Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 065

Anak muda itu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia- pun kemudian bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”

“Selama ini kau terlalu manja, sehingga kau pada dasarnya tidak mampu berdiri di atas kakimu sendiri. Mungkin kau dapat melakukannya, tetapi kau selalu merasa tidak mampu. Kau selalu merasa dirimu lemah dan tidak berdaya. Kau selalu ketakutan dan tidak mau berbuat salah. Justru karena itu kau tidak berani berbuat apa-apa agar kau tidak membuat kesalahan apapun,” berkata Mahisa Pukat.

“Sebenarnya aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau mempunyai keinginan untuk merubah sifat-sifatmu itu?” bertanya Mahisa Pukat.

Anak muda itu ragu-ragu. Dipandanginya Mahisa Pukat dengan tatapan penuh kebimbangan.

“Kau harus berani mengambil sikap. Sesuatu yang memang tidak pernah kau lakukan. Kau tidak usah bertanya kepada ibumu karena kau yang akan menjalaninya. Jika kau ingin merubah dirimu menjadi orang yang sebenarnya lebih berharga, maka kau harus berani mengambil sikap. Jika kau masih dibayangi oleh ketakutan untuk melakukan kesalahan, atau benar-benar ketakutan karena tidak ada kepercayaan diri, maka selamanya kau akan menjadi beban orang lain,” berkata Mahisa Pukat.

“Tidak,” anak muda itu tiba-tiba menjawab dengan suara menghentak, “kau jangan menghina aku.”

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Mari anak muda. Kau memang pantas dihina jika kau masih tetap mempergunakan pola hidupmu yang lama.”

Jawaban itu justru membuat anak muda itu terdiam. Betapa kemarahan, kecewa dan berbagai perasaan berbaur didalam hatinya, namun ia tidak mempunyai kemampuan untuk menjawab. Karena itu, maka yang terdengar hanyalah gemeretak giginya.

“Bagus,” berkata Mahisa Pukat, “kau masih juga dapat marah. Itu pertanda bahwa kau masih mempunyai harga diri betapa pun kecilnya. Karena itu, aku bersedia membantumu mengembangkan harga dirimu sehingga pada suatu saat kau mempunyai kepercayaan yang mantap pada dirimu sendiri. Dengan demikian, maka kau tidak akan merasa ketakutan lagi melangkahkan kakimu sendiri. Kau tidak akan merasa perlu lagi memanggil-manggil ibumu di saat kau harus mengambil keputusan karena keadaan menjadi gawat. Kau akan dapat merasa hidup dengan sikap pribadimu sendiri.”

Wajah anak muda itu menjadi merah. Tetapi ia sempat juga mendengar jawaban Mahisa Pukat itu dan merenungkannya untuk beberapa saat.

Baru sejenak kemudian, maka ia pun bertanya, “Apakah maksudmu sebenarnya?”

“Sudah aku katakan, aku ingin menolongmu, keluar dari nasib yang sangat buruk itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Apakah kau dapat menyebut, cara yang sebaiknya aku lakukan untuk itu?” bertanya anak muda itu.

“Kau ikut bersama kami,” jawab Mahisa Pukat, “bersama mengembara tanpa tujuan. Mengatasi segala kesulitan yang akan kita jumpai di sepanjang jalan. Mungkin kita harus berkelahi atau bahkan mungkin kita akan terluka atau bahkan mati. Jika kau berani menanggung akibat itu, maka kau dapat pergi bersama kami. Tetapi jika beberapa tahun lagi kau dapat kembali kepada ibumu dengan selamat, kau akan dapat memberikan kebanggaan kepada ibumu. Bukan beban yang tentu akan menjadi semakin berat, karena ibumu menjadi semakin tua, serta semua kekayaan yang ada di rumahmu ini akan dirampas oleh Kabuyutan ini, karena kekayaan itu didapat dengan cara yang tidak sewajarnya.”

Anak muda itu termangu-mangu.

Sementara Mahisa Pukat berkata, “Terserah kepadamu. Kau masih mempunyai waktu semalam untuk berpikir. Malam ini kami berdua masih akan berbicara dengan Ki Buyut dan Ki Bekel tentang berbagai macam persoalan. Tetapi kau harus menyadari, bahwa kau tidak akan dapat menjadi kanak-kanak yang manja sampai hari tuamu nanti. Pada saatnya kau akan berkeluarga, mempunyai anak dan kau adalah sandaran keluargamu. Atau kau akan tetap mencari sandaran baru jika ibumu sudah tua? Kau mungkin akan kawin dengan seorang perempuan yang bersedia menggantikan kedudukan ibumu.”

“Cukup,” potong anak muda kau kira aku bukan seorang laki-laki?”

“Bagus. Kata-katamu itu akan menjadi pangkal renunganmu malam ini. Besok, jika aku pergi, kau sudah mendapat keputusan, apakah kau mau ikut bersama kami, mengembara, menempuh perjalanan berat dan berbahaya atau tinggal di rumah sebagai seorang yang melarat dan tidak mempunyai kepercayaan diri serta diombang-ambingkan oleh keadaan sambil bersembunyi dibawah pelukan ibu yang semakin tua dan rapuh,” berkata Mahisa Pukat.

Anak muda itu tersinggung sekali. Tetapi ia tidak mempunyai kata-kata yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan perasaannya.

Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah meninggalkannya untuk memberikan kesempatan anak itu merenungi kata-katanya.

Anak muda itu memang merenung. Hatinya terasa sakit sekali. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Pukat itu adalah satu kebenaran tentang dirinya. Sehingga karena itu, maka rasa-rasanya ia ingin berteriak keras-keras untuk melepaskan ketegangan di hatinya itu.

Tetapi anak muda itu tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Karena itu, jantungnyalah yang rasa-rasanya akan meledak, sehingga akhirnya, anak muda itu telah menelungkupkan wajahnya dibawah telapak tangannya. Yang meledak kemudian adalah tangisnya.

Sebenarnyalah Mahisa Pukat masih belum benar-benar meninggalkannya. Karena itu dari luar ruangan ia mendengar anak muda itu menangis. Tetapi ia tidak kembali, ia tidak datang kepadanya dan menghiburnya seperti menghibur seorang gadis yang ditinggalkan kekasihnya. Dibiarkannya anak laki-laki muda itu bergulat dengan dirinya sendiri. Karena itu. justru ketika Mahisa Pukat mendengarnya menangis, ia pun benar-benar telah meninggalkannya.

Mahisa Murti telah menunggunya di serambi bersama kakek tua yang pernah menjadi bebahu di Kabuyutan itu. Sejenak mereka berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada anak muda itu.

“Ia akan memilih,” berkata Mahisa Pukat, “aku masih berpengharapan bahwa harga dirinya masih mungkin diungkit. Mudah-mudahan ia masih sempat bangkit.”

Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan kemanakanku itu mampu mengangkat dirinya dari suramnya masa depan. Beberapa hari lagi, ibunya akan menjadi melarat. Jika ia tidak mampu bertahan karena pukulan keadaan itu, maka jiwanya akan dapat terguncang. Ibunya, meskipun seorang perempuan, tetapi ia mempunyai ketabahan yang tinggi.”

“Kami akan membawanya pergi sebelum hal itu terjadi. Meskipun aku telah mengatakan, bahwa keluarganya akan menjadi melarat, tetapi sebaiknya ia tidak melihatnya. Jika kelak ia kembali, mudah-mudahan terdapat perubahan jiwani pada anak muda itu,” berkata Mahisa Pukat.

Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kalian adalah anak-anak muda yang sebaya dengan kemanakanku itu. Memang agak janggal bahwa kalian berlaku sebagai seorang bapa terhadap orang yang seumur dengan kalian. Tetapi tingkat kedewasaan jiwa anak itu benar-benar terbelakang.”

“Sudahlah kek,” berkata Mahisa Murti, “kami akan berusaha. Yang kami lakukan itu adalah karena kami terdorong oleh kecemasan kami melihat masa depannya, justru karena kami sebaya dengan anak itu. Tetapi sudah barang tentu bahwa usaha kami tidak pasti dapat berhasil. Meskipun demikian kami akan berusaha sebaik-baiknya.”

Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Mudah-mudahan ibunya tidak berkeberatan.”

Kedua anak muda itu memang termangu-mangu. Meskipun Mahisa Pukat sudah menganjurkan agar sebagai seorang laki-laki muda ia harus berani mengambil sikap dan keputusan sendiri, tetapi agaknya anak itu memang tidak akan dapat terlepas dari pengaruh ibunya.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berharap bahwa ketabahan hati ibunya tidak akan menghalangi jika anak itu memang berniat meninggalkannya untuk beberapa lama.

Malam itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan kakek tua itu masih harus berbincang-bincang dengan Ki Buyut yang baru beserta Ki Bekel, yang meskipun belum diwisuda, tetapi Sang Akuwu Lemah Warah telah menetapkan, bahwa kedudukan bagi keduanya adalah sah. Ketetapan itu dinyatakan dihadapan orang-orang Kabuyutan itu sendiri.

Ternyata kedua orang saudara sepupu yang terpisah untuk beberapa lama itu telah berhasil mengadakan pendekatan jiwani. Dengan kesadaran bahwa keduanya telah menjadi kehilangan akal dan bahkan kepribadian mereka, maka mereka berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Bukan saja bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi Kabuyutan mereka itu.

Berdasarkan atas pengalaman yang panjang, meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih muda, namun mereka dapat memberikan beberapa pertimbangan yang penting. Kedua orang saudara sepupu itu harus berusaha untuk menumbuhkan ikatan kekeluargaan bagi Kabuyutan yang terkoyak itu.

Setelah itu, maka barulah mereka dapat mulai dengan rencana-rencana mereka untuk meningkatkan kesejahteraan Kabuyutan itu.

Kakek tua itu pun kemudian berkata, “Kalian harus dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh kakek kalian, Ki Buyut tua yang mampu membuat Kabuyutan ini menjadi Kabuyutan yang besar dan disegani.”

Kedua saudara sepupu itu pun mengangguk-angguk.

Sementara itu mereka pun telah membicarakan pula hukuman bagi perempuan tua adik kakek itu. Seperti yang pernah dibicarakan sebelumnya, maka perempuan itu dengan ikhlas akan mengembalikan semua harta yang tidak sah yang pernah diterimanya dari kedua orang saudara kembar yang bernafsu untuk menjadikan anaknya seorang Buyut di Kabuyutan itu.

Bukan karena penghasilan yang akan didapatnya, tetapi semata-mata sebagai jaminan kesejahteraan hidup anak cucunya di masa datang. Meskipun kemudian ternyata bahwa kedudukan itu mampu memberikan penghasilan yang besar meskipun didapatkannya dengan tidak sah.

“Kami akan mengambil sawah, pategalan dan harta benda yang diterimanya,” berkata Ki Buyut, “tetapi kami pun harus membiarkannya untuk tetap hidup dan makan secukupnya.”

“Terima kasih,” desis kakek tua itu, “atas nama adikku, maka keluarga kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.”

“Perempuan tua itu ternyata seorang yang jujur,” berkata Ki Buyut, “sementara itu, kami sangat memerlukan kakek.”

Kakek tua itu menundukkan kepalanya. Hatinya memang tersentuh oleh sikap Ki Buyut yang baru, yang dinilainya sebagai sikap yang bijaksana. Dengan demikian kakek tua itu berharap bahwa sikap itu adalah pertanda yang baik bagi Kabuyutan itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ternyata mempunyai harapan yang baik bagi Kabuyutan yang buram itu. Dengan hati-hati Mahisa Murti berpesan, agar kedua cucu Ki Buyut itu berusaha menebus kesalahan yang pernah mereka lakukan sebelumnya.

Pada kesempatan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta diri pula kepada kedua orang pemimpin baru itu. Dengan nada berat Mahisa Murti pun berkata, “Aku akan datang pada satu kesempatan. Seperti Akuwu, kami ingin melihat pertumbuhan dari Kabuyutan ini. Sikap kami kemudian tergantung kepada keadaan Kabuyutan ini.”

Kedua pemimpin yang baru itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa kata-kata Mahisa Murti itu merupakan harapan, tetapi juga sekaligus ancaman.

“Kami akan selalu menunggu kehadiran kalian,” berkata Ki Buyut, “apa pun yang kami lakukan, tentu masih memerlukan petunjuk dan bahkan peringatan atau celaan.”

Demikianlah, maka kedua pemimpin yang baru di padukuhan itu tidak dapat menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk tetap tinggal di Kabuyutan itu. Mereka akan meninggalkan Kabuyutan itu besok pagi.

“Aku minta diri,” berkata Mahisa Murti, “kalian tidak usah bersusah payah mengantar kepergianku besok. Kami akan pergi dengan diam-diam. Mungkin setelah matahari terbit, tetapi mungkin sebelum itu.”

Kedua pemimpin baru dari Kabuyutan itu termangu mangu. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Kami bukan orang yang datang dengan resmi sebagaimana Akuwu. Karena itu, kami pun akan pergi sebagaimana kami datang.”

Kedua pemimpin yang baru di Kabuyutan itu serta para bebahu tidak dapat merubah rencana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka benar-benar ingin pergi sebagaimana mereka datang. Tanpa pelepasan dengan resmi sebagaimana tidak ada penyambutan di waktu mereka memasuki Kabuyutan itu.

Setelah memberikan pesan-pesan terakhirnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan rumah Ki Buyut di Kabuyutan yang baru saja terguncang itu. Mereka bersama kakek tua itu telah kembali ke rumah adik perempuannya.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat beristirahat. Namun sebelum tidur, Mahisa Pukat memerlukan menemui anak laki-laki perempuan tua itu sambil berkata, “besok pagi-pagi benar, sebelum dini hari, kami akan berangkat. Jika kau mengambil keputusan untuk pergi bersama kami, kau pun harus sudah siap. Jika saat kami berangkat kau belum siap, itu berarti bahwa kau akan tetap berada dalam keadaanmu sekarang. Dan untuk selamanya kau akan menjadi beliau orang lain.”

Anak muda itu tidak menjawab. Namun kemudian anak muda itu telah menemui ibunya untuk menyampaikan persoalan yang dihadapinya. Sebagaimana biasanya, ia tidak mampu memecahkan persoalan itu sendiri.

Ibunya memang terkejut. Tetapi sepercik harapan telah tumbuh di dalam hatinya. Bahkan anaknya itu mempertanyakan kemungkinan itu kepadanya, berarti bahwa betapa pun kecilnya anaknya itu tertarik kepada tawaran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ternyata bahwa secara jiwani perempuan tua itu memiliki keberanian yang besar. Dengan tabah ia telah berusaha untuk mendorong anaknya agar ia bersedia pergi bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kau dapat melihat kenyataan itu,” berkata perempuan tua itu, “keduanya umurnya tidak terpaut banyak dengan umurmu. Tetapi keduanya itu memiliki kematangan jiwa yang jauh lebih dewasa dari kau. Karena itu, aku menganjurkan agar kau bersedia pergi bersama mereka. Di sepanjang jalan kau akan mendapatkan pengalaman yang tentu akan berarti bagi hidupmu di masa mendatang.”

Anak muda itu termangu-mangu. Masih terngiang ditelinganya kata-kata Mahisa Pukat, bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan yang berat. Mungkin mereka akan menjumpai bahaya. Mungkin mereka akan mengalami cidera bahkan mungkin mereka akan terbunuh di perjalanan.

Melihat anaknya termangu-mangu ibunya pun berkata, “Apa yang kau pikirkan? Kesulitan di perjalanan? Kau memang akan menjumpai banyak kesulitan. Perjalananmu mungkin akan sangat berat bagimu. Tetapi jika kau berhasil lolos dari kesulitan selama perjalanan, maka aku kira kau sudah akan menjadi orang lain.”

“Apakah aku pasti keluar dari kesulitan di perjalanan itu?” bertanya anak muda itu.

“Belum tentu,” jawab ibunya, “mungkin kau gagal. Tetapi kau wajib berjuang untuk berhasil. Jika kau menyerah, maka kau benar-benar akan hancur di perjalanan. Tetapi jika kau berjuang, maka kau akan mempunyai kemungkinan untuk berhasil. Meskipun segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha Agung, tetapi kita diwajibkan berbuat sesuatu.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih ragu-ragu. Namun apa yang dikatakan oleh ibunya itu mirip sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Pukat.

Ternyata ketabahan hati ibunya telah berpengaruh pula atas anak muda itu. Meskipun ia masih saja ragu-ragu, tetapi rasa-rasanya ibunya memang telah memberi kekuatan kepadanya. Ia merasa bahwa untuk beberapa lama ia memang bersandar kepada ibunya tanpa dapat berbuat sesuatu. Kini ibunya telah memberikan dorongan kepadanya untuk berbuat sesuatu, meskipun sesuatu itu ternyata cukup berbahaya baginya. Ibunya sama sekali tidak menangisinya meskipun kemungkinan terburuk dapat terjadi atas dirinya.

Beberapa saat anak muda itu berpikir. Namun akhirnya harga dirinya telah berhasil terungkit dari dasar hatinya. Karena itu, maka ia pun telah memutuskan untuk pergi bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ketika keputusan itu disampaikannya kepada ibunya, maka terasa mata ibunya menjadi panas. Tetapi ibunya benar-benar berusaha untuk bertahan agar ia tidak menangis. Tidak menangis karena terharu. Tetapi juga tidak menangis karena ia akan ditinggalkan oleh anaknya yang dicintainya.

Tetapi adik perempuannyalah yang menangis. Namun ibunya berhasil menghiburnya dan meyakinkannya bahwa kakaknya itu akan pergi untuk waktu yang tidak terlalu lama.

Di pagi hari, demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersiap, ternyata anak muda itu pun telah bersiap pula. Ia telah membawa bekal beberapa lembar pakaian dan uang yang cukup. Bagaimanapun juga ibunya tidak akan merelakan anaknya kelaparan di perjalanan. Bahkan ibunya telah membekalinya dengan keris pusaka ayahnya yang dibalut dengan pendok emas. Ibunya telah berpesan, dalam keadaan yang memaksa, ia dapat menjual pendok emasnya. Tetapi jangan kerisnya.

Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkeberatan. Ia menganjurkan agar keris itu tidak dibawanya.

“Benda yang sangat berharga itu tidak diperlukan,” berkata Mahisa Murti.

“Ini pusaka yang bertuah,” berkata anak muda itu.

“Tinggalkan saja benda peninggalan orang tuamu itu, agar tidak hilang di perjalanan. Ada beberapa sebab yang dapat membuat kau kehilangan benda itu. Karena itu, aku anjurkan agar kau tidak usah membawanya,” desak Mahisa Murti.

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun pamannyalah yang berkata, “Tinggalkan saja keris itu. Kau akan membawa pedang sebagaimana kedua anak muda yang akan kau sertai. Meskipun kau belum pernah mempelajari bagaimana harus mempergunakan pedang, terlebih-lebih lagi ilmu pedang, namun senjata itu mungkin berarti bagimu.”

Anak muda itu tidak menjawab. Namun kakek tua itu pun kemudian berkata, “Singgahlah di rumahku. Kau dapat membawa pedangku.”

Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah meninggalkan padukuhan itu. Anak muda yang manja itu telah dengan ketetapan hati meninggalkan segala-galanya. Meninggalkan ibunya yang menjadi sandarannya, meninggalkan adiknya, padukuhannya dan semuanya. Yang dibawanya hanyalah uang secukupnya, pakaian dan pedang yang diberikan oleh pamannya, meskipun ia tidak tahu bagaimana mempergunakannya.

Seperti yang diminta, maka tidak seorang pun yang melepas kepergian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka memang tidak memerlukannya. Bagi mereka, adalah lebih bebas jika mereka pergi begitu saja.

Beberapa lama kemudian, mereka telah berada di luar Kabuyutan. Memang ada perasaan berat untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi anak muda itu telah menggeretakkan giginya setiap kali untuk menekan perasaannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti gejolak perasaan di hati anak muda itu. Namun untuk beberapa lamanya mereka tidak menanyakannya. Mereka justru berbicara tentang jalan yang mereka lalui. Tentang sawah dan pategalan dan tentang air yang mengalir di parit-parit.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan panasnya bagaikan menyengat kulit, maka keringat pun telah terperas dari dalam tubuhnya.

Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah menjadi letih. Lehernya bagaikan menjadi kering kehausan. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengerti keadaannya. Mereka tidak sebaiknya memaksa anak muda itu untuk berjalan terus pada hari yang pertama. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menawarkan kepada anak muda itu untuk beristirahat.

“Aku tidak lelah,” jawab anak muda itu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui bahwa ia telah memaksa diri. Karena itulah maka Mahisa Pukat pun berkata, “Aku mulai merasa haus. Panasnya bukan main. Kita berhenti sebentar di bawah pohon itu. Nanti jika kita melewati kedai minum atau penjual dawet cendol, kita akan berhenti.”

Anak muda itu tidak menjawab. Sebenarnyalah ia merasa kakinya menjadi seberat batu dan lehernya menjadi kering.

“Ternyata mereka juga lelah dan haus,” berkata anak muda itu di dalam hatinya. Lalu “Jika demikian, maka kekuatan kakiku tidak terpaut banyak dengan mereka.”

Tetapi hal itu disimpannya saja didalam hatinya, meskipun keadaan itu dapat menumbuhkan permulaan dari kepercayaan kepada diri sendiri.

Beberapa saat mereka beristirahat dibawah sebatang pohon yang rindang di pinggir jalan. Perasaan lelah mereka memang berkurang. Tetapi tidak dengan perasaan haus yang bagaikan mencekik leher.

Untunglah bahwa beberapa saat kemudian, di jalan itu lewat seseorang yang agaknya baru pulang dari pategalan membawa beberapa buah kelapa.

Mahisa Pukat lah yang kemudian menghentikan orang itu. Ia ingin membeli beberapa buah kelapa sekedar untuk diminum airnya.


Tetapi orang itu tersenyum sambil menggeleng. Katanya, “Jika kalian hanya kehausan saja, sebaiknya kalian tidak usah membelinya.”

Tanpa diminta orang itu pun kemudian telah memecahkan beberapa buah kelapa dan memberikan airnya kepada ketiga orang yang kehausan itu.

“Terima kasih,” berkata ketiga orang anak muda itu hampir berbareng.

Orang itu memang menolak untuk menerima uang dari Mahisa Pukat.

Ketika orang itu melangkah pergi, Mahisa Pukat pun berkata, “Kita melanjutkan perjalanan. Jika kita terlalu lama beristirahat, aku tentu akan tertidur di sini.”

Mahisa Murti pun kemudian telah bangkit pula berdiri sambil berkata, “Marilah. Kita lanjutkan perjalanan.”

Bertiga mereka melanjutkan perjalanan. Mereka mengikuti jalan yang mereka lalui tanpa memasuki jalan simpang.

“Kita ke mana?” bertanya anak muda yang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.

Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab, “Sudah aku katakan. Kita berjalan tanpa tujuan.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Ketika matahari mulai turun, maka rasa-rasanya perut mereka memang menjadi lapar. Karena itu, maka mereka pun kemudian telah singgah di sebuah kedai.

Di kedai itu mereka dapat makan dan minum sebanyak mereka perlukan. Beberapa jenis makanan dan minuman telah tersedia.

Setelah beristirahat beberapa saat, maka ketiganya pun telah melanjutkan perjalanan pula. Seperti yang terjadi di siang hari, maka menjelang gelap mereka pun telah singgah lagi di kedai dan kemudian melanjutkan perjalanan lagi.

Anak muda yang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mulai berpikir. Pengalaman yang manakah yang akan berarti bagi dirinya, jika mereka hanya berjalan saja dan setiap kali berhenti untuk makan dan minum?

Tetapi anak muda itu tidak bertanya kepada kedua orang bersaudara itu. Keduanya adalah orang-orang yang sudah cukup berpengalaman sehingga pada suatu saat tentu akan terjadi perubahan pada nafas perjalanan mereka.

Namun yang mulai mendebarkan terjadi ketika malam turun. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai berbicara di mana mereka akan tidur.

“Kita pergi ke bukit kecil yang remang-remang kelihatan itu,” berkata Mahisa Pukat, “di sana tentu banyak terdapat batu-batu padas yang dapat dipakai untuk alas tidur.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Namun anak muda yang menyertai mereka itu berkata, “Apakah kita akan pergi ke bawah pohon raksasa itu?”

“Bukankah kita akan terlindung karenanya? “ Mahisa Pukat justru bertanya.

Tetapi anak muda itu berkata, “Kenapa kita tidak pergi saja ke padukuhan? Kita akan bermalam di banjar.”

“Kenapa di banjar? Di banjar tentu banyak orang. Kita kadang-kadang justru tidak akan dapat tidur,” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi aku tidak tertarik untuk bermalam di bawah pohon itu,” berkata anak muda itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Kita akan mencoba untuk bermalam di banjar padukuhan di hadapan kita itu.”

Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia pun mengingat anak muda yang belum pernah mengembara sama sekali itu.

Biasanya ia tidur di sebuah bilik yang rapat dan hangat. Terang oleh cahaya lampu minyak dan diselimuti oleh kain panjang yang melindunginya dari gigitan nyamuk.

Ketiga orang itu pun kemudian telah memasuki sebuah padukuhan yang cukup besar. Tetapi karena malam baru saja menjadi gelap, maka gardu di mulut lorong itu masih kosong.

Ketiga orang itu berjalan terus. Meskipun mereka belum pernah memasuki padukuhan itu, tetapi mereka yakin bahwa banjar padukuhan itu tentu terletak di pinggir jalan itu.

Sebenarnyalah ketika jalan yang mereka lalui itu menikung sedikit, maka di belakang tikungan itu terdapat banjar padukuhan.

Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah memasuki halaman banjar dengan ragu-ragu. Namun kemudian seorang tua telah mendekati ketiga orang anak muda itu sambil bertanya, “Siapakah yang kalian cari anak muda?”

Mahisa Murti lah yang kemudian mengangguk hormat berkata, “Ki Sanak. Kami adalah pengembara yang kemalaman di jalan. Jika diperkenankan, kami bermaksud untuk mohon belas kasihan, bermalam di banjar ini.”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ketiga orang anak muda itu berganti-ganti. Kemudian diluar sadarnya orang tua itu memandang pada pedang yang tergantung di lambung anak-anak muda itu.

“Kalian bersenjata?” bertanya orang tua itu.

Mahisa Murti sekali lagi mengangguk hormat sambil menjawab, “Ki Sanak. Kami pejalan yang melalui daerah yang kadang-kadang tidak dapat diduga isinya. Karena itu kami memang membawa senjata sekedar untuk melindungi diri sendiri.”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah kau tidak akan menimbulkan keributan di sini?”

“Tentu tidak,” jawab Mahisa Murti.

“Baiklah,” berkata orang tua itu. Lalu katanya pula, “marilah, aku tunjukkan tempat yang dapat kalian pakai untuk bermalam.”

Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah mengikuti orang tua itu. Mereka dibawa ke serambi belakang banjar itu. Di serambi yang tertutup oleh dinding di sebelah sisinya itu, terdapat sebuah amben yang cukup besar.

“Baiklah. Pergunakan tempat ini sebaik-baiknya. Tetapi ingat, jangan membuat keributan di sini. Sebentar lagi banjar ini akan menjadi ramai oleh anak-anak muda yang bertugas. Jika kalian berbuat sesuatu yang tidak disukai mereka, maka kalian akan dihukum,” berkata orang tua itu.

“Terima kasih,” Mahisa Murti menyahut, “kami akan berbuat sebaik-baiknya.”

Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun telah ditinggalkan oleh orang tua yang menyebut dirinya sebagai penunggu banjar itu. Orang tua itu telah menunjukkan di mana mereka harus membersihkan diri dan keperluan-keperluan lain.

“Tetapi kalian harus mengisi jambangan itu sendiri,” berkata orang tua itu, “tenagaku sudah tidak kuat untuk menimba air bagi kalian.”

“Ya, ya Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “kami akan mengisi jambangan itu.”

Ketika orang tua itu telah meninggalkan mereka, maka ketiga orang anak muda itu memang berganti-ganti pergi ke pakiwan.

Pada saat anak-anak muda itu selesai dan duduk bertiga di amben di serambi itu, maka di pendapa banjar itu, mulai berdatangan anak-anak muda yang bertugas. Bahkan anak-anak muda yang tidak sedang bertugas pun ada juga yang ikut datang untuk sekedar berkelakar dan berbincang-bincang. Namun agaknya anak-anak muda itu tidak mengetahui, bahwa di serambi belakang ada tiga orang anak muda yang bermalam.

Karena ketiga anak muda itu pun tidak mempunyai kepentingan apa pun selain menumpang tidur, maka mereka pun tidak pula beranjak dari tempat yang sudah diberikan kepada mereka.

Ketika tengah malam tiba, maka anak-anak muda yang tidak bertugas pun mulai berangsur-angsur berkurang. Satu-satu mereka meninggalkan banjar dan kembali pulang. Ada di antara mereka yang langsung menuju ke sawah di saat mereka mendapat giliran air untuk membasahi tanaman di sawahnya.

Lewat tengah malam, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertainya itu terkejut. Orang tua penunggu banjar itu telah membangunkan mereka.

“Maaf, aku telah mengganggu,” berkata orang tua itu.

“Ada apa Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti, yang sebenarnya tidak tertidur, karena bergantian dengan Mahisa Pukat ia harus berjaga-jaga.

“Anak-anak muda yang bertugas di pendapa sedang makan. Aku kira kalian juga belum makan sore tadi. Karena itu, marilah, aku membawa makan dan minum untuk kalian,” berkata orang tua itu.

Meskipun sebenarnya ketiga orang anak muda itu sudah makan di kedai menjelang senja, sebelum mereka memasuki padukuhan itu, namun hampir berbareng mereka pun telah mengucapkan terima kasih pula.

Ternyata orang tua itu sangat baik kepada mereka. Meskipun ketiga orang anak muda itu menyebut diri mereka pengembara, namun orang tua itu tetap memperlakukan mereka dengan baik. Bahkan ketika para petugas mendapat makan di tengah malam, mereka pun telah mendapatkan pula.

Setelah makan malam dan membenahi alat-alat yang dipergunakan, anak-anak muda itu tidak langsung berbaring lagi. Mereka duduk-duduk sambil berbicara perlahan-lahan tentang orang tua yang baik itu.

Namun dalam pada itu, laki-laki tua yang mengambil mangkuk dan sisa makanan itu pun berkata kepada mereka bertiga, “Pemabuk itu datang lagi.”

“Siapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Pemabuk. Sayangnya ia berilmu tinggi. Ia mulai bertingkah di halaman. Anak-anak muda kadang-kadang membiarkannya saja, karena pemabuk itu hanya berteriak-teriak. Namun kadang-kadang pemabuk itu telah melakukan tindakan yang tidak pantas, sehingga anak-anak muda harus mengusirnya.” orang itu berhenti sejenak. Tetapi kemudian katanya, “Pemabuk itu kadang-kadang mau juga pergi. Tetapi jika ia mulai menjadi liar, maka tidak seorang pun yang berani bertindak atas dirinya. Apalagi malam ini ia datang bersama seorang kawannya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun mereka hanya mengangguk-angguk saja. Bahkan orang tua itu kemudian berpesan, “jangan menampakkan diri. Jika pemabuk itu melihat orang yang tidak dikenalnya, kadang-kadang ia menunjukkan sikap yang tidak bersahabat. Padahal dalam keadaan yang demikian tidak seorang pun yang dapat mencegahnya.”

“Baik Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.

Ketika orang tua itu pergi, maka anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berdesis, “Marilah. Kita pergi saja dari banjar ini.”

“Pergi ke mana?” bertanya Mahisa Pukat.

“Jika pemabuk itu menjadi liar, kita dapat dicelakainya,” jawab anak muda itu.

“Kita tidak menampakkan diri seperti pesan orang tua yang baik hati itu. Kita tetap di sini,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi kalau orang itu kemari?” anak muda itu memang menjadi ketakutan.

Namun Mahisa Pukat menjawab, “Bukankah kau membawa pedang? Jika ia mengganggu kita, maka kita akan dapat melindungi diri kita sendiri.”

Keringat dingin mulai mengalir di punggung anak muda itu. Ia menyadari, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu tidak akan takut menghadapi pemabuk itu. Tetapi ia sendiri tidak akan mampu bermain pedang sebagaimana kedua anak muda itu.

Tetapi ternyata bahwa nalarnya masih juga berputar. Yang datang hanya seorang pemabuk dan seorang kawannya. Jika keduanya akan mengganggu mereka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu sudah cukup kuat untuk mengatasinya.

Meskipun demikian anak muda itu menjadi gelisah pula. Pemabuk itu berilmu tinggi. Jika kemampuannya melampaui kedua anak muda itu, maka keadaannya pun akan menjadi sulit pula.

Demikianlah, untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang anak muda itu duduk dengan diam. Mereka bagaikan membeku justru ketika mereka mulai mendengar keributan di pendapa.

Nampaknya pemabuk dan seorang kawannya itu mulai melakukan perbuatan yang tidak pantas di banjar itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta anak muda yang menyertainya itu masih belum beranjak dari tempatnya. Mereka memang mendengar orang berteriak-teriak. Agaknya pemabuk itu menjadi liar, sehingga tidak mau digiring keluar oleh anak-anak muda yang bertugas di banjar itu.

Bahkan sejenak kemudian telah terdengar barang-barang yang pecah dan bentakan-bentakan kasar. Bahkan kemudian langkah-langkah di halaman. Agaknya beberapa orang anak-anak muda telah turun dan berlari-larian di halaman.

“Apa yang dilakukan oleh pemabuk itu?” bertanya anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggeleng. Dengan nada rendah Mahisa Murti menjawab, “Bukankah kita belum tahu apa yang terjadi di bagian depan banjar ini?”

Anak muda itu terdiam. Seharusnya ia pun mengetahui, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bersama-sama dengan dirinya berada di serambi belakang juga tidak mengetahui apa yang telah terjadi.

Namun anak muda itu menjadi sangat gelisah. Ia benar-benar merasa ketakutan, bahwa pemabuk itu akan mencelakainya.

Beberapa saat kemudian, anak-anak muda yang berada di banjar itu telah berlari-larian di halaman. Mereka berlari bercerai berai. Pemabuk itu memang menjadi liar dan tidak mau meninggalkan banjar. Bahkan ia mulai merusak beberapa benda yang ada di banjar itu termasuk mangkuk-mangkuk yang belum disingkirkan setelah para peronda makan.

Ketiga orang anak muda di serambi itu kemudian mendengar dua orang yang menyingkir di sebelah dinding. Ketiganya mendengar seorang di antara anak muda itu berkata, “Kita laporkan Ki Bekel.”

“Selama itu, kedua pemabuk itu tentu sudah merusak seisi banjar ini,” jawab yang lain.

“Tetapi daripada tidak sama sekali,” berkata yang pertama.

“Bagaimana jika keduanya kita pancing keluar,” berkata yang lain.

“Siapa yang berani melakukannya. Orang yang berani memancingnya harus berani menanggung akibat yang paling parah sekalipun. Pemabuk itu benar-benar menjadi liar dan buas. Ia akan dapat membunuh. Sedangkan tidak seorang pun di padukuhan ini yang berani menghukumnya. Bahkan dalam keadaan tidak mabuk sekalipun,” jawab yang pertama.

“Tetapi aku kira memang lebih baik kita lapor,” desis yang lain.

Namun sebelum mereka bergerak, terdengar teriakan, “Aku bakar banjar ini.”

Terdengar suara lain yang tidak kalah lantangnya, “Ya. Kita bakar banjar ini.”

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang berkepanjangan.

“Mereka akan membakar banjar ini,” desis salah seorang dari kedua orang di sisi dinding itu.

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Kawan-kawan kita sudah berlarian,” jawab kawannya.

Nampaknya keduanya dicengkam oleh ketegangan. Sementara itu Mahisa Murti telah menggamit Mahisa Pukat. Ketika Mahisa Pukat mengangguk, maka Mahisa Murti pun kemudian bergeser dan turun dari amben bambu itu diikuti oleh Mahisa Pukat.

Kedua orang itu terkejut. Dengan gagap seorang di antara mereka bertanya, “Siapa kau?”

“Maaf Ki Sanak. Kami adalah pengembara yang mohon belas kasihan bermalam di banjar ini,” jawab Mahisa Murti.

Kedua orang anak muda itu saling berpandangan sejenak. Kemudian seorang di antara mereka bertanya, “Kalian mau apa?”

Mahisa Murti lah yang menjawab, “Ki Sanak. Sebenarnya kami tidak ingin turut campur. Kami hanya ingin menumpang tidur. Dan ternyata kami telah mendapat perlakuan yang sangat baik. Namun agaknya telah terjadi sesuatu di banjar ini.”

“Apakah kau telah mendengarnya?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Tentu. Kami mendengarnya,” jawab Mahisa Murti.

“Nah, dengar pula suara mereka itu” desis anak muda itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Suara orang mabuk itu masih terdengar, “Kita bakar banjar ini. Di dalam tentu ada persediaan minyak lampu. Kita siram gledeg itu, kemudian kita nyalakan. Sebentar lagi atap banjar ini pun akan menyala pula. Jika ada orang yang ingin memadamkan apinya, kita bunuh mereka.”

Kemudian disusul suara tertawa berkepanjangan.

“Apakah kalian tidak mencegah mereka?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami tidak mampu,” jawab anak-anak muda itu hampir berbareng. Kemudian seorang di antara mereka melanjutkan, “Mereka dapat membunuh kami. Kedua orang yang sedang mabuk itu berilmu tinggi. Mereka memang jahat.”

“Mereka melakukan hal ini dalam ketiadaan kesadaran,” berkata Mahisa Murti.

“Tidak mabuk pun mereka sangat berbahaya. Mereka dapat melakukan tindakan yang tidak terduga-duga. Pada satu saat mereka berbuat baik. Namun tanpa sebab, mereka dapat melakukan sesuatu yang sangat merugikan orang lain. Bahkan melukai dan menyakiti. Seorang tetangganya justru telah menjadi cacat. Dalam keadaan mabuk, kedua orang itu selalu mengancam akan membunuh jika mereka menjadi liar. Meskipun kadang-kadang kami sempat menggiring mereka keluar,” jawab salah seorang dari mereka.

“Apakah sekarang mereka menjadi liar?” bertanya Mahisa Pukat.

“Sebagaimana kau ketahui, mereka akan membakar banjar. Mula-mula kami hampir berhasil membawa mereka keluar. Namun tiba-tiba mereka terkejut oleh tingkah laku salah seorang kawan kami yang kasar, sehingga mereka justru menjadi marah dan melakukan sebagaimana kalian ketahui sekarang,” berkata anak muda itu.

“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat, “apakah kami diijinkan untuk menangkap mereka?”

“Kalian berani menangkapnya?” bertanya anak muda itu.

“Kami tidak. Tetapi saudara kami itulah yang akan melakukannya,” jawab Mahisa Pukat sambil menunjuk kepada anak muda yang menyertainya.

Anak muda itu terkejut. Wajahnya menjadi tegang. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, maka Mahisa Pukat telah berkata lebih lanjut, “Nah, yang kami perlukan hanyalah persetujuan kalian, karena kalian termasuk yang bertugas malam ini.”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Cepatlah lakukan sebelum banjar ini benar-benar terbakar.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berpaling kepada anak muda yang menyertainya itu sambil berkata, “Cepatlah. Jangan terlambat.”

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meloncat ke halaman depan, maka anak muda itu pun segera mengikutinya. Bukan karena ia memang ingin menangkap kedua orang pemabuk itu. Tetapi justru karena ia ketakutan ditinggal oleh kedua bersaudara itu.

Dari halaman depan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang melihat kedua orang pemabuk itu. Nampaknya mereka benar-benar ingin membakar banjar. Seorang di antara mereka telah menggapai lampu minyak dengan pedangnya. Namun karena ia sedang mabuk, maka usahanya tidak segera berhasil. Ujung pedangnya yang gemetar itu tidak dapat dengan serta merta mengenai sasaran, meskipun lampu minyak itu tidak terlalu tinggi.

Namun sambil tertawa orang itu berkata, “Lampu jahanam. Ia dapat menghindarkan diri dari tusukan pedangku.”

Kedua orang yang mabuk itu masih juga sempat terkejut ketika mereka mendengar tepuk tangan di halaman. Dengan pandangan yang kabur mereka melihat tiga orang anak muda yang bertepuk tangan itu.

“Bagus,” teriak Mahisa Pukat, “coba sekali lagi. Apakah kau mampu memukul lampu minyak gantung itu?”

Kedua pemabuk itu menggeram. Seorang di antara mereka melangkah maju mendekati tangga pendapa, “Masih ada tikus-tikus kecil yang berkeliaran di sini he?”

“Betapa bodohnya seekor cucurut yang ingin menggapai bintang di langit. Agaknya masih tampan wajah seekor tikus pohon daripada tikus tanah yang berbau busuk,” jawab Mahisa Pukat.

Anak muda yang menyertainya itu menarik lengan Mahisa Pukat sambil berkata, “Kenapa kau cari perkara? Bukankah ini bukan perkaramu?”

Mahisa Pukat tertawa. Namun perhatiannya segera tertuju kepada orang yang mabuk itu, “Kemarilah. Anak-anak menunggumu. Bukankah kau ingin berlomba melawan mereka?”

“Berlomba apa?” bertanya orang yang sedang mabuk itu.

“Gulat. Bukankah kau menantang kami untuk bergulat?” jawab Mahisa Pukat.

Kedua orang itu termangu-mangu. Jawaban itu terdengar agak aneh di telinga mabuk mereka. Namun tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata sambil tertawa, “Bagus. Kita akan berkelahi. Tetapi tidak dengan peraturan khusus. Kita akan berkelahi menurut kemampuan kita masing-masing, sampai salah seorang di antara kita mati.”

“Bagus,” jawab Mahisa Pukat. Lalu ia pun berpaling kepada anak muda yang menyertainya, “nah, kau mendapat kesempatan sekarang.”

“Tidak. Aku tidak menghendaki,” jawab anak itu.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa tidak?”

“Itu bukan urusanku. Aku sudah mencegahmu. Tetapi kau tidak menghiraukannya,” berkata anak muda itu.

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Baiklah. Jika kau keberatan, biarlah aku saja yang berkelahi.”

Ternyata salah seorang dari kedua orang yang mabuk itu telah melangkah tertatih-tatih ke tangga pendapa. Dicobanya untuk memperjelas pandangan matanya yang kabur, siapakah yang berdiri di halaman itu. Tetapi orang yang mabuk itu tidak berhasil mengenalinya. Namun kemudian katanya, “Siapa pun kalian. Kita akan berkelahi sampai mati.” Lalu katanya kepada kawannya yang juga mabuk, “Kau ikut atau tidak?”

“Apakah ada juga yang menantang aku?” bertanya kawannya yang juga mabuk itu.

“Ada atau tidak. Kita bunuh saja orang-orang yang berusaha menghalangi niat kita membakar banjar ini,” jawab yang pertama.

Kawannya tertawa. Katanya, “Kita akan bunuh semua orang.”

Demikianlah kedua orang yang sedang mabuk itu telah turun pula ke halaman. Betapa pun mereka mabuk, namun mereka tetap merupakan orang-orang yang berbahaya. Pada dasarnya mereka adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga dengan demikian, mereka justru menjadi semakin garang.

Mahisa Pukat telah bergeser pula. Sementara itu Mahisa Murti masih juga bertanya kepada anak muda yang menyertainya, “Bagaimana? Kau atau aku yang akan melayani yang seorang lagi.”

Terasa wajah anak muda itu menjadi merah. Tetapi ia tidak menjawab.

Sementara itu kedua orang yang sedang mabuk itu telah turun di halaman. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap untuk menghadapi keduanya.

Anak muda yang mengikuti mereka itu diluar sadarnya telah bergeser menjauh. Dengan jantung berdebaran, anak muda itu mencoba untuk bersembunyi di dalam kegelapan.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhadapan dengan lawan masing-masing. Kedua orang yang sedang mabuk itu mengeram, namun sekali-sekali tertawa berkepanjangan.

Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap sepenuhnya. Keduanya tetap berhati-hati menghadapi kedua orang yang mabuk itu, karena keduanya pada dasarnya memiliki kemampuan yang tinggi.

Dalam pada itu, kedua anak muda dari padukuhan itu telah melihat peristiwa di halaman itu dari kejauhan. Bahkan beberapa orang yang lain, yang semula telah berlindung di luar halaman banjar, berusaha untuk melihat pula apa yang terjadi. Karena mereka tidak berani memasuki halaman banjar, maka mereka berusaha melihat peristiwa di halaman justru dari pepohonan di balik dinding.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih saja memancing kemarahan orang yang sedang mabuk itu. Sambil tertawa Mahisa Pukat berkata, “He, Ki Sanak. Kenapa kau tidak segera berbuat sesuatu? Apakah kau masih merasa mabuk sehingga kau menunggu sampai kepalamu tidak pening?”


“Anak setan,” geram orang mabuk itu, “siapa kau he? Rasa-rasanya aku belum pernah melihat.”

“Kau memang sedang mabuk. Aku anak padukuhan ini. Setiap hari kita bertemu. Namun setiap hari kau memang mabuk, sehingga kau tidak pernah mengenal aku,” jawab Mahisa Pukat.

“Persetan kau,” geram orang mabuk itu.

Sementara orang yang berhadapan dengan Mahisa Murti- pun telah bersiap pula. Tetapi Mahisa Murti tidak berusaha memancing kemarahan lawannya dengan mengejeknya. Mahisa Murti langsung menyerang lawannya. Begitu cepatnya, sehingga serangannya itu tidak mampu dielakkannya.

Ketika orang mabuk itu merasa pundaknya yang terkena serangan Mahisa Murti terasa sakit, maka ia pun telah menjadi sangat marah.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Murti telah bertempur melawan orang mabuk itu.

Ternyata pemabuk itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Dalam keadaan mabuk, maka ia pun menjadi semakin garang meskipun akan kurang dapat mengendalikan diri.

Ternyata Mahisa Murti mampu memanfaatkan keadaan lawannya. Dengan kecepatan geraknya, maka Mahisa Murti mulai menyentuh lawannya dengan serangan-serangannya. Ia sengaja menyakiti lawannya agar lawannya itu terpancing untuk melakukan gerakan-gerakan yang semakin tidak terkendali.

Betapa pun tinggi ilmunya, namun tanpa kendali dalam kesadaran yang utuh, maka bagi Mahisa Murti ilmu itu sama sekali tidak berbahaya.

Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah membuat lawannya marah pula. Ejekan-ejekannya benar-benar mampu menyakiti hati orang yang mabuk itu, sehingga seperti kawannya, ia pun telah kehilangan kendali pula.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Kedua orang yang mabuk itu memang mempunyai ilmu yang tinggi. Tetapi mereka tidak mampu mengimbangi tingkat ilmu kedua anak muda itu, meskipun kedua anak muda itu masih bertempur dengan tataran ilmu kewadagan mereka.

Kedua anak muda padukuhan itu yang semula kebingungan mulai menjadi agak tenang ketika keduanya melihat, kedua anak muda yang bermalam di banjar itu mampu menguasai keadaan. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Kita laporkan kepada Ki Bekel.”

“Ya,” berkata kawannya, “agaknya sekarang kita mempunyai waktu.”

“Apakah kita akan pergi berdua?” bertanya yang pertama.

“Kau tunggui di sini. Aku akan pergi ke rumah Ki Bekel,” jawab kawannya.

“Atau kita bunyikan kentongan?” desis yang pertama.

“Nanti seluruh padukuhan akan menjadi ribut. Agaknya kedua orang itu sudah dikuasai,” jawab temannya.

Sementara itu, anak muda yang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu bertanya, “Kenapa tidak kau bunyikan kentongan sejak tadi?”

“Orang itu tentu akan mengamuk. Keadaan akan bertambah buruk. Seandainya orang sepadukuhan ini mampu menangkapnya, tetapi tentu akan jatuh korban banyak. Tentu lebih dari dua tiga orang,” jawab anak muda padukuhan itu.

Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mengangguk-angguk.

Sementara itu, maka salah seorang dari kedua orang anak muda itu telah melangkah ke pintu gerbang. Namun demikian ia berada di luar, beberapa orang anak muda telah mendekatinya sambil bertanya, “Bagaimana dengan orang mabuk itu?”

“Keduanya akan segera dikuasai,” jawab anak muda yang keluar dari halaman itu, “aku akan memberikan laporan kepada Ki Bekel.”

Anak-anak muda yang ada di luar regol itu termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian melihat, bahwa di halaman masih terjadi perkelahian.

Ketika mereka melihat seorang kawannya masih berada di halaman, maka dengan ragu-ragu mereka pun kemudian telah masuk ke halaman itu pula.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menguasai lawan-lawan mereka. Betapa pun lawan-lawan mereka yang mabuk itu berusaha melawan, namun mereka benar-benar kehilangan kesempatan untuk bertahan. Kedua orang yang sedang mabuk itu menjadi semakin terdesak.

Dalam keadaan mabuk, keduanya masih juga mampu mengerahkan kemampuan mereka sepenuhnya. Namun karena kesadaran mereka tidak berada pada keadaan yang sewajarnya, keduanya benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Beberapa kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengenai mereka.

Sehingga orang-orang yang sedang mabuk itu memang merasa kesakitan.

Dalam pada itu, anak-anak muda yang melihat beberapa orang kawannya memasuki halaman, mereka pun telah masuk pula meskipun dengan hati yang berdebar-debar.

Beberapa orang di antara mereka mulai bertanya-tanya, siapakah anak-anak muda yang mampu mengalahkan kedua orang pemabuk itu.

“Jika mereka sadar, apakah kedua anak muda itu juga akan mampu mengalahkan mereka?” bertanya salah seorang di antara anak-anak muda itu.

“Nampaknya keduanya memang memiliki ilmu yang sangat tinggi,” jawab kawannya, “keduanya sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan rasa-rasanya keduanya lebih banyak menyesuaikan diri daripada mengambil sikap terhadap lawan-lawannya.”

Yang lain mengangguk-angguk.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang melihat anak-anak muda di padukuhan itu telah berkumpul kembali di banjar, maka keduanya memang berniat segera mengakhiri perkelahian itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meningkatkan tenaga mereka. Sentuhan-sentuhan tangan mereka terasa menjadi lebih sakit di tubuh kedua orang yang sedang mabuk itu. Sehingga akhirnya kedua orang yang sedang mabuk itu benar-benar tidak berdaya lagi.

Keduanya pun kemudian terhuyung-huyung ketika serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin sering mengenai mereka.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membiarkan mereka jatuh terguling di tanah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian tclah menahan tubuh keduanya dan menolong memapahnya ke pendapa.

Ternyata keduanya benar-benar telah menjadi sangat lemah sehingga ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meletakkan mereka di lantai pendapa, maka keduanya tidak lagi dapat duduk tegak sendiri.

Dengan demikian maka keduanya pun telah dibaringkan di lantai pendapa. Dalam keadaan mabuk dan kesakitan, maka keduanya telah mengerang dan mengeluh tanpa terkendali lagi.

Bahkan keduanya rasa-rasanya telah mengaduh keras-keras karena tubuh mereka memang terasa sakit.

Anak muda yang mula-mula menjumpai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di serambi itu pun kemudian mendekat sambil berkata, “Terima kasih. Kau dapat mengatasi keadaan, sehingga mereka tidak sempat membakar banjar ini.”

“Kemudian terserah kepada kalian,” berkata Mahisa Murti, “aku kira apa yang dapat kami lakukan telah kami lakukan untuk membantu kalian.”

Anak muda padukuhan itu mengangguk. Tetapi ia berkata, “Sebentar lagi Ki Bekel tentu akan datang. Bukankah kau akan menunggunya?”

Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Aku kira aku tidak perlu menunggu Ki Bekel. Kami akan segera mohon diri.”

“Bukankah kalian bermalam di banjar ini?” bertanya anak muda itu, “kalian baru akan pergi setelah pagi.”

Tetapi Mahisa Murti menyahut, “Terima kasih. Kami akan melanjutkan perjalanan.”

“Kami mohon kalian tetap tinggal,” berkata anak muda itu.

Tetapi Mahisa Murti berkata pula, “Lain kali kami akan datang kembali.”

Sementara itu, anak muda yang menyertainya berbisik, “Malam masih panjang. Biarlah kita menunggu di sini.”

Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Kita melanjutkan perjalanan. Jika kau mau tinggal, tinggallah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar meninggalkan banjar itu. Anak muda yang menyertainya tidak berani tinggal tanpa keduanya. Karena itu, maka ia pun telah ikut pula bersama mereka.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta anak muda yang menyertainya itu pergi, maka anak-anak padukuhan itu menjadi cemas. Jika kedua orang itu sadar, dan kekuatannya pulih kembali, maka mereka tidak akan dapat mengendalikan keduanya. Sementara itu anak-anak muda yang berhasil menjinakkan keduanya telah pergi.

“Kita ikat saja mereka,” berkata salah seorang dari anak-anak muda itu.

Ternyata yang lain sependapat. Karena itu, maka anak-anak muda itu pun telah mencari seutas tali yang cukup panjang untuk mengikat kaki dan tangan kedua orang yang mabuk itu.

Ketika Ki Bekel dan beberapa orang bebahu sampai ke banjar, maka mereka telah menemukan kedua orang itu terikat.

“Siapa yang berhasil mengalahkan mereka?” bertanya Ki Bekel.

“Anak-anak muda yang kebetulan bermalam di banjar ini,” jawab anak muda yang telah bertemu dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “mereka mengaku sebagai pengembara yang kemalaman.”

“Di mana mereka sekarang?” bertanya Ki Bekel.

“Setelah berhasil menguasai kedua orang yang mabuk itu, mereka telah meninggalkan banjar ini,” jawab anak muda itu.

“Kenapa kau tidak menahannya?” bertanya Ki Bekel, “kita harus mengucapkan terima kasih kepada mereka. Bukankah mereka telah menggagalkan usaha kedua orang ini untuk membakar banjar?”

“Ya Ki Bekel. Kami telah mencegah agar mereka tidak pergi. Tetapi mereka terpaksa pergi,” berkata anak muda itu.

Ki Bekel termangu-mangu. Namun anak-anak muda itu memang sudah pergi. Karena itu, maka perhatian Ki Bekel pun tertuju kepada kedua orang yang sudah terikat itu. Namun ia- pun masih bertanya, “Apakah kalian sudah mengucapkan terima kasih kepada anak-anak muda itu?”

Anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian asal saja ia menjawab, “Sudah.”

Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertainya telah meninggalkan padukuhan itu. Justru karena semua perhatian tertuju ke banjar, maka mereka bertiga dapat meninggalkan padukuhan itu tanpa diketahui orang lain.

Di perjalanan anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu masih saja bertanya, “Kenapa kita meninggalkan banjar?”

“Bukankah kita tidak akan dapat tidur nyenyak di banjar itu?” bertanya Mahisa Murti, “semua orang akan datang ke banjar, sehingga banjar itu akan menjadi semakin ribut. Sementara itu mataku menjadi semakin mengantuk.”

“Apakah jika kita berjalan seperti ini kau akan dapat tidur?” bertanya anak muda itu.

“Hanya sampai di pategalan. Kita akan tidur di pategalan itu. Tentu tidak akan ada orang yang mengganggu,” jawab Mahisa Murti.

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak dapat membantah. Jika ia bersikap lain, maka keduanya tentu tidak akan menghiraukan sama sekali.

Demikianlah, maka mereka pun telah berjalan semakin jauh dari padukuhan. Ketika mereka melewati sebuah simpangan kecil, maka mereka justru telah turun ke jalan yang kecil itu. Menyusuri jalan kecil itu menuju ke sebuah pategalan.

Dengan ragu-ragu anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki pategalan itu. Kedua anak muda yang diikutinya itu nampaknya tanpa ragu-ragu telah menyusup di bawah pohon nangka di pategalan itu dan kemudian duduk bersandar batangnya yang besar.

“Aku tidur di sini,” berkata Mahisa Pukat, “carilah tempat yang paling baik bagimu.”

Anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia pun berusaha untuk menyesuaikan diri. Ia telah duduk di atas rerumputan kering dibawah sebatang pohon dekat pohon nangka itu.

Anak itu tidak berani terlalu jauh dari keduanya. Bahkan kemudian anak muda itu tidak berani memejamkan matanya. Jika ia tertidur ia takut ditinggalkan oleh kedua anak muda yang diikutinya.

Tetapi malam tidak terlalu panjang lagi. Beberapa saat kemudian langit menjadi merah. Namun diluar sadarnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah tertidur. Keduanya memang agak lelah dan mengantuk.

Namun ketika burung-burung bernyanyi di pepohonan, keduanya pun telah terbangun. Bahkan agak terkejut. Ternyata betapa pun juga mereka berhati-hati, pada suatu saat mereka telah melakukan satu kelengahan, bahwa mereka berdua telah tertidur bersama-sama. Jika semula mereka melakukannya seolah-olah mereka tertidur untuk meningkatkan ketahanan jiwani anak muda yang menyertainya, namun ternyata keduanya telah benar-benar tertidur karenanya meskipun tidak terlalu lama.

Tetapi kedua anak muda itu tidak mengatakan apa-apa. Mereka kemudian bangkit sambil menggeliat. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Nah, bukankah benar kataku. Di sini kita dapat tidur nyenyak. Tetapi di banjar itu semalam suntuk akan terjadi keributan.”

“Aku tidak dapat tidur di sini,” berkata anak muda itu.

“Oo, kenapa? Bukankah di sini tidak terganggu oleh apa pun juga?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku tidak terbiasa tidur di tempat terbuka seperti ini,” jawab anak muda itu.

“Tentu saja. Kau terbiasa tidur di dalam pelukan ibumu. Tetapi kau harus menyadari, untuk apa kau meninggalkan rumahmu,” sahut Mahisa Pukat.

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun tidak menjawab lagi.

Yang kemudian berbicara adalah Mahisa Murti, “Marilah, kita harus segera meninggalkan tempat ini. Jika pemilik pategalan ini datang, dan kita masih ada di sini, mungkin akan dapat menimbulkan banyak pertanyaan. Karena itu, maka sebaiknya kita pergi sebelum pemilik pategalan ini datang. Kita harus menghapuskan jejak sejauh mungkin. Meskipun kita tidak mengambil apa pun juga di sini, tetapi lebih baik kita tidak meninggalkan jejak yang akan dapat menggelisahkan pemilik pategalan ini.”

Sementara itu anak muda yang menyertainya itu bertanya, “Kita tidak mandi dahulu? Atau membersihkan diri dengan cara apa pun juga?”

“Kita akan berhenti di sebuah sungai yang akan kita lewati. Sebelumnya kita dapat mencuci muka di parit di luar pategalan ini,” jawab Mahisa Murti.

Anak muda itu tidak menjawab lagi. Dengan susah payah dan dengan hati yang tertekan ia mencoba menyesuaikan diri dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang baginya mempunyai kebiasaan yang agak aneh.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, ketiga orang itu setelah selesai berbenah diri, lalu melangkah meninggalkan pategalan itu. Sementara langit pun menjadi semakin cerah. Dengan air parit yang mengalir membelah bulak yang kemudian mereka masuki maka mereka pun telah mencuci muka.

“Airnya jernih sekali,” berkata Mahisa Murti.

Mau tidak mau anak muda yang menyertai kedua bersaudara itu juga harus mencuci muka di parit itu. Airnya memang jernih meskipun terasa amat dingin.

Sementara itu, langit pun menjadi semakin terang. Ketika mereka memasuki jalan yang lebih besar, maka mereka pun telah banyak bertemu dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar. Sebagian besar di antara mereka adalah orang-orang yang akan menjual barang-barang dagangan mereka. Antara lain hasil kebun mereka.

Tetapi ketiga orang anak itu telah menempuh jalan yang berkebalikan arah dengan orang-orang yang pergi ke pasar itu. Mereka justru pergi ke arah yang berlawanan.

Namun mereka pun tidak mengikuti jalan itu seterusnya. Mereka telah mengambil jalan yang berbelok ke kiri ketika mereka sampai di persimpangan.

“Kita akan ke mana?” bertanya anak muda itu.

“Sejak kemarin aku katakan, kita pergi ke mana saja tanpa tujuan,” jawab Mahisa Pukat.

Anak muda itu terdiam. Tetapi rasa-rasanya ia mulai merindukan rumahnya, adiknya dan terutama adalah ibunya. Tetapi ia tidak mau mengucapkannya. Ia sadar, bahwa jika ia mengatakannya, hal itu tentu hanya akan menjadi bahan ejekan dari kedua orang anak muda yang diikutinya itu.

Demikianlah, ketika mereka sampai di tempat yang lebih sepi maka mereka telah melintasi sebuah sungai. Sungai yang tidak begitu dalam, tetapi banyak berbatu-batu.

“Bukankah kita belum mandi?” bertanya Mahisa Murti tiba-tiba.

“Yaa,” jawab Mahisa Pukat. Lalu ia pun bertanya kepada anak muda yang mengikutinya, “kita akan mandi di sini? Bukankah kau tadi bertanya apakah kita tidak mandi?”

Anak itu mengangguk. Lalu katanya, “kita akan mandi di sebelah batu besar itu. Agaknya airnya lebih dalam dari di tempat ini.”

Tetapi Mahisa Murti berkata, “jangan. Mungkin banyak orang yang akan melewati tempat ini, karena tempat ini agaknya memang tempat penyeberangan. Jika matahari kemudian mulai merayap naik, agaknya beberapa orang akan menyeberang. Kita akan mandi di tempat yang agak jauh dari penyeberangan ini.”

Anak muda itu dapat mengerti. Namun kemudian ia mulai termangu-mangu ketika Mahisa Murti berkata, “Hati-hati. Agaknya banyak ular di sungai ini. Kita akan berjalan di atas bebatuan.”

Anak muda yang mengikutinya itu terkejut. Ia memang segera meloncat ke atas batu. Tetapi sejenak kemudian ia pun bertanya, “Jika banyak ular di sini, maka orang-orang yang menyeberang sungai ini akan dipatuknya.”

“Di sini dan di arah kita berjalan. Tidak di tempat penyeberangan itu,” berkata Mahisa Murti pula.

Anak muda itu menjadi heran. Ia mencoba memperhatikan air yang jernih yang mengalir tidak terlalu deras di antara bebatuan. Tetapi ia tidak melihat seekor ular pun.

Tetapi ia tidak dapat mengabaikan peringatan Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun telah berjalan di atas bebatuan.

Ia meloncat dari satu batu ke batu yang lain. Tetapi kadang-kadang jaraknya tidak terlalu dekat, sehingga ia pun harus turun ke air meskipun harus berhati-hati. Bahkan dengan secepat-cepatnya meloncat kembali keatas batu berikutnya.

“Marilah,” ajak Mahisa Pukat kemudian, “jangan terlalu lamban seperti seorang gadis yang sedang menari. Kita jangan kesiangan. Kita akan mandi dan kemudian masih harus menjemur pakaian. Karena itu, jangan terlalu banyak membuang waktu.”

“Kenapa kita harus tergesa-gesa? Bukankah kita tidak mempunyai tujuan dan sudah barang tentu tidak terikat akan waktu,” bertanya anak muda itu.

“Tetapi bagi kami, waktu itu sangat berharga. Karena itu, kita harus mempergunakannya sebaik-baiknya,” jawab Mahisa Pukat.

Anak muda itu tidak menjawab. Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berloncatan semakin cepat dari batu ke batu. Kaki mereka seakan-akan dapat melekat pada batu-batu basah itu seperti kaki seekor cicak yang melekat pada dinding dan langit-langit rumah.

Tetapi anak muda itu tidak mau ditinggalkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun ia membawa pedang di lambung, tetapi ia tidak pandai mempergunakannya.

Karena itulah, maka ia pun berusaha untuk berloncatan semakin cepat pula. Tetapi agaknya kakinya tidak setrampil kaki Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa kali ia terjatuh ke dalam air. Namun ia harus dengan cepat bangkit dan meloncat lagi keatas batu karena ia juga takut dipatuk ular air yang katanya banyak terdapat di sungai itu.

Anak muda itu menjadi berdebar-debar ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah tidak nampak lagi setelah mereka melewati sebuah tikungan. Bahkan nada suaranya pun mulai mendekati nada tangis yang tertahan.

Namun demikian anak muda itu melewati tikungan, ia terkejut bukan buatan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama-sama sengaja telah membentaknya.


Demikian terkejutnya anak itu, sehingga ia terpelanting jatuh ke dalam air. Pakaiannya yang memang sudah basah menjadi semakin basah.

Dengan tergesa-gesa anak muda itu bangkit dan meloncat lagi ke atas batu, karena ia masih saja membayangkan ular air yang berkeliaran di antara bebatuan itu.

“Kalian mengejutkan aku,” suara anak muda itu menjadi parau. Ia benar-benar akan menangis karena ia merasa telah dipermainkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Namun kemudian Mahisa Murti menjadi iba. Katanya, “Kemarilah. Kita akan beristirahat di sini. Jika keringat kita sudah kering, kita akan mandi.”

“Di sini?” bertanya anak itu.

“Ya di sini,” jawab Mahisa Murti.

“Bagaimana dengan ular-ular itu?” bertanya anak muda itu pula.

“Di sekitar tempat ini aku tidak melihat pohon-pohon walur sebagaimana terdapat di dekat tempat penyeberangan tadi. Aku kira di sini tidak banyak ular, karena tidak tersedia makanannya kecuali binatang-binatang kecil,” jawab Mahisa Murti.

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi, dugaanku benar.”

“Apa?” bertanya Mahisa Murti.

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggeleng. Tetapi matanya rasa-rasanya menjadi panas. Kedua bersaudara itu benar-benar telah mempermainkannya.

Anak muda itu pun kemudian telah berada di tepian bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka duduk di atas pasir yang lembut di antara bebatuan. Pakaian anak muda itu memang telah basah kuyup, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Bukalah bajumu. Letakkan di atas batu di panasnya matahari. Meskipun masih pagi, tetapi bajumu akan segera kering. Demikian pula kain panjangmu yang basah itu.”

Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah membuka baju dan kain panjangnya serta ikat kepalanya. Sehingga ia tinggal memakai celananya saja yang juga basah kuyup.

“Keringatku belum kering,” berkata Mahisa Pukat.

Anak muda itu sama sekali tidak menjawab.

Mahisa Murti yang benar-benar menjadi iba melihat anak muda itu pun berkata, “Ternyata kau memiliki bekal yang cukup untuk berlatih olah kanuragan.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa?”

“Kau dapat berlari-larian dengan cepat di atas bebatuan itu. Kakimu cukup tangkas dan jika kau tergelincir dan jatuh ke dalam air, maka kau pun tangkas pula segera bangkit dan meloncat kembali keatas batu. Meskipun hal itu didorong oleh perasaan takutmu kepada ular, namun kau telah melakukannya dengan baik,” desis Mahisa Murti.

Anak muda yang menyertainya itu termangu-mangu. Ia tidak segera mengerti maksud Mahisa Murti. Namun ia tidak bertanya apa pun juga.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian tidak berbicara lagi. Keduanya justru telah berbaring di atas sebuah batu yang besar.

Anak muda yang menyertainya itu hanya termangu-mangu saja. Sekali-sekali ia meraba pakaiannya yang dijemurnya. Tetapi pakaian itu masih saja belum kering.

Beberapa saat kemudian, barulah Mahisa Murti bangkit sambil berkata, “Marilah. Keringat kita sudah kering. Kita akan mandi.”

Mahisa Murti tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian telah melepas kain panjang dan ikat kepalanya. Dan sejenak kemudian mereka pun telah berendam di dalam air.

Anak muda yang mengikuti mereka itu pun telah turun pula ke dalam air meskipun ragu-ragu. Ia masih saja dibayangi peringatan Mahisa Murti bahwa banyak terdapat ular didalam air itu.

Namun akhirnya mereka bertiga pun mandi tanpa diganggu oleh seekor ular pun.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah selesai dan sambil menunggu pakaian yang mereka pakai kering, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta kepada anak muda yang menyertainya untuk berbuat sesuatu.

“Apa?” bertanya anak muda itu.

“Duduklah di atas batu itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Untuk apa?” bertanya anak muda itu.

“Duduklah. Celanamu akan cepat kering, karena batu itu panas,” jawab Mahisa Pukat.

Anak muda itu tidak begitu mengerti maksud Mahisa Pukat. Namun ia pun kemudian telah duduk di atas sebuah batu yang besar.

Mahisa Pukat telah minta anak itu menyilangkan kaki dan tangannya dalam duduk bersila yang mapan. Kemudian katanya, “Sekarang, bernafaslah dengan baik dan teratur.”

“Aku tidak mengerti,” anak itu menjadi bingung.

“Tarik nafasmu dalam-dalam, kemudian lepaskan. Sadari sepenuhnya bahwa kau sedang bernafas. Lihat, bagaimana udara itu masuk ke dalam hidungmu, merayap masuk ke dalam paru-paru, menyusup di antara lubang-lubang pernafasannya sampai yang paling sempit sekalipun, kemudian mengalir memasuki jalur-jalur yang lebih besar lagi sehingga akhirnya keluar dari hidungmu,” berkata Mahisa Pukat.

“Bagaimana aku dapat melihat aliran udara di dalam hidungku sendiri? “ anak itu menjadi bingung, “sedangkan di hidung orang lain aku tidak dapat melihatnya.”

“Kau tidak melihat dengan mata wadagmu,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi melihat dengan perasaanmu.”

“Untuk apa?” bertanya anak muda itu.

“Cobalah,” berkata Mahisa Pukat.

Anak muda itu termangu-mangu. Tetapi ia melihat kesungguhan di mata Mahisa Pukat, sehingga karena itu, maka ia pun telah bersiap-siap untuk mencoba melakukannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian telah berdiri di sebelah menyebelah anak muda itu, yang ternyata telah mencoba melakukan sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Pukat itu dengan sungguh-sungguh.

Sambil duduk bersila dengan mapan, maka anak muda itu memperhatikan setiap tarikan nafasnya. Ia dengan sadar sepenuhnya bernafas dengan teratur. Ia mencoba merasakan perjalanan udara yang masuk ke lubang hidungnya dan mengalir ke paru-parunya, sehingga kemudian dihembuskannya kembali lewat hidungnya pula.

Demikianlah ia melakukannya berulang-ulang. Semakin lama semakin lancar, dan rasa-rasanya anak muda itu benar-benar dapat mengetahui aliran udara di dalam dadanya itu sejak udara itu masuk ke lubang hidungnya sehingga keluar lagi dari lubang yang sama.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Pernafasan anak muda itu menjadi semakin teratur dan nampaknya anak muda itu pun menjadi semakin menyadari apa yang dilakukannya.

Beberapa saat lamanya, anak muda itu melakukannya. Segalanya semakin mapan, meskipun baru pada laku pertama, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggap bahwa anak muda itu sebenarnya memiliki bekal yang baik untuk memasuki laku dalam usaha menguasai olah kanuragan.

“Bagus,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “bangkitlah.”

Anak muda itu pun kemudian telah menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia kemudian bangkit berdiri.

Mahisa Pukat berkata, “Lakukan sambil berdiri. Angkat tanganmu tinggi-tinggi pada setiap tarikan nafas, kemudian turun perlahan-lahan, mengatup di depan dada, lalu lepaskan tergantung di sisi tubuhmu. Ulangi dan ulangi lagi.”

Anak itu tidak membantah. Ia melakukan sebagaimana diminta oleh Mahisa Pukat. Perlahan-lahan diangkatnya tangannya tinggi-tinggi sambil menarik nafas, kemudian turun perlahan-lahan pula, telapak tangannya mengatup di depan dada namun kemudian lepas tergantung di sisi tubuhnya. Laku itu diulanginya beberapa kali sehingga akhirnya Mahisa Pukat berkata, “Cukup. Meskipun masih terasa berat, tetapi pada suatu saat semuanya akan lebih baik.”

“Apa sebenarnya yang telah aku lakukan?” bertanya anak muda itu.

“Kau harus menjadi seorang laki-laki. Aku kasihan melihat ibumu yang sudah semakin tua itu,” berkata Mahisa Pukat.

Anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, “Kenapa dengan ibuku?”

“Apakah kau tidak merasakan betapa ibumu menjadi sangat berat memikul beban kewajibannya, apalagi setelah ayahmu tidak ada?” bertanya Mahisa Pukat, “Ibumu harus mengambil alih tugas ayahmu di samping tugasnya sebagai ibu. Kau yang sudah meningkat dewasa belum dapat membantunya, justru kau masih merupakan beban yang semakin lama terasa semakin berat. Bukan beban karena kebutuhanmu semakin banyak sehingga ibumu harus mengeluarkan uang semakin banyak pula. Uang bagi ibumu sudah bukan soal lagi. Tetapi beban lain, karena kau masih saja sering merengek seperti kanak-kanak. Dalam keadaan mendesak, kau tidak mampu bangkit dengan sifat seorang laki-laki. Seandainya rumahmu dirampok orang, maka kau tidak akan berani menarik pedang, melindungi ibumu dan adikmu yang perempuan itu. Tetapi kau justru akan bersembunyi di belakang punggung ibumu.”

Anak muda itu menjadi tegang. Telinganya memang menjadi panas. Tetapi ia tidak dapat membantah, bahwa hal itu memang terjadi.

“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “perjalanan yang kau lakukan sekarang ini akan sangat berarti bagimu. Selama perjalanan selain pengalaman, kau harus mampu membentuk dirimu sendiri.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Sudah waktunya kita mulai. Sambil mengembara, kau harus bekerja keras jika kau memang ingin menjadi seorang laki-laki didalam keluargamu yang sudah tidak memiliki seorang ayah lagi.”

Anak muda itu menjadi tegang. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Tetapi segala sesuatunya terserah kepadamu. Apakah kau ingin melakukannya atau tidak. Jika kau ingin melakukannya, kami berdua bersedia membantumu sejauh kemampuan kami.”

Anak muda itu tidak segera menjawab! Terasa detak jantungnya menjadi semakin cepat mengalir.

“Kau tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “kita masih akan selalu bersama-sama dalam perjalanan yang tanpa tujuan ini. Kau mempunyai banyak waktu.”

Anak muda itu termangu-mangu. Didalam dadanya ternyata telah bergelora persoalan yang harus diputuskannya itu.

Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberinya banyak waktu, tetapi rasa-rasanya jantungnya sendirilah yang mendesak untuk segera mengambil keputusan.

Karena itu, beberapa saat kemudian ia berkata, “Aku bersedia untuk mengikuti semua petunjuk dan tuntunanmu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Bagus. Tetapi sekali lagi aku katakan, kau tidak perlu tergesa-gesa memutuskan.”

“Aku sudah memutuskan,” berkata anak muda itu, “jangan memperlemah sikapku. Aku memang merasa, bahwa aku bukan seorang yang kuat seperti kalian. Bukan saja tubuhku, tetapi juga hatiku. Karena itu, aku mohon kalian membantuku mengukuhkan keputusanku ini.”

“Bagus,” berkata Mahisa Murti, “tetapi kau harus menyadari, bahwa keputusanmu itu membawa akibat yang harus kau pertanggungjawabkan. Kau harus bekerja keras tanpa mengenal lelah. Kau harus mematangkan niatmu tanpa keluh kesah.”

“Aku akan melakukannya,” jawab anak muda itu.

“Bagus,” Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu Mahisa Pukat pun berkata, “pakaianmu sudah kering. Marilah, kita berbenah diri. Kita akan melanjutkan perjalanan.”

Sebenarnyalah pakaian mereka memang sudah kering. Karena itu maka mereka pun segera berbenah diri, mengenakan pakaian dan mengatur rambut mereka. Menggantungkan pedang di lambung dan kemudian siap untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Sejak hari itu, maka anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun mulai berlatih dibawah tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena alas ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama, maka keduanya dapat membimbing anak muda itu berganti-ganti tanpa kesulitan.

Dengan sungguh-sungguh anak muda itu memang mengikuti semua petunjuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Pagi-pagi mereka menempuh perjalanan sambil berlari-lari. Bahkan mereka telah memilih jalan yang rumpil dan turun naik di lereng-lereng perbukitan. Setelah mandi di mana pun juga, di sungai atau di belumbang atau sendang, maka mereka mencari tempat-tempat sepi yang jauh dari jamahan kaki manusia. Mereka mulai dengan latihan-latihan yang semakin lama semakin rumit meskipun setingkat demi setingkat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi kagum terhadap anak muda yang semula cengeng itu. Ternyata kemampuannya sangat keras. Ia sama sekali tidak memperhitungkan waktu dan keadaan wadagnya sendiri. Bahkan kadang-kadang ia telah memaksa diri meskipun ia telah menjadi hampir pingsan.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tahu pasti, bahwa ia tidak boleh merusak wadagnya sendiri. Untuk menempa diri, betapa pun kerasnya ia bekerja, tetapi anak muda itu harus memperhitungkan kekuatan dan kemampuan wadagnya. Sehingga karena itu, maka setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru mencegah anak muda itu bekerja terlalu keras.

“Kau harus berlatih dengan teratur, tertib dan pasti,” berkata Mahisa Murti, “kau tidak boleh merusak jaringan tubuhmu sendiri dengan semena-mena.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menolak petunjuk-petunjuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian telah dianggapnya sebagai gurunya.

Karena itu, maka anak muda itu pun mulai mengurangi latihan-latihannya yang berlebih-lebihan. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah memberikan batasan saat-saat latihan yang terbaik dilakukannya dalam perjalanan.

“Kita tidak mempunyai sanggar di perjalanan,” berkata Mahisa Murti, “karena itu, maka kita harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Kita tidak dapat membuat alat-alat yang paling baik untuk menempa diri. Kita tidak dapat membuat tonggak-tonggak kayu yang tidak sama tinggi. Tidak pula dapat membuat palang-palang bambu atau kayu serta jenis-jenis peralatan yang lain. Karena itu, maka kita harus dapat memanfaatkan apa saja yang kita jumpai di perjalanan.”

Anak muda itu mengerti. Dan ia pun menjadi semakin patuh kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena dalam latihan-latihan yang diberikan, ternyata kedua anak muda itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Anak muda itu telah mempergunakan bebatuan bahkan batu-batu padas sebagai pengganti patok-patok kayu yang dipergunakan untuk melatih ketrampilan kaki serta keseimbangan. Bahkan juga kecepatan bergerak serta permulaan dari ilmu meringankan tubuh.

Demikianlah, maka sepanjang perjalanan mereka, anak muda itu benar-benar telah berlatih dengan keras. Semua petunjuk dan perintah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dilakukan sejauh kemampuannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam kesempatan tertentu kadang-kadang telah membicarakan anak muda itu. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Akhirnya kita ketemukan orang yang kita cari.”

“Tanpa kita duga sebelumnya. Jika kita harus memilih, kita tidak akan memilihnya. Tetapi ternyata ia memenuhi syarat. Sayang, umurnya hampir sebaya dengan umur kita. Akan lebih baik jika umurnya masih lebih muda lagi,” berkata Mahisa Pukat.

“Itu yang ingin kita ketemukan. Tetapi aku yakin, lain kali kita akan menemukan yang lebih muda untuk kita jadikan adiknya, “sahut Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi ia pun mengangguk-angguk pula.

Ternyata kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyesal telah membawa anak muda itu menyertai mereka.

Anak muda yang manja, yang hanya menyandarkan diri kepada ibunya itu, ternyata telah bangkit dari tidurnya dan mencoba untuk mengenali dirinya sendiri.

Ternyata bahwa kemajuan yang dicapai anak muda itu cukup pesat. Ketika pada suatu saat, dasar-dasar olah kanuragan telah dikuasainya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mencoba untuk mengajarnya mempergunakan senjata.

“Ingat, semua yang kau pelajari barulah dasarnya,” berkata Mahisa Murti, “kau baru mendapatkan wajah dari satu jenis ilmu kanuragan. Tetapi kau belum mendalaminya. Kau belum mulai memasuki pengenalan atas watak dan sifat-sifat ilmu yang kau pelajari. Kau pun belum mengenali kekuatan yang mungkin dapat diungkapkan lewat unsur-unsur gerak pada ilmu kanuragan yang telah kau kuasai itu, berlandaskan pada kekuatan tenaga cadangan yang ada di dalam dirimu.”

Anak muda itu mengangguk dalam-dalam, ia merasa, semakin banyak ia belajar, maka semakin banyak yang diketahuinya tentang betapa kerasnya kehidupan, terutama dalam dunia olah kanuragan, dan semakin banyak pula yang diketahuinya tentang kebodohannya sendiri.

Namun dengan demikian, maka anak muda itu menjadi semakin tekun dan bersungguh-sungguh.

Karena anak muda itu sama sekali memang belum pernah mempelajari ilmu pedang, maka ia masih sangat canggung menggenggam hulu pedangnya. Tetapi dengan sabar, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan petunjuk-petunjuk, contoh dan bahkan kadang-kadang keduanya telah mempertunjukkan perlahan-lahan, bagaimana mereka harus mempergunakan senjatanya.

Unsur-unsur gerak yang paling sederhana harus dipahaminya lebih dahulu. Kemudian perlahan-lahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meningkatkan ilmu anak muda itu. Sehingga lambat laun, di sepanjang perjalanan, sedikit demi sedikit anak itu mulai mampu mempergunakan pedangnya.

Sekali-sekali anak muda itu telah berlatih mempergunakan pedangnya bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti, sehingga dengan demikian, maka serba sedikit anak muda itu telah mendapatkan beberapa pengalaman, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kadang-kadang tidak bertempur dengan ilmu pedang dari jalur perguruan mereka.

Ternyata setelah lewat satu masa purnama, anak muda itu telah mampu melakukan beberapa hal yang sebelumnya sama sekali tidak diketahuinya.

Ketika mereka sempat berada di tepian sebuah sungai yang nampaknya jarang sekali dilalui orang, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberi kesempatan kepada anak muda itu untuk menunjukkan tingkat kemampuannya sepenuhnya dalam olah kanuragan dan dalam ilmu pedang.

“Lakukan, agar kami tahu dengan pasti tingkat kemampuanmu,” berkata Mahisa Murti, “kali ini kau lakukan di siang hari, lain kali akan kau lakukan di malam hari.”

Anak muda itu memang patuh. Tanpa membantah, maka ia pun segera mempersiapkan diri. Di atas pasir tepian, di bawah lereng yang terjal, maka ia pun segera bersiap.

Beberapa saat kemudian, maka anak muda itu pun mulai menunjukkan kemampuannya. Ia pun berloncatan di atas pasir basah. Kaki dan tangannya bergerak dengan tangkasnya. Semakin lama semakin cepat. Dengan mengerahkan kekuatan di dalam dirinya, yang telah menjadi semakin dapat dikuasainya, maka gerakannya pun telah menimbulkan desir angin yang kuat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengamati latihan itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Adalah tidak sia-sia bahwa mereka telah bekerja keras untuk membina anak muda itu. Ternyata bahwa anak muda itu telah menunjukkan kemampuannya yang cukup baik. Semua dasar ilmu kanuragan telah dikuasainya. Meskipun masih pada permukaannya, tetapi anak muda itu sudah bukan lagi anak manja yang hanya mampu bersembunyi di punggung ibunya.

Beberapa saat kemudian, maka anak muda itu telah menarik pedangnya. Ketika ia menyelesaikan tataran ilmu kanuragannya, maka ia pun mulai dengan ilmu pedangnya.


Demikian cepatnya pedang itu berputar di tangannya. Sekali-sekali melingkar di atas kepalanya, kemudian terayun mendatar. Sekali menusuk tajam, namun kemudian menebas dengan cepatnya.

Sebagaimana saat-saat ia berlatih tanpa senjata, maka ayunan pedangnya pun telah menumbuhkan desir angin pula. Justru lebih keras, sehingga terdengar seperti desing sendaren di punggung burung merpati yang terbang berkeliling.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk sambil tersenyum. Namun kemudian keduanya pun telah mencabut pedangnya pula. Dari dua arah keduanya telah menyerang anak muda itu.

Dengan tangkasnya anak muda itu menghindari serangan Mahisa Murti sambil menangkis serangan Mahisa Pukat. Kemudian sambil merendah ia memutar pedang di atas kepalanya dan mengayunkannya menyambar kaki Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti segera melenting tinggi. Ketika tubuhnya melayang turun, maka ujung pedangnya pun telah mematuk ke arah leher anak muda itu, sementara Mahisa Pukat menyambar lambungnya dengan tebasan mendatar.

Anak muda itu menggeliat. Dengan tangkasnya ia pun kemudian melenting sambil menangkis serangan Mahisa Murti.

Pedang Mahisa Pukat menyambar deras, namun tidak mengenai sasarannya. Sementara pedang Mahisa Murti telah membentur pedang anak muda itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian melenting menjauh. Ketika mereka telah menyarungkan pedang mereka, maka keduanya pun telah bertepuk tangan.

Perlahan-lahan anak muda itu mengurangi kecepatan geraknya. Kemudian putaran pedangnya jadi lamban, sehingga akhirnya pedangnya tegak di depan dadanya.

Perlahan-lahan pula daun pedang itu turun dan menunduk di sisi tubuhnya dalam tarikan nafas panjang.

Keduanya masih bertepuk tangan. Dengan lantang Mahisa Murti berkata, “Bagus. Ternyata kau akan dapat memenuhi harapan ibumu. Kau akan menjadi seorang laki-laki. Tetapi sudah barang tentu seorang laki-laki yang baik. Ilmumu akan menjadi bekal bagimu untuk melakukan kebaikan itu. Melindungi orang-orang yang memerlukan perlindungan. Mencegah tindak kesewenang-wenangan, dan lebih dari itu, kau akan merupakan bagian dari kekuatan untuk menentang orang-orang yang menyalah gunakan kekuatan ilmunya untuk kepentingan diri sendiri dan bahkan tanpa belas kasihan mengorbankan orang lain.”

Anak muda itu mengangguk hormat. Dengan nada rendah ia berkata, “Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan.”

“Sama sekali tidak,” berkata Mahisa Pukat, “ternyata kau memiliki perasaan dan penalaran yang tajam. Jika kau mampu memanfaatkannya, maka kau benar-benar akan menjadi seorang yang berilmu tinggi.”

“Terima kasih atas pujian itu,” jawab anak muda itu, “namun semakin jauh aku belajar, maka aku semakin menyadari kekuranganku yang tidak terhitung.”

“Tetapi selangkah demi selangkah kau akan maju, setidak-tidaknya mengurangi kekuranganmu itu,” sahut Mahisa Pukat.

Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

“Beristirahatlah,” berkata Mahisa Pukat, “kau telah memeras tenagamu. Namun apa yang kau lakukan selama dalam perjalanan tidak sia-sia.”

Anak muda itu mengangguk dalam-dalam. Ia pun kemudian menyarungkan pedangnya dan berkata, “Aku akan mandi.”

“Kita memang akan mandi. Tetapi tunggu sampai keringatmu kering,” berkata Mahisa Murti.

Untuk beberapa saat mereka pun kemudian telah duduk di atas bebatuan untuk menunggu keringat mereka kering sebelum mereka akan mandi di tikungan sungai yang agak lebih dalam dari pada di tempat-tempat yang lain.

Namun dalam pada itu, selagi mereka masih berusaha mengeringkan keringatnya, mereka telah mendengar langkah beberapa orang yang semakin lama menjadi semakin dekat.

“Ternyata ada juga orang yang berlalu lalang di tepian sungai ini,” desis Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tidak menjawab. Langkah itu semakin dekat dibalik tikungan sungai itu.

Sebenarnyalah sejenak kemudian lima orang telah muncul dari balik batu padas.

Ternyata bahwa mereka lebih terkejut daripada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang mengikutinya itu, karena ketiga anak muda itu telah mendengar langkah mereka mendekat.

Untuk beberapa saat mereka justru berdiri termangu-mangu. Namun kemudian orang yang tertua di antara mereka telah melangkah maju dengan hati-hati. Dengan nada rendah ia bertanya, “Siapakah kalian bertiga?”

Mahisa Murti lah yang kemudian menjawab, “Kami adalah para pengembara Ki Sanak. Kami berjalan dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan, kecuali sekedar ingin mengenali lingkungan hidup kami. Kami sekedar ingin menyusuri hutan-hutan yang hijau di lembah dan di lereng-lereng pegunungan.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tetapi kenapa kalian berada di sini?”

“Sebagaimana aku katakan, bahwa kami bertiga adalah pengembara. Hari ini kami sampai di sini. Tetapi nanti kami akan segera melanjutkan perjalanan. Besok kami tentu sudah berada di tempat lain,” jawab Mahisa Murti.

“Aku mencurigai kalian. Kalian tentu tidak jujur. Kalian tentu tidak mengatakan yang sebenarnya kepada kami,” berkata orang tertua di antara mereka berlima.

“Kenapa kami tidak mengatakan yang sebenarnya? Apakah keuntungan kami?” bertanya Mahisa Murti.

“Kau tentu mempunyai maksud tertentu di sini. Hanya orang-orang yang mempunyai niat tertentu sajalah yang menyusuri lereng-lereng terjal di pinggir sungai ini,” berkata orang tertua di antara mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Sementara anak muda yang menyertai mereka itu pun telah bergeser mendekat.

“Aku tidak tahu yang kalian maksudkan,” berkata Mahisa Pukat.

“Jangan pura-pura. Atau barangkali kalian justru telah menemukannya?” bertanya orang itu.

“Menemukan apa?” Mahisa Pukat menjadi bingung, “kami tidak menemukan apa-apa di sini.”

Tetapi orang itu tertawa. Yang lain pun tertawa pula. Katanya, “Ternyata ada orang lain yang mendahului kita.”

“Kita akan memaksa mereka menunjukkan, di mana letaknya,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Ya. Mereka harus mengatakannya atau mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk,” berkata yang lain.

Orang tertua di antara mereka pun mengangguk-angguk. Dengan nada berat, ia pun berkata, “Berterus teranglah. Kami bukan orang-orang yang sangat rakus. Kami akan bersedia memberikan bagian yang pantas kepada kalian.”

“Kami benar-benar tidak mengerti,” berkata Mahisa Pukat.

“Jangan menunggu sampai kesabaran kami yang sangat terbatas itu habis. Jika demikian, maka kami akan dapat berbuat apa saja yang tidak kalian duga sebelumnya.”

Mahisa Murti lah yang kemudian melangkah ke depan sambil berkata, “Ki Sanak. Selama pengembaraan kami, banyak sekali peristiwa-peristiwa aneh terjadi. Tetapi tidak sebagaimana aku alami sekarang ini. Kami benar-benar tidak mengerti, apa yang kalian katakan dan apa yang kalian persoalkan. Seandainya kami tahu barangkali kami akan dapat sedikit membantu.”

“Kalian tidak mempunyai banyak pilihan anak-anak muda. Sekali lagi aku katakan, jika kalian bersedia menunjukkan tempat itu, yang pasti tidak terlalu jauh dari tempat ini, maka kalian akan mendapat bagian.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “aku dapat menduga apa yang kau maksud. Kau tentu sedang mencari sesuatu yang tersembunyi di sekitar daerah ini. Mungkin harta karun, mungkin pusaka atau apa pun juga. Tetapi aku sudah menjawab dengan jujur bahwa kami tidak menemukan apa pun di sini, karena kami memang tidak tahu bahwa di sini ada sesuatu yang berharga untuk dicari.”

“Ingat, kami sudah kehilangan banyak waktu untuk berbicara dengan kalian. Jangan banyak cakap. Di mana barang-barang itu kau simpan sekarang, atau di mana tempat barang-barang itu tersimpan,” geram orang tertua di antara mereka.

Nampaknya Mahisa Pukat pun telah kehabisan kesabaran pula. Dengan garang ia berkata, “Ki Sanak. Aku sudah tidak mau lagi melayani orang-orang mabuk seperti kalian. Pergilah, atau aku terpaksa memaksa kalian pergi.”

Orang tertua di antara mereka itu pun wajahnya menjadi merah. Dengan geram ia berkata, “jadi kalian memang ingin mati?”

“Kami ingin membunuh kalian,” jawab Mahisa Pukat.

Orang tertua di antara mereka itu pun tidak lagi dapat mengendalikan diri. Ia pun segera memberikan isyarat, agar kawan-kawannya segera bertindak.

Demikianlah, maka sejenak kemudian kelima orang itu pun mulai bergerak. Mereka telah mengepung ketiga orang anak muda yang berada di tepian yang basah itu.

Mahisa Murti pun kemudian berbisik kepada anak muda yang menyertainya itu, “berhati-hatilah. Kau mempunyai kesempatan untuk mencoba ilmu yang kau kuasai. Namun jangan memaksa diri. Jika keadaan tidak teratasi, maka kau harus bertempur dekat dengan aku atau dengan Mahisa Pukat.”

Anak muda itu mengangguk. Ia memang menjadi berdebar-debar. Tetapi ada juga dorongan di hatinya untuk mencoba kemampuannya, sehingga kedatangan orang-orang itu adalah satu kebetulan baginya.

Demikianlah kedua belah pihak pun telah bersiap. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di sebelah menyebelah anak muda yang menyertainya itu.

Sejenak kemudian, maka kelima orang itu pun telah bergerak bersama-sama.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri di sebelah menyebelah dari anak muda yang menyertainya, telah memancing masing-masing dua orang lawan, sehingga anak muda yang menyertainya itu kemudian telah berhadapan dengan seorang dari kelima orang itu.

Demikianlah, maka pertempuran pun segera telah terjadi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memiliki pengalaman yang luas itu pun segera menyesuaikan diri dengan tata gerak lawannya. Namun ternyata lawan-lawan mereka pun memiliki ilmu yang mapan pula. Mereka dengan cepat telah menyerang anak-anak muda itu dari arah yang berbeda.

Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru.

Dalam pada itu, anak muda yang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah bertempur pula melawan salah seorang dari kelima orang itu.

Ternyata anak muda itu memang sudah berubah. Meskipun jantungnya masih juga terasa berdegupan di saat ia melihat lawannya melangkah mendekatinya, namun ketika tangannya mulai bergerak dengan unsur-unsur gerak ilmu yang telah dipelajarinya, maka jantungnya rasa-rasanya justru menjadi semakin mapan. Apalagi ketika keringatnya mulai membasahi kulitnya.

Ketika untuk beberapa saat kemudian ia mampu mengimbangi kemampuan lawannya, maka kepercayaan kepada diri sendiri pun tumbuh semakin tebal. Bahkan kemudian anak muda yang sebelumnya hanya dapat bersembunyi dibalik punggung ibunya itu, benar-benar telah bertempur melawan seorang yang nampaknya sudah cukup berpengalaman.

Tetapi ternyata bahwa anak muda itu tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Meskipun sekali-sekali ia masih juga dibingungkan oleh sikap lawannya, namun dengan beberapa cara ia berhasil mengatasinya. Justru karena latihan-latihan yang keras serta usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperkenalkannya dengan berbagai macam unsur gerak sesuai dengan pengalaman kedua anak muda itu, maka ia tidak terlalu terkejut dengan pertempuran yang sebenarnya itu.

Namun demikian, anak muda itu tidak selalu mampu menghindarkan diri dari serangan-serangan lawannya. Sekali-sekali serangan lawannya itu telah mengenai tubuhnya. Tetapi setiap kali anak muda itu berlatih dengan sungguh-sungguh bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setiap kali telah benar-benar menyerang dan menyakitinya. Sehingga dalam pertempuran yang sesungguhnya, sentuhan tangan lawannya itu tidak terlalu mengecilkan hatinya.

Bahkan dalam pertempuran selanjutnya, anak muda itu sekali-sekali justru mampu membalas mengenai tubuh lawannya. Dengan demikian maka bukan saja ia setiap kali berdesah menahan sakit, namun lawannya pun telah berbuat hal yang sama.

Anak muda itu benar-benar merasa beruntung, bahwa ia telah bekerja keras menempa dirinya. Bukan saja kemampuan dan ketrampilan dalam olah kanuragan, tetapi setiap hari dan bahkan hampir di setiap saat yang memungkinkan, ia selalu berlatih untuk memperkuat ketahanan tubuhnya. Sehingga meskipun kemudian ia telah bertempur dengan mengerahkan tenaganya, namun rasa-rasanya tenaganya sama sekali tidak menjadi susut karenanya.

Kelima orang yang bertempur melawan anak-anak muda itu memang menjadi sangat heran. Ternyata anak-anak muda itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Terutama keempat orang yang harus bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu menjadi bingung, bagaimana mereka dapat menemukan kelemahan anak-anak muda itu.

Tetapi justru anak-anak muda itulah yang telah mendesak mereka, meskipun jumlah mereka berlipat dua.

Mahisa Murti yang berloncatan dengan tangkasnya seperti seekor burung sikatan menyambar bilalang, benar-benar membuat lawannya kadang-kadang kebingungan. Anak muda itu bagaikan tidak berjejak di atas tanah. Ia menyambar dari segala arah dengan cepatnya. Namun tiba-tiba saja mematuk menyusup di antara pertahanan lawannya.

Meskipun ia harus melawan dua orang yang juga cukup berpengalaman, namun ternyata bekal ilmu Mahisa Murti yang jauh lebih tinggi dari ilmu lawannya itu mampu membuat kedua lawannya kadang-kadang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Di ujung yang lain, Mahisa Pukat pun telah bergerak dengan cepatnya. Tangannya yang bergerak berputaran, menyerang, menangkis dan menebas mendatar, seakan-akan telah berubah menjadi beberapa pasang tangan yang bersama-sama bergerak.

Beberapa kali Mahisa Pukat berhasil mengenai tubuh kedua lawannya berganti-ganti, sehingga setiap kali terdengar kedua lawannya itu mengeluh. Bahkan semakin lama kedua lawannya itu pun menjadi semakin terdesak karena perasaan sakit yang semakin merata di tubuhnya.

Di antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak muda yang menyertainya itu telah bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya. Ilmu yang telah diserap, ditambah dengan ketahanan tubuhnya yang tinggi, pengenalan atas beberapa jenis ilmu sebagaimana diperkenalkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah membuat anak muda itu menjadi garang.

Meskipun setiap kali ia harus terdorong surut oleh serangan lawannya, tetapi beberapa kali pula ia berhasil membuat lawannya itu mengaduh kesakitan.

Dengan demikian, maka pertempuran di tepian itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memiliki ilmu yang tinggi itu, perlahan-lahan telah berhasil menguasai kedua lawan masing-masing. Setiap saat yang dikehendaki, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat dengan segera mengakhiri pertempuran.

Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak melakukannya. Keduanya dengan sengaja telah memperpanjang waktu. Seakan-akan mereka telah menunggu anak muda yang menyertai mereka itu sampai kepada batas pertempuran.

Sambil mengikat kedua lawan masing-masing dalam pertempuran, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat memperhatikan anak muda yang menyertai mereka itu bertempur.

Sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat tersenyum. Ternyata bahwa anak muda itu benar-benar telah menunjukkan kemampuan yang mampu mengimbangi lawannya yang nampaknya cukup berpengalaman.

Sebenarnyalah anak muda itu telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk menilai diri. Ia mencoba mengetrapkan unsur-unsur gerak yang telah dipelajarinya dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun ternyata bahwa anak muda itu tidak saja mempergunakan kekuatan dan kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun anak muda itu telah mempergunakan otaknya pula. Ia tidak saja mempergunakan unsur-unsur gerak yang pernah dipelajarinya begitu saja. Tetapi ia telah berusaha untuk menyesuaikan dengan sifat pertempuran yang sedang dilakukannya. Anak muda itu mampu mengembangkan unsur-unsur gerak yang telah dikuasainya. Bahkan kadang-kadang mempergunakan dengan cara yang tidak diperhitungkan oleh lawannya, karena demikian tiba-tiba saja telah berubah dari unsur yang satu ke unsur yang lain.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mengagumi anak muda itu. Semula mereka tidak banyak mengharap daripadanya selain sekedar untuk membuatnya lebih dewasa. Namun kemudian ternyata bahwa anak muda itu memiliki jauh lebih banyak dari yang diharapkan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri masih saja tidak menyelesaikan pertempuran itu. Bahkan kadang-kadang mereka justru memberikan kesan kepada lawan-lawannya bahwa mereka telah terdesak. Sehingga lawan-lawannya itu kadang-kadang justru mulai berpengharapan lagi. Tetapi beberapa saat kemudian mereka mulai menjadi bingung lagi jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bersungguh-sungguh.

Dalam pada itu, maka orang yang harus bertempur dengan anak muda yang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah mengerahkan kemampuannya. Namun lawannya yang masih muda itu ternyata mampu mengimbanginya. Meskipun anak muda itu belum memiliki pengalaman yang sebenarnya, namun ketahanan tubuhnya, kemampuan otaknya dan kemauannya yang keras, telah membuatnya menjadi seorang yang ternyata mampu mengimbangi lawannya yang telah memiliki pengalaman yang luas serta hidup dalam dunia yang keras dan kasar.

Dengan demikian, maka meskipun mula-mula keduanya bertempur dengan seimbang, namun akhirnya anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berhasil mendesak lawannya. Latihan-latihan yang berat selama dalam perjalanan telah membuatnya menjadi seorang yang kuat bukan saja tekatnya, tetapi juga wadagnya.

Dalam keadaan yang demikian, maka orang itu pun telah menarik pedangnya. Ia tidak mau demikian saja menerima kekalahan itu.

Anak muda itu pun telah meloncat surut. Sejenak ia termangu-mangu. Ketika ia melihat tajamnya mata pedang, maka jantungnya terasa berdebar semakin cepat.

Dalam keragu-raguan itu, seakan-akan terngiang suara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Bukankah kau juga mempunyai pedang?”

Anak muda itu menjadi tegang. Namun ketika tangannya meraba hulu pedangnya, ia masih merasakan tangannya itu gemetar.

Tetapi akhirnya tangannya itu telah menarik pedangnya. Pertempuran yang telah berlangsung telah membuatnya semakin percaya kepada diri sendiri, sehingga karena itu, maka sejenak kemudian maka ia pun telah menggerakkan pedangnya pula. Ujungnya yang terjulur ke depan mulai bergetar.

Demikianlah, maka keduanya pun telah bertempur dengan mempergunakan senjata.

Kedua lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ternyata telah mempergunakan senjata pula. Bagaimanapun juga mereka merasa bahwa mereka tidak akan mampu berbuat banyak. Meskipun kadang-kadang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberikan kesempatan kepada lawan-lawan mereka untuk berpengharapan, namun mereka akhirnya menyadari, bahwa tulang-tulang mereka rasa-rasanya telah menjadi retak.

Namun ternyata dengan mempergunakan senjata, keadaan mereka menjadi semakin sulit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah melawan mereka dengan senjata pula, akhirnya ingin mempergunakan waktunya untuk sepenuhnya memperhatikan anak muda yang menyertai mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti lah yang pertama-tama telah menghentikan perlawanan kedua orang lawannya. Meskipun Mahisa Murti tidak melukai mereka, tetapi dengan menangkis setiap serangan kedua lawannya, maka kaki Mahisa Murti telah berhasil mengenai tubuh lawannya. Dengan kekuatannya yang sangat besar, maka Mahisa Murti telah berhasil membuat kedua lawannya menjadi pingsan.

Ternyata Mahisa Pukat pun telah mengakhiri pertempurannya pula. Dengan kekuatan yang besar, Mahisa Pukat telah berhasil melemparkan senjata kedua lawannya. Kemudian memukul keduanya sampai tidak berdaya lagi untuk bangkit. Dengan demikian mereka masih sempat melihat, seorang di antara kelima orang itu bertempur.

Dalam pada itu, anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun masih bertempur dengan garangnya. Dengan pedangnya ia telah mendesak lawannya yang gelisah.

Namun dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian menyaksikan pertempuran itu sama sekali tidak mengganggu. Bahkan Mahisa Murti telah berkata, “jangan takut, bahwa kami akan bertempur berkelompok. Kami akan menyaksikan pertempuran dengan sikap seorang laki-laki. Apa pun yang akan terjadi, biarlah terjadi.”

Anak muda yang menyertainya itu menjadi berdebar-debar. Ia percaya bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar akan membiarkannya bertempur seorang diri sampai akhir, apa pun yang terjadi.


Karena itu, maka anak muda itu merasa bahwa ia harus menyandarkan diri kepada kemampuannya.

Lawan anak muda itu memang diliputi oleh kecemasan. Ia tidak yakin bahwa kedua orang anak muda itu akan tetap berdiam diri sebagaimana dikatakannya jika keadaan lawannya menjadi semakin sulit.

Namun ia memang tidak mempunyai pilihan. Keempat kawannya sudah tidak berdaya lagi. Karena itu, maka jika ia juga harus mati, maka ia akan membawa lawannya itu mati bersamanya.

Karena itu, maka ia pun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk benar-benar berusaha membunuh.

Tetapi anak muda itu pun telah berusaha untuk mempertahankan diri, bahkan kemudian dengan kemampuan yang ada pada dirinya, maka perlahan-lahan namun pasti, anak muda itu mampu menguasai lawannya. Ilmu pedang yang dipelajarinya dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ternyata lebih baik dan lengkap dari unsur-unsur ilmu yang dimiliki oleh lawannya. Namun pengalaman lawannya yang jauh lebih luas sajalah agaknya yang masih dapat memperpanjang perlawanannya.

Namun semakin lama ia pun menjadi semakin terdesak. Bahkan dalam pertempuran yang semakin garang itu, ujung pedang anak muda yang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sempat menyentuh tubuhnya mengoyakkan kulitnya.

Darah mulai menitik dari tubuhnya meskipun lukanya tidak terlalu dalam. Namun hati orang itu menjadi semakin kecut. Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi lawannya yang masih muda itu.

Apalagi semakin lama terasa kekuatannya menjadi semakin susut. Bukan saja karena darahnya yang menitik, tetapi ternyata bahwa ketahanan tubuh lawannya yang masih muda itu jauh lebih kuat dari ketahanan tubuhnya sendiri.

Akhirnya orang itu tidak berpengharapan lagi. Ia tidak akan dapat membawa lawannya itu mati bersamanya. Bahkan mungkin ia akan mengalami keadaan yang paling buruk jika luka-luka tergores di tubuhnya semakin lama semakin banyak, sehingga pada saatnya tubuhnya menjadi arang kranjang dan dalam keadaan yang demikian ia ditinggalkan di pinggir sungai itu.

Karena itu, maka ketika keadaannya menjadi sulit dan bahkan goresan kedua telah mengoyak kulitnya pula, maka orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Tiba-tiba saja orang itu telah melemparkan senjatanya sambil berkata, “Aku menyerah. Terserah, apa pun yang akan kalian lakukan.”

Anak muda itu masih saja mengarahkan ujung pedangnya ke dada orang itu. Namun sebenarnyalah ia menjadi agak bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap seseorang yang telah menyerah.

Ketika anak muda itu memandangi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti, maka Mahisa Pukat pun telah berkata, “Kau sudah menang. Kau dapat berbuat apa saja terhadap lawanmu itu.”

Anak muda itu masih ragu-ragu, sementara Mahisa Pukat pun berkata, “Lakukan. Apa saja yang ingin kau lakukan.”

Anak muda itu melangkah mendekati sambil mengacukan pedangnya tepat ke arah jantung. Ketika ia melangkah lagi maju, maka ujung pedangnya benar-benar telah menyentuh dada orang yang sudah melemparkan senjatanya itu.

Namun akhirnya anak muda itu justru melangkah surut sambil berkata, “Aku tidak akan membunuhnya. Aku tidak tahu, apakah yang aku lakukan ini benar atau salah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Keduanya pun telah mendekati anak muda itu. Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kau telah memilih satu sikap yang baik. Biarlah orang itu tetap hidup. Namun ada yang tentu saja ingin kita ketahui.”

“Apa?” bertanya anak muda itu.

“Apakah yang sebenarnya mereka cari?” desis Mahisa Murti.

Orang yang sudah terluka itu menjadi pucat. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Aku mempunyai obat untuk mengobati lukamu itu. Sementara itu kawan-kawanmu yang pingsan pun telah sadar. Sebaiknya kita berbicara dengan baik tanpa prasangka.”

Orang itu memang menjadi semakin pucat. Katanya, “Aku tidak tahu apa-apa.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, “Aku tidak akan berbicara dengan salah seorang di antara kalian. Tetapi aku ingin berbicara dengan kalian berlima.”

Orang yang terluka itu tidak menyahut. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti benar-benar telah memberikan obat untuk mengobati lukanya yang meskipun tidak parah, tetapi memang memerlukan perhatian.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar ingin berbicara dengan kelima orang itu. Namun sebenarnya yang terpenting bagi mereka adalah penjajagan atas kemampuan anak muda yang telah menyertainya itu.

Karena itu sambil melangkah di atas pasir tepian, Mahisa Murti berkata, “Bagaimana menurut pendapatmu sendiri, ilmu pedangmu itu?”

Anak muda itu menundukkan kepalanya. Dengan nada rendah ia berkata, “Kalian ternyata telah sangat baik kepadaku. Aku bukan lagi anak cengeng yang hanya bersembunyi di belakang ibuku. Tetapi sekarang aku berani berdiri di depan.”

“Kau harus yakin, bahwa kau telah mengalahkan lawanmu,” berkata Mahisa Murti, “meskipun bukan berarti bahwa kau akan dapat mengalahkan semua orang. Kebetulan lawanmu bukan seorang yang berilmu tinggi.”

“Aku tahu,” jawab anak muda itu, “aku memang baru mulai. Tetapi itu lebih baik daripada tidak memulainya sama sekali.”

Mahisa Murti menepuk bahu anak muda itu sambil berkata, “Kau justru akan menghadapi masa-masa yang berat dalam menempa diri sendiri.”

“Aku sadari itu,” jawab anak muda itu.

Demikianlah, maka mereka bertiga pun telah duduk berhadapan dengan lima orang yang sudah tidak berdaya. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya kepada mereka berlima, “Coba, siapakah yang dapat mengatakan, kepada kami, apakah yang kalian cari di sini sehingga kalian telah menuduh kami menyembunyikan sesuatu?”

“Jadi kalian benar-benar tidak mengetahuinya?” bertanya yang tertua di antara mereka.

“Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “kami adalah orang-orang yang tidak mengenal lingkungan ini. Kami adalah pengembara yang baru sekali ini menyentuh tempat ini.”

Orang tertua di antara mereka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seandainya saja kami mengetahui hal itu, kami tentu tidak akan mempersoalkannya.”

“Tetapi kalian telah terlanjur mempersoalkan sesuatu,” berkata Mahisa Murti, “sekarang kamilah yang merasa perlu untuk mengetahui apakah yang sebenarnya kalian cari di sini?”

“Sudahlah,” berkata yang tertua, “lupakan saja. Bukankah kita tidak tahu pasti, dimanakah barang yang kita cari itu?”

“Tetapi katakan, apa yang sedang kalian cari,” suara Mahisa Murti menjadi agak keras, “apakah kami harus memaksa?”

Kelima orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya yang tertua di antara mereka berkata, “Anak-anak muda. Sebenarnyalah di daerah ini terdapat satu tempat untuk menyimpan harta yang tidak ternilai harganya.”

Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Mahisa Pukat lah yang kemudian bertanya, “Harta karun maksudmu?”

“Ya anak muda,” jawab yang tertua di antara mereka.

“Darimana kau mendapat keterangan tentang harta karun itu?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Anak-anak muda. Di kaki bukit itu pernah tinggal seorang yang semula tidak banyak dikenal orang. Orang itu sengaja menyendiri dan memisahkan diri dari pergaulan. Seorang diri ia membuka sebuah padepokan kecil, bersama seorang yang cacat yang sulit berbicara, terbongkok-bongkok dan wajahnya sangat buruk. Pada suatu hari, ternyata padepokan kecil itu telah didatangi oleh beberapa orang yang tidak dikehendaki kehadirannya. Perkelahian tidak dapat dihindari lagi. Namun ternyata penghuni padepokan itu bersama orang yang ujudnya cacat itu berhasil mengusir orang-orang yang datang itu. Namun kemudian mereka telah menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang nampaknya diperebutkan.”

“Tetapi bagaimana kalian tahu bahwa barang yang disembunyikan itu ada di sekitar tempat ini,” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu termangu-mangu. Sejenak ia berpaling kepada kawan-kawannya. Namun kemudian jawabnya, “Kami telah menemukan seseorang yang pernah mendengar hal itu dari orang yang cacat itu.”

“Apakah kedua orang itu masih hidup?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu menggeleng. Katanya, “Pada satu saat, telah datang lebih banyak orang lagi. Ternyata kedua orang itu tidak mampu mempertahankan diri, sehingga akhirnya keduanya telah terbunuh. Namun ternyata bahwa orang cacat itu tidak mati seketika. Seorang petani yang sempat melihat keadaan padepokan kecil itu memberanikan diri untuk mendekat sehingga akhirnya ia menemukan orang yang cacat yang dalam keadaan yang sangat parah. Namun orang itu sempat mengatakan, bahwa di tikungan sungai ini, barang-barang yang diperebutkan itu telah disembunyikan dalam sebuah lekuk yang agak dalam.”

“Barang itu berupa apa saja?” bertanya Mahisa Pukat.

“Itulah yang tidak kami ketahui,” jawab orang tertua di-antara mereka.

“Bagaimana dengan petani itu Sekarang?” desak Mahisa Murti kemudian.

Orang itu menjadi ragu-ragu. Sejenak ia termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti telah bertanya pula, “Di mana petani itu sekarang?”

Orang itu masih tetap ragu-ragu. Namun ketika Mahisa Murti memandanginya dengan sorot mata yang mulai tajam, orang itu berkata sambil berpaling kepada seorang kawannya, “Orang itulah yang mengetahuinya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berpaling kepadanya. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Kemarilah.”

Orang itu termangu-mangu. Namun ia pun telah mendekatinya.

“Katakan, di mana orang itu sekarang?” bertanya Mahisa Pukat.

“Orang itu telah terbunuh,” jawab orang yang dianggap mengenal petani itu.

“Kalian jangan mempermainkan kami,” geram Mahisa Pukat, “kami sudah berbuat baik atas kalian. Namun agaknya kalian sama sekali tidak ingin berbicara sebenarnya. Kalian masih tetap ingin menguasai harta karun itu dan mencurigai kami seakan-akan kami akan menjadi saingan kalian.”

Orang itu memang menjadi ketakutan melihat sikap Mahisa Pukat yang tiba-tiba saja menjadi garang. Bahkan Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Kami dapat merubah keputusan kami tentang kalian.”

“Ki Sanak,” berkata orang tertua, “sebenarnyalah bahwa petani itu memang sudah meninggal. Tetapi ia berpesan kepada anak perempuannya, sebagaimana ia pernah mendengarnya.”

“Kenapa petani itu meninggal?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak seorang pun yang tahu. Tetapi agaknya ia telah terkena racun menilik keadaannya,” jawab orang tertua di antara kelima orang itu. Lalu “tentu orang-orang yang telah membunuh penghuni padepokan kecil itu pulalah yang telah membunuhnya.”

Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Seharusnya mereka tidak akan membunuhnya. Jika mereka mengira bahwa petani itu adalah satu-satunya orang yang akan dapat menjadi sumber keterangan tentang harta karun itu. Petani itu tentu akan dibawa. Mungkin ia akan mengalami penderitaan yang sangat. Tetapi ia tidak akan dibunuh.”

“Namun anak perempuannya telah menemukannya dalam keadaan seperti itu,” jawab orang tua itu.

Tetapi Mahisa Pukat memandang kepada orang yang disebutnya mengenal petani itu. Dengan nada berat ia bertanya, “Katakan, apa yang telah terjadi. Jika orang itu berpesan kepada anak perempuannya, kenapa keterangan itu sampai ke telingamu?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Petani yang meninggal itu adalah iparku. Anak perempuan itu adalah kemanakanku. Karena itu, maka ketika ayahnya kemudian meninggal, perempuan itu agaknya tidak dapat membiarkan dirinya dibebani oleh pesan ayahnya itu. Karena itu, maka ia telah menemui aku dan mengatakannya apa yang diketahuinya tentang harta karun itu.”

“Apakah anak perempuan itu tahu, ujud dari harta karun itu?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak seorang pun yang tahu apa ujudnya.”

“Selain perempuan itu dan kau, apakah ada orang lain yang mengetahuinya?” bertanya Mahisa Pukat.

“Suami perempuan itu,” jawab orang itu.

“Menantu petani itu maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Yaa,” jawab orang itu.

“Apakah menantu petani itu sama sekali tidak mempunyai minat untuk menemukan harta karun itu?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu menggeleng. Katanya, “Sepengetahuanku ia belum pernah berusaha untuk menemukannya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi siapakah kalian sebenarnya. Menilik sikap dan tingkah laku kalian, maka kalian adalah orang-orang yang berpengalaman. Apakah kalian memang perampok atau penjahat dalam bentuk apa pun juga?” bertanya Mahisa Pukat pula.

Kelima orang itu termangu-mangu. Namun orang tertua di antara mereka berkata, “Anak-anak muda. Agaknya kami memang tidak akan mungkin ingkar dari pandangan mata kalian. Kami sebenarnya bukan penjahat dalam arti kebanyakan. Mungkin kami memang penjahat, tetapi dalam pengertian yang khusus.”

“Maksudmu? “ desak Mahisa Pukat.

“Kami adalah orang-orang upahan dari seorang saudagar yang kaya. Tetapi setelah kami mendengar persoalan harta karun itu, maka kami telah meninggalkan tugas kami dengan seribu macam alasan untuk selama tiga hari.” jawab orang tertua di antara mereka. Lalu “Tetapi sampai waktu kami habis, kami belum dapat menemukannya.”

“Apa tugas kalian pada saudagar kaya itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Melindunginya dan dalam setiap perselisihan dengan saudagar-saudagar yang lain, termasuk persaingan pekerjaan mereka, maka kami harus dapat menyelsaikannya. Sudah tentu dengan kekerasan,” jawab orang tertua.

“Jika sekarang kalian pergi, apakah saudagar itu tidak mungkin mengalami nasib buruk?” bertanda Mahisa Pukat.

“Dalam tiga hari ini saudagar itu tidak akan pergi ke mana-mana. Sementara tugas kami sebagian besar adalah dalam perjalanan atau dalam hubungan dengan orang lain. Di rumah saudagar itu mempunyai banyak sekali pekerja dan pembantu yang dapat menakut-nakuti orang lain,” jawab orang tertua di-antara mereka berlima.

“Apakah yang diperdagangkan oleh saudagar itu?” bertanya Mahisa Murti kemudian.

Orang tertua di antara kelima orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Terutama ternak. Tetapi juga barang-barang berharga dari negeri asing yang jarang sekali terdapat di daerah Kediri maupun Singasari. Kain beludru yang sangat mahal yang berasal dari saudagar-saudagar asing. Barang-barang perhiasan yang lain yang mahal termasuk permata.”

“Apakah saudagar itu tahu bahwa kalian sedang mencari harta karun sekarang ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tentu tidak,” jawab orang itu.

Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata, “Baiklah. Sekarang, bawa kami menemui perempuan itu.”

“Maksudmu, anak petani itu?” bertanya orang tertua di antara kelima orang itu.

“Ya,” jawab Mahisa Pukat.

“Apakah ada artinya?” bertanya orang itu.

“Bawa kami kepadanya,” sahut Mahisa Pukat pula.

Tetapi orang itu ragu-ragu. Dipandanginya kawannya, paman dari perempuan yang telah memberitahukan tentang harta karun itu. Katanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Perempuan itu tidak akan mengatakan lebih banyak dari yang aku katakan,” berkata pamannya.

“Bawa kami kepadanya,” sahut Mahisa Pukat menjadi keras, “kau harus tahu bahwa aku dapat berbuat apa saja yang aku inginkan. Juga atas kalian.”

Nampaknya memang tidak ada pilihan lain bagi kelima orang laki-laki itu selain daripada membawa Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang bersamanya itu pergi ke rumah kemanakannya.

Perempuan itu memang terkejut. Demikian pula suaminya. Pamannya telah datang bersama kelima orang kawannya. Namun telah ikut datang pula dua orang yang belum dikenalnya…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar