Meraba Matahari Jilid 06

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
“Tapi bibimu menjadi semakin tua, Madyasta. Kecuali itu mungkin bibimu membayangkan bahwa yang datang tentu orang berilmu tinggi dan bahkan mungkin tidak hanya seorang. Mereka adalah orang-orang yang mendapat tugas tertentu di rumah bibimu Prawirayuda. Bahkan bibimu menghubungkan peristiwa itu dengan kemarahan kakangmasmu Adipati Yudapati di Kateguhan.”

“Ayahanda. Bibi sekarang sudah berada di Paranganom. Kakangmas Yudapati tidak mempunyai wewenang lagi untuk mengganggunya. Jika itu masih juga dilakukannya, maka ia akan berhadapan dengan kekuatan yang ada di Paranganom.”

“Itulah sebabnya, maka bibimu mohon perlindunganku.”

“Apakah ayahanda akan memerintahkan hamba untuk memilih beberapa orang prajurit terbaik untuk menjaga rumah bibi Prawirayuda?”

“Madyasta. Aku memang akan memberi perintah kepadamu. Tetapi tidak untuk memilih sekelompok prajurit terbaik. Bibimu justru menginginkan kau bersama tiga orang Senapati muda yang beberapa hari yang lalu bersamamu menghancurkan segerombolan brandal di Panjer.”

“Hamba sendiri ayahanda?”

“Ya.”

“Hamba bersama kakang Rembana, Sasangka dan Wismaya?”

“Ya.”

“Kenapa harus hamba dan ketiga orang Senapati itu? Bukankah ayahanda dapat memerintahkan sekelompok prajurit pilihan untuk berada di rumah bibi Prawirayuda?. Mereka akan dilengkapi dengan kentongan yang dapat memberikan isyarat kepada lingkungannya, jika keadaan memaksa sehingga mereka sendiri tidak dapat mengatasinya.”

“Bibimu merasa tenang jika kau dan ketiga orang Senapati yang telah berhasil menghancurkan gerombolan di Panjer itu berada disana untuk sementara. Bibimu membayangkan bahwa yang melakukan itu ada sangkut pautnya dengan kakangmasmu Adipati Kateguhan. Sehingga orang-orang yang datang itu tidak hanya beberapa orang penjahat kecil. Tetapi mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.”

Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Katanya dengan nada berat, “Bukanya hamba menolak perintah ayahanda. Tetapi bukankah tugas ini bukan tugas yang amat berat. Untuk menggantikan kami berempat, dapat ditugaskan prajurit yang jumlahnya tiga kali lipat, yang dapat mengawasi rumah itu di segala sisinya.”

“Aku mengerti, Madyasta. Tugas ini memang bukan tugasmu dan bukan pula tugas ketiga orang Senapati muda itu. Tetapi biarlah meskipun hanya sepekan saja kau penuhi keinginan bibimu itu.”

“Jika ayahanda menghendaki, hamba akan menjalaninya.”

“Baik. Sampaikan perintahku kepada Rembana, Sasangka dan Wismaya”

“Hamba ayahanda. Apakah hamba harus membawa mereka menghadap atau hamba akan langsung membawa mereka ke rumah bibi?”

“Pergilah langsung ke rumah bibimu. Kau tidak perlu lagi menghadap. Rumah bibimu cukup besar untuk memberi tempat bagi kalian berempat.”

“Hamba ayahanda. Hamba bersama ketiga orang . Senapati muda itu akan langsung pergi ke rumah bibi nanti sore.”

“Jangan menunggu malam. Bibimu akan menjadi sangat gelisah.”

“Hamba ayahanda.”

Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta pun mohon diri. Ia merasakan tugas yang dibebankan kepadanya itu adalah tugas yang aneh. Tugas yang sebenarnya dapat dilakukan oleh para prajurit. Bukan harus dilakukannya sendiri. Sedangkan para Senapati muda itu juga mempunyai tugas mereka masing-masing, sehingga keberadaan mereka di rumah bibinya akan terasa sangat menjemukan. Raden Madyasta dan ketiga orang Senapati muda itu akan merasa membuang waktu dengan sia-sia.

Tetapi Raden Madyasta tidak dapat menolak, pertimbangan ayahandanya tentu bukan sekedar tentang tugas semata-mata. Tetapi juga karena ayahandanya menghormati saudara tuanya, Kangjeng Adipati Prawirayuda yang sudah tidak ada lagi.

Pagi itu juga, Raden Madyasta telah melarikan kudanya menemui Rembana, Sasangka dan Wismaya.

Mula-mula ketiganya mengira, bahwa mereka akan mendapat tugas baru ditempat lain, yang perlu segera mendapat penyelesaian. Namun perintah yang mereka terima adalah, bahwa mereka harus berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda yang merasa terancam oleh perbuatan orang yang tidak dikenal.

“Kapan kita harus mulai tinggal di pesanggrahan itu?” bertanya Rembana.

Sasangka tertawa. Katanya, “Jangan meremehkan tugas ini. Siapa tahu bahwa yang datang adalah hantu-hantu yang mempunyai kekuatan melebihi kekuatan manusia.”

“Mungkin. Tetapi bagaimanapun juga tidak ada mahluk yang dapat mengalahkan manusia di dunia ini. Karena itu, seandainya hal itu dilakukan oleh hantu-hantu sekalipun, kita akan mengatasinya.”

Seperti biasanya Wismaya hanya tersenyum saja. Ia tidak banyak berbicara, meskipun kadang-kadang ia dapat bergurau pula.

Dalam pada itu, maka Raden Madyasta pun berkata “Nanti malam kita harus sudah berada di rumah bibi.”

“Apakah kami harus menghadap Raden di dalem Kadipaten?”

“Tidak. Kita akan langsung berangkat ke rumah bibi.”

“Kita masing-masing pergi ke sana sendiri?”

“Kita akan berkumpul di barak kakang Wismaya. Kita akan berangkat bersama-sama dari barak itu.”

“Baiklah. Kita akan berkumpul sebelum senja. Kemudian kita akan bersama-sama menuju ke rumah Raden Ayu Prawirayuda” desis Wismaya.

Namun Rembana pun bertanya, “Apakah kita tidak perlu menghadap Kangjeng Adipati lebih dahulu?”

“Tidak” jawab Raden Madyasta, “ayahanda sudah memerintahkan kepadaku untuk bersama kalian langsung saja menuju ke rumah bibi.”

Ketiga orang Senapati muda itu mengangguk-angguk.

Agaknya Raden Madyasta merasa kerasan tinggal di barak prajurit. Ia berada di barak Wismaya sampai lewat tengah hari. Sementara itu Rembana dan Sasangka telah mendahuluinya meninggalkan barak Wismaya.

Pada saat Raden Madyasta masih berada di barak Wismaya, menjelang tengah hari Ki Tumenggung Wiradana dan ki Tumenggung Sanggayuda telah datang menghadap Kangjeng Adipati Prangkusuma. Mereka datang dari Kateguhan langsung pergi ke dalem kadipaten.

Kangjeng Adipati yang mendapat laporan dari seorang prajurit salah seorang narpacundaka yang bertugas telah memerintahkan kepadanya untuk mempersilahkan kedua orang Tumenggung itu duduk menunggu di pringgitan.

Tetapi mereka tidak lama menunggu. Sejenak kemudian Kangjeng Adipati pun telah berada di pringgitan pula.

“Apakah kalian baru datang dari Kateguhan?”

“Ya, Kangjeng Adipati. Kami berdua baru datang dari Kateguhan. Kami berdua langsung menghadap Kangjeng Adipati.

“Apakah kalian merasa letih?”

“Tidak Kangjeng. Kami tidak merasa letih. Semalam kami dapat beristirahat dengan baik di sebuah banjar padukuhan.”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya Bukankah kalian tidak menemui hambatan yang berarti di perjalanan?”

Ki Tumenggung Wiradapa pun berpaling kepada Ki Tumenggung Sanggayuda. Namun kemudian Ki Tumenggung Wiradapa itupun menjawab “Tidak ada Kangjeng Adipati. Kami hanya bertemu dengan orang-orang Kateguhan yang nakal disamping mereka yang baik dan ramah.”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya, “Sukurlah. Bagaimana keadaan angger Adipati Yudapati?”

“Baik, Kangjeng. Kangjeng Adipati Yudapati ada dalam keadaan baik. Ketika kami mohon diri, maka Kangjeng Adipati pun berpesan agar baktinya kami sampaikan kepada Kangjeng Adipati di Paranganom. Salamnya buat Raden Madyasta, Raden Wignyana dan rakyat Paranganom.”

“Anak yang baik. Aku bangga terhadapnya.”

“Kami berdua pun diterima dengan baik, Kangjeng Adipati.”

“Syukurlah” Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun bertanya, “Kakang, apakah kakang berdua akan beristirahat dahulu?”

“Kami tidak letih Kangjeng” jawab Ki Tumenggung Sanggayuda, “perjalanan yang menyenangkan.”

“Bagaimana dengan rakyat Kateguhan?”

Kedua orang Tumenggung itu menarik nafas panjang. Setelah saling berpandangan sejenak, maka Ki Tumenggung Wiradapa pun berkata, “Itulah yang menjadi persoalan, Kangjeng”

“Kenapa?”

“Sikap mereka sama sekali tidak lagi bersahabat. Apalagi menganggap kami sebagai saudara mereka.”

“Apa yang telah terjadi?”

“Adi Tumenggung Sanggayuda dapat menceritakan pengalamannya menghadapi orang-orang Kateguhan. Bahkan saudara sepupuku sendiri, Kangjeng.”

“Ceritakan, kakang Tumenggung Sanggayuda. Agaknya ceritera itu akan menjadi ceritera yang cukup menarik.”

“Ampun Kangjeng. Hamba mohon ampun bahwa hamba akan berceritera lebih dahulu justru sebelum hamba berdua menyampaikan laporan tugas yang harus kami jalani berdua.”

Kangjeng Adipati Prangkusuma justru tersenyum. Katanya, “Kakang. Aku justru ingin mendengar ceriteramu lebih dahulu daripada laporan tentang tugasmu.”

“Hamba Kangjeng Adipati” Ki Tumenggung Sanggayuda itu berhenti sejenak. Ia mencoba mencari ujung darimana ia akan mulai dengan ceriteranya.

Ki Tumenggung Sanggayuda pun kemudian telah menceriterakan sikap orang-orang Kateguhan terhadap orang-orang Paranganom. Mereka menganggap orang-orang Paranganom terlalu sombong dan merendahkan bahkan menghina orang-orang Kateguhan.

“Aku terpaksa harus berkelahi, Kangjeng. Baru kemudian aku merasa malu juga kepada diri sendiri. Orang-orang tua ini masih juga turun berkelahi di pinggir jalan.”

Kangjeng Adipati Paranganom tertawa. Katanya, “Tetapi bukankah kakang tidak mengaku sebagai seorang Tumenggung dari Paranganom?”

“Ketika aku berkelahi, aku memang tidak mengaku, bahwa aku seorang Tumenggung, Kakang Tumenggung Wiradapa lebih senang menjadi penonton. Dibiarkannya aku berkelahi sendiri melawan beberapa orang sekaligus.”

“Benar kakang Tumenggung Wiradapa?”

“Ya, Kangjeng. Tetapi maksudku adalah, agar mereka tahu betapa orang-orang Paranganom tidak dapat direndahkan. Seorang saja diantara orang-orang Paranganom mampu melawan empat orang dari Kateguhan. Empat orang yang dianggap garang dan memiliki kemampuan.”

Kangjeng Adipati sudah tidak tertawa lagi, ia bahkan menjadi prihatin mendengar ceritera Ki Tumenggung Sanggayuda itu. Bahkan ketika Ki Tumenggung Wiradapa menambah ceritera itu dengan sikap saudara sepupunya sendiri.

“Tentu ada yang meniupkan kebencian itu ke telinga rakyat Kateguhan” berkata Kangjeng Adipati, “bukankah selama ini kita tidak berbuat apa-apa yang dapat menyakiti hati orang-orang Kateguhan? Apa mungkin karena kehadiran Kakangmbok Prawirayuda di Paranganom atau karena kekalahan brandal di Panjer?”

“Agaknya memang demikian, Kangjeng Adipati. Tetapi kami berdua tidak dapat mencari, siapakah yang telah meniupkan kebencian itu.”

“Kakan Tumenggung. Mungkin aku perlu bertemu dan berbicara langsung dengan angger Adipati Yudapati.”

“Tetapi sebaiknya tidak dalam waktu yang dekat, Kangjeng. Kita harus mencoba mencari jawabnya, kenapa orang-orang Kateguhan telah merentang jarak dengan Paranganom. Sebelum Kangjeng Adipati bertemu dan berbicara dengan Kangjeng Adipati Yudapati, sebaiknya Kangjeng Adipati menugaskan beberapa orang prajurit sandi.”

“Selama ini kita belum pernah mendapat laporan yang memuaskan. Bukankah ada beberapa orang yang sudah berada di Kateguhan untuk mencari keterangan. Terutama pada saat kerusuhan merebak di perbatasan?”

“Kita masih belum bersungguh-sungguh, Kangjeng. Hanya beberapa orang yang mencari keterangan ke daerah Kateguhan. Sebaiknya kita meningkatkan pengamatan kita untuk mencari keterangan tentang sikap orang Kateguhan itu.”

“Ya. Aku sependapat kakang.”

“Biarlah kami berdua mengaturnya, Kangjeng Adipati.”

“Terima kasih, kakang. Selanjutnya aku ingin mendengar laporan kakang tentang keberadaan Kakangmbok Prawirayuda di Paranganom. Kenapa Kakangmbok telah diusir dari Kateguhan.”

“Ampun, Kangjeng Adipati. Jika benar keterangan Kangjeng Adipati Yudapati serta Ki Tumenggung Reksadrana tentang Raden Ayu Prawirayuda, maka yang dilakukan Kangjeng Adipati Yudapati bukan sesuatu yang berlebihan.”

Wajah Kangjeng Adipati Prangkusuma nampak menjadi semakin bersungguh-sungguh.

“Kenapa ?”

“Ampun Kangjeng Adipati. Agaknya Kangjeng Adipati Yudapati tidak sampai hati untuk mengatakannya. Maka yang diperintahkannya untuk memberikan keterangan adalah Ki Tumenggung Reksadrana.”

“Apa katanya?”

“Raden Ayu Prawirayuda telah melanggar angger-angger bebrayan.”

“ Begitu beratkah kesalahan Kakangmbok Prawirayuda?”

“Ya, Kangjeng Adipati.”

“Katakan, apa yang sudah dilakukan oleh Kakangmbok Prawirayuda”

Ki Tumenggung Wiradapa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian mengulangi apa yang sudah dikatakan oleh Ki Tumenggung Reksadrana dihadapan Kangjeng Adipati Yudapati sendiri.

Kangjeng Adipati Prangkusuma mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Keningnya berkerut. Sekali-sekali Kangjeng Adipati itu mengangguk-angguk. Namun kemudian menarik nafas panjang.

Ketika Ki Tumenggung Wiradapa mengakhiri keterangannya, maka Kangjeng Adipati Prangkusuma itupun berkata, “Itukah kenyataan yang telah terjadi atas Kakangmbok Prawirayuda?”

“Tetapi apakah kita begitu saja dapat mempercayainya, Kangjeng Adipati?” suara Ki Tumenggung Sanggayuda datar dan terasa agak ragu.

Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun menjawab, “Sepanjang pengenalanku atas angger Adipati Yudapati, ia adalah anak muda yang jujur. Aku kira angger Adipati Yudapati tidak akan membuat ceritera ngaya-wara agar dapat mengusir ibu tirinya dari kadipaten.”

“Jadi, menurut Kangjeng Adipati, Raden Ayu Prawirayuda memang berbuat sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung Reksadrana di hadapan Kangjeng Adipati Yudapati itu?”

“Ya, Aku kira memang demikian.”

Kedua orang Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun kemudian Kangjeng Adipati Prangkusuma pun berkata, “Meskipun demikian, kita masih perlu mencari kebenaran dari keterangan ini.”

“Apakah Kangjeng Adipati akan memanggil dan bertanya langsung kepada Raden Ayu Prawirayuda?”

“Nampaknya kurang bijaksana jika aku segera memanggil Kakangmbok Prawirayuda. Mungkin diperlukan waktu atau keterangan-keterangan yang lain.”

“Hamba sependapat Kangjeng Adipati. Memang diperlukan waktu” berkata Ki Tumenggung Wiradapa.

“Baiklah, kakang. Persoalan ini akan kami telusuri kemudian. Tetapi bukankah kita tidak perlu tergesa-gesa agar kita tidak salah langkah?”

“Hamba Kangjeng Adipati.”

“Jangan beritahu Madyasta dan Wignyana lebih dahulu.”

Kedua orang Tumenggung itu termangu-mangu, sementara Kangjeng Adipati pun berkata, “Pagi tadi Kakangmbok Prawirayuda telah datang menghadap.”

Kedua orang Tumenggung itulah yang kemudian mendengarkan dengan sungguh-sungguh ketika Kangjeng Adipati memberitahukan kepada mereka, bahwa Raden Ayu Prawirayuda menjadi ketakutan.

“Jika Madyasta mendengar sebagaimana dikatakan oleh Tumenggung Reksadrana, maka ia akan menjadi kecewa terhadap bibinya Mungkin ia menentukan sikap sendiri dan membatalkan kesediaannya untuk berada di rumah bibinya bersama Rembana, Sasangka dan Wismaya”

“Ya Kangjeng.”

“Karena itu, biarlah untuk sementara anak itu serta adiknya jangan mengetahuinya. Apalagi jika ternyata kelak keterangan Ki Reksadrana itu tidak seluruhnya benar.”

“Hamba Kangjeng Adipati.”

“Sikap orang-orang Kateguhan, para perusuh di perbatasan serta keraguan pada angger Adipati Yudapati sehingga ia tidak dapat mengatakannya sendiri, membuai persoalan kita dengan Kateguhan perlu untuk mendapat penilaian yang secermat-cermatnya“

“Hamba Kangjeng Adipati.”

“Nah, bagaimana menurut pendapat kakang berdua tentang para perusuh di perbatasan itu?”

“Kami berdua tidak dapat melihat bayangan permusuhan itu pada Kangjeng Adipati Yudapati.”

“Mudah-mudahan angger Yudapati benar-benar tidak tersentuh oleh peristiwa yang meresahkan di perbatasan itu.”

“Seperti yang Kangjeng Adipati katakan, kita masih perlu waktu.”

“Nah, aku mengucapkan terima kasih atas jerih payah kakang Tumenggung berdua. Banyak hal yang kalian dengar dan kalian lihat sepanjang perjalanan kalian. Kita pun mengetahui sikap orang-orang Kateguhan terhadap orang-orang Paranganom sekarang.”

“Hamba Kangjeng Adipati.”

“Nah, sekarang kalian berdua dapat beristirahat.”

“Dimanakah Raden Madyasta dan Raden Wignyana sekarang?”

Madyasta sedang menghubungi Rembana Sasangka dan Wismaya. Sedangkan Wignyana sedang sibuk dengan kudanya yang baru.”

“Raden Wismaya memang seorang penggemar kuda. Tetapi perhatian Raden Madyasta terhadap kuda agak berbeda”

“Ya Perhatian Madyasta agak berbeda. Ia senang berada di barak-barak prajurit. Makan dan tidur bersama mereka.”

Kedua orang Tumenggung itu tertawa

Sejenak kemudian, maka kedua orang Tumenggung itupun mohon diri. Mereka masih belum pulang karena dari Kateguhan mereka langsung menghadap Kangjeng Adipati.

“Baik, kakang. Tetapi sekali lagi aku berpesan, jangan beritahukan Madyasta dan Wignyana tentang bibinya. Kita masih harus meyakinkan kebenarannya.

“Hamba Kangjeng Adipati” Jawab kedua orang Tumenggung itu hampir berbareng.

Ketika kedua orang Tumenggung itu keluar dari gerbang dalem kadipaten, mereka berhenti sejenak. Dengan nada berat Ki Tumenggung Sanggayuda pun berkata, “Agak aneh, kakang. Permohonan Raden Ayu Prawirayuda sebenarnya melampaui kebutuhan.”

“Dalam keadaan yang wajar memang demikian, adi. Tetapi mungkin sekali yang wajar memang demikian, adi. Tetapi mungkin sekali Raden Ayu Prawirayuda benar benar berada dalam ketakutan. Ia juga merasa bersalah kepada Kangjeng Adipati Yudapati. Sebenarnya perasaan bersalah itulah yang telah memburunya. Sehingga bayang-bayang tindak kekerasan selalu mengikutinya. Agaknya Raden Ayu Prawirayuda itu merasa, seakan akan tempat tinggalnya itu setiap malam didatangi oleh orang-orang yang garang. Yang diutus oleh Kangjeng Adipati Yudapati untuk mencelakainya,

“Tetapi anehnya, kakang. Ancaman itu tidak sekedar berada di angan-angan Raden Ayu Prawirayuda. Tetapi sudah berujud dalam kewadagan. Kedua orang perempuan yang tinggal di rumah itu tentu akan ketakutan melihat bangkai seekor kucing didalam rumah. Darah dan tentu saja luka di tubuh kucing itu. Apalagi bagi Raden Ajeng Rantamsari.”

Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Agaknya memang ada sesuatu yang harus diselidiki.”

Namun keduanya tidak memperpanjang pembicaraan mereka. Keduanya pun kemudian telah naik ke punggung kuda mereka dan melarikan kuda mereka ke arah yang berbeda.

Dalam pada itu, ketika malam menjadi semakin rendah, maka ketika orang Senapati muda itu telah berkumpul. Mereka sudah memberikan pesan-pesan khusus kepada anak buah mereka di barak.

“Jika perlu, susul aku ke rumah Raden Ayu Prawirayuda” Berkata Rembana kepada kepercayaannya, “tugas ini adalah tugas yang aneh bagiku.”

“Apakah kakang Rembana tidak dapat menugaskan kepada orang lain untuk menjalankan perintah ini? Jika Raden Ayu Prawirayuda menganggap keadaan sangat gawat, kakang Rembana dapat memerintahkan dua atau tiga orang dari barak ini, kemudian dua atau tiga orang dari barak kakang Sasangka dan kakang Wismaya.”

Rembana menggeleng. Katanya, “Kangjeng Adipati menyebut namaku, nama Sasangka dan Wismaya. Bahkan nama Raden Madyasta, sehingga kami berempat harus berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda untuk sementara. Aku tidak tahu seberapa panjang sebutan sementara itu.”

Kepercayaan Rembana itu hanya dapat mengangguk-angguk.

Demikian pula Sasangka dan Wismaya. Anak buah mereka pun sempat merasa heran, bahwa ketika orang Senapati muda yang dianggap mempunyai kelebihan di kadipaten Paranganom itu harus bertugas di rumah Raden Ayu Prawirayuda bersama Raden Madyasta. Tugas yang sebenarnya dapat dilakukan oleh orang lain.

Tetapi perintah Kangjeng Adipati itu harus dijalankannya.

Di sore hari, menjelang senja, Raden Madyasta bersama tiga orang Senapati muda pilihan itu telah pergi ke rumah Raden Ayu Prawirayuda. Mereka berjalan kaki dari barak Wismaya yang tidak terlalu jauh dari rumah Raden Ayu Prawirayuda itu.

Diperjalanan itu Wismaya pun berkata, “Seandainya Kangjeng Adipati menyerahkan pengamanan rumah Raden Ayu Pawirayuda itu kepadaku, maka aku akan dapat mengatur dari barakku. Bukankah jaraknya tidak terlalu jauh sehingga segala sesuatunya dapat aku awasi langsung.”

“Banyak cara yang sebenarnya dapat ditempuh selain cara yang satu ini. Tetapi justru cara inilah yang dipilih.”

Wismaya mengangguk-angguk.

Beberapa saat kemudian mereka berjalan melewati bulak yang pendek. Terasa udara yang sudah mulai menjadi sejuk oleh angin dari Selatan di sore hari. Matahari pun menjadi rendah. Sinarnya yang kemerah-merahan masih bergayut di bibir mega yang mengalir lambat mengarungi langit yang biru.

Gunung di sisi Utara nampak menjulang tinggi, Puncaknya yang seakan akan menggapai langit Itupun nampak merah-merahan bagaikan membara.

Ketika mereka memasuki gerbang padukuhan di seberang bulak kecil itu, maka langit pun sudah menjadi semakin muram.

“Bibi tentu sudah menunggu” berkata Madyasta kepada ketika orang Senapati muda itu.

“Masih belum malam” jawab Rembana_

“Di regol halaman tempat tinggal bibi Prawirayuda, telah dinyalakan oncor.”

“Ya” Sasangka mengangguk, “senja di bawah pepohonan yang rimbun agaknya sudah nampak terlalu gelap sehingga sudah perlu dinyalakan oncor itu.”

Madyasta tidak menjawab. Tetapi langkahnya menjadi semakin cepat.

Sejenak kemudian, mereka telah berdiri di tengah-tengah halaman yang luas itu. Sepasang pohon sawo kecik yang besar berdiri tegak di halaman depan, sehingga udara di rumah itu terasa sejuk, meskipun di tengah hari yang terik.

Sedangkan di seputar halaman itupun tumbuh beberapa batang pohon yang rimbun. Di sudut kanan halaman itu tumbuh sebatang pohon kemiri yang besar. Buahnya bergayutan di ujung-ujung dahan. Jika angin bertiup, maka buah kemiri yang sudah tua, runtuh di tanah. Para pembantu yang berada di rumah itu selalu memungutnya dan membawanya ke dapur.

Di sudut yang lain terdapat pohon salam yang tidak kalah besarnya. Daunnya lah yang sering dipetik untuk menyedapkan masakan. Meskipun buahnya yang kecil-kecil dan berwarna merah jika sudah masak rasanya manis-manis asam dan segar, tetapi buah salam itu lebih banyak berhamburan di tanah.

Ada pula dua batang pohon gayam di halaman.

“Marilah” berkata Madyasta kemudian kepada ketiga orang Senapati itu.

Keempat orang itupun kemudian melangkah memasuki pintu regol halaman rumah Raden Ayu Prawirayuda.

Namun langkah mereka tertegun di tengah-tengah halaman. Mereka melihat Raden Wignyana justru turun dari tangga pendapa. Dibelakangnya berdiri Raden Ayu Prawirayuda.

“Aku mohon diri, bibi” berkata Raden Wignyana.

“Ya, ngger. Sampaikan kepada adimas Adipati, bahwa pesannya telah aku terima.

Terima kasih atas perhatian adimas Adipati.”

“Ya, bibi.”

Raden Wignyana pun kemudian melangkah ke regol halaman. Namun langkahnya juga terhenti ketika ia berpapasan dengan Raden Madyasta bersama ketiga orang Senapati muda itu.

“Dimas” sapa Raden Madyasta.

“Silahkan, kangmas. Aku sudah mohon diri.”

“Ada perlu apa, dimas?”

“Aku diutus oleh ayahanda, kangmas.”

“Sudah selesai?”

“Sudah kangmas. Pesan ayahanda sudah aku sampaikan kepada bibi.”

“Aku justru ditugaskan ayahanda untuk berada di rumah ini, dimas. Untuk menjaga ketentraman dan ketenangan hati bibi Prawirayuda.”

“Tentu saja untuk menjaga keselamatan Kakangmbok Rantamsari, kangmas.”

“Ya. Tentu saja, dimas. Seisi rumah ini.” .

Raden Wignyana tersenyum. Namun sambil mengangguk hormat, iapun berkata, “Silahkan kakangmas. Aku mohon diri”

Raden Wignyana tidak menunggu jawaban kakaknya. Ia pun segera melangkah menuju ke regol. Sejenak kemudian, maka Raden Wignyana itu pun telah hilang dibalik pintu regol halaman.

Sejenak Raden Madyasta termangu mangu. Namun Wismaya pun berdesis, “Raden Madyasta. Raden Ayu Prawirayuda menunggu Raden di tangga pendapa.”

Raden Madyasta tergagap. Dengan serta-merta ia pun menyahut, “Baik. Baik. Marilah kita menghadap.”

Keempat orang itupun kemudian melangkah ke tangga pendapa.

“Marilah ngger” Raden Ayu Prawirayuda yang sudah berdiri di tangga itu mempersilahkan.

Raden Madyasta dan ketiga orang Senapati muda itu pun segera naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan.

“Bibi” berkata Raden Madyasta, “kami menjunjung perintah ayahanda Adipati, untuk melindungi bibi sekeluarga serta seisi rumah ini.”

“Terima kasih, ngger” sahut Raden Ayu Prawirayuda, “aku memang memohon kepada adimas Adipati, agar angger Madyasta serta para Senapati pilihan yang telah berhasil menumpas para perampok di perbatasan untuk tinggal bersama kami.”

“Kami akan berada di rumah ini untuk beberapa hari, bibi. Maksudku, untuk sementara.”

“Adimas Adipati tidak memberikan batasan waktu.”

“Tetapi kami mempunyai tugas-tugas kami sendiri, bibi. Aku harus berada di kadipaten serta belajar mengatur pemerintahan. Sedangkan para Senapati itu mempunyai kewajiban mereka sendiri-sendiri. Jika kami bertugas di rumah ini, tentu hanya untuk waktu yang pendek.”

“Bukankah tugas-tugas lainnya dapat dilimpahkan kepada orang lain?”

“Tetapi ketiga orang Senapati ini bertanggung jawab atas pasukan mereka masing-masing.”

Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Katanya, “Kangjeng Adipati akan mengatur segala sesuatunya, ngger. Tetapi baiklah. Angger serta para Senapati itu hanya akan berada disini untuk sementara sampai kita semuanya yakin, bahwa tidak akan terjadi apa-apa lagi di rumah ini.”

Raden Madyasta mengangguk. Katanya, “Ya, bibi. Sementara itu selama kami berada disini, bibi tidak usah merasa cemas. Kami akan berusaha untuk mengatasi jika terjadi sesuatu.”

“Terima kasih Raden. Terutama para Senapati yang telah bersedia tinggal bersama kami. Kehadiran angger Madyasta serta para Senapati membuat kami seisi rumah ini menjadi tenang. Kamipun yakin, bahwa tidak akan ada orang atau sekelompok orang yang akan berani mengganggu kami lagi.”

“Semoga bibi.”

“Nah, kami sudah menyiapkan bilik di gandok kanan dan kiri bagi ketiga Senapati muda ini. Sedangkan sebuah bilik khusus yang ada di ruang dalam, kami sediakan bagi angger Madyasta.”

Tetapi Raden Madyasta itu segera menjawab, “Tidak perlu bibi. Aku akan berada di gandok bersama para Senapati. Jika aku terpisah dari mereka, maka aku akan menjadi kesepian.”

“Bagaimana mungkin angger akan berada di gandok, sedangkan kami berada di dalam rumah. Rumah ini adalah rumah Adimas Adipati Prangkusuma.”

“Aku berada disini dalam tugas bibi. Bagaimana aku dapat mengatur tugas bersama jika tempat kami terpisah. Justru dimalam hari kami harus lebih ketat mengawasi rumah ini.”

“Bukankah angger tinggal mengatur, sementara ketiga orang Senapati pilihan ini akan menjalankannya dengan sangat baik.”

Raden Madyasta tertawa. Katanya, “Terima kasih, bibi. Aku akan berada diantara mereka. Sebaiknya bibi tidak usah mempertimbangkan kedudukanku. Aku datang membawa tugas bersama para Senapati, sehingga aku merupakan bagian dari kelompok kecil ini.”

“Dapatkah angger Madyasta menanggalkan kedudukan angger sebagai putera Kangjeng Adipati Prangkusuma?”

“Kenapa tidak, bibi. Dalam tugas ini, tidak ada putera Kangjeng Adipati atau bukan. Kami bersama-sama melaksanakan perintah untuk melindungi bibi beserta keluarganya.”

Raden Ayu Prawirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, jika itu yang angger kehendaki. Sebenarnyalah aku hanya merasakan keseganan untuk menganggap angger Madyasta sebagaimana orang lain. Tetapi jika hal itu angger sendiri yang menghendaki, maka aku tidak akan dapat berbuat lain.”

Terima kasih atas perhatian bibi kepadaku. Tetapi seperti yang aku katakan, biarlah kami berada di gandok. Justru untuk kepentingan tugas-tugas kami. Kami berempat akan berada di gandok kulon. Bukankah ada dua bilik di gandok kulon yang dapat kami pergunakan?”

Angger dan para Senapati masing-masing dapat mempergunakan satu bilik di gandok kanan dan kiri.”

Kami akan berada di sisi yang sama, bibi. Mungkin kami memerlukan waktu yang sangat pendek untuk saling berhubungan serta mengambil keputusan.”

Raden Ayu Prawirayuda menarik nafas panjang. Katanya “Baiklah, ngger. Segala sesuatunya terserah kepada angger.”

“Terima kasih, bibi. Sekarang, biarlah kami berada di gandok.”

Tetapi sebelum mereka beranjak, seorang gadis keluar dari pintu pringgitan sambil membawa beberapa mangkuk minuman hangat.

“Kami telah merepotkan kangmbok Rantamsari” desis Raden Madyasta.

“Tidak dimas. Aku hanya tinggal menyuguhkan kepada dimas serta para Senapati.”

“Terima kasih, kangmbok”

Namun ketika Raden Ajeng Rantamsari beringsut setelah meletakkan mangkuk-mangkuk itu dihadapan Raden Madyasta serta ketiga orang Senapati, Raden Ayu Prawirayuda pun berkata “Duduklah dahulu, Rantamsari. Kau harus memperkenalkan dirimu dengan para Senapati yang akan melindungi kita, bersama adikmu Raden Madyasta. Mereka akan tinggal disini untuk sementara, sehingga kita yakin, bahwa peristiwa sebagaimana yang pernah terjadi itu tidak akan terjadi lagi.”

Raden Ajeng Rantamsari pun kemudian duduk di sisi ibunya. Iapun sempat memandang ketiga orang Senapati muda itu berganti-ganti. Wajah-wajah yang cerah, penuh kepercayaan diri. Mata yang bercahaya menatap masa depan mereka dengan penuh pengharapan.

Namun Raden Ajeng Rantamsari itupun segera menundukkan wajahnya. Disadarinya, bahwa ia adalah seorang gadis yang duduk diantara beberapa orang anak muda yang sebelumnya belum dikenalnya kecuali Raden Madyasta, adik sepupunya, meskipun agaknya umur Madyasta lebih banyak dari umurnya. Namun menurut darah keturunan, sepengetahuan Raden Ajeng Rantamsari, Madyasta adalah adiknya.

Raden Ajeng Prawirayuda lah yang kemudian memperkenal-kan Raden Ajeng Rantamsari dengan ketiga orang Senapati muda itu. Tetapi untuk menyebut nama mereka, maka Raden Ajeng Prawirayuda minta kepada Madyasta untuk melakukannya.

“Angger Madyasta mengenal para Senapati ini dengan baik. Agar tidak salah ucap, biarlah angger saja yang menyebut nama-nama mereka.”

Madyasta tersenyum. Para Senapati itupun tersenyum pula. ,

Namun Madyastapun kemudian berkata, “Biarlah mereka menyebutkan namanama mereka sendiri saja bibi. tentu tidak akan salah lagi.”

Raden Ayu Prawirayuda justru tertawa. Katanya “Baiklah. Biarlah mereka menyebut nama-nama mereka sendiri.”

“Namaku Wismaya, Raden Ajeng” suara Wismaya terdengar berat.

Untuk beberapa saat, yang lain menunggu. Mungkin ada yang akan dikatakannya lagi. Tetapi ternyata Wismaya tidak berkata apa apa lagi.

Semua orang sempat memandang kepadanya. Tetapi Wismaya sudah menundukkan wajahnya.

Karena Wismaya tidak akan berbicara lagi, maka yang kemudian berkata adalah Sasangka, “Namaku Sasangka Raden Ajeng. Aku sudah bertugas cukup lama didalam lingkungan keprajuritan di Paranganom.”

Yang teraklhir memperkenalkan diri adalah Rembana. Katanya, “Raden Ajeng tentu belum pernah mendengar namaku. Namaku Rembana Mungkin nama yang kurang menarik. Aku memasuki dunia keprajuritan hampir berbareng dengan Sasangka dan Wismaya. Jika ada selisih tentu hanya dalam hi-tungan satu dua hari.”

Karena Rembana mengangguk hormat, maka Raden Ajeng Rantamsari pun mengangguk hormat pula. Bahkan Raden Ajeng Rantamsari itu pun bertanya, ”Kakang berasal darimana?”

“Aku adalah orang Paranganom asli, Raden Ajeng.”

“Maksudku dari daerah mana?”

“O” Rembana tertawa Katanya, ”Aku orang dari kaki bukit Pudak Seketi, Ayahku orang Pudak Seketi. Ibuku juga berasal dari Pudak Seketi.”

“Jadi kakang berasal dari Bukit Pudak Seketi? Jika kita berdiri di pintu gerbang kota sebelah Selatan, kita melihat sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Bukankah itu bukit Pudak Seketi?”

“Ya, Raden Ajeng. Itulah bukit Pudak Seketi.”

“Yang kelihatan hijau?”

“Ya. Bukit itu terlalu banyak penghuninya. Terbanyak di lereng sebelah utara. Tetapi, di kaki bukit itu terdapat beberapa padukuhan yang besar. Sedang di puncak bukit itu adalah hutan pohon pandan yang lebat. Jika masa berbunga, wajah bukit dipenuhi oleh bunga pandan yang disebut pudak. Itulah sebabnya maka bukit itu disebut Bukit Pudak Seketi.”

“Bukit itu sangat menarik, kakang. Setiap kali aku berada di pintu gerbang kota sebelah selatan, aku selalu memandangi bukit itu bcrlama lama. Sebenarnyalah aku ingin menginjakkan kakiku di bukit itu. Rasa-rasanya jika aku berdiri di puncak bukit itu, tanganku akan dapat menggapai langit.”

“Silahkan, Raden Ajeng. Jika Raden Ajeng ingin pergi ke bukit itu, aku akan mengantarkannya.”

“Rantamsari” potong Raden Ayu Prawirayuda, “sudahlah. Kau justru membicarakan Bukit Pudak Seketi. Bukankah kita sedang membicarakan perlindungan terhadap rumah kita?”

“Aku mohon maaf ibu. Bukit itu sangat menarik perhatianku.”

“Angger Madyasta” berkata Raden Ayu Prawirayuda, “Sekarang silahkan angger serta para Senapati minum lebih dahulu. Kemudian silahkan beristirahat. Malam sudah turun. Mungkin angger akan membagi tugas untuk malam ini. Aku kira, angger Madyasta sudah mengenal rumah ini dengan baik. Pintu-pintunya, longkangan serta ruangan-ruangan yang ada di dalamnya. Bahkan sampai ke dapur sekalipun.”

“Ya. Bibi. Aku memang pernah mengenalnya.” Tetapi biarlah nanti setelah kami mandi dan berbenah diri, kami akan melihat-lihat seluruh lingkungan rumah ini. Dari dinding kebun dan halaman sampai ke sentong-sentong yang ada didalamnya. Bahkan sampai ke ruang tidur bibi.”

“Silahkan ngger. Tentu bukan hanya ruang tidurku, tetapi juga bilik Rantamsari.”

“Ya, bibi.”

“Nah, sekarang silahkan beristirahat. Jika angger Madyasta memilih berada di bilik gandok, apaboleh buat. Sebenarnyalah bahwa sebuah ruang di dalam sudah disiapkan bagi angger.”

“Terima kasih, bibi.”

Demikianlah, setelah minum minuman hangat yang dihidangkan oleh Raden Ajeng Rantamsari, maka Raden Madyasta serta ketiga orang Senapati itupun telah pergi ke bilik yang berada di gandok kulon.

Ternyata bilik di gandok itu cukup luas. Pembaringan yang ada di dalam bilik itupun cukup besar untuk masing-masing berdua

Raden Madyasta berada di satu bilik dengan Sasangka, sementara Rembana berada di satu bilik dengan Wismaya

Sejenak kemudian, maka bergantian mereka telah pergi ke pakiwan untuk mandi.....

Demikian mereka selesai berbenah diri, maka Raden Ajeng Rantamsari telah menemui Raden Madyasta untuk mempersilahkannya masuk ke ruang dalam.

“Makan malam sudah tersedia dimas. Marilah, silahkan dimas serta para Senapati untuk makan malam.”

“Terima kasih kangmbok. Kami akan segera datang.”

“Ibu sudah menunggu di ruang dalam.”

“O. Baiklah. Kami akan segera datang.”

Raden Madyasta pun segera mengajak ketiga orang Senapati muda itu pergi ke ruang dalam. Agaknya Raden Ayu Prawirayuda sudah menyiapkan makan bagi mereka.

“Apakah setiap hari kami akan mendapat makan seperti ini sehari tiga kali?” bertanya para Senapati itu didalam hatinya.

Sementara itu Raden Madyasta pun berkata, “Kami akan sangat merepotkan bibi jika bibi harus menyediakan makan bagi kami seperti ini.”

“Bukankah bukan aku sendiri yang melakukannya.?”

“Benar bibi. Tetapi maaf, bibi. Bagi kami, para prajurit, makan yang bibi sediakan agak berlebihan. Kecuali yang bibi sediakan mi hanyalah sekali ini saja, saat kami mulai menapak pada tugas kami di rumah ini.”

Raden Ayu hawirayuda tersenyum. Katanya, “Aku akan memperhatikan ngger Tetapi jika sekali-sekali aku lupa, sehingga yang kami hidangkan seperti kali ini, aku mohon maaf.”

“Raden Ayu. Jika yang dihidangkan setiap kali seperli ini, maka pada saat aku pulang ke barak, maka semua pakaian keprajuritanku tidak dapat aku pakai lagi “ sahut Rembana

“Kenapa?” yang bertanya adalah Raden Ajeng Rantamsari.

“Semuanya tentu sudah tidak cukup lagi. Berat badanku, akan menjadi berlipat dua Disini aku hanya tidur saja dan makan seperti ini. Ada daging lembu, daging kambing, daging ayam, gurameh, udang, telur dan masih banyak lagi.”

“Baiklah” berkata Raden Ayti Prawirayuda kemudian, “aku berjanji untuk hanya kali ini. Besok dan seterusnya, angger Madyasta dan para Senapati ini sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, sehingga apa yang aku hidangkan pun sebagaimana aku menghidangkan bagi keluarga kami sehari-hari.”

Raden Madyasta tersenyum. Katanya, “Tetapi bibi jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menolak kebaikan hati bibi.”

Raden Ayu Prawirayuda menyahut sambil tersenyum pula, “Aku mengerti maksud angger Madyasta dan para Senapati.”

Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta dan para Senapati muda itu pun makan bersama dilayani langsung oleh Raden Ayu Prawirayuda serta Raden Ajeng Rantamsari.

Seperti yang dikatakan oleh Madyasta, maka setelah selesai makan, maka Madyasta dan ketiga orang Senapati muda itu mencoba mengenali tempat mereka bertugas. Meskipun malam sudah menjadi semakin gelap, tetapi keempat orang itu masih juga melihat-lihat keadaan kebun yang terhitung luas di belakang rumah yang dihuni oleh Raden Ayu Prawirayuda itu.

“Dindingnya cukup tinggi” desis Sasangka

“Ya Tanpa mempergunakan alat, tangga atau tali misalnya sulit untuk meloncati dinding ini” sahut Rembana

“Kecuali orang-orang tertentu yang memiliki kelebihan” gumam Wismaya seolaholah ditujukan kepada diri sendiri.

Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Mereka memperhatikan Raden Madyasta yang meraba-raba dinding yang terhitung tinggi itu.

Beberapa puluh langkah mereka menelusuri dinding di kebun belakang. Kemudian dinding di halaman samping yang sama tingginya

Bahkan dinding halaman di bagian depanpun sama pula tingginya Sehingga tidak mudah untuk dapat memasuki halaman itu jika pintu regolnya ditutup dan diselarak. Namun nampaknya Raden Ayu Prawirayuda tidak pernah memerintahkan para abdi untuk menyelarak pintu regol.

Dari mengamati dinding halaman dan kebun belakang, maka Raden Madyasta dan para Senapati itu memperhatikan semua bangunan yang ada Bangunan induk, gandok kanan dan kiri, dapur, kandang yang kosong, lumbung, longkangan dan pintu seketeng.

“Bagaimana mungkin seseorang dapat masuk ke dalam rumah itu tanpa merusak pintu” desis Rembana

“Bangunan ini selain pendapanya yang joglo, maka yang lain adalah limasan. Tidak ada bangunan yang berbentuk kampung kecuali lumbung dan kandang yang kosong itu. Sedangkan lumbung dan kandang itu tidak berhubungan dengan rumah induk” sahut Wismaya.

Sasangka mengangguk-angguk. Katanya, “Tidak ada tutup keyong disini. Selain merusak pintu, orang hanya dapat masuk ke dalam dengan merobek atap atau dinding.”

Raden Madyasta mengangguk-angguk. Dengan suara yang dalam iapun berkata, ”Orang yang dapat membunuh kucing didalam rurnah tanpa merusak pintu dan bagian-bagian rumah lainnya adalah orang yang berilmu tinggi. Adalah kewajiban kita untuk menghadapinya Agaknya itu adalah salah satu alasan ayahanda, kenapa harus kita yang berada di rumah irii. Bukan orang lain.”

Ketiga orang Senapati itu pun mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian menyadari, bahwa mereka tidak dapat meremehkan tugas yang dibebankan di pundak mereka.

Demikianlah, sejak hari itu, Raden Madyasta serta ketiga orang Senapati itu menjadi bagian dari rumah yang besar itu. Mereka segera berusaha menyesuaikan diri mereka. Mereka tidak ingin menjadi orang-orang yang harus dilayani. Mereka tidak berpegang pada tugas-tugas mereka saja sehingga tidak mau melakukan pekerjaan yang lain.

Raden Madyasta yang pernah hidup di padepokan serta para Senapati yang tidak pernah sempat bermanja-manja, telah lebur dalam kerja sehari-hari dengan seisi rumah itu. Meskipun Raden Ayu Prawirayuda serta Raden Ajeng Rantamsari berusaha mencegahnya, tetapi Raden Madyasta dan para Senapati itu selalu mengisi jambangan di pakiwan. Masing-masing menimba air sehingga jambangan menjadi penuh kembali setelah mereka mandi. Bahkan dalam waktu-waktu luang, mereka telah ikut membantu melakukan kerja para abdi di rumah itu. Sasangka sama sekali tidak merasa canggung untuk menggali tempat sampah di kebun belakang. Sementara itu Rembana mempunyai kesenangan tersendiri. Jika ia melihat seorang abdi membelah kayu bakar dengan kapak, maka Rembana selalu datang dari mengambil kapaknya dari tangan abdi itu.

“Jangan. Nanti aku dimarahi Raden Ayu atau Raden Ajeng.”

Rembana tersenyum. Katanya, “Bukan salahmu. Kau tidak akan dimarahi. Lakukan kerja yang lain. Biarlah kayu ini aku selesaikan.”

“Tetapi…..”

“Sudahlah. Barangkali kau dapat mengerjakan pekerjaan lain di kebun belakang.”

Abdi itu kebingungan. Namun orang itupun kemudian pergi ke kebun belakang.

Tetapi di kebun belakang, ia pun menjadi bingung pula karena ia melihat Sasangka sedang menggali tempat sampah yang lebih besar dari kebiasaan para abdi membuat tempat sampah.

“Begitu besarnya?” bertanya abdi yang kebingungan.

“Bukankah dengan begitu tidak akan cepat penuh?”

Abdi itu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meninggalkan Sasangka dan pergi ke halaman samping.

Yang dilakukan kemudian adalah memanjat sebatang pohon jambu air untuk memotong dahan-dahan dan rantingnya yang sudah kelihatan menjadi tua dan lapuk.

Dalam pada itu, dari hari ke hari, hubungan Raden Madyasta serta para Senapati itu dengan keluarga Raden Ayu Prawirayuda menjadi seinakin akrab. Raden Ajeng Rantamsari adalah seorang gadis yang meningkat dewasa. Adalah. wajar sekali jika hatinya pun niulai tersentuh oleh kehadiran anak-anak muda di rumahnya. Apalagi setiap hari mereka berhubungan. Raden Ajeng Rantamsari lah yang selalu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak-anak muda itu. Kebersihan biliknya, kebersihan lingkungannya, makan serta minum mereka.

Namun para Senapati muda itu, bahkan Raden Madyasta tidak pernah memberikan pakaian mereka yang kotor untuk dicuci oleh para abdi.

Kenapa dimas keberatan jika pakaian dimas dicuci oleh seorang abdi?” bertanya Raden Ajeng Rantamsari.

“Kami harus dapat melakukannya sendiri, kangmbok” jawab Raden Madyasta.

“Tetapi apa salahnya selama dimas dan para Senapati disini, para abdi melayani dimas.”

Raden Madyasta tersenyum. Katanya, “Sudahlah kangmbok, keberadaan kami disini jangan membuat keluarga ini menjadi terlalu sibuk. Jika demikian, maka kehadiran kami disini, justru akan memperberat beban kangmbok serta bibi.”

Raden Ajeng Rantamsari tersenyum. Katanya, “Kami juga sudah mengganggu dimas serta para para Senapati yang seharusnya bertugas di tempat lain.”

Raden Madyasta tertawa. Katanya, “Kami dapat saja bertugas dimana-mana, kangmbok. Baru-baru ini kami justru bertugas di Panjer.”

“Baiklah, dimas. Tetapi jika ada sesuatu yang perlu, dimas jangan segan-segan mengatakan kepadaku atau langsung kepada ibu.”

“Baik, kangmbok.”

Ketika Raden Ajeng Rantamsari meninggalkan Raden Madyasta, maka ia pun langsung pergi ke dapur. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat dari pintu dapur yang menghadap ke belakang, Rembana sibuk membelah kayu di kebun belakang.

Dengan serta-merta Raden Ajeng Rantamsari pun memanggil Tarji, seorang abdi laki-laki di rumah itu.

“Raden Ajeng memanggil aku?” bertanya Tarji.

“Kenapa kau biarkan kakang Rembana membelah kayu? Bukankah itu bukan pekerjaannya?”

“Aku sudah berusaha Den Ajeng. Tetapi Ki Lurah Rembana tidak menghiraukannya. Bahkan kemarin Ki Lurah Sasangka telah menggali tempat pembuangan sampah di kebun, belakang. Aku juga tidak dapat mencegahnya”

Raden Ajeng Rantamsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika mereka tidak dapat dicegah, apaboleh buat.”

Namun ketika Tarji kemudian meninggalkan Raden Ajeng Rantamsari, maka justru Raden Ajeng Rantamsari lah yang pergi menemui Rembana yang sedang sibuk membelah kayu, sehingga Rembana tidak menyadarinya.

Beberapa saat Raden Ajeng Rantamsari berdiri beberapa langkah dari Rembana yang sedang sibuk itu. Tubuhnya berkeringat. Bajunya terbuka di bagian dadanya, sedangkan lengannya digulung agak tinggi.

Raden Ajeng Rantamsari termangu-mangu sejenak. Sejak kehadirannya di rumah itu, Rembana telah menarik perhatian Raden Ajeng Rantamsari. Anak muda yang berwajah cerah itu nampaknya selalu tersenyum. Kelakarnya yang segar, tanpa meninggalkan unggah-ungguh telah memikat hari Raden Ajeng Rantamsari.

Matanya yang berkilat-kilat menyiratkan gairah hidup yang tinggi serta memancarkan kecerdasan otaknya.

Raden Ajeng Rantamsari adalah seorang gadis yang sedang tumbuh dewasa Di Kateguhan, Raden Ajeng Rantamsari jarang sekali bergaul dengan anak-anak muda. Ia tinggal di keputren bersama ibundanya Di Keputren itu memang terdapat taman yang indah, ditumbuhi berjenis-jenis tanaman serta pohon bunga yang membuat taman itu menjadi semakin semarak. Beberapa orang dayang melayaninya siang dan malam.

Tetapi itu tidak cukup bagi Raden Ajeng Rantamsari. Di taman yang dikelilingi dinding yang tinggi itu tidak pernah hadir seorang anak muda selain Kangjeng Adipati Yudapati. Itu pun jarang sekali. Yang sering terjadi adalah ibundanya datang menemuinya justru di luar keputren.

Kadang kadang Raden Ajeng Rantamsari juga melihat Senapati muda yang lewat diluar regol keputren disaat mereka menjalankan tugasnya. Tetapi Raden Ajeng Rantamsari tidak pernah berkenalan dengan mereka.

Karena itu, perkenalannya dengan Rembana yang nampak selalu gembira itu, mempunyai kesan yang lain di hati puteri itu.

Selangkah demi selangkali Raden Ajeng Rantamsari itu bergerak mendekati Rembana yang sedang sibuk. Sekali diangkamya kapaknya tinggi tinggi. Kemudian terayun dengan deras sekali menghantam sebatang kayu yang tergolek di depannya.

Dengan sekali ayun, gelondong kayu itupun telah terbelah.

Rembana mengusap keringatnya yang mengembun di keningnya. Namun Rembana itu terkejut ketika ia mendengar suara lembut menyapanya, “Kakang Rembana”

Ketika Rembana berpaling, dilihatnya Raden Ajeng Rantamsari berdiri termangu-mangu memandanginya

Jantung Rembana berdesir. Sorot mata yang bening itu bagaikan memancarkan embun yang dingin di teriknya cahaya matahari.

“Raden Ajeng” terdengar suara yang terloncat dari bibir Rembana

“Berhentilah, kakang. Bukankah itu bukan pekerjaan kakang.”

Rembana tersenyum. Katanya, “Aku adalah anak yang lahir dan dibesarkan di kaki bukit, Raden Ajeng. Aku sudah terbiasa melakukannya”

“Tetapi sekarang kakang adalah seorang Senapati. Bahkan Senapati yang pernah mendapat pujian pada saat kakang bersama pasukan kakang ikut dalam perang besar di tepi Bengawan Rahina Pujian yang langsung diberikan oleh Kangjeng Sultan Tegal Langkap. Kakang juga telah berhasil menumpas gerombolan perampok di kademangan Panjer. Sekarang, kakang mendapat tugas melindungi kami sekeluarga yang tinggal di rumah ini.”

“Tetapi kebiasaan masa kanak-kanak dan remajaku itu tidak dapat aku tinggalkan, Raden Ajeng. Begitu aku berhadapan dengan kapak dan gelondong kayu, maka rasa-rasanya tanganku menjadi gatal.”

“Sekarang, beristirahatlah kakang.”

“Tetapi kerja ini belum selesai, Raden Ajeng.”

“Biarlah nanti diselesaikan oleh Tarji. Atau jika kakang Rembana masih belum puas, nanti kakang dapat menyelesaikannya”

“Biarlah aku selesaikan saja sama sekali Raden Ajeng.”

Raden Ajeng Rantamsari itupun kemudian justru duduk di sebuah lincak panjang, dibawah sebatang pohon jambu air yang rimbun sambil berkata, “Kakang, beristirahatlah. Duduklah disini.”

“Ah. Pakaianku basah oleh keringat, Raden Ajeng. Biarlah aku selesaikan saja kerja ini.”

“Kakang” suara Raden Ajeng Rantamsari merendah, “duduklah disini.”

Wajah Raden Ajeng Rantamsari yang lembut, kata-katanya yang terasa sejuk ditelinga rasa-rasanya telah mencengkam jantung Rembana. Ia tidak kuasa menolaknya sehingga kemudian diletakkan kapaknya.

Namun Rembana tidak mau duduk di lincak itu pula. Tetapi ia justru duduk diatas seonggok kayu yang telah ditimbun di sebelah lincak yang panjang itu.

“Duduklah disini, kakang.”

“Terima kasih, Raden Ajeng.”

Raden Ajeng Rantamsari tersenyum. Ia tahu, bahwa Rembana masih merasa segan untuk duduk di sebelahnya

“Aku ingin kakang bercerita tentang pandan diatas bukit Pudak Seketi itu” berkata Raden Ajeng Rantamsari sambil tersenyum.

“Apanya yang harus aku ceritakan, Raden Ajeng. Hutan pandan itu sulit sekali ditembus. Daun pandan yang berduri itu saling berkait.”

“Jadi bagaimana dengan orang-orang yang mencari daun pandan untuk dibuat barang-barang kerajinan?”

“Mereka mencari daun pandan yang tumbuh dipinggir saja, Raden Ajeng. Mereka tidak dapat pergi ke tengah.”

Raden Ajeng Rantamsari mengangguk-angguk. Dengan nada yang merendah ia pun kemudian berkata, “Jika musim pandan berbunga, alangkah indahnya hutan pandan itu, kakang.”“

“Kita hanya dapat melihat dari pinggir hutan itu saja, Raden Ajeng.”

Raden Ajeng Rantamsari mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya beberapa hal tentang hutan pandan di bukit Pudak Seketi itu.

Demikianlah, maka huhungan Rembana dengan Raden Ajeng Rantamsari dari hari ke hari menjadi semakin rapat. Meskipun Rembana masih tetap menyadari siapakah dirinya dan siapa pula Raden Ajeng Rantamsari, namun sebenarnyalah Rembana tidak dapat ingkar, bahwa hatinya yang paling dalam telah terjerat oleh sikap, pandangan mata, tutur kata Raden Ajeng Rantamsari yang lembut, luruh dan menyentuh itu.

Demikian pula Raden Ajeng Rantamsari. Kadang-kadang ia merasa menyesal, bahwa ia telah dilahirkan oleh seorang ibu yang kebetulan adalah isteri seorang Adipati. Sehingga dengan demikian ia hidup dalam batasan-batasan yang mengungkungnya. Ia tidak dapat bebas seperti gadis-gadis sebayanya yang hidup diluar dinding kadipaten. Bahkan kemudian telah terjadi peristiwa yang mengguncang kemapanan hidupnya Ibundanya telah dituinta meninggalkan dalem Kadipaten Kateguhan.

Perjumpaannya dengan Senapati muda yang bernama Rembana itu telah membuat Raden Ajeng Rantamsari yang menginjak dewasa itu terhisap kedalam dunia angan-angan yang membubung.

Dalam pada itu, setelah beberapa lama Raden Madyasta serta ketiga orang Senapati muda berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda ternyata tidak pernah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Malam-malamnya dilalui dengan tenang tanpa gangguan sama sekali.

Bahkan Raden Madyasta telah mulai berpikir untuk menghadap ayahandanya dan menyampaikan laporan tentang keadaan di rumah bibinya. Jika saja ayahandanya sependapat, maka ayahandanya dapat menunjuk orang lain untuk melanjutkan tugas mereka.

Namun tiba-tiba saja telah terjadi gejolak dipermukaan yang telah terasa menjadi tenang itu.

Ketika hari merambat siang, Raden Ayu Prawirayuda berada di serambi samping. Raden Ayu itu masih saja mempunyai kesenangan membatik. Digelarkan kain putih yang sebagian sudah digores dengan lukisan batik yang lembut. Sekali-sekali ditiupnya canting yang sudah berisi malam panas yang cair. Kemudian dengan cekatan yang sudah baerisi malam panas yang cair. Kemudian dengan cekatan tangannya bergerak-gerak meninggalkan goresan lukisan yang rumit.

Namun tiba-tiba saja Raden Ayu itu terkejut ketika ia mendengar seseorang menyapanya, “Kangmbok.”

Hampir saja Raden Ayu Prawirayuda menumpahkan malamnya yang cair dan panas didalam wajan kecilnya.

“Dimas Wicitra.”

Wicitra tertawa. Katanya, “Kangmbok terkejut karena tiba-tiba aku sudah berada disini?”

“Ya. Kau memang mengejutkan aku” sahut Raden Ayu Prawirayuda.

“Maaf, kangmbok. Bukan maksudku mengejutkan kangmbok.”

“Untuk apa kau tiba-tiba saja datang kemari Wicitra?

“Sikap kangmbok aneh. Bukankah aku adik kangmbok. Satu-satunya saudara kandung kangmbok. Jika ada dua orang saudara kita, kedua-duanya telah meninggal. Yang tinggal adalah aku. Adik laki-laki kangmbok Prawirayuda”

“Aku tahu. Nah, sekarang apa yang kau maui?”

“Apakah kangmbok tidak mempersilahkan aku duduk? Kangmbok. Aku datang dari jauh. Aku datang dari Kateguhan untuk menengok satu-satunya saudara kandungku.”

“Baik. Duduklah Wicitra”

Wicitra tersenyum. Iapun kemudian duduk di serambi ditemani Raden Ayu Prawirayuda

“Kangmbok. Semalam aku berrnalam di rumah seorang kawanku yang tinggal di Paranganom. Seharusnya aku bermalam disini, dirumah saudara kandungku.”

Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi tegang. Tetapi ia tidak menjawab.

Kangmbok meninggalkan Kateguhan tanpa memberi-tahu aku. Padahal aku adalah satu-satunya saudara kandung kangmbok.”

“Aku tidak sempat, Wicitra. Tiba-tiba saja aku harus pergi dari Kateguhan.”

“Bukankah sebenarnya kangmbok tidak harus meninggalkan Kateguhan? Kangmbok hanya harus meninggalkan dalem Kadipaten. Bukankah sesungguhnya sudah disediakan rumah yang cukup memadai bagi kangmbok?”

“Aku mempunyai harga diri, Wicitra. Apa kata orang Kateguhan jika aku bersedia meninggalkan kadipaten dan tinggal di rumah yang berada jauh di luar dinding kota itu?”

“Bukankah itu salah kangmbok sendiri?”

“Kenapa aku yang salah?”

“Sudahlah kangmbok. Aku tidak mau membicarakan persoalan kangmbok yang sangat pribadi itu”

“Lalu, apa yang akan kau katakan Wicitra?”

“Kenapa sikap kangmbok sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang kakak perempuan yang penuh kasih seperti masa kanak-kanak itu? Kangmbok adalah anak sulung. Dua saudara kita meninggal diusia remaja mereka Kemudian aku adalah anak bungsu. Jarak umur kita memang agak banyak kangmbok. Waktu kecil, kangmbok bersikap sangat manis kepadaku. Bahkan kangmbok terlalu memanjakan aku. Kangmbok menggendong aku kemana-mana Jika aku menangis, mata kangmbok ikut menjadi basah.”

“Wicitra. Syukurlah jika kau sempat mengingat semuanya itu. Tetapi apa balasanmu setelah kau menjadi dewasa? Kau kehilangan sifat-sifat baikmu. Kau tumbuh didalam lingkungan yang salah. Kau berada didalam lingkungan yang akhirnya merusak hidupmu. Ayah dan ibu semasa hidupnya telah kehilangan kendali atas dirimu.”

Wicitra tertawa. Katanya, “Mungkin kangmbok benar. Tetapi sebagaimana waktu itu aku berubah, maka pada saatnya akupun akan berubah pula. Aku menyadari semuanya itu dan aku berniat untuk memperbaikinya”

“Kau memang harus mencoba, Wicitra. Kau harus berani melepaskan diri dari lingkungan yang buruk itu. Kau tidak boleh dekat kerbau berkubang. Kau akan terpercik oleh lumpur pula”

“Aku mengerti kangmbok Aku memang akan meninggalkan duniaku yang buram itu. Aku akan tinggal disini.”

“Tinggal disini?”

“Ya, kangmbok. Aku minta kangmbok menyampaikan kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma, agar Madyasta dan ketiga orang senapati itu dikembalikan kepada tugas mereka masing-masing.”

“Mereka disini melindungi aku dan Rantamsari.”

Wicitra tertawa lebih keras. Katanya, “Jika hanya untuk melindungi kangmbok dan Rantamsari dari kejahatan, kenapa harus empat orang Senapati? Bukankah cukup dengan empat atau lima orang prajurit saja”

“Keadaannya cukup gawat Wicitra.”

“Kenapa kangmbok tidak berusaha melindungi diri sendiri serta Rantamsari? Apakah arti gelar kangmbok pada saat kangmbok berada di Kateguhan? Bukankah kangmbok di-gelari Srikandi Kateguhan?”

“Itu dahulu, Wicitra. Itu pun gelar yang berlebihan. Aku hanya mengangankan agar di Kateguhan ada prajurit perempuan meskipun jumlahnya kecil. Itu saja. Bukan berarti aku memiliki ilmu yang tinggi.”

“Kangmbok. Meskipun demikian, kangmbok tidak memerlukan para Senapati muda yang masih ingusan itu.”

“Wicitra. Mereka adalah Senapati pilihan. Mereka telah mampu memadamkan gejolak yang terjadi di Panjer baru-baru ini.”

“Itu sama sekali tidak mengherankan.”

“Mereka juga pernah mendapat pujian langsung dari Kangjeng Sultan di Tegal Langkap setelah mereka terlibat dalam perang besar di tepi Bengawan Rahina”

“Omong kosong. Itu hanyalah ceritera yang direka-reka oleh para Senapati muda itu sendiri.”

“Tidak. Pujian itu diakui oleh Kangjeng Adipati Prangkusuma sendiri.”

“Baik. Baik, kangmbok. Meskipun demikian sebenarnya mereka tidak kangmbok perlukan. Aku akan tinggal disini. Keberadaanku disini akan lebih berarti dari keempat orang Senapati ingusan itu.”

“Wicitra. Kau masih saja suka membual. Itukah bagian dari keinginanmu memperbaiki sifat dan watakmu?”

“Aku tidak membual kangmbok. Aku berkata sebenarnya” jawab Wicitra, “karena itu, aku minta kangmbok menyingkirkan para Senapati muda itu termasuk Raden Madyasta”

“Tidak. Wicitra Mereka akan tetap berada disini.”

“Aku mengerti, kangmbok. Sebenarnya keberadaan mereka disini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perlindungan sebagaimana yang kangmbok katakan. Tetapi keberadaan mereka disini tentu karena maksud kangmbok yang lain.”

“Aku tidak tahu maksudmu, Wicitra.”

“Kangmbok tengah menawarkan Rantamsari kepada mereka”

“Wicitra Jagalah mulutmu. Karena mulutmu kau akan dapat terjerat oleh petaka.”

Tetapi Wicitra justru tertawa berkepanjangan. Katanya, “Di Kateguhan kangmbok gagal menginginkan menantu seorang Adipati. Sekarang kangmbok membawa Rantamsari ke Paranganom dan menawarkan kepada para senapati muda itu.”

“Cukup Wicitra.”

“Kangmbok tidak usah marah. Aku tahu bahwa Rantamsari berhubungan semakin rapat dengan Rembana. Salah seorang senapati muda yang ada di rumah ini.”

Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi merah bagaikan membara. Dengan lantang Raden Ayu itu berkata “Wicitra. Tidak sepantasnya kau berkata seperti itu.

Seandainya benar Rantamsari berhubungan semakin rapat dengan Rembana apa keberatanmu? Rantamsari sudah dewasa. la sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk Karena itu, kau tidak usah ikut campur. Biar saja Rantamsari menentukan jalan hidupnya sendiri.”

“Tetapi bukankah tidak sepantasnya Rantamsari berhubungan dengan Senapati kecil yang tidak berarti apa-apa itu?”

“Tetapi ia adalah Senapati pilihan, Wicitra.”

“Senapati itu tidak ada sekuku ireng dibanding dengan aku.”

“Apa maksudmu?”

“Seharusnya kangmbok sudah mengetahuinya”

“Mengetahui apa?”

“Bukankah aku pernah memberikan isyarat bahwa aku inginkan Rantamsari menjadi isteriku.”

“Itu adalah pikiran gila, Wicitra, Itu tidak mungkin. Kau tahu, bahwa itu adalah bagian dari sifat dan watakmu yang kotor, yang terbentuk di tengah-tengah yang kotor pula”

“Apakah pemikahan itu satu hal yang kotor? Bukankah pernikahan justru bagian dari kehidupan yang memang dikehendaki oleh Yang Maha Pencipta untuk melestarikan keberadaan umatnya? Pemikahan adalah satu hal yang suci, kangmbok.”

“Ya Pemikahan itu sendiri memang satu hal yang suci. Justru karena itu, maka pemikahan diatur dengan beberapa tatanan. Wicitra. Kau adalah pamannya. Rantamsari adalah anakku. Anak kakak kandungmu. Bagaimana kau dapat mengambilnya menjadi isterimu?”

“Apa salahnya kangmbok. Aku laki-laki. Rantamsari seorang perempuan. Bukankah sudah sewajamya jika seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan?”

“Tetapi tidak dengan kemanakan sendiri.”

“Kangmbok. Jika niatmu, terpenuhi, bukankah kau ingin Rantamsari menikah dengan Kangjeng Adipati Yudapati? Nah, bukankah Adipati Yudapati itu saudara lakilaki Rantamsari?”

“Semuaitu omong kosong. Fitnah.”

Wicitra tertawa pula,

“Wicitra. Sekarang pergilah. Aku tidak mau kau berada di rumahku. Aku tidak mau kau mengotori lantai serambiku.”

“Jangan kasar terhadapku, kangmbok. Seharusnya kangmbok berterima kasih kepadaku. Kangmbok tidak perlu menjajakan Rantamsari ke Paranganom.”

“Cukup. Pergilah Wicitra”

“Kangmbok jangan mengusir aku. Sudah aku katakan, aku akan tinggal disini menjaga keselamatan kangmbok dari Rantamsari. Yang sepantasnya diusir adalah Madyasta dan para senapati itu. Tidak pantas Rantamsari berhubungan rapat dengan seorang senapati kecil seperti Rembana itu.”

“Pergilah Wicitra Sebelum aku mengusirmu.”

“Kangmbok tidak akan dapat mengusir aku.”

“Aku dapat memanggil para senapati itu.”

“Apa artinya senapat itu bagiku? Aku akan dapat dengan mudah membunuh mereka”

“Apakah kau benar-benar akan mencobanya, Wicitra?”

Wajah Wicitra menjadi tegang. Dengan geram ia berkata, “Kau akan menyesali perbuatanmu itu kangmbok.”

“Tidak. Aku tidak akan menyesal. Kaulah yang akan menyesal jika kau tidak mau pergi dari tempat ini.”

Tetapi Wicitra itu menggeleng. Katanya “Aku tidak akan pergi.”

“Pergi. Kau harus pergi” suara Raden Ayu Prawirayuda menghentak keras.

Tetapi Wicitra masih tetap tidak beranjak dari tempatnya, sehingga Raden Ayu Prawirayuda itupun berkata, “Jadi aku harus mengusirmu dengan kekerasan Wicitra”

Namun tiba-tiba saja pintu serambi itupun terbuka. Seorang Senapati muda muncul dari balik pintu yang terbuka itu.

“Maaf Raden Ayu. Aku mendengar sedikit keributan disini. Tetapi jika tidak terjadi sesuatu, aku sekali lagi mohon maaf.”

“Tidak terjadi apa-apa disini, anak muda. Aku adalah adik kandung kangmbok Prawirayuda”

“O”

“Usir orang ini. Ia memang adik kandungku. Tetapi ia tidak pantas berada di rumah ini.”

“Jadi?”

“Bawa orang ini keluar. Jika perlu dengan paksa.”

Rembana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Marilah, Raden. Aku persilahkan Raden Keluar.”

“Pergi, kau dengar?” Wicitra justru membentak.

Tetapi Rembana tidak beringsut. Katanya, “Aku sudah mendapat perintah dari Raden Ayu Prawirayuda Karena itu, sebelum aku mempergunakan kekerasan, lebih baik Raden keluar dari rumah ini.”

“Kau akan mempergunakan kekerasan?”

“Ya”

“Cobalah. Cobalah jika kau berani.”

Rembana memang menjadi ragu-ragu. Namun ketika ia berpaling dan memandang Raden Ayu Prawirayuda, ia melihat Raden Ayu Prawirayuda itu mengangguk.

Karena itu, maka Rembana bergeser selangkah maju sambil berkata, “Aku akan memaksa Raden.”

“Bagus. Ternyata kau seorang Senapati muda yang berani. Nah, cobalah. Paksa aku keluar dari rumah ini.”

Rembana memang tidak sabar lagi. Tetapi sebelum ia berbuat lebih jauh, maka didengarnya seseorang berdiri di pintu yang terbuka itu. Ketika Rembana berpaling, dilihatnya Madyasta berdiri di pintu.

“Raden” desis Rembana

“Ada apa?”

“Angger Madyasta” Raden Ayu Prawirayuda lah yang menyahut, “aku minta orang ini diusir dari rumahku.”

Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Wicitra yang menjadi tegang setelah ia melihat Madyasta hadir pula di serambi itu.

“Bukankah itu paman Wicitra?”

“Ya, Raden. Ia memang adik kandungku. Tetapi ia datang untuk mengganggu ketenanganku.”

“Maaf paman” berkata Raden Madyasta kemudian, “aku berada disini karena aku diperintahkan oleh ayahanda untuk menjaga ketenangan dan ketenteraman keluarga bibi. Karena itu, jika paman Wicitra membuat bibi gelisah, aku mohon paman meninggalkan tempat ini.”

Wajah Wicitra menjadi merah membara Namun ia tidak mempunyai pilihan. Jika

terjadi perselisihan serta benturan kekerasan maka para Senapati yang lainpun tentu akan segera berdatangan. Agaknya Wicitra masih belum siap menghadapi para Senapati itu. Apalagi seorang diantaranya adalah Raden Madyasta, yang baru pulang dari sebuah perguruan serta tuntas dalam ilmu kanuragan.

Karena itu, maka dengan hati yang luka Wicitra itupun berkata kepada kakak perempuannya, “Baik, kangmbok. Sekarang aku akan pergi. Tetapi jangan kira bahwa aku tidak akan kembali.”

Sebelum Raden Ayu Prawirayuda menjawab, maka Wicitra pun bergegas meninggalkan serambi itu. Dipintu ia berhenti sejenak memandang wajah Raden Madyasta. Namun Raden Madyastapun memandang pula langsung ke biji matanya.

Sepeninggal Wicitra, Raden Madyastapun bertanya, “Ada apa dengan paman Wicitra, bibi?”

“Anak itu selalu mengganggu saja ngger. Sejak aku masih tinggal di Kateguhan. Tetapi bagaimana mungkin ia tiba-tiba saja sudah berada di pintu serambi ini.”

“Maaf bibi. Aku melihat paman Wicitra masuk regol dan berjalan di halaman. Aku melihat paman Wicitra masuk pintu seketeng. Tetapi karena aku tahu, bahwa paman Wicitra itu adik kandung bibi, maka aku tidak menegurnya”

“Ia memang adik kandungku, ngger. Tetapi sifat dan wataknya tidak dapat dikendalikan lagi. Karena itu, ngger. Aku mohon lain kali, jangan biarkan ia masuk ke rumah ini.”

“Baik, bibi. Aku akan mengingatnya. Akupun akan berpesan kepada kakang Rembana, kakang Sasangka dan kakang Wismaya, agar paman Wicitra tidak djijinkan masuk.”

“Terima kasih, ngger. Anak itu membuat jantungku berdebaran semakin cepat.”

“Baik, bibi.”

Raden Madyasta dan Rembanapun kemudian meninggalkan serambi itu. Raden Ayu Prawirayuda kembali duduk di depan gawangan menggelar kain yang sedang dibatiknya. tetapi rasa-rasanya ia tidak lagi bertekun. Jantungnya masih saja terasa berdegup.

Hari ini Raden Ayu Prawirayuda nampak gelisah. Ia tidak dapat mengerjakan pekerjaan yang sering dilakukannya sehari-hari dengan baik. Setiap kali Raden Ayu Prawirayuda itu duduk sambil merenungi anak gadisnya yang tumbuh dewasa itu. Tumbuh dewasa itu bahkan debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat, jika ia teringat kata-kata Wicitra, bahwa Wicitra justru menginginkan Rantamsari untuk menjadi isterinya.

“Anak itu sudah menjadi gila” desis Raden Ayu Prawirayuda.

Sementara itu, sejak Wicitra datang, ia belum melihat Raden Ajeng Rantamsari, pintu biliknya tertutup rapat, biasanya Rantamsari tidak menutup diri dalam biliknya seperti itu.

“Apakah ia mendengar pembicaraanku yang keras dengan pamannya di serambi?” bertanya Raden Ayu Prawirayuda didalam hatinya.

Raden Ayu Prawirayuda merasa ragu. Beberapa saat ia berdiri di depah pintu bilik anak gadisnya.

Namun perlahan-lahan Raden Ayu Prawirayuda itu mengetuk pintu bilik itu.

“Rantamsari” terdengar suara Raden Ayu Prawirayuda lembut.

Tidak terdengar jawaban. Karena itu, Raden Ayu Prawirayuda pun mengulanginya, mengetuk pintu itu perlahan

“Rantamsari.”

Yang terdengar adalah justru isak tangis tertahan.

Perlahan-lahan Raden Ayu Prawirayuda mendorong pintu itu sehingga terbuka. Dilihatnya Rantamsari menelungkup di pembaringannya.

Raden Ayu Prawirayuda melangkah mendekatinya. Kemudian duduk di bibir pembaringan sambil mengusap rambut anaknya yang hitam kelam.

“Kenapa kau menangis ngger?”

Rantamsari tidak segera menjawab.

“Rantamsari. Jawablah pertanyaan ibu. Kenapa kau menangis ngger?”

“Ibu” Rantamsari bangkit. Namun iapun segera duduk dilantai dihadapan ibunya sambil meletakkan kepalanya di pangkuannya.

“Apa yang kau pikirkan, Rantamsari?” suara ibunya terdengar sejuk di telinga gadis itu.

“Apakah aku bersalah ibu?”

“Kenapa kau bertanya seperti itu, ngger?”

“Kenapa paman marah kepadaku”?”

“Kau dengar pembicaraan kami?”

“Tidak seluruhnya ibu. Tetapi serba sedikit aku mendengarnya.”

“Apa yang telah kau dengar?”

“Paman menyebut nama kakang Rembana.”

“Ya, Rantamsari. Apa lagi yang kau dengar?”

“Tidak jelas ibu. Tetapi agaknya paman menyalahkan aku karena aku berhubungan dengan kakang Rembana. Bahkan paman menganggap aku seorang gadis yang rendah, yang dijajakan di Paranganom. Yang lain aku tidak dapat mendengarnya ibu. Ketika aku sudah berada didalam bilik ini, aku mendengar ibu mengusir paman setelah ibu bertengkar dengan paman.”

“Jangan hiraukan pamanmu, Rantamsari. Ia tidak akan datang lagi. Aku sudah minta angger Madyasta untuk mencegahnya jika ia akan memasuki-rumah ini.”

“Ya, ibu. Tetapi apa sebenarnya yang diinginkan paman Wicitra itu?”

“Rantamsari. Kau sudah dewasa. Aku tidak ingin merahasiakannya lagi, apa yang diingini oleh pamanmu itu.”

Rantamsari mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah ibunya yang bagaikan membeku. Sorot mata ibunya jauh menerawang menembus batas ruang dan waktu.....

Sejak lama Wicitra memang sudah mengisyaratkan kepada Raden Ayu Prawirayuda, bahwa ia menginginkan Rantamsari untuk dijadikan isterinya. Ia minta agar Rantamsari jangan diberikan kepada orang lain. Tetapi Wicitra baru berkata dengan jelas, justru setelah ia berada di Paranganom.

“Ibu” desis Rantamsari.

Raden Ayu Prawirayuda itupun tersadar. Sambil membetulkan rambut anaknya iapun berkata, “Rantamsari. Sebenarnya bahwa pamanmu menginginkan agar kau dapat dijadikan isterinya”

“Bukankah aku kemanakannya?, Bukankah paman Wicitra itu adik kandung ibu?”

Raden Ayu Prawirayuda mengangguk lagi.

“Ibu” mata Rantamsari pun menjadi basah lagi..

“Sudahlah, Rantamsari. Lupakan keinginan pamanmu itu.”

“Itukah agaknya, kenapa paman tidak senang melihat hubunganku dengan kakang Rembana.”

“Rantamsari” suara ibunya merendah, “akulah yang justru ingin bertanya. Apakah benar kau telah menjalin hubungan batin dengan senapati muda itu, sebagaimana dikatakan oleh pamanmu?”

“Ibu juga menyalahkan aku?”

“Tidak. Bukan maksudku, Rantamsari. Aku hanya ingin tahu, apa yang sedang bergejolak di dada anak gadisku.”

“Ibu” suara Rantamsari menjadi parau, “menurut pendapatku, kakang Rembana adalah anak muda yang baik. Ia ramah dan gembira. Meskipun ia suka berkelakar, tetapi ia masih mengenal batas-batas unggah-ungguh serta tidak mengurangi harga dirinya sebagai seorang senapati muda yang mempunyai kelebihan.”

“Jadi kau memang tertarik kepadanya, Rantamsari.”

“Ibu. Aku adalah putri ibu. Sebagaimana seorang gadis yang hidup di lingkungan dinding kadipaten, segala sesuatunya sudah ditentukan baginya. Aku tinggal menjalaninya saja. Karena itu, jika memang ada titah yang lain, aku tidak dapat menolaknya.”

“Tidak, Rantamsari. Tidak. Sudah aku katakan, aku hanya ingin mengetahuinya.”

“Aku tidak dapat ingkar, ibu. Aku tertarik kepada kakang Rembana. Wajahnya yang cerah, hatinya yang terbuka, kelakarnya, namun juga pandangannya yang luas tentang hidup dan kehidupan.”

“Kau sudah banyak berbicara dengan senapati muda itu Rantamsari?”

“Ya. Ibu. Aku sudah tahu pula, bahwa kakang Rembana juga tertarik kepadaku.”

“Baiklah, Rantamsari. Aku bukan seorang ibu yang hanya menuruti keinginanku sendiri. Aku harus mendengarkan kemauanmu karena kaulah yang akan menjalaninya. Masa de-panmu akan terletak di tanganmu sendiri.”

“Ibu. Jadi ibu tidak berkeberatan?”

“Ibu hanya ingin meyakinkan sikapmu, Rantamsari. Dengarlah. Rembana hanyalah seorang senapati prajurit di Puranganom. Ia bukan seorang yang pinunjul. Mungkin ia memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi ada berapa orang senapati muda di Paranganom ini. Karena itu, kau harus itu pikirkan sebaik-baiknya masa depanmu. Jika kau benar-benar ingin menyatukan dirimu dalam kehidupan Rembana, maka kau harus siap menjalani hidup dan kehidupan yang sederhana. Karena Rembana seorang prajurit, maka ia akan lebih sering berada di luar rumah. Tugas akan selalu memanggilnya, sebagaimana ia berada disini sekarang ini.”

“Aku mengerti ibu. Tetapi justru kehidupan yang sederhana itulah yang akan dapat dinikmati sedalam-dalamnya. Tidak seperti saat kita tinggal di Kadipaten Kateguhan. Segala sesuatunya berlangsung sesuai dengan pranatan, sehingga rasa-rasanya kita telah kehilangan diri sendiri dalam keberadaan kita ini ibu. Kita tidak mempunyai kebebasan menentukan sikap dan bahkan keinginan-keinginan yang paling mendasar dari hidup ini.”

Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Katanya,” Dari-mana kau dengar sikap hidup sebagaimana yang kau katakan itu. Rantamsari? Dari Rembana? Aku tidak menyalahkannya. Justru apa yang kau katakan itu sangat menarik perhatianku. Menurut pendapatku, yang kau katakan itu benar adanya.”

“Ibu sependapat?”

Raden Ayu Prawirayuda mengangguk.

“Ibu” senyum yang manis mengembang dibibir Raden Ajeng Rantamsari. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya sambil memejamkan matanya. Dengan suara yang lirih iapun berkata, “Ibu, doakan agar aku akan menemukan kebahagiaan.”

“Aku mengerti Rantamsari. Sikap kakangmasmu yang telah mengusir kita dari Kateguhan telah menghunjam, melukai jantungmu sampai ke dasar. Agaknya luka itu tidak mudah untuk dapat disembuhkan. Peristiwa itu tentu sangat mempengaruhi pandanganmu tentang hidup dan kehidupan.”

“Mungkin ibu. Tetapi aku ingin menemukan hari-hari mendatang yang panjang. Aku tidak akan selalu berpaling pada masa lalu itu, meskipun sebagai pengalaman akan mempunyai arti tersendiri bagiku.”

Raden Ayu Prawirayuda masih saja membelai rambut anaknya. Namun beberapa saat kemudian. Raden Ayu Prawirayuda itupun berkata, “Beristirahatlah, Rantamsari. Mungkin kau merasa letih oleh gejolak perasaanmu. Jika kau ingin tidur, tidurlah.”

“Tidak. ibu. Aku tidak ingin tidur. Aku akan pergi ke dapur.”

Justru Raden Ajeng Rantamsari lah yang lebih dahulu bangkit berdiri. Ketika Raden Ayu Prawirayuda juga bangkit, maka Rantamsari pun menggandeng ibunya keluar dari biliknya langsung pergi ke dapur.

Di dapur, para abdi sedang sibuk menyiapkan makan siang bagi para senapati muda yang berada di rumah itu. Rantamsari pun kemudian telah ikut pula membantu mereka, menyediakan mangkuk serta peralatan yang lain.

Hari itu, wajah Raden Ajeng Rantamsari nampak sangat cerah. Rasa-rasanya Raden Ajeng Rantamsari telah meletakkan beban yang memberati perasaannya.

Selama ini, Raden Ajeng Rantamsari tidak berani berterus terang kepada ibunya, bahwa sebagai seorang gadis hatinya telah tersentuh oleh seorang anak muda yang bernama Rembana. Sebaliknya, anak muda itupun telah tertarik pula kepadanya.

Meskipun Rantamsari sebenarnya telah menduga, bahwa ibunya ikut merasakan getar timbal balik antara dirinya dengan senapati muda itu, namun ibunya tentu ingin mendengar pengakuannya itu.

Kedatangan pamannya seakan-akan justru telah membuka kesempatan kepadanya untuk menyampaikan hal itu kepada ibunya.

Pernyataan ibunya itu, telah membuat hubungan Raden Ajeng Rantamsari dengan Ki Lurah Rembana menjadi semakin akrab. Raden Ajeng Rantamsari tidak lagi merasa pakewuh untuk berbicara dengan Rembana di tempat-tempat terbuka.

Namun hubungan antara Raden Ajeng Rantamsari dengan Rembana itu tidak terlepas dari pengamatan senapati muda yang lain. Sasangka.

Senja itu, warna-warna jingga yang silau memancar di langit. Beberapa lembar mega hanyut beriringan dihembus ingin dari lautan. Setelah mandi, Madyasta dan Wismaya duduk di halaman belakang rumah Raden Ayu Prawirayuda.

Mereka sempat memandangi burung-burung bangau yang terbang beriringan pulang kesarangnya.

“Apakah Rembana dan Sasangka juga sudah mandi?” bertanya Madyasta.

“Sudah Raden. Mereka ada di serambi gandok.”

“Kakang Wismaya” berkata Madyasta kemudian, “aku melihat telah terjadi perubahan dalam hubungan diantara keduanya. Aku tidak tahu, apakah yang telah menyebabkannya.”

“Maksud Raden, pada keduanya seakan akan telah terbentang jarak.”

“Ya.”

“Ya, Raden. Aku mengenal keduanya dengan baik. Aku berada dalam kelompok yang sama pada saat kami bersama-sama memasuki dunia keprajuritan. Agaknya jenjang kedudukan kamipun merambat bersama-sama pula, sehingga kami sempat menjadi Lurah prajurit yang justru memaksa kami untuk berpisah, karena kami mengemban tugas kami masing-masing.”

“Bukankah selama ini tidak ada masalah diantara keduanya?”

“Nampaknya tidak ada Raden. Tetapi sebenarnyalah bahwa akhir-akhir ini memang terasa ada jarak diantara mereka.”

“Mudah-mudahan tidak timbul persoalan yang mendasar diantara mereka. Namun adalah kewajibanku untuk mengetahui, ada apa sebenarnya diantara mereka itu.”

Sebenarnyalah saat itu, Rembana dan Sasangka duduk di serambi gandok. Untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Sasangka lah yang membuka pembicaraan, “Rembana. Sebelumnya aku minta kau jangan salah paham. Jangan menganggap aku orang lain yang mencampuri urusan pribadimu. Aku adalah bukan hanya sekedar kawanmu. Tetapi kau bagiku rasa-rasanya sudah bagaikan saudara kandung.”

Rembana berpaling. Dengan kerut di dahi iapun bertanya, “Ada apa Sasangka.”

“Sudah sejak beberapa hari sebenarnya aku ingin mengingatkanmu, Rembana.”

“Apakah ada yang aku lupakan?”

“Tidak. Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik.”

“Jadi, apa yang perlu kau peringatkan?”

“Rembana, Aku bermaksud baik. Jangan tuduh aku mencampuri persoalan pribadimu.”

Rembana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Katakan, Sasangka.”

“Aku ingin membicarakan hubunganmu dengan Raden Ajeng Rantamsari.”

“Hubunganku dengan Raden Ajeng Rantamsari? Kenapa?”

“Selagi belum terlanjur menjadi terlalu jauh.”

“Kenapa?”

“Aku ingin menasehatkan, agar kau mempertimbangkan kembali hubunganmu dengan Raden Ajeng Rantamsari. Pada akhir-akhir ini aku melihat hubunganmu telah bergerak semakin akrab. Sentuhan-sentuhan batin diantara kalian telah membuat hubungan kalian menjadi khusus.”

Rembana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih atas perhatianmu, Sasangka. Tetapi jangan hiraukan. Aku tidak beniat menolak uluran tanganmu serta niat baikmu. Tetapi karena aku sudah dewasa penuh, biarlah persoalan itu aku selesaikan sendiri.”

“Aku hanya ingin mengingatkan, agar kau tidak menjadi kecewa di hari-hari mendatang.”

“Kecewa? Kenapa aku harus kecewa?”

“Kau harus berani melihat ke dirimu sendiri.”

Rembana menarik nafas panjang. Katanya, “Aku mengerti, Sasangka. Kau tentu akan mengatakan, bahwa aku adalah sekedar anak pedesaan. Anak yang dilahirkan dan dibesarkan di kaki bukit. Ayahku dan ibuku adalah orang-orang dari kaki bukit itu pula. Sedangkan Raden Ajeng Rantamsari adalah anak seorang Adipati, meskipun Kangjeng Adipati itu sudah meninggal.”

“Ya. Aku tidak ingin kau menjadi kecewa di hari-hari mendatang. Seperti seseorang yang terbangun dari sebuah mimpi yang indah, maka kau akan menjadi sangat kecewa.”

“Kenapa aku harus kecewa”?

“Raden Ajeng Rantamsari pada suatu saat tentu akan dinikahkan dengan seorang yang pantas untuk menjadi suaminya. Mungkin seorang Adipati muda atau seorang putera Adipati. Bahkan mungkin saja Raden Ajeng Rantamsari akan mendapat suami seorang ksatria dari Istana Tegal Langkap.”

“Jika nasibku memang seburuk itu, biarlah aku sandangnya Sasangka.”

“Sebenarnya kau tidak perlu menunggu sampai kau mengalaminya Rembana. Mumpung belum terlanjur, kau dapat ber usaha untuk mencegahnya.”

“Terima kasih atas kepedulianmu itu, Sasangka. Tetapi aku tidak berniat untuk menghindar sekarang. Seperti orang yang akan maju kemedan perang. Aku sudah siap. Jika aku menang, maka aku akan pulang dengan berbagai macam penghormatan. Bahkan bermahkotakan gelar seorang pahlawan. Menikmati pujian dan kebanggaan. Tetapi jika aku kalah, maka namaku akan tercemar. Orang lain akan berpaling jika berpapasan di jalan. Bahkan dapat terjadi lebih buruk dari itu. Menjadi seorang tawanan perang yang dihinakan. Dipekerjakan lebih buruk dari seorang budak. Atau dapat juga aku mati dipertempuran. Tetapi aku sudah siap menghadapi semua kemungkinan itu. Aku siap untuk menang. Tetapi aku pun siap untuk kalah atau bahkan mati.”

“Kau keras kepala Rembana.”

“Kau tahu itu Sasangka. Aku memang orang yang keras kepala. Aku tidak mudah menerima pendapat orang lain.”

“Tetapi persoalan ini adalah persoalan yang gawat, Rembana. Aku minta kau mengerti.”

“Sasangka” berkata Rembana kemudian. Nada suaranya meninggi, “Aku sudah dewasa penuh. Aku sudah dapat memilih, manakah yang baik dan manakah yang tidak baik bagiku. Aku minta kau tidak mencampurinya.”

“Itulah yang kau kehendaki sekarang Rembana? Justru pada saat kau memerlukannya.”

“Tidak. Aku tidak memerlukannya.”

“Kau sakit, Rembana. Tetapi kau tidak mau mengakui, bahwa kau memerlukan pengobatan.”

“Sasangka. Kau sudah terlalu dalam mencampuri persoalan yang sangat pribadi bagiku. Nasehatmu sudah cukup.”

“Belum Rembana.”

“Bahkan sudah terlalu banyak. Atau justru karena kau merasa iri?”

Sasangka terkejut, sehingga tiba-tiba saja iapun bangkit berdiri, “Rembana. Kau menganggap aku menjadi iri?”

“Jika tidak, lepaskan aku sekehendak hatiku. Kau tidak berhak mencampuri persoalan pribadiku. Mungkin aku memerlukan bantuanmu dalam pertempuran antara hidup dan mati. Tetapi aku tidak memerlukan pendapatmu dalam persoalan ini.”

Wajah Sasangka menjadi merah. Namun sebelum ia menjawab dengan suara yang bergetar, ia melihat Wismaya sudah berdiri di tangga serambi gandok itu.

“Wismaya” desis Rembana.

“Aku mendengar sebagian dari persoalan yang kalian bicarakan dari balik dinding sebelah. Maaf. Tetapi aku sama sekali tidak sengaja mendengarkannya. Ketika aku ingin menemui kalian berdua, aku mendengar pembicaraan kalian. Semakin lama menjadi semakin tajam. Semula aku tindak ingin mencampurinya. Tetapi ketika aku akan pergi, aku justru merasa menjadi bagian dari keberadaan kita semuanya di rumah ini.”

“Aku bermaksud baik” berkata Sasangka.

“Aku mengerti” sahut Wismaya.

“Tetapi ia telah mencampuri persoalan pribadiku terlalu dalam. Aku sudah mengatakan, bahwa aku berterima kasih atas kepeduliannya. Tetapi selanjutnya, biarlah aku yang memutuskan.”

“Memang kaulah yang harus memutuskan. Tetapi Sasangka ingin memberikan pertimbangan kepadamu.”

“Sudah aku katakan. Aku berterima kasih. Tetapi selanjutnya terserah kepadaku. Jika hubunganku dengan puteri itu dianggap demikian aku akan terperosok kedalam lidah api, biarlah aku terbakar sampai hangus. Sasangka tidak perlu menangisinya.”

“Jadi itukah arti kesetia-kawanan bagimu Rembana.”

“Aku menghargai kesetia-kawanan. Tetapi.tentu ada batasnya. Sampai kemana kau dapat memasuki duniaku. Duniaku yang sangat pribadi ini.”

“Sudahlah Sasangka” berkata Wismaya, “niat baikmu memang harus dihargai. Tetapi kau memang tidak akan dapat memasuki dunia Rembana sampai sedalam dalamnya.”

“Aku hanya ingin mencegah sebelum terjadi mala-petaka padanya.”

“Aku mengerti. Tetapi Rembana bukan kanak-kanak lagi. Biarlah ia memilih, jalan manakah yang akan di laluinya.”

“Apakah aku harus membiarkannya memilih jalan sesat?”

“Kau sudah memperingatkannya, Sasangka. Jika ia masih saja ingin berjalan lewat jalan itu, kita tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Aku tidak akan membiarkannya.”

“Sasangka” suara Wismaya menjadi berat, “sejauh mana hak kita mencampuri persoalan-persoalan orang lain yang sangat pribadi. Kita dapat menunjukkan niat baik ktia, kepedulian kita. Sesudah itu, terserah kepadanya. Karena itu, sudahlah. Biar Rembana sendiri yang memutuskannya.”

“Jadi itu nasehatmu Wismaya.”

“Jangan salah paham. Aku tidak menasehatimu. Aku ingin melerai perselisihanmu dengan Rembana.”

“Aku tidak berselisih. Tetapi aku ingin mencegah Rembana terperosok kedalam kepedihan dikemudian hari.”

“Aku sudah mengucapkan terima kasih, Sasangka“ sahut Rembana, “tetapi yang kau lakukan bukan memperingatkan aku. Tetapi kau justru memaksakan kehendakmu.”

“Untuk kepentinganmu sendiri Rembana.”

“Sudah aku katakan, jangan hiraukan aku. Bahkan seandainya aku akan lebur menjadi debu.”

“Kau menyinggung perasaanku.”

“Sudahlah, Sasangka. Ia memang berhak menentukan, apa yang terbaik menurut pikirannya. Kita hanya akan menjadi penonton.”

“Itu bukan sikap sahabat yang baik. Aku harus berani mengatakan yang baik dan yang buruk baginya, meskipun ia sendiri tidak menyukainya.”

“Kau benar Sasangka. Tetapi Rembana bukan kanak-kanak lagi.”

“Baik. Baik. Aku tidak peduli lagi apa yang akan tejadi padanya, apapun yang akan terjadi.”

Sasangka tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah pergi meninggalkan Rembana dan Wismaya.

“Sasangka, Sasangka. Kaulah yang salah paham.”

Sasangka masih mendengar Wismaya memanggilnya. tetapi ia tidak menghiraukannya lagi.

Wismaya menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Rembana, maka dilihatnya mata Rembana yang merah. Agaknya Rembana harus menahan kemarahan yang telah membakar jantungnya.

“Sasangka sudah menjadi gila. Ia merasa iri melihat hubunganku dengan Raden Ajeng Rantamsari.”

“Ia bukannya menjadi iri, Rembana. Maksudnya benar-benar baik. Aku sependapat dengan jalan pikirannya. Tetapi aku tidak sependapat dengan sikapnya yang ingin memaksakan pendapatnya itu kepadamu. Sebenarnya aku pun ingin menyampaikan kepadamu sebagaimana di katakan oleh Sasangka. Tetapi bagiku, segala sesuatunya terserah kepadamu. Kau sudah dewasa. Kaulah yang akan menjalaninya. Kaulah yang sudah berbicara dengan Raden Ajeng Rantamsari, sehingga kaulah yang tahu sikapnya yang sesungguhnya.”

“Seperti kepada Sasangka, akupun berterima kasih kepadamu Wismaya.”

“Tetapi bagiku, segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku adalah penonton lakon yang sedang kau perankan. Aku sama sekali tidak berhak untuk menjadi dalang dalam lakon ini.”

“Terima kasih.”

Wismaya tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera beranjak. Wismaya ingin mencari Sasangka dan berbicara dengannya untuk meluruskan kesalahan-pahaman yang baru saja terjadi.

Tetapi Wismaya tidak dapat menemukan Sasangka di halaman rumah itu.

Sasangka memang keluar lewat regol halaman depan. Ia berjalan saja menelusuri jalan didepan rumah Raden Ayu Prawirayuda.

Ketika langit menjadi gelap, Sasangka berdiri di ujung jalan bulak, diluar gerbang padukuhan. Dipandanginya langit yang semakin lama semakin gelap. Sisa cahaya matahari tidak lagi nampak diujung gunung dan di bibir mega-mega yang mengambang, seakan tersangkut di lambung gunung.

Sasangka berdiri termangu-mangu. Diletakannya satu kakinya diatas sebuah batu yang agak besar yang terletak di tanggul parit yang mengalir di pinggir jalan, dibawah sebatang pohon turi yang sedang berbunga. Bunganya yang putih masih nampak lamat-lamat tersembul dari keremangan ujung malam.

Namun Sasangka yang memandangi ujung gunung itu tidak menyadari, dua orang sedang mengamatinya dari balik semak-semak di pinggir jalan bulak.

“Orang itu salah seorang dari senapati yang berada di Panjer”

“Apa benar Ki Lurah Sura Branggah” desis yang lain.

“Aku tidak akan salah lagi. Sejak beberapa hari aku berusaha mengenali mereka dengan baik. Satu demi satu. Apalagi anak muda yang bernama Madyasta, putera Kangjeng Adipati Prangkusuma itu.”

“Kalau begitu, marilah, kita habisi saja orang itu.”

“Kita berdua?”

“Ya”

Sura Branggah termangu mangu Sementara itu kawannyapun berkata, “Ki Lurah Sura Branggah adalah orang yang dikenal sebagai seorang vang berilmu tinggi. Ki Lurah tentu akan dapat membunuh tikus kecil itu.”

“Ya. Hanya tikus kecil. Selesaikan orang itu, aku menunggumu disini.”

“Aku?”

“Ya. Bukankah ia tidak lebih dari tikus kecil?”

“Tetapi yang namanya dikenal semua orang Kateguhan dan Paranganom adalah KI Lurah Sura Branggah.”

“Yang penting bukan dikenal atau tidak dikenal. Yang penting orang itu mati. Ia adalah salah satu dari senapati yang menurut Ki Tumenggung Reksadrana harus dibunuh, karena orang itu ikut bertanggung jawab atas kematian putera Ki Tumenggung itu.”

“Ya. Orang itu harus dibunuh.”

“Nah. Karena itu bunuhlah.”

“Ki Lurah sajalah yang membunuh. Agar kerja kita lekas selesai.”

“Aku perintahkan kepadamu.”

“Jangan begitu ki Lurah. Tetapi bagaimana jika kita lakukan bersama-sama.”

“Cah edan. Kita akan dapat terperosok kedalam kemungkinan terburuk. Agaknya memang belum waktunya kita membunuhnya sekarang.”

“Mumpung ia sendiri, Ki Lurah.”

“Otakmu memang otak kerbau. Jika kita gagal, maka rencana yang sudah kita susunpun akan gagal pula.semuanya. Kita harus memilih saat terbaik untuk membunuhnya. Bahkan mungkin justru dihalaman rumah Raden Ayu Prawirayuda itu sendiri.”

Kawannya terdiam. Sebenarnyalah iapun merasa ragu, apakah berdua mereka akan berhasil seandainya mereka memutuskan untuk mencoba membunuh anak muda itu.

Namun ketika keduanya kembali memandang kearah senapati muda itu, maka yang nampak adalah dua orang. Selain Sasangka, ditempat itu hadir pula Wismaya.

“Marilah kita kembali ke rumah Raden Ayu” ajak Wismaya.

“Aku ingin mendinginkan jantungku dahulu Wismaya.”

“Nanti kita akan dicari. Waktunya makan malam sudah tiba.”

“Aku masih belum dapat meredakan gejolak di dadaku jika aku bertemu dengan Rembana nanti.”

“Kau bukan kanak-kanak lagi, Sasangka”

Sasangka menarik nafas dalam-dalam.

“Selebihnya, aku juga ingin menjelaskan maksudku, agar kau tidak salah paham dengan ucapan-ucapanku itu.”

“Tidak. Aku tidak merasa salah paham. Aku mengerti sepenuhnya maksudmu itu, Wismaya.”

“Jika demikian, jangan menunggu Raden Madyasta mencari kita.”

Sejenak kemudian Wismaya dan Saiangka itupun telah hilang dibelakang pintu gerbang.

“Ternyata nyawa kita masih akan panjang” desis kawan Ki Sura Branggah itu.

“Kenapa?”

“Jika kita tadi benar-benar menyerang, senapati muda itu, maka kita akan segera berhadapan dengan dua orang senapati muda yang berilmu tinggi itu”

“Bukankah dengan demikian dua orang diantara empat sasaran kita sudah kita selesaikan hari ini?”

Sura Branggah memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan geram ia pun bertanya. ”Apa?. Dua sasaran kita akan terbunuh?”

Namun tiba-tiba kawannya itu tertawa tertahan. Katanya “Ya. Merekalah yang membunuh sasaran mereka. Dua orang.”

“Gila kau.”

“Bukankah aku bersama Ki Sura Branggah?”

“Kau mencoba menghina aku. Aku cekik kau sampai mati.”

“Jangan marah Ki Lurah. Jika kau bunuh aku, maka kau kehilangan seorang pengikut yang berilmu tinggi”

“Huh” Ki Sura Branggah tidak menjawab. Namun ia pun segera melangkah pergi.

Sambil tertawa tertahan pengikutriya itupun berlari-lari kecil, mengikuti Ki Sura Branggah di belakangnya.

Di rumah Raden Ayu Prawirayuda, suasananya memang nampak sedikit berubah. Tetapi Wismaya dan Raden Madyasta berusaha agar Raden Ayu Prawirayuda serta Raden Ajeng Rantamsari tidak segera merasakan perubahan itu.”

Karena itu, ketika mereka makan malam di ruang dalam, Wismaya yang pendiam serta Raden Madyasta lebih banyak mengisi waktu dengan pembicaraan-pembicaraan yang memang berbeda dengan cara Rembana berbicara pa da saat-saat seperti itu.

Hanya sekali-sekali saja Rembana dan Sasangka ikut terlibat dalam pembicaraan yang memang nampak lebih bersungguh-sungguh itu.

Raden Ayu Prawirayuda nampaknya memang tidak menangkap perubahan suasana yang terjadi di rumahnya. Tetapi agak berbeda dengan Raden Ajeng Rantamsari. Ia melihat perubahan yang terjadi pada Rembana. Tetapi Raden Ajeng Rantamsari tidak tahu apakah yang menyebabkannya.

Setelah makan malam, maka Raden Madyasta serta para senapati muda itu pun segera kembali ke gandok. Beberapa saat mereka duduk di serambi. Namun Sasangka dan Rembana pun segera masuk ke dalam bilik mereka masing-masing.

Tetapi sesaat kemudian, Rembana pun telah keluar pula dari biliknya. Seperti biasanya ia membawa pedangnya yang tergantung di lambungnya.

“Aku bertugas di belakang malam ini Raden berkata Rembana, aku akan berada di serambi belakang.”

“Baik, kakang” jawab Raden Madyasta, “hati-hatilah.”

“Ya, Raden. Marilah Wismaya.”

“Aku akan menggantikanmu tengah malam nanti”

“Sebaiknya kau tidur saja sekarang.”

Wismaya tersenyum. Katanya, “Ya. Sebentar lagi. Bukankah kita baru saja makan?”

Rembana mengangguk. Namun wajahnya tidak nampak cerah seperti biasanya.

Sejenak kemudian, maka Rembana pun telah hilang dibalik kegelapan. Sinar cahaya lampu di pendapa tidak dapat menggapai-gapainya lagi ketika ia menyelinap di belakang gandok. Rembana tidak pergi ke serambi belakang lewat longkangan di belakang pintu seketeng. Tetapi Rembana memilih melingkari rumah raden Ayu Prawirayuda yang besar itu.

Yang kemudian duduk diserambi tinggal Wismaya dan Raden Madyasta. Namun Wismaya pun memberikan isyarat kepada Raden Madyasta untuk turun dan berjalan melintasi halaman.

“Sasangka tentu belum tidur” berkata Wismaya. Raden Madyasta mengangguk-angguk.

“Mungkin ia tidak dapat tidur malam ini.” .

“Ya.”

Wismaya pun kemudian mengulangi lagi ceriteranya tentang perselisihan antara Sasangka dan Rembana yang serba sedikit sudah dilaporkannya kepada Raden Madyasta.

“Sayang sekali, bahwa perselisihan itu harus terjadi.”

“Ya, Raden.”

“Menurut kakang Wismaya, apakah Sasangka benar-benar ingin memperingatkan Rembana dengan jujur atau justru karena Sasangka merasa iri hati?”

Wismaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sulit bagiku untuk mengetahui Raden. Tetapi menurut pengenalanku atas Sasangka, ia bukan seorang yang dengki. Sasangka memang kadang-kadang ingin memaksakan pendapatnya kepada orang lain.”

“Jadi, menurut kakang Wismaya, Sasangka berkata dengan jujur. Tetapi caranya yang telah menyinggung perasaan kakang Rembana.”

Wismaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bergumam seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Ya. Mungkin sekali, Raden.”

“Baiklah, kakang. Besok aku akan berbicara dengan keduanya. Aku tidak ingin tugas kita kali ini membawa perpecahan diantara mereka yang sebelumnya bersahabat.”

“Ya, Raden.”

Jika perlu, maka harus ada diantara kita yang meninggalkan rumah ini. Ayahanda dapat memerintahkan orang lain untuk menggantikan tugas kita disini.”

Wismaya mengangguk-angguk, sementara Raden Madyasta pun berkata selanjutnya, “Jika perlu kami bersama-sama ditarik dari tugas ini, agar tidak menimbulkan persoalan baru. Ayahanda dapat membuat alasan yang masuk akal. Misalnya pergantian tugas karena kakang Wismaya, kakang Sasangka dan kakang Rembana sudah terlalu lama meninggalkan barak masing-masing. Dengan demikian, terutama bagi orang lain diluar kita berempat, tidak mereka-reka persoalan yang timbul di rumah ini. Berbeda jika seandainya ayahanda hanya memindahkan satu atau dua orang diantara kita berempat.”

“Raden benar” Wismaya mengangguk-angguk, “jika yang ditarik dari tugas ini hanya satu atau dua orang, maka akan ada masalah yang timbul di rumah ini. Apalagi masalah itu memang sudah ada. Seperti bunga api sepercik dan jatuh diatas alang-alang kering. Kabar itu akan segera membakar daerah ini, terutama dilingkungan keprajuritan.”

“Bukankah dengan demikian akan dapat menjadi setitik noda yang mengotori nama prajurit Paranganom?”

Wismaya mengangguk-angguk.

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka keduanya pun duduk di atas sebuah lincak panjang di sudut halaman rumah itu. Pembicaraan mereka justru menjadi berkepanjangan, sehingga Wismaya tidak lagi ingat, bahwa lewat tengah malam ia akan bertugas menggantikan Rembana yang berada di halaman belakang.

Baru menjelang tengah malam, Raden Madyasta sempat mengingatkan, “Kakang Wismaya tidak beristirahat dahulu? Sebentar lagi tengah malam. Kakang harus menggantikan kakang Rembana.”

“Sudah tanggung, Raden. Jika aku berbaring sekarang, maka baru esok pagi aku bangun.”

Raden Madyasta tersenyum. Katanya, “Jika demikian, sebaiknya kakang Wismaya justru mempersiapkan diri.”

Malam ini Sasangka akan menggantikan Raden Madyasta mengawasi bagian depan rumah ini.”

“Ya. Mudah-mudahan Sasangka sempat tidur meskipun hanya sebentar.”

Sulit baginya untuk tidur. Tetapi untunglah bahwa tugas mereka tidak bersamaan sesudah tengah malam. Jika tidak ada orang lain yang sempat mengawasi, maka perselisihan itu akan dapat terjadi lagi.”

Keduanya pun kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke gandok sebelah kanan.

Namun ketika mereka sampai di tangga gandok, mereka melihat Rembana muncul dari kegelapan. Namun langkahnya nampak gontai.

Bahkan ketika ia berdiri di sudut gandok, tangannya berpegangan erat-erat.

“Kakang Rembana.”

Raden Madyasta itu pun segera berlari mendekati Rembana disusul oleh Wismaya.

“Ada apa kakang?” bertanya Raden Madyasta dengan suara bergetar.

Rembana tidak dapat bertahan berpegangan sudut gandok itu lagi. Tetapi ketika ia akan jatuh terjerembab, Raden Madyasta dengan cepat menangkapnya.

Raden Madyasta terkejut ketika tangannya menyentuh cairan yang hangat pada tubuh Rembana. Bahkan kemudian, Raden Madyasta itu melihat sebuah pisau belati tertancap di lambung sebelah kiri.

“Apa yang terjadi, kakang?” bertanya Raden Madyasta dengan jantung berdebaran.

Pada saat itu pula, Sasangka berlari-lari keluar dari biliknya.

“Apa yang terjadi?”

Sebelum Wismaya dan Raden Madyasta menjawab, Sasangka pun telah menghambur menuruni tangga gandok sebelah.kanan. Ia pun kemudian bcrjongkok pula disisi Rembana, disebelah Raden Madyasta, sementara Wismaya berjongkok di sisi yang lain.

“Kakang Rembana. Apa yang terjadi?”

“Rembana, katakan. Apa yang terjadi? Siapakah yang menusuk lambungmu?” bertanya Wismaya pula.

Rembana menggeleng. Suaranya menjadi sangat dalam, ”Aku tidak dapat melihatnya, Raden.”

“Kau tidak sempat melawan sama sekali?”

Rembana menggeleng. Suaranya menjadi bertambah lirih, “Tiba-tiba saja dari dalam kegelapan seseorang menusuk lambungku. Dengan cepat pula ia menghilang. Aku tidak dapat mengenali wajahnya dalam kegelapan. Apalagi sebagian dari wajahnya itu tertutup oleh ikat kepalanya.”

“Bertahanlah, Rembana” desis Raden Madyasta. Lalu katanya “Kakang Sasangka. Tolong, panggil seorang tabib yang tinggal didekat rumah ini agar ia dapat merawat kakang Rembana untuk sementara. Sementara itu biarlah tabib kadipaten di panggil pula kemari.”

Tetapi Rembana menggeleng. Katanya “Tidak. Tidak ada gunanya lagi Raden.”

“Kakang, kakang.”

Nafas Rembana menjadi semakin sendat, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.

“Kakang, kakang.”

Tetapi Rembana sudah tidak mendengar lagi.

Malam itu, kesibukan yang luar biasa telah terjadi di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Laporan pun segera sampai ke kadipaten. Pasukan di barak yang dipimpin oleh Rembana pun dengan cepat bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Rembana telah gugur dalam menjalankan tugasnya. Malam itu, Raden Wignyana telah berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda pula.

“Dimas” desis Raden Madyasta.

“Aku mendapat perintah dari ayahanda untuk melihat keadaan di rumah bibi ini, kangmas.”

“Inilah yang terjadi dimas .”

“Bukankah kakang Rembana seorang senapati muda yang mumpuni? Kenapa begitu mudahnya kakang Rembana terbunuh disini?”

“Itulah yang harus kita cari sebabnya, dimas.”

“Pembunuh kakang Rembana tentu seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Setidak tidaknya setataran dengan kakang Rembana. Orang itu hanya mempunyai kelebihan licik, curang dan tidak tahu malu”

“Aku sependapat dimas. Orang itu tentu licik dan curang.”

“Aku mendapat perintah dari ayahanda untuk segera kembali dan memberikan laporan terperinci. Besok pagi-pagi ayahanda akan datang kemari.”

Dalam pada itu, Wismayapun sempat berbisik ditelinga Raden Madyasta”

Untunglah, bahwa tidak ada yang tahu, apa yang terjadi antara Rembana dan Sasangka. Jika saja ada yang mengetahuinya, maka tentu akan segerai tersebar kabar buruk yang langsung menghakimi Sasangka.”

“Ya” Raden Madyasta mengangguk angguk dengan kerut di kening Raden Madyastapun bertanya, “Tetapi bagaimana menurut pendapatmu, kakang?”

“Aku belum dapat berkata apa-apa tentang peristiwa ini, Raden. Aku melihat Sasangka menjadi sangat murung. Mungkin ia merasa, bahwa kita telah menuduhnya.”

Malam itu, sekelompok prajurit telah berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda atas perintah Ki Tumenggung Sanggayuda. Tetapi yang ditugaskan adalah dari pasukan pengawal, yang dipimpin oleh Ki Lurah Adisana dan berada langsung dibawah perintah Tumenggung Sanggayuda.

Dalam pada itu, Raden Ajeng Rantamsari masih saja menangis di pangkuan ibunya. Rembana, seorang anak muda yang sangat menarik baginya, telah tiada. Sebuah pisau belati menancap di lambungnya.

“Kenapa hal ini harus terjadi, ibu?” bertanya Raden Ajeng Rantamsari.

“Kita tidak dapat menentang garis pepesten, Rantamsari.”

“Tetapi kakang Rembana masih terlalu muda untuk meninggal.”

“Apapun yang kita inginkan terhadap seseorang, tetapi yang akan terjadi atasnya, terjadilah. Tidak seorang-pun mampu mencegahnya.”

“Sejak kemarin sore, aku melihat sesuatu yang lain pada kakang Rembana, ibu. Kakang Rembana lebih banyak diam. Sekali-sekali saja tersenyum. Bukankah biasanya ia selalu cerah. Banyak berbicara dengan kelakarnya yang segar?”

“Ya, Rantamsari.”

“Seolah-olah kakang Rembana tahu apa yang akan terjadi semalam.”

Mungkin firasat itu telah menyentuhnya, Rantamsari. Tetapi Rembana tidak mampu mengurainya, sehingga yang terjadi itu tidak terbayangkan sebelumnya.”

Rantamsari mengusap matanya yang selalu basah.

Seperti yang dikatakan oleh Wignyana, maka pagi itu, Kangjeng Adipati Prangkusuma telah hadir di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Demikian pula keluarga Rembana yang semalam sudah diberi tahu pula apa yang telah terjadi.

Di rumah Raden Ayu Prawirayuda, ibu Rembana itu sempat pingsan. Tidak hanya sekali. Tetapi dua tiga kali.

“Anak yang baik” berkata ibunya disela-sela tangisnya, “ia adalah tumpuan harapan keluarga kami.”

“Sudah, Nyi” ayah Rembana mencoba menghiburnya, “Yang Maha Agung menghendakinya kembali ke sisinya. Yang terjadi itu adalah diluar kemampuan siapapun juga untuk mencegahnya.:”

Tetapi ketika tangis ibu Rembana itu mereda, maka justru ayahnyalah yang pergi ke pakiwan untuk mencuci mukanya. Matanya menjadi merah karena laki-laki itu tidak dapat menahan tangisnya.

Kangjeng Adipati telah memanggil Madyasta, Wismaya dan Sasangka bertiga didalam bilik yang khusus.

“Bagaimana menurut pendapatmu, Madyasta?”

“Hamba belum dapat mengatakan apa-apa ayahanda.”

“Apakah aku perlu menambah beberapa orang senapati untuk bertugas disini? Semula tugas ini dianggap tugas yang aneh, yang tidak perlu harus dilakukan oleh senapati pilihan. Tetapi temyata seorang dari senapati pilihan itu justu telah terbunuh disini.....”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar