Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 072

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Buyut sudah memberi isyarat agar sekelompok orang itu mulai bergerak. Mereka mulai merayap keluar dari hutan, menuju ke padepokan yang sudah diselimuti oleh kegelapan.

Orang-orang di dalam kelompok itu telah mengetahui kewajiban mereka masing-masing. Yang mendapat tugas untuk melindungi anak-anak yang ada di padepokan itu harus memasuki padepokan lewat jalan yang masih dicari. Agaknya mereka harus meloncati dinding. Baru setelah mereka menemukan tempat bagi anak-anak di padepokan itu mereka memberikan isyarat agar yang lain memecahkan pintu regol atau cara lain untuk menarik perhatian para penghuni padepokan itu.

Dalam kegelapan sekelompok orang itu bergerak mendekati padepokan dengan sangat berhati-hati. Mereka memperhitungkan penjagaan yang kuat di padepokan itu karena padepokan itu mempunyai kebiasaan yang aneh, yang dapat mengundang kehadiran orang lain untuk membuka rahasia padepokan itu.

Karena itu, maka sebagian dari orang-orang yang mendekati padepokan itu harus merangkak dengan sangat berhati-hati menuju ke belakang padepokan itu. Mereka harus bekerja tanpa petunjuk sama sekali, karena belum ada seorang pun di antara mereka yang pernah memasuki dan mengenal sudut-sudut bangunan di dalam padepokan itu.

Ternyata bahwa kehadiran Mahisa Pukat di antara mereka yang mendapat tugas untuk menyelamatkan anak-anak itu sangat berarti. Meskipun di antara mereka terdapat tiga orang bekas prajurit, tetapi umur mereka telah ada di sekitar setengah abad. Sehingga karena itu maka dukungan wadag mereka tidak lagi sebagaimana Mahisa Pukat yang muda.

Demikian mereka berada di belakang padepokan, maka Mahisa Pukat telah berusaha mencari sebatang pohon yang cabang-cabangnya ada di atas dinding padepokan.

Namun ternyata bahwa penghuni padepokan itu cukup cermat sehingga Mahisa Pukat tidak menemukannya.

Karena itu, maka ia pun telah memberi isyarat agar kawan-kawannya terutama para bekas prajurit yang menyertainya, mengamati keadaan.

Sejenak kemudian maka Mahisa Pukat telah meloncati ke atas dinding padepokan yang dibuat dari batang-batang kayu yang bulat utuh berjajar rapat.

Dengan kemampuan yang tinggi, maka Mahisa Pukat mampu berada di atas dinding tanpa menimbulkan keributan. Dengan hati-hati Mahisa Pukat telah menelungkup merapat dinding padepokan itu. Untuk beberapa saat ia menunggu seakan-akan tidak bergerak sama sekali. Bernafas pun seolah-olah tidak dilakukannya.

Mahisa Pukat dengan sebelah tangannya sempat memberikan isyarat kepada kawan-kawannya yang ada di luar, bahwa ada peronda yang sedang lewat didalam dinding padepokan.

Dengan demikian maka kawan-kawan mereka pun telah berusaha untuk mengaburkan dirinya dengan batang-batang perdu. Karena dinding padepokan itu tidak terlalu rapat, sehingga sengaja atau tidak sengaja, dalam keremangan malam itu tempat terbuka, para peronda itu akan mungkin melihat mereka.

Tetapi para peronda itu ternyata tidak berhenti. Mereka ternyata tidak juga melihat Mahisa Pukat yang menelungkup di atas dinding itu.

Demikian peronda itu lewat, maka Mahisa Pukat pun segera memberikan isyarat agar kawan-kawannya segera meloncati dinding yang memang agak tinggi itu.

Tetapi ternyata mereka berhasil melakukannya meskipun ada di antara mereka yang sedikit mengalami kesulitan. Terutama kedua ayah dari anak-anak yang akan dibebaskan itu.

Demikian mereka berada di lingkungan padepokan itu, maka mereka pun segera bergerak ke arah yang terlindung.

Sejenak mereka mengatur pernafasan yang mengalir lebih cepat oleh ketegangan. Baru kemudian Mahisa Pukat telah membawa mereka untuk bergerak.

Namun Mahisa Pukat kemudian telah membagi kelompoknya menjadi dua kelompok yang lebih kecil. Satu kelompok terdiri dari dua orang prajurit dan salah seorang ayah yang mencari anaknya, sedangkan sekelompok lagi terdiri dari Mahisa Pukat, seorang bekas prajurit dan satu dari kedua orang ayah yang mencari anaknya itu.

Mereka pun kemudian telah membuat perjanjian untuk saling memberikan isyarat jika mereka menemukan tempat itu.

Namun demikian kedua kelompok itu siap untuk berpisah, maka tiba-tiba saja mereka mendengar rengek seorang anak-anak yang agaknya terbangun di malam hari.

Tetapi ternyata tidak terlalu lama. Terdengar pula suara perempuan yang berusaha untuk menenangkannya. Namun demikian tangis bayi itu terdiam, yang kemudian terdengar adalah isak seorang perempuan.

Mahisa Pukat segera menyadari, bahwa perempuan-perempuan yang ada di padepokan itu adalah perempuan-perempuan yang agaknya juga diambil dengan paksa sebagaimana anak-anak yang mereka rawat.

Karena itu, maka Mahisa Pukat telah mengurungkan niatnya untuk memecah kelompoknya. Tetapi mereka telah membagi tugas. Mereka dengan hati-hati melihat keadaan barak yang agaknya dipergunakan bagi anak-anak yang masih terlalu kecil lewat mana pun juga.

Keenam orang itu justru berpencar di sekitar rumah itu. Namun mereka tetap berusaha bergerak dibawah bayangan kekelaman malam.

Salah seorang di antara ketiga orang bekas prajurit itu akhirnya menemukan sebuah lubang di dinding. Dengan hati-hati ia telah berhasil memperlebar lubang itu dan mengintip ke dalamnya.

Dilihatnya dengan jelas apa yang ada di dalam barak itu. Sebuah amben dengan tiga orang perempuan yang berbaring. Namun mereka tidak tidur. Seorang lagi duduk sambil menangis terisak di bibir pembaringan. Sedangkan di sisi lain, beberapa orang kanak-kanak tidur di sebuah amben panjang. Di sisi yang lain lagi dari barak yang termasuk panjang itu terdapat amben yang besar. Di atasnya beberapa orang kanak-kanak yang lebih besar terbaring silang melintang.

Di pintu terdapat dua orang laki-laki yang berdiri dengan garang. Beberapa saat orang-orang itu hanya mondar-mandir saja. Namun kemudian seorang di antara mereka tidak sabar lagi. Ia pun kemudian melangkah mendekati perempuan yang terisak itu sambil membentak tertahan, “Kau mau diam atau tidak.”

Perempuan itu memang menahan tangisnya. Tetapi isaknya tidak segera dapat hilang begitu saja.

Karena itu, laki-laki yang garang itu membentak sekali lagi, “Jika dalam hitungan kesepuluh kau tidak mau diam, maka kau akan aku seret dan aku lemparkan ke barak tempat para cantrik itu tidur. Aku tidak tahu akibat yang dapat terjadi atasmu, karena para cantik itu tahu pasti, bahwa perempuan yang dilemparkan ke dalam barak mereka, adalah hak mereka.”

Perempuan itu memang menjadi ketakutan. Karena itu, betapa sakit dadanya, ia pun segera terdiam.

Bekas prajurit itu pun segera menemui kawan-kawannya. Mereka berganti-ganti telah mengintip dari lubang itu. Sehingga Mahisa Pukat pun telah melakukannya pula.

Mahisa Pukat pun segera memberi isyarat kepada mereka untuk pergi ke pintu. Dua orang laki-laki itu harus dilumpuhkan lebih dahulu, kemudian mereka memasuki barak itu dan melindungi semua kanak-kanak yang ada di dalamnya. Mereka harus bertempur jika ada orang yang memasuki barak itu untuk mencelakai anak-anak itu.

Sejenak mereka memperhatikan keadaan. Ketika malam menjadi semakin sepi, maka Mahisa Pukat pun telah memberikan isyarat untuk bertindak.

Dengan hati-hati mereka telah pergi ke pintu barak. Mula-mula Mahisa Pukat meraba dan mengguncang pintu itu untuk mengetahui kekuatan pintu itu. Namun ia pun kemudian menyadari, bahwa pintu itu tidak terlalu kuat. Pintu lereg yang terbuat dari bambu itu akan dapat dipecahkannya dengan sekali hentak. Sementara itu kawan-kawannya yang lain harus berjaga-jaga diluar. Terutama para bekas prajurit itu. Dua orang ayah dari dua orang bayi itu akan segera mencari bayinya. Itu bukan berarti bahwa bayi-bayi yang lain akan dikorbankan.

Sesaat kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah memberikan isyarat. Sejenak kemudian, maka ia pun telah menghentakkan pintu itu dengan kakinya dialasi dengan tenaga cadangan di dalam dirinya.

Sekali hentak, maka pintu itu memang telah roboh. Dengan sigapnya Mahisa Pukat meloncat masuk. Ia tidak memberi kesempatan kepada kedua orang laki-laki yang ada di dalam barak itu, yang agaknya dua orang peronda yang sedang berkeliling lingkungan padepokan itu dan menemukan suara isak tangis seorang perempuan, sehingga ia pun singgah ke dalam barak itu.

Bahkan kemudian telah terdengar tangis bayi pula. Perempuan yang terisak itu terdiam sejenak untuk menenangkan bayi yang terbangun. Namun ketika bayi itu terdiam, maka ia pun telah menangis lagi.

Dengan cepat Mahisa Pukat telah melumpuhkan kedua orang laki-laki itu sebelum mereka sempat menarik senjatanya. Pukulan yang sangat keras rasa-rasanya telah mematahkan tulang iga seorang di antara mereka, sementara yang lain tidak sempat mengelak ketika Mahisa Pukat memukul keningnya, kemudian dengan sisi telapak tangannya memukul tengkuknya.

Bersamaan dengan itu, maka seorang di antara bekas prajurit yang memang ditugaskan telah memberikan isyarat kepada orang-orang yang masih ada diluar. Dengan suara burung hantu yang nyaring dalam ganda tiga berturut-turut.

Dua orang yang bertugas di pendapa pun mendengar suara burung hantu itu. Mereka pun telah menjadi curiga, sehingga perhatian mereka telah terpecah. Seorang memperhatikan pintu regol halaman, sementara yang lain memperhatikan arah suara burung hantu itu.

Keduanya terkejut ketika tiba-tiba pintu regol pun telah retak pula. Beberapa orang tiba-tiba saja telah muncul di regol.

Dengan cepat seorang di antara mereka telah meloncat ke sudut pendapa. Sejenak kemudian suara kenthongan pun telah terdengar mengumandang di seputar padepokan yang terpencil itu.

Beberapa orang memang telah menghambur keluar dari barak-barak mereka. Ternyata memang tidak terlalu banyak. Meskipun demikian jumlah mereka masih lebih banyak dari orang-orang yang datang ke padepokan itu.

Mahisa Murti dan Ki Buyut berada di paling depan. Dengan wajah tengadah mereka berhadapan dengan beberapa orang pemimpin dari padepokan itu.

“Siapa kalian yang telah berani memasuki padepokanku he?” bertanya pemimpin padepokan itu.

Tetapi sebelum Ki Buyut menjawab, tiba-tiba saja salah seorang dari bekas perampok itu maju selangkah sambil berkata, “He, jadi kau yang ada di padepokan ini?”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapa kau?”

Bekas perampok itu tertawa. Katanya, “Kau tidak mengenal aku lagi atau kau pura-pura tidak mengenal aku?”

“Jangan mengigau. Sebut namamu,” bentak pemimpin padepokan itu.

Perampok itu masih saja tertawa berkepanjangan. Ia justru memanggil kawannya yang juga bekas perampok sambil berkata, “Kau tentu pernah juga mendengar namanya. Bajak Laut dari Bukit Batu. He, gelar yang aneh bukan. Ia memang berasal dari Bukit Batu. Tetapi ia pun memang menjadi bajak laut yang disegani di pesisir Utara. Bahkan daerah jelajahnya sampai ke pedalaman menyusuri bengawan.”

“Tutup mulutmu,” bentak pemimpin padepokan itu.

“Sejak kapan kau berhenti menjadi bajak laut dan memilih tinggal di darat? Bahkan membuka sebuah padepokan?” bertanya bekas perampok itu tanpa menghiraukan sikap pemimpin padepokan yang gelisah itu.

Pemimpin padepokan itu memang menjadi marah. Karena itu maka ia pun telah membentak, “Tutup mulutmu. Atau aku akan mengoyakkannya.”

“Jangan marah,” berkata bekas perampok itu, “sejak dahulu aku memang kalah setingkat dari ilmumu. Tetapi kau tidak akan dapat sombong sekarang. Bersamaku adalah Ki Buyut dan Ki Jagabaya dari Kabuyutanku. Ilmu mereka juga selapis lebih tinggi dari ilmuku.”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia telah tertawa berkepanjangan. Katanya, “Jika beberapa waktu yang lalu ilmuku selapis lebih tinggi dari ilmumu, maka sekarang aku akan dapat melawan sepuluh orang bahkan lebih dari tataran orang yang kau sebut Ki Buyut dan Ki Jagabaya itu. Ilmuku telah berlipat ganda dari ilmu yang pernah kau kenal.”

Tetapi bekas perampok itu tertawa lagi. Tidak kalah kerasnya. Katanya, “Kita sama-sama orang yang pernah hidup dalam kegelapan nalar budi. Kita sama-samadi tahu, bahwa mulut kita masing-masing memang tidak dapat dipercaya. Karena itu, kau tidak usah sombong.”

“Persetan. Tetapi apa maksud kedatangan kalian ke padepokanku sekarang ini? Sekedar bunuh diri atau kalian memang mempunyai satu kepentingan tertentu?” bertanya orang itu.

Sebelum Ki Buyut menjawab, maka bekas perampok itu ternyata telah mendahului “ Kami datang untuk mengambil anak-anak kami yang kau beli. Kami akan menebusnya dengan harga yang kau kehendaki.”

“Anak iblis,” geram pemimpin padepokan itu, “siapa yang mengatakan bahwa kami telah membeli anak-anak?”

“Jangan ingkar,” berkata bekas perampok itu, “kami datang bersama-sama orang yang telah menjual anak-anak itu kepadamu. Tetapi ia dalam keadaan terluka. Nah, agar kau tidak mengalami nasib seperti orang itu, berikan saja anak itu dan kami akan membayar kembali harga yang telah kau bayar bagi anak itu dengan barangkali bunganya.”

“Tutup mulut kau kambing buruk,” geram orang itu, “kalian telah menghina padepokan ini. Karena itu, maka tidak seorang pun di antara kalian akan keluar dari lingkungan padepokan ini. Mereka yang masuk tanpa ijin kami, maka mereka tidak akan pernah keluar. Mungkin namanya akan diperbincangkan orang, tetapi wadag kalian akan hancur di makan binatang di hutan itu.”

“Kami datang dari hutan itu,” jawab perampok itu, “memang ada binatang buasnya. Tetapi binatang buas di hutan itu ternyata tidak sebuas kami. Ingat, kami datang dengan Ki Buyut dan Ki Jagabaya. Disamping itu bersama dengan bekas prajurit terpilih dan bekas perampok seperti aku ini. Selain itu, beberapa pengawal yang sudah mengalami latihan khusus dari Ki Jagabaya. Karena itu, jangan mencoba untuk melawan.”

“Diam kau,” teriak pemimpin padepokan itu. Tanpa ragu-ragu maka ia pun berteriak, “bunuh semua orang yang ada di dalam lingkungan padepokan ini. Jika mereka melawan, bunuh semua bayi, anak-anak dan perempuan yang ada di dalam barak itu.”

Bulu kuduk Mahisa Murti memang meremang. Tetapi ia berharap bahwa Mahisa Pukat akan dapat mengatasinya bersama ketiga orang bekas prajurit itu.

Sebenarnyalah beberapa orang telah berlari ke barak anak-anak dan perempuan. Namun mereka tidak dapat dengan mudah masuk ke dalam barak itu untuk setiap saat jika jatuh perintah, membunuh anak-anak dan perempuan yang ada di dalamnya.

Tetapi bekas perampok itu tertawa lagi. Semakin keras. Katanya, “Anak-anak yang kau maksud itu telah kami kuasai. Orang-orangmu yang berlari-lari ke barak anak-anak itu tidak akan pernah dapat bertemu dengan kau lagi.”

“Cukup,” pemimpin padepokan itu berteriak, “bunuh mereka sekarang.”

Beberapa orang pengikutnya telah menghambur ke halaman. Namun orang-orang yang ada di halaman itu sudah bersiap menghadapi mereka. Mahisa Murti sempat berbisik kepada Mahisa Semu, “Hati-hatilah. Nampaknya mereka orang-orang yang garang yang tidak mempergunakan otaknya untuk menilai langkah-langkahnya serta untuk mempertimbangkan baik dan buruk.”

Mahisa Semu mengangguk. Ia pun melihat watak itu dari sikap dan kata-kata pemimpin padepokan yang garang itu.

Dalam benturan pertamanya bekas perampok itu tertawa keras-keras. Katanya, “Aku sudah rindu dengan permainan seperti ini. Aku memang menunggu untuk melakukannya namun dalam kedudukan yang sebaliknya dari yang pernah aku lakukan dahulu.”

Orang-orang padepokan itu menjadi semakin marah. Seorang di antara mereka telah melibat bekas perampok itu dengan garangnya. Namun bekas perampok itu ternyata telah menanggapinya sambil tertawa.

Yang lain pun kemudian telah mulai terlibat dalam pertempuran pula. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun telah bertempur pula melawan orang-orang padepokan itu.

Ternyata mereka tidak ingin membuang-buang waktu. Karena orang-orang padepokan itu telah mendapat perintah untuk membunuh lawan-lawannya, maka mereka langsung mempergunakan senjata mereka tanpa ragu-ragu. Mereka benar-benar ingin membunuh orang-orang yang telah memasuki padepokan mereka seluruhnya.

Sementara itu pemimpin padepokan itu masih saja menyaksikan pertempuran dari pendapa bangunan induk di padepokannya. Ia terlalu percaya kepada orang-orangnya, sehingga ia menduga bahwa dalam waktu singkat orang-orangnya tentu akan segera dapat membunuh orang-orang yang telah memasuki padepokannya itu.

Tetapi dugaannya itu ternyata telah mengecewakannya.

Orang-orangnya tidak segera dapat menyelesaikan orang-orang yang memasuki padepokannya dengan paksa itu. Dua orang bekas perampok itu ternyata memiliki kemampuan yang memadai. Bahkan bekas perampok yang berpengalaman sangat luas dalam dunia kekerasan itu telah berhasil mendesak lawan masing-masing. Bahkan seorang di antaranya masih saja berteriak-teriak sambil tertawa keras-keras. Sementara itu senjatanya yang mendebarkan jantung masih saja berputaran dengan dahsyatnya. Sedangkan bekas perampok yang seorang lagi ternyata lebih banyak menggerakkan senjatanya daripada membuka mulutnya. Namun diam-diam ia telah berhasil mendesak lawannya sehingga melekat dinding.

Lawannya tiba-tiba saja telah menjadi ketakutan. Dalam keremangan malam ia melihat mata bekas perampok itu menyala.

Tetapi bekas perampok itu tidak segera mengayunkan senjatanya untuk membunuhnya. Dengan nada rendah ia menggeram, “Aku sudah terlalu banyak membunuh orang. Lepaskan senjatamu agar kau tidak aku bunuh.”

Orang yang sudah tidak sempat mengelak lagi itu termangu-mangu. Namun sesuatu telah bergetar di hatinya. Orang yang akan dibunuhnya itu mendapat kesempatan lebih dahulu untuk melakukannya. Tetapi ia tidak berbuat demikian atasnya.

“Cepat!” bentak bekas perampok itu, “atau aku benar-benar harus membunuhmu.”


Orang yang sudah melekat dinding itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja seorang kawannya sempat meloncat mendekat dan mengayunkan senjatanya mengarah kepada bekas perampok itu. Tetapi bekas-bekas perampok itu menyadari bahaya yang datang mengancamnya, sehingga ia masih sempat mengelakkan diri dari ayunan senjata orang itu.

Dengan demikian maka bekas perampok itu telah berganti lawan. Tetapi sejenak kemudian, maka bekas perampok itu telah berhasil mendesak lawannya itu pula, sementara orang yang tidak dibunuhnya itu hanya termangu-mangu saja. Ia masih saja dibayangi oleh sikap lawannya yang tidak membunuhnya itu meskipun ada kesempatan.

Namun jumlah orang-orang padepokan itu memang lebih banyak. Karena itu, maka keadaan pertempuran itu rasa-rasanya masih saja seimbang.

Ki Buyut dan Ki Jagabaya yang juga telah terlibat dalam pertempuran telah mengerahkan kemampuan mereka. Ki Buyut memang memiliki kelebihan dari lawannya. Tetapi Ki Jagabaya ternyata mendapat lawan yang lebih baik, sehingga ia telah terdesak dan mengalami kesulitan. Apalagi anak-anak muda yang menyertai mereka.

Tetapi Mahisa Semu yang muda itu ternyata telah berhasil mendesak lawannya. Bahkan ia telah dipaksa untuk bertempur melawan dua orang. Untunglah keduanya bukan orang-orang terbaik di padepokan itu.

Sementara itu Mahisa Murti ternyata telah berloncatan dari satu putaran pertempuran ke putaran yang lain. Bagaimanapun juga ia merasa berkewajiban untuk membantu orang-orang padukuhan yang mengalami kesulitan dalam pertempuran itu. Selagi pemimpin padepokan itu belum turun langsung ke medan.

Bekas perampok yang ternyata banyak berbicara itu telah mendapat lawan yang termasuk tataran yang tinggi di padepokan itu. Namun bekas perampok itu masih saja sempat bertempur sambil tertawa, berteriak-teriak dan kadang-kadang dengan sengaja membakar perasaan lawannya, sehingga lawannya benar-benar menjadi marah dan kehilangan kendali perasaannya.

Dalam pada itu, beberapa orang dari antara orang-orang padepokan itu memang telah menuju ke barak tempat mereka menyimpan anak-anak. Namun langkah mereka segera tertahan oleh para bekas prajurit. Meskipun umur mereka rata-rata sudah berkisar pada pertengahan abad, tetapi pengalaman mereka telah membantu mereka mengatasi kesulitan.

Ternyata ketiga orang bekas prajurit itu masih mampu menyatukan diri dalam pertempuran melawan lima orang sekaligus. Sementara itu seorang lagi di antara mereka telah berlari langsung menuju ke pintu barak.

Namun langkahnya terhenti karena Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah berdiri di muka pintu.

“Setan,” geram orang itu, “siapa kau?”

“Aku salah seorang pengawal padukuhan. Kami, keluarga anak-anak yang kau kumpulkan di sini ingin mengambil mereka kembali,” jawab Mahisa Pukat.

Sejenak kemudian maka pertempuran yang sengit pun telah terjadi. Mahisa Murti harus meningkatkan kemampuannya untuk melawan pemimpin padepokan yang ternyata memang berilmu tinggi itu.

Sementara itu karena Mahisa Murti harus bertempur melawan pemimpin padepokan itu, maka Ki Buyut dan orang-orangnya, termasuk kedua orang bekas perampok itu, harus menghadapi lawan-lawan mereka tanpa bantuan anak muda itu.

Beruntunglah mereka, bahwa sebelumnya Mahisa Murti telah dapat mengurangi meskipun baru sebagian kecil dari kekuatan lawan-lawannya. Yang sedikit itu ternyata telah memberikan pengaruh. Karena dengan demikian maka Ki Buyut dan orang-orangnya telah dikurangi bebannya.

Namun karena jumlah lawan yang menjadi semakin banyak, maka Ki Buyut dan orang-orangnya semakin lama menjadi semakin terkuras tenaganya. Mereka harus mengerahkan kekuatan dan kemampuan mereka. Apalagi mereka yang harus bertempur melawan lebih dari seorang, sebagaimana Mahisa Semu. Tetapi karena Mahisa Semu telah ditempa oleh pengalaman yang meski- pun tidak terlalu banyak, tetapi cukup luas serta latihan-latihan yang berat, maka ia masih mampu mengatasi desakan lawannya.

Tetapi beberapa orang yang lain, justru telah mulai terdesak. Bekas perampok yang seorang, yang harus melawan dua orang bahkan kadang-kadang tiga orang, memang harus bekerja keras untuk mengatasinya.

Ketika tenaga Ki Buyut dan orang-orangnya mulai susut, maka mereka benar-benar menjadi semakin terdesak, sementara Mahisa Murti telah terikat dalam pertempuran melawan pemimpin padepokan yang mampu melihat kemampuan ilmu Mahisa Murti untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya. Karena itu, maka pemimpin padepokan itu telah mengerahkan kecepatan geraknya untuk menghindari benturan dan bahkan sentuhan dengan senjata anak muda itu.

Dalam keadaan yang semakin sulit itulah, maka Mahisa Pukat telah hadir di halaman.

Untuk beberapa saat ia melihat apa yang terjadi. Ternyata bahwa Ki Buyut dan orang-orangnya memang mulai terdesak. Kekuatan mereka pun ternyata mulai surut meskipun lawan-lawan mereka tidak memiliki ilmu yang dapat menghisap ilmu mereka. Namun karena jumlah lawan yang lebih banyak, maka mereka harus mengerahkan tenaga yang sebesar-besarnya. Dengan demikian maka tenaga mereka pun menjadi cepat terkuras.

Mahisa Pukat tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Ia harus segera turun ke medan sebelum terlambat. Sebelum jatuh korban.

Mahisa Pukat dengan serta merta telah meloncat memasuki arena ketika melihat seorang di antara anak muda pengawal Ki Jagabaya itu jatuh terlempar dari arena dengan luka yang dalam di pundaknya.

Mahisa Pukat sempat menangkap orang yang terlempar itu, sehingga orang itu tidak jatuh terpelanting. Perlahan-lahan Mahisa Pukat meletakkannya di pinggir arena sambil berdesis, “jangan bergerak-gerak agar darahmu tidak terlalu banyak mengalir.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia mematuhi pesan itu dan berusaha untuk tidak bergerak sama sekali. Meskipun demikian senjatanya masih tetap tergenggam di tangannya.

Kedudukan Ki Buyut menjadi semakin sulit ketika jumlah mereka telah berkurang meskipun hanya dua orang. Mahisa Murti yang terikat dengan lawannya yang baru dan seorang pengawal Ki Jagabaya.

Namun Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya Mahisa Pukat memasuki arena sambil berteriak, “Orang-orang yang ada di barak anak-anak sudah kami habiskan. Orang-orang kita sedang menolong para bayi dan perempuan yang telah diculik dan disimpan dengan paksa di padepokan ini.”

“Persetan,” geram pemimpin padepokan itu, “kau jangan membual.”

“Jika belum terjadi, aku tidak akan ada di sini,” jawab Mahisa Pukat sambil berloncatan sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti. Keduanya ternyata mempunyai perhitungan yang sama untuk mengurangi kekuatan dan kemampuan lawan, karena ternyata mereka menjadi semakin mendesak.

Mahisa Pukat dengan senjatanya telah membentur setiap senjata lawan yang sempat disentuhnya. Siapa saja tanpa memilih. Sekali-sekali bahkan Mahisa Pukat telah mengikat seorang lawan dalam pertempuran yang cepat.

Sementara itu pemimpin padepokan yang sedang bertempur melawan Mahisa Murti itu telah meloncat mengambil jarak. Tiba-tiba saja ia sudah berada di pendapa lagi. Sekilas ia berusaha mengamati Mahisa Pukat yang bertempur dengan cara dan gaya yang sama dengan Mahisa Murti.

Karena itu, maka pemimpin padepokan itu pun telah berteriak, “Hati-hati dengan anak muda itu. Ia memiliki ilmu yang paling licik yang pernah aku kenal. Ia dapat mencuri ilmu dan kekuatan yang ada di dalam diri kalian. Jangan sampai bersentuhan meskipun hanya senjata kalian dengan senjatanya.”

Orang itu tidak sempat berbicara lebih panjang. Mahisa Murti dengan cepat telah meloncat menyusulnya dan langsung menyerangnya dengan garang, sehingga orang itu harus berloncatan menghindar.

Namun pernyataannya itu telah membuat para pengikutnya menjadi sangat berhati-hati. Bahkan tiga orang telah membentuk sebuah kelompok untuk mencegah Mahisa Pukat berloncatan dengan senjatanya untuk membentur senjata-senjata orang-orang padepokan itu.

Orang itu sama sekali tidak menghiraukan peringatan Mahisa Murti. Bahkan ia telah meningkatkan ilmunya sehingga pertempuran itu pun menjadi semakin sengit.

Agaknya orang yang memimpin padepokan itu telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Karena itu, maka katanya, “Kalian telah membunuh dan menghancurkan padepokanku, bahkan jika yang kau katakan itu benar, bahwa anak-anakku telah kalian kuasai, maka aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku bunuh kalian, atau aku akan mati di sini.”

“Kau dapat memikirkan langkah yang paling baik,” teriak Mahisa Pukat.

Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Karena ia memang tidak ingin bersentuhan dengan Mahisa Murti untuk menghindarkan diri dari kemungkinan kehilangan tenaga dan ilmunya, maka orang itu telah mengambil langkah yang menurut penilaiannya paling baik. Bahkan satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukannya.

Ketika Mahisa Murti menyerangnya dengan garang, maka orang itu telah meloncat mengambil jarak sejauh-jauh dapat dilakukannya. Bahkan orang itu telah meloncat ke halaman samping di antara beberapa jenis tanaman perdu.

Mahisa Murti tidak mau kehilangan lawannya. Karena itu, maka ia pun telah menyusulnya, meloncat ke halaman samping.

Tetapi Mahisa Murti terkejut. Ia melihat orang itu menggerakkan tangannya dengan cepat. Seperti kilat, sesuatu telah terbang dari telapak tangan orang itu menyambar Mahisa Murti.

Mahisa Murti menggeliat. Untunglah bahwa ia ternyata mampu menghindari serangan itu. Sebilah pisau kecil yang tersentuh cahaya obor yang terpancang di regol bagian dalam dan di pendapa, sehingga cahayanya tidak cukup terang, namun cukup memberikan isyarat kepada Mahisa Murti akan bahaya yang menyambarnya.

Tidak hanya sekali. Pisau itu telah disusul lagi dengan lontaran pisau berikutnya. Sambaran senjata itu ternyata benar-benar telah menggetarkan jantung Mahisa Murti. Pisau itu terbang demikian cepatnya, sehingga merupakan serangan yang sangat berbahaya.

Ternyata Mahisa Murti tidak mendapat kesempatan untuk mendekat. Serangan-serangan datang bagaikan arus banjir yang deras. Beruntun susul menyusul.

“Berapa puluh pisau yang dibawanya?” bertanya Mahisa Murti didalam hatinya.

Namun Mahisa Murti harus mengambil sikap. Ia tidak dapat membiarkan dirinya diserang tanpa membalas, bahkan tanpa batas. Pisau-pisau itu seakan-akan mengalir tidak habis-habisnya.

Karena itu, maka Mahisa Murti telah mengambil keputusan yang keras untuk menghindarkan dirinya dari akibat yang paling buruk. Ketika sekali lagi ia memberikan peringatan tetapi tidak dihiraukan sama sekali, bahkan hampir saja lehernya disambar oleh sebuah pisau kecil, maka Mahisa Murti benar-benar kehilangan kesabaran.

Tanpa ada pilihan lain Mahisa Murti telah mengetrapkan ilmunya yang dahsyat. Ilmu yang mampu melontarkan kekuatan yang luar biasa dari dalam dirinya ke sasaran.

Karena itu, ketika orang itu siap melontarkan pisaunya lagi, maka Mahisa Murti pun telah menghentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah lawannya. Satu kekuatan yang dahsyat telah terlontar menyambar lawannya itu tanpa dapat dihindarinya.

Akibatnya memang parah sekali. Seolah-olah telah terjadi satu ledakan. Lawannya itu telah terpental beberapa langkah surut. Jatuh terlentang dengan tubuh yang seakan-akan terluka oleh hembusan api yang menyala.

Terdengar teriakan nyaring. Namun kemudian sepi.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia merasakan teriakan terakhir lawannya adalah ungkapan kemarahan, dendam dan kebencian tanpa batas.

Sejenak suasana yang tegang itu menjadi semakin tegang. Bahkan angin malam pun rasa-rasanya telah berhenti bertiup. Suara-suara malam pun bagaikan telah terputus pula. Tidak ada suara jengkerik, bilalang atau angkup bunga nangka.

Baru kemudian terdengar Mahisa Murti melangkah perlahan-lahan mendekati lawannya yang terbaring diam beberapa langkah dari tempatnya berdiri di saat ia dikenai ilmu Mahisa Murti yang mendebarkan itu.

Dengan demikian maka pertempuran pun telah selesai. Sebagian dari penghuni padepokan itu memang telah terbunuh dan terluka cukup parah.

Untuk beberapa saat Ki Buyut sibuk dengan orang-orangnya. Ternyata tidak hanya satu dua orang yang terluka. Kedua orang bekas perampok itu pun telah terluka pula meskipun tidak terlalu parah.

Tetapi seorang di antara anak-anak muda memang telah terluka parah. Sehingga orang itu memerlukan perawatan yang khusus dari kawan-kawannya.

Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun telah mengatur orang -orangnya pula. Mereka harus membantu orang-orang padepokan itu yang terluka disamping mengurusi kawan-kawan mereka sendiri. Satu dua orang penghuni padepokan itu terluka tidak terlalu parah, sehingga orang-orang itu akan dapat diserahi tugas untuk merawat kawan-kawannya yang parah dan mengubur kawan-kawannya yang terbunuh. Mereka yang dengan cerdik menjatuhkan diri meskipun hanya terluka tidak terlalu parah, ternyata telah dapat menyelamatkan diri.

Dalam pada itu, Ki Buyut dan orang-orangnya memang tidak dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Ia sempat berbicara dengan beberapa orang yang masih mungkin diajak berbicara di antara orang-orang padepokan itu.

Dalam kesempatan itu, Ki Buyut telah memberikan kesempatan kepada orang-orangnya untuk beristirahat. Terutama mereka yang terluka meskipun tidak parah. Bahkan seorang di antara bekas perampok yang juga terluka lengannya itu masih sempat berkata lantang, “Siapa yang akan merebus minuman buat kami?”

Tiga orang bekas prajurit yang ikut membebaskan anak-anak itu telah berkumpul pula dengan kawan-kawannya. Seorang di antara mereka berkata, “Ada perempuan di barak anak-anak. Mereka tentu bersedia merebus air buat kita. Tentu dengan imbalan.”

“Apa imbalannya?” bertanya bekas perampok itu.

“Mereka ingin kita bebaskan seperti anak-anak,” jawab bekas prajurit itu.

“Tentu,” jawab bekas perampok itu, “mereka akan kita bebaskan.” Namun tiba-tiba saja ia berkata pula, “tetapi sudah tentu segala sesuatunya terserah kepada Ki Buyut.”

Ki Buyut memang belum mengambil keputusan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membantu mengobati orang-orang Kabuyutan yang terluka. Tetapi juga orang-orang padepokan itu. Karena menurut kedua anak muda itu, tidak semua orang padepokan itu mutlak bersalah.

Mahisa Semu agaknya memerlukan beberapa saat untuk beristirahat. Anak muda itu tidak terluka, kecuali sebuah goresan kecil di pundaknya. Tetapi darah yang mengalir di luka itu segera menjadi pampat. Namun agaknya anak muda itu telah mengerahkan segenap kekuatannya sehingga ia memerlukan waktu untuk beristirahat sebaik-baiknya, agar nafasnya tidak terputus karenanya.

Beberapa orang padepokan itu memang merasa semakin baik ketika mereka telah mengobati luka-lukanya. Tetapi mereka masih belum dapat berbuat banyak atas kawan-kawan mereka yang terluka lebih parah dan apalagi yang terbunuh.

Di dapur, beberapa orang perempuan yang untuk beberapa lama telah menjadi tawanan dan bahkan tidak lebih daripada budak-budak yang harus melakukan segala perintah orang-orang padepokan itu, sedang merebus air dan bahkan menanak nasi. Beras memang tidak kekurangan. Bahkan bahan-bahan makanan yang lain pun melimpah di padepokan itu.

Menjelang fajar, maka orang-orang yang ada di padepokan itu setelah membersihkan diri di belumbang sempat makan nasi hangat dan minum minuman panas dengan gula kelapa. Dengan demikian maka tubuh mereka pun menjadi segar.

Ternyata Ki Buyut juga memberikan kesempatan kepada orang-orang padepokan itu untuk melakukan hal yang sama.

Namun ketika kemudian fajar menyingsing, maka orang-orang padepokan itu harus bekerja keras untuk mengumpulkan kawan-kawannya yang terluka dan terbunuh. Sementara itu keadaan mereka sendiri pada umumnya masih belum terlalu baik.

Tetapi ternyata bahwa orang-orang Kabuyutan tidak membiarkan orang-orang yang masih lemah itu bekerja sendiri. Mereka ternyata telah ikut membantu meskipun tidak dengan sepenuh hati.

Sementara itu Ki Buyut telah berbicara dengan beberapa orang yang dianggap dapat memberikan keterangan yang diperlukan tentang para penghuni padepokan itu. Para pemimpinnya dan anak-anak yang ada di dalamnya.

Menurut kesimpulan Ki Buyut, orang yang paling bertanggungjawab dalam persoalan penculikan anak-anak itu adalah pemimpin padepokan yang telah terbunuh dalam pertempuran. Beberapa orang pemimpin yang lain dengan setia melakukan semua perintah pemimpinnya, karena mereka merasa takut, bahwa mereka akan tersingkir. Tiga orang pemimpin padepokan itu yang mempunyai sikap lain dengan pemimpinnya, seorang demi seorang telah terbunuh tanpa diketahui pembunuhnya dan sebab-sebabnya.

“Kami memang hidup dalam suasana ketakutan,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang terluka itu.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Bahkan akhirnya Ki Buyut mengambil satu kesimpulan bahwa ia tidak akan menangkap semua orang isi padepokan yang tersisa. Bahkan Ki Buyut memberikan kesempatan orang-orang itu untuk mengembangkan padepokan itu namun dengan watak yang berbeda.

“Kabuyutanku tidak terlalu jauh dari tempat ini,” berkata Ki Buyut, “kami akan dapat mengawasi perkembangan Kabuyutan ini.”

Orang-orang yang tersisa itu pun telah berjanji untuk melakukan semua pesan Ki Buyut, karena sebenarnyalah bahwa mereka juga tidak tahu apa yang telah terjadi di padepokan itu sebenarnya.

Namun dalam pada itu, Ki Buyut telah dibebani tugas yang cukup berat. Ia harus menyelamatkan anak-anak dan perempuan yang ada di padepokan itu. Beberapa orang perempuan dengan jelas dapat menyebut asal-usul mereka. Tetapi beberapa orang anak yang ada di padepokan itu sama sekali tidak tahu menahu tentang diri mereka sendiri. Bahkan anak-anak yang sudah tumbuh menjelang remajanya pun sulit untuk mengatakan, dari manakah mereka telah diambil.

“Baiklah,” berkata Ki Buyut, “kita akan membawa semuanya ke Kabuyutan. Dari Kabuyutan kit akan mengatur perjalanan mereka kembali ke tempat asal mereka.”

Dengan demikian, maka Ki Buyut dan orang-orangnya memerlukan waktu yang agak panjang untuk mempersiapkan orang-orang perempuan dan anak-anak yang ada di padepokan itu. Karena itu, maka Ki Buyut dan orang-orangnya telah memerlukan untuk tinggal semalam lagi di padepokan itu. Kecuali untuk mempersiapkan segala sesuatunya, yang satu malam lagi itu juga memberi kesempatan orang-orang yang terluka beristirahat cukup banyak. Apalagi seorang di antara anak muda yang terluka agak parah itu. Dengan beristirahat sebaik-baiknya, maka keadaannya menjadi berangsur baik. Sedangkan bekas perampok yang juga terluka itu seakan-akan tidak merasakan sejak semula meskipun dagingnya telah terkoyak.

Di malam hari, orang-orang yang tidak terluka serta mereka yang hanya tergores kecil, diwajibkan untuk ikut berjaga-jaga bergantian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ikut pula bergantian bersama-sama dengan beberapa orang yang lain. Sementara itu Mahisa Semu seperti juga orang-orang yang terluka lainnya, mendapat kesempatan untuk tidur semalam suntuk.


Memang tidak terjadi sesuatu di malam itu. Menjelang fajar maka segala sesuatunya telah dipersiapkan. Bersama perempuan dan anak-anak, iring-iringan yang akan meninggalkan padepokan itu dan menuju ke Kabuyutan memerlukan waktu yang lebih panjang. Namun Ki Buyut telah memutuskan untuk kembali ke Kabuyutan lewat jalan yang mereka tempuh ketika mereka berangkat. Melalui hutan panjang untuk menghindari perhatian yang berlebihan dari orang-orang padukuhan.

Ketika kemudian matahari terbit serta anak-anak telah mendapat makan pagi secukupnya, maka perempuan dan anak-anak di padepokan itu telah mengikuti Ki Buyut menuju Kabuyutan. Ki Buyut memang memerlukan waktu beberapa hari untuk menyebarkan pengumuman ke padukuhan-padukuhan di lingkungan Kabuyutannya, atau di lingkungan Kabuyutan lain. Mereka yang merasa kehilangan sejak dua tiga tahun yang lalu, diharap berhubungan dengan Ki Buyut atau bebahu yang ditunjuk.

Namun Ki Buyut pun harus berhati-hati. Mungkin orang yang datang mengaku mempunyai anak yang pernah hilang itu hanya sebuah permainan saja. Beruntunglah jika orang-orang yang datang mengaku mempunyai keluarga itu benar-benar berniat baik. Jika tidak, maka anak yang dilepaskan dengan susah payah akan jatuh ke tangan orang-orang tua yang kurang bertanggung jawab. Dan bahkan dengan tujuan yang buruk pula.

Kepada orang-orang yang akan ditinggalkan Ki Buyut berpesan, agar pengalaman pahit itu dapat menjadi pelajaran dalam hidup mereka selanjutnya.

“Kali ini kalian kami bebaskan meskipun beberapa orang kawan kalian terpaksa terbunuh. Namun pada kesempatan lain, kami akan bertindak lain pula. Mungkin seisi padepokan ini harus dibersihkan sama sekali.”

Orang-orang padepokan itu pun berjanji, bahwa mereka tidak akan melakukannya lagi. Mereka pun sebenarnya tidak banyak ikut campur atas rencana pemimpinnya, karena mereka sama sekali tidak berhak berbuat apa pun kecuali melaksanakan segala perintah.

Demikianlah, maka Ki Buyut telah mulai dengan perjalanannya. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah diminta oleh Ki Buyut untuk tetap berada di Kabuyutan itu beberapa hari menunggu sampai saatnya anak-anak itu diambil oleh mereka yang berhak.

Perjalanan kembali ke Kabuyutan lewat hutan itu memang sulit. Apalagi bagi perempuan dan anak-anak. Tetapi perjalanan itu adalah perjalanan yang terbaik ditempuh.

Beberapa orang anak-anak masih harus didukung. Bahkan ada pula yang masih terlampau kecil, sehingga harus digendong dengan selendang oleh perempuan-perempuan yang ikut dibebaskan itu.

Tetapi betapa pun beratnya perjalanan itu, perempuan-perempuan yang ada di dalam iring-iringan itu tetap merasa bergembira, karena jalan yang berat itu adalah jalan menuju ke kebebasan. Betapa menderitanya mereka di padepokan itu. Lahir dan batin. Mereka benar-benar diperlakukan sebagai budak bahkan seperti binatang.

Untuk menjaga agar anak-anak itu tidak kelaparan di perjalanan, Ki Buyut yang juga mempunyai beberapa orang anak itu telah memerintahkan perempuan-perempuan itu membawa makanan. Bahkan kedua orang bekas perampok itu pun telah ikut pula membawa makanan. Bukan mereka saja, anak-anak muda yang ada bersama mereka pun tidak ketinggalan, sehingga makanan yang mereka bawa cukup tidak saja untuk anak-anak, tetapi untuk semuanya.

Namun di antara anak-anak muda itu ada yang harus dipapah berganti-ganti. Keadaannya memang agak berat. Namun Ki Buyut yakin bahwa anak muda itu akan dapat tertolong jiwanya.

Ternyata bahwa mereka memerlukan waktu sehari penuh untuk menempuh perjalanan panjang itu. Mereka memang beberapa kali harus beristirahat.

Akhirnya perjalanan yang berat itu dapat diakhiri.

Anak muda yang terluka parah itu memang menjadi semakin berat. Tetapi seorang yang menguasai pengetahuan tentang obat-obatan yang terbaik di Kabuyutan itu telah dipanggil untuk secara khusus merawat anak muda itu.

Demikian mereka memasuki halaman banjar, maka perempuan-perempuan itu merasakan udara kebebasan yang segar di pusat paru-paru mereka. Diam-diam mereka mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, bahwa pada suatu saat telah dikirim beberapa orang untuk membebaskan mereka.

Letih dan sengatan panas matahari yang membakar telah mereka lupakan. Apalagi setelah mereka mendapat kesempatan untuk mandi dan membenahi pakaian mereka.

Di banjar, mereka mendapat pelayanan yang wajar. Tidak lagi sebagai budak. Tetapi mereka adalah orang-orang yang bebas sebagaimana orang lain.

Namun justru Kabuyutan itu justru telah mempunyai pekerjaan yang termasuk berat. Mereka harus menyebarkan wara-wara sejauh-jauh dapat dijangkau tentang penemuan mereka. Anak-anak dari bayi sampai anak-anak yang menjelang remaja.

Sementara itu, Ki Buyut telah minta kepada perempuan-perempuan itu untuk beberapa lama tinggal di Kabuyutan untuk merawat anak-anak yang belum diambil oleh orang tua mereka, karena perempuan-perempuan itu sudah dikenal oleh anak-anak itu selama di padepokan.

Ternyata perempuan-perempuan itu sama sekali tidak berkeberatan. Mereka menganggap bahwa mereka memang mempunyai kewajiban sebagai ucapan terima kasih mereka kepada orang-orang Kabuyutan itu.

Demikianlah maka Ki Buyut pun telah memerintahkan beberapa orang anak muda untuk menghubungi Kabuyutan-kabuyutan yang lain. Mereka memberitahukan bahwa ada beberapa orang anak-anak yang telah mereka bebaskan. Karena itu, jika Kabuyutan itu pernah merasa kehilangan anak-anak, maka mereka dapat berhubungan dengan Ki Buyut atau orang-orang yang diserahi tugas untuk mengurusnya.

Pemberitahuan itu memang cukup membuat beberapa Kabuyutan menjadi gempar. Apalagi jika Kabuyutan itu memang pernah kehilangan anak-anak.

Dengan demikian maka beberapa orang telah datang untuk melihat apakah ada di antara anak-anak itu anak-anak mereka yang pernah hilang.

Satu-satu anak-anak itu telah kembali kepada orang tuanya. Untuk meyakinkan Ki Buyut, maka orang tua yang mengambil anak-anak selalu diikuti atau diantar oleh bebahu Kabuyutan mereka.

Namun sampai saat terakhir, masih ada seorang anak yang ternyata tidak mendapat perhatian dari siapa pun juga. Anak itu seakan-akan memang anak yang tidak beribu dan tidak berbapa lagi.

Perempuan-perempuan yang merawatnya juga tidak tahu, darimana anak itu datang.

Anak yang sudah menginjak umur enam tahun itu juga tidak dapat memberitahukan apa pun tentang dirinya.

Dari perempuan-perempuan yang ada di padepokan itu mereka mengetahui bahwa anak itu sudah ada di padepokan sekitar satu tahun.

“Masih belum banyak pengaruh yang mencengkamnya,” berkata salah seorang dari perempuan itu, “apalagi anak itu nakal sekali. Kadang-kadang ia memang diikat dan dipukuli. Tetapi ia tidak dengan mudah dapat ditundukkan.”

Ki Buyut termangu-mangu. Jika tidak ada orang yang mengambilnya, maka anak itu harus menjadi tanggungan Kabuyutan. Namun siapakah yang akan dapat mengurusnya sehari-hari. Anak itu nampaknya memang nakal dan keras kepala.”

Dalam pada itu, karena sudah ditunggu sampai lebih dari dua pekan tidak ada yang mengambilnya, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah membicarakannya pula.

“Jika memang tidak ada yang mengambilnya, biarlah kita mengambil anak itu,” berkata Mahisa Murti.

“Apakah anak itu tahan berjalan demikian jauhnya?” bertanya Mahisa Semu.

“Kita akan mendukungnya berganti-ganti,” jawab Mahisa Pukat yang nampaknya juga tertarik kepada anak itu.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan ikut mendapat giliran.”

Akhirnya mereka menyatakan kepada Ki Buyut kesediaan mereka untuk membawa anak-anak itu. Memeliharanya dan membesarkannya.

Ki Buyut justru termangu-mangu. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah kalian akan dapat menjaganya? Kecuali anak ini memang nakal, bukankah kalian masih akan menempuh perjalanan yang panjang?”

Mahisa Murti dengan yakin menjawab, “Kami akan bersungguh-sungguh memperhatikannya. Kami berjanji untuk membuatnya menjadi seorang anak yang baik meskipun kami tidak tahu jalur keturunannya. Tetapi pengaruh tuntunan dari orang-orang terdekat tentu akan terasa sangat besar.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun demikian ia masih berkata, “Anak-anak muda. Jika kalian memang berniat untuk membawanya, kami di Kabuyutan ini memang tidak berkeberatan, karena memang tidak seorang pun yang mengaku sebagai orang tuanya. Mungkin anak itu diambilnya dari tempat yang jauh atau alasan apapun. Tetapi aku minta, pada waktu tertentu, tiga atau empat tahun lagi, anak itu dibawa kemari. Mungkin ada perkembangan tertentu tentang keluarganya atau persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan anak-anak itu.”

“Baiklah Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “sekitar tiga atau empat tahun lagi, kami akan membawa anak itu kemari. Ia tentu sudah menjadi lebih besar. Perkembangan pribadinya sudah mulai nampak meskipun belum terlalu jelas.”

Dengan demikian maka anak terakhir dari anak-anak dan bayi yang ada di padepokan itu sudah mendapat tempat. Karena itu, maka Ki Buyut pun telah memenuhi janjinya, memerintahkan anak-anak muda Kabuyutan itu mengantarkan perempuan-perempuan yang telah diambil oleh orang-orang padepokan.

Perempuan-perempuan itu masih ingat jelas, darimana mereka diambil. Meskipun mereka tidak tahu jalan menuju ke padukuhan mereka masing-masing, tetapi mereka dapat menyebut nama padukuhan dan Kabuyutan mereka, sehingga mempermudah anak-anak muda yang mendapat tugas mengantar mereka.

Ternyata perempuan-perempuan itu telah diambil dari padukuhan yang berbeda-beda. Bahkan ada di antaranya yang diambil dari padukuhan yang jauh.

Namun tidak banyak kesulitan yang dialami oleh anak-anak muda itu untuk menemukan padukuhan perempuan-perempuan yang harus mereka antar, meskipun cukup jauh. Bahkan anak-anak muda itu ada yang harus berjalan dua hari penuh.

Namun tidak banyak kesulitan yang dialami oleh anak-anak muda itu untuk menemukan padukuhan perempuan-perempuan yang harus mereka antar, meskipun cukup jauh. Bahkan anak-anak muda itu ada yang harus berjalan dua hari penuh.

Tetapi mereka tidak takut lagi kepada orang-orang padepokan yang garang itu, karena sebagian besar dari mereka, justru para pemimpinnya, sudah dihancurkan, sehingga padepokan itu hampir lumpuh sama sekali. Orang-orang yang masih hidup tentu tidak akan berani melakukan gerakan diluar padepokan mereka pada saat mereka dalam keadaan tidak berdaya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu justru masih menunggu satu dua hari untuk meyakinkan bahwa memang tidak ada orang yang akan mengambil anak itu, sekaligus untuk mulai mengenalinya lebih banyak.

Anak itu memang nakal. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak memperlakukan anak itu dengan kasar dan keras. Anak-anak muda itu mulai dengan mengajak anak itu bermain-main. Permainan anak-anak laki-laki yang memang agak keras. Berkejaran. Berlari-larian dan sembunyi-sembunyian.

Sekali-sekali anak itu diajak berkelahi meskipun tidak bersungguh-sungguh.

Nampaknya anak itu senang sekali melakukannya. Ia menjadi gembira. Perubahan yang sangat besar telah terjadi didalam dirinya. Jika saat diketemukan wajahnya nampak selalu murung dan sedih, telah berubah menjadi gembira dan cerah.

Ketiga anak muda itu dengan cepat menjadi akrab. Mereka ternyata merasa gembira pula mendapatkan seorang adik yang nakal, namun benar-benar bersikap sebagai seorang anak laki-laki.

Ketika ketiga anak muda itu sudah merasa cukup meyakinkan bahwa tidak ada orang yang akan mengambilnya, maka ketiga orang anak muda itu pun telah minta diri kepada Ki Buyut untuk meneruskan perjalanan.

“Terima kasih atas pertolongan kalian,” berkata Ki Buyut, “orang yang telah menyebabkan Kabuyutan kami kehilangan watak dan sifatnya itu, telah disiapkan untuk diusut dan dijatuhi hukuman yang pantas meskipun saudara-saudaranya yang langsung dirugikan tidak menuntut.”

“Yang bersalah memang harus dihukum,” berkata Mahisa Murti, “tetapi hukuman bukannya balas dendam.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Hukuman memang bukan balas dendam. Hukuman harus memberikan satu kesadaran tentang kesalahan yang telah dilakukan untuk disesali dan tidak lagi berniat melakukannya.”

Dalam pada itu, sebelum ketiga orang anak muda itu meninggalkan Kabuyutan sambil membawa seorang anak yang mereka dapatkan dari padepokan itu, maka beberapa orang telah menemui ketiga orang anak muda itu di banjar Kabuyutan.

Orang tua dari anak-anak yang telah diketemukan kembali itu menyatakan terima kasihnya berulangkali. Bahkan saudara tertua di antara mereka, seorang yang kaya raya, telah menyiapkan bekal uang bagi ketiga orang anak muda itu.

Tetapi anak-anak muda itu menyatakan keberatan mereka untuk menerimanya. Bahkan Mahisa Semu itu telah berkata, “Kami memang tidak memerlukan bekal diperjalanan kami. Itu merupakan laku yang harus kami tempuh.”

Orang itu tidak memaksa jika itu memang satu laku dalam menjalani paugeran dari sebuah perguruan. Bahkan Mahisa Murti pun berkata, “Salah satu rangkaian laku dari tapa ngrame.”

Namun di dalam hati Mahisa Murti itu tersenyum. Ia tahu bahwa Mahisa Semu membawa bekal cukup. Bukan saja berupa uang, tetapi juga berupa apa saja yang dapat ditukar dengan uang meskipun tidak berlebih-lebihan. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga membawa bekal uang meskipun sudah menjadi jauh susut. Bahkan sudah hampir habis.

Namun orang itu ternyata cerdik juga. Katanya, “Laku yang harus dijalankan oleh seorang yang menuntut ilmu pada sebuah perguruan memang harus dilakukan. Apalagi yang sedang menjalani tapa ngrame. Karena itu, maka aku berikan bekal ini kepada anak-anak yang tidak berbapa dan beribu ini. Mudah-mudahan bekal ini akan berarti baginya, setidak-tidaknya selama dalam perjalanan. Jika biasanya anak-anak muda yang sedang menjalani laku itu dapat menginap dimana saja, tetapi mungkin anak-anak ini memerlukan tempat yang lain. Demikian juga bagi makan dan minumnya, sehingga baginya diperlukan sekedar bekal.”

Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Murti kemudian telah berkata, “Biarlah. Kami menerima bekal itu bagi anak itu.”

Ternyata dimalam hari menjelang keberangkatan ketiga anak muda itu dikeesokan harinya, banjar itu telah penuh. Ki Buyut, para bebahu, orang-orang yang merasa pernah langsung ditolongnya, bahkan anak muda yang terluka berat, namun yang telah menjadi agak baik itu, telah datang untuk mengucapkan selamat jalan kepada ketiga orang anak muda beserta seorang anak kecil itu.

Ketiga orang anak muda itu telah dianggap sebagai orang yang pantas sangat dihormati. Mereka telah melakukan satu pekerjaan yang sangat mengagumkan, sehingga kedua orang kanak-kanak yang hilang dari Kabuyutan itu dapat kembali kepada orang tuanya, sekaligus membongkar niat jahat seorang adik terhadap saudara-saudara tuanya.

Bahkan semalam suntuk orang-orang Kabuyutan itu berada di banjar. Lewat tengah malam mereka telah mempersilahkan ketiga orang anak muda itu beristirahat. Besok mereka akan mengadakan perjalanan panjang. Namun orang-orang Kabuyutan itu sendiri akan berada di banjar itu sampai ketiga orang anak muda itu berangkat membawa seorang di antara anak-anak yang diselamatkan dari padepokan itu, namun yang tidak diambil kembali oleh keluarganya. Tidak seorang pun yang tahu tentang anak itu. Sedangkan anak itu pun tidak tahu tentang dirinya sendiri.

Ternyata dalam keriuhan kelakar dan bermacam-macam permainan anak-anak muda, ketiga orang yang sedang dihormati malam itu sempat juga tidur. Setelah pintu diselarak dari dalam bilik di banjar itu, maka ketiganya telah bersepakat untuk berganti-ganti berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati. Sementara itu anak yang akan mereka bawa telah tidur nyenyak sejak sore.

Menjelang fajar, ketiga orang anak muda itu telah terbangun. Ternyata di pendapa banjar, orang-orang Kabuyutan masih berkelakar dengan riuhnya. Baru saja dihidangkan bagi mereka minuman hangat. Di dapur masih sedang disiapkan makan bagi mereka dan terutama bagi mereka yang akan meninggalkan banjar itu untuk menuju ke tempat yang jauh.

Beberapa saat kemudian, maka semuanya memang sudah siap. Ketiga orang anak muda itu pun sudah siap membenahi dirinya. Anak yang akan menyertai mereka pun sudah mandi dan berpakaian rapi.

Demikianlah setelah makan pagi, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah minta diri kepada Ki Buyut, Ki Jagabaya, para bebahu dan orang-orang Kabuyutan yang ada di banjar. Termasuk keluarga dari kanak-kanak yang telah dibebaskan itu.

“Jika saja kalian bersedia tinggal di Kabuyutan ini,” desis Ki Buyut.

“Maaf Ki Buyut,” sahut Mahisa Murti, “sesuatu telah memanggil kami untuk meninggalkan Kabuyutan ini. Mungkin pada kesempatan lain, kami akan berusaha untuk singgah lagi kemari.”

Tidak seorang pun dapat mencegah. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu bersama seorang anak telah meninggalkan banjar padukuhan itu.

Namun ketiga orang anak muda itu menyadari bahwa dengan membawa anak-anak itu, perjalanan mereka akan menjadi jauh lebih lama. Mereka tidak dapat memaksa anak itu berjalan terlalu cepat. Anak itu pun tentu lebih cepat merasa lelah sehingga mereka harus beristirahat.

Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita tidak akan lagi berhenti. Meskipun lambat kita akan berjalan terus. Kita sudah terlalu lama meninggalkan ayah di padepokan itu.”

Mahisa Pukat pun sependapat. Katanya, “Baiklah. Kita hentikan laku yang selama ini kita jalani. Kita tidak lagi tapa ngrame.”

Mahisa Murti justru menjadi ragu-ragu. Apakah benar mereka dapat membiarkan saja hal-hal yang tidak wajar berlangsung jika mereka menjumpainya di perjalanan?”

Tetapi Mahisa Murti tidak mengatakannya. Bahkan kata-kata yang sudah ada di kerongkongannya pun telah ditelannya kembali.

Anak-anak muda itu memang tidak mempersoalkannya lagi. Mereka pun berjalan terus menyusuri bulak-bulak persawahan. Anak yang mereka bawa itu masih nampak segar di panasnya matahari pagi. Dengan gembira anak itu berlari-lari di tanggul parit.

Ketika dijumpainya sebatang pohon randu, maka tiba-tiba anak itu meloncat memanjatnya.

“Turun,” minta Mahisa Pukat.

Tetapi anak itu memanjat semakin tinggi. Bahkan kemudian anak itu telah berteriak-teriak gembira, “Susul aku jika kalian mampu.”

Pohon randu itu memang tidak begitu besar. Tetapi dahan batang randu adalah dahan yang lemah dan mudah patah. Jika anak itu memanjat terlalu tinggi, pohon itu akan dapat membahayakannya.

Tetapi nampaknya tidak mudah untuk memaksa anak itu turun. Bahkan ketika Mahisa Murti mengancam akan meninggalkannya di situ, anak itu tidak mau turun.

Mahisa Semu mencoba membujuk anak itu dengan cara lain.

Katanya, “Jika kau turun, kita akan membeli beberapa mangkuk dawet cendol. Kau mau dawet cendol?”

“Mau. Aku mau dawet cendol,” jawab anak itu.

Sambil tertawa anak itu menjawab, “Bawa dawet cendol itu naik.”

Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun menjawab, “Penjual dawet cendol itu tidak ada di sini. Kita berjalan beberapa puluh langkah lagi, baru kita akan menjumpai penjual dawet itu.”

Tetapi anak itu tertawa. Katanya, “Jangan menipu aku. Aku akan duduk di sini sampai sore.”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya ia mulai menjadi jengkel. Katanya, “Kau mau turun atau tidak?”

Tetapi anak itu justru tertawa. Ia semakin senang melihat Mahisa Semu menjadi marah.

Tetapi Mahisa Murti telah menggamit Mahisa Semu dan berbisik ditelinganya. Demikian pula dibisikinya juga Mahisa Pukat. Bahkan kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah saling berbisik.

“Apa yang kalian katakan he?” anak di atas dahan randu itu berteriak.

Tetapi tiba-tiba saja ketika orang anak muda itu tertawa. Sambil memandang kepada anak yang ada di pohon itu, mereka bertiga telah melangkah ke tepi jalan di seberang pohon itu dan duduk di atas sebuah batu.

Beberapa saat kemudian ketiganya telah saling berbicara dan bahkan berkelakar dengan gembiranya tanpa memperhatikan lagi anak yang ada di pohon randu itu.

Untuk beberapa saat anak itu menunggu. Tetapi ternyata ketiganya sama sekali tidak memperhatikannya. Mereka masih saja berbicara dengan tanpa pernah berpaling kepadanya. Di saat-saat ketiganya berhenti berbicara, maka perhatian mereka pun tertuju kepada tanaman, sawah dan gunung dikejauhan. Atau bahkan mereka sempat memperhatikan orang-orang yang lewat. Tetapi tidak memperhatikan anak itu sama sekali.

Beberapa kali anak itu memanggil-manggil. Namun ketiganya tidak menghiraukannya, sehingga akhirnya anak itu berteriak-teriak.

Mahisa Murti lah yang pertama kali berpaling kepadanya. Tetapi kata-kata yang diucapkannya hanya singkat saja. “Turunlah. Atau kau dapat berada di situ sampai sore seperti yang kau katakan. Kami akan menunggu di sini.”

“Ambil aku,” teriak anak itu.

Tetapi ketiga orang itu sudah tidak lagi berpaling kepada mereka. Bahkan Mahisa Pukat duduk bersandar sebatang pohon sambil memejamkan matanya.

Akhirnya anak itu meluncur turun sambil bergeremang. Demikian ia turun, maka anak itu pun segera berlari ke arah Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu.

Demikian marah anak itu telah memukuli ketiganya di bahu, di punggung dan di lengannya.

Ketiganya kemudian berdiri dan berlari meninggalkan anak itu. Tetapi anak itu tidak mau melepaskan mereka. Karena itu maka ia pun telah mengejarnya.


Ketika sebuah bulak telah mereka lalui, maka anak itu mulai menjadi letih. Karena itu, maka ia pun telah berhenti dengan sendirinya sambil berteriak-teriak.

Ketiga anak muda itu pun berhenti. Mereka berpaling sambil tertawa. Mahisa Semu pun berkata, “Kau harus memanjat lagi.”

Anak itu mulai merengek. Bahkan matanya mulai menjadi merah.

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Ialah yang pertama kali mendekati anak itu. Katanya, “Nah, lain kali kau tidak boleh nakal lagi ya? Kau harus menurut apa yang kami katakan kepadamu.”

Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

“Nah, jika demikian kita akan membeli dawet cendol jika kita bertemu dengan penjual dawet di perjalanan,” berkata Mahisa Semu yang kemudian menggandeng anak itu berjalan mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di depan.

Beberapa lama mereka berjalan kemudian, ketika anak itu benar-benar merasa letih. Untunglah bahwa mereka sempat sampai ke sebuah kedai yang menjual dawet cendol.

Namun agaknya anak itu benar-benar sudah sulit untuk diajak berjalan lagi. Karena itu, mereka memutuskan untuk berhenti saja di padukuhan itu. Mereka akan minta ijin untuk bermalam di banjar meskipun hanya di serambi.

Ternyata orang-orang padukuhan itu adalah orang-orang yang ramah. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa anak-anak muda itu membawa seorang anak kecil. Karena itu, maka dengan senang hati orang-orang itu memberikan tempat kepada anak-anak muda itu beserta anak kecil yang diajaknya untuk bermalam di banjar.

Pagi-pagi mereka telah bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Setelah mengucapkan terima kasih, maka ketiga orang anak muda itu telah meninggalkan banjar padukuhan dengan menggandeng anak kecil yang nakal itu.

Seperti yang telah mereka duga, berjalan bersama dengan anak kecil memang harus mengendalikan diri. Mereka tidak dapat berjalan secepat saat-saat mereka hanya bertiga. Namun karena hal itu sudah mereka perhitungkan sebelumnya, maka mereka bertiga sama sekali tidak menyesalinya. Bahkan pada saat-saat mereka beristirahat, maka Mahisa Semu dapat mempergunakan kesempatan itu untuk meningkatkan ilmunya.

Dengan demikian maka tidak ada waktu yang terbuang. Sementara itu kemampuan Mahisa Semu pun telah menjadi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pengalamannya. Justru karena kemampuan ditempa pada saat-saat yang berat dan kadang-kadang gawat, maka ilmu Mahisa Semu pun cepat mencapai tingkat kedewasaannya.

Demikianlah maka perjalanan itu pun telah mereka tempuh dengan lamban namun bukannya tidak berarti.

Namun pada suatu kali, ketika mereka memasuki sebuah padukuhan, tiba-tiba anak kecil yang bersama dengan ketiga orang anak muda itu termangu-mangu. Dipandanginya pintu gerbang padukuhan itu. Kemudian jalan yang mereka lalui. Hampir diluar sadarnya anak itu berkata, “Aku pernah melihat tempat ini.”

Ketiga orang anak muda itu termangu-mangu. Mahisa Murti pun kemudian berjongkok dihadapan anak itu sambil bertanya, “Kapan kau pernah melihat tempat ini?”

“Dahulu,” jawab anak itu, “tetapi aku tidak begitu ingat lagi.”

Mahisa Murti pun kemudian menuntun ingatan anak itu, “Kau ingat pohon beringin di tengah-tengah jalan padukuhanmu itu? Nampaknya pohon beringin itu mendapat banyak perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Pagar yang bagus dan terawat rapi itu menunjukkan bahwa pohon itu merupakan satu ujud yang dianggap penting. Atau barangkali kau ingat regol-regol halaman yang tidak begitu terawat sebagaimana pagar pohon beringin itu.”

Wajah anak itu tiba-tiba menjadi tegang. Tiba-tiba saja ia berkata dengan suara gemetar, “Aku takut. Mari kita pergi.”

“Apa yang kau takutkan? Apakah ada sesuatu yang pernah terjadi atasmu di sini?” bertanya Mahisa Murti.

“Pohon itu. Pagar itu,” wajah anak itu benar-benar menunjukkan ketakutan.

“Apa yang pernah terjadi?” bertanya Mahisa Murti.

Anak itu memang masih terlalu kecil untuk mengingat apa yang pernah terjadi satu dua tahun yang lewat. Namun agaknya bayangan kabur itu masih dapat diamati oleh kenangan anak kecil itu. Katanya, “Ayah dan ibu.”

“Kenapa dengan ayah dan ibumu?” bertanya Mahisa Murti.

Anak itu menjadi semakin ketakutan. Rasa-rasanya ingatannya mulai menggapai kenangan masa lalunya.

Tetapi anak itu kemudian menggeleng. Katanya, “Aku tidak begitu ingat lagi.”

Namun ketiga orang anak muda itu terkejut ketika mereka melihat. Satu dua orang yang berjalan mendekat. Kemudian disusul dua tiga orang lain. Empat, lima dan semakin lama semakin banyak.

“Aku takut,” teriak anak itu, “aku takut.”

“Apa yang kau takutkan,” desak Mahisa Pukat.

“Orang-orang itu. Mereka telah membunuh ayah dan ibuku,” jawab anak kecil itu.

“Jadi kau berasal dari padukuhan ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya. Aku ingat pohon beringin itu. Aku ingat regol padukuhan itu. Dan aku ingat, ayah dan ibu dikubur di bawah pohon itu, di dalam pagar.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berdiri tegak. Bertiga dengan Mahisa Semu mereka berdiri membelakangi anak kecil yang ada di tengah-tengah itu. Namun yang demikian eratnya berpegangan pada kain panjang Mahisa Semu.

Beberapa saat suasana menjadi sangat tegang. Orang-orang padukuhan itu telah mengepung ketiga orang anak muda yang membawa anak kecil itu.

Seorang di antara mereka yang mengepung ketiga orang anak muda itu telah melangkah maju. Dengan nada berat orang itu bertanya, “Anak-anak muda. Darimanakah kau bawa anak kecil itu?”

“Aku mendapat tugas untuk membawanya dan menyerahkannya kepada seseorang dari pemimpin padepokanku,” berkata Mahisa Murti.

“Siapakah pemimpin padepokanmu?” bertanya orang itu.

“Bukankah anak ini sudah kalian jual kepada sekelompok orang di sebuah padepokan didekat padang perdu itu? Padang perdu yang disebut Ambal? Nah, kalian sudah tidak berhak apa pun atas anak ini.”

“Apakah kau orang padepokan itu?” bertanya orang padukuhan itu.

“Ya. Aku adalah penghuni padepokan itu,” jawab Mahisa Murti.

“Untuk apa kalian kemari dengan membawa anak itu,” bertanya orang padukuhan itu.

“Aku hanya lewat saja,” jawab Mahisa Murti.

Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Kedatangan anak itu akan membawa bencana.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Seperti ayah dan ibunya,” jawab orang itu, “mereka telah menyebabkan padukuhan ini dikutuk oleh para danyang di padukuhan ini. Penunggu pohon ini, penunggu regol padukuhan dan penunggu banjar.”

“Kenapa kalian dikutuk?” bertanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Mereka telah melanggar adat. Ternyata keduanya adalah dua orang saudara kandung yang akhirnya menjadi suami isteri,” berkata orang itu, “bahkan telah menghasilkan anak itu.”

“Dari mana kalian tahu bahwa keduanya adalah saudara kandung?” bertanya Mahisa Murti.

“Bukankah orang itu penghuni padukuhan ini, dan kami- pun penghuni padukuhan ini,” jawab orang itu.

“Kau telah berbohong pada keteranganmu yang pertama. Kau tentu akan berbohong lagi. Dua kali, tiga kali dan untuk menutupi kebohonganmu, kau tentu akan terus menerus melakukan kebohongan.”

Orang itu menjadi heran. Dengan lantang ia bertanya, “Kenapa aku berbohong?”

“Jika kedua orang yang mengaku suami isteri tetapi sebenarnya masih saudara kandung, kemudian mempunyai seorang anak satu, kenapa kalian tidak mencegahnya? Sejak semula. Bukan setelah keduanya mempunyai anak sebesar ini? Aku yakin bahwa kalian tentu telah membunuhnya sejak kalian ketahui perempuan itu mengandung,” berkata Mahisa Murti.

“Persetan,” geram orang itu, “kau tidak tahu apa-apa tentang orang-orang di padukuhan ini. Karena itu, kau tidak berhak ikut campur. Sekarang, serahkan anak itu kepada kami. Ia adalah hasil perbuatan yang kotor dan mengotori padukuhan ini. Satu-satu tebusan adalah mencuci tanah ini dengan darahnya.”

“Itu tidak mungkin. Aku adalah petugas dari padepokan yang telah membayar harganya. Ia adalah anak padepokan yang sah. Jika kalian mencoba mengganggu anak ini, maka kalian, padukuhan ini akan bermusuhan dengan padepokan kami. Jangan kau kira, bahwa padepokan kami berisi orang-orang yang ramah, baik hati dan mengalah tentang satu persoalan. Padepokan kami berisi sekelompok orang-orang kasar yang siap membunuh dengan jari-jarinya tanpa gemetar,” berkata Mahisa Murti.

Orang-orang padukuhan itu menjadi ragu-ragu. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Kami akan melanjutkan perjalanan. Anak ini anak kami. Minggirlah kalian.”

“Tetapi anak itu telah menodai padukuhan ini sebagaimana orang tuanya,” berkata orang yang melangkah maju mendekati Mahisa Murti itu.

“Siapakah yang saat itu telah menjual anak ini kepada kami. Kepada padepokan kami?” bertanya Mahisa Murti.

Beberapa orang saling berpandangan. Namun kemudian orang yang melangkah maju itu berkata, “Kami berniat menyingkirkannya. Anak itu tidak boleh menginjakkan kakinya lagi di dalam regol padukuhan. Setiap sentuhannya akan menimbulkan bencana. Pagebluk, hama tanaman dan musim panas sepanjang tahun. Namun ternyata anak itu telah memasuki padukuhan ini. Karena itu, maka aku minta kerelaan kalian untuk mencuci padukuhan ini dengan darahnya. Kami memerlukan darahnya untuk membasahi keempat sudut pagar pohon beringin itu. Kemudian sudut tikungan batu datar. Keempat regol padukuhan dan patung di halaman Ki Bekel. Jika kebutuhan kami sudah cukup dan anak itu masih tetap hidup, anak itu boleh kau bawa pergi. Tetapi dengan janji, bahwa anak itu tidak akan mengotori padukuhan ini lagi, karena jika demikian maka ia harus mencucinya dengan darahnya pula.”

“Bagaimana caranya kau mengambil darahnya?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami akan memotong nadi di kedua pergelangan tangannya. Darahnya akan kami tampung dengan sebuah mangkuk tempurung,” berkata orang itu.

“Kalian adalah pembunuh-pembunuh yang paling kejam,” geram Mahisa Pukat, “anak itu tentu akan mati jika diambil darahnya sebanyak itu. Bagaimana jika darah orang lain. Darah kami bertiga misalnya.”

“Tidak mungkin,” jawab orang yang maju mendekati Mahisa Murti, “hanya darah anak itu.”

Namun tiba-tiba saja Mahisa Semu berkata lantang, “Kami berkeberatan. Bukan hanya kami, tetapi seluruh isi padepokan kami. Jika kalian memaksa, maka akan timbul perang. Kami akan memanggil semua orang di padepokan kami. Meskipun jumlahnya tidak akan sebanyak jumlah laki-laki di padukuhan ini, tetapi seorang di antara kami akan mampu membunuh empat orang padukuhan ini.”

Orang-orang padukuhan itu memang menjadi ragu-ragu.

Jika benar ketiga orang anak muda itu memanggil seisi padepokan maka akibatnya akan sangat parah.

Namun tiba-tiba saja seorang berteriak, “Bunuh saja mereka bertiga, agar mereka tidak meninggalkan jejak.”

“Kau kira tidak akan ada petugas sandi yang dapat membongkar pembunuhan ini? Terutama petugas sandi dari padepokanku. Nah, jika kemudian keadaan yang sebenarnya sudah diketahui, maka padukuhan ini akan menjadi karang abang. Tidak sebuah pun akan masih tersisa. Aku tidak peduli ke mana orang-orangnya akan mengungsi atau bahkan mati lemas karena asap untuk terbakar sekalipun oleh api yang menyala,” jawab Mahisa Pukat.

“Omong kosong,” berkata salah seorang yang mengepung mereka bertiga serta anak kecil yang berpegangan kain panjang Mahisa Semu, “menyerahlah. Kalian bertiga pun akan dibunuh untuk menghilangkan jejak. Tidak seorang pun akan mengetahui apa yang akan terjadi hari ini, selain keluarga padukuhan ini sendiri.”

Mahisa Semu rasa-rasanya tidak sabar lagi. Katanya, “Jadi kalian bersungguh-sungguh?”

“Ya. Kami bersungguh-sungguh,” jawab orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti berkata, “Kami lebih takut kepada ikatan paugeran dalam padepokan kami dari pada padukuhan ini. Apa pun yang akan kalian lakukan atas kami, maka kami tentu akan mengimbanginya.”

Demikianlah maka orang-orang yang mengepung ketiga orang anak muda itu bersiap-siap. Orang yang mendekati Mahisa Murti itu pun berteriak, “Bunuh mereka. Tetapi ingat, darah anak itu harus dipisahkan.”

Tidak ada jawaban. Namun para penghuni padukuhan itu benar-benar telah kehilangan penalaran. Karena itu, maka mereka pun justru mulai bergerak perlahan-lahan.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Hampir berbisik ia berkata, “Kenapa kita akan menjumpai persoalan dengan orang-orang padukuhan lagi? Apakah kita harus bertempur dengan mereka dan membiarkan korban jatuh?”

Mahisa Pukat memang juga menjadi bingung, sementara Mahisa Semu menjadi ragu-ragu. Namun hampir diluar sadarnya Mahisa Semu berkata, “Sudah tentu kita tidak mau mati dibantai orang-orang itu.”

Mahisa Pukat mengangguk. Namun ia berdesis, “Apakah sebab yang sebenarnya sehingga kedua orang tua anak ini dibunuh? Tentu tidak sebagaimana dikatakan oleh orang-orang itu.”

“Itulah yang sulit,” berkata Mahisa Murti, “mereka telah sepakat untuk menyebutnya demikian. Nampaknya padukuhan ini dikuasai oleh seorang yang sangat berpengaruh sebagaimana pemimpin sebuah padepokan.”

Mahisa Pukat mengangguk. Namun sementara itu kepungan itu pun telah menjadi semakin rapat, sehingga ketiga orang anak muda itu tidak sempat berbuat lain kecuali bersiap-siap untuk melawan.

Anak yang menjadi sasaran kemarahan orang-orang padukuhan itu menjadi ketakutan. Ia berpegangan Mahisa Semu semakin erat. Sehingga akhirnya Mahisa Pukat pun berkata, “jagalah anak ini. Biarlah kami berdua menghadapinya.”

Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergerak selangkah maju. Mereka telah menggenggam senjata di tangan mereka untuk menghadapi ujung-ujung senjata dari orang-orang padukuhan.

“Kalian benar-benar dungu. Apakah kalian bertiga benar-benar ingin menghadapi kami yang sekian banyaknya? Lebih dari dua puluh lima orang? Sebentar lagi yang lain pun akan berdatangan pula. Mereka akan membunuh kalian seperti membunuh garangan yang telah mencuri ayam di kandang,” berkata orang yang nampaknya menjadi pemimpin di antara orang-orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kami adalah perampok, penyamun dan pembunuh yang tidak ada duanya di sekitar padang perdu Ambal. Kami adalah penjahat yang paling ditakuti di sisi ini bahkan di seluruh Pakuwon. Kami membunuh orang bagaikan membabat padang ilalang. Jika kalian tidak yakin akan kata-kata kami, marilah. Kita akan membuktikannya. Siapakah yang akan tinggal hidup di sini. Tetapi seandainya kami berdua mati, maka lebih dari separuh di antara kalian tentu akan mati. Itu sudah menjadi takaran. Nyawa kami berharga sepuluh orang lain. Apalagi orang-orang padukuhan yang dungu seperti kalian, yang tidak tahu sama sekali tentang kerasnya dunia olah kanuragan.”

Sikap dan kata-kata Mahisa Pukat memang berpengaruh. Tetapi pemimpin dari orang-orang padukuhan itu berteriak, “Cepat. Jangan ragu-ragu.”

Orang-orang yang sebenarnya memang sudah menjadi ragu-ragu itu telah bergerak kembali. Semakin mendekat dengan senjata telanjang di tangan.

Sementara itu Mahisa Semu sempat bertanya kepada anak itu, “Kau ingat kenapa ayah dan ibumu dibunuh?”

Anak itu menggeleng. Namun wajahnya benar-benar menjadi pucat. Katanya, “Dulu ayah dan ibu dikepung seperti sekarang. Lalu ayah dan ibu dibunuh beramai-ramai.”

“Apa yang mereka katakan ketika ayah dan ibumu dibunuh?” bertanya Mahisa Semu.

Anak itu menggeleng.

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun telah berdiri tegak dengan senjata di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegangi tangan anak itu erat-erat.

“Jangan takut,” berkata Mahisa Semu, “kita akan mengusir mereka.”

Namun bagaimanapun juga anak itu menjadi gemetar. Ia mulai membayangkan kembali apa yang telah terjadi atas ayah dan ibunya sebelum ia dijual kepada orang-orang padepokan.

Beberapa saat kemudian, kepungan pun telah menjadi rapat dan semakin lama semakin sempit. Beberapa pucuk senjata teracu ke arah mereka. Tetapi beberapa buah lembing nampaknya siap dilontarkan.

Akhirnya Mahisa Murti pun berbisik. “Kita harus menakut-nakuti mereka agar mereka pergi tanpa harus jatuh korban lagi sebagaimana di padukuhan yang baru kita tinggalkan. Nampaknya orang-orang ini benar-benar tidak mengerti. Kita hanya akan menangkap pemimpinnya saja.”

Mahisa Pukat mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, ketika orang-orang itu menjadi semakin rapat, maka ia pun telah memusatkan nalar budinya.

Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu memang akan membunuh mereka berempat sebagaimana mereka membunuh orang tua anak kecil itu. Ketika sebuah lembing melayang, anak …

Hikss…., tidak nyambung ya. Di buku aslinya juga begitu

“Jangan takut,” berkata Mahisa Semu.

“Dahulu ayah dan ibu juga dilempari lembing, senjata dan batu-batu besar sehingga ayah dan ibu mati tertimbun,” berkata anak itu.

“Begitu kejamnya,” geram Mahisa Semu.

Namun beberapa buah lembing telah dilemparkan lagi.

Mahisa Semu telah menangkis lembing-lembing itu dengan senjatanya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nampaknya tidak hanya sekedar menangkis dengan pedang mereka, meskipun hal itu dapat mereka lakukan. Tetapi mereka merasa perlu untuk memaksa orang-orang itu mengurungkan niatnya yang bodoh dan tidak wajar itu.

Hikss…., tidak nyambung ya. Di buku aslinya juga begitu

Suara Mahisa Murti bergema bergulung-gulung di seluruh padukuhan. Jantung didalam setiap dada pun bergetar dan tubuh-tubuh telah menggigil ketakutan.

Dalam pada itu, seorang yang rambutnya mulai memutih telah melangkah maju. Tubuhnya ditopang dengan sebuah tongkat panjang yang bercabang pendek di ujungnya.

“Ampun anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “atas nama seisi padukuhan ini kami mohon ampun.”

“Siapa kau?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu berjalan terbongkok-bongkok berpegang pada tongkatnya. Katanya, “Aku termasuk orang tersisih di sini. Aku orang yang tidak mendapat tempat di antara orang-orang padukuhan ini.”

“Kenapa kau sekarang minta ampun atas nama orang-orang padukuhanmu? Apakah kau berhak mewakili orang-orang padukuhanmu sementara kau adalah orang tersisih?” bertanya Mahisa Murti.

“Memang tidak seorang pun yang berhak mohon ampun, karena semuanya terlibat dalam kesalahan ini. Semuanya terlibat dalam pembunuhan yang pernah dilakukan tahun lalu atas kedua orang tua anak itu. Hanya akulah yang tidak terlibat kedalamnya, sehingga aku adalah orang yang paling berhak mohon ampun. Dan jika dibenarkan, aku pun akan memohonkan ampun bagi orang-orang padukuhan ini,” berkata orang tua itu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi siapakah yang telah bersalah atas peristiwa ini dan peristiwa lebih dari setahun yang lalu itu? Tentu ada satu dua orang yang telah menggerakkan seisi padukuhan ini sehingga padukuhan ini bergejolak.”

“Ampun anak-anak muda. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku melihat peristiwa itu terjadi. Seperti peristiwa yang hampir saja terjadi ini,” berkata orang tua itu.


“Jika demikian aku tidak akan memaafkan seorang pun. Sudah aku katakan aku adalah perampok, penyamun, penjahat dan apa saja yang paling buruk di bumi ini. Aku juga pembunuh berdarah dingin. Karena itu, jika tidak ada orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan yang pernah terjadi dan yang hampir saja terjadi, maka kami akan tetap melakukan sebagaimana kami rencanakan. Tetapi jika kau kakek tua, dapat menunjuk orang yang bertanggung jawab, masa aku akan mengampunimu dan orang-orang yang kau mintakan ampun. Mungkin bayi-bayi, mungkin perempuan atau orang lain,” jawab Mahisa Murti.

Orang tua itu termangu-mangu. Ia berpaling kepada orang-orang yang ketakutan itu. Namun akhirnya ia menggeleng, “Aku tidak dapat berbuat lebih jauh.”

Mahisa Murti akhirnya telah kehilangan kesabaran. Karena itu, maka ia pun berteriak, “Cukup. Tidak ada yang harus diampuni. Aku tidak mempunyai waktu lagi.”

Ketika Mahisa Murti kemudian menghadap ke arah orang-orang yang mengepungnya, serta seakan-akan siap untuk melontarkan ilmunya, maka tiba-tiba orang tua itu berkata, “tunggu. Jangan.”

“Aku tidak mau kehilangan terlalu banyak waktu di sini. Dengan sekali hentak, maka separuh dari orang-orang itu akan mati. Sekali lagi dan sekali lagi, habislah mereka. Sementara saudaraku akan dapat membakar semua rumah di sini.”

“Jangan,” berkata orang tua itu, “ternyata aku memang harus melakukannya. Aku tahu, akibatnya akan sangat parah bagiku. Mungkin aku dan keluargaku akan habis dicincang sampai lumat.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Orang yang kau cari adalah orang yang tidak ada duanya di padukuhan ini. Orang itu adalah orang yang berdiri di sudut pagar pohon beringin itu. Dibawah kakinya kedua orang yang telah dibunuh itu dikuburkan,” berkata orang tua itu.

“Omong kosong,” teriak orang itu.

“Ialah yang telah menggerakkan orang-orang padukuhan ini untuk melakukan pembunuhan itu. Ia pulalah yang merancangkan tuduhan seolah-olah kedua orang tua anak itu adalah kakak beradik,” berkata orang itu pula.

“Jadi, ternyata tuduhan itu palsu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya,” jawab orang tua itu, “semuanya palsu. Orang itulah yang sebenarnya ingin memperistri perempuan yang dibunuh beramai-ramai itu. Dilempari lembing, pisau, pedang, kapak, batu dan potongan-potongan kayu sehingga kedua orang suami istri itu mati dalam keadaan yang sangat menyedihkan.”

“Diam,” teriak orang itu pula, “kubunuh kau.”

“Nah kau dengar,” berkata orang tua itu, “ia dan pengikutnya tentu akan membunuh aku dan anak serta menantuku. Tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit dari sekian banyak orang yang mengepung kalian. Lebih dari dua puluh lima bahkan tiga puluh orang. Belum terhitung perempuan dan anak-anak yang ada di rumah. Bahkan beberapa orang masih berdatangan. Sedangkan keluargaku hanya terdiri dari lima orang. Lima orang tentu jauh lebih sedikit dari seratus orang seisi padukuhan ini.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “jadi kau berkorban untuk orang-orang ini?”

“Ya. Mereka adalah keluarga besar padukuhan ini. Mereka adalah tetangga yang baik. Sanak kadang yang aku cintai. Nah, sekarang terserah kepada anak muda, apakah yang akan anak muda lakukan,” berkata orang tua itu.

“Bohong. Orang itu memang pembohong besar di padukuhan ini. Karena itu ia memang tersisih dari antara kami,” teriak orang itu.

Mahisa Murti berpaling kepada orang tua itu. Namun orang tua itu berkata, “Aku memang tersisih karena aku merasa kasihan kepada orang-orang padukuhan ini. Tetapi agaknya karena aku sudah dianggapnya terlalu tua, sehingga aku telah dibiarkan saja. Tetapi apa yang aku katakan itu benar. Aku sudah siap mengorbankan keluarga bagi kepentingan padukuhan.”

Dalam pada itu maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya kepada orang-orang yang semula mengepungnya, “Nah, sekarang kalianlah yang harus menjawab. Orang tua itu sudah mengatakan terus terang, siapakah yang menjadi otak dari kekacauan yang terjadi di padukuhan ini.”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

“Kenapa kalian menjadi ketakutan he? Kalian tidak malu kepada orang tua itu? Atau kalian akan dengan senang hati dan tanpa berperasaan menikmati pengorbanan orang tua itu? Nah, siapakah laki-laki di antara laki-laki. Siapakah yang berani mengatakan, apakah yang dikatakan oleh orang tua itu benar atau tidak. Siapakah di antara kalian yang merasa malu membiarkan dirinya menjadi tebusan atas pengorbanan orang tua itu dengan keluarganya serta membiarkan keluarga mereka mati dibunuh oleh orang gila itu sementara kalian menikmati hidup yang panjang? Apakah kalian tidak pernah berpikir, bahwa kalian dalam jumlah yang sekian banyaknya itu akan dapat membulatkan diri menjadi kekuatan yang tidak akan dapat dikalahkan oleh hanya seorang, betapa pun tinggi ilmu orang itu? Kenapa kalian tidak memperlakukan orang itu sebagaimana kalian memperlakukan kedua orang tua anak itu. Orang-orang yang justru tidak bersalah? Jika kalian laki-laki maka kalian dapat mengepung orang itu dan menghukumnya sesuai dengan kesalahannya.”

Beberapa wajah mulai tengadah. Beberapa orang mulai memperhatikan laki-laki yang berdiri di sudut pagar pohon beringin itu. Orang yang pertama kali mendatangi Mahisa Murti dan memutuskan untuk membunuh anak kecil itu pula.

Sebenarnyalah semua mata tertuju kepada orang itu. Namun orang itu tidak mau menyerah begitu saja. Adalah benar-benar diluar dugaan Mahisa Murti ketika orang itu tiba-tiba saja telah melontarkan sebilah pisau mengarah ke dada anak muda itu.

Bagaimanapun juga tinggi ilmu Mahisa Murti, dalam keadaan yang tidak diduganya sama sekali, ia terkejut juga melihat pisau itu menyambarnya. Meskipun ia sempat bergeser, tetapi pisau itu masih menggores kulit lengannya.

Wajah Mahisa Murti menjadi marah. Namun kemudian terdengar orang yang melemparkan pisau itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Sebentar lagi kau akan mati. Pisauku adalah pisau beracun. Hanya akulah yang mempunyai obat penawarnya.”

Mahisa Murti tidak segera menjawab. Sementara itu orang itu pun berkata selanjutnya, “Aku akan memberikan obat penawar itu dengan beberapa janji.”

“Janji apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Berikan anak itu kepadaku,” berkata orang itu, “kemudian kalian semuanya pergi meninggalkan tempat ini, atau anak itu aku bunuh dengan caraku.”

“Kau memang iblis,” geram Mahisa Murti.

“Aku tahu bahwa saudaramu itu juga mampu melakukan sebagaimana kau lakukan. Tetapi jika ia memaksa untuk membunuhku, maka kau pun akan mati, karena kau tidak akan mendapat obat penawarnya,” berkata orang itu.

Mahisa Murti benar-benar telah menjadi marah. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati orang itu sambil berkata, “Aku tidak akan membunuhmu dengan ilmuku yang dapat menghancurkan regol halaman itu. Tetapi aku ingin bertempur dengan sentuhan wadag. Nah, senjata apa yang akan kau pakai?”

Orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kau telah terkena racunku. Kau akan mati.”

“Aku juga akan membunuhmu,” geram Mahisa Murti.

“Tetapi kau masih mempunyai kesempatan untuk hidup jika mau mengikuti perintahku,” geram orang itu.

“Aku bukan budakmu. Aku tidak berkewajiban menuruti perintahmu,” jawab Mahisa Murti pula.

“Tetapi kau akan mati. Hanya dalam beberapa kejap lagi.” orang itu mulai bergeser mundur ketika Mahisa Murti mendekatinya.

“Racunmu tidak ada artinya bagiku,” berkata Mahisa Murti pula, “kau kira hanya kau saja yang mempunyai penawar racun?”

“Racunku racun yang sangat tajam,” berkata orang itu.

Mahisa Murti tidak menunggu lebih lama lagi. Ia justru melangkah lebih panjang lagi mendekati orang itu.

Namun sekali lagi orang itu telah melemparkan pisau ke arah jantung Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti yang telah siap dengan pedangnya dengan cepat pula menangkis serangan itu, sehingga pisau itu tidak mengenainya, tetapi terlempar beberapa langkah daripadanya.

Tetapi orang itu ternyata masih menyimpan beberapa pisau di ikat pinggangnya. Pisau-pisau beracun. Karena itu, maka ia- pun telah menarik lagi satu pisau dari ikat pinggangnya.

Tetapi pada saat itu, sama sekali tidak terduga, seorang anak muda telah meloncat maju dengan tanpa menghiraukan apa pun juga. Ditangannya tergenggam sebilah keris. Dengan serta merta anak muda itu telah menghunjamkan kerisnya di lambung orang yang hampir saja melemparkan pisaunya itu.

Orang itu terkejut. Ia masih sempat berpaling memandang ke arah anak muda itu.

Sorot matanya yang bagaikan menyala itu ternyata telah membuat anak muda yang menusuknya menjadi ketakutan. Karena itu, maka ia pun telah bergeser selangkah demi selangkah surut. Sedangkan orang yang terluka itu seakan-akan tidak lagi merasa bahwa lambungnya telah koyak.

“Setan kau,” geram orang itu, “kau mencoba membunuhku he?”

Suasana menjadi semakin tegang. Anak muda yang telah menusuk lambung orang yang telah melemparkan pisau itu menjadi semakin ketakutan. Ternyata orang ditusuknya tidak segera mati.

Dalam suasana tegang itu Mahisa Pukat sempat bertanya kepada orang tua yang telah berani menunjukkan siapakah yang bersalah itu, “Siapa anak itu?”

“Anak itu adalah adik dari perempuan yang telah terbunuh bersama suaminya. Perempuan yang telah dilempari lembing, pisau, kapak dan batu,” jawab laki-laki tua itu, “agaknya dendamnya tidak lagi tertahankan. Dalam kesempatan ini ia telah melepaskan dendamnya itu.”

Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah menggeretakkan giginya. Ketika laki-laki yang terluka itu mengangkat pisau belatinya ke arah anak muda yang ketakutan itu, maka Mahisa Pukat telah berada di sampingnya.

“Ternyata daya tahanmu cukup besar,” geram Mahisa Pukat.

Orang itu berpaling. Namun ia pun menggeram ketika ia melihat Mahisa Pukat berdiri disebelahnya.

“Kau akan membela anak itu?” bertanya orang itu.

“Kau adalah sumber dari segala malapetaka,” geram Mahisa Pukat, “menyerahlah. Bertaubatlah, agar jika kau dapat disembuhkan maka kau akan menjadi warga yang baik dari padukuhan ini.”

Tetapi orang itu sama sekali tidak mendengarkannya. Bahkan tiba-tiba saja ia telah mengayunkan pisaunya menyerang Mahisa Pukat.

Kemarahan Mahisa Pukat sejak semula telah menyesak di dadanya. Karena itu, ketika orang itu mengayunkan pisaunya mendatar, maka dengan cepat Mahisa Pukat bergeser. Selangkah ia surut, sehingga pisau orang yang terluka itu tidak menyinggungnya.

Kemarahan Mahisa Pukat agaknya telah benar-benar sampai ke ubun-ubun. Karena itu, maka tangannya sudah siap terayun menghantam dada. Jika hal itu terjadi, maka sudah pasti tulang-tulang iga orang itu akan berpatahan.

Namun ternyata sebelum Mahisa Pukat melakukannya. Sekali lagi anak muda itu meloncat sambil menjulurkan kerisnya. Sekali lagi keris anak muda itu menghunjam justru ke arah jantung.

Orang itu menyeringai sejenak. Kemudian mengumpat dengan kata-kata kotor.

Namun anak muda itu kemudian justru telah berteriak dengan suara yang keras sekali, “Kau bunuh kakakku meskipun ia tidak bersalah.”

Orang yang telah ditusuknya itu masih melangkah selangkah maju. Namun ia pun kemudian telah jatuh tertelungkup. Ternyata luka di jantungnya telah melepaskan nyawa dari tubuhnya.

Sejenak orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu diam mematung. Namun kemudian Mahisa Pukat pun berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Ternyata peristiwa ini telah dapat diselesaikan dengan cara yang sama sekali diluar dugaan. Dendam yang membakar jantung anak muda itu tidak terkendali.”

Orang-orang itu memandangi anak muda itu dengan pandangan mata yang aneh. Namun kemudian seorang di antara mereka datang menghampirinya sambil berkata, “terima kasih anak muda. Kau telah mengakhiri kelaliman yang sudah berlangsung bertahun-tahun.”

Anak yang muda yang memegang keris itu termangu-mangu sejenak. Namun dari keningnya keringat telah mengalir dengan derasnya.

Beberapa orang justru telah datang mengerumuninya. Pada umumnya mereka menyatakan kekaguman mereka atas keberanian anak itu. Namun anak itu sendiri tiba-tiba telah jatuh berlutut dan dengan kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Kerisnya masih tertancap di dada orang yang telah terbunuh itu.

Anak itu ternyata telah menangis sejadi-jadinya. Seakan-akan ia ingin meneriakkan segala macam kemarahan, kekecewaan, penyesalan dan segala macam perasaannya.

“Ia telah membunuh kakakku,” geramnya di sela-sela tangisnya.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Pukat, “yang sudah lampau tidak perlu disesali. Yang lewat tidak akan dapat diulang kembali. Sekarang, cobalah memandang masa depan. Aku tahu. Kau tentu tidak pernah merencanakan untuk membunuh seseorang. Agaknya kau telah melakukannya diluar sadar. Itu pun sudah terjadi. Dan sikapmu dapat dimengerti oleh orang-orang padukuhan ini sehingga mereka tidak akan-mengambil tindakan apa-apa terhadapmu. Orang-orang padukuhan sudah tidak takut lagi kepada seseorang yang selama ini menguasai hampir semua segi-segi kehidupan di sini. Apa yang kau lakukan justru merupakan satu kurnia bagi kehidupan padukuhan ini untuk selanjutnya.”

Perlahan-lahan anak itu menjadi tenang. Tangisnya pun telah mereda. Ternyata beberapa orang telah membantunya berdiri dan seorang di antara mereka berkata, “Kau telah membebaskan kita semua dari penindasannya.”

Anak itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah berkata, “Jika demikian, maka aku harap kalian dapat menyelesaikan persoalan kalian sendiri. Aku akan melanjutkan perjalanan bersama-sama saudaraku membawa anak itu ke tempatnya, sebagaimana harus kami lakukan. Atau kalian masih menganggap perlu untuk mengambil darah anak itu?”

Orang-orang yang mendengar kata-kata Mahisa Pukat itu termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat justru menegaskan, “Kami akan minta diri. Kalian dapat berbuat banyak untuk memperbaiki keadaan padukuhan kalian tanpa mengenal takut lagi.”

Orang-orang itu masih saja termangu-mangu.

Namun dalam pada itu Mahisa Pukat berkata, “Kalian tahu, bahwa orang tua ini sudah menyatakan diri dan bahkan dengan seluruh keluarganya berkorban untuk keselamatan kalian. Aku tidak tahu kenapa orang tua itu tersisih. Tetapi itu ternyata bahwa ia telah bersedia berkorban untuk kalian. Itu bukannya satu langkah yang tanpa arti.”

Seorang di antara orang-orang padukuhan itu tiba-tiba saja telah melangkah maju sambil berkata, “kami mohon maaf.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Orang tua itu untuk sementara memang tersisih. Tetapi sebenarnya orang itu adalah Ki Bekel dari padukuhan ini,” berkata orang itu.

“Ki Bekel?” ulang Mahisa Pukat.

“Ya,” jawab orang itu.

“Jadi bagaimana dapat terjadi sehingga Ki Bekel justru menjadi orang tersisih di padukuhannya sendiri,” bertanya Mahisa Pukat.

“Itulah yang telah terjadi,” jawab orang itu sambil memandang kepada tubuh yang telah terbaring diam.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata demikian besar pengaruh orang itu sehingga Ki Bekel justru telah tersisih. Tetapi ternyata begitu besar pula tanggung jawab Ki Bekel atas padukuhannya sehingga ia bersedia mengorbankan bukan saja dirinya tetapi keluarganya, karena ia sadar, bahwa jika orang itu masih tetap hidup, maka ia akan membunuhnya dan keluarganya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Baiklah. Jika demikian kita serahkan semuanya kepada Ki Bekel. Aku yakin bahwa keadaan padukuhan ini akan segera pulih kembali.”

Dalam pada itu ternyata Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan anak yang dibawanya tidak bersedia singgah di padukuhan itu. Mereka sudah terlanjur menyebut diri mereka orang-orang dari padepokan golongan hitam, sehingga kehadirannya di padukuhan itu akan dapat menimbulkan ketakutan pada orang-orang padukuhan.

Namun ketika mereka minta diri, orang tua yang sebenarnya adalah Ki Bekel itu berkata kepada mereka, “Aku tidak yakin bahwa kalian berasal dari padepokan di sebelah padang rumput Ambal. Meskipun letaknya dari padukuhan ini agak jauh, tetapi aku pernah mengenal serba sedikit tentang padepokan itu.”

Mahisa Murti memang tidak dapat ingkar. Katanya, “Kami memang bukan orang padepokan itu. Justru kami telah menghancurkan padepokan itu. Jika kami menyebutnya, maksud kami agar orang-orang padukuhan ini menjadi ketakutan dan mengurungkan niatnya untuk membunuh anak ini. Tetapi ternyata bahwa korban akhirnya memang harus jatuh.”

“Dendam anak itu tidak terkendali lagi,” berkata Ki Bekel, “tetapi aku tidak menyalahkannya.”

Demikianlah, namun anak-anak muda yang membawa anak kecil itu terpaksa tidak singgah di padukuhan itu. Mereka pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Sementara pemerintahan di padukuhan itu telah kembali lagi kepada Ki Bekel yang untuk beberapa lama telah tersisih.

Demikian meninggalkan padukuhan itu, maka anak kecil yang bersama ketiga orang anak muda itu baru berani melepaskan pegangannya pada kain panjang Mahisa Semu.

Ternyata Mahisa Pukat sempat mengganggunya, “He, kenapa kau menangis? Anak nakal tidak boleh menangis. Kau berani memanjat pohon randu dan menolak untuk turun, namun kau menangis ketika beberapa orang mengancammu.”

“Aku takut sekali,” jawab anak itu jujur.

Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi karena anak itu menjawab dengan jujur, maka Mahisa Pukat tidak dapat mengganggunya lagi.

Demikianlah, maka iring-iringan kecil itu telah berjalan di tengah bulak. Sekali-sekali mereka memasuki padukuhan, namun kembali mereka menelusuri bulak panjang dan pendek. Bahkan kadang-kadang bulak itu demikian panjangnya sehingga seakan-akan jalan bulak sama sekali tidak berujung.

Ketika mereka memasuki senja hari, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta Mahisa Semu telah sepakat untuk bermalam di banjar padukuhan.

Orang-orang padukuhan itu tidak berkeberatan. Namun ternyata ada beberapa orang anak-anak muda yang nakal. Rasa-rasanya tangan-tangan mereka menjadi gatal jika mereka tidak mengganggu orang.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang harus menahan diri, bahwa orang-orang itu dengan suara lantang dan kasar menyapa mereka bertiga.

“He,” berkata orang bertubuh gemuk, “salah seorang dari kalian. Pijit kakiku,” katanya.

Tetapi ketika anak kecil yang bersama ketika orang anak muda itu mendekat untuk memijit, maka tiba-tiba saja kakinya telah dihentakkannya sehingga anak itu jatuh terlentang. Kepalanya membentur pintu sehingga matanya menjadi merah.

Tetapi Mahisa Pukat berbisik, “Anak nakal tidak boleh menangis.”

Sementara itu orang yang gemuk sambil berbaring menelungkup berkata, “Cepat, salah seorang dari kalian atau aku pukuli kalian semua.”

Kawannya yang mendengarnya berteriak-teriak bertanya, “Kau suruh apa mereka?”

“Seorang di antara mereka harus memijit aku. Aku akan memberi mereka upah jika mereka dapat menyembuhkan lelahku sebelum aku meronda,” berkata anak yang gemuk itu, “tetapi jika sebaliknya ia membuat kakiku sakit, maka ia akan aku denda.”

“Kau memang aneh-aneh saja. Nanti jika Ki Bekel mendengar kau mengganggu orang menginap, ia akan marah,” berkata kawannya.

“Ki Bekel sudah mendengkur di rumahnya,” jawab anak yang gemuk itu. Lalu katanya, “Lagi pula yang menginap itu tidak lebih dari pengembara-pengembara kelaparan. Nanti, di saat para peronda makan, biarlah mereka kita beri makan.”

Ternyata anak yang gemuk itu tidak menghiraukan peringatan kawannya. Ia masih saja memanggil, “He, cepat. Salah seorang dari kalian. Atau aku harus datang menyeret kalian ke mari?”

Tidak ada yang menjawab. Namun Mahisa Murti lah yang memberi isyarat kepada yang lain, bahwa ialah yang akan datang memenuhi panggilan itu.

Anak yang gemuk itu hampir saja berteriak ketika Mahisa Murti masuk ke ruang tengah.

“Nah kau. Jangan bayi itu kau suruh memijit aku. Tanganmu pun belum tentu terasa. Apalagi tangan-tangan bayi,” berkata anak muda yang gemuk, yang kemudian berbaring menelungkup di atas tikar di sudut banjar.

Beberapa orang kawannya memang mentertawakannya. Seorang di antara mereka berkata, “Kau memang seorang pemalas. Orang-orang itu tentu letih. Lebih letih dari kau, karena mereka telah menempuh perjalanan jauh.”

“Tutup mulutmu,” bentak anak yang gemuk itu.

Tetapi kawannya yang lain justru berkata, “Pulang sajalah jika kau malas meronda malam ini.”

“Aku pukul mulutmu,” geram anak muda yang gemuk itu.

Kawan-kawannya pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Ia memang anak muda yang sulit untuk dikendalikan. Ia berbuat sesuatunya. Namun kadang-kadang ia benar-benar memukul kawannya yang menentang kesenangannya.

Beberapa orang kawannya memang merasa takut kepadanya, tetapi yang lain semata-mata merasa segan. Lebih baik tidak bertengkar dengan anak itu meskipun mereka tidak takut.

Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti lah yang telah mulai memijit kaki anak muda itu. Perlahan-lahan saja. Tidak cukup keras sehingga seakan-akan tidak terasa.

“Keras sedikit pemalas,” bentak anak muda yang gemuk itu, sehingga beberapa orang yang duduk di serambi berpaling kepadanya.

Tetapi Mahisa Murti masih saja memijit perlahan-lahan, sehingga anak muda yang gemuk itu menjadi semakin marah.

Dengan telapak kakinya, maka anak muda itu telah mendorong Mahisa Murti pada pundaknya sambil membentak, “Kau jangan keras kepala he? Aku dapat mematahkan jari-jarimu.”

Beberapa orang yang melihat anak muda yang gemuk itu berbuat demikian kasarnya menjadi semakin tidak senang. Seorang yang bertubuh tinggi tegap, yang biasanya lebih baik tidak menghiraukannya, tidak dapat menahan diri. Karena itu, ia pun telah berdiri dan mendekati, “Kau jangan terlanjur menjadi gila he?”

“Anak itu menghinaku,” geram anak bertubuh gemuk itu.

“Tetapi kau terlalu kasar,” geram anak yang bertubuh tinggi tegap itu.

“Jangan ikut campur,” bentak anak muda yang gemuk. Tetapi ia masih saja berbaring menelungkup. Katanya kemudian, “Jika paman Jagabaya melihat kau begitu sombong, maka kau akan dihukum di halaman banjar.”

“Tetapi banyak saksi yang melihat apa yang kau lakukan,” berkata anak muda itu.

“Aku tidak peduli. Aku akan memberitahukan kepada paman Jagabaya bahwa kau terlalu sombong,” geram anak yang gemuk itu.

“Katakan kepada Ki Jagabaya,” bentak anak itu, “aku akan melaporkannya kepada Ki Bekel. Kau kira wewenang Ki Jagabaya lebih tinggi dari Ki Bekel.”

“Persetan,” geram anak yang gemuk itu.

Namun Mahisa Murti yang tidak mau melihat anak-anak muda itu bertengkar berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Terima kasih atas sikap Ki Sanak. Tetapi biarlah aku melakukan perintahnya. Anak muda yang gemuk ini akan segera bersikap lain.”

Anak yang bertubuh tinggi tegap itu tidak begitu mengerti maksud pengembara yang sedang memijit anak muda yang gemuk itu. Bahkan anak muda yang gemuk itu pun tidak mengerti pula maksudnya, sehingga ia pun membentak, “Apa maksudmu?”

“Kau tidak akan membentak-bentak lagi,” berkata Mahisa Murti. Tetapi ia masih memijit perlahan-lahan saja.

Namun sebenarnyalah Mahisa Murti juga sedang berpikir. Apakah ia harus mengisap kekuatan anak muda itu, atau sekedar membuatnya tidak berdaya untuk beberapa saat.

Tetapi sementara itu, anak muda itu masih saja membentak, “Cepat. Atau aku tendang kepalamu.”

Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti telah bergeser sedikit. Ia tidak memijit kaki anak muda yang gemuk itu. Tetapi ia telah menekan dengan jari-jarinya beberapa simpul syaraf disebelah menyebelah tulang belakangnya. Kemudian memijit pangkal lehernya sehingga anak muda itu menyeringai.

“Nah,” berkata Mahisa Murti, “anak itu tidak akan berbuat apa-apa lagi.”

Anak yang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu. Ia tidak segera pergi. Jika anak gemuk itu berbuat kasar sekali lagi, maka ia tidak akan memaafkannya meskipun anak yang gemuk itu adalah kemanakan Ki Jagabaya. Tetapi tingkah lakunya sudah keterlaluan.

Tetapi tiba-tiba saja anak yang gemuk itu justru berteriak, “He, kau apakan aku? Kenapa tiba-tiba saja aku menjadi lumpuh?”


Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “kau terlalu nakal. Kau peras tenaga orang lain tanpa belas kasihan. Bukankah kau tahu, sebagaimana telah diperingatkan oleh kawan-kawanmu, bahwa kami, yang baru saja mengembara tentu merasa jauh lebih letih dari kau. Tetapi kau paksa kami melakukan pekerjaan yang tidak sepantasnya kami lakukan. Nah, sekarang kau dapat beristirahat di situ sampai besok.”

“Gila. Aku bunuh kau. Paman Jagabaya akan menjadi sangat marah kepadamu sehingga kau tentu akan digantung,” berkata anak muda itu.

“Bukankah aku tidak berbuat apa-apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Tetapi kau buat aku lumpuh,” anak muda itu tiba-tiba saja hampir menangis.

“Jangan gelisah. Bukankah dengan begitu kau menjadi semakin manja. Kau akan digotong ke mana kau ingin pergi. Kau akan dimandikan oleh sanak kadangmu dan kau akan disuapi sehari tiga kali,” berkata Mahisa Murti.

“Tidak mau. Aku tidak mau.” anak muda yang gemuk itu benar-benar menangis.

Anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu menjadi tegang. Dengan kerut di dahi ia bertanya kepada Mahisa Murti, “Kau apakan anak itu?”

“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Murti.

“Kenapa ia menjadi lumpuh?” bertanya anak itu pula.

“Sebenarnya ia tidak lumpuh. Ia merasa dirinya lumpuh,” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi ia tidak dapat bangkit,” berkata anak muda itu.

“Ia memang anak manja. Tetapi untuk sementara aku memang perlu membuatnya tidak melakukan sesuatu. Bukankah ia mengancam akan menyakiti aku?” jawab Mahisa Murti.

“Apakah hal itu tidak membahayakannya?” bertanya anak itu lagi.

“Tidak. Tentu tidak,” berkata Mahisa Murti.

Agaknya anak muda itu tidak percaya, sehingga Mahisa Murti pun kemudian telah bergerak dengan cepat. Menekan beberapa simpul syaraf sehingga terbuka. Sentuhan pada pangkal leher anak itu telah membuat tenaganya terasa menjadi pulih kembali.

Ketika terasa bahwa kemampuannya menguasai anggauta badannya tumbuh kembali, sehingga menurut pendapatnya kekuatannya telah bangkit lagi, maka anak muda yang agak gemuk itu telah meloncat berdiri. Dengan serta merta ia telah menyerang Mahisa Murti.

Tetapi Mahisa Murti telah meloncat menjauh. Kepada anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu Mahisa Murti yang telah mengambil jarak berkata, “Nah kau lihat, bahwa ia tidak apa-apa.”

“Anak iblis,” anak yang agak gemuk itu mengumpat, “paman Jagabaya akan membunuhmu.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Namun anak yang marah itu telah menyerangnya lagi. Ayunan tangannya mengarah ke kening Mahisa Murti.

“Cukup,” bentak anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu.

Tetapi anak muda yang gemuk itu tidak menghiraukannya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dihadapinya.

Namun dalam pada itu Mahisa Murti telah bergeser selangkah ke samping. Menangkap tangan anak itu, memilinnya dan sekali lagi dengan cepat tangannya menutup beberapa simpul syaraf di punggungnya. Kemudian menyentuh pangkal leher anak yang gemuk itu.

Tetapi dengan cepat Mahisa Murti menangkap anak yang hampir saja jatuh tertelungkup itu.

Perlahan-lahan Mahisa Murti meletakkan anak muda itu sambil berkata, “Ia akan beristirahat sampai esok pagi.”

Anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu akhirnya mengetahui juga, kemampuan yang tersimpan di dalam diri Mahisa Murti. Betapa jauh kemampuannya dalam olah kanuragan, namun yang dilakukan oleh Mahisa Murti nampaknya mampu meyakinkannya, bahwa hanya orang-orang berilmu sajalah yang dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti itu.

Namun dalam pada itu, beberapa orang telah mengerumuninya. Anak muda yang bertubuh tinggi tegap itulah yang kemudian berkata, “Ia masih ingin beristirahat setelah tubuhnya dipijit. Nampaknya pijitan itu membuatnya kehilangan gairah untuk meronda bersama kita.”

“Tolong aku,” anak muda yang gemuk itu berteriak, “tangkap anak itu. Ia mempunyai ilmu sihir. Tentu ilmu iblis. Aku telah dibuatnya lumpuh lagi.”

Beberapa orang memang termangu-mangu. Namun anak muda yang bertubuh tinggi tegap itulah yang kemudian mengatakan kepada kawan-kawannya bahwa anak-anak muda yang bermalam di banjar itu ternyata bukan orang kebanyakan. Bukan pengembara sebagaimana mereka kenal.

Namun Mahisa Murti berkata, “Kami adalah pengembara sebagaimana kebanyakan pengembara. Jika aku memperlakukan itu demikian semata-mata ia tidak terbiasa berbuat kasar.”

Anak-anak muda yang ada di banjar itu mengangguk-angguk. Namun sebagian besar dari mereka justru merasa senang melihat anak yang gemuk itu terbaring diam, meskipun mulutnya mengumpat-umpat.

Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “tempatkan anak itu di amben di ruang dalam. Agaknya akan lebih baik baginya daripada berbaring di situ.”

Beberapa orang anak muda telah mengangkatnya beramai-ramai dan meletakkannya di amben yang besar. Ketika anak muda yang gemuk itu berteriak-teriak, beberapa orang anak muda yang memiliki keberanian telah mentertawakannya. Bahkan anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu menepuk pundaknya sambil berkata, “tenanglah. Menurut pengembara itu, kau memang perlu beristirahat dan tidak lagi berbuat kasar. Dengan demikian, maka kau tidak akan mengalami kesulitan yang lebih berat. Untunglah bahwa kali ini kau bertemu dengan pengembara yang baik. Yang meskipun dapat berbuat jauh lebih buruk bagimu, tetapi ia tidak melakukannya.”

Namun dalam pada itu, disamping anak-anak muda yang justru merasa bergembira melihat kawannya yang gemuk dan sombong itu mendapat sedikit pelajaran, ada juga di antara mereka yang berbuat sebaliknya. Mereka yang setiap kali mendapat keuntungan dari anak muda yang gemuk itu, telah meninggalkan halaman banjar dan pergi ke rumah Ki Jagabaya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Jagabaya menjadi marah atas perlakuan para pengembara yang telah mendapat tempat di banjar, namun yang justru telah membuat kemanakannya menjadi bahan tertawaan.

Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Ki Jagabaya telah pergi pula ke banjar itu.

Beberapa orang anak muda dan orang-orang yang ada di banjar memang terkejut melihat tiba-tiba saja Ki Jagabaya telah datang ke banjar. Beberapa orang memang menjadi ketakutan. Tetapi beberapa orang anak muda telah menyongsongnya tanpa ragu-ragu.

“Apa yang terjadi dengan kemanakanku itu?” bertanya Ki Jagabaya.

Anak yang bertubuh tinggi besar itulah yang mengatakan, apa yang telah dilakukan oleh pengembara itu.

“Dimana mereka sekarang?” bertanya Ki Jagabaya.

“Mereka kami tempatkan di bilik belakang,” jawab anak muda itu.

“Mereka harus tahu, bahwa mereka tidak dapat berbuat sesuka hatinya di sini,” geram Ki Jagabaya.

“Tetapi salah kemanakan Ki Jagabaya sendiri,” jawab anak muda yang bertubuh tinggi besar itu.

Ki Jagabaya justru menjadi bingung menanggapi sikap anak muda itu. Tidak seorang pun yang berani membantahnya. Juga anak muda itu biasanya tidak berbuat seperti itu, meskipun ia memang sering menyampaikan pendapatnya lebih terbuka dari anak-anak yang lain.

Selagi Ki Jagabaya termangu-mangu, maka anak muda itu berkata, “Sebaiknya Ki Jagabaya melihat dan berbicara dengan kemanakan Ki Bekel itu.”

Ki Jagabaya memang ragu-ragu. Tetapi ia pun telah mendekati kemanakannya. Beberapa saat ia berbicara. Kemanakannya memang minta pamannya itu bertindak.

Namun anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu berkata, “Sebaiknya Ki Jagabaya tidak berbuat apa-apa terhadapnya. Bukan maksudku untuk merendahkan kemampuan Ki Jagabaya. Tetapi aku justru menjaga harga diri Ki Jagabaya. Ki Jagabaya adalah orang yang disegani di sini. Tetapi jika Ki Jagabaya mengalami peristiwa seperti kemanakan Ki Jagabaya itu, bukankah wibawa Ki Jagabaya akan berkurang.”

“Tidak. Paman tentu akan dapat membunuhnya,” geram anak yang gemuk itu.

“Aku tidak yakin,” sahut anak yang bertubuh tinggi tegap itu. Lalu katanya selanjutnya, “Coba, apakah kau sadari, apa yang telah terjadi atas dirimu? Begitu cepat dan seakan-akan pengembara itu sama sekali tidak merasa perlu untuk mengerahkan tenaganya.”

“Tetapi paman adalah Jagabaya di sini,” anak muda itu justru membentak.

“Kau adalah kemanakan Ki Jagabaya. Seharusnya kau ikut menjaga wibawanya. Bukan karena kau sekedar memikirkan kepentinganmu sendiri, kau tidak mau melindungi nama baik pamanmu,” geram anak yang bertubuh tinggi tegap itu.

Namun agaknya Ki Jagabaya sendirilah yang menyadari, bahwa anak muda yang menyebut dirinya pengembara itu tentu orang pilihan. Ia melihat keadaan kemanakannya. Sebagaimana dikatakannya, maka sentuhan-sentuhan pada punggungnya dan pangkal lehernya telah membuatnya tidak dapat bergerak. Hampir mutlak, meskipun ia masih juga dapat berbicara, sedikit menggeleng, mengangguk dan mengejapkan matanya.

Meskipun demikian Ki Jagabaya masih minta anak-anak muda itu menemuinya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang datang menemui Ki Jagabaya. Keduanya sudah menjadi berdebaran. Rasa-rasanya mereka sudah terlalu banyak melakukan kekerasan, sehingga jika tidak terpaksa sekali, keduanya merasa segan melakukannya. Namun sudah barang tentu keduanya tidak akan mau diperlakukan tidak adil.

Tetapi ternyata bahwa Ki Jagabaya justru minta maaf kepada mereka. Atas nama kemanakannya itu, maka ia minta kedua anak muda itu melupakannya saja peristiwa itu.

“Jika anak-anak muda berkenan, aku mohon kalian membebaskan kemanakanku itu,” berkata Ki Jagabaya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun keduanya melihat kesungguhan pada sikap Ki Jagabaya. Karena itu, maka keduanya pun tidak berkeberatan.

Beberapa orang menjadi iba melihat nasib anak-anak muda itu. Tetapi yang lain menjadi gelisah setelah mereka melihat kenyataan, bahwa menghadapi sekelompok prajurit dalam jumlah yang jauh lebih besar, anak-anak muda itu sama sekali tidak terdesak. Bahkan mereka masih sempat melindungi adik mereka yang paling kecil.

Apalagi setelah orang-orang padukuhan mendengar pembicaraan orang-orang itu, serta pengakuan anak-anak muda itu bahwa mereka juga prajurit Kediri. Justru bagian sandi.

Seorang di antara mereka berkata, “Jadi mereka justru prajurit sandi?”

“Kita sudah terlanjur memperlakukan mereka dengan kasar. Justru karena mereka prajurit sandi itulah maka mereka sama sekali tidak melawan. Padahal, seandainya mereka melawan sebagaimana mereka melawan para prajurit itu, maka kita sepadukuhan akan dapat dibunuhnya.” berkata yang lain.

Orang-orang yang mendengar kata-katanya itu mengangguk-angguk. Mereka memang menjadi cemas. Mereka tidak tahu apa yang terjadi setelah pertempuran itu selesai.

Namun agaknya semakin lama orang-orang padukuhan itu menjadi semakin yakin, bahwa anak-anak muda itu akan memenangkan pertempuran itu, meskipun mereka hanya bertiga.

Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin garang. Pedang Mahisa Semu pun berputaran semakin cepat. Ilmunya yang mulai mapan, ditempa oleh pengalamannya, telah membuatnya menjadi seorang yang memiliki kemampuan bermain pedang cukup tinggi.

Dalam pada itu, maka ternyata beberapa saat kemudian, para prajurit Kediri itu menjadi semakin gelisah. Hampir semua orang telah mengalami bersentuhan dengan tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bagaikan bara itu. Hampir semua orang telah mengalami luka bakar, sehingga mereka tidak dapat bertempur dengan sepenuh tenaga dan kemampuan. Bahkan beberapa di antara mereka telah mengalami luka karena ujung senjata Mahisa Semu.

Namun pemimpin sekelompok prajurit yang telah memerintahkan menangkap dan bahkan membunuh anak-anak muda itu masih berusaha untuk melakukannya. Ia sendiri telah turun ke arena. Ia memang memiliki kemampuan bermain pedang. Namun menghadapi Mahisa Murti, maka ia memang tidak banyak dapat berbuat. Betapa ia menunjukkan kemampuannya, maka rasa-rasanya ia tidak mampu lagi untuk mengatasinya. Beberapa kali ia mencoba, namun akhirnya justru dadanyalah yang telah disentuh tangan Mahisa Murti.

Ternyata pemimpin sekelompok prajurit Kediri itu tidak dapat mempertahankan sikapnya. Ia harus mengakui kenyataan yang terjadi. Apa pun yang hendak dilakukannya atas ketiga anak muda itu, namun pada akhirnya semua akan gagal.

Karena itu, maka selagi orang-orangnya masih utuh, meskipun hampir semuanya telah mengalami luka-luka, maka pemimpin sekelompok prajurit itu telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk menarik diri dari arena.

Dengan serempak, maka para prajurit itu telah bergeser untuk menarik diri. Dengan mengacungkan senjata mereka, maka mereka berdiri merapat sambil bergeser surut.

Mahisa Murti memberi isyarat kepada saudara-saudaranya untuk tidak memburu mereka. Dibiarkannya saja para prajurit itu pergi.

Sepeninggal para prajurit itu, maka orang-orang padukuhan itulah yang menjadi berdebar-debar. Mereka masih melihat nyala kemarahan pada sikap dan langkah anak-anak muda itu. Jika kemarahan itu ditumpahkan kepada mereka, maka mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa, sementara sekelompok prajurit pun tidak mampu melawan mereka bertiga.

Dengan tegang orang-orang padukuhan itu berdiri termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti berbisik kepada Mahisa Semu, “Cari pedangmu.”

Mahisa Semu lah yang kemudian berdiri di paling depan menghadap kepada orang-orang padukuhan yang menjadi gemetar.

Namun yang dikatakan oleh Mahisa Semu kemudian adalah, “Dimana pedangku? Kalian telah merampasnya. Jika tidak seorang pun yang mengaku dan mengembalikan pedangku, maka aku akan mencarinya. Tetapi caraku adalah cara yang sangat kasar, karena kalian telah menghina kami.”

Orang-orang padukuhan itu memang menjadi ketakutan. Tetapi orang yang telah merampas senjata ketiga orang anak muda itu menjadi semakin ketakutan.

“Apakah tidak ada di antara kalian yang mengaku?” bertanya Mahisa Semu.

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

“Baiklah,” berkata Mahisa Semu, “jika memang tidak ada seorang pun yang mau mengaku mengambil senjata itu, maka aku akan memaksa kalian berbicara menurut caraku.”

Orang-orang padukuhan itu menjadi tegang. Sementara itu Mahisa Semu berkata lebih lanjut, “Aku akan mengambil seorang di antara kalian. Jika ternyata tidak ada yang mengaku mengambil senjataku, maka orang itu akan aku bunuh. Kemudian aku akan mengambil orang kedua dan aku perlukan seperti orang pertama. Sampai habis sekalipun akan aku lakukan sebelum ada yang mengaku menyimpan senjata kami. Bahkan kemudian akan aku lakukan pula atas perempuan dan anak-anak.”

Suara Mahisa Semu itu bagaikan suara guntur yang menggelegar di setiap telinga. Semua orang menjadi pucat. Apalagi yang kebetulan berdiri di paling depan.

Bahkan Mahisa Semu itu pun berkata, “jangan mencoba ada yang melarikan diri. Mereka akan mati lebih dahulu dari yang lain.”

Suasana menjadi sangat tegang. Semua orang terdiam. Ujung jari kaki pun bahkan tidak ada yang bergerak.

Namun orang yang telah merampas senjata Mahisa Semu itu akhirnya harus mengambil keputusan. Betapa ia menjadi ketakutan, tetapi sudah tentu ia tidak dapat melihat orang-orang padukuhannya seorang demi seorang mati terbunuh oleh anak-anak muda itu.

Karena itu, dengan tubuh gemetar ia pun berkata, “Anak muda. Jangan lakukan itu.”

Mahisa Semu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya, “Kenapa?”

“Akulah yang membawa salah satu di antara senjata kalian,” jawab orang itu.

“Kemarilah.” minta Mahisa Semu.

Orang itu dengan kaki bergetar berjalan selangkah demi selangkah mendekati Mahisa Semu. Bahkan seakan-akan ia tidak akan pernah sampai kepada anak muda itu.

Tetapi akhirnya dengan memaksa diri ia berhasil berdiri dihadapan Mahisa Semu. Wajahnya yang pucat dan kakinya yang gemetar menunjukkan betapa ia merasa ketakutan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar