Keris Pusaka dan Kuda Iblis Jilid 11

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Hayo mengaku, dimana mereka?"

Orang kampung itu menyembah-nyembah minta ampun, tapi pengawal itu menendangnya hingga ia roboh terjengkang.

Jarot membentak.
"Manusia rendah!"

Pengawal itu cepat membalik sambil mencabut kerisnya, tapi Jarot yang sedang marah tak memberi waktu padanya, sekali serang saja pengawal itu terpukul roboh dan kerisnya terampas!

Karena sedang bingung, maka Jarot menjadi kejam. Keris yang terampas itu diayun ke arah tubuh lawannya yang rendah. Keris menancap jitu di dada kiri dan pengawal pangeran itu menjerit, berkelojotan dan diam, tak berkutik lagi!

Jarot lalu lari pula kearah dimana terdengar jerit wanita meminta tolong. Dilihatnya Pangeran Amangkurat memimpin enam orang pengawalnya menyeret-nyeret Sulastri kawan Sekarsari yang meronta-ronta dan berteriak-teriak minta tolong!

“Jahanam kalian!"

Jarot memaki keras. Suaranya demikian keras mengguntur hingga para pengawal terkejut. Ketika mereka menengok dan melihat wajah Jarot, mereka kaget sekali. Wajah pemuda yang biasanya tampan dan sabar itu kini sangat menakutkan. Sepasang matanya memancarkan cahaya ganas dan tajam hingga dengan rasa takut keenam pengawal itu mencabut keris masing-masing dan tak terasa pula mereka melepaskan Sulastri yang hendak dipaksa diboyong ke keraton untuk dijadikan selir Amangkurat!

Kemudian, sambil mengeluarkan suara geraman hebat, Jarot menerjang. Enam orang pengawal itu mengangkat senjata menyerang dan berbareng menghadapi terjangan Jarot, tapi mereka sendiri tak tahu entah bagaimana, tahu-tahu senjata mereka telah terlepas dari tangan dan cepat bagaikan kilat menyambar pukulan Jarot menimpa tubuh mereka.

Pukulan-pukulan yang dilakukan dengan tenaga penuh dengan hawa marah ini hebat sekali. Enam orang pengawal pangeran itu rebah tak dapat bergerak lagi dan empat orang diantara keenamnya mati disaat itu juga!

Keder juga hati Amangkurat melihat kehebatan sepak terjang Jarot, tapi la tak dapat menghindari pemuda yang sedang kalap itu. Terpaksa ia cabut kerisnya dan menghadapi Jarot dengan hati berdebar.
Jarot melangkah mundur dua tindak ketika melihat, keris itu. Ternyata keris itu adalah keris pusaka Margapati! Sinar kilat berapi keluar dari mata keris itu, hingga Jarot merasa bulu tengkuknya berdiri. Tapi hawa marah yang memenuhi dadanya lebih kuat lagi menguasai dirinya hingga tanpa memperdulikan bahaya ia loncat menerjang.

Amangkurat mengangkat keris pusaka dan mengirim tusukan maut. Tapi Jarot gunakan kelincahannya berkelit cepat menghindari tusukan. Ia sama sekali tidak berani menangkis atau merampas keris itu karena ia maklum betapa ampuh dan jahat keris itu. Karena Amangkurat juga pandai sekali mainkan senjata keris, Jarot terdesak juga. Tiba-tiba Jarot mendapat akal.

KETIKA Amangkurat menyerangnya dengan tusukan bertubi-tubi, Jarot gulingkan tubuhnya di atas tanah dan sambil bergulingan itu tangannya mengepal tanah pasir. Kemudian ia meloncat bangun dan sambil berseru keras tangannya terayun ke arah muka Amangkurat!

Pangeran itu sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan luar biasa ini hingga tak keburu berkelit. Tak ampun lagi kedua matanya terserang pasir hingga ia tak dapat membuka matanya lagi. Kesempatan ini digunakan oleh Jarot untuk mengirim tendangan keras ke arah pergelangan lengan Amangkurat hingga keris Margapati terlepas dari pegangan dan terpental ke udara. Jarot menyambut keris itu dengan cekatan sehingga kini Margapati berada dalam tangannya.

Dengan pandangan penuh kegemasan ia menghampiri Amangkurat yang tidak berdaya. Maksudnya, dengan sekali tusuk saja tamatlah riwayat pangeran itu. Tapi pada saat itu ia ditubruk orang dari belakang dengan jeritan halus.

"Mas Jarot.... jangan, mas....."

Mendengar suara Sekarsari, seketika itu juga lenyaplah semua napsu marah yang menguasai hati Jarot. Tubuhnya terasa lemas seakan-akan lolos semua urat bayunya. Ia pandang pangeran yang telah pucat itu dan berkata lemah,

"Pangeran, pergilah sebelum hamba berobah pikiran...."

Dan Amangkurat lalu pergi dengan menundukkan kepala. Ia demikian malu hingga tiada muka untuk meminta kembali keris Margapati dari tangan Jarot. Jarot melihat tubuh para pengawal yang rebah malang-melintang di tempat itu, lalu menghela napas.

Kemudian ia merasa betapa lengan tangannya menjadi basah. Ia menunduk dan melihat Sekarsari masih merangkul lengannya dan menangis. Juga Sulastri yang terlepas dari bencana berjongkok sambil menangis. Berangsur-angsur orang-orang kampung yang lari kini datang kembali dan tubuh serta mayat para ponggawa pangeran diangkat orang.

Tiba-tiba terdengar titiran dipalu keras. Semua orang maklum apa artinya ini. Perang! Musuh telah tiba dan mulai menyerbu. Peperangan dimulai!

Jarot yang tadinya masih berdiri sambil tangan kanan menggenggam keris pusaka Margapati dan tangan kiri mengelus-elus rambut kepala Sekarsari dan merasa seakan-akan dalam mimpi, tiba-tiba tersadar dan insyaf bahwa tenaganya dibutuhkan. Keris pusaka Margapati tergetar dalam tangannya. Perlahan-lahan ia tunduk dan cium kepala Sekarsari.

"Sari, lepaskan aku. Aku harus bantu mengusir musuh. Masuklah ke pondok.'' Sekarsari memandangnya sesaat dengan pandang mata mesra, lalu pergi.

Jarot cemplak Nagapertala dan kerahkan kuda itu keluar kota. Ia menuju ke gerbang utara karena tahu bahwa di situlah adanya musuh yang terkuat. Dari jauh ia telah mendengar sorak-sorai yang ganas dari para perajurit yang bertempur hebat.

Setelah tiba di tempat pertempuran, tiba-tiba Nagapertala si kuda iblis meringkik keras dan menyeramkan dan setelah mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, kuda itu lalu loncat menyerbu ke dalam medan pertempuran. Keris Margapati seakan-¬akan telah mencium bau darah yang amis hingga menjadi haus dan tergetar-getar dalam tangan Jarot.

Serbuan Jarot diatas kuda iblis Nagapertala dengan keris maut Margapati di tangan menimbulkan kegemparan di kalangan musuh. Keris pusaka Margapati menyambar-nyambar bagaikan halilintar, seakan-akan hidup dan menjadi liar dalam tangan Jarot, berpesta-pora darah dan daging manusia, tak terkendali lagi. Entah berapa banyak nyawa dilayangkan dari tubuh oleh keris maut ini. Mayat bertumpuk-tumpuk, jerit tangis dan pekik liar saling tindih, gaduh hiruk-pikuk bagaikan dunia kiamat!

Barisan musuh tak kuasa membobolkan pertahanan tentara Mataram yang kuat dibawah pimpinan para pahlawan yang demikian sakti dan gagah berani. Maka barisan musuh segera mundur sambil meninggalkan mayat bertumpuk-tumpuk. Juga di gerbang timur musuh terpukul mundur. Barisan Surabaya mengalami kegagalan dan kekalahan, mundur dan kembali ke tempat asal dengan jumlah yang banyak berkurang.

Para perajurit dan Senapati Mataram kagum dan ngeri melihat sepak terjang Jarot yang demikian hebatnya. Pada saat Jarot menusuk kanan kiri dengan Margapati yang berkilat-kilat dan seakan-akan berapi-api di tangan kanannya, pemuda itu tiada ubahnya seperti seorang malaikat maut sendiri mencabut nyawa para korban!

Bahkan ketika pemuda itu bertempur dekat Ki Ageng Baurekso, panglima tua ini merasa seram melihat wajah dan pandangan mata Jarot! Namun, dalam perjalanan kembali dengan lagu-lagu kemenangan, tiada habisnya mereka bicarakan tentang kegagahan Jarot.

Jarot sendiri setelah semua musuh terpukul mundur, segera bedal kudanya pulang. Sekarsari menyambutnya dengan senyum bangga, tapi ketika Jarot turun dari kuda dan berdiri di depannya, gadis itu tak tahan melihat pemuda yang seluruh tubuhnya berlumuran darah musuh dengan keris di tangan yang masih basah dengan darah pula!

Sekarsari menengok ke arah Nagapertala, juga tubuh kuda itu penuh darah sampai ke bibir-bibirnya, seakan-akan kuda itu baru saja minum darah manusia! Sekarsari menggunakan kedua tangan menutup mukanya untuk melenyapkan pemandangan mengerikan itu.

"Sari... aku.... aku..... kejam sekali!"

Sekarsari membuka matanya memandang dan keraskan hatinya, lalu geleng-geleng kepala dan berkata keras.

"Tidak.... tidak, kau hanya menjalankan tugas kewajiban membela negara!"

Jarot mencoba tersenyum dengan lemah.
"Bukan, Sari....." ia geleng-geleng kepala. "Ketika bertempur tadi, tiada teringat olehku tentang membela negara, yang teringat hanya darah, aku seakan-akan gila dan haus darah." Ia memandang ke arah keris di tangan kanannya. "Hm, Margapati telah menguasai jiwaku seluruhnya."

Jarot masukkan keris itu dalam werangka yang dipungutnya dari medan pertempuran tadi, lalu tanpa berkata sesuatu ia bawa kudanya ke bengawan untuk mencuci bersih semua noda darah.

Ketika ia kembali, Sekarsari dan Ki Galur telah menyediakan makan dan mereka makan tanpa banyak bercakap. Kemudian, setelah minum beberapa teguk air dari kendi, Jarot berpamit.

"Kau hendak kemana lagi, mas Jarot?'* tanya Sekarsari dengan khawatir melihat wajah yang muram itu.

"Aku..... aku akan menyerahkan diri kepada gusti Sultan."

"Apa? Mengapa?"

"Aku telah berdosa, telah berani melawan pangeran, bahkan hampir saja membunuhnya dengan keris ini, dan telah membunuh beberapa orang pengawal pangeran. Dosa ini besar sekali, Sari. Sudah sepatutnya aku dihukum mati."

"Mas Jarot....!” Sekarsari menjerit sambil memandangnya dengan terbelalak takut. "Jangan..... jangan kau menghadap gusti Sultan. Larilah dari sini, mas. Kau kuat, kau gagah, tak mungkin kau dapat tertangkap!"

Jarot geleng-geleng kepala.

"Gus Jarot, biarpun kau telah melawan pangeran, tapi kau membela orang kampung. Tak perlu kau sesali perbuatanmu itu," Ki Galur berkata, kemudian menghela napas. "Agaknya benar juga usul Sari tadi. Kau larilah saja, gus Jarot."

Sekali lagi Jarot menggeleng-geleng kepala.
"Berani berbuat harus berani bertanggung jawab, itulah sifat jantan. Dan aku percaya kalian tidak ingin melihat aku kehilangan sifat jantanku, bukan?"

Ki Galur hanya menghela napas dan Sekarsari tak dapat menahan keluarnya air mata dari sudut matanya. Jarotpun merasa terharu, maka tidak mau duduk disitu, setelah berpamit sekali lagi, ia berjalan cepat ke kandang Nagapertala.

Dengan tak ragu-ragu lagi Jarot naik ke atas punggung kudanya. Ki Galur dan Sekarsari mengantar ia sampai di luar.

"Mas Jarot, aku selalu menanti kembalimu," Sekarsari berkata perlahan dan Ki Galur hanya geleng-geleng kepala.

Ketika Jarot meloncat turun dari kudanya di pintu gerbang keraton, ia disambut dengan hormat sekali oleh penjaga gerbang yang telah mendengar akan kegagahannya. Suasana di dalam dan luar keraton masih penuh diliputi kegembiraan dan pesta kemenangan. Sultan Agung telah memberi perintah untuk mengadakan perayaan tiga hari tiga malam guna merayakan kemenangan gemilang itu.

Jarot dengan mudah saja diperkenankan menghadap karena kebetulan sekali Sultan Agung sedang membuka persidangan dengan segenap senapati dan hulubalang. Semua mata memandang ke arah pemuda yang gagah itu, juga Sultan Agung yang sudah mendengar akan perjuangan Jarot, memandangnya dengan senang. Tapi Pangeran Amangkurat menatap wajah Jarot dengan mata merah.

Setelah menghaturkan sembah bakti, Jarot berkata,
"Mohon diampunkan hamba telah berlaku lancang, menghadap tanpa dipanggil. Maksud hamba maka menghadap dan mengganggu persidangan paduka, tak lain ialah bahwa hamba hendak menyerahkan diri dan mohon diadili karena dosa-dosa yang telah hamba perbuat, gusti."

Tidak hanya Sultan Agung saja merasa heran, tapi semua senapati dan hulubalang juga terkejut sekali mendengar pengakuan ini.

"Jarot, mengapa kau berkata demikian? Menurut yang kudengar, engkau tidak berdosa bahkan telah membuat banyak jasa dalam pertempuran tadi."

"Hamba telah berbuat dosa sebelum terjadi pertempuran, gusti, dan jika paduka belum dengar tentang dosa hamba itu, hamba persilakan bertanya kepada gusti Pangeran Amangkurat."

Sultan Agung merasa heran sekali dan ia pandang wajah puteranya dengan mengandung pertanyaan.

"Amangkurat, coba ceritakan, apakah dosa yang dimaksud oleh Jarot? Apa yang telah terjadi?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar