Meraba Matahari Jilid 08

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Terasa serangan-serangan Saminta memang menekan pertahanan Raden Madyasta. Bahkan Raden Madyasta masih saja berloncatan surut.

Dalam pada itu, Saminta yang merasa mampu mendesak Raden Madyasta itupun berkata lantang, “Jika kau mengaku kalah Madyasta, aku tidak akan menyakitimu. Tetapi aku minta kita pergi menemui Rara Menur. Kau harus mengatakan kepadanya, bahwa kau tidak akan pernah menemuinya lagi.”

Dalam pada itu, Raden Madyasta merasa sudah cukup menjajagi kemampuan dan kekuatan Saminta. Mungkin Saminta memang belum sampai ke puncak kemampuannya, namun Raden Madyasta sudah dapat menduga, seberapa tinggi ilmu anak muda yang merasa sudah tuntas menyadap ilmu dari perguruannya itu.

Karena itu, maka Raden Madyasta pun mulai meningkatkan kemampuannya. Ia tidak lagi ingin didesak terus oleh lawannya serta menjadi sasaran serangan-serangannya tanpa membalas.

Saminta lah yang kemudian terkejut. Raden Madyasta yang terdesak beberapa langkah surut itu, tiba-tiba saja tidak lagi berloncatan menghindari serangannya. Ketika Saminta meloncat sambil mengayunkan kakinya mendatar, Raden Madyasta tidak lagi meloncat beberapa langkah mundur. Tetapi Raden Madyasta hanya bergeser sedikit kesamping sambil memutar tubuhnya. Sementara itu, dengan tangkasnya Raden Madyasta menjulurkan tangannya menyerang kearah perut Saminta.

Saminta terkejut Sejak pertempuran itu mulai, ia mengira bahwa Raden Madyasta tidak mempunyai kesempatan untuk menyerangnya kembali. Namun tiba-tiba saja tangannya telah menghantam perutnya.

Diluar sadarnya Saminta mengaduh tertahan. Perutnya terasa menjadi mual. Bahkan nafasnya terasa menjadi sesak.

Ketika kemudian kaki Madyasta terjulur, mengenai dadanya, maka Saminta itupun terdorong beberapa langkah dan bahkan kemudian, ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Dengan kerasnya Saminta terbanting di tanah. Hampir saja kepalanya membentur sebatang pohon yang tumbuh di dekat kuburan tua itu.

“Namun Saminta itu dengan cepat melenting berdiri. la mencoba mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengusir mual di perutnya serta sakit didadanya.

Tetapi nafas Saminta masih saja terasa sesak.

“Iblis kuburan itu telah membantumu, Madyasta” geram Saminta.

Madyasta tidak menjawab. Namun ia bergeser selangkah demi selangkah mendekati Saminta yang masih berusaha mengatur pernafasannya.

Sejenak Madyasta berdiri mematung dihadapan Saminta yang mempersiapkan dirinya. Seakan-akan Raden Madyasta sengaja memberi kesempatan kepada Saminta untuk memperbaiki keadaannya.

Saminta benar-benar tersinggung ketika Raden Madyasta bertanya, “Apakah kau sudah siap Saminta.”

“Persetan dengan kesombonganmu. Kau akan menyesal. Tubuhmu dan namamu akan aku hancurkan disini.”

Raden Madyasta tidak menjawab. Selangkah ia maju sambil menyilangkan tangannya didadanya.

Saminta lah yang kemudian meloncat menyerang. Sambil berputar ia mengayunkan kakinya mengarah ke kening. Namun dengan merendah, Madyasta luput dari sentuhan kaki Saminta.

Demikianlah pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Saminta dengan cepat meningkatkan ilmunya. Ia ingin segera menunjukkan kemenangannya dan memaksa Raden Madyasta untuk menyerah.

Tetapi ternyata bahwa Madyasta pun meningkatkan kemampuannya pula. Selapis demi selapis, mengimbangi kemampuan Saminta yang merasa dirinya telah menuntaskan ilmunya itu.

Saminta yang marah itu tidak segera menyadari kenyataan. Ketika ia sampai pada puncak kemampuannya, maka rasa-rasanya ia akan segera menggulung jagad seisinya.

Tetapi dihadapan Madyasta, Saminta merasa membentur pertahanan yang tidak tertembus. Saminta merasakan seakan-akan ada sekat yang membatasinya, sehingga serangan-serangannya tidak pernah mampu menyusup ke seberang sekat itu.

“Apakah Madyasta mempergunakan perisai gaib yang dapat melindunginya?” bertanya Saminta didalam hatinya.

Sebenamya bahwa ilmu Raden Madyasta masih berada pada tataran yang lebih tinggi dari ilmu Saminta. Meskipun Saminta telah menuntaskan laku di perguruannya untuk menyadap ilmunya, namun Saminta masih belum mampu mengembangkannya. Bahkan Saminta masih terlalu terikat pada unsur-unsur gerak yang dipelajarinya. Ia masih belum berpengalaman menghadapi lawan yang sebenarnya.

Itulah sebabnya, maka beberapa saat kemudian, serangan-serangan Madyasta semakin sering mengenai tubuhnya, sehingga Saminta lah yang semakin lama menjadi semakin terdesak.

Adik seperguruan Saminta melihat kesulitan yang dialami oleh saudara seperguruannya. Karena itu tanpa berpikir panjang, ia pun bergerak mendekati arena pertempuran.

Namun Wismaya pun bergerak pula sambil bertanya, “Kau mau apa, he?”

“Akan aku bunuh Madyasta.”

“Mereka sedang berperang tanding. Jangan ganggu.”

“Tetapi Madyasta licik.”

“Apanya yang licik?”

Ia mempergunakan ilmu sihir.”

Wismaya tiba-tiba saja tertawa. Bahkan Raden Madyasta pun meloncat mengambil jarak dan lawannya yang sudah mulai kelelahan sambil tertawa pula, “Apa yang kau maksud dengan ilmu sihir?”

“Tidak ada orang yang dapat mengalahkan kakang Saminta jika ia tidak mempergunakan ilmu sihir. Kakang Saminta telah mewarisi ilmu perguruan sampai tuntas. Tidak ada orang yang dapat menyamai kemampuannya selain guru.”

“Ternyata kalian tidak saja sombong, tetapi lebih daripada itu, kalian adalah orang-orang dungu yang telah dengan mudah tertipu oleh orang yang mengaku guru dari perguruanmu itu.”

“Jangan menyinggung nama guruku. Aku akan membunuhmu” geram Saminta.

Saminta pun kemudian telah meloncat menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Tetapi Madyasta telah bersiap menghadapinya. Karena itu, maka serangan Saminta tidak menyentuh kulitnya.

Agaknya kemarahan Saminta telah sampai ke ubun-ubunnya. Saminta telah menarik kerisnya sambil berkata, “Kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini. Kau akan mati dan berkubur di kuburan tua itu. Ayahmu tidak akan sempat menguburmu di pemakaman keluargamu yang menurut pendengaranku berada di puncak bukit Wukirsari.”

Madyasta meloncat surut sambil berkata, “Jangan bermain-main dengan senjata. Jika karena kerismu aku terdesak, maka aku pun akan menarik kerisku pula.”

“Kau harus mengetahuinya, jika kerisku ini sudah keluar dari warangkanya, maka kerisku harus dibasahi dengan darah.”

“Apakah sejak kau meninggalkan Panjer, kau sudah berniat untuk membunuhku.”

“Jika kau menyerah dan bersedia menemui Rara Menur dan mengatakan bahwa kau tidak akan pernah datang lagi kepadanya setelah aku pulang ke Panjer, maka aku tidak akan membunuhmu.”

“Jika aku tidak mau.”

“Aku akan membunuhmu.”

“Dihadapan saksi?”

“Saksiku tidak akan berbicara apa-apa. Sedangkan saksimu akan mati oleh saudara seperguruanku.”

“Begitu mudahnya?”

Saminta itupun kemudian berkata kepada adik seperguruannya, “Bunuh orang itu. Jangan beri kesempatan ia lolos.”

Adik seperguruan Saminta itu tiba-tiba saja telah menarik kerisnya pula. Tanpa mengatakan apa-apa, iapun segera menyerang Wismaya.

Tetapi Wismaya sudah bersiap. Hampir diluar sadarnya, Wismaya telah menarik pedangnya.

Adik seperguruan Saminta itu tertegun ketika tiba-tiba ujung pedang Wismaya itu teracu ke dadanya.

“Senjataku lebih menguntungkan dari senjatamu, Ki Sanak” berkata Wismaya.

“Persetan” geram adik seperguruan Saminta, “pedangmu hanya buatan pande besi di sudut-sudut pasar itu yang biasanya membuat parang pembelah kayu. Kerisku adalah keris buatan empu yang namanya dikenal oleh seluruh tanah ini ratusan tahun yang lalu.”

“Keris pusaka?”

“Ya.”

“Tetapi pedangku jauh lebih panjang dan kerismu.” Orang itu tidak menghiraukannya. Ia pun telah menyerang lagi dengan cepatnya. Kerisnya terjulur menggapai dada.

Wismaya bergeser surut sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya.

Ketika terjadi benturan, maka Wismaya pun merasakan. bahwa keris lawannya adalah keris yang baik.

Tetapi Wismaya adalah prajurit yang terlatih baik mempergunakan pedangnya.

Karena itu, maka sejenak kemudian, adik seperguruan Saminta Itupun telah terdesak surut.

Sementara itu, Saminta pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Kerisnya berputar mengerikan. Keris yang bagaikan membara itu, sekali-sekali terayun menyambar kearah lambung. Kemudian terjulur lurus mematuk dada. Namun kemudian menebas kearah leher.

Madyasta memang terdesak. Karena itu, maka ketika Saminta menyerangnya bagaikan angin pusaran, maka Raden Madyasta pun telah mencabut kerisnya pula.

Ternyata keris Raden Madyasta telah menggetarkan dada Saminta pula. Namun kemarahan Saminta telah mencengkam jantung sehingga ia tidak sempat berpikir bening.

Meskipun kemudian serangan Saminta itu datang beruntun seperti gelombang ombak lautan yang ditempa prahara, namun ujung kerisnya sama sekali tidak sempat menyentuh tubuh Raden Madyasta. Bahkan ketika pertempuran menjadi semakin cepat, ujung keris Madyasta lah yang telah menggores di lengan Saminta.

“Sadari kelemahanmu, Saminta” Raden Madyasta mencoba memperingatkan lawannya.

Tetapi Saminta justru berteriak, “Aku akan membunuhmu. Jangan berbangga dengan kemenangan kecilmu.”

Betapapun juga usaha Raden Madyasta mengendalikan perasaannya, namun sikap Saminta benar-benar menyakitkan. Karena itu, maka akhimya Raden Madyasta pun berniat untuk menghentikan perlawanan Saminta.

Pertempuran diantara keduanya pun berlangsung semakin sengit. Saminta tidak lagi mengekang dirinya. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Saminta berusaha untuk benar-benar membunuh Raden Madyasta.

Namun kemampuan Raden Madyasta memang lebih tinggi. Karena itu, maka justru keris Raden Madyasta lah yang beberapa kali telah menyentuh tubuh Saminta.

Ketika Saminta meloncat sambil menjulurkan kerisnya mengarah ke jantung Raden Madyasta, maka Raden Madyasta masih sempat bergeser kesamping sambil memiringkan tubuhnya. Sebenarnyalah bahwa Raden Madyasta mendapat kesempatan untuk menghunjamkan kerisnya di lambung Saminta. Tetapi ketika keris itu menyentuh pakaian dan tembus menggores kulit. Raden Madyasta masih sempat menahan diri.

Namun Saminta pun kemudian telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak.

Tetapi Saminta masih tidak melihat kenyataan itu. Bahkan ia merasa bahwa ia masih berhasil menghindar dari ujung keris Raden Madyasta.

“Saminta” berkata Raden Madyasta kemudian, “Jangan paksa aku membunuhmu. Pergilah. Jangan ganggu lagi Rara Menur.”

Saminta justru menggeretakkan giginya. Dengan garangnya ia meloncat menyerang. Kerisnya terayun mendatar menebas kearah perut.

“Gila kau Saminta” geram Raden Madyasta.

Raden Madyasta itupun bergeser selangkah surut. Keris itu terayun dengan derasnya. Ujungnya hanya berjarak setebal daun dari perut Raden Madyasta. Bahkan baju Raden Madyasta telah terkoyak secengkang.

Namun demikian Raden Madyasta berdiri mapan, tiba-tiba saja ia melenting.

Kakinya bergerak demikian cepatnya mengenai pergelangan tangan Saminta. Demikian kerasnya tendangan itu. sehingga keris di tangan Saminta itupun terlepas dan terpental beberapa langkah.

Saminta terkejut. Tetapi ia tidak sempat meloncat menggapai kerisnya yang terjatuh, karena tiba-tiba saja ujung keris Raden Madyasta telah melekat di dadanya, di arah jantung.

Saminta surut selangkah Tetapi keris itu tidak terpisah dari dadanya

“Perintahkan saudara seperguruanmu untuk berhenti bertempur” geram Raden Madyasta.

Tetapi Saminta justru bertanya, “Kau takut kehilangan kawanmu?”

“Tidak. Aku tidak takut kehilangan kawanku. Tetapi aku tidak ingin kawanku itu membunuh. Jika saudara seperguruanmu itu keras kepala seperti kau, maka ia akan mati.”

“Kenapa tidak kau perintahkan kepada kawanmu itu saja untuk berhenti?”

“Jika kawanku berhenti bertempur, maka kawanmu akan membunuhnya.”

“Kalau saudara seperguruanku yang berhenti?”

“Kawanku bukan seorang pembunuh.”

Saminta masih ragu-ragu. Ia bahkan-berharap saudara seperguruannya itu dapat mengalahkan lawannya. Mati atau tidak mati. Kemudian saudara seperguruannya itu akan dapat membantunya.

Tetapi ternyata yang terjadi berbeda. Yang terdengar adalah keluhan tertahan saudara seperguruannya itu.

Diluar sadarnya, Saminta berpaling. Dilihatnya saudara seperguruannya itu terpelanting dan jatuh terlentang. Darah telah mewarnai baju di bagian dadanya.

“Kau bunuh saudaraku” teriak Saminta.

Namun ketika Saminta itu akan beranjak, ujung keris Raden Madyasta menekannya.

“Kau tidak akan kemana-mana.”

“Saudara seperguruanku itu.”

“Kau yang bertanggung jawab. Jika ia mati, maka kaulah yang bersalah. Aku sudah memberimu peringatan agar kau perintahkan saudara seperguruanmu itu berhenti. Tetapi kau tidak melakukannya.”

Wajah Saminta menjadi sangat tegang. Namun kemudian Raden Madyasta itupun bertanya” Kau akan melihatnya?”

“Ya.”

“Lihatlah. Apakah ia mati atau tidak.”

Tetapi saudara seperguruan Saminta itu masih bergerak. Bahkan berusaha untuk bangkit.

Saminta pun segera berlari mendekatinya. Ketika ia berjongkok di sampingnya, maka saudara seperguruannya itu masih sesambat” Kakang. Dadaku.”

Wajah Saminta menjadi sangat tegang. Ketika ia berpaling kepada Wismaya, maka Wismaya pun berkata” Aku sudah memperingatkannya. Tetapi ia keras kepala.”

“Ia tidak akan mati” berkata Raden Madyasta kemudian.

Saminta termangu-mangu sejenak. Darah masih mengalir dari tubuh saudara seperguruannya itu, sementara tubuhnya sendiri juga telah bernoda darah oleh goresan keris Raden Madyasta di beberapa tempat Namun luka di dada adik seperguruannya itu agak dalam.

Raden Madyasta telah mengambil sebuah bumbung kecil dari kantung ikat pinggangnya Diberikannya bumbung kecil itu kepada Saminta sambil berdesis, “Obati luka adik seperguruanmu itu serta lukamu sendiri.”

Saminta memandang Raden Madyasta dengan ragu-ragu.

“Aku tidak akan meracuni kalian berdua Jika aku ingin membunuh, maka aku akan membunuh.”

Seakan-akan diluar sadarnya, Saminta telah mengulurkan tangannya untuk menerima bumbung kecil yang berisi serbuk obat itu.

“Saminta” berkata Raden Madyasta kemudian, “aku masih ingin bertanya kepadamu, apakah kita akan melanjutkan perkelahian ini atau tidak. Jika kau masih ingin melanjutkan perkelahian ini, maka aku tidak akan berkeberatan Tetapi jika kita mulai lagi , maka perkelahian ini akan berakhir dengan buruk sekali. Salah seorang dari kita akan mati.

Saminta menjadi ragu-ragu. bagaimanapun juga, ia tidak dapat mengingkari kenyataan, tubuhnyalah yang terluka. Bukan Raden Madyasta Sementara itu adik seperguruannya telah terluka pula didadanya

“Kau harus menjawab pertanyaanku, jika kau masih ingin meneruskan, aku akan melayanimu. Jika kau sudah merasa cukup, maka aku minta kau berjanji untuk tidak mengganggu Rara Menur.

Saminta termangu-mangu sejenak

“Ketahuilah Saminta” berkata Raden Madyasta, “kau agaknya memang sudah menyadap ilmu di perguruanmu sampai tuntas. Tetapi tataran di setiap perguruan memang berbeda. Aku tidak mengatakan bahwa bobot ilmu di perguruanmu rendah. Tetapi kau sendiri belum mampu mengembangkannya Kau kira demikian kau keluar dari sebuah perguruan, kau langsung dapat menghadapi kenyataan kerasnya dunia oleh kanuragan serta tidak terkalahkan?”

Jantung Saminta berdebaran. Tetapi ilmunya memang masih belum mampu mengimbangi Raden Madyasta

“Pulanglah. Tetapi sekali lagi kau harus berjanji tidak akan mengganggu Rara Menur. Jika kau mengganggunya, maka aku akan datang kepadamu dengan sepasukan prajurit Aku akan menangkapmu atas nama ayahanda Adipati Paranganom, karena kau sudah mengganggu ketenteraman hidup seseorang.”

Saminta masih tetap diam, sehingga Raden Madyasta itupun berkata, “Bangkitlah. Marilah kita teruskan perkelahian ini. Kau atau aku yang akan mati. Kita sudah bersepakat untuk menyelesaikan persoalan kita dengan cara seorang laki-laki. Bahkan kita sudah mengabaikan perasaan dan penalaran Rara Menur sendiri.”

Jantung Saminta berdegup semakin cepat. Sementara itu, Raden Madyasta pun berkata selanjutnya, “Tetapi seperti kau katakan, jika aku membunuhmu, maka aku pun akan menghilangkan jejak. Kawanku juga akan membunuh saksimu, agar ia tidak dapat berceritera bahwa akulah yang telah membunuhmu, meskipun kita sudah sepakat untuk berperang tanding.”

Ternyata tantangan itu telah membuat hati Saminta menjadi kuncup. Karena itu, maka iapun berkata, “Aku tidak ingin meneruskan perkelahian ini, Madyasta”

“Kenapa?”

Saminta terdiam.

“Jika kau merasa bahwa kau kalah, katakan bahwa kau menyerah. Tetapi jika kau merasa belum kalah, kita teruskan perkelahian ini.”

Saminta tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian berkata, “Aku mengaku kalah.”

“Baik. Jika demikian, pulanglah. Bawa saudara seperguruanmu. Tetapi ingat, jangan ganggu Rara Menur. Kalau kau menantangku untuk membuat penyelesaian sebagai laki-laki, maka persoalannya sekarang tentu sudah selesai.”

“Baik, Madyasta.”

“Berjanjilah.”

“Aku berjanji.”

“Berjanji apa.”

“Berjanji untuk tidak mengganggu Rara Menur.”

“Aku percaya kata-kata seorang laki-laki. Sekali lagi aku peringatkan. Jika kau mengganggu Rara Menur, aku akan mempergunakan kuasaku sebagai seorang putera Adipati di Paranganom. Persoalan kita sebagai seorang laki-laki sudah selesai Persoalan yang timbul kemudian adalah tindak kejahatan.

“Aku mengerti Madyasta.”

Madyasta menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba saja terngiang kata-kata ayahandanya, Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom, bahwa Madyasta tidak dibenarkan untuk berhubungan dengan gadis Panjer yang hanya anak seorang Demang itu.

Terasa jantung Madyasta berdegup lebih cepat. Ia menjadi lebih tegang dari saat ia menghadapi Saminta yang menantangnya berkelahi itu.

Tiba-tiba saja Madyasta itupun berkata kepada Wismaya, “Kakang, marilah kita kembali ke rumah bibi.”

“Marilah Raden” sahut Wismaya. Ketika Wismaya akan meninggalkan tempat itu, ia masih berkata kepada Saminta, “obati luka saudara seperguruanmu. Pada saat obat itu ditaburkan, ia akan disengat rasa pedih di lukanya itu. Tetapi darahnya akan segera mampat”

Saminta tidak menjawab. Di tangannya masih digenggam bumbung kecil yang berisi serbuk obat

Sejenak kemudian, maka dua ekor kuda itupun berderap meninggalkan tempat itu. Semakin lama menjadi semakin jauh.

Saminta masih memandang debu yang mengepul di belakang kaki kuda yang berlari kencang itu. Ternyata harus mengalami kenyataan pahit. Meskipun ia merasa sudah tuntas menyadap ilmu kanuragan dari perguruannya, tetapi ketika ia benar-benar terjun di kerasnya dunia olah kanuragan, maka ia merasa bahwa ia masih terlalu kecil dibandingkan dengan orang-orang yang telah lebih dahulu terjun daripadanya

Saminta itu seperti terbangun dari mimpinya ketika ia mendengar saudara seperguruannya mengerang. Iapun segera mendekatinya

“Bagaimana dengan lukamu?”

“Sakitnya kakang.”

“Berbaringlah. Aku akan menaburkan obat ini di lukamu. Mula-mula akan terasa pedih. Tetapi obat ini akan memampatkan darah yang mengalir dari lukamu itu.”

Sementara itu, Raden Madyasta dan Wismaya yang melarikan kuda mereka seperti anak panah yang terlepas dari busurnya sudah menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumah bibinya Karena itu, maka Raden Madyasta pun memberikan isyarat kepada Wismaya untuk memperlambatnya

Beberapa saat kemudian, mereka pun menghentikan kuda mereka dan menuntunnya masuk ke regol rumah Raden Ayu Prawirayuda

Namun Madyasta yang sengaja tidak memberi tahukan kepergiannya kepada bibinya itu menjadi gelisah ketika ia melihat bibinya berdiri di pendapa Dan bahkan kemudian melangkah menuruni tangga sambil bertanya, “Darimana ngger?”

Madyasta menjadi agak bingung. Namun kemudian iapun menjawab” Berputar-putar sebentar bibi Mencoba kuda dimas Wignyana yang baru.”

“Apakah angger Wignyana disini?”

“Ya, bibi. Ia baru saja datang memamerkan kudanya kepadaku. Lalu aku mencobanya bersama kakang Wismaya

“Angger Wignyana membawa dua ekor kuda?”

“Ya, bibi. Wignyana Ingin memamerkan kedua-duanya”

Untunglah, bahwa Wignyana yang sedang berada di gandok itu mendengar pembicaraan itu, sehingga ia akan dapat menyesuaikannya jika bibinya bertanya kepadanya

Dalam pada itu, bibinya itupun bertanya” Dimana angger Wignyana sekarang?”

“Tadi dimas Wignyana ada di gandok.” Sebenarnyalah Wignyana pun segera muncul di serambi gandok sambil bertanya” Bagaimana kangmas. Bukankah kuda itu kuda yang baik?”

“Ya dimas” jawab Madyasta Lalu Madyasta itupun berkata kepada bibinya, “Maaf bibi. Aku akan pergi ke serambi gandok.”

Raden Ayu Prawirayuda tidak menjawab. Tetapi ia justru bertanya kepada Raden Wignyana, “Aku tidak tahu angger Wignyana ada disini”

“Aku belum lama bibi” jawab Wignyana, “aku hanya ingin menunjukkan kuda yang kemarin aku beli kepada kakangmas Madyasta Aku tidak ingin mengganggu bibi.”

“Baiklah, ngger. Silahkan. Aku akan pergi ke belakang.”

“Silahkan bibi” sahut Wignyana sambil mengangguk hormat.

Sepeninggal bibinya Wismaya pun menambatkan kedua ekor kuda itu di sebatang pohon perdu di halaman.

“Apa yang sudah terjadi, kangmas?” bertanya Wignyana demikian Madyasta duduk di serambi

“Anak yang baru saja menyelesaikan laku dimasa berguru. Demikian ia selesai dan tuntas, maka ia merasa bahwa tidak ada orang yang dapat mengimbangi kemampuannya Agaknya anak itu sengaja mencari lawan untuk menunjukkan kemampuannya yang menurut pendapatnya tidak ada duanya di dunia selain gurunya”

“Apa yang kangmas lakukan terhadap orang itu?”

“Aku memaksanya mengakui, bahwa ia bukan orang terbaik di dunia. Bahkan ilmunya itu tidak lebih dari sebutir pasir di luasnya pantai”

“Anak itu mengakuinya?”

“Ia harus melihat kenyataan itu.” Wignyana tersenyum. Katanya, “Waktu kita pulang dari perguruan, rasa-rasanya ingin juga segera menunjukkan kelebihan kita kepada semua orang. Tetapi untunglah, bahwa guru telah membekali kita bukan saja kemampuan ilmu kanuragan, tetapi juga bekal pesan-pesan, bagaimana kita mengetrapkan kemampuan yang telah kita pelajari selama kita berguru.”

“Ya. Agaknya itulah yang dilupakan oleh guru Saminta. Semakin tinggi ilmu seseorang, tetapi tanpa dibekali pesan, untuk apa ilmu itu dimilikinya, maka akan dapat terjadi salah kedaden. Ilmu yang seharusnya bermanfaat bagi banyak orang itu, akan dapat menjadi sebaliknya Ilmu itu akan dapat menjadi racun bagi banyak orang.”

“Tetapi kangmas sudah meredamnya Mudah-mudahan pengalamannya mengetrapkan ilmunya yang pertama kali itu akan menjadi pengalaman yang sangat berharga baginya”

“Mudah-mudahan, dimas.”

Sementara itu, Wismaya yang tidak melihat Sasangka di Serambi itupun bertanya, “Dimana Sasangka Raden.”

Tadi aku melihat Sasangka sedang bercengkerama”

“Bercengkerama?”

“Ya. Dengan kangmbok Rantamsari. Tetapi sudah sejak tadi aku melihatnya, tidak lama setelah kangmas dan kakang Wismaya pergi. Entahlah sekarang. Sejak aku melihatnya, kakang Sasangka belum kembali ke gandok. Mungkin ia tertidur di lincak di halaman belakang. Agaknya kangmbok Rantamsari sudah melantunkan tembang yang lembut,”

Wismaya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Sedangkan Raden Madyasta nampak mengerutkan dahinya. Nampaknya pernyataan Wignyana itu menyentuh hatinya, meskipun ia tidak mengatakan apa-apa

Namun dalam pada itu, sejenak kemudian, Wignyana pun berkata, “Kangmas. Jika kangmas telah dapat menyelesaikan persoalan kangmas, ijinkan aku pulang ke kadipaten.”

Madyasta mengangguk-angguk Katanya kemudian, “Baiklah dimas. Aku mengucapkan terima kasih. Biarlah kakang Wismaya mengantar dimas pulang.”

“Apakah aku harus diantar?”

“Maksudku bukan mengantar dimas yang ketakutan lewat bulak sempit disebelah. Tetapi mengembalikan kuda yang satu itu, agar dimas tidak usah harus menuntunnya”

Wignyana tertawa

Namun Wismaya pun kemudian mengingatkan, “Apakah Raden tidak minta diri kepada Raden Ayu Prawirayuda yang telah melihat Raden berada disini?”

“Sebaiknya kau minta diri, dimas.”

“Baiklah, kangmas. Tetapi besok atau lusa bibi tentu akan memberitahukan kepada ayahanda, bahwa aku berada disini tanpa menyatakan kehadiranku kepada bibi.”

“Jangan hiraukan itu.”

Wignyana pun kemudian mencari bibinya di longkangan. Tetapi ternyata bibinya berada di gladri belakang. Rantamsari yang juga berada di gladri, sedang sibuk membatik.

Raden Ayu Prawirayuda yang melihat kehadiran Wignyana di gladri segera bangkit berdiri sambil mempersilahkannya” Marilah ngger.”

“Aku hanya akan mohon diri, bibi.”

“Begitu tergesa-gesa. Baru disiapkan minuman bagi angger. Jika saja aku tahu angger sudah sejak tadi berada di gandok.”

“Terima kasih bibi. Seperti aku katakan, aku hanya ingin memamerkan kudaku yang baru kepada kangmas Madyasta Aku tidak sabar menunggu kangmas Madyasta datang di kadipaten.”

“Baiklah ngger. Salamku kepada dimas Adipati Prangkusuma”

Dada Raden Wignyana menjadi berdebar-debar. Agaknya bibinya dapat mempermasalahkan kehadirannya tanpa menyatakan diri kepada bibinya itu jika bibinya bertemu dengan ayahandanya.

Tetapi apa boleh buat, ia sudah melakukannya.

Karena itu, maka Raden Wignyana itu pun menjawab, “Baik, bibi aku akan menyampaikannya kepada ayahanda” lalu katanya kepada Rantamsari yang meletakkan cantingnya dan bangkit berdiri pula, “Aku minta diri kangmbok”

“Aku belum sempat menemuimu dimas.”

Hampir saja Wignyana mengatakan, bahwa ia tidak ingin mengganggu Rantamsari yang sedang bercengkerama dengan Sasangka, seorang Senapati muda yang bertugas di rumah itu. Tetapi niatnya diurungkan. Ia tidak ingin menimbulkan persoalan di rumah itu.

“Kapan-kapan aku akan berkunjung kemari. Bukan saja saat ayahanda memberikan perintah kepadaku untuk datang kemari. Tetapi aku akan menyisihkan waktuku untuk berada di sini sehari penuh. Tentu saja jika tidak mengganggu kangmbok.”

“Kenapa menggangguku?” bertanya Rantamsari, “aku senang jika dimas berkenan berada disini sehari penuh.”

Wignyana mengangguk hormat. Katanya, “Terima kasih. Pada kesempatan lain aku akan datang.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Wignyana pun telah meninggalkan rumah Raden Ayu Prawirayuda. Seperti yang dikatakan oleh Madyasta, maka Wismaya telah pergi bersamanya untuk mengembalikan kuda yang dibawanya.

Sementara itu, Madyasta yang letih, duduk di serambi gandok. Sasangka agaknya masih dibelakang. Tetapi Madyasta tidak mencarinya.

Sebenarnyalah Sasangka masih berada di halaman belakang, Ketika Rantamsari di panggil oleh ibunya, maka Sasangka rasa-rasanya segan untuk meninggalkan tempatnya. Karena itu untuk beberapa saat ia masih duduk di tempatnya itu. Bahkan rasa-rasanya Sasangka masih mengharap agar Raden Ajeng Rantamsari kembali menemuinya

Tetapi Raden Ajeng Rantamsari kemudian tetap berada di gladri karena ibunya minta ia meneruskan membatik kain yang sudah dimulainya

“Jika tidak kau kerjakan, maka kain itu tidak akan selesai” berkata ibunya

Sebenarnyalah bahwa Raden Ajeng Rantamsari memang ingin kembali ke halaman belakang. Tetapi ia merasa segan terhadap ibunya. Karena itu, maka akhirnya Raden Ajeng Rantamsari duduk saja dibelakang gawangan batiknya

Baru beberapa saat kemudian, Sasangka melangkah dengan segan menuju ke gandok. Baru ketika ia melihat Raden Madyasta sudah duduk di serambi, Sasangka itu dengan tergesa-gesa mendapatkannya

“Aku tidak tahu, bahwa Raden sudah kembali” berkata Sasangka sambil duduk di sebelah Raden Madyasta

“Kakang berada di halaman belakang?” bertanya Madyasta

“Ya, Raden. Aku masih saja cemas, bahwa Raden Wicitra tiba-tiba saja muncul.”

“Ya Kakang harus semakin berhati-hati.”

“Tetapi bagaimana dengan persoalan yang Raden hadapi dengan orang yang menantang Raden itu?”

“Aku sudah memaksanya untuk menghentikan kegilaannya itu. Nampaknya ia tidak lebih dari seorang anak yang merasa dirinya tidak terkalahkan setelah menyelesaikan laku di perguruannya”

“Syukurlah. Tetapi apakah anak itu jujur menurut Raden?”

“Aku kira ia bersungguh-sungguh. Pengalamannya masih terlalu sempit sehingga agaknya ia masih belum mempunyai banyak akal untuk mengelabui orang lain.”

“Mudah-mudahan ia benar-benar jujur.”

“Aku berharap begitu, kakang.”

“Tetapi dimana Raden Wignyana dan Wismaya?”

“Wignyana sudah pulang ke kadipaten. Sedangkan Wismaya pergi bersamanya untuk mengembalikan kuda yang dipakainya”

Sasangka mengangguk-angguk. Sementara Raden Madyasta pun berkata pula, “Maaf, bahwa dimas Wignyana agaknya tidak sempat minta diri kepada kakang Sasangka.”

“Tidak apa Raden. Mungkin Raden Wismaya agak tergesa-gesa Dan bukankah Raden Madyasta sendiri dan Wismaya tidak mengalami sesuatu? Maksudku, Raden dan Wismaya baik-baik saja?”

“Ya. Kami baik-baik saja Mudah-mudahan anak itu tidak menimbulkan masalah lagi dibelakang hari. Mudah-mudahan ia tidak mengganggu Rara Menur sebagaimana dijanjikannya”

Sasangka termangu-mangu sejenak. Namun hampir diluar sadarnya iapun bertanya, “Tetapi bagaimana dengan sikap Kangjeng Adipati?”

Wajah Raden Madyasta menegang sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas panjang iapun berkata, “Entahlah. Aku belum dapat membayangkan, apa yang akan terjadi kemudian”

Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta pun pergi ke pakiwan. Di serambi gandok, Sasangka duduk berangan-angan. Tiba-tiba saja ia sampai pada suatu pertanyaan, “Jika Kangjeng Adipati melarang hubungan Raden Madyasta dengan gadis Panjer, apakah Kangjeng Adipati berniat menjodohkan Raden Madyasta dengan Raden Ajeng Rantamsari.?”

Jantung Sasangka terasa berdentang semakin keras. Wajah Raden Ajeng Rantamsari itu justru semakin terbayang di pelupuk matanya

Beberapa saat kemudian, Raden Madyasta pun telah selesai mandi dan berbenah diri. Sementara itu, Wismaya pun telah kembali pula dan kadipaten.

Malam Itu, setelah makan malam, maka Raden Madyasta lah yang berada di serambi belakang. Raden Madyasta harus sangat berhati-hati. Jika orang yang membunuh Rembana itu masih saja berkeliaran di halaman rumah itu, maka orang itu akan dapat merunduknya sebagaimana ia merunduk Rembana

Dalam pada itu, di serambi gandok, Sasangka duduk bersama Wismaya. Beberapa saat mereka saling berdiam diri dengan angan-angan mereka masing-masing. Wismaya masih memikirkan orang yang telah dilukainya di dekat kuburan tua itu. Namun menurut pendapatnya, anak muda itu tidak akan mati. Apalagi setelah obat yang diberikan oleh Raden Madyasta itu ditaburkan di lukanya itu.

Sementara itu, Sasangka rasa-rasanya bagaikan berada di dunia mimpi. Angan-angannya terbang jauh menembus batas langit lapis ketujuh. Jika saja ia benar-benar dapat bersanding dengan Raden Ajeng Rantamsari.

Sasangka terkejut ketika tiba-tiba saja Wismaya itu berkata, “Sasangka. Sebelumnya aku minta maaf. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu.”

Sasangka mengerutkan dahinya. Wismaya telah, merusak angan-angannya. Rasa-rasanya Sasangka itu telah terlempar menukik dan jatuh di kehidupan nyata yang dijalaninya

“Apa yang ingin kau katakan, Wismaya?”

“Sekali lagi aku minta maaf sebelumnya.”

Jantung Sasangka mulai berdebaran.

“Sasangka. Aku ingin mengingatkanmu, apa yang pernah kau katakan kepada Rembana sebelum ia terbunuh.”

Sasangka terkejut Kata-kata Wismaya itu benar-benar telah menghempaskannya dari dunia angan-angannya.

Sebelum Wismaya berkata lebih jauh lagi, maka Sasangka-pun menyahut, “Sudahlah Wismaya Kita sudah sama-sama dewasa. Biarlah kita menempuh jalan kita sendiri-sendiri.”

“Sasangka. Sebagaimana yang kau katakan kepada Rembana, bahwa kita bukanlah sekedar kawan yang kebetulan bersama-sama menjalankan tugas. Tetapi hubungan kita lebih dari itu. Kita memasuki dunia pengabdian kita bersama-sama. Kita merangkak dari tataran terbawah di lingkungan keprajuritan bersama-sama. Sekarang kita bersama-sama pula berada disini dalam tugas yang khusus. Bukankah wajar jika aku menganggap bahwa hubungan kita lebih dari sekedar hubungan kerja”

“Terima kasih Wismaya. Aku juga merasa bahwa hubungan kita lebih dekat dari sekedar hubungan kerja. Meskipun demikian bukan berarti bahwa diantara kita tidak ada lagi batasnya”

“Aku mengerti, Sasangka. Tetapi seperti juga kau katakan kepada Rembana waktu itu, bahwa langkah yang diambilnya perlu dipertimbangkan lebih jauh lagi. Bukankah waktu itu kau bertanya kepada Rembana, siapakah Rembana itu dan siapakah Raden Ajeng Rantamsari itu.”

“Sudahlah, Wismaya. Kau tidak usah mengusik ketenanganku. Biarlah aku berada di jalanku sendiri.”

“Pada waktu itu, kau masih sempat berpikir bening. Kau masih melihat kemungkinan-kemungkinan yang pahit yang akan dapat terjadi atas Rembana dalam hubungannya dengan Raden Ajeng Rantamsari. Tetapi patut dipertanyakan, kenapa kau tidak menasehati dirimu sendiri sebagaimana kau katakan kepada Rembana.”

“Wismaya. Aku minta kau hentikan sesorahmu itu.”

“Bukan aku yang sesorah Sasangka. Tetapi kau sendiri. Aku hanya ingin mengingatkanmu isi sesorahmu kepada Rembana beberapa waktu yang lalu.”

“Aku pun ingin mengingatkan kau Wismaya. Waktu itu kau tidak dengan tegas membenarkan sikapku. Waktu itu tersirat dari kata-katamu, bahwa Rembana berhak menentukan jalannya sendiri. Nah, sekarang aku pun akan berkata sebagaimana tersirat dari kata-katamu waktu itu.”

Wismaya menarik nafas panjang. Dengan nada berat iapun berkata” Kita tinggal berdua disini Sasangka. Aku tidak ingin kawanku berkurang satu lagi.”

“Kau mengancamku?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Bukan aku bermaksud menakut-nakutimu, apalagi mengancammu. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa Rembana kemudian terbunuh. Aku tidak tahu, apakah kematian Rembana itu ada hubungannya dengan ikatan yang dijalinnya dengan Raden Ajeng Rantamsari atau tidak.”

“Sudahlah Wismaya. Sekali lagi aku minta, hentikan pembicaraan ini. Persoalannya adalah persoalan yang sangat pribadi, sehingga kau memang tidak akan dapat mencampurinya, sebagaimana aku waktu itu tidak dapat mencampuri persoalan yang di-hadapi Rembana”

“Aku pun ingin memperingatkan sekali lagi, bahwa Rembana kemudian terbunuh.”

“Apakah kau menuduhku, bahwa aku telah membunuh Rembana karena aku inginkan Raden Ajeng Rantamsari.”

“Tidak. Jangan salah mengartikan peringatanku itu. Yang ingin aku katakan, bahwa ada pihak lain yang memang menginginkan Raden Ajeng Rantamsari. Ia telah membunuh Rembana karena Rembana menjadi semakin akrab dengan Raden Ajeng Rantamsari itu. Jika sekarang kau menjadi akrab, maka bukankah bencana yang menimpa Rembana itu akan dapat menimpamu juga?”

“Jangan cemaskan aku, Wismaya. Asal tidak terjadi pengkhianatan, aku tidak akan terbunuh seperti Rembana” Sasangka itu berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Ingat Wismaya, sejak kita belum berada disini. Sejak belum ada seorang pun yang berhubungan dengan Raden Ajeng Rantamsari, rumah ini sudah menjadi sasaran laku kejahatan. Justru karena itulah maka kita berada disini.”

Wismaya menarik nafas panjang. Dengan nada berat iapun berkata, “Aku sudah mencoba memperingatkanmu Sasangka Seandainya kau tidak akan mengalami nasib seperti Rembana, mungkin yang kau cemaskan akan terjadi pada Rembana waktu itu dapat juga terjadi atasmu.”

“Apa maksudmu?”

“Jika kau sudah terlalu dalam dicengkam oleh perasaanmu, namun tiba-tiba saja Raden Ajeng Rantamsari itu direnggut dari hatimu justru karena kedudukannya sebagai anak seorang Adipati meskipun sudah wafat, kau akan tersiksa sekali.”

“Aku bukan seorang yang mencemaskan hari esok, Wismaya. Jika itu terjadi, maka aku akan berjuang untuk mencegahnya. Sebagai seorang laki-laki, maka nyawaku akan menjadi taruhan.”

“Tetapi jika Raden Ajeng Rantamsari menerima kemungkinan itu dengan penuh kebanggaan, bahwa ia akan mendapatkan seorang laki-laki yang berderajat jauh lebih tinggi dari seorang Senapati kecil seperti kita?”

“Kenapa kau bayangkan masa depan itu seperti sisi gelap dunia ini, Wismaya Kenapa kau tidak membayangkan bahwa aku akan diterima dengan baik didalam keluarga Raden Ayu Prawirayuda? Bahkan direstui oleh Kangjeng Adipati Prangkusuma? Kenapa kau tidak membayangkan, bahwa Kangjeng Adipati akan memberiku hadiah seekor kuda yang tegar serta mengangkat aku menjadi seorang Rangga di kadipaten Parang Anom?”

Wismaya menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih saja bergumam, “Kau bermimpi, Sasangka”

“Ya Biarlah aku nikmati mimpiku. Jangan menggangguku sehingga aku akan terbangun serta mimpiku itu akan terlepas.”

Wismaya menarik nafas panjang. Terasa debar jantungnya memukul-mukul dinding dadanya. Namun Wismaya masih mencoba menahan diri. Ia sadar bahwa ia memang tidak berhak untuk mencampuri persoalan yang sangat pribadi itu.....

Tetapi Wismaya sudah berusaha memperingatkannya. Jika terjadi sesuatu kelak, apakah peristiwa yang terjadi pada Rembana itu terulang, atau kelak Sasangka itu akan dihempaskan oleh kenyataan bahwa Raden Ajeng Rantamsari itu akan direnggut dari sisinya untuk diperbandingkan dengan seseorang yang dianggap memiliki derajat yang seimbang, ia sudah pernah memperingatkannya.

Wismaya tidak lagi berkata apa-apa ketika kemudian Sasangka itu berdiri dan melangkah ke dalam kegelapan.

Namun tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan, “Apakah justru Sasangka sendiri yang telah menghabisi Rembana?”

Pertanyaan seperti itu memang pernah mengganggunya. Bahkan Wismaya pun menangkap pertanyaan serupa tersirat dari kata-kata Raden Madyasta dan bahkan Raden Wignyana

Namun sementara itu, di dalam kegelapan, Sasangka pun bertanya kepada dirinya sendiri, “Apakah sebenamya Wismaya sendiri mengingini Raden Ajeng Rantamsari sehingga ia menjadi sangat iri melihat aku menjadi semakin akrab dengan gadis itu?”

Sasangka tiba-tiba menggertakkan giginya sambil menggeram, “Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mendapatkannya. Siapapun yang menghalangiku, akan aku singkirkan.”

Di serambi belakang, Raden Madyasta duduk sendiri. Ia bangkit berdiri ketika ia melihat bibinya datang mendekatinya

“Sendiri ngger?” bertanya Raden Ayu Prawirayuda

“Ya, bibi. Kakang Wismaya dan kakang Sasangka ada di gandok.”

“Silahkan duduk ngger.”

Raden Madyasta pun kemudian duduk kembali. Bahkan bibinya pun duduk pula disebelahnya.

“Dingin, ngger”

“Dingin bibi. Tetapi aku sudah terbiasa berada dalam segala cuaca”

Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Sementara itu Raden Madyasta lah yang berkata” Bibi nanti kedinginan. Udara terasa lembab. Langit nampak gelap. Mungkin hujan akan turun”

“Ya Ngger. Angin basah bertiup semakin kencang.”

“Ya, bibi. Sebaiknya bibi berada didalam.”

“Sebenarnya aku tidak sampai hati membiarkan angger Madyasta kedinginan di serambi seperti ini.”

“Aku sudah terbiasa bibi. Seperti aku katakan, aku terbiasa berada di segala macam cuaca Bahkan kehujanan sekalipun. Di padepokan aku membiasakan diri berada di dinginnya malam, basah kuyup kehujanan, tetapi juga dipanggang di teriknya sinar matahari. Menahan haus dan lapar. Karena itu, bibi tidak usah memikirkan aku dan para Senapati. Dalam menjalankan tugas, kami tidak memilih tempat, waktu, suasana dan cuaca.”

“Tetapi jika ada kemungkinan yang lebih baik, bukankah tidak ada salahnya jika angger memilih?”

“Maksud bibi?”

“Angger tidak harus berada di serambi seperti ini. Angger dapat berada di ruang dalam.”

Madyasta tersenyum. Katanya, “Lebih baik berada di sini bibi. Jika sesuatu terjadi, aku akan cepat bertindak”

“Tetapi menurut pendapatku, justru sangat berbahaya bagi angger. Disini angger dapat dilihat dari kegelapan. Jika ada orang berniat buruk, orang itu dapat melihat angger dengan jelas. Tetapi sebaliknya angger tidak dapat melihatnya.”

“Aku tidak akan berada disini terus bibi. Aku akan turun pula ke halaman.”

“Tetapi bukankah sangat berbahaya bagi angger. Angger Rembana telah terbunuh tanpa sempat memberikan perlawanan.”

“Petaka itu memang telah terjadi padanya” desis Raden Madyasta, “namun dengan demikian, aku akan menjadi lebih berhati-hati, bibi.”

“Raden, apakah salahnya jika Raden berada di dalam? Jika ada orang bermaksud jahat, sebagaimana yang pernah mereka lakukan, membunuh seekor kucing untuk menakut-nakuti kami, bukankah mereka akan masuk ke dalam. Jika mereka berada di luar, bukankah kita dapat mengabaikannya?”

“Bibi. Aku adalah bagian dari para prajurit yang ditugaskan oleh ayahanda di rumah ini. Karena itu, maka aku tidak dapat di pisahkan dari mereka.”

“Angger adalah putera Kangjeng Adipati di Parang Anom. Yang bahkan akan menggantikan kedudukan ayahandanya. Sedangkan mereka adalah prajurit sebagaimana prajurit-prajurit yang lain.”

“Aku sebagai seorang prajurit, tidak berbeda dengan mereka, bibi.”

Raden Ayu Prawirayuda menarik nafas panjang. Katanya;, “Angger memang seorang prajurit sejati.”

“Aku adalah satu diantara prajurit Paranganom.”

Raden Ayu Prawirayuda mengangguk-angguk. Namun kemudian Raden Ayu itupun berkata, “Ngger. Mumpung ada waktu luang, aku ingin bertanya, apakah Dimas Adipati masih marah kepada Raden?”

Raden Madyasta menarik nafas panjang. Dengan nada rendah iapun menjawab, “Tidak bibi. Ayahanda tidak marah lagi kepadaku.”

“Apakah dengan demikian berarti Dimas Adipati membiarkan hubungan angger Madyasta dengan gadis Panjer itu?”

“Kami belum pernah membicarakannya lagi, bibi.”

Raden Ayu Prawirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Ngger. Bagaimanapun juga sebaiknya angger mendengarkan nasehat orang tua. Sekaligus seorang Adipati yang memegang kuasa di kadipaten ini. Jika angger menentangnya, maka akibatnya akan dapat menjadi jauh sekali.”

Raden Madyasta menundukkan wajahnya

“Aku adalah bibimu, ngger. Aku merasa berkewajiban untuk memberi nasehat kepada angger Madyasta Apalagi persoalan sisihan adalah persoalan yang sangat rumit.”

“Ya, bibi” jawab Madyasta

“Angger adalah seorang anak muda yang tampan putera seorang Adipati yang sekaligus akan menggantikan kedudukannya. Karena itu, maka angger pun harus berhati-hati memilih sisihan Gadis Panjer itu mungkin memang sangat menarik perhatian angger. Mungkin ia cantik dan lembut Tetapi gadis itu tidak lebih dari anak seorang Demang. Jika angger kehendaki, angger dapat mengambilnya menjadi garwa ampeyan.”

Terasa degup jantung Raden Madyasta menjadi semakin cepat Sebenarnya ia tidak ingin mendengar nasehat bibinya itu. Tetapi ia tidak dapat memaksa agar bibinya itu berhenti berbicara

Untuk beberapa saat Raden Ayu Prawirayuda itu masih menasehatinya. Raden Ayu itu memberi beberapa petunjuk tentang hubungan suami isteri. Tentang cinta dan sekedar nafsu.

Raden Madyasta hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sekali-sekali ia mengiakannya. Dengan demikian Raden Madyasta berharap agar bibinya itu segera berhenti berbicara.

Setelah beberapa lama Raden Ayu Prawirayuda itu duduk di serambi belakang bersama Raden Madyasta, maka kemudian Raden Ayu itupun berkata, “Semakin lama, malam terasa menjadi semakin dingin, ngger.”

“Bibi. Agaknya lebih baik bagi bibi untuk masuk saja ke ruang dalam. Angin malam akan dapat berakibat buruk bagi bibi.”

Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Katanya, “Aku pun sudah sering menjalani laku prihatin, ngger. Bahkan aku pernah tidur tiga malam di pasareyan eyang kakung.”

“Tetapi bukankah itu bibi lakukan waktu bibi masih muda.”

Raden Ayu Prawirayuda itu masih saja tersenyum sambil berkata, “Aku sekarang memang sudah tua ngger.”

Dengan serta-merta Raden Madyasta menyahut, “Bukan itu maksudku bibi. Tetapi mungkin ketahanan tubuh bibi sudah menyusut”

“Sebenarnya masih banyak yang ingin aku sampaikan kepada angger. Justru karena aku bibi angger.”

“Terima kasih, bibi.”

“Jika saja angger bersedia duduk di ruang dalam. Rantamsari akan menyediakan minuman hangat bagi angger.”

“Terima kasih, bibi. Terima kasih biarlah kangmbok Rantamsari beristirahat.”

Raden Ayu Prawirayuda itu pun kemudian bangkit berdiri. Dilayangkannya pandangan matanya ke kegelapan di halaman belakang. Sementara itu nyala lampu minyak di serambi itu bergoyang di sentuh angin.

“Selamat malam ngger.”

“Selamat malam, bibi.”

Ketika Raden Ayu Prawirayuda itu akan masuk ke ruang dalam, iapun masih berdesis, “Kadang-kadang aku merasa bersalah, bahwa karena permohonanku, angger harus berjaga-jaga di serambi dalam dinginnya udara malam.”

Raden Madyasta tertawa. Katanya, “Aku sudah ditempa untuk melakukan tugas seperti ini.”

“Berhati-hatilah, ngger.”

“Ya, bibi.”

Sejenak kemudian, Raden Ayu Prawirayuda itupun telah hilang di balik pintu yang kemudian tertutup rapat.

Raden Madyasta menarik nafas panjang. Iapun kemudian duduk kembali di amben kayu di serambi dibawah cahaya lampu minyak. Pandangan matanya terlempar menusuk ke kegelapan di halaman belakang yang terhitung luas itu.....

********************

Dalam pada itu, di malam yang semakin dalam, di rumah Ki Tumenggung Reksadrana telah kedatangan seorang tamu yang tidak diinginkan. Tetapi Ki Tumenggung yang sedang duduk-duduk bersama Sura Branggah itu tidak dapat menolaknya.

“Marilah, duduklah Raden Wicitra”

“Terima kasih, Ki Tumenggung. Ternyata kau ada disini Sura Branggah.”

“Sudah sejak senja tadi, Raden”

“Sudah agak lama kita tidak bertemu, Raden” berkata Ki Tumenggung Reksadrana kemudian.

“Ya. Sejak sebelum Sura Branggah menemui aku waktu itu.”

“Ya Waktu itu aku minta Raden datang menemui aku. Tetapi Raden tidak menjawab apa-apa”

“Aku sudah menjawab.”

“Menjawab apa?”

“Aku katakan kepada Sura Branggah bahwa pada suatu hari aku akan menemui Ki Tumenggung Reksadrana”

“Pada suatu hari. Bukankah jawaban itu tidak jelas?”

“Nah, pada suatu hari itu adalah sekarang. Aku sekarang datang menemui Ki Tumenggung Reksadrana”

“Raden datang ketika segala sesuatunya sudah berantakan. Ketika anakku sudah meninggal.”

“Aku baru mempunyai kesempatan sekarang, Ki Tumenggung. Tetapi aku kira kedatanganku belum terlambat”

“Apa yang akan Raden katakan sekarang?”

“Ternyata Senapati-senapati yang masih ingusan itu memiliki kemampuan yang tinggi.”

“Apa maksud Raden?”

“Aku kira berkelahi melawan Senapati muda yang berada di rumah kangmbok Prawirayuda itu tidak memerlukan tenaga dan waktu. Tetapi ternyata aku tidak berhasil membunuhnya”

Ki Tumenggung Reksadrana memandang Raden Wicitra dengan mata setengah terpejam. Dengan nada tinggi iapun berkata, “Bukan senapati ingusan itu yang memiliki kemampuan tinggi. Tetapi Raden lah yang sama sekali tidak bertenaga”

“Ki Tumenggung. Kata-kata Ki Tumenggung itu menyinggung perasaanku.”

“Bukankah kenyataannya memang demikian.”

“Jangan berkata begitu Ki Tumenggung. Bagaimana jika aku menantangmu untuk memperbandingkan kemampuan kita.”

“Apakah alasan Raden menantangku?”

“Tidak ada alasannya Sekedar untuk membuktikan kata-kata Ki Tumenggung. Apakah aku memang tidak bertenaga”

“Kalau Raden memang ingin menjajagi kemampuan prajurit Kateguhan, aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Kita coba saja Ki Tumenggung.”

“Bagus. Dibelakang ada tempat untuk bermain binten. Meskipun aku sudah tua, tetapi aku masih akan sanggup mematahkan kaki Raden”

“Jangan sesumbar, Ki Tumenggung. Mari, kita coba saja.”

Ketika Raden Wicitra bangkit berdiri, maka Ki Tumenggung pun segera berdiri pula.

“Bagus. Kita pergi ke belakang”“geram Ki Tumenggung.

Namun tiba-tiba saja Sura Branggah itupun tertawa Katanya, “Aku bukan seorang Tumenggung. Aku juga bukan keluarga berdarah biru. Tetapi aku tidak terlalu mudah untuk memuntahkan gejolak perasaanku. Bukankah seperti kanak-kanak yang berpapasan di jalan, saling berpandangan, kemudian berkelahi tanpa sebab?”

“Tetapi aku tidak mau direndahkan seperti itu Sura Branggah. Aku tidak mau dikatakan tidak bertenaga.”

“Sekarang silahkan Raden duduk. Silahkan mengatakan, apa yang akan Raden katakan sehingga Raden datang kemari.”

“Tetapi Ki Tumenggung nampaknya tidak mau mendengarkan”

“Begitu Ki Tumenggung?” bertanya Sura Branggah.

“Jika Raden Wicitra itu berbicara, tentunya aku akan mendengarkan. Tetapi jika Raden Wicitra ingin berkelahi, aku tidak berkeberatan”

Ketika Raden Wicitra bangkit lagi, Sura Branggah itupun menahannya sambil berkata, “Sudahlah. Sekarang katakan saja maksud Raden datang kemari.”

Wicitra termangu-mangu, sementara Ki Tumenggung pun telah duduk pula.

“Nah, sekarang katakan Raden. Agaknya Ki Tumenggung sudah siap untuk mendengarkan”

Raden Wicitra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Aku dengar Ki Tumenggung masih berniat untuk mengganggu ketentraman Paranganom.”

“Apa kepentingan Raden dengan ontran-ontran yang masih akan aku timbulkan di Paranganom itu?” bertanya Ki Tumenggung

Dahi Raden Wicitra berkerut Namun kemudian iapun menjawab, “Aku memang mempunyai kepentingan, Ki Tumenggung”

“Kepentingan itulah yang aku tanyakan.”

“Kita dapat bekerja sama”

“Maksud Raden.”

“Apa yang Ki Tumenggung lakukan sekarang sebenarnya tanggung. Belum tentu bahwa yang membunuh putera Ki Tumenggung itu Rembana. Mungkin Sasangka, mungkin Wismaya atau bahkan Madyasta sendiri.”

“Aku tidak tahu arah bicara Raden.”

“Kita bekerja sama. Kita bunuh semuanya”

“Kami memang akan melakukannya Semua itu akan menjadi makanan kami. Tanpa kerja sama pun kami akan dapat melakukannya”

“Tetapi sampai sekarang yang baru berhasil kau bunuh baru Rembana”

“Apa?”

“Bukankah kau belum terlalu tua, Ki Tumenggung. Tetapi pendengaranmu nampaknya sudah berkurang.”

“Kau mulai lagi, Raden.”

“Dengarlah baik-baik. Kalian tidak usah menyombongkan diri bahwa kalian akan membunuh para Senapati muda itu termasuk Madyasta. Jika kalian mampu, maka tentu sudah kalian lakukan. Ternyata sampai sekarang kau baru dapat membunuh seorang saja diantara mereka. Rembana.”

“O. Jadi Raden Wicitra datang kemari sekedar untuk menyombongkan diri, bahwa Raden sudah berhasil membunuh Rembana. Raden, aku menyesali keberhasilan Raden Aku berniat untuk mendapatkan semuanya. Aku ingin membunuh keempat Senapati muda itu. Tetapi Raden Wicitra sudah mencuri seorang diantara mereka.”

“Nanti dulu, Ki Tumenggung. Bukankah Ki Tumenggung, meskipun mungkin tidak dengan tangan sendiri, sudah berhasil membunuh Rembana? Sekarang aku menawarkan kerja sama untuk membunuh yang lain. Bahkan jika perlu, aku dapat memberikan imbalan kepada Sura Branggah dan kawan-kawannya yang mampu dihimpunnya lagi.”

“Raden tidak usah berputar-putar seperti itu untuk menyombongkan diri. Katakan saja bahwa Raden sudah membunuh Rembana. Raden ingin pengakuanku bahwa Raden orang yang berilmu tinggi tanpa tanding karena dapat membunuh Senapati ingusan itu. Sedangkan Senapati ingusan itu ternyata berilmu tinggi”

“Kenapa kau terlalu berprasangka Ki Tumenggung. Jika aku datang sekedar untuk menyombongkan diri, lalu apa gunanya? Apa keuntunganku dengan tindakan bodoh itu.”

“Lalu apa maksud Raden sebenarnya.”

“Sudah aku katakan berulang-ulang. Marilah bekerja sama membunuh para Senapati yang tersisa itu.”

Ki Tumenggung memandang Sura Branggah sejenak. Namun Sura Branggah itu menggelengkan kepalanya

“Raden” berkata Ki Tumenggung, ”sebaiknya kita tidak usah bekerja sama. Lakukan apa yang ingin Raden lakukan. Aku lakukan apa yang ingin aku lakukan.”

“Apakah keberatan Ki Tumenggung? Bukankah kita mempunyai sasaran yang sama meskipun dasar kepentingan kita berbeda”

“Terus-terang Raden, aku tidak percaya kepada Raden. Mungkin saja Raden dapat bekerja sama dengan kami untuk sesaat Namun setelah itu Raden berkhianat. Raden memfitnah kami, sehingga kami ditangkap dan bahkan dihukum. Sedangkan Raden akan dapat menikmati hasilnya”

“Aku bukan jenis seorang pengkhianat”

“Sebaiknya kita bekerja sendiri-sendiri saja, Raden. Jika Raden ingin membunuh, bunuhlah jika mampu. Sementara itu, jika kami ingin melakukannya, biarlah kami melakukannya.”

“Jadi Ki Tumenggung tetap berkeberatan untuk bekerja sama meskipun aku sudah berjanji untuk menyediakan upah sekedarnya bagi Sura Branggah dan kelompoknya yang baru nanti?”

“Ya. Aku tetap berkeberatan.”

“Raden” berkata Ki Sura Branggah kemudian, “kenapa Raden harus berpikir macam-macam. Tidur sajalah di rumah. Tanpa kerja sama pun sebenarnya akan tetap menguntungkan Raden. Raden tidur sajalah di rumah. Nanti para Senapati itu akan mati sendiri karena tangan kami, sehingga Raden justru tidak kehilangan upah, tidak kehilangan waktu dan tidak diperlukan keberanian apa-apa.”

“Edan kau Sura Branggah. Aku ingin membunuh Sasangka dengan tanganku.”

“Kenapa tidak Raden lakukan?”

“Jika kita bekerja sama, kalian dapat menjerat para Senapati yang lain dalam pertempuran.”

“Nanti Raden kalah lagi. Nanti malah Raden yang mati.”

“Aku sumbat mulutmu dengan tumitku ini Sura Branggah. Sebenarnya aku tidak kalah. Tetapi aku terlalu merendahkannya, sehingga aku telah kehilangan kesempatan yang pertama.”

“Bukankah Raden sendiri yang mengatakan bahwa bagi Raden, para Senapati muda itu ilmunya ternyata tidak dapat Raden atasi.”

“Apakah aku berkata begitu?”

“Sekarang, apapun yang Raden katakan, kami tidak dapat bekerja sama dengan Raden.”

“Ki Tumenggung memang keras kepala.”

“Jangan berkata begitu Raden. Nanti aku benturkan kepalaku yang keras ini ke kepalamu.”

“Tetapi kau tidak dapat menolak, Ki Tumenggung.”

“Kenapa? Apakah Raden bermaksud mengancam?”

“Ya. Aku memang akan mengancam Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung tetap tidak mau bekerja sama, maka aku akan membuka rahasia Ki Tumenggung.”

“Rahasia apa? Aku tidak mempunyai rahasia apa-apa.”

“Jangan memperbodoh orang Ki Tumenggung. Rencanamu untuk tetap menimbulkan kekacauan dengan Paranganom tentu tidak disetujui oleh Kangjeng Adipati. Karena itu, jika Kangjeng Adipati mengetahui, maka kau tentu akan dihukum berat, karena yang kau lakukan ini akan dapat merendahkan nama Kangjeng Adipati.”

“Jadi Raden akan melaporkan rencanaku kepada Kangjeng Adipati?”

“Jika Ki Tumenggung tidak mau bekerja sama.”

“Raden tentu tidak akan berani melakukannya.”

“Kenapa aku tidak berani melakukannya? Aku akan mohon waktu untuk menghadap. Karena Kangjeng Adipati mempunyai persoalan khusus dengan kangmbok Prawirayuda, aku tentu akan diterima. Bahkan segera pada saat aku mengajukan permohonan. Kangjeng Adipati tentu mengira bahwa persoalannya menyangkut kangmbok Prawirayuda. Tetapi setelah aku menghadap, aku akan mengatakan bahwa ternyata Ki Tumenggung Reksadrana tidak tunduk kepada perintah Kangjeng Adipati. Ternyata Ki Tumenggung masih tetap berusaha untuk membuat kericuhan di Paranganom. Nah, saat itu juga Kangjeng Adipati akan memanggil Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung menolak, maka Ki Tumenggung akan ditangkap. Jika tidak ada prajurit yang berani menangkap Ki Tumenggung, maka akulah yang akan mohon diperintahkan melakukannya dengan sekelompok prajurit pilihan. Ki Tumenggung akan diadili oleh Kangjeng Adipati pribadi. Ki Tumenggung akan dihukum gantung di alun-alun. Atau setidak-tidaknya Ki Tumenggung akan dihukum kerja paksa seumur hidup. Kaki Ki Tumenggung akan diikat dengan rantai bersama-sama dengan para gegedug kecu, brandal, begal dan sebagainya.”

Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu tertawa berkepanjangan, sehingga Raden Wicitra menjadi terheran-heran. Bahkan Sura Branggah pun memandanginya dengan mulut ternganga.

“Ada apa dengan Ki Tumenggung?” bertanya Sura Branggah didalam hatinya.

Namun sebenarnyalah bahwa Sura Branggah sendiri menjadi cemas. Jika Raden Wicitra benar-benar melaporkan-nya kepada Kangjeng Adipati, maka bukan hanya Ki Tumenggung yang ditangkap. Tetapi tentu dirinya juga akan ditangkap. Di gantung di alun-alun atau dihukum dengan kerja paksa seumur hidup.

Sura Branggah tidak akan merasa ngeri bercampur dengan para gegedug brandal, kecu dan begal, karena namanya cukup dikenal dan ditakuti. Tetapi Sura Branggah membayangkan bahwa sepanjang umumnya ia tidak akan melihat lagi ramainya pasar Kliwon. Lezatnya nasi tumpang dengan telur pindang. Ia tidak lagi dikerubuti perempuan-perempuan cantik yang haus keping-keping uang yang dibawanya atau berbagai perhiasan emas dan permata hasil rampokannya.

Baru sejenak kemudian suara tertawa Ki Tumenggung itu mereda. Disela-sela suara tertawanya yang masih tersisa, iapun berkata, “Raden memang jenis seorang pengkhianat. Seorang yang suka memfitnah.”

“Ini bukan fitnah. Bukankah yang terjadi sebenarnya memang demikian?”

“Baik, baik Raden. Yang terjadi sebenarnya memang demikian. Tetapi bukankah

aku juga berhak untuk memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati?”

“Apa yang akan kau laporkan?”

Ki Tumenggung memandangi wajah Raden Wicitra yang tegang sambil tersenyum-senyum. Katanya, “Raden. Sudah ada berapa macam benda-benda berharga di keputren yang Raden curi. Ketika Raden Ayu Prawirayuda masih tinggal di istana, jika Raden datang mengunjunginya, maka sepulang Raden dari keputren, Raden langsung pergi ke tukang tadah barang-barang berharga yang Raden curi dari keputren.” .

“Bohong. Kalau ini benar-benar fitnah” Raden Wicitra hampir berteriak sambil bangkit dari tempat duduknya, “apa maksud Ki Tumenggung dengan fitnah itu?”

“Jadi menurut Raden, apa yang aku katakan ini fitnah?”

“Ya.”

“Raden kenal dengan Ki Citraprana, saudagar barang-barang kuno yang mempunyai nilai yang tinggi itu?”

“Apakah jika aku mengenalnya berani aku menjual barang-barang curian kepadanya?”

“Aku akan menangkap Ki Citraprana. Aku masih mempunyai wewenang sekarang ini, sebelum aku di rantai di penjara karena pengkhianatan Raden. Aku akan memaksanya berbicara dan berusaha menemukan bukti-bukti benda-benda berharga yang sekarang masih ada di rumahnya.”

Wajah Raden Wicitra menjadi pucat. Katanya” Kenapa kau menjadi dengki kepadaku? Itu adalah persoalanku dengan kangmbok Prawirayuda.”

“Benda-benda yang, kau curi bukan milik Raden Ayu Prawirayuda. Tetapi milik Kangjeng Adipati. Nah, percaya atau tidak percaya, sekarang aku tahu, bahwa Raden sering mencuri di kadipaten. Jika aku mendorongnya dengan ujung jari kelingkingku saja, maka Kangjeng Adipati tentu akan menangkap Raden. Apalagi sekarang Raden Ayu Prawirayuda, kakang perempuan Raden yang dapat sedikit memberikan perlindungan kepada Raden itu sudah tidak ada di kadipaten.”

“Setan kau Tumenggung Reksadrana. Kaulah yang mempunyai tampang seorang pengkhianat.”

“Bukan hanya aku. Tetapi kita berdua. Kau dan aku sama-sama orang-orang licik. Bedanya aku adalah seorang yang cerdik. Sedangkan Raden adalah seorang pencuri yang bodoh.”

“Cukup.”

“Raden tidak usah berteriak. Sebaiknya Raden sekarang keluar dari rumahku.

“Persetan kau Ki Tumenggung. Kau akan menyesali sikapmu ini.”

“Kalau aku memang harus menyesal, biarlah aku menyesal.”

Wajah Raden Wicitra menjadi merah bagaikan membara. Namun betapapun kemarahannya membakar jantungnya, tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Di rumah itu ada Sura Branggah. Jika ia berselisih dan bahkan kemudian harus berkelahi melawan Ki Tumenggung, maka Sura Branggah tidak akan tinggal diam. Iapun akan ikut melibatkan diri dan bahkan mungkin Sura Branggah lah yang akan membunuhnya dan kemudian melemparkan mayatnya di sungai sebelah. Baru besok orang-orang yang turun ke kali menemukan mayatnya itu.

Karena itu, maka dengan serta-merta Raden Wicitra pun meninggalkan rumah itu sambil bergeramang” Persoalan kita belum tuntas, Ki Tumenggung.”

Namun yang menyahut adalah Sura Branggah, “Kaulah yang tidak lumrah, Raden. Gadis puteri Raden Ayu itu adalah kemanakan Raden sendiri. Kenapa Raden akan memaksa untuk mengambilnya sebagai istri.”

“Diam kau perampok buruk.”

Sura Branggah tertawa. Katanya, “Seorang perampok masih memerlukan keberanian untuk menjalankan pekerjaannya. Tetapi tidak bagi seorang pencuri. Ia mengambil justru pada saat pemiliknya lengah dan tidak melihatnya.”

“Seorang pencuri jauh lebih berharga dari seorang perampok. Seorang pencuri harus memiliki ketrampilan yang tinggi. Selebihnya seorang pencuri adalah orang-orang yang lembut hati yang tidak menginginkan kekerasan, sehingga memungkinkan untuk jatuh korban. Seorang pencuri melakukan kekerasan hanya pada saat-saat ia tersudut. Karena itu, jika pada saatnya aku tersudut, maka aku juga akan melakukan kekerasan.”

“Kenapa tidak kau lakukan Raden? Apakah sekarang Raden belum tersudut?” bertanya Sura Branggah.

Kemarahan Raden Wicitra benar-benar telah membakar dadanya. Tetapi Raden Wicitra tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia memang agak merasa ngeri karena di rumah itu ada Ki Tumenggung Reksadrana serta Sura Branggah.

Karena itu, maka Raden Wicitra itupun segera meninggalkan rumah itu.

Ketika ia keluar dari pintu pringgitan, ia masih mendengar suara tertawa berkepanjangan. Agaknya Ki Tumenggung Reksadrana dan Sura Branggah masih saja mentertawakannya.

Raden Wicitra ternyata tidak mampu lagi menahan kemarahannya yang menggelegak. Karena itu, demikian ia turun ke halaman, maka iapun segera meraih batu sebesar kepalan tangannya.

Sejenak ia termangu-mangu. Tetapi suara tertawa yang lamat-lamat di ruang dalam Ki Tumenggung itu masih memanaskan darahnya.

Karena itu, maka Raden Wicitra itu telah melemparkan batu sebesar kepalan tangannya itu ke atap rumah Ki Tumenggung.

Ki Tumenggung terkejut. Bersama Sura Branggah mereka pun berlari keluar. Tetapi Raden Wicitra telah hilang dibalik pintu regol rumah Ki Tumenggung Reksadrana.

“Gila orang itu” geram Ki Tumenggung.

“Ternyata tingkahnya masih seperti kanak-kanak. Ia hanya berani melemparkan batu ke atas rumah.”

“Bukan itu yang aku pikirkan. Bahwa ia melemparkan batu itu adalah pertanda Wicitra hampir menjadi gila oleh kemarahannya. Karena itu, maka ia akan dapat berbuat apa saja untuk menghancurkan kita kelak.”

“Jika demikian, maka orang itu sangat berbahaya Ki Tumenggung.”

“Ya. Orang itu sangat berbahaya.”

“Jika demikian, kenapa orang itu tidak dilenyapkan saja

“Aku masih berpikir, bahwa ia akan dapat kita manfaatkan, Ia akan dapat menjadi sasaran tuduhan pembunuhan alas para Senapati di rumah Raden Ayu Prawirayuda justru karena Wicitra itu menjadi gila untuk mengambil kemanakannya sendiri menjadi isterinya.”

“Kenapa Ki Tumenggung menolak bekerja bersama?”

“Orang itu tentu berpikir seperti yang aku pikirkan. Ia berharap bahwa kitalah yang dituduh membunuh para Senapati di rumah itu untuk memberikan kesan kekacauan di Paranganom. Tetapi jika benar demikian, maka Kangjeng Adipati Yudapati sendiri yang akan menghabisi kita”

“Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?”

“Aku memang ragu-ragu.”

“Jika demikian, kita lenyapkan saja orang itu. Habis perkara.”

“Kau akan melakukannya?”

“Mumpung belum jauh, Ki Tumenggung.”

“Terserah saja kepadamu.”

“Baik. Aku akan menyusulnya. Lidah orang itu tentu sangat berbisa.”

Ki Tumenggung mengangguk sambil berkata, “Berhati-hatilah. Orang itu tentu licik licin dan tidak tahu malu. Ia akan dapat berbuat apa saja.”

“Baik, Ki Tumenggung.”

Sura Branggah itupun kemudian telah turun pula ke halaman. Dengan cepat ia keluar dari regol halaman menyusul Raden Wicitra yang telah menyusup kedalam kegelapan.

Namun Sura Branggah sudah menduga, kemana Raden Wicitra itu akan pergi. Raden Wicitra itu mempunyai seorang selir yang tinggal di padukuhan sebelah berantara dua bulak yang tidak terlalu panjang.

“Aku harus menyusulnya pada saat Raden Wicitra berada di bulak yang kedua itu lebih panjang sehingga jaraknya dari padukuhan disebelah menyebelah tidak terlalu dekat. Seandainya Raden Wicitra itu berteriak, suaranya tidak akan terdengar dari padukuhan.

Sebenarnya Sura Branggah sudah dapat melihat sosok Raden Wicitra sesaat sebelum ia memasuki padukuhan. Tetapi Sura Branggah membiarkannya saja. Dengan hati-hati ia terus mengikutinya sampai Raden Wicitra itu muncul dari gerbang padukuhan di sebelah lain dan memasuki bulak yang lebih panjang.

Ketika Raden Wicitra sampai di tengah-tengah bulak, maka Sura Branggah pun mempercepat langkahnya, sehingga jaraknya pun menjadi semakin dekat.

“Kenapa tergesa-gesa Raden” sapa Sura Branggah ketika Raden Wicitra sampai di simpang empat di tengah-tengah bulak itu.

Raden Wicitra terkejut. Iapun segera berhenti dan memutar tubuhnya.

Dalam keremangan malam Raden Wicitra itu melihat Sura Branggah berdiri beberapa langkah di hadapannya.

“Sura Branggah” desis Raden Wicitra.

“Ya. Raden.”

“Apakah kau menyusulku atau kau memang akan pergi searah dengan aku?”

“Aku memang sengaja menyusul Raden.”

“Apakah ada pesan dari Ki Tumenggung.”

“Tidak Raden. Tidak ada pesan apa-apa.”

“Jadi?”

“Keperluanku sendiri.”

“Keperluanmu sendiri.?”

“Ya”

“Keperluan apa?”

“Aku ingin membunuh Raden.”

“He?”Raden Wicitra terkejut sehingga sesaat ia tidak dapat berbicara apa-apa.

“Jangan menyesali nasib burukmu Raden. Kau merupakan ancaman bagi kami. Maksudku Ki Tumenggung Reksadrana serta aku dan gerombolanku yang baru akan aku susun kembali.”

“Kenapa aku kau anggap ancaman bagimu dan Ki Tumenggung?”

“Lidah Raden itu sangat tajam dan bahkan beracun. Karena itu, untuk mengamankan diri, Ki Tumenggung dan aku menganggap lebih baik jika Raden ditiadakan saja sehingga tidak akan mungkin dapat memfitnah kami. Tentang para Senapati di rumah Raden Ayu Prawirayuda itu jangan dicemaskan. Kami akan membunuh mereka semuanya. Sayang bahwa seorang diantara mereka sudah mati.”

“Nampaknya kau dan Ki Tumenggung Reksadrana sudah gila. Kau kira dengan membunuh aku, kalian dapat melakukan rencana kalian dengan baik? Sura Branggah. Ada atau tidak ada, aku tidak akan mempengaruhi rencanamu yang kau susun dengan Ki Tumenggung Reksadrana.”

“Kau tidak dapat membela diri lagi Raden. Sekarang sudah saatnya kau mati. Karena itu, kau harus mengikhlaskan nyawamu.”

Jantung Wicitra terasa berdegup semakin keras. Kemarahannya kepada Ki Tumenggung Reksadrana dan Sura Branggah masih belum mengendap. Kini Sura Branggah itu telah menantangnya.

Karena itu, maka Raden Wicitra itupun berkata” Sura Branggah. Jangan meremehkan orang lain. Kau kira aku silau melihat tampangmu serta gemetar mendengar namamu. Jika kau menang ingin menantangku, baiklah. Aku juga laki-laki seperti kau. Kau kira akan takut menghadapimu?”

“Aku tidak mengira bahwa Raden akan menjadi ketakutan Aku tahu bahwa Raden tentu akan menerima tantanganku.

“Bagus Sura Branggah. Jika demikian, kau akan aku yang akan mati disini.”

Sura Branggah tertawa pendek. Katanya, “Jika memang demikian, bersiaplah Raden. Aku datang untuk membunuhmu. Hanya jika kau berhasil membunuhku sajalah maka kau akan selamat. Tetapi jika kau tidak berhasil membunuhku, maka kaulah yang akan mati.”

“Kita sama-sama laki-laki Sura Branggah. Meskipun kau pemimpin brandal yang namamu menakutkan, tetapi jangan bermimpi akan dapat mengalahkan aku.”

“Bersiaplah untuk mati Raden.”

Raden Wicitra menggeram. Namun iapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Sura Branggah pun segera meloncat menyerang. Tangannya terjulur menggapai kearah dada. Namun Raden Wicitra menangkis sambil meloncat kesamping.

Demikianlah, maka keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ternyata tidak seperti yang diduga oleh Sura Branggah, bahwa Raden Wicitra akan dapat dengan mudah dikalahkannya. Tetapi ternyata bahwa Raden Wicitra juga seorang yang tangkas.

Raden Wicitra tidak hanya sekedar mampu mengelak dan berloncatan surut. Tetapi dengan garang Raden Wicitra pun telah membalas menyerang.

Dengan demikian, maka telah terjadi benturan-benturan antara dua kekuatan yang ternyata seimbang Sehingga keduanya berganti-ganti harus bergeser surut.

“Ternyata orang ini juga mempunyai kemampuan yang tinggi” berkata Sura Branggah didalam hatinya.

Sementara itu, Raden Wicitra pun harus mengakui kenyataan yang dihadapinya, bahwa Sura Branggah memiliki kekuatan yang besar serta ketahanan tubuh yang tinggi.

Dengan demikian pertempuran ini semakin menjadi semakin seru. Keduanya saling menyerang dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka

Ketika kaki Raden Wicitra itu menyambar dada Sura Branggah, maka Sura Branggah pun telah terdorong beberapa langkah surut. Dengan cepat Raden Wicitra memburunya. Dengan loncatan panjang, maka sekali lagi kaki Raden Wicitra terayun mendatar, justru menyambar kening Sura Branggah.

Sura Branggah tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Tubuhnya pun terlempar dan terguling jatuh menimpa tanggul parit.

Tetapi dengan cepat Sura Branggah melenting bangkit. Ketika Raden Wicitra meloncat mendekatinya, Sura Branggah lah justru menyongsongnya. Sura Branggah lah yang mendahului menyerang Raden Wicitra. Tangannya tetap menghantam perut.

Raden Wicitra mengaduh tertahan. Diluar sadarnya Raden Wicitra itu membengkok sambil memegangi perutnya dengan kedua belah tangannya.

Pada saat itu Sura Branggah dengan cepat menekan kepala Raden Wicitra serta membenturnya dengan lututnya.

Sekali lagi Raden Wicitra mengaduh. Tetapi ia tidak membiarkan kepalanya sekali lagi dibenturkan ke lutut Sura Branggah. Karena itu, maka iapun segera menggeliat. Raden Wicitra justru telah menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali untuk mengambil jarak.

Sura Branggah yang marah dengan cepat meloncat menerkam. Kedua tangannya terjulur lurus menggapai leher Raden Wicitra.

Tetapi tubuh Sura Branggah justru menerpa kedua kaki Raden Wicitra yang merapat. Ketika kedua kaki itu dihentakkannya, maka Sura Branggah telah terlempar beberapa langkah. Sekali lagi Sura Branggah terpelanting jatuh menimpa tanggul parit.

Sekejap kemudian, keduanya telah meloncat bangkit berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Keduanya pun kemudian bergeser beberapa langkah. Kepala Raden Wicitra yang terantuk lutut Sura Branggah masih terasa pening. Perutnya pun masih mual. Sementara itu, punggung Sura Branggah pun terasa nyeri setelah dua kali menimpa tanggul parit di pinggir jalan.

Namun keduanya berusaha untuk mengatasinya dengan mengerahkan daya tahan masing-masing.

“Tubuhmu liat juga Raden” geram Sura Branggah.

“Setan kau Sura Branggah. Ternyata tulang-tulangmu liat juga. Tetapi jangan mimpi kau dapat keluar dengan selamat. Besok orang-orang yang lewat akan menemukan tubuh gegedug brandal yang ditakuti itu terbaring di simpang empat ini. Tetapi itu sudah nasibmu. Kau sendirilah yang datang kepadaku untuk mengantarkan nyawamu.”

“Mulutmu sajalah yang besar Raden. Tetapi tenagamu tidak lebih besar dari tenaga seorang perempuan tua sakit-sakitan.”

“Tetapi kau tidak dapat menahannya. Dengan mudah aku melemparkanmu menghantam tanggul parit itu.

Sura Branggah tidak menjawab lagi, Dengan garangnya Sura Branggah telah meloncat menyerang

Pertempuran diantara keduanya segera menyala lagi. Keduanya berloncatan dengan cepat, melingkar lingkar di gelapnya malam. Mereka saling menyerang dan saling menghindar. Benturan-benturan terjadi semakin sering. Serangan-serangan pun semakin sering pula mengenai sasarannya.

Setelah mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka beberapa lama, maka nafas mereka pun mulai memburu di lubang hidung mereka. Keringat pun bagaikan diperas dari tubuh mereka. Pakaian mereka telah basah kuyup dilekati debu yang semakin tebal.

Namun tidak segera dapat diketahui, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu.

Akhirnya Wicitra merasa bahwa tidak ada gunanya untuk bertempur terus. Wicitra pun meragukan kemampuannya sendiri untuk dapat mengalahkan Sura Branggah yang bertempur semakin kasar. Dan bahkan menjadi buas dan liar.

Meskipun demikian, Wicitra pun meragukan kemampuan Sura Branggah, bahwa ia akan dapat mengalahkannya.....

Sebenarnyalah, bahwa beberapa saat kemudian, tenaga mereka pun telah menjadi semakin menyusut. Ketika Sura Branggah terpelanting jatuh, maka ia memerlukan waktu beberapa saat untuk bangkit. Tetapi Wicitra pun tidak mampu lagi untuk mendekatinya dengan cepat untuk menyerang pada saat Sura Branggah bangkit dan belum bersiap menghadapi serangannya.

Namun Wicitra pun terdorong jatuh dan terjerembab ke dalam parit yang mengalir ketika serangannya tidak mengenai sasaran. Bahkan Sura Branggah sempat mendorongnya dengan sisa tenaganya.

Ketika Wicitra itu kemudian bangkit. maka iapun berkata, “Tidak ada gunanya perkelahian ini diteruskan. Aku akan pergi. Pada kesempatan Iain, aku akan menikammu dengan kerisku ini.”

Sura Branggah termangu-mangu sejenak. Sura Branggah melihat keris di tangan Raden Wicitra. Karena itu. maka iapun telah menarik pisau belatinya.

Tetapi Raden Wicitra itu tidak menyerangnya. Tertatih-tatih Raden Wicitra itu justru melangkah menjauh sambil berkata, “Kita cari kesempatan yang lebih baik. Sura Branggah. Aku akan benar-benar membunuhmu.”

“Kenapa tidak kita selesaikan sekarang saja Raden .” geram Sura Branggah.

“Tanganmu tidak lagi kuat menekankan pisaumu itu di dadaku. Aku pun sudah kehabisan tenaga untuk menikam jantungmu. Aku menyesal bahwa aku terlambat menarik kerisku.”

“Aku akan menunggu, Raden.”

“Bagus. Kapan pun saatnya kita akan menyelesaikan persoalan diantara kita ini.

Setelah aku membunuhmu, maka aku akan membunuh Ki Tumenggung Reksadrana yang tamak itu.”

“Persetan dengan celotehmu itu.”

Raden Wicitra pun kemudian dengan langkah gontai meninggalkan simpang empat di bulak panjang itu. Sementara Sura Branggah pun tidak mengejarnya. Sura Branggah sendiri sudah merasa kehabisan tenaga, Sehingga seandainya mereka bertempur terus, maka mereka tentu hanya akan saling melukai. Tubuh mereka akan terkapar di simpang ampat itu. Jika besok mereka diketemukan oleh orang lewat, maka mereka ternyata masih belum mati.

“Ternyata anak iblis itu mampu mempertahankan hidupnya” geram Sura Branggah.

Sementara itu, Raden Wicitra pun melangkah semakin lama semakin jauh menusuk masuk ke dalam gelapnya malam.

Sejenak kemudian, simpang empat itu sudah menjadi lengang. Sura Branggah masih berada di simpang empat itu, duduk diatas tanggul parit yang basah.

Namun sejenak kemudian, Sura Branggah yang letih itupun bangkit berdiri. Kakinya terasa menjadi sangat berat ketika ia melangkah untuk kembali ke rumah Ki Tumenggung Reksadrana.

Di dini hari, Sura Branggah itu telah berada di rumah Ki Tumenggung Reksadrana. Sura Branggah duduk di lantai. Di bawah cahaya lampu minyak ia melihat noda-noda darah pada pakaiannya.

Ternyata di tubuhnya terdapat goresan-goresan luka. Ketika ia terjatuh menimpa tanggul parit serta beberapa kali tubuhnya terdorong dan tersandar pada pohon turi yang tumbuh di pinggir jalan, agaknya batu-batu padas, serta kulit batang turi yang kasar itu telah melukai kulitnya.

Ki Tumenggung Reksadrana yang berjalan hilir mudik di ruang itu dengan geram bertanya, “Jadi kau gagal membunuh iblis yang lidahnya bercabang itu?”

“Aku mohon maaf, Ki Tumenggung. Ternyata nyawa Raden Wicitra itu liat juga. Ia mampu mempertahankan diri untuk beberapa lama sebelum ia meninggalkan arena pertempuran.”

“Kau tidak mengejarnya?”

“Aku sendiri hampir kehabisan tenaga, Ki Tumenggung. Jika aku mengejarnya dan perkelahian itu berlanjut, mungkin kami berdua akan pingsan di simpang empat itu. Jika tubuh kami berdua di temukan oleh orang lewat, maka tentu akan menjadi bahan pembicaraan yang panjang.

“Orang-orang akan mengira bahwa kau berusaha menyamun Raden Wicitra. Tetapi Raden Wicitra lelah melawan sehingga kalian berdua menjadi pingsan.”

“Dengan demikian, aku akan dipenjara. dan bahkan akan timbul kesan, bahwa Kateguhan pun telah menjadi tidak aman seperti Paranganom”

“Tetapi Wicitra itu tentu akan menyebar racun dengan lidahnya yang bercabang itu”

“Tetapi sudah banyak orang yang mengenalnya sebagai iblis yang lidahnya bercabang, Ki Tumenggung”

“Kau sudah mulai Sura Branggah. Kau harus menyelesaikannya.”

“Tentu Ki Tumenggung, Aku akan menyelesaikannya.”

“Jangan terlalu lama.”

“Ya. Tentu tidak terlalu lama. Tetapi bukan hari ini.”

Ki Tumenggung itu pun kemudian menggeram, “Aku mau tidur. Terserah apakah kau akan tidur atau tidak.”

“Aku akan tidur di lincak panjang di serambi itu saja Ki Tumenggung.”

Di sisa malam itu, Raden Wicitra telah mengetuk rumah seorang perempuan. Rumah perempuan yang memang menjadi tempat persinggahannya.

“Siapa diluar?” terdengar suara seorang perempuan bertanya dari dalam.

“Aku Nyi, Wicitra”

Raden Wicitra menarik nafas panjang, ketika ia mendengar langkah kaki ke pintu. Sejenak kemudian, maka pintu itupun telah terbuka.

Seorang perempuan berdiri termangu-mangu di belakang pintu yang terbuka itu.

Tertatih-tatih Raden Wicitra melangkah masuk.

“Raden, kenapa?” bertanya perempuan itu ketika ia melihat keadaan Wicitra yang wajahnya nampak pengab kebiru-biruan.

Setelah pintu itu ditutup kembali, maka perempuan itu telah menggandeng Raden Wicitra ke sebuah lincak panjang.. .

Raden Wicitra yang letih itupun segera duduk di lincak itu sambil berdesah.

“Tubuhku terasa sakit semuanya. Tulang-tulangku bagaikan menjadi retak. Isi rongga dadaku seakan-akan telah rontok berguguran”

“Kenapa? Raden telah berkelahi lagi memperebutkan puteri yang bernama Rantamsari itu?”

“Tidak.”

“Bohong. Raden tentu berkelahi lagi seperti beberapa waktu yang lalu. Waktu itu Raden datang sambil mengeluh. Raden minta aku memijit tubuh Raden yang terasa sakit. Tetapi Raden berbicara terus-menerus tentang perempuan yang bernama Rantamsari itu. Bukankah hatiku menjadi sakit”

“Kau tidak usah menjadi sakit hati. Aku tidak akan meninggalkanmu, meskipun aku akan menikah dengan Rantamsari kelak.”

“Sekarang, dalam keadaan seperti ini, kenapa Raden tidak pergi saja ke rumah Rantamsari.”

“Rantamsari rumahnya jauh sekali. Ia tinggal di Paranganom, sementara kita berada di Kateguhan.”

“Sekarang Raden kemari mau apa?”

“Kau lihat keadaanku? Tolong, obati luka-lukaku. Aku juga memerlukan ganti pakaian. Bukankah ada pakaianku yang aku tinggalkan disini.”

Perempuan itupun kemudian telah merawat Raden Wicitra. Ia telah merebus air untuk mandi. Kemudian menyediakan ganti pakaian serta menyiapkan minuman hangat.

Namun ketika ia menerima pakaian Wicitra yang kotor, yang basah oleh keringat dan dilekati debu yang tebal, maka yang pertama-tama dicarinya adalah uang di kantong baju itu.

Tetapi perempuan itu hanya menemukan beberapa keping uang kecil saja, sehingga ia masih bernafsu untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi.

Baru ketika Raden Wicitra tertidur setelah mandi air hangat, berganti pakaian dan minum minuman panas, perempuan itu sempat membuka kantong ikal pinggang Raden. Wicitra.

Di kantong ikat pinggang itu, ia menemukan uang lebih banyak lagi.

Demikianlah, maka dendam Raden Wicitra kepada Ki Tumenggung Reksadrana dan kepada Sura Branggah pun menjadi semakin dalam. Demikian pula sebaliknya, Ki Tumenggung Reksadrana dan Sura Branggah pun menjadi semakin benci kepada Raden Wicitra. Bagi Ki Tumenggung Reksadrana dan bagi Sura Branggah, Raden Wicitra harus disingkirkan.

Namun demikian, baik Raden Wicitra maupun Ki Tumenggung tidak ada yang berani memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati Yudapati tentang-kejahatan yang pernah mereka lakukan.

Mereka berniat membuat penyelesaian sendiri atas persoalan diantara mereka.....

********************

Dalam pada itu, di Paranganom, Wismaya melihat hubungan antara Raden Ajeng Rantamsari dan Sasangka menjadi semakin rapat. Bahkan Wismaya pun pernah menyampaikan persoalannya kepada Raden Madyasta. Tetapi Raden Madyasta sendiri merasa agak bingung, apa yang harus dilakukannya.

“Sasangka sama sekali sudah tidak lagi. merasa malu, Raden” berkata Wismaya.

“Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya aku lakukan, kakang.”

“Mungkin kematian Rembana tidak ada hubungannya dengan Raden Ajeng Rantamsari, tetapi bukan berarti bahwa kemungkinan itu tidak ada sama sekali.”

“Kakang Sasangka memang menimbulkan beberapa pertanyaan. Kadang-kadang aku merasa takut memikirkannya.”

“Mungkin apa yang Raden takutkan itu, sama seperti yang aku takutkan pula.”

“Apa yang kakang takutkan?”

“Pernah tersirat dalam pembicaraan kita sebelumnya, Raden. Tetapi kita masing-masing tidak mengatakannya dengan terbuka.”

“Hubungan antara kematian kakang Rembana dengan apa yang dilakukan oleh Sasangka sekarang?”

“Ya, Raden.”

“Tegasnya, dugaan bahwa kakang Sasangka lah yang telah membunuh kakang Rembana?”

“Ya, Aku pun menjadi curiga, karena sebelumnya Sasangka pernah memperingatkan Rembana agar tidak berhubungan terlalu rapat dengan Raden Ajeng Rantamsari.

“Tetapi waktu itu menurut kakang Wismaya, kakang Sasangka mengucapkan peringatannya dengan jujur. Maksudnya, kakang Sasangka benar-benar memperingatkan Rembana agar Rembana tidak menjadi sangat kecewa di kemudian hari. Hatinya tidak menjadi sangat pedih, jika Raden Ajeng Rantamsari itu tiba-tiba telah direnggut dari sisinya.”

“Ya. Menurut tanggapanku waktu itu memang demikian, Raden. Tetapi apa yang terjadi kemudian membuat aku menjadi ragu-ragu.”

“Aku harus berhati-hati menghadapi persoalan ini, kakang.”

“Raden. Bagaimana menurut pendapat Raden, jika Raden berusaha berdiri diantara Sasangka dan Raden Ajeng Rantamsari?”

“Aku tidak dapat melakukannya, kakang. Nanti akan dapat timbul salah paham pada bibi.”

“Raden akan berterus-terang mengatakan kepada Raden Ayu Prawirayuda.

“Raden Madyasta menarik nafas panjang. Selama ini bibinya bersikap amat baik kepadanya. Apalagi menurut ayahandanya, Kangjeng Adipati Prangkusuma dan Paranganom, bibinya pernah berniat untuk menempatkan Raden Ajeng Rantamsari di sisi Kangjeng Adipati Yudapati di Kateguhan. Padahal menurut penglihatan orang orang Keteguhan, Raden Ajeng Rantamsari adalah adik Kangjeng Adipati Yudapati, meskipun sebenarnya hanyalah adik tiri yang berbeda ayah dan ibu.

Karena Raden Madyasta tidak segera menjawab, Wismaya itupun bertanya pula, “Bagaimana menurut Raden?”

Raden Madyasta masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun justru bertanya, “Bagaimana menurut tanggapan kakang Wismaya terhadap sikap bibi Prawirayuda? Nampaknya bibi sama sekali tidak menaruh keberatan.”

“Pada saat Raden Ajeng Rantamsari berhubungan dengan Rembana, Raden Ayu Prawirayuda juga tidak berusaha mencegahnya.”

“Seharusnya bibi tidak membiarkan kangmbok Rantamsari bersikap seperti itu.”

Wismaya terdiam. Sementara Raden Madyasta itu berkata didalam hatinya, “Mungkin bibi merasa sangat kecewa, bahwa kakangmas Adipati Yudapati telah menolaknya, sehingga akhirnya bibi justru menjadi tidak peduli lagi atas apa yang dilakukan oleh kangmbok Rantamsari dalam hubungannya dengan seorang laki-laki. Tetapi jika itu benar, maka malanglah nasib kangmbok Rantamsari.”

Dengan demikian maka keduanya tidak menemukan kesimpulan apa-apa yang akan dapat mereka sampaikan kepada Sasangka. Sehingga untuk sementara baik Wismaya maupun Raden Madyasta masih akan tetap berdiam diri.

Dalam pada itu, Raden Madyasta pun telah teringat akan dirinya sendiri yang telah menjalin hubungan dengan anak perempuan Ki Demang Panjer. Ayahandanya masih tetap berpegang kepada ajaran orang-orang tua, bahwa keturunan akan memegang peran penting dalam kehidupan rumah tangga. Sebagai putera seorang Adipati, maka tidak sepatutnya, ia mengambil anak perempuan Demang Panjer itu untuk menjadi sisihannya.

“Jika pada saatnya, seandainya hubungan Sasangka dan kangmbok Rantamsari dapat diterima oleh bibi Prawirayuda, sehingga kemudian disampaikan kepada ayahanda, aku tidak yakin, bahwa ayahanda akan menyetujuinya. Ayahanda tentu menghendaki, bahwa kangmbok Rantamsari mendapat jodoh seorang yang mempunyai derajad yang setidak-tidaknya tidak berada pada lapisan yang terlalu jauh dari kangmbok Rantamsari sendiri. Bukan hanya sekedar seorang Senapati kecil yang masih berpangkat Lurah Prajurit” berkata Raden Madyasta didalam hatinya.

Sebenarnyalah, dari hari ke hari hubungan Sasangka dengan Raden Ajeng Rantamsari menjadi semakin dekat. Sementara itu, Raden Ayu Prawirayuda memang tidak berusaha mencegahnya. Hanya setiap kali Raden Ayu sempat memperhatikan tingkah laku puterinya itu dari bilik pintu butulan yang sedikit terbuka, Raden Ajeng Rantamsari duduk bersama Sasangka di longkangan atau di halaman belakang.

Sekali-sekali Raden Ayu memang memanggil puterinya. Tetapi karena Raden Ayu menjadi kesal, bahwa Raden Ajeng Rantamsari seakan-akan melupakan kain yang sedang dibatiknya

“Kapan kainmu itu selesai Rantamsari?” bertanya ibunya.

“Aku sedang letih ibu.”

“Apa yang kau lakukan, sehingga kau menjadi letih?

“Mungkin aku sedang tidak enak badan. Udara terasa terlalu panas, sehingga rasa-rasanya aku lebih senang duduk di taman atau di bawah pepohonan di halaman belakang.”

“Tetapi kainmu itu jangan dilupakan Rantamsari. Setiap hari, meskipun hanya sedikit, sebaiknya kau coret kainmu itu. Jika kelak kain itu sudah siap, maka kau akan dengan bangga mengenakannya, karena kain itu kau batik sendiri.”

Raden Ajeng Rantamsari yang menjadi muram itu menjawab, “Aku akan mengerjakannya malam nanti; ibu.”

“Jangan terlalu sering mengerjakan di malam hari. Terangnya lampu minyak dan terangnya cahaya matahari itu berbeda, Rantamsari.”

“Baiklah, ibu. Besok aku akan mulai membatik di pagi hari.”

“Kenapa besok?”

“Hari ini aku akan beristirahat. Hari ini aku tidak akan mengerjakan apa-apa.”

Raden Ayu Prawirayuda hanya dapat menarik nafas panjang. Sementara itu, Raden Ajeng Rantamsari pun segera meninggalkannya.

Selain kegelisahan yang timbul karena hubungan Sasangka dengan Raden Ajeng Rantamsari, maka agaknya tidak pernah lagi terjadi gangguan di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Raden Wicitra pun tidak pernah datang lagi mengganggu kemanakannya.

Meskipun demikian, Raden Madyasta masih saja ragu-ragu untuk meninggalkan rumah bibinya untuk pergi ke Panjer. Jika pada saat ia pergi terjadi sesuatu di rumah itu, maka ayahandanya tentu akan menjadi sangat marah kepadanya•

Yang dapat dilakukan oleh Raden Madyasta jika ia merasa jemu berada di rumah bibinya, maka iapun minta diri untuk pulang ke kadipaten. Tetapi tidak terlalu lama ia harus sudah berada di rumah bibinya lagi. Di kadipaten Madyasta dapat bermain-main kuda bersama Raden Wignyana, seorang penggemar kuda. Tetapi ketika ia sudah berada di rumah bibinya lagi, maka ia akan berada dalam suasana yang tegang. Bukan saja karena setiap saat akan dapat muncul orang-orang yang berniat jahat, tetapi juga karena hubungan antara Sasangka dan Raden Ajeng Rantamsari yang mendebarkan itu.

Namun Raden Madyasta masih juga merasa heran, bahwa bibinya, Raden Ayu Prawirayuda tidak berbuat apa-apa Raden Ayu Prawirayuda itu seakan-akan tidak mengetahui, bahwa Raden Ajeng Rantamsari sudah tenggelam dalam mimpinya

“Raden” berkata Wismaya yang menjadi semakin tegang” apakah kita masih akan tetap berdiam diri? Sasangka telah melampaui batas tugasnya. Jika pada suatu saat, Raden Ajeng Rantamsari itu di renggut dari sampingnya karena berbagai macam alasan, maka Sasangka akan dapat menjadi gila.”

“Baiklah, kakang. Biarlah besok aku berbicara dengan kakang Sasangka. Aku juga merasa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan disini, justru oleh .prajurit Paranganom sendiri. Sekarang, selagi masih ada kesempatan, aku harus mencegahnya.”

“Raden dapat membawa perintah dari Kangjeng Adipati, bahwa Sasangka dipindahkan dari tugasnya yang sekarang. Agar tidak terlalu melukai hatinya, maka sebaiknya kita bersama-sama digeser dari tugas kita ini dan digantikan dengan orang-orang baru sama sekali, namun yang dapat dipercaya.”

“Tetapi sebelumnya, aku akan berterus-terang, kakang. Mungkin kakang Sasangka akan menjadi kecewa atau bahkan marah kepadaku. Mungkin kakang Sasangka akan menjadi salah sangka. Mungkin kakang Sasangka mengira, bahwa aku sendiri menginginkan kangmbok Rantamsari sehingga aku berusaha memisahkannya gadis itu. Dalam keadaan yang demikian, maka aku akan mempergunakan kuasaku sebagai putera Adipati Paranganom yang diserahi memimpin para Senapati yang bertugas disini. Namun yang akan menyulitkan adalah jika bibi justru menginginkan hubungan itu berlanjut.”

“Jika demikian, segala sesuatunya terserah saja kepada Raden Ayu Prawirayuda. Kita memang tidak akan dapat mencampurinya.”

Raden Madyasta mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, suasana di rumah Raden Ayu Prawirayuda itu terasa agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Terasa sekat yang membatasi hubungan antara Wismaya dan Sasangka menjadi semakin tegal. Keduanya tidak banyak lagi berbicara, sehingga seakan-akan diantara keduanya telah timbul persoalan yang gawat. Sementara itu Raden Madyasta juga membatasi dirinya. Iapun tidak banyak berbicara, baik dengan Sasangka maupun dengan Wismaya.

Ketika kemudian malam turun, maka Raden Madyasta itupun berkata kepada keduanya, “Aku akan berada di serambi belakang, kakang. Sebaiknya salah seorang dari kakang berdua beristirahat saja dahulu, agar setelah lewat tengah malam ada diantara kita yang berjaga-jaga.”

“Baik, Raden” jawab Sasangka, “biarlah aku berjaga-jaga sekarang. Aku akan membangunkan Wismaya setelah lewat tengah malam nanti.”

Sementara itu Wismaya menyahut, “Raden sendiri juga harus beristirahat. Hampir setiap malam Raden berjaga-jaga semalam suntuk, sedangkan kami dapat membagi waktu.”

Raden Madyasta tersenyum. Katanya Biarlah. Jika aku merasa letih dan mengantuk, aku akan tidur.”

Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta pun telah meninggalkan serambi gandok. Sementara dengan tidak banyak berbicara lagi. Wismaya pun masuk ke dalam biliknya di gandok.

Di serambi gandok Sasangka duduk sendiri. Dipandanginya daun pepohonan di halaman yang bergoyang diterpa angin malam yang basah.

Namun Sasangka pun kemudian bangkit berdiri dan turun ke halaman.

Terasa angin bertiup semakin keras. Ketika Sasangka kemudian menengadahkan wajahnya ke langit, maka dilihatnya langit gelap. Tidak ada sepercik bintang pun yang nampak. Bahkan sekali-sekali kilat mulai merebak. cahayanya memancar sekilas menyilaukan. Disusul oleh gelegar guruh yang bagaikan melingkar-lingkar menyusuri lereng-lereng pegunungan.

Sasangka menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pintu bilik di gandok yang tertutup. Bilik yang satu berisi Wismaya. Sedangkan bilik yang lain kosong.

Sasangka pun kemudian melangkah menyusuri halaman depan rumah Raden Ayu Prawirayuda. Rumah yang terhitung besar itu berdiri bagaikan membeku. Meskipun angin bertiup semakin kencang, tetapi rumah itu sama sekali tidak tergoyahkan. Hanya nyala lampu minyak dipendapa yang terombang-ambing oleh hembusan angin.

Kilat masih sekali-sekali menyambar disusul oleh suara guruh yang menderu.

Ketika hujan turun, maka Sasangka pun telah berada di tangga pendapa. Terasa percikan air hujan yang dihembus angin mengusap ke tubuhnya.

Dingin malam menjadi semakin dalam menusuk kulit.

Beberapa saat lamanya Sasangka berdiri di pendapa. Tiba-tiba saja ia merasa bertanggung jawab atas rumah itu.

Seakan-akan rumah itu adalah rumahnya sendiri. Rumahnya yang akan dihuninya bersama seorang perempuan yang bernama Rantamsari.

Sasangka itupun kemudian telah naik ke pendapa. Dipandanginya saka guru yang berdiri tegak menyangga atap pendapa rumah yang terhitung besar itu.

Pintu pringgitan yang tertutup, gebyok kayu yang tebal serta hiasan dinding yang serasi dengan warna kayu nangka yang sudah tua. Kuning kecoklat-coklatan.

Tiba-tiba saja Sasangka merasa wajib untuk mengelilingi rumah itu. Ia merasa bertanggung-jawab atas keselamatan seisi rumah itu, melampaui tanggung jawab seorang prajurit yang bertugas. Sasangka merasa seakan-akan ia sedang prajurit yang bertugas. Sasangka merasa seakan-akan ia sedang melindungi keluarganya sendiri dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi setiap saat.

Hujan pun menjadi semakin lebat. Kilat menjadi semakin sering memancar di langit. Angin berhembus semakin kencang mengguncang pepohonan.

Diluar sadarnya, Sasangka memandang pintu bilik di gandok yang nampak dari pendapa. Pintu itu kedua-duanya masih tertutup rapat. Wismaya tentu masih berada di dalamnya. Bahkan orang itu sudah tertidur melingkar dibawah selimutnya yang kusut.

“Aku harus mengelilingi rumah ini” berkata Sasangka didalam hati, “Raden Madyasta tentu duduk saja di serambi. Pemalas itu tentu segan turun ke dalam lebatnya hujan. Atau mungkin Raden Madyasta malah masuk ke dalam rumah, duduk-duduk sambil bergurau dengan Raden Ayu Prawirayuda dan Raden Ajeng Rantamsari sambil minum minuman hangat.

Jantung Sasangka bergetar. Di dalam hatinya ia berkata, “Jika Raden Ajeng Rantamsari membuat minuman hangat, seharusnya akulah yang dilayaninya. Bukan Raden Madyasta.”

Tiba-tiba saja Sasangka itu ingin pergi ke serambi belakang.

Untuk beberapa saat ia masih mencoba menahan diri. Ia tidak dapat pergi ke serambi belakang melewati pintu pringgitan, masuk ke ruang dalam, kemudian lewat serambi samping sampai ke serambi belakang. Jika ia akan pergi ke serambi belakang, maka ia harus melingkari rumah yang terhitung besar itu.

Tetapi ternyata Sasangka tidak dapat menahan dirinya lagi. Ada dorongan yang sangat kuat yang memaksanya untuk turun ke halaman meskipun hujan menjadi semakin lebat.

Sementara itu, ternyata Raden Madyasta juga tidak duduk saja di serambi. Hujan yang semakin lebat itu telah membuat hatinya menjadi tidak tenang. Ada sesuatu yang menggelitiknya, agar Raden Madyasta itu turun untuk melihat-lihat keadaan.

Dengan demikian maka Raden Madyasta pun telah masuk ke dalam kegelapan, menyusuri dinding rumah. Dibawah emper yang tidak terlalu lebar Raden Madyasta bergeser ke arah longkangan..

Malam terasa sepi. Meskipun Raden Madyasta . menyusuri emperan rumah, namun pakaiannya masih juga menjadi basah.

Ketika Raden Madyasta itu berada di longkangan, dilihatnya longkangan itu sepi sekali. Lampu minyak di serambi samping agaknya telah padam oleh tiupan angin yang kencang.

Sejenak Raden Madyasta berdiri termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, iapun mulai bergerak dalam kegelapan menuju ke seketeng. Ketika kilat menyambar di langit, Raden Madyasta melihat bahwa pintu seketeng itu sedikit terbuka.

“Apakah pintu itu lupa tidak ditutup?”

Dari longkangan Raden Madyasta melihat bilik tempat para pembantu di rumah itu yang berada disebelah dapur, sudah gelap. Agaknya para pembantu di rumah itupun sudah tertidur nyenyak.

Jantung Raden Madyasta terasa menjadi semakin berdebaran. Ia tidak tahu, apa yang telah menyebabkannya. Ia sudah beberapa lama berada di rumah bibinya. Ia sudah mengalami berkali-kali mengelilingi rumah itu di malam hari. Bahkan pada saat hujan yang lebat sekalipun seperti malam itu.

Raden Madyasta itu bergeser terus melekat dinding agar air hujan tidak tercurah langsung ke tubuhnya. Emperan diatasnya masih juga serba sedikit melindunginya dari hempasan air hujan yang seperti tertuang dari langit.

Tetapi untuk pergi ke seketeng maka Raden Madyasta tidak dapat menghindari curahan air hujan.

Berlari-lari kecil Raden Madyasta menuju ke seketeng. Meskipun jaraknya tidak terlalu panjang tetapi pakaian Raden Madyasta menjadi basah kuyup.

Namun demikian Raden Madyasta keluar dari pintu seketeng, ia menjadi sangat terkejut. Ia melihat sesosok tubuh yang menelungkup di tangga serambi gandok.

Dengan cepat Raden Madyasta itu berlari. Tanpa menghiraukan air hujan, maka Raden Madyasta pun segera berjongkok di samping tubuh itu. Ketika ia menelentangkannya, maka sekali lagi Raden Madyasta terkejut, sehingga terasa jantungnya bagaikan berhenti berdetak.

“Kakang Sasangka” Raden Madyasta hampir berteriak.

“Raden” suara Sasangka lemah sekali.

“Kakang Wismaya. Kakang Wismaya” teriak Raden Madyasta.

Tetapi suaranya larut oleh deru derasnya hujan.

Raden Madyasta tidak meninggalkan Sasangka yang menjadi sangat lemah.

Karena itu, maka Raden Madyasta pun segera memungut sebuah batu sebesar telur.

Dilemparkannya batu itu ke pintu bilik Wismaya.

Derak batu yang mengenai pintu itu telah mengejutkan Wismaya yang memang sedang tidur nyenyak. Justru karena hujan yang deras sehingga dinginnya udara malam membuatnya semakin terlena

Dengan cepat Wismaya meloncat bangkit dari pembaringannya, ia sempat membenahi pakaiannya sejenak. Kemudian diraihnya keris yang tergolek di pembaringan nya.

Sejenak kemudian, maka pintu bilik itupun terbuka. Tetapi Wismaya tidak segera meloncat keluar. Peristiwa yang telah merenggut nyawa Rembana membuatnya berhati-hati.

Tetapi demikian pintu terbuka, maka didengarnya diantara deru air hujan suara memanggil, “Kakang Wismaya. Kakang Wismaya.”

Suara itu suara Raden Madyasta. Meskipun berbaur dengan hujan yang deras, namun Wismaya tetap dapat mengenalinya.

Karena itu, maka Wismaya pun segera berlari ke tangga. Dengan serta merta iapun berjongkok pula di sisi Sasangka.

“Sasangka” suara Wismaya pun ditelan oleh deru air hujan. Dengan berteriak lebih keras lagi Wismaya itu bertanya” Apa yang terjadi dengan Sasangka Raden?”

Madyasta menempelkan mulutnya ke telinga Sasangka.

“Apa yang terjadi, kakang?”

Suara Sasangka menjadi semakin lemah. Tetapi Raden Madyasta dan Wismaya masih mendengarnya.

“Aku diserang dengan licik, Raden.”

“Kakang tidak sempat membela diri sama sekali;?”

Sasangka menggelengkan kepalanya. Suaranya lemah sekali, “Aku tidak menduganya. Tiba-tiba saja aku merasa tertusuk di lambungku” suaranya menjadi tersendat, “ketika aku berpaling, aku tidak melihat apa-apa. Kemudian aku menjadi semakin lemah. Aku mencoba melangkah ke serambi.”

“Kakang Wismaya” panggil tabib yang manapun juga untuk memberikan pertolongan, setidak-tidaknya pertolongan sementara kepada kakang Sasangka.”

“Baik, Raden.”

Tetapi Sasangka pun berkata, “Tidak ada gunanya, luka ini terlalu dalam dan darah sudah banyak yang mengalir, “

“Kita harus berusaha” sahut Raden Madyasta” cepatlah kakang.”

Tetapi ketika Wismaya bergeser, Sasangka itupun berdesis” Raden. Aku minta maaf bahwa aku tidak dapat menjalankan tugasku dengan baik.”

“Kakang….”

“Sasangka….”

Nafas Sasangka pun terhenti. Sasangka telah tiada.

Terdengar gemeretak gigi Raden Madyasta. Iapun segera bangkit berdiri sambil menarik kerisnya. Sambil berdiri tegak dengan keris yang bergetar di tangannya Raden Madyasta itupun berteriak, “He, jangan berbuat licik dan curang. Jika kau memang laki-laki sejati, keluarlah dari persembunyianmu. Kita akan berhadapan beradu dada. Jangan bersembunyi dan menyerang dari belakang. Itu bukan watak laki-laki.”

Suara Raden Madyasta meninggi. Bahkan Raden Madyasta itupun kemudian berlari ke tengah-tengah halaman. Ia masih saja berteriak-teriak dengan marahnya.

Namun tidak terdengar sahutan. Yang terdengar masih saja deru air hujan.

Sementara itu Wismaya mengangkat tubuh Sasangka dan dibaringkannya di serambi gandok. Iapun kemudian mendatangi Raden Madyasta sambil berkata, “Sudahlah Raden. Orang itu tidak akan menampakkan dirinya. Orang yang licik itu tidak akan tergelitik mendengar tantangan Raden. Karena itu, marilah. Kita rawat tubuh Sasangka. Kita memberitahukan kepada Raden Ayu Prawirayuda, bahwa bencana itu telah terjadi lagi. Setelah Rembana, maka kini giliran Sasangka.”

“Aku tidak dapat menerima keadaan ini, kakang.”

“Tetapi kita tidak dapat berbuat apa-apa, Raden. Mungkin orang yang menusuk Sasangka sekarang sudah berada di bulak sebelah.

Nafas Raden Madyasta yang marah itu mengalir semakin cepat. Raden Madyasta bahkan menjadi terengah-engah seperti seseorang yang baru saja bekerja berat sehari suntuk.

“Marilah, Raden. Silahkan memberitahukan hal ini kepada Raden Ayu Prawirayuda.”

Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam seakan-akan berusaha mengendapkan perasaannya yang bergejolak.

“Baiklah kakang. Aku akan menghadap bibi. Aku minta kakang menunggui tubuh kakang Sasangka.”

“Baik Raden.”

Wismaya pun kemudian telah kembali ke gandok. Iapun kemudian duduk bersila di sebelah tubuh Sasangka yang terbaring diam. Pisau belati yang tertancap di lambungnya telah dilepas oleh .Wismaya atas persetujuan Raden Madyasta. Namun Raden Madyasta minta Wismaya mengingat-ingat letak pisau belati yang tertancap itu.

Raden Madyasta pun kemudian telah naik ke pendapa. Namun kemudian diurungkan niatnya untuk mengetuk pintu pringgitan. Bibinya akan lebih cepat mendengarnya jika ia mengetuk pintu butulan.

Perlahan-lahan Madyasta pun mengetuk pintu yang terdekat dengan bilik tidur bibinya. Sekali dua kali, bibinya masih belum mendengarnya.

“Bibi tentu tidur dengan nyenyak” berkata Raden Madyasta didalam hatinya.

Karena itu, maka Madyasta pun mengetuk semakin keras.

Baru kemudian Madyasta mendengar suara bibinya, “Siapa diluar?”

“Aku bibi, Madyasta.”

Raden Ayu Prawirayuda mengenal suara itu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Raden Ayu Prawirayuda pergi ke pintu dan mengangkat selaraknya.

Demikian pintu terbuka, ia melihat Raden Madyasta berdiri termangu-mangu dengan pakaian yang basah kuyup.

“Ada apa ngger? Angger kehujanan?”

“Maaf bibi. Mungkin aku mengejutkan bibi.”

“Ada apa, ngger?” wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi tegang.

“Yang telah terjadi itu terulang lagi, bibi.”

“Maksud angger?” suara Raden Ayu Prawirayuda meninggi.

“Seperti kakang Rembana, kakang Sasangka pun telah terbunuh pula.”

“Angger Sasangka terbunuh?” suara Raden Ayu itu tinggi melengking.

“Ya, bibi. Kami mohon maaf, bahwa yang tidak kita harapkan itu terjadi lagi.”

“Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi, ngger? Bagaimana mungkin? Dimana angger Sasangka pada saat terjadinya bencana itu, ngger?”

“Kami masih belum mengamatinya lebih jauh, bibi. Aku menemukan kakang Sasangka terluka parah di tangga serambi gandok. Nampaknya kakang Sasangka berusaha untuk mencapai gandok dan memberitahukan kepada kakang Wismaya. Tetapi ia sudah menjadi terlalu lemah dan terkapar di tangga. Ketika aku menemukannya, kakang Sasangka masih hidup. Tetapi ia sudah sangat lemah sehingga tidak banyak yang sempat dikatakannya. Aku telah minta kakang Wismaya pergi menjemput seorang tabib dari manapun juga. Tetapi sebelum kakang Wismaya berangkat, kakang Sasangka sudah meninggal.”

“Apa yang akan aku katakan kepada Rantamsari?” ,

Raden Madyasta tidak menjawab. Bahkan iapun segera menundukkan wajahnya.

Ternyata pembicaraan yang agak keras diantara deru hujan itu telah terdengar oleh Raden Ajeng Rantamsari. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Raden Ajeng Rantamsari itupun keluar dari biliknya pula.

“Ada apa dimas. Aku mendengar pembicaraan dimas dengan itu. Nampaknya ada sesuatu yang penting?”

Raden Madyasta memandang wajah bibinya dengan jantung yang berdebaran.

Raden Ayu Prawirayuda pun tidak segera dapat mengatakan, apa yang telah terjadi. Karena itu untuk beberapa saat suasana menjadi tegang.

“Ibu, apa yang terjadi?”

“Ngger…”

“Ibu” Raden Ajeng Rantamsari pun segera mendekap ibunya, “apa yang terjadi ibu?”

“Kita hanya dapat berusaha, Rantamsari. Tetapi keputusan akhir berada di luar jangkauan kuasa kita.”

“Tetapi apa yang terjadi?”

Raden Ayu Prawirayuda itu mengusap matanya yang . basah. Kemudian dia pun berdesis, “Adalah diluar kemauan kita semuanya, Rantamsari.”

“Apa? Apa? Ibu belum mengatakannya.”

“Yang pernah terjadi itu ternyata lagi, Rantamsari.”

“Yang pernah terjadi yang mana?”

“Yang pernah terjadi atas angger Rembana, kini terjadi lagi atas angger Sasangka.”

“Ibu” Raden Ajeng Rantamsari itu terpekik, “maksud ibu …”

Raden Ayu Prawirayuda mengangguk.

“Ibu, dimana kakang Sasangka sekarang. Dimana?”

Raden Ajeng Rantamsari tidak menunggu jawaban ibunya. Namun ketika ia meloncat untuk berlari menghibur di longkangan dalam hujan yang lebat, Raden Ayu Prawirayuda sempat memeluknya sambil berkata, “Rantamsari, tenanglah. Tenanglah. Mungkin bahaya itu masih berada disekitar kita sekarang ini.

“Kangmbok berkata Raden Madyasta, “sebaiknya kangmbok jangan keluar dahulu. Tutup saja kembali pintu ini dan diselarak dari dalam.”

“Tidak. Tidak. Aku ingin melihat keadaan kakang Sasangka.”

“Jangan sekarang kangmbok” cegah Raden Madyasta.

Tetapi Raden Ajeng Rantamsari meronta, sehingga lepas dari pelukan ibunya, “Dimana kakang Sasangka? Dimana?”

Raden Madyasta tidak berniat memberitahukannya. Tetapi Raden Ajeng Rantamsari itu telah berlari ke gandok. Ia tahu bahwa bilik Sasangka dan Wismaya berada di gandok itu.

Raden Madyasta tidak dapat berbuat lain kecuali berlari menyusulnya Demikian pula Raden Ayu Prawirayuda.

Di serambi gandok, Wismaya tidak sempat mencegah Raden Ajeng Rantamsari menjatuhkan diri diatas tubuh Sasangka yang telah tidak bernafas lagi sambil menangis menjerit-jerit.

“Kakang, kakang. Kenapa kau juga pergi meninggalkan aku.”

Raden Ajeng Prawirayuda pun kemudian berusaha membangunkan anaknya.

Sekali-sekali Raden Ayu Prawirayuda itupun mengusap air matanya pula.

“Duduklah yang baik, Rantamsari.”

Raden Ajeng Rantamsari memeluk ibunya erat-erat sambil menangis, “Ibu, kenapa hal ini harus terjadi padaku?”

“Tenanglah Rantamsari. Sudah aku katakan, bahwa segala sesuatunya itu bergantung kepada Yang Maha Agung. Kita tidak akan dapat mengelakkannya. Kita harus menerima dengan ikhlas”

“Tetapi tidak seperti ini ibu. Aku tidak akan mampu memikul beban seberat ini.”

“Kita akan bertanya kepada Yang Maha Agung, apa sebenarnya yang dikehendaki-Nya. Lewat banyak cara, Yang Maha Agung akan menjawab pertanyaan kita, Rantamsari”

“Tetapi aku tidak mau hal ini terjadi, ibu” Rantamsari memeluk ibunya semakin erat. Demikian pula Raden Ayu Prawirayuda. Tetapi Raden Ayu sendiri tidak dapat menahan air mata yang meleleh dari pelupuk matanya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar