Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 113

Dengan demikian maka Mahisa Pukat justru lebih banyak berusaha untuk membentur serangan-serangan lawan. Meskipun tulang dan dagingnya terasa sakit, tetapi ia berharap bahwa kekuatan dan kemampuan lawannya itu menyusut.

Tetapi setelah bertempur untuk waktu yang terhitung lama, kemampuan lawannya sama sekali tidak menyusut. Bahkan Kebo Lorog itu justru menjadi semakin garang. Serangan-serangannya datang beruntun seperti debur ombak menghantam tebing pantai.

Mahisa Pukat menjadi heran. Bahkan kegelisahannya mulai nampak pada tata geraknya. Beberapa kali ia berloncatan surut mengambil jarak serta berusaha mengamati keadaan lawannya.

Dalam pada itu, Kebo Lorog pun tertawa berkepanjangan. Tanpa memburu anak muda yang meloncat surut menjauhinya itu ia berkata di sela-sela suara tertawanya, “Nah, Mahisa Pukat. Apalagi yang akan kau andalkan? Ilmumu untuk menghisap tenaga serta kemampuan lawanmu tidak berarti sama sekali bagiku. Guruku telah mempelajari ilmu itu serta penangkalnya sekaligus. Ilmu kebalku bukan saja mampu menjadi perisai dari serangan-seranganmu, tetapi juga ilmumu yang sebenarnya termasuk ilmu yang jarang ada duanya itu. Nah, sekarang kau tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah. Bersimpuh di hadapanku dan membiarkan aku berbuat apa saja atasmu. Tetapi aku berjanji tidak akan membunuhmu, meskipun untuk selama- lamanya kau tidak akan dapat menghalangi aku lagi.”

Wajah Mahisa Pukat menjadi merah. Tetapi Kebo Lorog memang memiliki kemampuan sebagaimana dikatakannya itu. Ilmu kebalnya mampu menangkal ilmunya yang dapat menghisap tenaga dan kemampuan lawan.

Tetapi sama sekali tidak terbersit niat di hati Mahisa Pukat untuk menyerah dan apalagi membiarkan Kebo Lorog itu membuatnya cacat. Karena itu, maka Mahisa Pukat masih saja bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Mahendra memang menjadi berdebar-debar. Ia pun melihat, bahwa ilmu Mahisa Pukat yang tersembunyi itu tidak dapat diterapkan melawan kekebalan Kebo Lorog. Kekebalan yang khusus, bukan saja melawan benturan-benturan kekerasan dan tajamnya senjata, tetapi juga melawan ilmu Mahisa Pukat yang jarang diketahui orang itu.

Namun bagaimanapun juga, Mahisa Pukat selalu terdesak. Serangan-serangannya memang menjadi tidak berarti bagi lawannya. Ilmu kebal Kebo Lorog tidak dapat ditembus oleh kekuatan dan tenaga dalam Mahisa Pukat yang telah dilepaskannya seluruhnya.

Sementara itu, tubuh Mahisa Pukat terasa semakin lama semakin dicengkam oleh kesakitan. Kulit dagingnya terasa memar, sementara tulang-tulangnya bagaikan menjadi, retak.

Ketika serangannya yang dilontarkan dengan mengerahkan tenaganya sempat ditangkap oleh ketajaman penglihatan Kebo Lorog, maka Kebo Lorog sama sekali tidak menghindar. Ia justru mengerahkan tenaganya pula untuk membentur serangan Mahisa Pukat.

Satu benturan yang sengit telah terjadi. Namun Mahisa Pukat lah yang justru terdorong surut. Melambung di udara, kemudian melayang jatuh. Hanya karena keliatan tubuhnya sajalah, maka Mahisa Pukat jatuh dengan mapan. Justru ia sempat berguling dua kali dan kemudian meloncat bangkit.

Kebo Lorog tertawa berkepanjangan, sementara keringat mulai mengalir di punggung Mahendra.

Bahkan kedua orang yang menolak bergabung dengan Kebo Lorog, yang juga sempat menyaksikannya sekilas, menjadi gelisah pula.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat tidak ingin benar- benar dihancurkan oleh Kebo Lorog. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus berlindung di belakang ilmu pamungkasnya.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun telah mengerahkan segenap tenaga serta segenap ilmu yang ada di dalam dirinya. Kemudian memusatkan nalar budinya untuk membangkitkan ilmu puncaknya.

Dengan lambaran segenap kemampuan dan ilmu yang tersimpan di dalam dirinya, maka Mahisa Pukat itu telah menarik sebelah kakinya surut. Dengan lutut yang sedikit merendah, maka Mahisa Pukat pun telah sampai pada batas tertinggi kemampuan ilmu yang dimilikinya.

Sejenak kemudian, maka kedua tangan Mahisa Pukat telah bersilang di dadanya, kemudian terjulur lurus menghentak ke depan dengan telapak tangan yang terbuka menghadap lawannya.

Kebo Lorog terkejut melihat sikap Mahisa Pukat. Bahkan jantungnya telah tergetar ketika ia melihat seleret sinar memancar di telapak tangan anak muda itu. Kemudian dengan cepat meluncur ke arah jantung di dadanya.

Kebo Lorog yang juga berilmu tinggi itu memang tidak membiarkan dadanya pecah oleh hantaman ilmu yang meluncur dari telapak tangan Mahisa Pukat. Karena itu, maka Kebo Lorog itu pun meloncat menghindarinya.

Tetapi ilmu yang terlontar dari telapak tangan Mahisa Pukat terlalu cepat untuk dapat dihindari sepenuhnya oleh Kebo Lorog yang agak gemuk itu. Karena itu, maka Kebo Lorog tidak berhasil lepas sama sekali dari tikaman ilmu Mahisa Pukat.

Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Kebo Lorog itulah yang kemudian terlempar dan melambung beberapa langkah surut. Ketika Kebo Lorog terbanting jatuh, betapapun ia berusaha untuk menggeliat dan bangkit kembali, namun tubuhnya tidak lagi mampu untuk bergerak lagi. tulang-tulang dadanya serasa berpatahan. Bahkan seisi dadanya terasa menjadi panas bagaikan terbakar

Kebo Lorog itu mengumpat kasar. Tetapi suaranya yang parau tertelan kembali lewat kerongkongannya yang kering.

Ilmu puncak Mahisa Pukat ternyata tidak mampu diatasinya. Hanya karena Kebo Lorog berilmu tinggi, serta usahanya untuk menghindari serangan Mahisa Pukat yang meluncur ke arahnya sajalah, maka Kebo Lorog masih tetap menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Tetapi wadagnya sama sekali tidak lagi mampu mendukung segala ilmu, kemampuan dan kelebihan-kelebihannya.

Mahisa Pukat berdiri termangu-mangu. Sementara itu, para pengikut Kebo Lorog yang sedang bertempur itu pun terkejut pula. Mereka melihat Kebo Lorog itu terbanting jatuh dan tidak dapat bangkit kembali.

Kedua orang yang tidak mau bergabung dengan Kebo Lorog itu pun melihat, bagaimana Mahisa Pukat mengalahkan Kebo Lorog. Yang mereka lihat itu seakan-akan merupakan ulangan dari apa yang pernah mereka lihat di padepokan Bajra Seta. Sehingga dengan demikian maka keduanya pun yakin, bahwa Mahisa Pukat itu memang saudara laki-laki Mahisa Murti sebagaimana dikatakannya.

Ketika kemudian Kebo Lorog yang berilmu tinggi itu terbaring di halaman kedai itu, maka para pengikutnya pun menjadi ragu-ragu. Kedua orang yang tidak mau bergabung dengan mereka itu pun tidak dapat mereka kalahkan. Apalagi apabila anak muda yang telah mengalahkan Kebo Lorog itu ikut bertempur melawan mereka.

Mahisa Pukat masih berdiri termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat bahwa Kebo Lorog sudah tidak mampu bangkit lagi, maka ia pun melangkah mendekati para pengikutnya sambil berkata, “Nah, apakah yang akan kalian lakukan?”

Para pengikut Kebo Lorog itu menjadi semakin berdebar-debar. Sekali-sekali mereka memandang kedua orang yang menolak bergabung bersama mereka itu. Namun kemudian dipandanginya Mahisa Pukat yang telah melumpuhkan pemimpinnya yang dianggapnya tidak dapat dikalahkan oleh siapapun juga.

“Apakah kalian akan meneruskan pertempuran ini?,” bertanya Mahisa Pukat.

Orang-orang itu tetap terdiam. Tidak seorang pun di antara mereka yang menjawab.

“Kenapa kalian diam saja?” desak Mahisa Pukat, “atau kami yang harus mulai menyerang kalian?”

Tidak seorang pun yang menjawab meskipun mereka saling berpandangan.

Melihat sikap mereka, maka Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku masih akan minta kepada kedua orang yang kalian paksa untuk bergabung dengan kalian itu untuk memberikan kesempatan sekali lagi. Jika kesempatan kali ini tidak kau pergunakan sebaik-baiknya, maka nasib kalian akan menjadi lebih buruk dari Kebo Lorog itu sendiri.”

Orang-orang itu pun masih saja termangu-mangu. Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara itu, Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Baiklah. Kesempatan terakhir bagi kalian untuk menyerah. Jika kesempatan ini tidak kalian pergunakan, maka kalian tidak akan mempunyai pilihan lain.”

Orang-orang itu masih berpandangan sejenak. Namun seorang yang terluka cukup parah berkata, “Aku menyerah.”

Tetapi Mahisa Pukat menyahut, “Yang terutama bukan kalian yang memang sudah tidak dapat melawan. Aku bertanya kepada mereka yang masih mampu mempergunakan senjatanya melawan kami.”

Suasana memang menjadi tegang. Namun kemudian seorang di antara mereka yang masih bertempur dengan sigapnya berkata sambil meletakkan senjatanya, “Kami menyerah.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagus. Jika kalian menyerah, maka persoalannya dapat dianggap selesai. Lihat pemimpinmu itu. Ia belum mati. Tetapi Kebo Lorog tidak akan mampu lagi memimpin kalian. Jika ia dapat sembuh, ia tidak akan mampu lagi menguasai segenap ilmunya karena dukungan wadagnya tidak memungkinkan lagi. Ia akan cacat untuk selanjutnya.”

Wajah para pengikutnya menjadi tegang. Sementara Mahisa Pukat berkata lagi, “Apakah kalian menyesal bahwa pemimpin kalian menjadi cacat? Apakah kalian masih bermimpi untuk tetap hidup dalam petualangan kalian seperti saat-saat kalian mengembara dibawah pimpinannya.”

Pertanyaan itu telah menghentak di jantung para pengikut Kebo Lorog itu.

Untuk sesaat keadaan memang menjadi sepi.

Semuanya terdiam sementara wajah-wajah menjadi tegang.

Bukan hanya mereka yang terlibat dalam pertempuran itu saja, tetapi orang-orang yang menyaksikan dari kejauhan pun menjadi tegang pula. Bahkan Mahendra yang menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di halaman kedai itu pun juga menjadi tegang.

Dalam pada itu, seorang di antara para pengikut Kebo Lorog itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami tidak tahu apa yang sebaiknya kami lakukan di kemudian hari. Tetapi jika pemimpin kami tidak lagi mampu melakukan tugasnya, maka agaknya kami pun harus mempertimbangkannya untuk berbuat yang lain.”

“Jadi seandainya kalian meninggalkan dunia hitammu, bukan karena kesadaran yang tumbuh dari dasar hatimu. Tetapi semata-mata karena tidak ada lagi orang yang dapat membawamu melakukan kejahatan-kejahatan itu?” bertanya MahisaPukat.

“Tidak. Bukan karena itu. Tetapi kami benar-benar tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Dan bahkan kami tidak tahu apa yang harus kami katakan sekarang ini.” jawab pengikut Kebo Lorog itu.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Apapun alasannya. Tetapi kau dapat bercermin kepada kedua orang yang pernah bekerja bersamamu itu. Mereka sekarang sama sekali tidak goncang oleh bujukan atau ancaman atau apapun juga. Mereka sudah berdiri tegak pada sikap mereka.”

Para pengikut Kebo Lorog itu mengangguk-angguk. Tetapi wajah mereka masih membayangkan keragu-raguan sikap.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Baiklah. Pikirkan kata-kataku ini. Jika kalian masih tetap berdiri dibayangi kejahatan yang pernah kalian lakukan dibawah pimpinan Kebo Lorog itu, maka kalian akan berhadapan dengan bekas-bekas kawan kalian dan lebih dari itu, kalian akan berhadapan dengan seluruh isi Padepokan Bajra Seta selain kalian merupakan orang-orang yang tentu akan selalu diburu oleh para prajurit Singasari.”

Orang-orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi tidak seorang pun yang menyahut.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun membentak, “He, kenapa kalian membisu? Apakah aku harus membawa kalian kepada para prajurit Singasari?”

“Sebenarnyalah aku tidak tahu apa yang harus aku katakan” jawab salah seorang di antara mereka dengan serta-merta, “Tetapi yakinlah, bahwa kami tidak akan mengulangi lagi perbuatan-perbuatan kami. Bukan karena Kebo Lorog sudah tidak berdaya lagi. Tetapi kami mengerti kenapa kami harus menghentikannya.”

“Apa yang meloncat dari mulutmu itu tidak lebih dari sekedar usahamu untuk menyelamatkan diri. Tetapi baiklah. Kita akan melihat apa yang akan terjadi kelak.” berkata MahisaPukat.

Para pengikut Kebo Lorog itu tidak menjawab. Tetapi kegelisahan memang membayang di sorot mata mereka.

Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Sekarang, lihat pemimpinmu itu. Tolong rawat orang itu baik-baik. Tetapi ingat, kita tentu masih akan bertemu dimana pun juga. Jika bukan aku, tentu para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Atau saudaraku Mahisa Murti, atau Mahisa Semu atau Paman Wantilan. Tetapi karena aku mempunyai banyak hubungan dengan prajurit Singasari, maka jika kalian masih tetap hidup dalam bayangan kejahatan, maka Arya Kuda Cemani, seorang Panglima dari Pasukan Sandi di Singasari akan langsung menangani perburuan atas kalian.”

Diluar sadarnya maka para pengikut Kebo Lorog itu mengangguk-angguk. Tetapi hati mereka benar-benar menjadi kuncup mendengar ancaman Mahisa Pukat itu.

“Namun segala sesuatunya terserah kepada kalian” berkata Mahisa Pukat kemudian. Lalu katanya sekali lagi, “Sekarang lihat pemimpinmu itu.”

Para pengikut Kebo Lorog yang tidak terluka itu pun telah melangkah mendekati Kebo Lorog yang terbaring. Ternyata orang itu agaknya masih pingsan.

Kepada kedua orang yang menolak bergabung dengan Kebo Lorog itu Mahisa Pukat berkata, “Ki Sanak. Kalian dapat mengamati apa yang mereka lakukan di sini sampai mereka membawa Kebo Lorog itu pergi. Kami berdua akan melanjutkan perjalanan kami menuju ke Padepokan Bajra Seta.”

“Baiklah” jawab salah seorang dari mereka, “kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kau telah menyelamatkan jiwa kami sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti. Mahisa Murti waktu itu dapat saja membunuh kami semuanya karena kami telah melakukan kesalahan yang sebenamya tidak pantas untuk dimaafkan. Tetapi kami dapat keluar hidup-hidup dari Padepokan Bajra Seta. Karena itulah, maka kami berjanji untuk menghentikan segala kegiatan gila kami sebagaimana selalu kami lakukan sebelumnya. Bahkan memang kami pernah melakukannya bersama-sama dengan Kebo Lorog.”

“Baiklah. Sekarang kami berdua akan minta diri. kami mengucapkan selamat atas kesediaan kalian meninggalkan satu lingkungan yang penuh dengan kegelapan.” Berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya pula, “Orang itu adalah ayahku. Juga ayah Mahisa Murti.”

“O” kedua orang itu pun mengangguk hormat kepada Mahendra yang masih berdiri di tempatnya. Namun Mahendra pun telah mengangguk hormat pula kepada mereka berdua.

Demikianlah, maka Mahendra dan Mahisa Pukat pun meninggalkan kedai itu setelah membayar harga makanan dan minuman mereka serta kuda-kuda mereka, melanjutkan perjalanan menuju ke Padepokan Bajra Seta.

Keduanya telah tertahan beberapa saat diperjalanan. Karena itu, maka perjalanan mereka memerlukan waktu lebih lama dari yang mereka rencanakan.

Namun dengan demikian mereka mengetahui, apa yang baru saja terjadi di Padepokan Bajra Seta. Agaknya telah terjadi pertentangan di antara sekelompok orang yang semula tidak mempunyai sangkut-paut dengan Padepokan Bajra Seta, namun kemudian justru telah melibatkan Padepokan itu.

Tetapi Mahendra dan Mahisa Pukat tidak berniat untuk bermalam di perjalanan. Meskipun mereka masih harus berhenti untuk memberi kesempatan kuda mereka untuk beristirahat, minum dan makan rerumputan segar, namun kemudian mereka telah melanjutkan perjalanan.

Ketika mereka sampai di Padepokan, maka para cantrik yang bertugas memang terkejut. Dengan tergopoh-gopoh mereka membuka pintu gerbang Padepokan serta mempersilahkan keduanya memasuki Padepokan yang sudah lelap.

Mahisa Murti yang dibangunkan oleh seorang cantrik pun terkejut pula. Dengan tergesa-gesa Mahisa Murti pergi ke bangunan induk Padepokan Bajra Seta.

Mahendra dan Mahisa Pukat, memang sudah menunggu di bangunan induk. Demikian mereka melihat Mahisa Murti yang tergesa-gesa menemuinya, Mahendra segera berkata, “Kami datang untuk membawa kabar baik.”

Mahisa Murti yang kemudian duduk menemui Mahendra dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahendra berkata, “Perjalanan kami terhambat beberapa saat. Karena itu, kami datang larut malam.”

Mahisa Pukat lah yang kemudian menceriterakan apa yang terjadi di perjalanan sehingga mereka tertahan beberapa saat di sebuah kedai.

“Dua orang itu berceritera serba sedikit, tentang peristiwa yang terjadi di Padepokan ini” berkata Mahisa Pukat Sementara Mahendra minta Mahisa Murti menceriterakan peristiwa yang pernah terjadi itu.

Seorang cantrik kemudian menghidangkan minuman panas dengan beberapa potong makanan yang sudah dingin. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Biarlah para cantrik menyiapkan makan malam. Bukankah ayah dan Mahisa Pukat belum makan malam di perjalanan?”

Mahisa Pukat lah yang mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih. Kami memang sudah merasa lapar. Ketika kuda kami sempat berhenti, minum air di parit yang jernih serta makan rerumputan segar, kami tidak dapat makan apapun juga, karena kami tidak dapat berbagi makanan dengan kuda-kuda kami.”

Mahisa Murti pun tertawa. Katanya, “Kami akan menangkap seekor ayam.”

“Jangan” cegah Mahisa Pukat, “jangan karena kedatangan kami, seekor ayam tidak sempat melihat matahari terbit esok pagi.”

Mahisa Murti tertawa. Mahendra pun tertawa pula. Namun Mahisa Murti pun menjawab, “Baiklah. Biarlah para cantrik mencari telur saja di petarangan. Karena kami tidak mempunyai lauk yang lain”

Sambil menunggu nasi masak, maka Mahisa Murti pun telah menceriterakan apa yang terjadi di Padepokan Bajra Seta. Bahkan kemudian Mahisa Murti pun minta para cantrik memanggil Sambega dan Wantilan untuk ikut menemui Mahendra dan Mahisa Pukat.

Sambega yang kemudian mendengar pula apa yang telah terjadi diperjalanan Mahendra dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil berkata, “Syukurlah, jika para pengikut Lengkara itu benar-benar menginsyafi arti dari hidup mereka.”

Namun pembicaraan mereka terhenti, ketika para cantrik membawa hidangan yang masih hangat. Nasi yang masih mengepulkan asap, telur dadar dan sambal terasi.

“Benar-benar tidak ada yang lain” berkata Mahisa Murti.

“Bukankah ini sudah cukup? Semua adalah kegemaranku. Telur dadar dan sambal terasi. Tentu tidak terlalu pedas, sedikit asin dan sedikit brambang.” desis Mahisa Pukat.

Mereka tertawa. Namun kemudian mereka pun makan dengan lahapnya. Bahkan Mahisa Murti, Wantilan dan Sambega pun ikut pula bersama mereka makan, meskipun mereka sudah makan malam, setelah Mahendra dan Mahisa Pukat mencuci kaki dan tangan mereka serta berbenah diri.

Namun setelah mereka selesai makan, Mahendra tidak ingin dengan serta merta mengatakan maksud kedatangannya. Karena itu setelah duduk dan berbincang sebentar setelah mereka makan, maka Mahendra pun berkata, “Nah, sekarang, ijinkan kami beristirahat. Kami memang agak letih.”

Mahisa Murti pun kemudian memerintahkan seorang cantrik untuk menyiapkan dua buah bilik bagi Mahendra dan Mahisa Pukat. Bagi Padepokan Bajra Seta, rasa-rasanya Mahisa Pukat memang bukan lagi bagian dari Padepokan itu, sehingga Mahisa Pukat pun diterima sebagaimana mereka menerima seorang tamu.

Mahisa Pukat memang merasakan hal itu. Karena itu rasa-rasanya memang ada yang hilang baginya jika ia berada di Padepokan Bajra Seta.

Tetapi itu memang tidak dapat diingkarinya. Ia sadar, bahwa ia seakan-akan memang sudah keluar dari lingkungan Padepokan itu.

Sementara itu, Mahisa Murti dengan ketajaman panggraitannya telah tanggap, bahwa ayahnya dan Mahisa Pukat tentu membawa persoalan, yang cukup penting untuk disampaikan kepadanya.


Dengan demikian Mahisa Murti tidak dapat minta ayahnya serta Mahisa Pukat untuk mengatakan persoalan yang dibawanya. Mahisa Murti pun tahu bahwa keduanya, terutama Mahisa Pukat tentu merasa letih. Selain mereka menempuh perjalanan panjang, Mahisa Pukat juga harus berhenti untuk bertempur. Bahkan harus melepaskan ilmu puncaknya.

Demikianlah, maka Padepokan Bajra Seta pun telah menjadi sepi kembali. Mahendra dan Mahisa Pukat telah berada di dalam bilik mereka. Sementara itu Mahisa Murti, Sambega dan para cantrik pun telah kembali ke pembaringan selain mereka yang memang bertugas.

Wantilan masih sempat melihat para cantrik yang bertugas di regol. Namun kemudian ia pun telah pergi ke biliknya pula.

Ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping terkejut melihat Mahendra dan Mahisa Pukat berada di Padepokan. Dengan serta merta keduanya telah menemuinya dan bertanya tentang kedatangan mereka, keadaan di Singasari, bahkan Mahisa Amping telah bertanya pula tentang sanggar di Kesatrian.

Mahisa Pukat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sambil tersenyum. Namun Mahisa Pukat tidak menjawab ketika Mahisa Amping bertanya, apakah keperluan mereka datang ke Padepokan.

Hari itu, rasa-rasanya Mahisa Pukat telah berada kembali di tengah-tengah dunianya. Dengan sendirinya ia telah ikut melakukan kegiatan sebagaimana selalu dilakukannya ketika ia masih berada di Padepokan Bajra Seta. Memang jauh berbeda dari kegiatan yang dilakukannya di Kesatrian. Tetapi rasa-rasanya baru kemarin ia meninggalkan Padepokan itu dan berada di Kesatrian istana Singasari.

Ketika kegiatan pagi di padepokan itu lewat, maka Mahendra telah minta agar Mahisa Murti duduk bersamanya dan Mahisa Pukat untuk berbicara tentang sesuatu hal yang dianggapnya penting.

Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar. Namun semalam ayahnya sudah mengatakan kepadanya, bahwa ayahnya dan Mahisa Pukat datang dengan membawa kabar baik.

Tetapi masih timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Kabar baik bagi siapa? Bagi aku atau bagi Mahisa Pukat atau bagi Padepokan Bajra Seta?”

Tetapi pertanyaan itu tidak diucapkannya. Ia menunggu ayahnya akan mengatakannya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka ayahnya pun menyampaikan niat Mahisa Pukat untuk melamar dan selanjutnya menikah dengan Sasi. Anak gadis Arya Kuda Cemani.

Jantung Mahisa Murti memang terasa menghentak. Namun dengan cepat ia berusaha menguasai perasaannya. Bahkan kemudian Mahisa Murti pun tersenyum sambil berkata, “Syukurlah. Satu keputusan yang bijaksana.”

Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita memang harus menghormati sikap lingkungan kita dan lingkungan Arya Kuda Cemani. Ketika orang-orang mulai berbicara tentang hubungan antara Mahisa Pukat dan Sasi, maka persoalan pun rasa-rasanya seperti dipacu. Apalagi Mahisa Pukat telah mendapatkan pekerjaan yang mapan di istana, sementara umurnya pun sudah sampai di atas batas kewajaran untuk berumah tangga. Karena itu, maka aku kira tidak ada lagi persoalan yang harus ditunggu, selain persetujuanmu.”

“O” Mahisa Murti justru terkejut. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Kenapa persetujuanku?”

“Maksudku, kita dapat berbincang-bincang lebih dahulu sebelum aku benar-benar datang melamar kepada Arya Kuda Cemani.”

“Seperti yang sudah aku katakan, ayah. Keputusan ayah untuk segera melamar dan bahkan pernikahan akan segera dilaksanakan pula, adalah satu keputusan yang bijaksana.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah mengira bahwa sikap Mahisa Murti adalah sebagaimana ditunjukkan itu. Namun sebagai seorang ayah yang mengerti perasaan anaknya, Mahendra justru menjadi terharu.

Tetapi di hadapan Mahisa Pukat ia sama sekali tidak menunjukkan perasaannya. Sambil mengangguk-angguk kecil Mahendra berkata besok lusa aku kembali ke Singasari, maka aku akan segera datang menemui Arya Kuda Cemani.

“Semakin cepat, tentu semakin baik, ayah” berkata Mahisa Murti.

“Ya. Semuanya memang sebaiknya segera dilakukan” jawab Mahendra

Mahisa Murti mengangguk-angguk pula. Kepada Mahisa Pukat ia berkata, “Kau harus benar-benar mempersiapkan diri melangkah ke dalam satu dunia yang baru sama sekali. Rasa-rasanya memang tidak ada satu perguruan yang memberikan tuntunan secara terperinci bagaimana seseorang memasuki satu kehidupan rumah tangga, kecuali petunjuk-petunjuk secara umum sekali.”

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Tetapi kita dapat belajar dengan memperhatikan sisi-sisi kehidupan satu keluarga. Meskipun demikian, sebagian besar dari keberhasilannya tergantung kepada yang menjalani sendiri.”

“Kesadaranmu akan hal itu merupakan modal yang berharga, Pukat” desis Mahendra, “karena itu, mereka yang akan memasuki satu kehidupan keluarga dituntut untuk bertanggung jawab sepenuhnya. Sejak mempersiapkan diri, sampai saatnya memasuki kehidupan keluarga dan seterusnya sampai pada batas akhir hayat.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut, “Ya ayah.”

“Nah, ternyata tidak ada persoalan lagi yang akan menghambat perjalananmu memasuki satu kehidupan baru. Kau akan berada dalam satu lingkungan yang mengikatmu.”

“Ya ayah” desis Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka Mahendra merasa bahwa ia telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan, karena persoalan Mahisa Pukat dan Sasi sebenarnya telah menyangkut pula Mahisa Murti. Namun kebesaran jiwa Mahisa Murti sama sekali tidak menimbulkan hambatan apapun bagi Mahisa Pukat. Bahkan Mahendra yakin bahwa Mahisa Murti tentu akan membantu apa saja yang dapat dilakukan bagi kepentingan Mahisa Pukat.

Karena itu, maka Mahendra merasa tidak perlu terlalu lama berada di Padepokan Bajra Seta. Mahendra menganggap bahwa semakin cepat persoalan itu diselesaikan, akan menjadi semakin baik.

Karena itu, maka Mahendra merencanakan setelah bermalam dua malam di Padepokan Bajra Seta, ia berniat untuk mengajak Mahisa Pukat kembali ke Singasari.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping sebenarnya minta agar Mahisa Pukat dan Mahendra tidak tergesa-gesa meninggalkan Padepokan itu. Tetapi sambil tersenyum Mahendra berkata, “Ada sesuatu yang penting yang harus kami selesaikan di Singasari. Pada saatnya kalian akan kami minta datang ke Singasari.”

“Apakah yang penting yang harus diselesaikan itu?” bertanya Mahisa Amping.

Mahendra tertawa. Katanya, “Besok kau akan tahu. Tetapi belum sekarang.”

“Apakah termasuk rahasia?” bertanya Mahisa Amping pula.

Mahendra masih tertawa. Sambil menepuk bahu anak itu Mahendra berkata, “Ya. Sesuatu yang sangat rahasia.”

Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lagi, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya tersenyum saja.

Demikianlah seperti yang direncanakan, maka Mahendra dan Mahisa Pukat pun segera mempersiapkan diri setelah mereka bermalam dua malam penuh di Padepokan Bajra Seta. Ketika fajar menyingsing keduanya sudah siap berangkat kembali ke Singasari.

Dalam kesempatan yang singkat, Mahendra sempat berbisik di telinga Mahisa Murti sebelumnya Mahisa Pukat mendekati mereka, “Aku menunggu, kapan aku harus melamar lagi seorang gadis bagimu, Mahisa Murti.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Ayah tidak usah memikirkan aku.”

“Sulit bagi seorang ayah untuk berbuat demikian” jawab Mahendra.

Mahisa Murti mencoba untuk tertawa. Namun Mahendra yang tua itu tahu, betapa gersangnya hati anaknya itu. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Ayah. Aku akan segera menyusul ayah ke Singasari untuk mohon agar ayah melakukan lagi hal yang sama sebagaimana akan ayah lakukan.”

Mahendra menepuk pundak Mahisa Murti sambil berkata, “Ayah bersungguh-sungguh, Murti”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, “Aku mohon ayah berdoa untukku.”

“Aku selalu berdoa untuk anak-anakku” jawab Mahendra.

“Terima kasih ayah” desis Mahisa Murti.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahendra dan Mahisa Pukat pun telah minta diri kepada seluruh isi Padepokan Bajra Seta. Sebelum matahari terbit, maka mereka berdua telah meloncat ke punggung kudanya dan berpacu keluar dari pintu gerbang Padepokan Bajra Seta.

Sepeninggal Mahendra dan Mahisa Pukat, Mahisa Murti memang agak lebih banyak merenung. Tidak seorang pun tahu, kenapa Mahisa Murti berbuat demikian. Seisi Padepokan Bajra Seta, termasuk Wantilan dan Sambega menganggap bahwa Mahisa Murti hanya merasa sepi setelah ayah dan saudaranya meninggalkannya.

Namun sebenarnyalah Mahisa Murti merasa sepi. Meskipun ia berada di hiruk-pikuknya kerja dan latihan di Padepokan Bajra Seta, namun Mahisa Murti memang merasa bahwa ada yang masih kurang di dalam hidupnya.

Sekali-sekali Mahisa Murti memang masih membayangkan wajah Sasi. Namun setiap kali, Mahisa Murti diluar sadarnya telah menggelengkan kepalanya, seakan-akan ia ingin mengibaskan ingatan itu sejauh-jauhnya.

“Aku harus melupakannya” berkata Mahisa Murti kepada diri sendiri.

Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Murti berusaha mengisi waktu-waktunya yang luang dengan berbuat apa saja. Mungkin di sanggar seorang diri. Mungkin di sanggar bersama Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Bahkan kadang-kadang dengan Wantilan, karena bagaimanapun juga kemampuan Wantilan masih harus selalu diasah agar menjadi semakin tajam dan tidak berhenti dan diam. Bahkan kadang-kadang Mahisa Murti berada di dekat perapian para cantrik yang mempunyai ketrampilan sebagai pandai besi. Atau kerja lain bersama para cantrik.

Meskipun demikian, masih saja ada waktu yang terselip tanpa disadarinya saat-saat wajah itu membayang kembali. Bahkan kadang-kadang bersama dengan Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Murti memang mempunyai kendali yang kuat atas gejolak perasaannya, sehingga karena itu, maka bagaimanapun juga, Mahisa Murti masih selalu dapat mengatasinya sendiri.

Namun diluar sadarnya, maka Mahisa Murti mengisi kekosongan jiwanya itu juga dengan semakin menekuni ilmunya. Mahisa Murti semakin menempa dirinya sehingga setapak demi setapak ilmunya menjadi semakin matang.

Bahkan bukan saja Mahisa Murti sendiri. Tetapi juga Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Keduanya merasa bahwa perhatian Mahisa Murti terhadap mereka justru bertambah. Bahkan Wantilan pun ikut merasakan, betapa Mahisa Murti berbuat apa saja bagi peningkatan kesejahteraan Padepokan Bajra Seta lahir dan batin.

Sementara itu, di Singasari, Mahendra dan Mahisa Pukat telah sibuk mempersiapkan diri untuk datang menemui Arya Kuda Cemani. Bukan sekedar Mahendra dan Mahisa Pukat datang bertamu dan kemudian menyampaikan maksud kedatangannya. Tetapi pembicaraan-pembicaraan yang demikian harus disusul dengan upacara-upacara yang wajib dilakukan.

Untuk kepentingan itu semuanya, maka Mahendra harus menunjuk beberapa orang tua untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Tetapi sebelumnya, karena Mahendra sudah mengenal dengan baik Arya Kuda Cemani, maka pokok persoalannya justru telah mereka setujui bersama.

Tetapi mereka tidak dapat meninggalkan segala macam ketentuan dan upacara yang harus diselenggarakan.

Ketika hal tersebut didengar oleh Sri Maharaja, ternyata Sri Maharaja yang juga mengenal baik Mahendra, yang atas titahnya tinggal di istana, telah menaruh perhatian pula. Bahkan Sri Maharaja sendiri memerintahkan kepada beberapa orang pejabat di istana untuk membantu segala macam keperluan Mahendra dan Arya Kuda Cemani.

Akhirnya kedua belah pihak telah sampai pada satu persetujuan kapan mereka akan melaksanakan pernikahan Mahisa Pukat dengan Sasi.

Memang ada beberapa pihak yang tersinggung oleh kepastian bahwa Sasi akan menjadi isteri Mahisa Pukat. Tetapi justru karena Sri Maharaja sendiri juga memberikan restunya, maka tidak seorang pun yang berani menyatakan keberatannya atau dengan sengaja mengganggu rencana itu.

Karena itu, maka segala persiapan dan upacara pendahuluan dapat berlangsung dengan wajar dan tidak terjadi hambatan yang berarti.

Dengan demikian, maka sekali lagi Mahendra ingin pergi ke Padepokan Bajra Seta untuk memanggil Mahisa Murti, agar Mahisa Murti dapat ikut menunggui pernikahan Mahisa Pukat di Singasari. Karena perkawinan itu mendapat restu dari Sri Maharaja, maka Mahendra tidak dapat menyelenggarakannya sekedarnya saja. Apalagi orang tua Sasi, Arya Kuda Cemani.

Tetapi Mahendra tidak ingin mengajak Mahisa Pukat yang akan segera memasuki saat pernikahannya.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat memang ingin mengantarkan ayahnya pergi ke Padepokan Bajra Seta, tetapi ayahnya justru berkeberatan.

“Kau sudah tidak sebaiknya menempuh perjalanan yang panjang lagi, Mahisa Pukat. Waktumu tinggal sedikit. Karena itu lebih baik kau mempersiapkan dirimu saja untuk memasuki hari-harimu yang terpenting.”

“Tetapi ayah tidak dapat pergi sendiri ke Padepokan Bajra Seta” berkata Mahisa Pukat, “bukankah pada perjalanan kita yang lalu telah terjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik?”

“Aku justru ingin mengatakan kepadamu tentang hal itu. Bagaimana jika kau mengalami kesulitan di perjalanan?” sahut Mahendra.

“Tetapi aku tidak dapat membiarkan ayah pergi sendiri.” berkata Mahisa Pukat, “jika terjadi sesuatu dengan ayah, maka Mahisa Murti dan bahkan kakang Mahisa Bungalan tentu akan menyalahkan aku. Mereka tentu menganggap bahwa aku hanya dapat bermanja-manja sedangkan ayah menjadi semakin tua harus melakukan perjalanan yang berat dan panjang.”

Tetapi Mahendra kemudian berdesis, “Mahisa Pukat. Kau jangan terlalu mencemaskan aku. Aku memang sudah tua. Tetapi aku masih belum pikun. Karena itu, aku masih dapat berhati-hati di perjalanan. Jika aku tidak mencampuri persoalan orang lain, maka aku kira aku tidak akan menjumpai persoalan yang gawat. Jika beberapa saat yang lewat kita mendapat hambatan, itu karena kita sengaja mencampuri persoalan orang lain.”

Meskipun demikian Mahisa Pukat menjawab, “Tidak ayah. Tidak sebaiknya ayah pergi sendiri.”

“Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?” bertanya Mahendra ragu-ragu.

“Aku dapat pergi bersama ayah. Aku berjanji bahwa aku tidak akan mencampuri persoalan orang lain, meskipun persoalan mereka itu juga menyangkut nama Padepokan kita.” jawab Mahisa Pukat.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mahisa Pukat. Bagaimanapun juga aku nasehatkan kepadamu agar kau tidak usah pergi. Jika kau tidak menghendaki aku pergi sendiri, baiklah aku akan mencari seorang kawan untuk menempuh perjalanan. Atau barangkali kau dapat menunjuk seseorang untuk menemani aku.”

Mahisa Pukat termangu-mangu Sejenak. Namun kemudian katanya, “Ayah. Mungkin itu adalah salah satu jalan keluar jika ayah memang tidak mengijinkan aku pergi.”

“Jika demikian, siapa yang menurut pendapatmu dapat pergi bersama aku ke Padepokan Bara Seta?”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia justru bertanya, “Apakah tidak ada seorang Senapati di istana yang menurut ayah dapat pergi bersama ayah?”

“Mungkin aku dapat mengajak salah seorang di antara mereka.” desis Mahendra.

Namun tiba-tiba Mahisa Pukat berkata, “Tetapi aku kira aku dapat mengusulkan seseorang.”

“Siapa?” bertanya Mahendra.

“Orang itu tentu tidak akan berkeberatan pergi bersama ayah ke Padepokan Bajra Seta” berkata Mahisa Pukat kemudian.

“Siapa?” desak Mahendra.

“Empu Sidikara. Kawanku memberikan tuntunan kepada para Kesatria dan Kesatrian.” jawab Mahisa Pukat.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Jika kau menganggap bahwa orang itu pantas untuk pergi bersamaku ka Padepokan Bajra Seta, aku sama sekali tidak berkeberatan”

“Tentu ayah. Selain orangnya memang baik, ia memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga jika ada orang yang mengganggu perjalanan ayah, Empu Sidikara tidak akan menjadi beban ayah. Ia akan dapat melindungi dirinya sendiri.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, jika Empu Sidikara tidak berkeberatan. Tetapi apakah ia diijinkan untuk meninggalkan tugasnya?”

“Aku akan berbicara dengan Pangeran Kuda Pratama. Jika aku berterus-terang, maka Pangeran Kuda Pratama tentu tidak akan berkeberatan.”

Ketika kemudian hal itu disampaikan oleh Mahisa Pukat kepada Pangeran Kuda Pratama, maka Pangeran Kuda Pratama sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan kemudian Empu Sidikara dipanggilnya dan langsung diberitahukan kepadanya, bahwa Mahisa Pukat ingin minta pertolongannya.

Ternyata seperti yang diduga oleh Mahisa Pukat, Empu Sidikara sama sekali tidak berkeberatan. Dengan senang hati ia memenuhi permintaan Mahisa Pukat untuk mengantar ayahnya yang sudah menjadi semakin tua ke Padepokan Bajra Seta.

Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan, maka Mahendra dan Empu Sidikara pun telah berangkat menuju ke Padepokan Bajra Seta. Mahisa Pukat yang sebenarnya tidak ingin melepaskan ayahnya yang tua itu pergi tanpa diantarnya sendiri, mengantarnya sampai ke pintu gerbang

Hatinya memang menjadi berdebar-debar melihat ayahnya yang menjadi semakin tua itu melarikan kudanya menempuh perjalanan yang panjang.

Tetapi hatinya menjadi sedikit tenang, bahwa ayahnya bersedia pergi bersama Empu Sidikara yang meskipun ilmunya masih setingkat di bawahnya, tetapi ia termasuk orang yang berilmu tinggi.

Sejenak kemudian, maka Mahendra dan Empu Sidikara itu pun telah menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang. Sementara itu, langit pun menjadi semakin cerah karena matahari memanjat semakin tinggi. Awan putih, mengalir dihembus angin semilir menuju ke puncak bukit. Di arah Utara sekelompok bangau terbang melintas dengan cepat, seakan-akan menjadi cemas bahwa mereka tidak akan mendapatkan mangsanya yang sempat bersembunyi.


Di perjalanan banyak yang sempat diperbincangkan oleh Mahendra dan Empu Sidikara. Kadang-kadang Empu Sidikara memuji kelebihan Mahisa Pukat. Bahkan mengaguminya.

“Mahisa Pukat masih muda” berkata Empu Sidikara, “tetapi kemampuan dan pengalamannya dalam olah kanuragan terlalu luas dibandingkan dengan orang-orang yang lebih tua sebagaimana aku ini. Di hadapan Mahisa Pukat rasa-rasanya aku tidak lebih dari seekor katak di dalam tempurung.”

“Empu terlalu memuji” desis Mahendra, “sebenarnya aku akan lebih berbangga jika anakku memiliki kelebihan kemampuan dan pengalaman di bidang yang lain kecuali olah kanuragan. Tetapi agaknya Mahisa Pukat bukan seseorang yang memiliki pengetahuan yang cukup apalagi dalam ilmu pemerintahan.”

“Tidak” jawab Empu Sidikara, “di bidang pemerintahan pun Mahisa Pukat memiliki kemampuan yang cukup. Bahkan sebagai seorang pemimpin kelompok Pelayan Dalam, Mahisa Pukat memiliki kemampuan jauh lebih baik dari mereka yang memiliki jabatan setingkat di kalangan Pelayan Dalam. Karena itu, dalam kesempatan luang, Pangeran Kuda Pratama sering berbincang dengan Mahisa Pukat.”

“Empu memuji lagi.” desis Mahendra.

Empu Sidikara tertawa. Katanya, “Sekali lagi aku mengatakan, bahwa aku tidak sekedar memuji. Aku memang memuji. Tetapi pujianku merupakan ungkapan kekagumanku.” Empu Sidikara berhenti sejenak. Lalu katanya, “Pembicaraan yang sering dilakukan oleh Mahisa Pukat dan Pangeran Kuda Pratama agaknya akan menguntungkan kedua belah pihak. Pangeran Kuda Pratama mendapat pikiran-pikiran baru yang segar dari Mahisa Pukat yang muda, sementara itu Mahisa Pukat akan banyak mendapatkan pengetahuan serta menimba pengalaman dari Pangeran Kuda Pratama yang selain berilmu sangat tinggi, juga seorang yang memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam banyak bidang.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga harus mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Kuda Pratama.”

“Pangeran Kuda Pratama yang juga mengagumi kelebihan Mahisa Pukat dalam banyak hal, ternyata dengan sengaja telah memberikan banyak pengetahuan kepada anak muda itu. Bahkan juga dalam olah kanuragan.” berkata Empu Sidikara.

“Apakah benar begitu?” bertanya Mahendra.

Empu Sidikara mengangguk sambil menjawab dengan sungguh-sungguh, “Sebenarnyalah demikian. Mahisa Pukat memang seorang anak muda yang akan dapat memegang masa depan. Karena itu, maka penempatannya di Kesatrian adalah tepat sekali.”

Mahendra tidak bertanya lagi. Kepalanya masih saja menggangguk-angguk kecil. Dengan demikian maka ia telah meletakkan banyak harapan pada Mahisa Pukat bagi masa depannya.

Namun Mahendra pun teringat pula kepada Mahisa Murti Mahisa Murti dalam segala hal tidak kalah dari Mahisa Pukat. Seandainya ada selisih di antara keduanya, maka selisih itu hanya selapis-selapis tipis. Namun nasib keduanyalah yang memang berbeda.

Tetapi agaknya Mahisa Murti pun telah meletakkan pilihannya. Sebagaimana Mahisa Pukat mengabdi di Kesatrian, maka Mahisa Murti pun telah memilih tempat untuk mengabdi. Di Padepokan Bajra Seta.

Namun kehadiran Pangeran Kuda Pratama di Kesatrian agaknya akan memberikan harapan yang lebih baik bagi Mahisa Pukat jika yang dikatakan Empu Sidikara itu benar. Mahisa Pukat akan dapat menambah pengetahuannya menjadi semakin luas. Tidak hanya dalam olah kanuragan. Tetapi juga dalam ilmu yang lain.

Untuk beberapa saat keduanya melarikan kuda mereka sambil berdiam diri. Seakan-akan mereka sedang menikmati wajah cakrawala di hadapan mereka. Lereng perbukitan yang hijau memanjang. Sawah yang luas dengan tanamannya yang subur membentang.

Ketika matahari memancarkan panasnya yang terik, maka keduanya pun merasa perlu untuk beristirahat. Tetapi Mahendra tidak mengajak Empu Sidikara beristirahat di kedai yang pernah disinggahinya ketika ia dan Mahisa Pukat pergi ke Padepokan Bajra Seta.

Kepada Empu Sidikara, Mahendra sudah menceriterakan apa yang telah terjadi ketika mereka singgah di kedai itu.

“Aku memang tidak dapat mencegah Mahisa Pukat mencampuri persoalan orang-orang itu” berkata Mahendra, “karena persoalan mereka langsung menyangkut Padepokan Bajra Seta.

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Katanya, “Seandainya tidak menyangkut Padepokan Bajra Seta sekalipun, apabila anak muda itu tersentuh rasa keadilannya, maka ia tentu akan melibatkan diri.”

Mahendra mengangguk-angguk. Memang sulit bagi Mahisa Pukat dan tentu juga Mahisa Murti untuk berdiam diri jika mereka melihat sesuatu yang tidak sepatutnya terjadi. Apalagi jika rasa keadilan mereka tersinggung sebagaimana dikatakan oleh Empu Sidikara.

Demikianlah, maka keduanya pun telah beristirahat di sebuah kedai yang tidak terlalu besar, tetapi cukup ramai. Beberapa orang telah berada di kedai itu.

Tidak ada yang menarik perhatian Mahendra dan Empu Sidikara. Namun keduanya sudah berniat untuk tidak mencampuri persoalan orang lain jika persoalannya masih terbatas dalam batas-batas kewajaran.

Ternyata memang tidak ada persoalan apapun yang terjadi di kedai itu. Meskipun demikian, keduanya merasa sedikit tertarik pada pembicaraan beberapa orang yang ada di kedai itu, bahwa sekelompok orang sehari sebelumnya telah melintasi daerah itu.

“Mereka mengaku orang-orang Kediri” berkata salah seorang di antara mereka.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sejak Kediri dikalahkan oleh Singasari, maka betapapun tenangnya permukaan hubungan antara Singasari dan Kediri, namun dibawah wajah yang tenang itu masih saja terdapat getar yang setiap saat akan dapat bergejolak dan muncul dipermukaan. Beberapa kali telah terjadi benturan kekerasan di Kediri antara mereka yang berbeda sikap. Juga benturan kekerasan antara orang-orang Kediri dan orang-orang Singasari.

Mahendra dan Empu Sidikara hanya mendengarkan saja pembicaraan orang-orang di kedai itu tentang orang-orang Kediri yang melintasi daerah mereka.

“Mereka memang tidak berbuat apa-apa” berkata salah seorang dari mereka.

Meskipun Mahendra dan Empu Sidikara tidak mencampuri pembicaraan itu, namun mereka mendengarkan dengan baik. Hal itu akan dapat menjadi laporan yang akan disampaikan oleh Empu Sidikara kepada Pangeran Kuda Pratama.

Demikianlah, setelah Mahendra dan Empu Sidikara cukup lama beristirahat, mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka lagi.

Perjalanan ke Padepokan Bajra Seta memang perjalanan yang cukup panjang. Tetapi karena keduanya tidak mengalami hambatan apapun juga, maka perjalanan mereka memang lebih cepat dari perjalanan Mahendra dan Mahisa Pukat beberapa saat yang lalu.

Meskipun demikian, keduanya masih juga harus berhenti lagi untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat. Tetapi karena malam mulai membayangi perjalanan mereka, maka sudah tidak ada lagi kedai yang terbuka pintunya. Karena itu, maka mereka harus beristirahat di tepi jalan dan membiarkan kuda mereka minum air yang bening di parit yang mengalir gemericik di pinggir jalan. Kemudian memberi kesempatan kuda-kuda itu untuk merenggut rerumputan yang segar yang tumbuh di tanggul parit, sementara Mahendra dan Empu Sidikara duduk bersandar batang-batang yang tumbuh di pinggir jalan.

Angin yang semilir membuat mereka justru terkantuk-kantuk. Sementara kuda mereka masih sibuk makan rerumputan segar di tanggul parit.

Mahendra dan Empu Sidikara memang tidak tergesa-gesa. Jarak yang akan ditempuh sudah tidak terlalu jauh lagi. Mereka akan sampai ke Padepokan Bajra Seta jauh lebih awal dari perjalanan Mahendra dan Mahisa Pukat yang terhenti diperjalanan.

“Kita akan segera sampai” berkata Mahendra. Namun katanya kemudian, “Tetapi kuda-kuda itu sudah menjadi lelah dan lapar sehingga kasihan jika memaksa kuda-kuda itu meneruskan perjalanan meskipun sudah tidak jauh lagi.

“Kita juga tidak terlalu tergesa-gesa” jawab Empu Sidikara.

Mahendra mengangguk-angguk sambil menjawab, “Bahkan seandainya kita bermalan di sini.”

“Bermalam?” bertanya Empu Sidikara.

Mahendra tertawa. Katanya, “Hanya seandainya. Mataku tiba-tiba saja merasa sangat mengantuk. Angin inilah yang seakan-akan mengipasi wajahku.”

Empu Sidikara tersenyum. Katanya, “Ya. Aku juga mengantuk. Mungkin kita merasa letih dan sedikit lapar.”

Mahendra justru tertawa. Katanya, “Padahal kita masih harus menunggu sampai Padepokan. Tidak ada lagi kedai yang terbuka di malam hari. Kecuali jika ada keramaian di salah satu padukuhan yang akan kita lewati.”

“Keramaian dan tontonan” desis Empu Sidikara.

“Ya” jawab Mahendra, “tari topeng.”

Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi. Matanya benar-benar terasa mengantuk.

Tetapi keduanya tidak ingin tertidur di tempat itu. Karena itu, ketika kuda-kuda mereka sudah puas makan dan minum, serta beristirahat beberapa saat, maka keduanya pun melanjutkan perjalanan mereka ke Padepokan Bajra Seta.

Tetapi ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang besar, ternyata seperti yang mereka katakan, di halaman yang luas dari sebuah rumah yang besar, terdapat keramaian yang agaknya akan diselenggarakan tontonan pula.

Karena itu, meskipun tontonan yang agaknya akan diselenggarakan di pendapa rumah yang besar itu belum dimulai, namun di halaman rumah itu, bahkan diluar halaman sudah banyak orang berjualan.

“Nah” desis Mahendra, “ternyata doa kita dikabulkan. Ada keramaian dan mungkin tontonan. Tetapi yang penting bukan tontonannya. Tetapi di sekitar tempat tentu terdapat sebuah kedai yang masih terbuka pintunya. Atau tentu ada orang yang berjualan di pinggir jalan. Seandainya kita harus duduk di pinggir jalan, bukankah orang-orang di sekitar tempat ini tidak mengenal kita?”

Empu Sidikara tersenyum. Katanya, “Di masa muda, Ki Mahendra tentu termasuk orang yang senang menempuh perjalanan.”

“Katakanlah bertualang. Aku di masa mudaku memang seorang petualang” berkata Mahendra.

Empu Sidikara tertawa. Namun mereka sudah memperlambat perjalanan mereka dan berhenti tidak jauh dari tempat keramaian.

Ternyata hanya beberapa puluh langkah dari tempat keramaian itu terdapat sebuah kedai yang masih buka atau sengaja membuka pintu justru karena ada keramaian itu. Meskipun kedai itu tidak terlalu besar, tetapi nampaknya cukup bersih dan lengkap.

Mahendra dan Empu Sidikara kemudian telah berhenti di depan kedai itu. Mereka menambatkan kuda mereka dan memasuki kedai yang masih sepi itu.

“Silahkan Ki Sanak” pemilik kedai itu mempersilahkan dengan ramah. Lalu katanya pula, “Kedai ini justru baru saja dibuka karena di depan itu ada keramaian. Daganganku masih utuh, hangat dan barangkali ada yang sesuai dengan selera Ki Sanak.”

Mahendra tersenyum sambil menjawab, “Kami sedang dalam perjalanan. Karena itu, kami merasa lapar. Apapun yang ada, tentu sesuai dengan selera orang kelaparan.”

Pemilik kedai itu tertawa. Katanya, “Sebenarnya aku ingin mendapat penilaian tentang masakanku. Tetapi jika Ki Sanak memang lapar, maka agaknya seperti apapun masakanku tentu terasa enak sekali. Dengan demikian maka penilaian Ki Sanak menjadi kurang wajar.”

Mahendra dan Empu Sidikara tertawa pula. Dengan nada tinggi Empu Sidikara berkata, “Tetapi aku harap lidahku masih juga mampu menilai masakan Ki Sanak. Tetapi sudah tentu ada perhitungan tersendiri sebagai harga penilaianku, karena aku memang seorang ahli menilai masakan.”

Pemilik kedai itu tertawa berkepanjangan. Namun kemudian ia bertanya, “Nah, sekarang Ki Sanak akan memesan apa?”

Mahendra dan Empu Sidikara pun kemudian memesan minuman dan makanan bagi mereka masing-masing.

Ketika pesanan itu disampaikan, maka Mahendra pun bertanya, “ Tontonan apakah yang akan di pagelarkan nanti?”

“Wayang topeng” jawab pemilik kedai itu, “penari-penari itu datang dari Kabuyutan Teleng. Kabuyutan yang terkenal dengan penari-penari topengnya.”

“O” Mahendra mengangguk-angguk, sementara pemilik kedai itu berkata selanjutnya, “rencananya tontonan itu akan berlangsung semalam suntuk.”

Mahendra dan Empu Sidikara mengangguk-angguk. Dengan nada berat Mahendra bertanya, “Apakah di padukuhan ini sering diselenggarakan keramaian dengan tontonan seperti itu?”

“Bukan sering Ki Sanak. Tetapi kadang-kadang orang-orang yang kebetulan memiliki kelebihan uang jika mempunyai keperluan, telah menyelenggarakan keramaian seperti itu.”

Mahendra dan Empu Sidikara mengangguk-angguk. Sementara pemilik kedai itu berkata selanjutnya, “Jika mereka tidak mau menyelenggarakan keramaian, lalu bagaimana nasib para penari topeng? Bukankah mereka seperti juga kita memerlukan makan, pakaian dan papan? Memang ada di antara mereka yang mata pencahariannya sehari-hari adalah bertani. Sedangkan menari hanyalah sekedar kesenangan saja. Tetapi ada di antara mereka yang sedikit banyak mengharapkan bahwa kemampuannya menari itu dapat menunjang kesejahteraan hidup mereka dan keluarga mereka.”

Mahendra dan Empu Sidikara masih saja mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Empu Sidikara berkata, “Tetapi ada saat dua orang penari yang merasa malu untuk menyebut hubungan antara kemampuannya menari dengan imbalan yang diperolehnya.”

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia berkata, “Itu adalah keaneka ragaman sifat dan watak seseorang.”

Mahendra dan Empu Sidikara tidak bertanya lagi. Tetapi mereka mulai menikmati makanan dan minuman yang telah mereka pesan.

Ternyata makanan dan minuman di kedai itu memang cukup memenuhi selera Mahendra dan Empu Sidikara. Bahkan mungkin juga orang-orang lain yang datang ke dalam kedai kecil itu.

Sementara itu, orang yang berkerumun di rumah yang menyelenggarakan keramaian itu menjadi semakin banyak. Gamelan pun mulai dipukul meskipun tontonannya sendiri masih belum mulai.

Namun dalam pada itu, selagi orang-orang yang berkerumun di halaman keramaian itu masih duduk-duduk menyebar karena pertunjukkan masih belum dimulai, tiba-tiba saja telah terjadi kekalutan. Beberapa orang tiba-tiba memasuki halaman rumah itu sambil berteriak-teriak kasar. Dua orang di antaranya naik ke pendapa sambil berteriak, “Berhenti, berhenti.”

Orang-orang yang sedang duduk-duduk di halaman terkejut. Sebagian dari mereka telah menepi. Bahkan ada yang menyingkir.

Mahendra dan Empu Sidikara yang sudah selesai makan, ikut terkejut pula. Kepada pemilik kedai itu Empu Sidikara bertanya, “Apa yang terjadi?”

“Entahlah” jawab pemilik kedai itu sambil melangkah keluar dari kedainya.

Seorang yang menyingkir dari halaman rumah yang menjadi ribut itu lewat di depan kedai itu dengan tergesa-gesa Tetapi pemilik kedai itu menghentikannya dan bertanya, “Apa yang terjadi di halaman rumah itu?”

“Keributan. Ada orang yang tiba-tiba saja berteriak-teriak tidak menentu.” jawab orang itu.

“Kenapa?” bertanya pemilik kedai itu.

“Tidak seorang pun tahu apa sebabnya dan tidak seorang pun tahu siapakah mereka itu” jawab orang yang lewat itu pula.

Namun agaknya orang itu tidak ingin berhenti lebih lama lagi. Ia merasa lebih baik pergi daripada harus mengalami sesuatu di tempat itu.

Pemilik kedai itu memang tidak dapat menahannya. Namun dari depan kedainya ia melihat tempat keramaian itu menjadi semakin ribut. Bahkan orang-orang mulai berlari-larian meninggalkan tempat itu. Terutama perempuan dan anak-anak. Mereka menjadi ketakutan ketika beberapa orang yang memasuki halaman itu berteriak-teriak dengan kasar. Mereka merusak peralatan pertunjukkan, dan bahkan mereka melemparkan gamelan yang sudah mulai ditabuh.

Pemilik kedai itu telah menyeberang jalan dan melihat apa yang terjadi. Tetapi ia tidak sempat mendekat. Bahkan pemilik kedai itu pun telah menjauh pula.

Ketika seorang laki-laki bergeser keluar dari halaman di antara beberapa orang yang lain yang kebetulan telah dikenal oleh pemilik kedai itu, maka ia pun bertanya lagi, “Apa yang terjadi?

Orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak jelas.”

Namun kemudian seorang yang lain yang juga telah dikenalnya berkata, “Orang-orang yang datang itu menjadi marah. Mereka marah justru karena ada keramaian di sini.”

“Kenapa?” bertanya Empu Sidikara yang tiba-tiba saja telah berdiri di belakang pemilik kedai itu.

“Aku tidak jelas” jawab orang itu.

Empu Sidikara termangu-mangu sejenak. Didorong oleh keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi, maka ia pun berkata kepada Mahendra, “Aku akan melihat sebentar.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia pergi bersama anaknya, mereka terhambat karena mereka mencampuri persoalan orang lain. Tetapi justru karena orang lain itu tersangkut pula pada Padepokan Bajra Seta.

Tetapi Mahendra tidak dapat mencegah Empu Sidikara, meskipun sebelum berangkat mereka telah sepakat untuk tidak mencampuri persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.

Bahkan sebelum melangkah Empu Sidikara itu berkata, “Aku tidak akan mencampuri persoalan yang terjadi di rumah itu. Aku hanya ingin tahu.

Mahendra termangu-mangu. Tetapi ia hanya diam saja ketika Empu Sidikara melangkah memasuki halaman itu.

Halaman rumah orang yang sedang menyelenggarakan keramaian itu memang menjadi kacau. Di pendapa gamelan yang sudah diatur rapi menjadi berserakan. Beberapa orang menyeret pemilik rumah itu sambil mengumpat-umpat.

“Kau memang orang yang tidak tahu diri” teriak seseorang yang menyeret pemilik rumah itu, “dalam keadaan seperti ini, kau masih sempat bersuka ria. Menghambur-hamburkan uang untuk keperluan yang tidak berarti.”

“Apa sebenarnya maksud Ki Sanak dan siapakah Ki Sanak itu?” bertanya pemilik rumah itu.

Sebelum orang yang menyeretnya menjawab, maka terdengar jerit seorang perempuan. Ternyata isterinya juga diseret ke pendapa dan kemudian dilemparkannya ke dekat suaminya sehingga jatuh terguling.


Dengan tergesa-gesa suaminya menolongnya sehingga keduanya kemudian duduk di lantai sementara beberapa orang berdiri mengerumuninya.

“Kenapa kalian tidak tanggap akan keadaan?” bentak seorang yang bertubuh tinggi kekar. Berjambang dan berkumis lebat. Rambutnya bergerai terjulur dibawah ikat kepalanya yang dipakainya sekenanya saja.

“Kami tidak tahu maksud Ki Sanak” sahut pemilik rumah itu.

“Gila kau. Apakah aku harus menampar mulutmu?” geram orang bertubuh kekar itu.

“Jangan. Aku hanya bertanya. Jika aku sudah mendapat penjelasan, aku tentu akan melakukannya.”

“Kau adalah gambaran orang-orang yang tidak tahu diri. Penjilat dan pengkhianat.” teriak orang yang bertubuh kekar itu.

“Sebutkan, apakah kesalahan kami” bertanya pemilik rumah itu.

“Kenapa kau hambur-hamburkan uangmu, sementara kami memerlukan uang untuk perjuangan kami yang masih jauh dari selesai.” berkata orang itu.

“Apakah yang kau maksud dengan perjuangan kami?” bertanya pemilik rumah itu.

Tiba-tiba saja kaki orang bertubuh kekar itu menyambar mulut pemilik rumah itu, sehingga orang itu terdorong dan jatuh terlentang. Terdengar orang itu mengaduh, sementara isterinya berusaha menolongnya sambil menangis.

“Jangan kau tangisi suamimu” geram orang bertubuh kekar itu, “jika kau tidak mau diam, maka kaulah yang akan aku bawa.”

Meskipun dadanya menjadi sesak oleh isaknya yang tertahan, namun perempuan itu berusaha untuk tidak menangis lagi.

“Dengar baik-baik” berkata orang bertubuh kekar, “kita sekarang sedang berusaha menegakkan kewibawaan kekuasaan di Kediri. Kita memerlukan dukungan dari segala pihak. Kita semua harus berprihatin. Semua tenaga, harta benda dan pikiran kita harus kita curahkan untuk perjuangan kita yang panjang. Bahkan nyawa kita. Sementara kau bersenang-senang dengan menghambur-hamburkan uang tanpa arti sama sekali.”

“Apa maksudmu dengan menegakkan kewibawaan kekuasaan di Kediri?” bertanya pemilik rumah itu.

“Kau gila” geram orang yang bertubuh kekar itu, sehingga suami isteri pemilik rumah itu menjadi ketakutan, “Kediri harus bangkit untuk menggulingkan kuasa Singasari.”

“Tetapi, tetapi, lingkungan ini bukan telatah Kediri.” desis pemilik rumah itu dengan ragu-ragu.

Sekali lagi kaki orang bertubuh kekar itu menyambar dagu pemilik rumah itu, sehingga sekali lagi orang itu jatuh terlentang. Sementara isterinya tidak lagi berani menangis meskipun ia berusaha membantu suaminya bangkit lagi.

“Katakan sekali lagi. Lehermu akan aku putuskan dengan pedangku ini” geram orang bertubuh kekar itu.

“Maksudku, maksudku, apa yang dapat aku bantu?” bertanya pemilik rumah itu.

“Nah, seharusnya kau bertanya seperti itu” sahut orang bertubuh kekar itu, “karena kau sudah terlanjur menyiapkan sebuah keramaian, maka apaboleh buat. Jika keramaian dan tontonan ini urung, maka orang-orang ang sudah siap untuk menonton, akan menjadi kecewa.” orang itu berhenti sejenak. Lalu katanya, “Karena itu tebus kesalahanmu dengan menyediakan uang sebanyak yang kau pergunakan untuk keramaian ini. Jika tidak, maka aku akan mengambil sendiri uang dan barang-barang perhiasanmu yang nilainya akan lebih banyak dari jika kau sendiri yang mengambilnya dan memberikannya kepadaku.”

Kedua orang suami isteri itu saling berpandangan. Namun orang bertubuh kekar itu membentak, “Cepat, atau aku akan mengambilnya sendiri? Bahkan aku akan mengambil perhiasan yang dipakai oleh isterimu. Tetapi akan lebih mudah jika aku bawa beserta isterimu sama sekali.”

“Jangan, jangan lakukan itu” minta pemilik rumah itu.

“Jika demikian, berikan uang itu.” geram orang itu.

“Baiklah. Kami akan mengambilnya” jawab pemilik rumah itu ketakutan.

“Kau sendiri mengambilnya. Biar isterimu tinggal di sini. Jika kau ingkar, maka isterimu akan pergi bersamaku.” tiba-tiba saja orang itu tertawa berkepanjangan.

Pemilik rumah itu memang tidak dapat berbuat lain. Ia pun segera masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil uang itu.

Empu Sidikara termangu-mangu sejenak. Ia melihat sikap orang-orang yang berada di pendapa itu dengan jantung yang berdebaran. Rasa keadilannya benar-benar tersinggung.

Apalagi jika kemudian pemilik rumah itu keluar dari ruang dalam sambil membawa sekampil uang.

Tanpa menunggu pemilik rumah itu menyerahkan, maka sekampil uang itu pun segera disambar oleh orang bertubuh kekar itu sambil berkata, “Aku tahu, bahwa kau ingin menipu aku. Uang sekian ini tentu tidak akan cukup untuk membeayai keramaian semeriah ini dengan tontonan semalam suntuk. Tetapi kami tidak ingin ribut-ribut lagi. Kami juga tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah menunggu di halaman untuk menonton tari topeng yang sudah dipersiapkan. Karena itu, maka aku terima uang ini apa adanya. Kau boleh melanjutkan rencanamu.”

Pemilik rumah itu tidak dapat menjawab apa-apa. Ia memang harus merelakan uang itu daripada isterinya serta perhiasan yang melekat di tubuh isterinya itu dibawa oleh orang-orang yang tidak dikenal itu. Bagi pemilik rumah itu, uang, perhiasan dan bahkan harta benda akan dapat dicarinya lagi. Tetapi tidak dengan isterinya itu.

Tetapi bagi Empu Sidikara, tingkah laku orang-orang yang mengaku orang Kediri itu tidak dapat diterimanya. Namun ketika ia bergerak selangkah, seseorang telah menggamitnya.

Empu Sidikara yang berpaling itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Mahendra yang tadi ditinggalkannya diluar, ternyata sudah menyusulnya masuk ke halaman pula.

Sebelum Mahendra berkata sesuatu, Empu Sidikara justru sudah mendahului, “Kita sudah berjanji untuk tidak mencampuri persoalan orang lain.”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Ya. kita tidak akan mencampuri persoalan orang lain.”

“Tetapi yang terjadi itu sudah menyinggung rasa keadaanku” jawab Empu Sidikara.

“Aku mengerti Empu. Jika aku minta Empu tidak mencampuri persoalannya, bukan sekedar karena kita sudah berjanji. Tetapi kita juga harus menjaga keselamatan pemilik rumah itu, isterinya dan bahkan orang-orang padukuhan ini?” jawab Mahendra.

Empu Sidikara termangu-mangu sejenak. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Jika kita mencampuri persoalannya, mungkin kita dapat mengurungkan niatnya malam ini. Tetapi bukankah kita tidak selalu berada di padukuhan ini? Bagaimana jadinya jika besok mereka kembali kemari dan berbuat lebih jahat lagi? Barangkali mereka tidak saja mengambil uangnya, tetapi juga isterinya sebagaimana dikatakannya.”

Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ki Mahendra benar. Bagi pemilik rumah itu, maka isterinya dan keselamatan keluarganya tentu lebih berharga daripada uangnya. Karena itu, sebaiknya kita memang tidak mencampuri persoalannya.”

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Apalagi ketika ia melihat orang-orang yang datang membuat gaduh itu sudah mulai melangkah turun dari pendapa sambil membawa uang dalam kampil yang diberikan oleh pemilik rumah itu.

Dalam pada itu Mahendra dan Empu Sidikara telah keluar pula dari halaman dan kembali ke kedai. Sementara itu Mahendra bergumam, “Kita belum membayar harga makanan dan minuman dari kedai itu.”

Tetapi sebelum keduanya masuk ke dalam kedai, maka beberapa orang yang membuat keributan di halaman rumah sebelah telah keluar pula dan melintas di depan kedai itu.

Namun tiba-tiba mereka berhenti beberapa langkah di depan kedai kecil itu. Seorang di antara mereka telah melangkah mendekati dua ekor kuda yang ditambatkan pada patok-patok bambu di depan kedai itu.

Mahendra dan Empu Sidikara menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika orang itu mulai mengusap leher kuda itu.

Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak, “He, siapakah pemilik kedai ini?

Pemilik kedai yang masih berdiri di pinggir jalan itu pun menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ketakutan ia melangkah ke pintu kedai sambil berkata dengan suara bergetar, “Aku, Ki Sanak.”

“Jangan takut” berkata orang itu, “aku tidak mempunyai persoalan dengan kau. Tetapi aku hanya ingin bertanya, siapakah pemilik kuda-kuda ini.”

Jantung pemilik kedai itu menjadi berdebar-debar. Sementara itu orang yang bertubuh kekar itu telah berdiri di dekat kuda-kuda itu pula. Bahkan ia telah membentak dengan lantang, “Siapa pemilik kuda ini, he?”

Sebelum pemilik kedai itu yang ketakutan itu menjawab, Empu Sidikara lah yang menjawab, “Kami Ki Sanak. Kamilah pemilik kedua ekor kuda itu.”

Bahkan kemudian Empu Sidikara itu berpaling kepada Mahendra sambil berkata hampir berbisik, “Bukankah kami tidak sedang mencampuri persoalan orang lain sekarang ini?” Mahendra sempat tersenyum sambil menjawab, “Tidak. Kita tidak sedang mencampuri persoalan orang lain.”

Karena itu maka Empu Sidikara pun segera melangkah maju mendekati kudanya yang nampaknya menarik perhatian.

Orang-orang itu agaknya memang sangat tertarik kepada kuda-kuda itu. Orang yang bertubuh kekar itu berkata, “Ki Sanak. Apakah kuda kalian hanya dua ekor ini?

“Ya” jawab Mahendra, “dua ekor untuk dua orang.”

“Di rumah?” bertanya orang itu.

“Tidak. Kami tidak mempunyai yang lain. Kami bukan orang kaya, sehingga seekor kuda bagi kami masing-masing sudah lebih dari cukup.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Ki Sanak. Sebagaimana aku katakan tadi di rumah seberang jalan, bahwa kita semuanya sedang berjuang. Orang yang sedang mengadakan keramaian dengan tontonan itu telah dengan suka rela menyumbang uang sekampil penuh. Meskipun belum sebanyak beaya keramaiannya, namun sumbangan itu cukup berharga bagi kami. Nah, sekarang, aku berharap Ki Sanak berdua juga bersedia menyumbang bagi perjuangan kami.”

“Apakah kami juga harus menyumbangkan sekampil uang? Ki Sanak, sudah aku katakan, bahwa kami bukan orang-orang kaya.” jawab Mahendra.

“Aku tahu itu” bentak orang bertubuh kekar itu, “Seandainya kau orang kaya sekalipun, kau tentu tidak membawa uang sebanyak itu dalam perjalanan.”

“Jadi maksud Ki Sanak?” bertanya Mahendra.

“Kami membutuhkan kuda-kuda kalian untuk mempercepat gerak kami” jawab orang bertubuh kekar itu.

Tetapi Mahendra menjawab, “Kuda kami hanya dua, sedangkan kalian lebih dari dua orang. Bukankah akan sia-sia saja?”

“Sekarang kami mendapat dua. Besok kami mendapat dua dan besok malam kami mendapat dua lagi.” jawab orang bertubuh kekar itu.

Namun Empu Sidikara justru tertawa. Katanya, “Darimana saja kau dapatkan kuda-kuda itu? Merampas milik orang lain sebagaimana kalian ingin merampas kuda kami?”

Mata orang bertubuh kekar itu terbelalak. Dipandanginya Empu Sidikara dengan tajamnya. Kemudian orang itu pun menggeram, “Tegasnya, aku ingin memiliki kuda kalian. Apapun alasan kami. Bahkan tanpa alasan sekalipun. Kalian tidak mempunyai pilihan. Kalian tidak dapat menolak keinginan kami untuk memiliki kuda kalian, kecuali kalian ingin mati.”

“Dengar Ki Sanak” jawab Mahendra yang masih bernada rendah, “kami bukan orang-orang Kediri sebagaimana kalian. Karena kami mendengar di rumah sebelah, bahwa kalian sedang berjuang bagi Kediri. Tetapi itu ceritera ngayawara. Sekarang tidak ada persoalan apapun yang timbul antara Singasari dan Kediri. Keduanya dapat hidup berdampingan dalam persekutuan yang damai. Memang ada beberapa orang yang tidak puas atas keadaan itu di Kediri. Mereka juga berusaha untuk menumbuhkan kekacauan. Dan itu sama sekali bukan perjuangan.”

“Itu adalah sikap dan pandangan orang Singasari. Tetapi berbeda dengan sikap dan pandangan orang Kediri.” jawab orang bertubuh kekar itu.

“Tetapi apakah benar kau berjuang untuk Kediri sebagaimana yang kau katakan? Aku yakin, seandainya sekelompok orang Kediri yang tidak puas terhadap keadaan dan tatanan pemerintahan dalam hubungannya antara Kediri dan Singasari, caranya tentu tidak seperti yang kau lakukan. Kau tentu memanfaatkan kemelut kecil yang timbul itu untuk mencari keuntungan bagi dirimu sendiri. Kau merampok dengan alasan yang kau buat-buat. Namun dengan demikian, yang akan mendapatkan getahnya adalah orang-orang Kediri.” jawab Mahendra.

“Setan kau” bentak orang bertubuh kekar itu, “siapakah kalian yang berani sesorah di hadapanku?”

“Namaku Mahendra. Aku adalah orang padepokan Bajra Seta. Sekarang, jawab pertanyaanku. Kalian ini siapa?” bertanya Mahendra.

“Siapapun kami, sama sekali bukan soal bagi kalian” jawab orang itu, “tetapi serahkan kuda kalian atau kalian atau kalian menjadi mayat di sini.”

“Yang kalian lakukan itu adalah ciri-ciri perbuatan perampok” Empu Sidikara yang menyahut, “Karena itu, maka kami sama sekali tidak akan merelakan kuda-kuda kami.”

“Apakah kuda-kuda kalian lebih berharga dari nyawa kalian?” bertanya orang itu.

“Bukan begitu Ki Sanak. Nyawa kuda-kudaku lebih berharga dari nyawa kalian” sahut Empu Sidikara.

Orang bertubuh kekar itu menggeram. Katanya, “Setan kalian. Kalian telah membuat kami marah.”

“Bukan maksud kami Ki Sanak” berkata Mahendra, “sebenarnya kami tidak ingin berselisih. Tetapi kami juga tidak ingin kehilangan kuda-kuda kami.”

“Kau orang tua tidak tahu diri. Ditiup angin pun tubuhmu akan roboh. Apakah kau masih akan berkelahi melawan kami.” bertanya orang itu.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Pukat pun selalu memperingatkannya, bahwa ia sudah terlalu tua untuk bertempur. Tetapi apa boleh buat. Ia tidak dapat memberikan kudanya. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia masih memiliki landasan ilmu yang cukup.

Demikianlah, maka Mahendra dan Empu Sidikara tidak dapat mengelak dari pertengkaran yang bahkan mungkin akan terjadi kekerasan karena mereka tidak mau melepaskan kuda mereka. Betapapun mereka berusaha menghindarinya dengan niat tanpa mencampuri persoalan orang lain, namun ternyata persoalan itu datang atas mereka sendiri.

Dalam pada itu, maka orang bertubuh kekar itu berkata kepada dua orang kawannya, “He, dorong orang-orang itu mundur. Aku akan membawa kuda mereka.”

“Jangan” sahut Mahendra.

“Kau tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi jika kau menjadi keras kepala, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Jauh lebih buruk dari pemilik rumah yang sedang mengadakan keramaian itu.” berkata orang bertubuh kekar itu.

Sebelum Mahendra menjawab, dua orang telah mendekati Mahendra dan Empu Sidikara. Dengan garang orang yang kemudian berdiri di hadapan Mahendra itu berkata, “Pergilah. Atau wajahmu akan menjadi pengab?”

“Jangan terlalu garang Ki Sanak” berkata Mahendra, “Kuda-kuda itu adalah kuda-kuda kami. Kalian tidak berhak membawanya. Apalagi aku masih sangat memerlukannya.”

“Persetan dengan orang itu” berkata orang yang bertubuh kekar, “jika ia masih berbicara lagi, sobek saja bibirnya atau rontokkan giginya.”

Tetapi Mahendra ternyata masih menjawab, “Jangan berkata begitu. Apakah kita sama sekali tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai hubungan antara sesama?”

Orang yang berdiri dihadapan Mahendra memang tidak berpikir lebih panjang lagi. Tiba-tiba saja tangannya terayun menampar mulut Mahendra.

Tetapi orang itu menjadi terkejut sekali. Ia tidak tahu apa yang telah membentur tangannya. Tetapi pergelangan tangannya menjadi sakit sekali. Sementara itu telapak tangannya sama sekali tidak menyentuh mulut Mahendra.

“Setan. Apa yang kau lakukan?” bentak orang itu.

“Aku tidak berbuat apa-apa” jawab Mahendra.

Orang itu menjadi marah sekali. Sekali lagi ia mengayunkan tangannya. Jauh lebih keras. Bahkan orang itu mengira bahwa bukan saja wajah Mahendra menjadi pengab, tetapi mungkin justru lehernya akan terputar dengan kerasnya.

Tetapi, orang itu bukan saja terkejut. Tetapi orang itu mengaduh kesakitan. Sekali lagi pergelangan tangannya terasa membentur sesuatu. Lebih keras, sehingga rasa-rasanya tulangnya akan patah.

Tetapi, sementara itu orang yang bertubuh kekar dan seorang kawannya tidak menunggu persoalan itu selesai dengan tuntas. Keduanya dengan serta merta telah meloncat ke atas punggung kuda Mahendra dan Empu Sidikara.

Tetapi, sebelum keduanya melarikan kedua ekor kuda itu, Empu Sidikara ternyata sempat bergerak lebih cepat. Ia sempat memungut dua butir kerikil kecil dan dilemparkannya ke perut kedua ekor kuda itu. Demikian cepatnya sehingga tidak seorang pun sempat berbuat sesuatu.

Kedua ekor kuda itu terkejut. Hampir berbareng keduanya telah meringkik sambil melonjak sehingga kuda-kuda itu berdiri diatas kedua kaki belakangnya. Ketika kemudian kaki depannya kembali menyentuh tanah, maka kedua ekor kuda itu justru melonjak-lonjak. Ternyata Empu Sidikara telah melempar sekali lagi perut kedua ekor kuda itu dengan kerikil kecil.

Kedua orang itu jatuh terbanting di tanah. Sementara itu Mahendra dan Empu Sidikara segera berlari mendapatkan kuda yang sangat gelisah itu. Dengan suara lembut dan usapan perlahan-lahan pada lehernya, maka kuda itu menjadi tenang kembali.

Mahendra dan Empu Sidikara telah menambatkan kembali kuda-kuda itu pada patok di depan kedai itu. Namun keduanya tidak lagi meninggalkan kedua ekor kuda itu.

Orang yang bertubuh kekar dan seorang kawannya yang terjatuh dari punggung kuda itu telah bangkit. Punggung merekalah yang merasa seakan patah karenanya. Namun mereka tidak ingin mengurungkan niatnya untuk mengambil kedua ekor kuda itu. Apalagi orang itu tentu memperhatikan harga diri mereka dihadapan orang banyak.

Karena itu, maka orang bertubuh kekar itu kemudian telah berteriak, “Orang-orang gila. Kalian akan menyesal akan tingkah laku kalian.”

“Bukankah kuda-kuda itu memang tidak ingin mempunyai penunggang yang lain kecuali kami berdua” berkata Empu Sidikara.

“Aku tidak peduli” teriak orang yang bertubuh kekar itu.

“Sekali lagi aku katakan Ki Sanak. Kami tidak akan melepaskan kuda-kuda kami. Sebenarnya kami sudah berjanji ketika kami berangkat, bahwa kami tidak akan berselisih dan tidak akan mencampuri persoalan orang lain di sepanjang perjalanan. Namun agaknya kalian telah memaksa kami untuk berbuat sesuatu. Setidaknya kami harus mempertahankan kuda-kuda kami.”

“Persetan” geram orang bertubuh kekar, “hancurkan orang-orang sombong itu.

Beberapa orang pun segera bergerak mengepung Mahendra dan Empu Sidikara. Jumlah mereka tiba-tiba saja menjadi cukup banyak. Namun Mahendra dan Empu Sidikara yang memiliki ketajaman penglihatan, tidak melihat seorang pun di antara mereka yang harus disegani, meskipun keduanya tidak terbiasa untuk merendahkan orang lain.


Demikianlah ketika orang-orang itu mulai bergerak, Empu Sidikara berkata, “Aku masih ingin memperingatkan kalian sekali lagi. Jangan ganggu kami, atau kami akan membuat kalian menyesali perbuatan kalian. Sudah aku katakan, bahwa kalian tidak dapat menyebut diri kalian berjuang untuk Kediri dengan cara seperti itu. Cara yang kotor. Kalian tentu memanfaatkan keadaan untuk kepentingan kalian sendiri.”

“Cukup” teriak orang bertubuh kekar itu, “bungkam mereka dengan cara yang paling baik. Mereka harus menyadari kesalahan mereka. Sebelum mati mereka harus sempat menyesali kesalahan mereka serta menyesali keterlambatan mereka menyadari kesalahan. Baru kemudian kalian dapat berbuat apa saja atas mereka.”

“Perintahmu berbahaya Ki Sanak” berkata Empu Sidikara, “orang yang menerima perintahmu itu dapat menjadi gila. Tetapi perintahmu itu juga merangsang kami untuk melakukan hal yang sama sebagaimana kau kehendaki.”

“Setan. Kau masih berani mengancam” bentak orang bertubuh kekar itu. Lalu katanya kepada orang-orangnya, “Cepat. Kenapa kalian masih diam saja?”

Dengan perintah itu, maka beberapa orang segera bergerak. Dua orang terdekat telah menyerang Mahendra dan Empu Sidikara. Namun yang terjadi telah mengejutkan kawan-kawannya. Orang yang menyerang Empu Sidikara itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Sementara itu orang yang menyerang Mahendra itu tiba-tiba saja telah terduduk lemah. Mahendra dengan keempat jari-jarinya yang merapat telah menekan paha orang itu. Kemudian dengan kecepatan yang tidak diketahui oleh lawannya, Mahendra menyentuh dua simpul di tengkuknya dengan jari-jarinya. Sehingga dengan demikian, maka tulang-tulang orang itu bagaikan telah dilepas dari kulit dagingnya.

Sementara orang itu terduduk lemah, maka kawannya tidak lagi mampu bangkit berdiri. Tulang punggungnya serasa menjadi patah karenanya.

Karena itu, ketika ia berusaha untuk dengan serta merta bangkit berdiri, maka orang itu telah terjatuh kembali sambil menyeringai menahan sakit.

“He, kenapa dengan kalian” bentak orang bertubuh kekar itu.

Namun yang didengarnya hanyalah kedua orang itu mengaduh.

Orang bertubuh kekar itu menjadi tidak sabar lagi. Karena itu, maka ia pun segera memberikan isyarat agar orang-orangnya bergerak bersama-sama.

Mahendra dan Empu Sidikara pun melihat orang-orang itu mulai bergerak. Karena itu, keduanya pun telah mengambil jarak pula. Agaknya mereka memang harus melawan orang-orang itu. Betapapun lemahnya seseorang, tetapi jika ia bergerak bersama-sama, maka Mahendra dan Empu Sidikara memang harus berhati-hati.

Ketika kemudian orang bertubuh kekar itu memberikan, aba-aba, maka mereka pun telah menyerang Mahendra dan Empu Sidikara bersama-sama.

Sebenarnyalah bahwa mereka bukannya orang-orang yang tidak berilmu sama sekali. Mereka telah menjelajahi beberapa Pakuwon, Kabuyutan dan apalagi padukuhan-padukuhan. Tentu sudah banyak pengalaman yang mereka dapatkan, sehingga dengan demikian mereka termasuk orang-orang yang berbahaya.

Apalagi nampaknya mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ragu-ragu melakukan kekerasan, sehingga dengan demikian maka Mahendra dan Empu Sidikara harus berhati-hati. Jika perlu, maka keduanya harus dapat bertindak keras menghadapi mereka.

Sebenarnyalah, maka orang-orang itu segera bertempur dengan keras. Berganti-ganti mereka menyerang seperti ombak yang datang menghantam tebing. Namun kadang-kadang mereka datang bersama-sama melanda lawannya dengan kekuatan yang besar.

Tetapi lawan mereka adalah Mahendra dan Empu Sidikara. Meskipun Mahendra nampak sudah menjadi tua. Tetapi ia masih mampu menghadapi lawannya beberapa orang sekaligus.

Setiap ada kesempatan Mahendra berusaha untuk menyentuh bagian-bagian tubuh lawannya yang menentukan. Satu dua orang sempat disentuh tengkuk dan punggungnya di sebelah menyebelah tulang belakang. Dengan demikian, maka tenaga mereka pun menjadi jauh susut.

Karena itulah, maka orang-orang yang mengepung dan bertempur melawan Mahendra tidak lagi mampu bergerak dengan tegar dan sepenuh tenaga. Bahkan ada satu dua yang seakan-akan kehilangan seluruh kekuatannya.

Sentuhan-sentuhan jari Mahendra ternyata sempat menimbulkan kekusutan pada jaringan syaraf lawannya, sehingga dengan demikian sentuhan-sentuhan jari-jari tangan yang kuat sekali itu merupakan senjata yang sangat berbahaya.

Berbeda dengan Mahendra, maka Empu Sidikara telah melepaskan tenaga dalamnya, sehingga kekuatannya seakan-akan menjadi berlipat. Setiap sentuhan tangannya rasa-rasanya dapat meretakkan atau bukan mematahkan tulang-tulang lawannya.

Meskipun demikian pertempuran itu berlangsung juga beberapa lama. Diluar dugaan Mahendra dan Empu Sidikara, ternyata orang-orang yang mengaku orang-orang Kediri itu cukup banyak, sehingga pertempuran itu telah memakan waktu agak lama.

Namun kemudian, ternyata orang-orang itu berusaha untuk menghindar dari arena. Mereka yang masih cukup kuat berusaha untuk membantu kawan-kawan mereka yang menjadi kesakitan atau seakan-akan telah kehilangan tenaga mereka. Namun kepada orang-orang yang terakhir berada di arena, Mahendra berkata, “Ki Sanak. Aku tidak akan memburu kalian. Tetapi aku berpesan, bahwa aku tidak mau bertemu dengan kalian sekali lagi dalam keadaan seperti ini, karena aku akan mengambil tindakan yang lebih keras lagi. Mungkin aku akan melukai kalian, bahkan luka-luka yang parah atau membunuh kalian, karena kalian adalah pemberontak. Sedangkan hukuman bagi pemberontak adalah hukuman yang paling berat.”

Orang-orang itu memang masih sempat mendengar. Namun kemudian mereka pun, berlari-larian meninggalkan Mahendra dan Empu Sidikara.

Untuk beberapa saat tempat itu justru menjadi lengang. Orang-orang yang melihat pertempuran antara dua orang berkuda melawan sekelompok orang kasar itu merasa lebih baik menjauh. Namun, demikian orang-orang kasar itu pergi, beberapa orang telah bergeser mendekat.

“Untunglah, bahwa Ki Sanak bukan orang kebanyakan” desis pemilik kedai, orang yang pertama berani mendekati Mahendra dan Empu Sidikara.

“Kami adalah orang kebanyakan,” jawab Mahendra.

“Tetapi kalian memiliki kelebihan. Kalian telah bertempur dan memenangkan pertempuran melawan sekian banyak orang dalam waktu yang terhitung cepat. Kalian telah menyakiti dan bahkan membuat beberapa orang seakan-akan menjadi lumpuh.”

“Satu kebetulan” desis Mahendra.

Sementara itu, pemilik rumah di seberang yang akan menyelenggarakan keramaian itu mendekat pula. Ia pun kemudian berkata, “Jika saja Ki Sanak tadi menolongku mengusir orang-orang itu, maka uang yang mereka bawa lebih baik aku serahkan kepada Ki Sanak saja.”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Kami melakukannya sama sekali bukan karena uang sekampil itu.”

“Kenapa? Apakah Ki Sanak orang-orang yang sangat kaya sehingga menganggap uang sekampil itu tidak berarti?” bertanya pemilik rumah itu.

Empu Sidikara lah yang menjawab sambil menggeleng, “Tidak Ki Sanak. Kami bukan orang-orang kaya. Kami juga tidak menganggap uang sekampil itu tidak berarti.”

“Jadi kenapa kalian yang berkemampuan tinggi tidak mau membantuku mengusir orang-orang itu.” bertanya orang yang menyelenggarakan keramaian itu. Lalu katanya, “Jika kalian bukan orang kaya, bukankah uang itu akan sangat berarti bagimu. Mungkin untuk membeli kuda lagi atau membeli tanah dan ladang. Atau keperluan-keperluan lain, bagaimanapun juga uang mempunyai pengaruh yang sangat besar.”

“Tetapi uangmu tidak dapat berbuat apa-apa ketiga orang-orang itu datang kepadamu dan menyakitimu?” bertanya Empu Sidikara.

“Jika aku mempunyai kesempatan, aku tentu dapat mengupah orang untuk menjaga agar orang-orang itu tidak berbuat sekehendak hatinya di rumahku.”

“Tetapi kau terlambat dan uang itu tidak berarti apa-apa seandainya orang-orang itu membawa isterimu pergi.”

Pemilik rumah yang sedang menyelenggarakan keramaian itu mengerutkan dahinya. Namun ia menjawab, “Tetapi aku ingin mengetahui alasanmu, kenapa kau tidak melakukannya? Apakah bagimu upah sekampil uang itu kurang? Tetapi jika demikian, kenapa kau akhirnya bertempur juga untuk sekedar mempertahankan dua ekor kuda?”

“Kami tidak membantumu karena kami menganggap bahwa yang dilakukan oleh orang-orang itu sudah pada tempatnya” jawab Empu Sidikara.

“Kenapa. Mereka merampok uangku” orang itu hampir berteriak karena ia mulai menjadi marah.

“Peristiwa ini agar menjadi peringatan bagimu, bahwa uang sama sekali tidak berdaya menghadapi sesuatu yang memang harus terjadi. Juga satu peringatan, bahwa uang itu akan demikian mudahnya hilang. Apakah dirampok orang atau dicuri pencuri atau terbakar atau bencana-bencana yang lain. Jika aku menolongmu dan apalagi menerima upah yang kau berikan kepadaku, maka peringatan itu tidak akan pernah kau terima serta kenyataannya tidak akan pernah kau alami.” jawab Empu Sidikara. Lalu katanya pula, “Aku tidak tahu kehidupanmu sehari-hari. Tetapi menilik sikap dan kata-katamu sekarang ini, maka kau termasuk orang yang gemar sekali menyimpan uang dan menghargai segala sesuatunya dengan uang. Sementara uang itu ternyata kuasanya tidak sebesar yang kau duga.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Empu Sidikara dengan tajamnya. Sementara itu Empu Sidikara berkata, “Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa aku tidak mau membantumu karena aku sendiri mempunyai kepentingan.”

Kepentingan apa?” bertanya orang itu.

Empu Sidikara itu tersenyum. Dengan nada tinggi ia berkata, “Aku telah mengalahkan sekelompok orang yang merampokmu. Karena itu, kau tentu tahu bahwa meskipun kami hanya dua orang, tetapi kami dapat berbuat lebih banyak dari kelompok orang itu.”

Orang yang ingin mengadakan keramaian itu pun menjadi tegang. Sementara Empu Sidikara berkata selanjutnya, “Dengar. Jika orang-orang itu memerlukan dana bagi perjuangannya dan tersinggung melihat kau menyelenggarakan keramaian, maka aku pun tersinggung karena kau menganggap bahwa uang itu segala-galanya. Karena itu, maka aku senang melihat kau dirampok. Seperti aku katakan, kami merasa perlu untuk memberikan peringatan kepadamu. Bahkan aku ingin membakar rumahmu, agar kau tahu bahwa harta bendamu tidak berarti apa-apa.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Sementara Empu Sidikara berkata selanjutnya, “Nah, suruh isteri dan keluargamu keluar dari rumahmu. Para penari dan orang-orang yang sedang mempersiapkan hidangan bagi tamu-tamu terhormatmu.”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya orang itu.

“Membakar rumahmu, kau dengar. Kami berdua memang lebih jahat dari sekelompok orang yang melarikan diri itu. Tetapi kami pun memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari mereka. Siapa yang ingin menghalangi kami, akan kami lemparkan ke dalam api.”

“Tetapi” wajah orang itu menjadi pucat.

“Marilah” berkata Empu Sidikara kepada Mahendra, “kita bakar rumahnya, gamelannya dan semua perabot rumahnya. Semuanya, termasuk orang-orang yang tidak mau keluar.”

“Jangan, jangan. Kami, aku dan keluargaku mohon ampun.” suara orang itu menjadi serak.

Ketika Empu Sidikara melangkah maju, maka orang itu telah bersimpuh di depan Empu Sidikara, “Jangan Ki Sanak. Jangan.”

“Siapa yang, menghalangi aku akan aku bunuh dengan caraku.”

“Jangan Ki Sanak. Apa saja yang akan kau minta. Aku akan memberikannya.” berkata orang itu.

“Sekali lagi kau berkata seperti itu, aku bakar rumahmu dengan kau terikat di dalamnya.” geram Empu Sidikara.

“Jadi, jadi apa yang harus aku lakukan?” bertanya orang itu ketakutan.

Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahendra lah yang kemudian merasa kasihan kepada orang itu. Katanya, “Kau harus minta maaf, bahwa kau telah menghina kami dengan menawarkan upah kepada kami. Kami hanya ingin membuktikan bahwa uangmu bukan segala-galanya. Jika kami membakar rumahmu dengan segala isinya itu akan membuktikan, bahwa kekayaanmu tidak dapat memadamkan api yang akan menelan rumah dan jika perlu kau dan isterimu itu.”

Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Ia kembali dicengkam ketakutan melampaui saat di pendapa rumahnya berdiri beberapa orang yang berwajah keras dan bertingkah laku kasar.

Dengan suara gemetar orang itu pun berkata, “Kami minta maaf. Kami sekeluarga mohon ampun. Kami tidak tahu dengan siapa kami berhadapan.”

“Dengan siapapun kau berhadapan” berkata Mahendra, “kau tidak dapat membanggakan dan bahkan bersandar kepada uang dan harta kekayaanmu.”

“Aku mengerti. Kami sekeluarga mengerti.”

Mahendra pun kemudian menggamit Empu Sidikara sambil berdesis, “Ia akan dapat mati ketakutan.”

Empu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Nah, Ki Sanak. Lain kali berhati-hatilah. Tidak semua orang seperti kau yang menganggap bahwa tumpuan tertinggi untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dalam uang.”

“Ya, ya. Kami mohon, ampun” orang itu seakan-akan menangis, “aku menyesal sekali.”

Empu Sidikara lah yang kemudian berkata, “Ki Sanak. Dengar baik-baik. Jika aku tidak menggagalkan perampokan itu, karena aku mempunyai pertimbangan yang jauh. Justru bagi keselamatanmu. Kegagalan mereka akan dapat membuat mereka semakin mendendam, sedangkan kami hanya sekedar orang lewat. Jika orang itu kembali lagi besok atau lusa, kami tidak akan dapat membantu, sementara orang-orang itu akan menjadi lebih buas lagi. Karena pertimbangan itulah, maka kami lebih baik meninggalkan halaman rumahmu. Tetapi ternyata persoalannya bergeser. Orang-orang itu ingin mendapatkan kuda kami, sehingga kami harus mempertahankannya. Meskipun akhirnya kami berkelahi, namun orang-orang itu tidak mendendam kepadamu. Karena itu, ketika mereka pergi, kami pun tidak ganti merampok uang itu. Meskipun semua orang pada umumnya memerlukan uang, tetapi tidak semua orang menjadi rakus dan menganggap uang adalah puncak dari segala-galanya.”

“Kami mengerti, Ki Sanak. Kami mengerti,” jawab orang itu.

“Baiklah” berkata Empu Sidikara, “jika kau dapat dan mau mengerti, syukurlah. Aku tidak jadi membakar rumahmu, meskipun sepeninggalku kau tentu sudah berubah lagi.”

“Tidak. Tidak. Aku berjanji” jawab orang itu.

Empu Sidikara pun kemudian berkata kepada Mahendra, “Marilah. Kita teruskan perjalanan kita. Sekedar memberi kesempatan kuda-kuda kita beristirahat lebih panjang.”

Mahendra tersenyum. Namun katanya Aku minta diri kepada pemilik kedai itu.”

“Biarlah aku yang menyelesaikannya” berkata Empu Sidikara.

“Bukankah aku yang mengajak Empu menempuh perjalanan ini?” sahut Mahendra.

Empu Sidikara tertawa. Namun ia tidak membantah lagi.

Demikianlah, setelah mereka membayar harga makanan dan minuman di kedai itu, maka keduanya pun telah meloncat ke punggung kuda. Keduanya sempat melambaikan tangannya kepada pemilik rumah yang sedang menyelenggarakan keramaian itu.

Pemilik rumah itu berdiri termangu-mangu. Malam itu terjadi dua peristiwa yang telah mengguncangkan perasaannya. Namun peristiwa itu merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi dirinya. Sekelompok orang yang merampoknya dan dua orang yang tersinggung justru karena ia menawarkan upah bagi mereka.

Orang itu semula memang tidak mengira bahwa ada orang yang tersinggung justru saat ditawarkan uang kepadanya. Bagi orang itu, uang dan kekayaan memang segala-galanya. Dengan uang ia merasa dapat berbuat apa saja. Namun suatu ketika ia memang dihadapkan pada satu kenyataan, bahwa uang justru dapat menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Bahkan hampir saja ia harus menyerahkan isterinya kepada sekelompok orang yang merampok di rumahnya, justru saat ia sedang menyelenggarakan keramaian.

Dengan kepala tunduk orang itu berjalan kembali ke rumahnya. Jika semula ia selalu menengadahkan wajahnya karena ia merasa menjadi orang yang paling kaya di padukuhannya, sedangkan ukuran harga dirinya adalah uang, maka ia merasa dirinya sebagai orang yang berkedudukan paling tinggi di antara tetangga-tetangganya.

Namun rasa-rasanya ia telah terhempas menimpa batu karang. Ternyata ada orang yang sama sekali tidak bergantung pada uang dan mempunyai penilaian tersendiri terhadap orang yang memiliki kekayaan yang melimpah.

Karena itu, maka orang itu pun merasa perlu untuk merenungi kembali jalan hidup yang telah ditempuhnya itu.

Sementara itu, Mahendra dan Empu Sidikara telah meneruskan perjalanan mereka. Ternyata perjalanan mereka tidak lebih cepat dari perjalanan yang pernah ditempuh oleh Mahendra dan Mahisa Pukat sebelumnya.

“Kita sudah menepati rencana kita ketika kita berangkat” berkata Empu Sidikara sambil tersenyum.

“Ya” jawab Mahendra, “kita memang tidak mencampuri persoalan orang lain.”

Empu Sidikara tertawa, katanya, “Tetapi orang lainlah yang mencampuri persoalan kita.”

Keduanya pun tertawa. Sementara itu kuda mereka berpacu di kegelapan malam. Namun karena kedua penunggangnya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan, maka mereka sama sekali tidak mengalami kesulitan. Selain kuda-kuda mereka juga terbiasa menempuh perjalanan dalam segala waktu dan keadaan, kendalinya pun dapat menuntun kuda-kuda itu untuk menginjakkan kakinya di atas jalan yang panjang.

Ternyata keduanya tidak berhenti lagi di perjalanan. Apalagi Padepokan Bajra Seta memang tidak terlalu jauh lagi.

Demikianlah, ketika mereka sampai di Padepokan, maka para cantrik yang bertugas pun telah menjadi terkejut pula. Apalagi ketika mereka melihat bahwa yang datang itu adalah Mahendra dan seorang yang belum mereka kenal.

Demikian keduanya dipersilahkan masuk regol Padepokan, maka seorang cantrik pun telah mencari Mahisa Murti untuk memberitahukan kehadiran mereka.

Tetapi ternyata Mahisa Murti tidak ada di biliknya meskipun malam telah larut. Namun cantrik itu sudah tahu kebiasaan Mahisa Murti. Jika di malam hari ia tidak sedang bepergian tetapi tidak ada di dalam biliknya, maka ia tentu berada di sanggar.

Sebenarnyalah, bahwa cantrik itu telah menemukan Mahisa Murti sedang berada di sanggar. Sendiri.

Agaknya Mahisa Murti sedang beristirahat, karena ia tidak sedang berlatih. Tetapi Mahisa Murti justru sedang duduk di sudut sanggar dengan lampu yang hanya remang-remang.

Namun ketika cantrik itu mendekatinya, maka nampak keringat membasahi seluruh tubuh Mahisa Murti.


“Ada apa?” bertanya Mahisa Murti kepada cantrik itu.

“Ada tamu diluar. Ki Mahendra dengan seorang yang belum kami kenal” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya, “Apakah ayah tidak menyebut nama orang itu?”

“Tidak” jawab cantrik itu.

“Baiklah” berkata Mahisa Murti, “persilahkan mereka duduk. Siapkan hidangan. Minum dan makan. Mereka tentu telah menempuh perjalanan yang melelahkan. Demikian pula kuda-kuda mereka.”

Mahisa Murti berhenti sejenak. Lalu, “Aku akan membenahi pakaianku sebentar.”

Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti pun telah melangkah ke bangunan induk Padepokan Bajra Seta. Di sepanjang langkahnya, Mahisa Murti masih saja bertanya-tanya, siapakah kawan ayahnya itu. Namun yang lebih menarik perhatiannya, apakah keperluan mereka datang ke Padepokan.”

Ketika Mahisa Murti memasuki pendapa di bangunan induk Padepokan Bajra Seta, maka ia pun segera melihat bahwa ayahnya memang datang dengan membawa seorang kawan.

“Kenapa ayah tidak datang bersama Mahisa Pukat?” pertanyaan itu telah mengusik hatinya. Bahkan sebuah pertanyaan yang lain telah muncul pula, “Apakah sesuatu terjadi dengan Mahisa Pukat?”

Ketika kemudian Mahendra dan Empu Sidikara mengangkat wajahnya, maka barulah Mahisa Murti sempat memandang wajah itu. Karena itu, maka dengan serta merta ia pun berdesis, “Empu Sidikara.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti pun telah menyambut tamunya dengan akrab. Setelah menanyakan keselamatan ayahnya dan Empu Sidikara selama perjalanan, maka Mahisa Murti pun bertanya, “Kenapa ayah tidak mengajak Mahisa Pukat?”

“Mahisa Pukat sedang sibuk dengan tugasnya” jawab Mahendra.

“Tetapi seharusnya ia dapat minta ijin barang satu dua hari untuk mengantarkan ayah betapapun sibuknya” berkata Mahisa Murti

“Akulah yang salah” Empu Sidikara memotong pembicaraan itu, “karena keinginanku pergi ke Padepokan Bajra Seta, maka aku telah minta agar Mahisa Pukat melakukan tugas rangkap di Kesatrian, sementara aku pergi bersama Ki Mahendra ke Padepokan Bajra Seta.”

Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Sedangkan Empu Sidikara berkata selanjutnya, “Pangeran Kuda Pratama berkeberatan jika kami berdua bersama-sama minta ijin meninggalkan Kesatrian. Karena aku mendesak terus, akhirnya Mahisa Pukat lah yang mengalah. Akulah yang pergi ke Padepokan Bajra Seta.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mahendra hanya tersenyum saja.

Namun akhirnya Mahisa Murti bertanya pula, “Kenapa baru setelah malam larut ayah dan Empu Sidikara baru datang, seperti ketika ayah menempuh perjalanan ini bersama Mahisa Pukat?”

Mahendra tersenyum. Katanya, “perjalanan kami sedikit terhalang. Sejak kami berangkat, kami sudah berjanji untuk tidak mencampuri persoalan orang lain, agar perjalanan kita tidak menemui hambatan. Tetapi ternyata orang lainlah yang telah mencampuri persoalan kami.”

“Maksud ayah?” bertanya Mahisa Murti.

Mahendra pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di perjalanan. Meskipun tidak seberat saat Mahendra itu datang ke Padepokan Bajra Seta bersama Mahisa Pukat, namun apa yang terjadi di perjalanan itu, telah merampas banyak waktu pula.

Mahisa Murti pun tersenyum. Katanya, “Syukurlah, bagaimanapun juga peristiwa seperti itu merupakan hambatan yang harus diatasi juga.”

Mahendra dan Empu Sidikara tidak menjawab karena seorang cantrik telah naik keluar membawa hidangan. Minuman hangat dan makanan.

“Makan sedang disiapkan” berkata Mahisa Murti.

Demikianlah, setelah minum minuman hangat serta makan beberapa potong makanan, maka Mahendra dan Empu Sidikara pun telah pergi ke pakiwan serta membenahi dirinya. Baru kemudian mereka dipersilahkan untuk makan di ruang dalam.

“Sebenarnya kami tidak terlalu lapar” berkata Mahendra, “lewat senja kami singgah untuk makan. Tetapi kemudian terjadi peristiwa itu.”

“Jika demikian, maka ayah dan Empu Sidikara tentu menjadi lapar lagi” berkata Mahisa Murti.

Mahendra dan Empu Sidikara tertawa. Namun mereka pun kemudian telah makan pula dengan lahapnya.

Dalam pada itu, setelah mereka selesai makan dan beristirahat sejenak, maka Mahisa Murti pun mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam bilik yang sudah disediakan. Meskipun Mahisa Murti mengetahui, bahwa kedatangan ayahnya tentu membawa persoalan yang penting, namun Mahisa Murti tidak ingin membuat ayahnya menjadi terlalu letih.

Mahendra juga tidak ingin tergesa-gesa mengatakan keperluannya. Ia ingin mengatur perasaannya, sehingga apa yang akan dikatakannya menjadi lebih mapan.

Baru di hari berikutnya, setelah mereka makan pagi, maka Mahendra pun berkata, “Mahisa Murti. Ada sesuatu yang akan aku sampaikan kepadamu. Tidak terlalu penting, tetapi sebaiknya memang kau ketahui.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahendra pun berkata, “Aku membawa kabar tentang Mahisa Pukat.”

Sebenarnyalah Mahisa Murti sudah menduga. Karena itulah maka ayahnya telah datang tidak bersama Mahisa Pukat itu sendiri.

“Pembicaraanku dengan Arya Kuda Cemani tentang hubungan antara Mahisa Pukat dengan Sasi telah maju selangkah lagi” berkata Mahendra.

“O” Mahisa Murti mengangguk-angguk.

“Kami telah mendapat kesepakatan, kapan Mahisa Pukat dan Sasi akan menikah.” berkata Mahendra pula.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Syukurlah. Dengan demikian, maka tataran pertama hubungan antara Mahisa Pukat dan Sasi akan terselesaikan.”

“Ya” jawab Mahendra. Namun dengan penglihatan mata hatinya, Mahendra melihat bahwa luka di hati Mahisa Murti itu terasa nyeri kembali. Namun Mahendra percaya, bahwa daya tahan Mahisa Murti cukup kuat untuk mengatasinya.

“Jadi sebulan lagi. Kita harus melakukan persiapan sebaik-baiknya. Sri Maharaja secara pribadi menyatakan merestui pernikahan itu.”

“Sri Maharaja?” bertanya Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk. Baru kemudian ia berkata

“Sebenarnya aku belum pernah menyampaikan langsung hal itu kepada Sri Maharaja. Aku tidak tahu, darimana Sri Maharaja mengetahui bahwa Mahisa Pukat, Pelayan Dalam yang bertugas di Kesatrian, tetapi yang juga guru dari para Kesatria Singasari, akan segera menikah. Apalagi Pelayan Dalam itu adalah anakku, sedang bakal isterinya adalah anak seorang Senapati dari Pasukan Sandi di Singasari.”

“Aku ikut merasa berbangga, ayah” jawab Mahisa Murti.

Nada suara memang merendah. Namun terasa bahwa kata-kata itu diucapkannya dengan tulus.

“Nah” berkata Mahendra, “tentu saja kami yang ada di Singasari menginginkan agar kau berada di Singasari saat itu.”

“Tentu ayah” jawab Mahisa Murti, “aku akan berada di Singasari.”

“Bawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Namun Wantilan terpaksa tidak dapat hadir dalam upacara itu, karena salah seorang di antara kalian harus tetap berada di padepokan.”

“Ya, ayah. Paman Wantilan akan aku minta untuk tetap berada di padepokan. Selain paman Wantilan sudah ada dua orang cantrik yang dapat dipercaya. Cantrik itu cukup cerdas, rajin dan landasan ilmunya yang cukup.”

“Syukurlah” jawab Mahendra, “dengan demikian maka aku akan dapat tenang berada di Singasari.”

“Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak dapat berlama-lama berada di Singasari. Kami akan datang ke Singasari sepekan sebelum hari pernikahan dan sampai sepekan sesudahnya. Itu sudah berarti sepuluh hari, ayah.”

“Aku mengerti Mahisa Murti. Aku kira waktu yang kau sediakan itu sudah cukup” berkata Mahendra.

Mahisa Murti mengangguk-angguk, sedangkan Empu Sidikara lebih banyak berdiam diri sambil mendengarkan, karena persoalan yang dibicarakan itu adalah persoalan keluarga.

Baru kemudian setelah pembicaraan tentang hari-hari pernikahan Mahisa Pukat selesai, pembicaraan mereka mulai merambat ke berbagai soal. Empu Sidikara pun mulai ikut berbicara pula. Bahkan kemudian pembicaraan mereka sampai pada kegiatan para cantrik serta waktu-waktu mereka berlatih.

“Mereka berlatih sambil bekerja” berkata Mahisa Murti. “dengan demikian mereka akan mendapatkan pengetahuan yang mendekati kebutuhan bagi mereka kelak. Mereka tidak hanya mempelajari ilmu kanuragan. Tetapi juga bagaimana mereka dapat menjadi seorang petani yang baik. Seorang pande besi yang baik. Seorang pedagang yang baik, serta berbagai macam pengetahuan yang lain yang akan berarti bagi mereka kelak jika mereka menempuh kehidupan yang sebenarnya.”

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun telah mempersilahkan Empu Sidikara untuk melihat-lihat seisi Padepokan Bajra Seta. Mula-mula mereka melihat-lihat sanggar terbuka dan sanggar tertutup. Beberapa orang cantrik sedang berlatih di kedua sanggar itu. Mereka memang mempergunakan alat-alat yang sederhana. Namun dengan alat-alat yang sederhana itu para cantrik itu justru mendapat tempaan yang cukup berat. Selain mempelajari unsur-unsur gerak, berlatih mempergunakan berbagai jenis senjata, mereka pun telah dilatih untuk dengan cepat menentukan langkah-langkah yang terbaik untuk mengatasi satu kesulitan. Mereka tidak terbiasa mempergunakan alat atau senjata yang lengkap dan seakan-akan tinggal memakainya. Tetapi para cantrik di Padepokan Bajra Seta harus siap untuk mengatasi kesulitan yang timbul dengan alat dan senjata sesuai dengan apa yang ada.

Di sanggar terbuka, Empu Sidikara menyaksikan para cantrik itu menempa kewadagan mereka dengan alat-alat yang sederhana pula, namun yang sangat berarti. Para cantrik yang berlatih di sanggar terbuka itu menunjukkan bahwa mereka tidak saja asal melakukan latihan dengan menggerakkan tubuh mereka. Tetapi Empu Sidikara yang juga mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas itu, melihat, bahwa segala sesuatunya berlangsung dengan tertib. Para cantrik tertua yang ditunjuk oleh Mahisa Murti untuk memberikan latihan kepada para cantrik yang lebih muda, agaknya lebih menguasai pengetahuan tentang penguasaan tubuh, sehingga dengan demikian, maka mereka pun mampu melakukan urut-urutan latihan yang baik yang tidak justru merusakkan tubuh mereka.

Mereka berlatih untuk meningkatkan ketrampilan, kecepatan gerak, daya tahan dan penguasaan tubuh sepenuhnya. Kemudian berlatih dengan sungguh-sungguh untuk mengatur pernafasan yang sebaik-baiknya agar dapat memberikan manfaat yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemungkinan yang sedang dihadapi.

Ketika kemudian mereka meninggalkan sanggar dan melihat-lihat bagian lain dari Padepokan Bajra Seta, maka Empu Sidikara itu pun sempat melihat bangunan-bangunan khusus tempat para cantrik bekerja. Di sebuah sudut, Empu Sidikara menyaksikan beberapa bangunan yang dipergunakan oleh para cantrik untuk mengerjakan pekerjaan besi dan baja. Beberapa orang cantrik yang bekerja sebagai pande besi sedang melakukan tugas mereka. Mereka sedang menempa besi untuk membuat alat-alat pertanian.

Dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata, “Tidak semuanya mereka adalah cantrik Padepokan Bajra Seta.”

“Maksudmu?” bertanya Empu Sidikara.

“Ada di antara mereka adalah anak-anak muda dari padukuhan sebelah. Mereka datang untuk menyadap pengetahuan tertentu. Antara lain sebagai pande besi.”

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Ia memang merasa kagum terhadap kegiatan yang dilihatnya di Padepokan Bajra Seta. Ternyata bahwa kegiatan padepokan itu tidak saja sekedar berarti bagi Padepokan Bajra Seta sendiri, tetapi juga berarti bagi padukuhan-padukuhan dan bahkan Kabuyutan-kabuyutan di sekitarnya.

Dengan nada dalam ia berkata, “Menarik sekali.”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “mereka akan dapat memanfaatkan ilmu dan pengetahuan mereka di padukuhan mereka masing-masing.”

“Kegiatan yang jarang sekali dilakukan di padepokan-padepokan yang lain.” desis Empu Sidikara.

“Dengan ketrampilan itu, anak-anak muda di padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah Padepokan Bajra Seta mempunyai bekal untuk berbuat sesuatu. Mereka yang tanahnya sempit tidak lagi menggantungkan hidupnya pada tanah yang akan terbagi habis di antara saudara-saudaranya. Apalagi mereka yang anaknya terlalu banyak. Anak-anak muda itu juga tidak akan bergantung pada kesempatan untuk bekerja menjadi bebahu Kabuyutan atau bebahu padukuhan atau petugas-petugas lain yang ditetapkan oleh padukuhan atau Kabuyutan. Tetapi mereka akan dapat mandiri. Mereka dapat memanfaatkan ketrampilannya untuk mendapatkan nafkahnya, tanpa menggantungkan diri kepada orang lain.”

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Sementara itu segera teringat anak anak-anak muda yang berada di Kesatrian. Mereka berada dalam satu lingkungan yang berbeda. Namun agaknya Mahisa Pukat telah membuat perubahan-perubahan meskipun perlahan-lahan. Para penghuni Kesatrian telah diperkenalkannya dengan alam terbuka.

Para Kesatria itu mulai melihat kehidupan di luar istana. Para petani yang bekerja keras, para pedagang yang harus tangkas berpikir menghadapi setiap gejolak pasar, para pande besi yang berlimbah peluh serta berbagai macam kehidupan yang jauh berbeda dari suasana kehidupan di istana.

Ketika kemudian mereka kembali ke pendapa bangunan induk Padepokan Bajra Seta, maka Empu Sidikara itu pun berkata, “Padepokan ini merupakan satu dunia tersendiri dengan aneka ragam kegiatan. Tetapi dalam keseluruhan, Padepokan Bajra Seta adalah satu sanggar raksasa yang menempa berbagai jenis ilmu, kemampuan dan ketrampilan serta pengetahuan.”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Sebaiknya memang bukan aku yang mengucapkannya. Jika aku yang mengatakannya, maka aku adalah seorang yang sangat sombong. Namun sekarang Empu Sidikara yang sempat melihatnya dan sempat mengatakannya.”

“Ya. Jika aku mengatakannya, bukan karena aku berada di hadapan Ki Mahendra dan angger Mahisa Murti. Tetapi aku menilai dengan jujur dan menurut pendapatku, kenyataannya adalah memang demikian” berkata Empu Sidikara.

“Terima kasih” sahut Mahisa Murti, “namun apa yang kami miliki adalah sangat sederhana sekali. Dengan demikian, maka apa yang dapat kami tabur pada padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta memang terlalu sedikit.”

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kedudukan Padepokan Bajra Seta bagi orang-orang di sekitarnya menjadi lebih penting dari Kesatrian di Singasari. Untunglah bahwa angger Mahisa Pukat hadir di Kesatrian sehingga perlahan-lahan telah melakukan beberapa perubahan atau katakan pembaharuan. Tetapi tentu saja kesempatan yang dimilikinya sangat terbatas. Angger Mahisa Pukat tidak akan dapat melanggar paugeran-paugeran yang masih dipegang kuat di Istana Singasari. Namun bahwa para kesatria itu sempat melihat kenyataan di luar istana itu sudah merupakan satu hal yang sangat berarti. Ternyata ada di antara para Kesatria itu tertarik untuk memperhatikan kehidupan yang berat dan keras di luar istana.”

“Syukurlah” berkata Mahisa Murti, “mudah-mudahan para kesatria itu akan menjadi semakin dekat dengan rakyatnya dengan segala kenyataan hidup mereka.”

“Jika angger Mahisa Pukat mempunyai kesempatan yang panjang di Kesatrian, maka agaknya ia akan dapat melakukannya dalam keterbatasannya” desis Empu Sidikara.

Dalam pada itu Mahendra pun berkata, “Seharusnya dengan peralatan yang ada di Kesatrian, para kesatrian itu dapat berbuat lebih banyak bagi lingkungannya. Tetapi paugeran yang ada memang tidak memungkinkannya.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia pun dapat mengerti bahwa ada batas antara seisi istana dengan lingkungan di luar istana. Karena itu, betapapun ada keinginan untuk melakukannya, namun Mahisa Pukat tentu tidak akan berbuat terlalu banyak.

Dalam pada itu, apa yang dilihat Empu Sidikara ternyata sangat berkesan di hatinya. Ia memang menjadi kagum melihat ketegaran Mahisa Murti memimpin Padepokan Bajra Seta yang besar. Apalagi Mahisa Murti adalah seorang anak muda yang masih sedang tumbuh, sehingga masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan.

Di mata Empu Sidikara, maka kesempatan yang ada di depan Mahisa Murti memang berbeda dengan kesempatan yang dihadapi oleh Mahisa Pukat. Meskipun kedua-duanya akan dapat menginjak jenjang yang lebih tinggi, namun bidang mereka sangat berbeda. Semakin tinggi jenjang yang mereka injak maka jarak keduanya akan menjadi semakin jauh.

“Apalagi jika Ki Mahendra yang menjadi pengikat di antara keduanya sudah tidak ada lagi. Maka dari hari ke hari, maka dinding yang membatasi kedua orang anak muda itu seakan-akan menjadi semakin tinggi,” berkata Empu Sidikara di dalam hatinya.

Namun, Empu Sidikara itu masih melihat bahwa kedua bersaudara itu mempunyai ikatan batin yang sangat kuat. Ia masih berharap agar ikatan yang ada itu dapat selalu dipelihara dan dikembangkan dimana pun mereka masing-masing berada. Meskipun jalan mereka berbeda, namun jika masing-masing sudah memilihnya, maka tidak akan ada perasaan saling bersaing. Meskipun jarak mereka menjadi semakin jauh, tetapi ikatan batin yang ada di antara mereka akan tetap menjalin hubungan di antara mereka.

Tetapi satu hal yang tidak diketahui oleh Empu Sidikara, bahwa Mahisa Murti pernah menyingkir dari satu benturan kepentingan yang sama tanpa sepengetahuan Mahisa Pukat.

Demikianlah, di saat Empu Sidikara berada di Padepokan Bajra Seta, maka tidak jemu-jemunya ia melihat kerja yang dilakukan oleh para cantrik di sela-sela latihan olah kanuragan. Jika para kesatria di Kesatrian Singasari harus juga menuntut pengetahuan tentang berbagai macam ilmu, termasuk ilmu bintang, kesusasteraan dan ilmu pemerintahan, maka para cantrik itu di samping mempelajari berbagai macam ilmu, namun mereka juga langsung melakukannya di lapangan. Mereka langsung turun dalam kerja sehingga apa yang mereka pelajari itu akan dapat diuji pelaksanaannya.

Namun, Empu Sidikara yang termasuk salah seorang guru di Kesatrian berkata di dalam hatinya, “Tetapi kebutuhan dari para kesatria itu memang jauh berbeda dari kebutuhan para cantrik.”

Karena itu, maka ia pun menyadari, apa yang dapat ditrapkan di Padepokan Bajra Seta, belum tentu dapat ditrapkan di Kesatrian. Dan hal ini agaknya juga disadari oleh Mahisa Pukat, sehingga jika ia mulai melakukan perubahan-perubahan, maka ia harus menilai setiap rencananya, apakah hal itu sesuai dengan kebutuhan para kesatria Singasari. Bahkan Mahisa Pukat pun harus mempertimbangkan kepentingan orang-orang, lain yang memberikan tuntunan tentang berbagai macam ilmu selain olah kanuragan bagi para kesatria itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar