Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 076

Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya hal itu tidak boleh terjadi. Paman harus melaporkannya kepada Ki Buyut.”

Paman Wantilan itu termangu-mangu. Namun ia pun bergumam, “Ki Buyut tinggal di padukuhan yang agak jauh. Tetapi aku tidak yakin, apakah Ki Buyut mampu melindungi aku dari kekerasan sikap orang yang kaya itu. Dapat terjadi orang itu, dengan berlindung dibawah kuasa Ki Bekel, berbuat sesuatu atasku. Bahkan membunuhku.”

Wantilan termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keduanya saling berpandangan.

“Hal ini ada diluar perhitunganku,” berkata Wantilan.

Mahisa Murti pun kemudian bergumam, “Kita akan menghadapi persoalan baru. Lalu bagaimana dengan perjalanan kita?”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Kita perlu mengetahui perkembangan keadaan ini?”

Mahisa Murti tidak menjawab pertanyaan Mahisa Pukat itu. Seperti yang sudah mereka jalani, maka mereka sulit untuk menghindari dari masalah-masalah yang mereka temukan di perjalanan kembali itu.

Namun dalam pada itu, paman Wantilan telah berkata, “Tetapi sudah barang tentu, kita jangan mengganggu kawan-kawanmu itu. Kau dan kami, paman dan bibimu akan mencari jalan keluar dari kesulitan ini. Mungkin memang dengan melaporkannya kepada Ki Buyut. Atau barangkali ada jalan lain.”

“Barangkali itu adalah jalan yang paling baik paman. Melaporkannya kepada Ki Buyut,” berkata Wantilan.

“Soalnya, siapakah yang akan berangkat kerumah Ki Buyut itu? Aku dan bibimu yang sakit-sakitan tentu tidak akan pernah sampai kerumah Ki Buyut seandainya kami mencobanya. Jika bukan karena penyakit kami, maka orang-orang upahan itu akan membuat kami hilang diperjalanan tanpa bekas,” berkata paman Wantilan itu.

Wantilan termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya kepada anak-anak muda itu, “Bagaimana jika aku pergi sebentar kerumah Ki Buyut? Menurut pendapatku, hari sudah menjadi gelap. Kita tentu tidak akan dapat melanjutkan perjalanan. Karena itu, biarlah kalian menunggu aku di sini. Aku akan pergi kerumah Ki Buyut.”

“Jangan Wantilan,” berkata paman dan bibinya hampir berbareng, “orang-orang yang menjadi orang upahan itu benar-benar tidak berjantung. Ia dapat membunuhmu atau membunuh aku di sini.”

“Bukankah mereka tidak tahu bahwa aku pergi ke rumah Ki Buyut sekarang ini?” bertanya Wantilan.

“Rumah ini selalu diawasi. Sekarang, mereka pun tentu sudah tahu bahwa di rumah ini ada beberapa orang tamu. Mungkin mereka ingin tahu, siapakah tamuku malam ini,” berkata paman Wantilan itu.

Wantilan memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Jika benar mereka mengawasi rumah ini dan berusaha ingin mengetahui siapakah tamu paman, maka itu adalah kebetulan sekali.”

“Tetapi ingat Wantilan,” berkata pamannya, “orang itu mempergunakan kekayaannya untuk membeli kemampuan orang-orang berilmu tinggi sekaligus kekuasaan Ki Bekel di padukuhan ini.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.

“Sudahlah,” berkata pamannya, “aku tidak ingin membuat kau dan apalagi tamu-tamumu menjadi gelisah. Biarlah apa yang akan terjadi nanti. Sekarang, lupakan saja. Tetapi sudah tentu aku minta kalian tidak segera meninggalkan tempat ini.”

Wantilan memandang anak-anak muda itu dengan penuh harap. Tetapi ia tidak dapat mengatakan apa-apa.

Namun dalam pada itu Mahisa Murti lah yang menyahut, “Baiklah paman Sarpada. Malam ini kami akan tinggal di sini.”

“Jangan hanya malam ini,” berkata paman Wantilan itu.

“Wantilan memerlukan beberapa hari untuk mengurus tanahnya. Atau malahan ia tidak perlu sama sekali mengurusnya jika keadaan itu akan membahayakan jiwanya. Aku kira, kita akan lebih menghargai jiwa kita daripada sebidang tanah betapapun luasnya. Karena jika kita mati, maki tanah itu pun tidak akan berarti apa-apa buat kita.”

“Kita masih mempunyai Ki Buyut paman,” berkata Wantilan. Lalu, “Karena itu, maka biarlah aku menemuinya.”

“Jangan sekarang,” berkata bibinya, “kita tunggu perkembangan keadaan dengan kedatanganmu.”

Wantilan memang tidak memaksa. Tetapi ia ragu-ragu jika ia tidak berangkat malam itu, apakah besok ia masih mempunyai waktu jika Mahisa Murti tidak dapat lagi menunggu lebih lama.

Ada bagian cerita yang hilang di sini

Tetapi orang itu tertawa. Katanya dengan nada tinggi, “Kami tidak sedang menakut-nakuti. Tetapi kami berkata dengan sungguh-sungguh.”

Wantilan menggeram. Tetapi ia tidak menjawab, sementara orang-orang itu pun melangkah keluar seorang demi seorang.

Tetapi rasa-rasanya darah Wantilan masih saja menggelegak. Namun pamannya berkata, “Sudahlah Wantilan. Kita masih mempunyai kesempatan untuk berpikir malam ini.”

“Apa yang kita pikirkan malam ini? Menyerahkan tanah itu kepada orang yang tamak itu?” bertanya Wantilan.

“Kita tidak berdaya apa-apa,” jawab pamannya,”jika kita berkeras, maka kita akan dapat mengalami kesulitan. Selama ini aku memang bertahan. Aku menunggumu. Tetapi aku tidak ingin kau datang ke rumah ini untuk mengantarkan nyawamu. Aku hanya ingin kau mengesahkan keputusan ini.”

“Tidak paman,” berkata Wantilan, “aku akan melanjutkan sikap paman selama ini. Aku tidak akan menyerah apapun yang terjadi. Jika aku mati di dekat mata air itu, maka semua orang akan tahu apa yang telah terjadi di sini. Meskipun barangkali orang itu dapat menguasai tanah dan mata air itu, tetapi setiap orang akan tahu, bahwa ia telah merampok tanah itu dari tangan paman.”

“Taruhan yang sangat mahal Wantilan,” berkata pamannya, “kita akan dapat mencari jalan lain untuk mempertahankan hidup kita kelak tanpa tanah dan mata air itu.”

“Soalnya bukan sekedar kehidupan kita kelak paman, tetapi kita harus mempertahankan hak kita,” berkata Wantilan.

Pamannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya,”Menghadapi orang seperti itu, apakah kita masih akan dapat berbicara tentang hak?”

“Aku akan mencoba. Aku akan pergi ke rumah Ki Demang,” berkata Wantilan.

“Jangan. Jangan.” cegah pamannya dengan serta merta.

“Orang itu tidak sekedar menakut-nakuti Wantilan,” berkata bibinya.

“Apa boleh buat,” jawab Wantilan.

“Tetapi kau tidak sependapat. Aku melarangmu pergi,” berkata pamannya, “Jika kau masih menganggap aku pamanmu, lakukan itu.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat melanggar perintah pamannya. Apalagi pamannya sedang sakit. Karena itu, maka ia pun kemudian telah duduk dengan hati yang resah.

Namun tiba-tiba tetangga Ki Sarpada yang ada di rumah itu telah mendekat sambil berkata, “Biarlah aku yang pergi. Orang-orang itu tidak mengenal aku. Aku akan lewat jala butulan, masuk ke halaman rumahku. Kemudian memanjat dinding dan memasuki halaman sebelah dan sebelah lagi. Mereka tentu bersedia membantu kita, karena seperti aku, mereka pun sempat memanfaatkan air dari tanah Ki Sarpada. Dari rumah itu aku akan keluar sambil membawa cangkul dan barangkali alat-alat untuk memberikan kesan bahwa aku akan pergi ke sawah.”

“Apakah mereka tidak mencurigaimu? Untuk apa kau pergi ke sawah?” bertanya paman Wantilan.

“Banyak alasan dapat kubuat,” jawab orang itu.

“Misalnya alasan apa? Aku tidak mau jika Kau pun harus mengorbankan nyawamu untukku dan untuk kemanakanku,” berkata Ki Sarpada, “bahwa kau bersedia membantuku di sini, aku sudah merasa sangat beruntung. Karena itu, kau tidak perlu memberikan pengorbanan lebih banyak lagi.”

“Ki Sarpada,” berkata orang itu, “persoalannya agak lebih luas dari sekedar keperluan pribadi. Tetapi jangan cemas. Aku akan mengatakan kepada orang-orang itu, jika mereka melihat aku dan mencurigainya, bahwa aku akan mencuri airmu. Tetapi mudah-mudahan aku luput dari pengawasan mereka, karena kau akan keluar dari regol halaman rumah yang lain. Karena agaknya hanya regol rumahmu sajalah yang mereka awasi. Atau barangkali sejauh-jauhnya pintu pringgitan di depan. Mereka tidak akan melihat aku keluar dari pintu dapur di belakang.”

“Tetapi mereka tentu tidak hanya sekedar mengawasi pintu pringgitan, pintu regol halaman dan regol padukuhan, tetapi mereka tentu akan mengawasi jalan bulak yang terbuka itu, karena jika seseorang pergi ke padukuhan induk tentu akan melalui jalan bulak itu,” berkata Ki Sarpada.

“Aku akan menghindari jalan bulak yang menuju ke padukuhan induk. Aku akan berjalan menuju ke sumber air itu, karena aku akan mencuri air,” berkata orang itu.

Tetapi Ki Sarpada menggeleng. Katanya, “Tidak perlu.”

Namun agaknya orang itu punya alasan tersendiri, “Ki Sarpada. Seseorang yang mengambil langkah yang berbahaya, pada umumnya tidak akan luput dari pamrih pribadi, aku juga mempunyai pamrih pribadi. Jika Ki Demang dapat menjadi saksi dari peristiwa itu, maka aku kira sumber air itu akan tetap berada di tangan Ki Sarpada. Bukankah dengan demikian aku akan tetap mendapat bagian bagi sawahku? Tanpa air itu, maka sawahku akan kering dan tandus. Keluargaku akan kelaparan dan barangkali juga beberapa keluarga yang lain, yang sampai hari ini menggantungkan hidupnya pada sumber air di tengah-tengah tanah Ki Sarpada itu. Karena itu, untuk hidupku sekeluarga, maka kerja ini adalah memadai.”

Ki Sarpada yang sedang sakit itu termangu-mangu. Beberapa saat ia membuat pertimbangan-pertimbangan. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, tetangganya itu berkata, “Hanya Ki Demang lah yang dapat menilai tingkah laku Ki Bekel. Apakah ia pantas menjadi pengayoman di padukuhan ini.”

Ternyata orang itu memang tidak menunggu keputusan Ki Sarpada. Ia pun kemudian telah dengan serta merta meninggalkan ruang tengah itu. Ketika Ki Sarpada memanggil, orang itu memang berhenti, tetapi ia justru berkata, “Aku tahu. Ki Sarpada sakit karena memikirkan tanah dan air yang ingin dirampas orang itu.”

Tanpa berpaling lagi, orang itu pun telah keluar lewat pintu dapur, menyusup di antara pohon-pohon perdu di kegelapan dan hilang lewat pintu butulan, memasuki halaman rumahnya sendiri.”

Di rumahnya orang itu mengambil alat-alat yang patut dibawa ke sawah untuk membuka pematang dan mengalirkan air ke kotak-kotak sawahnya. Namun kemudian, ia telah menyusup lagi melalui kebun belakang ke halaman di sebelahnya dan di sebelahnya lagi.

Baru kemudian orang itu keluar regol halaman sambil memanggul cangkul, membawa sabit dan bahkan kail.

Ternyata ia luput dari pengawasan orang yang ada di seberang rumah Ki Sarpada untuk mengawasi regol halamannya jika ada orang yang keluar dan masuk. Tetapi orang itu telah bertemu dengan dua orang yang berjalan hilir mudik di depan regol padukuhan.

“Siapa kau?” tiba-tiba salah seorang di antara kedua orang itu membentak.

Orang yang akan pergi ke sawah itu terkejut. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dengan gemetar orang itu telah berjongkok di pinggir jalan.

“Siapa kau dan akan pergi ke mana malam-malam begini he?” bentak orang yang hilir mudik itu pula.

“Aku, aku tidak akan mencuri,” jawab orang itu gemetar.

Namun justru karena itu, maka orang-orang yang beradadi luar regol itu telah menjadi curiga. Dengan nada berat seorang di antaranya bertanya, “Apa yang sebenarnya akan kau lakukan? Kau justru tentu akan mencuri. Nah, kau akan mencuri apa? Dimana? Atau barangkali kau sudah mencuri?”

“Tidak. Aku tidak mencuri,” orang itu menjadi semakin gemetar.

Namun tiba-tiba saja seorang di antara kedua orang itu mencabut pedangnya sambil berkata, “Katakan terus terang. Atau aku harus melubangi lehermu.”

“Jangan,” orang itu bagaikan meringkik.

“Karena itu, katakan. Untuk apa kau keluar malam-malam begini,” geram orang itu sambil menyentuh pundaknya dengan ujung pedang.

“Tidak apa-apa. Aku akan pergi ke sawah,” jawab orangitu.

“Kenapa ke sawah malam-malam?” orang itu menjadi semakin kasar, sementara ujung pedangnya menekan semakin kuat, “kau tahu, bahwa dengan sedikit tekanan lagi, ujung pedangku akan mengoyak kulitmu.”

“Baik. Baik, aku akan mengatakannya,” suara orang itu bergetar, “aku memang akan mencuri. Tetapi mencuri air. Sawahku memerlukan air. Jika tidak, padiku yang baru tumbuh itu akan mati.”

“Air? Air apa?” bentak orang itu.

“Air dari sawah Ki Sarpada,” jawab orang ini dengan gemetar.

Kedua orang yang menghentikannya di luar regol padukuhan itu saling berpandangan. Namun keduanya tidak lagi menjadi sangat garang.

Tetapi seorang di antaranya berkata, “Bagaimana jika aku melaporkan kepada Ki Sarpada bahwa kau akan mencuri airnya?”

“Orang itu sedang sakit,” jawab orang yang mengaku akan mencuri itu.

“Kalau ia melaporkan kepada Ki Bekel?” bertanya orang yang membawa pedang itu.

“Ki Bekel tidak begitu senang kepada Ki Sarpada. Mudah-mudahan aku tidak dihukum,” jawab orang itu.

Orang yang membawa pedang itu telah mengangkat pedangnya. Katanya, “Terserah kepadamu. Tetapi aku sudah memperingatkan, bahwa sebaiknya kau tidak mencuri apapun juga.”

Orang yang berjongkok di pinggir jalan itu masih termangu-mangu. Namun orang yang membawa pedang itu membentak, “Pergi. Apapun yang akan kau lakukan.”

Orang itu pun beringsut selangkah demi selangkah. Namun kemudian ia pun telah meloncat dan berlari meninggalkan kedua orang itu.

“Ia tidak hanya akan mencuri air,” berkata kawan orang yang membawa pedang itu.

“Mencuri apa lagi?” bertanya kawannya yang membawa pedang.

“Ia membawa kail. Ia tentu akan mencuri ikan juga di belumbang Sarpada itu,” berkata yang lain.

“Aku tidak peduli. Biar saja ikan di belumbang Sarpada itu habis dicuri orang,” sahut kawannya.

Demikianlah, maka tetangga Ki Sarpada itu berhasil melampaui orang-orang yang berjaga-jaga di regol padukuhan untuk mengawasi agar tidak seorang pun di antara keluarga Ki Sarpada yang keluar untuk pergi ke rumah Ki Demang.

Bagaimanapun juga Wantilan telah bertekad bulat. Dengan bekal ilmu yang ada padanya, ia akan mempertahankan mati-matian tanah dan mata air itu. Bukan karena ketamakannya untuk memiliki, tetapi semata-mata karena ia tidak ingin haknya terinjak-injak.

Wantilan akhirnya juga dapat tertidur beberapa saat. Tetapiwaktu yang singkat itu telah dapat menyegarkan tubuhnya, sehingga tenaganya serasa telah utuh bulat untuk menghadapi segala kemungkinan.

Ketika matahari terbit, Wantilan telah bersiap. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping-pun telah bersiap pula.

“Kita akan pergi ke sawah itu,” berkata Wantilan.


“Apakah tidak terlalu pagi?” bertanya Mahisa Pukat, “bukankah matahari baru saja naik?”

“Kami kemarin tidak menyebut saat untuk datang ke mata air itu. Tetapi bagiku semakin pagi semakin baik. Segala sesuatunya akan lebih cepat diselesaikan,” jawab Wantilan.

“Tetapi bagi Sarpada yang sedang sakit itu tentu lain. Ia tidak boleh terlalu lama berada di sawah,” berkata Mahisa Pukat.

“Paman dan bibi telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan seandainya mereka berdua tidak dapat kembali ke rumah ini dan harus berkubur di mata air itu,” berkata Wantilan.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan berangkat sekarang, atau nanti.”

“Aku akan menemui paman,” berkata Wantilan, “aku masih akan mencoba mencegahnya pergi ke sawah. Tetapi agaknya aku tidak akan berhasil.”

Sejenak kemudian, maka Wantilan pun telah menemui paman dan bibinya. Ia masih mencoba untuk mencegah pamannya, agar dalam keadaan sakit tidak usah pergi ke sawah.

“Aku akan menyelesaikannya,” berkata Wantilan.

“Aku akan berada di mata air itu apapun yang akan terjadi,” berkata Ki Sarpada.

Wantilan memang tidak dapat mencegahnya lagi. BahkanKi Sarpada itu pun berkata, “Kita akan segera berangkat.”

Namun Nyi Sarpada masih sempat menyediakan beberapa kerat ketela pohon rebus untuk tamu-tamunya sebelum mereka berangkat ke tanah dengan mata air yang diperebutkan itu.

Beberapa saat kemudian, maka Wantilan telah memapah Ki Sarpada yang sakit itu bersama-sama dengan Nyi Sarpada. Beberapa orang tetangganya yang melihatnya, telah bertanya, ke mana Ki Sarpada yang sedang sakit itu akan pergi.

Ki Sarpada ternyata tidak merahasiakan apa yang akan dilakukannya. Kepada tetangga-tetangganya ia mengatakan, bahwa ia akan membuat penyelesaian dengan orang yang akan membeli dengan paksa tanah dan mata airnya itu.

“Tetapi Ki Sarpada sedang sakit,” berkata tetangganya.

“Sama saja bagiku. Daripada aku mati di rumah, lebih baik aku mati di genangan air di sawahku itu,” berkata Ki Sarpada.

Tetangga-tetangganya memang menaruh perhatian besar terhadap persoalan tanah dan mata air itu. Tetapi tidak seorang pun yang mengerti, apa yang sebaiknya mereka lakukan, karena orang yang akan membeli dengan paksa itu memiliki kekuatan yang besar. Orang itu mampu mengupah beberapa orang berilmu tinggi untuk kepentingannya. Berapapun ia mengeluarkan upah untuk itu, namun jika ia berhasil menguasai tanah dan mata air itu, maka ia akan mendapat keuntungan berlipat di kemudian hari. Karena sekotak demi sekotak, sawah disekitarnya pun akan menjadi miliknya. Jika orang itu menutup aliran air yang oleh Ki Sarpada dialirkan ke sawah di sekitarnya, maka sawah di sekitarnya akan menjadi sawah yang tandus dan tidak berarti lagi, sehingga lambat atau cepat, akan jatuh ke tangan orang itu pula.

Namun rasa-rasanya para tetangga itu menganggap tidak adil jika mereka membiarkan Ki Sarpada itu mengalami nasib buruknya sendiri, karena sudah sekian lama ia berbuat baik kepada tetangga-tetangganya.

Karena itu, maka satu-satu tetangga-tetangganya itu pun telah mengikutinya. Tanpa sesadar mereka, maka orang-orang itu ternyata telah membawa senjata apa saja. Pedang, parang, tombak dan apa saja yang dapat diketemukan di rumahnya. Bahkan yang tidak mempunyai senjata apapun telah membawa sumbat kelapa yang terbuat dari besi atau bahkan dari kayu gelugu.

Tetapi mereka pun masih saja selalu merasa ragu bahwa mereka akan dapat mengatasi kemampuan orang-orang berilmu tinggi yang telah mendapat upah dari orang yang ingin memiliki tanah dan mata air dengan paksa itu.

Meskipun demikian, tetangga-tetangga itu merasa berkewajiban untuk mempertahankan kehidupan keluarga mereka yang sebagian besar memang tergantung pada mata air itu.

Dengan demikian, maka Ki Sarpada itu pun telah diiringi oleh beberapa orang bersenjata yang merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan Ki Sarpada, tanah dan mata airnya.

Ki Sarpada sendiri telah mencoba mencegah mereka. Ki Sarpada telah memberitahukan kepada mereka, kalau mereka akan berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi. Tetapi orang-orang itu masih tetap saja mengikutinya. Justru semakin lama semakin banyak.

Yang kemudian menjadi cemas adalah justru Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan juga Wantilan. Jika orang-orang itu harus berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi, maka yang terjadi adalah pembantaian yang hanya menyia-nyiakan nyawa mereka.

Tetapi Wantilan pun tidak mampu mencegah mereka. Apalagi ketika jumlah mereka kemudian menjadi sepuluh bahkan kemudian menjadi lima belas orang.

“Apa boleh buat,” berkata Wantilan kepada dirinya sendiri. Tetapi ternyata kata-kata itu telah meluncur pula dari bibirnya sehingga Mahisa Murti pun kemudian menyahut, “Memang berbahaya bagi mereka. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas orang-orang yang dengan ihklas bersedia membantu Ki Sarpada itu.”

“Mereka merasa, bahwa hidup mereka pun tergantung kepada air itu,” berkata Wantilan.

Mahisa Murti menganguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi, sementara Wantilan masih saja membantu pamannya yang sakit itu berjalan.

Namun ketika panas matahari mulai menggigit kulit, justru Ki Sarpada itu seakan-akan menjadi berangsur baik. Apalagi ketika mereka sudah melintasi jalan sempit langsung menuju ke tanah miliknya yang basah karena dibawah beberapa batang pohon raksasa terdapat sebuah mata air yang cukup besar, yang sanggup mengairi tanah yang cukup luas. Bukan saja tanah milik Ki Sarpada, tetapi juga tanah di sekitarnya.

Beberapa saat kemudian, Ki Sarpada telah berada di sebelah batang pohon yang besar itu. Di atas tanah berbatu padas yang cukup luas untuk berhenti menunggu orang-orang yang sudah berjanji untuk datang, menghadap ke sebuah belumbang.

Ternyata mata air itu benar-benar sangat berarti. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengetahui, bahwa mata air itu berada di bawah tanah berbatu padas yang terhampar agak luas dengan ditumbuhi beberapa pohon raksasa. Tiga batang pohon preh yang sudah sangat tua. Sebatang pohon beringin yang ujudnya hampir sama. Beberapa batang pohon nyamplung dan cangkringan, sehingga tempat itu seolah-olah sebuah hutan yang kecil yang dikelilingi oleh sawah yang terbentang di sekitarnya dan mendapat air dari mata air yang timbul dari bawah bongkahan-bongkahan batu padas di antara pohon-pohon raksasaitu.

Sambil berlindung dari sengatan sinar matahari dibawah pohon-pohon raksasa itu, Ki Sarpada berkata, “Apakah mereka benar-benar akan datang?”

“Mereka tentu akan datang,” berkata Wantilan, “di sini mereka akan menentukan, bahwa tanah dan mata air ini akan menjadi milik mereka.”

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian orang-orang yang menunggu itu melihat sebuah iring-iringan yang berjalan di atas jalan sempit menuju ke hutan kecil itu. Mereka adalah orang yang ingin membeli dengan paksa tanah itu bersama beberapa orang upahannya. Orang-orang yang berilmu tinggi dan menjual ilmunya itu untuk kepentingan apapun juga asal mereka mendapat upah karenanya.

Wantilan memang menjadi berdebar-debar. Orang-orang upahan itu ternyata cukup banyak. Tidak hanya tujuh orang, tetapi sepuluh orang.

Namun orang-orang yang menunggu itu terkejut ketika mereka melihat Ki Bekel dengan beberapa orang bebahunya telah datang pula beriringan di belakang iring-iringan dari orang yang akan membeli tanah dengan paksa itu.

“Apakah orang-orang itu akan memanfaatkan Ki Bekel?,” desis Ki Sarpada.

Wantilan termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, “Siapa pun yang berdiri di belakang orang itu, aku tidak akan menyerah. Kita berdiri di atas kebenaran.”

Ki Sarpada tiba-tiba saja menepuk bahu Wantilan sambil berkata, “Aku bangga mempunyai kemanakan seperti kau. Tetapi aku sedih bahwa aku telah menyeretmu ke dalam kesulitan. Bahkan mungkin kau harus mempertaruhkan nyawamu. Seandainya saja kau tidak singgah ke rumahku, aku kira kau tidak akan mengalami kesulitan seperti ini.”

“Aku sudah siap menghadapi apapun juga,” berkata Wantilan.

Sejenak kemudian, maka orang yang akan memiliki tanah dan mata air dengan paksa itu telah naik pula ke hutan kecil itu bersama dengan para pengiringnya yang dengan serta merta langsung menebar di sekeliling sebidang tanah yang berbatu padas itu.

“Ternyata kau datang,” geram orang itu.

“Aku sudah bertekad untuk membuat penyelesaian,” berkata Wantilan dengan nada rendah.

“Bagus,” jawab orang itu, “aku minta Ki Bekel menjadi saksi.”

Wantilan tidak segera menjawab. Sementara Ki Bekel telah hadir pula dan langsung berdiri di antara Wantilan beserta Ki dan Nyi Sarpada dengan orang yang akan memiliki tanah itu.

“Nah,” berkata Ki Bekel, “waktuku tidak banyak. Aku diminta untuk menyaksikan serah terima tanah dan mata air ini serta segala hak atasnya.”

“Siapa yang akan melakukan serah terima tanah dan mata air ini Ki Bekel?” bertanya Ki Sarpada.

“Kenapa kau bertanya?” Ki Bekel mengerutkan dahinya.

“Jangan mencari persoalan,” geram orang yang ingin memiliki tanah itu.

Ki Sarpada yang sakit itu melangkah maju dengan langkah tegap, “Tidak akan ada serah terima. Aku tidak menjual tanahku ini, Ki Bekel tentu tahu itu. Tanah dan air ini tidak ubahnya jantung yang berdenyut didadaku, serta parit-parit itu adalah padi kehidupanku.”

“Cukup,” bentak Ki Bekel, “kau dapat saja berbicara tentang apa saja. Tetapi jika kau sudah menerima uang dari penjualan tanahmu ini, maka kau harus menyerahkan tanah dan segala isinya. Jika kau menyesal karena kau berubah pendirian, maka kau harus membelinya kembali karena kau berubah pendirian, maka kau harus membelinya kembali menurut harga yang ditetapkan oleh pemiliknya. Atau bahkan pemiliknya akan berkeberatan menjualnya kembali.”

“Aku tidak akan menjualnya kembali,” berkata orang yang ingin memiliki tanah itu.

“Ini adalah perampokan,” geram Wantilan, “apakah orang itu mengatakan bahwa ia sudah membayar harga tanah dan mata air ini?”

“Ya,” jawab Ki Bekel.

“Ki Bekel percaya?” bertanya Wantilan.

“Bukan saja percaya. Tetapi aku adalah saksi bahwa kau telah menerima uang itu. Dua orang bebahuku akan menyatakan diri pula sebagai saksi. Semuanya sudah sah menurut paugeran yang berlaku di padukuhan ini.” Ki Bekel itu berhenti sejenak, lalu “Karena itu, maka cepat, lakukan serah terima itu dibawah saksi yang lebih banyak, agar tidak akan terjadi persoalan di kemudian hari.”

“Tidak,” Ki Sarpada berteriak, “rampoklah tanah ini jika kepalaku sudah terpisah dari tubuhku.”

“Setan kau,” geram Ki Bekel, “kau menantang hamba yang melaksanakan paugeran, Sarpada. Kau tahu akibatnya, karena segala sesuatunya dapat dilakukan dengan kekerasan jika cara yang wajar dan baik tidak kau lakukan.”

“Satu tantangan yang harus dijawab,” berkata Wantilan, “marilah. Apapun yang akan terjadi.”

“Setan kau Sarpada,” geram orang yang ingin memiliki tanah itu, “kau meringkik seperti kuda sakit-sakitan di saat kau memerlukan uang untuk mengobati sakitmu. Tetapi ketika kau menjadi berangsur sembuh, maka uang yang telah kau terima itu kau ingkari. Apakah itu bukan watak setan?”

“Setan atau bukan. Marilah. Jika kekerasan merupakan keputusan akhir. Kita akan berbicara dengan bahasa yang kalian kehendaki. Nah, siapakah di antara kalian yang akan melawan aku,” berkata Wantilan sambil melangkah maju, “kita adalah laki-laki yang menyelesaikan persoalan yang paling gawat serta paling peka dengan perang tanding.”

“Kau kira kami masih berpegang pada paugeran rimba seperti itu? Siapa yang kuat akan menang?” berkata Ki Bekel. Tetapi kemudian katanya, “aku tidak perduli dengan perang tanding. Orang-orangku akan memaksakan paugeran yang harus ditegakkan demi keadilan. Jika seseorang sudah menodai kebenaran, maka ia pantas dihapuskan dari tata pergaulan.”

“Bagus,” teriak Wantilan yang menjadi sangat marah, “kau putar balikkan kenyataan ini. Apa boleh buat. Aku tahu bahwa aku akan mati. Tetapi aku akan menuntut tiga atau empat orang mati bersamaku.”

Ki Bekel pun segera menjatuhkan isyarat kepada orang-orang yang datang bersama orang yang ingin memiliki tanah itu. Serentak mereka pun telah bergerak.

Namun Wantilan sama sekali tidak gentar. Bahkan Ki Sarpada dan nyi Sarpada pun telah menghadapi semua persoalan dengan hati yang tabah serta dada tengadah. Mereka telah menyerahkan segala-galanya kepada Yang Maha Agung.

Sepuluh orang itu telah bergerak merapat, bahkan juga para pengiring Ki Bekel. Sementara Ki Bekel dan orang yang ingin memiliki tanah itu berdiri sambil mengawasi keadaan.

Beberapa saat keadaan menjadi sangat tegang. Ki Sarpada suami isteri dan Wantilan masing-masing telah bersiap untuk mengalami nasib yang bagaimanapun juga. Namun Wantilan telah mencabut pedangnya dan siap untuk bertempur.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja mereka terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa. Ternyata Mahisa Murti yang berdiri di belakang Wantilan justru tertawa sambilberkata, “Satu pertunjukkan yang menarik.”

“Cukup? Jadi kalian adalah orang-orang upahan Ki Sarpada dan orang yang disebut kemanakannya itu?” geram orang yang ingin memiliki tanah itu, “kau tidak usah membuat bermacam-macam ulah yang tidak akan berarti apa-apa. Jika kalian memang telah menerima upah untuk merampok tanah ini, marilah. Kita akan membuktikan, siapakah di antara kita yang berdiri di atas kebenaran.”

“Satu permainan yang mengasyikkan,” berkata Mahisa Murti, “nampaknya orang-orang padukuhan ini sama sekali tidak menghargai lagi kebenaran. Sangat menarik ceritera tentang tanah yang sudah dibeli dari Ki Sarpada. Sekarang Ki Bekel memaksakan kehendaknya untuk melakukan serah terima. Memang mengherankan, bagaimana mungkin orang sepadukuhan bersama dengan Bekelnya dapat melakukan permainan pura-pura yang cukup menarik dengan pelaku yang cukup banyak ini.”

“Tutup mulutmu,” geram Ki Bekel. Lalu katanya kepada orang-orangnya, “Tangkap orang-orang itu. Yang melawan bunuh saja tanpa ampun.”

Tetapi tiba-tiba saja seseorang di antara orang-orang yang datang bersamaKi Bekel itu berkata hampir menggeram, “Ki Demang.”

Ki Bekel terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa orang telah menelusuri jalan sempit menuju ke tempat mereka.

“Siapa yang memanggil Ki Demang,” geram Ki Bekel. Namun kemudian suaranya meninggi, “Bahkan Ki Buyut.”

“Setan itu,” geram seseorang ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat.

Sebenarnyalah di antara beberapa orang yang datang itu terdapat tetangga Ki Sarpada yang membantu di rumahnya, yang ternyata telah berhasil menghubungi Ki Demang yang telah melaporkannya pula kepada Ki Buyut.

“Kenapa mereka terpengaruh oleh setan kecil itu, sehingga mereka datang kemari?” Ki Bekel menjadi gelisah.

Namun orang yang ingin memiliki tanah itu pun berkata, “Apa boleh buat. Mereka hanya terdiri dari lima orang. Sepuluh orang-orangku dan para bebahu padukuhan yang Ki Bekel percaya itu, bersama kita berdua akan dapat menyelesaikan mereka. Kita akan mengubur mereka di sini, sehingga tidak akan ada seorang saksipun yang akan dapat mengatakan apa yang telah terjadi.”

Ki Bekel termangu-mangu. Namun orang yang ingin memiliki tanah itu berkata, “Sepuluh orang-orangku adalah orang-orang berilmu tinggi. Seandainya aku harus melawan seisi Kabuyutan ini aku tidak akan gentar. Jika ada orang yang berani menuduh kita melenyapkan Ki Demang dan sekaligus Ki Buyut, maka kita akan menyelesaikan mereka pula.”

Ki Bekel mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi ragu-ragu. Tetapi orang itu berkata dengan lantang, “Siapapun yang menghalangi niatku akan aku lenyapkan.”

Ki Bekel terdiam, namun nampak kebimbangan yang sangat membayang diwajahnya. Tetapi ia pun tidak berani menentang sepuluh orang berilmu tinggi.

Sementara itu Ki Buyut dan pengiringnya telah sampai ke tempat itu. Dengan wajah yang buram Ki Buyut berkata, “Aku telah mengetahui apa yang terjadi di sini.”

Ki Bekel lah yang kemudian bertanya, “Apakah Ki Buyut mendengar dari seseorang? Dan apakah yang Ki Buyut dengar itu sesuai dengan kenyataan?”

“Aku mendengar bukan saja dari Ki Demang. Tetapi orang-orangku langsung mengikuti peristiwa yang terjadi di padukuhan ini. Terutama sikap dan kelakuan Ki Bekel yang tidak dapat berdiri tegak dalam kedudukannya.”

“Apa yang telah terjadi Ki Buyut?” bertanya Ki Bekel sambil melangkah maju.

“Kau tidak usah berpura-pura. Sekarang perintahku, selesaikan persoalan ini dengan baik. Sarpada tidak boleh dipaksa untuk menjual tanahnya. Atau jika kau tidak mampu menyelesaikannya, maka hak atas jabatanmu turun temurun akan terputus di sini. Keturunanmu akan mengutukmu, karena mereka tidak sempat ikut menikmati kedudukan yang pernah kau warisi dari moyangmu,” berkata Ki Buyut.

“Tidak ada gunanya lagi berpura-pura,” desis Ki Demang, “sernuanya sudah jelas.”

Tetapi yang menjawab adalah orang yang akan membeli tanah itu dengan paksa, “Semuanya sudah selesai. Uang itu telah diterima oleh Sarpada justru saat-saat ia sakit, karena ia membutuhkan uang bagi beaya pengobatannya. Karena itu, maka yang harus dilakukan adalah serah terima tanah ini di hadapan para saksi.”

Tetapi Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Jangan memperbodoh aku.”

“Aku berkata dengan sesungguhnya,” jawab orang itu. “Ki Bekel dan bebahunya adalah saksi utama.”

“Omong kosong,” teriak orang yang melaporkannya kepada Ki Demang, “tidak benar. Ki Sarpada tidak pernah bersedia menjual tanahnya.”

“Ia ingin menutupi kesalahannya terhadap kemanakannya, sehingga ia telah mengorbankan harga dirinya dengan berusaha membuat laporan palsu,” geram orang itu.

Namun Ki Buyut tetap pada pendiriannya. Katanya, “Aku bukan anak-anak yang pantas kau bohongi lagi. Aku adalah Buyut di sini. Aku mempunyai hubungan langsung dengan Sang Akuwu.”

“Persetan,” geram orang itu, “jika demikian, maka aku akan mempergunakan rencanaku yang kedua. Melenyapkan semua orang yang ada di sini untuk menghilangkan jejak. Ki Sarpada, Nyi Sarpada, kemanakannya itu, kawan-kawannya yang diupahnya untuk melindunginya dan tetangga-tetangganya yang dungu itu. Bahkan karena kebodohan Ki Demang dan Ki Buyut, maka mereka pun akan aku kuburkan di sini. Tidak seorang pun akan melihat dan dapat menjadi saksi atas peristiwa ini. Tidak seorang pun yang akan berani mengusik dan mempersoalkan hilangnya para bebahu Kabuyutan ini.”

“Kau gila,” geram Ki Buyut.

“Jangan menyesal. Semuanya telah terlambat,” berkata orang itu dengan nada rendah.

“Kau mendapat hukuman yang lebih berat dari hukuman gantung. Kau pantas dihukum picis jika apa yang kau katakan itu benar-benar kau lakukan,” geram Ki Demang.

Tetapi orang yang ingin memiliki tanah dan mata air itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ancaman Ki Demang. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Tidak ada lagi orang yang dapat menghukum kami.”

“Tentu ada. Sang Akuwu tidak akan membiarkan tingkah lakumu itu tanpa berbuat sesuatu,” geram Ki Demang.

“Akuwu tidak akan mengetahui apa yang terjadi di sini,” jawab orang itu, “sedangkan siapa yang berani membuka rahasia peristiwa di tempat ini, maka umurnya tidak akan berlangsung lebih lama lagi.”

“Kau kira kami tidak berdaya sama sekali?” desis Ki Buyut, “sedangkan cacingpun akan menggeliat jika terinjak kaki.”

“Bagus,” berkata orang itu, “kami memang lebih senang membunuh dengan sedikit menitikkan keringat daripada membunuh orang yang berlutut di hadapan kami. Namun jika ada di antara kalian yang akan berbuat demikian, kami pun tidak akan berkeberatan.”

Ki Buyut menggeratakkan giginya. Bersama ki Demang dan pengiringnya, mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula Wantilan dan Ki Sarpada beserta tetangga-tetangganya.

Sementara itu, orang yang ingin memiliki tanah itu pun telah meneriakkan aba-aba. Dengan sigap orang-orangnya telah bersiap sepenuhnya. Demikian pula Ki Bekel dan orang-orangnya.


Melihat sikap dan gerak para pengikut orang yang ingin memiliki tanah itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu dapat menilai, bahwa mereka memang orang berilmu tinggi. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal belas kasihan. Mereka dapat membunuh seseorang tanpa mengedipkan mata mereka, asal dijanjikan upah yang cukup bagi mereka.

Karena itu, maka anak-anak muda itu menjadi cemas, bahwa dalam gerakan yang pertama, beberapa orang telah terkoyak tubuhnya dan kehilangan nyawanya.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah berkata lantang kepada para tetangga Ki Sarpada, “Ki Sanak. Jangan ikut campur. Orang-orang upahan itu memang orang berilmu tinggi. Jika kalian langsung melawan mereka, maka dalam sekejap kalian tentu telah terbaring di tanah. Bahkan mungkin telah terbunuh. Karena itu, maka kami minta kalian menunggu dan menjadi saksi apa yang akan terjadi. Demikian pula Ki Demang dan Ki Buyut. Sementara itu, biarlah kami yang muda-muda sajalah yang akan menghadapi mereka.”

“Terima kasih anak muda,” berkata Ki Demang, “tetapi aku tidak akan dapat berpangku tangan, sementara kekasaran dan kekerasan berlangsung didepan hidungku.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun melihat bahwa Ki Demang dan Ki Buyut bukan orang tidak berilmu. Menilik sikap mereka yang meyakinkan serta wibawanya yang besar, maka keduanya tentu orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi pula.

Karena itu, maka Mahisa Murti tidak berniat lagi untuk minta kedua orang itu untuk menyingkir jika benturan akan terjadi.

Sementara itu, orang yang ingin memiliki tanah itu tidak sabar lagi. Bahkan ia telah meloncat maju mendekati Ki Sarpada sambil mengayunkan pedangnya. Tetapi ternyata Wantilan pun telah siap pula. Dengan sigap ia telah meloncat berdiri didepan Ki Sarpada yang sedang sakit itu. Namun yang nampaknya justru jantungnya telah bergejolak, sehingga rasa-rasanya ia telah tiba-tiba saja menjadi sembuh.

“Setan kau,” geram orang yang ingin memiliki tanah itu, “kau adalah orang pertama yang akan mati.”

Tetapi Wantilan tidak menjawab. Pedangnyalah yang tiba-tiba saja terayun mendatar dengan derasnya.

Sesuatu yang tidak diduga oleh lawannya. Karena itu, maka sambil bergeser, ia berteriak justru karena terkejut. Namun ternyata ujung senjata Wantilan berhasil menyentuh lengan orang itu, sehingga kulitnya telah tergores karenanya.

Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, namun darah telah menitik dari luka itu.

Orang itu mengumpat kasar. Sambil mengayunkan pedangnya ia berteriak, “Bunuh semua orang.”

Orang-orangnya pun telah mulai bergerak pula. Sementara itu, Mahisa Semu telah mendorong Mahisa Amping untuk mendekati Ki Sarpada. Desisnya, “Hati-hati. Jaga dirimu baik-baik.”

Mahisa Amping tidak menjawab. Ia pun kemudian berdiri dibelakang Ki Sarpada dan Nyi Sarpada.

Dalam pada itu, Ki Demang dan Ki Buyut pun telah bersiap pula. Ketika dua orang mendekati mereka, maka mereka pun telah menarik senjata masing-masing. Ki Buyut ternyata telah membawa pusakanya. Sebilah keris yang besar, yang mencuat sampai ke atas pundaknya. Karena itu, maka tangannyapun telah menggapai hulu kerisnya di atas pundaknya itu dan menariknya justru keatas.

Sementara Ki Demang telah menarik pedangnya yang besar. Lebih besar dari kebanyakan pedang. Tetapi sesuai benar dengan tubuh Ki Demang yang tinggi dan besar itu. Agaknya kekuatannya pun melampaui kekuatan orang kebanyakan sehingga pedang yang besar itu rasa-rasanya tidak lebih berat dari sepotong lidi.

Ketika Ki Demang mulai mengayunkan pedangnya, maka anginnya terdengar berdesing menyengat telinga. Dengan demikian, maka orang-orang yang diupah oleh orang yangingin memiliki tanah itu pun segera mengetahui, bahwa orang itu bukannya sekedar dapat membual. Tetapi orang yang bertubuh tinggi dan besar itu memang memiliki tenaga yang sangat besar.

Karena itu, maka seorang lagi di antara mereka telah mendekat, sehingga Ki Demang itu harus berhadapan dengan duaorang.

Sementara itu Wantilan yang telah bersiap untuk bertempur itu pun masih juga merasa cemas. Sebelumnya ia menduga, bahwa sikap Mahisa Murti seakan-akan telah memberi keyakinan kepadanya, bahwa ia bersiap untuk membantunya.

Namun kemudian ia pun telah menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berpencar menjauhinya, sementara Mahisa Semu telah bergeser pula di sebelahnya.

Semua orang yang berada di hutan kecil di atas mata air itu telah bersiap. Orang-orang padukuhan, tetangga-tetangga Ki Sardapapun ternyata tidak mau tinggal diam. Meskipun Mahisa Murti telah memperingatkan mereka, tetapi mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan beberapa orang telah mengacu-acukan senjata mereka.

Mahisa Murti memang menjadi tertegun melihat kesiagaan orang-orang itu. Ternyata mereka sama sekali tidak gentar meskipun mereka tahu bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang berilmu.

“Apa boleh buat,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “asal mereka tidak bertempur seorang lawan seorang.”

Sebenarnyalah, tanpa ada yang mengguruinya, maka orang-orang padukuhan, tetangga-tetangga Ki Sarpada itu telah berdiri berkelompok. Mereka telah membagi diri menjadi dua kelompok kecil. Sekelompok di antara mereka bersiap menghadapi dua orang di antara orang-orang upahan itu, sedangkan yang sekelompok kecil lainnya telah bersiap menghadapi para pengiring Ki Bekel.

Sementara itu Ki Bekel sendiri telah berada di sebelah orang yang berniat untuk memiliki tanah itu, sehingga dengan demikian, maka Mahisa Semu lah yang telah menyongsongnya.

Sejenak kemudian, maka di hutan kecil di atas tanah berbatu padas itu telah terjadi pertempuran yang sengit. Ki Demang yang bertubuh tinggi besar itu ternyata telah berloncatan menjauh. Ia memerlukan arena yang agak luas, sehingga dengan demikian maka ia dapat mengayun-ayunkan senjatanya berputaran.

Kedua orang lawannya adalah orang upahan yang dianggap berilmu tinggi. Namun ternyata keduanya harus berpikir ulang ketika mereka berniat untuk menyerang. Mereka harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan terjadi benturan senjata dengan orang yang agaknya berkekuatan sangat besar itu.

Sementara itu, Ki Buyut lah yang telah bertempur dengan sengitnya. Ternyata orang upahan itu salah menilai kemampuan Ki Buyut yang tua itu. Ternyata Ki Buyut yang tua itu memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmu orang upahan itu. Bahkan orang tua itu nampaknya mampu bergerak lebih cepat dari lawannya.

Ki Bekellah yang harus mengeluh berhadapan dengan Mahisa Semu yang memiliki ilmu pedang yang memadai. Dengan kemampuan ilmu pedangnya Mahisa Semu telah berhasil mendesak lawannya. Dalam beberapa kesempatan, Mahisa Semu justru hampir dapat menyentuh tubuh lawannya.

Mahisa Semu yang merasa ilmunya masih baru mulai meningkat dari tataran pertama itu, telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Selagi dalam benturan pertama ia dapat mengguncang pertahanan Ki Bekel.

Karena itu, dengan dorongan darah mudanya, maka Mahisa Semu telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam ilmu pedang.

Ternyata hentakkan Mahisa Semu itu berhasil. Ujung pedangnya mulai dapat menyentuh kulit Ki Bekel. Segores dan kemudian segores lagi. Kedua-duanya di lengan Ki Bekel.

Ki Bekel mengumpat marah. Tetapi kulitnya benar-benar telah dilukai oleh lawannya meskipun tidak begitu dalam. Namun darah telah mengalir dari lukanya itu.

Ternyata selagi masih ada kesempatan Mahisa Semu tidak mau menahan diri lagi. Jika Ki Bekel yang tentu memiliki pengalaman yang lebih luas itu mengetahui kelemahannya, maka Mahisa Semu tentu akan mengalamai kesulitan. Seandainya kemudian Ki Bekel sudah akan dapat mengurangi tenaganya, karena darah yang meleleh dari luka itu.

Ki Bekel memang mengumpat kasar ketika sekali lagi ujung pedang Mahisa Semu mengenai pundaknya mengoyak kulitnya. Lukanya memang agak lebih dalam, sehingga darah menjadi lebih banyak mengalir.

Namun Ki Bekel tidak cepat menjadi putus-asa. Dalam keadaan terluka, ia masih sempat mengenali tingkat kemampuan anak muda yang garang itu. Dengan demikian, Ki Bekel telah mendasari tata geraknya dengan unsur-unsur gerak yang lebih rumit. Ia tidak akan mampu menandingi anak muda itu dengan beradu tenaga. Tetapi ia harus mempergunakan perhitungan yang sebaik-baiknya.

Sesaat Mahisa Semu memang terkejut melihat perubahan tata gerak lawannya. Ia merasakan gaya putaran senjata yang lain, bahkan membuatnya kadang-kadang kehilangan jejak.

Tetapi Mahisa Semu telah mengkhususkan diri untuk berlatih ilmu pedang. Karena itu, maka pengenalannya atas senjata itu pun menjadi sangat baik. Betapapun rumitnya unsur gerak Ki Bekel, namun tataran ilmu Ki Bekel belum terlepas dari jangkauan kemampuan Mahisa Semu. Dengan demikian, maka setidak-tidaknya Mahisa Semu masih mampu mengimbangi serangan-serangan Ki Bekel yang semakin cepat. Namun kesempatan menyerang Mahisa Semu lah yang kemudian menjadi berkurang.

Meskipun demikian keadaan Mahisa Semu masih belum membahayakan.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ternyata tidak sampai hati membiarkan Wantilan mengalami kesulitan. Keduanya telah melibatkan diri melawan orang-orang yang telah menyerang mereka. Orang-orang yang belum mempunyai lawan.

Dengan demikian maka kedua orang anak muda itu memang harus melayani lawan yang bertempur berpasangan.

Wantilan yang telah bertekad untuk mempertahankan tanah dan mata air itu meskipun seandainya tidak akan diwariskan kepadanya, telah mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi ilmu Wantilan memang belum terlalu tinggi. Meskipun demikian ia pun telah mampu mempertahankan dirinya dari serangan-serangan orang yang tamak, yang ingin memiliki tanah dan mata air itu dengan paksa.

Yang mengalami kesulitan adalah justru sekelompok orang-orang padukuhan, para tetangga Ki Sarpada yang bertempur melawan orang-orang berilmu tinggi. Mereka ternyata tidak mampu untuk menguasai lawan-lawan mereka. Orang-orang berilmu tinggi itu terlalu tangkas bagi mereka. Untunglah mereka berjumlah jauh lebih banyak sedangkan mereka telah didorong oleh kebencian atas ketamakan lawannya, sehingga karena itu, maka jantung mereka rasa-rasanya menjadi bagaikan mengembang. Dengan dorongan itu, maka tetangga-tetangga Ki Sarpada itu sama sekali tidak menjadi gentar menghadapi lawan-lawan mereka yang berilmu tinggi.

Namun dengan demikian bukan berarti mereka mampu mengimbangi kecepatan gerak lawan-lawan mereka. Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, seorang di antara tetangga Ki Sarpada itu telah terdorong beberapa langkah surut. Segores luka telah menyilang di dadanya. Meskipun tidak begitu dalam, tetapi luka itu terasa sangat pedih.

“Minggirlah,” berkata Mahisa Murti yang melihat peristiwa itu.

Tetapi lawan orang itu berteriak, “Semua orang akan mati. Semuanya. Tanpa kecuali.”

Namun orang itu justru terdiam sejenak. Kemudian terdengar ia mengumpat kasar. Segores luka telah menyilang pula diadanya.

“Jika kau membuka mulutmu sekali lagi, maka jantungmu akan runtuh,” terdengar suara berat.

Ternyata Mahisa Pukat menjadi sangat marah. Ia telah meloncat meninggalkan lawan-lawannya dan langsung menyerang orang yang dianggap berilmu tinggi itu.

“Berhati-hatilah,” berkata Mahisa Pukat kepada orang-orang padukuhan. Lalu katanya pula, “Biar saja orang yang terluka itu menjadi gila. Jika ia benar-benar ingin membunuh, maka orang itulah yang akan mati lebih dahulu.”

Orang yang terluka itu memang benar-benar marah. Darah telah mengalir dari lukanya. Namun ternyata bahwa luka itu sama sekali tidak menahannya. Bahkan ia menjadi semakin garang.

Namun Mahisa Pukat telah bertekad untuk melayaninya. Karena itu, maka ia pun berteriak, “Hati-hati dengan yang lain.”

Orang-orang padukuhan itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi lawan-lawan Mahisa Pukat yang ditinggalkannya. Sementara itu, orang yang terluka itu telah menggeram, “Licik kau. Kau menyerang aku tanpa memberi isyarat lebih dahulu.”

“Persetan,” geram Mahisa Pukat, “kita tidak sedang berperang tanding. Kita bertempur dalam kelompok-kelompok yang tidak diatur lebih dahulu. Siapapun boleh melawan siapa saja.”

“Ternyata kau akan mati lebih dahulu dari orang-orang lain,” geram orang itu.

Dengan garangnya orang itu telah menyerang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat justru memancingnya dalam pertempuran berjarak, sehingga orang itu harus mengerahkan kemampuannya untuk meloncati jarak-jarak yang panjang.

Namun dengan demikian, maka luka orang itu telah menjadi semakin parah. Darah mengalir semakin banyak. Tetapi orang itu sama sekali tidak memperhitungkannya.

Ternyata perhitungan Mahisa Pukat benar. Dalam waktu yang singkat, kekuatan dan kemampuan orang itu menjadi susut.

Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun berkata kepada orang-orang padukuhan, “Serahkan lawan-lawanmu kepadaku. Hadapi orang yang telah terluka ini, tetapi yang juga telah melukai seorang kawan kalian. Beri kesempatan orang ini menyerah jika ia mau.”

“Setan kau,” geram orang itu.

Namun Mahisa Pukat telah meloncat menjauh. Ia telah menyerang lawan yang lain. Demikian cepat, sehingga lawannya itu terkejut dan meloncat mengambil jarak.

Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin kacau. Orang-orang yang dianggap berilmu tinggi itu mulai bingung menghadapi gaya Mahisa Pukat. Namun yang kemudian juga dilakukan oleh Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti lebih banyak melindungi orang-orang padukuhan daripada menyerang lawan-lawannya.

Ada bagian yang dihapus di sini karena ada duplikasi, tetapi sepertinya ceritanya tidak nyambung dengan cerita berikut

Tetapi Ki Demang tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan senjatanya yang terayun deras, Ki Demang telah mendesak kedua lawannya. Beberapa kali senjata mereka berbenturan. Untuk sekian kali pula kulit tangan lawan-lawannya itu pun hampir terkelupas.

Dengan demikian maka kedua orang lawan Ki Demang itu mulai mencoba mencari jawab atas kata-kata Ki Demang. Senjata mereka masing-masing ternyata telah menyakiti tangan-tangan mereka dalam setiap benturan.

Tetapi kedua orang itu memiliki kemampuan untuk bergerak lebih cepat. Karena itulah, maka keduanya berusaha untuk dengan kecepatan geraknya melawan Ki Demang yang senjatanya terlalu besar dibandingkan dengan senjata kebanyakan. Namun ternyata bahwa Ki Demangpun mampu memutar senjatanya secepat gerak mereka.

Demikianlah, maka pertempuran di atas tanah berbatu-batu padas, di atas mata air yang menjadi rebutan itu menjadi semakin lama semakin sengit. Orang-orang yang menjadi orang upahan dari orang yang ingin memiliki tanah itu memang orang-orang yang berilmu, sekaligus orang yang tidak lagi mempunyai perasaan. Karena itu, maka mereka pun kemudian telah bertempur dengan tanpa menghiraukan lagi siapa yang dihadapinya. Mereka yang mendapat kesempatan menghadapi orang-orang padukuhan, dengan serta merta telah mempergunakan kesempatan itu untuk berusaha membunuhnya.

Tiga orang telah menjadi korban. Mereka telah terluka parah sehingga membahayakan jiwa mereka.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak lagi dapat memaafkan mereka. Jika mereka tidak segera dihentikan, maka korban tentu masih akan berjatuhan.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang marah itu pun telah bertempur pula dengan sungguh-sungguh. Bahkan mereka telah menyesal, bahwa mereka terlambat bertindak sehingga tiga orang sempat terluka parah.

Ketika seorang lagi telah terluka, maka Mahisa Murti telah meloncat dengan garangnya. Ia mulai merambah ke ilmunya, sehingga kekuatan dan kemampuannyapun menjadi meningkat pula.

Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, maka dalam beberapa saat saja, dua orang telah terlempar dari arena, sementara Mahisa Pukat telah melukai seorang di antara mereka.


Orang-orang upahan itu benar-benar telah terkejut. Meskipun mereka memang sudah menduga bahwa anak-anak muda itu berilmu, tetapi mereka tidak mengira sama sekali, bahwa dalam sekejap tiga orang kawan mereka telah terlempar.

Tujuh orang upahan, orang yang ingin memiliki tanah itu, Ki Bekel dan pengikutnya memang menjadi sangat marah. Tetapi mereka harus melihat kenyataan tentang lawan-lawan mereka. Anak-anak muda yang menurut dugaan orang yang ingin memiliki tanah itu adalah juga orang-orang upahan memang menjadi heran. Dari mana Ki Sarpada mendapatkan orang-orang yang berilmu begitu tinggi.

Karena itu, maka tiba-tiba saja orang yang ingin memiliki tanah itu berteriak, “He, anak-anak muda. Berapa kalian diupah oleh Sarpada sehingga kalian mau melindunginya?”

“Tutup mulutmu,” bentak Wantilan sambil meloncat menyerang.

Orang itu surut beberapa langkah ke belakang sambil mengumpat.

“Mereka bukan orang-orang upahan,” berkata Wantilan, “mereka adalah guru-guruku.”

“Kau sudah gila. Kau tentu lebih tua dari mereka. Apakah kau berguru kepada anak-anak semuda itu?” sahut orang yang ingin memiliki tanah itu.

“Apa salahnya?” bertanya Wantilan.

Namun orang itu tidak menghiraukannya. Dengan lantang orang itu berkata, “Nah anak-anak muda. Aku bersedia mengupahmu dua kali lipat dari upah yang kalian terima asal kalian bersedia membantuku. Kalian tidak bertempur dipihakku. Tetapi kalian tinggalkan arena pertempuran ini. Upahmu itu akan segera dapat kalian terima.”

Wantilan terkejut bukan buatan ketika Mahisa Murti bertanya sambil bertempur, “Kau berkata sebenarnya?”

“Aku berjanji,” teriak orang itu.

“Kau tahu berapa aku diupah?” bertanya Mahisa Murti.

“Katakan, berapa saja kau mau,” jawab orang itu pula.

“Bagus. Aku akan menerima tawaranmu,” jawab Mahisa Murti.

Wantilan memang menjadi bingung. Hampir saja lehernya disambar senjata lawannya. Namun kemudian segalanya menjadi jelas ketika Mahisa Murti kemudian berkata, “Aku minta upah seharga tanah ini beserta mata airnya. Tinggalkan tempat ini dan jangan diganggu lagi. Nanti aku akan segera menyingkir.”

“Setan kau,” geram orang itu, “ternyata kau lebih senang mati di sini.”

“Tidak segala-galanya dapat diselesaikan dengan kekayaanmu Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “ada kalanya kau gagal mempergunakan uangmu untuk membeli sesuatu.”

“Cukup,” teriak orang itu, “cepat, bunuh orang-orang itu.”

Tidak terdengar jawaban dari manapun juga. Namun orang-orang upahan itu telah mengerahkan kemampuan mereka untuk segera mengakhiri pertempuran.

Namun mereka pun sadar, bahwa keadaan memang sudah berubah dengan hadirnya anak-anak muda itu.

Karena itu, maka mereka mulai merasa gentar menghadapi kenyataan itu. Betapapun tinggi upah yang mereka terima, tanpa dapat menikmati upah itu, maka bagi mereka sama sekali tidak akan ada artinya.

Beberapa kawan mereka telah terluka parah. Bahkan salah seorang kawannya yang terluka tidak lagi mampu menghindari tangan kawan-kawan Ki Sarpada. Mereka yang tidak lebih dari para petani tetangga-tetangga Ki Sarpada, yang dalam keadaan mereka sehari-hari tidak lebih dari orang-orang yang hanya mampu mengayuhkan cangkul dan parang, maka pada saat itu telah menjadi orang-orang yang garang.

Sementara itu, orang yang ingin memiliki tanah itu sendiri telah terlibat pertempuran yang sengit melawan Wantilan. Bagaimanapun juga Wantilan adalah seseorang yang pernah berguru dalam olah kanuragan. Cara gurunya yang aneh untuk membunuhnya justru telah membuatnya menjadi seorang yang mempunyai daya tahan yang sangat tinggi.

Karena itu, maka untuk mengalahkan Wantilan diperlukan waktu dan kekuatan yang lebih besar lagi daripada yang telah dimilikinya.

Sedangkan Ki Bekel ternyata mulai mengalami kesulitan menghadapi lawannya. Bukan karena ilmunya yang kalah dari Mahisa Semu. Tetapi Ki Bekel merasa salah langkah saat mereka mulai dengan pertempuran itu, sehingga ia telah terluka lebih dahulu. Luka itu sendiri tidak banyak berarti bagi Ki Bekel. Namun lawannya telah memancingnya bertempur pada jarak yang panjang, sehingga dengan loncatan-loncatan itu, darahnya menjadi bagaikan terperas dari luka-lukanya itu. Akhirnya, maka Ki Bekel itu pun menjadi sangat lemah sebelum ia mampu membunuh lawannya yang masih sangat muda itu meskipun ia yakin bahwa ia memiliki ilmu yang lebih baik dari lawannya.

Ki Demang dengan pedangnya yang besar memang sulit untuk dilawan. Namun ternyata dua orang lawannya telah mempergunakan kecepatan gerak mereka untuk sekali-sekali membingungkannya. Kedua orang lawannya tidak lagi membiarkan senjata mereka berbenturan. Tetapi sekali-sekali lawannya itu meloncat menjauh. Namun tiba-tiba saja keduanya menyerang dari arah yang berbeda.

Gerak yang cepat dan berputar-putar memang membuat Ki Demang lebih banyak mengerahkan tenaganya. Betapapun kuatnya tangannya, namun mengayun-ayunkan pedang yang besar dengan kecepatan yang tinggi adalah satu pekerjaan yang memerlukan tenaga yang luar biasa besarnya.

Itulah sebabnya, maka setelah bertempur semakin lama, maka tenaga Ki Demang pun menjadi semakin susut.

Namun pada saat yang gawat, ternyata Ki Demang tidak terjebak ke dalam kesulitan yang tidak teratasi. Ternyata tetangga-tetangga Ki Sarpada telah kehilangan lawan-lawan mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan cepat telah menyapu orang-orang upahan itu sehingga mereka tidak berdaya lagi.

Karena itulah, maka tetangga-tetangga Ki Sarpada yang telah kehilangan lawannya itu pun telah mengepung kedua orang lawan Ki Demang, sementara Ki Demang sendiri masih memiliki kekuatan yang cukup.

Dengan demikian, maka kedua orang lawan Ki Demang itu benar-benar telah menjadi gelisah. Mereka tahu akibat yang dapat terjadi atas diri mereka jika mereka jatuh ke tangan orang-orang padukuhan yang disetiap harinya sama sekali tidak pernah berpikir untuk membunuh seseorang itu. Namun dalam keadaan seperti itu, maka mereka akan dapat menjadi lebih garang dari serigala.

Ki Buyut pun kemudian melihat beberapa orang mendekatinya. Justru pada saat Ki Buyut itu merasa betapa umurnya benar-benar sudah menjadi tua. Untunglah bahwa ia datang dengan keris pusakanya, sehingga ia masih mampu bertahan menghadapi orang upahan yang garang itu.

Pada saat yang tepat, beberapa orang telah datang membantunya. Ketika nafasnya mulai terengah-engah.

Akhir dari pertempuran itu ternyata jauh berbeda dari yang diangan-angankan oleh orang yang ingin memiliki tanah dan mata air itu. Orang-orang upahannya satu persatu jatuh terbaring di tanah. Ada yang pingsan, ada yang tidak tetapi karena keadaannya orang itu tidak lagi mampu bangkit.

Demikian pula para pengikut Ki Bekel. Mereka justru menjadi sasaran pelepasan kemarahan orang-orang padukuhan.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat mencegahnya sehingga orang-orang itu tidak dibantai oleh tetangga-tetangga Ki Sarpada yang marah. Mereka memang bertempur untuk kehidupan keluarga mereka. Tanpa air dari mata air di tanah Ki Sarpada, maka mereka tidak akan dapat hidup. Sementara itu anak-anak dan isteri mereka menggantungkan diri sepenuhnya dari usahanya menggarap sawah.

Orang-orang upahan yang masih tersisa itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Mereka serasa bahwa mereka telah gagal.

Karena itu, maka selagi masih ada kemungkinan, mereka sebaiknya meninggalkan arena pertempuran itu saja.

Tetapi untuk lari dari arena, ternyata sulit sekali. Tetangga-tetangga Ki Sarpada telah mengepung mereka yang masih bertempur di hutan kecil yang basah itu. Dengan senjata apa saja yang dapat mereka bawa, maka mereka ternyata menjadi orang-orang yang sangat mengerikan.

Dalam kesempatan itu, maka Ki Buyut telah berkata lantang, “Letakkan senjata kalian, atau kami biarkan orang-orang itu membantai kalian. Kami dapat saja membiarkan kalian mati dengan cara yang paling tidak kalian sukai. Tetapi kami masih berpijak pada sendi kemanusiaan sehingga kami masih menawarkan kemungkinan agar kalian menyerah. Kalian akan menjadi tawanan kami dan kalian akan kami bawa ke Kabuyutan. Karena kalian adalah orang-orang yang berbahaya, maka kalian selanjutnya kalian akan kami bawa ke Pakuwon untuk mendapatkan pengadilan.”

Orang yang ingin memiliki tanah itu dengan kekerasan tiba-tiba saja berteriak, “Tutup mulutmu tikus tua. Kau dan orang-orang dungu yang lain itu akan mati.”

Namun suaranya terputus ketika hampir saja ujung senjata Wantilan menyentuh mulutnya.

Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa seorang di antara orang-orang upahan itu berkata keras-keras, “Aku menyerah!”

Beberapa orang telah tertegun mendengar suaranya itu. Apalagi ketika kemudian ia telah melemparkan senjatanya.

“Bagus,” berkata Mahisa Murti, “nyawamu akan diselamatkan. Kau menjadi tawanan Ki Buyut.”

Ternyata sikapnya itu berpengaruh. Orang-orang yang masih bertempurpun kemudian melakukan hal yang sama. Mereka telah berloncatan mengambil jarak serta melemparkan senjata mereka.

“Pengecut,” teriak orang yang ingin memiliki tanah itu dengan kekerasan, “kalian telah berkhianat. Kami telah mengupah kalian dengan upah yang tinggi.”

Tetapi terdengar Ki Demang berkata, “berapapun tinggi upahnya, tetapi jika orang itu mati di pertempuran ini, maka upah itu tidak akan berarti sama sekali.”

“Tetapi sebagian dari upah itu sudah diterima,” geram orang yang tamak itu.

“Ia pun sudah mencoba untuk memperbandingkan ilmunya. Kawan-kawannyapun telah terluka, bahkan ada yang parah. Dengan demikian upah yang diterimanya itu sudah diimbangi dengan perbuatan,” sahut Ki Demang.

Orang itu mengumpat kasar. Tetapi ia tidak mampu berbuat sesuatu. Apalagi ia masih harus bertempur melawan Wantilan.

Dalam pada itu, Ki Buyut pun masih juga bertempur sesaat. Tetapi lawannyapun telah melemparkan senjatanya pula, sehingga dengan demikian maka pertempuran sebagian telah berakhir.

Dalam pada itu, Ki Bekelpun benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Orang-orangnya pun telah dapat dikuasai sepenuhnya oleh tetangga-tetangga Ki Sarpada. Bahkan ada di antara orang-orangnya yang terluka parah.

“Apakah kau memang akan membunuh diri Ki Bekel,” geram Ki Demang.

Ki Bekel tidak menjawab. Ketika Mahisa Semu memutar pedangnya di depan dadanya, ia pun berusaha untuk menangkisnya. Tetapi ayunan pedangnya sama sekali sudah tidak bertenaga.

Namun ternyata bahwa pengaruh sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terasa di dalam diri Mahisa Semu. Ketika ia melihat lawannya tidak berdaya, maka ia pun tidak lagi berniat untuk membunuhnya. Tangan Ki Bekel yang terseret oleh ayunan pedangnya itu telah membuka pertahanan sepenuhnya. Jika saja Mahisa Semu meloncat menikam dadanya sampai ke jantung, Ki Bekel sudah tidak akan dapat mengelak atau menangkisnya.

Tetapi Mahisa Semu tidak melakukannya. Dibiarkannya Ki Bekel berdiri terhuyung-huyung sejenak. Sementara Ki Demang yang sudah kehilangan lawannya itu mendekatinya, “Menyerahlah Ki Bekel.”

“Tutup mulutmu,” Ki Bekel mencoba berteriak. Tetapi tubuhnya yang lemah sekali sudah tidak mampu lagi untuk tegak. Karena itu, maka sejenak kemudian ia pun telah terhuyung-huyung jatuh di tanah.

Tetapi Ki Bekel tidak mati. Bahkan pingsan pun tidak. Namun kemungkinan itu akan dapat datang jika ia tidak segera mendapat pertolongan.

Ki Buyut lah yang kemudian mendekatinya sambil berkata, “Jangan tersinggung jika aku mengobati luka-lukamu. Hal itu harus segera dilakukan sebelum darahmu terkuras habis sama sekali.”

Ki Bekel tidak-dapat menolak. Ia memang tidak berdaya untuk menolaknya.

Dalam pada itu, Ki Demang bersama orang-orang padukuhan telah mengumpulkan para tawanan yang menyerah. Namun dibawah pengawasan Ki Demang, maka mereka masih mendapat tugas untuk merawat kawan-kawannya yang terluka parah. Ternyata ketika mereka mulai melihat kawan-kawannya itu, dua di antara mereka sudah tidak tertolong lagi. Mati. Tiga orang luka-luka, seorang di antaranya sangat parah. Tiga orang yang lain meskipun tidak parah tetapi di tubuhnya terdapat beberapa goresan senjata. Namun mereka masih termasuk orang-orang yang merawat kawan-kawannya yang lain.

Sementara Ki Buyut berusaha mengobati Ki Bekel yang hampir tidak lagi dapat diselamatkan.

Yang masih bertempur adalah Wantilan dengan orang tamak yang ingin memiliki tanah dan air didalamnya. Orang itu nampaknya tidak melihat kemungkinan untuk dimaafkan. Karena itu, maka ia benar-benar akan bertempur sampai mati. Baginya lebih baik daripada menjadi pengewan-ewan. Diikat ditiang pendapa Kabuyutan sebelum dibawa ke rumah Akuwu.

Untuk beberapa saat lamanya, seakan-akan keduanya dibiarkan saja menyelesaikan pertempuran di antara mereka, sementara yang lain tengah merawat orang-orang yang terluka. Namun ternyata bahwa keduanya memiliki kemampuan yang seimbang, sehingga karena itu, maka keduanya seakan-akan bertempur tanpa batas.

Namun orang yang ingin menguasai tanah dan mata air itu, nampaknya benar-benar telah menjadi putus asa sehingga karena itu, maka ia menjadi semakin garang. Orang itu seakan-akan dengan sengaja membunuh diri di arena pertempuran itu. Rasa-rasanya ia sudah kehilangan segala-galanya. Keinginannya untuk menguasai tanah itu menjadi hancur bersama dengan hancurnya orang-orang upahannya.

Wantilan yang mula-mula dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya mampu bertahan, kemudian rasa-rasanya ia memang mulai terdesak justru karena lawannya menjadi putus asa.

Tetapi akhirnya Ki Buyut menjadi jemu pula menunggu. Dengan lantang ia pun berkata kepada orang yang tamak itu.

“Menyerahlah. Semua persoalan akan kami nilai dari awal. Kau tidak perlu takut diperlakukan semena-mena. Hukuman yang akan diterima oleh mereka yang bersalah, tidak akan lebih berat dari yang seharusnya sesuai dengan kesalahannya.”

“Persetan,” geram orang itu, “jangan paksa aku menyerah. Kalian hanya akan mendapatkan mayatku karena aku tidak akan pernah berniat untuk menyerah.”

“Kau harus menyadari bahwa di sekitarnya terdapat banyak orang yang akan dapat menghentikan perlawananmu,” berkata Ki Buyut.

“Jika kalian ingin membunuhku, lakukanlah,” berkata orang itu.

Ki Buyut termangu-mangu. Tetapi ia benar-benar ingin menyelesaikan pertempuran itu dan akan lebih baik jika orang yang tamak itu tertangkap hidup-hidup.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat keinginan itu membayang di wajah Ki Buyut. Sesuai dengan tugasnya pula, maka Ki Buyut berniat untuk menangkap orang itu dan mengadilinya di Pakuwon.

Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang itu memang harus segera ditangkap. Keduanya juga melihat, bahwa jika pertempuran itu berlangsung terus, maka Wantilan akan dapat terdesak dan akhirnya dikalahkan.

Karena itu, maka kedua orang itu saling menggamit. Dengan perlahan-lahan Mahisa Murti berdesis, “Marilah, kita tangkap orang itu.”

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Ia pun sudah menjadi jemu berada di tempat itu. Apalagi melihat tingkah laku orang yang mengamuk karena putus-asa itu.

Karena itulah, maka keduanya pun telah mendekati arena pertempuran antara Wantilan dan orang yang putus-asa itu.

Dengan lunak Mahisa Murti berkata kepada orang itu, “Sudahlah. Menyerahlah. Kau tidak mempunyai seorang kawan-pun lagi. Semua orang telah menyerah pula. Semua orang upahanmu telah menyerah pula.”

“Persetan,” geram orang itu, “majulah bersama-sama. Aku akan membunuh kalian atau kalian akan membunuhku. Tidak ada pilihan lain.”

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sering memberikan isyarat. Dengan demikian maka dengan serta merta keduanya telah meloncat memasuki arena. Demikian cepat, dalam landasan ilmu yang tinggi, sehingga orang yang telah kehilangan pegangan itu tidak sempat berbuat sesuatu.

Yang terjadi kemudian adalah demikian cepatnya. Mahisa Murti telah menyambar orang itu dan dengan tiba-tiba saja menangkap pergelangan tangannya, justru tangan itu sedang terjulur menyerang Wantilan.

Sementara itu dengan cepat pula Mahisa Pukat menjatuhkan diri sambil menyilangkan kakinya memutar kaki lawannya sehingga lawannya itu kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling bersama Mahisa Murti.

Semuanya begitu cepat terjadi. Orang-orang yang mengerumuninya hampir tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata wadag mereka. Karena itu, maka seakan-akan terjadi begitu saja dan dan dengan tiba-tiba, orang itu sudah ditindih dengan lutut Mahisa Murti dan tangannya terpuntir ke belakang menekan punggungnya.

Orang itu mengumpat kotor dan kasar. Namun Mahisa Murti telah memperkuat pilinan tangannya, sehingga orang yang tamak itu menyeringai dan berteriak keras, “Bunuh aku.”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “aku tidak akan membunuhmu jika kau menyerah.”

“Setan kau. Aku tidak akan menyerah. Aku hanya mengenal membunuh atau dibunuh,” jawab orang itu.

“Aku akan memperkenalkanmu dengan kemungkinan yang lain. Menyerahlah,” berkata Mahisa Murti.

“Tidak,” geram orang itu.

Namun bersamaan dengan itu, tangan Mahisa Murti telah menekan tangan lawannya semakin keras. Katanya semakin keras pula, “Menyerahlah.”

“Tidak.” orang itu pun berteriak semakin keras.

Mahisa Murti memang mulai kehilangan kesabaran. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri. Karena itu, maka Mahisa Murti masih bertanya, “Apakah kau benar-benar ingin menyelesaikan pertempuran ini menurut caramu?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Baiklah. Aku akan memberimu kesempatan untuk mengambil senjatamu,” berkata Mahisa Murti, “kau akan berperang tanding melawan aku.”

“Bagus,” teriak orang itu sambil menyeringai, “jika kau seorang diri, maka kaulah yang akan mengalami nasib seperti nasibku sekarang. Tetapi aku akan bersikap lain. Aku akan membunuhmu dengan caraku.”

“Aku terima tantanganmu,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Murti pun kemudian telah melepaskan orang itu.

Sementara Mahisa Pukat bersungut-sungut, “Kau hanya memperpanjang waktu saja. Kenapa tidak kau cekik sekali orang itu jika ia menolak tawaran yang paling lunak kepadanya itu?”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar telah memberikan kesempatan kepada lawannya untuk mengambil senjatanya.

“Tetapi ingat Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “yang kalah harus tunduk kepada yang menang. Dibunuh atau tidak dibunuh, itu syaratku.”

“Persetan dengan syaratmu,” geram orang yang telah bersenjata itu, “aku sudah menggenggam senjataku kembali. Aku tidak akan tunduk dengan syarat apapun juga. Aku bebas berbuat apa saja sampai saat matiku.”

“Kau memang gila,” geram Mahisa Pukat, “mulutmu pantas dikoyak.”

“Siapa berani melakukannya?” geram orang itu.

Mahisa Murti pun telah melangkah mendekat. Dengan suarabergetar ia berkata, “Jadi kau benar-benar tidak mau mendengar syaratku?”

“Aku bebas menentukan sikap. Aku tidak takut mati,” berkata orang itu.

“Baik,” geram Mahisa Murti yang telah benar-benar kehilangan kesabaran. Lalu katanya dengan suara berat, “Sekarang bersiaplah.”

Ketika orang itu mulai mengacukan senjatanya, maka Mahisa Murti yang menjadi sangat marah itu justru telah melemparkan pedangnya. Dengan sigapnya ia telah meloncat mengambil jarak dari lawannya.

Semua orang menjadi bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Murti.

Ternyata Mahisa Murti yang marah itu ingin menunjukkan kepada lawannya tataran kemampuan ilmunya yang sebenarnya. Karena itu maka ketika lawannya sedang termangu-mangu, ia terkejut bukan buatan. Mahisa Murti telah mengangkat tangannya. Tetapi tidak diarahkan kepada tubuhnya.

Seleret sinar seakan-akan telah memancar dari telapak tangannya mengarah ke sebuah bongkahan batu padas yang besar sehingga batu padas itu telah menjadi pecah berhamburan.


Langkah Mahisa Murti itu telah mengejutkan orang-orang yang ada di tempat itu. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa anak muda itu mampu melakukannya. Demikian dahsyatnya, sehingga semua orang telah menjadi gemetar.

Selagi orang-orang itu menyaksikan hal itu dengan kata-kata yang bergetar berbicara yang satu dengan lainnya, maka serangan Mahisa Murti pun telah sekali lagi menghantam batu padas sehingga batu itu pun pecah berserakan.

Dengan demikian orang-orang itu pun menjadi gemetar. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa mereka telah menyaksikan kemampuan seseorang yang luar biasa.

Tetapi mereka tidak dapat berbuat lagi. Mereka ternyata sudah siap untuk memasuki tataran berikutnya jika diperlukan.

Orang yang berniat memiliki tanah dan air itu pun terkejut bukan buatan. Apalagi ketika ia melihat kepingan-kepingan batu padas yang menjadi remuk pecah berserakan.

Karena itu, maka segala macam perkataan yang pernah diucapkannya itu pun telah dilupakan. Ia sama sekali tidak bertempur sampai mati.

Peristiwa yang baru saja terjadi itu benar-benar telah mengguncangkan dadanya yang bagaikan berlapis tebal. Betapapun keberanian membakar jantungnya, tetapi yang dilakukan oleh Mahisa Murti itu memang mengejutkannya. Dengan demikian maka orang itu merasa dirinya sebenarnya merupakan lawan yang terlalu lemah bagi pengembara itu.

Tiba-tiba saja orang yang datang ingin menguasai tanah itu benar-benar merasa dirinya tidak berdaya. Ia mulai membayangkan, apa jadinya jika serangan anak muda itu langsung diarahkan kepadanya. Tubuhnya pun tentu akan hancur seperti batu-batu padas itu.

Karena itu, terpengaruh oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti, maka orang itu pun telah melemparkannya senjata pula sambil berteriak, “Aku menyerah.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Buyut, Ki Demang dan para bebahu yang lain pun telah menarik nafas dalam-dalam pula. Dengan menyerahnya orang itu, maka pusar dari persoalan memang telah dipecahkan di hadapan beberapa orang saksi.

Namun ternyata orang-orang Kabuyutan itu tidak dapat, melepaskan orang itu begitu saja.

Meskipun orang itu telah melemparkan senjatanya, namun bagi orang-orang padukuhan, terutama yang ikut mendapatkan air dari mata air di tengah-tengah tanah milik Ki Sarpada, orang itu adalah orang yang harus disingkirkan. Apalagi orang itu telah mempersiapkan satu cara yang paling keji untuk membinasakan Ki Sarpada dan sekelompok orang-orang yang siap mempertahankan tanah itu. Bahkan termasuk Ki Demang dan Ki Buyut.

Karena itu, maka beberapa orang telah mengepungnya dengan serta merta.

“Bunuh orang itu,” teriak seseorang.

Suara itu seperti api yang menyentuh minyak. Karena itu, maka dengan cepat menjalar sehingga sejenak kemudian, maka beberapa orangpun telah berteriak-teriak, “Bunuh. Bunuh orang itu.”

Orang itu menjadi bingung. Senjatanya sudah terlanjur dilemparkannya. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu akan mencincangnya dengan penuh kebencian.

“Jangan, jangan,” tiba-tiba ia berteriak.

Orang itu adalah orang yang berani menghadapi segala macam kekerasan. Orang yang tidak pernah merasa gentar dan orang yang juga tidak pernah merasa takut. Mati merupakan taruhan yang sering dilakukannya untuk mencapai tujuannya.

Seandainya orang itu tidak dikejutkan oleh kemampuan Mahisa Murti yang sangat tinggi, maka orang itu tidak akan meletakkan senjatanya sampai mati sekalipun. Namun justru karena ia terkejut setelah melihat sesuatu yang tidak diduganya, serta bayangan tubuhnya yang hancur berkeping-keping, maka ia pun telah melemparkan senjatanya. Namun ternyata, mati karena kekuatan ilmu anak muda itu masih jauh lebih baik daripada harusmati dicincang oleh orang-orang yang sedang marah itu.

Namun ketika orang itu sudah sampai kepuncak kecemasannya, maka terdengar suara Ki Buyut, “Cukup. Jangan lakukan gejolak perasaan kalian atas orang itu. Serahkan orang itu kepadaku.”

“Tetapi ia sudah berniat untuk membunuh kita semuanya,” teriak seseorang.

“Tetapi hal itu belum pernah dilakukannya,” jawab Ki Buyut.

“Sudah, meskipun baru di angan-angannya. Tidak banyak berbeda dengan jika hal itu benar-benar di lakukannya,” teriak yang lain lagi.

“Dengar,” tiba-tiba suara Ki Buyut lantang, “aku adalah Buyut dari Kabuyutan ini. Kalian harus mendengar kata-kataku. Jika tidak, maka aku tidak akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sini.”

Orang-orang itu mulai berpikir. Ternyata Ki Buyut benar-benar tidak membiarkan orang-orang itu bertindak dengan cara mereka itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berteriak lantang, “Jangan sentuh orang itu. Serahkan semuanya kepada Ki Buyut. Jika aku membiarkannya terbunuh, maka aku akan langsung membunuhnya dengan ilmuku. Ia tidak boleh begitu mudahnya mati. Ia harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Karena itu, jangan bunuh orang itu. Kematian adalah justru menjadi harapannya untuk menghindari pertangungjawaban itu.”

Suara Mahisa Murti itu terasa menggelegar di dada setiap orang. Karena itu, maka orang-orang padukuhan itu pun telah berusaha menahan diri. Beberapa langkah mereka surut menjauhi orang yang tamak itu.

Ki Buyutlah yang kemudian berpaling kepada Mahisa Murtidan berkata, “Terima kasih anak muda. Kau telah melakukan sesuatu yang luar biasa. Sepanjang hidupku aku belum pernah melihat orang semuda Ki Sanak, mampu melakukan pengeram-eram seperti itu.”

“Maaf Ki Buyut. Bukan maksudku menunjukkan satu permainan yang kasar di sini. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain untuk memecahkan persoalan yang rumit ini. Sekarang silahkan menangkap orang itu dan membawanya sebagai tawanan. Di sini ada banyak saksi yang dapat memberikan keterangan tentang peristiwa yang baru saja terjadi ini.”

“Aku akan membawanya dan kemudian menyerahkannya kepada Sang Akuwu. Namun bagi Sang Akuwu, kesalahan orang itu tentu tidak akan lebih besar dari kesalahan seorang Bekel yang telah mempergunakan kuasaannya untuk membantu dan bahkan melakukan sendiri kejahatan. Karena itu, maka Ki Bekelpun akan aku hadapkan kepada Sang Akuwu atas perbuatannya yang tercela, karena ia telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk membantu orang itu merampas tanah yang sangat berharga dari orang lain. Tanah yang mengandung air di dalamnya, sehingga merupakan tanah yang bukan saja dapat menghidupi lingkungannya sendiri, tetapi juga tanah di sekitarnya,” berkata Ki Buyut kemudian.

Tidak seorang pun yang berani melawan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengikat beberapa orang yang telah menjadi tawanan itu, yang kemudian dibantu oleh beberapa orang yang lain.

“Tolong, bawa mereka ke rumahku,” berkata Ki Buyut kepada beberapa orang yang hampir saja membunuh orang itu.

Ada bagian cerita yang hilang di sini

Dengan sungguh-sungguh tabib itu berusaha untuk mengobati Ki Sarpada. Ia telah mempergunakan obatnya yang terbaik.

Beberapa saat tabib itu menunggu. Demikian pula Nyi Sarpada, Wantilan dan orang-orang lain yang ada di rumah itu. Termasuk Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Hampir setiap orang berusaha menahan ketegangan yang menghimpit jantungnya, sementara Ki Sarpada masih saja diam di pembaringannya.

Tetapi wajahnya tidak lagi nampak terlalu pucat. Sedikit demi sedikit darah bagaikan mengalir lagi di tubuhnya, sehingga pernafasannya pun mulai menjadi wajar lagi.

Tabib itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba tangan Ki Sarpada, maka Ki Sarpada itu membuka matanya. Dengan senyumnya yang masih nampak di bibirnya ia berkata, “Tubuhku terasa semakin baik. Di mana Wantilan?”

Wantilan telah mendekat. Dengan jantung yang berdebaran ia berdesis, “Ya paman.”

Ki Sarpada menarik nafas,namun nampaknya dadanya masih terasa sakit. Nampaknya ia menahan perasaan sakit itu.

“Paman,” desis Wantilan.

“Aku tidak apa-apa. Obat itu sangat baik bagiku, sehingga tubuhku merasa lebih segar,” berkata Ki Sarpada, “tetapi bagaimanapun juga, segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha Agung. Hidup kita sangat tergantung kepada Nya.”

“Tabib itu menjadi perantara untuk menyembuhkan paman. Obatnya pun akan menjadi sarana kebaikan paman,” berkata Wantilan.

“Panggil bibimu,” berkata Ki Sarpada.

Wantilan termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian berpaling kepada bibinya sambil berdesis, “Bibi. Silahkan.”

“Bagaimana dengan pamanmu?” suara Nyi Sarpada gemetar.

Wantilan tidak menjawab. Sementara Nyi Sarpada menjadi ragu-ragu untuk mendekat.

Tetapi ketika terdengar suara Ki Sarpada memanggilnya, maka Nyi Sarpada pun telah melangkah mendekat. Nyi Sarpada tidak duduk di bibir amben pembaringan suaminya, tetapi ia berjongkok di sisi pembaringannya itu.

“Kakang,” suaranya dalam sekali.

“Aku tidak apa-apa,” berkata Ki Sarpada, “obat itu membuat tubuhku terasa semakin segar. Darahku rasa-rasanya sudah mengalir lagi ke seluruh bagian tubuhku sampai ke urat nadi yang sekecil-kecilnya.”

“Syukurlah kakang,” berkata Nyi Sarpada, “Kakang akan segera sembuh.”

“Ya, aku akan segera sembuh. Sehingga aku akan dapat menempuh perjalanan yang sangat jauh ini,” desis Ki Sarpada.

“Kakang,” Nyi Sarpada hampir menangis. Ia memang melihat wajah suaminya tidak lagi nampak seputih kapas. Darahnya memang mulai menghangatkan tubuhnya. Tetapi suaminya tidak menjadi bertambah baik. Rasa-rasanya ia menjadi semakin lemah dan kehilangan daya tahan sama sekali.

Ki Sarpada tidak menjawab. Karena itu, maka Nyi Sarpada itu hampir berteriak, “Kiai, tolonglah suamiku Kiai.”

Tabib itu melangkah mendekat. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Obat yang terbaiknya sudah dicairkan dan diminumkannya di sela-sela bibir Ki Sarpada. Wajahnya yang pucat telah menjadi kemerah-merahan lagi. Darahnya mulai mengalir teratur, sementara jantungnya pun berdenyut dengan wajar.”

Tetapi nampaknya keadaan Ki Sarpada menjadi semakin memburuk. Sekali-sekali matanya terpejam untuk beberapa saat lamanya.

“Apakah gejolak obatku yang mulai bekerja di dalam tubuhnya belum selesai sama sekali,” berkata tabib itu kepada diri sendiri.

Tetapi sebenarnyalah keadaan Ki Sarpada menjadi semakin mencemaskan.

Orang-orang yang ada di sekitarnya hanya dapat menunggu kemurahan Yang Maha Agung. Mereka berdoa kepada Nya, agar Ki Sarpada mendapat kurnia kesembuhan daripada-Nya.

Namun segalanya memang sudah ditentukan. Sarpada itu telah berdesis, “Wantilan. Kaulah pewaris tanah dan mata air itu. Orang-orang yang ada di sini menjadi saksi. Karena itu, maka segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku hanya menitipkan bibimu.”

“Paman, paman,” Wantilan telah berjongkok pula disisi pembaringan sambil berusaha untuk mengguncang kaki pamannya.

Tetapi Ki Sarpada yang masih nampak tersenyum itu berkata, “Ikhlaskan saja aku, agar perjalananku menghadap Yang Maha Agung tidak tertahan-tahan di perjalanan,” berkata Ki Sarpada. Lalu tangannya perlahan-lahan bergerak meraba rambut isterinya, “Baik-baiklah menjaga diri Nyai. Aku titipkan kau kepada kemenakanku. Ia adalah satu-satunya orang yang berhak atas tanah dan mata air itu.”

“Kakang,” Nyi Sarpada menjerit ketika ia melihat mata suaminya tertutup. Senyum itu masih ada dibibirnya. Namun nafasnya bagaikan telah terhenti dengan serta merta.

“Kiai, bagaimana dengan paman Kiai?” bertanya Wantilan.

Tabib itu menggeleng lemah sambil berdesis, “Tidak ada kekuatan yang mampu mencegah perjalanannya.”

Wajah Wantilan menjadi semakin tegang. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia datang pada saat yang buram. Namun seandainya ia tidak datang, maka kemungkinan lain akan terjadi atas tanah dan mata air itu.

Beberapa saat suasana menjadi tegang. Namun kemudian suasana itu telah dipecahkan oleh jerit Nyi Sarpada ketika ia yakin bahwa suaminya telah meninggal.

Suasana memang menjadi sedikit kacau. Beberapa orang-pun telah bergerak mendekat untuk meyakinkan, apakah Ki Sarpada memang sudah meninggal.

Ternyata Ki Sarpada memang telah meninggal justru pada saat orang-orang lain menyangka keadaannya menjadi berangsur baik.

“Ia telah memaksa diri,” berkata Wantilan, “seharusnya ia tidak pergi ke mata air itu.”

Tetapi tabib itu berkata, “Hanya lantaran. Tidak seorang-pun yang tahu yang akan terjadi. Apalagi menyangkut umur seseorang.”

Wantilan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bergeser mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri termangu-mangu, “Bagaimana dengan aku. Seharusnya aku ikut bersama kalian. Tetapi paman meninggal saat aku siap untuk berangkat.”

“Kau mempunyai kewajiban yang lebih penting daripada menjadi seorang pengembara,” berkata Mahisa Murti.

“Aku tahu, kalian bukan pengembara kebanyakan. Bukankah seperti yang kau katakan, kau akan kembali ke padukuhanmu? Aku sebenarnya ingin berguru kepada kalian. Jika aku harus tinggal, maka rencana itu tentu akan gagal.”

“Jangan kau risaukan sekarang,” berkata Mahisa Murti, “yang penting kau selenggarakan dahulu pamanmu.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu tetangga-tetangganya telah menjadi sibuk karena kematian Ki Sarpada itu.

Bahkan seorang di antara mereka telah berpacu dengan seekor kuda yang meskipun seekor kuda yang kecil namun lebih cepat dari sekedar berlari-lari, menuju ke rumah Ki Buyut dan Ki Demang.

Tetangga-tetangga Ki Sarpada yang berada di rumah Ki Buyut, demikian mendengar kematian Ki Sarpada dengan tergesa-gesa akan meninggalkan rumah Ki Buyut. Namun Ki Buyut telah menahanya dan berkata, “Tunggu sebentar. Aku juga akan pergi ke rumah Ki Sarpada. Tetapi kita selesaikan dahulu orang-orang itu. Karena di antara mereka juga terdapat orang-orang yang terbunuh di peperangan.”

“Sampai kapan Ki Buyut selesai?” bertanya salah seorang.

“Baiklah. Biarlah Ki Demang mengurusinya di sini. Aku akan pergi ke rumah Ki Sarpada,” berkata Ki Buyut.

Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut telah pergi ke rumah Ki Sarpada bersama dengan orang-orang padukuhan yang telah ikut ke rumah Ki Buyut untuk mengurus para tawanan.

Ki Buyut tahu, bahwa Ki Sarpada tidak mempunyai keluarga lain kecuali Nyi Sarpada sendiri, sehingga ia memerlukan kawan untuk berbincang. Kemanakannya yang baru datang itu pun tentu merasa agak canggung untuk mengurus kematian pamannya.

Dengan demikian, maka Ki Buyut dan para tetangganyalah yang telah menyelenggarakan Ki Sarpada yang ternyata telah meniggal justru saat ia merasa persoalannya telah selesai.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun telah tertahan lagi. Mereka tidak sampai hati meninggalkan Wantilan dalam keadaan yang demikian.

Karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan adik-adik angkat mereka telah ikut membantu menyelenggarakan Ki Sarpada sampai selesai, meskipun dengan demikian mereka telah menunda perjalanan mereka dengan tiga hari lagi.

Pada hari yang ketiga, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan adik-adik seperguruannya telah siap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun Wantilan telah berusaha untuk menahannya.

“Aku sebenarnya ingin ikut bersama kalian,” berkata Wantilan.

“Jangan,” berkata Mahisa Murti, “kau telah mendapat penyerahan dari pamanmu. Bukan sekedar tanah dan mata air itu, tetapi juga bibimu. Kau harus mengurus bibimu, setidak-tidaknya untuk beberapa lama.”

“Tetapi dengan tetap tinggal di sini, maka aku tidak akan mendapatkan ilmu itu,” jawab Wantilan, “aku akan tetap menjadi orang dungu seperti sekarang ini, sehingga akan mudah menjadi sasaran ketamakan orang lain.”

“Jika kau pergi, bagaimana dengan bibimu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku akan berbicara dengan Ki Buyut,” jawab Wantilan, “mudah-mudahan Ki Buyut dapat memberikan petunjuk bagiku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkannya. Jika Nyi Sarpada itu memang ada yang bersedia merawat di usia tuanya, maka hal itu tentu akan menjadi lebih baik. Baik bagi bibinya itu sendiri, maupun bagi Wantilan yang ingin meninggalkan padukuhan itu untuk waktu yang tidak terbatas.

Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Buyut, maka Ki Buyut memang terkejut. Dengan nada tinggi ia berkata, “Tidak ada orang yang lebih baik merawat Nyi Sarpada serta mengurus tanah dan mata air itu kecuali kau sendiri Wantilan.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih berusaha untuk menjelaskan, “Ki Buyut. Aku selama ini merasa bahwa aku adalah orang yang sangat dungu. Aku ingin menambah pengetahuanku tidak saja di bidang olah kanuragan. Tetapi aku tahu, bahwa jika aku ikut bersama anak-anak muda yang mengaku pengembara itu, maka pengetahuanku akan meningkat. Jika kelak aku datang lagi ke Kabuyutan ini, mudah-mudahan aku menjadi lebih berarti dari sekarang. Bukan saja bagi bibi, tetapi juga bagi tanah dan mata air itu. Lebih-lebih lagi, jika mungkin bagi kehidupan di Kabuyutan ini.”

“Tetapi lalu bagaimana dengan Nyi Sarpada jika ia kau tinggalkan?” bertanya Ki Buyut.

“Bagaimana jika aku tidak secara kebetulan singgah di sini?” bertanya Wantilan.

“Bibimu tidak dapat mengharapmu tinggal. Tetapi ia akan mengalami satu kehidupan yang pahit. Gersang sampai saat terakhirnya, karena bibimu juga sudah menjadi semakin tua,” berkata Ki Buyut.”

“Ki Buyut,” berkata Wantilan, “kita tidak tahu, kapan saat-saat akhir dari hidup seseorang. Tetapi menurut ujud kelahirannya, bibi belum terlalu tua. Ia akan dapat bertahan hidup untuk beberapa tahun lagi. Aku harap aku akan kembali sebelum saat itu tiba. Kecuali bibi memang dipanggil lebih cepat dari umurnya, sebagaimana paman.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Bagiamanapun juga sulit baginya untuk mengerti jalan pikiran Wantilan. Karena itu maka ia pun berkata, “Wantilan. Seharusnya kau tidak sampai hati meninggalkan bibimu dalam keadaan seperti itu.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Ki Buyut. Bagaimana jika aku mohon pertolongan Ki Buyut agar Ki Buyut dapat menunjuk seseorang untuk membantu bibi. Selama ini ada seorang tetangga yang bekerja di rumah paman sehingga kehadirannya sangat meringankan kerja paman sehari-hari. Jika Ki Buyut sependapat, maka bibi akan dapat aku titipkan pada keluarga orang itu. Namun aku mohon Ki Buyut tidak berkeberatan untuk mengawasi tanah dan mata air itu, sehingga akan tetap dapat dipergunakan bagi banyak orang seperti saat paman Sarpada masih ada.”

“Satu kepercayaan yang berat bagiku Wantilan. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada bibimu. Aku baru akan menyanggupi permintaanmu jika bibimu menyetujuinya. Jika bibimu mempunyai pendapat lain, maka kita harus membicarakannya lebih jauh,” jawab Ki Buyut.

Wantilan mengangguk. Katanya, “Aku sependapat Ki Buyut. Aku akan berbicara dengan bibi. Aku mohon Ki Buyut dapat hadir dalam pembicaraan itu, atu aku dan bibi akan bersama-sama menghadap Ki Buyut.”

“Aku akan datang ke rumah Nyi Sarpada,” berkata Ki Buyut, “aku juga akan berbicara dengan orang yang kau sebut-sebut membantu di rumah Ki Sarpada. Apakah orang itu benar-benar dapat dipercaya atau tidak.”

“Meskipun aku baru saja mengenalnya Ki Buyut, tetapi aku percaya kepadanya,” jawab Wantilan.

“Besok aku akan datang ke rumah Nyi Sarpada sebelum tengah hari,” berkata Ki Buyut.

“Terima kasih Ki Buyut,” Wantilan berhenti sejenak. Lalu katanya, “seandainya di padukuhan kami, Ki Bekel tidak terlibat, maka aku tidak akan terlalu menggangu Ki Buyut sekarang ini.”

“Aku juga akan menyelesaikan persoalan Ki Bekel di padukuhan itu. Ia tidak mungkin memangku jabatannya kembali untuk selama-lamanya. Keturunannya pun sulit untuk mendapat kepercayaan kembali. Karena itu, harus dicari orang lain yang mampu menduduki jabatan itu,” berkata Ki Buyut.


“Hal itu dapat ditanyakan kepada para penghuni padukuhan. Langsung atau tidak langsung. Mereka akan dapat menunjuk seseorang yang menurut mereka paling baik, meskipun yang paling baik menurut mereka itu pun dapat keliru,” jawab Wantilan, “namun kekeliruan itu akan dipertanggungjawabkan oleh semua orang yang telah memilihnya.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Besok aku juga akan mulai merintis hal itu. Mudah-mudahan tidak akan banyak hambatan.”

Dengan demikian maka Wantilan pun telah minta diri. Iaingin berbicara lebih dahulu dengan bibinya sebelum besok Ki Buyut datang ke rumah bibinya sehingga hal itu tentu akan sangat mengejutkannya.

Ketika Wantilan sampai di rumah bibinya, maka dilihatnya anak-anak muda yang mengaku pengembara itu telah siap untuk berangkat. Mereka tinggal menunggunya datang dari rumah Ki Buyut.

Tetapi dengan sungguh-sungguh Wantilan minta mereka untuk menunda keberangkatan mereka.

“Besok Ki Buyut akan datang kemari. Pergi atau tidak pergi besok aku akan dapat mengambil keputusan. Karena itu, aku mohon kalian tinggal sampai besok sebelum tengah hari,” minta Wantilan.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Sebenarnya aku tidak ingin perjalananku tertunda lagi.”

“Aku tidak berani minta Ki Buyut datang hari ini,” jawab Wantilan.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia berpaling kepada Mahisa Pukat. Ternyata Mahisa Pukat juga menjadi ragu-ragu. Meskipun demikian, Mahisa Pukat itu akhirnya berkata, “Apa boleh buat.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Baiklah Paman Wantilan. Aku akan menunda keberangkatanku sampai besok. Tetapi sebenarnya aku pun berpendapat, bahwa bibimu memerlukan kau.”

Wantilan memandang Mahisa Murti dengan sorot mata yang aneh. Terasa pada sorot matanya itu, jantungnya yang bergejolak.

Mahisa Murti pun dengan serta merta berkata, “Paman Wantilan. Jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menolak keikutsertaanmu ke padepokan kami. Sudah aku katakan, bahwakami akan menerima kehadiranmu dengan senang hati. Seandainya tidak ada peristiwa ini, maka kita sudah berjalan semakin jauh, mendekati padepokan kami. Tetapi peristiwa ini terjadi dengan tiba-tiba tanpa kita perhitungkan lebih dahulu.”

“Tetapi aku akan berbicara dengan Ki Buyut dan bibi,” sahut Wantilan.

“Paman Wantilan memang harus berbicara dengan bibi paman itu,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “kami memang merasa agak keberatan, jika bibi paman itu tidak membenarkan paman pergi.”

Wantilan mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia kemudian berkata, “Terima kasih atas kesediaan kalian menunda perjalanan kalian.”

Mahisa Murti, Mahisa Puka, Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang sudah siap untuk berangkat, harus menunda ke-berangkatan mereka. Namun mereka memang tidak dapat berbuat lain.

Tetapi hari itu rasa-rasanya memang terlalu panjang. Matahari terasa begitu lambat mengarungi langit. Bahkan di tengah hari, matahari seakan-akan hinggap di puncak langit dan tidak bergerak lagi.

Namun akhirnya hari itu pun sampai pada ujungnya. Senja-pun turun dan malam akhirnya menyelimuti padukuhan itu.

Tetapi malamlah yang kemudian terasa semakin lamban. Rasa-rasanya waktu sama sekali tidak bergerak. Sementara itu Wantilan rasa-rasanya tidak dapat memejamkan matanya sama sekali.

Dalam pada itu beberapa orang telah merayap mendekati rumah Nyi Sarpada. Beberapa orang yang berwajah garang. Seorang di antara mereka berkata, “Masalahnya bukan lagi upah. Tetapi harga diri. Kita bunuh orang yang ada di rumah Nyi Sarpada, baru kita bebaskan kawan-kawan kita yang tertawan dan disimpan di rumah Ki Buyut. Dengan demikian, maka untuk selanjutnya kita tidak akan kehilangan kepercayaan. Orang-orang yang telah mengenal kita dengan baik seperti orang yang akan memiliki tanah itu, akan tetap yakin bahwa kita dapat menyelesaikan semua persoalan yang telah kita sanggupi.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang bertubuh agak gemuk berkata, “Kalau kita lumatkan mereka, baru Ki Buyut menyadari, bahwa sebaiknya ia tidak menentang kehendak kita. Gerombolan Sarpa Wereng harus tetap dihormati di sini. Ki Sarpada dan orang-orang yang melindunginya telah mencoreng arang di wajah kita. Kita memang tidak menyangka bahwa sepuluh orang dari gerombolan Sarpa Wereng tidak dapat menyelesaikan persoalan tanah dan mata air itu. Justru ada orang yang lolos dan mampu menjumpai Ki Demang dan bahkan Ki Buyut yang bersama-sama tetangga-tetangga Ki Sarpada telah berani melawan kita.”

“Semua harus mati. Baru kita akan dapat memulihkan nama besar kita. Beberapa orang anggauta kita telah terbunuh di hutan kecil tempat mata air yang diperebutkan itu dengan cara yang sangat memalukan,” berkata orang yang nampaknya pemimpin dari gerombolan Sarpa Wereng yang memang bernama Sarpa Wereng. Lalu katanya, “Karena itu, kita harus membunuh mereka semua.”

Dengan diam-diam seorang demi seorang dari gerombolan Sarpa Wereng itu telah menyelinap memasuki halaman rumah Nyi Sarpada. Dengan berhati-hati pula mereka telah mendekati rumah itu dari sisi. Mereka memasuki longkangan lewat seketheng.

Namun ternyata bahwa mereka telah mendekati bilik Wantilan yang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali.

Karena itulah, maka Wantilan yang berbaring diam itu telah mendengar desir lembut diluar dinding biliknya.

Ketika Wantilan mendengar suara berbisik, maka ia sadar, ada beberapa orang berada di luar.

Untuk beberapa saat Wantilan hanya berdiam diri saja. Lampu minyak yang kecil dibiliknya berkerdipan disentuh angin yang menyusup dari lubang-lubang dinding bambu.

Karena Wantilan berusaha untuk tetap diam, maka orang-orang yang berada diluar dinding itu menyangka bahwa isi rumah itu telah tertidur.

“Kita lihat disisi yang lain,” terdengar bisik lembut yang hampir tidak dapat didengar. Namun dalam kesenyapan malam, Wantilan masih sempat mendengar yang meskipun tidak jelas, tetapi ia dapat menangkap maksudnya.

Sementara itu, Wantilan mendengar langkah-langkah perlahan sekali meninggalkan tempatnya dan bergeser ke belakang. Nampaknya orang-orang itu akan mengelilingi rumah lewat halaman belakang.

Kesempatan itu telah dipergunakan oleh Wantilan untuk dengan sangat berhati-hati bangkit dari pembaringannya, sehingga tidak terdengar gerit pembaringannya itu. Sambil berjingkat ia telah pergi ke bilik yang lain, bilik yang diperuntukkan bagi tamu-tamunya sepeninggal Ki Sarpada. Kedua bilik itu telah dipisahkan oleh bilik tengah yang dipergunakan oleh Nyi Sarpada yang masih saja berkabung sepeninggal suaminya.

Dengan sangat berhati-hati Wantilan membuka pintu yang tidak diselarak. Namun Wantilan tidak perlu membangunkan anak-anak muda itu. Demikian pintu itu terbuka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk meskipun masih di atas pembaringan.

Dengan isyarat Wantilan memberitahukan bahwa ada orang diluar dinding biliknya.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk, maka Wantilan pun telah bergeser kembali ke dalam biliknya. Ia masihcuriga karena mungkin masih ada di antara orang-orang itu yang berada di sebelah biliknya.

Namun ternyata Wantilan tidak lagi mendengar suara betapa pun lembutnya di luar dinding biliknya. Karena itu, maka ia memperhitungkan bahwa orang-orang itu sudah bergeser ke sisi yang lain.

Sebenarnyalah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah terbangun oleh derit pintu biliknya, telah berusaha untuk mendengarkan suara di luar biliknya. Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, mereka mendengar langkah kaki dan kemudian desir perlahan-lahan sekali.

“Sudah tidur semuanya,” terdengar lamat-lamat suara seseorang yang berbisik.

“Tunggu, tunggu sejenak,” sahut yang lain tertahan, namun dapat ditangkap oleh telinga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Sejenak tidak terdengar suara apapun lagi. Agaknya orang-orang yang diluar bilik itu pun menunggu dengan sangat berhati-hati.

Dalam keadaan yang demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berdiam diri pula. Karena itu, maka orang-orang yang berada diluar bilik itu mengira bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah tertidur pula.

Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar lagi suara berbisik, “Marilah. Kita masuki rumah ini dengan serta merta dan membunuh semua orang yang ada di dalam tanpa belas kasihan. Jika kita masih sempat berpikir sekejap saja tentang keragu-raguan kita, maka kita tidak akan berani berbuat sesuatu atas mereka yang telah menghancurkan keluarga Sarpa Wereng. Karena itu, jangan memikirkan siapa yang kalian hadapi. Kalian harus membunuhnya.”

Tidak ada yang menjawab. Sementara itu terdengar suaralagi, “Kita pecahkan pintu butulan sebelah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendengar desir langkah beberapa orang yang bergeser menuju ke pintu butulan.

Dengan demikian maka kedua orang itu pun segera bersiap. Mereka tidak boleh terlambat, karena orang-orang yang datang itu pun telah siap untuk membunuh siapa saja yang mereka jumpai di rumah itu.

Sebelum orang-orang itu merusak pintu butulan, maka kedua orang itu telah bersiap di ruang dalam. Sementara Mahisa Semu yang telah dibangunkan pula perlahan-lahan, telah bersiap dengan pedangnya.

Agaknya Wantilan telah bersiap-siap pula didalam biliknya, sehingga ketika ia mendengar langkah di bilik Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Wantilan pun telah berdiri di pintu biliknya pula.

Orang-orang yang di luar memang mendengar langkah orang di dalam rumah itu. Tetapi mereka sudah berada di muka pintu. Karena itu, maka justru mereka telah mempercepat usaha mereka membuka pintu butulan itu.

Sejenak kemudian terdengar pintu butulan itu berderak keras. Oleh pukulan tangan beberapa orang, ternyata pintu itu telah pecah berkeping-keping.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang surut selangkah. Keduanya dengan cepat dapat menilai, bahwa ada di antara orang-orang yang memecah pintu itu seorang atau dua orang yang berilmu tinggi.

“Siapa kalian Ki Sanak?” dengan geram Mahisa Murti bertanya.

Tetapi orang-orang yang memasuki rumah itu telah menerima perintah untuk membunuh setiap orang tanpa kesempatan untuk berpikir. Karena itu, maka tanpa menunggu lagi, dua orang telah berlari dengan pedang terjulur lurus mengarah ke dada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Serangan itu telah membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat marah sekali. Dua orang yang dengan serta merta berusaha membunuh mereka tanpa diketahui lebih dahulu apakah mereka pantas untuk dibunuh atau tidak dalam hubungannya dengan gerombolan yang datang itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melawannya dengan tidak tanggung-tanggung. Sambil berdesis Mahisa Murti bergeser menghindari ujung pedang lawannya, “Singkarkan saja orang gila ini.”

Mahisa Pukat memang meloncat selangkah surut. Namun isyarat saudaranya itu telah dijadikan keputusan niatnya. Karena itu, maka ia pun telah mengambil sikap yang pasti.

Ternyata kedua orang yang menyerang Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan sambil bergeser menghindar, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itu telah menyerang kembali. Serangan dua orang yang sedang marah, sementara keduanya memiliki ilmu yang tinggi.

Karena itu, ketika sisi telapak tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengenai tubuh kedua orang yang menyerang mereka dengan pedang itu, maka keduanya sama sekali tidak mampu bertahan lagi.

Sisi telapak tangan Mahisa Murti ternyata telah mematahkan tulang leher orang yang menyerangnya, sementara tangan Mahisa Pukat yang masuk ke bagian rusuk lawannya itu telah mematahkan beberapa tulang rusuknya dan sekaligus merontokkan isi dadanya.

Dengan demikian maka kedua orang itu pun telah terdorong beberapa langkah, terbanting jatuh dan selanjutnya tidak bangkit kembali.

Pemimpin dari gerombolan yang menyebut dirinya Sarpa Wereng itu terkejut. Mereka tidak mengira bahwa demikianmudahnya kedua orangnya itu terbunuh. Karena itu, maka ia pun telah meneriakkan aba-aba, “Bunuh orang-orang itu. Bakar rumah ini dengan segala isinya.”

“Gila. Kalian telah gila. Kenapa kalian melakukan hal itu?” bertanya Wantilan dengan nada tinggi.

“Persetan,” geram pimpinan gerombolan itu, “cepat, bakar rumah ini. Kita harus mencegah mereka keluar. Jaga pintu butulan yang lain dan pintu pringgitan.”

Ternyata gerombolan itu cukup banyak untuk melakukan perintah pemimpinnya. Terdengar derap kaki orang berlari-lari berputaran. Ada yang menuju ke butulan dan ada yang menuju ke pringgitan.

Sementara itu pemimpin gerombolan itu berkata, “Nah, sadari akan keadaan kalian. Rumah ini akan aku bakar. Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa. Semua pintu telah dijaga. Kalian akan mati di dalam api, atau kalian akan mati diujung senjata orang-orangku demikian kalian keluar dari pintu yang manapun juga.”

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menunggu semua itu terjadi. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata lantang, “Bagus. Kita akan bertempur mati-matian. Jika kalian bersungguh-sungguh akan membunuh kami, maka kami akan membunuh kalian lebih dahulu.”

“Cukup,” teriak pemimpin itu. Dengan suara lantang ia pun berteriak pula keras-keras, “cepat, bakar rumah ini sekarang.”

Mahisa Murti pun berkata lantang pula, “Wantilan. Selamatkan bibimu. Aku akan menyelesaikan orang-orang ini.”

Namun sementara itu, api sudah menyala dari bagian belakang rumah itu. Dengan cepat menjalar sampai ke atas.”

Wantilan yang akan memasuki bilik bibinya hampir saja justru melanggarnya. Bibinya yang mendengar hiruk pikuk itu puntelah bergegas keluar dari biliknya.

“Bibi,” berkata Wantilan, “marilah. Kita berhadapan dengan sekelompok orang yang akan menghancurkan kita.”

“Kenapa dan siapakah mereka?” bertanya bibi Wantilanitu.

“Aku belum tahu, bibi,” jawab Wantilan, “marilah. Kita tidak mempunyai waktu.”

“Bawa keluar. Ikuti kami,” berkata Mahisa Murti. Kemudian katanya kepada Mahisa Semu, “bantu Wantilan. Lindungi mereka.”

Wantilan pun kemudian telah menggandeng bibinya keluar dari ruang dalam. Tetapi mereka tidak dapat berjalan terus. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus membersihkan jalan yang akan mereka lewati.

Terdengar pemimpin gerombolan itu tertawa. Sambil melangkah keluar dari rumah itu ia berkata, “Kalian akan mati di dalam rumah itu. Kalian akan menjadi abu dan kalian tidak akan dapat dikenali lagi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Semu dengan pedangnya berusaha melindungi bibi Wantilan. Namun Mahisa Semu masih harus juga mengurus Mahisa Amping.

Tetapi Mahisa Amping cukup lincah untuk mengurus dirinya sendiri.

Selangkah demi selangkah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan ke pintu. Sementara itu api berkobar semakin besar dibagian belakang dan mulai menjalar ke bagian tengah.

“Jika kalian masih tetap di pintu, maka kalian akan lebih cepat mati daripada kecepatan api yang membakar rumah ini,” berkata Mahisa Pukat.

Tetapi orang-orang yang menjaga pintu itu ternyata tidak mau memberi kesempatan. Mereka tetap berdiri di pintu dengan senjata terhunus, sementara pemimpinnya telah berada di halaman samping sambil menyaksikan api yang telah berkobar semakin besar.

Kemarahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak tertahan lagi. Namun Mahisa Pukat lah yang telah bertindak lebih dahulu. Dengan memusatkan nalar dan budi, maka Mahisa Pukat telah mengetrapkan ilmunya. Sejenak kemudian, maka ia pun telah menghentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah orang-orang yang berdiri di pintu dengan senjata telanjang dan teracu ke arahnya.

Akibatnya memang luar biasa. Seleret sinar bagaikan meloncat dari telapak tangan Mahisa Pukat yang terbuka meluncur dan menyambar orang-orang yang berdiri di muka pintu itu.

Dengan hentakkan yang keras, seakan-akan telah terjadi ledakkan yang telah melemparkan orang-orang itu keluar dan jatuh berguling di halaman samping.

Tiga orang di antara mereka ternyata tidak mampu lagi untuk bangun. Seorang masih sempat bangkit dan berlari dengan kaki timpang, sedangkan seorang lagi harus merangkak menepi menjauhi pintu yang seakan-akan telah menghancurkannya itu. Mematahkan tulang-tulangnya dan mengoyak kulitnya.

Akibat itu benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh gerombolan Sarpa Wereng itu. Mereka sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat, Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah keluar dari pintu yang telah ditinggalkan oleh orang-orang yang menjaganya dengan senjata teracu. Di belakang mereka adalah Wantilan yang menggandeng Nyi Sarpada.

Demikian mereka keluar dan menjauhi pintu, maka apipun telah mulai menjalar ke bangunan bagian tengah. Bagian-bagian yang terbuat dari bambu pun mulai meledak-ledak dan melemparkan api ke segala arah, mempercepat menjalarnya sampai ke ujung-ujung rumah.

Sejenak kemudian, maka bangunan yang kokoh itu, meskipun bukan bangunan yang terlalu baik, telah menjadi bukit api yang menggapai-gapai langit.

Nyi Sarpada yang melihat api yang menelan rumahnya itu hanya dapat mengusap dadanya. Air matanya sudah tidak lagi keluar dari pelupuknya.

“Jangan hiraukan lagi bibi,” desis Wantilan.

Adalah diluar dugaannya ketika ia mendengar suara bibinya yang tidak gemetar, “Aku tidak apa-apa Wantilan.”

Wantilan lah yang justru terdiam sejenak. Ketika ia memandangi wajah bibinya, maka nampak wajah itu mengeras bagaikan batu-batu padas yang tidak lagi dapat lekang oleh hujan panas.

Tetapi Nyi Sarpada itu masih berdesis, “Ia dapat membakar rumahku. Tetapi mereka tidak akan dapat membakar mata air itu.”

“Ya bibi,” desis Wantilan.

Sementara itu, pemimpin gerombolan Sarpa Wereng itu masih belum puas meskipun api telah membakar semua bagian rumah Nyi Sarpada. Meskipun ia melihat lidah api itu menjilat awan yang mengalir didorong angin malam.

Karena itu, maka ia pun berteriak dengan penuh dendam, apalagi beberapa orang kawannya telah terbunuh pula, “Bunuh semua orang.”

Tetapi beberapa orang pengikutnya merasa ragu. Bahkan seorang di antara mereka berbisik, “Orang itu mempunyai ilmu iblis. Tiga orang kawan kita tidak sempat bangkit lagi tanpa disentuhnya.”

“Ilmu sihir. Jangan hiraukan. Ketiga orang kawan kita itu tidak apa-apa. Mereka hanya merasa seakan-akan mereka mati atau pingsan. Bangunkan mereka dan perintahkan mereka untuk bertempur,” geram pemimpin gerombolan itu.

Beberapa orang merasa ragu-ragu. Mahisa Murti dan saudara-saudara angkatnya, termasuk Wantilan dan Nyi Sarpada telah menjauhi rumahnya yang telah menjadi seonggok api.

“Lihat dan bangunkan kawan-kawanmu yang dungu itu,” perintah pemimpin gerombolan itu.

Dengan sangat berhati-hati beberapa orang sudah melangkah mendekati ketiga orang kawannya yang terbaring diam. Ketika mereka memutar dan menelentangkan tubuh itu, maka mereka melihat bahwa tubuh itu seakan-akan menjadi hangus.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar