Meraba Matahari Jilid 07

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Madyasta, Wismaya dan Sasangka saling berpandangan sejenak. Namun Wismaya dan Sasangka kemudian menundukkan wajahnya.

Madyasta lah yang kemudian menjawab, “Untuk sementara tidak perlu ayahanda. Hamba, kakang Wismaya dan kakang Sasangka akan melaksanakan tugas ini sebaik baiknya, Kami berniat memancing orang yang lelah membunuh kakang Rembana untuk kembali lagi. Jika yang bertugas disini bertambah, mungkin ia tidak akan berniat untuk datang lagi.

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun berkata, “Tetapi berhati-hatilah. Kalian tahu, bahwa orang itu tentu orang yang berilmu tinggi. Mereka dapat membunuh seorang Senapati pilihan tanpa sempat mempertahankan diri. Selain berilmu tinggi, orang itu tentu juga seorang yang licik, yang tanpa segan-segan menyerang dari belakang.”

“Ya, Ayahanda”

“Aku tidak ingin jatuh lagi korban diantara kalian.”

Madyasta menarik nafas panjang. Wismaya dan Sasangka masih saja menunduk dalam-dalam.

Hari itu juga sebelum dimakamkan, atas permintaan anak buahnya, Rembana telah dibawa ke baraknya Dengan penghormatan penuh, jenazah Rembana dilepas ke makam.

Di wajah para prajuritnya membayang kemarahan yang bergejolak didalam dada mereka. Namun Ki Tumenggung Wiradapa sempat meredakan perasaan mereka. Katanya, “Bukan hanya kalian yang berduka, tetapi seluruh kadipaten ini, termasuk Kangjeng Adipati Prangkusuma. Ki Lurah Rembana adalah Senapati muda yang penuh harapan dimasa mendatang. Tiba-tiba saja umurnya telah direnggut dengan cara yang sangat licik. Kami berjanji untuk pada suatu saat menemukan pembunuh Ki Lurah Rembana.”

Para prajuritnya mendengarkannya sambil berdiam diri. Tetapi gigi mereka terkatub rapat. Mereka harus menahan gejolak di hati.

Namun para pemimpin kelompok yang sudah lebih tua, berusaha juga untuk meredam kemarahan para prajuritnya. Se-orang pemimpin kelompok yang sebagian kumisnya Sudah memutih bertanya, “Kalian marah kepada siapa? Jika kita ingin membalas dendam atas kematian Ki Lurah, siapakah sasaran kita?”

Para prajurit itupun terdiam. Mereka memang tidak lahu, kepada siapa mereka mendendam.

“Kita harus mempergunakan nalar kita. Bukan hanya perasaan kita” berkala pemimpin kelompok itu.

Demikianlah, sebuah iring iringan yang panjang mengantar Rembana ke makam. Selain keluarganya, maka sepasukan prajurit ikut pula mengantarnya Kedua putra Kangjeng Adipati, Madyasta dan Wignyana ada diantara para pengiring itu. Mereka berjalan bersama Wignyana dan Sasangka yang kelihatan murung.

Berita tentang kematian seorang Senapati muda di rumah Raden Ayu Prawirayuda segera menjadi pembicaraan, terutama diantara para prajurit. Yang tersinggung tidak hanya para prajurit, anak buah Ki Lurah Rembana. Tetapi para prajurit Paranganom merasa tersinggung.

Jika bibit-bibit permusuhan sudah terasa ada diantara orang-orang Paranganom dan orang-orang Kateguhan, maka kematian Ki Lurah Rembana, rasa-rasanya seperti angin yang bertiup mengipasi bara api di setumpuk kayu.

Dalam pada itu, Madyasta tetap pada pendiriannya ketika sekali lagi Kangjeng Adipati memanggilnya dan mempertanyakan kemungkinan untuk memperkuat pengamanan di rumah Raden Ayu Prawirayuda

“Jika penjagaan di rumah itu diperkuat, maka akibatnya orang-orang membunuh kakang Rembana tidak akan berani datang lagi ayahanda. Biarlah hamba bersama kakang Wismaya dan kakang Sasangka bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk di rumah bibi Prawirayuda.”

“Tetapi kau harus sangat berhati-hati, Madyasta”

“Ayah anda mencemaskan hamba?”

Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah ada ayah yang tidak mencemaskan keadaan anaknya jika ia berada di satu lingkungan yang berbahaya?”

“Hamba mengerti, ayahanda. Tetapi hamba berjanji untuk berhati-hati.”

“Ki Lurah Wismaya dan Ki Lurah Sasangka juga harus berhati-hati.

“Hamba ayahanda”

“Baiklah. Aku serahkan segala sesuatunya kepadamu. Kau yang berada di medan, sehingga kau yang paling mengenali keadaan medan itu.”

“Hamba mohon doa restu ayahanda.”

“Madyasta” berkata Kangjeng Adipati dengan nada berat. “Nampak betapa Kangjeng Adipati itu menjadi ragu. Sebenarnya Kangjeng Adipati masih belum ingin menyampaikan ceritera yang harus disesali dari sikap Raden Ayu Prawirayuda tentang anak gadisnya yang ingin dipersandingkan dengan Kangjeng Adipati Yudapati. Tetapi dengan ke matian Rembana, maka Kangjeng Adipati justru merasa perlu untuk berbicara dengan Madyasta.

Madyasta merasakan keragu-raguan ayahandanya. Setelah beberapa saat Madyasta menunggu, namun Kangjeng Adipati tidak segera melanjutkan kata-katanya, maka Madyasta pun bertanya, “Ada yang meragukan hati ayahanda?”

“Ya” Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, “tetapi baiklah. Mungkin ada baiknya kau mengetahuinya sekarang. Mungkin dapat kau jadikan bahan pertimbangan pada saat kau melakukan tugasmu, mengamankan rumah bibimu.”

“Hamba ayahanda.”

Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Keragu-raguan masih terasa ketika Kangjeng Adipati itupun kemudian menceritakan apa yang pernah didengarnya dari Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda

Raden Madyasta mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali Madyasta mengerutkan dahinya. Kemudian mengangguk-angguk kecil. Bahkan kadang-kadang ia mengangkat wajahnya. Namun Raden Madyasta tidak memotong kata-kata ayahandanya yang masih diwarnai oleh kebimbangan itu.

Kangjeng Adipati menarik nafas panjang ketika ia selesai menyampaikan keterangan sebagaimana didengarnya dari kedua orang Tumenggung yang telah pergi ke Kadipaten Kateguhan itu.

“Apakah yang dikatakan oleh paman Tumenggung itu benar, ayahanda?” bertanya Raden Madyasta.

Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati itu baru saja melepaskan beban yang terasa sangat berat bergayut di hatinya

“Madyasta” berkata Kangjeng Adipati kemudian aku tidak tahu, apakah yang terjadi juga sebagaimana dikatakan Oleh kedua pamanmu Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda. Tetapi kedua orang pamanmu itu mendengar keterangan dari Tumenggung Reksadrana dihadapan Adipati Yudapati.”

Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat iapun berkata, “Apapun yang terjadi ayahanda, peristiwa pengusiran bibi Prawirayuda dari Kateguhan merupakan gam-baran keretakan keluarga di Kateguhan sepeninggal paman Adipati Prawirayuda”

“Ya. Akibatnya memang akan terkait pada Kadipaten Paranganom karena kangmbok Prawirayuda sekarang berada di Paranganom.”

“Ayahanda. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin apa yang dikatakan oleh Ki-Tumenggung Reksadrana dihadapan kakangmas Adipati Yudapati itu tidak seluruhnya benar. Tetapi tentu ada pula dasarnya Sehingga kebencian orang-orang Kateguhan terhadap bibi Prawirayuda tidak dapat segera dihapuskan.”

“Menurut dugaanmu, apakah kakangmasmu Yudapati telah mengirim orang secara khusus untuk membunuh Rembana? Lalu apa hubungannya kebencian Yudapati dengan keberadaan Rembana di rumah bibimu itu, sehingga Rembana harus disingkirkan.”

“Sasarannya tentu bukan kakang Rembana, ayahanda. Tetapi sekedar untuk menakut-nakuti dan menyakiti hati bibi Prawirayuda yang dibencinya itu.”

“Jika benar dugaan itu, Madyasta. Maka kau, Sasangka dan Wismaya harus menjadi semakin berhati-hati. Mungkin kematian Rembana masih belum memberinya kepuasan. Mungkin orang-orang Kateguhan masih ingin menunjukkan kelebihannya. Kaulah yang harus menjadi lebih berhati-hati.”

“Maksud ayahanda, hambalah yang akan menjadi sasaran berikutnya?”

“Hanya sikap hati-hati, Madyasta.”

“Hamba mengenai ayahanda. Hamba akan lebih berhati-hati.”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia memang mencemaskan Raden Madyasta. Tetapi Madyasta bukan kanak-kanak lagi. Ia telah dibekali dengan kemampuan dalam olah kanuragan. Madyasta pun terus berlatih untuk melindungi dirinya sendiri.

Hari-hari pun kemudian dilalui dengan suasana yang muram di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Raden Ajeng Rantamsari nampak masih berduka karena kepergian Rembana. Seorang anak muda yang telah menarik perhatiannya.

Sementara itu, tinggal tiga orang anak muda yang berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Namun ketiganya adalah orang-orang yang telah mendapat tempaan lahir dan batin.

Dalam pada itu, sekali lagi Raden Ayu Prawirayuda menawarkan bilik yang lebih baik kepada Raden Madyasta yang berada di ruang dalam.

“Terima kasih, bibi.”

“Kecuali tempatnya lebih pantas bagi angger Madyasta, bukankah angger akan lebih terlindung jika angger berada di ruang dalam. Setidak-tidaknya angger tidak dapat diserang dengan cara yang licik itu.”

Aku justru harus semakin ketat mengawasi lingkungan ini bibi. Biarlah aku tetap bersama para Senapati muda itu. Mudah-mudahan kami akan dapat menemukan, siapa yang telah membunuh kakang Rembana.

“Tetapi kita tentu tidak ingin ada korban yang lain, ngger.”

“Tentu bibi. Kami akan berhati-hati.”

Raden Ayu Prawirayuda tidak dapat memaksa Raden Madyasta untuk menggunakan bilik di ruang dalam meskipun Raden Ayu Prawirayuda telah menunjukkan kekhawatirannya akan keselamatan Madyasta.

Tetapi Raden Ayu Prawirayuda pun dapat mengerti, bahwa Raden Madyasta bukan seorang Senapati yang akan mempergunakan gelar Gedong Minep jika ia berada di medan perang. Tetapi Raden Madyasta tentu akan mempergunakan gelar Garuda Nglayang atau bahkan Gajah Meta

Karena itu Raden Ayu Prawirayuda membiarkan Raden Madyasta untuk menentukan sikapnya sendiri.

Meskipun demikian, Raden Ayu Prawirayuda masih juga berpesan, “Aku mohon angger selalu berhati-hati. Maaf ngger jika aku berpesan mewanti-wanti. Bukan karena aku menganggap bahwa angger masih perlu diperingatkan. Tetapi sekedar kekhawatiran orang tua”

“Terima kasih, bibi. Aku tidak pernah merasa tersinggung atas peringatan yang bibi berikan.”

Sebenarnyalah bahwa Raden Madyasta, Wismaya dan Sasangka menjadi semakin berhati-hati. Bahaya akan dapat mengancam mereka setiap saat.

Dalam pada itu, Raden Ajeng Rantamsari nampak menjadi kesepian. Ia tidak lagi dapat bercanda dengan Rembana yang memang seorang yang selalu nampak riang.

Sekali-sekali untuk mengatasi kesepiannya, Raden Ajeng Rantamsari sering berbincang dengan Wismaya atau Sasangka Tetapi Wismaya terlalu pendiam bagi Raden Ajeng Rantamsari, sehingga setiap kali mereka bertemu, Wismaya hanya menjawab pembicaraan Raden Ajeng Rantamsari dengan kata sepatah-sepatah.

Raden Madyasta sendiri nampaknya tidak mempunyai banyak waktu. Di siang hari kadang-kadang Raden Madyasta pulang ke kadipaten. Namun kadang sehari suntuk Raden Madyasta berada di rumah bibinya bersama Wismaya dan Sasangka. Kadang-kadang mereka berada di halaman depan. Namun kadang-kadang mereka berada di kebun belakang. Atau mereka berada di tempat yang berbeda-beda serta mengisi kekosongan waktu dengan kerja apa saja yang dapat mereka lakukan di rumah itu.

Ternyata Wismaya memiliki ketrampilan khusus untuk membuat perabot dari bambu. Selama berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda, Wismaya sudah membuat tiga buah lincak bambu panjang yang diletakkan di bawah sebatang pohon yang rindang di halaman depan serta dua buah di kebun belakang,

Di siang yang terik, kadang-kadang Wismaya sempat berbaring di lincak bambunya Bahkan kadang-kadang Sasangka dan bahkan Raden Madyasta juga sering berbaring di siang hari, di sejuknya udara dibawah bayangan rimbunnya dedaunan.

Hari itu terasa sepi. Wismaya duduk di serambi gandok sendiri. Udara terasa panas, sehingga Wismaya tidak mengatupkan bajunya Dadanya yang bidang nampak terbuka. Sehelai kipas bambu dikibaskannya tidak henti-hentinya

Sasangka lah yang justru berbaring di lincak bambu di kebun belakang. Di luar sadarnya, Sasangka memandangi pintu butulan yang terbuka menuju ke longkangan samping yang menjadi asri setelah Rembana menggarap longkangan itu menjadi semacam taman yang tidak terlalu luas.

Dalam kesepiannya, Raden Ajeng Rantamsari sering berada di serambi terbuka di longkangan itu sambil membatik. Seperti ibunya, Raden Ajeng Rantamsari adalah seorang pembatik yang telaten. Batikannya berkesan halus dan cermat, dengan isen-isenan yang rumit dan lembut.

Di udara yang terasa panas itu, Raden Madyasta tidak sedang berada di rumah bibinya. Raden Madyasta tidak langsung minta diri kepada bibinya serta kepada Raden Ajeng Rantamsari, tetapi Raden Madyasta hanya berpesan kepada Wismaya dan Sasangka bahwa ia akan pergi ke kadipaten.

“Apakah ada yang harus dilaporkan?” bertanya Wismaya.

“Tidak” jawab Raden Madyasta, “Aku hanya ingin menghadap ayahanda”

“Wismaya dan Sasangka tidak terlalu banyak bertanya. Mereka memandangi anak muda itu keluar dari regol halaman setelah berpesan, “Berhati-hatilah, kakang.”

Sepeninggal Raden Madyasta, Sasangka tidak kembali ke serambi gandok. Tetapi ia langsung pergi ke kebun belakang. Sementara Wismaya kembali ke serambi gandok

Meskipun diantara keduanya tidak nampak ada pertikaian, tetapi keduanya menjadi kurang akrab sejak kematian Rembana Seakan-akan kabut tipis berhembus diantara keduanya Namun karena keduanya sudah ditempa oleh berbagai macam pahit manisnya kehidupan, maka keduanya selalu mengendalikan perasaan mereka.

Karena itulah, maka mereka memilih untuk berada ditempat yang berbeda. Pada saat-saat yang kosong, jika mereka berbincang kesana-kemari, pembicaraan mereka akan dapat menyentuh serabut yang paling halus didalam jantung mereka, sehingga akan dapat mengungkit persoalan yang lebih gawat.

Silirnya angin membuat mata Sasangka menjadi berat. Sementara dari sela-sela rimbunnya dedaunan, Sasangka melihat matahari telah memanjat sampai ke puncak.

Namun ketika diluar kehendaknya mata Sasangka terpejam, ia terkejut mendengar suara Raden Ajeng Rantamsari agak keras, “Paman mengejutkan aku.”

Sasangka masih terbaring di amben bambu di kebun belakang. Tetapi ia berusaha mendengar dengan sungguh-sungguh suara Raden Ajeng Rantamsari, yang agaknya berada di serambi terbuka yang menghadap ke taman kecilnya di longkangan.

Sebenarnyalah Raden Ajeng Rantamsari terkejut ketika tiba-tiba saja Wicitra sudah berada di taman itu pula.

“Maaf Rantamsari. Aku tidak ingin mengejutkanmu.”

“Silahkan duduk paman. Aku akan memanggil ibu.”

“Tidak. Itu tidak perlu. Aku tidak ingin berbicara dengan ibumu. Tetapi aku ingin berbicara dengan kau, justru di saat kau sendiri.”

“Tidak paman. Sebaiknya aku memanggil ibu.”

“Ibumu mungkin sibuk di dapur. Meskipun ada pembantunya, namun biasanya ibumu sendirilah yang menyiapkan makan bagi anak-anak muda yang ada di rumahmu ini.”

“Tetapi aku tidak dapat menerima paman sendiri. Seandainya ibu sibuk, biarlah kesibukannya itu ditinggalkannya lebih dahulu, agar ibu dapat menemui paman.”

“Dengarlah kata-kataku. Kau tidak perlu menyampaikannya kepada ibumu. Kita dapat berbicara langsung. Kau dan aku.”

“Tidak”

“Ya. Kau tidak akan pergi dari tempat ini” suara Wicitra menjadi kasar.

Jantung Raden Ajeng Rantamsari tergetar. Ketika ia memandang wajah pamannya, dadanya berdesir tajam. Ia melihat ketegangan di wajah pamannya itu.

“Dengar Rantamsari” berkata Wicitra kemudian, “aku datang untuk menjemputmu.”

“Menjemput aku? Apa yang paman maksudkan?”

“Kau tentu sudah tahu, bahwa aku tidak akan pernah membiarkan kau dimiliki oleh siapapun. Setelah kau ditolak untuk mengabdikan dirimu, tubuhmu dan jiwamu kepada Kangjeng Adipati Yudapati, maka ibumu telah membawamu kemari. Kau mulai dijajakan disini. Bahkan ibumu mulai menurunkan harga dirimu. Jika semula ibumu menawar seorang Adipati, maka kini ibumu puas dengan membiarkan kau berkasih-kasihan dengan Senapati-senapati kecil yang tidak berarti apa-apa itu.”

“Paman. Paman telah menyinggung perasaanku dan tentu juga ibu.”

Namun Wicitra itu tertawa. Katanya, “Kau dan ibumu tidak akan dapat ingkar lagi, Rantamsari. Karena itu, daripada disini kau dijajakan oleh ibumu, sekarang, marilah. Ikut aku. Kau akan menjadi isteriku. Aku akan dapat menuruti semua keinginanmu.”

“Paman. Aku adalah kemanakan paman sendiri. Paman adalah adik ibuku. Bagaimana mungkin keinginan paman itu dapat terjadi?”

“Kenapa tidak? Bukankah keinginanku ini tidak segila keinginan ibumu di Kateguhan? Bukankah ibumu ingin kau menjadi isteri saudaramu sendiri? Adipati di Kateguhan? Nah, sekarang kalian harus menanggung akibatnya. Kalian justru diusir dari Kateguhan. Kalian tentu berbohong kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom, kenapa kalian telah diusir dari Kateguhan. Kalian tentu telah mengarang sebuah ceritera yang lain.”

“Cukup. Cukup paman. Sebaiknya paman segera meninggalkan rumah ini.”

Wicitra tertawa. Katanya, “Aku akan pergi bersamamu, Rantamsari. Kau lebih baik menjadi isteri pamanmu daripada menjadi isteri saudaramu sendiri.”

“Tidak. Itu bohong.”

“Bertanyalah kepada ibumu, bagaimana ibumu membujuk Kangjeng Adipati Yudapati untuk memperisterimu.”

“Pergi. Pergi. Aku minta paman segera pergi.”

“Marilah kita pergi Rantamsari. Kita dapat keluar lewat pintu butulan dan hilang di kebun belakang. Ibumu tidak akan mengetahuinya.”

“Tidak.”

Ketika Wicitra maju selangkah, Raden Ajeng Rantamsari justru bergeser mundur beberapa langkah.

“Rantamsari” berkata Wicitra dengan nada tinggi, “jangan menunggu kesabaranku habis. Selama ini aku selalu menahan diri. Tetapi kau tidak pernah terlepas dari perhatianku. Karena itu, marilah. Kita pergi sekarang.”

“Tidak. Tidak.”

“Rantamsari. Kesabaran seseorang ada batasnya. Kesabaranku sekarang sudah sampai ke batas itu. Karena itu, marilah. Jangan membantah lagi.”

“Aku dapat menjerit paman.”

“Ibumu baru sibuk. Ibumu yang ada di dapur tidak akan mendengarnya. Atau …”

Tiba-tiba saja Wicitra telah menarik kerisnya. Katanya, “Jika kau mencoba berteriak, maka aku akan membunuhmu.”

“Bunuh aku paman. Aku lebih baik mati daripada harus ikut paman.”

“Jangan berkata begitu.”

“Aku bersungguh-sungguh.”

“Kau bersungguh-sungguh?”

“Ya.”

“Jadi kau memilih mati?”

“Ya.”

“Baik, Rantamsari. Aku lebih senang melihat tubuhmu terkapar mati daripada melihat tubuhmu dimiliki oleh orang lain. Karena itu, jika kau memang benar-benar tidak mau ikut kepadaku, maka aku benar-benar akan membunuhmu.”

“Itu lebih baik, paman. Bunuh aku.”

Ujung keris Wicitra memang telah bergetar. Selangkah ia maju sambil berkata, “Aku juga bersungguh-sungguh, Rantamsari.”

“Lakukan, paman. Lakukan”

Jantung Wicitra terasa bagaikan berdentangan. Wajahnya menjadi tegang. Matanya menjadi merah.

Sebenarnyalah bahwa Wicitra hanya sekedar ingin menakut-nakuti Rantamsari. Tetapi ternyata Rantamsari sama sekali tidak berubah sikap. Ia tetap pada sikapnya.

Kecewa dan marah berbaur didalam dadanya. Dengan demikian, maka nalarnya pun menjadi kabur pula. Bahkan akhimya Wicitra pun tidak mampu lagi menimbang keputusan yang diambilnya.

“Rantamsari. Jika kau benar-benar menolak, maka aku akan sampai hati membunuhmu. Sudah aku katakan, aku tidak mau melihat kau menjadi sisihan orang lain.”

Wajah Rantamsari menjadi tegang. Ketika ia sempat melihat sekilas wajah Wicitra yang tegang, matanya yang merah serta ujung keris yang bergetar, maka ketakutan yang sangat telah menerpa jantungnya

Karena itu, tanpa menghiraukan akibatnya, seandainya ujung keris itu menancap di dadanya, Raden Ajeng Rantamsari sudah siap untuk menjerit.

Namun sebelum dilakukannya, terdengar pintu butulan berderak menghentak. Sesosok tubuh meloncat masuk ke dalam taman itu.

Wicitra terkejut, ia bergeser surut. Sementara itu Raden Ajeng Rantamsari segera berlari kebelakang orang yang baru saja memasuki taman.

“Tolong aku, kakang Sasangka.”

“Kau” desis Wicitra, “apa kau tidak mempunyai kerja selain menunggui Rantamsari.”

“Apa yang akan Raden lakukan?” bertanya Sasangka.

“Pergilah. Kau tidak usah turut campur. Ini persoalan keluarga”

“Tidak. Ini bukan sekedar persoalan keluarga” sahut Raden Ajeng Rantamsari.

“Seandainya persoalan ini benar-benar persoalan keluarga, apakah aku akan membiarkan saja Raden membunuh. Aku sudah mendengar apa yang Raden bicarakan dengan Raden Ajeng Rantamsari. Karena itu, aku sudah mengetahui persoalan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Sekarang pergilah. Jangan campuri persoalan kami.”

“Apakah aku harus membiarkan saja jika terjadi pembunuhan disini.

“Jika Rantamsari menuruti keinginanku, aku tentu tidak akan membunuhnya. Aku memang mengancamnya dan menakut-nakutinya Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada Rantamsari, apakah aku harus membunuhnya atau tidak.”

“Usir orang ini dari taman kakang.”

“Kau dengar Raden.”

“Aku tidak peduli.”

“Raden Kami adalah prajurit yang mendapat tugas untuk melindungi keluarga ini.”

“Kau harus melindungi mereka dari kejahatan. Pencurian misalnya. Kau harus menjaga agar ayam yang dipelihara kangmbok tidak dicuri orang. Kau juga harus menjaga jemuran di belakang itu.”

“Raden menghina aku. Aku bertugas untuk melindungi keluarga Raden Ayu Prawirayuda dari gangguan apapun juga. Termasuk yang Raden lakukan sekarang ini.”

“Aku peringatkan kau sekali lagi.”

“Aku yang memperingatkan Raden agar Raden segera meninggalkan taman ini.”

Wicitra menjadi semakin marah. Dengan suara yang bergetar iapun berkata, “Jika kau tidak mau meninggalkan taman ini, maka kaulah yang akan mati lebih dahulu.”

“Aku tidak dapat meninggalkan tugasku. Meskipun aku tahu, siapakah Raden ini, tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Wicitra tidak menunggu lebih lama lagi. Kerisnya pun segera merunduk. Selangkah demi selangkah ia mendekati Sasangka yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Minggirlah Raden Ajeng” desis Sasangka

Raden Ajeng Rantamsari pun segera bergeser surut. Sementara itu Wicitra pun telah meloncat menyerang Sasangka.

Tetapi Sasangka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka iapun dengan tangkasnya mampu mengelakkan serangan itu.

Ketika Wicitra siap menyerangnya pula, Sasangka telah menarik kerisnya yang selalu melekat di tubuhnya kapan saja selama ia berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda, apalagi setelah Rembana terbunuh.

Sejenak kemudian, pertempuran yang sengit lelah terjadi. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, Wicitra yang, merasa terganggu itu menjadi sangat marah. Sedangkan Sasangka merasa bertanggungjawab atas keselamatan keluarga Raden Ayu Prawirayuda, termasuk Raden Ajeng Rantamsari

Wicitra memang tidak menduga, bahwa ternyata Sasangka, sebagaimana juga Rembana, memiliki ilmu yang mampu mengimbanginya. Serangan serangannya tidak segera dapat mengenai sasarannya, Kerisnya yang terayun-ayun mengerikan tidak segera mampu menyentuh tubuh Sasangka.

Sebaliknya Sasangka pun tidak mudah menggapai lawannya. Sasangka yang berloncatan sambil memutar kerisnya, tidak segera mampu mengenai Wicitra yang bertempur dengan tangkasnya

Raden Ajeng Rantamsari berdiri di serambi dengan tubuh yang gemetar. Ia tidak segera tahu, siapakah yang akan meme-nangkan pertempuran itu. Ia hanya melihat kedua orang itu saling mendesak. Sekali-sekali Sasangka harus bergeser surut. Namun kemudian Wicitra lah yang harus mengambil jarak.

Namun Wicitra mengumpat kasar ketika ujung keris Sasangka sempat menyentuh lengannya. Tidak terlalu dalam. Tetapi dibawah bajunya yang terkoyak, darah mulai mengembun di lukanya

“Gila kau anak muda” geram Wicitra, “aku akan membunuhmu.”

Sasangka tidak menjawab. Namun ketika Wicitra meningkatkan ilmunya, Sasangka pun berusaha untuk mengimbanginya

Namun hentakkan ilmu itu sempat mendesak Sasangka. Bahkan ujung keris Wicitra sempat tergores di bahu Sasangka

Sasangka bergeser surut sambil menggeram. Ketika tangannya meraba bahunya terasa cairan yang hangat membasahi telapak tangannya

“Kau akan mati” geram Wicitra

Sasangka tidak menjawab. Tetapi ia meloncat menyerangnya dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Wicitra terdesak surut. Sasangka berusaha untuk menekan Wicitra sampai ke sudut longkangan.

Namun tiba-tiba saja pertempuran itu berhenti ketika mereka mendengar suara Raden Ayu Prawirayuda

“Apa yang terjadi disini, Rantamsari?”

Raden Ajeng Rantamsari berpaling. Dilihatnya ibunya berdiri di depan pintu serambi.

Raden Ajeng Rantamsari pun segera berlari serta memeluk ibunya sambil menangis.

“Paman, ibu.”

“Kenapa dengan pamanmu?”

“Paman memaksa aku pergi bersamanya, ibu.”

“Kau lakukan itu Wicitra?”

Wicitra berdiri termangu-mangu. Nafasnya terasa berkejaran di hidungnya. Dengan nada datar ia berkata, “Ya. Aku ingin membawa Rantamsari keluar dari kubangan ini.”

“Kubangan? Apa yang kau maksud?”

“Rumah ini tidak pantas menjadi tempat tinggal Rantamsari. Seorang gadis yang seharusnya menjadi gadis terhormat. Kangmbok sudah menjajakan Rantamsari disini dengan harga yang sangat murah.”

“Kau tahu bahwa kata-katamu itu melukai hatiku, Wicitra?”

Wicitra tertawa katanya, “Kangmbok sudah melukai hatiku lebih dari seribu kali.”

“Itu karena pokalmu sendiri.”

“Tidak. Tetapi aku justru ingin menghentikan tingkah laku kangmbok yang tidak terkendali itu. Seharusnya kangmbok menjaga nama-anak gadisnya dengan baik. Tetapi kangmbok justru sebaliknya. Kangmbok sama sekali tidak menghargai nama anak gadisnya.”

“Kau masih juga mengigau seperti itu, Wicitra. Kau kira apa yang kau katakan itu dipercaya orang.”

“Percaya atau tidak percaya itu bukan urusanku, kangmbok. Aku hanya ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Kateguhan dan disini.”

“Cukup. Pergilah. Kau tahu, bahwa kau harus pergi.”

Wajah Wicitra menjadi semakin tegang. Sementara itu Raden Ayu Prawirayuda pun berkata, “Usir orang itu pergi, ngger.”

Sasangka memandang Raden Ayu Prawirayuda sejenak. Namun kemudian dipandanginya Wicitra sambil berkata, “Kau dengar, Raden. Kau harus pergi dari tempat ini.”

“Kau kira kau akan dapat mengusirku?”

“Jika aku tidak dapat mengusir Raden, maka aku akan membunuh Raden.”

“Kau akan membunuh aku sebagaimana kau membunuh kawanmu sendiri, Rembana, karena kau juga menginginkan Rantamsari.”

Darah Sasangka tersirap. Dengan bibir yang gemetar Sasangka menjawab, “Raden jangan mengada-ada. Pergi atau aku akan membunuhmu.”

Wicitra tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia menyergap Sasangka dengan kasar.

Tetapi Sasangka masih sempat mengelak. Bahkan kerisnya terjulur dengan cepat pula, justru sempat menggapai pundak Wicitra.

Wicitra terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Sasangka mampu bergerak secepat itu.

Dengan demikian, maka Wicitra pun meloncat mundur. Namun Sasangka tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat Sasangka pun memburunya dengan keris yang bergetar.

Ketika keris Sasangka terayun mendatar menebas kearah dada, Wicitra yang belum siap benar, menangkis serangan itu. Demikian derasnya ayunan keris Sasangka, maka dalam benturan senjata yang terjadi, terasa tangan Wicitra menjadi pedih. Sementara itu Sasangka telah menjulurkan kerisnya pula mengarah ke lambung.

Sebelum tangannya mapan, Wicitra harus menangkis serangan Sasangka. Sementara itu Sasangka telah memutar kerisnya, seakan-akan membelit keris Wicitra.

Tangan Wicitra yang masih terasa pedih, tidak mampu menahan putaran keris Sasangka, sehingga keris Wicitra itu lepas dari tangannya.

Pada saat itu, terbuka kesempatan bagi Sasangka untuk meloncat menyerang pada saat Wicitra tidak sedang memegang senjata.

Namun terdengar suara Raden Ayu Prawirayuda, “Angger Sasangka.”

Sasangka yang sudah hampir meloncat menikam dada Wicitra harus menahan diri.

“Wicitra” berkata Raden Ayu Prawirayuda, “kau sadar, bahwa kau tidak dapat berbuat banyak disini. Pergilah. Ambil kerismu atau aku biarkan Senapati muda ini membunuhmu.”

Kemarahan Wicitra rasa-rasanya telah membakar ubun-ubunnya. Namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa.

“Ambil kerismu dan pergi dari rumah ini” berkata Raden Ayu Prawirayuda pula.

Wicitra itu pun kemudian telah memungut kerisnya. Namun kemudian ia melangkah surut sambil berkata, “Kangmbok jangan mengira bahwa aku telah dikalahkannya. Pada suatu saat aku akan kembali untuk membunuhnya, membunuh Senapati yang seorang lagi serta membunuh Madyasta. Tidak akan ada lagi orang yang dapat menahanku untuk mengambil Rantamsari.”

Raden Ayu Prawirayuda tidak menjawab. Dipandanginya Wicitra yang bergeser surut kearah pintu butulan.

“Kau jangan berbangga dengan kemenangan kecil ini” berkata Wicitra kepada Sasangka, “kemenangan yang sebenarnya, akan ditentukan pada bagian terakhir pertempuran diantara kita berdua.”

“Aku akan menunggu, Raden” geram Sasangka. Jika saja Raden Ayu Prawirayuda tidak mencegahnya, maka ia akan benar-benar berusaha membunuh Wicitra.

Sejenak kemudian, maka Wicitra pun segera meninggalkan taman kecil itu.

“Terima kasih, ngger” berkata Raden Ayu Prawirayuda kemudian, “Untunglah bahwa angger Sasangka melihat peristiwa ini dan sempat menolong Rantamsari. Aku berada di dapur. Semula aku benar-benar tidak mendengar sesuatu terjadi disini. Baru kemudian, lamat-lamat aku mendengar suara teriakan Rantamsari”

“Itu sudah menjadi kewajibanku, Raden Ayu. Aku berada disini untuk menjaga keselamatan keluarga ini.”

“Kenapa pendengaranku sudah menjadi semakin buruk. Aku berada di dapur. Seharusnya aku mendengarnya sejak semula.”

“Jaraknya memang agak jauh, Raden Ayu. Ada beberapa sekat di ruang dalam, sehingga orang yang berada di dapur, tidak dapat mendengar keributan yang terjadi disini.”

“Bagaimanapun juga Wicitra adalah adikku, sehingga aku tidak dapat membiarkannya terbunuh. Tetapi jika sekali lagi ia datang mengganggu Rantamsari, apaboleh buat.” . .

“Raden Wicitra tidak akan datang lagi, Raden Ayu.”

“Tetapi apakah angger Madyasta belum datang?”

“Aku kira belum, Raden Ayu.”

“Angger Wismaya?”

“Tadi Wismaya berada di gandok. Keributan disini memang tidak terdengar dari gandok seperti juga tidak terdengar dari dapur.”

“Aku minta agar angger Wismaya dan angger Madyasta diberitahu tentang peristiwa ini. Biarlah mereka menjadi lebih berhati-hati.”

“Tetapi dapatkah kita menghubungkan sikap Raden Wicitra ini dengan kematian Rembana, Raden Ayu?”

Raden Ayu Prawirayuda termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Raden Ayu itupun berkata, “Aku belum dapat mengatakan apa-apa, ngger. Aku pun tidak mau mendengar tuduhannya terhadap angger Sasangka, bahwa justru angger Sasangka lah yang dikatakan membunuh angger Rembana. Tetapi memang mungkin sekali ia berusaha untuk menghapus jejak dan melemparkan tuduhan kepada orang lain.”

Sasangka terdiam. Ia memang mendengar Wicitra justru menuduhnya telah membunuh Rembana.

Dalam pada itu, Raden Ayu pun kemudian berkata kepada Rantamsari, “Masuklah Rantamsari.”

Rantamsari menarik nafas panjang. Dipandanginya Sasangka yang masih berdiri tegak dihadapinya.

Sasangka sudah cukup lama berada di rumahnya. Tetapi Rantamsari tidak pernah memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Baru saat itu ia seakan-akan melihat Sasangka seutuhnya.

Sejak para Senapati bersama Raden Madyasta berada di rumahnya, perhatiannya langsung tertuju kepada Rembana, sehingga ia tidak memperhatikan para Senapati yang lain.

Hampir diluar sadarnya, Raden Ajeng Rantamsari itupun berdesis, “Terima kasih, kakang. Jika kau tidak datang menolongku, aku tidak, tahu apa yang akan terjadi. Mungkin aku telah diseret oleh paman Wicitra ke tempat yang tidak diketahui. Tetapi mungkin aku benar-benar telah dibunuhnya.”

“Aku hanya menjalankan kewajiban Raden Ajeng.”

Raden Ajeng Rantamsari mengangguk kecil Namun kemudian iapun berpaling kepada ibunya sambil berkata, “Ibu, aku benahi dahulu kain yang sedang aku batik itu.”

“Baiklah” berkata ibunya, “seterusnya kau batik kainmu di longkangan sebelah dapur. Tempatnya lebih rapat. Ibu pun akan mendengar jika pamanmu datang lagi.”

“Ya, ibu.”

Demikian Raden Ayu Prawirayuda masuk, Raden Ajeng Rantamsari segera memadamkan bara di anglo kecil yang dipergunakannya untuk memanasi malam yang dipergunakannya untuk membatik.

“Raden Ajeng” berkata Sasangka, “biarlah aku berjaga-jaga di luar longkangan.”

“Jangan pergi, kakang. Tunggulah sampai aku selesai. Aku menjadi ketakutan sendiri meskipun di longkangan dan di siang hari pula. Paman Wicitra akan dapat benar-benar datang lagi. Jika paman datang lagi, mungkin paman akan benar-benar membunuhku.”

Sasangka menarik nafas panjang. Ia tidak dapat meninggalkan Raden Ajeng Rantamsari yang ketakutan.

Adalah diluar sadarnya ketika Sasangka kemudian memperhatikan gadis yang sedang sibuk mengemasi kain serta peralatan batiknya. Adalah diluar sadarnya pula bahwa Sasangka berkata kepada dirinya sendiri dalam hatinya, “Gadis itu memang cantik.”

Sasangka terkejut ketika Raden Ajeng Rantamsari berkata, “Terima kasih, kakang. Aku akan membatik di longkangan dalam, di sebelah dapur.”

“ O, silahkan. Silahkan Raden Ajeng.”

Raden Ajeng Rantamsari pun kemudian melangkah masuk ke ruang dalam sambil menjinjing gawangan dan kain yang sedang dibatiknya serta peralatannya yang lain.

Sasangka menarik nafas dalam-dalam.

Taman kecil itupun menjadi sepi kembali. Beberapa gerumbul perdu yang tertata rapi, berantakan terinjak-injak kaki mereka yang bertengkar.

“Biarlah besok aku benahi setelah Raden Madyasta melihat keadaan ini” berkata Sasangka didalam hatinya.

Sasangka pun kemudian meninggalkan taman kecil di longkangan itu. Ia tidak kembali ke kebun belakang untuk berbaring di lincak bambu yang dibuat oleh Wismaya. Tetapi Sasangka itupun pergi ke serambi gandok untuk menemui Wismaya.

“Kau tidak mendengar keributan yang terjadi di longkangan tadi?”

“Apa yang terjadi?”

Sasangka pun kemudian telah menceriterakan apa yang terjadi di taman kecil itu.

“Kau terluka Sasangka” berkata Wismaya kemudian.

“Tidak seberapa.”“

Tetapi luka itu harus diobati. Biarlah aku bantu kau mengobatinya.”

Wismaya pun kemudian mengobati luka Sasangka. Meskipun luka itu tidak parah, tetapi jika tidak mendapat pengobatan yang baik, luka itu akan dapat membengkak dan menjadi berbahaya.

“Beristirahatlah. Biarlah aku mengawasi keadaan” berkata Wismaya.

Sasangka mengangguk kecil. Iapun kemudian masuk ke dalam biliknya dan kemudian membaringkan dirinya.

Udara di bilik itu tidak sesejuk di halaman belakang. Silirnya angin tidak terasa. Bahkan udara di bilik itu terasa panas. Sehingga karena itu, Sasangka tidak menjadi me-ngantuk seperti saat ia berbaring di lincak bambu di halaman belakang.

Namun dengan demikian, angan-angan Sasangka sempat berterbangan kian kemari dan hinggap di tempat-tempat yang memancarkan keceriaan sebagaimana sebuah mimpi yang indah.

Wismaya lah yang kemudian pergi ke halaman belakang. Seperti Sasangka, Wismaya pun berbaring di amben bambu yang telah dibuatnya. Tetapi Wismaya menjaga agar ia tidak tertidur oleh sejuknya bayangan dedaunan yang rimbun serta semilirnya angin yang menerpa tubuhnya.

“Kemana saja perginya Raden Madyasta ini?” bertanya Wismaya kepada dirinya sendiri, “Apakah Raden Madyasta akan berada di dalem kadipaten sehari penuh?”

Tetapi agaknya Raden Ayu Prawirayuda tidak sabar menunggu Raden Madyasta kembali. Raden Ayu Prawirayuda telah merencanakan untuk pergi menghadap Kangjeng Adipati Prangkusuma untuk melaporkan tentang sikap dan tingkah laku adik laki-lakinya.....

“Kenapa kita harus memberitahukan kepada paman Adipati?” bertanya Raden Ajeng Rantamsari, “aku akan menjadi malu sekali, ibu. Bukankah persoalan ini adalah persoalan kita sehingga sama sekali tidak menyangkut paman Adipati Prangkusuma?”

“Rantamsari. Apa yang dicelotehkan pamanmu agaknya didengar pula oleh angger Sasangka. Sehingga lambat laun pamanmu Adipati juga akan mendengarnya. Mungkin lewat angger Madyasta yang akan mendapat laporan dari Sasangka. Karena itu, maka biarlah pamanmu mendengar langsung dari mulut kita sendiri. Selebihnya, kita sekarang berada di Paranganom. Apapun yang terjadi, sebaiknya kita melaporkannya kepada pamanmu Adipati, sehingga jika terjadi sesuatu, kita tidak akan dianggap bersalah karena kita seakan-akan telah menyembunyikan sesuatu.”

Rantamsari tidak menjawab. Ia menurut saja apa yang dikatakan oleh Ibunya.

“Kita akan mengajak angger Wismaya untuk mengantar kita pergi ke kadipaten” berkata Raden Ayu Prawirayuda.

“Kenapa tidak kakang Sasangka saja ibu. Bukankah kakang Sasangka yang langsung terlibat dalam persoalan ini? Seandainya paman Adipati memerlukan beberapa keterangan, maka kakang Sasangka akan dapat membantu kita.”

Raden Ayu Prawirayuda merenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata, “Baiklah, Rantamsari. Kita akan minta Sasangka mengantar kita ke kadipaten.”

“Kapan kita pergi menghadap paman Adipati ibu?”

“Nanti, di sore hari, setelah matahari turun, sehingga kita tidak kepanasan di jalan.”

“Aku akan memberitahu kakang Sasangka.”

“Biarlah aku saja yang berbicara dengan Sasangka, Rantamsari. Ia akan merasa lebih dihargai jika bukan anak-anak yang memberikan perintah kepadanya.”

“Bukankah aku tidak akan memberikan perintah?”

“Sudahlah. Biarlah aku saja yang mengatakannya kepadanya.”

Rantamsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis, “Baik, ibu.”

Dalam pada itu, ketika terjadi keributan di rumah Raden Ayu Prawirayuda, Raden Madyasta memang sedang meninggalkan rumah itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa Raden Madyasta tidak pergi ke kadipaten. Tetapi Raden Madyasta justru pergi ke Panjer.

Karena itu, Raden Madyasta berangkat ketika matahari belum memanjat terlalu tinggi. Kudanya dilarikannya seperti dikejar hantu. Raden Madyasta harus sudah berada di rumah bibinya lagi sebelum senja.

Ternyata hari itu bukan untuk pertama kalinya Raden Madyasta pergi ke kademangan Panjer. Agaknya Raden Madyasta tidak dapat melupakan perjumpaannya dengan gadis Panjer, anak Ki Demang Rara Menur.

Ketika Raden Madyasta sampai di kademangan Panjer, rumah Ki Demang nampak sepi. Tetapi Raden Madyasta mendengar suara orang menumbuk padi.

Sebagaimana kebiasaannya, meskipun Rara Menur anak seorang Demang, tetapi ia sering berada didekat lumbung menumbuk padi. Meskipun ada pembantu yang dapat melakukannya, tetapi Rara Menur sering melakukannya sendiri.

Karena itu, setelah mengikat kudanya di sebelah pendapa, maka Raden Madyasta itupun langsung pergi lewat halaman samping, menuju ke lumbung.

Sebenarnyalah ia melihat Rara Menur sedang menumbuk pagi. Karena itu, maka Raden Madyasta sengaja mendekatinya dengan diam-diam.

Demikian Raden Madyasta melingkari sudut lumbung dan berdiri di belakang Rara Menur, Raden Madyasta pun berkata, “Apakah aku dapat membantu, Menur.”

Rara Menur terkejut sehingga bergeser setapak. Ketika ia berpaling, maka sebelah tangannya menekan dadanya. Nafasnya tiba-tiba mengalir semakin cepat.

“Raden mengejutkan aku. Jantungku hampir saja copot.”

Raden Madyasta tersenyum. Katanya -Begitu mudahnya jantungmu copot? Apakah tangkainya terbuat dari anyaman daun pisang.”

“Ah. Raden. Silahkan duduk di pringgitan Raden.”

“Tidak ada orang di pendapa. Apakah Ki Demang pergi?

“Ya Raden. Tetapi tentu sudah hampir pulang. Ayah pergi ke bendungan, melihat orang-orang yang sedang gugur gunung. Bendungan itu bocor. Sebelum kebocoran itu merambat semakin besar, maka orang-orang padukuhan induk ini bersama-sama dengan orang-orang padukuhan terdekat lain-nya, pergi beramai-ramai memperbaikinya.”

Raden Madyasta mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Menur pun berkata pula, “Silahkan Raden duduk di pringgitan. Ayah tidak akan lama lagi.”

“Aku lebih senang duduk disini sambil menunggu Ki Demang, Menur.”

“Tetapi Raden mengganggu aku.”

“Jika aku ingin membantu, kau selalu berkeberatan.”

“Tentu aku berkeberatan.”

“Kalau begitu, teruskan saja. Aku berjanji tidak akan mengganggumu.”

“Raden aneh” desis Rara Menur. Bahkan kemudian diletakkannya penumbuk padinya. Sambil duduk di sebuah amben panjang yang berada di emperan lumbung, Rara menur berkata, “Seharusnya Raden duduk di pringgitan.”

Raden Madyasta termangu-mangu sejenak, Namun kemudian iapun berkata sambil melangkah dan bahkan duduk di amben itu pula, “Daripada duduk di pringgitan sendiri, aku lebih senang duduk disini bersamamu Menur.”

“Ah Raden.”

“Udara disini terasa lebih sejuk. Bayangan dedaunan yang rimbun, angin yang mengalir menggoyang ranting-ranting kecil.”

Rara Menur menarik nafas panjang.

Namun tiba-tiba Rara Menur itu bertanya, “Kenapa Raden sering datang kemari?”

Raden Madyasta mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, “Bukankah aku pernah mengatakan kepadamu, Menur. Kenapa aku sering datang kemari. Seandainya kau tidak tinggal disini, tentu aku tidak akan pernah datang kemari lagi setelah kami berhasil menghancurkan gerombolan brandal itu.”

“Aku bersungguh-sungguh Raden.”

Raden Madyasta menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah kau masih ragu-ragu, Menur.”

“Aku tidak ragu-ragu terhadap pernyataan Raden. Aku tidak ragu-ragu atas cinta Raden kepadaku. Aku pun tidak ragu-ragu mencintai Raden. Tetapi bukankah kita tidak hanya hidup berdua di luasnya dataran bumi ini.”

“Menur. Apa maksudmu?”

“Raden. Disamping kepercayaanku terhadap kesungguhan cinta Raden, namun aku juga selalu bertanya, siapakah aku ini. Siapa pula Raden Madyasta.”

“Kau akan berbicara tentang derajad, Menur?”

“Kita tidak dapat menanggalkan derajat kita masing-masing Raden. Aku tidak lebih adalah anak seorang Demang. Sedangkan Raden adalah putera seorang Adipati.”

“Apakah ada bedanya?”.

“Tataran dalam tatanan masyarakat tidak dapat kita ingkari, Raden. Hampir setiap orang yang ingin mengambil menantu selalu berbicara tentang bobot, bibit dan bebet. Raden tahu, siapakah aku jika dinilai dari bobot, bibit dan bebet itu.”

“Kau nampaknya benar-benar bersungguh-sungguh Menur.”

“Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa aku bersungguh-sungguh?”

Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Menur. Yang kelak akan menjalani hidup bersama adalah aku dan kau. Aku memang tidak ingkar, betapa besarnya pengaruh orang tua terhadap anaknya pada saat-saat anaknya memilih bakal sisihannya. Tetapi keputusan terakhir tentu. berada pada anak itu sendiri.”

“Jika Raden Madyasta bukan putera seorang Adipati, aku dapat mengerti, Raden. Tetapi Raden Madyasta adalah putera seorang Adipati. Apa yang akan Raden lakukan akan disorot bukan saja oleh orang tua Raden. Tetapi juga oleh para priyagung, para pemimpin pemerintahan dan keprajuritan, bahkan oleh rakyat Paranganom.”

“Aku mengerti, Menur. Tetapi kebesaran cinta kita akan dapat mengatasinya.”

“Raden. Aku sangat menghargai sikap Raden. Tetapi jika. yang aku takutkan itu harus terjadi. Kangjeng Adipati, para priyagung, para pemimpin dan rakyat Paranganom akan dapat menolak keberadaanku di kadipaten. Mereka akan dapat menganggap keberadaanku di kadipaten itu hanya akan mengotori tempat yang seharusnya dihormati itu.”

“Kau sangat merendahkan dirimu sendiri, Menur. Pada. saatnya aku akan berbicara dengan ayahanda. Aku berharap ayahanda mengerti.”

“Itu harapan Raden.”

“Menur. Kita jangan merasa kalah sebelum kita melangkah. Aku tidak membutakan mataku terhadap kemungkinan itu. Aku bukan anak-anak lagi, sehingga cintaku juga bukan sekedar cinta anak-anak. Aku sudah dewasa penuh. Aku menyadari apa yang aku lakukan ini, Menur.”

“Aku pun mengerti, Raden. Sekali lagi aku nyatakan kepada Raden, bahwa bukannya aku tidak percaya kepada Raden., Tetapi aku ingin memperingatkan, bahwa disekitar kita terdapat berbagai macam pengaruh yang akan dapat ikut serta menentukan arah hidup kita. Pengaruh disekitar kita itu akan dapat membentangkan jarak diantara kita. Bahkan mungkin jarak itu tidak dapat kita loncati, sehingga kita akan duduk sambil berduka di sisi yang berseberangan.”

“Kita tidak boleh menyerah, Menur. Aku mengakui pengaruh yang kuat akan dapat melanda biduk yang ingin kita tumpangi. Kemudian tergantung kepada kita. Apakah kita akan hanyut atau kita akan mampu mengayuhnya menentang arus.”

“Jika kita gagal, Raden. Akulah yang akan paling menderita.

“Kenapa kau, Menur?”

“Raden akan dapat terhibur dengan kedudukan Raden kelak. Raden akan menggantikan kedudukan ayahanda. Kemudian Raden akan bersanding dengan seorang puteri yang cantik, yang berkedudukan sederajat dengan Raden. Kemudian Raden akan dielu-elukan oleh rakyat Paranganom kemanapun Raden pergi. Lalu bagaimana dengan aku? Aku akan menjadi kesepian dalam kesendirianku. Di kademangan kecil yang terpencil. Kawan-kawanku akan memperolok-olokkan aku sebagai seorang pemimpi yang tidak tahu diri.”

Raden Madyasta menarik nafas panjang. Katanya, “Kau berkhayal tentang langit yang mendung, gelap dengan seribu guruh yang menyambar-nyambar. Angin prahara dan cleret tahun. Kau menempatkan dirimu dalam kemelut alam yang bengis itu, Manggar.”

“Raden. Apakah kau berkhayal? Apakah yang aku bayangkan itu tidak mungkin terjadi dalam kenyataan? Raden. Aku ingin mengatakan kepada Raden, mumpung kita belum terlalu jauh melangkah. Mungkin hati kita akan terluka. Tetapi luka itu tidak separah jika pertautan hati kita sudah menjadi semakin lekat.

“Menur. Aku mengerti sepenuhnya apa yang kau maksudkan. Tetapi aku akan dapat memilih. Hidup diatas gemerlapnya tatanan kewadagan, atau kita akan menunjang nilai-nilai batin kita yang lebih tinggi.”

“Dapatkah Raden memisahkannya?”

“Aku akan menempatkan cinta kasih di atas segala-galanya, Menur?”

“Bagaimana cinta dan kasih Raden kepada Paranganom serta kelangsungan wibawa serta kebesaran nama Kangjeng Adipati Prangkusuma?”

“Aku bukan satu-satunya orang yang dapat meneruskan kelangsungan hidup kadipaten ini. Menur.”

“Dalam keadaan tersudut Raden akan memilih aku dari-pada kesetiaan Raden kepada Paranganom?”

“Jangan kau nilai sikapku sebagai pengingkaran terhadap kesetiaanku kepada Paranganom. Menur. Kesetiaan tidak harus selalu ditunjukkan dengan mengikuti irama yang mengalir teratur. Apakah jika aku tidak menjadi seorang Adipati, aku tidak dapat menunjukkan kesetiaanku kepada Paranganom?”

“Raden memang dapat berbuat banyak. Tetapi takaran perbuatan Raden tentu tidak sebanding dengan takaran sikap seorang Adipati.”

“Kau salah menilai kesetiaan seseorang terhadap kampung halamannya, Menur. Kesetiaan seorang kawula alit, mungkin akan dapat lebih tinggi dari kesetiaan seorang Adipati terhadap tugas dan kewajiban yang diembannya. Bahkan seorang Adipati akan dapat menjerumuskan negerinya kedalam petaka jika ia tidak dapat mengendalikan dirinya.”

Rara Menur menundukkan wajahnya. Tiba-tiba saja di pelupuknya telah mengembun air matanya. Dengan jari-jarinya ia mengusapnya.

“Aku tidak pernah meragukan sikap Raden” suaranya menjadi serak, “tetapi Raden adalah milik kadipaten Paranganom yang paling berharga. Aku tahu, bahwa aku adalah debu yang tidak berharga. Meskipun demikian Raden, aku akan menggantungkan nasibku ke jari-jari Raden.”

“Yakinlah akan sikapku Menur. Beberapa tahun aku hidup di sebuah perguruan yang terpencil. Aku sudah terbiasa hidup dalam keprihatinan. Aku bukan putera seorang Adipati yang manja. Karena itu, aku akan segera dapat menyesuaikan hidupku dengan lingkunganku yang bagaimanapun juga ujudnya.”

Rara Menur masih akan menjawab. Namun mereka melihat Ki Demang Panjer datang mendekati mereka.

“Raden” sapa Ki Demang Panjer.

Raden Madyasta pun bangkit berdiri. Sementara itu Rara Menur pun justru meninggalkan Raden Madyasta sambil berkata, “Aku akan pergi ke dapur.”

Ki Demang memandang wajah anak gadisnya yang basah. Sebagai seorang ayah, maka Ki Demang sudah dapat meraba, apa saja yang dibicarakan oleh anaknya dengan Raden Madyasta.

Dalam pada itu, maka Ki Demang pun kemudian berkata, “Marilah, aku persilahkan Raden duduk di pringgitan.”

Raden Madyasta tidak membantah. Ia pun kemudian mengikuti Ki Demang pergi ke pringgitan, sementara Rara Menur menenggelamkan diri di dapur untuk menyiapkan hidangan bagi Raden Madyasta.

Namun Raden Madyasta tidak dapat berlama-lama berada di Panjer. Ia harus segera kembali ke kadipaten dan segera pula pergi ke rumah bibinya.....

********************

Dalam pada itu, ketika matahari turun, sebelum Raden Madyasta kembali, Raden Ayu Prawirayuda dan Rantamsari, diantar oleh Sasangka pergi menghadap Kangjeng Adipati Prangkusuma.

Mereka telah diterima langsung oleh Kangjeng Adipati di serambi samping.

Dengan irama yang gelisah, Raden Ayu Prawirayuda telah menceriterakan apa yang baru saja terjadi di dalam taman.

“Anak itu telah membuat kami gelisah, dimas. Rantamsari menjadi ketakutan.”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya, “Sukurlah bahwa Sasangka dapat mengatasinya.”

“Ya, dimas. Kami sangat berterima kasih kepada angger Sasangka. Jika saja angger Sasangka tidak melihat peristiwa itu, aku tidak tahu, apa jadinya dengan Rantamsari.”

“Apakah dengan demikian kangmbok menghubungkan sikap Wicitra itu dengan kematian Rembana?”

Raden Ayu Prawirayuda termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis, “Aku belum dapat mengatakannya, dimas. Aku tidak tahu, apakah Wicitra sudah melangkah sedemikian jauhnya.”

“Apakah kangmbok ingin pengamanan di rumah kangmbok diperkokoh.

Maksudku, kangmbok ingin prajurit yang bertugas di rumah kangmbok diperbanyak?”

“Tidak, dimas. Bukan maksudku, agaknya keberadaan Raden Madyasta dengan kedua orang Senapati muda itu sudah cukup.”

Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Raden Ayu Prawirayuda itu berkata, “Sebenarnya aku ingin menyampaikan kegelisahan ini kepada angger Madyasta. Kemudian biarlah angger Madyasta menyampaikannya kepada dimas Adipati. Tetapi angger Madyasta telah mendahului sebelum aku sempat mengatakan pesan ini kepadanya.”

“Mendahului kemana, kangmbok?”

“Bukankah angger Madyasta berada di kadipaten sekarang?”

“Tidak, kangmbok. Madyasta tidak pulang. Aku belum melihat sehari ini. Mungkin pagi tadi ia datang mengambil kudanya. Namun kemudian ia telah pergi. Aku belum bertemu dengan anak itu.”

Raden Ayu Prawirayuda mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Jika demikian, angger Madyasta benar-benar pergi ke Panjer?”

“Ke Panjer?”

“Mungkin dimas. Hanya satu kemungkinan.”

“Kenapa kangmbok menduga, bahwa Madyasta pergi ke Panjer?”

“Aku kadang-kadang melepas waktu untuk berbincang-bincang dengan angger Madyasta. Mungkin karena aku bibinya, kadang-kadang terloncat dari bibirnya, tanggapannya terhadap seorang gadis di Panjer.”

“Maksud kangmbok?”

“Ah. Wajar saja dimas. Anak muda.”

“Madyasta tertarik kepada gadis Panjer?”

“Aku tidak tahu seberapa jauh hubungan mereka. Tetapi angger Madyasta pernah memuji kecantikan gadis anak Ki Demang di Panjer. Tetapi dimas tidak perlu menghiraukannya. Bukankah itu wajar-wajar saja bagi seorang anak muda.”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk kecil. Namun nampak kerut di dahinya menjadi semakin dalam.

Raden Ayu Prawirayuda tidak menyinggung Madyasta lagi. Tetapi Raden Ayu itupun kemudian berkata, “Dimas. Kedatanganku menghadap dimas jangan merisaukan dimas. Maksudku, tentang keselamatan keluarga kami. Jika aku datang melaporkan kehadiran adikku itu semata-mata agar dimas Adipati mengetahui segala peristiwa yang terjadi di lingkungan keluarga kami. Jika benar terjadi sesuatu, biarlah dimas Adipati dapat mengurai permasalahannya dengan bahan yang lengkap.

“Terima kasih, kangmbok. Aku akan memperhatikannya. Aku pun harus memperhatikan kepergian, “Madyasta ke Panjer, karena Madyasta tidak minta ijin bahkan tidak memberitahukan kepergiannya itu.”

“Aku mohon dimas tidak mempersoalkan angger Madyasta”

“Aku adalah ayahnya, kangmbok.”

“Tetapi bukankah yang dilakukannya masih dalam batas kewajaran, sehingga dimas tidak perlu gelisah.”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya, kangmbok.”

Raden Ayu Prawirayuda itupun kemudian telah mohon diri. Sementara Kangjeng adipati berkata kepada Sasangka, “Aku pun mengucapkan terima kasih kepadamu, Sasangka. Tetapi selanjutnya kau harus berhati-hati.”

“Hamba, Kangjeng. Hamba akan berhati-hati.”

Ketika Raden, Ayu Prawirayuda keluar dari serambi, langit telah. menjadi buram. Awan nampak menjadi merah disaat-saat menjelang senja. Matahari yang disaput mega-mega yang tipis, nampak seperti bara.

Ketika Raden Ayu Prawirayuda, Rantamsari dan Sasangka keluar dari gerbang halaman kadipaten, mereka berpapasan dengan Madyasta yang melarikan kudanya seakan berpacu di arena. Ketika Madyasta menarik kendali kudanya, maka kuda itupun berhenti dengan tiba-tiba sehingga kedua kakinya terangkat keatas. Terdengar kuda itu meringkik panjang.

Raden Madyasta meloncat turun. Dielusnya leher kudanya perlahan-lahan sehingga kudanya menjadi tenang kembali.

“Darimana ngger?” bertanya Raden Ayu Prawirayuda.

“Sekedar melihat-lihat keadaan bibi.”

“Dari Panjer?”

Jantung Raden Madyasta berdesir. Dengan gagap iapun bertanya, “Darimana bibi tahu?”

“Bukankah angger pernah berceritera tentang gadis Panjer yang cantik dan luruh itu?”

“Ah. Bukan maksudku untuk mengatakan bahwa aku tertarik kepadanya, bibi.”

Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Katanya, “Bukankah hal itu wajar sekali? Angger adalah seorang anak muda yang sudah dewasa. Sedangkan anak Ki Demang Panjer itu agaknya seorang gadis yang sudah meningkat dewasa pula. Bukankah wajar sekali?”

“Tetapi”

Raden Ayu Prawirayuda menepuk bahu Raden Madyasta sambil berdesis, “Jangan risaukan pernyataan bibi. Bibi hanya ingin bergurau.”

Raden Madyasta menarik nafas panjang

“Sudahlah ngger. Bibi Pulang.”

“Apakah bibi baru saja menghadap ayahanda?”

“Ya. Ada sesuatu terjadi di rumah.

“Ada apa bibi?”

“Pamanmu Wicitra datang lagi mengganggu Rantamsari. Bahkan mengancamnya dengan keris. Untunglah bahwa angger Sasangka mengetahuinya dan berhasil mengusir Wicitra. Aku melaporkannya kepada dimas Adipati, agar dimas Adipati mengetahui segala sesuatunya yang terjadi atas keluarga kami.”

Raden Madyasta mengangguk-angguk. Katanya, “Sukurlah bahwa Sasangka dapat mengatasinya. Aku mohon maaf bibi, bahwa aku tidak berada di rumah bibi pada saat itu.”

“Tidak apa-apa ngger. Mudah-mudahan Wicitra menjadi jera.”

“Ya, bibi.”

“Sudahlah ngger. Angger tentu letih. Bibi mohon diri.”

“Silahkan bibi. Aku juga akan segera menyusul.”

Ketika Raden Ayu Prawirayuda dan Rantamsari yang diantar oleh Sasangka meninggalkan Raden Madyasta, maka Raden Madyasta pun segera menuntun kudanya memasuki regol halaman kadipaten.

Setelah menyerahkan kudanya kepada seorang abdi, maka Raden Madyasta pun masuk ke serambi samping.

Raden Madyasta terkejut ketika ia melihat ayahandanya, Kangjeng Adipati Prangkusuma, duduk sendiri di serambi samping itu.

Sebuah lampu minyak sudah dinyalakan. Sinarnya yang kekuning-kuningan nampak berayun oleh sentuhan angin yang menyusup kedalam.

Madyasta justru berdiri termangu-mangu di pintu. Jantungnya terasa berdegup semakin cepat.

“Madyasta” suara ayahandanya terasa berat menekan dadanya.

“Hamba ayahanda.”

“Kemarilah, duduklah.”

Perlahan-lahan Madyasta mendekat. Kemudian duduk dihadapan ayahandanya.

“Kemana kau seharian ini Madyasta?”

Madyasta tidak segera menjawab. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Bahkan Madyasta menduga bahwa bibinya telah mengatakan kepada ayahandanya, bahwa ia pergi ke Panjer. Mungkin benar bahwa bibinya sekedar bergurau atau mengganggunya tanpa maksud apa-apa. Tetapi persoalannya akan dapat menjadi rumit baginya.

Karena Madyasta tidak segera menjawab, maka ayahandanya itupun berkata, “Madyasta. Bibimu baru saja menghadap. Bibimu melaporkan apa yang baru saja terjadi di rumahnya. Adiknya laki-laki itu datang mengganggunya. Untunglah bahwa Sasangka dapat mengatasinya. Sementara itu, kau tidak ada di rumah bibimu.”

Raden Madyasta menjadi semakin menunduk.

“Kau pergi kemana Madyasta? Aku ingin mendengar kau menjawab dengan jujur.”

“Hamba pergi ke Panjer, ayahanda.”

Tetapi Kangjeng Adipati sudah tidak terkejut lagi. Dengan nada berat Kangjeng Adipati pun bertanya pula, “Untuk apa kau pergi ke Panjer?”

Madyasta menarik nafas dalam-dalam. Keragu-raguan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Apakah ia akan mengatakan yang sebenarnya, atau ia akan berbohong kepada ayahandanya. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, agaknya akan terasa sangat tiba-tiba. Madyasta memang akan menyampaikan kepada ayahandanya. Tetapi ia memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri lahir dan batinnya. Raden Madyasta pun ingin serba sedikit menyinggungnya sebelum ia menyampaikan seluruh permasalahannya dengan gadis Panjer itu kepada ayahandanya.

Namun Raden Madyasta tidak terbiasa berbohong. Karena itu, betapapun beratnya, maka Raden Madyasta pun kemudian menjawab, “Hamba berkunjung ke rumah Ki Demang di Panjer, ayahanda.”

“Ada apa di rumah itu? Apakah masih ada persoalan dengan kademangan Panjer?”

Raden Madyasta tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia harus mengatakan apa yang sesungguhnya dilakukannya di Panjer.

“Ayahanda. Hamba mohon ampun. Memang maksud hamba pada suatu saat akan menyampaikan persoalan hamba ini kepada ayahanda. Tetapi sebenarnya hamba memerlukan waktu. Tetapi agaknya hamba harus menyampaikannya sekarang.”

Kangjeng Adipati lah yang terdiam. Dipandanginya garis-garis papan pada dinding serambi itu, seolah-olah Kangjeng Adipati belum pernah melihat sebelumnya.

“Ayahanda” berkata Raden Madyasta kemudian, “di Panjer, hamba berkenalan dengan seorang gadis, anak Ki Demang Panjer.”

Kangjeng Adipati masih berdiam diri.

Sementara itu suara Raden Madyasta pun menjadi bergetar oleh gejolak perasaannya.

“Gadis itu menurut pendapat hamba, adalah gadis yang baik.”

“Kau tertarik kepadanya?” bertanya Kangjeng Adipati.

“Hamba ayahanda. Hamba tidak akan mengingkarinya”

“Sejauh manakah hubunganmu dengan anak Demang Panjer itu?”

“Kami saling mencintai ayahanda.”

“Madyasta” suara Kangjeng Adipati menjadi semakin berat.

“Hamba ayahanda.”

“Apakah kau sadari bahwa kau adalah anakku?”

“Hamba ayahanda.”

“Aku ini siapa?”

Jantung Raden Madyasta berdegup semakin cepat, “Ayahanda adalah Adipati Paranganom.”

“Jadi?”

“Hamba adalah putera Adipati Paranganom.”

“Nalarmu masih bening, Madyasta. Kau masih sadar sepenuhnya bahwa kau adalah putera Adipati Paranganom.”

“Hamba ayahanda.”

“Sedangkan gadis Panjer itu adalah anak gadis Demang Panjer.”

“Hamba ayahanda.”

“Madyasta. Apakah menurut pendapatmu, kedudukanmu dan kedudukan gadis itu seimbang?”

Pertanyaan itulah yang sudah diduga akan disampaikan oleh ayahanda. Persoalan itu pulalah yang telah dikemukakan oleh Rara Menur kepadanya. Perbedaan derajad itu memang akan dapat menjadi penyekat diantara mereka berdua.

Namun Madyasta itu memberanikan diri menjawab, “Ayahanda. Apakah kedudukan seseorang itu demikian pentingnya bagi dua orang yang ingin membangun sebuah keluarga?”

“Pertanyaanmu aneh, Madyasta. Kau adalah putera seorang Adipati. Apalagi kau adalah puteraku yang tertua, yang pada saatnya akan menggantikan kedudukanku sebagai Adipati di Paranganom. Jika sisihanmu kelak hanyalah anak seorang Demang, apa kata orang tentang Adipati Paranganom?, Apa kata para. Adipati tetangga-tetangga kita. Apapula kata Kangjeng Sultan di Tegallangkap? Madyasta.

Sebagai seorang putera Adipati yang kelak akan menggantikan kedudukannya, kau harus menjunjung tinggi derajat keluargamu. Kau harus menjaga wibawa namamu.”

“Ayahanda. Apakah unsur keturunan dari seorang isteri akan dapat ikut menentukan wibawa nama seorang Adipati? Jika Adipati itu sendiri dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, menjunjung tinggi kewajibannya, menyatu dengan rakyatnya membangun keutuhan kehidupan di seluruh kadipaten sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya.”

“Kau tidak dapat menutup mata dan telinga dalam pergaulan para Adipati. Juga dihadapan Kangjeng Sultan di Tegallangkap. Jika pada suatu saat, dalam upacara-upacara kenegaraan atau dalam kesempatan apapun, para Adipati harus berkumpul di istana Kangjeng Sultan di Tegallangkap bersama isterinya, bagaimana kau dapat menyembunyikan anak Demang itu dari tatapan mata para Adipati serta para priyagung di Tegallangkap?”

“Apakah dalam kedudukannya, seorang perempuan dari pedesaan, anak seorang Demang, tidak akan dapat menyesuaikan diri ayahanda. Bukankah seseoang dapat belajar, apa yang harus dilakukan sebagai isteri seorang Adipati.”

“Sikap dan tingkah laku memang dapat dipelajari, Madyasta. Tetapi tidak seorang pun yang dapat merubah garis keturunan seseorang. Jika ia anak seorang Demang, maka meskipun kau mendatangkan seribu orang guru yang akan dapat memberinya pelajaran dan petunjuk tentang sikap dan tingkah laku, namun mereka tidak akan dapat merubah garis keturunannya. Jika ia anak seorang Demang, maka ia akan tetap anak seorang Demang. Tetapi jika ia anak seorang Adipati atau seorang priyagung di Tegallangkap, maka ia akan tetap anak seorang Adipati atau seorang priyagung. Kau mengerti itu Madyasta.?”

“Ayahanda. Bagaimanakah penilaian seseorang tentang seorang perempuan keturunan orang berderajad tinggi tetapi sikap dan tingkah lakunya tidak terpuji sementara seseorang perempuan yang dilahirkan oleh keluarga dari keturunan yang dianggap berderajad rendah, tetapi menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik serta berbudi.”

“Satu mimpi yang buruk bagimu Madyasta.”

“Bukankah dihadapan Yang Maha Pencipta, kita dititahkan sama.”

“Madyasta. Kau sudah berani membantah kata-kataku. Siapa yang mengajarimu Madyasta? Demang Panjer? Demang Panjer itu agaknya telah meracunimu dengan pandangan hidup yang naif itu.”

“Ampun ayahanda. Hamba tidak sekali-sekali berani membantah titah ayahanda.”

“Ingat Madyasta. Kau adalah putera seorang Adipati yang kelak akan menggantikan kedudukannya. Kau adalah seseorang yang akan menjadi pemimpin. Kau akan menjadi kiblat tatapan mata seluruh rakyat Paranganom dan bahkan kau akan selalu berada dibawah penilikan Kangjeng Sultan di Tegallangkap.”

Madyasta menundukkan wajahnya. Ia masih akan menjawab. Tetapi Madyasta menyadari, bahwa ayahandanya mulai tidak berkenan. Jika ia masih saja menyatakan pendapatnya, maka ayahandanya akan dapat menjadi sangat marah.

“Madyasta” berkata Kangjeng Adipati kemudian, “apa kata orang, jika pada suatu saat kangmasmu Adipati Kateguhan menikah dengan seorang puteri yang sederajat, bahkan puteri dari Tegallangkap, kemudian kau menikah dengan anak Demang itu? Kemana aku harus menyembunyikan wajahku? Sedangkan jika itu terjadi setelah aku meninggal maka kusutlah wibawa kadipaten Paranganom. Jika kemudian istana Tegallangkap memperbandingkan kau dengan kangmasmu Yudapati dari Kateguhan, maka kau akan berada dibawah bayang-bayangnya.”

Jantung Madyasta terasa bergejolak didalam dadanya. Tetapi Madyasta harus menahan diri. Madyasta sadar, bahwa dalam keadaan demikian, ia lebih baik diam. Ia harus mencari kesempatan lain untuk dapat berbicara lebih panjang. Mungkin ia mempunyai lebih banyak kesempatan untuk menjelaskan persoalannya.

“Madyasta” berkata Kangjeng Adipati kemudian.

“Hamba ayahanda.”

“Sekarang mundurlah. Pergilah ke rumah bibimu. Malam telah turun.”

“Hamba ayahanda.”

Raden Madyasta pun kemudian meninggalkan ayahandanya sendiri di serambi.

Namun sepeninggal Madyasta, Wignyana telah masuk ke serambi. Dengan ragu-ragu iapun berkata, “Ayahanda. Apakah hamba diperkenankan menghadap?”

“Wignyana. Kemarilah. Duduklah. Apakah ada yang penting yang akan kau sampaikan?”

Wignyana pun kemudian duduk dihadapan ayahandanya. Dengan ragu-ragu Wignyana itupun berkata, “Ayahanda. Hamba mohon ampun, bahwa hamba mendengar pembicaraan ayahanda dengan kangmas Madyasta.”

Dahi Kangjeng Adipati Prangkusuma itu berkerut. Dengan ragu-ragu iapun berkata, “Kau mendengarkannya?”

“Semula hamba tidak sengaja ayahanda. Namun kemudian hamba seakan-akan telah dicengkam oleh pendengaran hamba yang sekilas itu, sehingga hamba pun mulai mendengarkannya.”

“Jika kau mendengarnya, lalu apa yang akan kau katakan sekarang?”

“Hamba ingin bertanya, ayahanda. Kenapa ayahanda berkeberatan jika kangmas Madyasta berhubungan dengan anak Ki Demang di Panjer itu.”

“Jika kau mendengarkan percakapan kami, kau tentu mendengar pula, apa alasanku.”

“Hamba mendengar ayahanda. Tetapi hamba merasa kasihan kepada kangmas Madyasta.”

“Kenapa?”

“Kangmas Madyasta dan gadis Panjer itu sudah terlanjur saling mencintai.”

“Wignyana. Bukankah kau tahu kedudukan kangmasmu?”

“Aku tahu, ayahanda. Tetapi apakah unsur keturunan itu demikian pentingnya, ayahanda.”

“Tentu, Wignyana. Jika seseorang dalam kedudukan seperti Madyasta, ia harus mempertimbangkan, perempuan yang manakah yang pantas menjadi sisihannya..”

“Tetapi cinta itu datang begitu saja ayahanda. cinta mempunyai pertimbangan yang lain.”

“Apakah menurut pendapatmu, cinta itu memang buta seperti kata orang?. Atau bahkan cinta itu harus buta sehingga nalar tidak dapat ikut berbicara?”

“Ayah. Cinta adalah karunia. Cinta yang teguh tidak akan dapat dihambat oleh lautan api sekalipun. Gunung yang tinggi akan diloncati, lautan yang luas akan diseberangi.”

“Kau dendangkan tembang anak-anak remaja Wignyana. Kau memang-sedang meningkat dewasa. Aku mengerti bagaimana kau menilai cinta seorang laki-laki, terhadap seorang perempuan dan sebaliknya. Tetapi kangmasmu seharusnya sudah dapat berpikir lebih dewasa Wignyana. Ia sudah harus dapat mencari keseimbangan antara perasaan dan penalarannya. Tidak usah meloncati Gunung dan tidak usah menyeberangi lautan.”

“Bukankah kita harus menghormati sikap seseorang?”

“Maksudmu agar kau menghormati sikap kangmasmu Madyasta?”

Wignyana menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Aku memang menghormati pendapatnya, Wignyana, seperti aku menghormati pendapatmu, sepanjang pendapat Madyasta dan pendapatmu itu mapan. Tetapi jika pendapat Madyasta, pendapatmu dan pendapat siapapun tidak mapan dan tidak sesuai dengan perasaan dan penalaranku, maka aku tentu akan mempersoalkannya.”

“Ayahanda. Apakah hamba boleh bertanya?”

“Bertanya tentang apa?”

“Ampun ayahanda. Apakah ayahanda bermaksud menjodohkan kangmas Madyasta dengan Kangmbok Rantamsari?”

“Cukup” tiba-tiba saja Kangjeng Adipati Prangkusuma itu membentak, “tinggalkan aku sendiri.”

“Ampun ayahanda.”

“Tinggalkan aku sendiri.”

Wignyana tidak berani menjawab lagi. Iapun kemudian berdesis, “Hamba mohon diri, ayahanda.”

Kangjeng Adipati tidak menyahut. Bahkan ia tidak memandang Wignyana saat anak muda itu keluar dari serambi samping.

Sepeninggal Wignyana, Kangjeng Adipati itu duduk sendiri.

Terasa jantungnya berdebaran. Kangjeng Adipati itu duduk sendiri. Terasa jantungnya berdebaran. Kangjeng Adipati itu merasa kecewa atas sikap Madyasta. Tetapi ia pun kecewa terhadap sikap Wignyana. “Apakah anak-anakku sekarang sudah berani menolak kata-kataku? Apakah mereka sudah tidak menghormati aku lagi sebagai ayahandanya, dan juga sebagai seorang Adipati?”

Kangjeng Adipati itu terkejut ketika cahaya kilat memancar menyilaukan. Kemudian disusul oleh suara guntur yang bagaikan memecahkan selaput telinga.

Sejenak kemudian, maka hujan pun turun bagaikan dicurahkan dari langit.

Dalam hujan yang lebat itu, Raden Madyasta melangkah menuju ke rumah Raden Ayu Prawirayuda. Raden Madyasta sama sekali tidak menghiraukan hujan yang justru menjadi semakin lebat. Langit yang hitam itu menjadi semakin kelam. Jalan-jalan menjadi hitam pekat. Hanya sekali-sekali kilat memancar dengan terangnya. Namun sekejap kemudian, ketika suara guruh meledak di langit, malam pun telah menjadi gelap kembali.

Tetapi Raden Madyasta berjalan terus. Meskipun Raden Madyasta itu seakan-akan tidak sempat memperhatikan jalan yang akan dilaluinya, namun Raden Madyasta tidak terperosok kedalam parit sebelah menyebelah jalan yang menjadi becek berlumpur.

Jantung putera Kangjeng Adipati Paranganom itu menjadi sangat gelisah. Apa yang dicemaskan oleh Rara Menur itu sudah membayang. Ayahandanya tidak mau menerima gadis Panjer itu menjadi menantunya.

“Rara Menur anak seorang yang mempunyai kedudukan. Ayahanda seorang Demang yang memerintah satu wilayah yang cukup luas dan mempunyai pengaruh yang memerintah satu wilayah yang cukup luas dan mempunyai pengaruh yang mantap di wilayahnya” berkata Madyasta didalam hatinya.

Tetapi dibanding dengan seorang Adipati, kedudukan seorang Demang memang terlalu kecil.

“Tetapi menurut pendapatku, keturunan tidak menentukan bobot seseorang. Orang itu sendiri yang harus menentukan harga bagi dirinya sendiri.”

Raden Madyasta berhenti melangkah ketika kakinya terperosok kedalam aliran air parit yang mulai meluap ke jalan yang dilewatinya.

Pakaian Raden Madyasta telah menjadi basah kuyup. Suara air hujan yang tumpah dari langit itu menjadi semakin gemuruh. Angin pun mulai bertiup semakin keras.

Sejenak kemudian, Madyasta meneruskan langkahnya. Angan-angannya kembali menerawang memandangi masa depannya yang mulia dibayangi kegelapan.

“Tentu bibi sudah memberitahukan kepada ayahanda, bahwa aku pernah berbicara tentang gadis Panjer itu“ berkata Madyasta didalam hatinya.

Madyasta menarik nafas dalam-dalam.

Ketika Raden Madyasta itu memasuki regol padukuhan, maka malam terasa menjadi semakin gelap. Air hujan yang menerpa pepohonan terdengar bagaikan arus banjir yang deras.

Raden Madyasta itupun kemudian berhenti didepan regol halaman rumah Raden Ayu Prawirayuda. Madyasta menjadi semakin kecewa terhadap bibinya. Ketika ayahandanya berceritera tentang sikap bibinya sehingga Kangjeng Adipati Yudapati marah kepadanya dan mengusirnya dari dalem kadipaten di Kateguhan, Madyasta sudah merasa kecewa terhadap bibinya. Apalagi bibinya agaknya sudah menyampaikan hubungannya dengan gadis Panjer itu kepada ayahandanya. Mungkin tanpa maksud apa-apa. Tetapi akibatnya telah membuatnya terperosok kedalam kesulitan.

Sebenarnya Madyasta ingin menyampaikan persoalannya itu sendiri kepada ayahandanya, pada saat-saat yang dianggapnya tepat. Tetapi yang terjadi tidak seperti yang diharapkannya.

Namun tiba-tiba saja Madyasta teringat kepada Ki Lurah Rembana yang telah tidak ada, terbunuh di halaman rumah bibinya itu, sehingga di dinginnya malam serta hujan yang lebat itu, jantung Madyasta terasa menjadi panas.

Tetapi Madyasta pun segera menyadari, bahwa ia sendiri harus berhati-hati. Mungkin orang yang telah membunuh Rembana itu telah membidik dirinya pula.

Raden Madyasta itupun kemudian memasuki halaman rumah bibinya.

Rumah itu nampak diam membeku. Hanya nyala lampu minyak itu pendapa sajalah yang bergerak-gerak di sentuh angin.

Namun angin yang keras pun kemudian telah mengguncang dedaunan di halaman.....

Madyasta itupun langsung pergi ke serambi gandok. Ketika ia naik ke pendapa, maka Sasangka yang mendengar langkah di serambi, membuka pintu biliknya dengan hati-hati.

“Raden” sapa Sasangka yang melihat Raden Madyasta basah kuyup di serambi.

Tergopoh-gopoh ia menyongsongnya.

“Raden berjalan terus dalam hujan yang lebat ini?” bertanya Sasangka.

“Ya, kakang. Aku harus segera sampai di rumah ini.”

“Bukankah disini sudah ada aku dan Wismaya.”

“Ya. Tetapi rasa-rasanya aku harus berada di rumah ini. Siang tadi aku telah melakukan kesalahan besar. Untunglah bahwa kakang Sasangka dapat mengatasinya. Jika terjadi sesuatu, maka aku akan menjadi sasaran kemarahan ayahanda.”

“Segala sesuatunya sudah lewat, Raden. Tidak ada persoalan yang gawat.”

“Ya. Tetapi bagaimanapun juga, aku masih saja diburu oleh perasaan bersalah.

Apalagi ayahanda telah marah kepadaku.”

“Marah?”

“Kakang” desis Raden Madyasta, “bukankah bibi telah memberitahukan kepada ayahanda, bahwa aku pergi ke Panjer?”

“Raden Ayu hanya mengatakan, mungkin Raden pergi ke Panjer.”

“Karena aku pernah berbicara dengan bibi tentang gadis Panjer itu?”

Sasangka tersenyum. Katanya, “Raden Ayu tidak bermaksud apa-apa. Raden Ayu hanya ingin menggoda Raden.”

“Tetapi akibatnya, ayahanda marah kepadaku. Nampaknya masa depanku menjadi muram. Jika bibi sekedar bergurau dan menggodaku, maka akibatnya menjadi sangat jauh.”

“Tentu bukan maksudnya, Raden. Tetapi apakah sebaiknya Raden berbicara dengan Raden Ayu, agar Raden Ayu datang menghadap Kangjeng Adipati untuk menjernihkan suasana?”

“Tidak. Tidak usah, kakang.”

Tiba-tiba saja Sasangka menyadari, bahwa pakaian Raden Madyasta itu basah kuyup. Bahkan tentu sampai pakaian dalamnya pula.

Karena itu, maka ia pun segera berkata, “Tetapi bukankah lebih baik, Raden berganti pakaian dahulu.”

Dimana kakang Wismaya sekarang?” bertanya Raden Madyasta.

“Wismaya berada di serambi belakang, Raden.”

Baiklah. Aku akan berganti pakaian dahulu.” Raden Madyasta pun segera masuk kedalam biliknya untuk berganti pakaian. Sementara Sasangka duduk di serambi gandok.

Ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Namun Raden Ajeng Rantamsari yang ketakutan karena peristiwa yang membawa kematian Rembana, serta tingkah laku pamannya, tidak tidur di biliknya sendiri. Tetapi Raden Ajeng Rantamsari tidur bersama ibunya.

“Senang juga tidur bersama ibu” desis Raden Ajeng Rantamsari, “rasa-rasanya seperti masa kanak-kanak itu kembali lagi.”

“Tetapi sekarang kau bukan kanak-kanak lagi, Rantamsari.”

“Ya, ibu. Namun masa kanak-kanak itu memang dapat menimbulkan kerinduan. Alangkah senangnya tinggal di Kadipaten Kateguhan saat itu, ibu. Hidup bermanja-manja dalam taman yang indah dengan beberapa orang dayang yang setia.”

“Kau tidak akan dapat kembali ke masa itu, Rantamsari. Tetapi bukan berarti bahwa kau tidak akan dapat menikmati kehidupan yang menyenangkan. Jika kita harus prihatin. sekarang, adalah sekedar pancadan untuk satu pencapaian. Yakinkan dirimu, Rantamsari, bahwa ibu akan berusaha untuk menemukan kebahagiaan di hari depanmu. Tentu saja kesenangan bagimu sekarang akan. jauh berbeda dengan kesenangan masa kanak-kanakmu.”

“Aku mengerti ibu.”

“Sekarang tidurlah.”

“Kadang-kadang aku merasa sulit untuk tidur.”

“Jangan merasa takut Rantamsari. Raden Madyasta serta kedua orang Senapati itu masih berada disini.”

“Ya, ibu. Tetapi ternyata kakang Rembana itu telah terbunuh pula di sini.”

“Mungkin angger Rembana itu menjadi lengah, Rantamsari. Ia mengira bahwa tidak akan ada bahaya apapun yang mengintainya disini.”

“Ya, ibu. Agaknya sekarang kakang Sasangka akan menjadi lebih berhati-hati.”

“Semuanya akan berhati-hati.”

Rantamsari menarik nafas dalam-dalam.

Beberapa saat Rantamsari masih belum dapat tidur. Ketika ibunya kemudian berdiam diri dengan tarikan nafas yang teratur, maka Rantamsari pun memejamkan matanya pula. Rasa-rasanya memang hangat tidur bersama ibunya, sementara hujan masih turun dengan derasnya.

Ketika malam berlalu, hujan pun telah berhenti. Di saat fajar menyingsing, langit kelihatan cerah. Tidak ada selembar awan pun yang mengapung di kemerahan cahaya matahari pagi.

Raden Madyasta yang sudah mandi dan berbenah diri, duduk di serambi gandok. Seorang abdi telah menghidangkan minuman hangat bagi Raden Madyasta serta kedua orang Senapati muda yang berada di rumah itu.

Namun abdi itu telah menyampaikan pesan Raden Ayu Prawirayuda, bahwa Raden Ayu ingin berbicara dengan Raden Madyasta.

“Tentang apa?” bertanya Raden Madyasta.

“Aku tidak tahu, Raden.”

“Baiklah. Aku akan menghadap bibi”

Ketika abdi itu meninggalkan Raden Madyasta, maka Raden Madyasta pun memberitahukan kepada Wismaya dan Sasangka, bahwa ia akan menemui Raden Ayu Prawirayuda.

“Bibi memanggil aku?” bertanya Raden Madyasta ketika ia menemui bibinya di serambi belakang.

“Ya. Raden. marilah, duduk di ruang dalam.”

“Sudahlah bibi, biarlah disini saja. Bukankah tidak ada bedanya.”

“Tetapi ruangan ini masih belum dibersihkan, ngger.”

“Tidak apa-apa bibi. Bukankah ruangan ini dan bahkan semua ruangan di rumah ini selalu nampak bersih dan terawat.”

“Ah, hanya sekedar menuruti selera Rantamsari.”

“Kangmbok Rantamsari ternyata mempunyai selera yang tinggi, bibi.”

Raden Ayu Prawirayuda tertawa.

“Ngger” berkata Raden Ayu Prawirayuda kemudian, “sebenarnyalah aku menyesal kemarin, bahwa meskipun niatku bergurau dan menggoda angger, aku telah mengatakan bahwa angger pergi ke Panjer untuk menemui seorang gadis cantik. Semalam aku mulai merenunginya. Jangan-jangan guraunku itu membuat adimas Adipati Prangkusuma merenunginya.”

Raden Madyasta menarik nafas panjang. Baginya, Raden Madyasta itu mendapat kesempatan untuk menyampaikan penyesalannya atas keterangan bibinya itu.

Karena itu, maka Raden Madyasta itupun menjawab, “Bibi. Ayahanda ternyata telah menjadi risau. Demikian aku datang, ayahanda langsung marah kepadaku.”

“Aku minta maaf, ngger. Aku benar-benar tidak memikirkan kemungkinan itu sebelumnya. Apa kata dimas Adipati?”

“Aku tidak pantas berhubungan dengan gadis desa anak seorang Demang itu.”

Raden Ayu Prawirayuda menundukkan wajahnya sambil berdesis, “Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak berpikir sejauh itu, ngger. Kapan-kapan jika aku menghadap dimas Adipati, aku akan mencoba untuk meluruskan persoalannya.”

“Tidak usah bibi. Biarlah aku saja yang kapan-kapan berbicara kepada ayah.”

“Aku yang telah menyalakan api kerisauan di hati dimas Adipati, ngger. Karena itu, biarlah aku yang memadamkannya”

“Tidak bibi. Persoalannya ada padaku . Karena itu, hanya akulah yang dapat mencari pemecahan bersama ayahanda.”

Raden Ayu Prawirayuda menarik nafas dalam-dalam.. Katanya, “Tetapi aku benar-benar minta maaf, ngger.”

“Sudahlah bibi. Ayah sudah terlanjur mempersoalkannya. Aku berharap bahwa pada suatu ketika aku mendapat kesempatan yang baik untuk menjelaskan persoalannya.”

“Ya, ngger -Raden Ayu Prawirayuda itu berhenti sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi ngger. Lepas dari kesalahan yang telah aku lakukan, aku ingin menasehatkan kepada angger, agar angger mendengarkan nasehat, petunjuk dan perintah-perintah ayahanda.”

Madyasta termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya, bibi.”

Raden Ayu Prawirayuda menatap wajah Raden Madyasta sejenak. Raden Ayu itu tidak tahu, apakah Raden Madyasta benar-benar mengiakan nasehatnya atau sekedar membuatnya puas.

Namun Raden Madyasta itupun kemudian minta diri untuk pergi ke gandok, menemui Wismaya dan Sasangka.

“Apakah ada pesan dari Raden Ayu Prawirayuda, Raden?” bertanya Wismaya.

“Persoalan pribadiku, kakang. Agaknya sebagai orang tua, bibi merasa wajib untuk memberiku nasehat.”

Wismaya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Sementara itu, Sasangka sudah menduga, bahwa persoalannya tentu menyangkut gurauan Raden Ayu Prawirayuda tentang gadis Panjer itu.

Hari-hari pun kemudian berlalu. Tidak ada peristiwa yang mengejutkan terjadi di rumah Raden Ayu Prawirayuda itu, Raden Madyasta tidak lagi meninggalkan rumah itu sehari penuh untuk pergi ke Panjer atau keperluan apapun. Wicitra dapat saja setiap saat datang, dan bahkan mungkin membawa satu dua orang kawan untuk mengambil Rantamsari.

Sementara itu, perhatian Rantamsari ternyata mulai tertambat kepada Sasangka. Meskipun Sasangka mempunyai sifat dan pembawaan yang berbeda sekali dengan Rembana, namun setelah Sasangka melepaskan Rantamsari dari tangan Wicitra, maka Raden Ajeng Rantamsari pun merasa berhutang budi kepadanya.

Banyak waktu-waktu yang dilewatinya bersama Sasangka yang masih saja melakukan kerja sehari-hari di rumah Raden Ayu Prawirayuda, sebagaimana Wismaya masih juga sering menganyam kerajinan tangan dari bambu.

Hubungan Sasangka dengan Raden Ajeng Rantamsari agaknya telah menarik perhatian Wismaya. Wismaya masih teringat apa yang dikatakan Sasangka kepada Rembana, sebelum Rembana terbunuh.

Tetapi Wismaya masih menahan diri untuk mencampurinya.

Dalam pada itu, Raden Madyasta kadang-kadang didera pula oleh keinginan untuk pergi ke Panjer. Tetapi setiap kali Raden Madyasta menjadi bimbang. Jika saja pada saat ia pergi, terjadi sesuatu di rumah bibinya, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Ayahandanya akan menjadi semakin marah, sehingga jalan pun akan dapat tertutup sama sekali.

Karena itu, maka Raden Madyasta pun berusaha untuk menahan diri. Ia masih mempunyai satu keyakinan, bahwa masih ada jalan untuk membuka hati ayahandanya.

Namun Raden Madyasta itu terkejut ketika seorang anak muda datang ke rumah Raden Ayu Prawirayuda untuk menemui Raden Madyasta.

“Kau siapa Ki Sanak?” bertanya Wismaya yang menemui anak muda itu.

“Aku seorang kawannya. Aku akan berbicara dengan Madyasta langsung.”

Wismaya itu termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia bertanya lebih lanjut, terdengar suara Madyasta, “Biarlah aku menemuinya, kakang.”

“Baik, Raden. Silahkan.”

Madyasta pun kemudian turun ke halaman menemui anak muda itu.

“Siapakah kau, Ki Sanak? -bertanya Raden Madyasta.

“Aku datang dari Panjer, Madyasta.

“Dari Panjer? Kau anak muda dari Panjer.”

“Ya”

“Aku belum pernah mengenalmu. Ketika aku berada di Panjer, aku tidak pernah bertemu dengan kau.”

“Aku belum lama pulang ke Panjer.”

“O” Raden Madyasta mengangguk-angguk.

“Sekarang, apakah keperluanmu?”

“Aku diutus oleh saudara seperguruanku”

“Saudara seperguruanmu? Siapakah saudara seperguruanmu itu.”

“Ia juga anak muda dari Panjer. Namanya Saminta.”

“Saminta. Kau diutus apa?”

“Saminta ingin menemuimu.”

“Dimana ia sekarang? Kenapa ia tidak datang kemari saja bersamamu.”

“Tidak. Ia ingin berbicara dengan kau. Tetapi tidak di rumah ini.”

“Persoalan apa yang akan dibicarakannya?”

“Sebaiknya kau bertemu dan berbicara dengan Saminta sendiri sudah siap menemuinya.”

Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Namun Wismaya lah yang bertanya, “Kenapa orang itu tidak mau datang kemari?”

“Saminta ingin berbicara dengan Madyasta tanpa ada orang lain. Persoalannya adalah persoalan yang sangat pribadi, sehingga ia memilih tempat yang terpisah dari orang lain.”

“Kau sendiri bagaimana?”

“Aku tidak akan mengikuti pembicaraan itu.”

Madyasta tidak segera dapat mengambil keputusan. Ia memang merasa bimbang, apakah anak muda itu berkata sejujurnya atau anak muda itu justru sudah memasang perangkap.

“Biarlah aku pergi bersama Raden” berkata Wismaya.

Raden Madyasta memandang Wismaya dengan kerut di dahi. Namun iapun kemudian berkata, “Kakang tetap tinggal di sini. Rumah ini tidak dapat ditinggalkan.”

Wismaya pun tanggap. Mungkin anak muda itu sekedar memancing agar Raden Madyasta dan para Senapati meninggalkan rumah ini. Pada saat yang demikian, akan dapat timbul bencana atas keluarga Raden Ayu Prawirayuda.

Namun untuk melepas Raden Madyasta sendiri, Wismaya juga merasa berkeberatan. Wismaya dan Madyasta belum mengenal orang itu, sehingga mereka tidak dapat langsung mempercayainya.

“Saudara seperguruanku tidak mempunyai banyak waktu. Aku minta kau segera datang.”

“Siapa menurutmu kau ini, he? Apakah kau kira kau dapat begitu saja memberikan perintah kepada Raden Madyasta?” geram Wismaya.

“Kau tidak usah turut campur. Persoalannya adalah antara saudara perguruanku dengan Raden Madyasta.”

Raden Madyasta memang tersinggung pula oleh sikap orang itu. Karena itu, maka Raden Madyasta itu justru menjawab, “Aku tidak ingin datang sekarang. Jika saudara seperguruanmu itu tidak mempunyai waktu, biarlah ia datang kemari segera.”

“Ternyata benar dugaan saudara seperguruanku itu.”

“Apa yang diduganya.”

“Yang namanya Madyasta, putera Kangjeng Adipati Prangkusuma adalah seorang pengecut.”

Dahi Madyasta berkerut. Sementara itu Wismaya bergeser maju. Namun Wismaya itu justru terkejut mendengar Raden Madyasta tertawa sambil berkata, “Cara yang sudah tidak patut lagi dipergunakan sekarang untuk memaksakan kehendak. Kau sengaja menyinggung perasaanku agar aku memenuhi kemauanmu.”

“Maksudmu?”

“Mungkin caramu itu dapat kau trapkan terhadap seseorang yang mempunyai harga diri setinggi awan di langit, namun yang jiwanya masih kekanak-kanakan. Tetapi kau tidak dapat memancingku dengan cara itu.”

“Kau memang seorang pengecut.”

“Ya. Aku memang seorang pengecut. Nah, sampaikan kepada saudara seperguruanmu, bahwa Madyasta, putra Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom adalah seorang pengecut.”

Anak muda itu menggeram, “Kau harus pergi menemui saudara seperguruanku sekarang.”

“Sekehendakku. Kapan saja aku mau bertemu dengan saudara seperguruanmu itu. Tetapi aku malas pergi sekarang. Jika ia mau datang kemari, biarlah ia datang.”

“Kau akan menjebaknya.”

“Mungkin.”

“Iblis kau.”

“Sebut apa saja sekehendakmu. Tetapi aku tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan saudara seperguruanmu itu, sehingga ia tidak berhak memerintah aku, memanggil aku atau memaksa aku untuk memenuhi keinginannya. Jika ia ingin menyebut aku pengecut, penakut, iblis atau apa saja, aku tidak peduli.”

“Persetan kau Madyasta. Terserahlah kepadamu apakah kau akan datang atau tidak. Kakak seperguruanku menunggu di Bukit Sepikul, di sebelah Barat bulak sebelah. Di makam tua diantara dua buah bukit kecil itu.”

“Ya. Terserah kepadaku. Apakah aku akan datang atau tidak”

Anak muda itu menggeretakkan giginya. Namun dalam puncak kemarahannya anak muda itu berkata, “Bagaimanapun juga saudara seperguruanku menunggumu. Ia tidak dapat melepaskan Rara Menur ke tanganmu, meskipun kau anak seorang Adipati.”

“Rara Menur?” wajah Madyasta menjadi tegang.

Anak muda itu justru melihat sentuhan perasaan Madyasta. Karena itu, maka ia berusaha untuk menghembusnya, “Kau mengenal Rara Menur? Kau curi gadis itu dari sisi saudara seperguruanku pada saat kami berguru. Sekarang kami sudah pulang. Saudara seperguruanku siap membuat perhitungan denganmu.”

Jantung Madyasta berdegup semakin keras.

Namun Wismaya lah yang kemudian menyahut, “Saudara seperguruanmu memang tidak tahu malu. Gadis itu mencintai Raden Madyasta. Karena itu, ia tidak perlu melakukan kerja sia-sia. Apa yang akan dilakukannya jika ia sudah bertemu dengan Raden Madyasta?”

“Ia harus mengambilnya dengan cara seorang laki-laki.”

“Apa yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki?”

“Seharusnya seorang laki-laki tidak mencuri perempuan yang sudah menjadi milik orang lain. Jika ia memang menginginkannya, maka ia harus mengambilnya dengan beradu dada.”

Wismaya yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan cara Raden Madyasta menanggapi sikap anak muda itu menjawab, “Cara itu memang pernah dilakukan oleh orang-orang yang masih belum beradab. Perempuan dihargai seperti benda-benda mati yang tidak bernalar budi.”

“Kau tidak usah mencampuri persoalan ini. Pergilah.”

Sebenarnyalah darah Wismaya terasa bagaikan mendidih. Tetapi ia masih saja mempergunakan cara yang sudah ditempuh oleh Madyasta, meskipun jantung Madyasta sendiri hampir saja terbakar.

“Kenapa aku tidak boleh mencampuri persoalan ini, sedang kau juga turut campur?”

“Aku saudara seperguruannya.”

“Apa peduliku dengan saudara seperguruan? Pokoknya kau orang lain yang mencampuri persoalan ini seperti aku.”

“Persetan kau. Aku akan membuat perhitungan dengan kau kemudian.”

“Terserah saja kepadamu.”

“Aku tidak berkepentingan dengan kau” lalu katanya kepada Madyasta, “jadi kau tidak berani datang bersamaku, Madyasta?.”

Sebenarnyalah telah terjadi gejolak di dalam dada Madyasta. Tetapi ia masih berusaha menguasai dirinya. Karena itu, maka iapun menjawab, “Terserah kau menyebutku. Aku akan datang jika aku sudah ingin datang.”

“Kau dapat datang dengan membawa seorang saksi. Aku akan menjadi saksi dari saudara seperguruanku.”

Madyasta menjawab seenaknya, “Terserah kepadaku.”

“Tetapi jika kau benar-benar seorang pengecut, kau dapat membawa sepasukan prajurit. Laporkan kepada ayahmu dan minta perlindungan kepadanya.”

Darah Raden Madyasta tersirap. Bahkan Wismaya hampir saja tidak dapat menahan diri lagi. Namun anak muda itupun kemudian berkata, “Sekali lagi dengar kata-kataku. Saudara seperguruanku menunggumu di bukit Sepikul.”

Namun Raden Madyasta dan Wismaya masih saja acuh tak acuh.

Sambil menggeram anak muda itupun segera meninggalkan Madyasta dan Wismaya.

Demikian orang itu beringsut, maka Madyasta pun menggeram, “Aku akan menemuinya, kakang.”

“Aku akan pergi bersama Raden. Bukankah anak muda itu mengatakan bahwa Raden dapat membawa seorang saksi.”

Tetapi aku mencemaskan keluarga ini, kakang. Mungkin yang dilakukan oleh anak muda itu sekedar memancing agar kita pergi meninggalkan rumah ini.

Kemudian paman Wicitra itu datang untuk mengambil kangmbok Rantamsari. Jika itu terjadi, alangkah marahnya ayahanda. Apalagi persoalan yang memancing kita keluar dari rumah itu adalah persoalan perempuan. Persoalan gadis Panjer yang bagi ayahanda merupakan ceritera yang kurang menarik.”

“Apakah Raden akan pergi sendiri?”

“Menilik sikap dan kata-katanya, anak muda itu dan mudah-mudahan juga saudara seperguruannya, adalah seorang yang sangat menjunjung harga diri, sehingga mereka tidak akan berbuat curang dan licik.”

“Tetapi kadang-kadang apa yang kita lihat pada gelar lahiriahnya, berbeda dengan apa yang tidak kasat mata.”

“Aku mengerti, kakang.”

“Karena itu, jangan pergi sendiri.”

Madyasta termangu-mangu sejenak. Sementara Wismaya pun berkata, “Aku akan berbicara dengan Sasangka. Ia berada di belakang. Mungkin ia tidak berkeberatan berada di rumah ini sendiri pada saat kita pergi.”

“Kakang Sasangka seorang diri?”

“Ya.”

“Aku tetap mencemaskan keluarga ini.”

Wismaya menarik nafas panjang. Ia mengerti kecemasan Raden Madyasta. Memang mungkin saja anak muda itu sekedar menjadi umpan untuk memancing para pengawal di rumah itu keluar.

Namun tiba-tiba saja Madyasta berkata, “Bagaimana dengan Wignyana?”

“Maksud Raden?”

“Aku akan pergi bersama Wignyana ke Bukit Sepikul. Sedangkan kakang Wismaya dan kakang Sasangka tetap berjaga-jaga di rumah itu.”

“Sebenarnya aku ingin pergi bersama Raden. Sebenarnya aku tersinggung oleh sikap anak muda yang datang atas nama saudara seperguruannya itu.”

“Biarlah nanti aku berbicara dengan Wignyana. Jika Wignyana tidak berkeberatan, biarlah ia berada disini selama kita pergi.”

“Baik, Raden.”

“Tetapi dapat saja terjadi Wignyana memilih untuk pergi bersamaku.”

“Jika demikian, apa boleh buat.”

“Nah, kakang. Aku minta tolong kepadamu. Pergilah ke kadipaten. Temui Wignyana. Tetapi ayahanda tidak perlu mengetahuinya. Pesankan itu kepada Wignyana.”

“Baik, Raden.”

“Ajak Wignyana kemari, Nanti kita akan membicarakan, siapakah yang akan pergi bersamaku.”

Wismaya pun segera pergi ke kadipaten untuk menemui Wignyana seperti yang dipesankan oleh Raden Madyasta.

Sementara itu, Raden Madyasta telah menemui Sasangka untuk memberitahukan persoalan yang sedang dihadapinya.

“Kenapa Raden tidak memanggil aku?” Sasangka justru menyesal, “seharusnya Raden tidak membiarkannya pergi. Kita akan dapat memaksanya berbicara, apa yang sesungguhnya sedang dilakukan. Apakah ia benar-benar datang atas nama-saudara seperguruannya, atau ia memang sedang memancing kita keluar dari rumah ini.”

“Aku akan pergi menemuinya. Menilik sikap anak muda itu, mereka tentu orang-orang yang sangat menjunjung harga diri. Mungkin mereka adalah anak-anak muda yang baru keluar dari sebuah perguruan, sehingga rasa-rasanya ingin mencoba kemampuan yang sudah dipelajarinya.”

“Belum tentu, Raden. Mungkin justru sebuah jebakan.”

“Karena itu, aku akan datang bersama seseorang. Mungkin dimas Wignyana. Tetapi mungkin juga kakang Wismaya.”

“Jika Raden menghendaki, aku bersedia pergi bersama Raden.”

“Sebaiknya kakang Sasangka berada disini. Agaknya kakang Wismaya yang sudah tersinggung perasaannya itu, ingin bertemu lagi dengan anak muda yang tadi datang kemari.”

“Aku yang tidak langsung bertemu dengan anak itupun merasa tersinggung.”

“Jika aku pergi bersama kakang Wismaya sampai senja tidak kembali, kakang tahu apa yang harus kakang lakukan. Kakang memerlukan sekelompok prajurit. Sebagian untuk menjaga rumah ini, dan sebagian yang lain akan pergi bersama kakang Sasangka dan Wignyana untuk mencari aku.”

“Baik, Raden.”

Raden Madyasta tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda berhenti di regol halaman rumah Raden Ayu Prawirayuda.

Ternyata Wignyana dan Wismaya datang dengan mengendarai kuda.

“Bukankah ayahanda tidak mengetahui, dimas?” bertanya Madyasta kemudian.

“Tidak, kangmas. Kami menyelinap begitu saja. Derap kaki kuda tidak lagi menarik perhatian ayahanda. Setiap hari aku bermain-main dengan kuda-kudaku.”

Keempat orang anak muda itupun kemudian duduk di serambi gandok. Kepada adiknya, Raden Madyasta pun mengemukakan persoalan yang dihadapinya.

“Kakang Wismaya sudah mengatakan serba sedikit. Karena itu, kami membawa dua ekor kuda. Biarlah kita berkuda ke Bukit Sepikul. Bukankah Bukit Sepikul letaknya agak jauh?”

“Tetapi Raden” berkata Wismaya, “bukankah aku mohon, agar aku sajalah yang pergi bersama Raden Madyasta.”

“Kenapa harus kakang Wismaya? Aku akan pergi menjadi saksi.”

“Tetapi orang itu sudah menyinggung perasaanku, Raden. Jika benar apa yang akan dikatakan-nya, ia akan menantangku.”

Raden Wignyana mengerutkan dahinya. Dipandanginya kakaknya yang juga termangu-mangu.

Namun Raden Wignyana itu pun kemudian bertanya, “Jika kakang Wismaya pergi, aku harus tinggal di rumah ini?”

“Keadaan yang khusus” sahut Wismaya.

Wignyana nampaknya menjadi bimbang. Sementara Wismaya berkata pula, “Sekali-sekali Raden menikmati tugas yang menjemukan ini. Biarlah kami menikmati sedikit perubahan suasana.”

“Baiklah” berkata Raden Wignyana, “aku akan berada disini bersama kakang Sasangka.”

“Sebenarnya aku menjadi iri” berkata Sasangka, “jika saja aku diperkenankan ikut.”

“Aku akan menuntaskan persoalanku dengan anak muda yang datang tadi” berkata Wismaya.

“Jika demikian, pakai kudaku, kangmas. Kakang Wismaya sudah membawa seekor kuda dari kadipaten.”

“Terima kasih” sahut Raden Madyasta sambil menepuk bahu adiknya. Katanya, “Bibi tidak usah tahu. Semakin banyak yang bibi ketahui, hanya akan menyusahkan aku saja.”

“Baiklah, kangmas.”

Sejenak kemudian, maka Madyasta dan Wismaya telah meninggalkan rumah Raden Ayu Prawirayuda. Sementara itu Raden Wignyana telah menggantikan tugas mereka berada di rumah itu bersama Sasangka.

Namun Sasangka tidak lama menemani Raden Wignyana. Sejenak kemudian, maka Sasangka itupun berkata, “Silahkan Raden beristirahat di gandok. Aku akan pergi ke belakang. Bagian belakang rumah ini juga memerlukan pengawasan.

“Silahkan, kakang. Aku akan duduk disini saja agar bibi tidak mengetahuinya, bahwa aku berada disini.”

Untuk beberapa lama Raden Wignyana duduk di serambi gandok. Namun ia segera merasa jemu. Karena itu, maka Raden Wignyana itupun bangkit berdiri dan berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian turun ke halaman dan melangkah kebelakang gandok melihat-lihat tanaman perdu yang dipelihara rapi. Beberapa batang pohon melinjo tampak berdiri berjajar beberapa langkah dari dinding halaman samping.

Namun Raden Wignyana itu melangkah semakin jauh ke belakang. Bahkan kemudian Raden Wignyana itu sampai ke bagian belakang rumah yang terhitung besar itu lewat halaman samping.

Namun tiba-tiba saja Raden Wignyana itu meloncat ke balik sudut bagian belakang rumah yang besar itu. Di halaman belakang ia melihat Sasangka duduk di atas lincak bambu yang dibuat oleh Wismaya dibawah sebatang pohon jambu air yang rindang.

Tetapi Sasangka tidak sendiri. Ia duduk di lincak bambu itu bersama Raden Ajeng Rantamsari.

Raden Wignyana menarik nafas panjang. Namun seakan berjingkat itupun bergeser surut dan kemudian kembali ke serambi gandok.

Ketika Raden Wignyana itu duduk di serambi, rasa-rasanya nafasnya menjadi terengah-engah, seakan-akan Raden Wignyana itu baru saja berlari menjelajahi lereng-lereng bukit.

Dalam pada itu, Raden Madyasta dan Wismaya melarikan kudanya menuju ke Bukit Sepikul. Diantara dua buah bukit kecil terdapat sebuah kuburan tua yang terasing. Menurut anak muda yang datang menemuinya, anak muda Panjer yang bernama Saminta menunggunya di kuburan tua itu.

Sebenarnyalah Saminta berada di kuburan tua itu. Ketika saudara seperguruannya datang, maka dengan serta-merta Saminta itu bertanya, “Mana anak Adipati itu.”

“Anak itu gila, kakang” jawab saudara seperguruannya.

“Kenapa?”

Ia pun segera menceritakan tanggap Raden Madyasta tentang tantangan Saminta.

“Kau juga bodoh” geram Saminta, “jika kau katakan dengan baik-baik, ia tidak akan tersinggung dan bersikap seperti orang gila dengan membiarkan dirinya direndahkan. Sikap itu adalah sikap untuk sekedar membalas sakit hatinya karena sikapmu.”

“Aku memang berniat menyakiti hatinya, agar ia menjadi marah dan segera berlari kemari.”

“Tetapi yang terjadi adalah-sebaliknya.”

“Ya.”

“Meskipun demikian aku yakin bahwa ia akan datang.”

“Ia akan datang? Tetapi ia tentu mengulur waktu atau membawa sekelompok prajurit untuk menangkap kita.”

“Tidak. Aku yakin ia datang sendiri atau dengan seorang saksi.”

“Ia benar-benar seorang pengecut, Ia sendiri tidak ingkar.”

“Kau yang dungu. Sudah aku katakan, sikapnya itu merupakan satu cara untuk membalas membuat kita marah, jengkel dan barangkali kehilangan gairah untuk berperang tanding.”

Saudara seperguruannya itu menarik nafas dalam-dalam.

“Kita tunggu anak itu disini.”

“Sampai kapan.”

“Sampai senja.”

“Dan membiarkan kita ditangkap oleh sepasukan prajurit yang dibawanya.”

“Tidak. Tidak. Kau dengar? Ia akan datang tanpa prajurit. Aku yakin itu.”

Saudara seperguruannya itu menjadi gelisah. Agaknya ia masih saja curiga, bahwa Madyasta, anak seorang Adipati itu akan datang membawa pengawal-pengawalnya.

Tetapi Saminta masih saja duduk di tempatnya. Jika Saminta kemudian nampak gelisah, bukan karena ia menjadi ketakutan, bahwa sekelompok prajurit pengawal akan datang menangkapnya. Tetapi ia mulai menjadi gelisah, bahwa Madyasta benar-benar tidak akan datang.

Namun ketika .kegelisahan Saminta menjadi semakin bergejolak didalam dadanya, tiba-tiba saja terdengar derap kaki dua ekor kuda mendekati kuburan tua itu.

Dengan serta merta Saminta pun bangkit berdiri. Ketika ia bergeser, ia melihat dua orang anak muda diatas punggung kuda yang kemudian berhenti di depan regol kuburan tua itu.

Dada Saminta menjadi berdebar-debar. Diatas Punggung kuda, Raden Madyasta nampak berdebar-debar. Diatas punggung kuda, perang yang sedang memimpin pasukan segelar-sepapan. Sedang dibelakangnya, seorang anak muda yang gagah. Tubuhnya nampak kokoh kuat. Nampaknya anak muda itu adalah seorang prajurit yang tangguh.

“Itulah orangnya” desis saudara seperguruan Saminta.

“Aku sudah mengira bahwa orang itulah yang bernama Raden Madyasta. Nah, bukankah perhitunganku benar, bahwa anak muda itu akan datang? Tidak dengan sekelompok prajurit pengawal yang akan menangkap kita.”

“Yang seorang itu adalah prajurit yang juga berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda.”

“Ia datang sebagai saksi. Bukankah kau mengatakan, bahwa Madyasta dapat membawa seorang saksi?”

“Ya.”

Saminta menarik nafas panjang. Iapun kemudian melangkah keluar dari regol kuburan tua yang sudah menjadi asing itu. Kuburan yang nampak gelap ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar. Beberapa buah nisan dan cungkup sudah rusak dan bahkan runtuh. Sedangkan regolnya pun sudah mulai nampak miring.

Agaknya kuburan itu sudah tidak lagi dipergunakan. Tidak ada lagi orang yang menguburkan mayat keluarganya di kuburan tua itu.

Ketika Saminta sudah berdiri di luar regol kuburan tua itu, Raden Madyasta pun menyapanya, “Kaukah yang bernama Saminta?”

“Ya. Dan tentu kau anak Adipati yang sombong itu. Maksudku kaulah yang sombong, bukan Adipati Prangkusuma.”

“Apakah sudah menjadi ciri dari perguruanmu, bahwa pada saat bertemu dengan seseorang, dikenal atau tidak, kalian harus menyinggung perasaannya dan menyakiti hatinya?”

“Tergantung dengan siapa aku berhadapan. Jika aku berhadapan dengan seorang yang baik, yang rendah hati dan tahu diri, maka aku pun bersikap baik. Tetapi aku tidak akan bersikap baik dihadapan anak muda yang sombong, licik dan tidak tahu malu.”

Jantung Raden Madyasta berdegup semakin cepat. tetapi ia masih saja tetap mengendalikan dirinya. Karena itu, tanpa menunjukkan gejolak perasaannya, Raden Madyasta itupun berkata, “Menurut saudara seperguruanmu, kau merasa kehilangan seorang perempuan.”

“Ya. Kau datang ke Panjer dengan memamerkan kelebihanmu menghancurkan segerombolan pencuri ayam itu! Orang-orang Panjer yang tidak pernah melihat luasnya cakrawala memang akan terkagum-kagum. Mereka yang setiap hari bergumul dengan kambing untuk digembalakan atau mereka yang setiap hari merendam kakinya di lumpur, akan menganggap bahwa anak laki-laki Adipati Paranganom telah datang untuk menyelamatkan mereka. Tetapi bagi orang yang pernah melintas batas pandangan mata yang sempit itu, tidak akan menjadi dapat melakukannya. Mengusir dan menakut-nakuti sekelompok pencuri ayam itu.”

“Sekarang kau datang untuk menunjukkan bahwa kau baru turun dari sebuah perguruan.”

“Bukan itu. yang penting. Tetapi setelah kau dikagumi oleh rakyat Panjer, maka kau merasa berhak untuk berbuat apa saja. Apalagi kau anak seorang Adipati. Nah, dengan payung nama kebesaran ayahmu, kau ambil gadisku.”

“Rara Menur maksudmu?”

“Ya”

“Tetapi Rara Menur tidak pernah menyebut-nyebut nama Saminta. Ia pun tidak pernah mengatakan bahwa hatinya pernah tertambat kepada seseorang.”

“Tentu saja. Kau datang dengan pakaian yang gemerlap diiringi oleh beberapa orang prajurit yang sangat menghormatimu. Bahkan Ki Demang Panjer pun menghormatimu pula seperti menghormati Kangjeng Adipati itu sendiri.”

“Saminta” berkata Raden Madyasta kemudian, “sekarang sudah bukan waktunya lagi untuk menganggap seorang perempuan seperti barang mati. Rara Menur adalah seorang yang hidup, yang mempunyai nalar budi. Rara Menur pun adalah seorang yang dapat mengemukakan perasaannya. Ia dapat mengatakan, apa yang diinginkannya. Karena itu, datanglah kepadanya. Bertanyalah, siapakah yang dipilihnya. Kau atau aku. Aku akan menghormati sikapnya. Jika ia memilih kau, Saminta, aku akan dengan senang hati menyingkir. Tetapi jika ia memilih aku, maka kaulah yang harus menepi.”

“Omong kosong” geram Saminta aku tidak mau memakai cara seorang pengecut yang akan berlindung dibalik pengertian cinta sejati. Aku tidak mengenal cinta sejati. Sebagai laki-laki aku akan merebut perempuan yang aku ingini. Sekarang aku ingin Menur. Aku tidak tahu, apakah aku masih mengingininya tiga empat tahun mendatang. Jika waktunya aku melemparkan perempuan itu tiba, ambillah. Aku tidak akan peduli lagi.”

Gejolak yang dahsyat mengguncang dada Raden Madyasta. Tiba-tiba saja ia meloncat turun dari kudanya. Demikian pula Wismaya. Namun agaknya Wismaya yang sudah lebih tua dari Madyasta meskipun selisihnya tidak begitu banyak, juga karena Wismaya tidak langsung tersentuh oleh persoalannya, maka gejolak di dadanya tidak sedahsyat gejolak di dada Madyasta.

Karena itu ketika Raden Madyasta dibakar oleh kemarahannya, Wismaya masih sempat berkata, “Saminta. Perampok-perampok di Panjer, yang telah dihancurkan oleh Raden Madyasta, adalah mereka yang sering mengganggu ketenangan rakyat Panjer. Mereka merampok harta benda rakyat yang tidak berdaya. Ternyata kau pun seorang diantara mereka, meskipun sasaran perampokanmu berbeda.”

“Kau sebut aku perampok?”

“Ya. Kau telah berusaha merampok hati seorang gadis.”

Saminta menggeram. Sementara itu, justru jantung Raden Madyasta menjadi sedikit tenang, sehingga ia sempat menyambung kata-kata Wismaya, “Aku masih menghormati mereka yang merampok ayam, karena ayam itu tidak dapat bersikap. Tetapi seorang gadis mampu bersikap. Mampu memilih mana yang baik baginya dan mana yang tidak baik.”

“Itu tidak adil. Jika sekarang seseorang bertanya kepada Rara Menur, ia tentu akan memilihmu. Kau adalah anak seorang Adipati, sedangkan aku hanyalah anak orang kebanyakan.”

“Nah, kau sadari kekuranganmu? Aku anak Adipati dan kau anak orang kebanyakan. Karena itu, seharusnya kau sadari keadaan itu, sehingga kau harus minggir.”

“Persetan dengan celotehmu itu Madyasta. Meskipun aku anak orang kebanyakan, tetapi aku merasa diriku laki-laki yang akan berhadapan dengan kau sebagai laki-laki juga.”

“Baiklah Saminta. Jika cara orang-orang yang masih belum mengenai peradaban ini yang kau pilih, aku tidak akan menghindar. Aku akan berusaha untuk masuk kedalam suasana liar sebagaimana seekor harimau betina diperebutkan oleh beberapa ekor harimau jantan.”

“Jangan berlindung dibalik peradaban. Apapun namanya, aku tentang kau bertempur untuk menunjukkan siapakah diantara kita yang terbaik bagi Rara Menur.”

Raden Madyasta tidak menjawab lagi. Tetapi iapun bergeser ke tempat yang lebih lapang, diatas rerumputan yang kering.

Wismaya mengikat kudanya dan kuda Raden Madyasta pada sebatang pohon cangkring tidak jauh dari regol kuburan itu.

“Bersiaplah” berkata Saminta, “adik seperguruanku akan menjadi saksi.”

Raden Madyasta tidak menjawab. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika Saminta bergeser selangkah, Raden Madyasta pun bergeser pula.

“Kau akan menyesal Madyasta. Aku telah menguasai ilmuku sampai tuntas. Kau tidak akan mampu menandinginya, siapapun kau.”

Raden Madyasta sama sekali tidak menjawab. Tetapi ketika Saminta meloncat menyerang, dengan tangkasnya Raden Madyasta mengelak.

Dengan demikian, maka pertempuran diantara kedua orang anak muda ia telah menyala. Dengan garang, Saminta yang merasa dirinya telah tuntas menuntut ilmu itu, menyerang Raden Madyasta seperti angin Prahara.

Raden Madyasta memang harus berloncat surut. Tetapi itu bukan berarti bahwa ia mengalami kesulitan dengan lawannya itu.

Dalam loncatan-loncatan pertama, Raden Madyasta masih ingin menjajagi kekuatan dan kemampuan lawannya. Karena itu, maka Raden Madyasta masih lebih banyak menyesuaikan dirinya.

Namun serangan-serangan Saminta itupun datang membadai. Ia tidak menyia-nyiakan waktu sekejap pun. Jika Raden Madyasta berloncatan surut, maka Saminta pun dengan cepat memburunya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar