Meraba Matahari Jilid 05

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
“Terima kasih, Nyi” Ki Tumenggung Sanggayuda pun mengangguk dalam.

Ketiganya pun kemudian menghirup minuman hangat. Wedang jahe dengan gula kelapa.

Ki Tumenggung Wiradapa dan ki Tumenggung Sanggayuda yang baru saja menempuh perjalanan panjang, merasa tubuh mereka yang letih menjadi segar. Sementara itu, Nyi Partabawa pun sudah tidak nampak lagi di ruang dalam.

Ketika mereka sudah meneguk minuman hangat mereka, maka Ki Tumenggung Wiradapa pun mulai mengalihkan pembicaraan mereka lagi. Ki Tumenggung menceriterakan sikap beberapa orang yang berada di gardu yang tidak ramah ketika ia dan Ki Tumenggung Sanggayuda lewat.

“Paman pernah menjadi bebahu kademangan di Kateguhan. Kemudian kedudukan paman telah paman serahkan kepada Sana, putera paman yang sulung.”

Ki Partabawa itu mengangguk-angguk

“Nah, bagaimana pendapat paman atas likap mereka yang tiba-tiba saja mempunyai rasa pcrmusuhan dengan orang-orang Paranganom?”

Ki Partabawa menarik nafas panjang. Namun ia pun berusaha mengelakkan pertanyaan itu. Katanya, “Bukankah kalian masih merasa letih? Sebaiknya kalian pergi ke pakiwan, kemudian beristirahat. Besok kita akan berbicara lebih panjang.”

“Paman” berkata Ki Tumenggung Wiradapa, “besok aku harus mengantarkan Ki Tumenggung Sanggayuda menghadap Kangjeng Adipati di Kateguhan.”

“Kangjeng Adipati Yudapati, maksudmu?”

“Ya, paman.”

“Jika demikian, bukankah lebih baik kau mendengar keterangan dari Kangjeng Adipati sendiri?”

“Kangjeng Adipati sendiri? Apakah sikap tidak ramah itu bersumber dari Kangjeng Adipati?”

“Aku tidak tahu, ngger. Tetapi para pemimpin di Kateguhan agaknya telah mengambil jarak dari para priyagung di Paranganom. Aku juga akan minta kepadamu untuk tidak terkejut jika sikap anak anakku juga kurang ramah terhadap orang-orang Paranganom.

“Kenapa keadaan seperti itu dapat terjadi?”

Ki Partabawa menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu pasti, Wiradapa. Tetapi kebencian kepada orang-orang Paranganom itu seakan-akan telah ditiupkan sejak Raden Ayu Prawirayuda berada di Paranganom.”

“Apakah keberadaan Raden Ayu Prawirayuda di Paranganom itu yang menyebabkan ketegangan ini terjadi? Rasa-rasanya ada kecemburuan orang-orang Kateguhan terhadap orang-orang Paranganom” bertanya Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Salah satu sebab saja, Ki Tumenggung.”

“Sebab yang lain?”

“Aku tidak begitu jelas, Ki Tumenggung. Tetapi tanggapan Ki Tumenggung itu agaknya benar. Ada kecemburuan pada para pemimpin Kateguhan terhadap Paranganom. Mungkin keberhasilan Paranganom meningkatkan kesejahteraaan rakyatnya. Ketenteraman hidup dan rasa damai dan kebersamaan.”

“Apakah hal seperti itu tidak terjadi di Kateguhan?”

“Menurut pendapatku, sejak wafatnya Kangjeng Adipati Prawirayuda, memang ada sedikit kemunduran di kadipaten Kateguhan.”

“Tentang kesejahteraan rakyatnya?” bertanya Ki Tumenggung Wiradapa.

“Kemunduran itu nampak dalam banyak sisi kehidupan, Wiradapa. Tetapi sebaiknya aku tidak terlalu banyak berbicara. Banyak orang Kateguhan sendiri yang tidak melihat kemunduran itu. Justru mereka melontarkan kecemburuan kepada orang lain. Mereka tidak mau mencari apa yang salah pada diri mereka sendiri agar kesalahan itu dapat diperbaiki.”

“Bukankah seorang Adipati yang masih muda sebagaimana Kangjeng Adipati Yudapati seharusnya dapat bergerak lebih tangkas dari ayahandanya yang telah wafat itu?”

“Kangjeng Adipati sendiri agaknya sudah mencoba. Tetapi para ptmimpin Kateguhan agaknya mempunyai irama gerak yang lain. Bagi mereka, Kangjeng Adipati Yudapati adalah anak-anak. Bahkan Ki Tumenggung Reksadrana lebih banyak bergerak menuruti kemauannya sendiri. Beberapa kali terjadi perbedaan pendapat antara Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksadrana, yang dianggap sesepuh di Kateguhan.”

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak bertanya lebih jauh, karena Ki Partabawa tentu tidak mengetahui persoalan-persoalan yang timbul di lingkungan para pemimpin di Kateguhan itu lebih dalam lagi.

Meskipun demikian, apa yang dikatakan oleh Ki Partabawa itu dapat sedikit memberikan landasan wawasan bagi Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda yang esok pagi akan menghadap Kangjeng Adipati Yudapati.

“Wiradapa” bertanya Ki Partabawa kemudian, “apakah kau sekedai mengantar Ki Tumenggung Sanggayuda sampai ke Kadipaten Kateguhan, atau kau juga akan ikut menghadap Kangjeng Adipati?”

“Jika diperkenankan, aku juga akan ikut menghadap, paman.”

“Ki Tumenggung” bertanya Ki Partabawa, “jika aku diperkenankan serba sedikit mengetahui, apakah Ki Tumenggung Sanggayuda besok juga akan akan membicarakan kerenggangan hubungan antara Kateguhan dan Paranganom?”

“Yang penting, kami datang untuk sekedar menyinggung tentang kehadiran Raden Ayu Prawirayuda di Paranganom. Bagaimanapun juga Raden Ayu Prawirayuda adalah ibu, meskipun ibu tiri, dari Kangjeng Adipatai Yudapati di Kateguhan. Keberadaan Raden Ayu Prawirayuda di Paranganom jangan sampai menimbulkan salah paham. Mudah-mudahan kedatangan kami di Kateguhan akan dapat mengurangi jarak yang nampaknya mulai menganga diantara dua Kadipaten yang semula mempunyai hubungan yang sangat erat, karena dipimpin oleh dua orang bersaudara.”

“Bagus, Ki Tumenggung. Apapun hasilnya, tetapi setiap usaha untuk berbicara yang satu dengan yang lain, akan dapat memberikan penjelasan tentang persoalan-persoalan yang nampaknya menjadi setidak-tidaknya salah satu sebab dari kerenggangan hubungan antara Paranganom dan Kateguhan.”

“Ya, Ki Partabawa. Hal itu juga disadari oleh Kangjeng Adipati Prangkusuma di Kadipaten Paranganom. Itulah sebabnya maka Kangjeng Adipati telah mengutus kami berdua untuk membuka pembicaraan apapun yang akan kami bicarakan nanti.”

Ki Partabawa mengangguk-angguk.

Pembicaraan itu terputus ketika Nyi Partabawa menghidangkan ketela yang direbus dengan gula kelapa. Asapnya masih mengepul dari beberapa potong ketela pohon yang menjadi kemerah-merahan itu.

“Sudahlah bibi” berkata Ki Tumenggung Wiradapa” jangan menjadi terlalu sibuk karena kedatangan kami.”

“Hanya ini yang dapat kami hidangkan, Ki Tumenggung” berkata Ki Partabawa, “jika saja kami tahu bahwa Ki Tumenggung akan datang. Sebenarnya kami menjadi agak malu bahwa kami hanya dapat menjamu Ki Tumenggung dengan ketela pohon. Bukan ketan srikaya atau jenis makanan yang lebih baik. Kamipun menyadari bahwa mungkin Ki Tumenggung tidak terbiasa makan ketela pohon seperti ini.”

“Aku juga menanam ketela pohon di kebun rumahku, Ki Partabawa” sahut Ki Tumenggung Sanggayuda, “aku sendirilah yang sering mencabutnya. Mengupasnya dan kemudian menunggu ketela itu masak di serambi sambil mendengarkan kicau burung di sore hari. Isteriku jugu senang sekah merebus ketela pohon dengan gula kelapa seperti ini.”

Nyi Partabawa tertawa pendek sambil berdesis, “Bedanya, Nyi Tumenggung merebus ketela pohon sekali-sekali saja jika menginginkannya. Tetapi kami hampir setiap hari melakukannya”

“ Apa bedanya” sahut Ki Tumenggung Sanggayuda.

Ki Partabawa tertawa. Kedua orang Tumenggung itupun tertawa pula.

Sejenak kemudian, mereka telah sibuk makan ketela pohon yang direbus dengan gula kelapa. Ternyata seperti yang dikatakannya, Ki Tumenggung Sanggayuda pun tidak segan-segan memungut sepotong ketela pohon yang kemerah-merahan. Sekali-sekali ditiupnya agar ketela pohon itu lebih cepat menjadi dingin.

Malam itu, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda bermalam di rumah Ki partabawa. Didalam biliknya, Ki Tumenggung Sanggayuda sempat berkata, “Sayang sekali bahwa Ki Partabawa tidak dapat ikut berbangga bahwa kemakanannya adalah seorang Tumenggung. Bahkan Tumenggung Wreda”

Ki Tumenggung Wiradapapun tertawa tertahan. Katanya, “Aku ingin paman Partabawa tetap bersikap sebagai seorang paman, jika ia tahu bahwa aku seorang Tumenggung, maka sikapnya akan berubah. Ia tidak lagi dapat bersikap sebagai seorang paman terhadap kemanakannya.”

Ki Tumenggung Sanggayuda tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Demikianlah, ketika matahari mulai melemparkan sinarnya menyentuh selembar mega yang dihanyutkan angin pagi, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda telah bersiap. Tetapi Nyi Partabawa minta keduanya menunggu hingga makan pagi mereka siap.

“Kami sangat merepotkan Ki Partabawa sekeluarga” berkata Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Tidak. Semuanya sudah ada. Apa yang kami hidangkan adalah apa yang dapat kami petik di halaman dan kebun rumah kami. Kalian pun tidak akan dapat menghadap Kangjeng Adipati terlalu pagi” berkata Ki Partabawa.

Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya paman. Aku mengerti. Kami tentu akan menunggu sampai Kangjeng Adipati siap menerima mereka yang akan menghadap.”

“Sementara itu, kau akan dapat bertemu dengan adikmu, Sana. Ia akan segera datang.”

“Apakah Sana tahu bahwa aku berada disini?”

“Cucuku tadi memberitahukan kedatanganmu serta Ki Tumenggung Sanggayuda”

“Ooo. Aku rnemang sudah agak lama tidak bertemu. Bagaimana dengan adik-adikku yang lain?”

“Aku belum sempat memberitahukan kepada mereka Tetapi setidak-tidaknya kau dapat bertemu dengan Sana. Tetapi sebelumnya aku ingin mengulagi pesanku, jangan, kaget kalau ada kesan bahwa Sana tidak begitu akrab sikapnya terhadap orang-orang dari Paranganom.”

Ki Tumenggung Wiradapa berpaling kepada Ki Tumenggung Sanggayuda. Katanya, “Adikku yang satu ini adalah seorang yang terbuka. Memang mungkin ia menyatakan ketidak senangannya im dengan serta merta”

“Aku akan memakluminya” sahut Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Sebelumnya aku minta maaf, Ki Tumenggung” berkata Ki Partabawa.

“Tidak apa-apa, Ki Partabawa” jawab Ki Tumenggung Sanggayuda, “agaknya memang ada arus dari atas. Karena itu, mudah-mudahan pertemuan kami dengan Kangjeng Adipati akan dapat jika mungkin menutup jarak atau setidak-tidak mempersempitnya.”

Pembicaraan itu terhenti. Nyi Partabawa pun mempersilahkan kemanakannya dan tamunya, Ki Tumenggung Sanggayuda untuk makan pagi.

“Paman dan bibi benar-benar menjadi sibuk karena kedatangan kami” berkata Ki Tumenggung Wiradapa.

“Tidak, Wiradapa. Kami justru merasa senang sekali mendapat tamu seorang Tumenggung.”

Ki Tumenggung Sanggayuda tersenyum. Namun ketika ia berpaling kepada Ki Tumenggung Wiradapa, senyumnya menjadi masam.

Demikianlah keduanya pun kemudian duduk di ruang dalam ditemani oleh Ki Partabawa.

“Aku tidak terbiasa makan pagi” berkata Ki Partabawa, “biasanya aku hanya makan apa adanya. Ketela, ubi panjang, lembong atau garut atau apa saja. Tetapi kali ini aku ingin makan bersama seorang Tumenggung.”

Ki Tumenggung Sanggayuda tertawa. Namun iapun kemudian berkata, “Dirumahpun aku tidak akan makan dengan kelengkapan lauk pauk seperti sekarang ini.”

“Semuanya tinggal memetik seperti yang dikatakan isteriku.”

“Ayam dan telur itu?”

“Telur itu tinggal memungut di pekarangan. Sedangkan ayam tinggal menangkap di kandang.”

“Gurameh itu?”

“Bukankah dikebun belakang ada belumbang? Kami memelihara gurameh di dua belumbang yang terhitung luas.”

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggiyuda hanya mengangguk-angguk saja.

Ketika mereka selesai makan dan dipersilahkan duduk di pringgitan, ternyata Sana sudah lebih dahulu duduk di pringgitan itu.

“Kakang Wiradapa” Sana dengan serta merta bangkit berdiri.

Keduanya pun bersalaman dengan akrab. Sernentara Ki Tumenggung Wiradapa pun memperkenalkan Sana dengan Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Ki Tumenggung Sanggayuda adalah salah seorang Tumenggung di Kadipaten Paranganom, Sana.”

Sana mengangguk hormat sambil berkata, “Selamat datang di pondok kami yang sederhana ini Ki Tumenggung.”

“Kami sudah diterima dengan akrab serta mendapat tempat bermalam yang baik sekali, Ki Sana.”

“Marilah, silahkan duduk.”

Mereka pun kemudian duduk di pringgitan bersama Ki Partabawa.

“Kau sudah lama tidak berkunjung kemari, kakang.”

“Repot sekali Sana. Ada-ada saja yang harus dikerjakan di rumah.”

“Apa saja yang kakang kerjakan di rumah? Memandikan ayam jantan? Memberi makan dan minum burung peliharaan?”

Ki Tumenggung Wiradapa tertawa. Ki Tumenggung Sanggayuda pun tersenyum pula. Agaknya adik sepupu Ki| Tumenggung Wiradapa itu pun tidak tahu, bahwa saudara sepupunya di Paranganom menjabat seorang Tumenggung Bahkan Tumenggung Wreda.

“Tidak hanya ayam jantan, burung dan ayam. Tetapi sawah juga harus digarap.”

“Tetapi bukankah tidak disegala musim?”

“Ya. Ada kalanya kerja disawah terasa luang” Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia pun bertanya, “Tetapi kau juga tidak pernah menengokku.”

“Aku sibuk sekali, kakang. Apalagi setelah aku mengemban tugas ayah yang dilimpahkan kepadaku. Dan barangkali kakang tahu, anakku berjumlah delapan orang. Aku tidak dapat begitu saja membebankan anak-anak itu kepada ibunya. Kasihan. Ia akan kewalahan. Meskipun ada juga yang membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah, tetapi terasa betapa sibuknya kami.”

“Aku mengerti, Sana. Tetapi anak-anakmu yang besar tentu sudah dapat ikut membantu momong anak-anakmu yang kecil.”

Sana tertawa. Katanya, “Anak-anak yang meningkat remaja justru membuat ibunya lebih sibuk lagi. Ada-ada saja permintaannya. Kemauannya kadang-kadang sulit di mengerti.”

Wiradapa tertawa.

“Kakang” tiba-tiba suara Sana meninggi, “semula aku mengira bahwa kakang tidak akan pernah mengunjungi kami lagi.”

“Kenapa?”

“Bukankah orang-orang Paranganom akan merasa kakinya gatal jika menginjak bumi Kateguhan?”

“Sudahlah” potong Ki Partabawa, “kita tidak usah berbicara tentang Paranganom dan Kateguhan. Sekarang kakangmu datang mengunjungi kita disini. Bukankah kunjungannya akan selalu kita hargai. Kakangmu sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Karena itu, jika ia datang kemari, maka ia telah datang mengunjungi orang tuanya.”

“Ya, ayah. Maaf. Aku tidak dapat menyembunyikan gejolak perasaanku. Maaf Ki Tumenggung Sanggayuda” berkata Sana kemudian, “Tetapi orang-orang Paranganom sendirilah yang mengatakan bahwa mereka pantang datang ke Kateguhan.”

Ki Tumenggung Wiradapa tersenyum. Ia pun kemudian bertanya, “Dari siapa kau dengar pernyataan itu?”

“Dari banyak orang, kakang. Orang-orang Paranganom juga berbangga bahwa Raden Ayu Prawirayuda, sepeninggal Kangjeng Adipati Prawirayuda memilih tinggal di Paranganom daripada tinggal di Kateguhan, meskipun semula ia adalah isteri Adipati di Kateguhan.”

Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk-angguk. Ia tidak ingin berbantah dengan adik sepupunya yang sudah agak lama tidak bertemu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Sana. Aku akan mengantar Ki Tumenggung Sanggayuda menghadap Kangjeng Adipati Yudapati. Mudah-tnudahan segala salah paham itu akan segera dapat diatasi. Dengan bertemu dan berbicara, akan banyak persoalan-persoalan yang dapat dijelaskan”

“Ya. Mudah-mudahan usaha Ki Tumenggung Sanggayuda yang akan menghadap Kangjeng Adipati ada artinya.”

“Kami akan mencari celah-celah yang dapat ditembus, Ki Sana” berkata Ki Tumenggung Sanggayuda, “pendekatan langsung akan memberikan arti yang besar. Jika kami bersalah, biarlah kami tahu kesalahan kami.”

“Mudah-mudahan dapat diketemukan jalan keluar dari liputan kabut yang selama ini terasa menjadi semakin gelap.”

“Wiradapa” berkata Ki Partabawa kemudian, “matahari telah menjadi semakin tinggi. Jika kau ingin meng-hadap, pergilah ke Kadipaten sekarang. Mungkin kau masih harus menunggu beberapa saat, sehingga Kangjeng Adipati mempunyai waktu untuk menerimamu serta Ki Tumenggung Sanggayuda.”

“Ya, paman. Kami akan minta diri.”

“Bukankah kau masih akan singgah sebelum kau kembali ke Paranganom?”

“Terima kasih paman. Mungkin kami akan langsung kembali ke Paranganom.”

“Kau dan Ki Tumenggung akan kemalaman di perjalanan”

“Tidak apa-apa, paman. Kami dapat bermalam di mana saja.”

“Apakah kakang tidak singgah ke rumahku barang sebentar?”

“Maaf, Sana. Pada kesempatan yang lain aku akan datang lagi untuk waktu yang lebih panjang. Salam buat isterimu dan anak-anakmu serta adik-adikmu semuanya.”

“Baik, kakang. Aku akan menyampaikannya. Tetapi mereka akan senang sekali jika mereka dapat bertemu langsung dengan kakang.”

“Aku akan segera datang kembali” jawab Ki Tumenggung Wiradapa sambil tertawa.

Demikianlah setelah Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda mengucapkan terima kasih kepada keluarga Ki Partabawa, mereka pun telah minta diri.

“Kami mengharap agar pembicaraan Ki Tumenggung Sanggayuda dengan Kangjeng Adipati dapat menemukan titik temu, sehingga dengan demikian, maka hubungan antara Paranganom dan Kateguhan menjadi akrab kembali.”

“Ya, Ki Sana” jawab Ki Tumenggung Sanggayuda, “kami akan berusaha mencari sebabnya, kenapa hubungan antara Paranganom dan Kateguhan menjadi renggang.”

Sesaat kemudian, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda pun segera meninggalkan rumah Ki Partabawa Demikian mereka turun ke jalan, maka keduanya pun segera meloncat ke punggung kuda mereka.

Disepanjang jalan menuju ke Kadipaten, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda pun masih sibuk membicarakan tanggapan yang kurang baik dari orang-orang Kateguhan terhadap orang-orang Paranganom.

“Mungkin Kangjeng Adipati semula marah karena Raden Ayu Prawirayuda berada di Paranganom.”

“Kenapa? Bukankah menurut Raden Ayu Prawirayuda ia telah diusir dan Kateguhan”

“Justru karena itu Kenapa Paranganom mau menerimanya. Seharusnya Paranganom juga menolak keberadaan Raden Ayu Prawirayuda di Paranganom.”

Keduanya kemudian terdiam. Mereka sudah menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang dalam Kadipaten di Kateguhan.

“Adi Tumenggung Sanggayuda” berkata Ki Tumenggung Wiradapa ketika mereka sudah berada di depan pintu gerbang, “Mungkin kedatangan kita tidak diterima dengan baik. Tetapi aku minta adi tetap berlapang dada. Kita adalah utusan Kangjeng Adipati Paranganom, sehingga kita harus tetap bertindak sebagaimana seorang utusan. Kita tidak datang ke Kateguhan sebagai seorang Senapati perang.”

Ki Tumenggung Sanggayuda tersenyum. Katanya, “Aku mengerti kakang. Aku akan berusaha untuk tetap mengendalikan diri.”

Ki Tumenggung Wiradapa pun tersenyum pula Keduanya pun segera meloncat turun di depan pintu gerbang dalem Kadipaten Kateguhan. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, dua orang prajurit yang bertugas di sebelah menyebelah pintu gerbang itupun telah menghentikan mereka.

“Siapakah kalian dan apakah keperluan kalian?” bertanya salah seorang dari kedua orang prajurit itu.

“Kami datang dari Paranganom” jawab Ki Tumenggung Wiradapa, ”aku adalah Tumenggung Wiradapa dan ini adalah Ki Tumenggung Sanggayuda”

Kedua orang prajurit itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara keduanya pun berkata, “Aku minta Ki Tumenggung menunggu sebentar. Aku akan melaporkannya kepada Ki Lurah”

Sikap prajurit itu adalah sikap yang wajar. Ia memang harus melaporkan kedatangan mereka kepada pimpinannya. Apalagi yang datang adalah dua orang dari luar Kadipaten yang belum dikenalnya.

Sejenak kemudian, seorang Lurah prajurit telah datang ke pintu gerbang.

“Apakah benar Ki Sanak adalah dua orang Tumenggung dari Paranganom?”

“Ya. Aku adalah Tumenggung Wiradapa dan ini adalah Ki Tumenggung Sanggayuda.”

“Apakah Ki Tumenggung berdua akan menghadap Kangjeng Adipati Kateguhan?”

“Ya.”

Lurah prajurit itu memandangi kedua orang Tumenggung itu berganti-ganti. Dengan nada datar Lurah prajurit itu pun memperkenalkan dirinya, “Aku Lurah prajurit di Kateguhan. Namaku Kriyasana.”

“Ki Lurah Kriyasana” desis Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda hampir berbareng.

“Ya, Ki Tumenggung” Ki Lurah mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya, “Apakah Kangjeng Adipati sudah mengenal. Ki Tumenggung berdua.”

“Sudah. Aku sudah pernah datang kemari beberapa kali, sejak Kangjeng Adipati Prawirayuda masih bertahta.”

“Maksudku, apakah Kangjeng Adipati Yudapati mengenal Ki Tumenggung berdua?”

“Ya. Tentu saja. Pada saat-saat aku menghadap Kangjeng Adipati Prawirayuda, Kangjeng Adipati Yudapati yang masih belum bertahta, ia juga menerima kami. Bahkan kami sudah pernah datang ke Kadipaten ini mengantar Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom dalam satu kunjungan kehormatan.”

Lurah prajurit itu mengangguk-angguk. Seakan-akan diluar sadarnya ia pun berkata, “Tetapi sikap Kangjeng Adipati di Paranganom sekarang berubah?”

“Apa yang berubah?”

“Apakah Kangjeng Adipati di Paranganom tidak dapat menerima kenyataan bahwa yang harus menggantikan kedudukan Adipati di Kateguhan itu adalah Kangjeng Adipati Yudapati? Bukankah itu persoalan kadipaten Kateguhan sehingga Paranganom tidak perlu mencampurinya?”

“Ki Lurah” nada suara Ki Tumenggung Sanggayuda mulai meninggi, “kami datang untuk menghadap Kangjeng Adipati Yudapati. Karena itu, tolong sampaikan permohonan kami untuk menghadap. Kami adalah utusan Kangjeng Adipati di Paranganom.”

Ki Lurah Kriyasana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, ”Baik. Aku akan menyampaikannya kepada Narpacundaka yang bertugas.”

“Terima kasih.”

“Silahkan duduk di gardu para prajurit yang bertugas.”

Ki Tumenggung Wiradapa menggamit Ki Tumenggung Sanggayuda yang agaknya merasa kurang senang terhadap sikap Lurah prajurit itu, sehingga Ki Tumenggung Sanggayuda tidak jadi menanggapi kata-kata Lurah prajurit itu.

Tetapi keduanya tidak duduk di gardu. Setelah menambatkan kuda mereka di patok-patok kayu yang tersedia, keduanya berdiri saja di depan tangga pendapa ageng Kadipaten Kateguhan.

Baru beberapa saat kemudian, Ki Lurah keluar lewat pintu seketeng bersama seorang prajurit yang bertugas sebagai Narpacundaka Kangjeng Adipati Yudapati.

“Ki Tumenggung berdua” berkata Ki Lurah Kriyasana, “ini adalah Ki Panji Wirasena. Salah seorang Narpacundaka Kangjeng Adipati Yudapati.”

Ki Panji Wirasena itu pun mengangguk hormat pula. Katanya, “Aku diperintahkan oleh Kangjeng Adipati Yuda-pati untuk mengantar Ki Tumenggung berdua ke serambi sebelah kiri. Kangjeng Adipati akan menerima Ki Tumenggung berdua di serambi itu.”

“Terima kasih, Ki Panji.”

Ki Panji Wirasena pun kemudian telah mengantarkan kedua orang Tumenggung itu masuk ke serambi sebelah kiri. Namun di serambi itu masih belum ada seorang pun.

“Silahkan duduk Ki Tumenggung. Aku akan menghadap dan menyampaikan kepada Kangjeng Adipati, bahwa Ki Tumenggung berdua sudah berada di serambi.”

“Silahkan Ki Panji.”

Ki Panji Wirasena pun kemudian nieninggalkan kedua orang Tumenggung dari Paranganom itu diserambi.

Namun ternyata bahwa Kangjeng Adipati tidak segera memasuki serambi itu. Untuk beberapa lama kedua orang Tumenggung dari Paranganom itu menunggu.

Ketika kemudian pintu terbuka, yang masuk ke serambi itu adalah Ki Panji Wirasena.

“Maaf, Ki Tumenggung berdua. Kangjeng Adipati masih berbicara dengan Ki Tumenggung Reksadrana. Diminta kesabaran Ki Tumenggung berdua.”

“Tentu Ki Panji” sahut Ki Tumenggung Sanggayuda, “kami datang dari jauh untuk menghadap Kangjeng Adipati. Kami tentu akan menunggu kesempatan itu.”

“Terima kasih atas kesediaan Ki Tumenggung berdua.”

Ketika Ki Panji kemudian meninggalkan kedua orang Tumenggung dari Paranganom itu, Ki Tumenggung Sanggayuda pun berkata dengan nada berat, “Apa maksud Kangjeng Adipati sebenarnya?”

“Mungkin Kangjeng Adipati memang sedang berbincang dengan Ki Tumenggung Reksadrana, Kita memang harus sabar menunggu.”

“Sampai kapan?”

Ki Tumenggung Wiradapa tersenyum. Katanya, “Kita adalah tamu disini.”

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk-angguk.

Yang lebih dahulu memasuki pringgitan adalah seorang pelayan untuk menghidangkan minuman hangat bagi kedua orang Tumenggung Paranganom itu.

Demikian pelayan itu pergi, Ki Tumenggung Wiradapa pun berdesis, “Ini tidak biasa dilakukan di Paranganom. Jika ada tamu yang datang menghadap Kangjeng Adipati, maka di Paranganom tidak pernah disuguhkan minuman seperti ini.”

“Aku haus, kakang Tumenggung.”

Ki Tumenggung Wiradapa tersenyum melihat Ki Tumenggung Sanggayuda meneguk minuman hangatnya.

“Enak kakang Tumenggung. Wedang sere dengan gula kelapa. Manis dan terasa sedikit wangi.”

Ki Tumenggung Wiradapa masih saja tersenyum. Tetapi ia masih belum meneguk minumannya.

Ki Tumenggung Sanggayuda hampir tidak sabar menunggu. Dalam ketidak sabarannya itu, maka minumannya pun telah dihabiskannya. Sementara Ki Tumenggung Wiradapa baru minum beberapa teguk saja.

Beberapa saat kemudian, Ki Panji Wirasena pun telah memasuki serambi itu lagi. Katanya, “Kangjeng Adipati Yudapati akan menerima Ki Tumenggung berdua di ruang depan. Di sana telah hadir pula Ki Tumenggung Reksadrana yang memang diperintahkan oleh Kangjeng Adipati untuk ikut menerima kedatangan Ki Tumenggung berdua.”

“Terima kasih, Ki Panji” sahut Ki Tumenggung Wiradapa.

Demikianlah, diantar oleh Ki Panji Wirasena Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda telah masuk ke ruang depan. Sebenarnyalah di ruang itu telah menunggu Kangjeng Adipati Yudapati dan Ki Tumenggung Reksadrana.

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda pun kemudian duduk menghadap Kanjeng Adipati. Ki Tumenggung Reksadrana duduk selangkah di sebelah Kangjeng Adipati itu, sedangkan Ki Panji Wirasena duduk agak dibelakang.

“Selamat datang di Kadipaten Kateguhan paman Tumenggung berdua berkata Kangjang Adipati Yudapati kemudian.

“Hamba Kangjeng Adipati. Kami berdua datang menghadap Kangjeng Adipati Yudapati” sahut Ki Tumenggung Wiradapa.

“Bagaimana dengan keselamatan dan kesejahteraan paman Adipati Prangkusuma di Paranganom? Bagaimana pula dengan saudara saudara sepupuku. Aku dengar mereka sudah pulang dari perguraan mereka. Mereka sudah menjadi anak muda yang gagah perkasa.”

“Semuanya dalam keadaan yang baik, Kangjeng Adipati. Kedua putera Kangjeng Adipati Prangkusuma, Raden Madyasta dan Raden Wignyana memang sudah pulang.”

“Syukurlah. Dan bagaimana dengan rakyat Paranganom?”

“Kami semuanya berada dibawah perlindungan Yang Maha Agung. Keadaan kami selama ini baik-baik saja, Kangjeng Adipati?”

“Aku menyatakan selamat atas semuanya itu, paman Tumenggung.”

“Terima kasih, Kangjeng Adipati. Menurut penglihatan kami berdua, bukankah Kadipaten Kateguhan juga berada didalam kesejahteraan?”

“Ya. Kateguhan juga berada didalam perlindungan Yang Maha Agung.”

“Kangjeng Adipati, perkenankanlah hamba menyampaikan salam dari Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom.”

“Sampaikan terima kasihku kepada paman Adipati di Paranganom. Baktiku sampaikan pula kepada paman Adipati.”

“Hamba Kangjeng Adipati. Akan hamba sampaikan kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom.”

“Salamku buat adik-adik sepupuku.”

“Hamba Kangjeng Adipati. Akan hamba sampaikan kepada Raden Madyasta dan Raden Wignyana.”

“Sekali-sekali ajak mereka kemari. Seperti pada masa kanak-kanak, kami sering bertemu dan berkumpul serta bermain bersama.”

“Akan hamba sampaikan kepada mereka” Ki Tumenggung Wiradapapun berhenti sejenak. Lalu katanya, “Beberapa waktu yang lalu, Raden Madyasta juga berada di perbatasan, Kangjeng. Tetapi Raden Madyasta masih belum sempat singgah meskipun sebenarnya ia ingin melakukannya.”

“Di perbatasan? Ada apa sehingga dimas Madyasta sendiri harus hadir diperbatasan.”

“Kangjeng Adipati. Barangkali ada gunanya jika kami memberitahukan, bahwa telah terjadi kerusuhan di perbatasan. Perampok, brandal, penyamun dan sejenisnya telah merebak. Para Demang tidak lagi mampu mengatasinya, sehingga telah terjadi keresahan. Ketika hal ini dilaporkan kepada Kangjeng Adipati, maka Kangjeng Adipati telah memerintahkan Raden Madyasta untuk mengatasinya. Bersama tiga orang Senapati, Raden Madyasta berhasil menghancurkan kelompok yang telah menimbulkan keresahan di perbatasan itu Kangjeng.”

Kangjeng Adipati Yudapati di Kateguhan itu menarik nafas panjang. Dengan nada berat Kangjeng Adipati itu berkata, “Jadi kedatangan paman berdua melintasi perbatasan Kadipaten Paranganom dan kadipaten Kateguhan itu hanya akan menceritakan tentang kerusuhan yang terjadi di perbatasan?”

“Tidak, Kangjeng. Tentu tidak. Yang kami sampaikan ini sekedar pemberitahuan.”

“Temyata kalian telah salah alamat, kakang Tumenggung” berkata Ki Tumenggung Reksadrana, “sebaiknya persoalan itu kalian laporkan saka kepada Kangjeng Adipati di Paranganom. Tidak kepada kangjeng Adipati di Kateguhan. Bukankah kerusuhan itu terjadi di Paranganom?”

“Bukankah tidak ada salahnya jika hal itu diketahui oleh Kangjeng Adipati di Kateguhan?” potong Ki Tumenggung Sanggayuda, “kerusuhan itu terjadi di perbatasan. Jika Kangjeng Adipati di Kateguhan mengetahuinya, maka Kangjeng Adipati dapat memerintahkan kepada pada prajurit di Kateguhan untuk bersiaga, agar tidak terjadi seperti di Paranganom yang sempat menimbulkan keresahan.”

“Tetapi selama ini kateguhan tidak pernah diganggu oleh kerusuhan-kerusuhan itu. Kateguhan memiliki kekuatan untuk mengatasinya. Tidak perlu para prajurit, apalagi putera Kangjeng Adipati sendiri harus terjun. Rakyat Kateguhan mampu mengatasinya.”

“Syukurlah jika begitu. Tetapi jika para penjahat itu terusir dari Paranganom, mungkin selaki mereka akan merembes ke Kateguhan. Kecuali jika mereka memang bersarang di Kateguhan.”

“Kakang Tumenggung Sanggayuda” suara Ki Tumenggung Reksadrana meninggi, “apa maksud kakang Tumenggung sebenarnya? Kata-kata kakang Tumenggung itu tajamnya seperti welat pring wulung, menyentuh perasaan kami, orang-orang Kateguhan. Agaknya penalaran seperti itulah yang telah menimbulkan jarak antara orang-orang Paranganom dan orang-orang Kateguhan. Jika orang-orang Paranganom mengalami kesulitan dari tingkah laku para perampok itu, jangan mencari kambing hitam di kadipaten Kateguhan.”

“Seharusnya peringatan yang kami berikan itu dapat kau terima dengan baik, adi Tumenggung. Tetapi sebaliknya kau tanggapi dengan sikap sombongmu.”

Ki Tumenggung Wiradapa lah yang kemudian menyahut, “Sudahlah adi Tumenggung. Bukankah kita datang ke Kateguhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kerusuhan yang terjadi di perbatasan” Ki Tumenggung Wiradapa itu pun kemudian berkata kepada Kangjeng Adipati, “Ampun Kangjeng Adipati. Maksud kami sebenarnya tidak lebih daripada sekedar menyampaikan peringatan. Tetapi jika peringatan ini dianggap kurang pada tempatnya, kami mohon ampun.”

“Baiklah, paman Tumenggung. Aku bahkan mengucapkan terima kasih atas peringatan yang paman berdua berikan, Setidak-tidaknya akan dapat membuat kami di Kateguhan berhati-hati.”

Namun Ki Tumenggung Reksadranapun menyela, “Ampun Kangjeng yang mereka berikan bukan sekedar peringatan. Tetapi tuduhan. Seakan-akan Kateguhan memberikan perlindungan kepada para penjahat yang mengganggu ketenteraman Paranganom Tuduhan itu sebenarnya hanyalah usaha mereka untuk menutupi kelemahan mereka sendiri.”

“Sudahlah, paman. Persoalannya akan berkepanjangan”

Ki Tumenggung Reksadrana pun terdiam. Namun masih nampak diwajahnya, kemarahan yang menyala didadanya.

“Paman Tumenggung berdua” berkata Kangjeng Adipati kemudian, “kedatangan Ki Tumenggung berdua tentu mengemban perintah dari paman Adipati Prangkusuma. Aku memang yakin, bahwa persoalannya tentu bukan sekedar tentang kerusuhan di perbatasan.”

“Hamba Kangjeng Adipati. Kami berdua memang mengemban perintah Kangjeng Adipati Prangkusuma” Ki Tumenggung Wiradapa berhenti sejenak. Sekali ia menarik nafas panjang, kemudian berkata selanjutnya, “Kangjeng Adipati, barangkali Kangjeng Adipagi sudah mengetahui, bahwa pada saat ini Raden Ayu Prawirayuda berada di Paranganom.”

“Ya. Aku sudah mendengar, bahwa bibi Raden Ayu Prawirayuda berada di Paranganom.”

“Untuk itulah, kami berdua datang menghadap. Apakah yang sebenarnya terjadi dengan Raden Ayu Prawirayuda. Sejauh ini Kangjeng Adipati baru mendengar keterangan dari Raden Ayu Prawirayuda. Kedatangan kami berdua membawa pesan dari Kangjeng Adipati, agar Kangjeng Adipati Yudapati bersedia memberikan keterangan, apakah sebabnya Raden Ayu Prawirayuda harus meninggalkan Kadipaten Kateguhan?”

Kangjeng Adipati Yudapati nampak termangu-mangu. Ada keraguan di wajahnya. Namun kemudian katanya, “Apakah paman Adipati Prangkusuma meragukan keterangan bibi Prawirayuda?”

“Kangjeng Adipati Prangkusuma ingin mendapat keterangan dari kedua belah pihak.”

Namun Ki Tumenggung Reksadrana pun menyala, “Persoalan itu adalah persoalan antara keluarga di Kateguhan. Buat apa orang lain ikut mencampurinya?”

“Kami sudah tahu, adi Tumenggung. Persoalan ini adalah persoalan keluarga. Tetapi bukankah Kangjeng Adipati Prangkusuma juga bukan orang lain bagi Kangjeng Adipati Yudapati dan Raden Ayu Prawirayuda? Justru kau adalah orang lain.” sahut Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Tetapi aku adalah salah seorang abdi di Kateguhan.”

“Sekarang Raden Ayu Prawirayuda itu berada di Kadipaten Paranganom. Bahkan seakan-akan mohon perlindungan kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma. Nah, bukankah sudah sewajahnya jika Kangjeng Adipati Prangkusuma menghubungi kemanakannya untuk menjernihkan persoalannya.”

“Paman Adipati benar, paman Tumenggung. Aku mengerti maksud paman Adipati. Sepeninggal ayahanda, maka paman Adipati adalah ganti orang tuaku.”

Kerut di dahi Tumenggung Reksadrana menjadi makin dalam. Ia memang menjadi sangat kecewa atas sikap Adipati Yudapati.....

“Paman Tumenggung berdua” berkata Kangjeng Adipati Yudapati kemudian, “sampaikan kepada paman Adipati Prangkusuma di Paranganom, bahwa bibi Prawirayuda memang aku minta meninggalkan Kateguhan.”

“Jika Kangjeng Adipati tidak berkeberatan, apakah Kangjeng Adipati dapat menyebutkan alasannya, kenapa Raden Ayu Prawirayuda harus meninggalkan Kateguhan.”

“Itu persoalanku dengan bibi, paman Tumenggung. Sampaikan kepada paman Adipati, aku mohon maaf, bahwa aku merasa tidak perlu menyampaikan alasannya, kenapa bibi Prawirayuda harus meninggalkan Kateguhan,”

“Kangjeng Adipati” Ki Tumenggung Reksadrana pun memotong pembicaraan kangjeng Adipati, “jika demikian, sebaiknya Kangjeng Adipati berterus terang. Kenapa Kangjeng Adipati menegusir Raden Ayu Prawirayuda dari Kateguhan.”

“Menurut pendapatku, tidak perlu paman.”

“Hamba kira sebaiknya Kangjeng Adipati berterus terang. Bukankah itu yang dikehendaki oleh Kangjeng Adipati di Paranganom? Dengan demikian, maka Kangjeng Adipati Prangkusuma tidak hanya sekedar menduga-duga. Semakin jelas penglihatan Kangjeng Adipati Prangkusuma atas persoalan yang sebenarnya terjadi di Kateguhan, justru akan menjadi semakin baik bagi Kangjeng Adipati Yudapati. Apakah jika di Paranganom Raden Ayu Prawirayuda tidak berkata yang sebenarnya. Yang putih dikatakan hitam, yang hitam dikatakan putih. Dengan demikian, maka keberadaan Raden Ayu Prawirayuda di Paranganom memang dapat merenggangkan hubungan kedua kadipaten ini.”

Kangjeng Adipati Yudapati menjadi ragu-ragu. Sementara itu Ki Tumenggung Wiradapa pun berkata, “Adi Tumenggung Reksadrana benar menurut pendapat hamba, Kangjeng Adipati. Apapun alasannya, maka sebaiknya Kangjeng Adipati tidak berkeberatan untuk menyebutnya. Dengan demikian Kangjeng Adipati di Paranganom akan dapat mengetahui dengan jelas duduk persoalannya.”

Kengjeng Adipati masih saja termangu-mangu: Dipandanginya ketika orang Tumengung itu berganti-ganti. Dua orang Tumenggung dari Paranganom dan seorang Tumenggung dari Kateguhan.

Namun akhirnya Kangjeng Adipati itupun berkata, “Baiklah paman Tumenggung Reksadrana. Katakan, kenapa aku minta bibi Prawirayuda meninggalkan kadipaten Kateguhan.”

“Kangjeng Adipati. Kenapa tidak Kangjeng Adipati saja yang menyampaikannya? Nampaknya kedua orang utusan Kangjeng Adipati Prangkusuma ini tidak begitu yakin terhadap kejujuran hamba.”

“Atas perintahku, paman Tumenggung dapat mengatakan alasanku, kenapa bibi Prawirayuda aku minta meninggalkan Kateguhan.”

Sebenarnya Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda ingin agar Kangjeng Adipati sendiri yang menyampaikannya. Namun Kangjeng Adipati sudah memerintahkan kepada Ki Tumenggung Reksadrana. Tetapi karena Ki Tumenggung Reksadrana akan menyampaikannya di-hadapan Kangjeng Adipati, maka kedua orang Tumenggung dari Paranganom itu pun berpendapat, bahwa Ki Tumenggung Reksadrana tidak akan dapat berbohong, atau dengan sengaja bagi kepentingannya sendiri, menambah dan menguranginya.

“Baiklah Kangjeng Adipati” suara Ki Tumenggung Reksadrana merendah, “hamba mohon ampun. Hamba akan menyampaikannya kepada kedua orang utusan Kangjeng Adipati Prangkusuma dan Paranganom. Jika keterangan hamba ada yang salah, hamba mohon Kangjeng Adipati membetulkannya.”

“Baiklah, paman.”

“Kakang Tumenggung berdua” berkata Ki Tumenggung Reksadrana kemudian, “aku akan menyampaikannya atas nama Kangjeng Adipati. Mungkin karena persoalannya menyangkut pribadi Kangjeng Adipati, maka Kangjeng Adipati Yudapati tidak dapat menyampaikannya sendiri.”

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda hanya mengangguk kecil.

“Kakang Tumenggung berdua” suara Ki Tumenggung Reksadrana merendah, “Sebenarnyalah bahwa Raden Ayu Prawirayuda sudah melanggar paugeran hidup bebrayan.”

Kedua orang Tumenggung dari Paranganom itu terkejut. Tetapi mereka tidak berkata apa-apa. Mereka menunggu Ki Tumenggung Reksadrana itu meneruskan keterangannya, “Yang aku ketahui, kakang Tumenggung, sesuatu yang tidak pantas telah dilakukan oleh Raden Ayu Prawirayuda. Sebenarnyalah bagi Kateguhan Raden Ayu Prawirayuda adalah seorang yang sangat dihormati. Apalagi Raden Ayu Prawirayuda adalah isteri Kangjeng Adipati Prawirayuda yang telah wafat, Raden Ayu juga seorang prajurit yang tidak ada duanya. Meskipun Raden Ayu seorang perempuan, tetapi kemampuannya dalam olah kanuragan melebihi para Senapati perang” Ki Tumenggung Reksadrana berhenti sejenak. Namun keragu-raguan membayang diwajahnya. Setelah memandang wajah Kangjeng Adipati yang menunduk, Ki Tumenggung itu pun melanjutkannya dengan nada datar, “Malam itu, Kangjeng Adipati telah diundang oleh Raden Ayu Prawirayuda untuk makan malam di keputren. Satu hal yang tidak bisa dilakukan. Meskipun demikian Kangjeng Adipati tidak menolak. Tetapi Kangjeng Adipati tidak boleh membawa abdinya seorang pun. Bahkan Narpacundaka, yang sekarang juga ada disini, tidak boleh ikut ke keputren meskipun tidak ikut makan malam. Setelah makan malam itulah, Raden Ayu Prawirayuda menyampaikan maksudnya.”

Jantung Ki Tumenggung Wiradrana dan Ki Tumenggung Sanggayuda menjadi berdebar-debar. Mereka mendengarkan keterangan Ki Tumenggung Reksadrana itu dengan sungguh-sungguh.

“Kakang Tumenggung” suara Ki Tumenggung Reksadrana memang menjadi bergetar. Sekali-sekali ia memandang wajah Kangjeng Adipati. Tetapi Kangjeng Adipati Yudapati masih saja duduk sambil menunduk.

Sejenak kemudian, Ki Tumenggung Reksadrana pun melanjutkan, “Kakang Tumenggung berdua. Apa yang aku sampaikan ini adalah ulangan saja dari keterangan Kangjeng Adipati Yudapati yang diberikan kepadaku, sebagai seorang yang dituakan di Kateguhan. Kangjeng Adipati memerlukan pertimbangan dari beberapa orang tua. Satu diantara mereka adalah aku.”

“Ya, adi” suara Ki Tumenggung Wiradapa yang meluncur dari bibirnya terdengar berat.

“Malam itu, kakang Tumenggung” Ki Tumenggung Reksadrana melanjutkan, ”Raden Ayu Prawirayuda telah berterus terang, minta agar Kangjeng Adipati Yudapati bersedia mengambil Raden Ajeng Rantamsari sebagai isterinya”

Ki Tumenggung Wiradrana dan Ki Tumenggung Sanggayuda terkejut. Sementara itu Ki Tumenggung Reksadrana bertanya dengan ragu kepada Kangjeng Adipati Yudapati, “Bukankah begitu, Kangjeng Adipati.”

Kangjeng Adipati Yudapati mengangguk.

“Tetapi” suara Ki Tumenggung Wiradapa menjadi serak, “tetapi bukankah Raden Ajeng Rantamsari itu adik Kangjeng Adipati Yudapati sendiri meskipun berbeda ibu?”

“Bagaimana, Kangjeng Adipati?” Ki Reksadrana justru bertanya kepada Kangjeng Adipati.

“Katakan apa yang kau ketahui, paman.”

“Kakang Tumenggung berdua” Ki Tumenggung Reksadrana itu pun melanjutkan, ”atas perkenan Kangjeng Adipati, aku beritahukan kepada kakang berdua, bahwa Raden Ajeng Rantamsari itu bukan adik Kangjeng Adipati Yudapati. Bukan adik seayah. Raden ajeng Rantamsari itu bukan apa-apa bagi Kangjeng Adipati Yudapati.”

“Tetapi bukankah keduanya putera Kangjeng Adipati Prawirayuda?” bertanya Ki Tumenggung Sanggayuda.

Ki Tumenggung Reksadrana menggeleng. Dengan ragu-ragu ia pun berkata, ”Raden Ajeng Rantamsari bukan putera kandung Kangjeng Adipati Prawirayuda.”

“Jadi?”

“Sudah, sudah paman” Kangjeng Adipati pun kemudian memotong pembicaraan itu, “aku tidak ingin nama ayahanda yang sudah wafat itu terungkit lagi. Itulah pokok persoalannya.”

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda hanya dapat mengangguk-angguk. Namun terasa betapa debar jantung mereka menghentak-hentak di dalam dada.

“Aku tidak dapat menerima permintaan bibi Prawirayuda itu, paman Tumenggung berdua. Sementara itu bibi agaknya berusaha memaksakan kehendaknya dengan segala macam cara. Karena itu, aku tidak mempunyai pilihan. Aku persilahkan bibi meninggalkan dalem Kadipaten. Sebenarnya aku sudah menyediakan sebuah tempat tinggal yang pantas bagi bibi. Tetapi rupanya bibi lebih senang pergi ke Kadipaten Paranganom. Aku sadar, bahwa apa yang dikatakan oleh bibi di Paranganom agak berbeda atau bahkan bertentangan sama sekali dengan apa yang tadi dikatakan oleh paman Tumenggung Reksdrana. Tetapi apa yang dikatakan oleh paman Tumenggung Reksadrana itulah yang benar.”

“Kami mengerti, Kangjeng Adipati berkata Ki Tumenggung Wiradrana dengan suara yang hampir tidak terdengar.”

“Nah, jika paman Adipati ingin mendengar persoalannya menurut pengertianku adalah sebagaimana dikatakan oleh paman Tumenggung Reksadrana. Selanjutnya terserah kepada paman Adipati Prangkusuma. Apakah paman Adipati memper-cayainya atau tidak.”

“Kami akan menyampaikannya kepada Kangjeng Adipati di Paranganom.”

“Kakang Tumenggung” berkata Ki Tumenggung Reksadrana kemudian, ”yang dikatakan oleh Raden Ayu Prawirayuda tentu berbeda. Mungkin Kangjeng Adipati ingin mendengar, apakah alasan yang dikatakan oleh Raden Ayu Prawirayuda, sehingga Raden Ayu itu disingkirkan dari Kateguhan?”

Kangjeng Adipati Yudapati itu pun mengangguk sambil berkata, ”Kakang Tumenggung Reksadrana benar. Aku memang ingin mendengar apakah yang dikatakan oleh bibi Prawirayuda.”

“Kangjeng Adipati” berkata Ki Tumenggung Wiradapa, “salah satu alasan kenapa kami berdua harus datang ke Kateguhan itu adidah karena yang dikatakan oleh Raden Ayu Prawirayuda itu tidak jelas. Menurut Raden Ayu Prawirayuda, Kangjeng Adipati tidak mengatakan sama sekali alasan, kenapa Raden Ayu Prawirayuda haras meninggalkan Kateguhan. Menurut Raden Ayu, Kangjeng Adipati begitu saja telah mengusir Raden Ayu Prawirayuda tanpa menunjukkan kesalahan yang telah dilakukannya.”

“Nah, bukankah ada baiknya Kangjeng Adipati berterus-terang kepada kakang Tumenggung berdua” berkata Ki Tumenggung Reksadrana

“Ya, paman Tumenggung benar. Dengan demikian paman Adipati dapat mempertimbangkannya.”

“Memang itulah yang diharapkan oleh Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom” sahut Ki Tumenggung Wiradapa perlahan.

Namun kemudian baik Kangjeng Adipati maupun Ki Tumenggung Reksadrana tidak lagi membicarakan tentang keberadaan Raden Ayu Prawirayuda di Paranganom. Yang kemudian ditanyakan oleh Kangjeng Adipati Kateguhan adalah peredaran musim yang banyak menyimpang di Kateguhan.

KiTumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda tidak terlalu lama berada di dalem kadipaten. Ketika persoalan yang, terpenting telah selesai dibicarakannya, maka keduanya pun kemudian telah minta diri.

“Baiklah paman. Sekali lagi pesanku, baktiku kepada paman Adipati Prangkusuma di Paranganom.”

“Hamba Kangjeng Adipati. Hamba berdua akan menyampaikannya demikian kami menghadap.”

“Terima kasih, paman.”

Demikianlah, maka kedua orang Tumenggung itupun segera meninggalkan Kateguhan. Seperti yang mereka katakan kepada Ki Partabawa, mereka tidak lagi singgah di rumah orang tua itu.

Mereka berdua langsung menempuh perjalanan kembali ke Paranganom. Satu perjalanan yang panjang, melintasi lembah, ngarai dan lereng-lereng perbukitan serta menembus padang perdu, tanah-tanah berbatu padas dan berkapur, serta melewati tepi hutan yang lebat.

Sekali-sekali mereka harus berhenti beristirahat. Sekali mereka berhenti di padang rumput, sekali di pinggir sungai. Namun mereka pun berhenti pula disebuah kedai. Tenyata bukan hanya kuda mereka sajalah yang lelah, haus dan lapar. Tetapi penunggangnya pun lelah, haus dan lapar pula.

Sambil tersenyum Ki Tumenggung Wiradapa yang duduk di sudut kedai itu berdesis, “Ini merupakan padang rumput yang baik bagi kita. Kedai ini cukup besar dan dagangan yang digelar pun ada bermacam-macam, sehingga seseorang yang masuk kedalam kedai ini tidak akan dikecewakan.”

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk sambil menjawab, “Ya. Bahkan jenis makanan yang tidak kita kenal namanya ada disini.”

“Jenis makanan khusus setempat yang tidak ada di Paranganom.”

“Apakah kakang Tumenggung ingin membeli oleh-oleh buat keluarga?”

Ki Tumenggung Tertawa. Katanya, “Lain kali, jika aku tidak sedang mengemban tugas.”

“Bukankah membeli oleh-oleh disini tidak mengganggu tugas kita?”

“Tetapi kita akan kemalaman di jalan, adi Tumenggung. Jika kita membeli oleh-oleh sekarang ini, sementara esok kita langsung menghadap Kangjeng Adipati, apakah oleh-oleh yang kita beli masih tetap segar?”

Ki, Tumenggung Sanggayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sampai di rumah, oleh-oleh itu tidak lagi dapat dimakan.”

Sejenak kemudian, maka pelayan kedai itu pun sudah menghidangkan minuman dan makan yang dipesan oleh kedua orang Tumenggung dari Paranganom itu. Minuman hangat, nasi hangat dengan lauk serta sayur yang menggelitik hidung.

Tetapi ternyata suasana di kedai itu tidak begitu ramah kepada keduanya. Seorang yang berpakaian bagus, bersih dan rapi, tiba-tiba saja mendekati keduanya sambil bertanya, “Agaknya kalian buka orang kademangan ini.”

Ki Wiradapa yang tidak tahu maksud orang itu dengan serta merta saja menjawab, “Ya, Ki sanak. Kami memang buka penghuni kademangan ini. Kami hanyalah orang lewat yang kehausan.”

“Kalian berdua akan pergi kemana dan datang dari mana?”

Kedua orang Tumenggung itu merasa ragu untuk menjawab. Tetapi orang itu mendesaknya, “Apakah kalian merahasiakan-nya?”

“Tidak, Ki Sanak” Ki Tumenggung Wiradapa tidak dapat mengelak, “kami baru saja dari Kateguhan. Kami adalah orang-orang Paranganom.”

“Orang-orang Paranganom? Jadi kalian datang dari Paranganom?”

“Ya, Ki Sanak. Kami adalah orang-orang Paranganom yang berkunjung pada saudara kami di Kateguhan.”

“Siapakah paman kalian itu? Aku orang Kateguhan. Aku mengenal orang-orang yang tinggal di kademangan induk pusat pemerimahan Kateguhan.”

“Namanya Ki Partabawa”

“Ki Partabawa yang, pernah menjadi bebahu di kademangan induk Kateguhan? Ayah Ki Sana yang kemudian menggantikannya?”

“Ya, Ki Sanak. Kau kenal pamanku itu?”

“Tentu aku mengenalnya. Aku adalah kenalan baik Ki Sana, anak Ki Partabawa.”

“Ki Partabawa adalah pamanku. Ki Sana itu adik sepupuku.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja berkata, “Apakah kau tidak berbohong, Ki Sanak.”

“Kenapa aku harus berbohong?”

“Siapa namamu?”

“Wiradapa. Dan ini saudaraku Ki Sanggayuda.”

“Ki Sana tidak pernah menceriterakan kepadaku, bahwa ia mempunyai saudara yang tinggal di Paranganom.”

“Apakah ia harus menceriterakan segala-galanya kepada orang lain? Jika kau tinggal di kademangan ini, maka jarak kademangan ini dengan kademangan induk Kadipaten Kateguhan itu cukup jauh, sehingga kau tidak mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan Sana atau adik-adiknya?”

“Aku pernah tinggal di kademangan induk di pusat pemerintahan Kateguhan itu, Ki Sanak. Aku seorang saudagar yang menjelajahi daerah Kateguhan.”

“Kau juga sering pergi ke Paranganom?”

“Buat apa aku pergi ke Paranganom? Paranganom adalah sarang kejahatan. Brandal, kecu, perampok, penyamun dan sebangsanya. Nah, apakah kalian dua orang diantara para penjahat itu yang sedang mengamati daerah Kateguhan?”

“Jangan berkata begitu, Ki Sanak” sahut Ki Tumenggung Wiradapa.

“Jika bukan bagian dari mereka, lalu apa? Orang-orang yang merasa dirinya terhormat di Paranganom segan menginjakkan kakinya di Kateguhan. Dengan sombong mereka memandang Kateguhan sebagai tempat sampan yang harus dihindari.”

“Kenapa orang-orang Kateguhan menganggap orang-orang Paranganom tidak mau menginjakkan kakinya di Kateguhan? Kenapa anggapan yang salah itu justru merebak pada saat-saat kami menghendaki pendekatan?”

“Tentu Raden Ayu Prawirayuda itu yang menyebarkan fitnah di Paranganom, bahwa Kateguhan adalah daerah yang tabu untuk disentuh.”

“Tidak, Ki Sanak. Tidak ada rasa permusuhan di Paranganom terhadap Kateguhan. Kami masih tetap menganggap bahwa kami masih bersaudara. Kami tidak mempunyai alasan apa-apa untuk membuat jarak dengan Kateguhan.”

“Sudahlah. Kalian tidak usah sesorah disini. Sekarang, kalian harus mengakui bahwa kalian adalah bagian dari para perusuh di Paranganom.”

“Jangan begitu. Aku datang ke Kateguhan dengan maksud baik. Menengok pamanku yang sudah lama tidak bertemu.”

“Ki Sana adalah orang yang paling benci terhadap orang-orang Paranganom. Ceritamu bahwa kau adalah kemanakan Ki Partabawa adalah khayalan saja untuk mencoba mengelabuhi kami.”

“Tidak, Ki Sanak. Kami berkata sebenarnya.”

Namun tiba-tiba saja orang itu pun berkata kepada orang orang yang ada di dalam kedai itu, “Saudara-saudaraku. Kita harus berani menunjukkan kepada orang-orang Paranganom, bahwa kita adalah orang-orang yang terhormat. Kita tidak mau direndahkan, apalagi dianggap sampah yang berada di lubang pembuangan sampah. Karena itu, maka marilah kita perlakuan orang-orang Paranganom ini sesuai dengan kesombongan mereka. Kita ambil baju, ikat kepala dan kain panjangnya. Kita ambil setagen, kamus dan timangnya. Kecuali jika timang itu berharga dan terbuat dari emas, biarlah timang itu dibawanya agar mereka tidak dapat menuduh kita ingin merampoknya. Jika kerisnya keris yang baik dan mahal harganya, biarlah mereka bawa pulang ke Paranganom. Kami tidak membutuhkannya. Kami tidak merampok. Kami hanya ingin membalas penghinaan mereka dengan penghinaan pula.”

Wajah kedua orang Tumenggung itu menjadi tegang. Ki Tumenggung Sanggayuda yang cepat tersinggung itu pun berrkata, “Ki Sanak. Masih ada waktu untuk merenungkan niatmu itu. Kami, siapapun kami, tentu tidak akan bersedia dihinakan seperti itu. Kami tentu akan menolaknya dan mempertahankan harga diri kami.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kalian hanya berdua. Apa yang dapat kalian lakukan berdua? Kami akan menangkap kalian beramai-ramai. Kami akan melepas baju kalian, kain panjang kalian dan ikat kepala kalian. Biarlah kalian pulang dengan celana hitam kalian. Biarlah kalian menjadi tontonan orang sepanjang jalan. Perbatasan Kateguhan dan Paranganom sudah tidak terlalu jauh.”

“Ki Sanak” suara Ki Tumenggung Sanggayuda meninggi kalian tidak akan dapat melihat aku berkuda tanpa baju dan ikat kepala. Jika kalian memaksa, maka yang akan kalian tonton adalah mayat kami berdua.”

Wajah orang yang berpakaian rapi dan bersih, yang mengaku seorang saudagar itu terkejut mendengar jawaban Ki Tumenggung Sanggayuda. Dengan serta merta ia pun berkata, “Aku tidak berniat membunuh siapapun. Tetapi aku hanya ingin membalas penghinaan orang Paranganom dengan penghinaan pula”

“Kami tidak akan membiarkan diri kami dihina. Sudah aku katakan, bahwa aku akan mempertahankan diri kami sampai batas terakhir. Mati.”

Saudagar itu menjadi ragu-ragu. Kata-kata Ki Tumenggung Sanggayuda itu diucapkan dengan tegas dan tanpa ragu-ragu. Karena itu, maka saudagar itu justru harus berpikir dua tiga kali.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Sanggayuda berkata, “Jika kami berdua mati disini, maka berita kematian itu akan sampai di telinga orang-orang Paranganom. Jika permusuhan antara Paranganom dan Kateguhan itu memang ada, maka biarlah kematian kami berdua akan meniup api permusuhan itu menjadi semakin besar. Orang-orang Paranganom tidak akan membiarkan dua orang warganya mati tanpa melakukan kesalahan apa-apa di Kateguhan.”

Saudagar itu menjadi semakin bimbang. Nampaknya orang yang bernama Ki Sanggayuda itu bersungguh-sungguh. Orang itu sama sekali tidak menjadi gentar berada diantara sekian banyak orang-orang Kateguhan.

Namun tiba-tiba terdengar suara seorang yang duduk bersama beberapa orang yang lain, “Bagus. Aku senang mendengar kata-kata jantannya. Kita akan melihat, apakah ia berkata sebenarnya atau sekedar satu gertakan yang tidak berarti apa-apa.”

Semua orang yang ada didalam kedai itu berpaling. Mereka melihat seorang yang berkumis tebal melintang bangkit berdiri. Bahkan kemudian ia melangkah maju sambil berkata, “Aku akan membunuh kalian berdua, jika kalian berdua menolak untuk dihinakan.”

Suasanapun semakin tegang. Apalagi ketika tiga orang yang lain pun bangkit berdiri pula. Seorang yang berkepala bundar dan bermata cekung tertawa sambil berkata, ”Sudah lama kami tidak mendapatkan permainan yang menarik. Sekarang kami menemukannya disini.”

Terasa jantung kedua Tumenggung itu bergejolak. Bahkan Ki Sanggayuda hampir tidak dapat menahan diri lagi.

Namun orang yang mengaku saudagar itulah yang kemudian berkata, “Kami tidak menghendaki kematian siapa-siapa. Kami hanya akan membalas sakit hati kami.”

“Tetapi kau dengar tantangannya. Jika kau menarik niatmu, maka bukan kita yang membalas sakit hati karena penghinaan orang-orang Paranganom. Tetapi kitalah yang justru saat ini dihinakan lebih dalam lagi oleh hanya dua orang Paranganom yang berada di tengah-tengah kita orang-orang Kateguhan”

“Tetapi kematian akan berakibat semakin memburuknya hubungan antara Paranganom dan Kateguhan.”

“Itulah yang kita inginkan. Jika hubungan yang buruk itu memuncak, maka Kateguhan harus mengusulkan kepada Kangjeng Sultan di Tegallangkap, agar Tegallangkap tidak mencampuri pertentangan antara Paranganom dan Kateguhan, sehingga biarlah Paranganom dan Kateguhan sendirilah yang menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka.”

“Tetapi sebaiknya kita tidak membunuh siapa-siapa” berkata saudagar itu kemudian.

“Kamilah yang akan membunuh.”

“Akibatnya akan buruk sekali.”

“Paranganom tidak akan mengetahui bahwa dua orang warganya mati disini. Tidak akan ada saksi. Tidak akan ada orang yang mengaku melihat sebuah pembunuhan atas dua .orang Paranganom. Jika ada yang mencobanya, meskipun ia orang Kateguhan, iapun akan mati juga.”

“Jika kematiannya tidak didengar oleh Paranganom, lalu apa gunanya? Orang-orang Paranganom tidak akan merasakan pembalasan apapun dari orang-orang Kateguhan karena mereka tidak mengetahui dan tidak mendengar apa-apa yang terjadi.”

“Mereka akan tetap merasa kehilangan. Biarlah mereka mencari. Mereka tentu akan menduga bahwa kedua orangnya telah dibunuh di Kateguhan. Tetapi mereka tidak akan dapat membuktikannya.”

“Aku berkeberatan.”

Orang berkumis melintang itu tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Ternyata kaulah yang pengecut. Itulah sebabnya orang-orang Paranganom selalu menghina dan merendahkan orang-orang Kateguhan karena sebagian dari orang-orang Kateguhan memang pengecut. Nah, minggirlah. Jangan ikut campur. Tetapi jika kau berkhianat dan bersaksi atas kematian kedua-orang itu, niaka kau dan keluargamu akan kami tumpas pula.”

“Nah, dua orang Paranganom yang malang. Kalian berdua akan mati. Mayat kalian akan di kubur di gumuk kecil itu. Kematiaan kalian akan membangkitkan kepercayaan diri yang lebih besar dari orang-orang Kateguhan.”

Ki Sanggayuda benar-benar telah kehabisan kesabaran. Karena itu, maka ia pun berkata dengan nada suara yang berat dan bergetar, “Jika kalian sudah benar-benar berniat membunuh, maka aku pun tidak akan menahan diri, jika aku harus membunuh.”

“Orang-orang Paranganom memang orang-orang yang sombong. Sekarang bersiaplah untuk mati. Ingat, tidak akan ada saksi yang melihat kematianmu. Tidak akan ada orang yang pernah mengatakan bahwa di gumuk kecil itu telah dikubur dua orang Paranganom yang sombong, tetapi yang nasibnya buruk sekali.”

Namun Ki Tumenggung Wiradapa masih sempat berkata, “kami akan menunggu kalian di luar Ki Sanak. Kami tidak ingin merusakkan perabot yang ada di kedai ini.”

“Bagus. Temyata kalian cukup tenang menghadapi kematian kalian. Baik. Kami akan membunuhmu di luar kedai ini.”

Ketika Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda beranjak dari tempatnya, orang berkumis melintang itu berteriak, “Jangan biarkan keduanya melarikan diri.”

Tetapi saudagar itu justru bertanya kepada orang yang berkumis melintang , “Kalian itu siapa Ki Sanak?”

“Kau terlambat bertanya, Ki Sanak. Siapapun kami, tetapi kami akan tetap menjunjung tinggi harga diri orang-orang Kateguhan.”

Saudagar itu tidak bertanya lebih jauh. Orang-orang itu nampaknya begitu garang.

Sesaat kemudian Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda telah berada di halaman kedai itu. Sejenak kemudian, empat orang yang nampak garang dan kasar telah turun ke halaman pula.

Ki Tumenggung Sanggayuda lah yang sudah tidak sabar lagi. Karena itu, Ki Tumenggung lah yang justru melangkah mendekati keempat orang itu sambil berkata, “Bersiaplah. Aku tidak ingin berbicara lagi.”

Sikap itu sungguh mengejutkan. Keempat orang itu tidak mengira, bahwa orang Paranganom itulah yang justru mendahuluinya.

Sebenarnyalah, Ki Tumenggung Sanggayuda tidak menunggu lagi. Tiba-tiba saja tangannya telah terayun dengan cepatnya menghantam wajah orang yang berkumis lebat itu. Demikian kerasnya, sehingga orang itu telah berputar kesamping sambil berteriak kesakitan namun sekaligus rnengumpat kasar.

“Iblis kau, he?”

Ki Sanggayuda tidak menghiraukannya. Kakinya dengan cepat terayun meyambar dada orang yang kepalanya bulat, bermata cekung.

Orang im terlempar beberapa langkah surat dan kemudian jatuh menimpa dinding kedai.

Dengan demikian, maka kawan-kawan merekapun segera bergeser menjauh. Bahkan orang yang berkumis melintang itupun meloncat mengambil jarak sambil berkata, “licik kau orang Paranganom. Kau menyerang saat kami belum bersiap.”

“Apakah aku licik? Jika kalian ingin berkelahi dengan jantan , marilah. Kita berdua. Siapakah dua orang diantara kalian yang akan mati.”

Kata-kata Ki Tumenggung Sanggayuda benar-benar membuat orang-orang yang kemudian mengerumuninya menjadi berdebar-debar. Sementara itu, empat orang yang larang itu telah bersiap pula menghadapi mereka berdua.

“Kalian dengar tantanganku? Orang-orang Paranganom adalah orang-orang yang jantan yang berkelahi seorang melawan seorang.”

“Persetan dengan kejantanan orang-orang Paranganom. Yang penting bagi kami sekarang adalah menghinakan kalian dan membunuh kalian.”

“Bagus. Kita akan segera mulai. Jangan hanya berbicara saja dan kemudian menganggap kami licik.”

Keempat orang itupun segera bersikap. Namun ternyata mereka terkejut juga ketika Ki Sangayuda meloncat sambil berputar. Kakinya melingkar menebas langsung mengenai kening salah seorang diantara empat orang itu.

Orang itu pun terlempar dengan kerasnya menimpa kawannya yang berdiri di sebelahnya. Dua orang itu pun jatuh berguling di tanah.

Namun dua orang kawannya tidak sempat membantu keduanya bangkit. Dengan garangnya Ki Tumenggung Sanggayuda pun telah menyerang mereka berdua. Seorang terdorong surut beberapa langkah karena kaki Ki Sanggayuda yang mengenai lambungnya, seorang lagi terdorong surut sehingga hampir saja kehilangan keseimbangannya pula, karena tangan Ki Sanggayuda yang menghantam kening.

Ki Tumenggung Wiradapa berdiri saja termangu-mangu. Ia tidak berbuat apa-apa melihat sikap Ki Tumenggung Sanggayuda yang benar-benar merasa tersinggung.

Demikianlah sejenak kemudian, Ki Tumenggung Sanggayuda telah bertempur seorang diri melawan keempat orang yang akan membunuhnya itu. Betapapun keempat orang itu mengerahkan kemampuan mereka, namun mereka bukanlah lawan yang seimbang bagi Ki Tumenggung Sanggayuda yang memiliki ilmu yang tinggi itu.

Ketika orang yang berkumis melintang itu berteriak memberi aba-aba kepada kawan-kawannya, maka suaranya-pun terputus ketika kaki Ki Tumenggung Sanggayuda menghantam dadanya.

Orang itu terlempar beberapa langkah. Kemudian jatuh terbanting ditanah.

Sejenak orang itu tidak bergerak. Tulang punggungnya rasa-rasanya bagaikan menjadi patah.

Sementara itu, tiga orang kawannya masih bertempur melawan Ki Tumenggung Sanggayuda. Namun mereka seakan-akan sudah tidak berdaya. Serangan-serangan Ki Sanggayuda tidak lagi dapat mereka tangkis atau mereka hindari.

Orang yang kepalanya bundar, seakan-akan telah kehilangan seluruh tenaganya. Ketika tangan Ki Tumenggung Sanggayuda terjulur mengenai dadanya, orang itu terhuyung-huyung sejenak. Namun kemudian ia telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh terguling seperti sebatang pohon pisang yang roboh.

Dua orang kawannya berusaha untuk serentak menyerang Ki Tumenggung dari dua sisi. Tetapi dengan cepatnya Ki Tumenggung melenting. Dengan demikian maka keduanya pun justru telah berbenturan. Keduanya pun jatuh terguling di tanah.

Sejenak Ki Tumenggung Sanggayuda berdiri termangu-mangu. Sementara itu, orang yang berkumis melintang itu pun telah berdiri tegak. Meskipun demikian, punggungnya terasa nyeri sekali.

“Sekarang, apa maumu?” bertanya Ki Tumenggung Sanggayuda.

Orang itu termangu-mangu sejenak.

Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Ki Tumenggung Sanggayuda pun berkata, “Cobalah membunuh aku, agar aku mempunyai alasan untuk membunuhmu.”

Orang itu masih berdiri saja mematung. ”Cepat lakukan. Atau kau memang seorang yang sangat licik sehingga kau sudah menjadi ketakutan? Kau telah menyebut orang yang mengurungkan niatnya untuk menghinakan aku sebagai pengecut. Dengan wajah tengadah kau berteriak, bahwa ada juga orang Kateguhan yang pengecut. Ternyata orang itu adalah kau sendiri.”

Orang itu masih belum menjawab. Karena itu Ki Tumenggung Sanggayuda pun berkata, “Baik. Jika kau tidak mau menjawab, maka itu berarti bahwa kau tetap menantangku. Karena kau sudah bemiat untuk membunuhku, maka sekarang akupun akan membunuhmu. Kemudian aku akan melarikan kudaku melintasi perbatasan. Oang-orang Kateguhan tidak mempunyai wewenang lagi untuk menangkapku. Jika orang-orang Kateguhan marah. biarlah Kateguhan menyerang Paranganom. Aku akan segera minta Kangjeng Adipati untuk menyiapkan prajurit serta memberikan laporan kepada Kangjeng Sultan Tegallangkap. Kangjeng Sultan tentu akan merunut siapakah yang bersalah dan siapakah yang benar.”

Orang berkumis melintang itu menjadi pucat. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa berempat ia tidak dapat mengalahkan satu orang saja dari kedua orang Paranganom itu.

Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun berteriak, “He, orang-orang Kateguhan. Apakah kalian membiarkan kedua orang ini semakin menghina kita orang-orang Kateguhan? Marilah. Kita bersama-sama menangkap kedua orang itu. Membunuh mereka dengan cara yang paling menyakitkan bagi keduanya.”

Suasana menjadi semakin tegang. Beberapa orang yang berdiri mengerumuni perkelahian itu justru diam mematung.

“Marilah. Bangkitlah. Jangan membiarkan orang-orang Paranganom semakin menghina dan merendahkan kita.”

Orang yang mengaku saudagar dan yang telah menyulut api keributan itu berdiri dengan jantung yang berdebaran.

Orang yang berkumis melintang itupun memandanginya dengan mata yang bagaikan menyala. Katanya, “He, kau. Ki Sudagar. Turunlah ke arena. Ajak kawan-kawanmu untuk menghinakan orang-orang Paranganom ini.”

Tetapi saudagar itu tidak bergerak. Tubuhnya bagaikan membeku. Ia menjadi sangat menyesal atas gagasannya yang telah menimbulkan persoalan yang gawat, yang mengancam keselamatan jiwa.

Karena saudara itu diam membeku, maka orang berkumis melintang itu mendekatinya. Dengan garangnya orang itu menggapai baju saudagar itu sambil berkata lantang, “Kenapa kau diam saja? Temyata kau pengecut yang paling buruk di Kateguhan. Kau sulut api, tetapi kau kemudian telah mencuci tangan.”

Tetapi saudagar itu menggeleng. Katanya, “Sudah aku katakan, bahwa aku tidak ingin membunuh siapa-siapa.”

“Persetan kau. Lalu apa yang akan kau lakukan dengan gagasanmu itu. Baiklah. Jika kau tidak mau membunuh siapa-siapa, lakukan apa yang kau katakan. Kau akan menghinakan kedua orang itu. Melucuti pakaiannya dan membiarkan mereka pulang ke Paranganom. Lakukan.. Lakukan sekarang.”

Tetapi saudagar itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Kita tidak dapat ingkar bahwa orang itu berilmu sangat tinggi. Seorang saja diantara mereka telah berhasil mengalahkan kalian berempat. Apalagi jika mereka bergerak kedua-duanya.”

“Tetapi mereka tidak akan dapat melawan kita semuanya jika kita bersama-sama melawan mereka.”

“Tidak, Ki Sanak. Aku tidak mau.”

“Jika kau tidak mau, justru aku akan membunuhmu.”

Saudagar itu mengerutkan dahinya. Namun tangannya segera menepis tangan orang berkumis melintang yang menggenggam bajunya sambil berkata, “Jangan paksa aku.”

“Setan kau.”

Orang berkumis melintang itupun mengayunkan tangannya untuk menampar wajah saudagar yang tidak mau melakukan sebagaimana dikatakannya itu. Tetapi tiba-tiba saja saudagar itu menangkapnya dan memilinnya ke belakang. Dipeganginya tangan yang dipilinnya itu kuat-kuat sambil berkata, ”Kau jangan mencari musuh, Ki Sanak.”

Orang itu menyeringai kesakitan. Ia tidak dapat melepaskan tangannya. Apalagi punggungnya terasa sangat sakit.

“Lepaskan, Lepaskan” teriak orang itu.

“Kau harus tahu, bahwa kau bukan orang yang tidak terkalahkan disini. Meskipun aku tidak akan dapat bertuat apa-apa dihadapan orang Paranganom yang berilmu sangat tinggi itu, tetapi aku tidak dapat kau takut-takuti.”

“Lepaskan tanganku, lepaskan.”

“Kau harus berjanji untuk tidak mengulanginya.”

“Aku berjanji.”

“Kau harus minta maaf.”

“Aku minta maaf.” .

Saudagar itu melepaskan tangan orang berkumis melintang itu sambil mendorongnya. Demikian kerasnya, sehingga orang itu jatuh terjerembab.

Orang itu pun menggeliat. Kemudian berusaha untuk bangkit.

Ternyata wajah orang itu menjadi kotor oleh debu yang melekat karena keringatnya. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah dari bibirnya yang pecah.....

Orang yang mengaku saudagar itupun kemudian melangkah mendekati Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Kau akan mencoba melawanku” geram Ki Tumenggung Sanggayuda yang jantungnya masih terasa panas.

“Tidak, Ki Sanak. Kami ingin minta maaf. Kami tidak akan berani berbuat apa-apa atas Ki Sanak berdua.”

Ki Tumenggung Sanggayuda termangu-mangu sejenak, Namun kemudian ia pun menggeram, “Satu pengalaman yang buruk selama perjalananku dari rumah paman Partabawa.”

“Sekali lagi. kami minta maaf. Kami berjanji untuk tidak mengganggu perjalanan kalian berdua.”

Ki Tumenggung Sanggayuda tidak segera menjawab. Sementara itu orang yang mengaku saudagar itu berkata selanjutnya, “Untunglah kalian masih mengekang diri. Jika kalian berdua menjadi marah bersama-sama, maka aku tidak dapat membayangkan, apa yang terjadi. Mungkin akan benar-benar jatuh korban jiwa ditempat ini. Jika itu terjadi, akulah yang paling bersalah.”

Ki Tumenggung Sanggayuda tidak menjawab. Ia pun kemudian melangkah justru meninggalkannya.

“Kakang Wiradapa, marilah kita tinggalkan tempat Ini. Semakin lama kita disini, aku menjadi semakin muak. Aku justru takut kalau aku tidak dapat mengekang diriku lagi”

Ki Tumenggung Wiradapa tersenyum. Katanya, “Kau masih tetap dapat mengendalikan diri. Marilah kita pergi.”

Keduanya pun kemudian melangkah ke kuda-kuda mereka. Sejenak kemudian keduanya telah meloncat naik. Ketika kuda-kuda itu mulai bergerak, Ki Tumenggung Sanggayuda masih berkata, “Jika kalian masih penasaran, kami akan datang lagi pada kesempatan lain. Sakit hatiku tidak dapat lenyap begitu saja seperti noda-noda pada pakaian yang larut setelah dicuci.”

“Kami minta maaf yang sebesar-besamya, Ki Sanak.”

“Sikap orang-orang Kateguhan seperti inilah yang membuat jarak antara Kateguhan dan Paranganom menjadi semakin jauh.”

Saudagar itu tidak sempat menjawab. Ki Tumenggung Sanggayudapun segera melarikan kudanya. Disusul oleh Ki Tumenggung Wiradapa.

“Gila orang-orang Kateguhan” geram Ki Tumenggung Sanggayuda ketika Ki Tumenggung Wiradapa menyusulnya.

Ki Tumenggung Wiradapa tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja sambil menggerakkan kendali kudanya.

Dalam pada itu, empat orang yang kesakitan masih merangkak-rangkak menepi. Merekapun kemudian duduk di lincak bambu di depan kedai itu. Saudagar yang merasa telah menyulut api pertentangan itu pun berdiri dihadapan orang yang berkumis melintang itu sambil berkata, “Jika kau menganggap bahwa persoalan ini belum selesai, maka kau akan berurusan dengan aku. Mungkin kau mempunyai banyak kawan yang dapat kau gerakkan untuk memusuhi aku. Tetapi aku juga mempunyai banyak orang yang akan melindungi aku.”

Orang berkumis melintang itu tidak menjawab. Sementara itu, saudagar itu pun pergi menemui pemilik kedai yang menjadi gemetar itu.

Saudagar itupun memberikan beberapa keping uang sambil berkata, “Hitung kerugianmu. Jika uangku kurang, katakan. Besok akan aku tambah lagi.”

“Terima kasih, Ki Sudagar” berkata pemilik kedai itu. “Sebenarnyalah tidak ada perabotnya yang rusak. Tetapi ada beberapa orang yang tidak sempat membayar karena mereka tergesa-gesa pergi karena ketakutan.”

Dalam pada itu, kedua orang Tumenggung itu pun melarikan kuda mereka dengan kencangnya. Perbatasan antara kadipaten Paranganom dan kadipaten Kateguhan memang tidak terlalu jauh lagi.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian, mereka pun telah melintasi perbatasan kedua kadipaten yang kedua-duanya berada di dalam lingkaran kuasa Kangjeng Sultan di Tegallangkap.

Demikian keduanya berada di tlatah kadipaten Paranganom, maka Ki Tumenggung Sanggayuda mengekang kudanya, sehingga seakan-akan berhenti sama sekali.

Ki Tumenggung Wiradapa agak terdorong beberapa langkah maju. Namun ia pun segera berhenti menunggu kuda Ki Tumenggung Sanggayuda yang berjalan selangkah-langkah.

“Ada apa adi Tumenggung?” bertanya Ki Tumenggung Wiradapa.”

“Alangkah segarnya udara kadipaten Paranganom. Demikian kita melewati gapura yang berada di perbatasan itu, rasa-rasanya aku telah meninggalkan neraka yang panasnya melampaui panasnya api arang batok kelapa.”

Ki Tumenggung Wiradapa tersenyum. Katanya, “Orang Kateguhan sendiri telah membuat lingkungannya menjadi sangar, sehingga akhirnya orang-orang Paranganom akan benar-benar merasa segan untuk pergi ke Kateguhan.”

“Bukankah itu karena salah mereka sendiri, kakang?”

“Ya. Itu adalah salah mereka sendiri.”

“ Apakah kita perlu memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati?”

“Kita akan melaporkan secara umum saja, adi Tumenggung. Kita tidak perlu memberikan laporan terperinci”

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita akan memberikan laporan secara umum saja.”

Dalam pada itu, maka haripun menjadi semakin muram. Matahari menjadi semakin rendah dan sejenak kemudian menyusup dibalik pegunungan. Cahaya layung yang kekuningan, dengan tajamnya menusuk penglihatan.

“Kita akan bermalam di jalan, kakang berkata Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Kita akan melintasi sebuah padukuhan. Kita akan minta untuk diijinkan bermalam di banjar padukuhan itu.”

“Didepan kita itu agaknya sebuah padukuhan yang agak besar.”

“Tetapi masih terlalu sore untuk berhenti. Kita akan berjalan terus sampai wayah sepi bocah.”

“Kakang. Bukankah malam ini malang terang bulan. Anak-anak akan bermain sampai jauh malam.”

“Kita akan sempat menonton di halaman banjar padukuhan berikutnya.”

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk.

Sebenarnyalah bahwa malam itu adalah malam bulan terang.

Bahkan rasa-rasanya bulan terlalu cepat terbit. Sebelum cahaya layung hilang dari wajah langit, maka bulan sudah mulai nampak diatas cakrawala.

Sejenak kemudian, kedua orang Tumenggung itu memasuki sebuah padukuhan yang agak besar. Demikian mereka menyusup gerbang padukuhan, maka hari pun terasa mulai gelap. Cahaya matahari yang tersisa telah menjadi semakin kabur, sedangkan cahaya bulan masih terhalang dedaunan.

Tetapi kedua orang Tumenggung itu memang tidak akan berhenti dan bermalam di banjar padukuhan itu, meskipun keduanya berkuda lewat jalan induk yang melintas didepan banjar.

Banjar padukuhan itu nampak terang oleh lampu yang sudah dinyalakan di pendapa. Bahkan di pendapa itu nampak ada beberapa orang yang duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih.

“Agaknya sedang ada pertemuan di banjar berkata Ki Tumenggung Wiradapa.

“Ya. Mungkin pertemuan para bebahu. Orangnya tidak begitu banyak.”

Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk-angguk.

Demikian mereka mendekati pintu gerbang keluar dari padukuhan itu, mereka sudah melihat beberapa orang anak yang berdiri di regol halaman rumah yang luas Nampaknya mereka baru bersiap-siap untuk bermain-main di halaman yang luas itu.

Beberapa saat kemudian, keduanya telah terlepas dari mulut jalan induk padukuhan itu. Didalam cerahnya cahaya bulan yang menyiram bulak panjang di hadapan mereka, mereka melihat di ujung bulak sebuah padukuhan pula. Nampaknya juga padukuhan yang agak besar.

Keduanya tidak melarikan kuda mereka lagi. Agaknya kuda mereka sudah mulai menjadi letih.

Dalam pada itu, bulanpun memanjat semakin tinggi. Cahayanya terpantul di daun-daun padi yang subur. Air yang tergenang di kotak-kotak sawah nampak berkilat-kilat. Sedangkan air yang mengalir di parit, terdengar gericik dengan iramanya yang lembut.

Beberapa saat kemudian, keduanya telah mendekati padukuhan berikutnya. Demikian mereka sampai di pintu gerbang, maka mereka sudah mendengar suara tembang anak-anak yang sedang bermain.

“Sekarang hari apa, kakang Tumenggung?” bertanya Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Kenapa?”

“Apakah sekarang hari Senin Wage?”

“Ya.”

“Besok Selasa Kliwon?”

“Ya. Kenapa? Apakah kau takut malam Selasa Kliwon?”

“Bukan aku takut malam Selasa Kliwon. Tetapi tembang anak-anak itu.”

“Ada apa dengan tembang mereka? Mereka melagukan dendang ilir-ilir”

“ Kenapa dengan ilir-ilir?”

“Apakah kau tidak pernah bermain dimasa kanak-kanak, kakang Tumenggung?”

Ki Tumenggung Wiradapa mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Ki Tumenggung Sanggayuda lah yang kemudian berkata, “Anak-anak itu mendendangkan tembang ilir-ilir. Mereka tentu bermain nini towong.”

“Nini towong. Masih sesore ini? Aku dahulu juga sering bermain nini towong. Tetapi kami mulai tepat ditengah malam.”

“Anak-anak yang sudah remaja dan bahkan yang sudah menginjak dewasa memang bermain nini towong mulai tengah malam. Tetapi anak-anak bermain nini towong sejak malam turun.”

“Apakah bisa jadi juga?”

“Ya. Aku pernah mencoba dimasa kanak-kanakku.”

Ki Tumenggung Wiradapa itu menganguk-angguk.

Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah memasuki padukuhan itu. Banjar padukuhan itu terletak tidak terlalu jauh dari pintu gerbang padukuhan.

Padukuhan itu bukan padukuhan yang terlalu asing bagi kedua orang Tumenggung itu. Meskipun mereka belum pernah secara khusus mendatangi padukuhan itu, tetapi mereka telah pernah melewati padukuhan itu.

“Kita akan langsung menemui penunggu banjar” berkata Ki Tumenggung Wiradapa.

“Apakah tidak lebih baik kita menemui Ki Bekel?”

“Nanti kita pergi ke rumah Ki Bekel. Aku ingin melihat, apakah nini towong itu bisa jadi. Menilik suara tembang itu, anak-anak itu bermain di banjar.”

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah keduanyapun langsung menuju ke banjar. Di pintu regol banjar padukuhan, keduanyapun turun dari kuda dan menuntunnya memasuki halaman.

Anak-anak yang sedang bermain itu sempat berpaling. Tetapi mereka segera kembali lagi memusatkan perhatian mereka kepada permainan mereka. Nini towong.

Ki Tumenggung Sanggayuda dan Ki Tumenggung Wiradapa tidak ingin mengganggu anak-anak yang sedang bermain nini towong itu. Karena itu, maka keduanya pun langsung mengikat kuda mereka pada patok-patok kayu di sebelah pendapa. Kemudian keduanyapun duduk di tangga sambil menyaksikan anak-anak yang sedang bermain.

Anak-anak yang ada di halaman banjar itu telah terbagi dua. Sekelompok di Selatan dan sekelompok yang lain beberapa langkah di sebelah Utara. Keduanya memegang tali panjang. Diantara kedua kelompok itu terikat sebuah siwur tempurung kelapa bertangkai bambu. Siwur itulah yang kemudian diberi berpakaian seperti seorang gadis kecil. Diriasnya batok kelapa itu menyerupai wajah. Digambarnya mata, hidung dan mulut dengan enjet.

Kemudian kelompok anak-anak itu bersama-sama mendengarkan lagu ilir-ilir sambil menggerakkan tali yang mengikat siwur diantara kedua kelompok itu.

Semakin lama semakin keras. Irama dendang mereka pun menjadi semakin cepat pula.

Ki Tumenggung Wiradapa menjadi tegang. Lebih tegang dari saat ia melihat Ki Tumenggung Sanggayuda berkelahi melawan ampat orang di kedai itu.

Ki Tumenggung Wiradapa itu justru bangkit berdiri ketika anak-anak yang bermain nini towong itu menjerit-jerit. Mereka tidak lagi melantunkan lagu ilir-ilir.

Ada yang menjerit karena kegembiraan yang melonjak. Mereka merasa berhasil dengan permainan mereka. Nini towong itu mampu melonjak-lonjak, sehingga kedua kelompok anak-anak itu harus memeganginya dengan kencang agar nini towong itu tidak terlepas. Tetapi ada yang menjerit-jerit karena ketakutan, bahwa permainan mereka telah kerasukan.

Kedua kelompok anak-anak itu semakin lama semakin keras menarik permainan mereka sambil berteriak-teriak. Sementara itu nini towong mereka yang mereka anggap menjadi hidup itu melonjak-lonjak semakin tinggi. Tali yang menghubungkan kedua kelompok anak-anak dengan nini towong ditengahnya itu menjadi semakin tegang.

Ketika anak-anak itu berteriak-teriak semakin keras, maka tiba-tiba saja tali itu pun putus. Kedua kelompok anak itu terlempar dan jatuh saling menindih.

Riuhnya bukan main. Bergegas dan berebut dahulu mereka bangkit berdiri dan berlari menjauhi siwur yang terpelanting jatuh.

Ki Tumenggung Wiradapa tertawa. Ia pun kemudian duduk kembali disebelah Ki Sanggayuda.

Sejenak kemudian, anak-anak yang berlari berpencar itu telah berkerumun kembali. Perlahan-lahan mereka maju mendekati nini towong mereka yang terbaring diam.

“Nini towongnya mati” berteriak seorang diantara anak-anak itu.

Seorang anak laki-laki yang menginjak usia remajanya melangkah perlahan-lahan mendekat. Seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor tikus.

Namun kemudian anak itu berjongkok disebelah nini towongnya yang tidak bergerak sambil berteriak, “Ya. Nini towongnya mati.”

Seorang gadis kecil yang nampaknya pemberani telah datang mendekat pula. Gadis kecil itu langsung menggapai nini towong yang terbaring diam itu.

“Mati” katanya, “nini towong ini sudah tidak bergerak sama sekali.”

“Mari, kita buat lagi.”

“Tidak bisa. Hanya sekali. Jika kita ingin membuat lagi, kita harus mencuri siwur lagi.”

Ki Wiradapa pun berdesis, “Kenapa harus mencuri?”

“Untuk dibuat nini towong, bukankah siwur itu harus dicuri di rumah seseorang” jawab Ki Sanggayuda.

“Kalau tidak?”

“Tidak akan jadi”

“Bukankah banyak siwur di pinggir jalan? Aku lihat di beberapa regol halaman terdapat gentong berisi air bersih untuk disediakan bagi para pejalan kaki yang haus. Bukankah disetiap persediaan air itu terdapat siwur batok kelapa untuk minum.”

“Ya. Tetapi nampaknya yang lain sudah menjadi jemu dan akan bermain dengan jenis permainan yang lain.”

Ki Wiradapa mengangguk-angguk. Namun kemudian” iapun berkata, “Kita tunggu mereka menemukan permainan yang lain. Marilah kita temui penunggu banjar ini untuk minta ijin bermalam disini.”

Keduanyapun bangkit berdiri. Merekapun kemudian berjalan menuju ke rumah yang berada di belakang banjar itu.

Agaknya penunggu banjar itu masih duduk-duduk di ruang dalam bersama isterinya dan anaknya yang masih baru dapar berjalan. Karena itu ketika Ki Tumenggung Sanggayuda mengetuk pintunya, maka penunggu banjar itu segera turun dari amben bambunya yang agak besar langsung menuju ke pintu.

“Siapa di luar?” bertanya penunggu banjar itu.

“Aku Ki Sanak” jawab Ki Tumenggung Sanggayuda.

Penunggu banjar itu pun membuka pintunya yang memang belum diselarak.

“Marilah Ki Sanak, silakan masuk.”

Namun Ki Tumenggung Wiradapa pun menyahut, “Terima kasih. Kami hanya akan mohon ijin untuk bermalam di banjar ini. Kami kemalaman dalam perjalanan.”

“O” penunggu banjar itupun melangkah keluar, “maaf Ki Sanak. Kami sebenarnya tidak berkeberatan memberi kesempatan Ki Sanak berdua bermalam di banjar ini. Tetapi tempatnya hanya sangat sederhana.”

“Tidak apa-apa. Jika kami diijinkan bermalam di banjar ini, kami mengucapkan terima kasih,”

“Ada amben yang agak besar di serambi belakang banjar ini, Ki Sanak. Jika kalian tidak berkeberatan, silahkan. Ada sumur dan pakiwan di samping rumah kecil yang aku huni itu. Jika kalian ingin membersihkan diri atau mandi.”

“Terima kasih.”

“Aku minta maaf, jika hanya tempat sajalah yang dapat kami sediakan. Itu pun tempat yang sangat sederhana”

“Sudah cukup, Ki Sanak. Terima kasih.”

“Kalian berkuda?”

“Ya.”

“Sayang, aku tidak mempunyai persediaan makanan kuda. Tetapi banyak rumput di kebun belakang. Barangkali dapat sekedar mengurangi perasaan lapar kuda kalian. Jangan takut kuda kalian akan hilang. Meskipun di sepanjang perbatasan ini kadang-kadang terdengar suara kentongan, kadang-kadang tiga pukulan terturut-turut, kadang-kadang lima dan bahkan kadang-kadang titir, tetapi padukuhan ini tetap aman.”

“Baik, Ki Sanak. Kami akan membawa kuda kami ke kebun belakang.”

“Silahkan. Tetapi seperti yang aku katakan, aku tidak dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.”

Ketika kemudian penunggu banjar itu masuk kembali ke dalam rumahnya, maka Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda kembali duduk di tangga pendapa banjar untuk menyaksikan anak-anak yang sedang bermain.

Mereka menyaksikan anak-anak itu berdiri dalam lingkaran. Kemudian berputar sambil mendendangkan lagu jamuran.

“Kita bawa kuda kita ke belakang, kakang Tumenggung” berkata Ki Sanggayuda, “ biarlah kuda itu dapat makan rumput serba sedikit.”

Ki Tumenggung Wiradapa pun mengangguk. Katanya, “Kita beri minum saja dahulu di sumur.”

Demikian mereka mengikat kuda mereka di kebun belakang banjar yang banyak rumputnya, maka keduanya kembali menyaksikan anak-anak bermain. Tidak lagi jamuran, tetapi mereka bermain surkulon surwetan.

“Anak-anak itu belum mengantuk sudah wayah sepi uwong” berkata Ki Tumenggung Wiradapa.

“Jika mereka sedang bermain di terang bulan, maka mereka akan dapat bertahan sampai lewat tengah malam” sahut Ki Tumenggung Sanggayuda.

Sebenarnyalah anak-anak itu masih saja nampak segar sampai menjelang tengah malam. Mereka masih bermain soyang yang riuh.

Nampaknya Ki Wiradapa sangat tertarik melihat anak-anak bermain. Ia betah duduk di tangga sampai lewat tengah malam. Ketika anak-anak itu menjadi letih, dan bersepakat untuk berhenti bermain, maka mereka pun segera menghambur pulang ke rumah masing-masing tanpa perasaan takut. Anak-anak yang biasanya tidak berani ke pakiwan sendiri setelah gelap, tiba-tiba saja menjadi berani pulang dari banjar sendirian lewat tengah malam.

Ketika halaman itu menjadi sepi, maka Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda pun bangkit berdiri. Tiga orang anak muda memasuki regol halaman banjar dan melangkah langsung menuju ke pendapa.

Ketiga orang anak muda itu tertegun ketika mereka melihat dua orang yang bangkit berdiri di tangga pendapa.

“Siapa kalian?” bertanya salah seorang anak muda itu.

“Kami pejalan yang minta ijin menginap di banjar ini.”

“Kalian sudah berbicara dengan penunggu banjar ini?”

“Sudah anak-anak muda”

Anak anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang yang lainpun bertanya, ”Kenapa kalian duduk saja di tangga. Bukankah di serambi belakang ada amben yang cukup besar uniuk kalian pakai tidur berdua?”

“Kami nonton anak-anak bermain di terang bulan.”

“O”

Anak-anak muda itupun kemudian naik ke pendapa sambil berkata, ”Silahkan beristirahat.”

“Terima kasih anak-anak muda”

Namun sebelum mereka beranjak, penunggu banjar itu telah naik dari tangga samping sambil membawa minuman hangat. Ia pun kemudian berpaling kepada Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda, “Marilah Ki Sanak. Duduklah bersama anak-anak yang meronda. Mereka anak-anak malas yang baru datang lewat tengah malam.”

“Aku sudah ada di prapatan itu sejak wayah sepi bocah, kang. Tetapi halaman ini sangat ramai. Aku dan kawan-kawan ini duduk-duduk saja adi prapatan.”

“Dimana kawanmu yang dua lagi?”

“Mereka masih duduk di prapatan mengamati anak-anak yang mengambur pulang itu.”.

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda pun telah ikut duduk di pendapa. Sementara itu dua orang lagi yang bertugas ronda di banjar itu telah datang pula.

Selain minuman hangat, penunggu banjar itu pun telah merebus ketela pohon dengan santan dan garam.

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda ikut makan ketela pohon yang masih mengepul itu bersama anak-anak yang sedang meronda. Beberapa pertanyaan harus dijawab oleh kedua orang Tumenggung itu. Namun sampai saatnya mereka meninggalkan pendapa turun ke serambi belakang, mereka tidak pernah menyatakan diri mereka sebagai Tumenggung di Paranganom.

Keduanya sempat tidur beberapa saat. Namun mereka mendengar ketika anak-anak muda itu meninggalkan pendapa banjar menjelang dini hari.

Kedua orang Tumenggung itupun segera bangkit pula dan langsung pergi ke pakiwan.

Sebelum matahari terbit, keduanyapun telah siap untuk meneruskan perjalanan.

“Kita akan minta diri kepada penunggu banjar ini, adi Tumenggung.”

“Marilah” sahut Ki Sanggayuda.

“Aku ingin memberitahukan kepadanya, siapa kita sebenarnya. Memang ada beberapa kemungkinan. Ia menjadi gembira atau justru sebaliknya karena ia tidak dapat menyambut kita dengan sebaiknya-baiknya.”

“Kita beritahukan kepadanya, bahwa kita sudah merasa sangat puas dengan pelayanannya.”

Ki Tumenggung Wiradapapun mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian, maka mereka berduapun telah minta diri kepada penunggu banjar itu serta isterinya. Seorang anaknya masih baru dapat berjalan. Kakaknya, sudah dapat berlari-lari dan berbicara beberapa kalimat dengan pengertian yang sudah runtut.

“Umur mereka baru ampat belas bulan” berkata penunggu banjar itu. Isterinya hanya menunduk saja sambil tersenyum.

“Ki Sanak” berkata Ki Tumenggung Wiradapa, “kami akan melanjutkan perjalanan. Jika kalian sempat pergi ke Paranganom, aku persilahkan kalian singgah di rumah kami.”

“Terima kasih, Ki Sanak? Kami akan mencoba mencarinya di Paranganom.”

“Jika kalian mencari kami, maka kalian dapat bertanya kepada orang-orang yang tinggal disebelah Barat alun-alun.

“Ki Sanak berdua tinggal di sebelah. Barat alun-alun?

“Ya.”

“Jika aku bertanya kepada mereka yang tinggal di sebelah Barat alun-alun, aku harus berkata bahwa aku mencari rumah siapa?”

“Bertanyalah rumah salah seorang dari kami berdua. Kami tinggal berdekatan.”

“Nama kalian atau barangkali pekerjaan kalian?”

“Bertanyalah rumah Ki Tumenggung Wiradapa atau Ki Tumenggung Sanggayuda.”

“Ki Tumenggung? Apakah kalian tinggal di rumah Ki Tumenggung?”

“Aku adalah Tumenggung Wiradapa”

“Aku adalah Tumenggung Sanggayuda itu”

“Jadi Ki Sanak berdua ini Tumenggung? Apakah benar pendengaranku?”

“Ya, Ki Sanak. Kami berdua adalah Tumenggung di Paranganom yang baru saja menjalankan tugas ke Kateguhan. Kami diperintahkan oleh Kangjeng Adipati Parangkusuma di Paranganom untuk menghadap Adipati Yudapati di Kateguhan.”

“Ampun Ki Tumenggung berdua Kami mohon ampun. Kami tidak tahu sama sekali bahwa yang datang semalam adalah dua orang Tumenggung dari Paranganom.”

Penunggu banjar itupun berlutut sambil mengangguk dalam-dalam. Namun Ki Tumenggung Wiradapa pun menarik lengannya sambil berkata, “Bangkitlah. Berdirilah.”

Ki Tumenggung Sanggayuda pun telah mencegah isteri penunggu banjar itu ketika perempuan yang menjadi bingung itu ikut berlutut seperti suaminya, “Kami mohon ampun, Ki Tumenggung.”

“Kenapa kau mohon ampun. Kau sudah berbuat baik. Aku mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu;”

“Kenapa Ki Tumenggung tidak mengatakan sejak semalam.”

“Aku ingin tahu apa yang kau lakukan kepada orang kebanyakan. Kau tentu akan menerima dengan baik dan barangkali terlalu baik jika kami langsung mengaku, bahwa kami berdua adalah dua orang.Tumenggung dari Paranganom. Tetapi ternyata bahwa kau bersikap baik kepada orang kebanyakan. Kau terima dengan baik dan kau perlakukan dengan baik. Di malam hari kau beri kami makan dan minum.”

“Kami tidak menghidangkan makan malam.”

“Ketela rebus itu di mulut kami semalam jauh lebih nikmat dari semangkuk nasi wuduk dengan segala kelengkapannya, termasuk daging ayam dan telur.”

“Kami mohon ampun.”

“Tidak ada yang harus diampuni. Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa”

Penunggu banjar itu menunduk dalam-dalam. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya Bahkan wajahnya menjadi pucat sedangkan suaranya menjadi sedikit bergetar.

“Nah, sekarang kami akan minta diri” berkata Ki Tumenggung Wiradapa sambil mengambil beberapa keping uang di kantong ikat pinggangnya yang lebar. Diberikannya uang itu kepada anak penunggu banjar yang sudah dapat berlari-lari. “Ini. Nanti buat membeli gelali. Bukankah kau tidak sedang batuk?”

“Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian uang yang beberapa keping itu diterimanya. Dua keping di-antaranya jatuh ketanah karena kedua tangannya terlalu kecil untuk menggenggam semua uang pemberian Ki Tumenggung Wiradapa itu.”

“Terima kasih Ki Tumenggung” berkata isteri penunggu banjar itu sambil membungkuk dalam-dalam.

Kedua orang Tumenggung itu pun kemudian minta diri. Mereka telah mengambil kuda mereka yang semalam suntuk dibiarkan saja di kebun belakang untuk makan rumput.

Perjalanan mereka masih agak panjang. Tetapi mereka berharap, sebelum tengah hari mereka sudah sampai di Paranganom. Mereka berniat langsung menghadap Kangjeng Adipati Paranganom jika Kangjeng Adipati bersedia menerimanya

Sepeninggal Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda, penunggu banjar itu masih saja gelisah. Namun isterinya justru sibuk menghitung keping uang yang ditinggalkan oleh Ki Tumenggung Wiradapa di tangan-tangan kecil anaknya yang sulung.

“Banyak sekali, kang” berkata isteri penunggu banjar itu.

“Mereka orang baik. Kapan-kapan aku berniat untuk datang menghadap Ki Tumenggung berdua. Pada saat-saat pekerjaan kita longgar. Tidak ada kerja di sawah, serta Ki Bekel tidak berkeberatan dan memberi ijin kita meninggalkan banjar ini barang dua hari.”

“Kita? Maksud kakang, aku juga ikut?”

“Ya”

“Anak-anak ini?”

“Tentu mereka akan ikut pula.”

“Menggendong anak-anak sampai ke Paranganom? Bukankah Paranganom itu jauh?”

Penunggu banjar itu menarik nafas panjang. Katanya -Jika saja kita mempunyai pedati.”

“Kang. Bukankah sering ada pedati dari kota yang datang kemari? Para saudagar yang sedang mencari dagangan?”

“Mereka datang untuk membeli kambing. Apakah kita akan minta diperkenankan ikut bersama mereka dan duduk berdesakkan dengan kambing-kambing didalam pedati?”

Isterinya mengangguk-angguk. Katanya,”Kasihan juga anak-anak kita, ya kang. Tetapi bukankah kadang-kadang ada pedati yang membawa hasil kerajinan bambu dari padukuhan kita?”

“Ya Mungkin kita dapat berbicara dengan mereka”

Uang yang ditinggalkan Ki Tumenggung Wiradapa temyata sangat menggembirakan keluarga yang sederhana itu.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda melarikan kuda mereka di jalan yang panjang. Ketika matahari mulai naik, maka sinarnya terasa menggatalkan kulit.

“Kita berharap menjelang tengah hari kita sudah akan sampai ke dalem kadipaten” desis Ki Tumenggung Wiradapa

Dalam pada itu, di Paranganom, pagi itu Raden Ayu Prawirayuda dan puterinya Raden Ajeng Rantamsari telah menghadap Kangjeng Adipati Parangkusuma. Kangjeng Adipati menjadi agak terkejut, bahwa di hari yang masih pagi itu, keduanya sudah berada di dalem kadipaten.

“Marilah kangmbok, silahkan” Kangjeng Adipati menerima keduanya di serambi samping.

“Kami mohon ampun dimas. Mungkin kedatangan kami sangat mengganggu dimas, karena hari masih pagi.”

“Apakah ada sesuatu yang sangat penting, kakangmbok”

“Dimas, semalam kami menjadi ketakutan di rumah.”

“Kenapa?”

Raden Ayu Prawirayuda menarik nafas dalam-dalam. Ia pun berpaling kepada Raden Ajeng Rantamsari sambil berkata, “Ampun dimas. Rantamsari hampir saja menjadi pingsan.”

“Apa yang telah terjadi?”

“Semalam seseorang atau lebih telah dengan sengaja mengganggu ketenangan keluarga kami, dimas. Di tengah malam Rantamsari terbangun dari tidumya.”

Kangjeng Adipati mendengarkan laporan itu dengan sungguh-sungguh. Namun tiba-tiba saja Raden Ayu Prawirayuda itu pun berkata, “Biarlah Rantamsari saja yang menyampaikannya dimas.”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan. Silahkan Rantamsari?”

“Hamba menjadi sangat ketakutan, paman Adipati. Di tengah malam hamba terbangun. Hamba rasa ada yang sengaja mengetuk pintu bilik hamba. Karena itu, maka hamba telah membuka pintu itu dengan hati-hati. Tetapi temyata tidak ada seorang pun di ruang dalam. Hamba mengira bahwa ibundalah yang telah mengetuk pintu bilik hamba Karena itu, maka hambapun pergi ke bilik ibunda. Sementara itu, lampu di ruang dalam hanya remang-remang saja. Apalagi mata hamba rasa-rasanya baru separuh terbuka. Sehingga hamba tidak melihat sebelumnya apa yang teronggok didepan bilik tidur ibunda.

Ketika kaki hamba menyentuh benda yang teronggok di depan bilik ibunda baru hamba mencoba memperhatikannya. Namun yang mula-mula hamba lihat adalah darah.

Karena itulah, maka hambapun menjerit.

Agaknya ibunda terkejut mendengar jeritan hamba. Dengan tergesa-gesa ibunda pun membuka pintu dan melangkah keluar. Tetapi kaki ibunda pun segera tersentuh oleh benda yang teronggok didepan pintu.

Ibunda pun menjerit pula Kami berdua hanya hanya dapat berpelukan sehingga dua orang abdi masuk ke ruang dalam.

Temyata benda yang teronggok dalam genangan darah itu adalah seekor kucing yang lehemya telah menganga Abdi yang membuang dan membersihkan ruang itulah yang bercerita tentang kucing itu paman Adipati.”

Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Dengan nada datar ia pun berkata Siapakah yang telah mengganggu kakangmbok dan Rantamsari.”

“Aku merasa takut sekali dimas” berkata Raden Ayu Prawirayuda, ”apalagi Rantamsari.”

“Baiklah, kakangmbok. Aku akan menugaskan beberapa orang prajurit untuk mengawasi tempat tinggal kakangmbok. Sekarang kakangmbok berada di Paranganom, sehingga karena itu, maka ketentraman dan ketenangan hidup kakangmbok mempakan tanggung jawabku.”

“Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga dimas. Dimas sudah bersedia memberi tempat tinggal bagi kami berdua Bahkan dengan segala kelengkapannya serta mengatur kehidupan kami disini. Sekarang kami masih juga mengganggu dimas Adipati karena kami berdua menjadi ketakutan.”

“Aku akan mengusut sampai tuntas kakangmbok. Siapakah yang telah mengganggu ketenangan kakangmbok. Biarlah para prajurit nanti mengamati apa yang sudah terjadi. Pintu yang mungkin rusak atau cara lain dari seseorang memasuki bagian dalam tempat tinggal kakangmbok itu.”

“Terima kasih, dimas. Tetapi hamba yang tidak tahu diri ini masih ingin mengajukan permohonan. Tetapi segala sesuatunya terserah kepada dimas Adipati, apakah permohonanku ini diijinkan atau tidak”

“Jika masih dalam batas kewajaran, serta aku mampu membantunya, aku tentu tidak berkeberatan.”

“Dimas” suara Raden Ayu Prawirayuda menurun, “menurut dugaanku, yang terjadi di tempat tinggalku itu bukan sesuatu yang wajar. Yang melakukan perbuatan yang mengerikan itu tentu bukan orang kebanyakan. Aku justru menghubungkan dengan kemarahan angger Adipati Yudapati kepadaku sehingga mengusirku. Agaknya kemarahan itu masih belum mereda.”

Kangjeng Adipati Prangkusuma mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Raden Ayu Prawirayuda berkata selanjutnya, “Dimas Adipati. Jika dimas berkenan, untuk sementara aku mohon prajurit terbaik dari Paranganom lah yang akan menemani kami berdua. Menurut pendengaranku, angger Madyasta bersama tiga orang Senapati muda dari Paranganom telah berhasil menghancurkan gerombolan perampok di desa Panjer.”

“Jadi maksud kakangmbok, yang kakangmbok kehendaki melindungi kakangmbok dan Rantamsari adalah puteraku Madyasta dan ketiga orang Senapati muda yang baru saja berhasil menghancurkan gerombolan perusuh di Panjer?”

“Jika adimas berkenan. Dengan demikian tidak diperlukan jumlah orang terlalu banyak. Sementara itu, aku masih juga mencemaskan orang-orang berilmu tinggi yang dikirim dengan sengaja untuk mengganggu ketentraman hidupku atau bahkan kemudian membinasakan kami berdua.”

Kangjeng Adipati Prangkusuma mengangguk-angguk.

“Dimas Adipati. Rumah yang dimas berikan bagi kami berdua itu adalah rumah yang besar. Gandok sebelah kanan dan sebelah kiri adalah ruang-ruang yang kosong. Jika dimas berkenan, angger Madyasta dan ketiga orang Senapati muda itu dapat tinggal untuk sementara di rumah kami. Masih ada beberapa bilik kosong di ruang dalam yang dapat dipergunakan oleh angger Madyasta. Sedangkan para Senapati itu dapat berada di gandok.”

Kangjeng Adipati Prangkusuma itupun kemudian menjawab, “Kakangmbok. Jika hal itu dapat memberikan ketenangan bagi kakangmbok serta Rantamsari, baiklah. Aku tidak berkeberatan memenuhi permintaan kakangmbok itu, Aku akan memanggil Madyasta dan memerintahkannya membawa ketiga orang Senapati muda itu ke rumah kakangmbok. Tetapi aku minta diketahul, bahwa ketiga orang Senapati muda itu mempunyai tugas mereka masing-masing yang tidak dapat terlalu lama mereka tinggalkan.”

“Bukankah mereka tidak pergi kemana-mana. Mereka tetap berada di dalam kota, sehingga jika perlu. mereka dapat kembali ke tugas mereka kapan saja.”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah. Hari ini, sebelum gelap. mereka sudah akan berada di rumah kakangmbok. Madyasta bersama ketiga orang Senapati muda itu. Mereka akan berada di rumah kakangmbok untuk beberapa hari. Jika keadaan menjadi semakin baik. disiang hari mereka akan bergantian berada di barak mereka masing-masing. Perlahan-lahan mereka akan digantikan beberapa orang prajurit pilihan.”

“Segala sesuatunya terserah kepada dimas Adipati.”

Beberapa saat kemudian, maka Raden Ayu Prawirayuda dan Raden Ajeng Rantamsari itupun mohon diri. Mereka akan menunggu kehadiran Raden Madyasta serta para Senapati muda yang telah mampu menghancurkan gerombolan perusuh di daerah perbatasan.

Sepeninggal Raden Ayu Prawirayuda, maka Kangjeng Adipati Prangkusuma pun telah memanggil puteranya, Raden Madyasta.

“Bibimu baru saja datang menemui aku, Madyasta.”

“Bibi Prawirayuda maksud ayahanda?”

“Ya.”

“Apakah ada yang penting?”

Kangjeng Adipati pun kemudian telah menceritakan kembali, apa yang telah diceriterakan oleh Raden Ajeng Rantamsari.

“Apakah bibi dan kakangmbok Rantamsari menjadi ketakutan?”

“Ya.”

“Bukankah bibi pernah menjadi Srikandi Paranganom?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar