Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 088

“Tentu tidak. Kami tak akan melepaskan orang itu begitu saja. Kami tentu akan menuntut kepada Ki Buyut agar orang-orang itu dihukum sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan.” sahut Ki Bekel.

Orang itu termangu-mangu. Namun di wajahnya masih menyala dendam di hatinya.

Tetapi Ki Bekel kemudian berkata, “Aku tidak akan menunda-nunda. Sekarang juga kita akan pergi kerumah Ki Buyut dan memberitahukan apa yang telah terjadi.”

Orang-orang itu terdiam. Tetapi seorang di antara orang-orang yang tidak sempat berpikir terlalu jauh itu berteriak, “Sudahkan Ki Bekel. Sebaiknya Ki Bekel memang memberikan laporan kepada Ki Buyut. Supaya lebih cepat, maka Ki Bekel sebaiknya pergi berkuda saja bersama beberapa orang pengawal. Siapa tahu, bahwa dengan tertangkapnya keenam orang itu serta terbunuhnya seorang yang justru adalah pemimpinnya, maka masih ada orang-orang yang tersisa sehingga mereka akan dapat menumpahkan dendamnya kepada Ki Bekel.”

Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Aku memang akan pergi menemui Ki Buyut. Tetapi tidak hanya dengan pengawal. Tetapi keenam orang itu akan aku bawa.”

Orang itu mengusulkan agar Ki Bekel serasa salah itu kemudian berkata, “Orang-orang itu harus diadili di sini. Mereka adalah orang-orang padukuhan ini meskipun jarang bergaul dengan para tetangga.”

“Keenam orang ini bukan orang padukuhan ini,” berkata Ki Bekel.

“Dua orang dari padukuhan sebelah,” jawab salah seorang di antara orang-orang padukuhan itu, “aku mengenali mereka. Empat orang dari padukuhan ini. Tetapi mereka bukan orang asli dari padukuhan ini. Mereka hanya berada di rumah sepekan sekali.”

“Itulah,” berkata Ki Bekel, “pekerjaannya telah membuatnya asing dengan orang lain.”

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Sudahlah. Sebaiknya Ki Bekel pergi melaporkan kepada Ki Buyut. Biarlah kami menjaga orang-orang itu.”

Tetapi Ki Bekel menggeleng. Katanya, “Aku akan membawa mereka. Ki Buyut tidak perlu datang kemari untuk mengadili orang-orang itu di sini.”

“Biarlah mereka diadili di sini,” berkata seseorang yang berdiri di belakang.

“Tidak,” jawab Ki Bekel tegas.

Namun nampaknya orang-orang padukuhan itu merasa tidak puas. Mereka mendendam orang-orang yang telah membuat tatanan padukuhan mereka menjadi porak poranda. Mereka telah membuat padukuhan mereka dijauhi oleh orang-orang dari padukuhan lain. Jalan-jalan menjadi semakin sepi. Bukan hanya satu padukuhan yang mereka huni, tetapi beberapa padukuhan di sekitarnya. Satu lingkaran besar daerah yang dijamah oleh tangan-tangan jahat dari orang-orang itu.

Ki Bekel yang juga melihat ketidak puasan itu menjadi cemas. Orang-orang padukuhannya biasanya adalah orang-orang yang patuh kepadanya. Patuh kepada perintahnya. Tetapi dendam yang telah membakar jantung mereka telah membuat mereka menjadi keras. Bahkan mungkin mereka akan melakukan perlawanan terhadap Ki Bekel.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Ki Bekel pun berkata kepada mereka, “Ki Sanak. Aku harap Ki Sanak bersedia pergi ke rumah Ki Buyut. Ki Sanak akan menjadi saksi utama dalam persoalan ini, karena Ki Sanak adalah orang yang mengalami perampokan, namun sekaligus orang yang telah berhasil menangkap para perampok.”

Mahisa Murti ternyata tanggap akan maksud Ki Bekel. Dengan demikian maka orang-orang padukuhan itu tentu akan segan memaksa Ki Bekel dan saksi-saksi yang langsung menangkap para perampok itu untuk menyerahkan mereka.

Karena itu, betapa pun ia ingin melanjutkan perjalanan dengan segera, namun Mahisa Murti tidak dapat menolak permintaan Ki Bekel. Tetapi meskipun demikian maka Mahisa Murti itu pun berkata, “Aku akan berbicara dengan saudara-saudaraku.”

“Aku minta dengan sangat,” berkata Ki Bekel, “tanpa kalian, Ki Buyut akan dapat menarik arti yang berbeda dari yang sebenarnya. Kalian harus menjelaskan apa yang telah terjadi. Kalian harus berterus-terang bahwa seorang di antara mereka, justru pemimpinnya telah terbunuh.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan meyakinkan saudara-saudaraku.”

Mahisa Murti memang berbicara dengan Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka memang tidak ingin menolak permintaan Ki Bekel. Apalagi mereka pun tanggap akan latar belakang dari permintaan Ki Bekel itu.

Namun dalam pada itu Mahisa Amping pun bertanya, “Kakang Mahisa Murti tidak minta pendapatku?”

“O, ya,” jawab Mahisa Murti.

“Aku tidak berkeberatan Ki Bekel memang memerlukan saksi. Jika orang-orang itu ditinggal di sini, maka nasib mereka akan terancam,” berkata Mahisa Amping.

“Sst. Dari mana kau tahu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Wajah-wajah orang-orang padukuhan itu telah menyatakan sikap mereka,” jawab Mahisa Amping.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil menepuk kepala anak itu sambil berkata, “Kita akan ikut bersama Ki Bekel.”

Ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Ki Bekel, orang-orang padukuhan itu memang merasa segan merampas orang-orang yang ternyata adalah perampok-perampok.

Karena itu, maka Ki Bekel pun kemudian berkata, “Marilah anak-anak muda. Kita akan melakukan tugas ini dengan cepat. Kita akan langsung ke rumah Ki Buyut.”

Orang-orang padukuhan itu memperhatikan Ki Bekel dan keenam orang itu berganti-ganti. Keenam orang itu memang tidak akan mungkin melarikan diri jika anak-anak muda itu mengikuti mereka pergi ke rumah Ki Bekel.

Namun kekecewaan nampak membayang di wajah-wajah mereka. Mereka ternyata benar-benar ingin membuat perhitungan dengan para perampok itu.

Namun yang dikatakan oleh Ki Bekel kemudian, “Seorang di antara para penjahat itu terbunuh. Namun bagaimanapun juga kita tidak akan dapat membiarkan mayat itu terkapar di situ. Karena itu, kalian berkewajiban menyelenggarakan mayat itu, sementara kami pergi ke rumah Ki Buyut.”

Tidak ada yang menjawab. Betapa pun orang-orang padukuhan itu menjadi kecewa, namun mereka harus menerima keputusan Ki Bekel.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah berangkat ke rumah Ki Buyut bersama dengan beberapa orang bebahu. Keenam orang perampok itu sama sekali tidak mengalami perlakuan khusus. Tangan mereka sama sekali tidak diikat. Apalagi kaki mereka. Mereka dapat berjalan bebas beriringan. Namun justru di depan Ki Bekel yang berjalan bersama beberapa bebahu. Kemudian dibelakang mereka adalah Mahisa Murti dengan saudara-saudaranya.

Keenam orang perampok itu memang merasa gelisah bahkan ketakutan. Jika ki Buyut telah kehilangan kesabarannya, maka mereka tentu akan mengalami nasib buruk sekali.

Sementara itu Ki Bekel lah yang justru merasa khawatir terhadap para perampok yang berjalan berkelompok di depan. Karena itu maka ia pun telah berbisik, “Apakah mereka tidak akan melarikan diri?”

“Sejak semula mereka sudah menyerah. Jika ia ingin melarikan diri tentu dilakukannya,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi niat itu mungkin baru saja timbul. Jika mereka berlari memencar, maka tentu ada di antara mereka yang sempat luput dari kejaran kita,” berkata Ki Bekel pula.

“Aku kira mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya,” jawab Mahisa Murti.

Ternyata perhitungan Mahisa Murti itu tepat. Meskipun keenam orang itu seakan-akan bebas berjalan tanpa kekangan apapun, namun mereka memang tidak berani melarikan diri. Bagi mereka anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ternyata mereka telah dapat mengalahkan pimpinan mereka, yang sehari-hari menampakkan dirinya sebagai seorang pemilik kedai yang sederhana, baik hati dan sangat ramah.

Meskipun demikian, perjalanan mereka telah menarik perhatian beberapa orang padukuhan yang mereka lewati. Tetapi baik Ki Bekel, maupun para bebahu tidak menyebut tentang para perampok itu.

Ketika seseorang mengenal bahwa yang lewat itu adalah Ki Bekel dari padukuhan sebelah maka ia pun telah bertanya, “Ki Bekel nampaknya sedang menuju ke rumah Ki Buyut?”

“Ya,” jawab Ki Bekel.

“Begitu banyak orang yang menyertai Ki Bekel,” berkata orang itu yang merasa heran melihat sebuah iring-iringan.

“Ada persoalan di antara keluarga mereka,” jawab Ki Bekel, “mereka memerlukan pendapat Ki Buyut.”

“Begitu gawatnya sehingga Ki Bekel tidak dapat menyelesaikan persoalan itu?” bertanya yang lain.

Ki Bekel merasa bahwa orang itu tentu sudah mulai merasa curiga. Tetapi Ki Bekel justru tersenyum sambil berkata, “Ada yang harus diputuskan oleh Ki Buyut.”

Orang-orang padukuhan itu tidak bertanya lagi. Sementara iring-iringan itu berjalan terus.

Namun para perampok itu menjadi semakin cemas. Jika ada di antara mereka yang mengetahui bahwa mereka adalah perampok-perampok yang selama itu mengganggu di bulak-bulak panjang dan bahkan didekat padukuhan-padukuhan, maka persoalannya tentu akan menjadi gawat. Orang-orang yang tidak mengenal anak-anak muda yang telah menangkapnya tidak akan mudah dikendalikan sebagaimana orang-orang padukuhan yang dipimpin oleh Ki Bekel itu.

Tetapi Ki Bekel memang tidak ingin terjadi keributan di perjalanan. Karena itu, maka ia tetap merahasiakan tawanannya. Bersama para bebahu Ki Bekel selalu mengatakan bahwa orang-orang itu mempunyai persoalan yang khusus sehingga harus menghadap Ki Buyut untuk mendapatkan penyelesaian.

Kedatangannya di rumah Ki Buyut memang telah mengejutkan Ki Buyut. Apalagi ketika Ki Bekel mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi, serta siapa yang telah dibawanya menghadap Ki Buyut itu.

“Jadi orang-orang ini adalah perampok-perampok yang selama ini menghantui lingkungan kita?” bertanya Ki Buyut.

“Ya Ki Buyut. Seorang di antara mereka, justru pemimpinannya, telah terbunuh. Seorang pemilik kedai yang mempergunakan kedainya untuk menjebak orang-orang yang akan dijadikan korbannya dengan memberikan isyarat kepada orang-orang yang telah siap melakukan perampokan,” berkata Ki Bekel.

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, “Kenapa orang itu harus dibunuh?”

“Tidak dengan sengaja,” jawab Ki Bekel, “orang itu adalah orang yang berilmu tinggi, sehingga sulit untuk menangkapnya tanpa membunuhnya. Apalagi orang itu agaknya memang telah memilih mati daripada tertangkap hidup-hidup.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya perampok-perampok ini menjadi sangat jinak. Menilik dari tindakan-tindakannya, maka mereka adalah orang-orang yang ganas dan keji.”

“Mereka memang orang-orang yang ganas dan bahkan liar Ki Buyut. Tetapi dengan kehadiran anak-anak muda yang telah menangkapnya, maka mereka tidak berani berbuat apa-apa, sehingga mereka menjadi sangat jinak,” Ki Bekel berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tetapi sepeninggal anak-anak muda ini maka mereka memerlukan pengawasan yang sangat ketat.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Karena itu, maka aku akan memerintahkan para pengawal Kabuyutan untuk mengikat mereka sampai saatnya mereka ditentukan hukuman mereka.”

“Kami mohon ampun,” tiba-tiba orang yang tertua di antara, para perampok itu memohon dengan nada yang rendah.

“Kami akan melihat, mengumpulkan keterangan-keterangan dan saksi-saksi tentang kalian,” berkata Ki Buyut, “baru kami akan menentukan hukuman apa yang sebaiknya kami berikan kepada kalian. Tetapi betapa pun berat hukuman kalian, namun kalian tidak akan aku serahkan kepada orang-orang padukuhan untuk membantai kalian.”

Para perampok itu hanya dapat menundukkan kepalanya, sementara Ki Buyut dan Ki Bekel masih berbincang tentang mereka. Namun kemudian para perampok itu pun telah diserahkan kepada pimpinan pengawal Kabuyutan yang disertai oleh Ki Jagabaya. Mereka telah menyiapkan sebuah ruangan khusus untuk menahan keenam orang yang ternyata adalah perampok-perampok yang selama itu ditakuti.

Ki Bekel dan para bebahu yang kemudian minta diri ternyata tertahan untuk beberapa saat ketika Ki Buyut minta mereka bersama anak-anak muda itu untuk menikmati suguhan yang telah dihidangkan.

Baru kemudian, mereka akan dilepaskan meninggalkan Kabuyutan kembali ke padukuhan.

Namun ternyata sesuatu telah terjadi. Orang-orang yang mendengar tentang penyerahan keenam orang perampok itu telah berceritera kepada orang-orang yang mereka temui. Juga pejalan-pejalan yang melalui padukuhan induk Kabuyutan itu. Enam orang perampok yang sering mengganggu daerah yang luas di Kabuyutan itu dan bahkan Kabuyutan di sekitarnya telah tertangkap.

Di padukuhan sebelah, orang-orang yang mendengarnya telah menjadi marah. Seorang di antara mereka berkata, “Tentu Ki Bekel yang membawa para perampok tadi telah berbohong. Meskipun kami telah merasa curiga bahwa ia bersama dengan beberapa orang telah pergi menemui Ki Buyut.”

“Ki Bekel telah melindungi para perampok,” sahut yang lain.

“Kita laporkan saja kepada Ki Bekel padukuhan kita sendiri,” berkata yang lain lagi, “jika Ki Bekel kita bersedia menemui Ki Bekel padukuhan di ujung Kabuyutan itu, maka mereka memiliki kedudukan setingkat.”

“Tidak. Ki Bekel kita tentu sependapat dengan Ki Bekel padukuhan di ujung Kabuyutan itu. Mereka tentu berkeberatan jika para perampok itu diserahkan kepada kita,” berkata orang yang pertama. Lalu katanya, “Kita akan bertindak sendiri.”

“Bertindak apa?” bertanya kawannya, “perampok-perampok itu telah berada di rumah Ki Buyut.”

“Ki Bekel itu kita tangkap. Demikian juga beberapa orang bebahu yang menyertainya. Jika para perampok itu tidak diserahkan kepada kita, maka Ki Bekel tidak akan kita lepaskan.”

“Itu akan berarti perang,” berkata orang yang lebih tua dari mereka.

“Perang bagaimana?” bertanya orang yang pertama.

“Jika Ki Bekel ujung Kabuyutan itu ditangkap di sini, maka orang-orangnya tentu akan menyerang padukuhan ini. Jika terjadi perang dan jatuh korban, maka yang dianggap bersalah oleh Ki Buyut tentu kita,” berkata orang itu.

“Kita menahan Ki Bekel,” berkata orang pertama, “kita akan mengancam, jika orang-orang padukuhan itu menyerang kita, maka Ki Bekel akan kita selesaikan bersama para bebahu. Tetapi jika para perampok itu diserahkan kepada kita, maka Ki Bekel dan para bebahu akan kami serahkan kembali dengan selamat kepada rakyatnya.”

“Bagaimana jika Ki Buyut yang bertindak?” bertanya yang lebih tua itu.

“Sama saja. Ki Buyut tentu tidak akan berani mengambil cara yang keras. Ki Buyut tentu memilih menyerahkan keenam perampok itu kepada kita. Persoalannya kemudian akan segera selesai,” berkata orang yang pertama.

Orang yang lebih tua itu termangu-mangu, tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak setuju dengan cara yang dikatakan oleh orang itu. Dengan demikian akan dapat menimbulkan dendam dikemudian hari. Orang-orang dari padukuhan di ujung Kabuyutan akan dapat mengambil langkah yang sama dalam persoalan yang mungkin berbeda. Demikian pula Ki Buyut. Sedangkan Ki Bekel padukuhan itu akan mengalami kesulitan, karena apa yang dilakukan oleh orang-orangnya itu sama sekali di luar pengetahuannya.

Tetapi nampaknya orang-orang padukuhan itu telah sepakat melakukannya. Mereka akan mencegat Ki Bekel yang membawa para perampok itu dan menangkapnya. Kemudian menyembunyikannya. Mereka selanjutnya akan mengancam Ki Buyut untuk menyerahkan para perampok itu kepada mereka.

Sementara itu, Ki Bekel dan beberapa orang yang bersamanya telah selesai menikmati hidangan yang diberikan oleh Ki Buyut. Ki Buyut masih mengucapkan terima kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang telah berhasil menangkap para perampok itu.

“Seorang di antara mereka telah menjalani hukumannya,” berkata Ki Buyut. Lalu katanya pula, “Apa boleh buat. Yang terjadi adalah di luar kehendak kalian. Namun kalian telah menyerahkan para perampok itu kepadaku dan tidak mengambil langkah-langkah sendiri.”

“Itu adalah kewajiban kami Ki Buyut,” berkata Ki Bekel. Namun kemudian katanya, “Tetapi sudah waktunya kami mohon diri. Terima kasih atas segala sesuatunya. Kami serahkan orang-orang jahat itu kepada kebijaksanaan Ki Buyut.”

“Baiklah,” berkata Ki Buyut, “pada saatnya kami akan memanggil kalian dalam rangka pemeriksaan orang-orang itu.”

“Tetapi kami mohon maaf Ki Buyut. Kami nanti sudah meninggalkan Kabuyutan ini,” berkata Mahisa Murti.

“Ke mana?” bertanya Ki Buyut.

“Melanjutkan pengembaraan kami,” jawab Mahisa Murti.

Ki Buyut ternyata tidak dapat menahan para pengembara itu untuk meninggalkan padukuhan di ujung Kabuyutan itu. Karena itu maka Ki Buyut pun berkata, “Baiklah anak-anak muda. Ki Buyut dan para bebahu akan dapat menjadi saksi tentang mereka mewakili kalian. Jika kalian akan meneruskan pengembaraan kalian, kami hanya dapat mengucapkan selamat jalan.”

Demikianlah, maka Ki Bekel pun telah minta diri pula. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih berjalan seiring dengan Ki Bekel. Meskipun mereka akan melanjutkan perjalanan mereka, namun Mahisa Murti mengajak saudara-saudaranya untuk lebih dahulu pergi ke padukuhan di ujung Kabuyutan itu. Meskipun hanya sekedar lewat. Rasa-rasanya ada sesuatu yang kurang wajar akan dapat terjadi.

Mahisa Amping yang berjalan di antara mereka berkata, “Apakah kita akan meninggalkan padukuhan ini sekarang?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti.

“Bagaimana dengan orang-orang yang mendendam,” bertanya Mahisa Amping.


“Mudah-mudahan tidak ada yang mendendam,” jawab Mahisa Murti, “semua orang bersyukur karena penjahat itu telah tertangkap. Pada saatnya tentu akan terungkap, siapakah yang berdiri bersama mereka. Apakah masih ada orang-orang lain yang terlibat dalam kegiatan perampokan dan penyamunan itu.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk kecil. Namun ia merasa yakin bahwa tentu ada orang-orang yang tidak puas dengan sikap Ki Bekel. Mereka menghendaki para tawanan itu untuk mereka adili beramai-ramai setelah gagal berusaha menghancurkan mereka di medan, karena mereka tidak pernah menemukan kelompok perampok itu sendiri.”

Dengan tenang Ki Bekel pun berjalan di bulak-bulak panjang yang sudah dianggapnya bersih. Tidak ada lagi kejahatan yang akan mengganggu perasaan mereka. Bukan hanya saat itu, tetapi juga di hari-hari berikutnya.

Namun dalam pada itu, sekelompok orang dari satu padukuhan ternyata benar-benar telah menjadi marah kepada Ki Bekel yang telah membohongi mereka. Orang-orang yang dibawanya ketika ia berangkat menuju ke rumah Ki Buyut bukan orang-orang yang sedang mencari pengadilan di rumah Ki Buyut karena mereka sedang berselisih di antara saudara sendiri. Tetapi mereka itu adalah perampok-perampok yang paling jahat yang berkeliaran di bulak-bulak panjang.

Seorang pengamat telah melihat, bahwa Ki Bekel dan beberapa orang pengiringnya sedang menuju ke padukuhan mereka.

Karena itu, maka mereka pun segera bersiaga. Mereka benar-benar akan menangkap Ki Bekel.

Ki Bekel sendiri tidak akan mereka apa-apakan. Tetapi mereka ingin menukar Ki Bekel dengan para tawanan itu.

Ki Bekel sama sekali tidak menduga bahwa orang-orang padukuhan itu telah menjadi marah kepadanya. Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berjalan saja tanpa curiga.

Tetapi ketika perjalanan iring-iringan kecil itu sampai ke depan regol banjar padukuhan, maka beberapa orang telah menghentikannya dan berkata, “Ki Bekel. Kami persilahkan Ki Bekel dan yang lain singgah di banjar barang sejenak.”

Ki Bekel menggeleng sambil tertawa, “Terima kasih Ki Sanak. Kami harus segera pulang. Ada sesuatu yang harus kami lakukan di padukuhan kami.”

“Sebentar saja Ki Bekel. Jika Ki Bekel belum singgah barang sebentar, maka kami belum akan memberikan jalan kepada Ki Bekel,” berkata seorang yang mewakili kawan-kawannya.

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Bekel tidak dapat mengelak lagi. Ia pun telah memberi isyarat kepada para bebahu yang berjalan bersamanya serta kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya untuk singgah barang sejenak.

Tetapi demikian mereka memasuki halaman banjar, maka gerbang itu pun telah ditutup. Seorang yang mewakili kawan-kawannya segera meloncat berdiri di pendapa, sementara kawan-kawannya yang lain telah mengepung halaman banjar itu.

“Apa sebenarnya yang kalian lakukan?” bertanya Ki Bekel.

Orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun segera berterus terang tentang niatnya.

“Karena itu Ki Bekel. Ki Bekel jangan salah paham. Kami sama sekali tidak mendendam kepada Ki Bekel. Kami akan segera membebaskan Ki Bekel demikian para tawanan itu diserahkan kepada kami.”

“Tetapi kalian telah melanggar hubungan baik antara padukuhan ini dengan padukuhanku. Apalagi kami tinggal dalam satu Kabuyutan,” geram Ki Bekel.

“Jangan cemas Ki Bekel. Kami tidak akan berbuat apa-apa terhadap Ki Bekel,” berkata orang yang mewakili kawan-kawannya itu.

Namun Ki Bekel ternyata telah menjadi sangat marah atas perlakuan yang liar itu terhadap dirinya.

Namun dalam pada itu, selagi mereka diliputi oleh suasana yang panas, maka Mahisa Murti berkata, “Berilah jalan kepada kami untuk keluar dari halaman ini atau kami akan melakukan sesuatu yang akan membuat kalian menyesal.”

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu sejenak. Namun orang yang berdiri di pendapa itu berkata lantang, “Apa yang dapat kau lakukan? Jika kau membuat satu pengeram-eram, lakukan jika kau mampu.”

Wajah Mahisa Murti memang menjadi panas. Sikap orang-orang padukuhan itu memang tidak pada tempatnya. Karena itu maka ia pun telah memikirkan kemungkinan yang dapat dilakukan untuk membuat orang-orang padukuhan itu mengerti bahwa mereka tidak dapat memperlakukan orang lain sekehendak hatinya sendiri.

Tetapi pernyataan Mahisa Murti itu telah mengejutkan Ki Bekel. Betapaun ia marah kepada orang-orang yang telah memperlakukannya dengan kasar, namun tiba-tiba saja terbayang, apa yang dapat dilakukan oleh anak muda itu.

Karena itu, maka ia pun telah berkata kepada Mahisa Murti, “Apa yang akan kau lakukan?”

“Tergantung kepada sikap mereka,” jawab Mahisa Murti.

“Aku benci sekali kepada sikap mereka. Tetapi jangan perlakukan mereka seperti pemilik kedai yang berilmu sangat tinggi itu,” berkata Ki Bekel, “bagaimanapun juga aku tidak akan mengobarkan permusuhan antara kedua padukuhan kami.”

“Tetapi apakah Ki Bekel akan menerima sikap mereka itu?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Jika kau akan melakukan sesuatu, hati-hatilah. Jangan sampai jatuh korban yang akan dapat membuat kami saling mendendam. Jika demikian maka persoalannya akan berkepanjangan,” berkata Ki Bekel.

“Jadi apa yang akan Ki Bekel lakukan? Jika Ki Bekel marah karena perlakuan mereka, apa yang akan Ki Bekel lakukan terhadap mereka?,” desak Mahisa Murti.

Ki Bekel memang menjadi bingung. Sementara itu, orang yang berdiri di pendapa itu berkata, “Ki Bekel. Kami mohon Ki Bekel dapat mengerti. Kami mohon Ki Bekel tinggal di banjar ini untuk satu dua hari sampai orang-orang itu diserahkan kepada kami.”

“Tetapi dalam waktu satu dua hari, orang-orangku tentu telah berdatangan,” geram Ki Bekel, “perang akan terjadi.”

“Tidak Ki Bekel. Tidak akan terjadi apa-apa. Ki Buyut pun tidak akan berbuat apa-apa. Kami akan mengatakan kepada mereka, bahwa jika mereka melakukan tindakan yang lain kecuali menyerahkan tawanan itu, maka Ki Bekel akan kami habisi. Tetapi kami tidak bersungguh-sungguh Ki Bekel. Kami hanya sekedar ingin memaksa Ki Buyut menyerahkan orang-orang itu,” berkata orang yang berdiri di pendapa itu.

“Kau kira aku dapat membiarkan diriku kau perlakukan seperti itu? Kau kira aku menerima nasib buruk yang belum pernah aku impikan sebelumnya?” bertanya Ki Bekel.

“Lalu sekarang apa yang akan Ki Bekel lakukan?” bertanya orang yang berdiri di pendapa itu.

“Pulang,” jawab Ki Bekel.

“Kami telah menutup pintu regol,” berkata orang yang berdiri di pendapa itu.

“Aku akan membukanya,” berkata Ki Bekel.

“Tidak mungkin,” orang yang berdiri di pendapa itu berteriak.

Ki Bekel ternyata tidak menghiraukannya lagi. Ia pun kemudian berkata kepada para bebahu dan kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, “Mari. Kita pulang.”

“Tidak,” teriak orang yang di pendapa itu.

Tetapi Ki Bekel berjalan terus menuju ke regol halaman banjar itu. Regol itu memang tertutup. Tetapi Ki Bekel seakan-akan tidak melihat bahwa regol itu memang tertutup.

Karena itu, maka Ki Bekel itu melangkah terus, diikuti oleh para bebahu dan anak-anak muda yang menyertainya.

Beberapa orang yang berada di regol menjadi bingung. Sementara orang yang berdiri di pendapa telah berteriak, “Jangan biarkan Ki Bekel pergi.”

Beberapa orang memang telah berdiri menghalangi langkah Ki Bekel. Tetapi Ki Bekel berjalan terus. Ki Bekel bahkan telah mendorong orang-orang yang menghalanginya itu sehingga justru mereka telah menyibak.

Tetapi orang yang di pendapa itu berteriak, “Jangan lepaskan. Jangan lepaskan.”

Orang itu sendiri telah berlari mendahului Ki Bekel dan berdiri di tengah-tengah pintu regol halaman sambil berteriak kepada kawan-kawannya, “Pegang orang itu. Jangan biarkan pergi.”

Tetapi Ki Bekel berjalan terus. Seorang yang berusaha memegangi tangannya telah dikibaskannya. Sedangkan orang lain yang mencobanya telah dibentak, “jangan halangi aku.”

Orang itu termangu-mangu. Namun Ki Bekel telah mendorongnya pula sehingga orang itu justru hampir terjatuh.

“Tahan orang itu. Tahan orang itu,” orang yang berdiri di regol itu berteriak-teriak.

Namun setiap kali Ki Bekel telah mendorong orang-orang padukuhan itu untuk menyibak.

Orang yang berdiri di pintu gerbang itu kemudian berteriak, “Jika kita kehilangan orang itu, maka para perampok itu tidak akan jatuh ke tangan kita.”

Beberapa orang memang bergerak maju. Tetapi Ki Bekel sama sekali tidak mengurungkan niatnya. Ia melangkah terus menuju ke pintu gerbang.

Akhirnya Ki Bekel berhadapan dengan orang yang berdiri didepan pintu gerbang yang berusaha untuk menahannya.

“Beri aku jalan,” berkata Ki Bekel.

“Tidak,” berkata orang itu, “Ki Bekel tidak boleh meninggalkan tempat ini.”

“Aku akan keluar dari regol ini. Dengar. Jika terjadi apa-apa dengan aku di sini, maka akan terjadi perang. Dengar dan yakini itu. Banyak orang akan mati dan sebab kematian itu adalah kau. Dengan demikian maka tidak ubahnya dengan kau membunuh orang-orang yang mati itu. Kau akan membawa beban itu sepanjang umurmu,” berkata Ki Bekel.

Wajah orang itu menjadi sangat tegang. Sementara Ki Bekel melangkah maju lagi sambil berkata, “Cepat. Buka pintu itu. Jika pada saatnya aku belum sampai ke padukuhan, maka orang-orangku akan mencariku. Mereka datang dalam sebuah iring-iringan sambil membawa senjata.”

“Sudah aku katakan. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa. Jika mereka tidak mau menurut kata-kataku, maka Ki Bekel akan menjadi taruhan,” berkata orang itu.

“Jika kau bunuh aku, maka seisi padukuhan ini akan mati. Orang-orangku akan mengamuk. Dan dengan demikian maka kau telah membunuh puluhan orang yang tidak bersalah,” berkata Ki Bekel.

“Tidak. Tidak,” orang itu berteriak.

Tetapi Ki Bekel berteriak lebih keras, “Buka pintu itu.”

Orang itu terdiam. Dipandanginya wajah Ki Bekel sementara Ki Bekel pun memandanginya dengan tajam.

Ternyata orang itu tidak kuasa menentang wibawa Ki Bekel. Akhirnya ia pun bergeser kesamping sambil mengangkat selarak pintu sehingga pintu regol itu terbuka.

Namun demikian Ki Bekel lewat, maka orang itu pun telah menutup pintu itu kembali sambil berkata lantang, “Ki Bekel sudah meninggalkan tempat ini. Kita akan menawan orang-orangnya.”

Para bebahu itu memang tertegun. Sementara itu Ke Bekel yang sudah berada di luar telah mengetuk pintu itu keras-keras.

“Buka pintu itu. Buka pintu itu,” teriak Ki Bekel.

Tetapi orang itu tetap berdiri di tengah-tengah pintu yang sudah di selarak kembali itu.

“Tangkap mereka,” teriak orang itu tanpa menghiraukan ketukan-ketukan yang semakin keras.

Suasana memang menjadi tegang. Ternyata ketika mereka sudah tidak lagi melihat Ki Bekel, maka mereka pun mulai terpengaruh lagi oleh orang yang berdiri di depan pintu. Orang-orang yang ada di halaman itu mulai bergeser mengepung para bebahu serta Mahisa Murti dan saudara-saudara.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Pukat lah yang kemudian tidak sabar lagi melayani tingkah laku orang-orang padukuhan itu.

Karena itu maka ia pun telah berteriak, “Beri kami jalan.”

“Hanya kepada Ki Bekel kami tunduk. Tetapi jangan mimpi bahwa kau pun mempunyai pengaruh sebesar Ki Bekel,” teriak orang yang berada di pintu itu.

“Baik,” sahut Mahisa Pukat, “jika demikian, kami akan membuat jalan sendiri.”

Mahisa Murti menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu. Mahisa Pukat telah berlari memisahkan diri. Orang-orang yang mengepungnya memang mencoba menghalanginya. Tetapi Mahisa Pukat, bergerak terlalu cepat menembus kepungan itu.

Demikian Mahisa Pukat berdiri bebas, sementara beberapa orang memburunya, maka Mahisa Pukat telah melakukan sesuatu di luar dugaan orang-orang padukuhan itu.

Dengan lantang Mahisa Pukat telah berkata, “Jika kalian tidak mau membuka pintu itu, maka aku akan membuat pintu sendiri.”

Demikianlah sebelum orang-orang sempat memburunya, maka Mahisa Pukat telah menghentakkan ilmunya. Dengan sepenuh tenaga dan kemampuan ilmunya, maka Mahisa Pukat telah melontarkan serangan ilmunya ke dinding halaman banjar itu beberapa langkah dari pintu.

Seleret sinar telah meluncur dari telapak tangan Mahisa Pukat yang dikembangkannya menghadap ke dinding. Sejenek kemudian maka dinding di sebelah pintu itu bagaikan telah meledak.

Adalah tidak masuk akal, ketika dinding itu pun kemudian telah runtuh pada bagian atasnya. Tetapi Mahisa Pukat tidak berhenti. Sekali lagi ia meluncurkan kekuatan ilmunya. Sekali lagi dinding itu bagaikan meledak dan sisa dibagian bawah dari dinding yang runtuh itu pun telah runtuh pula.

Dengan demikian maka dinding halaman itu telah menganga. Tidak kalah lebarnya dari pintu regol yang masih tertutup dan di selarak itu.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Marilah, kita keluar lewat pintu ini. Cepat.”

Beberapa saat para bebahu termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Murti mulai bergerak, maka para bebahun itu pun telah mengikutinya.

Tidak seorang pun yang mengganggu mereka melangkahi reruntuhan dinding halaman. Orang-orang padukuhan yang berkumpul di halaman itu hanya dapat memandangi mereka dengan wajah yang tegang. Orang yang masih berdiri di pintu gerbang itu pun bagaikan membeku di tempatnya. Tidak ada lagi keberanian untuk mencegah orang-orang itu keluar dari halaman banjar.

Ki Bekel yang sudah ada di luar pun menjadi keheranan melihat apa yang terjadi. Ia memang melihat seorang dari antara anak muda itu bertempur dengan pemilik kedai itu. Ia melihat betapa ilmu yang tinggi telah saling berbenturan. Namun Ki Bekel itu masih juga heran melihat dinding halaman banjar yang cukup tebal itu diruntuhkan.

Sejenak kemudian, maka Ki Bekel itu pun melihat para bebahu keluar dari halaman melewati reruntuhan dinding itu. Demikian pula anak-anak muda yang telah menangkap para perampok yang telah berada di rumah Ki Buyut.

Mahisa Murti yang terakhir keluar dari halaman itu, ketika ia berada di atas reruntuhan itu berkata, “Kamilah yang telah menangkap para perampok itu. Kami tidak berniat untuk menghakimi mereka karena sudah ada orang yang berwenang melakukannya. Kalian yang selama ini tidak mampu menangkapnya dengan sombong telah menyatakan diri untuk menjadi hakim. Bercerminlah di belumbang. Lihat wajah kalian. Seharusnya kalian malu melakukan hal seperti ini.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi orang-orang yang berada di halaman banjar itu memang sempat melihat ke diri mereka sendiri. Betapa mereka dengan sombong ingin memaksa Ki Buyut menyerahkan para perampok yang sudah tertangkap itu, sementara mereka sendiri tidak mampu melakukannya.

Tiba-tiba seorang yang sudah agak lanjut usia mendekati orang yang berdiri di regol, “Kau harus menemui Ki Bekel itu. Nanti atau besok. Kau harus minta maaf kepadanya. Sebenarnya bersama-sama dengan anak-anak muda itu Ki Bekel mampu berbuat banyak. Menghancurkan banjar ini, bahkan seisi padukuhan. Tetapi mereka tidak melakukan apa-apa meskipun Ki Bekel itu menjadi sangat marah karena kalian telah menghinanya.”

Orang yang berdiri di regol itu masih saja membeku, sehingga orang yang agak lanjut usianya itu membentak, “Kau dengar?”

Orang itu terkejut. Dengan gagap ia berkata, “Ya, ya Kiai. Aku akan menghadap Ki Bekel.”

“Kau juga harus menghadap Ki Bekel kita sendiri. Kau harus berterus-terang agar tidak terjadi salah paham. Jika terjadi salah paham, dan terjadi permusuhan antara padukuhan ini dan padukuhan di ujung Kabuyutan itu, maka kau dapat menduga sendiri dengan kekuatan ilmu seperti itu, berapa puluh orang yang dapat disapunya dengan ilmunya,” berkata orang tua itu.

Orang itu memang menjadi ngeri. Karena itu maka katanya, “Aku akan menemui Ki Bekel kita sendiri. Aku akan mem¬berikan laporan dan menghubungi Ki Bekel di ujung Kabuyutan.”

“Sekarang aku akan pulang. Kalian sudah mengalami satu peristiwa yang tidak akan pernah kalian lupakan sepanjang umur kalian. Pengalaman ini tentu akan sangat berharga bagi kalian,” berkata orang tua itu.

Orang tua itu tidak menunggu jawaban. Ia pun telah keluar dari halaman banjar melewati reruntuhan dinding halaman yang telah dirobohkan oleh Mahisa Pukat itu.

Sementara itu, Ki Bekel diujung bulak itu telah meneruskan perjalanan mereka diiringi oleh Mahisa Murti dan saudara-sau¬daranya dan para bebahu.

“Kalian memang luar biasa,” berkata Ki Bekel, “ilmu apa saja yang telah kau aji miliki?”

Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak menjawab. Mereka berjalan saja di sebelah Bekel dengan kepala tunduk.

“Baiklah,” berkata Ki Bekel. “Apa yang telah kalian laku¬kan telah hanyak memberikan pemecahan. Orang-orang itu akan berpikir ulang jika mereka benar-benar ingin berselisih dengan padukuhan kita,” Ki Bekel berhenti sejenak lalu berkata, “me¬reka akan menjadi jera.”

Demikianlah maka iring-iringan kecil itu telah keluar dari padukuhan yang hampir saja menjeratnya itu. Namun dengan peristiwa itu, telah membuat padukuhan itu jera tanpa men¬dendamnya.

Tetapi Ki Bekel itu kemudian dengan nada dalam berkata, “Sebenarnya aku ingin mohon kalian bersedia tinggal di padukuhan kami. Daripada mengembara, maka kalian tentu akan lebih baik menetap. Lebih-lebih bagi kanak-kanak.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami memang mengembara. Tetapi bukan berarti bahwa kami tidak mempunyai tempat tinggal. Meskipun hanya sebuah padepokan kecil, tetapi ada tempat untuk kami berhinggap.”

“Oo,” Ki Bekel mengangguk-angguk, “maaf. Tetapi kami ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian dengan cara kami jika kalian tidak tergesa-gesa meninggalkan padukuhan kami.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “terima kasih Ki Bekel. Kami ingin meneruskan perjalanan kami. Kami ingin segera kembali ke sebuah padepokan kecil yang ditunggui oleh ayah kami.”

“Tetapi sebentar lagi kalian juga akan mencari tempat untuk bermalam,” berkata Ki Bekel, “mungkin di banjar-banjar padukuhan. Mungkin bahkan di tempat terbuka atau di gubug di tengah sawah. Meskipun kalian telah terbiasa melakukannya, apa salahnya jika malam ini kalian bermalam di banjar padukuhan kami.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu maka hari pun telah berjalan semakin jauh. Matahari telah turun semakin rendah di ujung Barat.

Ketika Mahisa Murti berpaling kepada Mahisa Amping, maka rasa-rasanya anak itu telah memohon kepadanya, agar mereka bermalam di banjar padukuhan saja daripada di tempat terbuka. Apalagi beberapa lembar awan kelabu telah membayang di langit.

Sebagai pengembara, maka hujan atau tidak, panas matahari yang membakar di siang hari atau angin pusaran yang bertiup keras, tidak akan menjadi alasan untuk menghentikan pengembaraan itu. Tetapi Mahisa Amping masih belum begitu menyadari hal itu. Nampaknya ia masih menganggap bahwa bermalam di banjar akan lebih baik daripada bermalam di tempat terbuka atau di gubug di tengah sawah.

Apalagi, Ki Bekel agaknya telah minta dengan sungguh-sungguh agar mereka berlima bersedia bermalam di banjar padukuhan itu.

Tetapi Mahisa Murti pun kemudian telah mengundang Mahisa Pukat yang juga termangu-mangu. Nampaknya Mahisa Pukat juga memperhatikan Mahisa Amping yang kecil itu.

Karena itu, maka akhirnya Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah Ki Bekel. Tetapi kami hanya sekedar bermalam saja di padukuhan Ki Bekel. Besok pagi-pagi kami akan meneruskan perjalanan kami.”

“Baik, baik anak-anak muda,” berkata Ki Bekel yang menjadi gembira, “kami hanya ingin mengucapkan terima kasih. Aku dan para bebahu. Mungkin satu dua orang tua di padukuhan kami.”

Demikianlah, maka malam itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya bermalam di banjar padukuhan. Ternyata orang-orang padukuhan itu telah menghormati mereka dengan cara mereka masing-masing. Beberapa orang telah datang memperkenalkan diri. Sedang yang lain telah mengantar makanan dan minuman. Bahkan ada yang membawa dengan jodang beberapa jenis makanan ke banjar.


Ki Bekel yang ada di banjar itu sambil tersenyum berkata kepada Mahisa Murti, “Nah, bukankah kita tidak perlu menyediakan apa-apa bagi kalian? Semua datang sendiri. Bahkan cukup untuk makan bersama dengan orang-orang yang berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada kalian. “

Mahisa Murti tersenyum. Ia memang melihat ucapan terima kasih yang tulus dari orang-orang padukuhan itu. Sementara itu ia melihat Mahisa Amping menjadi gembira di antara orang-orang yang membawa makanan dan berbagai macam buah-buahan.

Namun dalam pada itu, orang-orang padukuhan itu selain bergembira sebagai pernyataan terima kasih mereka kepada anak-anak muda yang telah berhasil menangkap para perampok yang bukan saja selalu mengganggu ketenangan orang-orang yang menempuh perjalanan, juga kegelisahan orang-orang yang tidur di malam hari, maka mereka pun merasa telah terlepas dari beban tuduhan melindungi perampok-perampok itu, karena sebagian dari para perampok itu ternyata tinggal di padukuhan mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mempunyai banyak kesempatan untuk berbincang dengan Ki Bekel. Bukan saja tentang para perampok itu, tetapi juga arah perjalanan yang bakal ditempuh oleh Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.

“Jika kalian mengikuti jalan ini, maka kalian akan sampai ke sebuah padang perdu yang gersang. Dahulu di padang perdu itu terdapat satu daerah yang subur. Namun berhubung dengan kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang-orang dari padukuhan yang subur itu, maka daerah itu pun telah dikutuk sehingga menjadi kering. Bendungan yang ada, yang mengangkat air ke sawah-sawah, telah dipecahkan sehingga tanah pun menjadi gersang,” berkata Ki Bekel.

“Tanah yang gersang itu sampai sekarang masih juga dibiarkan gersang?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak seorang pun berminat untuk memperbaiki bendungan itu, karena mereka menganggap kutukan seorang Empu yang sakti itu akan tetap berlaku. Semua usaha tidak akan membawa hasil sama sekali,” berkata Ki Bekel.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sesuatu nampak terbersit di wajahnya. Sekilas ia memandang Mahisa Pukat. Namun keduanya tidak mengatakan sesuatu.

Sementara itu Ki Bekel pun berkata lebih lanjut, “Tanah yang kering itulah yang disebut Tanah Panawijen. Tanah yang pernah dihuni oleh seorang Empu yang sakti, yang disebut Empu Purwa.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak terkejut. Mereka sudah memperhitungkan arah perjalanan mereka. Namun demikian, keduanya mengangguk-angguk kecil. Ternyata mereka telah mengambil arah yang benar meskipun mereka harus melingkar-lingkar.

Gunung Kawi telah memberikan petunjuk arah kemana mereka harus pergi sehingga mereka pada suatu saat akan sampai ke Panawijen. Meskipun Panawijen sekarang sudah tidak lagi seperti Panawijen beberapa puluh tahun yang lalu. Kering dan gersang. Empu Purwa yang kehilangan satu-satunya anak gadisnya tidak dapat mengendalikan dirinya sehingga ia telah mengutuk bukan saja Akuwu Tunggul Ametung yang telah mengambil Ken Dedes itu, tetapi juga orang-orang Panawijen yang dianggap tidak mau melindungi anak gadisnya telah dikutuknya pula.

Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah banyak mendapat petunjuk, ke mana mereka harus pergi jika mereka memang akan mengunjungi Panawijen.

“Selama ini jalan menuju ke Panawijen menjadi semakin sepi karena para perampok yang sering mengganggu. Apalagi Panawijen sendiri sudah tidak menarik untuk dikunjungi. Sebuah kehidupan baru telah tumbuh di padang Karautan yang pernah menjadi padang yang diselimuti oleh ketakutan dan kengerian ketika Ken Arok masih berkeliaran di padang itu, sebelum ia menjadi Akuwu di Tumapel dan kemudian menaklukkan Kediri,” berkata Ki Bekel.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak mengatakan bahwa ia ingin menuju ke Panawijen.

Demikianlah maka malam itu banjar padukuhan di ujung Kabupaten itu menjadi ramai. Hampir semalam suntuk orang-orang padukuhan datang dan pergi. Ada yang memang ingin mengucapkan terima kasih kepada anak-anak muda itu. Tetapi ada yang sekedar ingin ikut duduk-duduk sambil makan dan minum karena orang itu tidak banyak menaruh perhatian terhadap para perampok itu sebelumnya. Orang itu tidak mempunyai apa pun yang akan dapat dirampok oleh perampok-perampok itu. Sedangkan yang lain adalah orang-orang yang sekedar ingin menonton kesibukan di banjar.

Baru menjelang dini banjar itu menjadi sepi.

“Maaf anak-anak muda,” berkata Ki Bekel, “di banjar ini anak-anak muda justru tidak dapat beristirahat. Tetapi itu adalah ucapan terima kasih dari para penghuni padukuhan ini dengan tulus.”

“Tidak apa-apa Ki Bekel. Aku senang menerima pernyataan mereka. Masih ada waktu untuk beristirahat,” jawab Mahisa murti.

“Silahkan anak muda. Silahkan beristirahat. Aku tidak akan meninggalkan banjar ini. Aku pun akan tidur di sini di sisa malam ini agar aku besok dapat mengucapkan selamat jalan kepada kalian,” berkata Ki Bekel.

Mahisa Murti pun kemudian dipersilahkan beristirahat di serambi banjar. Meskipun sebuah bilik yang sederhana, tetapi itu adalah yang terbaik yang ada di banjar itu.

Mahisa Semu yang sudah terkantuk-kantuk harus mendukung Mahisa Amping yang sudah tertidur di pendapa.

Ternyata anak-anak muda itu sempat beristirahat dengan nyenyak meskipun Mahisa Murti dana Mahisa Pukat tidak dapat tidur sepenuhnya. Bagaimanapun juga mereka harus berhati-hati. Meskipun pintu bilik itu sudah di selarak dari dalam, tetapi kemungkinan-kemungkinan buruk dapat saja terjadi.

Namun sampai menjelang matahari terbit tidak terjadi sesuatu. Anak-anak muda itu pun kemudian segera membenahi diri dan bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan.

Tetapi mereka masih harus singgah sebentar di pendapa untuk makan pagi sebelum mereka meninggalkan banjar itu. Ki Bekel masih berkali-kali mengucapkan terima kasih. Bukan saja karena anak-anak muda itu telah berhasil menangkap perampok-perampok, tetapi juga karena sikap anak-anak muda itu.

Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya kemudian meninggalkan padukuhan itu, maka mereka memandang jalan yang terbujur di hadapan mereka dengan hati yang semakin terang.

“Kita sudah memasuki jalan yang membentang menuju ke Panawijen,” berkata Mahisa Murti.

“Apakah padepokan itu berada di Panawijen?” bertanya Mahisa Semu.

“Tidak. Dari Panawijen kita akan singgah sebentar di bekas padang Karautan yang mengerikan. Tetapi justru sekarang sudah menjadi lebih baik karena sudah dihuni orang. Tanah pertanian sudah dibuka pula karena orang-orang itu sempat menaikkan air,” jawab Mahisa Murti.

“Kita akan singgah di kedua tempat itu?” bertanya Wantilan.

Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Kami sebenarnya membawa sebuah pesan. Kami sudah menjadi ragu-ragu, apakah kami harus menyampaikan pesan itu. Tetapi aku dan Mahisa Pukat akhirnya memutuskan untuk singgah di lereng Gunung Kawi untuk menyampaikan pesan yang pernah kami terima dari seorang yang kami hormati.”

Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk. Mereka sempat memandang puncak Gunung Kawi yang menjadi ancar-ancar perjalanan mereka menuju ke Panawijen.

“Memang masih jauh,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi perjalanan ini harus kita tempuh.”

“Aku senang melihat-lihat tempat-tempat yang terasa asing,” berkata Mahisa Amping.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan nampaknya lebih memperhatikan arah perjalanan mereka yang menurut orang-orang padukuhan menuju ke daerah yang gersang yang dikenal sebelumnya dengan nama Panawijen, satu padukuhan yang subur. Namun yang terjadi kemudian telah membuat keadaan yang sebaliknya.

Ketika mereka melewati tengah hari, maka kegersangan tujuan mereka mulai terasa. Air menjadi semakin sulit dan sawah pun nampak semakin kering. Kotak-kotak sawah tidak lagi ditanami padi. Tetapi ditanami dengan palawija.

“Apakah di daerah yang nampaknya semakin miskin ini ada juga kedai?,” desis Mahisa Pukat ketika matahari mulai condong.

“Mudah-mudahan,” berkata Mahisa Murti, “agaknya Mahisa Amping sudah menjadi lapar.”

“Tidak,” ternyata Mahisa Amping memperhatikan pembicaraan itu, “aku tidak lapar dan tidak haus.”

Tetapi Mahisa Semu lah yang menyahut, “Akulah yang lapar. Nanti jika ada kedai, kau tentu tidak akan makan dan tidak akan minum.”

“Meskipun tidak lapar dan tidak haus, aku dapat juga makan dan minum,” sahut Mahisa Amping.

Yang mendengar kata-kata itu tertawa. Bahkan Wantilan pun telah berkata pula, “Ternyata kita mempunyai banyak persamaan, Amping.”

Mahisa Amping hanya mengerutkan keningnya saja. Tetapi ia tidak menjawab.

Padukuhan-padukuhan berikutnya memang nampak lebih miskin dari padukuhan-padukuhan yang telah mereka lewati. Tanaman yang tumbuh di halaman pun nampaknya tidak tumbuh dengan subur. Namun di padukuhan itu ternyata terdapat banyak pohon kelapa yang nampaknya mampu mengatasi kekurangan air yang meskipun tidak mutlak, tetapi sudah muiai mempengaruhi tata kehidupan orang-orang padukuhan.

“Tetapi masih juga ada sumur,” desis Mahisa Semu.

“Lihat, betapa panjang senggotannya,” gumam Mahisa Pukat.

“Agaknya sumur-sumur pun cukup dalam,” sahut Wantilan.

Namun demikian, ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang nampak masih lebih baik dari daerah di sekitarnya, mereka menemukan sebuah kedai.

Sambil makan dan minum, meskipun sangat sederhana karena kedai itu hanyalah sebuah kedai yang kecil, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengetahui, bahwa di padukuhan itu terdapat sebuah mata air.

“Tetapi tidak begitu besar sehingga tidak dapat membantu air di sawah,” berkata pemilik kedai itu.

“Di daerah ini mata air sangat berharga sekali,” desis Mahisa Pukat.

“Orang-orang padukuhan ini menganggap bahwa mata air itu keramat,” berkata pemilik kedai itu.

Pemilik kedai kecil itu pun kemudian menceriterakan bahwa sumber air itu terletak di sebuah hutan kecil di tengah-tengah padukuhan ini. Hanya ada beberapa pohon. Tetapi pohon-pohon raksasa. Di antara pohon-pohon raksasa itu terdapat sebuah mata air yang tidak begitu besar. Sebuah belumbang yang bening. Air belumbang itu memang melimpah ke sebuah parit yang dibuat oleh orang-orang padukuhan itu dan dialirkan ke bulak sebelah padukuhan itu. Namun hanya dapat mengairi beberapa bau. Itu pun pembagian air dilakukan dengan sangat ketat. Ki Bekel langsung mengawasi pembagian air di musim kemarau.

“Apakah air itu mengalir sepanjang tahun?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Meskipun di musim kering airnya susut. Tetapi di musim hujan, air itu bertambah besar,” jawab pemilik kedai itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah di lereng Gunung Kawi hutan masih lebat?”

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Di lereng Gunung Kawi, hutan masih lebat.”

“Bagaimana daerah ini dapat demikian gersang?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Kutuk seorang Empu atas Panawijen,” jawab pemilik kedai itu.

“Tetapi sebaliknya, Padang Karautan dapat menjadi tanah pertanian yang subur dan menjadi daerah pemukiman yang baru,” desis Mahisa Pukat.

“Padang Karautan telah dibelah dengan sebuah susukan yang mengantar air ke segenap genggam tanah di padang itu,” berkata pemilik kedai itu.

“Kenapa daerah ini tidak membuat bendungan seperti orang-orang yang kemudian tinggal di Padang Karautan?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami tidak berani melanggar kutuk Empu Purwa. Bendungan yang pernah dipecahkannya, tidak akan dapat dibangun lagi,” jawab pemilik kedai itu.

“Di tempat lain, di bawah bendungan yang lama,” berkata Mahisa Murti.

Tetapi pemilik kedai itu menggeleng. Katanya, “Kami sudah mempunyai air yang tidak pernah kering.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian ia masih juga berkata, “Airmu hanya dapat mengairi beberapa bau tanah. Tidak cukup untuk mengairi seluruh tanah persawahan di padukuhanmu. Jika kalian membangun bendungan bersama-sama dengan beberapa Padukuhan yang lain, maka kekeringan di daerah ini akan dapat di atasi. Kalian tidak boleh menyerah karena kekeringan di Panawijen yang mengakibatkan tanah ini kering, karena kalian akan dapat membangun bendungan lain. Daerah ini akan menjadi subur seperti padang Karautan tanpa melanggar kutuk Empu Purwa. Padang Karautan yang semula kering dan gersang dapat menjadi subur, apalagi daerah ini.”

Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Apa dayaku. Mungkin jika kalian bertemu dengan Ki Bekel, maka pendapat kalian itu akan dapat diwujudkan.”

Kau sajalah yang berbicara dengan Ki Bekel dari padukuhanmu ini,” sahut Mahisa Murti, “kami hanya pengembara yang lewat. Tidak lebih.”

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, meskipun makanan dan minuman yang ada hanya sederhana, namun kelima orang itu makan sampai cukup kenyang. Mereka masih duduk-duduk beberapa saat menunggu makanan mereka mengendap di perut mereka. Baru kemudian kelima orang itu bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.

Namun Mahisa Murti sempat juga bertanya, “Apakah jalan ini menuju ke Panawijen?”

“Ya. Bukankah kalian memang menuju ke Panawijen?” bertanya pemilik kedai itu.

“Maksudku, apakah jalan yang menuju ke Panawijen ini melewati hutan kecil yang kau katakan itu?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Tidak melewati hutan kecil ditengah-tengah padukuhan ini. Tetapi dari jalan ini kalian dapat melihat hutan kecil yang kami keramatkan itu. Terutama sumber airnya,” jawab pemilik kedai itu, “karena itu, maka hutan kecil dan mata air itu kami lindungi. Kami membuat dinding di sekitarnya. Hanya ada satu pintu pada dinding yang mengelilingi hutan itu.”

“Apakah sumber air itu juga diambil untuk minum?” bertanya Mahisa Pukat.

“Jika sumur-sumur kami menjadi kering di musim kering yang panjang, kami memang mengambil air di sendang itu. Tetapi jarang terjadi sumur-sumur kami kering meskipun sumur-sumur kami cukup dalam,” jawab pemilik kedai itu pula.

Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Mereka minta diri untuk meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan padukuhan itu menuju ke arah Panawijen.

“Apakah Panawijen masih jauh?” bertanya Mahisa Amping.

“Tidak terlalu jauh,” jawab Mahisa Murti.

“Apakah kau sudah letih?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak. Aku tidak pernah merasa letih,” jawab Mahisa Amping.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Bagus. Kau jangan cepat menjadi letih.”

Sementara itu, maka mereka pun telah sampai ke tengah-tengah padukuhan itu. Mereka sudah melihat, beberapa puluh patok dari jalan padukuhan itu, dinding yang mengelilingi sebuah hutan kecil. Tetapi di dalamnya terdapat beberapa pohon raksasa. Sejenis pohon beringin dan pohon nyamplung. Tetapi di antara beberapa pohon raksasa itu, terdapat pohon cangkring yang nampaknya sudah sangat tua sehingga batangnya sudah menjadi sangat besar. Duri-duri raksasa melekat pada pangkal batang cangkring raksasa itu.

“Apakah kita akan mulai?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Amping nampak termangu-mangu. Sambil tertawa Wantilan bertanya, “Apakah kau menjadi ketakutan?”

Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak itu jujur atas perasaannya tentang hutan kecil itu.

“Rasa-rasanya tengkuk ini meremang,” jawab anak itu.

“Kita tidak akan memasuki dinding itu. Tetapi aku hanya akan melihat dari luar pintu,” desis Mahisa Pukat.

Sebenarnyalah mereka memang melangkah mendekati dinding yang mengelilingi hutan kecil itu. Ketika mereka melihat sebuah regol, maka mereka pun telah menghampirinya.

Regol itu memang tidak tertutup. Karena itu, maka ketika mereka menjengukkan kepalanya lewat pintu regol itu, maka mereka memang melihat tidak terlalu jauh dari regol itu sebuah sendang.

“Mata air itu ada di dalam sendang,” desis Mahisa Pukat.

“Ya,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Amping memang ikut menjengukkan kepalanya. Namun ia berdesis, “Mengerikan.”

Mahisa Semu ternyata juga merasakan kengerian itu. Meskipun ia tidak menjadi ketakutan, tetapi ia berkata, “Meskipun hutan ini tidak lebih luas dari beberapa kotak sawah, tetapi suasananya justru lebih mendebarkan jantung daripada sebuah hutan yang besar.”

“Justru hutan ini sempit,” berkata Mahisa Murti, “di hutan yang luas dan besar, maka pepohonan itu tidak akan nampak seperti raksasa-raksasa yang mengerikan. Justru karena di sekitarnya terdapat pohon-pohon kecil di halaman rumah orang, maka pohon-pohon itu kesannya menjadi berbeda.”

Ada bagian cerita yang hilang di sini

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka melihat bahwa Ki Bekel telah mulai mendengarkan kata-kata mereka. Karena itu maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Ki Bekel. Jika Ki Bekel berhasil, maka Ki Bekel telah berbuat sesuatu yang sangat berarti bagi anak cucu.”

“Lalu, hutan ini akan kehilangan arti,” berkata Ki Bekel.

“Tidak. Hutan ini akan tetap mengairi sejauh dapat dijangkaunya. Setidak-tidaknya landasan kesejahteraan padukuhan ini tidak akan hilang. Apapun yang terjadi dengan bendungan itu, maka hutan ini merupakan jantung dari kehidupan seluruh padukuhan ini,” jawab Mahisa Murti.

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah anak-anak muda. Aku akan memikirkannya. Pada dasarnya aku sependapat dengan pikiran kalian. Namun dalam pelaksanaannya, masih banyak yang harus diperhatikan.”

“Aku mengerti Ki Bekel. Tetapi aku juga mengerti, bahwa Ki Bekel bukannya orang yang mudah menyerah sebelum berjuang,” berkata Mahisa Murti.

Ki Bekel tersenyum. Katanya, “Aku memang tidak menggantungkan diri kepada mimpi itu. Aku bukannya orang yang kelaparan.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Namun justru karena itu, maka Ki Bekel dapat bekerja dengan tenang.”

“Baiklah anak muda,” berkata Ki Bekel, “aku akan berbicara dengan dua orang Bekel dari dua padukuhan yang sangat menderita. Penghuninya sangat miskin dan bahkan kadang-kadang penghuni padukuhan itu telah dianjurkan untuk merantau dan mengembara sambil minta belas kasihan orang di sepanjang perjalanan mereka.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mahisa Pukat berkata, “Asal mereka masih menyisakan sedikit kemauan untuk menjadi orang-orang yang mempunyai harga diri, maka mereka tentu akan bersedia bekerja membangun bendungan itu tanpa melawan kutuk Empu Purwa.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mencoba. Tetapi titik berat sasaran air yang mungkin akan naik itu adalah kedua padukuhan yang sangat miskin itu.”

“Ya. Dengan demikian maka Ki Bekel telah berbuat baik kepada sesama. Mereka tidak akan pernah melupakan jasa Ki Bekel itu sepanjang hidupnya. Bahkan anak cucunya,” berkata Mahisa Pukat.

“Itu tidak penting. Yang penting sesama penghuni padukuhan di satu Kabuyutan, mereka benar-benar dalam keadaan yang pahit.”

“Semakin banyak orang yang bersedia turun ke sungai akan menjadi semakin baik selagi kita masih mempunyai sisa waktu beberapa bulan sebelum musim hujan datang. Bahkan seandainya musim ini masih belum terwujud, maka musim kering yang akan datang, kerja itu dapat dilanjutkan. Asal saja diperhitungkan bahwa bahan-bahan yang telah tersedia tidak dihanyutkan air hujan,” berkata Mahisa Pukat.

Ki Bekel tersenyum. Katanya, “Aku akan melakukannya. Tetapi sebagian besar hasilnya ditujukan bagi orang lain.”

“Bagi satu keluarga besar yang disebut manusia,” desis Mahisa Murti.

“Aku berjanji untuk melakukannya,” berkata Ki Bekel kemudian.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta diri. Mereka segera melangkah ke pintu gerbang dan melangkah keluar dari hutan kecil yang dikeramatkan itu.

Mahisa Amping nampak tegang menunggu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat keluar dari lingkungan hutan kecil yang dilingkari oleh dinding yang dipergunakan sebagai pertanda bahwa tempat itu telah dikeramatkan.

“Apa yang ada di dalam?” bertanya Mahisa Amping.

“Tidak ada apa-apa. Hutan dengan pohon-pohon raksasa,” jawab Mahisa Murti.


“Tidak ada binatang buas?” bertanya Mahisa Amping.

“Binatang buas tidak dapat hidup di tempat sesempit itu. Tidak ada makanan bagi binatang buas di hutan kecil itu,” jawab Mahisa Pukat.

“Ular?” bertanya Amping pula.

“Juga tidak. Meskipun di bawah pohon-pohon raksasa itu masih ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar. Namun tidak ada ular apalagi ular yang besar di hutan itu. Belumbangnya sering dipergunakan untuk mandi, sehingga belumbang itu nampak bersih dan terpelihara rapi. Meskipun di sekitarnya terdapat pohon-pohon raksasa, tetapi daun-daun keringnya tidak nampak mengotori lingkungan belumbang itu,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “beruntunglah bahwa tidak ada sesuatu terjadi di sini sehingga kita tidak perlu berhenti lagi di sini. Apalagi bermalam.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Hari ini kita akan mencapai setidak-tidaknya mendekati Panawijen yang gersang itu.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Apa yang akan kita temukan di Panawijen?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Bukan apa-apa. Hanya sekedar satu peringatan atas kita, bahwa apa yang kita lihat itu tidak langgeng adanya. Panawijen, Padang Karautan, Pakuwon Tumapel, Kediri yang pernah besar dan lain-lainnya.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.

Demikianlah, maka kelima orang itu pun telah menyusuri jalan yang menuju ke Panawijen. Sebuah daerah yang gersang, yang pada suatu saat pernah menjadi daerah yang subur dan sejahtera.

Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan Panawijen. Mereka berharap bahwa hari itu mereka dapat sampai ke bekas padukuhan itu.

Ketika kemudian senja turun, maka kelima orang itu benar-benar telah sampai ke Panawijen. Di sepanjang jalan mereka melihat padukuhan-padukuhan yang gersang. Semakin dekat dengan Panawijen, maka padukuhan-padukuhan pun nampak semakin kering. Bahkan kemudian yang nampak adalah padukuhan-padukuhan yang sudah tidak berpenghuni lagi.

“Ke mana para penghuni padukuhan ini?” bertanya Mahisa Amping.

“Mereka telah mencari tempat baru untuk dihuni,” jawab Mahisa Murti.

“Mereka tinggalkan tanah warisan nenek moyang mereka?” bertanya Mahisa Amping pula.

“Apa salahnya?” bertanya Mahisa Murti.

“Mereka tidak menghargai warisan itu sehingga mereka sampai hati meninggalkannya,” desis anak itu.

Mahisa Pukat tertawa. Sambil menempuk bahu anak itu ia bertanya, “Siapa yang mengatakan kepadamu tentang hal itu?”

“Aku pernah mendengar orang berkata demikian. Bahkan ada orang yang bersedia mati kelaparan di rumah peninggalan nenek moyangnya,” jawab anak itu.

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Menghormati peninggalan orang tua adalah satu perbuatan yang sangat terpuji. Tetapi seseorang harus melihat kenyataan. Seseorang tidak boleh menyiksa diri hidup dalam kesulitan karena daerahnya menjadi gersang. Harus ada usaha untuk memulihkan keadaan tanah itu atau jika hal itu tidak mungkin dilakukan, seseorang harus mempunyai keberanian membuka daerah baru. Bukan sekedar keberanian. Tetapi juga kesediaan untuk bekerja keras membangun daerah baru yang dibukanya itu. Meskipun seseorang memiliki keberanian untuk membuka daerah baru, tetapi malas bekerja, maka ia tentu tidak akan berhasil. Berapa pun tanah yang akan dimilikinya di daerah yang baru dibuka itu atau betapa pun suburnya tanah itu.”

Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Ia hanya mengerti sebagian saja dari pembicaraan Mahisa Pukat itu. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.

Demikianlah maka kelima orang itu telah berada di Panawijen. Yang mereka lihat kemudian adalah sebuah padang perdu yang luas. Masih tersisa pepohonan yang agak besar. Tetapi daunnya nampak kekuning-kuningan.

“Kita akan bermalam di sini,” berkata Mahisa Murti.

Memang bukan persoalan bagi mereka. Apakah mereka akan bermalam di Panawijen atau di tempat lain, di banjar padukuhan atau di pategalan.

Namun yang membuat Mahisa Amping agak kecewa adalah, di Panawijen mereka tidak menemukan air. Meskipun mereka melihat bekas parit yang cukup besar. Tetapi parit itu sudah lama mengering.

“Kita tidak akan menemukan air di sini,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Amping tidak menjawab sama sekali betapa pun ia ingin mengatakannya, bahwa besok pagi-pagi mereka perlu mandi. Apalagi ketika Mahisa Murti berkata, “Kita tidak tahu, berapa jauh kita akan mendapatkan air,” ia berhenti sejenak, lalu “tetapi dari Panawijen kita akan menyusuri jalan menuju ke padang Karautan yang sekarang telah menjadi ramai. Padang yang sangat luas itu sekarang telah berpenghuni. Beberapa padukuhan telah terbentuk di padang itu, di antara bulak-bulak persawahan. Meskipun demikian padang Karautan itu masih belum seluruhnya dihuni. Masih ada tempat bagi mereka yang ingin membuka daerah baru di padang Karautan meskipun daerah yang tinggal agak menjorok ke padang rumput yang kemudian berbatasan dengan padukuhan-padukuhan yang memang sudah ada sejak sebelum padang Karautan dibuka.”

Mahisa Amping hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi Mahisa Semu dan Wantilan pun telah mengangguk-angguk pula.

Demikianlah malam itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah bermalam di tempat terbuka di bekas padukuhan yang bernama Panawijen.

Namun dalam pada itu, ketika yang lain telah tertidur nyenyak Mahisa Murti berkata, “Kita masih mempunyai hutang.”

“Hutang apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Pesan Kiai Patah yang harus kita bawa ke padukuhan Banyusasak yang terletak di pinggir jalan di antara Padang Karautan dan Singasari,” jawab Mahisa Murti.

“Di tepi jalan dari padang Karautan yang menuju ke Singasari,” sahut Mahisa Pukat.

“Apa bedanya?” bertanya Mahisa Murti.

“Hanya pada tekanannya. Ungkapanku mempunyai pengertian masih dekat dengan padang Karautan,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar.”

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Nah, besok kita akan menuju ke padang Karautan. Baru di hari berikutnya kita mencari padukuhan Banyusasak.”

“Kenapa baru di hari berikutnya? Bukankah perjalanan ke Padang Karautan tidak perlu ditempuh dalam sehari?” bertanya Mahisa Murti.

“Mungkin kita perlu beristirahat di padang Karautan. Kita dapat melihat perkembangan lingkungan itu,” jawab Mahisa Pukat.

“Apakah ada yang menarik?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku belum tahu,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi nampaknya daerah yang baru tumbuh dan berkembang itu akan sangat menarik perhatian.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Mungkin ada yang perlu kita lihat. Setidak-tidaknya bendungan yang ada di sebelah padang Karautan itu.”

“Sekarang, siapakah yang akan tidur lebih dahulu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kau sajalah. Jika aku sudah mengantuk sekali, maka kau akan aku bangunkan,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Kemudian ia pun telah mencari tempat untuk berbaring.

Malam itu, tidak terjadi sesuatu yang dapat mengganggu rencana perjalanan kelima orang itu. Mahisa Pukat memang dibangunkan ketika Mahisa Murti ingin tidur. Namun kemudian tidak ada apa-apa lagi. Ketika matahari mulai membayang menjelang fajar, maka mereka berlima telah terbangun. Namun mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mandi, karena di Panawijen sulit untuk mendapatkan air.

“Kita akan meneruskan perjalanan,” berkata Mahisa Murti kemudian setelah mereka membenahi diri.

Kelima orang itu pun segera bersiap. Sebelum matahari terbit, mereka sudah mulai dengan perjalanan mereka.

“Tempat yang sangat bagus untuk berlatih,” gumam Mahisa Amping.

Mahisa Murti tersenyum. Sambil menepuk pundak anak itu, ia berkata, “Latihan-latihanmu akan kau lakukan nanti di padang Karautan. Kita mempunyai waktu cukup.”

Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berjalan saja sambil memandang lurus kedepan.

Perjalanan mereka memang cukup panjang. Hampir sampai ke tengah hari mereka belum menemukan sehelai paritpun. Apalagi sebuah kedai.

Namun beberapa lama kemudian, mereka mulai mengharapkan dapat menemukan air. Mereka mulai melihat pepohonan yang hijau, sehingga mereka menduga, bahwa mereka telah sampai ketempat yang berair.

Sebenarnyalah, mereka pun kemudian telah memasuki daerah yang semakin subur. Mereka melihat sebuah pategalan yang meskipun tidak terlalu rimbun, tetapi ditumbuhi oleh beberapa jenis pepohonan buah-buahan.

Seperti yang mereka duga, maka mereka pun kemudian telah menemukan sebuah parit yang meskipun kecil, tetapi airnya yang bening telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mencuci muka, tangan dan kaki mereka, sehingga mereka pun merasakan tubuh mereka menjadi segar.

Setelah sempat membersihkan diri, maka mereka pun mulai menapakkan kaki mereka di daerah yang pernah disebut padang Karautan. Sebuah padang yang garang, gersang dan kering. Apalagi ketika di padang itu masih dihuni seorang yang sangat ditakuti. Ken Arok. Namun yang kemudian mampu mengangkat dirinya menjadi Akuwu di Tumapel dan bahkan seorang Maharaja di Singasari.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah sampai ke padukuhan yang pertama mereka jumpai. Padukuhan yang memang tidak begitu besar. Tetapi padukuhan itu nampaknya cukup memberikan kehidupan bagi penghuninya.

Di sebelah padukuhan itu terbentang sawah yang nampak hijau. Agaknya air yang dinaikkan dengan bendungan telah mampu menggapai daerah itu.

Tetapi mereka masih belum sampai ke jantung padang Karautan yang menurut pendengaran mereka sudah menjadi semakin subur.

Karena itu, maka kelima orang itu pun telah melangkah memasuki daerah yang luas, yang telah benar-benar berubah. Seperti yang mereka duga, maka semakin mereka mendekati sungai, maka daerahnya pun menjadi semakin subur. Padukuhan-padukuhan telah semakin berkembang. Sehingga mereka pun kemudian telah melewati padukuhan-padukuhan yang terhitung besar.

Di pusat perkembangan padang Karautan, terdapat sebuah pasar yang ramai. Meskipun semakin siang pasar itu menjadi sepi, namun jelas dapat dilihat bahwa pasar itu adalah pasar yang besar, yang ramai di pagi hari.

Namun kelima orang pengembara itu masih menjumpai beberapa buah kedai yang masih terbuka. Karena itu, maka mereka pun sempat singgah di kedai itu.

Sambil lalu, Mahisa Pukat pun telah bertanya kepada pemilik kedai itu, “Apakah padukuhan Banyusasak masih jauh dari tempat ini?”

“Banyusasak?” bertanya pemilik kedai itu.

“Ya. Banyusasak,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengerutkan dahinya, sementara Mahisa Pukat telah menggamitnya.

Mahisa Amping memang menjadi agak bingung. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak boleh berbicara tentang latihan yang akan dilakukan. Namun seingatnya, Mahisa Murti mengatakan bahwa padang Karautan adalah tempat yang baik sekali untuk dipergunakan sebagai tempat latihan.

Namun dengan demikian Mahisa Murti telah teringat akan janjinya sehingga ia pun kemudian menjawab, “terima kasih Ki Sanak. Kami ingin meneruskan perjalanan agar jarak ke Banyusasak itu menjadi semakin pendek.”

“Tetapi kalian akan bermalam di perjalanan. Bukankah lebih baik bermalam di sini?” bertanya pemilik kedai itu.

“Kami akan kehilangan waktu. Sore ini kami masih akan dapat menempuh perjalanan beberapa ribu patok lagi,” jawab Mahisa Murti.

Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya pemilik kedai itu bertanya, “Tetapi, jika aku boleh mengetahui, apakah kalian keluarga Kyai Nagateleng?”

“Bukan,” jawab Mahisa Murti, “kami mendapat pesan dari seseorang untuk disampaikan kepada Kiai Nagateleng. Orang yang memberikan pesan itulah yang termasuk keluarga Kiai Nagateleng.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnyalah aku ingin memberikan kehormatan kepada kalian. Meskipun kalian bukan keluarga Kiai Nagateleng, tetapi dengan tidak langsung kalian mempunyai sangkut paut dengan orang tua itu. Kia Nagateleng adalah orang yang sudah sangat tua, tetapi masih sangat dihormati. Seorang yang baik bagi semua orang.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Tetapi kami adalah perantau yang sudah terbiasa berada di mana saja di segala waktu. Karena itu, seandainya aku harus bermalam di udara terbuka pun tidak merupakan sesuatu yang baru bagi kami. Jika ada gubug di tengah sawah, tentu merupakan sesuatu yang sangat baik bagi kami. “

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian apa boleh buat. Tetapi sebenarnyalah Kiai Nagateleng memang seorang yang pantas dihormati oleh siapa pun juga.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat pun kemudian bertanya, “Apakah di padepokan Kiai Nagateleng terdapat banyak murid-muridnya?”

“Tidak terlalu banyak. Tetapi seperti Kiai Nagateleng sendiri, murid-muridnya terhitung orang-orang yang baik,” jawab pemilik kedai itu.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi Kiai Patah yang pernah berpesan kepada anak-anak muda itu sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut tentang sebuah padepokan.

Demikianlah, sejenak kemudian, kelima orang itu pun telah minta diri untuk meneruskan perjalanan disisa hari itu. Semula pemilik kedai itu menolak untuk dibayar oleh kelima orang itu. Tetapi Mahisa Murti telah meninggalkan uang di dalam mangkuknya yang menurut perhitungannya tidak akan jauh dari perhitungan harga makanan dan minuman mereka. Malahan mungkin lebih dari yang seharusnya.

Karena itu, ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sudah berjalan menjauh, pemilik kedai yang membenahi mangkuk-mangkuknya terkejut, bahwa di mangkuk anak muda itu terdapat uang. Tetapi ia tidak dapat mengembalikannya, karena anak-anak muda itu sudah menjadi semakin jauh. Mereka pun tentu menolak seandainya ia berlari-lari menyusul mereka.

Sebenarnyalah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sudah meninggalkan padukuhan itu. Semakin lama menjadi semakin jauh. Bahkan mereka telah melewati padukuhan-padukuhan yang lain di padang Karautan yang memang telah menjadi ramai.

Namun sebenarnyalah mereka sempat juga mengambil jalan kecil yang menuju ke lereng sebuah bukit kecil yang jarang dilalui orang. Mahisa Murti sengaja menempuh jalan itu untuk memberi kesempatan kepada Mahisa Amping untuk berlatih sebagaimana dijanjikannya. Sejak semula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sepakat untuk bermalam di Padang Karautan yang telah menjadi daerah yang berpenghuni. Padang Karautan bukan lagi padang yang nampak bagaikan tanpa tepi sampai menyilang cakrawala, tetapi kini sudah menjadi padang hijau yang terhambar luas di seling oleh padukuhan-padukuhan yang subur.

Tetapi di antara semuanya itu, masih ada juga sebuah bukit kecil yang gersang, karena letaknya di daerah yang agak tinggi. Namun nampaknya ada usaha orang-orang yang tinggal di Padang Karautan itu untuk menanami bukit itu dengan pepohonan yang akan dapat menjadikan sebuah hutan kecil di atas bukit itu. Hutan yang akan sangat berarti bagi kehidupan di sekitar bukit kecil itu.

Di sebuah tempat yang agak rata di bukit kecil itu, Mahisa Murti telah mengajak saudara-saudaranya untuk berhenti. Mereka berteduh dibawah pohon yang cukup rindang meskipun hanya ada dua tiga batang.

“Sebentar lagi matahari akan sampai ke cakrawala,” berkata Mahisa Murti, “tetapi kita masih mempunyai waktu untuk berlatih. Terutama Mahisa Amping. Aku sudah mengatakan bahwa Padang Karautan merupakan tempat yang baik untuk berlatih. Tidak kalah dengan Panawijen. Bahkan di sini kita tidak akan terlalu sulit mencari air. Dibawah bukit ini terdapat sebuah parit kecil.”

Mahisa Amping berdiri tegak sambil bertolak pinggang memandangi langit yang menjadi semakin kemerah-merahan.

“Nah,” berkata Mahisa Murti, “kau mendapat kesempatan untuk berlatih.”

“Bagus,” desis Mahisa Amping, “aku akan berlatih sampai gelap.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah memanggil Mahisa Semu dan Wantilan. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kita akan berbicara. Biarlah Mahisa Amping berlatih.”

Demikian Mahisa Amping menyiapkan dirinya dan mulai berlatih maka Mahisa Murti pun berkata, “Ada sedikit hal yang ingin aku beritahukan kepada kalian.”

“Tentang apa?” bertanya Wantilan.

“Barangkali kami belum pernah mengatakan kepada kalian bahwa kami akan singgah di rumah seseorang yang bernama Kiai Nagateleng,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Menurut pesan seseorang kami harus bertemu dengan orang itu yang rumahnya berada di Banyusasak. Namun yang menurut pemilik kedai itu, Kiai Nagateleng mempunyai sebuah padepokan yang terletak di arah belakang padukuhan Banyusasak.”

“Apakah ada sesuatu yang agak khusus?” bertanya Mahisa Semu.

“Kami harus menyampaikan satu kata sandi yang tidak kami ketahui artinya. Mungkin artinya baik bagi kita atau mungkin juga dapat menghambat. Tetapi menilik orang yang memberikan pesan itu kepada kami, maka pesan itu tidak akan mungkin berarti buruk bagi kita. Orang yang memberikan pesan untuk menyampaikan kata-kata sandi itu orang yang sangat baik kepada kami berdua,” berkata Mahisa Murti kemudian. Lalu katanya pula, “Meskipun demikian, kami ingin mengharap kalian tidak ikut memasuki padepokan itu. Kalian dapat menunggu kami beberapa puluh patok dari padepokan. Besok, sebelum tengah hari kita akan sampai ke padepokan itu. Jika tidak ada sesuatu yang sangat penting, maka kami akan segera dapat meninggalkan padepokan itu. Menurut orang yang memberikan pesan kepada kami, kata-kata sandi hanyalah sekedar pertanda bahwa kami benar-benar telah bertemu dengan orang itu. Tetapi aku kira ada arti lain, sehingga karena itu, maka jika sampai senja kami tidak datang lagi kepada kalian, maka kalian harus meninggalkan tempat kalian. Kalian agar kembali ke tempat ini untuk menunggu kedatangan kami sehari semalam. Jika kami tidak datang, maka agaknya ada sesuatu yang menghambat perjalanan kami.”

“Jika demikian, apa yang harus aku lakukan?” bertanya Mahisik Semu.

“Kau harus meneruskan perjalanan menuju ke padepokan yang pernah aku katakan kepada kalian. Kalian harus menemukannya dan mengatakan tentang perjalanan kami dan mengatakan di mana kami untuk yang terakhir kalinya bersama dengan kalian,” berkata Mahisa Murti.

Wajah Mahisa Semu dan Wantilan memang menjadi tegang. Namun Mahisa Murti berkata, “Tetapi jangan cemas. Orang yang memberi pesan kepada kami adalah orang yang sangat baik. Karena itu, kami pun telah memperhitungkan bahwa pesannya itu pun tentu tidak akan mempunyai arti yang kurang baik bagi kami.”

“Mudah-mudahan,” sahut Wantilan, “mudah-mudahan justru akan memberikan kebaikan yang lebih besar kepada kalian.”

Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab, “Mudah-mudahan. Kami pun berharap demikian.”

Demikianlah, maka setelah Mahisa Murti memberikan pesan pesannya, maka perhatian mereka pun mulai tertuju kepada Mahisa Amping. Ternyata keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Anak itu merasa bahwa saudara-saudaranya tidak memperhatikannya, justru karena mereka bercakap-cakap saja di antara mereka. Tetapi Mahisa Amping tidak menghiraukannya. Ia merasa bahwa olah kanuragan itu adalah untuk kepentingannya sendiri. Diperhatikan orang atau tidak, maka ia pun telah berlatih dengan bersungguh-sungguh.

Namun akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bangkit dan mulai melihat latihan yang dilakukannya. Bahkan Mahisa Pukat pun telah mendekatinya sambil melihat setiap unsur gerak yang telah diungkapkan oleh anak itu.

Ternyata Mahisa Amping juga memiliki daya tangkap yang tinggi. Anak itu memang termasuk dengan cepat menguasai unsur-unsur gerak yang pernah diberikan oleh Mahisa Murti atau Mahisa Pukat. Dalam usia kanak-kanaknya Mahisa Amping telah menguasai beberapa unsur gerak yang terhitung mulai rumit dan memiliki sifat ganda, meskipun masih sangat terbatas.

Beberapa kali Mahisa Pukat sempat membetulkan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh anak itu. Namun pada umumnya, Mahisa Amping telah melakukan dengan benar.

Bahkan menjelang senja Mahisa Pukat pun berkata, “Aku akan memasuki latihan-latihanmu.”

Mahisa Amping mengerti, bahwa Mahisa Pukat akan memberikan latihan langsung dalam sebuah perkelahian.

Karena itu, maka Mahisa Amping telah meloncat mundur, bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi Mahisa Pukat yang akan terjun ke dalam latihan anak itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat pun telah menuntun Mahisa Amping dalam latihan langsung sebagaimana sering dilakukannya. Beberapa kali tangan Mahisa Pukat sempat menyentuh tubuh anak itu. Mahisa Pukat dengan sengaja menyakiti tubuh kecil itu, meskipun terbatas.


Namun dengan demikian maka Mahisa Amping telah menjadi semakin bersungguh-sungguh.

Tetapi Mahisa Pukat tidak melakukan latihan terlalu lama. Beberapa saat kemudian, maka langit telah menjadi semakin gelap, sehingga Mahisa Pukat pun memutuskan untuk berhenti berlatih.

Mahisa Amping yang kecil itu pun telah bergeser surut. Nafasnya telah menjadi terengah-engah. Kulitnya terasa sakit di beberapa tempat.

Tetapi Mahisa Amping menganggap bahwa latihan-latihan yang demikianlah yang memberinya kepuasan. Bahkan ia merasa bahwa ia dapat melakukan latihan lebih lama lagi, bahkan di dalam gelap sekalipun.

“Sudah cukup,” berkata Mahisa Pukat, “kau tidak boleh memaksa diri sehingga menjadi terlalu letih,” berkata Mahisa Pukat yang mengajak Mahisa Amping untuk mengatur pernafasannya beberapa saat.

Baru sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah membawa Mahisa Amping pergi ke sebuah sungai kecil di bawah bukit itu untuk mandi.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Amping telah berada bersama-sama dengan ketiga orang yang lain di tempat yang telah mereka pilih untuk bermalam.

Pagi-pagi benar, sebelum matahari terbit, semuanya telah bersiap untuk menempuh perjalanan menuju ke Banyusasak. Seperti yang dikatakan oleh pemilik kedai itu, maka mereka akan singgah sebentar di padepokan Kiai Nagateleng untuk menyampaikan pesan Kiai Patah yang meskipun jarang mereka singgung dalam pembicaraan mereka di sepanjang perjalanan, namun mereka tidak pernah melupakannya.

Seperti yang dikatakan pula oleh pemilik kedai itu, maka perjalanan ke Banyusasak memang cukup panjang. Tetapi ketika matahari hampir mencapai puncaknya, mereka pun telah menjadi semakin dekat dengan padukuhan itu. Ketika mereka bertanya kepada seseorang yang sedang mengairi sawahnya, maka orang itu menjawab, “Kalian masih akan melalui tiga bulak lagi. Maka padukuhan berikutnya adalah Banyusasak.”

“Apakah itu berarti bahwa Banyusasak telah dekat?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya,” jawab orang itu.

“Terima kasih,” Mahisa Amping mengangguk dalam-dalam.

Sambil tersenyum maka Mahisa Murti pun telah mengucapkan terima kasih pula.

Ketika mereka melanjutkan perjalanan, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Kita akan berhenti di padukuhan itu jika di padukuhan itu ada kedai. Selain kita sudah merasa lapar, maka kita akan dapat berbicara serba sedikit tentang orang yang kita cari. Mungkin, kita akan mendapat keterangan yang lebih jelas dari pemilik kedai itu.

Mahisa Murti sependapat dengan Mahisa Pukat untuk berhenti. Bukan sekedar, karena mereka lapar, tetapi mereka memang ingin mendapat beberapa keterangan tentang Kiai Nagateleng.

Demikianlah, ketika mereka sampai ke padukuhan, maka mereka pun telah berhenti di sebuah kedai yang cukup besar. Setelah memesan makanan dan minuman, maka mereka pun telah bertanya tentang seseorang yang bernama Kiai Nagateleng dari padukuhan Banyusasak.

Pemilik kedai itu nampak ragu-ragu. Namun sebelum ia menjawab, maka seseorang yang duduk di sudut kedai itu telah bangkit dan mendekati Mahisa Murti sambil bertanya, “Apakah kalian mencari padepokan Kiai Nagateleng?”

“Ya Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu tersenyum. Dengan ramah ia berkata kepada pemilik kedai itu, “Sudahlah. Biarlah aku yang memberikan keterangan tentang Kiai Nagateleng.”

Pemilik kedai itu masih saja nampak ragu-ragu. Tetapi ia- pun kemudian telah bergeser meninggalkan Mahisa Murti.

“Anak muda,” bertanya.orang itu, “apakah anak muda ingin menghadap Kiai Nagateleng?”

“Ya Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.

“Bagus,” sahut orang itu. Lalu katanya, “Memang sudah banyak anak-anak muda yang datang mengabdi kepadanya. Mereka telah berada di padepokan Kiai Nagateleng untuk menimba berbagai macam ilmu sehingga demikian mereka dianggap cukup dan selesai, maka mereka akan menjadi seorang yang pilih tanding. Orang yang disegani dap ditakuti oleh banyak orang,”

Mahisa Murti termangu-mangu mendengarkan keterangan itu. Demikian pula saudara-saudaranya. Ada sesuatu yang terasa kurang mapan. Orang itu bahkan dianggap tidak sepantasnya untuk mengucapkan kebanggaan yang berkesan satu kesombongan atas sebuah padepokan yang seharusnya dihormati.

Tetapi orang itu kemudian berkata, “Aku juga murid dari padepokan yang dipimpin oleh Kiai Nagateleng itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara orang itu. berkata, “Nah, jika kalian akan pergi, maka aku akan bersedia menunjukkan jalannya.”

“Apakah masih jauh?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak. Tidak jauh dari tempat ini. Di padukuhan sebelah ada sebuah simpang empat. Nah, kalian akan berbelok ke kiri,” jawab orang itu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Menurut seorang yang ditemuinya di tengah-tengah sawah, mereka masih akan melalui tiga bulak lagi, barulah mereka sampai ke padukuhan Banyusasak. Tetapi orang itu mengatakan bahwa mereka sudah akan sampai di padukuhan yang mereka cari di sebelah bulak berikutnya.

Tetapi Mahisa Murti tidak segera menyatakan keragu-raguannya. Bahkan ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Dari kedai ini, kami akan langsung pergi ke padepokan itu. Tetapi apakah padepokan itu masih jauh dari padukuhan sebelah?”

“Masih agak jauh. Tetapi jalannya tidak terlalu sukar. Kalian ikuti saja jalan dari simpang empat itu. Maka sebelum matahari turun, kalian sudah akan sampai,” jawab orang itu.

Sekali lagi Mahisa Murti termangu-mangu. Menurut petani yang dijumpainya sedang mengairi sawah itu, jaraknya tidak jauh. Hanya beberapa ratus patok.

Tetapi Mahisa Murti masih berdiam diri. Bahkan ia telah memberi isyarat kepada Mahisa Pukat untuk tidak mempersoalkannya.

Demikianlah, setelah mereka selesai makan dan minum, maka mereka pun telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Sementara itu orang yang menunjukkan letak padepokan Ki Nagateleng itu pun dengan ramah mengucapkan selamat jalan.

“Jangan keliru Ki Sanak. Jika Ki Sanak sampai ke simpang empat di padukuhan sebelah, maka kalian harus berbelok ke kiri,” jawab orang itu.

Tetapi di luar dugaan Mahisa Amping telah bertanya, “Apakah padukuhan sebelah padukuhan Banyusasak?”

Orang itu memang menjadi agak bingung. Namun akhirnya ia menjawab, “Ya. Banyusasak ujung.”

Mahisa Amping nampaknya masih akan bertanya lagi, tetapi Mahisaa Murti pun kemudian berkata, “Marilah. Selagi masih siang.”

Tidak seorang pun yang bertanya lagi. Mereka pun kemudian telah melanjutkan perjalanan.

Namun agaknya bukan hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saja yang melihat kejanggalan dari keterangan orang yang nampaknya justru terlalu ramah. Orang yang terlalu ramah kadang-kadang memang mempunyai pamrih.

Dalam keragu-raguan Mahisa Semu telah bertanya, “Apakah ada lebih dari satu padukuhan yang bernama Banyusasak?”

“Entahlah. Tetapi kita dapat bertanya jika kita jumpai di padukuhan sebelah. Mungkin keterangan orang di kedai itu benar dan keterangan petani itu keliru. Tetapi mungkin juga dapat sebaliknya.”

Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menjawab.

Demikianlah mereka telah berjalan menyusur jalan menuju ke Singasari. Setelah melewati sebuah bulak yang tidak begitu panjang, maka mereka telah mendekati sebuah padukuhan. Dalam kebimbangan, maka ketika mereka melihat seseorang yang bekerja di sawah, maka Mahisa Murti pun telah berhenti dan bertanya, “Apakah padukuhan itu padukuhan Banyusasak?”

Petani itu menggeleng. Jawabnya, “Dua bulak lagi. Baru kalian akan sampai ke Banyusasak.”

“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.

Mereka pun menjadi semakin bimbang akan kebenaran ceritera orang yang ada di kedai itu. Mereka lebih percaya kepada dua orang petani yang sedang bekerja di sawah.

Namun mereka berlima telah meneruskan perjalanan. Jalan yang mereka lalui bukan jalan yang sepi. Bahkan sekali-sekali mereka telah bertemu dengan orang berkuda. Bahkan pedati yang mengangkat hasil bumi dari satu padukuhan dibawa ke padukuhan yang lain.

Tetapi justru karena itu, maka Mahisa Murti telah mempunyai minat untuk melihat padepokan yang dikatakan oleh orang yang ada di dalam kedai itu.

Dengan demikian, maka ketika sampai ke padukuhan terdekat, kemudian sebuah simpang empat, Mahisa Murti memang menjadi ragu-ragu.

“Apakah kita akan berbelok? Kita tahu bahwa orang itu berbohong. Tetapi aku justru ingin tahu apakah maksudnya,” desis Mahisa Murti.

Tiba-tiba saja Mahisa Amping telah menyahut, “Aku setuju. Kita melihat padepokan itu.”

Ternyata yang lain pun sependapat. Mereka sadari bahwa yang akan mereka lakukan adalah sesuatu yang berbahaya, karena itu maka Mahisa Murti pun telah minta agar mereka semuanya berhati-hati. Mungkin mereka harus berbuat sesuatu untuk melindungi keselamatan-mereka.

“Bahkan mungkin kita tidak sempat melakukannya,” berkata Mahisa Murti.

“Kita akan berhati-hati,” sahut Wantilan.

Demikianlah mereka berlima memang, sepakat untuk singgah di padepokan yang disebutnya sebagai padepokan Ki Nagateleng.

Apalagi ketika mereka sampai di padukuhan itu, ternyata orang yang ada di kedai itu sudah berjongkok di pinggir simpang empat, di atas sebuah batu.

“Kita bertemu lagi Ki Sanak,” sapa orang itu.

Mahisa Murti mengangguk hormat. Dengan hati-hati ia bertanya, “Kau lebih dahulu sampai di sini?”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Ya. Aku mengambil jalan pintas melalui pematang dan tanggul parit itu.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah simpang empat ini yang kau maksud?”

“Ya. Simpang empat ini. Marilah, aku antarkan kalian sampai ke padepokan,” berkata orang itu.

“Sebenarnya Ki Sanak tidak usah melakukannya. Kami akan dapat melakukannya sendiri, karena jalannya sudah jelas,” berkata Mahisa Murti, “atau mungkin jika Ki Sanak masih mempunyai tugas yang lain, maka biarlah kami berjalan sendiri.”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku memang masih mempunyai tugas tertentu. Tetapi agaknya kalian memang pantas dihormati sehingga aku memutuskan untuk mengantar kalian sampai ke padepokan.”

Demikianlah, maka kelima orang itu telah berjalan mengikuti orang yang dijumpainya di kedai itu. Namun kecurigaan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya membuat mereka menjadi semakin berhati-hati. Bahwa orang itu telah menunggunya di simpang empat membuat kelima orang itu semakin curiga.

Beberapa saat lamanya mereka berjalan menyusuri jalan yang tidak terlalu ramai. Mereka melintasi beberapa bulak yang terhitung lengang.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berjalan dengan penuh kewaspadaan. Mereka memang sampai ke satu kesimpulan, bahwa orang itu adalah salah seorang dari segerombolan perampok yang memancingnya melalui jalan-jalan yang sepi di bulak-bulak panjang. Kemudian kawan-kawan mereka telah siap menunggu untuk menyergapnya.

Tetapi dugaan mereka ternyata salah. Mereka berjalan terus menuju ke sebuah padepokan yang agak terpisah dari padukuhan-padukuhan yang telah mereka lewati. Padepokan itu berada di ujung sebuah bulak yang sangat panjang. Kemudian di sebelah bulak persawahan itu terdapat padang perdu dan padang rumput. Lewat jalan setapak mereka akan sampai ke sebuah padepokan tidak terlalu jauh dari sebuah hutan yang memang agaknya tidak terlalu luas meskipun merupakan hutan yang nampaknya cukup garang.

“Itulah padepokan kami,” berkata orang itu, “Kiai Nagateleng telah memilih tempat, yang agak terpisah, tidak terlalu banyak terganggu dan tidak pula mengganggu orang lain.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Sebuah padepokan yang asri.”

“Kiai Nagateleng adalah seorang yang sangat memperhatikan keindahan. Ia bukan saja seorang yang sangat tertib. Tetapi juga seorang yang memegang teguh paugeran yang sudah dibuatnya di padepokannya,” berkata orang itu.

“Tetapi apakah Kiai Nagateleng dapat menerima kehadiran kami dengan baik?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak ada yang pernah ditolaknya. Setiap orang yang ingin mengabdi kepadanya tentu diterimanya dengan tangan terbuka. Kiai Nagateleng tidak akan membeda-bedakan, siapa pun yang menjadi muridnya diperlakukannya sama,” berkata orang itu.

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi kecurigaan masih saja mencengkam jantungnya. Firasatnya memang mengatakan bahwa ia tidak sedang menuju ke padepokan Kiai Nagateleng yang sebenarnya.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah melintasi padang perdu dan padang rumput. Di hadapan mereka pun kemudian berdiri sebuah regol yang tidak terlalu besar.

“Marilah,” berkata orang itu, “kita sudah sampai ke padepokan Kiai Nagateleng.”

Mahisa Murti pun kemudian telah memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat agar mereka menjadi lebih berhati-hati. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah memberi isyarat pula kepada Mahisa Semu dan Wantilan.

Kelima orang itu pun kemudian telah memasuki regol padepokan yang terpencil itu. Demikian mereka masuk, maka mereka memang melihat sebuah pertamanan yang cukup terpelihara. Meskipun taman itu kurang serasi, tetapi tanaman-tanaman yang terdapat di taman itu tumbuh dengan subur.

Orang itu kemudian telah membawa kelima orang tamu ke sebuah gardu yang terdapat di pinggir halaman yang luas. Katanya kemudian, “Tunggulah di sini. Aku akan menyampaikannya kepada Kiai Nagateleng.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti.

Mereka berlima pun kemudian duduk di gardu itu. Namun mereka pun segera melihat beberapa orang cantrik yang nampaknya sedang berjaga-jaga. Ternyata mereka membawa senjata telanjang seperti para prajurit yang berjaga-jaga di halaman istana.

Mahisa Amping di luar dugaan berdesis, “Penghuni padepokan ini ternyata kurus-kurus.”

“Sst,” desis Mahisa Pukat.

Namun Mahisa Amping justru berkata, “Lihat orang-orang yang berjaga-jaga itu. Semuanya kurus.”

Di luar sadarnya, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah memperhatikan orang-orang yang berjaga-jaga di halaman itu. Ternyata mereka memang bertubuh kurus. Mereka tidak mencerminkan orang-orang yang memiliki ketegaran untuk memancarkan kebesaran nama Kiai Nagateleng.

Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Jangan kau katakan kepada siapa pun juga.”

“Tetapi setiap orang tentu akan mengetahui dengan sendirinya,” jawab Mahisa Amping.

“Ya. Tetapi mereka pun akan tetap berdiam diri. Apalagi selagi mereka ada di padepokan ini,” desis Mahisa Murti.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan mengatakannya lagi.”

Kelima orang itu pun kemudian telah berdiam diri. Tetapi di luar sadarnya, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu telah memperhatikan setiap orang yang ada di halaman. Semuanya memang menunjukkan betapa mereka mengalami kesulitan lahir dan batin. Selain tubuh mereka yang kurus, wajah mereka pun memancarkan tekanan jiwani yang mereka alami.

Sejenak kemudian, maka orang yang mengantarkan kelima orang itu memasuki padepokan telah datang lagi bersama dengan beberapa orang. Dengan ramah orang itu mempersilahkan kelima orang itu masuk ke padepokan.

“Kiai Nagateleng ada di bangsal kecil di bagian belakang dari padepokan ini,” berkata orang itu.

Mahisa Murti pun kemudian telah memberi isyarat kepada saudara-saudaranya untuk mengikutinya. Namun saudara-saudaranya itu pun mengerti bahwa mereka harus menjadi semakin berhati-hati.

Karena itu, hampir di luar sadar, maka Mahisa Semu dan Wantilan telah meraba hulu pedangnya.

Sejenak kemudian, mereka pun telah melintas di sisi bangunan induk. Demikian mereka memasuki seketheng, maka mereka pun telah terkejut. Mereka melihat beberapa orang yang sedang berlatih. Namun para pelatihnya tidak sekedar memberikan petunjuk dan contoh tentang unsur-unsur gerak ilmu kanuragan, tetapi para pelatihnya ternyata telah menggenggam cambuk.

Ketika kelima orang itu lewat di serambi bangunan induk padepokan itu, mereka telah melihat dua orang yang dicambuk dengan kerasnya. Seorang di antara mereka terhuyung-huyung dan jatuh pingsan.

Mahisa Amping tiba-tiba saja berhenti. Dengan wajah yang tegang ia melihat salah seorang pelatih itu telah menyiramkan air ke wajah orang yang pingsan itu sambil membentak kasar, “Ayo bangkit.”

Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat telah menggamitnya sambil berdesis. “Marilah.”

Orang yang mereka temui di kedai itu pun berkata, “Mereka masalah orang-orang baru. Mereka perlu diperkenalkan dengan ketertiban atas paugeran yang telah mereka terima sebagai syarat saat mereka menyatakan diri memasuki padepokan ini dan mengabdikan diri kepada Kiai Nagateleng.”

Kelima orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka berjalan terus mengikuti orang itu. Sementara di belakang mereka beberapa orang bersenjata mengikuti mereka.

Keriku mereka berlima kemudian menyusup di antara dua bangunan di padepokan itu, mereka telah memasuki sebuah halaman yang tidak terlalu luas. Tetapi sekali lagi mereka terkejut. Di halaman itu terdapat empat buah patok kayu. Pada keempat patok kayu itu terdapat masing-masing seorang yang diikat, yang nampaknya bukan baru saja hal itu dilakukan atas mereka. Bahkan mungkin telah lebih dari sehari penuh dibawah teriknya matahari.

“Mereka adalah orang-orang yang melakukan pelanggaran berat. Mereka yang berusaha untuk keluar dari padepokan ini.” berkata orang yang mengantarkan kelima orang itu.

“Apakah seseorang tidak boleh keluar dari padepokan ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Sayang. Orang-orang yang telah memasuki regol padepokan ini tidak akan dapat kesempatan untuk keluar lagi,” jawab orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Kecuali tamu.”

“Ya, ya. Kecuali tamu,” jawab orang itu. Lalu katanya, “Seorang tamu tentu saja tidak akan dapat ditahan jika tamu itu ingin pulang.”

“Nampaknya kami juga akan segera keluar dari padepokan ini setelah kami bertemu dengan Kiai Nagateleng,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi orang itu pun kemudian telah mengajak kelima orang itu memasuki sebuah lorong yang sempit. Sebuah pintu yang di selarak dari luar telah dibuka oleh seorang penjaga. Namun, demikian kelima orang itu masuk bersama para pengiringnya, maka pintu itu telah tertutup dan di selarak kembali.

Mahisa Murti dan saudara-saudara menjadi semakin yakin, bahwa mereka tidak datang ke tempat yang sebenarnya mereka tuju. Dengan demikian maka kelima orang itu pun menjadi semakin berhati-hati.

“Bangsal kecil ada di ujung lorong ini,” berkata orang yang membawa mereka memasuki padepokan ini.

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian telah menyusuri lorong yang cukup panjang. Meskipun mereka tidak sempat melihat, tetapi mereka tahu bahwa di sebelah menyebelah lorong itu tentu terdapat beberapa orang yang sedang sakit. Sakit apa pun juga. Mereka yang lewat lorong itu mendengar suara orang yang sedang merintih.

Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak berkata sesuatu.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, maka mereka- pun telah sampai di ujung lorong. Mereka melihat sebuah pintu yang tertutup. Ketika orang yang membawa mereka itu mengetuk dua kali ketukan tiga kali berturut-turut, maka pintu itu pun telah terbuka.

“Marilah. Masuklah. Kalian telah sampai ke bangsal kecil. Yang duduk di pendapa kecil itu adalah Kiai Nagateleng,” berkata orang itu.

Kelima orang itu pun telah memasuki pendapa kecil yang disebut bangsal kecil. Beberapa orang bersenjata ada di sekitar pendapa itu. Di pendapa itu telah terbentang tikar pandan yang sudah tidak putih lagi. Sementara itu, agak ke tepi duduk seorang yang bertubuh agak gemuk, berkumis tebal dan bermata tajam. Pada pergelangan tangannya terdapat sejenis akar-akaran yang berwarna hitam membelit beberapa kali.

Dengan pakaian yang serba hitam maka orang itu nampak menyeramkan.

Orang itu duduk di atas sebuah batu hitam yang dibentuk persegi. Di atasnya dibentangkan kulit seekor harimau loreng yang masih utuh.


Dua orang bertubuh raksasa berdiri di belakangnya. Keduanya mengenakan pakaian hitam yang seram. Namun ikat pinggang mereka terbuat dari kulit harimau loreng pula.

Selain itu ada beberapa hiasan dari kulit harimau. Justru sama sekali tidak ada hiasan atau tanda-tanda yang berhubungan dengan seekor naga. Tidak ada kulit ular, hiasan berbentuk ular sejenis peralatan yang dibuat dari kulit ular. Tidak pula nampak ukiran berbentuk naga atau apa pun yang mempunyai hubungan dengan naga.

“Duduk,” tiba-tiba orang yang mengantar mereka dan selalu mempersilahkan mereka dengan ramah itu menjadi garang.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara orang itu membentak lagi, “Duduk. Apakah kalian tuli?”

Tetapi Mahisa Pukat yang masih belum duduk berkata, “Kenapa kau berubah menjadi garang? Apakah karena kau berada di hadapan Kiai Nagateleng, lalu kau menjadi garang? Atau karena kami sudah berada di dalam jebakanmu?”

“Tutup mulutmu,” suara orang itu menjadi tajam, “kau sekarang harus duduk, karena kau berada di hadapan Kiai Nagateleng.”

“Baiklah,” Mahisa Murti yang menjawab. Namun kemudian ia berkata kepada orang yang disebutnya Kiai Nagateleng, “Kiai, aku datang untuk membawa pesan bagi Kiai bahwa langit telah masak.”

Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu mengerutkan keningnya. Dengan tajamnya ia memandang Mahisa Murti tanpa berkedip. Sementara itu Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Dalam pengembaraan kami, maka kami telah bertemu dengan Kiai Patah. Pesan itu datangnya dari Kiai Patah. Bahwa langit telah menjadi masak.”

Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata lantang, “Kenapa kau tiba-tiba mengingau? Apa maksudmu dengan langit telah menjadi masak?”

Dengan demikian maka yakinlah Mahisa Murti, bahwa orang itu sama sekali bukan Kiai Nagateleng. Karena itu, maka ia pun berkata, “Yakinkan kepada kami, bahwa kau adalah Kiai Nagateleng. Baru kami akan duduk.”

“Iblis kau,” geram orang itu, “kau berani menentang perintahku? Kau lihat orang-orang yang dicambuk? Kau lihat orang-orang yang terikat pada patok-patok? Kau dengar orang yang merintih kesakitan? Nah, masih ada satu lagi yang belum kau lihat. Orang yang terikat pada patok-patok tetapi di dalam belumbang.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Aku tahu. Kau sengaja membawa kami melewati orang-orang yang terkena hukuman. Kau bermaksud menakut-nakuti kami.”

“Cukup. Sekarang kau harus duduk,” geram orang itu.

Tetapi Mahisa Murti berkata, “Sudah aku katakan, aku hanya akan duduk di hadapan Kiai Nagateleng. Orang itu sama sekali bukan Kiai Nagateleng. Ia sama sekali tidak tahu makna pesan yang aku sampaikan. Langit menjadi masak.”

“Kau memang sedang mengigau. Aku tidak mau mendengar lagi igauanmu itu. Sekarang duduk,” bentak orang itu.

Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Ia pun kemudian menjawab tegas, “Aku tidak akan duduk karena orang itu bukan Kiai Nagateleng.”

Orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan garangnya orang itu mengayunkan tangannya ke arah wajah Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti sudah bersiap menghadapi kekerasan seperti itu. Karena itu, demikian tangan orang itu terayun, maka Mahisa Murti pun telah merendah. Kemudian dengan marah Mahisa Murti telah membalas menyerang. Dengan kecepatan yang sangat tinggi Mahisa Murti telah menyerang lambung orang itu.

Orang itu sama sekali tidak mengira. Karena itu, maka serangan Mahisa Murti itu bukan saja mengejutkannya, tetapi telah melemparkannya.

Bahkan kemudian orang itu telah terbanting jatuh beberapa langkah saja dari kaki orang yang disebutnya sebagai Kiai Nagateleng itu.

Kiai Nagateleng memang terkejut. Apalagi orang yang terbanting jatuh itu. Lambungnya yang terkena pukulan anak muda itu terasa bagaikan tertimpa segumpal batu padas. Perutnya pun menjadi mual dan seakan-akan semua isinya akan tertumpah keluar, sementara nafasnya pun menjadi sesak.

Namun tertatih-tatih orang itu pun berusaha untuk bangkit berdiri. Giginya gemeretak oleh kemarahan yang tidak tertahankan.

Kiai Nagateleng pun menjadi semakin marah bahwa ternyata ada orang yang berani menghinanya. Karena itu, maka ia pun telah memberikan perintah kepada kedua orang raksasa yang berdiri di belakangnya, “Tangkap orang-orang itu. Kalau mereka melawan, maka kematian adalah penyelesaian yang paling baik bagi mereka.”

Kedua orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab. Namun keduanya pun kemudian selangkah demi selangkah telah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Anak-anak muda yang gila,” geram seorang di antara mereka, “kau tidak dapat mengelak lagi. Kau sudah menyakiti kawanku. Karena itu, maka hukuman yang pantas nanti harus kau terima.”

“Aku tidak pernah berbuat salah. Karena itu, maka tidak ada hukuman yang dapat dikenakan kepadaku,” jawab Mahisa Murti.

“Kau memang harus mati,” yang seorang pun menggeram.

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sekadar bersiap-siap lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera memencar. Sementara Mahisa Pukat masih berpesan, “Hanya itu yang dapat kalian. Tidak lebih. Bahkan jika kalian mencoba menyerang, maka aku akan segera menyelesaikan kalian.”

“Kalian akan diikat kaki dan tangan kalian. Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa,” geram Mahisa Murti pula.

Tetapi orang yang disebut Kiai Nagateleng itu berteriak, “Tangkap orang itu. Cepat. Jangan sampai lolos.”

Cepat tangkap orang itu. Semua pintu regol harus ditutup.

Semua jalan keluar padepokan ini harus dapat ditutup dengan rapat. Bukan saja pintunya, tetapi juga dijaga oleh para petugas. Kentongan kecil siap dibawa oleh para cantrik, sehingga dengan cepat akan dapat disebar-luaskan jika memang terjadi usaha untuk melarikan diri. Apalagi orang-orang yang telah berani melawan pimpinan padepokan ini.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Kami tidak akan melarikan diri. Kami akan memaksa kau untuk membuka pintu regol yang menghadap kemanapun, jika kami sudah berniat untuk keluar. Tetapi lebih dahulu kami akan menangkap kalian. Semua yang telah terjadi di sini akan menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan hukuman kalian. Tetapi itu pun bukan aku yang akan menentukannya. Meskipun jalan pikiran orang-orang seperti kau ini tentu akan mengatakan bahwa siapa yang menang berhak untuk menghukum yang kalah.”

“Persetan,” geram Kiai Nagateleng itu, “cepat, tangkap mereka.”

Kedua raksasa itu memang sudah bersiap. Sejenak kemudian keduanya telah mengayunkan bindi mereka berputaran. Seorang menyerang Mahisa Murti dan seorang lagi menyerang Mahisa Pukat.

Tetapi keduanya memang sudah bersiaga. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit.

Namun rasa-rasanya sudah menjadi jemu bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk berkelahi terus-menerus. Karena itu, maka ia ingin beristirahat dengan segera. Bahkan ia masih harus singgah di padepokan Kiai Nagateleng yang sebenarnya.

Pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru. Kedua bindi dari kedua raksasa itu telah terayun-ayun mengerikan. Desing anginnya tajam terasa menusuk sampai ke tulang di belakang telinga mereka.

Namun, ternyata tidak hanya kedua orang bertubuh raksasa itu saja yang telah bersiap. Tetapi beberapa orang cantrik dengan cepat terus melingkari keduanya yang sedang berkelahi melawan dua orang anak muda yang mengaku ingin bertemu ingin bertemu dengan Kiai Nagateleng.

Dalam pada itu Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bersiap sepenuhnya. Meskipun demikian seperti yang dipesankan oleh Mahisa Murti, bahwa mereka tidak boleh dengan begitu saja terpancing oleh para cantrik sehingga justru keduanya kehilangan kewaspadaan.”

Dalam pada itu, maka pertempuran semakin lama menjadi semakin garang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah bertempur dengan sengitnya. Dua orang yang bertubuh raksasa itu memang memiliki kekuatan yang sangat besar dan ilmu kanuragan yang pilih tanding.

Tetapi keduanya agak terlalu lambat dibandingkan dengan orang yang mengaku bernama Kiai Nagateleng sendiri.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri, memang menjadi sangat marah, bahwa beberapa orang telah berusaha menjebak mereka dengan maksud yang tidak jelas.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segan pula menanyakannya, sehingga mereka dapat menentukan sikap mereka sendiri, apa pun maksud dari orang-orang padepokan itu.

Ketika para cantrik padepokan itu mendekati arena, maka Mahisa Semu dan Wantilan pun tidak dapat hanya sekedar berdiam diri. Bagaimana pun juga, mereka memang harus terlibat langsung.

Tetapi untuk beberapa saat lamanya mereka masih menunggu. Jika para cantrik itu melibatkan diri maka mereka pun harus ikut melibatkan diri pula. Bahkan Mahisa Amping pun telah berdesis, “Apakah kita tidak ikut?”

“Sst,” desis Mahisa Semu, “kau harus menyesuaikan dirimu. Tetapi bukan berarti bahwa kau harus ikut bertempur.”

Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia mempunyai luwuk kecil untuk bertempur.

Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur melawan dua orang raksasa yang dianggap oleh orang yang mengaku Kiai Nagateleng itu akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik dan dengan cepat, sehingga orang yang telah berani menghinanya itu akan dihukum berat.

Biasanya maka kedua orang raksasa itu memang tidak usah turun tangan. Tetapi menilik sikap dan keyakinan diri dari anak-anak muda yang datang itu, maka orang yang mengaku Kiai Nagateleng itu sudah memerintahkan kepada keduanya untuk mengambil tindakan.

Namun kedua orang bertubuh raksasa itu tidak segera berhasil. Bahkan kedua anak muda itu telah melawan dengan cara yang sangat meyakinkan.

Setelah beberapa lama mereka bertempur, maka orang yang mengaku Kiai Nagateleng itu menjadi semakin tidak sabar lagi. Dengan lantang ia pun berteriak, “Jika keduanya sulit untuk ditangkap, maka kalian dapat langsung membunuhnya.”

Kedua raksasa itu menggeram. Mereka pun telah meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan sampai ke puncak. Mereka memang ingin segera menyelesaikan pertempuran itu.

Tetapi sambil bertempur Mahisa Murti bertanya, “Apa salah kami sehingga kalian ingin membunuh kami?”

“Persetan dengan kau,” geram raksasa yang melawannya, “kau telah berani membantah dan bahkan menghina Kiai Nagateleng dengan sikap kalian terhadap salah seorang kepercayaannya.”

“Tetapi kenapa kami telah ditemuinya di kedai itu dan dibawa ke padepokan ini, yang aku yakin bahwa padepokan ini bukan padepokan Kiai Nagateleng.”

“Jangan mengigau,” geram raksasa itu, “ini memang padepokan Kiai Nagateleng.”

“Jangan bohongi kami,” sahut Mahisa Murti, “orang yang kau sebut Kiai Nagateleng itu tidak mampu memecahkan pesan sandi Kiai Patah. Berarti orang itu bukan Kiai Nagateleng yang sebenarnya.”

“Persetan dengan igauanmu,” geram raksasa itu, “siapa- pun yang kalian hadapi, tetapi kalian sudah terlambat untuk mohon ampun. Kalian akan mati di sini tanpa arti apa pun juga.”

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Mahisa Murti lah yang menghentakkan ilmunya sehingga lawannya yang bertubuh raksasa itu terkejut. Beberapa langkah ia meloncat surut. Sementara Mahisa Murti memburunya sambil berkata, “Seisi padepokan ini memang harus dimusnahkan.”

Raksasa itu akan menjawab, tetapi serangan Mahisa Murti justru datang membadai.

Bindi raksasa itu berputaran untuk melindungi tubuhnya. Namun raksasa itu tidak berdaya ketika pedang Mahisa Murti- pun terayun-ayun pula mengerikan. Ketika terjadi benturan dengan bindi itu, maka Mahisa Murti tidak mempergunakan ilmunya yang lunak yang menyerap kekuatan lawan atau ilmunya yang mampu menghisap tenaga lawannya, tetapi Mahisa Murti yang marah itu telah mempergunakan ilmunya dalam ujudnya yang keras.

Karena itu, maka telah terjadi satu benturan yang sangat keras. Bindi raksasa itu ternyata tidak mampu dipertahankan. Meskipun bindi itu merupakan senjata andalan yang kuat dan untuk waktu yang lama menjadi senjata kebanggaan raksasa itu, tetapi membentur pedang Mahisa Murti dalam ilmunya yang keras, telah terpental dari tangannya.

Raksasa itu mengumpat habis-habisan. Sementara itu Mahisa Murti telah berkata, “Bersiaplah untuk mati.”

Namun orang yang mengaku Kiai Nagateleng itu berkata lantang kepada para cantrik, “Bunuh orang itu.”

Mahisa Murti yang memburu kedua raksasa itu terhenti karena beberapa orang yang meloncat naik sambil mengacukan ujung tombak, sehingga Mahisa Murti terpaksa mengelak.

Sementara itu raksasa itu telah merampas sebuah tombak pendek dari para cantrik yang telah melibatkan diri itu. Bukan saja membantu raksasa yang telah bertempur melawan Mahisa Murti, tetapi juga yang telah bertempur melawan Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Pukat ternyata telah mempergunakan ilmu yang berbeda dari Mahisa Murti. Mahisa Pukat telah mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan lawannya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat itu pun kemudian bagaikan telah mengamuk. Serangannya mengarah kepada setiap orang yang ikut bertempur melawannya.

Yang paling banyak berbenturan dengan senjatanya adalah senjata raksasa itu. Berkali-kali senjatanya beradu dengan senjata Mahisa Pukat. Namun bindinya itu tidak mampu untuk segera menyelesaikan tugasnya menghancurkan kepala anak yang dinilainya masih sangat muda itu.

Tetapi untuk mengalahkan Mahisa Pukat memang tidak mudah. Bahkan kemudian terasa keletihan mulai mencengkam tenaga orang bertubuh raksasa itu.

Dalam pada itu, Mahisa Semu dan Wantilan pun telah terlibat pula dalam pertempuran itu. Beberapa orang cantrik justru telah menyerang mereka pula.

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin luas. Mahisa Murti dengan keras telah mengacaukan kepungan lawan-lawannya. Bahkan orang bertubuh raksasa itu seakan-akan semakin tidak berdaya. Ketika ia menyerang Mahisa Murti dengan tombak yang diambilnya dari seorang cantrik, maka kemarahan Mahisa Murti yang tidak tertahankan lagi telah mematahkan tombak itu dengan pedangnya yang khusus. Pedang yang jarang ada duanya.

Sementara itu, Mahisa Pukat justru telah meloncat ke halaman dan berteriak lantang, “Marilah. Siapa yang ingin mati lebih dahulu?”

Orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu pun berdiri termangu-mangu. Ia melihat orang-orang yang datang itu tidak seperti beberapa orang yang pernah datang sebelumnya. Tetapi orang-orang ini adalah orang-orang yang memang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti telah melihat sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Ia melihat beberapa orang cantrik yang melihat pertempuran itu dengan wajah yang penuh keragu-raguan.

Ketika kedua orang bertubuh raksasa serta beberapa orang cantrik yang bertempur itu tidak segera menyelesaikan pekerjaan mereka, maka orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu pun berteriak, “Cepat. Selesaikan orang ini. He, para cantrik. Kali ini adalah saatnya kalian menunjukkan kesetiaan kalian kepada padepokan ini.”

Beberapa orang cantrik memang dengan serta merta telah menyerang keempat orang itu. Namun Mahisa Amping yang semula hanya berdiri tegang, tiba-tiba harus membela dirinya ketika seseorang ingin menangkapnya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun menjadi semakin garang. Ia berloncatan menyerang orang-orang yang mengepungnya. Pedangnya berputaran dengan cepatnya. Namun setiap kali telah mematuk dan membentur senjata-senjata yang teracu di sekitarnya.

Orang bertubuh raksasa yang melawan Mahisa Pukat itu masih memegang bindinya. Beberapa kali bindinya telah membentur pedang Mahisa Pukat. Namun bindi itu semakin lama justru terasa menjadi semakin berat.

Ketika para cantrik yang bertempur itu menjadi semakin bingung menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun di antara mereka terdapat dua orang raksasa yang dianggap memiliki kekuatan yang sangat besar itu, maka orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun telah bersiap-siap untuk melibatkan diri.

Namun ternyata pertempuran itu telah menarik perhatian seisi padepokan itu. Para cantrik yang ada di bagian lain dari padepokan itu pun telah berlari-lari menuju ke bangsal kecil itu.

Tetapi sementara itu, ternyata Mahisa Murti telah melihat satu kemungkinan yang lain. Ketika lawannya menjadi semakin banyak, maka ia pun telah bertempur semakin keras.

Bahkan tiba-tiba saja Mahisa Murti itu pun berteriak, “Marilah, siapa yang ingin menunjukkan kesetiaannya kepada padepokan ini? Siapakah yang merasa menjadi murid yang mendapat perlakuan sebagai layaknya murid sebuah padepokan? Siapakah yang tidak diperlakukan sebagai budak yang tidak berharga, lawan kami. Tetapi siapa yang merasa diperlakukan lebih rendah dari seekor binatang, sekarang adalah kesempatan bagi kalian untuk menunjukkan harga diri kalian.”

Suara Mahisa Murti yang lantang itu terdengar oleh para cantrik yang telah memenuhi setiap ruangan di sekitar bangsal kecil itu.

Sementara itu, Mahisa Semu yang mendengar suara Mahisa Murti itu tiba-tiba saja telah mempunyai pikiran tersendiri. Sekilas ia melihat Mahisa Amping yang berhasil melepaskan diri dari seorang cantrik yang nampaknya telah menyerangnya.

Dengan cepat Mahisa Semu telah menarik tangan anak itu dan berusaha keluar dari lingkaran pertempuran.

“Ke mana?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Semu tidak menjawab. Sementara itu Wantilan yang melihat keduanya bergeser menjauh, menjadi cemas. Wantilan memang mengira bahwa Mahisa Semu akan menyingkirkan Mahisa Amping, sehingga karena itu, ia pun telah menyusulnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang melihat keduanya meninggalkan arena, meskipun sambil berlari-lari mereka masih juga harus bertempur.

Baru kemudian Wantilan menyadari apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Semu. Ternyata Mahisa Semu telah menemukan jalan menuju ke tempat orang-orang yang terikat. Bukan saja yang terikat di patok-patok di halaman yang dipanasi oleh terik matahari dan di rendam derasnya hujan, tetapi juga yang ada di dalam bilik-bilik yang sempit.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar