Kembang Kecubung Jilid 05

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Demikian pintu terbuka, maka Ririswari pun melangkah keluar. Tubuhnya nampak lemah sekali. Tetapi wajahnya menjadi cerah. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka sinar bulan itu pun telah jatuh ke wajah yang sendu itu.

“Terima kasih, kakang.”

“Kau tidak perlu mengucapkan terima kasih itu. Hatiku tidak akan menjadi lentur karena kecengenganmu itu. Aku akan tetap membunuhmu. Paman Adipati harus tahu, bahwa akulah yang telah membunuh anak perempuannya. Paman Adipati telah berhutang nyawa. Ia harus membayar dengan nyawa pula.

“Kakang. Bukankah sudah beberapa kali aku katakan bahwa aku tidak akan mengelak. Jika kau akan membunuhku, aku akan menengadahkan dadaku. Kecuali aku memang tidak mungkin lari, seperti yang sudah aku katakan, aku akan merasa bahagia karena matiku mempunyai arti bagimu.”

“Diam. Kau dengar?”

Ririswari itu seakan-akan tidak mendengar bentakan-bentakan Jalawaja. Dipandanginya bulan itu sepuas-puasnya sambil berkata, “Rasa-rasanya malam ini adalah malam terakhir aku memandang bulan. Besok aku sudah akan mati. Rasa-rasanya senang dapat duduk bersama bidadari yang sedang menenun di wajah di bulan itu bersama seekor kucing candramawa.”

“Bercelotehlah. Malam ini memang kesempatanmu terakhir. Karena seterusnya kau tidak akan dapat melihat bulan itu terbit.”

“Aku memang tidak akan dapat melihat bulan itu terbit, karena aku akan berada didalamnya. Aku akan melihat dari langit, kakang menikmati kepuasan kakang setelah kakang berhasil membunuhku.”

“Katakan apa yang ingin kau katakan.”

Ririswari menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk diatas rerumputan yang mulai basah oleh embun.

Dingin udara pegunungan semakin terasa menggigit tulang Ririswari pun kemudian menyilangkan tangannya di dadanya. Sekali-sekali terdengar gadis itu berdesah.

Sementara itu Jalawaja pun nampak sangat gelisah. Bahkan anak muda itu kadang-kadang berjalan hilir mudik beberapa kali. Namun kemudian duduk memeluk lututnya.

Beberapa saat suasana menjadi hening. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas Ririswari yang lemah serta Jalawaja yang gelisah.

Tiba-tiba Jalawaja pun meloncat bangkit, sehingga Ririswari terkejut karenanya.

“Ada apa kakang?” bertanya Ririswari.

“Aku mendengar desir sentuhan kaki seseorang“

Sebelum Ririswari menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja seseorang muncul dari balik segerumbul perdu. Sambil melangkah mendekat, orang itu pun berkata “Aku Jalawaja.”

“Suratama”

“Ya, Jalawaja. Aku Suratama.”

“Apa yang kau lakukan disini? Kau mengikuti aku?”

“Tidak, Jalawaja.”

“Jadi apa yang kau lakukan?”

“Aku diperintahkan untuk mencari Raden Ajeng Ririswari.”

“Mencari aku?” bertanya Ririswari.

“Ya, Raden Ajeng.”

“Untuk apa kau mencari aku?”

“Aku mendapat perintah dari ayahku.”

“Kenapa paman Tumenggung Jayataruna memerintahkan kepadamu untuk mencari aku?”

“Ayah mendapat perintah dari Raden Ayu Reksayuda. Kemudian ayah memerintahkan kepadaku untuk melaksanakan-nya, meskipun semula ayah agak berkeberatan.”

“Apakah Raden Ayu Reksayuda berhak memberikan perintah kepada paman Tumenggung Jayataruna?”

“Aku tidak tahu, Raden Ajeng. Tetapi itulah yang terjadi. Sekarang Raden Ayu Reksayuda sudah berada di Kadipaten. Sedangkan Kangjeng Adipati dan paman Tumenggung Reksabawa berhasil lolos dari tangan para pengikut Raden Ayu Reksayuda.”

“Sekarang kau sudah menemukan aku Suratama. Apa yang akan kau lakukan?”

“Tidak apa-apa Raden Ajeng.”

“Tidak apa-apa? Jadi apa sebenarnya yang kau lakukan sekarang ini?”

“Raden Ajeng. Yang aku tahu, Raden Ajeng telah dilarikan oleh seseorang yang tidak diketahui tentang dirinya. Karena itu, banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin Raden Ajeng dilarikan oleh orang yang berniat buruk. Mungkin oleh orang-orang yang memanfaatkan keributan yang terjadi. Masih banyak kemungkinan kemungkinan lain. Karena itu, maka aku telah berangkat untuk mencoba mencari Raden ajeng Ririswari.“

“Sekarang kenapa kau tiba-tiba saja mengatakan, bahwa kau tidak bermaksud berbuat apa-apa?“

“Disini aku menemukan Raden Ajeng bersama Jalawaja. Bukankah itu berarti bahwa Raden Ajeng tidak berada dalam bahaya.“

“Tetapi bagaimana dengan perintah Raden Ayu Reksayuda itu kepada paman Tumenggung Jayataruna?”

“Raden Ayu Reksayuda memerintahkan agar Raden Ajeng Ririswari dan Jalawaja ditangkap dan dibawa untuk menghadap.”

“Sekarang kau sudah menemukan aku dan Ririswari, Suratama. Lalu apa yang akan kau lakukan berdasarkan perintah ayahmu?”

“Jalawaja. Sejak semula aku sudah curiga, bahwa niat Raden Ayu Reksayuda itu tidak baik. Agaknya ayah sudah berada di bawah pengaruh Raden ayu itu. Ketika aku minta diri kepada ibuku, yang hidupnya menjadi kesepian, ibuku memberikan beberapa pesan kepadaku.”

“Jadi?” bertanya Ririswari.

“Setelah aku mengetahui bahwa Raden Ajeng sudah diselamatkan oleh Jalawaja, maka aku kira aku tidak perlu mencampurinya lagi.”

“Apakah dengan demikian kau tidak mengingkari perintah ayahmu yang mendapat perintah Raden Ayu Reksayuda?”

“Aku tidak merasa wajib melaksanakan perintah, meskipun dari ayahku sendiri, jika perintah itu tidak pada tempatnya.”

“Jadi apa sebenarnya yang akan kau lakukan?”

“Sudah aku katakan, bahwa setelah aku mengetahui bahwa Raden Ajeng Ririswari kau selamatkan, maka aku merasa tidak perlu ikut campur.”

“Apakah kau berkata jujur Suratama?”

“Apa maksudmu, Jalawaja?”

“Aku ingin tahu niatmu sebenarnya mencari Raden Ajeng Ririswari.”

“Sudah aku katakan, Jalawaja. Aku terdorong untuk ikut berusaha menyelamatkan Raden Ajeng Ririswari jika ia berada dalam bahaya.”

“Hanya itu?”

“Ya. Hanya itu.”

“Kau tidak mempunyai pamrih pribadi?”

“Apa maksudmu, Jalawaja?”

“Pada masa ini, dalam gejolak yang terjadi akhir-akhir ini di Kadipaten Sendang Arum, jarang ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih pribadi.”

“Mungkin kau benar Jalawaja. Tetapi aku bersikap lain menurut nuraniku. Aku tidak mempunyai pamrih apa-apa selain keselamatan Raden Ajeng Ririswari.”

“Bohong. Kau tentu mempunyai pamrih pribadi. Nah, sekarang katakan kepada Ririswari mu itu, bahwa kau datang untuk menyelamatkannya.”

“Jalawaja. Aku memang mencari Raden Ajeng Ririswari untuk menyelamatkannya. Tetapi setelah aku tahu, bahwa Raden Ajeng Ririswari sudah kau selamatkan, maka aku kira aku tidak perlu berbuat apa-apa lagi.”

“Jangan berpura-pura, Suratama. Kau tentu akan mencari kesempatan untuk menikamku dari belakang. Kemudian mengambil Ririswari.”

“Kenapa kau tidak percaya kepadaku, Jalawaja?”

“Aku tidak dapat mempercayai seorang pun dalam keadaan seperti sekarang ini.”

“Sudahlah. Aku akan pergi. Aku percaya bahwa Raden Ajeng Ririswari akan selamat di tanganmu.”

“Ririswari “Jalawaja itu justru berteriak “katakan kepada Suratama, bahwa kau berada dalam bahaya. Bahwa kau terancam untuk dibunuh. Katakan kepadanya, agar Suratama menyelamatkanmu jika ia mampu.”

“Kau membuat aku bingung, Jalawaja. Tetapi sudahlah. Aku akan pergi. Aku tidak akan mengganggu kalian berdua.”

“Tidak. Kau tidak boleh pergi. Ririswari benar-benar dalam keadaan bahaya.”

“Suratama” berkata Ririswari kemudian, “pulanglah. Apapun yang akan kau katakan kepada paman Tumenggung Jayataruna serta Raden Ayu Reksayuda.”

“Baik, Raden Ajeng. Aku mohon diri. Aku akan mengatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Raden Ajeng.”

“Tidak. Kau tidak boleh pergi. Kau harus berusaha menyelamatkan Ririswari.”

“Pulanglah Suratama. Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu mencari aku.”

“Baik, Raden Ajeng.”

“Tidak. Kau tidak boleh pergi. Aku tidak sedang bergurau. Ririswari ada dalam bahaya.”

“Kakang Jalawaja.”

“Aku akan mengatakan yang sebenarnya.”

“Tidak. Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan kau. Tidak ada sangkut pautnya dengan Suratama.”

“Ada. Bukankah ia datang untuk menyelamatkanmu?”

“Biarlah ia pergi.”

“Suratama tidak akan pergi begitu saja. Ia akan menyelamatmu, semetara kau benar-benar dalam bahaya.”

“Kakang.”

“Suratama “berkata Jalawaja, “aku membawa Ririswari sampai ke tempat ini sama sekali tidak untuk aku selamatkan. Aku membawanya karena aku akan membalas dendam kematian ayahku. Ayah Reksayuda sudah dibunuh oleh Paman Adipati. Sekarang aku bawa Ririswari untuk membalas dendam kematian ayahku itu. Aku akan membunuhnya, agar hati Paman Adipati menjadi sakit seperti sakitnya hatiku.”

“Jalawaja,”

“Itulah yang terjadi sebenarnya.”

“Jalawaja. Aku juga mendengar kabar angin, bahwa Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah dibunuh oleh Kangjeng Adipati. Karena itu, maka Raden Ayu Reksayuda dan ayah Tumenggung Jayataruna telah memberontak untuk melawan ketidak adilan dan tindak sewenang-wenang. Tetapi belum ada yang dapat membuktikannya. bahwa Kangjeng Adipati atau seseorang yang mendapat perintahnya yang telah membunuh Ki Tumenggung Wreda. Pusaka yang tertancap di dada Raden Tumenggung Wreda bukanlah bukti yang meyakinkan. Pusaka itu hilang dari bangsal pusaka. Petugasnya telah hilang pula tidak tentu rimbanya.”

“Jika tidak ada bukti yang meyakinkan, paman Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda tidak akan memberontak.”

“Kau percaya-kepada mereka? Raden. Terus terang aku tidak terlalu percaya kepada ayahku. Aku lebih percaya kepada pesan-pesan ibuku yang kesepian di rumahnya. Apakah kau percaya kepada ibu tirimu itu? Jika demikian, kenapa Ririswari tidak kau bawa dan kau serahkan kepada ibu tirimu, justru karena ibu tirimu itu mencarinya dan bahkan mencarimu.”

“Cukup. Aku tidak peduli semua itu. Aku berbuat untuk kepuasan diriku sendiri. Aku akan membunuh Ririswari.”

“Kau bersungguh-sungguh Jalawaja.”

“Ya. Aku bersungguh-sungguh.”

“Sudahlah Jalawaja. Aku menjadi bingung. Tetapi biarlah aku pergi. Kau jangan mengada-ada.“

“Kau menjadi sangat berbahaya bagiku.”

“Jalawaja. Apakah kau masih juga mengira bahwa aku mencari Raden Ajeng Ririswari karena pamrih pribadi sehingga kau mejadi marah dan mencari persoalan untuk membuat perselisihan.”

“Kenapa aku marah jika kau cari Ririswari. Aku tidak membutuhkannya. Aku akan membunuhnya untuk memuaskan hatiku.”

“Kakang” potong Ririswari, “sudah aku katakan, jika kau akan membunuhku lakukanlah. Aku rela jika itu dapat memberimu kepuasan. Suratama tidak mempunyai sangkut paut, karena persoalannya adalah persoalan diantara kita.”

“Apakah kau sekarang tuli, Ririswari. Aku tidak akan membunuhmu sekarang. Aku akan membunuhmu dihadapan Paman Adipati. Meskipun akupun akan terbunuh, tetapi aku sudah puas setelah aku menyakiti hati Paman Adipati.”

“Jalawaja “berkata Suratama kemudian, “kau membuat aku menjadi semakin bingung. Sikapmu tidak dapat aku mengerti.”

“Sikapku jelas. Aku akan membunuh Ririswari.”

“Suratama. Pergilah. Kabarkan kepada semua orang di Sendang Arum, bahwa aku, Ririswari telah dibunuh oleh kakang Jalawaja yang membalas dendam karena kematian ayahnya.”

“Tetapi……”

“Kakang Jalawaja baru puas jika kematianku itu diketahui oleh ayahanda.”

“Itu tidak cukup. Aku akan membunuhmu di hadapan Kangjeng Adipati.”

“Tetapi kita tidak tahu, ayah berada dimana sekarang.”

“Tidak peduli. Kita akan mencarinya. Kau akan aku seret sepanjang jalan yang panjang sampai kita menemukan Kangjeng Adipati.”

“Jalawaja” potong Suratama kemudian, “jadi kau benan-benar akan mencelakai Raden Ajeng Ririswari.”

“Tidak, Suratama. Ia tidak bersungguh-sungguh“ sahut Ririswari.

“Aku bersungguh-sungguh.”

“Jika ia bersungguh-sungguh, Raden Ajeng. Aku tidak akan dapat membiarkannya terjadi.”

“Pergilah Suratama.”

“Tidak Raden Ajeng. Jika Jalawaja benar-benar akan membalas dendam kepada Raden Ajeng yang sama sekali tidak bersalah, bahkan Kangjeng Adipati pun belum tentu bersalah, maka aku tidak akan membiarkannya. Tanpa pamrih pribadi aku merasa berkewajiban untuk menyelamatkan Raden Ajeng Ririswari.”

“Bagus. Itu baru laki-laki Suratama.”

“Jalawaja. Aku tahu kau seorang anak muda yang pilih tanding. Mungkin aku tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanmu. Tetapi aku merasa bahwa aku harus melakukannya.”

“Bersiaplah, Suratama.”

“Kakang Jalawaja. Suratama. Tidak ada gunanya kalian bertengkar. Yang akan terjadi biarlah terjadi.”

“Tetapi Jalawaja tidak membiarkan aku pergi, Raden Ajeng.”

“Kau akan dapat menggagalkan rancanaku. Kau akan dapat melaporkan kepada para prajurit arah kepergianku. Para prajurit itu akan melacaknya dan menangkap aku dan Ririswari sebelum aku berhasil membalas sakit hatiku dihadapan Paman Adipati.”

“Kau telah kerasukan iblis yang paling jahanam, Jalawaja. Aku peringatkan sekali lagi. Belum tentu Kangjeng Adipati bersalah. Bahkan seandainya benar Kangjeng Adipati bersalah Raden Ajeng Ririswari sama sekali tidak tersangkut atas kesalahannya itu.”

“Persetan semuanya“ geram Jalawaja, “bersiaplah.”

Suratama tidak mempunyai kesempatan lagi. Tiba-tiba saja Jalawaja telah menyerangnya.

“Kakang. Kakang. Hentikan“ teriak Ririswari.

Tetapi Jalawaja tidak mendengarnya. Dengan garangnya Jalawaja menyerang Suratama.

Dengan demikian, maka segera terjadi pertempuran yang sengit. Suratama tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan-serangan Jalawaja. Namun Suratama pun kemudian telah membalas menyerangnya.

Keduanya adalah anak-anak muda yang terlatih. Dengan demikian, maka keduanyapun berloncatan menyerang dan menghindar dengan tangkasnya.

Serangan-serangan Jalawaja semakin lama menjadi semakin berbahaya. Namun Suratama pun meningkatkan kemampuannya pula. Dengan tangkas Suratama menghindari serangan-serangan Jalawaja yang datang seperti banjir bandang.

Beberapa saat kemudian, ketika keringat membasahi tubuh-tubuh yang sedang bertempur itu, mereka pun telah meningkatkan kemampuan mereka menjadi semakin jauh

Sentuhan tangan Jalawaja di bahu Suratama telah mendorong Suratama beberapa langkah surut. Namun tiba-tiba saja Suratama itu melenting. Kakinyalah yang telah menyambar dada Jalawaja.

Dengan demikian Jalawaja lah yang bergetar surut beberapa langkah. Namun agaknya Suratama tidak melepaskannya. Dengan tangkasnya ia memburu, kemudian melenting dengari derasnya. Satu kakinya terjulur lurus menyamping menyambar ke arah dada.

Tetapi Jalawaja cukup tangkas. Sambi bergeser setapak, ia telah memiringkan tubuhnya, sehingga kaki Suratama itu terjulur di depan tubuhnya tanpa menyentuh sama sekali.

Suratama yang dalam kedudukan yang belum mapan, dikejutkan oleh sapuan kaki Jalawaja. Demikian cepat sehingga tidak dapat dihindarinya. Sapuan kaki Jalawaja telah mengenai kaki tempat Suratama bertumpu.

Karena itu, maka Suratama pun terbanting jatuh.

Namun, dengan cepat pula Suratama berguling menjauh. Pada saat Jalawaja meloncat memburunya, Suratama telah melenting berdiri. Sehingga ketika Jalawaja meloncat mengayunkan kakinya sambil berputar, Suratama mampu menghindar. Dengan cepat pula Suratama membalas serangan itu. Tangannya terjulur lurus menggapai dada Jalawaja.

Jalawaja tergetar selangkah surut. Namun dengan segera Jalawaja menguasai keseimbangannya.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin menjadi semakin sengit.

Ririswari tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa kali ia berteriak, sehingga rasa-rasanya urat-urat di lehernya akan putus.

Tetapi kedua anak muda itu masih saja bertempur. Jalawaja sama sekali tidak mau mendengarkan teriakan Ririswari. Sementara itu Suratama tidak dapat berbuat lain, kecuali mengimbangi sikap Jalawaja.

Demikianlah pertempuran yang menjadi semakin sengit itu berlangsung terus.

Namun semakin lama, Suratama semakin mengalami kesulitan. Kemampuan Jalawaja masih lebih tinggi selapis dari kemampuan Suratama. Jalawaja yang menempa dirinya di lereng bukit di bawah asuhan kakeknya itu telah membentuknya menjadi seorang anak muda yang pilih tanding.

Dengan demikian, maka Suratama itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan Jalawaja semakin sering mengenai tubuh Suratama, sehingga Suratama itu semakin mengalami kesulitan.

Ririswari menjadi semakin cemas. Meskipun Suratama itu anak Ki Tumenggung Jayataruna yang telah memberontak terhdap ayahandanya, Kangjeng Adipati di Tegal Arum, namun Risiswari agaknya percaya kepadanya, bahwa Suratama telah menjalankan perintah ayahnya tanpa pamrih pribadi. Bahkan Suratama telah berniat untuk tidak mematuhi perintah itu, karena perintah itu dinilainya menyimpang dari kebenaran sikap seorang prajurit.

Karena itu, ketika ia melihat Suratama terdesak dan bahkan mengalami kesulitan, Ririswari menjadi berdebar-debar.

Sementara itu, Jalawaja masih saja bertempur dengan garangnya. Gejolak didadanya, sejak kematian ayahnya telah membuatnya menjadi seorang yang garang. Yang menyimpan dendam membara di dalam dadanya.

Dalam pada itu Suratama pun semakin lama menjadi semakin terdesak. Beberapa kali Suratama itu terpental dan kemudian jatuh terguling. Namun Suratama masih juga berusaha untuk bangkit serta memberikan perlawanan.

Namun ketika serangan kaki Jalawaja yang marah yang dilontarkan dengan sekuat tenaganya mengenai arah ulu hati Suratama. Maka Suratama pun terlempar surut. Tubuhnya menimpa sebatang pohon yang besar yang berdiri tegak tanpa tergetar sama sekali.

Tubuh Suratama pun kemudian terkulai di tanah. Sementara itu Jalawaja pun telah bersiap untuk meloncat dan memberikan serangan terakhir yang menentukan.

Namun tiba-tiba saja Ririswari telah menyekapnya dari belakang sambil berteriak, “Sudah kakang. Sudah.”

Tetapi Jalawaja itu justru berteriak, “Aku akan membunuhnya.”

“Jangan, kakang. Jangan.”

Tetapi hati Jalawaja yang gelap itu justru menjadi semakin panas. Karena itu, maka Jalawaja telah mengibaskan Ririswari dengan kerasnya.

Ririswari pun terpelanting dengan kerasnya pula. Tubuhnya terbanting di tanah berbatu padas. Terdengar Ririswari berteriak tertahan.

Jalawaja terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya di keremangan cahaya bulan, tubuh Ririswari yang tergolek diam.

“Riris, Riris “Jalawaja mengurungkan niatnya menerkam Suratama. Ia bahkan meloncat dan berlutut di sisi Ririswari yang terbaring.

Betapapun kemarahan dan dendam menyala di hatinya, namun ketika ia melihat Ririswari kesakitan, maka rasa-rasanya hatinya menjadi luluh karenanya.

Ternyata dendamnya tidak dapat mengusir perasaan yang sejak lama tumbuh didalam hatinya. Bahkan Jalawaja pernah melihat sepeletik harapan yang telah diisyaratkan oleh Ririswari. Hanya sejak ibunya meninggal Ririswari menjadi murung dan seakan-akan mengesampingkan hubungan mereka berdua.

Ketika api dendam menyala di hatinya karena kematian ayahnya, bahkan karena ia tidak dapat memberikan pertanda kesetiaannya pada saat terakhir, Jalawaja seakan-akan telah kehilangan pegangan. Segala-galanya menjadi gelap, sehingga Jalawaja tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Namun ketika tiba-tiba saja ia melihat tubuh Ririswari terbaring diam, maka hatinya seakan-akan telah disengat oleh penyesalan yang sangat.

“Riris, Riris” Jalawaja mengangkat kepala Ririswari dan diletakannya di pangkuannya.

Dalam pada itu, Suratama telah berhasil bangkit berdiri. Ia telah mengatasi perasaan sakit yang terasa menusuk-nusuk tulang belakangnya.

Ketika ia melihat Jalawaja membelakanginya, maka Suratama itu perlahan-lahan mendekatinya.

Tetapi ketika ia melihat Ririswari terbaring di pangkuan Jalawaja, maka Suratama itupun menarik nafas dalam-dalam. Bahkan Suratama itu pun kemudian telah berjongkok pula di sebelah Jalawaja.

“Apa yang terjadi dengan Raden Ajeng Ririswari“ desis Suratama.

“Aku tidak sengaja mengibaskannya. Aku tidak sengaja menyakitinya Suratama.”

Suratama termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Ririswari yang diterangi oleh cahaya bulan. Matanya terpejam. Namun bibirnya bergerak-gerak. Tidak ada sepatah katapun yang terdengar.

“Riris, Riris.”

Perlahan-lahan Ririswari membuka matanya. Terdengar ia berdesah menahan sakit.

“Kau tidak apa-apa Riris?” bertanya Jalawaja.

“Punggungku sakit sekali, kakang.”

“Maaf aku Riris. Aku tidak sengaja melakukannya.”

“Kakang” suara Riris perlahan.

“Ada apa Riris?”

“Hentikan perkelahian ini. Tidak akan ada gunanya.”

“Tetapi aku kehilangan orang tuaku, Riris.”

“Bukankah itu tidak ada hubungannya dengan Suratama. Jika kau menuntut kematian orang tuamu, maka paman Tumenggung. Jayataruna juga telah memberontak karena alasan yang sama. Bukankah yang dilakukan oleh paman Tumenggung Jayataruna sebenarnya berdiri di pihakmu.”

“Tetapi ia akan merampas kau dari tanganku, Riris.”

“Tidak. Ia sudah mengatakan, bahwa ia tidak akan berbuat apa-apa. Karena itu, kakang. Sudah aku katakan berulang kali. Jika kau akan membalas dendam karena kematian uwa Tumenggung Wreda Reksayuda, lakukanlah. Bunuhlah aku. Biarlah Suratama kembali ke kota dan menyebarkan berita kematianku itu, agar pada suatu saat sampai ketelinga ayahanda. Hati ayahanda akan terluka. Bahkan ayahanda akan merasa bahwa hidupnya sudah tidak berarti lagi sepeninggal ibu dan aku. Kau akan merasa puas karena kau sudah berhasil menyakiti hati ayahanda dan membuatnya berputus asa. Kemudian, berdasarkan atas paugeran dan tatanan yang ada di Sendang Arum, maka kakang Jalawaja lah yang akan menggantikan kedudukan ayahanda.”

“Tidak. Aku tidak menginginkan kedudukan itu. Aku hanya ingin mencari kepuasan.”

“Apapun yang kau inginkan, kakang. Lakukanlah. Tidak ada orang yang dapat menghalangimu. Suratama juga tidak akan menghalangimu lagi. Kecuali ia tidak dapat mengimbangi kemampuanmu yang tidak ada duanya di Sendang Arum itu, akupun akan berpesan kepadanya, agar ia tidak menghalangi niatmu itu.”

“Tidak. Tidak. Aku tidak akan membunuhmu Riris. Aku tidak akan menyakitimu.”

“Bukankah kau sendiri yang mengatakannya. Kau bawa aku keluar dari keputren karena kau ingin membunuhku dengan tanganmu sendiri agar kau mendapat kepuasan, yang setinggi-tingginya.”

“Tidak. Tidak. Aku tidak akan dapat melakukannya. Jika aku membawamu keluar dari keputren itu karena aku tidak ingin melihat kau jatuh ketangan Miranti. Ia akan membuatnya menjadi pangewan-ewan. Ia akan merendahkanmu dan menghinakanmu?

“Apa salahku kepadanya? Apakah ia juga ingin membalas dendam karena kematian suaminya, uwa Reksayuda? Karena bibi tidak dapat membalas ayahanda, maka akulah yang akan dijadikan sasaran. Bukankah begitu juga yang ingin kakang lakukan.”

“Tidak, Riris. Tidak.”

“Jika kau ingin menyelamatkan aku, kenapa aku kau seret sampai ke tempat ini. Kau kurung aku di gubug kecil yang pengab itu. Kau biarkan kakiku luka dan bahkan membengkak?”

“Maafkan aku, Riris. Barangkali aku sudah menjadi gila.”

“Tidak kakang. Sekarang mantapkan hati kakang. Tusukkan kerismu itu di arah jantungku.”

“Jangan berkata begitu Riris. Sebenarnyalah aku tidak ingin menyakitimu. Wadagmu atau hatimu..”

“Kakang sudah melakukannya. Kakang sudah menyakiti aku. Wadagku maupun hatiku. Tetapi aku ikhlas kakang. Aku iklas jika kematianku benar-benar memberimu kepuasan tertinggi.”

“Riris. Aku mencintaimu. Apapun yang terjadi, aku tidak akan dapat mengingkarinya.”

Ketika Riris kemudian berusaha untuk duduk dibantu oleh Jalawaja, Suratama pun bangkit berdiri. Sambil menengadahkan wajahnya memandang bulan yang mengapung dilangit, Suratama itupun berkata, “Aku menjadi semakin bingung. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kau lakukan, Jalawaja.”

“Aku sendiri tidak tahu, apa yang harus aku lakukan.”

“Jangan ragu-ragu, kakang.”

Setelah Riris duduk, maka Jalawaja itu pun bangkit berdiri pula. Didekatinya Suratama yang bergeser beberapa langkah sambil berkata, “Suratama. Jika hal ini terjadi atasmu, katakan. Apa yang akan kau lakukan.”

“Jalawaja. Hatimu pecah karena cintamu terbelah. Kau cintai ayahmu yang terbunuh itu. Tetapi kau juga mencintai Raden Ajeng Ririswari.”

“Aku menjadi bimbang sekali, Suratama. Aku adalah seorang anak yang tidak pernah menunjukkan baktiku kepada orang tua. Aku telah melawan kehendak ayahku ketika ayahku akan meningkah lagi. Aku meninggalkannya dan hidup bersama kakek. Kemudian pada saat ayahku yang telah bersalah terhadap tanah ini mendapat pengampunan dan diperkenankan pulang dari pengasingan, aku tidak dapat ikut menjemputnya. Demikian pula pada saat ayahku terbunuh, aku tidak sempat memberikan penghormatan terakhir karena Miranti masih berada di rumah.”

“Kakang. Lupakan sentuhan perasaanmu terhadap diriku. Lakukan apa yang ingin kakang lakukan. Jika kakang ingin membunuhku, bunuhlah.”

“Tidak, Riris. Aku tidak dapat melakukannya.”

“Bulatkan tekadmu kakang.”

“Suratama. Katakan kepadaku, apa yang harus aku lakukan. Katakan.”

“Kakang. Kenapa kau menjadi bimbang.”

“Apakah aku benar-benar sudah gila Suratama.“

Suratama tidak segera menjawab. Ia pun tidak tahu, jawaban apakah yang harus diberikannya.

Namun tiba-tiba saja Jalawaja itupun berkata, “Suratama. Aku telah kehilangan pegangan. Aku telah kehilangan pegangan. Sekarang, bunuh saja aku Suratama. Bunuh aku.”

“Kakang” suara Ririswari bernada tinggi.

“Jalawaja” berkata Suratama kemudian “Aku tahu bahwa kau berada di persimpangan jalan. Kau menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Pada saat-saat kau kehilangan arah, aku masih dapat melihat harga dirimu meskipun aku sedang terombang-ambing. Tetapi ketika kau menjadi putus-asa dan berniat untuk membunuh diri, maka aku melihat harga dirimu benar-benar akan runtuh. Jika niat itu kau teruskan, maka kau benar-benar tidak berharga lagi. Kau akan menjadi seperti daun jati yang kering yang hanya pantas untuk menjadi makanan api.”

“Tetapi apa yang pantas aku lakukan sekarang Suratama.”

“Jalawaja. Duduklah. Cobalah menenangkan hatimu. Kau akan sempat memikirkan cara terbaik yang dapat kau lakukan.”

“Kakang” berkata Riris yang kemudian bangkit berdiri dengan susah payah “duduklah kakang. Seperti yang dikatakan Suratama, tenangkan hatimu. Marilah kita berusaha mencari jalan keluar.“

“Riris. Katakan kepadaku. Apa yang harus aku lakukan.”

“Duduklah.”

Dibimbing oleh Ririswari, Jalawaja pun kemudian duduk diatas rerumputan yang mulai basah oleh embun. Demikian pula Ririswari dan Suratama.

Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Angin malam terasa semilir menyentuh tubuh mereka. Sementara itu langit masih saja bersih. Bulan masih nampak mengambang di langit meskipun sudah bergeser semakin ke Barat.

“Jalawaja” berkata Suratama kemudian, “maafkan jika aku mempunyai pendapat. Jika kau tidak berkeberatan lakukanlah. Tetapi jika menurut pendapatmu tidak dapat kau lakukan, lupakanlah.”

“Katakan Suratama.”

“Apakah sudah tidak ada lagi orang yang dapat kau ajak berbicara? Orang yang lebih tua yang mungkin dapat memberikan jalan keluar dari persoalanmu yang rumit? Jalawaja. Sebaiknya kau tidak menetapkan lebih dahulu, bahwa yang telah membunuh Ki Tumenggung Wreda Reksayuda adalah Kangjeng Adipati. Dengan demikian, maka hatimu tidak langsung terbelah. Jika kau dapat berpikir lebih tenang, serta ada orang yang dapat kau ajak berbicara, mungkin kau akan menemukan jalan yang terbaik untuk mengatasi persoalan yang sedang kau hadapi.”

Jalawaja tidak segera menjawab.

Namun dalam pada itu, Ririswari pun berkata, “Kakang. Bukankah kakang masih mempunyai seorang kakek? Mungkin kakang dapat berbicara dengan kakek, apakah yang sebaiknya harus kakang lakukan.”

Jalawaja mengangkat wajahnya. Sambil mengangguk-angguk ia pun berdesis, “Ya. Aku masih mempunyai seorang kakek. Ki Ajar Anggara. Kakekku sekaligus guruku.”

“Kakang dapat bertanya kepadanya, apakah yang sebaiknya kakang lakukan.”

“Ya. Aku dapat menemui kakek dan bertanya kepadanya. Kenapa hatiku yang gelap tidak segera mengingatnya.”

“Jika demikian, bukankah sebaiknya kau pergi menemui kakekmu itu, Jalawaja” berkata Suratama.

“Ya. Aku akan menemui kakekku“ jawab Jalawaja. Lalu katanya selanjutnya, “Ririswari. Apakah kau mau pergi bersamaku? Atau mungkin kau merasa lebih tenang pergi bersama Suratama. Dapat saja kau menganggap bahwa aku sudah menjadi gila. Kegilaanku itu dapat saja kambuh kapan saja.”

“Aku akan pergi bersamamu, kakang. Kemanapun kau pergi.”

“Jika iblis itu kembali merasuk kedalam jiwaku?”

“Aku tidak berkeberatan, kakang.”

“Jika demikian, aku akan minta tolong kepadamu, Suratama. Jika masih ada sisa belas kasihanmu kepadaku, tolong, kawani aku pergi menemui kakek.”

“Apakah kau memerlukan seorang kawan, Jalawaja?”

“Ya. Aku memerlukan seorang kawan. Mungkin diperjalanan aku bertemu dengan prajurit Sendang Arum yang sudah ada di bawah pengaruh Miranti sedang memburu Ririswari. Mungkin juga memburu aku sendiri. Tetapi itu tidak penting. Yang paling mencemaskan adalah jika perasaanku menjadi goyah lagi. Jika kau ada bersamaku, maka setidak-tidaknya ada orang yang dapat memberi peringatan kepadaku, bahwa aku telah terjerumus kembali ke dalam kuasa iblis.”

Suratama menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kau percaya kepadaku, Jalawaja. Aku adalah anak seorang pemberontak.”

“Aku juga anak seorang pemberontak.”

“Baiklah. Aku akan menemanimu pergi ke rumah kakekmu. Tetapi setelah kau berada di rumah kakekmu, maka aku akan kembali ke Pajang.”

“Dan melaporkan kepada Raden Ayu Reksayuda tentang keberadaan kami?”

“Kau sudah mulai tidak mempercayaiku.”

“Aku percaya kepadamu, Suratama. Maafkan aku.”

“Marilah. Kita tinggalkan tempat ini.”

“Apakah kita harus pergi sekarang? Aku letih sekali Kakang. Kakiku terasa pedih sekali. Apakah kita dapat beristirahat sampai fajar?” desis Ririswari.

Jalawaja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Kita beristirahat sampai fajar. Jika fajar mulai merah, kita akan melanjutkan perjalanan.”

“Kau tahu jalan ke arah pondok kakekmu itu, Jalawaja?”

“Aku akan menemukannya. Aku melihat arah yang harus kita tuju.”

“Gunung itu?”

“Ya. Gunung, bentuknya dan gunung anakan di lambungnya.”

“Ya. Kita akan dapat mencarinya.”

“Aku tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan jalan itu. Aku kira jalan ini adalah jalan pintas. Meskipun jalan ini jarang dilalui orang, tetapi jalan ini merupakan salah satu jalur kemungkinan.”

Suratama menarik nafas panjang. Sementara Jalawaja pun berkata, “Salah satu bukti, kau juga memilih jalan ini untuk menelusuri jejak Ririswari.”

“Ya. Rasa-rasanya kakiku telah memilih sendiri jalan yang akan dilaluinya.”

Dalam pada itu, maka Ririswari telah duduk bersandar sebatang pohon. Kakinya menjelujur diatas rerumputan. Ririswari sama sekali tidak menghiraukan pakaiannya akan menjadi kotor karenanya.

Jalawaja pun kemudian duduk di sebelahnya, sementara Suratama duduk agak jauh dari padanya.

Ririswari yang letih itu sempat memejamkan matanya. Semilir angin membuatnya sekejap-sekejap melupakan peristiwa yang sedang dijalaninya itu.

Namun setiap kali Ririswari itu seakan-akan terkejut oleh denyut perasaannya yang bergejolak.

Setiap kali Ririswari menarik nafas panjang. .

Jalawaja sendiri dan Suratama. duduk sambil berdiam diri. Keduanya terdiam seolah-olah masing-masing belum saling mengenal. Pandangan mata mereka meraba kekejauhan di bayangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan.

Tetapi dalam kediamannya perasaan Jalawaja bagaikan terombang-ambing oleh angin prahara.

Berbeda dengan Jalawaja, meskipun ada juga ketegangan dihati Suratama, tetapi Suratama sempat juga mengantuk. Matanya sempat terpejam beberapa saat sambil bersandar sebongkah batu padas yang basah oleh embun di dinginnya malam.

Ketika cahaya merah mulai nampak di langit, maka Jalawaja pun bangkit berdiri. Dipandanginya Ririswari yang sudah bergeser beberapa langkah dari tempat duduknya, sambil membenahi rambutnya yang kusut.

“Riris” berkata Jalawaja, “langit telah menjadi merah. Bulan sudah bergulir ke cakrawala. Marilah kita melanjutkan perjalanan.”

“Marilah, kakang. Aku sudah siap” sahut Ririswari sambil bangkit berdiri.

“Suratama”

Suratama bangkit berdiri pula sambil menyahut, “Aku juga sudah siap Jalawaja.”

Ketiga orang itu pun kemudian telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Mereka ingin menempuh perjalanan selagi matahari masih belum sempat membakar langit.

Tetapi mereka akan menempuh jarak yang jauh, sehingga mungkin sekali mereka akan terhalang oleh terik sinarnya. Terutama Ririswari. Agaknya ia memerlukan banyak kesempatan untuk beristirahat.

“Kecuali jika aku memaksanya berjalan seperti kemarin” berkata Jalawaja di dalam hatinya. Penyesalan yang sangat dalam menghunjam di hatinya. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa kaki Ririswari memang terluka.

Suratama lah yang kemudian berjalan di depan. Kemudian Jalawaja membimbing Ririswari berjalan tidak terlalu cepat. Batu-batu kerikil serta batu-batu padas yang tajam membuat kaki Ririswari menjadi semakin sakit.

“Jika kita sampai ke rumpun bambu, Riris. Aku akan membuat terompah dari clumpring untuk setidaknya mengurangi pedih di kakimu.”

“Aku tidak apa-apa, kakang” jawab Ririswari meskipun sambil menyeringai menahan pedih.

Suratama yang berjalan didepan kadang-kadang melangkah terlalu jauh. Namun ia pun segera berhenti menunggu Jalawaja dan Ririswari yang berjalan di belakang mereka.

Beberapa lama mereka berjalan dengan lamban. Mereka mengikuti jalan setapak disela-sela tebing bukit kecil berkapur

Namun tiba-tiba Suratama berhenti. Bahkan iapun melangkah surut mendekati Jalawaja dan Ririswari sambil berdesis “Ada sesuatu yang perlu diperhatikan di depan.”

“Apa?” bertanya Jalawaja.

“Nampaknya ada satu atau dua orang di gerumbul sebelah jalan.”

Jalawaja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata “Kita berhenti disini. Biarlah mereka datang kepada kita.”

Suratama tidak menyahut, sementara Jalawaja berkata kepada Ririswari, “Duduklah di atas batu itu Riris. Mungkin aku dan Suratama harus berbuat sesuatu.”

Beberapa saat mereka menunggu. Namun ternyata bahwa dugaan Suratama itu benar. Beberapa saat kemudian, dua orang muncul dari balik gerumbul di sebelah menyebelah jalan.

Meskipun langit menjadi semakin merah, namun mereka tidak segera dapat mengenali wajah kedua orang yang membelakangi bulan yang sudah mulai membenamkan diri di cakrawala.

“Jadi kalian berdua telah melarikan Raden AJeng Ririswari. Jalawaja dan Suratama.”

Baru kemudian Suratama dan Jalawaja menyadari bahwa yang berdiri di hadapan mereka itu adalah Ragajati dan Ragajaya, putera Ki Tumenggung Reksabawa.

“Jadi kalian telah bekerja sama untuk melawan Kangjeng Adipati. Bahkan dengan licik kalian berdua telah menculik puterinya yang sama sekali tidak tahu menahu, apa yang sebenarnya telah terjadi di Kadipaten Sendang Arum.”

“Ragajati dan Ragajaya” berkata Suratama, “kami sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap Raden Ajeng Ririswari.”

“Omong kosong. Ayahmu, paman Tumenggung Jayataruna sudah memberontak. Paman Tumenggung dan Raden Ayu Reksayuda telah menyebar berita, bahwa seolah-olah Kangjeng Adipati lah yang telah membunuh Ki Tumenggung Wreda Reksayuda, sehingga kau dan Jalawaja telah bekerja sama untuk menculik Raden Ajeng Ririswari yang seharusnya tidak terpercik oleh persoalan yang sedang terjadi di kadipaten Sendang Arum.”

Suratama menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti tuduhan Ragajati dan Ragajaya itu, karena ia adalah putera Ki Tumenggung Jayataruna yang sudah memberontak, ada pun Jalawaja adalah putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang terbunuh.....

“Ragajati dan Ragajaya” berkata Suratama kemudian, “aku mengerti, bahwa aku dan Jalawaja dapat dikenakan tuduhan sebagaimana kau katakan. Tetapi yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu.”

“Kau dapat mengatakan apa saja tentang diri kalian berdua. Tetapi kalian tidak akan dapat mengingkari kenyataan.”

“Ragajati dan Ragajaya” sahut Jalawaja, “akupun dapat mengerti, bahwa kau tidak akan mempercayai kami berdua. Aku dan Suratama. Tetapi sekarang bertanyalah kepada Ririswari. Ia akan dapat mengatakan apa yang telah terjadi sebenarnya.”

Ragajaya dan Ragajati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ragajati pun bertanya kepada Raden Ajeng Ririswari, “Raden Ajeng. Apa yang telah terjadi sebenarnya atas diri Raden Ajeng.”

Ririswari dengan kaki yang terasa pedih melangkah ke depan. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Ragajati dan Ragajaya. Sebenarnyalah bahwa kakang Jalawaja dan Suratama telah menyelamatkan aku dari taman keputren. Jika aku tidak dibawanya pergi, maka aku tentu sudah jatuh ke tengan bibi Reksayuda.”

“Raden Ajeng. Apa yang sebenarnya telah terjadi. Katakan yang sebenarnya Raden Ajeng. Jangan takut” berkata Ragajaya.

“Aku berkata sebenarnya Ragajaya.”

“Aku tahu, Raden Ajeng tentu sudah diancam oleh Suratama dan Jalawaja. Bagaimana mungkin Suratama dan Jalawaja berusaha menyelamatkan Raden Ajeng. Keduanya tentu juga mendendam dan memusuhi Raden Ajeng, karena Raden Ajeng adalah putera Kangjeng Adipati di Sendang Arum.”

“Jika mereka benar-benar membawa Raden Ajeng keluar dari keputren, justru mereka tentu mempunyai pamrih pribadi.”

“Kau salah paham Ragajati dan Ragajaya.”

“Ragajati dan Ragajaya” berkata Jalawaja kemudian, “sekarang apa maumu. Kenapa kalian berdua berada di sini dan untuk apa sebenarnya.”

“Aku mengemban perintah Kangjeng Adipati untuk menyelamatkan Raden Ajeng Ririswari” jawab Ragajati.

“Dimana ayahanda sekarang, Ragajati?“ bertanya Ririswari.

“Aku akan membawa Raden Ajeng Ririswari kepada ayahanda. Tetapi aku harus merahasiakannya terhadap kedua orang anak pemberontak itu.”

“Jangan berkata seperti itu, Ragajati. Kau belum mengenal kami seutuhnya. Jika kau sebut kami anak pemberontak, maka kau telah menyinggung perasaan kami.”

“Jika demikian Jalawaja. Serahkan Raden Ajeng Ririswari kepada kami. Kami akan membawanya kepada ayahandanya. Sementara itu kalian berdua harus, pergi. Persoalan diantara kita akan kita selesaikan kelak, jika tugas kami berdua sudah selesai.”

“Kau terlalu sombong Ragajati dan Ragajaya. Kalian kira kalian ini siapa?”

“Siapapun kami, tetapi kami sedang mengemban tugas dari Kangjeng Adipati. Kami tidak dapat mengingkari semua pesan yang diberikan kepada kami. Tidak seorang pun boleh mengetahui, dimana Kangjeng Adipati sekarang berada. Apalagi kalian berdua. Kalian tentu akan segera memberitahukan kepada paman Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda.”

“Tidak, Ragajati dan Ragajaya” potong Raden Ajeng Ririswari “percayalah kepadaku. Kakang Jalawaja dan Suratama tidak akan mencelakai aku. Merekapun tidak merupakan kepanjangan tangan paman Tumenggung Jayataruna serta bibi Reksayuda. Justru aku menjadi jaminannya.”

“Maaf Raden Ajeng. Siapapun tidak akan dapat menyebabkan kami melanggar perintah Kangjeng Adipati. Sekarang, marilah Raden Ajeng aku bawa kepada ayahanda. Sedangkan biarlah kedua orang itu pergi atau kembali kepada orang tua mereka.”

“Itu tidak mungkin, Ragajati.”

“Kenapa?”

“Aku berhutang budi kepada keduanya.”

“Raden Ajeng. Seharusnya Raden Ajeng tidak usah merasa takut kepada ancaman mereka. Kami berdua akan melindungi Raden Ajeng.”

“Ragajati dan Ragajaya. Coba renungkan. Jika mereka berniat mencelakai aku, atau mereka merupakan kepanjangan tangan paman Tumenggung Jayataruna dan bibi Reksayuda, buat apa mereka membawa aku sampai disini.”

“Itulah yang sangat mencurigakan, Raden Ajeng. Mereka tentu mempunyai pamrih pribadi.”

“Cukup Ragajati” bentak Jalawaja, “dengarkan. Kami tidak akan menyerahkan Ririswari ke tangan kalian berdua. Justru kalian berdua ingin memanfaatkan gejolak ini untuk kepentingan pribadi kalian berdua. Tetapi aku ingin menjelaskan sekali lagi, bahwa kami tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan pemberontakan yang dilakukan oleh paman Tumenggung Jayataruna serta Raden Ayu Reksayuda.”

Ragajati dan Ragajaya termangu-mangu sejenak. Mereka teringat ceritera Ki Ajar Anggara tentang hubungan yang rumit antara Jalawaja dengan ibu tirinya. Namun hal itu tidak menghapus kecurigaan Ragajati dan Ragajaya, bahwa Raden Ajeng Ririswari akan dapat menjadi tempat untuk melimpahkan dendam Jalawaja atas kematian ayahnya.

“Mungkin Jalawaja memang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Raden Ayu Reksayuda, tetapi dendamnya kepada Kangjeng Adipati akan dapat mencelakai Raden Ajeng Ririswari.”

Justru karena itu, maka Ragajati itu pun berkata, “Jalawaja dan Suratama. Kami tidak akan menganggap kalian bersalah. Kami tidak mempunyai hak dan wewenang untuk mengadili kalian. Apalagi di pinggir jalan seperti ini. Biarlah nanti waktu yang akan menentukan. Namun demikian, kami tidak dapat menyingkir dari tugas kami. Membawa Raden Ajeng Ririswari kepada ayahandanya. Karena itu, jangan halangi tugasku. Pada kesempatan lain, kalian akan dapat berhubungan langsung dengan Kangjeng Adipati”

“Kami tidak dapat mempercayai kalian berdua” jawab Suratama, “karena itu pergilah. Kecuali jika kalian berdua membawa kami berdua serta menghadap Kangjeng Adipati.”

“Jangan menunggu sampai batas kesabaranku.”

Dengan lantang Jalawaja itu menyahut, “Aku sudah kehabisan kesabaran. Jika aku masih belum berbuat apa-apa, karena aku memaksa diri untuk tidak mulai dengan kekerasan. Tetapi jika kalian berdua memaksa, maka kami pun akan melayaninya.”

“Bagus Jalawaja. Perlawananmu akan semakin membuktikan, bahwa kau benar-benar telah memberontak. Apakah kau berdiri sendiri atau bergabung dengan paman Tumenggung Jayataruna, itu tidak penting. Kenyataan yang kami temui disini, kau telah berani melawan perintah Kangjeng Adipati.”

”Sebut saja semaumu. Tetapi aku pertahankan Ririswari. Apalagi Ririswari sendiri tidak mau pergi bersama kalian berdua.”

“Raden Ajeng Ririswari tentu bukannya tidak bersedia pergi bersama kami. Tetapi Raden Ajeng Ririswari masih berada dalam bayang-bayang ketakutan atas sikap kalian berdua yang kasar.”

“Katakan apa yang ingin kau katakan. Tetapi kami tetap pada sikap kami.”

Ragajati dan Ragajaya tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka merasa sedang mengemban tugas dari Kangjeng Adipati. Satu kehormatan yang harus mereka junjung tinggi, sehingga apapun yang terjadi, mereka harus berusaha melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Apapun yang harus dilakukannya. Bahkan pengorbanan apapun yang harus mereka berikan.

Ketika Ragajati dan Ragajaya bergeser dati mempersiapkan diri, maka Jalawaja dan Suratama pun telah bersiap pula.

”Riris” berkata Jalawaja, “minggirlah. Aku akan melindungimu. Aku tidak akan menyerahkanmu kepada siapapun.”

Ririswari pun bergeser surut. Dengan nada dalam ia pun berpesan, “Hati-hati kakang. Hati-hati Suratama.”

Pesan itu memang telah membuat Ragajati dan Ragajaya menjadi ragu. Agaknya Ririswari benar-benar mengharapkan perlindungan Jalawaja dan Suratama.

Tetapi Ragajati dan Ragajaya yang merasa mendapat kehormatan dan kepercayaan mengemban tugas Kangjeng Adipati tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus mengambil Ririswari dan membawanya menghadap Kangjeng Adipati.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka telah terlibat dalam pertempuran. Ragajati bertempur melawan Jalawaja dan Ragajaya bertempur melawan Suratama.

Mereka adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh dan berkembang. Gejolak didalam dada mereka telah membuat darah mereka menjadi panas. Mereka masing-masing merasa wajib untuk melakukan apa yang mereka lakukan. Ragajati dan Ragajaya merasa berkewajiban untuk mengambil Ririswari, sedangkan Jalawaja dan Suratama merasa wajib mempertahankan Ririswari demi keselamatannya.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ragajaya yang telah ditempa didalam sebuah perguruan, ternyata memiliki beberapa kelebihan dari Suratama yang berlatih dan meningkatkan ilmunya di sanggar di rumahnya sendiri. Dibimbing oleh ayahnya di saat-saat luang. Namun Suratama adalah seorang anak muda yang rajin. Meskipun ayahnya tidak setiap saat berada di sanggar bersamanya, namun Suratama rajin berlatih meskipun sendiri dengan mengulang-ulang unsur-unsur gerak yang telah diberikan oleh ayahnya. Bahkan dalam kesendiriannya, Suratama tidak pernah melupakan usahanya untuk meningkatkan kemampuan serta daya tahan tubuhnya.

Ketekunannya itulah yang membuat Suratama memiliki beberapa kelebihan.

Sedangkan Ragajati yang bertempur melawan Jalawaja harus meningkatkan kemampuannya. Keduanya telah berguru kepada orang-orang yang berilmu tinggi. Namun guru Jalawaja yang kakeknya sendiri itu, mempunyai lebih banyak waktu dari guru Ragajati. Jalawaja berguru seorang diri, sedangkan guru Ragajati mempunyai murid dalam jumlah yang banyak. Sehingga dengan demikian maka penilikan secara pribadi lebih banyak didapat oleh Jalawaja.

Karena itu, maka betapapun Ragajati mengerahkan kemampuannya, namun Jalawaja masih saja tetap mampu mengimbanginya.

Semakin lama pertempuran pun menjadi semakin sengit. Dalam pada itu. langit sudah menjadi terang. Sehingga segala-sesuatunya menjadi nampak lebih jelas.

Ririswari yang berdiri di luar arena menjadi bingung. Ia tidak mempunyai cara untuk melerai pertempuran itu.

Suara teriakannya sudah tidak lagi didengar oleh mereka yang sedang bertempur itu.

Dalam pada itu, maka Jalawaja pun semakin mendesak lawannya. Meskipun ilmu mereka tidak bertaut banyak, namun Jalawaja justru di tempa oleh kehidupan yang keras di pondok kakeknya. Banyak pekerjaan yang harus dilakukannya. Namun justru karena itu, maka Jalawaja yang tidak kalah rajinnya berlatih itu memiliki beberapa kelebihan.

Meskipun ada selisih selapis-selapis dari ilmu mereka, namun dengan hentakan-hentakan yang kuat, kadang-kadang teriakan yang mengejut, dan dorongan kemauan-yang sangat kuat, maka pertempuran diantara merekapun berlangsung sengit.

Sekali-sekali Suratama memang nampak terdesak. Tetapi dalam keadaan tertentu, jika Ragajaya melakukan kesalahan sedikit saja. maka Suratama pun segera memanfaatkan kesempatan itu.

Di arena pertempuran yang lain, Ragajati harus berloncatan dan bahkan beberapa kali berputaran seperti roda menghindari serangan Jalawaja yang memburunya. Namun dengan melenting tinggi, serta sekali berputar diudara, Ragajati mampu mengambil jarak dan mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan-serangan Jalawaja selanjutnya.

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Mereka masing-masing sudah mulai menyentuh tubuh lawan-lawan mereka. Serangan Ragajaya yang mengejutkan telah mengenai dada Suratama sehingga Suratama terlempar beberapa langkah dan bahkan jatuh berguling. Namun ketika Ragajaya memburunya, Suratama sudah melenting berdiri. Bahkan dengan cepat Suratama meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah dada Ragajaya.

Ragajaya sempat mengelak sambil memiringkan tubuhnya. Tetapi tiba-tiba saja Suratama merendah. Kakinya menyapu kaki Ragajaya sehingga Ragajaya terpelanting jatuh. Namun dengan cepat pula Ragajaya bangkit, sehingga serangan kaki yang terjulur ke lambungnya dapat dihindarinya.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Jalawaja dan Ragajati berloncatan saling menyerang. Keduanya memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang tinggi. Namun kecepatan gerak Jalawaja kadang-kadang sulit diimbangi oleh Ragajati, sehingga serangan-serangan Jalawaja kadang-kadang memaksa Ragajati meloncat mengambil jarak.

Namun Jalawaja tidak pernah memberinya kesempatan. Jalawaja selalu memburunya, sehingga kadang-kadang Ragajati harus berloncatan beberapa kali. Dan bahkan berputaran dengan cepatnya.

Semakin lama pertempuranpun menjadi semakin sengit. Ragajaya semakin mendesak Suratama. Tetapi sebaliknya, Ragajati mengalami kesulitan menghadapi Jalawaja.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka di tubuh anak-anak muda itu terdapat noda-noda kebiruan. Wajah-wajah mereka menjadi lebam. Bahkan mata Suratama menjadi merah.

Perasaan sakit, nyeri dan pedih terasa di beberapa tempat. Beberapa goresan luka ketika mereka terjatuh menimpa batu-batu padas, terasa semakin pedih oleh keringatan mereka yang mengalir seperti di peras dari tubuh.

Ririswari menjadi sangat cemas ketika ia melihat dari sudut bibir Suratama telah mengalir darah. Apakah darah itu berasal dari bibirnya yang pecah atau giginya yang tanggal atau darah itu berasal dari luka didalam.

Namun rasa-rasanya Suratama masih saja bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Dalam keadaan yang semakin gawat, ketika tubuh mereka yang bertempur menjadi semakin nyeri di mana-mana, serta keringat mereka bagaikan di peras dari tubuh, maka terasa angin semilir berhembus semakin lama menjadi semakin kencang. Bahkan kemudian angin itu mulai berputar menjadi angin pusaran.

Ririswari yang menjadi ketakutan bergeser menjauh. Angin yang berputar itu bahkan terasa telah memanasi udara di siang hari yang terik.

Ketika angin pusaran itu melibat keempat anak muda yang sedang bertempur itu, maka pandangan mata mereka pun menjadi kabur. Mereka terpaksa memejamkan mata mereka, karena angin pusaran itu telah membawa dedaunan dan rumput-rumput kering serta debu yang kelabu berputaran, terangkat terbang semakin tinggi.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun berhenti dengan sendirinya. Mereka masing-masing telah memejamkan mata mereka agar mata mereka tidak kemasukan debu, sehingga mereka tidak dapat bertempur dengan mata terpejam.

Perlahan-lahan angin pusaran itupun mulai mereda. Dedaunan dan rumput-rumput kering mulai turun bertebaran. Debu pun menjadi semakin mengendap dan terhambur ditanah.

Pada saat anak-anak muda itu membuka mata mereka, dan bahkan bersiap untuk bertempur lagi, maka mereka pun terkejut. Di antara mereka berdiri seorang tua yang memandang mereka berempat berganti-gantian.

“Kakek” desis Jalawaja.

“Apa yang telah terjadi disini?” bertanya Ki Ajar Anggara yang tiba-tiba saja telah muncul diantara mereka.

“Kedua orang itu berusaha menghalangi tugasku, Ki Ajar. Ketika aku bertemu dengan Raden Ajeng Ririswari disini, mereka tidak mau menyerahkannya“ berkata Ragajati.

“Benar begitu Jalawaja?” bertanya kakeknya.

“Ya, kek. Aku tidak mempercayai mereka. Jika mereka melakukannya bagi kepentingan pribadi mereka, maka aku akan kehilangan Ririswari.”

“Selain itu, Ki Ajar” berkata Suratama, “Raden Ajeng Ririswari keberatan kami serahkan kepada mereka berdua.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Sementara Ragajaya pun berkata “Ki Ajar. Bukankah Suratama itu putera paman Tumenggung Jayataruna yang telah memberontak? Sedangkan Jalawaja adalah putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Jika Jalawaja menganggap bahwa kematian ayahnya itu karena perbuatan Kangjeng Adipati, maka akan dapat timbul malapetaka bagi Raden Ajeng Ririswari.”

“Ki Ajar” berkata Ririswari yang telah melangkah mendekat, “kenapa Ragajati dan Ragajaya tidak mau membawa kakang Jalawaja dan suratama bersamaku menghadap ayahanda?”

“Aku sudah mendapat perintah, bahwa tidak seorang-pun, saya ulangi, tidak seorangpun yang boleh mengetahui dimana Kangjeng Adipati itu sekarang berada.”

Ki Ajar tersenyum. Sementara Ririswari berkata, “Tetapi apakah aku juga tidak boleh tahu dimana ayah berada?”

“Bukankah sudah aku katakan Raden Ajeng, bahwa kami berdua akan membawa Raden Ajeng kepada ayahanda? Tetapi tidak dengan kedua orang itu.”

“Kalian telah dibelit oleh kesalah-pahaman. Aku mengerti sekarang, bahwa kalian semuanya tidak bersalah. Kalian semua benar dinilai dari sisi pandang kalian masing-masing.”

Keempat orang anak muda itu terdiam.

“Nah , sekarang semuanya ikut aku. Kita pergi menghadap Kangjeng Adipati di Sendang Arum. Kau juga dapat ikut bersama kami Suratama. Tetapi kau tidak boleh menemui ayahmu sebelum segala-galanya menjadi terang. Kau tahu, kenapa aku telah membuat ketentuan seperti itu.”

“Aku mengerti Ki Ajar. Aku adalah anak Tumenggung Jayataruna yang telah memberontak.“

“Ya. Akupun nanti ingin tahu, kenapa kau dan Jalawaja tiba-tiba saja bersama-sama telah membawa Raden Ajeng Ririswari.”

“Aku mempercayai Suratama, Ki Ajar” berkata Ririswari “meskipun ia putera paman Tumenggung Jayataruna, tetapi ia mempunyai sikap yang lain.”

“Syukurlah. Tetapi kita memang harus berhati-hati dalam keadaan yang gawat seperti ini.”

“Kita akan pergi ke mana, eyang?” bertanya Jalawaja.

Ki Ajar Anggara tersenyum. Katanya, “Marilah. Ikut saja aku. Marilah Raden Ajeng.”

Keenam orang itu pun kemudian telah bergerak meneruskan perjalanan. Kaki Ririswari masih terasa sakit, sehingga gadis itu berjalan sangat lamban.

Tetapi Ki Ajar Anggara tidak memaksanya berjalan lebih cepat lagi.

Dengan demikian, maka iring-iringan kecil itu bergerak maju dengan lamban. Sementara itu matahari pun telah melampaui puncak langit, sehingga panasnya bagaikan membakar ubun-ubun.

Beberapa kali mereka harus berhenti. Bahkan kadang-kadang Raden Ajeng Ririswari telah membenamkan kakinya di aliran parit di pinggir jalan. Direndamnya kakinya untuk beberapa lama sebelum mereka harus melanjutkan perjalanan lagi.

Namun meskipun lambat, akhirnya merekapun menelusuri jalan setapak yang langsung menuju ke pondok Ki Ajar Anggara.

“Apakah kita akan pulang eyang?”

“Ya.”

“Lalu bagaimana dengan Ririswari? Apakah Ririswari akan kita bawa pulang?”

“Ya, Jalawaja.”

“Bagaimana dengan paman Adipati?”

“Pamanmu Adipati Sendang Arum berada di rumah kita, Jalawaja.”

“Paman Adipati ada di rumah kita?”

“Ya.”

Wajah Jalawaja menjadi tegang. Sementara itu Ririswari pun bertanya, “Kau masih mendendam kepada ayah? Kau masih menganggap bahwa ayahkulah yang telah membunuh ayahmu?”

Jalawaja tidak menjawab. Namun Ki Ajar Anggara lah yang menjawab, “Kau tidak boleh berprasangka buruk seperti itu, Jalawaja. Tuduhan itu harus di buktikan. Seandainya terlanjur terjadi sesuatu dengan Kangjeng Adipati, tetapi ternyata Kangjeng Adipati tidak bersalah?”

Jalawaja tidak menjawab. Sementara Ki Ajar pun berkata pula “Seperti Ki Tumenggung Jayataruna yang telah terlanjur memberontak dengan mempengaruhi rakyat dan prajurit. Ki Tumenggung menghasut prajurit dan rakyat Sendang Arum untuk menggulingkan kekuasaan Kangjeng Adipati dengan alasan, bahwa Kangjeng Adipati telah berbuat sewenang-wenang. Kangjeng Adipati telah berbuat bengis dengan membunuh saudara sepupunya sendiri. Jika benar Kangjeng Adipati membunuh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, apakah sebenarnya yang diinginkannya?”

Jalawaja tertunduk.

“Dengar Jalawaja. Ada cerita yang sangat menarik yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Reksabawa. Salah satu alasan kenapa Kangjeng Adipati itu membunuh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda adalah karena Kangjeng Adipati menginginkan jandanya.”

“Ki Ajar” potong Ririswari, “apakah itu benar?”

“Tentu tidak, Raden Ajeng. Jalawaja tentu tahu pasti, bahwa itu tidak benar. Jalawaja tentu tahu, bahwa yang dikatakan oleh Rara Miranti itu adalah omong-kosong.”

“Kakang “desis Ririswari.

“Miranti adalah seorang pembohong, Riris.”

“Maksudmu bibi Reksayuda?”

“Ya. Bukankah kau juga mengenal Miranti sebelumnya?”

“Ya. Aku kenal Miranti. Tetapi Miranti sangat membenciku tanpa aku ketaihui sebabnya,”

Jalawaja mengangguk-angguk. Katanya, “Eyang. Justru setelah aku mendengar bahwa salah satu tuduhan terhadap Kangjeng Adipati adalah keinginan Kangjeng Adipati untuk memiliki jandanya, maka aku menjadi yakin, bahwa bukan Kangjeng Adipati yang sudah membunuh ayahku itu.”

Ririswari menundukkan wajahnya. Diluar sadarnya, tangannya mengusap titik-titik air yang mengembun di matanya. Bahkan kemudian terdengar isaknya yang tertahan.

“Riris. Kenapa kau menangis?”

“Apakah ayahanda benar-benar sudah melupakan ibunda. Tanah di makam ibunda masih basah oleh embun dan air mata. Sekarang ayah sudah berniat untuk mencari gantinya. Bahkan dengan membunuh uwaTumenggung Reksayuda.”

“Tidak Riris. Itu tidak terjadi. Tuduhan itu dilontarkan oleh orang-orang yang sengaja memfitnah ayahandamu.”

“Jika tidak ada api, apakah akan ada asapnya?”

“Bukan asap yang mengepul di udara. Tetapi debu yang sengaja di hambur-hamburkan untuk menjelekkan nama ayahandamu. Dengan demikian maka mereka berusaha meyakinkan para prajurit dan rakyat Sendang Arum, agar mereka mendukung pemberontakan yang dilakukan oleh Miranti yang telah berhasil mendapat sebutan Raden Ayu Reksayuda.”

“Kau yakin itu, kakang?” bertanya Ririswari.

“Aku yakin, Riris.”

“Ketika kakang yakin bahwa ayahandalah yang membunuh uwa Reksayuda, apakah kakang juga sudah mendengar celoteh tentang niat ayah untuk mengambil janda uwa Reksayuda?”

“Tidak. Aku belum mendengar. Jika aku sudah mendengar kabar itu, maka aku justru meyakini bahwa paman Adipati tidak membunuh ayah dengan cara apapun juga.”

Ririswari mengusap matanya yang basah dengan lengan bajunya.

“Sudahlah. Marilah kita teruskan perjalanan ini” berkata Ki Ajar Anggara. Lalu katanya pula, “semula hanya angger Ragajati dan angger Ragajaya sajalah yang mendapat perintah untuk mencari Raden Ajeng Ririswari. Tetapi hatiku merasa tidak tenang. Karena itu, akupun pergi menyusul mereka berdua. Untunglah bahwa aku tidak terlambat.”

Namun ketika mereka meneruskan perjalanan, tiba-tiba Suratamapun berkata “Ki Ajar. Apakah aku dapat meneruskan perjalanan ini?”

“Kenapa?”

“Apakah aku pantas menghadap Kangjeng Adipati apapun alasannya? Aku adalah anak seorang pemberontak yang bahkan telah berhasil menyingkirkan Kangjeng Adipati dari dalem kadipaten.”

“Yang memberontak adalah ayahmu, ngger. Bukan kau.”

“Tetapi aku adalah anak Tumenggung yang memberontak itu, Ki Ajar. Biasanya orang mengatakan, bahwa air itu akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sehingga kejahatan yang dilakukan oleh orang tua, akan menyentuh anaknya pula.”

“Tidak seluruhnya benar, Suratama. Jika kau memang tidak berbuat kesalahan sebagaimana dilakukan oleh ayahmu, kau tidak usah merasa cemas menghadap Kangjeng Adipati.”

“Kemarahan Kangjeng Adipati kepada ayah, akan dapat tertumpah kepadaku.”

“Tidak. Jangan cemas. Kangjeng Adipati bukan seorang pendendam. Ia tidak akan melimpahkan kesalahan seseorang kepada orang lain. Yang bersalah, adalah orang yang bersalah. Yang tidak bersalah, tidak akan terpercik oleli kesalahan itu.”

Suratama termangu-mangu sejenak. Sementara Jalawaja lah yang telah tersentuh oleh kata-kata kakeknya itu. Kemarahan dan dendamnya kepada Kangjeng Adipati ingin ditumpahkannya kepada anak perempuannya yang tidak tahu apa-apa. Seandainya Ririswari tidak sejak sebelumnya telah menarik hatinya, seandainya anak Kangjeng Adipati itu orang lain, seorang gadis yang tidak cantik atau seorang remaja laki-laki, apakah ia benar-benar telah membunuhnya.

Jika itu terjadi maka Jalawaja telah bersalah ganda. Ia telah membunuh orang yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali tidak bersalah. Kemudian ternyata pula bahwa Kangjeng Adipati itu sendiri tidak bersalah.

Rasa-rasanya Jalawaja ingin berteriak menyesali perbuatannya itu. Ia telah membuat Ririswari menderita. Kakinya terluka dan hatinyapun telah terluka pula, bahkan agaknya terasa lebih parah daripada luka di wadagnya.

Tetapi Jalawaja masih menahan diri. Tetapi ia berjanji didalam hatinya, bahwa ia harus minta maaf seribu kali kepada Ririswari dan kepada Kangjeng Adipati di Sendang Arum.

Namun agaknya Suratama masih saja ragu-ragu sehingga Ririswari lah yang berkata, “Suratama. Aku akan bersaksi, bahwa kau tidak bersalah. Bahwa kau berniat baik ketika kau menyusulku. Ayah tentu akan mempercayainya.”

“Apakah benar begitu Raden Ajeng?”

“Aku menjadi jaminan Suratama, Jika ayah akan menghukummu, maka akulah yang akan menyandang hukuman itu.”

“Meskipun itu tidak mungkin, tetapi aku percaya, bahwa Raden Ajeng berniat menolongku. Terima kasih. Raden Ajeng.”

“Nah. Marilah. Kangjeng Adipati tentu menunggu dengan hati yang cemas.”

Mereka pun segera meneruskan perjalanan yang sudah tidak terlalu jauh lagi. Meskipun demikian, mereka tidak dapat berjalan lebih cepat. Jalawaja telah membuat sebuah tlumpah dari clumpring yang sudah tua yang sekedar dapat mengurangi pedih kaki Ririswari.

Beberapa lama mereka saling berdiam diri. Di paling depan berjalan Ki Ajar Anggara. Kemudian Jalawaja membimbing Ririswari yang berjalan tertatih-tatih. Suratama dan yang di paling ujung adalah Ragajati dan Ragajaya.

Keduanyaa tidak mengerti, gejolak apa yang telah terjadi sebelum mereka datang menemukan Ririswari yang berjalan bersama Jalawaja dan Suratama.

Hubungan mereka pun di Sendang Arum tidak begitu akrab dengan Suratama dan Jalawaja, meskipun umur-umur mereka hampir sebaya. Ragajati dan Ragajaya memang tidak berada di tengah-tengah pergaulan para anak Tumenggung, karena mereka berada di perguruan mereka.

Perjalanan mereka tidak akan lama lagi Mereka sudah berjalan di jalan yang memanjat naik menuju ke pondok Ki Ajar Anggaran yang berada di lereng bukit.....

********************

Dalam pada itu, di Sendang Arum telah terjadi kesibukan. Kangjeng Adipati Jayanegara dari Pucang Kembar telah datang dengan membawa prajurit segelar-sepapan.

Raden Ayu Reksayuda memang sudah memberitahukan kepada para pemimpin yang berada di bawah pengaruhnya, bahwa ia telah minta bantuan kepada Adipati Pucang Kembar untuk menegakkan kedudukannya. Mereka hanya akan tinggal beberapa bulan saja di Sendang Arum. Jika segala sesuatunya sudah pasti, maka Kangjeng Adipati Jayanegara akan segera meninggalkan Sendang Arum.

Ketika rencana itu diberitahukan kepada Ki Tumenggung Jayataruna, Ki Tumenggung Jayataruna sudah menyatakan keberatannya. Tetapi Raden Ayu Reksayuda dan licin itu sempat mempengaruhi para pemimpin yang lain, sehingga akhirnya, Ki Tumenggung Jayataruna tidak dapat menolaknya.

Karena itulah, maka ketika para prajurit itu benar-benar datang, maka Sendang Arum sudah menyediakan beberapa buah rumah yang besar yang telah disiapkan untuk menjadi barak para prajurit dari Pucang Kembar.

Setelah para prajurit itu mapan di barak mereka masing-masing, maka Raden Ayu Reksayuda telah menerima Kangjeng Adipati Jayanegara di dalam kadipaten.

“Baru hari ini kami tiba, kangmbok” berkata Kangjeng Adipati Jayanegara

“Aku mengerti dimas. Sebagai seorang Adipati, dimas tentu sangat sibuk. Karena itu, maka persoalan Sendang Arum adalah persoalan yang akan diperhatikan nanti-nanti saja. Atau besok atau lusa, atau kapan saja jika sudah sempat.”

“Bukan begitu, kangmbok. Bagiku Sedang Arum selalu mendapat perhatian yang pertama.”

“Hanya kadipaten Sendang Arum?”

“Tentu tidak kangmbok. Tentu ada yang lain yang lebih menarik dari kadipaten Sedang Arum ini sendiri.”

“Benar begitu dimas?”

“Jika tidak, kenapa aku harus bersusah payah datang kemari dengan membawa prajurit segelar-sepapan?”

“Terima kasih dimas. Tetapi setelah dimas menerima utusanku yang memberitahukan bahwa kakang Tumenggung Jayataruna sudah mendesak untuk menagih janji.”

“Tidak. Bukan karena itu. Sebelum utusan kangmbok datang, aku sudah berniat untuk datang kemari.”

“Dimas. Kakang Tumenggung Jayataruna perlu mendapat perhatian khusus. Ia sudah semakin mendesak untuk menagih janji. Aku sudah menjadi semakin sulit memberikan alasan-alasan untuk menolaknya.”

Kangjeng Adipati tersenyum. Namun ia pun bertanya, “Tetapi bagaimana dengan para pemimpin yang lain? Apakah kangmbok sudah berhasil menguasai mereka?”

“Sudah. Aku sudah menguasai mereka Peran kakang Tumenggung sudah mulai berkurang.”

“Jika demikian, kakang Tumenggung Jayataruna itu sudah bukan apa-apa lagi.”

“Kalau ia memaksakan kehendaknya untuk menagih janji?”

“Bukan persoalan yang besar, kangmbok. Aku akan menyelesaikannya”

“Benar dimas?”

“Ya. Aku akan bertanggung-jawab.”

“Baiklah dimas. Jika demikian, sebaiknya sekarang dimas beristirahat saja dahulu. Nanti persoalan kakang Jayataruna akan kita bicarakan lagi.”

“Istirahat? Maksud kangmbok? Bukankah sekarang kita sudah beristirahat?”

“Beristirahatlah di taman, dimas. Tidak di sini. Suasananya akan berbeda. Di keputren kadipaten Sendang Arum ada sebuah taman yang meskipun tidak begitu luas, tetapi memberikan kesan yang khusus.”

“Benar kangmbok?”

“Sebaiknya dimas membuktikannya.”

“Jika demikian, marilah kangmbok. Aku adalah seorang tamu. Jadi aku menurut saja apa yang kangmbok kehendaki.”

Raden Ayu Reksayuda tersenyum. Namun ia pun kemudian melangkah mendahului pergi ke taman keputren kadipaten Sendang Arum. Di belakangnya Kangjeng Adipati Jayanegara berjalan mengikutinya.

Namun mereka terkejut ketika mereka memasuki taman keputren, mereka melihat Ki Tumenggung Jayataruna sudah berada di taman.

“Kakang Jayataruna?”

“Ya Raden Ayu.”

“Apa yang kakang lakukan di sini?”

“Apa yang aku lakukan di sini? Satu pertanyaan yang aneh Raden Ayu.”

“Kenapa aneh?”

“Bukankah aku berada di rumahku sendiri. Kadipaten ini akan menjadi rumahku dan rumah Raden Ayu. Kelak aku tidak akan memanggil Raden Ayu. Tetapi aku akan memanggil diajeng. Raden Ayu tidak akan meipanggil aku kakang. Tetapi kangmas Adipati.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku? Kenapa Raden Ayu mengajukan beberapa pertanyaan yang aneh-aneh hari ini? Bukankah kita sudah berjanji untuk hidup menjadi suami isteri jika segala sesuatunya sudah selesai. Bukankah sudah waktunya aku menagih janji Raden Ayu itu?”

“Tidak. Waktunya masih jauh, kakang Jalawaja dan Ririswari masih belum tertangkap.”

“Keduanya tidak akan tertangkap. Raden Ayu sudah memerintahkan sekelompok prajurit untuk memburu mereka, membunuhnya dan menguburnya di tempat yang jauh dan terpencil. Dengan demikian, maka mereka tidak akan pernah tertangkap. Apakah dengan demikian aku tidak akan pernah menagih janji? Apakah dengan demikian Raden Ayu tidak akan pernah menjadi isteriku?”

“Tidak kakang. Aku tetap pada janji yang sudah kita buat. Kita harus menyelesaikan tugas kita. Baru kita dapat memetik hasilnya. Jika tidak, maka para prajurit dan rakyat Sendang Arum akan menilai perbuatan kita.”

Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya, “Raden Ayu menganggap aku seperti anak-anak saja.”

“Kenapa kakang berpendapat demikian?”

“Tidak Raden Ayu. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Aku mau sekarang Raden Ayu menjadi isteriku. Sekarang.”

“Jangan kehilangan akal, kakang.”

“Raden Ayu mengira bahwa aku tidak tahu apa yang Raden Ayu bicarakan dengan kangjeng Adipati Jayanegara di ruang dalam? Aku mendengarkan Raden Ayu. Aku mengambil kesimpulan, bahwa Raden Ayu akan mengkhianatiku.

“Kakang. Kenapa kakang berkata begitu?”

“Raden Ayu tidak usah ingkar.”

“Sudahlah kangmbok. Biarlah kita berterus-terang”

“Berterus-terang tentang apa, dimas?”

“Tentang kakang Tumenggung Jayataruna.”

“Terus terang bagaimana menurut dimas?”

“Kita tidak memerlukannya lagi.”

Raden Ayu Reksayuda menarik nafas panjang. Sementara itu dengan nada tinggi Ki Tumenggung Jayataruna bertanya, “Apa maksud Kanjeng Adipati?”

“Kau sudah tidak diperlukan lagi, kakang. Gegayuhan Raden Ayu Reksayuda sudah tercapai. Ia sudah berhasil mengusir Kangjeng Adipati Sendang Arum dari Kadipaten berkat bantuanmu. Ia juga sudah menguasai pastikan Kadipaten ini serta seluruh rakyatnya. Juga berkat bantuanmu. Nah, sekarang Raden Ayu Reksayuda tidak memerlukan kau lagi.”

“Jadi?”

“Kau tahu sendiri apa yang akan terjadi pada dirimu. Kalau saja kau tidak menagih janji, mungkin kami akan bersikap lain.”

“Kami siapa yang kau maksud?”

“Kami. Aku dan Raden Ayu Reksayuda.”

“Kalian bukan lagi sosok manusia. Kalian adalah iblis yang paling terkutuk.”

“Jangan menyesali nasibmu yang buruk, Ki Tumenggung Jayataruna.”

“Kau kira aku akan meratap kemudian menggantung diri karena aku diperlakukan seperti ini? Tidak. Aku harus mendapatkan yang aku inginkan. Aku akan menjadi Adipati di Sendang Arum. Raden Ayu Reksayuda akan menjadi isteriku.”

“Bagaimana kau dapat menjadikan aku isterimu jika aku tidak mau.”

“Tidak ada masalah. Mau atau tidak mau. Bagiku sama saja.”

“Jika kau mampu memaksaku, maka yang akan kau dapatkan hanyalah wadagku?”

“Aku memang hanya membutuhkan wadagmu. Bukankah selama ini aku juga hanya mendapatkan wadagmu, bukan hatimu? Dalam ketidak jujuranmu, maka kau bagiku bukan apa-apa lagi kecuali ujud kewadaganmu.”

“Gila. Kau mengigau.”

Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya, “Kau takut Kangjeng Adipati kecewa karena kau bukan lagi seorang perempuan yang bersih?”

“Omong kosong.”

“Kau tawarkan dirimu kepada Kangjeng Adipati di Sendang Arum dengan memancing belas kasihannya. Berurai air mata mohon ampun bagi Ki Tumenggung Reksayuda. Tetapi setiap kau menghadap, kau kenakan pakaianmu yang terbaik, kau rias wajahmu sampai setebal topeng kayu. Kau bentuk bibirmu seperti bibir Candrakirana. Kau bentuk alismu seperti bulan tanggal pertama.”

“Cukup, cukup” teriak Raden Ayu Reksayuda

“Kau pakai tubuhmu sebagai tumbal untuk mencapai keinginanmu. Jika saja kakang Tumenggung Reksabawa seorang Tumenggung yang rakus seperti aku, maka kau pun tentu telah menyuapnya dengan kepalsuanmu itu. Kau tentu berjanji untuk menjadi isterinya kelak jika Kangjeng Adipati sudah terusir dari Kadipaten. Tetapi aku kagum akan kebersihan hati Kakang Tumenggung Reksabawa.”

“Diam. Diam kau. Kau bohong. Semuanya omong kosong. Aku akui, bahwa aku memang bukan perawan karena aku adalah isteri kangmas Tumenggung Reksayuda. Tetapi aku bukan perempuan sekotor yang kau katakap itu.”

Ki Tumenggung Jayataruna tertawa semakin keras. Lalu katanya kepada Kangjeng Adipati Jayanegara, “Nah, Kangjeng Adipati. Itulah perempuan yang bernama Raden Ayu Reksayuda. Jika kau pernah mendengar dongeng Yuyu Kakang dan para Kleting, maka Raden Ayu Reksayuda adalah salah seorang diantara para Kleting itu. Tetapi bukan Kleting Kuning. Meskipun cantik, tetapi ia adalah sisa si Yuyu Kangkang.”

“Diam kau Jayataruna” bentak Kangjeng Adipati, “kau kira aku percaya kepada celotehmu itu? Kau mencoba untuk memfitnah kangmbok Reksayuda karena kemauanmu tidak diturutinya. Itu adalah kebiasaan orang-orang licik yang tidak menghormati harga dirinya sendiri.”

“Apa saja yang kau katakan , tidak akan dapat menghapus kenyataan yang sudah terjadi.”

“Diamlah. Sebentar lagi, kau akan disingkirkan dari taman keputren kadipaten Sendang Arum ini.”

“Siapa yang akan menyingkirkan aku. Aku adalah Jayataruna, Adipati yang baru di Sendangarum. Tidak ada orang yang memiliki kemampuan melebihi kemampuanku.”

“Kau sudah menjadi gila. Tetapi bagiku kau sama sekali tidak berbahaya.”

“Kau mau apa Adipati Pucang kembar. Aku berada di tanahku sendiri. Di bumiku sendiri dan di rumahku sendiri.”

“Aku akan membunuhmu. Kau sudah tidak diperlukan lagi disini. Kau harus disingkirkan, agar kau tidak mengganggu perjalanan kami untuk seterusnya.”

“Adipati Pucang Kembar tidak dapat membuat jantungku berdebar-debar. Jika kau tidak mati di taman ini karena kau berhasil melarikan diri, maka aku akan memburumu. Aku akan menjadikan Pucang Kembar karang abang.”

“Kau bermimpi Jayataruna. Bersiaplah. Aku akan membunuhmu.”

Ketika Kangjeng Adipati bergeser mendekat, maka Ki Tumenggung Jayataruna pun segera mempersiapkan dirinya pula.....

Kangjeng Adipati Pucang Kembar yang sangat marah itu pun segera menyerangnya. Dengan garangnya kangjeng Adipati melanda Ki Tumenggung Jayataruna seperti angin prahara.

Tetapi Ki Tumenggung sudah siap sepenuhnya. Karena itu maka iapun mampu menghindari serangan itu. Bahkan dengan cepat, Ki Tumenggung Jayataruna pun telah membalas menyerang.

Dengan demikian maka pertempuran di taman keputren itu dengan cepat menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka masing-masing.

Kangjeng Adipati adalah seorang Adipati yang masih terhitung muda. Tetapi dengan berbagai laku, Kangjeng Adipati telah menguasai ilmu yang tinggi.

Namun Ki Tumenggung Jayataruna pun memiliki kemampuan yang tinggi. Ia ditempa oleh pengalaman yang berat dalam hidupnya. Semasa remajanya, dan masa-masa mudanya Ki Tumenggung dibentuk dalam suasana yang keras dan berat. Ki Tumenggung Reksabawa lah yang telah mengentaskannya dari dunianya yang kelam dan tidak berpengharapan. Oleh Ki Tumenggung Reksabawa, kehidupan Jayataruna mulai terangkat. Jayataruna mulai melihat peletik-peletik sinar yang menjanjikan masa depan yang lebih baik. Sehingga akhirnya Ki Jayataruna itu pun menjadi seorang Tumenggung.

Dengan demikian, maka perjuangan hidupnya yang berat telah mewarnai kemampuannya. Dengan garang pula Ki Tumenggung Jayataruna mengimbangi serangan-serangan Kangjeng Adipati yang sedang marah itu.

Keduanyapun saling menyerang dan bertahan. Sekali-sekali kaki Kangjeng Adipati terjulur menggapai tubuh Ki Tumenggung. Namun kemudian, Ki Tumenggung lah yang meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah dada. Bahkan sekali-sekali telah terjadi benturan diantara dua kekuatan yang besar itu. Keduanyapun telah tergetar dan terdorong surut beberapa langkah.

Kangjeng Adipati itu tergetar beberapa langkah surut ketika Ki Tumenggung Jayataruna berhasil mengenai dadanya. Tangannya yang terjulur lurus, berhasil menerobos pertahanannya, sehingga terasa seakan-akan segumpal batu padas telah jatuh menimpa dadanya.

Namun Kangjeng Adipati dengan cepat memperbaiki kedudukannya. Ketika Tumenggung Jayataruna meloncat menyerang, maka dengan cepat kaki Kangjeng Tumenggung itu terjulur lurus mengenai lambungnya.

Ki Tumenggung Jayataruna terdorong beberapa langkah surut. Namun Ki Tumenggung masih tetap mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia tidak jatuh terlentang.

Pertempuran pun kemudian menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak.

Namun kemudian ternyata bahwa Kangjeng Adipati Jayanegara dari Pucang Kembar merasa sulit untuk mengimbangi ilmu Ki Tumenggung Jayataruna, sehingga dengan demikian, maka Kangjeng Adipati pun setiap kali berloncatan surut.

Agaknya Raden Ayu Reksayuda mampu melihat kesulitan Kangjeng Adipati. Karena itu, maka ia pun segera meninggalkan taman keputren untuk mencari Ki Tumenggung Prangwandawa. Seorang Senapati dari Pucang Kembar yang memimpin prajurit segelar sepapan dari Pucang Kembar yang datang bersama Kangjeng Adipati.

Agaknya Ki Tumenggung Prangwandawa tidak tahu apa yang terjadi di taman keputren. Karena itu, ketika berlari-lari kecil Raden Ayu Reksayuda menghampirinya di pringgitan, maka Ki Tumenggung Prangwandawa itu terkejut.

“Dimana Kangjeng Adipati sekarang?”

“Di Taman.”

“Apakah Raden Ayu sengaja menjebaknya?”

“Jika aku menjebaknya, maka aku tidak akan memanggilmu.”

Ki Tumenggung Prangwandawa itu pun berlari menuju ke taman keputren.

Di Taman, Kangjeng Adipati benar-benar sudah berada dalam kesulitan. Karena itu, maka Kangjeng Adipati pun segera menarik kerisnya.

“Kau akan mati oleh pusakaku, Jayataruna. Jika pusakaku sudah keluar dari wrangkanya, maka keris ini harus meneguk darah. Kali ini darahmulah yang akan diminumnya.”

Namun Ki Tumenlggung Jayatarunapun segera menarik kerisnya pula sambil beirkata, “Jangan sesumbar, Jayanegara. Kau tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kau tidak dapat mengalahkan aku.”

“Tetapi kerisku yang haus ini akan minum darahmu.”

“Kau lihat, pamor kerisku yang cemerlang. Kerismu bukan apa-apa dibanding dengan kerisku, Jayanegara. Apalagi orang yang memegangnya memiliki kelebihan. Maka jangan menyesal bahwa kau datang ke Sendang Arum sekedar ingin di kubur. Mungkin Raden Ayu Reksayuda akan menangisimu. Tetapi jika mayatmu sudah ditimbun dengan tanah, maka Raden Ayu sudah akan dapat tertawa lagi. Ia sudah melupakanmu, karena ia akan selalu bersamaku.”

“Setan kau Jayataruna” terdengar suara di pintu butulan.

Ketika mereka berpaling, maka dilihatnya Ki Tumenggung Prangwandawa berdiri tegak di pintu sambil bertolak pinggang.

“Kau sadari, apa yang kau lakukan Jayataruna?“

“Kemarilah pengecut. Kau hanya seorang abdi. Kau tidak perlu mengetahui persoalan apa yang telah terjadi. Tetapi jika kau akan menjilalat telapak kaki bendaramu, marilah. Keroyok aku.”

“Anak demit. Kau kira kau ini siapa he?”

“Aku Adipati Sendang Arum. Suami Raden Ayu Reksayuda. Kelak kau harus memanggilnya Gusti Putri. Bukan hanya sekedar Raden Ayu.”

“Kau masih saja mengigau. Apa yang harus hamba lakukan, Kangjeng”

“Kita bunuh orang gila ini.”

“Marilah. Datanglah bersama-sama. Aku akan melumatkan kalian disini.”

Merekapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ki Tumenggung Jayataruna seorang diri melawan Kangjeng Adipati Pucang Kembar dan Senapatinya yang terpercaya. Ki Prangwandawa.

Namun betapa tingginya ilmu Ki Tumenggung Jayataruna, ternyata ia tidak mampu mengimbangi kekuatan kedua orang lawannya. Sehingga sekali-sekali Ki Jayataruna harus berloncatan mengambil jarak.

Namun Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Prangwandawa tidak banyak memberinya kesempatan. Setiap kali mereka segera memburu dan menyerang seperti banjir bandang.

Ternyata bahwa Ki Tumenggung Jayataruna benar-benar terdesak. Ki Tumenggung Prangwandawa pun telah menarik kerisnya pula, sehingga tiga buah keris yang hitam berkilauan dengan suasana warna berbeda, saling menyambar di udara.

Ternyata keris Kangjeng Adipati mampu menembus pertahanan Ki Tumenggung Jayataruna, sehingga ujungnya telah menyentuh kulitnya, sehingga segores luka telah menganga.

Ki Tumenggung Jayataruna segera menyadari, bahwa ia tidak akan mampu mempertahankan dirinya melawan kedua orang itu. Apalagi tubuhnya telah terluka. Ia tahu bahwa keris Kangjeng Adipati itu tentu mengandung bisa yang keras. Karena itu ia harus mempunyai waktu untuk mengobati lukanya itu sebelum bisanya menjalar kemana-mana.

Karena itu, maka Ki Tumenggung yang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu memilih untuk meninggalkan arena pertempuran.

Dengan tangkasnya Ki Tumenggung Jayataruna pun segera berlari ke pintu butulan. Meloncat ke longkangan dan berlari melalui pintu seketeng, turun ke tempat kudanya ditambatkan. Dengan sigapnya Ki Tumenggung Jayayataruna pun telah meloncat ke punggung kudanya.

Sesaat kemudian, maka keduanya pun berlari seperti di kejar hantu meninggalkan dalem kadipaten.

Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Prangwandawa mencoba untuk mengejarnya lewat pintu seketheng, sementara Raden Ayu Reksayuda berlari ke pendapa dan berteriak, “Tangkap Ki Tumenggung Jayataruna. Jangan biarkan orang itu melarikan diri.”

Demang Ngampel dan Demang Wangon terkejut. Serentak mereka berdiri dan bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

“Kalian lihat Ki Tumenggung Jayataruna melarikan diri?”

“Melarikan diri?” bertanya Ki Demang Wangon.

“Ya. Melarikan diri. Siapkan sekelompok orang-orang kalian. Kejar dan tangkap hidup atau mati.”

“Kenapa Ki Tumenggung Jayataruna harus ditangkap?”

“Ki Tumenggung Jayataruna ternyata ular berkepala dua. Ia sangat berbahaya.”

Kedua orang Demang masih termangu-mangu ketika Kangjeng Adipati Jayanegara mendekati mereka dan berkata “Tidak perlu.”

“Tetapi ia sangat berbahaya, dimas” sahut Raden Ayu Reksayuda.

“Tidak seorang pun yang akan dapat bertahan hidup jika kulitnya tergores oleh ujung kerisku seperti Ki Tumenggung Jayataruna. Ia tentu akan segera mati. Bisa di ujung kerisku adalah bisa yang sangat tajam.”

“Tetapi, jika ia mampu mendapatkan obatnya?”

“Tidak. Sulit sekali untuk mendapatkan penawarnya. Sebelum ia menemukan seseorang yang dapat mengobatinya, ia tentu sudah mati. Seandainya Ki Tumenggung itu pulang, maka ia hanya akan mendapat kesempatan sekejap untuk minta diri kepada Nyi Tumenggung.”

Raden Ayu Reksayuda mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Demang Ngampel bertanya, “Apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Ki Tumenggung Jayataruna?”

“Ceritanya panjang, Ki Demang” jawab Raden Ayu Reksayuda “besok aku akan memberikan penjelasan selengkapnya. Tetapi untuk sementara ini aku hanya dapat mengatakan, bahwa Ki Tumenggung Jayataruna telah berjuang tidak bagi kepentingan kalian. Tidak bagi kepentingan rakyat Sendang Arum yang haus akan keadilan dan kebenaran. Tetapi ia berjuang bagi pamrih pribadinya. Pada saat kita berada pada puncak perjuangannya, Ki Tumenggung Jayataruna menjadi seperti orang gila. Aku dipaksanya untuk menuruti keinginannya. Untunglah Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar dan Ki Tumenggung Prangwandawa melihat kekasarannya, sehingga mereka telah menyelamatkan aku.”

Ki Demang Wangon dan Ki Demang Ngampel mengangguk-angguk kecil. Namun mereka nampaknya masih agak ragu terhadap keterangan Raden Ayu Reksayuda itu.

Tetapi mereka tidak bertanya lebih jauh. Apalagi Raden Ayu Reksayuda serta Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Prangwandawa telah masuk lagi ke ruang dalam dalem kadipaten.

“Jangan hiraukan lagi Jayataruna, kangmbok” berkata Adipati Jayanegara kemudian.

“Baiklah, dimas. Aku percaya kepada dimas”

“Ia tidak akan mencapai pintu gerbang kota, Raden Ayu“ berkata Ki Tumenggung Prangwandawa.

Raden Ayu Reksayuda itu mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayataruna melarikan kudanya semakin cepat. Semula ia ingin pulang. Tetapi niat itu diurungkan. Para prajurit di dalem kadipaten agaknya tentu akan mencarinya di rumahnya.

Karena itu, maka Ki Tumenggung pun melarikan kudanya keluar pintu gerbang kota.

Sebenarnyalah bahwa racun di tubuhnya sudah mulai menjalar bersama dengan darahnya. Ketika ia sampai di sebuah bulak yang sepi, Ki Tumenggung menyempatkan diri berhenti sejenak. Diambilnya obat penawar racun yang selalu dibawanya. Dengan hati-hati obat itu pun ditaburkannya diatas lukanya.

Tetapi tidak terasa akibat apa-apa pada luka itu. Tidak ada darah yang kental yang mengalir didesak oleh darah segar didalam tubuhnya. Bahkan di beberapa bagian tubuhnya telah mulai nampak noda-noda yang berwarna kebiru-biruan.

“Gila Adipati Jayanegara. Obat penawar racunku tidak dapat bekerja melawan racun di kerisnya. Tentu bukan warangan biasa. Tentu ada reramuan lain yang dicampur pada warangannya itu.”

Ki Tumenggung Jayataruna pun kemudian kehilangan harapan untuk tetap hidup. Ia akan mati. Tetapi ia tidak mau mati di pinggir jalan tanpa di ketahui oleh siapapun juga.

Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun segera meloncat kembali ke punggung kudanya. Melarikan kudanya seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

“Kemana?” pertanyaan itulah yang terbesit di hatinya.

Namun akhirnya Ki Tumenggung itu berkata kepada diri sendiri, “Tidak ada tujuan yang mapan. Sebaiknya aku menemui siapa saja yang dapat aku ajak bicara tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi di Sendang Arum.”

Ketika tiba-tiba terbersit di kepalanya nama Ki Ajar Anggara, kakek Jalawaja, Ki Tumenggung tidak sempat berpikir lebih panjang lagi. Ia pun segera melarikan kudanya menuju ke lereng bukit. Ke rumah Ki Ajar Anggara. Ia pernah datang ke rumah itu beberapa kali. Terakhir ia menjemput Jalawaja di saat Raden Tumenggung Reksayuda terbunuh. Tetapi Jalawaja ternyata tidak mau datang karena keberadaan Raden Ayu Reksayuda di rumahnya.

Ki Tumenggung Jayataruna tidak tahu persoalan apa yang ada diantara Raden Jalawaja dengan Raden Ayu Reksayuda. Yang diketahuinya Raden Jalawaja tidak setuju jika ayahnya menikah lagi dengan perempuan yang masih jauh lebih muda daripadanya.

“Aku akan mengatakan kepada angger Jalawaja“ berkata Ki Tumenggung Jayataruna didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, tubuhnya semakin lama terasa menjadi semakin lemah. Racun di lukanya benar-benar telah menyebar di seluruh tubuhnya. Hanya karena daya tahannya yang luar biasa, serta-obat penawar racunnya yang sedikit menghambat, maka Ki Tumenggung Jayataruna masih tetap hidup betapapun ia menjadi sangat lemah.

Tetapi kudanya masih berlari dengan cepat.

Ki Tumenggung Jayataruna akhirnya menyadari sepenuhnya, bahwa ia tidak akan mampu melawan racun di ujung keris Kangjeng Adipati. Ia pun tidak dapat berharap banyak kepada Ki Ajar Anggara. Mungkin Ki Ajar Anggara mempunyai obat penawar racun. Tetapi mungkin penawar racunnya itu pun tidak akan berarti apa-apa.

Meskipun demikian Ki Tumenggung Jayataruna ingin sampai ke pondok Ki Ajar untuk memberikan beberapa pesan.

Karena itu dipaksanya tubuhnya yang menjadi semakin lemah itu untuk tetap berpacu di punggung kudanya.

Tetapi semakin lama, Ki Tumenggung merasa dirinya menjadi semakin lemah, bahkan Ki Tumenggung sudah mulai bimbang, apakah ia akan dapat sampai ke pondok kecil tempat tinggal Ki Ajar Anggara. Bahkan apakah mungkin ia akan dapat bertemu dengan Jalawaja, meskipun ketika sekelompok prajurit datang mencarinya di pondok kakeknya, Jalawaja itu tidak ada.

Pengharapan Ki Tumenggung Jayataruna timbul lagi ketika kudanya mulai memanjat tebing di lereng bukit. Pondok itu sudah tidak jauh lagi. Rasa-rasanya sudah berada di jangkauan tangannya yang lemah.

Tetapi tubuh Ki tumenggung menjadi semakin lemah.. Bahkan Ki Tumenggung itu pun kemudian telah menelungkup di leher kudanya. Ki Tumenggung sudah kehilangan tenaganya sama sekali, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika kudanya itu berlari semakin lambat dan akhirnya berhenti. Rerumputan segar yang tumbuh di pinggir jalan sempit agaknya lebih menarik bagi kudanya dari pada harus berlelah-lelah berlari di jalan setapak di lereng bukit.

Sementara itu, sebuah iring-iringan sedang berjalan menuju ke pondok di lereng bukit itu pula. Ki Ajar Anggara, Raden Jalawaja yang membimbing Raden Ajeng Ririswari, Suratama, Ragajati dan Ragajaya.

Ketika mereka muncul dari balik sebuah gumuk kecil, Ki Ajar Anggara tertegun. Di lorong kecil, agak di bawah, nampak seekor kuda dengan seorang penunggangnya yang menelungkup di leher kudanya itu.

“Kau lihat kuda itu, Jalawaja?” bertanya Ki Ajar.

“Ya, eyang.”

“Nampaknya ada yang tidak wajar. Penunggangnya tertelungkup di leher kuda itu.”

“Aku akan melihatnya.”

“Hati-hatilah. Jika itu sebuah jebakan, maka kau harus dengan cepat menghindar.”

“Ya. eyang.”

Namun ketika Jalawaja akan menuruni tebing, Suratama berkata “Aku akan menyertaimu, Jalawaja.”

“Marilah. Tetapi berhati-hatilah.” Keduanya pun kemudian meluncur turun.

“Kau disini saja Raden Ajeng” berkata Ki Ajar Anggara ketika ia melihat Ririswari bergeser menepi ke bibir tebing.

Jalawaja dan Suratama dengan hati-hati mendekati orang yang menelungkup itu. Rasa-rasanya orang itu tidak bergerak. Bahkan nafasnya mulai tidak teratur.

“Agaknya orang itu terluka” desis Jalawaja.

“Ki Sanak. Ki Sanak” panggil Jalawaja.

Tetapi orang itu tidak menjawab. Yang terdengar adalah erang yang tertahan.

Jalawajapun mendekati orang itu. Ketika ia mencoba melihat wajahnya, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Suratama. Paman Tumenggung Jayataruna.”

Suratama terkejut. Dengan serta-merta ia meloncat mendekati tubuh itu dan memperhatikan wajahnya yang sebagian tersembunyi di leher kudanya.

“Ayah. Ayah” Suratama hampir berteriak. Dengan serta – merta dibantu oleh Jalawaja ia mengangkat tubuh itu dari punggung kudanya, meletakkannya ditanah, sedangkan kepala Ki Tumenggung itu berada di pangkuannya.

“Ayah. Ayah” Suratama mengguncang-guncang tubuh ayahnya itu.

Ki Tumenggung membuka matanya. Dengan suara lirih ia pun bertanya, “Kau siapa?”

“Aku Suratama ayah.”

“Suratama? Kau Suratama?”

“Ya, ayah.”

Perlahan-lahan Ki Tumenggung membuka matanya dan mencoba untuk memandang anak muda yang menyangga kepalanya.

“Apakah aku sudah mati dan nyawaku sempat menemui anakku?” desis Ki Tumenggung Jayataruna.

“Tidak. Ayah masih tetap hidup.”

“Bagaimana mungkin aku dapat menemuimu Suratama. Aku sekarang berada di mana?”

Sementara itu, mereka yang berada diatas tebing pun telah turun pula. Dengan hati-hati Ragajati dan Ragajaya membantu Raden Ajeng Ririswari yang ikut turun mendekati Ki Tumenggung Jayataruna.

“Ki Tumenggung” desis Ki Ajar Anggara di telinga Ki Tumenggung Jayataruna.

“Kau siapa?” bertanya Ki Tumenggung lirih.

“Aku Ajar Anggara, Ki Tumenggung.”

“Ki Ajar Anggara” Ki Tumenggung berusaha untuk bangkit.

Tetapi Ki Ajar Anggara menahannya, “jangan bangkit Ki Tumenggung. Nampaknya Ki Tumenggung telah terluka.”

”Aku terluka oleh ujung keris Kangjeng Adipati Jayanegara, Ki Ajar. Keris itu beracun tajam” suara Ki Tumenggung perlahan dan patah-patah.

Ki Ajar Anggara pun segera melihat luka Ki Tumenggung. Nampaknya racun di ujung senjata yang melukai Ki Tumenggung itu sangat tajam. Ki Ajar juga melihat, bahwa luka itu sudah diobati. Tetapi obat itu tidak mampu menghisap racun yang sudah terlanjur berada didalam darah Ki Tumenggung.

Ki Ajar pun kemudian telah mengambil sebuah bumbung kecil. Ditaburkannya serbuk yang berwarna gelap di luka di tubuh Ki Tumenggung Jayataruna.

Ki Tumenggung menggeliat. Ia merasa pedih di lukanya. Namun racun yang telah menjalar di tubuhnya, bahkan sudah menimbulkan noda kebiru-biruan di beberapa tempat itu sangat sulit ditawarkan.

“Ki Tumenggung” berkata Ki Ajar, “tempat ini sudah-tidak terlalu jauh dari rumahku. Marilah. Aku persilahkan Ki Tumenggung pergi ke rumahku. Mudah-mudahan ada cara untuk melawan racun di tubuh Ki Tumenggung.”

“Tidak ada gunanya, Ki Ajar. Aku sudah tidak kuat lagi.”

“Kita berusaha Ki Tumenggung.”

“Aku akan mati.”

“Bukankah kita wenang berusaha meskipun segala sesuatunya akan kita kembalikan kepada Kuasa Yang Maha Agung.”

Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi nafasnya menjadi semakin terengah-engah.

Ki Ajar Anggara telah memasukkan sebutir obat disela-sela bibirnya. Obat yang akan dapat membantu daya tahan tubuh Ki Tumenggung Jayataruna.

Suratama, dibantu oleh Jalawaja, Ragajati dan Ragajaya kemudian mengangkat tubuh Ki Tumenggung itu ke atas punggung kuda. Dikembalikannya Ki Tumenggung seperti keadaan sebelumnya. Menelungkup diatas leher kudanya.

“Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan. Rumahku tinggal beberapa langkah lagi.”

Tetapi mereka tidak memanjat tebing yang tadi mereka turuni. Mereka memilih jalan yang lebih landai. Selain Ririswari yang akan mengalami kesulitan, maka kuda yang mendukung Ki Tumenggung itu pun akan mengalami kesulitan pula.

Perlahan-lahan mereka bergerak menuju ke pondok Ki Ajar Anggara.

Jarak yang pendek itu terpaksa ditempuh dalam waktu yang terhitung panjang. Namun akhirnya mereka sampai ke regol halaman pondok Ki Ajar Anggara.

Ki Tumenggung Reksabawa terkejut melihat iring-iringan itu. Disambarnya tombak pendeknya sambil berdesis di muka pintu “Buka pintu butulan di belakang Kangjeng.”

“Ada apa?”

“Beberapa orang mendatangi tempat ini.”

Kangjeng Adipati masih belum beranjak dari tempatnya.

Bahkan kemudian Kangjeng Adipati itupun ikut melihat keluar lewat pintu depan pondok Ki Ajar Anggara.

Sebelum Kangjeng Adipati melihat yang lain, yang pertama-tama dilihatnya adalah anak perempuannya, Ririswari yang berjalan agak timpang, dengan alas kaki clumpring yang sudah kering.

Tanpa berkata sepatah katapun Kangjeng Adipati telah meloncat menyongsong anak perempuannya ku.

“Riris. Riris” panggil Kangjeng Adipati.

Riris pun melihat ayahnya turun dari tangga pondok Ki Ajar Anggara. Iapun segera berlari mendapatkan ayahnya.

Keduanya berpelukan. Riris tidak dapat menahan air matanya yang mengalir membasahi baju ayahandanya.

“Kau tidak apa-apa Riris?”

“Tidak ayah”

“Syukurlah,”

“Kakang Jalawaja dan Suratama telah menyelamatkan hamba. Kemudian datang pula Ragajati dan Ragajaya yang juga berniat menyelamatkan hamba. Terakhir adalah Ki Ajar Anggara sendiri yang menyusul Ragajati dan Ragajaya.”

Sambil melepaskan Riris. Kangjeng Adipati pun bertanya, “Siapa orang itu dan kenapa?”

“Ayah, Kangjeng. Ayah, Tumenggung Jayataruna,” Suratama lah yang menyahut

“Kakang Tumenggung Jayataruna. Kenapa?”

“Kangjeng” berkata Ki Ajar Anggara menyela, “jika berkenan, aku akan membawa Ki Tumenggung Jayataruna dan membaringkannya di serambi.

“Silahkan. Ki Ajar. Silahkan.”

Sejenak kemudian, Suratama, Jalawaja, Ragajati dan Ragajaya pun mengusung tubuh Ki Tumenggung Jayataruna dan membaringkannya di atas tikar putih di serambi.

“Kakang Jayataruna itu kenapa?” bertanya Kangjeng Adipati.

“Ki Tumenggung” desis Ki Ajar Anggara, “Ki Tumenggung sekarang sedang menghadap Kangjeng Adipati.”

“Kangjeng Adipati siapa? Kangjeng Adipati Jayanegara berniat membunuhku.”

“Bukan. Bukan Kangjeng Adipati Jayanegara. Tetapi Kangjeng Adipati Wirakusumadari Sendang Arum.”

“O. Kangjeng Adipati.”

“Ya. Ini aku kakang.”

“Hamba mohon ampun, Kangjeng. Hamba sudah melangkah ke jalan yang sesat. Hamba menuruti saja keinginan Raden Ayu Reksayuda, sehingga hamba telah diperalatnya tanpa dapat menghindarkan diri.’“

“Apa yang sudah terjadi, kakang?”

“Kangjeng Adipati Jayanegara telah datang ke Sendang Arum dengan prajurit segelar sepapan.”

Jadi Pucang Kembar telah menyerang Sendang Arum dengan memanfaatkan saat-saat Sendang Arum sedang dilanda kekisruhan?”

“Tidak, Kangjeng. Nampaknya antara Kangjeng Adipati Pucang Kembar dan Raden Ayu Reksayuda telah ada kesepakatan. Bahkan agaknya mereka akan mengikat hubungan antara Pucang Kembar dan Sendang Arum dengan tali perkawinan.”

“Maksudmu?”

“Antara Kangjeng Adipati Jayanegara dengan Raden Ayu Reksayuda.”

Kangjeng Adipati Wirakusuma menggeretakkan giginya. Namun kemudian iapun bertanya, “Lalu apa yang terjadi atas dirimu?”

Suara Ki Tumenggung Jayataruna njenjadi semakin rendah dan perlahan, “Hamba berselisih dengan Kangjeng Adipati Pucang Kembar di keputren. Ketika hamba mendesak dan bahkan hampir menguasai medan, Ki Tumenggung Prangwadana, Senapati dari Pucang Kembar yang aku kira seorang yang baik hati sebagaimana hamba temui di Pucang Kembar, telah ikut melibatkan diri, sehingga hamba harus bertempur melawan dua orang lawan.”

“Dan kau terluka, kakang?”

“Hamba Kangjeng. Kangjeng Adipati Jayanegara melukai hamba dengan kerisnya yang beracun.”

“Biarlah Ki Ajar membantumu, mengatasi racun itu, kakang.”

“Tidak, Kangjeng. Tidak ada obat yang dapat menolong hamba. Racun itu kuat sekali.”

Kangjeng Adipati itu memandang Ki Ajar Anggara. Namun Ki Ajar itupun berkata, “Aku sudah memberikan obat terbaik, Kangjeng. Tetapi agaknya racun itu sulit dicarikan penawarnya. Yang kemudian dapat aku lakukan adalah memberikan reramuan untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya.”

“Apakah racun di dalam tubuhnya itu tidak dapat diatasi?”

Ki Ajar Anggara menarik napas panjang. Tetapi ia tidak menjawab.

“Sudahlah Kangjeng. Hamba tidak akan dapat bertahan lama. Obat yang diberikan oleh Ki Ajar Anggara memberikan kesempatan kepada hamba untuk masih dapat bertemu dengan Kangjeng Adipati” Ki Tumenggung itu menarik nafas, panjang. Lalu katanya pula, “Kangjeng. Hamba ingin mohon ampun atas kelakuan hamba. Atas ketidak setiaan hamba. Hamba telah berkhianat kepada Kangjeng Adipati.”

“Sudahlah, jangan pikirkan lagi, kakang.”

“Apakah Kangjeng bersama dengan kakang Tumenggung Reksabawa?”

“Ya.”

“Apakah hamba diperkenankan berbicara dengan kakang Reksabawa?”

“Aku di sini adi” sahut Ki Tumenggung

Reksabawa yang bergeser mendekat.

“Kakang” suara Ki Tumenggung Jayataruna menjadi semakin lirih, “aku mohon maaf kepadamu, kakang. Aku adalah jenis orang yang tidak mengenal terima kasih. Kakang yang seakan-akan menemukan aku sebagai anak jalanan dan kemudian membawa aku kepada kedudukan yang terbaik di Sendang Arum, ternyata sudah aku lupakan. Bahkan aku sampai hati berniat untuk menyingkirkan kakang Tumenggung.”

“Kau tidak usah memikirkan macam-macam persoalan adi. Beristirahatlah sebaik-baiknya.”

Ki Tumenggung Jayataruna mencoba untuk tersenyum. Katanya kemudian, “Suratama.”

“Ya, ayah.”

“Aku tidak akan dapat bertemu dengan ibumu lagi. Suratama.”

“Jangan berkata begitu, ayah. Bukankah Ki ajar Anggara telah memberikan obat kepada ayah.”

“Tetapi aku tidak akan dapat bertahan lagi. Aku akan mati. Tetapi aku tidak menyesal. Pada saat terakhir aku sudah bertemu dengan orang-orang yang telah aku khianati, aku telah bertemu dengan orang-orang yang baik, yang telah sudi mengampuni aku.”

“Tetapi ayah harus bertahan.”

“Suratama. Sampaikan kepada ibumu. Aku minta maaf kepadanya. Ia adalah seorang ibu yang baik, yang setia dan bertanggung jawab. Ketika aku masih berada di tataran terbawah dan hidup dalam kesederhanaan, ibumu tidak pernah mengeluh. Ia menjalankan kewajibannya dengan sepenuh hati. Ibumu selalu melupakan kekurangan-kekurangan yang pernah ada.”

“Ya. ayah.”

“Ia-adalah seorang penurut dan hidup dengan penuh keprihatinan” Ki Tumenggung Jayataruna itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-enggah.

Namun kemudian iapun melanjutkannya, “Tetapi ketika aku berhasil memanjat pada tataran yang tertinggi di Sendang Arum. aku sudah melupakan sangkan paraning dumadi. Aku telah berubah. Dan perubahan ini membuat ibumu menjadi lebih tertekan. Ia menjadi lebih menderita lagi dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Terutama di tilik dari sisi perasaannya” ada setitik air mata di pelupuk Ki Tumenggung Jayataruna, “Suratama. Katakan kepadanya, bahwa aku minta maaf. Seharusnya aku tidak kehilangan diriku sendiri dalam keberhasilanku.”

“Ayah akan dapat mengatakannya sendiri kelak jika ayah sudah sembuh.”

Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan sembuh, Suratama. Aku tahu itu“

“Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung, adi” desis Ki Tumenggung Reksabawa.

“Tidak, kakang. aku tidak mendahului kehendak Yang Maha Agung. Tetapi aku telah menerima isyaratnya, bahwa aku harus segera menghadapNya.”

Ki Ajar Anggara menjadi semakin berdebar-debar. Ketika ia meraba leher Ki Tumenggung Jayataruna, makan wajahnya menjadi tegang. Ki Ajar mengerti, bahwa waktu yang tersisa pada Ki Tumenggung Jayataruna tinggallah sedikit.

Namun agaknya Ki Tumenggung Jayataruna pun menyadarinya. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun telah minta maaf kepada Ki Ajar Anggara, kepada Jalawaja, kepada anaknya kepada putera-putera Ki Tumenggung Reksabawa.

“Aku minta maaf kepada semuanya.”

Kangjeng Adipati yang juga sudah melihat kemungkinan bahwa Ki Jayataruna tidak akan bertahan lebih lagi berkata, “Semua sudah dimaafkan Ki Tumenggung. Tidak ada lagi yang tersisa.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Kemudian kepada Ki Ajar Anggara, Ki Tumenggung itu pun bertanya, “Ki Tumenggung. Apakah Yang Kuasa masih juga mau memaafkan aku?”

“Ki Tumenggung. Yang Maha Agung telah memancarkan kasihnya kepada seluruh bumi ini. Kepada isinya, kepada penghuninya dan kepada semuanya. Juga kepada Ki Ttimenggung Jayataruna. Karena itu, jika Ki Tumenggung memohon dengan sungguh-sungguh ampun akan segala kesalahan yang pernah Ki Tumenggung perbuat, maka Yang Maha Agung itu tentu akan mengampuninya”

“Apakah Ki Ajar berkata sesungguhnya atau sekadar memberikan sedikit penghibur kepadaku disaat terakhir ini?”

“Jika Ki Tumenggung yakin dan percaya dengan tulus, maka pengampunan itu benar-benar akan diberikan.”

Ki Tumenggung Jayataruna tersenyum. Katanya kemudian, “Kangjeng. Nampaknya ada hubungan antara Raden Ayu Reksayuda dengan Kangjeng Adipati Pucang Kembar. Hamba mohon Kangjeng berhati-hati.”

“Ya, kakang. Aku akan berhati-hati.”

Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk kecil. Ia mencoba memandangi orang-orang yang ada disekitarnya. Namun sinar matanyapun menjadi semakin redup.

“Suratama “desisnya.

“Ayah”

Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna sudah memejamkan matanya. Ketika Ki Ajar Anggara menyentuh lehernya, maka ia pun berkata, “Ki Tumenggung sudah berlalu.”

Yang terdengar adalah desah Suratama, “Ayah.”

Suratama itu pun menelungkup ke atas tubuh ayahnya yang terdiam untuk selamanya.

Semua orang yang ada di sekeliling Ki Tumenggung Jayataruna itu menunduk. Mereka telah memberikan penghormatan terakhir pada saat Ki Tumenggung itu memejamkan matanya.

Dendam yang tersimpan di hati, terutama Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa telah hanyut bersama kematian Ki Tumenggung Jayataruna. Bahkan telah timbul perasaan kasihan di hati mereka menyaksikan penyesalan yang mendalam pada Ki Tumenggung Jayataruna disaat terakhirnya. Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna tidak mempunyai waktu lagi untuk memperbaiki kesalahannya. Kesalahan yang sudah terjadi itu tetap saja merupakan satu kesalahan.

Hari itu juga, tubuh Ki Tumenggung Jayataruna yang sudah membeku itu pun telah diselenggarakan sebagaimana seharusnya. Kemudian dikuburkan tidak terlalu jauh dari pondok Ki Ajar Anggara, ditengarai dengan sebuah batu yang besar, dibawah sebatang pohon cangkring.

Di malam hari, semuanya yang ada di pondok Ki Ajar Anggara itu duduk di ruang dalam. Mereka masih memperbincangkan kematian Ki Tumenggung Jayataruna. Mereka juga masih memperbincangkan keadaan di Sendang Arum. Apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Lewat tengah malam, maka Ki Ajar Anggara telah minta agar anak-anak muda yang ada di pondok itu beristirahat di ruang belakang. Di ruang belakang terdapat sebuah amben yang besar, yang akan dapat dipergunakan oleh anak-anak muda itu bersama-sama.

Sepeninggal mereka, Kangjeng Adipati sempat bertanya kepada Ririswari, “Bagaimana pendapatmu tentang Jalawaja dan Suratama? Apakah mereka dapat dipercaya?”

“Menurut pendapat hamba, mereka dapat dipercaya ayah. Apalagi setelah Ki Tumenggung Jayataruna terbunuh. Sementara itu, kakang Jalawaja telah meyakini pula, bahwa bukan ayahanda yang telah bersalah membunuh uwa Tumenggung Reksayuda. Apalagi setelah perkembangan keadaan yang terakhir ini.”

“Baiklah. Jika kau percaya kepada mereka, maka akupun akan mempercayai mereka. Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak sebayanya. Sementara itu, perjuangan untuk mengambil kembali kedudukanku masih panjang.”

“Kangjeng” berkata Ki Tumenggung Reksabawa, “sebaiknya kita jangan menunggu kedudukan Raden Ayu Reksayuda yang didukung oleh Kangjeng Adipati Jayanegara itu menjadi mapan.”

“Aku tahu maksud kakang. Tetapi sudah tentu kita tidak dapat tergesa-gesa. Kita harus mengetahui keadaan yang sebenarnya di Sendang Arum. Kita harus tahu Sikap rakyat Sendang Arum serta para prajuritnya.”

“Hamba mengerti, Kangjeng. Biarlah hamba membuat hubungan dengan para Senapati di Sendang Arum yang mungkin dapat hamba ajak bekerja sama.”

“Itu akan sangat berbahaya bagimu kakang. Jika kakang salah menilai orang, maka kakang akan dapat justru di tangkap dan mengalami nasib yang sangat buruk.”

“Aku mengerti, Kangjeng. Tetapi jika tidak ada langkah-langkah yang pasti, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kita akan tetap saja berada disini sedangkan pemerintahan perlahan-lahan akan terbiasa berada di tangan Raden Ayu Reksayuda dibawah perlindungan Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar.”

Kangjeng Adipati itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki tumenggung Reksabawa pun berkata, “Kangjeng. Selagi aku berhubungan dengan para Senapati, mungkin anak-anak muda itu dapat berpencar dan menghubungi rakyat Sendang Arum. Apakah mereka masih tetap setia kepada Kangjeng Adipati, atau mereka memang sudah berkiblat kepada Raden Ayu Reksayuda.”

“Apakah anak-anak muda itu mampu melakukannya?” bertanya Kangjeng Adipati.

“Kita harus berani mencobanya, Kangjeng. Tetapi menurut penilikan hamba, mereka adalah anak-anak muda yang cerdas dan mempunyai wawasan yang luas.”

“Baiklah, kakang. Jika itu pendapat kakang, maka aku tidak berkeberatan.”

“Besok kita akan berbicara dengan mereka.”

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa itu pun telah beristirahat pula. Karena bilik yang ada dipergunakan oleh Ririswari, maka Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa tidur di amben di ruang dalam. Sementara itu, Ki Ajar Anggara tidur di serambi depan.

“Apakah Ki Ajar tidak kedinginan tidur di serambi?”

“Aku sudah terbiasa Ki Tumenggung.”

Namun Ki Tumenggung itupun berkata, “Kami telah merampas rumah Ki Ajar, sehingga Ki Ajar terpaksa tidur di serambi.”

“Tidak. Tidak Ki Tumenggung. Ketika rumah ini kosong, akupun sering tidur di serambi.”

Demikianlah, maka menjelang fajar mereka pun sudah bangun. Anak-anak muda itu bergantian menimba air untuk mengisi jambangan. Jalawaja yang terbiasa tinggal di rumah itu, telah menyapu halaman dari ujung sampai ke ujung.

Ririswari yang telah bangun pula, langsung pergi ke dapur.

“Sudahlah Raden Ajeng. Duduk sajalah di ruang dalam.

“Aku sudah terbiasa merebus air dan membuat minuman Ki Ajar. Biarlah aku yang melakukan.”

“Tetapi nanti tangan Raden Ajeng menjadi kotor.” Ririswari tersenyum. Katanya “Dimana-manapun sama saja Ki Ajar. Jika kita berada di dapur, maka tangan kita akan dapat menjadi kotor. Di kadipaten pun tanganku menjadi kotor jika aku berada di dapur.”

“Biarlah aku saja yang melakukannya.”

Ririswari tersenyum. Katanya, “Disini ada seorang perempuan, Ki Ajar. Biarlah perempuan itu melakukannya.”

Ki Ajar pun tersenyum pula.

Tetapi ketika Ririswari mulai mengerjakan pekerjaan dapur itu, Ki Ajar langsung mengetahui, bahwa Ririswari belum terlalu biasa bekerja di dapur.

Meskipun demikian, Ki Ajar memberinya kesempatan, meskipun Ki ajar sendiri juga berada di dapur.

Baru setelah Jalawaja selesai menyapu halaman, Jalawaja lah yang menemani Ririswari berada di dapur. Merebus air, menanak nasi dan menyiapkan bumbu masak yang akan di pakai hari itu.

Pagi itu semuanya telah terlibat dalam kerja. Suratama memang sudah terbiasa membantu ibunya di rumah. Jalawaja sudah terlalu trampil, karena setiap hari ia melakukannya. Sedangkan Ragajati dan Ragajaya yang sudah terbiasa hidup di sebuah padepokan pun tahu, bagaimana mereka melakukan kerja sehari-hari.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar