Panasnya Bunga Mekar Jilid 03

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
“Apakah aku akan kembali ke Padepokan Kenanga?” bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri, “bukankah dengan demikian berarti bahwa aku harus menemukan alasan yang tepat, kenapa aku kembali?”

Mahisa Bungalan masih saja termangu-mangu. Akan tetapi seolah-olah di luar sadarnya, kakinyapun kemudian melangkah menyusuri jalan kembali.

“Entahlah, apa yang akan aku lakukan kemudian. Tetapi rasa-rasanya aku ingin melihat kembali, apa yang terjadi di padepokan itu” berkata Mahisa Bungalan di dalam hati.

Mahisa Bungalan sadar, bahwa ia akan memasuki padepokan itu setelah hari menjadi malam. Dan tiba-tiba saja timbullah niatnya untuk tidak menampakkan diri meskipun ia berada di sekitar padepokan itu.

“Di siang hari aku akan berkisar menjauh” katanya, “tetapi di malam hari aku akan dapat mendekati dan melihat suasana padepokan itu barang satu dua hari”

Demikianlah, maka ketika malam kemudian turun, Mahisa Bungalan telah mendekati Padepokan Kenanga. Tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Padepokan itu masih tetap tenang seperti saat ia meninggalkannya. Ia tidak melihat kesihukan dan kegelisahan.

Namun dengan demikian, hatinya sendirilah yang gelisah. Seolah-olah ia melihat dua padepokan yang terpisah tidak terlalu jauh itu sudah bersepakat untuk mengikat persaudaraan di antara mereka. Adalah kebetulan bahwa Padepokan Kenanga, mempunyai seorang gadis, sementara padepokan Watu Kendeng mempunyai seorang anak laki-laki.

“Aku akan menunggu, apakah yang akan terjadi selanjutnya” katanya kepada diri sendiri.

Dengan hati-hati Mahisa Bungalan mengawasi regol padepokan itu dari jarak yang agak jauh. Ia tidak merasakan dinginnya malam dan desing nyamuk di telinganya. Perhatiannya seakan-akan terpateri pada regol gerbang padepokan Kananga yang sudah tertutup, meskipun ia tahu, pintu itu tidak pernah diselarak.

Namun dalam pada itu, yang tidak diketahui oleh Mahisa Bungalan adalah, bahwa di ruang dalam, Ki Kenanga sedang duduk di hadap anak-anak gadisnya yang menunduk. Dengan sareh Ki Kenanga mengatakan, apa yang telah terjadi di siang yang baru lewat. Ia mengatakan, apakah keperluan para tamu dari padepokan Watu Kendeng.

Ken Padmi memang sudah menduga. Ia pernah bertemu dengan Kuda Pramuja. Ia pernah berbicara di luar sadarnya, ketika ia bertemu dengan anak muda itu yang sedang pergi berburu.

Entah pura-pura atau sebenarnya. Kuda Pramuja bertanya kepadanya, arah jalan ke hutan perburuan. Tetapi setelah ia menunjukkan jalan, anak muda itu masih banyak berbicara. Anak muda itu bertanya namanya, rumahnya dan kenapa ia pergi ke sawah seorang diri, meskipun sebenarnya ia mempunyai banyak kawan saat itu yang berada di kotak sawahnya masing-masing.

Untuk beberapa hari, kawan-kawannya memang mengganggunya. Seolah-olah ia sudah berkenalan akrab dengan anak muda yang membawa kelengkapan berburu bersama dua orang pengiringnya itu.

“Ken Padmi” berkata ayahnya, “semuanya tergantung kepadamu. Kau yang akan menjalani. Karena itu, kaulah yang harus memutuskan, meskipun orang tua harus kau dengar pendapatnya. Apalagi kau seorang gadis. Tetapi terhadap angger Kuda Pramuja, aku tidak berpendapat sesuatu. Ia adalah anak muda yang termasuk anak muda yang wajar. Tidak ada keberatannya, tetapi juga tidak ada kelebihannya. Mungkin ia pewaris ilmu padepokan Watu Kendeng. Tetapi demikianlah, nampaknya tidak lebih dari kemampuan kita di sini. Karena itu, terserah kepadamu”

Ken Padmi masih tetap menundukkan kepalanya sambil membisu. Di luar sadarnya, mulai terbayang di angan-angannya, seorang anak muda yang baru saja meninggalkan padepokannya. Anak muda yang rendah hati dan memiliki ilmu yang luar biasa. Ayahnya yang dikagumi oleh semua orang di padepokan itu sebagai seorang yang memiliki ilmu yang pilih tanding, ternyata tidak mampu mengimbangi ilmu anak muda itu.

“Ken Padmi” berkata Ki Kenanga seterusnya, “kau harus manjawab pertanyaanku, karena pada suatu saat, aku pun harus menjawab pertanyaan Ki Watu Kendeng. Jangan segan. Ki Watu Kendeng adalah seorang yang berhati seluas lautan. Ia termasuk seorang yang sabar dan mengerti perasaan orang lain”

Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih tetap diam.

“Baiklah” berkata Ki Kenanga, “menurut orang kebanyakan, jika seorang gadis ditanya tentang saat perkawinannya sama sekali tidak manjawab, maka itu berarti bahwa ia setuju. Karena itu, sepekan lagi, jika Ki Watu Kendeng datang kemari, maka aku akan mengiakan lamarannya bagi anaknya, Kuda Pramuja”

“Ayah” tiba-tiba saja Ken Padmi berdesis. Tetapi suaranya terputus di kerongkongan. Seperti semula, iapun menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil bermain-main dengan kukunya sendiri.

“Apa yang akan kau katakan?” bertanya ayahnya.

Ken Padmi tidak menyahut.

Ki Kenanga menarik nafas dalam-dalam. Kemudan katanya, “Jawabku adalah jawabmu. Jika tafsiranku atas kediamanku salah, maka kaulah yang akan menyesal. Bukan aku. Aku hanya sekedar mengatakan, apa yang menurut dugaanku kau kehendaki”

Ken Padmi mengangkat wajahnya sesaat Namun wajah itupun tunduk kembali.

“Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan baik. Meskipun kau dan aku. belum mengenal anak muda itu dengan baik, sifat dan wataknya, tingkah lakunya, namun jika ia seperti ayahnya, maka ia adalah anak yang baik”

“Ayah” sekali lagi Ken Padmi berdesis.

Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Ia tidak menyahut. Ia berharap bahwa anaknya akan mengatakan sesuatu.

Namun kemudian Ki Kenanga hanya melihat anaknya menunduk sambil menggelengkan kepalanya perlahan-lahan.

“He, kau keberatan?” bertanya Ki Kenanga.

Ken Padmi diam kembali. Dan kepalanyapun menunduk pula dalam-dalam.

Namun dengan demikian, Ki Selabajra telah mengetahui isi hati anak gadisnya. Ternyata anak gadisnya tidak dapat menerima Kuda Pramuja.

Bagi Ki Kenanga, penolakan itupun wajar, anak gadisnya belum begitu mengenal anak muda dari padepokan Watu Kendeng itu. Jika ia mendapat kesempatan untuk menentukan sikap, tentu ia akan menyatakan keberatannya. Mungkin jika ia mendapat kesempatan untuk berkenalan lebih mendalam, akibatnya akan berbeda.

Karena Ken Padmi masih tetap diam, maka ayahnyapun akhirnya berkata, “Baiklah anakku. Meskipun kau lebih banyak diam, tetapi aku mengerti, apa yang kau maksudkan. Jika pada saatnya Ki Watu Kendeng itu datang maka aku akan menjelaskan, bahwa kau masih belum ingin berumah tangga. Itu adalah alasan yang paling baik untuk dikatakan, tanpa menyebut alasan-alasan yang lain. Sementara kau akan mendapat kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam, sehingga mungkin pada suatu saat. hatimu akan tersentuh pula oleh anak muda itu”

“Ah” Ken Padmi terdesah. Tetapi tidak ada kata-kata lain yang diucapkannya.

Karena tidak ada lagi yang dipersoalkan, maka Ki Selabajra itupun berkata, “Nah, sekarang pergilah beristirahat. Cobalah merenungi dirimu sendiri. Meskipun kali ini kau masih belum dapat menerima lamaran anak padepokan Watu Kendeng itu, namun lamaran ini adalah pertanda, bahwa di mata orang lain, kau benar-benar sudah dewasa”

Seperti tersisih dari panasnya bara, maka Ken Padmi pun segera masuk ke dalam biliknya. Ia menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia sudah terlepas dari bencana yang bagaikan tidak terelakkan.

Namun dalam pada itu, gadis itupun segera merebahkan dirinya. Semakin lama ia menerawangi dirinya sendiri, maka rasa-rasanya ia menjadi semakin gelisah. Agaknya seperti yang dikatakan oleh ayahnya, bahwa ia memang sudah menjadi seorang gadis yang dewasa. Bukan saja ujud lahiriahnya saja, tetapi hatinyapun telah menjadi dewasa pula. Ternyata bahwa ia mulai menilai seorang anak muda yang sudah hadir di hatinya. Namun bagaikan bayangan yang nampak sekilas, kemudian secepat ia datang, maka iapun telah pergi.

Tetapi tiba-tiba saja yang datang kemudian mengetuk pintu padepokannya adalah justru anak muda yang lain. Anak muda dari padepokan Watu Kendeng. Meskipun ia tidak dapat menunjukkan cacat anak muda itu karana ia belum banyak mengenalnya, namun rasa-rasanya ia tidak akan dapat melepaskan diri dari sejuknya bayangan yang pernah meneduhi hatinya meskipun hanya sesaat.

Malam itu, Ken Padmi benar-benar menjadi gelisah, tetapi agaknya ayahnya pun menjadi gelisah pula. Sampai jauh malam ia masih mendengar ayahnya mundar-mandir di ruang dalam. Kemudian didengarnya derit pintu depan ketika ayahnya melangkah keluar ke pendapa menghirup, sejuknya udara. Tetapi itupun tidak lama, karena sebentar kemudian, ayahnyapun telah membuka pintu kembali dan melangkah masuk ke ruang dalam.

Tidak kurang gelisahnya adalah Mahisa Bungalan. Ia masih tetap mengawasi regol halaman padepokan. Namun ia sama sekali tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, sehingga ketika malam menjadi semakin larut, maka iapun menganggap bahwa untuk malam itu, ia sudah cukup lama mengawasi regol Padepokan Kenanga.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan kemudian berdiri sambil mengeliat. Rasa-rasanya badannya memang menjadi letih.

“Aku akan mencari tempat untuk beristirahat. Jika mungkin tidur barang sekejap di manapun yang mungkin” katanya kepada diri sendiri.

Namun ketika Mahisa Bungalan baru saja melangkah, maka iapun segera merendahkan badannya dan berlindung di balik dedaunan. Dalam keremangan malam ia melihat bayangan yang lewat dengan cepatnya di sepanjang jalan menuju ke regol halaman.

Jantung Mahisa Bungalan menjadi tegang. Bahkan iapun kemudian bergeser untuk dapat mengikuti bayangan itu lebih jelas.

“Siapakah orang itu” desisnya dengan curiga. Apalagi ketika ia melihat orang itu termangu-mangu di depan regol yang nampaknya tertutup.

Dada Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebaran ketika ia melihat orang itu tidak mengetuk pintu regol atau atau berusaha membukanya.

Tetapi bagaikan terbang ia telah meloncat, hinggap di atas dinding halaman, kemudian hilang di dalamnya.

“Aneh” desis Mahisa Bungalan. Tetapi oleh keinginannya untuk mengetahui perkembangan yang terjadi di padepokan itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian dengan hati-hati mendekati dinding.

Tetapi ia tidak menyusulnya lewat halaman depan. Dengan hati-hati ia berkisar dan menyusuri dinding melingkar ke belakang.

Sejenak Mahisa Bungalan memperhatikan suasana. Ketika ia yakin tidak ada seorang pun di halaman belakang, maka iapun telah meloncat pula masuk ke dalamnya.

Untuk sesaat Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia tidak tahu, kemanakah bayangan yang telah memasuki halaman itu bersembunyi. Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Ia mencoba mendengarkan setiap bunyi dan melihat setiap gerak.

Tetapi Mahisa Bungalan terkejut, karena orang yang memasuki halaman rumah itu ternyata tidak bersembunyi. Ia agaknya berada di pendapa padepokan itu dan dengan lantang ia menyatakan kehadirannya.

“Ki Kenanga” terdengar suara memanggil di pendapa, “Apakah aku boleh bertemu barang sejenak?”

Kehadiran orang itu telah mengejutkan Ki Kenanga yang baru saja merebahkan dirinya. Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa segera bangkit dan melangkah keluar dari biliknya.

Pada saat yang bersamaan, Ken Padmi pun telah berada di pintu biliknya. Namun yang kemudian dicegah oleh ayahnya yang berkata, “Tinggallah di dalam. Jangan ikuti aku keluar. Aku belum tahu, siapakah yang memanggilku”

“Tetapi nampaknya agak kurang wajar ayah” sahut anaknya.

“Mungkin. Tetapi biarlah aku mencoba menemuinya. Mungkin aku akan dapat menyelesaikan”

Ken Padmi termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat mencegah ayahnya yang kemudian melangkah manuju ke pintu depan.

Dengan hati yang berdebar-debar Ken Padmi masih berdiri di tempatnya. Ia tidak dapat membiarkan ayahnya sendiri menghadapi suatu keadaan yang tidak pasti.

Diluar sadarnya. Ken Padmi memandang ke pintu yang menghubungkan ruang dalam dan ruang belakang. Yang tinggal di rumah itu selain ia sendiri dan ayannya, adalah salah seorang murid ayahnya yang sudah hampir menyelesaikan latihan-latihannya, yang kebetulan adalah saudara sepupunya sendiri. Sementara murid-murid ayahnya yang lain berada di gandok sebelah kiri dan kanan. Di rumah yang lain tinggal beberapa orang cantrik dan para pembantu padepokan itu.

Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengusir ketegangan yang tersangkut di hatinya.

Dalam pada itu, ayahnya telah membuka pintu dengan hati-hati Di bawah cahaya lampu di pendapa ia melihat seorang laki-laki yang berdiri tegak beberapa langkah di muka pintu.

“Siapakah kau?” bertanya Ki Selabajra.

“Apakah Ki Kenanga tidak ingat aku lagi? Baru siang tadi aku datang ke rumah ini” jawab orang itu.

Ki Selabajra termangu-mangu sejenak. Namun iapun segera ingat bahwa orang itu adalah salah seorang yang berada di dalam iring-iringan yang datang dari Watu Kendeng.

“O” Ki Selabajra mengangguk-angguk, “aku masih ingat. Bukankah Ki Sanak diperkenalkan sebagai adik Ki Watu Kendeng?”

“Tepat Kiai. Aku adalah adik Ki Watu Kendeng” Ki Selabajra mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Marilah Ki Sanak. Silahkan duduk. Mungkin ada sesuatu yang ingin kau sampaikan sehingga kau datang pada waktu yang asing bagi sebuah kunjungan”

“Apakah kau menjadi sakit hati karena kunjungan ini?” bertanya orang itu.

Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap mencoba tersenyum. Katanya, “Silahkan duduk”

Orang itupun kemudian duduk di pendapa berhadapan dengan Ki Selabajra. Sementara dengan sangat hati-hati, Mahisa Bungalan telah bergeser mendekat, meskipun ia tidak dapat terlalu dekat dengan pendapa. Namun lamat-lamat ia dapat mendengarkan pembicaraan kedua orang itu. Kadang-kadang beberapa bagian dapat didengarnya dengan jelas, tetapi kadang-kadang seolah-olah ia hanya mendengar orang berguman tanpa arti.

Meskipun demikian, dalam keseluruhan Mahisa Bungalan dapat mengerti, apa yang sedang dipercakapkan.

“Ki Selabajra” berkata tamunya, “aku minta maaf, bahwa aku datang jauh malam dan bukan waktunya untuk berkunjung”

Ki Selabajra tersenyum, betapa kecutnya. Orang itu telah menyakiti hatinya. Bukan saja karena kedatangannya jauh malam tetapi juga pertanyaannya, apakah ia menjadi sakit hati. Justru pertanyaannya itulah yang sebenarnya membuatnya kecewa. Meskipun demikian, ia masih tetap menahan diri.

“Ki Kenanga” berkata orang itu, “kedatanganku kali ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kakang Watu Kendeng, meskipun persoalannya memang bersangkut paut”

Ki Kenanga mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih mencoba mengangguk-angguk sambil berkata, “Tentu persoalan yang sangat penting”

“Ya” jawab adik Ki Watu Kendeng, “persoalannya menyangkut masa depan seseorang”

Ki Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai meraba persoalan apakah yang akan disampaikan oleh adik Ki Watu Kendeng itu.

“Ki Selabajra” berkata orang itu, “aku sudah mendengar apa yang dikatakan oleh kakang Watu Kendeng kepadamu siang tadi. Akupun telah mendengar jawabanmu”

Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, kau tentu sudah mendengar dan mengerti, persoalan apakah yang sedang kami hadapi”

“Kakang Watu Kendeng akan datang sepekan lagi untuk mendengarkan keputusan anak gadisnya” berkata orang itu.

“Ya Ki Sanak. Aku akan memberikan jawaban kira-kira sepekan lagi” jawab Ki Selabajra.

“Baiklah Ki Kenanga. Waktu itu tidak jauh dan tidak terlalu dekat. Waktu yang kau berikan adalah wajar sekali untuk sesuatu persoalan yang sangat penting”

“Ya Ki Sanak”

“Tetapi, sebelum waktu itu datang, agaknya hatikulah yang gelisah melampaui kegelisahan hati kakang Watu Kendeng. Bagiku waktu yang sepekan itu terlalu panjang. Apalagi setelah sepekan, jawabmupun belum pasti pula”

“Ki Sanak. Jawaban yang akan aku berikan tentu sesuai dengan jawaban anakku yang akan menjalani. Karena itu, maka adalah wajar pula bahwa aku harus mendapat kepastian lebih dahulu, apakah jawab anakku itu”

“Itulah yang aku tidak telaten. Aku tidak dapat membiarkan kemanakanku berada dalam kegelisahan berlama-lama. Karena itu, aku mohon, bahwa Ki Selabajra telah menentukan sikap, bahwa permintaan kemanakanku itu akan dapat diterima”

“Ah” desah Ki Selabajra, “tentu aku tidak dapat memutuskannya sendiri”

“Ki Selabajra” berkata adik Ki Watu Kendeng itu, “kedatanganku atas kehendaku itu akan dapat diterima. Itu saja. Dan aku harap kau tidak akan memberikan jawaban lain sepekan yang akan datang”

Wajah Ki Selabajra menjadi tegang. Dipandanginya tamunya yang ternyata benar-benar telah dengan sengaja menyakiti hatinya. Meskipun demikian, ia masih menahan hati. Bahkan kemudian bertanya, “Aku tidak mengetahui Ki Sanak. Apakah kau ingin memaksakan kehendak kemenakanmu, atau sebenarnya kau sekedar didorong oleh kecintaanmu kepada kemanakamnu sehingga kau tidak sampai hati melihat anak itu bersedih”

“Kedua-duanya” jawab tamunya, “aku memang tidak dapat melihat kemanakanku itu selalu gelisah, ja benar-benar mencintai anak gadismu. Karena itu, jika lamaran itu kau tolak, maka akibatnya akan sangat parah bagi anak Watu Kendeng itu”

“Tetapi sebaliknya Ki Sanak” jawab Ki Selabajra, “jika jawaban anakku ternyata lain, dan ia dipaksa untuk menerima lamaran itu, maka hidupnyalah yang akan tersiksa di sepanjang umurnya”

“Tentu tidak Ki Selabajra. Pada umumnya seorang anak gadis tidak akan menentang keputusan ayahnya. Ia akan tunduk dengan ikhlas. Seterusnya tergantung, bagaimana mereka membangun rumah tangganya. Jika suami yang diberikan oleh orang tuanya itu seorang laki-laki yang baik, maka rumah tangga itupun akan menjadi baik. Tetapi jika laki-laki itu seorang laki-laki yang buruk, barulah kau dapat mengatakan, malanglah nasib perempuan yang demikian”

Ki Selabajra termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun bertanya, “Apakah angger Kuda Pramuja itu seorang laki-laki yang baik?”

“Aku adalah taruhannya. Jika ia kelak ternyata men jadi laki-laki yang buruk, maka aku akan mematahkan lehernya kerena ia sudah ingkar pada kewajibannya,” jawab adik Ki Watu Kendeng.

Ki Selabajra tidak segera menjawab. Tetapi nampak keragu-raguan membayang di wajahnya. Bahkan sebuah pertanyaan telah membersit, “Apakah benar seperti yang dikatakan oleh orang itu?”

Namun akhirnya Ki Selabajra menjawab, “Ki Sanak. Aku dapat mengerti. Tetapi aku susah berniat untuk menyerahkan keputusannya kepada anak gadisku. Ia adalah anakku satu-satunya. Seperti Ki Watu Kendeng ingin membahagiakan anaknya, akupun ingin berbuat demikian. Aku akan bertanya kepadanya, apakah ia bersedia atau tidak”

“Jika tidak” potong tamunya itu.

Pertanyaan itu sangat tidak disukai oleh Ki Selabajra. Tetapi ia harus menjawab. Dan jawabnyapun tidak diharapkan pula oleh tamunya.

“Jika anakku tidak bersedia, apaboleh buat Ki Sanak Aku tidak akan dapat menerima lamaran itu” jawab Ki Selabajra kemudian.

Wajah adik Watu Kendeng itu menjadi merah. Dengan nada yang patah-patah ia berkata, “Aku memperingatkan sekali lagi. Jika kelak kakang Watu Kendeng datang kemari, maka aku tidak mau mendengar jawaban lain daripada lamaran itu diterima. Aku tidak selemah kakang Watu Kendeng yang menunggu dengan sabar, apa saja yang akan kau katakan, meskipun akhirnya yang aku katakan itu terdengar sangat pahit dihatinya”

“Jadi, apakah benar menurut tanggapanku. Bahwa kau telah memaksakan kehendakmu?”

“Ya” sahut adik Ki Watu Kendeng serta merta, “aku memang tidak mempunyai istilah yang lebih tepat. Aku memang ingin memaksakan kehendakku, agar kau dapat mengatur anak perempuan. Aku hanya ingin mendengar bahwa lamaran kemenakanku itu dapat kau terima. Aku tidak peduli apakah yang akan kau lakukan terhadap anak perempuan itu”

“Sayang Ki Sanak” jawab Ki Selabajra, “bahwa keinginanmu untuk mendengar jawaban seperti yang kau kehendaki itu bertentangan dengan keinginanku. Keinginanku adalah, bahwa kau maupun Ki Watu Kendeng melihat kenyataan yang ada pada hati anak gadisku. Tidak lebih dan tidak kurang”

“Ki Selabajra” berkata tamunya yang wajahnya mulai menegang, “jangan mencoba membantah keinginanku. Aku mempunyai seribu cara untuk memaksamu”

Wajah Ki Selabajrapun menjadi merah padam. Tetap ia masih menyadari keadaannya. Ia masih mencoba untuk menahan diri. Namun dalam pada itu, yang berada di belakang pintu, yang memisahkan pendapa dan ruang dalam, rasa-rasanya dadanya bagaikan terbakar. Ken Padmi yang sudah memanggil saudaranya yang kebetulan adalah murid ayahnya itu, mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh tamu dan ayahnya. Karena itu, maka rasa-rasanya jantungnya tidak kuat lagi menahan dentang yang seakan-akan hendak meledakkan isi dadanya itu.

Hampir saja Ken Padmi meloncat ke pintu, jika saudara sepupunya tidak menggamitnya dan berbisik, “Jangan tergesa-gesa Ken Padmi. Kita menunggu, apa yang akan dilakukan oleh paman Selabajra”

Dalam pada itu, Ki Selabajrapun berkata, “Ki Sanak Aku adalah seorang ayah. Anak bagiku adalah mutiara yang tidak ada batas nilainya, sehingga bagiku, nilainya sama dengan nyawaku sendiri. Kepahitan yang akan dialami oleh anakku, adalah kepahitanku sendiri. Anakku adalah penerus hidupku. Karena itu, aku akan mempertahankannya. Jika ia bersedia menerima lamaran itu, hanyalah karena ia bersedia. Bukan karena kau takut-takuti sekarang ini. Tetapi jika ia tidak bersedia, maka akupun akan melindunginya dengan segenap kemampuan yang ada padaku”

Tiba-tiba adik Ki Watu Kendeng itu tertawa. Katanya, “Ki Selabajra. Jangan berbicara tentang mempertahankan dan melindungi anakmu dengan kekerasan. Mungkin kau mengira, karena kau adalah seorang guru yang disegani di padepokan ini, maka kau telah menganggap bahwa kau akan mempertahankan dan melindungi anakmu. Tetapi pandanganmu seperti juga pandangan kakang Watu Kendeng, adalah picik dan sempit sekali”

Ki Selabajra menggeretakkan giginya. Namun ia masih bertahan untuk tidak berbuat sesuatu, meskipun dengan demikian terasa dadanya menjadi sesak.

“Ki Selabajra” berkata tamunya, “memang bagi daerah ini dan sekitarnya, maka perguruan Kenanga dan Watu Kendeng merupakan dua perguruan yang sulit dicari bandingnya. Dua perguruan yang jaraknya tidak terlalu jauh dan dipimpin oleh dua orang tua yang baik, sabar dan lemah hati”

Ki Selabajra telah berkeringat di seluruh rubuhnya, justru karena ia mempertahankan nalarnya agar tidak bergejolak dan tidak terkendali.

“Tetapi Kiai” berkata tamunya lebih lanjut, “di luar kedua padepokan ini, ternyata masih terbentang daerah yang luas sekali. Aku yang sudah menjelajahi hampir seluruh daerah di negeri ini, sudah melihat, betapa kecilnya arti kedua padepokan terpencil ini. Karena itu, kau jangan membanggakan diri kepadaku. Mungkin kau dapat menengadahkan wajahmu kepada orang-orang di sekitar ini. Mungkin sampai daerah yang agak jauh. Tetapi tidak kepadaku. Kepada seorang yang pernah mendapat gelar, Alap-alap Wereng atau di tempat lain aku disebut Gagak Branang, sedangkan di daerah yang jauh menjorok ke Barat aku dipanggil Macan Kejiman”

Ki Selabajra bagaikan duduk diatas api. Ia menjadi sangat gelisah meskipun ia masih tetap bertahan pada sikapnya.

“Nah, Ki Selabajra. Mudah-mudahan kau menyadari keadaanmu. Aku tidak akan berbuat apa-apa sekarang. Tetapi aku akan ikut datang bersama Kakang Watu Kendeng yang lemah hati itu sepekan lagi. Dan kau tidak mempunyai pilihan. Kau harus mengatakan bahwa lamaran Kuda Pramuja dapat diterima dengan baik dan ikhlas”

Ki Selabajra tidak dapat menahan hatinya lagi. Dengan jantung yang berdenyut lebih cepat, ia menjawab dengan gagap karena kemarahan yang menghentak-hentak dadanya, “Tidak usah sepekan lagi. Sekarang aku dapat menjawab meskipun aku berhadapan dengan Alap-alap Wereng Gagak Branang atau Macan Kejiman. Anakku tidak mau menjadi isteri kemanakanmu itu. Anakku sudah menjawab. Ia masih belum ingin kawin sampai waktu yang belum ditentukan”

Wajah orang yang pernah mendapat bermacam-macam gelar itupun menjadi merah padam. Sejenak ia justru membeku di tempatnya. Giginya terdengar gemeretak dan tangannya meremas ujung kain panjangnya.

“Ki Selabajra” ia menggeram, “kau jangan bermain-main dengan api. Kau belum tahu siapa aku. Tetapi aku sudah tahu, sampai dimana kemampuan pemimpin padepokkan Kenanga. Kau tidak lebih dari kakang Watu Kendeng. Karena itu, pikirkan sekali lagi. Aku masih berbaik hati untuk memberimu waktu sampai sepekan, karena kau adalah bakal tersangkut ke dalam lingkungan keluarga kami”

Jika Ki Selabajra tidak sadar bahwa ia adalah seorang ayah yang sedang terlibat ke dalam pembicaraan dengan pihak lain, dan bukan dengan orang yang duduk di hadapannya itu, maka ia tentu sudah tidak akan dapat menahan diri lagi.

Justru karena Ki Selabajra masih menghormati Ki Watu Kendeng, maka ia masih mencoba bertahan agar ia tidak menjadi mata gelap.

“Ki Selabajra” berkata orang itu, “aku akan pergi. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan berbuat apa-apa kali ini. Tetapi sepekan lagi, kau jangan mencoba bermain-main dengan Macan Kajiman yang juga bergelar Gagak Branang dan yang juga dipanggil Alap-alap Wereng. Adalah wajar, bahwa justru didaerah kelahiran seseorang tidak banyak dikenal. Tetapi di seputar negeri ini hampir setiap orang pernah menyebut gelarnya”

Demikian dahsatnya gejolak di dada Ki Selabajra, sehingga ia sama sekali tidak dapat menjawab kata-kata itu. Bahkan ketika orang itu kemudian berdiri dan melangkah pergi. Ki Selabajra masih saja mematung dengan gemetar.

Baru ketika orang itu turun ke halaman, maka Ki Selabajra menggeram. Perlahan-lahan ia berdiri sambil memandang ke dalam gelap. Tetapi ia masih melihat tamunya itu meninggalkan halaman rumahnya dengan meloncati dinding.

“Gila” ia menggeram.

Ki Selabajra itu terkejut ketika ia mendengar pintu yang didorong kuat-kuat. Ketika ia berpaling, ia melihat Ken Padmi dan saudara sepupunya berdiri di muka pintu.

“Aku hampir tidak sabar lagi ayah” geram Ken Padmi.

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Akupun harus berjuang mempertahankan kesadarannya. Tetapi apakah kau mendengar seluruh pembicaraan kami?”

“Ya ayah. Aku mendengarnya. Dan karena itu, aku menjadi gemetar”

“Sudahlah. Masuklah kembali ke dalam bilikmu. Beristirahatlah. Besok kita akan membicarakan, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Aku mengerti, bahwa orang itu tentu merasa mempunyai kelebihan dari orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng. Namun, apapun yang akan terjadi, aku tidak .akan menyerahkan kepadanya. Aku masih akan mencoba berbicara dengan Ki Watu Kendeng. Aku kira ia tidak mudah dipengaruhi oleh sikap seperti sikap orang yang mempunyai bermacam-macam gelar itu. Justru karena itu, aku masih menghormatinya dan aku akan memberikan jawaban sebaik-baiknya”

Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mencoba membayangkan, sikap orang yang dengan deksura telah menghina keluarganya, Menghina perguruannya. Namun dalam pada itu, iapun menyadari, bahwa jika tidak ada kelebihan apapun juga, orang itu tentu tidak akan berani berlaku sedemikian kasarnya.

Sementara itu, di dalam kegelapan malam. Mahisa Bungalan berdiri dengan jantung bergetar. Untuk sesaat Mahisa Bungalan masih tetap berdiri di tempatnya Ia masih mendengar Ki Salabajra berbicara dengan anak dan kemanakannya. Namun kemudian, mereka pun telah masuk kembali ke dalam rumahnya, sehingga pendapa itupun menjadi sepi.

Mahisa Bungalan yang masih berada di tempatnya itupun menarik nafas dalam-dalam. Serba sedikit ia mengerti apa yang telah terjadi kepadepokan itu. Ia mengerti bahwa orang-orang Watu Kendeng telah melamar Ken Padmi. Sementara mereka menunggu jawaban yang akan diberikan sepekan lagi, maka telah datang seseorang yang mengaku mempunyai beberapa sebutan yang mendebarkan untuk memasakkan kehendaknya, agar lamaran itu dapat diterima.

“Curang” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya, “seharusnya tidak seorang yang dapat memaksakan kehendaknya seperti itu”

Namun Manisa Bungalan justru sedikit milihat sepercik kesempatan. Dengan tingkah laku orang itu, maka Ki Salabajra tentu membuat pertimbangan-pertimbangan lain yang justru merugikan orang-orang Watu Kendeng sendiri: Apalagi ketika ia melihat sikap Ken Padmi setelah orang Watu Kendeng itu meninggalkan padepokkan Kenanga. Bahkan ia hampir pasti, bahwa Ken Padmi tidak akan menerima lamaran itu.

Meskipun demikian, ancaman orang itu bukannya hal yang dapat diabaikan. Mahisa Bungalan tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi sepekan lagi, jika Selabajra memberikan jawaban yang tidak mereka kehendaki.

Ketika padepokan itu menjadi semakin sepi, maka Mahisa Bungalanpun mulai bergesar meninggalkan tempatnya. Ia masih mendengar suara orang berbicara sepatah-patah di dalam rumah itu. Namun ia tidak dapat menangkap isinya.

Yang diketahuinya malam itu pada Padepokan Kenanga, ternyata telah mengikatnya untuk berada tidak jauh dari padepokkan itu. Di siang hari Mahisa Bungalan memang berusaha untuk tidak diketahui oleh seorangpun dari padepokkan itu: Bahkan kadang-kadang ia memasuki hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokkan Kenanga untuk sekedar berburu dan mengisi waktunya yang menggelisahkan. Tetapi di malam hari, Mahisa Selalu berada dekat dengan padepokkan itu. Seolah-olah ia mempunyai kewajiban untuk ikut menjaganya.

Di hari ketiga, ketika Mahisa Bungalan mendekati padepokan itu, ia terkejut karena dilihatnya di pendapa duduk Gemak Werdi dan Makerti. Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian ia menyadari, bahwa Ki Selabajra memerlukan kedua orang muridnya yang telah meninggalkan padepokannya itu untuk menenangkan hatinya.

Dengan sangat ber-hati-hati Mahisa Bungalan memasuki padepokan itu dari belakang. Kemudian ia mulai merayap mendekati pendapa. Dari balik tanaman perdi ia dapat melihat pembicaraan yang bersungguh-sungguh di pendapa. Meskipun ia tidak dapat mendengar dengan jelas, tetapi Mahisa Bungalan mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan, sementara Ken Padmi sendiri tidak ikut dalam pembicaraan di pendapa itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun dapat mengetahui, bahwa padepoka Kenanga itu telah dicengkam oleh kegelisahan. Agaknya mereka mulai dibayangi oleh ancaman dari orang yang memiliki berbagai macam sebutan itu.

Ketika Mahisa Bungalan itu berusaha mendekat beberapa jengkal lagi, maka ia masih sempat mendengar Gemak Werdi berkata, “Siapapun orang itu guru, namun kita tidak akan membiarkan nama perguruan kita diinjak-injak. Aku akan menunjukkan, bahwa perguruan ini bukannya sekedar tempat melonjak-lonjak”

Ki Selabajra mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Jangan kehilangan pertimbangan Gemak Werdi. Bukan karena dibayangi oleh ketakutan. Tetapi pengalaman kita mengatakan, bahwa tiba-tiba saja kita dihadapkan pada kekuatan yang tidak terduga-duga. Beberapa saat yang lampau, padepokan ini telah digetarkan oleh kehadiran seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan. Mungkin kita harus melihat kenyataan lagi, bahwa orang itu benar-benar seorang yang mumpuni meskipun sifat dan wataknya berlawanan dari sifat dan watak Mahisa Bungalan yang rendah hati”

Gemak Werdi tidak menyahut. Bahkan kepalanyapun tertunduk dalam-dalam. Ia memang harus mengakui kenyataan itu.

“Meskipun demikian” berkata Ki Selabajra, “Bukan berarti bahwa kita tidak akan mempertahankan harga diri kita. Tetapi hendaknya dapat diketahui, bahwa mungkin kita akan berhadapan dengan kekuatan yang tidak dapat kita imbangi. Dalam keadaan yang demikian, maka aku tidak akan mempunyai pilihan lain daripada bertahan sampai kesempatan yang terakhir. Apalagi Ken Padmi sama sekali tidak bermaksud menerima lamaran itu. Tidak ada cara yang lebih baik bagiku dan anak gadisku, dari pada mempertahankan diri sampai batas” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi aku tidak menghendaki demikian bagi orang lain meskipun ia adalah murid-muridku. Biarlah aku dan Ken Padmi sajalah yang akan mempertaruhkan segala-galanya. Karena aku adalah ayahnya, dan Ken Padmi adalah sasaran dari tindak kekerasan itu”

“Kami adalah murid-murid padepokan ini” tiba-tiba Makerti berdesis, “tidak ada kehormatan yang lebih tinggi bagi kami daripada kesempatan mempertahankan nama baik dan harga diri perguruan kami, apapun yang terjadi”

“Tidak ada yang memberati aku” sambung Gemak Werdi, “karena itu, kami mohon untuk menentukan sikap menghadapi keadaan ini”

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam, sementara dada Mahisa Bungalan pun menjadi berdebar-debar, bagai manapun juga kedua orang murid perguruan Kenanga yang sudah meninggalkan padepokan itu masih juga mempunyai ikatan yang tidak terputuskan. Apalagi Gemak Werdi yang menjadi agak binal karena kebanggaannya, justru karena itu baru saja keluar dari padepokan itu. Seolah-olah ia adalah orang yang memiliki kemampuan yang paling tinggi di seluruh Singasari.

Namun pertemuannya dengan Ki Lambun dan apalagi kemudian dengan Mahisa Bungalan, telah membuka hatinya, bahwa ia masih teramat kecil diantara orang-orang berilmu yang berkeliaran di tlatah Singasari.

Dalam pada itu, Ki Selabajra berkata, “Aku tidak ingin masalah pribadiku ini akan menyeret kalian ke dalam kesulitan. Karena itu, biarkan persoalan yang menyangkut pribadi, dan bukan karena padepokan kita ini, akan kami hadapi secara pribadi juga”

“Itu tidak mungkin guru” jawab Makerti, “kami merasa mempunyai ikatan yang tidak terlepaskan dengan padepokan ini. Sedangkan kami tidak dapat memisahkan, antara guru sebagai guru kami di padepokan ini. dengan, guru sebagai pribadi”

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku sudah mengatakan semua isi hatiku. Aku berterima kasih atas kesediaan kalian membantu kesulitanku secara pribadi. Tetapi aku sudah mengatakan, bahwa akibat dari persoalan ini mungkin akan sangat panjang dan jauh”

“Apapun yang akan terjadi” desis Gemak Werdi, “kami adalah keluarga Padepokan Kenanga”

Akhirnya Ki Selabajra tidak dapat menolak uluran kesetiaan murid-muridnya. Mereka sudah menempatkan diri pada kesiagaan, apapun yang akan terjadi.

“Guru” berkata Gemak Werdi, “aku mohon ijin untuk menyiapkan adik-adik seperguruanku yang meskipun belum menyelesaikan pendidikannya di padepokan ini, namun di antara mereka yang sudah sampai ke tingkat tertinggi, tentu akan dapat membantu jika keadaan memang memaksa”

“Jika mereka bersedia, terserahlah kepadamu Gemak Werdi” berkata Ki Selabajra, “aku hanya dapat berbesar hati dan berulang kali mengucapkan terima kasih”

Sementara itu, maka Gemak Werdi dan Makerti pun minta ijin kepada gurunya untuk pergi ke Sanggar menemui murid-murid perguruan Kenanga yang sudah mencapai tingkat tertinggi.

Sepeninggal murid-muridnya, maka Ki Selabajra pun kemudian masuk pula ke ruang dalam. Didapatinya Ken Padmi sedang berbaring menelungkup di pembaringannya.

Ketika Ki Selabajra menjenguknya, maka dengan tergesa-gesa gadis itu menyeka matanya.

“Kau menangis?” bertanya ayahnya dengan heran. Ia jarang sekali melihat Ken Padmi menangis sejak kanak-kanak.

Pertanyaan itu. bagaikan desakan yang memecahkan bendungan batinnya. Karena itu. maka seolah-olah air matanya tidak dapat tertampung lagi dipelupuknya.

Ken Padmi menangis terisak-isak.

Ayahnya terdiam. Perlahan-lahan ia melangkah masuk dan duduk dibibir pembaringan anaknya. Ia menyadari, bahwa Ken Padmi adalah seorang gadis. Menghadapi benturan kekerasan, ia dapat bertahan untuk mencucurkan air matanya. Tetapi menghadapi persoalan manusiawinya sebagai seorang gadis yang meningkat dewasa, maka Ken Padmi telah menangis.

Sebenarnyalah banyak sekali yang menyesak di dada gadis itu. Bukan saja karena lamaran yang mempunyai akibat yang luas bagi padepokannya dan murid-murid ayahnya. Tetapi seolah-olah mulai membayang lagi wajah ibunya yang sudah tidak ada disisinya lagi.

“Ken Padmi” berkata ayahnya, “aku mengerti, kenapa kau menangis. Tetapi katakanlah, persoalan yang sebenarnya yang bergejolak dihatimu”

Ken Padmi tidak segera menjawab. Tetapi air matanya masih saja mengalir.

“Katakan Ken Padmi, supaya aku dapat menimbang buruk dan baiknya. Jika kau tetap diam, maka aku tidak mengerti, yang manakah yang sebenarnya paling balik buatmu. Aku sama sekali tidak berniat untuk membuat hatimu bertambah pedih. Tetapi aku ingin membantumu, menyelesaikan masalah yang kau anggap baik”

“Ayah” suara Ken Padmi seolah-olah tersumbat di kerongkongannya, “aku telah menyebabkan seluruh padepokan ini gelisah”

“Mereka adalah keluarga kita yang baik” sahut ayahnya.

“Justru karena itu ayah” sahut Ken Padmi, “aku tidak sampai hati untuk mengorbankan segalanya yang pernah ada di padepokan ini”

“Mereka menyatakan kesediaan meraka dengan ikhlas” berkata ayahnya.

“Ayah” tiba-tiba saja suara Ken Padmi menjadi sangat dalam, “bagaimana jika aku menerima lamaran itu?”

Ayahnya terkejut. Dan sementara itu, seseorang yang bergeser ke balik dinding, di dalam gepapnya malam disisi rumah itupun terkejut pula.

“Kenapa begitu Ken Padmi?” bertanya ayahnya.

“Biarlah aku menyelesaikan masalahku sendiri setelah perkawinan itu berlangsung. Namun dengan demikian, aku tidak akan mengorbankan saudara-saudara seperguruanku. Dan bahkan mungkin para cantrik dan para pelayan yang tidak tahu menahu persoalannya”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya ayahnya dengan jantung yang tegang.

Di luar, melekat dinding, Mahisa Bungalanpun menjadi sangat gelisah pula menunggu jawaban Ken Padmi yang masih terisak.Sejenak Mahisa Bungalan yang berada diluar dinding tidak mendengar suara apapun juga. Namun rasa-rasanya jantungnya berdebaran ketika ia mendengar Ken Padmi menangis.

“Ayah” berkata Ken Padmi kemudian, “mungkin aku akan disebut seorang pengkhianat, atau seorang perempuan yang tidak wajar, atau sebutan apapun. Tetapi barangkali itu lebih baik, karena tidak akan menyangkut orang lain kecuali aku sendiri”

“Apakah yang akan kau lakukan?” desak ayahnya.

“Ayah” jawab Ken Padmi, “aku akan menerima lamaran itu. Aku akan kawin dengan anak muda dari Watu Kendeng itu. Tetapi, yang akan aku lakukan setelah itui adalah perang tanding”

“Kau kehilangan pegangan” desis ayahnya yang terkejut mendengar jawaban anaknya itu.

Sementar itu, Mahisa Bungalan terkejut pula. Bahkan, rasa-rasanya jantungnya semakin cepat berdegup di dalam dadanya. Dalam pada itu itu, Ken Padmi pun meneruskan, “Aku kira aku tidak akan mempunyai jalan lain. Jika aku menerima lamaran itu, maka tidak akan ada perselisihan antara padepokan ini dangan padepokan Watu Kendeng. Orang yang mempunyai seribu macam sebutan itu tidak akan berbuat sesuatu. Jika kemudian terjadilah persoalan antara aku dan suamiku, itu adalah persoalan yang tidak seharusnya dicampunri oleh orang lain”

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Namun terdengar ia menjawab, “Kau jangan menganggap seperti itu. Kau jangan menganggap bahwa persoalan suami isteri adalah persoalan yang tidak akan dicampuri oleh orang lain. Sedangkan, apakah sebenarnya hak orang itu mencampuri persoalanmu sekarang, sebelum kau menjadi isteri kemanakannya?”

Ken Padmi termangu-mangu. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan ayahnya.

“Dipandang dari sudut hak, maka ia sudah melanggar. Ia tidak wenang mencampuri persoalanmu sekarang ini. Dan iapun tidak mempunyai wewenang untuk memaksakan kehendaknya kepadamu dan kepada siapapun”

Ken Padmi tidak menjawab. Dan ayahnyapun berkata seterusnya, “Karena itu Ken Padmi. Sebaiknya kau tidak menjerumuskan dirimu ke dalam lingkungan yang akan dapat menyiksa batinmu. Biarlah kita berdiri atas sikap dan pendirian kita, apapun yang akan terjadi. Aku adalah ayahmu, dan aku akan mempertahankan jika kau memang tidak berniat untuk menyerah dirimu”

Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi terdengar isaknya menjadi semakin keras.

“Sudahlah. Tidurnya dengan nyenyak. Padepokan ini sudah siap menghadapi, sementara akupun akan tidur nyenyak pula. Karena apapun yang akan terjadi, sudah menjadi tekad kita bersama untuk menerima dengan ikhlas.

Ken Padmi tidak menjawab. Iapun kemudian menyembunyikan wajahnya yang menelungkup dibawah lengannya.

Sejenak kemudian, Ki Selabajra pun meninggalkan bilik Ken Padmi. Sementara itu, Mahisa Bungalan masih melekat dinding dengan jantung yang berdegupan.

Mahisa Bungalan harus mengerutkan tubuhnya di balik rimbunnya tanaman perdu di sisi rumah itu, ketika ia mendengar pintu butulan bederit. Kemudian iapun melihat Ki Selabajra keluar dari pintu butulan menuju ke sanggarnya.

Mahisa Bungalan pun dapat menduga, apa yang akan dilakukannya. Di saat-saat terakhir menjelang hari yang menentukan itu, maka ia telah berada di dalam sanggar bersama murid-muridnya yang sudah meninggalkah padepokan, dan tiga orang murid yang sudah mencapai tataran tertinggi.....

“Kita akan menghadapi kemungkinan yang sangat berat” berkata Ki Selabajra, “karena itu, terserahlah kepada kalian. Aku seharusnya mengerti, bahwa kalian tidak boleh terlihat ke dalam kemungkinan yang masih belum waktunya kalian alami”

Namun seperti Gemak Werdi dan Makerti, maka ketiga rang murid itupun menyatakan kesediannya untuk mengalami apapun juga. Apalagi salah seorang dari mereka adalah kemanakan Ki Selabajra sendiri.

“Aku akan menyampaikannya kepada ayah,” berkata kemanakannya itu, “tentu ayah juga akan datang di hari yang ditentukan itu.”

“Tidak,” jawab Ki Selabajra dengan serta merta, “aku tahu bahwa ayahmu tentu akan datang. Tetapi justru arena itu aku larang kau memberitahukan hal ini kepada ayahmu. Ia adalah saudaraku yang akan menjadi sandaran alur keluarga kita. Jika ia mengalami bencana seperti aku akan mengalaminya, maka sandaran jalur keluarga kita akan lenyap bersama-sama.”

Kemanakan Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-ialam. Tetapi ia tidak berani membantah. Apalagi ia dapat mengerti keterangan pamannya itu.

“Nah, berlatihlah di saat-saat yang gawat ini sebaik-baiknya. Meskipun aku tahu, bahwa tiga empat hari tidak akan ada artinya”

Meskipun demikian, maka murid-murid Padepokan Kenanga itupun segera tenggelam ke dalam latihan yang berat. Pada saat-saat yang gawat itu, Ki Selabajra sekan-akan teleh menuangkan segenap dasar-dasar ilmunya sampai tuntas. Namun iapun menyadari, bahwa selain landasan-landasan ilmu itu, maka pengalaman dan kesempatan mengembangkannyapun sangat penting pula artinya. Dan itulah yang kesempatannya tidak dipunyai leh murid-muridnya itu. Apa lagi ketiga muridnya yang masih belum dinyatakan selesai meskipun sudah berada pada tingkat yang terakhir.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun masih tetap berada dihalaman padepokan itu. Bahkan iapun telah bergeser mendekati sanggar. Namun ia tidak menampakkan dirinya.

Sejenak Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan menyatakan kehadirannya untuk menenangkan perasaan orang-orang dari Padepokan Kenanga, atau sama sekali tidak.

Namun akhirnya, Mahisa Bungalan pun justru menjauh. Ia masih dibayangi oleh perasaan segan. Ia sudah terlanjur minta diri untuk meninggalkan padepokan itu, sehingga memang agak aneh jika tiba-tiba ia sudah berada di padepokan itu lagi.

Ada sepercik parasaan malu di dalam dirinya, justru karena di padepokan itu ada seorang gadis yang meningkat dewasa. Meskipun demikian, Mahisa Bungalan tidak akan meninggalkan padepokan itu. Di hari-hari yang dekat, akan ada sekelompok orang-orang Watu Kendeng yang datang kepadepokan itu untuk menanyakan, apakah lamarannya diterima atau ditolak.

Menurut pengamatannya, setelah ia mendengar pembicaraan antara Ki Selabajra dan adik Ki Watu Kendeng, meka ia dapat menarik kesimpulan, bahwa Ki Selabajra sendiri tidak akan memaksakan kehendaknya. Tetapi adiknya yang mempunyai beberapa macam sebutan itulah yang telah menakut-nakuti orang-orang dari Padepokan Kenanga.

Ketika malam menjadi semakin malam, itu sementara orang-orang Padepokan Kenanga masih meneruskan latihan-latihanya yang berat, maka Mahisa Bungalan pun dengan hati-hati telah meninggalkan padepokan itu untuk kembali ke tempat persembunyiannya, di pinggir sebuah hutan yang tidak begitu besar. Untuk menghindari kesulitan yang tidak dikehendakinya, maka Mahisa Bungalan telah mencari tempat untuk tidur diatas dahan-dahan yang lebat tetapi tidak terlalu tinggi. Dengan menyilangkan beberapa potong kayu dari dahan kedahan, dan diikat dengan lulup maka Mahisa Bungalan telah membuat pembaringan yang menyenangkan sejak ia berada di tempat itu.

Hampir setiap hari, Mahisa Bungalan selalu mengawasi Padepokan Kenanga. Di siang hari ia menunggui jalan memasuki padukuhan itu dari arah Watu Kendeng meskipun dari kejauhan, sedangkan di malam hari, ia bahkan selalu mandekati padepokan itu.

Sepekan setelah lamaran Ki Watu Kendeng disampaikan, maka hati Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia menjadi sangat gelisah. Bukan karena ia menjadi silau terhadap orang yang memiliki bermacam-macam gelar itu. Tetapi ia selalu menjadi gelisah jika ia mengingat niat Ken Padmi untuk menerima saja lamaran itu untuk menghindari kemungkinan yang tebih buruk, yang dapat terjadi atas Padepokan Kenanga.

“Itu bukan urusanku” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan menggeram. Namun kemudian ia tidak dapat menghindari kenyataan, bahwa ia telah berada di sekitar padepokan itu untuk sepekan lamanya.

Di hari yang kelima, Mahisa Bungalan sama sekali tidak melepaskan pengawasannya atas jalan yang memasuki Padepokan Kenanga dari arah Watu Kendeng seperti yang pernah diketahuinya. Ia memperhatikan segenap orang yang datang. Apalagi jika ia melihat debu yang mengepul oleh sentuhan kaki kuda.

Tetapi sampai menjelang matahari turun di ujung Barat, ia tidak melihat iring-iringan dari padepokan Watu Kendeng, sehingga justru karena itu, ia menjadi semakin gelisah karenanya.

Namun ketika langit menjadi suram, barulah ia melihat iring-iringan dari kejahuan. Karena itulah, maka apun segera berusaha berlindung di balik sebatang pohon beberapa langkah dari jalan.

Tidak ada seorang pun yang memperhatikan gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan di antara rumput ilalang yang tumbuh liar di pinggir sebuah sungai kecil. Karena itu, maka merekapun tidak melihat, bahwa ada orang yang dengan sengaja telah menunggu kehadiran mereka.

Dari kejauhan, Mahisa Bungalan tidak berani memastikan apakah diantara mereka terdapat orang yang bergelar diantaranya Gagak Branang itu.

“Kenapa mereka menunggu sampai menjelang senja” guman Mahisa Bungalan.

Namun menurut dugaan Mahisa Bungalan, hal itu telah disengaja oleh adik Ki Watu Kendeng. Ia akan dapat berbuat banyak di malam hari. Dalam kegelapan, ia mampu melawan banyak orang Padepokan Kenanga dengan caranya.

Tetapi tiba-tiba iapun berguman, “Tetapi hal ini akan lebih baik pula bagiku. Aku akan dapat menonton pertunjukkan itu dari jarak yang tidak terlalu jauh. Bahkan jika mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka.

Mahisa Bungalan yang pernah tinggal di Padepokan Kenanga telah mengenal keadaan padepokan itu dengan baik, sehingga ia akan dapat menempatkan diri untuk mengamati keadaan padepokan itu.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun segera mempersiapkan diri. Tetapi ia masih menunggu beberapa saat dengan gelisah agar gelap segera turun menyelimuti seluruh Padepokan Kenanga.

“Tentu tidak akan segera terjadi sesuatu” berkata Mahisa Bungalan kepada dirinya sendiri, “Mula-mula mereka akan dijamu. Baru kemudian mereka akan berbicara tentang gadis itu. Pada saat itulah. Paman anak muda dari Watu Kendeng itu akan menunjukkan, apakah yang telah dikatakanlah itu sekedar ancaman atau benar-benar akan disertai dengan sikap dan perbuatan”

Dalam pada itu, maka iring-iringan itupun telah diterima oleh Ki Selabajra dengan sebaik-baiknya. Tidak terkesan sama sekali di wajahnya, bahwa ia pernah mendapat ancaman dari orang yang pernah mendapat gelar Macan Kajiman yang ada juga di dalam iring-iringan itu.

Namun dalam pada itu, Macan Kajiman itu menggamit seorang pengiringnya yang berada di sampingnya. Dengan berbisik ia berkata, “Tidak akan lepas lagi. Gadis itu tentu akan dapat dibawa Ke Watu Kendeng”

“Untunglah Kuda Pramuja yang mempunyai seorang paman yang mengerti tentang keadaannya” jawab pengiringnya.

Macan Kajiman mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berbisik di telinga pengiringnya, “Kau adalah pengikutku yang setia. Jangan hiraukan orang-orang Watu Kendeng. Juga jangan hiraukan Kuda Pramuja. Jika gadis itu sudah di Watu Kendeng, kau tahu apa yang harus kau lakukan. Kesannya adalah gadis itu melarikan diri”

Pengiring Macan Kajiman itu tersenyum. Namun mereka tidak dapat berbicara, lebih banyak lagi, karena iring-iringan itu telah dipersilahkah naik ke pendapa.

Ketika para tamu dari Watu Kendeng itu telah duduk di atas tikar pandan yang putih, maka mulailah mereka seperti yang terbiasa, saling bertanya tentang keselamatan di perjalanan, dan keluarga yang ditinggalkan.

Namun dalam pada itu, pengiring Macan Kajiman yang juga disebut Alap-alap Wereng itu menjadi sangat gelisah, la memang bukan orang Watu Kendeng. Tetapi ia adalah memang pengawal Macan Kajiman itu.

Meskipun demikian, ia tidak dapat mengerti, kenapa hal itu sampai hati dilakukannya. Ia sudah terbiasa melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya dan kehendak Macan Kajiman. Tetapi terhadap orang lain. Tidak terhadap keluarga sendiri. Jika Macan Kajiman yang juga bernama Gagak Branang itu memaksakan kehendaknya kepada Ki Selabajra agar memberikan anak gadisnya kepada anak Watu Kendeng, itu masih dapat dimengerti. Tetapi menurut tangkapannya yang sekilas, sesudah gadis itu berada di Watu Kendeng, maka gadis itu akan dilarikannya, tetapi dengan kesan, bahwa gadis itu telah melarikan dirinya sendiri.

“Rencana yang paling gila” geram pengikutnya itu. Betapa kasar jiwanya, tetapi ia masih belum dapat mengerti jalan pikiran Gagak Branang yang gila itu.

Meskipun demikian ia tidak dapat membantah atau mencegahnya. Jika hal itu harus terjadi, maka ia hanya akan melaksanakan saja. Tentu ia harus memanggil pengikut Gagak Branang yang lain dan memberikan kesempatan kepadanya untuk melarikan gadis itu, sementara ia dan Gagak Branang akan berpura-pura ikut kehilangan, dan barangkali ikut mencarinya pula.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Seorang dari Watu Kendeng yang duduk di sampingnya mendengar seolah-olah orang itu berdesah, sehingga karena itu iapun bertanya lirih, “Kenapa kau berdesah?”

“Pengikut Gagak Branang itu mengerutkan keningnya, jawabnya, “Tidak apa-apa. Dan aku tidak berdesah. Tetapi aku hanya berdesis saja”

Orang Watu Kendeng yang duduk di sampingnya hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan oleh orang yang duduk di sebelahnya itu. Seorang pengikut adik Ki Watu Kendeng yang kebetulan sedang berkunjung ke padepokan itu.

Sejenak kemudian, setelah kebiasaan untuk saling bertanya tentang keselamatan itu selesai, maka mulailah beberapa orang cantrik menghidangkan sekedar makanan dan minuman.

Sementara orang-orang yang berada di pendapa itu makan dan minum sambil berbicara tentang keadaan serta padepokan masing-masing, maka malampun mulai turun menyelubungi Padepokan Kenanga. Di pendapa, di ruang dan bilik, dan di sudut-sudut rumah lampu minyak sudah mulai dipasang.

Namun orang-orang yang berada di pendapa itu nampaknya masih saja belum sampai kepada maksud pembicaraan yang sebenarnya.

“Aku tidak telaten” geram Macan Kajiman kepada pengikutnya, “aku akan mulai dengan maksud yang sebenarnya”

“Jangan Ki Lurah” desis pengikutnya, “hal itu akan menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan. Mungkin akan timbul ketegangan”

“Itulah yang aku inginkan” sahut adik Ki Watu Kendeng.

“Bukan ketegangan dengan orang-orang Kenanga. Tetapi ketegangan dengan orang-orang Watu Kendeng sendiri, karena mereka merasa dilampaui”

Macan Kajiman yang juga disebut Gagak Branang itu menggeram. Namun iapun kemudian berdesah, “Itulah yang sangat menjengkelkan. Jika aku tidak mempedulikan semuanya, maka aku kira aku akan cepat selesai”

“Namun akhirnya akan rusak juga jika orang-orang Kenanga tidak memenuhi keinginanku” desis Gagak Branang.

“Bersabarlah sedikit” desis pengikutnya yang mengenal sifat Gagak Branang itu

Karena itulah, maka adik Ki Watu Kendeng itu terpaksa memaksa dirinya untuk tetap duduk dengan menahan gejolak kegelisahannya. Seolah-olah pembicaraan mereka sama sekali tidak mengarah ke makna kedatangan orang-orang Watu Kendeng ke Padepokan Kenanga yang sudah direncanakan sebaik-baiknya itu.

Baru setelah dadanya menjadi hampir retak oleh ketidak-sabaran, maka barulah Ki Watu Kendeng beringsut sambil berkata, “Ki Kenanga. Tentu Ki Kenanga sudah mengerti mengapa kami sekelompok kecil ini datang ke Padepokan Kenanga. Beberapa hari yang lalu, kamu sudah pernah datang kemarikan mengajukan satu masalah yang menyangkut anak gadis Padepokan Kenanga. Karena itu, maka seperti yang telah kami katakan, sekarang kami datang untuk bertanya, keputusan yang diambil oleh anak gadis Ki Kenanga itu”

Ki Kenanga menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, terasa jantungnya bergetar. Apalagi ketika sekilas dilihatnya, adik Ki Watu Kendeng yang memandanginya dengan tajamnya.

Setelah beringsut sejengkal, maka Ki Selabajra itupun berkata dengan nada yang gelisah, “Ki Watu kendeng. Betapa rasa terima kasih kami atas kunjungan Ki Watu Kendeng, dan apalagi Ki Watu Kendeng berkenan memandang anak gadis padepokan yang tidak berarti ini”

Gagak Branangpun mulai berdebar-debar. Jika orang itu tidak memenuhi keinginannya, maka ia tentu tidak, akan dapat menahan diri iagi.

“Ki Watu Kendeng” Ki Selabajra meneruskan, “seperti yang aku katakan, karena bukan aku yang akan menjalaninya, maka akupun telah menyampaikan lamaran yang sangat kami hargai itu kepada anak gadisku”

Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Sementara wajah-anak laki-lakinya pun menjadi tegang.

“Gila” geram Gagak Branang, “kenapa ia harus berputar-putar seperti orang mabuk tuak”

Sementara itu Ki Selabajra meneruskan, “Ki Watu Kendeng, sebagai orang tua, maka aku tidak lebih dari sekedar mengatakan apa yang dikatakan oleh anakku”

“Ya, ya Ki Selabajra” Ki Watu Kendengpun seolah-olah tidak sabar lagi menunggu.

“Sebelumnya, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Bukan maksud anakku menolak lamaran Ki Watu Kendeng bagi anak laki-laki yang tidak bercacat, angger Kuda Pramuja, tetapi sekedar karena merasa kekecilan diri dan kekurangannya. Apalagi anakku masih terlalu muda, sehingga saat ini, ia masih belum dapat menerima lamaran itu, karena anakku masih belum berhasrat dan belum memikirkan hari-hari perkawinan”

Jawaban itu membuat wajah Ki Watu Kendeng menegang sejenak, seperti juga wajah-wajah orang Watu Kendeng yang lain. Apalagi wajah Gagak Branang yang menjadi merah padam.

Dadanya yang bagaikan akan meledak, membuat nafasnya menjadi sesak.

Dalam pada itu, Ki Watu Kendeng pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Ki Kenanga. Betapa besar harapan kami, bahwa lamaran kami akan dapat diterima. Tetapi ternyata bahwa angger Ken Padmi masih belum memikirkan masalah perkawinan. Tetapi Ki Selabajra, apakah hal itu berarti bahwa kami masih dapat menunggu dan berharap, bahwa pada suatu saat, jika Ken Padmi telah menjadi semakin dewasa, lamaran kami ini akan dapat kami sampaikan sekali lagi”

Pertanyaan itu di luar dugaan Ki Selabajra. Karena itu, maka iapun menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu tanpa menyinggung perasaannya, tetapi juga tidak membebani jiwanya untuk masa yang panjang.

Ketika ia berbicara tentang anak gadisnya, dan hanya dengan sepintas dan bergurau, ia tidak menolak permintaan Ki Watu Kendeng untuk mengikat tali kekeluargaan, maka Ki Watu Kendeng itu menganggap bahwa ia boleh mengharapkan kemungkinan itu dapat benar-benar terjadi.

Namun dalam pada itu, selagi Ki Selabajra mencari jawaban yang paling baik, maka terdengar seseorang berkata lantang, “Kenapa kami masih harus menunggu dan sekedar berharap?”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Dengan tegang mereka memandang Gagak Branang yang wajahnya menjadi merah.

Hal itulah yang telah diduga lebih dahulu oleh Ki Selabajra. Karena itu, maka ia justru tidak begitu terkejut karenanya, meskipun ia tidak segera menjawab.

“Kakang Watu Kendang” berkata orang itu, “apakah kakang hanya dapat mengelus dada sambil memeluk nasib malang?”

Ki Watu Kendeng memandang adiknya dengan tegang. Kemudian iapun bertanya, “Apakah maksudmu?”

“Jangan merajuk seperti kanak-kanak kakang. Berkatalah dengan tegas, bahwa gadis itu kau perlukan bagi Kuda Pramuja, Jangan bertanya, boleh atau tidak boleh. Tetapi katakanlah sesuai dengan yang kau harapkan”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Kita berada dalam lingkungan hidup yang luas. Itulah sebabnya kita harus menyangkutkan kepentingan kita sendiri dengan kepentingan orang lain. Jika di dalam hidup yang saling berhubungan ini kita hanya memikirkan kepentingan kita sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain, maka pergaulan kita akan sering terganggu”

“Dalam banyak hal, yang kakang katakan itu benar. Tetapi satu hal ini adalah hal yang tidak dapat sekedar memikirkan kepentingan orang lain. Kakang harus memikirkan hari depan Kuda Pramuja yang akan meneruskan jalur keluarga kakang. Apakah kakang rela melihat hidupnya selalu dibayangi oleh kekecewaan dan kesepian?”

Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Ki Watu Kendeng, maka nampak betapa bedanya bayangan sifat dan watak pada kedua kakak beradik itu.

Apalagi ternyata dengan sareh Ki Watu Kendeng berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa kita sudah kehilangan kesempatan untuk selama-lamanya”

Adiknya justru menggeram. Katanya, “Kakang akan menunggu sampai berapa tahun. Di tahun pertama, Ki Kenanga akan menjawab seperti yang dikatakannya sekarang. Mungkin di tahun kedua ia masih berkata bahwa anaknya belum ingin kawin. Tetapi di tahun ketiga, tahu-tahu gadis itu sudah kawin dengan orang lain”

“Ah. jangan terlalu berprasangka. Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara di hari-hari kemudian” sahut kakaknya.

Tatapi seperti yang diduga oleh Ki Selabajra, maka Gagak Branang itu berkata, “Kakang tidak perlu menunggu. Kedatangan kita kali ini adalah keputusan terakhir. Kita datang untuk mengambil gadis itu. Boleh atau tidak boleh, mau atau tidak mau”

Wajah Ki Watu Kendeng menjadi tegang. Apalagi ketika adiknya berkata, “Kakang, serahkan persoalannya kepadaku”

Tetapi yang ada di pendapa itu menjadi berdebar-debar, ketika Ki Watu Kendeng justru menjawab, “Itu bukan watakku. Aku adalah seorang yang menyadari keadaan diri dan padepokanku. Apalagi masih ada kesempatan di hari mendatang, sedangkan seandainya gadis itu menolak sekalipun, aku tidak akan dapat memaksa”

“Kakang terlalu baik hati. Tetapi tentu tidak para pengikut kakang. Aku akan mengajari mereka, bagaimana seharusnya menghadapi masalah-masalah yang besar seperti ini. Kuda Pramuja harus yakin akan hari depannya. Dan hari depan anak itu sebagian adalah tanggung jawab kakang pula” berkata adiknya.

Wajah Ki Watu Kendeng menjadi semakin tegang. Dipandanginya wajah adiknya yang menyala. Katanya, “Kau jangan menodai nama baik perguruan Watu Kendeng. Kami adalah sekelompok orang yang mempelajari olah kanuragan bukan untuk memaksakan kehendak kami kepada orang lain”

“Aku tahu kakang orang baik. Tetapi kakang juga silau melihat perguruan Kenanga. Kakang mungkin pernah mendangar bahwa Ki Selabajra memiliki ilmu yang tinggi dan kemampuan aji yang sulit tandingnya” Gagak Branang itu berhenti sejenak, lalu katanya melanjutkan, “kakang, serahkan orang-orang Kenanga ini kepadaku dan kepada Kuda Pramuja beserta pengiringnya. Semuanya akan selesai dengan baik. Baik bagi kakang dan baik bagi Kuda Pramuja. Jika Ki Kenanga tidak berkeras kepala, maka akibatnya akan baik juga bagi Ki Kenanga dan anak gadisnya itu”

“Aku tidak sependapat” berkata Ki Watu Kendeng dengan tegas. Lalu, “Aku masih menghormati pergaulan antara manusia. Aku masih belum memilih jalan kehidupan seperti binatang di rimba. Siapa yg kuat, ia berhak memaksakan kehendaknya pada yang lemah, sampai membunuh sekalipun tanpa tanggung jawab. Tetapi itu terjadi di dunia binatang yang hanya hidup dalam naluri kebinatangannya. Sedangkan tidak pada kita. Kita mempunyai nalar budi dan perasaan. Dengan demikian kita tidak akan dapat bertindak sekasar itu”

“Kakang terlalu banyak pertimbangan. Sekarang, silahkan kakang bertanya kepada Kuda Pramuja. Apakah prasetianya bagi bakal isterinya” berkata Gagak Branang.

Ki Watu Kendeng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia memandang anaknya sambil bertanya, “Katakan. Apa yang kau kehendaki sebenarnya”

Kuda Pramuja ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah pamannya yang merah. Kemudian Katanya, “Aku sudah prasetia ayah. Jika aku datang sekali lagi ke Padepokan Kenanga seperti sekarang, maka itu berarti bahwa aku harus membawa Ken Padmi keluar dari padepokan ini ke Padepokan Watu Kendeng”

“Kau gila”

“Benar ayah. Jika perkawinan ini urung apapun alasannya bagiku lebih baik aku mati bersama leburnya Padepokan Kenanga yang akan menjadi karang abang”

“Cukup” bentak Ki Watu Kendeng, “tentu pamanmu yang mengajari kau berbuat demikian. Sabelum pamanmu pulang ke padepokan, kau tidak pernah mengatakan demikian. Kau hanya mengatakan bahwa kau bertemu dengan Ken Padmi, dan kau merasa tertarik sekali kepada gadis itu, tanpa memilih antara hidup dan mati”

“Tetapi sekarang aku memilihnya ayah” jawab Kuda Pramuja, “aku benar-benar memilih mati daripada urung”

Ki Watu Kendeng menjadi tegang. Kamudian katanya lantang, “Kau jangan menjadi gila karena pengaruh pamanmu. Aku tidak mengajarimu berbuat demikian. Dan kau tidak boleh berbuat demikian”

Kuda Pramuja menjadi ragu-ragu. Tiba-tiba saja kepalanyapun tertunduk dalam-dalam.

“Kakang” Gagak Branang lah yang menyahut, “Mungkin kakang dapat memaksa anak itu diam. Mungkin kakang dapat memaksa anak itu kembali tanpa gadis yang diinginkan. Tetapi hatinya menjadi patah. Dan ia pun siap untuk membunuh dirinya sendiri. Siang atau malam, pagi atau sore, bahkan mungkin sekarang di pendapa ini”

“Tidak” Ki Watu Kendeng memotong, “ia adalah anak laki. Anak perguruan Watu Kendeng. ia tidak akan secepat itu menjadi kehilangan akal dan putus asa, jika kau tidak mengajarinya. Alangkah rendahnya seseorang yang mati membunuh diri. Apalagi karena perkawinan yang gagal”

“Jika ia menusuk dadanya dengan kerisnya, maka ia adalah orang yang paling hina. Tetapi jika ia mati dengan keris di tangan dan yang telah dibasuhnya dengan darah lawan, maka ia adalah seorang pahlawan yang tidak gentar memberikan korban bagi suatu keinginan yang diyakininya”

Wajah Ki Watu Kendeng menjadi merah seperti darahnya. Dengan lantang ia bertanya kepada anaknya, “He, Kuda Pramuja. Apakah benar kau ingin berbuat gila demikian?”

Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncangkan isi dada. anak muda itu. Sebenarnya ia memang tidak segarang itu. Pamannyalah yang telah mengajarinya, seperti yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng. Karena itu, ketika ayahnya menyudutkannya ke dalam keadaan yang sulit, maka melonjaklah nuraninya tanpa sesadarnya.

“Jawab pertanyaanku” bentak Ki Watu Kendeng.

Kuda Pramuja yang terkejut itupun menjawab dengan suara bergetar, “Tidak ayah. Aku menurut apa yang ayah katakan”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Gagak Branang berteriak, “Persetan orang-orang Watu kendeng yang pengecut. Akulah yang akan menentukan sikap sebagai seorang laki-laki. Aku minta Ki Selabajra menyerahkan anak gadisnya kepada Kuda Pramuja. Jika tidak, maka padepokan ini akan menjadi karang abang”

“Itu bukan maksudku” Ki Watu Kendeng lah yang menjawab, “jika kau ingin berbuat demikian, aku tidak bertanggung-jawab. Bahkan seandainya kau berhasil merampas gadis Kenanga itu dengan kekerasan, ia tidak akan menjadi isteri anakku. Anakku hanya beristeri dengan orang yang dapat menerimanya dengan ikhlas. Tidak karena terpaksa atau dengan dorongan lain yang tidak dikehendakinya sendiri”

Gagak Branang itu benar-benar menjadi marah. Dengan kasar iapun kemudian meloncat dari pendapa sambil berteriak, “Aku sudah terlanjur mengatakan maksudku. Aku akan merampas gadis itu dari Padepokan Kenanga. Jika orang-orang Watu Kendeng akan menghalang-halangi aku, maka merekapun akan menjadi lawanku yang akan aku singkirkan dari muka bumi. Tegasnya, aku akan membunuh siapa saja yang akan menghalang-halangi niatku mengambil gadis itu. Jika Kuda Pramuja yang ternyata seorang pengecut itu tidak akan menerimanya, maka aku akan mengambilnya menjadi isteriku sendiri”

Orang-orang yang berada di pendapa itupun menjadi tegang. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa Gagak Branang telah benar-benar menjadi seperti orang yang wuru tanpa menghiraukan apapun juga. Bahkan kakaknya pun sama sekali tidak dapat mempengaruhi sikapnya.

“Nah, Ki Selabajra. Sebelum peristiwa yang buruk itu terjadi diatas padepokanmu, panggillah anakmu dan serahkanlah kepadaku. Karena kau dan orang-orangmu bahkan bersama orang-orang Watu Kendeng yang ada disini, tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku dan orang-orangku”

“Kau hanya sendiri. Apa yang-dapat kau lakukan?” bertanya kakaknya.

“Yang nampak, aku hanya berdua” jawab Gagak Branang, “tetapi jika diperlukan, aku akan dapat memanggil orang-orangku yang setia untuk menghancurkan padepokan ini”

Wajah-wajah itupun semakin menjadi tegang. Pengiring Gagak Branang itupun menjadi berdebar-debar pula. Peristiwa itu terjadi terlalu cepat. Pembicaraan di pendapa itu telah patah sesaat saja dari kata-kata pembukaan.

“Terlalu” desisnya, “Ki Lurah tidak dapat menahan diri menghadapi keadaan ini. Tetapi justru karena ialah yang telah tergila-gila dengan gadis Padepokan Kenanga itu”

Namun demikian, pengikutnya itu tidak dapat berbuat lain daripada mempersiapkan diri. Jika keadaan tidak lagi dapat dikuasai, maka iapun harus bertempur. Ia mengerti, betapa tingginya kemampuan Gagak Branang. Tetapi ia menjadi berdebar-debar, karena jumlah lawan yang terlalu banyak. Bahkan nampaknya orang-orang Watu Kendeng sendiri justru akan berdiri di pihak Padepokan Kenanga.

Namun dalam pada itu, diluar pengetahuan pengiring Gagak Branang itu, tiga orang adik seperguruan Gagak Branang sedang merayap mendekati Padepokan Kenanga. Mereka tahu, bahwa keadaan akan segera membakar pertemuan itu seperti yang dipesankan oleh Gagak Branang. Karena itulah, maka merekapun telah mempersiapkan diri, sejak Gagak Branang memasuki Padepokan Kenanga.

“Nampaknya suasana padepokan itu telah meningkat menjadi panas, “berkata salah seorang dari ketiga orang itu.

“Ya. Kau dengar suara Macan Kajiman itu? Nah, marilah, apalagi yang kita tunggu?”

“Biarlah perkelahian itu pecah lebih dahulu. Kita akan melihat, siapakah yang akan menjadi lawannya. Baru kita akan turun sambil mengejutkan mereka” jawab yang lain.

Ketiga orang itupun kemudian menunggu sambil melekat ke dinding padepokan. Setiap saat mereka siap untuk meloncat masuk dan melihatkan diri ke dalam arena perkelahian itu.

“He, seperti yang diduga oleh Macan Kajiman, saudara laki-lakinya itu benar-benar seorang pengecut. Juga anak yang dipakainya sebagai kedok itupun tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka agaknya Macan Kajiman benar-benar harus mempergunakan kekerasan”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun yang seorang lagi tertawa sambil berkata, “Suatu kesempatan yang baik untuk mencari perbandingan ilmu. Selebihnya, padepokan itu tentu memiliki sesuatu yang menarik selain anak perempuan Ki Selabajra itu. Mungkin emas, mungkin selaka, mungkin pusaka-pusaka yang berharga”

Tiba-tiba saja kawan-kawannyapun tertawa tertahan. Yang seorang berdesis, “Bagi Macan Kajiman, yang penting adalah gadis itu saja, meskipun ia sudah mempunyai lebih dari sepuluh istri, “

Ketiga orang adik seperguruan Gagak Branang itu hampir tidak dapat menahan suara tertawanya. Namun untunglah, bahwa suara itu tidak terdengar dari dalam halaman yang sedang dicengkam oleh ketegangan.

Dalam pada itu, orang-orang yang berada di pendapa Padepokan Kenanga itu bagaikan telah dipanggang di atas api. Makerti yang sejak semula hanya berdiam diri saja, tidak lagi dapat menahan diri.

Tetapi ketika ia siap untuk meloncat, Ki Selabajra telah menggamitnya sambil berbisik, “Orang itu bukan lawanmu”

“Tetapi jantungku bagaikan retak guru” desis Makerti.

Ki Selabajra menggelengkan kepalanya. Bahkan ketika Gemak Werdi bergeser, iapun menggeleng lemah.

“Aku akan turun ke halaman” desis Ki Selabajra.

Dengan dada tengadah, maka Ki Selabajrapun kemudian melangkah ke tangga pendapa. Tetapi langkahnya tertahan ketika Ki Watu Kendeng meloncat ke sampingnya sambil berkata, “Ki Kenanga. Jangan kau hadapi anak itu seorang diri”

“Kenapa?”

“Ia memiliki ilmu iblis”

“Apapun yang akan terjadi Ki Watu Kendeng, aku adalah ayah dari gadis yang dikehendakinya dengan kekerasan. Aku harus mempertahankannya sampai kemampuanku yang terakhir”

“Kemarilah” teriak Gagak Branang, “jika kau ingin mati, turunlah ke halaman”

“Aku akan menyertainya” diluar dugaan Ki Watu Kendeng berteriak, “akulah yang menyebabkan keonaran ini terjadi. Jika aku tidak datang melamar anak Ki Selabajra, maka tidak akan terjadi seperti ini. Karena itu, biarlah aku menebus kesalahan ini dengan mempertaruhkan hidupku bersama Ki Selabajra”

“Pengerut, minggirlah kakang” Teriak Gagak Branang, “aku masih merasa segan membunuh saudara kandung meskipun aku tahu tingkat kemampuanmu”

“Aku mengerti, bahwa tingkat kemampuanmu adalah tingkat kemampuan iblis. Tetapi panggilan nuraniku memaksa aku untuk melibatkan diri dalam pertempuran ini. Mungkin aku dari Ki Selabajra masih belum dapat mengimbangi kemampuanmu. Tetapi di sini ada beberapa orang murid Padepokan Kenanga dan beberapa orang murid Watu Kendeng. Betapapun tinggi ilmumu beserta seorang pengiringmu itu, namun kau tidak akan mampu melawan kami yang lebih dari sepuluh orang ini”

Gagak Branang tertawa. Katanya, “Apa artinya sepuluh orang itu bagiku dan bagi pengiringku. Bahkan mungkin masih ada orang lain yang akan membantuku. Kalian akan segera terkapar mati. di halaman padepokan ini, sementara aku akan membawa gadis Kenanga itu”

Ketegangan di halaman itupun sudah memuncak. Ketika Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng turun ke halaman, maka setiap orang telah berloncatan turun pula.

“Kita akan bertempur bersama-sama” teriak Ki Watu Kendeng, “aku mengerti, apa yang dapat dilakukan oleh iblis itu”

Gagak Branang tertawa keras-keras. Semakin lama menjadi semakin keras. Diantara derai tertawanya terdengar ia berkata, “Kalian mulai berputus asa. Baik. Aku mengakui, bahwa aku tidak akan dapat melawan sepuluh orang sekaligus. Tetapi aku tidak sendiri. Aku datang berdua dengan pengiringku. Nah, dengan demikian, kalian tidak akan dapat melawan aku. Apalagi jika saudara-saudara seperguruanku datang pula saat ini”

“Jangan menakut-nakuti” desis Ki Watu Kendeng, “kau memang hanya berdua”

Sementara itu, salah seorang dari ketiga orang saudara seperguruan Gagak Branang berkata, “Ia sudah menyebut kita bertiga”

“Jika demikian, marilah. Apa yang kita tunggu lagi?” sahut yang lain.

Yang seorang terdiam sejenak. Namun kemudian Katanya, “Marilah Kita meloncat dinding”

“Tunggu” desis yang lain, “aku akan mempersiapkan diri untuk tertawa. He, bukankah dengan tertawa kita akan menjadi semakin garang?”

“Suara tertawamu jelek. Biar aku sajalah yang tertawa seperti guntur. Aku sudah mempelajari gelap ngampar serba sedikit”

Ketiga orang itupun segera mempersiapkan diri. Sejenak kemudian, di saat ketegangan di halaman memuncak, terdengarlah suara tertawa meledak.

Setiap orang di halaman itupun berpaling. Mereka dengan berdebar-debar melihat tiga orang berloncatan dinding halaman.

Dalam pada itu, maka Gagak Branangpun berteriak lantang, “Lihatlah. Saudara-saudaraku yang setia itu telah datang”

“Gila” geram Ki Watu Kendeng, “jadi kau memang sudah mempersiapkan perampokan ini”

“Jangan menyesali apa yang terjadi, kakang” jawab Gagak Branang, “jika kau masih ingin hidup, menyingkirlah. Sudah aku katakan, aku masih segan membunuhmu”

“Persetan” geram Ki Watu Kendeng, “bunuhlah aku paling dahulu”

Tiba-tiba saja Ki Watu Kendeng menarik kerisnya yang besar yang melekat di punggung. Dengan tangkasnya ia meloncat menusuk dada adiknya yang telah mengkhianatinya itu.

Tetapi Gagak Branang mampu bergerak lebih cepat. Ia bergeser selangkah, sehingga tusukan Ki Watu Kendeng tidak mengenainya.

Serangan itu telah merupakan aba-aba yang melibatkan semua orang di halaman itu untuk bertempur. Sementara ketiga saudara Gagak Branang itupun segera turun pula memasuki arena.

Dalam pada itu, orang-orang Watu Kendeng menjadi termangu-mangu. Kuda Pramujapun berdiri saja kebingungan. Tetapi sejenak kemudian, ketika ia melihat ayahnya mulai bertempur, maka iapun berteriak, “Jangan bingung. Aku bukan pengecut seperti yang dikatakan oleh paman. Aku hanya bingung. Tetapi aku sekarang sudah mengerti apa yang sebenarnya terjadi”

Orang-orang Watu Kendeng yang termangu-mangu itupun segera menemukan sikap. Merekapun segera turun ke arena bersama Kuda Pramuja.

Tetapi mereka pada umumnya tidak siap untuk bertempur. Mereka tidak membawa senjata yang memadai, selain sebilah keris, karena mereka memang tidak bersiap untuk bertempur. Mereka datang untuk melamar.

Sementara itu, orang-orang Padepokan Kenanga yang telah menduga bahwa akan terjadi kekerasan, telah bersiap-siap meskipun masih tersembunyi. Tetapi demikian pertempuran terjadi, maka salah seorang dari mereka telah dengan tergesa-gesa mempersiapkan senjata dan menyerahkan kepada Makerti, Gemak Werdi dan ketiga orang murid tertinggi Padepokan Kenanga. Meskipun mereka masih belum selesai, tetapi mereka telah memiliki bekal yang cukup untuk menjaga dirinya^sendiri.

Namun ternyata lawan mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Di halaman itu adalah lima orang yang memiliki kemampuan melampaui setiap orang yang ada di padepokan itu, Bahkan Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajrapun tidak akan dapat mengimbanginya.

Hanya karena jumlah mereka yang lebih banyak, maka merekapun dapat berusaha, untuk membatasi gerak lawan mereka dengan bertempur berpasangan.

“Gila” desis Ki Selabajra, “ternyata orang itu memang licik, selain memiliki kemampuan yang luar biasa”

Namun dalam pada itu, sejenak kemudian maka segera nampak, betapa lemahnya orang-orang Watu Kendeng dan orang-orang Padepokan Kenanga. Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra sendiri, yang bagi orang-orang Watu Kendeng dan orang-orang Kenanga merupakan puncak dari ilmu mereka, sama sekali tidak berdaya menghadapi Gagak Branang dan saudara-saudara seperguruannya.

Karena itu, meskipun mereka berjumlah jauh lebih banyak, namun merekapun segera terdesak. Bahkan ketika orang-orang Watu Kendeng telah mendapatkan senjata yang memadai dari orang-orang Padepokan Kenanga, ternyata mereka tidak dapat berbuat banyak.

Dalam keadaan yang demikian, maka orang-orang Watu Kendeng dan orang-orang Padepokan Kenanga sama sekali tidak dapat berharap lagi. Sejenak kemudian, maka mereka akan segera dibinasakan, sementara padepokan itu akan menjadi abu. Tetapi yang paling menyedihkan bagi Ki Selabajra dan juga Ki Watu Kendeng adalah anak gadis Padepokan Kenanga itu.

Namun bagaimanapun juga, orang-orang Kenanga dan orang-orang Watu Kendeng telah bertempur dengan sengitnya. Mereka memang sudah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali dengan sepenuh kemampuan mempertahankan diri mereka.

Gagak Branang, seorang pengiringnya dan ketiga orang saudara seperguruannyapun segera merasa, bahwa tugas mereka tidak akan sangat berat. Mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu. Seorang demi seorang, lawan mereka akan dapat mereka lumpuhkan, sehingga akhirnya akan sampai kepada orang terakhir.

Dalam pada itu, terdengar suara Gagak Branang lantang, “Selagi kalian masih mendapat kesempatan. Lakukanlah perintahku. Siapa yang ingin hidup, minggirlah dan bawa gadis itu kemari. Aku akan membawanya dan menjadikannya isteri yang keempat belas”

Penghinaan itu benar-benar telah membakar jantung Ki Selabajra. Namun betapapun juga ia tidak mampu berbuat banyak. Serangannya yang keras dan cepat, sama sekali tidak dapat menyentuh tubuh lawannya.

Tetapi karena Ki Selabajra bertempur berpasangan dengan Ki Watu Kendeng, maka Gagak Branang memang harus berhati-hati. Melawan kedua,orang itu, ia tidak dapat mengabaikan seperti menghadapi orang-orang yang lain, meskipun baginya kedua orang itu tidak akan mungkin mengalahkannya.

“Aku akan menghitung sampai sepuluh” teriak Gagak Branang, “siapa yang tidak minggir dari arena, maka mereka akan mati”

Setiap orang menjadi berdebar-debar. Keteganganpun segera memuncak ketika Gagak Branang benar-benar mulai menghitung, “Satu, dua, tiga, empat” suara Gagak Branang lantang, “lima, enam, tujuh, delapan, sembilan”

Suara Gagak Branang terputus, ketika tiba-tiba saja terdengar suara seorang perempuan, “Tidak perlu kau mengucapkan angka kesepuluh”

Suara itu benar-benar mengejutkan. Ketika mereka yang sedang bertempur itu berpaling, maka mereka melihat seorang gadis yang berdiri di muka pintu menyandang pedang di lambung.

“Ken Padmi” Ki Selabaira berteriak, “menyingkirlah”

“Tidak ayah. Aku tidak akan menyingkir” jawab Ken Padmi.

“Jangan bodoh” Makertipun berteriak. Tetapi Ken Padmi masih, berdiri di tempatnya. Dengan lantang ia berkata, “Ayah. Pusat dari persoalan ini ada padaku”

“Ya. Tetapi menyingkirlah”

Semua orang menjadi heran melihat Ken Padmi justru tersenyum. Untuk sesaat pertempuran itu justru telah berhenti.

“Ayah” berkata Ken Padmi, “jika ayah mengijinkan, biarlah aku mencari penyelesaian dari persoalan ini”

“Apa yang kau maksud?”

“Seandainya ada perkelahian, jangan menyangkutkan orang yang tidak bersalah”

Orang-orang yang berdiri di halaman itu pun menjadi semakin tidak mengerti. Mereka melihat Ken Padmi berdiri tegak tanpa kecemasan sama sekali.

Ki Selabajra yang mencemaskan nasib anaknya itupun kemudian melangkah naik ke pendapa. Tatapi anaknya sudah berteriak, “Aku akan mengadakan sayembara tanding”

“Sayembara tanding” setiap mulut telah mengulang.

“Ya. Sayembara tanding. Aku akan memilih seorang yang akan melindungi aku. Siapa pun yang dapat mengalahkannya, maka ia berhak atas aku, apa pun yang akan dilakukannya. Apakah aku akan dijadikan istrinya yang ke duapuluh lima, atau akan dijadikan budak belian, aku sama sekali tidak berkeberatan. Apa pun yang akan diperlakukan terhadapku, aku akan menyerah”

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang meledak. Gagak Branang tidak dapat menahan gejolak persasaannya. Sambil meloncat ke depan ia berteriak, “Bagus. Suatu sikap yang adil dan terpuji. Segera tunjukkan kepadaku, laki-laki yang manakah yang akan kau pilih?”

“Apakah harus seorang laki-laki?” bertanya Ken Padmi.

Pertanyaan itu agak membingungkan Gagak Branang dan setiap orang yang mendengarnya. Bahkan Ki Selabajra pun bertanya dengan gagap, “ Apakah kau, kau sendiri yang akan memasuki arena sayembara tanding itu?”

Ken Padmi tertawa, sehingga ayahnya menjadi heran. Ia sama sekali tidak melihat kecemasan di wajah gadis itu.

“Apakah ia menjadi berputus asa dan ingin membunuh diri?” bertanya Ki Selabajra di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu Ken Padmi menjawab, “Aku hanya bertanya saja, ayah. Tetapi aku memang akan menunjuk seorang laki-laki yang ada di padepokan ini. Bertempur sampai tuntas. Aku tidak mengatakan mati, karena menyerah juga berarti kalah”

“Tidak” teriak Gagak Branang, “bertempur sampai mati”

“Akulah yang mengadakan sayembara. Karena itu, akulah yang menentukan syarat-syaratnya. Jika tidak, maka sayembara itu batal, dan aku akan membunuh diri sekarang”

“Jangan gila” teriak Gagak Branang.

“Nah, kau sudah mendengar. Apakah kau setuju?”

“Persetan” geram Gagak Branang, lalu, “tunjukkan, siapakah yang kau pilih”

Sejenak Ken Padmi termangu-mangu. Namun kemudian diedarkan tatapan matanya berkeliling. Dipandanginya ayahnya yang berdiri dengan tegang. Kemudian Makerti, Gemak Werdi, saudara sepupunya, kemudian murid-murid ayahnya yang lain. Namun tatapan matanya masih saja bergerak ke arah orang-orang Watu Kendeng. Ketika gadis itu memandang Ki Watu Kendeng, Gagak Branang berteriak, “Jangan kakakku. Aku masih menghormatinya”

“Aku menyediakan diri” teriak Ki Watu Kendeng. Tetapi Ken Padmi menggeleng. Kemudian ditatapnya wajah Kuda Pramuja tajam-tajam. Ternyata anak muda itu memang bukan seorang pengecut. Sambil menengadahkan dadanya ia bergeser maju. la mengerti, betapa tinggi ilmu pamannya. Dan ia pun mengerti bahwa ia tidak akan dapat mengimbanginya. Namun ia adalah laki-laki seperti juga pamannya seorang laki-laki.

Namun akhirnya Ken Padmi menggelengkan kepalanya.

“Tidak. Tidak seorang pun di halaman ini yang aku pilih. Karena itu aku akan memilih seorang cantrik yang tidak masuk hitungan”

“Kau gila” teriak Gagak Branang.

Ken Padmi tersenyum. Kemudian ia mundur selangkah dan menarik sebuah tangan dari sisi pintu.

Ketika seorang laki-laki muncul, maka gemparlah halaman Padepokan Kenanga. Terutama orang-orang padepokan itu sendiri. Dengan mulut ternganga mereka berdesis, “Mahisa Bungalan. Kenapa ia berada di sini?”

Sementara itu Ken Padmi pun mendorong Mahisa Bungalan ke tengah-tengah pendapa. Cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan jatuh ke wajahnya yang tegang.....

“Gila” teriak Gagak Branang, “siapakah laki-laki itu?”

“Ia adalah pekatik ayahku. Ia bukan muridnya dan ia bukan seorang yang garang seperti kau. Tetapi ia sudah bersedia untuk memasuki arena, mewakili kawan-kawannya dari Padepokan Kenanga”

Gagak Branang termangu-mangu sejenak. Dengan tegang dipandanginya laki-laki yang berdiri di tengah-tengah pendapa, itu. Menilik bentuk tubuhnya, maka ia adalah seorang yang memiliki ilmu kanuragan.

Sejenak Gagak Branang termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Ken Padmi, apakah pekatik sudah jemu hidup?”

“Ia tidak perlu mati” jawab Ken Padmi.

“Tetapi jika ia mati sebelum menyatakan diri menyerah?” bertanya Gagak Branang.

“Itu salahnya sendiri. Tetapi mungkin ia tidak akan terlambat. Mungkin demikian ia memasuki arena, demikian ia akan menyatakan menyerah”

“Persetan. Engkau mempermainkan aku he?”

Ken Padmi tidak menjawab. la hanya tertawa kecil sambil memandang Mahisa Bungalan yang masih berdiri diam.

Dalam pada itu. Gagak Branang memang menjadi berdebar-debar. Nampaknya orang-orang Padepokan Kenanga menjadi tenang ketika orang yang disebutnya pekatik itu berada di pendapa. Karena itulah ia menjadi curiga. Meskipun demikian, kepercayaannya kepada diri sendiri memang terlalu besar. Betapapun tinggi ilmu orang-orang Padepokan Kenanga, namun tidak akan ada seorangpun yang dapat mengimbanginya dalam olah kanuragan.

Karena itu, dengan wajah yang merah Gagak Branang berteriak, “Marilah, cepat. Apalagi yang kau tunggu. Apakah kau menyesal bahwa kau sudah menyediakan dirimu menjadi pahlawan di padepokan kecil yang tidak berarti ini? Lihat. Disini ada Ki Selabajra. Dua orang pemimpin Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng tidak dapat mengimbangi aku. Apalagi kau. Kau tentu bukan murid terpercaya. Atau kau sekedar dijadikan umpan yang tidak berarti sama sekali?”

Mahisa Bungalan menarik nafas-dalam-dalam. Namun kemudian, ia melangkah maju sambil berkata, “Aku memang telah menyediakan diriku apapun yang akan terjadi atasku. Bagi seorang gadis, maka sayembara adalah bebana. Yang paling terhormat dari bebana itu adalah perang tanding. Kalah atau menang memang bukan persoalan pokok. Tetapi perang tanding itulah yang menentukan harga seorang gadis. Jika ia direbut dengan titik darah, maka ia adalah gadis yang berharga. Tidak seorang pun yang akan bersedia mengorbankan badannya apalagi, nyawanya, bagi seorang gadis yang tidak akan berarti apa-apa bagi hidupnya. Sebaliknya, jika ia seorang gadis yang sangat berharga baginya, maka seseorang akan bersedia merebutnya dengan taruhan yang paling mahal. Yaitu hidupnya”

Gagak Branang tergetar hatinya. Jawaban itu telah menyentuh perasaannya, seolah-olah pertanyaan baginya, apakah Ken Padmi memang suatu keyakinan, bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat mengalahkannya.

Tetapi semuanya telah terlanjur terjadi. Baginya, keinginannya untuk membawa gadis itu apapun namanya, tidak, akan dapat dihalanginya. Justru karena ia yakin, tidak seorangpun yang dapat mencegahnya, maka iapun kemudian berkata lantang, “He, cantrik yang dungu. Kau jangan membuat penilaian menurut kedunguanmu. Seorang gadis yang manapun juga, tidak ada yang cukup bernilai aku rebut dengan taruhan nyawa. Tetapi karena aku tahu, bahwa yang ada hanyalah tikus-tikus kecil, maka aku datang untuk mengambilnya. Seandainya aku harus membunuh tiga atau empat orang dari Padepokan Kenanga atau Watu Kendeng, maka nyawa mereka tidak akan berarti apa-apa bagi kesenanganku, meskipun mungkin hanya sesaat. Mungkin satu atau dua hari, jika ia bernasib baik, maka mungkin, sepekan atau dua pekan, Ken Padmi akan aku anggap sebagai isteriku. Tetapi pada saatnya ia akan aku singkirkan juga seperti perempuan-perempuan yang lain yang pernah ada padaku. Itu bukan apa-apa. Dan kematian kalian di padepokan ini dan padepokan Watu Kendengpun bukan apa-apa. Karena itu jangan menganggap bahwa Ken Padmi adalah perempuan yang sangat berarti bagiku”

“Gila” teriak Ken Padmi yang maju selangkah.

Tetapi terdengar suara Mahisa Bungalan berbisik, “Sabarlah. Kau berjanji untuk menyerahkan Semuanya kepadaku”

Ken Padmi menggeretakkan giginya. Tetapi ia berusaha untuk menahan perasaannya.

“Jangan marah” terdengar suara Gagak Branang, “itulah nilaimu yang sebenarnya”

“Bagus” jawab Mahisa Bungalan, “untuk seorang gadis yang tidak berharga kau telah memaksa diri untuk memanggil saudara-saudara seperguruanmu”

“Aku memanggilnya untuk menyaksikan apa yang akan aku lakukan” jawab Gagak Branang.

“Itulah gambaran warna hatimu yang sebenarnya. Buram, seperti buramnya kata-katamu. Tetapi adalah suatu kehormatan, bahwa kau telah sudi merebut gadis Padepokan Kenanga dengan kekerasan dan perang tanding. Bagaimana juga penilaianmu. Lebih berharga lagi, adalah karena semula kau ingin memperalat kemanakanmu. He, bukankah kau datang melamar Ken Padmi untuk Kuda Pramuja. Yang barangkali kau memang ingin merampasnya kelak dengan cara apapun juga”

“Diam, Cepat turun ke arena. Jangan berbicara saja seperti orang gila” potong Gagak Branang.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun melangkah maju dan kemudian selangkah demi selangkah ia menuruni tangga pendapa.

Demikian ia berdiri di halaman, maka Gagak Branang pun berteriak, “Jadilah saksi. Bahwa perkatik yang gila ini akan segera terkapar mati. Menyerah atau tidak menyerah. Aku akan membunuhnya. Tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi aku. Kata-kataku adalah peraturan yang berlaku, karena aku dapat berbuat apa saja menurut kehendakku”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia bergeser maju mendekat.

Gagak Branang mengerutkan keningnya. la melihat pekatik itu benar-benar seperti orang gila yang tidak sadar apa yang sedang dilakukannya.

“Pilinlah senjata” teriak Gagak Branang, “perang tanding ini bersenjata”

“Apapun yang ada dapat aku pakai sebagai senjata” jawab Mahisa Bungalan.

Jawaban itu benar-benar menyakitkan hati. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Beri ia senjata. Cepat, sebelum aku membunuhnya”

Hampir diluar sadarnya, Makerti telah meloncat maju sambil mengulurkan pedangnya.

“Apakah kau bersenjata rangkap Makerti?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kau yang akan berperang tanding”

“Tetapi orang-orangnya akan dapat berbuat curang. Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan”

“Aku mempunyai sebilah pisau belati panjang”

“Itu saja berikan kepadaku. Pergunakan pedangmu jika perlu”

Percakapan itu benar-benar dirasa sebagai suatu penghinaan bagi Gagak Branang yang merasa dirinya orang yang tidak ada duanya. Karena itu, maka iapun berteriak, “Aku akan bersenjata sebilah keris. Kita akan mempergunakan senjata pendek”

Yang terdengar adalah suara Makerti, “Keris jauh lebih berbahaya dari sebilah pisau belati. Jika warangan keris itu tajam, maka sebuah goresan kecil, jika terlambat diobati, akan menyeretmu ke kematian. Karena itu, meskipun bukan sebuah pusaka linuwih, pergunakan kerisku Mahisa Bungalan”

Mahisa Bungalan tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih Makerti. Mudah-mudahan aku dapat memenuhi kewajiban ini sebaik-baiknya”

“Lakukanlah. Kau bukan saja pelaksana sayembara tanding. Tetapi kau peserta sayembara itu sendiri” Makerti berdesis perlahan.

“Ah” Mahisa Bungalan berdesis.

Sekali lagi Gagak Branang merasa terhina. Karena itu maka iapun berteriak, “Cepat. Aku akan segera mulai”

Mahisa Bungalanpun bergeser lebih ke tengah. Sementara orang-orang yang berada di halaman itu mengerumuninya dalam kelompok-kelompok yang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan

Di pendapa Ken Padmi berdiri tegak dalam pakaian khususnya-dan sebilah pedang di lambung. Ia adalah pewaris yang paling lengkap dari ilmu Padepokan Kenanga, melampaui murid-murid laki-laki yang paling terpercaya dari padepokan itu.

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ia teringat saat-saat ia memasuki padepokan itu bersama Makerti. Padepokan itu menerimanya dengan curiga dan bahkan terjadi arena perkelahian seperti yang terjadi malam itu.

“Jangan tertidur” teriak Gagak Branang, “atau kau menyesal?”

Mahisa Bungalan memang sudah tidak sabar lagi. Sekilas dipandanginya wajah ketiga saudara seperguruannya yang tegang. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata, “Kau sempat juga bermain-main dengan pekatik gila itu. Tetapi ada juga baiknya, jika darah telah membasahi halaman ini, maka orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng akan menggigil ketakutan”

“Aku tidak berarti apa-apa bagi Kenanga” sahut Mahisa Bungalan, “aku hanya seorang pekatik. Tetapi jika benar darahku menitik, maka halaman ini tentu akan mendidih. Kekuatan padepokan ini memang harus dipancing dengan titik darah. Kali ini darahkulah yang akan dikorbankannya”

Jawaban yang seenaknya itu, ternyata berpengaruh bagi saudara seperguruan Gagak Branang. Bahkan salah seorang berteriak, “Bunuh orang itu tanpa menitikkan darah. Cekik saja ia sampai mati”

“Persetan. Jangan percaya kepada igauan itu” teriak Gagak Branang.

Halaman itupun kemudian menjadi hening. Mahisa Bungalan benar-benar telah mempersiapkan diri. Ia tidak dapat mengabaikan lawannya yang belum diketahui dengan pasti tingkat kemampuannya. Ia sudah mencoba mengintip saat Gagak Branang bertempur. Dan ia memang sudah mendapat sedikit petunjuk bahwa Gagak Branang memang seorang vang mempunyai ilmu yang tinggi.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah bersiap dengan keris di tangan masing-masing. Setapak mereka bergeser. Kemudian dengan garangnya, Gagak Branang telah mulai menyerang dengan mengayunkan kerisnya, menyambar kening.

Tetapi Mahisa Bungalan yang sudah bersiap, sempat mengelak. Bahkan dengan tangkasnya pula ia menyerang tangan Gagak Branang. Ia ingin menggoreskan ujung keris Makerti, karena ia tahu, bahwa keris itu mengandung warangan yang keras, meskipun iapun telah menduga, bahwa Gagak Branang tentu mempunyai obat penawarnya. Namun kejutan yang demikian akan mempengaruhi perasaan lawannya jika ia berhasil.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak berhasil. Dengan cepat Gagak Branang menarik, tangannya sehingga ujung keris Mahisa Bungalan tidak menyentuhnya.

Tetapi dengan demikian, mereka masing-masing dapat menjajagi kecepatan gerak masing-masing. Gagak Branang menjadi berdebar-debar dan hampir tidak percaya bahwa pekatik Padepokan Kenanga itu mampu bergerak demikian cepat dan tangkas. Bahkan kemudian ia benar-benar menjadi curiga, karena tata gerak Mahisa Bungalan selanjutnya.

Gagak Branang yang marah itupun kemudian menyerang lawannya dengan gerakan yang cepat dan keras. Kerisnya seolah-olah mematuk dari segala arah. Dengan loncatan-loncatan panjang, Gagak Branang berusaha memecah perhatian lawan dengan arah serangan yang berputar.

Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak menjadi bingung. Kakinya justru bagaikan terhunjam ke dalam tanah. Pahanya berputar dengan menggerakkan satu kakinya, menghadap kesegala arah datangnya serangan, sehingga seolah-olah Mahisa Bungalan pada setiap saat telah berdiri menghadap kesegala arah.

Gagak Branang mulai menjadi gelisah. Tetapi kemarahannya telah membuat semakin bernafsu. Ia menyerang lawannya bagaikan badai yang mengamuk. Tetapi Mahisa Bungalan berdiri bagaikan batu karang yang tidak tergoyahkan.

Kedua orang itu ternyata benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Mereka mampu mempergunakan senjata pendek di tangannya dengan cepat, berbahaya dan hampir diluar nalar. Tetapi ternyata bahwa keduannya selalu berhasil menghindarkan diri mereka dari goresan senjata lawannya.

Dalam pada itu, kemarahan Gagak Branangan rasa-rasanya tidak tertahankan lagi. Kepalanya bagaikan berdenyut dan jantungnya seolah-olah akan meledak. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa usahanya akan terbentur pada kenyataan yang sama sekali tidak diduganya.

Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, maka Gagak Branang telah melihat lawannya bagaikan angin pusaran. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu dengan membunuh lawannya, dengan tidak saja menggoreskan ujung kerisnya, tetapi dengan menghunjamkannya ke dalam dada pekatik yang sombong itu.

Tetapi usaha itu tidak segera dapat berhasil. Lawannya terlalu cepat bergerak dan terlalu cekatan mempermainkan senjatanya.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun semakin meningkatkan ilmunya. Ia ingin menggoreskan kerisnya. Tetapi karena lawannya bertempur dengan kasar dan keras, Mahisa Bungalan justru menjadi ragu-ragu. Jika kerisnya tidak hanya menggores kecil, tetapi menusuk cukup dalam, maka keadaan lawannya itu akan menjadi sangat gawat.

Mahisa Bungalan sama sekali tidak ingin membunuh lawannya, meskipun dari peristiwa itu ia mengetahui, bahwa Gagak Branang, bukanlah seorang yang baik seperti Ki Watu Kendeng. Tetapi kedua kakak beradik itu ternyata mempunyai sifat yang jauh berlainan.

Pada saat-saat pertempuran itu menjadi semakin meningkat, maka orang-orang Padepokan Kenanga semakin lama menjadi semakin yakin akan kemampuan Mahisa Bungalan. Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng memperhatikan pertempuran itu dengan tatapan mata tanpa berkedip. Mereka benar-benar kagum melihat katangkasan Mahisa Bungalan.

Bahkan mereka melihat, bahwa Mahisa Bungalan masih belum sampai pada puncak kemampuannya. Ia masih melihat sepercik keragu-raguan pada setiap serangannya. Berbeda dengan Gagak Branang yang marah. Dengan kasar dan buas ia telah memeras segenap kemampuannya untuk membunuh Mahisa Bungalan.

Tetapi ternyata kemampuannya tidak seimbang dengan kegarangan kata-katanya menghadapi Mahisa Bungalan yang mengaku sebagai seorang pekatik dari Padepokan Kenanga itu. Bahkan Ki Watu Kendeng yang tidak dapat menahan perasaannya lagi, bergeser sambil bertanya, “Apakah benar ia seorang pekatik padepokan ini?”

Di luar sadarnya Ki Selabajra mengangguk sambil menjawab, “Ya, ia seorang pekatikku yang baru”

“Baru?”

Ki Selabajra seolah-olah sadar dari mimpinya. Dengan tergagap ia menjawab, “Ya, ya. Ia seorang yang baru di padepokan ini”

Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Kemudian ia berbisik lagi, “Kau tahu, darimana ilmunya itu dipelajarinya? Tentu bukan dari Ki Selabajra”

“Bukan. Ia datang sudah dengan ilmunya. Ia memang bukan muridku. Bahkan sepantasnya akulah yang menjadi muridnya” sahut Ki Selabajra.

Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya pula, “Apakah ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Selabajra?”

Ki Selabajra menggeleng sambil menjawab, “Tidak. Tidak ada hubungan keluarga. Ia datang seperti runtuhnya daun kering. Dan ia pergi, seperti disapu angin”

“Pergi? Bukankah ia masih ada di sini?” Ki Watu Kendeng menjadi heran.

Ki Selabajra terkejut mendengar keterangannya sendiri. Dengan serta merta ia menyambung, “Maksudku, ia datang tanpa aku ketahui dari mana asal-usulnya. Dan sudah barang tentu, pada suatu saat, ia akan pergi begitu saja tanpa alasan apapun dan kemana ia akan pergi. Padepokan ini terlalu kecil dan tidak mempunyai arti apa-apa sama sekali baginya”

Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Pertempuran itu memang menjadi semakin seru. Gagak Branang bertempur semakin kasar dan bahkan seolah-olah menjadi liar dan buas oleh kenyataan yang dihadapinya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi semakin yakin bahwa saatnya menjadi semakin dekat untuk menjatuhkan lawannya. Jika saja ia tidak memperhitungkan kemungkinan untuk tetap mengalahkan lawannya tanpa melukainya, sehingga dapat mengancam jiwanya, maka ia sudah dapat menyelesaikan pertempuran itu.

Yang menjadi tegang dan berdebar-debar adalah saudara-saudara seperguruan Gagak Branang. Mereka melihat apa yang telah terjadi. Karena merekapun memiliki kemampuan untuk menilai keadaan itu, maka merekapun mengerti, bahwa kemampuan Gagak Branang ternyata tidak dapat mengimbangi kemampuan lawannya yang disebut sebagai pekatik dari Padepokan Kenanga.

Ketiganya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat, bagaimana Mahisa Bungalan mulai memaksa lawannya untuk memeras segenap kemampuannya, untuk kemudian dilumpuhkannya.

“Gila” desis salah seorang dari mereka, “orang ini memang gila. Ilmu iblis manakah yang telah dimilikinya sehingga ia mampu mengalahkan kakang Gagak Branang”

Yang lain tidak menjawab. Salah seorang dari mereka justru mengedarkan tatapan matanya ke seputarnya. Ia melihat orang-orang Padepokan Kenanga dan orang-orang padepokan Watu Kendeng sedang asyik memperhatikan pertempuran itu, sehingga mereka tidak menghiraukan lagi ketiga saudara seperguruan Gagak Branang itu.

Untuk beberapa saat lamanya mereka masih menahan diri. Tetapi diam-diam mereka telah mempersiapkan sebuah serangan yang tiba-tiba untuk menghancurkan orang-orang padopokan Kenanga dan orang-orang Padepokan Watu Kendeng. Dengan demikian, maka pekatik itu tentu akan terpengaruh sehingga perlawanannya akan dapat dipatahkan oleh Gagak Branang.

Ketika pertempuran antara Gagak Branang dan Mahisa Bungalan menjadi semakin seru, maka mereka mulai saling menggamit dan memberi isyarat. Sesaat lagi akan mulai dengan sebuah serangan tiba-tiba.

Orang-orang padukuhan Kenanga dan orang-orang padukuhan Watu Kendeng memang tidak memperhatikan mereka. Pertempuran yang seru itu membuat mereka lengah. Apalagi ketika mereka mulai melihat, bahwa Mahisa Bungalan telah berhasil menguasai lawannya yang menjadi semakin letih.

Namun pada saat ketiga orang itu siap memutar senjatanya dan menyerang setiap orang, maka tiba-tiba saja pekatik yang sedang bertempur itu berteriak, “Berhati-hatilah. He Makerti, Gemak Werdi, Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng. Ketiga saudara seperguruan yang setia itu akan berbuat curang”

Peringatan itu diberikan pada waktu yang tepat. Pada saat ketiga orang itu berloncatan.

Makerti, Gemak Werdi dan murid-murid Padepokan Kenanga yang lainpun segera berpencar. Demikian pula Ki Watu Kendeng, Kuda Pramuja dan para pengiringnya. Mereka segera menyesuaikan diri menghadapi setiap kemungkinan yang akan berkembang di halaman itu.

“Gila” geram pengiring Gagak Branang, “mereka tidak mampu menahan diri lagi”

Namun iapun tidak dapat berbuat lain. Karena ketiga saudara seperguruan Gagak Branang itu sudah mulai, maka iapun telah hanyut pula pada arus pertempuran yang melanda halaman padepokan itu.

“Curang” tiba-tiba terdengar suara Ken Padmi melengking, “aku masih merasa terikat pada janji sayambara tanding”

“Persetan” teriak Gagak Branang, “lakukanlah menurut apa yang kalian ingini. Kami akan melakukan sesuai dengan keinginan kami”

“Kalian bukan orang-orang jantan” sambut Ken Padmi.

“Apapun namanya, tetapi kau akan menjadi rampasanku nanti jawab Gagak Branang.

Namun Gagak Branang tidak menyadari, bahwa jawabannya itu telah membunuh gejolak di hati Mahisa Bungalan Namun demikian, Mahisa Bungalan masih belum kehilangan nalarnya sehingga masih tetap pada niatnya untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.

Sementara itu, di halaman padepokan itu, pertempuran telah menyala lagi dengan dahsyatnya. Empat orang pengikut Gagak Branang harus bertempur melawan seisi Padepokan Kenanga dan orang-orang dari padepokan Watu Kendeng, termasuk diantara mereka adalah Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng sendiri.

Hanya karena jumlah yang jauh lebih banyak, maka orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng mampu bertahan. Meskipun dengan demikian, lambat laun nampak juga, bahwa mereka mengalami kesulitan. Ketiga saudara seperguruan Gagak Branang, meskipun masih belum setingkat dengan Gagak Branang sendiri, namun mereka masih merupakan orang-orang yang luar biasa bagi kedua padepokan itu.

Dengan demikian, maka orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng telah mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Merekapun mulai mengenal ilmu kanuragan yang sebenarnya. Mereka mulai melihat, betapa garangnya dunia ilmu kanuragan yang telah mengguncangkan padepokan mereka. Dan dengan demikian mereka mulai melihat, betapa kecilnya arti padepokan mereka yang selama itu mereka anggap sebagai tempat terbaik untuk menyadap ilmu tertinggi.

Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Gagak Branangpun melihat, bahwa orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng mulai mengalami kesulitan lagi. Karena itulah, maka ia mulai membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri mengenai lawannya.

Jika Mahisa Bungalan terikat kepada niatnya untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya, maka ia masih harus bertempur berhati-hati. Ia dapat melukai lawannya, tetapi sekedar goresan yang tidak terlalu dalam, sehingga luka itu masih sempat diobati. Tetapi jika goresan luka itu terlalu dalam menghunjam ke dalam kulit, sehingga menyentuh urat darah yang lebih besar, maka akan sulitlah bagi lawannya untuk mengobati lukanya itu.

Tetapi dengan demikian, mungkin akan mempunyai arti yang lain bagi orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng. Mungkin pada saat-saat sebelumnya, satu dua orang dari mereka telah lebih dahulu jatuh menjadi korban. Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan membuat pertimbangan tersendiri.

Dalam pada itu, pertempuran di halaman itupun menjadi semakin seru. Kuda Pramuja ternyata telah bertempur dengan tangkasnya tanpa mengenal takut meskipun ia sadar, bahwa lawannya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Kemarahannya tidak dapat ditahankannya lagi, karena ia sadar bahwa pamannya telah memperlakukannya sebagai permainan untuk kepentingannya sendiri. Seolah-olah ia adalah anak muda paling dungu di muka bumi.

Kemarahan itulah yang membuatnya menjadi bermata gelap dan kurang memperhitungkan keadaan lawannya. Darahnya yang bagaikan mendidih itu telah mendorongnya untuk bertempur tanpa menghiraukan apapun juga. Tanpa menghiraukan kemungkinan-kemungkinan pahit yang dapat terjadi di atas dirinya.

Tetapi lawan Kuda Pramuja adalah orang yang memiliki ilmu yang jauh lebih matang dari ilmunya. Apalagi mereka benar-benar orang yang tidak mempunyai pertimbangan perasaan sama sekali. Yang mereka ketahui, di dalam pertempuran, maka mereka akan membunuh lawan sebanyak-banyaknya.

Itulah sebabnya, maka ketika salah seorang saudara seperguruan Gagak Branang itu merasa terdesak karena lawannya yang terlalu banyak, ia tidak membuat perhitungan sama sekali atas lawannya. Ia tidak mau tahu, seorang demi seorang. Karena itulah, maka ketika terbuka kesempatan, maka iapun telah mempergunakannya sebaik-baiknya.

Dengan loncatan panjang ia menghindari beberapa ujung senjata yang mengarah ketubuhnya. Namun pada saat itu, Kuda Pramuja yang marah, tidak mau melepaskannya. Dengan tergesa-gesa karena nalarnya yang buram oleh kemarahan ia menyerang tanpa memperhitungkan kawan-kawannya yang masih belum bersiap menyusulnya.

Kesempatan itu telah dipergunakan oleh lawannya sebaik-baiknya. Kesendirian Kuda Pramuja itu telah membuatnya bernasib buruk. Ketika ia menyerang dengan menjulurkan pedang yang didapatkannya dari orang-orang Padepokan Kenanga, lawannya telah siap menghadapinya. Dengan sebuah putaran pedang yang cepat dan kuat melibat pedangnya, maka Kuda Pramuja tidak berhasil mempertahankannya, sehingga pedang itu terloncat dari tangannya.

Beberapa orang pengiringnya melihat hal itu terjadi. Merekapun berloncatan menyusul. Tetapi ternyata mereka datang terlambat. Mereka melihat, bagaimana dengan cepatnya ujung pedang salah seorang saudara seperguruan Gagak branang itu menusuk dadanya.

Demikian cepatnya hal itu terjadi, sehingga Kuda Pramuja tidak sempat mengelak. Ia terkejut ketika terasa tusukan itu mematuk dadanya.

Berapa orang terpekik melihat hal itu. Namun yang terjadi itu sudah terjadi. Ketika lawannya dengan tergesa-gesa menarik pedangnya untuk kemudian melindungi dirinya dari serangan beberapa orang lawannya. Kuda Pramuja telah terhuyung-huyung.

Ki Watu Kendengpun terkejut melihat hal itu. Tanpa menghiraukan lawannya, ia meloncat berlari menangkip anaknya yang sudah hampir jatuh.

“Kuda Pramuja” desis Ki Watu Kendeng.

Yang terdengar adalah desah tertahan. Kuda Pramuja menahan sakit yang amat sangat. Tetapi ia tidak mengeluh dan merengek. Dengan gigi gemertak ia berkata tersendat-sendat, “Bunuh orang-orang tidak berperasaan itu. Ternyata pamanku adalah seekor serigala yang buas dan liar”

Kuda Pramuja tidak dapat meneruskan kata-katanya. Sekali lagi ia berdesis. Giginya masih terdengar gemertak oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Namun kemudian tubuhnya terkulai ketika jantungnya ternyata telah berhenti berdetak.

“Anakku mati” Ki Watu Kendeng berteriak, “setan kalian. Aku akan membunuh kalian di halaman ini”

Tetapi terdengar jawaban adiknya, “Jangan menyesal kakang. Kaulah yang telah membunuh anakmu sendiri. Jika kau bukan seorang pengecut, maka ia masih akan tetap hidup meskipun ia tidak akan beristri Ken Padmi”

“Persetan” teriak Ki Watu Kendeng sambil meloncat mendekati arena perkelahian antara Gagak Branang dan Mahisa Bungalan. Namun dalam pada itu Mahisa Bungalan pun berteriak, “Jangan mendekat. Ia menjadi buas dan liar”

Ternyata peringatan itu masih didengarnya. Ia masih sadar, bahwa adiknya benar-benar seorang iblis jahanam yang tidak mengenal perikemanusiaan.

Pada saat itulah Mahisa Bungalan sudah kehilangan pertimbangannya untuk menangkap lawannya hidup-hidup. Justru ia merasa bahwa ia telah terlambat. Seorang telah jatuh menjadi korban, justru Kuda Pramuja yang marah karena tingkah pamannya.

Sambil menggertakkan giginya Mahisa Bungalan menggeram, “Kau memang licik. Kau sampai hati mengorbankan keluargamu sendiri. Bukankah kemanakanmu termasuk keluargamu yang dekat”

“Persetan. Apa pedulimu. Kaupun akan mati karena tingkahmu yang lancang. Kenapa kau mencampuri persoalan ini”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia telah mehentakkan ilmunya. Ia tidak lagi perlu berhati-hati. Justru ia menganggap bahwa ketiga saudara Gagak branang yang lainpun merupakan orang-orang yang sangat-berbahaya. Mungkin korban akan jatuh satu lagi, satu lagi. Mungkin Ki Watu Kendeng Mungkin Ki Selabajra.

Mahisa Bungalan yang menjadi marah itu telah mengerahkan kemampuannya. Ia adalah anak Mahendra yang telah membunuh seorang pemberontak muda yang pilih tanding dari Hahibit. hingga karena itulah, maka lawannya yang bernama Gagak Branang itu bukanlah lawan yang dapat menahan kemarahannya.

Sejenak kemudian, maka senjata pendek Mahisa Bungalan itupun berputar dengan dahsyatnya. Seolah-olah dengan sengaja Mahisa Bungalan telah membuat lawannya menjadi kehilangan pusat perlawanan. Sambil meloncat-loncat Mahisa Bungalan menyerang lawannya dari segala arah. Kerisnya bagaikan seekor lalat yang terbang berputaran di seputar tubuhnya.

“Gila” diluar sadarnya Gagak Branang berteriak.

Tetapi Mahisa Bungalan yang marah itu dapat berbuat apa saja diluar jangkauan nalarnya. Tiba-tiba saja terasa segores luka menyobek pundaknya.

“Setan” Gagak Branang berteriak dalam kegelisahan. Ia sadar akan arti dari goresan keris seperti yang dipegang oleh Mahisa Bungalan yang diterimanya dari Makerti itu.

Karena itu, dalam kemarahan yang memuncak, Gagak Branang berusaha menebus kekalahannya itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan telah benar-benar bertempur dengan segenap kemampuannya. Ia tidak sekedar ingin menundukkan Gagak Branang. Tetapi justru karena kematian Kuda Pramuja, maka iapun benar-benar ingin melumpuhkan Gagak Branang dan saudara-saudara seperguruannya.

Karena itu, ketika Gagak Branang mengamuk bagaikan badai yang dahsyat, Mahisa Bungalan pun telah bertempur dalam puncak ilmunya, sehingga karena itulah, maka kemampuan Gagak Branang tidak banyak berarti lagi.

Selagi Gagak Branang berusaha membalas goresan keris Mahisa Bungalan dengan serangan dahsyat, maka Mahisa Bungalan dengan tangkasnya menghindar. Namun dalam pada itu, ia masih sempat menjulurkan tangannya di saat ia bergeser. Justru keris Mahisa Bungalan lah telah sekali lagi menggores dada gagak Branang.

“Anak iblis” seperti gila Gagak Branang berteriak sambil meloncat menyerang membabi buta. Tetapi justru karena itulah maka sekali lagi Mahisa Bungalan berhasil mengenainya. Ujung kerisnya telah menyobek lambung Gagak Branang yang marah.

Sejenak Gagak Branang masih sempat mengumpat. Namun kemudian tubuhnya telah menggigil. Warangan yang keras pada keris itu telah bekerja di tubuh Gagak Branang. Apalagi luka di lambungnya yang parah bagaikan memuntahkan darah yang tidak tertahankan.

“Anak iblis. Anak iblis” ia masih berteriak. Tetapi suaranya kemudian hilang dihanyutkan angin malam yang basah.

Gagak Branang jatuh terjerembab. Ia masih mengucapkan nama Ken Padmi. Tetapi gadis itu sendiri yang masih berdiri di pendapa tidak mendengarnya.

Sementara itu, ketiga saudara seperguruan Gagak Branangpun menjadi semakin marah mendendam. Pengiringnya yang setia rasa-rasanya ingin membalas kematian itu dengan kematian pula.

Namun keadaan telah berubah. Mahisa Bungalan telah kehilangan lawannya yang terberat. Karena itu, maka iapun kemudian berdiri dengan keris di tangan, memandang setiap orang diarena pertempuran itu.

Yang tersentuh oleh sorot mata anak muda itu menjadi berdebar-debar. Ketiga orang saudara seperguruan Gagak Branang yang sudah mulai menguasai arena itupun menjadi berdebar-debar. Dengan kematian Gagak Branang, maka keseimbanganyapun tentu akan berubah.

Sebenarnyalah yang terjadi memang demikian. Ketika Mahisa Bungalan turun menghadapi salah seorang saudara seperguruan Gagak Branang, maka orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng telah menempatkan diri menghadapi lawan masing-masing dalam kelompok-kelompok kecil.

Diantara mereka yang bertempur dengan penuh keraguan adalah pengiring Gagak Branang. Sejak semula ia sudah tidak mengerti tingkah laku Gagak Branang. Hanya karena kesetiaannya sajalah maka ia telah bertempur melawan orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng. Tetapi ketika Gagak Branang sendiri telah mati, maka pengiringnya itu telah bertanya kepada diri sendiri, “Apakah kesetiaanku harus juga berarti mati karena Gagak Branang mati?”

Namun pengiringnya itupun kemudian menggeram, “Tidak. Aku harus mencari kesempatan untuk hidup”

Karena itulah, maka ketika ia mendapat sedikit kesempatan, tiba-tiba saja ia telah melakukan sesuatu yang sama sekali tidak diduga oleh orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng. Dengan serta merta, maka iapun telah melarikan diri meninggalkan gelanggang pertempuran.

Ketangkasan orang itu memang melampaui orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng. Karena itu, maka ketika seseorang akan mengejarnya, Mahisa Bungalanlah yang mencegahnya, “Biarkan orang itu lari. Tetapi kepung yang lain, agar tidak seorangpun lagi yang sempat melarikan diri.

Orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng itupun segera menempatkan diri mereka. Meskipun mereka tidak saling berjanji, tetapi tiba-tiba saja mereka telah berada di dalam kelompok masing-masing untuk menghadapi lawannya. Salah seorang saudara seperguruan Gagak Branang telah bertempur menghadapi orang-orang Padepokan Kenanga. Ia harus menghadapi Ki Selabajra, Makerti, Gemak Werdi dan tiga orang murid yang lain, sementara saudara seperguruan Gagak Branang yang lain, yang justru telah membunuh Kuda Pramuja, harus menghadapi Ki Watu Kendeng dengan para pengiringnya yang marah karena kematian Kuda Pramuja.

Sementara seorang lagi saudara seperguruan Gagak Branang harus menghadapi Mahisa Bungalan yang sedang marah pula.

Saudara-saudara Gagak Branang yang telah kehilangan dua orang kawan itupun telah mengumpat-umpat. Mereka merasa terperosok ke dalam sarang serigala. Meskipun mereka mempunyai bekal ilmu yang dahsyat, tetapi, ternyata mereka harus menghadapi perlawanan yang mendebarkan. Apalagi ternyata seseorang yang menyebut dirinya pekatik itu telah berhasil membunuh Gagak Branang.

“Kalian telah mengingkari perjanjian semula” berkata Mahisa Bungalan dengan lantang, “jika kalian tidak ingkar, maka kematian Gagak Branang adalah akhir dari sayembara tanding, sehingga kalian tidak akan terlihat. Tetapi karena kalian justru telah mulai dan bahkan membunuh Kuda Pramuja, maka nasib kalianpun akan ditentukan disini”

“Persetan” salah seorang dari mereka berteriak. Tetapi suaranya terdengar gemetar penuh keragu-raguan.

Di halaman Padepokan Kenanga itu masih terjadi pertempuran yang sengit. Saudara-saudara seperguruan Cagak Branang ternyata benar-benar orang yang memiliki ilmu yang mengagumkan.

Mereka yang harus menghadapi orang-orang padepokan Watu Kendeng ternyata masih sempat bernafas panjang. Dengan berloncat-loncatan ia masih dapat menghindarkan diri dari ujung senjata yang mematuk dari segala arah. Bahkan kadang-kadang masih juga timbul niatnya untuk melarikan diri pula.

Tetapi tidak mudah untuk melepaskan diri dari kepungan beberapa orang yang sedang marah, yang dipimpin oleh Ki Watu Kendeng sendiri. Namun demikian, ia masih melihat kemungkinan untuk bertahan. Jika orang-orang Watu Kendeng itu kemudian menjadi letih, maka keseimbangan pertempuran itupun akan segera berubah. Ia akan segera menguasai lawan-lawannya yang tidak dapat berbuat banyak lagi, karena tenaga mereka yang sudah terperas habis, sementara saudara seperguruan Gagak Branang itu sendiri adalah seseorang yang memiliki daya tahan yang luar biasa.

Sementara, salah seorang dari mereka yang harus menghadapi orang-orang Kenanga, nampaknya lebih banyak mengalami kesulitan. Ternyata lawannya agak lebih banyak dari orang-orang Watu Kendeng. Bahkan murid-murid terpercaya dari Padepokan Kenanga itupun mampu bertempur saling mengisi, sehingga saudara seperguruan Gagak Branang itu kadang-kadang mengalami kesulitan.

Meskipun demikian, dengan hentakan-hentakan yang mangejutkan, ia masih sempat mendesak lawannya yang mengepungnya. Namun ia sama sekali tidak lagi dapat melihat kesempatan untuk melepaskan diri. Yang dapat dilakukannya adalah bertahan sekuat-kuatnya. Menunggu lawan-lawannya lebih dahulu menjadi lelah.

Karena itulah maka kadang-kadang ia memancing pertempuran yang kasar dan keras, sehingga orang-orang Padepokan Kenanga telah memeras keringat untuk mengimbanginya.

Sebenarnyaiah bahwa orang-orang Padepokan Kenanga mempunyai daya tahan yang jauh lebih lemah dari lawannya. Meskipun mereka dapat mengepung rapat-rapat, tetapi hentakan-hentakan yang mengejutkan dan loncatan-loncatan panjang dari lawan mereka, mamaksa orang-orang Padepokan Kananga untuk memeras keringat.

Yang paling parah dari ketiga saudara seperguruan Gagak Branang adalah yang kebetulan sekali harus berhadapan dengan Mahisa Bungalan.

Sejak semula lawannya sudah hampir berputus asa, karena Gagak Branang sendiri tidak dapat bertahan melawan kegarangan anak muda itu, meskipun ia hanya bersenjata sebilah keris.

Jika saudara-saudara seperguruannya yang lain dapat mengendalikan pertempuran dengan memaksa lawan-lawannya untuk memeras tenaga, namun ia sendiri justru harus menyesuaikan diri dengan lawannya. Ialah harus memeras tenaga dan seakan-akan kehilangan segala kemungkinan untuk melepaskan diri dari maut.

Sebenarnyalah, sejak Kuda Pramuja terbunuh, maka Mahisa Bungalan benar-benar telah kehilangan kesabaran. Apalagi masalahnya menyangkut seorang gadis yang bernama Ken Padmi, yang pada malam itu berdiri termangu-mangu di pendapa menyaksikan pertempuran yang terjadi di halaman, benar-benar seperti seorang puteri yang duduk di atas panggungan, menyaksikan sayembara tanding di alun-alun.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan tidak memperpanjang waktu lagi. Ketika ia melihat orang-orang Watu Kendeng mulai menjadi letih, maka iapun tidak mau terlambat lagi. Mahisa Bungalan tidak mau melihat korban yang lain dari orang-orang Watu Kendeng itu jatuh. Atau orang-orang Kenanga yang terbunuh.

Karena itu, maka iapun berniat segera mengakhiri pertempuran. Ia sadar, bahwa lawannya tentu tidak akan dengan suka rela memberikan kemenangan kepadanya. Karena itu, Mahisa Bungalanpun sadar, bahwa ia memang harus bertempur sepenuh kemampuan, agar tugasnya cepat selesai.

Pada saat itulah, maka serangan-serangan Mahisa Bungalan mengalir bagaikan hempasan ombak yang didorong oleh badai, menghantam tebing. Berdeburan dengan dahsyatnya, berurutan hantam menghantam.

Betapapun juga berusaha, tetapi lawannya benar-benar tidak mampu menghadapi serangan beruntun tanpa henti-hentinya dengan kekuatan raksasa. Karena itulah, maka dengan jantung yang bergelora, lawannya berloncatan surut. Tetapi senjata Mahisa Bungalan bagaikan selalu mengejarnya tanpa jarak.

Akhirnya, ia tidak mampu lagi berusaha menyelamatkan diri. Ketika keris Mahisa Bungalan menyobek dadanya, ia masih sempat berteriak mengumpat. Tetapi kemudian suaranya bagaikan hilang ditelan angin malam.

Yang terdengar kemudian adalah tubuhnya yang terbanting jatuh terjerembab. Kemudian nafasnya tidak lagi sempat mengalir lewat lubang hidungnya.

Sejenak orang itu masih menggeliat. Namun kemudian jantungnya telah berhenti berdenyut.

Kematian salah seorang saudara seperguruan Gagak Branang itu benar-benar telah menentukan akhir dari perkelahian itu.

Dengun pucat kedua orang lain harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak lagi mempunyai kesempatan. Adalah jauh berbeda, perasaan mereka pada saat mereka memasuki halaman itu dengan perasaan mereka, setelah dua orang saudara seperguruannya terbunuh, dan pengiring Gagak Branang itu meninggalkan arena. Tidak ada lagi senyum dan tertawa yang garang terlontar dari bibir mereka. Tidak ada lagi harapan dan bayangan pendok dan kamus emas tretes berlian. Yang nampak tidak ada lain, kecuali bayangan maut yang semakin kelam menyelubungi mereka, lamat-lamat telah terdengar kidung dari dasar yang paling kelam dari kegelapan.

Namun dengan demikian, jiwa mereka telah dibakar oleh keputus-asaan. Mereka tidak lagi sempat membuat pertimbangan dan perhitungan. Yang terbayang di rongga mata mereka adalah kematian, sehingga karena itu, maka merekapun justru menjadi kehilangan akal.

Kedua orang itupun kemudian mengamuk sejadi-jadinya. Mereka memutar senjata tanpa membuat perhitungan-perhitungan yang cermat. Mereka manyerang seperti angin ribut tanpa sasaran.

Namun demikian, orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng menjadi ngeri melihatnya. Mereka seperti sedang berhadapan dengan binatang liar yeng sangat buas. Meskipun keduanya tidak dapat berbuat lebih banyak daripada dalam sebuah lingkaran. Tetapi keduanya masih mampu menggetarkan setiap hati.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang sudah tidak terikat lagi pada lawannya perlahan-lahan bergeser mendekati arena orang-orang Watu Kendeng. Ketika ia sudah berdiri di pinggir arena, ia masih sempat berkata lantang, “Ki sanak. Apakah kau masih mendengar suaraku”

“Persetan” geram orang itu.

“Jika kau masih mendengar suaraku, cobalah kau mendengarnya. Masih ada kesempatan bagimu untuk menyerah. Aku akan menjamin bahwa kau tidak akan dicincang oleh orang-orang Watu Kendeng, meskipun kau sudah membunuh Kuda Pramuja”

“Tutup mulutmu pekatik gila” geram orang itu sambil memutar senjatanya, “kau harus mati”

“Bayangan maut itu sedang mengikutimu. Bukan aku”

“Diam, diam, diam” orang itu berteriak.

Saudara seperguruan Gagak Branang itu menjadi semakin berputus asa. Ia bergerak semakin buas dan liar, sehingga orang-orang Watu Kendeng benar-benar menjadi ngeri.

“Tinggalkan orang ini” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “bergabunglah dengan orang-orang Padepokan Kenanga. Dengan jumlah yang banyak, kalian akan dapat mengalahkan lawan kalian”

Orang-orang Watu Kendeng yang menjadi ngeri itupun serentak melangkah mundur, menjauhi lawannya yang menjadi gila. Tetapi pada saat itu, Mahisa Bungalan telah memasuki arena menghadapi orang yang telah membunuh Kuda Pramuja itu.

“Jangan harap dapat membunuh aku seperti saudara-saudara seperguruanku” teriak orang itu.

“Menyerahlah” desak Mahisa Bungalan.

“Persetan”

Orang itu bahkan bergerek semakin liar. Ia menyerang Mahisa Bungalan dengan tanpa membuat perhitungan dan pertimbangan lagi.

Dalam pada itu, seorang yang lainpun telah merasa bahwa kematian akan segera datang. Seperti kawannya, maka ia pun telah mengamuk pula sejadi-jadinya. Tetapi karena lawannya terlalu banyak, maka sekali-sekali ia mulai menindi bingung dan kehilangan pegangan.

Apalagi kemudian orang-orang Watu Kendeng telah mendekatinya pula. Mereka mulai bergabung dengan orang-orang pedopakan Kenanga, sehingga dengan demikian lawannyapun menjadi semakin banyak.

Suadara seperguruan Gagak Branang itu menjadi semakin ngeri menghadapi kenyataan itu. Dari segala arah, ujung senjata telah mematuknya. Bahkan kadang-kadang dari dua tiga arah bersamaan.

Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, ia masih ingin memakan orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng memeras tenaga, agar mereka menjadi segera letih. Tetapi dalam jumlah yang sekian banyaknya, amat sulitlah rasanya bagi saudara seperguruan Gagak Branang itu untuk menghadapi mereka.

Karena itu, maka justru ialah yang lebih dahulu menjadi letih. Sebelum orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng tidak mampu lagi bergerak dan bertempur, terasa bahwa saudara seperguruan Gagak Branang itu telah jauh susut.

Pada saat-saat yang demikian itulah, maka keputus-asaan telah mencengkamnya tanpa dapat dikendalikan lagi. Karena itu, maka iapun telah kehilangan segala harapan dan saat-saat berikutnya untuk dapat tetap hidup. Karena itu, maka akhirnya, orang itu tidak lagi berpikir, kecuali dengan sengaja telah membunuh dirinya sendiri.

Ia tidak menghiraukan lagi senjata yang teracu kepadanya. Ia tidak menghiraukan lagi patukan ujung pedang. Meskipun ia masih menggenggam pedang di tangan, tetapi ia seolah-olah telah manyerbu dengan dadanya, langsung menghunjamkan diri ke ujung-ujung senjata yang merunduk mengarah kepadanya.

Orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng justru terkejut. Tetapi demikian beberapa ujung senjata telah memecahkan kulitnya, maka mereka pun justru berloncatan surut.

Orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng menyaksikan dengan berdebar-debar, bagaimana orang itu jatuh tertelungkup. Tetapi orang itu tidak sempat lagi untuk mangaduh. Tubuhnya yang terluka parah itupun kemudian diam sama sekali, meskipun darah masih tetap mengalir.

Sementara itu, saudara seperguruan Gagak Branang yang bertempur melawan Mahisa Bungalan manjadi semakin gelisah. Ia tidak mempunyai kawan seorang pun lagi. Saudara-saudara seperguruannya telah mati.

Sejenak orang itu mencoba memandang wajah Mahisa Bungalan. Dalam remang-remangnya cahaya obor di kejauhan, orang itu melihat kilatan mata yang membara. Ia masih melihat kemarahan yang membayang disorot mata Mahisa Bungalan.

Dalam kegilaannya, orang itu masih juga merasa ngeri melihat lawannya. Tetapi ia sudah tidak dapat melepaskan diri lagi. Apapun yang akan terjadi, memang harus dihadapinya, termasuk kematian.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

2 komentar

  1. semakin mantab ceritanya
    1. Silahkan dinikmati gan :). Cersil karya suhu S.H Mintardja memang tidak pernah mengecewakan untuk dibaca😁