan itu telah hampir tiga bulan kesepian.”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Guru. Aku sebenarnya memang telah rindu pada padukuhan itu. Tetapi bukankah kita akan kembali bersama-sama?”

Empu Purwa menggeleng lemah. Katanya, “Berjalanlah dahulu Agni. Aku masih akan singgah beberapa hari di tempat sahabat-sahabatku yang telah lama tak pernah aku kunjungi. Mumpung aku sampai di tempat ini pula. Namun tak ada soal yang penting. Aku hanya akan sekedar mengunjunginya. Bukankah kau berani berjalan sendiri?”

Mahisa Agni tersenyum mendengar pertanyaan gurunya. Empu Purwa itu tersenyum pula.

Hari itu adalah hari terakhir. Mahisa Agni seolah-olah berada di dalam pengasingan. Bersama gurunya mereka berdua pergi meninggalkan tempat itu. Tempat yang tak akan terlupakan bagi Mahisa Agni. Tempat ia menerima anugerah yang tak ternilai harganya bagi masa depannya.

Tetapi mereka berdua tidak seterusnya berjalan bersama-sama. Gurunya itu pun kemudian memisahkan diri. Ia masih ingin mengunjungi sahabat-sahabatnya yang telah lama tidak pernah ditemuinya.

Kini kembali Mahisa Agni berjalan seorang diri. Ditempuhnya jalan yang hampir dua bulan yang lalu dilewatinya. Menyusur tepi rawa-rawa ke arah timur.

Dan Mahisa Agni itu pun tidak takut lagi bertemu dengan orang timpang yang menamakan dirinya Empu Pedek. Menggelikan sekali. Betapa ia tidak mengenal orang yang timpang itu.

Ia bergaul dengan gurunya hampir setiap saat. Namun dengan berjalan seakan-akan timpang ia telah menjadi pangling.

Kini Mahisa Agni dapat berjalan jauh lebih cepat daripada saat ia datang. Jalan-jalan yang dilampauinya seakan-akan telah dikenalnya baik-baik, sehingga ia tidak perlu lagi bertanya-tanya kepada diri dan memilih-milih supaya tidak tersesat. Karena itu, maka waktu yang diperlukannya pun jauh lebih pendek dari waktu yang dipergunakannya dahulu.

Maka karena itu pula, Mahisa Agni sebelum senja telah sampai ke padukuhan kecil yang dahulu dilewatinya pula. Padukuhan yang oleh penduduknya disebut padukuhan Kajar. Tetapi ketika Mahisa Agni sampai di ujung padukuhan, ia menjadi heran. Matahari masih tampak di langit, walaupun sudah amat rendahnya, seakan-akan hinggap di punggung gunung. Namun padukuhan itu tampaknya sudah terlalu sepi. Tak seorang pun yang dapat ditemui oleh Mahisa Agni sebagaimana ia melihatnya dahulu. Penduduk padukuhan kecil yang rajin itu kini seakan-akan telah lenyap ditelan hantu. Rumah-rumah yang kecil di padukuhan itu pun tampaknya tertutup rapat, seakan-akan menolak kedatangannya.

Tetapi karena itu justru sangat menarik perhatian Mahisa Agni. Dalam waktu hampir dua bulan ia tidak melihat perubahan apapun di padukuhan kecil itu, namun perubahan suasananya terasa sekali.

Mahisa Agni masih saja berjalan menyusuri jalan berbatu-batu di tengah-tengah padukuhan itu. Ia menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya sebuah pondok kecil di tepi jalan itu. Di dekat pondok itu dahulu ia bertanya kepada seorang tua yarg ramah. Seorang tua yang berjanggut putih dan berambut putih.

“Apakah rumah itu rumah orang tua yang baik itu?” berpikir Mahisa Agni.

Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya di dalam hati, “Ah, aku sama sekali tak bermaksud jelek. Bukankah orang tua itu dahulu mengajak aku singgah ke rumahnya?”

Maka kemudian dengan ragu-ragu Mahisa Agni memasuki regol halaman itu dan perlahan-lahan berjalan melintasi beberapa pokok pohon samboja dan tempat-tempat sesaji, langsung menuju ke pintu rumah. Perlahan-lahan pula Mahisa Agni mengetuk pintu rumah itu. Sekali, dua kali bahkan sampai tiga kali, suara ketukannya tidak mendapat sambutan. Namun telinga Mahisa Agni yang tajam mendengar langkah orang di dalam rumah itu. Gemeresik dinding pintu dan nafas orang di balik pintu itu.

“Ah, seseorang telah mengintip dari balik pintu,” katanya di dalam hati. Karena itu ia tidak mengetuk lagi. Ia menunggu, apakah kehadirannya akan diterima, atau tidak.

Sesaat kemudian ternyata pintu itu terbuka. Benarlah dugaannya, rumah itu adalah rumah orang tua yang dahulu pernah memberinya beberapa keterangan. Namun ia menjadi heran ketika dengan tergesa-gesa orang itu bertanya, “Ngger, siapakah Angger ini?”

“Aku Mahisa Agni, Bapak. Hampir dua bulan yang lalu aku pernah lewat di padukuhan ini. Bukankah Bapak pernah memberi aku beberapa petunjuk untuk mencapai rawa-rawa di sebelah selatan?”

Orang tua itu mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya, “Oh, ya. Aku ingat sekarang. Angger datang dari Gunung Kawi?”

Mahisa mengangguk sambil menjawab, “Ya, Bapak.”

“Marilah, marilah masuk,” ajak orang itu. Dan sebelum Mahisa Agni menjawab, dengan serta-merta orang tua itu menarik lengan Mahisa Agni. Mahisa Agni tidak menolak. Dan demikian ia melangkah pintu, demikian orang tua itu dengan tergesa-gesa menutup pintunya kembali.

Mahisa Agni pun menjadi semakin heran. Seolah-olah di luar rumah itu sedang berkeliaran hantu-hantu, sehingga orang tua itu menjadi ketakutan.

Dengan nafas yang terengah-engah seperti orang baru saja berlomba lari orang itu mempersilakan Mahisa Agni duduk di atas selembar tikar anyaman, “Silakan Ngger, silakan duduk.”

Mahisa Agni itu pun duduk pula. Diletakkannya tongkat kayu serta bungkusannya. Dan dengan sebuah anggukan Mahisa Agni menjawab, “Terima kasih, Bapak.”

“Ah,” desah orang tua itu, “hampir aku melupakan Angger. Bukankah Angger pernah lewat di jalan di muka rumah ini? Ah, Angger ternyata sekarang menjadi kurus. Jauh lebih kurus dari saat Angger lewat dahulu.”

Tanpa sesadarnya Mahisa Agni mengamat-amati tangannya. Memang ia menjadi bertambah kurus. Meskipun demikian ia menjawab, “Tidak Bapak. Aku tidak menjadi kurus.”

Orang itu tertawa. Tetapi tampaklah kegelisahan membayang di wajahnya. Namun demikian Mahisa Agni masih belum menanyakan sesuatu kepadanya.

Orang tua itu pun kemudian pergi sesaat ke belakang. Ketika ia kembali dibawanya dua bumbung legen. Diserahkannya, “Marilah Ngger, barangkali Angger haus.”

Mahisa Agni menerima bumbung itu. Alangkah segarnya setelah hampir tiga bulan tak pernah dihirupnya minuman, selain air. Air dingin. Kini legen yang manis.

Namun kegelisahan orang tua itu ternyata mempengaruhi perasaan Mahisa Agni. Ia pun menjadi gelisah pula. Apakah kehadirannya itu tidak berkenan di hati orang tua itu. Atau ada sesuatu yang lain. Karena, itu, akhirnya Mahisa Agni tidak dapat menahan diri lagi, sehingga kemudian katanya, “Bapak, alangkah sepi padukuhan ini. Masih jauh menjelang senja, rumah-rumah sudah tertutup rapat. Di jalan padukuhan ini, aku sudah tidak menjumpai seorang pun yang berjalan. Jangan berjalan, di halaman pun tak aku lihat seseorang.”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian setelah berdiam diri beberapa saat ia menjawab, “Untunglah Angger tak bertemu seseorang?”

Mahisa Agni menjadi semakin heran. Karena itu ia menyahut, “Kenapa?”

Orang itu dengan gelisahnya memandangi pintu rumahnya. Setelah sesaat ia berdiam diri, maka jawabnya perlahan-lahan sekali seakan-akan ia sedang mengucapkan sebuah rahasia yang tak boleh didengar oleh orang lain, katanya, “Padukuhan ini sebenarnya tidak sesepi sekarang ini, Ngger.”

Mahisa Agni mengangguk. Memang pada saat ia lewat dahulu, dilihatnya penduduknya yang rajin dan ramah. Rumah-rumah terbuka lebar dan anak-anak bermain-main di halaman. Maka didengarnya orang tua itu berkata selanjutnya, “Namun saat ini padukuhan yang kecil ini sedang mengalami ketakutan.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia sudah menyangka bahwa sesuatu yang tidak wajar pasti sudah terjadi. Maka Mahisa Agni itu pun kemudian bertanya, “Apakah yang mencemaskan penduduk padukuhan ini?”

“Terkutuklah anak itu!” desis orang tua itu. Tetapi dengan cemasnya ia berkali-kali menatap daun pintu leregnya. Katanya selanjutnya, “bersedihlah ibunya yang telah melahirkannya dan menyesallah padukuhan ini, yang telah memberinya kesempatan untuk dibesarkan. Karena akhirnya, terkutuklah anak itu.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni mendesak.

“Anak itu sebenarnya bukan anak yang jahat,” sahut orang tua itu, “ia adalah salah satu dari anak-anak keluarga padukuhan ini. Seperti anak-anak yang lain, ia adalah anak yang rajin dan bekerja dengan tekun membantu orang tuanya. Tetapi ketika ia menginjak umur sebelas dua belas tahun, anak itu dibawa oleh pamannya ke rantau. Ternyata di sana bertemulah anak itu dengan seorang guru. Terkutuk pulalah guru itu. Itulah sebabnya maka anak itu menjadi jahat. Diajarinya oleh gurunya ilmu-ilmu yang kasar. Berkelahi dan bertempur. Oh, alangkah jahatnya ilmu itu. Kenapa seseorang mesti belajar berbuat hal-hal semacam itu. Kenapa seseorang mesti melatih diri untuk berbuat kekasaran antara sesama.”

“Aku benar-benar tidak mengerti. Dan beberapa orang ternyata telah melakukannya. Di antaranya anak itu. Dan ia kemudian menjadi sakti pula karenanya. Dan kesaktiannya itulah yang menjadikan anak itu seperti anak yang gila.”

Mahisa Agni mendengar kata demi kata itu dengan wajah yang tunduk. Inilah salah satu contoh dari seorang anak muda yang lepas kendali. Anak muda yang memiliki kesaktian, namun kesaktiannya itu akhirnya telah menakut-nakuti orang di sekitarnya. Tiba-tiba ia merasa bahwa ia telah dihadapkan pada satu cermin di mana ia dapat melihat dirinya sendiri.

Dalam pada itu orang itu berkata seterusnya, “Siang malam aku berdoa mudah-mudahan dilenyapkanlah ilmu-ilmu semacam itu dari dunia ini, sehingga kami, orang-orang lemah ini akan dapat menikmati hidup kami dengan tenteram.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia sadar bahwa kata-kata itu sama sekali tidak ditunjukkannya kepadanya, namun ia merasa perlu juga untuk menjawab. Katanya, “Bapak. Yang salah menurut hematku bukan ilmunya. Tetapi karena ilmu itu dimiliki oleh seseorang, maka segala sesuatu tergantung sekali kepada orang itu. Ia dapat memanfaatkan ilmunya untuk tujuan-tujuan yang sebaliknya. Mempergunakan ilmunya untuk tujuan-tujuan yang baik.”

“Apakah tujuan yang baik itu? Dapatkah tujuan yang baik itu dilandasi oleh kekerasan dan kekasaran semacam itu?”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia sempat menjawab, ia pun menjadi terkejut. Seorang perempuan yang telah melampaui umur setengah abad, berlari terjingkat-jingkat dari ruang dalam. Kemudian dengan cemasnya ia berbisik, “Kiai, o Kiai, jangan sekali-kali menyebut-nyebut tentang anak itu. Lihatlah, ia lewat di jalan di muka rumah kita. Aku telah mengintipnya dari dapur.”

Orang tua itu pun tiba-tiba menjadi pucat. Dengan gemetar ia merangkak ke dinding rumahnya. Setelah ditemukannya sebuah lubang di antara anyaman dindingnya, maka ia pun mengintip pula.

“Oh, apakah ia anak hantu?” desisnya.

“Jangan Kiai,” potong perempuan tua, yang ternyata adalah istrinya, “ia tahu apa yang diucapkan oleh setiap orang tentang dirinya.”

Orang itu masih mengintip dari lubang dinding. Dan tiba-tiba Mahisa Agni pun ingin mengintip pula. Ia ingin melihat orang yang telah menakut-nakuti seluruh padukuhan ini. Karena itu pun segera Mahisa Agni mencari lubang pula di antara anyaman.

Dan sebenarnyalah, dilihatnya seorang laki-laki lewat di jalan di muka rumah itu. Meskipun tidak begitu jelas, namun Mahisa Agni dapat melihatnya, seorang anak muda yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Namun ia tidak dapat mengenal wajah anak muda itu dengan cermat.

“Oh, ampun,” tiba-tiba orang tua itu berdesis. Mereka melihat orang yang mereka takuti itu berhenti di depan regol halaman. Sesaat diamat-amatinya regol itu, kemudian dilontarkannya pandangan matanya yang tajam itu ke pintu rumah. Mahisa Agni yang ikut serta mengintip itu pun ikut berdebar-debar pula. Didengarnya dengan jelas, nafas orang tua itu tersengal-sengal, bahkan perempuan tua di belakangnya itu pun telah menjadi semakin pucat.

Tetapi orang tua itu kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak muda yang mereka takuti itu tidak masuk ke halaman. Setelah ia berhenti dengan ragu-ragu, maka kemudian anak muda itu meneruskan langkahnya menyusuri jalan-jalan padukuhan tempat kelahirannya.

“Oh,” desis orang tua itu pula, “diselamatkannya kita oleh dewa-dewa.”

Meskipun demikian, seakan-akan ia masih belum percaya pada penglihatannya, sehingga untuk beberapa lama masih saja ia berjongkok mengintip. Baru setelah ia yakin, bahwa orang yang mereka takuti itu telah pergi, maka beringsutlah orang tua itu dari tempatnya, kembali duduk di atas tikar anyaman sambil mempersilakan Mahisa Agni, “Duduklah, Ngger.”

Mahisa Agni pun kemudian duduk kembali di tempatnya. Dilihatnya laki-laki tua itu masih gelisah dan cemas. Namun ia mencoba tersenyum. Katanya, “Sudahlah Nyai, pergilah ke dapur. Anak itu telah pergi.”

Perempuan itu menyahut, “Jangan membicarakannya. Ia akan mendengarnya. Dan ia akan datang kemari.”

Laki-laki itu tidak menjawab. Dipandanginya istrinya sampai di balik dinding. Kemudian setelah istrinya itu tidak kelihatan lagi, maka katanya, “Semua orang menjadi sedemikian ketakutan sampai orang tidak berani menyebut namanya. Ternyata istriku juga dan aku agaknya akan menjadi takut pula.”

“Siapakah namanya,” tiba-tiba saja Mahisa Agni melontarkan pertanyaan itu.

Orang tua itu terkejut mendengar pertanyaan Mahisa Agni. Jawabnya, “Jangan bertanya namanya Angger.”

Mahisa Agni tersenyum. Dan orang itu menjadi heran melihat senyum itu. Katanya, “Aku tidak sedang berolok-olok, Ngger. Aku berkata sebenarnya.”

“Bapak tadi telah mengutuknya. Kalau ia mengetahui setiap orang yang memerkarakan dirinya, kenapa ia tidak singgah kemari dan mempersoalkannya?”

Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Mungkin Angger benar.”

“Aku pasti Bapak,” sahut Mahisa Agni, “ia tidak akan mendengar.”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir saja ia menyebut nama itu, namun diurungkannya ketika ia melihat istrinya datang untuk menyalakan, lampu minyak yang melekat di dinding. Namun kemudian dengan selembar daun, nyala lampu itu pun ditutupnya supaya tidak tampak terlalu terang dari luar.

Baru ketika perempuan itu telah pergi, berkatalah orang tua itu, “Aku mengenalnya pada masa kanak-kanaknya dengan nama Pasik. Tetapi kemudian nama itu diubahnya. Ketika ia datang untuk pertama kalinya mengunjungi padukuhan ini sesudah berguru, maka namanya berganti menjadi Waraha. Aku tidak tahu, mana yang lebih baik namun Waraha benar-benar mempunyai kesan yang menakutkan.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kesan nama itu benar-benar menakutkan. Dan bukanlah tanpa maksud bagi Pasik untuk mengubah namanya. Perubahan nama itu telah menunjukkan, nafsu yang tersembunyi pada anak itu. Nafsu untuk menang dan nafsu untuk menguasai. Maka bertanyalah Mahisa Agni kemudian, “Apakah yang kemudian dilakukan di tempat kelahirannya ini, sehingga semua orang menjadi takut kepadanya?”

“Oh, benar-benar terkutuk anak itu!” jawab laki-laki tua itu, “Setiap kali ia kehabisan uang, harta dan benda, selalu ia datang ke rumahnya. Mula-mula ayahnyalah yang diperas habis-habisan. Namun setelah ayahnya tidak memiliki apapun lagi, maka menjalarlah kepada tetangga-tetangganya. Apa saja yang diinginnya, diambilnya tanpa menghiraukan orang yang memilikinya. Perhiasan dan kekayaan-kekayaan lain yang kami kumpulkan sedikit-sedikit dengan kerja keras. Bahkan kemudian apabila diinginnya, sampai juga akhirnya pada anak-anak gadis dan perempuan-perempuan yang telah bersuami sekali pun.”

Mahisa Agni benar-benar tertarik pada cerita itu. Karena itu maka katanya pula, “Tidak adakah seorang pun yang dapat mencegah perbuatan itu?”

“Oh Ngger, Ngger. Ia adalah seorang yang sakti. Dan ia tidak selalu datang sendiri. Pernah ia datang bertiga dengan saudara-saudara seperguruannya. Dan bahkan kali ini ia datang bersama-sama dengan gurunya.”

Orang tua itu berhenti sesaat. Sekali lagi ia menatap pintu rumahnya, kemudian katanya melanjutkan perlahan-lahan sekali, “Ayahnya sendiri hampir saja dibunuhnya, ketika ayahnya itu mengutuknya. Kata ayahnya itu, kalau Pasik itu mati saja, maka ayahnya akan menyembelih tiga ekor kambing sebagai ucapan terima kasihnya. Tetapi ayahnya itu dipukulnya sambil berteriak, ‘Biarlah kau mati dahulu tua bangka’. Dan ibunya pun pernah juga dicekiknya hampir mati.”

Orang tua itu berhenti sejenak. Sekali-kali ia berpaling ke arah pintu dengan cemasnya. Kemudian katanya, “Ah. Sudahlah. Marilah kita berbicara tentang hal-hal yang lain, yang dapat menggembirakan hati kita.”

“Baiklah, Bapak,” jawab Mahisa Agni, “namun aku masih ingin bertanya sedikit tentang anak muda itu. Apakah Pasik itu juga mengenal Bapak dengan baik?”

“Oh tentu, tentu,” jawab orang tua itu, “ia mengenal aku seperti mengenal bapaknya sendiri pada masa kanak-kanaknya. Ia adalah kawan bermain anak gadisku. Dan ibumu di sini pun senang juga kepada anak itu dahulu. Apabila ia bermain-main kemari, diberinya anak itu makanan dan dibuatkannya permainan-permainan yang mengasihkan.”

“Sudah barang tentu sekarang tidak bukan bapak?” sela Mahisa Agni.

“Terkutuklah anak itu!” umpat orang tua itu perlahan-lahan sekali, “Ibunya, ya ibunya sendiri pernah dicekiknya hampir mati. Tetapi baik ayahnya maupun ibunya itu masih juga hidup sampai sekarang.”

“Apakah yang sudah dilakukannya sejak ia pulang kali terakhir ini, Bapak?” bertanya Mahisa Agni.

Orang tua itu menggeleng. “Belum ada,” jawabnya, “dan karena kami selalu berdebar-debar. Ketika ia pulang yang terakhir sebelum kali ini, diambilnya gadis anak tetangga sebelah untuk seorang saudara seperguruannya. Ketika orang tuanya mencoba untuk mencegahnya, maka orang itu diancamnya. Dan akhirnya tak seorang pun yang mampu untuk mengurungkan niat itu.”

Cerita itu pun terhenti pula ketika perempuan tua, istri laki-laki itu, masuk kembali sambil berbisik, “Sudahlah, Kiai. Sudahlah. Jangan sebut-sebut lagi anak muda itu. Akan celakalah nasib kita karenanya.”

Laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya. Katanya, “Baik, baiklah, Nyai. Aku memang sudah akan berhenti bercerita, namun Angger Agni ini masih bertanya pula.”

Perempuan tua itu memandang wajah Mahisa Agni. Dari matanya memancar suatu permintaan, seakan-akan berkata, “Sudahlah Ngger, jangan bertanya tentang anak itu lagi.”

Mahisa Agni pun memaklumi permintaan itu. Dan ia pun menjadi iba juga kepada perempuan yang ketakutan itu. Karena itu maka ia tidak bertanya-tanya lagi. Dan laki-laki tua itu pun tidak bercerita lagi tentang anak muda yang menakutkan itu.

Kini laki-laki itu mulai bercerita tentang anak perempuannya. Anak yang diperistri oleh tetangga sebelah. Oleh kakak dari gadis yang dilarikan Pasik.

“Mudah-mudahan anak itu menjadi bahagia,” desahnya, “dan mudah-mudahan anak itu tidak diganggu oleh anak muda yang durhaka itu, atau oleh saudara-saudara seperguruannya.”

“Sst!” desis istrinya, “Kiai sudah akan mulai lagi?”

“Oh, tidak, tidak,” sahutnya cepat-cepat.

Dan sesaat orang itu berdiam diri. Istrinya pun tidak berkata-kata pula. Dengan demikian maka ruang itu menjadi sepi.

Namun betapa terkejutnya mereka itu bertiga, lebih-lebih lagi laki-laki tua beserta istrinya, ketika tiba-tiba didengarnya di muka pintu rumahnya suara tertawa perlahan-lahan, namun terasa getarannya memukul-mukul dada. Suara tertawa itu seolah-olah menyusup ke dalam rumah kecil itu dan melingkar-lingkar bergelombang.

“Mati aku!” desis laki-laki tua itu.

Sedang istrinya tiba-tiba saja menjadi gemetar seperti orang kedinginan. Terbata-bata ia berkata,” Oh Kiai, Kiai, kau telah membunuh diri dan membunuh seluruh keluarga kita. Aku sudah bilang, jangan kau memperkatakannya.”

Laki-laki itu pun menjadi gemetar. Mulutnya seakan-akan tersumbat.

Ketika didengarnya pintu rumah itu diketuk perlahan-lahan, perempuan tua itu dengan lemahnya terduduk d ilantai sambil gemetar.

“Selamat sore Kiai,” terdengar sapa halus di belakang pintu rumah itu. Namun suami istri itu benar-benar seperti orang yang kehilangan tenaga.

“Kiai,” sekali lagi terdengar suara di belakang pintu, “bukalah!”

Laki-laki tua itu masih terduduk di tempatnya. Mulutnya bergerak-gerak tetapi suaranya tak terdengar.

“Bukalah, Kiai!” suara di luar menjadi semakin keras. Dan orang tua itu pun terkejut. Jawabnya terbata-bata,” Ya, ya Ngger. Ya. Ya aku buka.”

Namun ia masih belum bergerak juga.

Tiba-tiba terdengarlah pintu rumah itu berderak. Dan sebelum orang tua itu membuka pintunya, maka pintu rumah itu pun telah terbuka. Ternyata orang yang berdiri di luar rumah itu sama sekali tidak sabar lagi menunggu laki-laki itu membuka pintunya,

Mahisa Agni pun menggeser duduknya pula menghadap pintu. Karena itu dilihatnya dalam cahaya lampu yang remang-remang seorang anak muda yang gagah masuk ke dalam rumah itu.

“Selamat sore, Kiai,” sapanya sambil membungkukkan kepalanya.

Suami istri itu benar-benar telah menjadi gemetar. Meskipun demikian laki-laki itu menjawab dengan kata-kata yang parau dan bergetar, “Selamat malam Ngger, selamat sore.”

Anak muda itu tersenyum. Diraihnya selembar daun yang menutup cahaya lampu minyak di dinding. Karena itu maka ruangan itu pun menjadi semakin terang.

Kini Mahisa Agni dapat melihat anak muda itu dengan jelas. Dilihatnya setiap garis di wajahnya. Wajah yang keras, namun tidak sedemikian bengis seperti yang disangkanya. Bahkan anak itu kelihatan tampan pula. Dengan tersenyum ia maju beberapa langkah dan kemudian ikut duduk pula di antara mereka.

Kemudian anak muda yang mengubah namanya sendiri menjadi Waraha itu tersenyum. Katanya, “Ah, sudah lama aku tidak berkunjung kemari Kiai.”

Orang tua itu menjadi semakin gemetar. Namun ia menjawab pula, “Ya, ya Ngger.”

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Tetapi Kiai dan Nyai ternyata awet muda.”

Laki-laki tua itu pun mencoba untuk tertawa. Namun tampaklah betapa masamnya. Dan wajah-wajah yang pucat itu menjadi semakin pucat ketika anak muda itu berkata, “Ah. Ternyata Kiai dan Nyai selama ini tidak pernah melupakan aku. Setiap pembicaraan Kiai selalu masih menyebut-nyebut namaku.”

Kata-kata itu seolah-olah ledakan petir di atas rumah yang kecil itu. Laki-laki tua dan istrinya menjadi semakin menggigil karenanya, sehingga mereka tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun lagi.

Anak muda itu kemudian memandang berkeliling ruangan itu. Ketika matanya hinggap di wajah Mahisa Agni, maka anak muda itu tersenyum. Dengan ramah ia bertanya kepada laki-laki tua itu, “Kiai, siapakah tamu Kiai ini?”

Laki-laki itu terkejut. Sesat ia menjadi bingung, namun kemudian ia menjawab, “Mahisa Agni Ngger, namanya Mahisa Agni.”

Pasik yang menamakan diri Waraha itu mengangkat alisnya. Katanya, “Nama yang baik. Mahisa Agni.”

Kemudian kepada Mahisa Agni ia bertanya, “Ki Sanak. Dari manakah Ki Sanak datang?”

Mahisa Agni menjadi heran. Anak muda ini tampaknya cukup sopan. Karena itu ia menjawab dengan sopan pula.

“Aku datang dari Gunung Kawi, Ki Sanak.”

Waraha mengernyitkan alisnya. Kemudian katanya, “Jauh sekali. Apakah keperluan Ki Sanak?”

“Aku adalah seorang perantau,” sahut Mahisa Agni.

Anak muda itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ditatapnya bungkusan Mahisa Agni di samping tongkat kayunya. Katanya pula, “Ya. aku percaya kalau Ki Sanak seorang perantau. Apakah yang Ki sanak simpan di dalam bungkusan itu?”

“Oh,” desah Agni, “bukan apa-apa. Hanya sekedar kain usang.”

Laki-laki muda yang gagah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan sopan pula ia berkata, “Apakah aku boleh melihatnya?”

Mahisa Agni menjadi terkejut dan heran. Anak muda itu mengucapkan kata-katanya dengan sopan, namun apa yang akan dilakukan benar-benar bukan suatu pekerjaan yang sopan. Kini tahulah Mahisa Agni, bahwa anak muda itu melakukan perbuatan-perbuatan yang menakutkan penduduk Kajar dengan tingkah laku yang sopan dibuat-buat. Karena itu Mahisa Agni menjawab, “Tak ada apa-apa di dalamnya, Ki Sanak.”

Waraha tersenyum. Ia tidak berbicara lagi. Beberapa langkah ia berjalan sambil berjongkok, dan dengan sopannya ia berkata kepada laki-laki tua itu, “Maafkan aku Kiai.”

Dan sebelum Mahisa Agni dapat mencegahnya, Waraha telah meraih bungkusannya.

Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas. Namun ia harus memperhatikan setiap perbuatan Pasik. Karena itu, Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser beberapa cengkang, mendekati Pasik yang asyik membuka bungkusannya itu.

Anak muda itu terkejut ketika di dalam bungkusan itu dilihatnya sebilah keris.

“Ah,” katanya, “keris yang bagus.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Keris itu adalah keris pusaka peninggalan ayahnya dan dibuat oleh pamannya. Meskipun demikian masih dibiarkannya Pasik mengamat-amati keris itu.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Pasik itu bergumam, “Keris yang bagus. Bagus sekali. Dari manakah kau dapat keris ini Ki Sanak?”

Mahisa Agni mengangkat keningnya jawabnya, “Aku menerimanya dari Ayah, Ki Sanak.”

“Apakah kau seorang yang ahli mempergunakan senjata, khususnya keris?”

Mahisa Agni cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Keris pusaka. Aku bawa ke mana saja aku pergi. Mudah-mudahan keris itu dapat memberi aku keselamatan.”

Waraha itu tiba-tiba tertawa. Katanya, “Ah kau aneh Ki Sanak. Apakah kerismu ini juga dapat memberimu keselamatan? Kau agaknya kurang dapat memahami kata-kata itu. Keris ini akan dapat memberi keselamatan apabila kau mampu mempergunakannya. Apakah kau mampu bertempur dengan keris?”

Mahisa Agni menggeleng pula. Jawabnya, “Mudah-mudahan keris itu bermanfaat bagiku.”

Pasik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata menyentak, “Hai perantau. Apakah kau seorang petualang yang sakti?”

Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba ia melihat Waraha menarik kerisnya dari wrangkanya. Ujung keris itu tiba-tiba telah terayun ke dadanya.

Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser surut. Ia tidak mau membuat perselisihan sejauh mungkin. Karena itu ia menjawab, “Jangan Ki Sanak, jangan.”

Namun Waraha itu pun beringsut maju pula. Kerisnya masih terarah ke dada Mahisa Agni. Sambil membentak sekali lagi ia berkata, “Ayo, lawanlah!”


Mahisa Agni pun bergeser pula mundur. Katanya, “Jangan Ki Sanak. Jangan.”

Tiba-tiba Waraha itu tertawa. Tertawa sepuas-puasnya. Katanya, “Hem. Sebaiknya kau tidak usah membawa senjata. Senjata ini akan berbahaya bagimu sendiri seandainya kau tidak mampu mempergunakannya.”

Mahisa Agni itu pun menjadi heran. Apakah maksud Waraha dengan kata-katanya. Tetapi ia tidak boleh lengah. Ketika ia berpaling ke arah sepasang orang-orang tua itu, maka Mahisa Agni menjadi iba. Keduanya telah menggigil seperti orang kedinginan. Demikian takutnya sehingga perempuan tua itu berpegangan suaminya erat-erat.

Waraha itu pun kemudian menyarungkan keris itu ke dalam wrangkanya. Kemudian dengan rapi keris itu dikembalikan ke dalam bungkusannya pula. Dan kini kembali wajah Pasik itu menjadi jernih. Dengan sopan ia berkata, “Ki Sanak. Ternyata keris itu sedemikian bagusnya. Aku belum pernah melihat keris sebagus itu. Apakah Ki Sanak benar-benar memerlukannya?”

“Tentu, tentu,” sahut Mahisa Agni cepat-cepat, “keris itu adalah pusaka peninggalan ayahku. Dan keris itu akan dapat memberi aku ketenangan.”

Waraha itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipandangnya wajah Mahisa Agni yang tunduk. Ketika Waraha itu berpaling ke arah laki-laki tua dan istrinya, ia tertawa. Katanya, “Maafkan aku Kiai dan Nyai. Aku tidak ingin menakut-nakuti kalian. Aku hanya bermain-main saja.” Dan tiba-tiba kepada Mahisa Agni ia berkata, “Ki Sanak. Aku ingin kerismu itu.”

Mahisa Agni sudah menyangka bahwa Pasik itu menginginkan kerisnya. Karena itu ia tidak terkejut. Meskipun demikian ia menjawab, “Jangan Ki Sanak. Keris itu keris pusaka.”

—–
Namun Waraha itu pun beringsut maju pula. Kerisnya masih terarah ke dada Mahisa Agni. Sambil membentak sekali lagi ia berkata, “Ayo, lawanlah!”
Mahisa Agni bergeser pula mundur Katanya, “Jangan Ki Sanak. Jangan.”
—–

Waraha tertawa. Sekali lagi ia memandang ke wajah laki-laki tua dan istrinya. Katanya, “Jangan takut, Kiai. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku sebenarnya hanya ingin berkunjung saja. Bukankah Kiai dan Nyai telah banyak berbuat kebaikan kepadaku?”

Laki-laki tua itu mengangguk-angguk kosong. Dari mulutnya terloncat kata-kata, satu-satu, “Ya Ngger. Terima kasih, terima kasih.”

“Kenapa terima kasih?” bertanya anak muda itu.

Orang tua itu menjadi bingung, sedemikian bingungnya sehingga ia menjawab, “Terima kasih Ngger, karena Angger tidak akan berbuat apa-apa.”

“He?” jawab Pasik, “Apakah aku selalu mengganggu orang? Sehingga apabila aku tidak berbuat demikian, maka itu dapat dianggap suatu kebaikan?”

Orang tua itu menjadi semakin bingung. Terbata-bata ia menjawab, “Tidak, tidak. Maksudku tidak sedemikian.”

Pasik itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Semakin lama semakin tampaklah bahwa kesopanan yang berlebih-lebihan itu adalah dibuat-buatnya saja. Ternyata apa yang dilakukan semakin menjadi kasar dan memuakkan.

Kepada Mahisa Agni kemudian anak muda itu berkata, “Anak muda. Aku ingin kerismu itu. Besok kau harus menyerahkannya kepadaku di rumahku. Ingat besok. Aku tidak akan merampas keris itu di sini supaya aku tidak menakut-nakuti penghuni rumah yang baik ini, meskipun sekarang sudah menganggap aku sebagai anak durhaka, seperti orang seluruh padukuhan ini menganggap aku demikian pula. Tetapi tak apa. Aku dapat hidup tanpa orang-orang di padukuhan ini. Nah, ingat. Besok pagi. Jangan mencoba melarikan diri malam nanti. Sebab nyawamu pasti akan melayang.”

Mahisa Agni itu pun mencoba bertanya, “Kenapa aku mesti menyerahkan keris ini kepada Ki Sanak.”

Pasik mencibirkan bibirnya. “Jangan banyak bertanya,” jawabnya, “Malanglah kau, karena kau telah bertemu dengan aku. Nah kini aku akan pergi.”

Ketika Mahisa Agni akan berkata sesuatu, maka Pasik itu segera membentaknya, “Jangan bertanya dan berkata apapun! Kau hanya dapat melakukan. Datanglah besok ke rumahku. Serahkan keris itu kepadaku. Aku juga sedang menunggu beberapa orang yang akan memberi aku bekal perjalanan dua tiga hari yang akan datang. Mereka adalah sahabatku yang baik, yang dapat mengerti keadaanku.”

Dan Mahisa Agni pun kemudian tidak berkata-kata pula. Dan bahkan timbullah keinginannya untuk melihat rumah Pasik besok dan melihat apa saja yang akan dilakukannya dan siapa sajakah yang besok harus datang pula ke rumahnya.

Pasik itu pun kemudian berdiri. Namun ia tidak segera pergi. Dilepaskannya ikat pinggangnya beserta timang perak murni yang berkilat-kilat kena sinar lampu minyak. Heranlah Mahisa Agni ketika Pasik itu memberikan timang itu kepada orang tua penghuni rumah itu. Katanya, “Ah, Barangkali aku perlu memberikan sesuatu kepada Kiai. Bukan apa-apa, hanya sekedar tanda mata, supaya untuk seterusnya Kiai tidak melupakan aku, anak nakal yang pernah menerima kebaikan hati dari Kiai berdua.”

Orang tua itu pun menjadi tercengang. Karena itu untuk sesaat ia diam memasung. Dipandangnya Pasik dengan mata tak berkedip. Sehingga Pasik itu menyerahkannya sekali lagi, “Inilah Kiai, terimalah tanda mata yang tak berarti.”

Seperti kena pukau, maka orang tua itu pun berdiri. Selangkah maju sambil menerima pemberian yang tak disangka-sangkanya.

“Terima kasih,” katanya lirih, hampir tak terdengar.

“Jangan berterima kasih Kiai,” jawab Pasik, “kenang-kenangan yang tak seberapa nilainya.”

Orang tua itu pun menganggukkan kepalanya. Diamatinya timang perak itu dengan seksama. Baik juga buatannya. Meskipun orang tua itu sebenarnya tak memerlukan timang itu, namun tak habis juga herannya, kenapa pada suatu ketika orang yang bernama Pasik itu sedemikian baik hati kepadanya.

“Sudahlah, Kiai,” Pasik itu minta diri.

“Ya, ya Ngger,” sahut laki-laki tua itu.

“Selamat malam, Nyai,” katanya pula sambil melangkah ke pintu.

“Terima kasih Ngger, terima kasih,” jawab perempuan tua yang kemudian menjadi bertambah berani. Apalagi ketika ia melihat anak yang ditakuti itu justru memberikan timang dan ikat pinggang kepada suaminya. Suatu hal yang tak disangkanya, setelah suaminya tidak habisnya mengumpat dan mengutuk anak itu di hadapan tamu mereka.

Pasik itu pun kemudian membuka pintu, dan satu kakinya melangkahi tlundak. Tetapi tiba-tiba ia berhenti di tengah-tengah pintu. Sambil berpaling ia berkata, “Besok aku harap Kiai datang juga ke rumah mengantarkan anak muda itu. Salam buat gadis kiai. Tolong ajak juga ia serta. Jangan lupa, Kiai. Dan masih ada permintaanku kepada Kiai. Aku juga ingin mendapat tanda mata barang sedikit. Apapun asal dapat memberi aku kesan, bahwa Kiai pernah memberi aku kesenangan di masa kecilku.”

Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Besok ia harus datang ke rumah anak itu dengan gadisnya. Ah, bukankah ia sudah bukan gadis lagi? Namun sebelum ia sempat menjelaskan, Pasik itu sudah berkata pula, “Kiai, barangkali Kiai tidak usah berpikir terlalu repot tentang tanda mata itu. Apapun jadilah. Misalnya ikat pinggang Kiai yang terbuat dari kulit kerbau itu bersama timangnya sekali.”

Kini orang tua itu benar-benar merasa seakan-akan disambar petir. Timangnya itu yang dimintanya. Timang emas bersalut permata. Satu-satunya kekayaan yang ada padanya, yang dikumpulkannya sejak mudanya.”

Karena itu, maka kembali tubuh suami istri itu menggigil. Bahkan lebih keras dari semula, sehingga timang perak murni itu terjatuh dari tangannya.

“Oh, oh,” berkata Pasik yang dengan tergopoh-gopoh melangkah mengambil timang itu, “Jangan dibuang Kiai. Simpanlah meskipun tak bernilai. Tetapi ingat, besok aku menunggu Kiai di rumahku. Dan Kiai akan datang membawa tanda mata yang aku minta itu, selain gadis kiai yang cantik dan anak muda tamu kiai itu.”

Pasik tidak menunggu orang tua itu menjawab. Dikalungkannya ikat pinggangnya di leher orang tua itu. Dan dengan langkah yang tegap tenang ia berjalan keluar dari rumah yang pernah menjadi tempatnya bermain pada masa kanak-kanaknya.

Sepeninggal Pasik, sesaat orang tua itu masih berdiri saja seperti patung. Baru kemudian ketika ia menyadari keadaannya, diambilnya ikat pinggang yang tersangkut di lehernya itu. Kemudian dibantingnya ikat pinggang itu sambil mengumpat, “Anak setan! Sampai hati juga ia minta timang itu.”

Istrinya ternyata sudah tidak dapat memberi sambutan apapun atas kejadian itu. Agaknya kepalanya menjadi pening, dan tanpa berkata apapun juga, perempuan itu berjalan bergegas masuk ke dalam biliknya.

Orang tua itu masih saja gelisah. Bahkan kemudian ia berjalan mondar-mandir sambil mengumpat tak habis-habisnya. Namun kata-kata Pasik itu merupakan perintah baginya selama ia masih sayang akan dirinya. Dipertimbangkannya keadaannya sebaik-baiknya. Berulang-ulang. Namun tak dilihatnya jalan apapun selain menyerahkan kekayaannya itu. Tetapi apabila diingatnya, Pasik minta ia datang bersama anaknya yang ternyata bukan gadis lagi, maka otaknya menjadi semakin pening, dan detak jantungnya seakan-akan memecahkan dadanya yang sudah menjadi semakin tipis.

Mahisa Agni menjadi kasihan juga melihat orang tua itu menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Meskipun demikian dicobanya juga untuk mengurangi penderitaan perasaan itu. Katanya bertanya, “Kiai, apakah setiap perintah itu harus dipenuhi?”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. “Hem,” desahnya, “kalau tidak, maka aku tidak akan menjadi gila seperti ini.”

“Bagaimanakah kalau sekali-kali permintaan itu ditolak?” bertanya Mahisa Agni pula.

“Belum pernah seseorang berbuat demikian sejak Carub terbunuh.”

Dada Mahisa Agni berdesir mendengar jawaban itu. Kalau demikian maka Pasik itu sudah melangkah terlalu jauh sehingga telah jatuh korban karena tangannya.

“Jadi Pasik itu pernah membunuh orang?” bertanya Agni

Orang tua itu mengangguk. Jawabnya, “Tidak sendiri. Bertiga dengan saudara-saudara seperguruannya.”

“Dikerubut?” desak Agni

Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Salah seorang dari mereka telah cukup untuk membunuh Carub. Namun mereka melakukannya bertiga. Beramai-ramai seperti membunuh tupai. Mula-mula Pasik itu tidak akan melakukannya. Carub adalah kawannya bermain sejak kecil. Ketika orang itu menolak memberikan seluruh simpanannya sepuluh keping emas, maka Carub itu dipukul oleh Pasik. Namun kawan-kawannya tidak puas melihatnya. Karena itu, maka mereka pun ikut serta. Dan tubuh Carub itu kemudian seperti pisang busuk.”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Apakah Pasik itu termasuk salah seorang tokoh sakti. Namun aku belum pernah mendengar namanya. Waraha pun belum pernah didengarnya. Mungkin nama gurunya.”

Karena itu maka Agni pun bertanya, “Siapakah gurunya itu?”

“Tak seorang pun yang mengetahuinya. Ia datang dari jauh. Dan disebutnya namanya seperti nama daerah asalnya. Menurut Pasik nama gurunya itu adalah Bahu Rekso Kali Elo.”

Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Nama itu belum pernah didengarnya, tetapi gurunya pernah menyebut-nyebut bahwa di sekitar Tumapel ada seorang guru yang datang dari daerah pusat Pulau Jawa. Namun sayang, tabiatnya kurang menyenangkan, sehingga orang itu tak begitu dikenal, dan bahkan agak terpencil dari pergaulan para sakti. Murid-muridnya tidak hanya dua tiga orang. Hampir semuanya adalah para penjudi dan penjahat. Apakah orang ini yang dimaksudkan, atau orang lain. Apabila benar orang itu, alangkah jauh daerah pengaruhnya, sehingga orang di kaki Gunung Semeru pun berguru pula kepadanya.

Dan ternyata orang itu kini ikut serta dengan muridnya yang bernama Pasik itu berkunjung ke padukuhan kecil ini. Dengan demikian kedatangan orang itu pasti akan mempunyai pengaruh yang sangat jelek terhadap penduduk Kajar.

Namun betapapun juga, Mahisa Agni terpaksa menilai diri dan orang-orang yang belum dikenalnya itu. Apalagi gurunya, sedangkan muridnya pun belum diketahui tingkat ilmunya. Seandainya, ya seandainya, Pasik memaksa untuk memiliki keris peninggalan ayahnya itu, apakah ia harus tetap berdiam diri?

Malam itu, hampir tidak ada di antara mereka bertiga,orang tua itu, istrinya dan Mahisa Agni yang sempat memejamkan matanya. Orang tua suami istri itu selalu diganggu oleh ketakutan dan kebingungan menghadapi permintaan Pasik. Sedang Mahisa Agni tak dapat melepaskan perasaan ibanya kepada orang tua itu. Ingin ia menjanjikan sesuatu kepada mereka namun apakah ia akan dapat memenuhinya, belumlah pasti. Sebab kalau benar, Bahu Reksa Kali Elo itu adalah orang yang dikatakan gurunya, maka ia tidak tahu apakah ia akan dapat meninggalkan padukuhan ini dengan selamat apabila ia ingin mempertahankan kerisnya.

Tetapi malam berjalan terus tanpa menghiraukan kegelisahan, ketakutan, kecemasan yang mencengkam Padukuhan Kajar. Tidak hanya orang tua itu saja yang ternyata tidak dapat tidur semalaman. Namun banyak yang lain. Banyak di antara mereka yang tidak dapat tidur karena harus menyerahkan cincin mereka, kalung mereka atau apa saja yang diinginkan oleh Pasik itu, yang sebagian besar adalah benda-benda berharga. Emas, permata dan sebagainya.

Dan malam itu pun berjalan menurut iramanya sendiri. Sekejap demi sekejap dilampauinya dengan ajeg menuju kepada akhirnya,

Ketika ayam jantan berkokok menjelang fajar, orang tua yang malang itu telah tidak dapat bertahan lagi berbaring di pembaringannya. Perlahan-lahan ia berjalan keluar dan duduk di tlundak pintu. Sedang Mahisa Agni yang tidur di lantai, di atas alas selembar tikar itu pun kemudian bangkit pula. Sekali ia menggeliat, kemudian kedua belah tangannya ia menutupi mulutnya yang sedang menguap.

Orang tua itu berpaling kepada Agni. Perlahan-lahan ia berkata, “Aku sudah hampir menjadi gila. Apakah Ki Sanak tidak sayang kepada keris itu?”

“Tentu, Bapa, tentu,” sahut Mahisa Agni terbata-bata.

“Pagi ini keris itu sudah harus Angger serahkan kepada si Pasik gila itu,” sambung orang tua itu.

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tiba-tiba ia berkata, “Bagaimanakah kalau aku melarikan diri sekarang, Bapa?”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Hampir tak ada gunanya Ngger. Pasik itu pasti segera akan mengejarmu. Ke mana saja kau pergi, maka pasti akan dapat ditemukannya. Kalau Angger lari, itu hanyalah seakan-akan menunda mala petaka untuk sesaat. Namun Pasik pasti akan menebus susah payahnya itu dengan kegembiraan-kegembiraan yang gila. Ia mungkin juga untuk menyiksa seseorang demi kesenangannya, atau karena kejengkelannya.”

“Tetapi aku masih mempunyai cukup waktu sampai ia yakin aku tidak datang ke rumahnya.”

Orang tua itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Mungkin juga. Angger juga seorang perantau, sehingga Angger dapat berjalan lebih cepat dan mencari jalan-jalan yang sulit.”

Orang itu berhenti sejenak, nampaklah ia berpikir. Sesaat kemudian ia meneruskan, “Mungkin bagi Angger. Tetapi…….” Orang tua itu berhenti.

“Tetapi….?” ulang Mahisa Agni.

Orang tua itu menggeleng, “Tidak apa-apa Ngger. Namun kalau Angger ingin mencoba, cobalah, Biarlah aku tinggal di sini. Aku sudah tua.”

Mahisa Agni menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Tetapi segera ia menangkap maksud kata-kata itu, meskipun orang tua itu berusaha untuk menyimpannya di dalam hati. Orang tua itu ternyata sedang membayangkan, apakah akibat yang akan terjadi, kalau tamunya itu melarikan diri. Maka segala persoalan pasti akan ditimpakan kepadanya. Dan sebenarnyalah Agni tidak ingin melarikan diri. Bahkan ia ingin melihat, apa saja yang akan terjadi di rumah Pasik itu.

Sementara itu pun, langit menjadi semakin lama semakin terang. Warna yang kelam seakan-akan sedikit demi sedikit larut dihanyutkan oleh angin pagi. Bintang-bintang yang masih gemerlapan, semua tenggelam dalam cahaya yang semakin terang. Dan bintang pagi pun kemudian sinarnya menjadi pudar dan lenyap ditelan cerahnya sinar matahari pagi.

Demikian akhirnya malam itu pun lenyaplah. Padukuhan Kajar itu kini kembali ditimpa oleh sinar matahari. Namun padukuhan itu tidak segera terbangun. Seakan-akan seseorang yang sedang sakit parah, yang tetap tinggal di pembaringannya meskipun matahari telah mencapai tinggi sepenggalah.

Tetapi akhirnya, beberapa orang Kajar itu harus ke luar juga dari rumah-rumah mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah dikunjungi oleh Pasik serta diminta untuk datang ke rumahnya mengantarkan barang-barang yang dikehendakinya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar