Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 109

Tetapi penghuni Kesatrian yang lain, yang tanpa mereka sadari telah terentang jarak dengan kedua remaja itu, justru telah mentertawakan ceritera itu. Katanya, “Kalian bermimpi di siang hari. Orang yang dikalahkan oleh Pelayan Dalam itu mungkin sebangsa pencuri ayam yang sedang mabuk. Sementara itu, kau telah membual bahwa seseorang mampu meruntuhkan tebing-tebing padas di pegunungan.”

“Aku tidak membual. Aku melihat sendiri” jawab salah seorang dari kedua remaja itu.

“Kau melihat di dalam mimpimu” jawab seorang anak muda sambil mendorong dahi remaja itu.

Remaja, murid Mahisa Pukat itu menjadi marah. Katanya, “jangan berbuat sesuka hatimu. Kau kira kepalaku harganya sama dengan tumitmu?”

Anak muda yang mendorong dahi remaja itu justru tertawa. Justru sekali lagi ia mendorong dahi anak itu dengan jari-jarinya sambil berkata, “He, kau mau marah?”

Remaja itu menepis tangan yang mendorong dahinya itu. Tetapi agaknya tangannya mendorong terlalu keras, sehingga anak muda yang mendorong dahinya itulah yang kemudian marah, “Kau sakiti tanganku.” Tetapi remaja itu menjawab, “Kau rendahkan kepalaku.”

“Kau mau apa?” bentak anak muda itu.

“Aku tidak mau. Aku tidak membiarkan kepalaku kau sentuh seperti itu” remaja itu pun membentak pula.

“Aku tidak peduli. Aku ingin bukan saja menyentuh dahimu, tetapi meremas rambutmu.” anak muda itu benar-benar mengulurkan tangannya untuk menggapai kepala remaja itu. Tetapi remaja itu bergeser surut. Sekali lagi tangannya menepis. Justru lebih keras sehingga anak muda itu benar-benar kesakitan.

Anak muda itu benar-benar marah. Tangannya tiba-tiba saja terayun ke wajah remaja yang menolak diremas rambutnya itu.

Remaja yang seorang lagi terkejut melihat ayunan tangan itu. Rasa-rasanya ia ingin meloncat menahan tangan itu. Tetapi ternyata bahwa tangan itu tidak mengenai sasarannya. Remaja yang diserang wajahnya itu dengan cepat bergeser mundur. Seakan-akan ia bergerak begitu saja diluar sadarnya.

Anak muda yang mengayunkan tangannya tetapi tidak mengenainya justru menjadi semakin marah. Apalagi ketika para bangsawan muda yang tinggal di Kesatrian dan melihat peristiwa itu tertawa hampir serentak. Karena itu maka hati bangsawan muda itu menjadi semakin panas.

Tetapi sebaliknya, remaja yang merasa direndahkan itu pun menjadi marah pula. Meskipun ia sadar bahwa anak muda itu lebih besar daripadanya, tetapi kemarahannya serta harga dirinya mendorongnya untuk melawan.

Anak-anak muda yang lain sama sekali tidak berusaha untuk melerainya. Mereka justru bertepuk tangan dan memanasi suasana agar keduanya benar-benar berkelahi meskipun sama sekali tidak seimbang. Bahkan seorang anak muda berteriak, “Pukul saja anak itu. Pukul mulutnya agar tidak dapat membual lagi.”

Anak muda yang marah itu memang mencoba sekali lagi memukul mulut remaja itu. Tetapi remaja yang tidak mau diinjak harga dirinya itu sudah siap untuk melawannya.

Yang tidak diharapkan memang terjadi. Dipanas-panasi oleh anak-anak muda yang lain, maka keduanya benar-benar telah berkelahi meskipun tidak seimbang.

Remaja yang seorang lagi tidak sempat untuk mencegah saudaranya yang berkelahi itu. Ia hanya dapat memperhatikan dengan tegang. Namun ia pun telah bersiap jika terjadi kecurangan dalam perkelahian itu.

Tidak seorang pun dapat mengatakan, kenapa kedua orang remaja itu sama sekali tidak menjadi ketakutan menghadapi anak-anak muda yang lebih besar dan lebih banyak itu.

Bahkan kedua orang remaja itu sendiri tidak menyadari bahwa hal itu merupakan salah satu akibat dari tempaan lahir dan batin yang diberikan tidak secara langsung oleh Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka kedua orang yang tidak sama besar itu telah berkelahi. Semula anak-anak muda yang bertepuk dan bersorak-sorak itu sama sekali tidak memperhatikan apa yang telah terjadi. Mereka memang ingin remaja itu menjadi jera untuk membual dan menyombongkan diri.

Tetapi yang terjadi kemudian membuat mereka menjadi berdebar-debar. Tepuk tangan dan sorak itu semakin lama menjadi semakin merendah dan akhirnya hampir berhenti sama sekali.

Yang mereka lihat adalah, anak muda yang jauh lebih besar itu segera mengalami kesulitan.

Para bangsawan muda itu memang menjadi tegang. Untuk beberapa saat mereka tidak yakin akan penglihatan mereka. Sebagian dari mereka mengira bahwa anak muda itu masih belum bersungguh-sungguh, sehingga ia nampak seakan-akan terdesak.

Bangsawan muda itu memang menjadi sangat marah ketika serangan anak itu mampu mengenai tubuhnya, bahkan telah mendorongnya beberapa langkah surut. Karena itu, maka ia pun telah menghentakkan kemampuannya. Ia tidak mau dipermalukan dihadapan saudara-saudaranya yang menghuni Kesatrian itu.

Dalam pada itu, maka serangan-serangannya yang datang beruntun memang sekali-sekali mampu mengenai lawannya yang masih remaja itu. Bahkan anak itu sekali terlempar dan jatuh berguling. Tetapi anak itu segera melenting bangkit dan siap untuk berkelahi lagi.

Remaja itu memang menjadi liat. Meskipun ia baru menguasai unsur-unsur gerak yang sederhana dan dasar-dasarnya saja, tetapi karena tubuhnya yang ditempa dalam lingkungan alam yang luas, maka tubuh kecilnya itu seakan-akan menjadi sangat liat dan kuat dibanding dengan remaja sebayanya.

Kebiasaannya memperhatikan berbagai macam binatang membuatnya seakan-akan dengan gerak naluriah menirukannya.

Itulah sebabnya, maka bangsawan remaja itu justru mampu mengimbangi saudaranya yang sudah lebih tua.

Perkelahian itu ternyata berlangsung cukup lama. Bangsawan yang lebih tua itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan bangsawan yang lebih muda itu semakin sering mengenai sasarannya. Bahkan kening bangsawan muda itu mulai membiru. Pipinya menjadi lembab dan dadanya serasa menjadi sesak. Beberapa kali kaki anak yang masih sangat muda itu sempat mengenai dadanya.

Para bangsawan muda yang ada di Kesatrian itu memang menjadi heran. Bahkan Sawung Kemara yang juga melihat perkelahian itu menjadi heran. Ia sama sekali tidak mengira bahwa remaja yang menjadi murid Mahisa Pukat, yang dianggap terbelakang itu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi saudara-saudaranya yang lebih tua.

Bahkan, ternyata anak itu bukan saja mampu mengimbangi. Dengan unsur gerak yang sederhana itu nampaknya anak itu cukup mapan menghadapi saudaranya yang lebih besar dan lebih tua yang berlatih di bawah seorang guru yang dianggapnya lebih baik dari Pelayan Dalam itu.

Para bangsawan muda yang kemudian diam mematung itu mulai digelitik oleh perasaan mereka. Mereka pun merasa tersinggung atas kekalahan saudaranya terutama yang seperguruan.

Apalagi mereka merasa lebih besar dan lebih tua. Bahkan lebih dahulu berlatih olah kanuragan.

Semula mereka memang merasa segan untuk berbuat sesuatu terhadap anak-anak yang masih lebih kecil dari mereka. Tetapi semakin lama bangsawan muda itu semakin mengalami kesulitan.

Tetapi dalam pada itu, bangsawan yang masih remaja yang seorang lagi itu pun telah bersiap pula. Jika seorang yang lain mengganggu perkelahian itu, maka ia pun akan segera melibatkan diri apapun yang akan terjadi. Bahkan seandainya bangsawan-bangsawan muda yang lebih besar itu akan mengeroyoknya beramai-ramai.

Namun ketika anak-anak muda itu mulai bergerak, sementara remaja yang seorang lagi telah melangkah maju, maka dua orang Pelayan Dalam yang bertugas dan kebetulan berkeliling Kesatrian telah melihat perkelahian itu. Bergegas mereka mendatangi. Semula mereka mengira bahwa bangsawan-bangsawan muda penghuni Kesatrian itu sedang berlatih. Tetapi ternyata mereka benar-benar berkelahi di antara mereka.

Karena itu, maka dengan cemas kedua Pelayan Dalam itu berusaha untuk melerai, sementara bangsawan muda yang sedang berkelahi itu seakan-akan sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mempertahankan diri.

“Cukup, cukup” cegah salah seorang Pelayan Dalam, sementara kawannya berusaha untuk mendorong mereka yang sedang berkelahi itu saling menjauhkan diri.

“Kalian tidak boleh berkelahi” berkata Pelayan Dalam itu.

“Bukan salahku” sahut remaja itu.

“Ia yang bersalah” seorang bangsawan muda menyahut.

“Siapapun yang bersalah, tetapi Raden tidak boleh berkelahi di antara kalian.” berkata Pelayan Dalam itu.

Para bangsawan muda itu termangu-mangu sejenak. Seandainya mereka belum tahu bahwa para Pelayan Dalam itu juga memiliki kemampuan bertempur yang tinggi sebagaimana para prajurit, maka mereka tentu tidak mendengarkan kata-kata mereka. Apalagi ketika Pelayan Dalam itu berkata, “Kami adalah petugas-petugas yang mendapat wewenang. Baik karena tugas dan kedudukan kami maupun wewenang dari Pangeran Kuda Pratama. Karena itu, kami mohon, perkelahian ini dihentikan.”

“Ia sudah menghina aku” berkata remaja yang berkelahi itu.

“Sudah, sudah” cegah Pelayan Dalam itu, “semuanya akan diselesaikan oleh Pangeran Kuda Pratama. Kami akan menghadap dan memberikan laporan tentang perkelahian ini. Raden bersama-sama tentu akan dipanggil menghadap.”

Bangsawan-bangsawan muda itu terdiam. Mereka mulai dapat mempergunakan penalaran mereka. Pangeran Kuda Pratama dapat marah kepada mereka dan mengambil tindakan atas mereka, karena Pangeran Kuda Pratama mempunyai wewenang untuk menghukum mereka.

Tetapi perkelahian itu sudah terjadi. Karena itu, maka hal itu harus dilaporkan kepada Pangeran Kuda Pratama.

Ketika laporan itu sampai kepada Pangeran Kuda Pratama, maka Pangeran Kuda Pratama telah memanggil mereka dan beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu. Bahkan keempat orang yang telah diangkat menjadi guru para bangsawan muda itu.

Dengan nada dalam Pangeran Kuda Pratama berkata, “Perkelahian itu sangat tidak pantas.”

Para bangsawan muda itu menundukkan kepalanya. Sementara Pangeran Kuda Pratama bertanya, “Apa sebabnya kalian berkelahi? Apakah guru-guru kalian mengajarkan kepada kalian, agar kalian yang satu dengan yang lain harus berkelahi?”

Tidak ada yang segera menjawab, sehingga Pangeran Kuda Pratama harus mengulangi pertanyaannya.

“Aku ingin mendengar jawaban kalian, agar guru-guru kalian ikut mendengar” berkata Pangeran Kuda Pratama kemudian.

Bangsawan-bangsawan muda penghuni Kesatrian itu termangu-mangu. Sementara Empu Kamenjangan dan kedua orang guru yang lain saling berpandangan. Baru kemudian Empu Kamenjangan berkata, “Sebaiknya kalian memang mengatakan apa yang telah terjadi agar Pangeran Kuda Pratama dapat menentukan tindakan yang akan diambilnya. Yang salah akan dinyatakan salah, yang benar akan dinyatakan benar.”

“Ya” sahut Pangeran Kuda Pratama, “perkelahian seperti itu tidak boleh terulang kembali.”

Ternyata yang lebih dahulu menceriterakan persoalan yang terjadi di Kesatrian itu adalah bangsawan-bangsawan remaja murid Mahisa Pukat. Keduanya tahu, bahwa sebenarnya Mahisa Pukat tidak menghendaki keduanya berceritera tentang kelebihannya. Tetapi mereka tidak dapat menyembunyikan seluruhnya karena sebab dari perkelahian itu adalah justru karena keduanya telah terdorong diluar kendali, menceriterakan tentang kelebihan Mahisa Pukat.

Yang ditekankan oleh remaja itu adalah perlakuan saudara-saudara mereka yang lebih besar dengan mendorong dahi salah seorang remaja itu dengan jari-jari. Perlakuan yang tidak disenangi oleh remaja itu.

Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk. Kepada anak muda yang telah berkelahi itu Pangeran Kuda Pratama bertanya, “Apakah kau telah mendorong kepalanya dengan jari-jarimu.”

“Tetapi tidak terlalu keras” jawab anak muda itu.


“Yang penting bukan keras atau tidak keras. Tetapi aku tidak senang kepalaku menjadi sasaran permainan” remaja itu menyahut.

Namun Empu Kamenjangan lah yang menyela, “Seharusnya kalian tidak melawan terhadap saudara-saudara yang lebih tua. Kecuali kalian harus menghormati saudara-saudara kalian yang lebih tua umurnya, juga jika terjadi perselisihan, maka kalianlah yang akan mengalami kesulitan. Terakhir kalian hanya dapat mengadu.”

“Aku tidak mengadu” jawab remaja itu, “dan aku sama sekali tidak mengalami kesulitan? Kesulitan apa?”

“Akhirnya kau tentu hanya dapat menangis dan mengadu itulah” jawab Empu Kamenjangan yang belum sempat bertemu dengan Empu Sidikara.

“Aku tidak menangis dan aku juga tidak mengadu.” anak itu hampir berteriak.

“Jangan ingkar ngger” berkata Empu Kamenjangan, “jika kau tidak menangis sambil mengadu, maka kita semuanya tentu tidak akan dipanggil Pangeran Kuda Pratama.”

Sebelum anak itu menyahut, maka Pangeran Kuda Pratama lah yang menjawab, “Anak itu memang tidak mengadu dan sama sekali tidak menangis. Tetapi para Pelayan Dalam yang melihat keduanya berkelahi dan mereka pun telah melerai dan melaporkannya kepadaku sehingga aku telah memanggil kalian semua.”

Empu Kamenjangan termangu-mangu. Tetapi nampak pada sorot matanya bahwa ia tidak percaya. Karena itu, maka Pangeran Kuda Pratama pun berkata, “Jika Empu tidak percaya, silahkan bertanya kepada anak-anak muda yang lain.”

Empu Kamenjangan memandang wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Anak-anak muda itu pun menundukkan wajah mereka. Hanya kedua orang remaja murid Mahisa Pukat itulah yang menengadahkan wajah mereka.

Karena tidak ada yang menjawab, maka salah seorang dari kedua guru yang lain pun berkata, “Memang sulit untuk membuktikan bahwa anak itu menangis dan mengadu. Tetapi sebaiknya anak-anak harus menghormati dan tidak berani melawan anak-anak muda yang lebih besar, karena kecuali tidak sesuai dengan adat yang berlaku, juga akibatnya dapat lebih buruk lagi bagi anak-anak itu sendiri.”

Tetapi diluar dugaan, anak itu berkata, “Tidak. Aku sama sekali tidak mengalami akibat buruk.”

“Itu karena anak-anak muda yang lebih besar merasa lebih baik mengalah” jawab guru itu.

“Tidak. Tidak ada yang mengalah. Yang kalah bukan berarti mengalah.” jawab anak itu.

“Sudahlah” potong Mahisa Pukat, “aku sependapat, bahwa yang muda harus menghormati dan takut kepada yang lebih tua. Itu memang adat yang berlaku.”

Kedua remaja itu termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka tidak menjawab. Sehingga Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Jadi kalian berdualah yang memang harus mengalah”.

Empu Kamenjangan termangu-mangu mendengar kata-kata Mahisa Pukat. Apalagi kedua orang guru yang lain. Seorang di antara mereka berkata, “Kedua remaja itu tidak harus mengalah. Demi kebaikan mereka sendiri. Jika terjadi perselisihan dan perkelahian, maka yang akan mengalami kesulitan adalah mereka yang lebih kecil. Karena itu, mereka bukannya harus mengalah, tetapi tahu diri begitulah.”

Bangsawan yang masih remaja itu masih akan menjawab. Tetapi Mahisa Pukat lebih dahulu berkata, “Sudahlah. Istilah yang dipergunakan itu memang sesuai. Tahu diri begitulah.”

“Ya guru” jawab remaja itu. Tetapi ia masih melanjutkan, “Kita semuanya memang harus tahu diri.”

Yang bertanya justru Pangeran Kuda Pratama, “Apa maksudmu?”

Remaja itu hanya menundukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak menjawab.

Justru Pelayan Dalam yang melerainya itulah yang menjawab karena rasa keadilannya yang tersinggung, “Ampun Pangeran, maksudnya tentu, siapa yang merasa kalah harus mengakui kekalahannya. Jadi tahu dirilah.”

Empu Kamenjangan tidak senang mendengar kata-kata itu karena tidak mengandung pengertian yang pasti. Karena itu maka ia pun bertanya, “Menurutmu, siapakah yang kalah? Jawab dengan jelas. Karena persoalannya adalah persoalan yang kasat mata. Jika kau yang melerai dan sempat menilai di antara mereka yang berkelahi itu. Justru karena keduanya dilihat dari ujudnya sudah tidak seimbang. Apalagi dari landasan kemampuan mereka. Kecuali jika saat melerai perkelahian itu kau sedang mabuk.”

“Tidak Empu, aku tidak sedang mabuk” jawab Pelayan Dalam yang melerai itu.

“Jadi apa yang kau lihat? Katakan dengan jujur” desak Empu Kamenjangan, “dengan demikian, kita akan dapat menentukan sikap. Untuk kebaikan semuanya.”

Pelayan Dalam itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menjawab, “Ketika aku melerai perkelahian itu, maka anak muda yang lebih besar itu sedang terdesak dan mengalami kesulitan.”

“Apa?” bentak Empu Kamenjangan, “apakah kau sedang mengigau? Katakan sekali lagi.”

“Ampun Empu. Aku memang melihat bahwa anak muda itu sedang terdesak. Kita pun dapat melihat, berkas-berkas biru di wajahnya dan barangkali ia akan dapat mengatakannya sendiri.”

Wajah Empu Kamenjangan menjadi merah. Guru yang lain, yang langsung menangani bangsawan muda itu bertanya, “Apakah benar begitu Raden?”

“Omong kosong” bangsawan muda itu menjawab hampir berteriak, “jika saja aku tidak mengingat bahwa ia masih terlalu kanak-kanak. Tetapi justru karena itu, ia tidak tahu diri itulah. Sehingga ia justru telah menyakiti aku.”

“Pangeran” tiba-tiba guru anak muda itu hatinya menjadi panas, “jika kita semua meragukan, sebaiknya kita melihat langsung apa yang dapat mereka lakukan.’

Namun dengan cepat Mahisa Pukat menyahut, “Itu bukan penyelesaian yang baik. Pelayan Dalam itu sudah melerai perkelahian yang terjadi. Sebaiknya kita tidak justru mengadu mereka.”

“Tetapi itu ada baiknya” berkata Empu Kamenjangan, “bukankah lebih aman jika mereka memperbandingkan ilmu mereka dihadapan kita darimana mereka berkelahi tanpa ada saksi orang-orang tua seperti kita? Dengan demikian maka yang kalah tentu akan tahu diri. Ia tidak akan berani lagi setidak-tidaknya menjadi sebab perkelahian. Yang menang tentu diperingatkan bahwa ia tidak boleh berbuat sesuka hatinya sendiri. Tetapi kepastian itu akan menenteramkan Kesatrian. Yang kalah harus tahu diri dan yang menang tidak berbuat sewenang-wenang.”

“Tetapi apakah perkelahian tidak justru menanamkan dendam di hati mereka yang seharusnya masih jernih itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tentu tidak. Tetapi selama kepastian siapakah yang menang dan siapakah yang kalah belum diakui oleh mereka, maka perkelahian akan dapat terjadi setiap saat.”

“Baiklah” tiba-tiba Pangeran Kuda Pratama yang menyahut, “Aku setuju dengan Empu Kamenjangan. Kita akan melihat siapakah yang menang dan siapakah yang akan kalah. Tetapi dengan janji, bahwa masing-masing bersikap jujur. Yang kalah mengakui kekalahannya dan yang menang tidak boleh sewenang-wenang dalam kesombongannya. Selanjutnya yang besar pun merasa wajib ikut membantu dan melindungi yang lebih kecil, sebaliknya yang lebih kecil harus menghormati dan tahu diri.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa boleh buat. Jika itu yang harus terjadi.”

“Nah” berkata Pangeran Kuda Pratama, “siapa yang telah berkelahi tadi. Kita akan melihat perkelahian itu.”

Bangsawan yang masih remaja, murid Mahisa Pukat itu pun telah melangkah ke depan sambil berkata, “Aku sekedar melindungi kepalaku. Aku tidak mau kepalaku menjadi permainan.”

“Kita tidak berbicara tentang sebab perkelahian itu terjadi” potong Empu Kamenjangan, “nah, sekarang siapakah lawannya?”

Anak muda yang diwajahnya telah nampak berkas-berkas biru di keningnya itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi dihadapan gurunya ia tidak boleh nampak ketakutan. Ia pun berharap bahwa jika perlu maka gurunya akan dapat berbuat sesuatu. Bukan saja atas anak itu, tetapi justru atas guru anak itu.

Karena itu, maka anak muda itu pun segera melangkah maju. Dengan ragu ia berkata, “Aku sudah berusaha untuk mengalah. Tetapi anak itu justru memanfaatkannya dan menyakiti wajahku. Ketika aku siap untuk membalas, maka datanglah Pelayan Dalam itu melerai. Tetapi ia menganggap bahwa aku telah terdesak.”

“Marilah, sekarang kita akan melihat apa yang sebenarnya terjadi.” berkata gurunya, salah seorang di antaranya ketiga orang guru yang ada di Kesatrian itu yang datang sebelum Mahisa Pukat.

Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Pratama pun berkata, “tetapi ingat. Permainan ini harus dilakukan dengan jujur. Kemudian akibatnya pun harus ditanggung dengan jujur pula. Tidak ada dendam dan tidak ada kebencian di antara para penghuni Kesatrian.”

“Ya Pangeran” sahut Empu Kamenjangan. “Apa yang terjadi di sini dimaksud untuk menyelesaikan persoalan. Bukan untuk menumbuhkan persoalan-persoalan baru.”

Demikianlah, maka keempat orang guru yang ada di Kesatrian itu telah mengatur tempat permainan para bangsawan muda itu. Tetapi seakan-akan merekalah yang akan terlibat langsung, sehingga justru merekalah yang sebelumnya sudah berkeringat di seluruh tubuh mereka.

Sejenak kemudian maka kedua orang bangsawan muda itu sudah berhadapan. Keduanya memang tidak seimbang. Seorang masih remaja sedang yang lain telah mendekati usia dewasanya.

Pangeran Kuda Pratama menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun ujud mereka membuatnya berdebar-debar:, “Selisih yang agak jauh itu tentu akan berpengaruh atas kekuatan tenaga mereka dan tentu juga tingkat penalaran mereka”

Karena itu, maka Pangeran Kuda Pratama itu sendiri telah berada di dalam arena untuk mengamati langsung permainan itu.

“Serahkan mereka kepadaku” berkata Pangeran Kuda Pratama kepada para guru yang bertugas di Kesatrian itu. Termasuk Mahisa Pukat dan guru anak muda itu.

Keempat orang guru itu pun bergeser mundur untuk mengambil jarak. Mereka tidak dapat menolak perintah Pangeran Kuda Pratama untuk meninggalkan murid mereka dan mempercayakan kepada Pangeran itu. Apalagi mereka pun mengetahui bahwa Pangeran Kuda Pratama adalah seorang Pangeran yang berilmu sangat tinggi.

“Nah” berkata Pangeran Kuda Pratama, “sekarang kalian dapat memulainya. Aku akan mengamati dengan sebaik-baiknya. Tetapi ingat, yang kalian lakukan adalah sekedar permainan. Bukan perkelahian.”

Kedua orang bangsawan muda itu mengangguk. Sementara Pangeran Kuda Pratama pun segera melangkah surut menepi. (dipindahkan dari tempat aslinya karena tidak nyambung)

Sejenak kemudian, kedua orang bangsawan kecil itu telah berhadapan sekali lagi. Dihadapan gurunya bangsawan muda yang lebih besar itu menjadi lebih mantap. Ia mengira bahwa gurunya memiliki pengaruh yang besar terhadap guru remaja yang sombong itu. Sehingga guru remaja itu akan mengekang agar muridnya tidak berani berbuat sesuka hatinya Tetapi nampaknya remaja kecil itu sama sekali tidak menghiraukan kehadiran ketiga orang guru di Kesatrian itu. Seperti bangsawan muda yang lebih tua daripadanya itu maka ia justru menjadi semakin mantap karena gurunya juga hadir. Apalagi remaja itu telah melihat bagaimana gurunya dapat melampaui kemampuan orang yang menyebut dirinya Empu Sidikara itu.

Tetapi bangsawan muda yang lebih besar itu ternyata telah menjadi sangat garang dihadapan gurunya. Ketika Pangeran Kuda Pratama mengisyaratkan bahwa mereka dapat mulai, anak muda itu langsung menyerang.

Tetapi bangsawan kecil itu sudah bersiap. Dengan tangkasnya ia meloncat menghindari serangan itu. Bahkan dengan cepat pula ia pun telah berganti menyerang dengan cepat pula. Latihan-latihan yang berat memang telah membentuk tubuhnya dan menumbuhkan tenaga di dalam dirinya Meskipun dengan unsur gerak yang masih sederhana, namun dilambari kekuatan yang besar, maka serangannya menjadi berbahaya

Ketika anak muda itu menjadi semakin keras, maka remaja kecil itu pun menjadi semakin keras pula. Kebiasaannya berlatih di alam terbuka, di lereng-lereng bukit, di bulak-bulak panjang, turun naik tebing sungai dan lembah-lembah telah membuatnya memiliki kekuatan dan daya tahan yang tinggi. Kebiasaannya melihat berbagai macam binatang dengan tabiatnya masing-masing telah memperkaya unsur-unsur gerak sederhana yang dikuasainya.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian maka remaja kecil itu justru nampak semakin menguasai arena. Dengan lincahnya ia berloncatan. Sekali-sekali menirukan seekor anak kambing yang berkejaran dan berkelahi di padang rumput. Namun kemudian menirukan gerak burung di udara saat menyambar mangsanya. Anak itu juga pernah melihat bagaimana seekor kucing hutan yang merunduk seekor tikus di pematang sawah. Kemudian meloncat menerkamnya dengan kuku-kukunya yang tajam.

Yang terjadi adalah benar-benar diluar dugaan. Yang sering dilihat pada kedua remaja murid Mahisa Pukat itu adalah unsur-unsur gerak yang sederhana jika mereka berlatih di sanggar. Tetapi pada unsur-unsur gerak yang sederhana itu ternyata dikandung kekuatan dan daya tahan yang tinggi. Bahkan seakan-akan secara naluriah unsur-unsur itu telah berkembang dengan sendirinya karena penglihatannya yang luas.

Karena itulah, maka sekali lagi anak muda yang lebih besar itu ternyata tidak mampu bertahan. Remaja yang lebih muda itu telah mendesaknya. Beberapa kali serangannya telah mengenai tubuh anak muda itu. Di wajahnya, di dadanya dan di lambungnya. Semakin lama serangannya datang semakin cepat dan semakin kuat.

Orang-orang, terutama guru anak muda itu, hampir tidak percaya melihat kenyataan itu. Muridnya yang lebih besar itu benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan-serangan yang datang beruntun dengan tenaga yang terhitung sangat kuat bagi remaja seumurnya.

Beberapa kali bangsawan muda itu terdorong surut. Bahkan ketika kaki lawannya yang kecil itu mengenai dadanya, maka hampir saja bangsawan muda itu kehilangan keseimbangannya.

Untunglah bahwa lawannya yang lebih kecil itu tidak memburunya. Kakinya memang telah meloncat. Tetapi ia segera teringat pesan Pangeran Kuda Pratama, bahwa yang terjadi itu bukan perkelahian, tetapi sekedar permainan.

Karena itu maka ia pun mengurungkan serangannya. Meskipun ia berdiri dalam jarak jangkauan serangan kakinya, tetapi ia tidak melakukannya. Bahkan ia telah menunggu anak muda itu memperbaiki kedudukannya dan mendapatkan keseimbangan sepenuhnya kembali.

Para guru di Kesatrian itu tidak dapat mengingkari kenyataan yang terjadi itu. Anak muda yang lebih besar itu memang terdesak oleh lawannya yang lebih kecil. Tetapi itu bukan mimpi. Bukan pula bualan Pelayan Dalam yang melerainya. Tetapi yang terjadi itu memang telah terjadi.

Ketika Pangeran Kuda Pratama telah meyakini pengamatannya bahwa anak muda itu tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi, maka ia pun berpaling kepada guru yang langsung mengasuh anak muda itu. Pangeran Kuda Pratama itu memberi isyarat kepadanya untuk mendekatinya.

Demikian orang itu mendekat, maka murid Mahisa Pukat yang menjadi berdebar-debar karenanya, telah memanfaatkan saat terakhir itu. Ia tidak tahu untuk apa guru anak muda yang menjadi lawannya itu dipanggil. Justru karena itu, maka ia ingin meyakinkan bahwa ia benar-benar memenangkan permainan itu.

Begitu guru anak muda itu tampil di arena, maka murid Mahisa Pukat yang kecil itu telah mengerahkan segenap kekuatannya. Dengan tangkasnya ia meloncat maju sambil mengayunkan tangannya menembus pertahanan lawannya yang memang sudah goyah.

Dengan kerasnya tangan murid Mahisa Pukat itu telah menghantam ke arah dada Namun ternyata arah itu telah bergeser. Diluar sadarnya, remaja itu tidak benar-benar mengenai dada lawannya yang lebih besar itu, tetapi mengenai pundaknya

Meskipun demikian, terdengar anak muda itu berteriak kesakitan. Tubuhnya terputar dan kemudian terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan. Untunglah, bahwa ketika anak muda itu hampir terbanting jatuh, gurunya sempat menahannya.

Pangeran Kuda Pratama pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Nah, aku kira permainan ini sudah cukup. Aku tidak mengatakan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Semuanya telah melihatnya sendiri. Permainan ini telah berlangsung dengan jujur. Seperti aku harapkan, kelanjutan dari hubungan kalian di Kesatrian pun harus berlangsung dengan jujur.”

Keempat orang guru di Kesatrian itu berdiri termangu-mangu. Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Empu Kamenjangan dan kedua orang guru yang lain, seakan-akan tidak dapat mempercayai apa yang telah mereka saksikan. Tetapi mereka tidak dapat menghapus kenyataan itu. Bangsawan yang lebih besar itu tidak mampu mengimbangi remaja yang baru mulai mempelajari oleh kanuragan itu.

“Nah” berkata Pangeran Kuda Pratama, “permainan ini telah selesai. Kembalilah ke Kesatrian. Kalian tidak boleh berkelahi lagi. Siapa yang berkelahi, akan benar-benar diusut. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang bersalah akan dihukum dan yang benar tentu saja tidak. Para Pelayan Dalam akan mendapat tambahan wewenang untuk bertindak lebih jauh daripada sekedar melerai jika terjadi perkelahian. Jika perlu, maka para Pelayan Dalam dapat memisah dengan tindakan yang lebih keras lagi. Kalian tidak dapat menyalahkan mereka. Aku memberikan wewenang kepada mereka atas wewenangku di Kesatrian,”

Anak-anak muda dan bahkan guru-guru mereka itu pun berdiri termangu-mangu. Wajah Pangeran Kuda Pratama nampak bersungguh-sungguh. Agaknya Pangeran itu tidak sekedar mengancam. Tetapi ia tentu benar-benar akan bertindak jika masih ada perkelahian di Kesatrian.

Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Kuda Pratama itu pun telah memerintahkan para bangsawan muda itu kembali ke Kesatrian, sementara itu ia minta keempat orang guru di Kesatrian itu tinggal untuk sementara bersamanya.

Demikian para bangsawan muda itu pergi, maka Pangeran Kuda Pratama itu pun berkata, “Kerukunan anak-anak yang menghuni Kesatrian itu tergantung dari kalian semuanya. Jika kalian merasa diri kalian satu, maka tentu tidak akan terjadi sesuatu di Kesatrian. Bukankah kalian dibebani tugas yang sama?”

“Pangeran” berkata Empu Kamenjangan, “selama ini Kesatrian itu selalu tenang. Tidak pernah ada kekisruhan apalagi perkelahian. Tetapi sekarang, sebagaimana Pangeran lihat, perkelahian itu telah terjadi di Kesatrian.”

Pangeran Kuda Pratama mengerutkan dahinya. Dari sorot matanya nampak bahwa jantungnya bergejolak. Namun ia masih berusaha untuk menahan diri sehingga kata-katanya masih saja sareh, “Empu. Jika hal itu terjadi, siapakah yang dapat dituding telah melakukan kesalahan? Yang baru, karena sebelumnya belum pernah terjadi keributan?”

“Pangeran” berkata Empu Kamenjangan, “apakah penalaran yang demikian salah?”

“Aku tidak mengatakan penalaran itu salah, Empu. Tetapi penalaran yang demikian tidak selalu benar. Seandainya yang lama itu dengan serta-merta menolak kedatangan yang baru sebelum menilai dengan seksama?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.

Wajah Empu Kamenjangan itu menjadi merah. Ternyata Pangeran Kuda Pratama langsung menunjuknya sebagai sumber keributan yang telah terjadi di Kesatrian.

Untuk beberapa saat Empu Kamenjangan itu justru terbungkam. Namun kemudian seperti ledakan bendungan pecah ia bertanya dengan lantang, “Jadi Pangeran menyalahkan kami yang telah lama mengabdi di Kesatrian ini?”

Ternyata Pangeran Kuda Pratama tidak menahan diri. Dengan tegas ia menjawab, “Ya. Kalian bertiga telah bersalah. Kalian tidak menerima kehadiran Mahisa Pukat dengan iklas. Karena itu, maka jarak yang telah kalian gali itu telah mempengaruhi murid-murid kalian. Kebencian kalian, atau lebih tepat lagi disebut kedengkian kalian atas kehadiran Mahisa Pukat telah membakar Kesatrian ini. Aku berterima kasih atas segala bantuan kalian selama ini. Tetapi itu bukan jaminan bahwa aku harus membenarkan sikap kalian yang menurut pendapatku salah. Aku harus berani mengatakan bahwa yang salah itu salah. Yang benar itu benar. Setidak-tidaknya menurut keyakinanku atas landasan tugas dan wewenangku.”

“Baik” berkata Empu Kamenjangan, “agaknya Pangeran cenderung berpihak kepada Mahisa Pukat. Jika demikian maka Pangeran hendaknya bersikap. Bagiku, sulit untuk dapat bertugas dalam satu lingkup kewajiban. Seperti minyak dengan air. Karena itu, maka Pangeran harus memilih. Kami bertiga atau Mahisa Pukat, Pelayan Dalam yang baru dapat meloncat-loncat seperti kera itu.”

Tetapi diluar dugaan Pangeran Kuda Pratama menjawab tegas, “Aku memilih Mahisa Pukat. Aku sediakan jawaban ini sejak aku menyetujui Mahisa Pukat bertugas di Kesatrian, karena aku yakin, lambat atau cepat, aku akan mendapat pertanyaan seperti itu.”

Sekali lagi wajah Empu Kamenjangan menjadi merah, bahkan terasa panas.

Kemarahan telah membakar jantungnya. Namun dihadapan Pangeran Kuda Pratama, Empu Kamenjangan harus menahan diri. Ia sadar, bahwa Pangeran yang menjelang hari-hari tuanya itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.

Meskipun demikian, seandainya persoalan seperti itu terjadi diluar istana, maka Empu Kamenjangan tentu akan mengambil sikap lain. Apalagi ia bertiga bersama dua orang guru yang lain dari para bangsawan muda di Kesatrian itu.

Dengan kata-kata yang bergetar justru karena ia menahan diri, Empu Kamenjangan berkata, “Jika demikian Pangeran. Tidak ada gunanya lagi kami terlalu lama mengabdi di Kesatrian. Kami mohon ijin untuk meninggalkan tugas kami. Kami dapat mengabdikan diri pada bidang yang lain, tidak pada bidang yang selama ini kami lakukan.”

“Baiklah mPu” jawab Pangeran Kuda Pratama, “jika itu keputusan mPu, maka aku akan menghormatinya. Aku persilahkan Empu meninggalkan Kesatrian. Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Empu menuntun anak-anak kami di Kesatrian selama ini. Aku juga mengucapkan terima kasih bahwa Empu bersedia mengabdikan diri di bidang lain di Singasari.”

Dengan penuh dendam Empu Kamenjangan telah meninggalkan Kesatrian bersama kedua orang guru yang lain. Mereka benar-benar merasa tersingkir sejak kedatangan Mahisa Pukat di Kesatrian. Namun mereka tidak akan tinggal diam. Mereka akan membuat perhitungan langsung dengan Mahisa Pukat.


Sejak ketiga orang itu keluar dari Kesatrian, maka yang pertama-tama mereka lakukan adalah menemui Empu Sidikara. Kepada Empu Sidikara, Empu Kamenjangan mengatakan, apa yang telah terjadi dengan dirinya serta kedua orang guru yang lain.

“Aku akan membuat perhitungan langsung dengan iblis kecil itu” geram Empu Kamenjangan.

Empu Sidikara menarik napas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berdesis, “Aku minta maaf mPu. Aku terlambat menemui mPu.”

“Apa yang terlambat?” bertanya Empu Kamenjangan.

“Aku telah bertemu Mahisa Pukat” jawab Empu Sidikara.

“Dan kau sudah menjajagi ilmunya?” bertanya Empu Kamenjangan.

“Ya” jawab Empu Sidikara.

“Katakan, seberapa jauh ilmu anak itu.” Empu Kamenjangan menjadi tidak sabar lagi.

“Tataran ilmunya berada jauh diatas ilmuku” jawab Empu Sidikara.

“Ah. Kau jangan bergurau. Aku benar-benar sedang mendendam” jawab Empu Kamenjangan.

Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian menceriterakan apa yang pernah dialaminya ketika ia menjajagi ilmu Mahisa Pukat.

“Apakah kau sedang mabuk waktu itu?” bertanya Empu Kamenjangan.

“Aku berkata sebenarnya” jawab Empu Sidikara, “aku juga tidak mengira bahwa anak itu memiliki ilmu yang demikian tinggi. Jauh di luar dugaanku. Bahkan sama sekali tidak terbayangkan.”

“Aku tidak yakin” berkata Empu Kamenjangan, “atau barangkali kau sudah terpengaruh olehnya? Apakah ia sudah menjanjikan sesuatu kepadamu?” bertanya Empu Kamenjangan.

“Sama sekali tidak. Aku berkata sebenarnya. Jika kau ingin menjajaginya, silahkan. Tetapi dengarlah pendapatku. Ia seorang anak muda yang baik. Meskipun aku telah memaksakan perkelahian dan bahkan aku sudah mengancam untuk membunuhnya, tetapi ia tidak berbuat apa-apa atasku yang sebenarnya tidak akan mampu melawannya. Ketika aku berniat melepaskan ilmuku, maka ia telah menahannya, sehingga aku urung mempergunakannya. Jika aku memaksa diri untuk mempergunakan juga, sedangkan anak itu membenturnya dengan ilmu puncaknya, maka tentu akulah yang akan menjadi lumat.”

“Kau sudah terperangah oleh sikapnya. Tetapi bukankah kau belum mencoba untuk mempergunakan ilmu puncakmu itu?” bertanya Empu Kamenjangan.

“Aku memang belum mempergunakannya Tetapi ia sudah membuat satu perbandingan. Ia telah menghantam batu padas di tebing. Akibatnya benar-benar diluar dugaan. Dua hari kemudian, aku telah mencobanya tanpa dilihat oleh seorang pun. Tetapi apa yang dapat aku lakukan? Luka tebing itu jauh lebih kecil dari luka yang ditimbulkan oleh ilmu Mahisa Pukat.”

“Kau terpengaruh oleh permainannya. Tetapi baiklah. Aku tidak akan menyalahkanmu, karena kau tidak mempunyai kepentingan langsung. Tetapi aku lain. Aku akan benar-benar menjajagi ilmu. Aku akan menantangnya karena aku ingin menunjukkan bahwa pendapat Pangeran Kuda Pratama itu tidak benar. Mahisa Pukat bukan orang terbaik di Kesatrian. Baik ilmunya maupun sikap dan pandangan hidupnya Juga caranya memberikan latihan-latihan kepada para bangsawan muda itu.”

“Aku ingin memperingatkanmu” berkata Empu Sidikara. “Kita adalah saudara seperguruan. Mungkin aku seorang yang dungu, sehingga aku merasa bahwa ilmumu lebih baik dari ilmuku. Tetapi kita yang sama-sama tuntas ini tentu tidak terpaut terlalu banyak. Karena itu, menurut penglihatanku, ilmumu tidak akan melampaui ilmu Mahisa Pukat.”

Tetapi peringatan Empu Sidikara itu tidak dihiraukannya.

Bahkan dengan kesal Empu Kamenjangan berkata, “Baiklah. Jika kau berpendapat lain, aku tidak berkeberatan. Aku akan menyelesaikan persoalanku sendiri”

“Jangan salah mengerti” sahut Empu Sidikara, “justru aku merasa saudara seperguruanmu. Aku berniat memperingatkanmu. Aku tidak ingin kau mengalami kesulitan. Tetapi agaknya kau salah paham.”

“Terima kasih” jawab Empu Kamenjangan, “jika itu yang kau maksudkan, aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi aku tidak yakin akan keteranganmu.”

Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Jika Mahisa Pukat menghadapi Empu Kamenjangan, mungkin sikapnya akan berbeda dengan sikapnya saat anak muda itu menghadapinya. Mahisa Pukat tahu bahwa ia tidak berkepentingan langsung sehingga Mahisa Pukat seakan-akan tidak berniat menyakitinya. Mahisa Pukat menghentikan perlawanannya dengan cara yang lembut dan perlahan-lahan. Tetapi menghadapi Empu Kamenjangan mungkin Mahisa Pukat akan langsung menghadapkan ilmunya yang dahsyat itu. Sementara itu menurut perhitungan Empu Sidikara, tataran ilmu Empu Kamenjangan masih belum setingkat dengan tataran ilmu Mahisa Pukat.

Tetapi Empu Sidikara benar-benar tidak mampu untuk mencegah niat Empu Kamenjangan yang merasa tersisih. Dari ceritera Empu Kamenjangan, Empu Sidikara dapat menduga, betapa besar dendam dan kebencian Empu Kamenjangan terhadap Mahisa Pukat

Bersama kedua orang guru yang lain, Empu Kamenjangan telah merencanakan untuk membuat perhitungan dengan Mahisa Pukat. Mereka tahu bahwa Mahisa Pukat sering pergi ke lereng bukit, atau menyusuri jalan lembah dan kaki pegunungan.

Bahkan Empu Sidikara pun sempat menemukannya sedang berlari-lari di lereng bukit-bukit padas.

“Ada beberapa tempat yang selalu dikunjungi” berkata Empu Kamenjangan kepada kedua orang kawannya, “kita akan mencarinya ke tempat-tempat itu. Aku tidak peduli apakah orang-orang istana Singasari akan marah atau tidak. Seandainya mereka marah, belum tentu mereka dapat menangkap kita.”

Kedua kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seperti Empu Kamenjangan, maka mereka pun mendendam Mahisa Pukat, sehingga mereka pun sependapat dengan rencana Empu Kamenjangan itu.

Dalam pada itu, Empu Sidikara lah yang justru menjadi sangat cemas. Ia mencemaskan keadaan saudara seperguruannya. Namun ia pun mencemaskan Mahisa Pukat.

Betapapun tinggi ilmu Mahisa Pukat, namun jika Empu Kamenjangan kehilangan harga dirinya dan bertempur bersama dua orang kawannya, maka Mahisa Pukat memang akan mendapat kesulitan.

Sepeninggal Empu Kamenjangan, maka Empu Sidikara menjadi gelisah. Betapa ia mencoba untuk melupakan persoalan saudara seperguruannya dengan Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak berhasil. Setiap kali ia teringat niat Empu Kamenjangan untuk menundukkan Mahisa Pukat, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Ia sendiri mengalami, betapa hatinya sulit dikendalikan setelah terjadi benturan ilmu melawan anak muda itu. Sebaliknya, anak muda itu ternyata masih selalu mampu menguasai dirinya sehingga dalam pertempuran yang keras, anak muda itu masih sempat memikirkan keselamatan lawannya. Tetapi apakah anak muda itu akan berbuat demikian pula jika ia berhadapan dengan Empu Kamenjangan? Sementara itu Empu Kamenjangan akan dapat minta kedua orang guru yang lain yang mengalami perlakuan yang sama dari istana Singasari, untuk bersama-sama melawan Mahisa Pukat. Bahkan mungkin persoalannya akan menjadi lebih gawat dari sekedar menundukkan dan memaksa Mahisa Pukat mengakui kelebihan Empu Kamenjangan. Tetapi justru lebih dari itu. Empu Kamenjangan yang menjadi sangat tersinggung itu akan dapat benar-benar merencanakan untuk membunuh Mahisa Pukat.

Ternyata kegelisahan itu telah menyiksa Empu Sidikara. Karena itu, maka untuk mengurangi beban perasaannya, maka Empu Sidikara berniat untuk menemui Mahisa Pukat di istana Singasari.

Dalam pada itu, Empu Kamenjangan benar-benar berusaha untuk dapat bertemu dengan Mahisa Pukat. Setiap kali Empu Kamenjangan berada di tempat yang sering dikunjungi oleh Mahisa Pukat. Ia ingin menemui anak muda itu dan berbicara bersama-sama dengan kedua orang guru yang lain yang juga telah berhenti dan meninggalkan tugas mereka di Kesatrian.

Sebenarnyalah, maka akhirnya, Empu Kamenjangan melihat Mahisa Pukat dan kedua muridnya yang remaja itu berlari-lari di lereng bukit. Seperti yang diperhitungkan oleh Empu Kamenjangan, maka Mahisa Pukat pun berhenti di dataran yang cukup luas di lereng bukit itu.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat pun telah melihat Empu Kamenjangan yang mendekatinya. Karena itu, maka ia pun siap menunggu apapun yang akan dilakukan oleh Empu Kamenjangan itu. Karena hal seperti itu telah diduganya sebelumnya.

Empu Kamenjangan yang kemudian mendekatinya itu pun kemudian berdiri sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Dengan nada berat ia berkata, “Anak muda yang perkasa. Kau dapat berbangga diri bahwa kau telah terpilih untuk menjadi seorang guru yang terbaik di Kesatrian. Terbukti bahwa Pangeran Kuda Pratama telah memilih kau daripada kami bertiga.”

“Bukan maksudku, mPu. Aku sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya.” jawab Mahisa Pukat.

Empu Kamenjangan itu tertawa. Katanya, “Dan ternyata kau berhasil. Sekarang kami telah tidak bertugas di Kesatrian lagi.”

“Aku sudah memohon kepada Pangeran Kuda Pratama agar keputusan itu dibatalkan” berkata Mahisa Pukat.

“O, jadi kau juga menaruh belas kasihan kepada kami, anak muda? Kami bukan orang-orang yang minta dibelas-kasihani. Kau kira kami akan berterima kasih atas belas-kasihanmu itu? Seandainya Pangeran Kuda Pratama mendengarkan permohonanmu dan memanggil kami kembali, maka kami tentu akan berkeberatan. Apalagi jika hal itu karena belas kasihanmu.”

“Maaf mPu. Bukan karena belas-kasihan. Tetapi menurut penalaranku, Empu sudah cukup lama berada di Kesatrian, sehingga Empu sudah mengenal tugas Empu dengan baik.”

Empu Kamenjangan tertawa. Katanya, “Terima kasih anak muda. Apapun yang kau katakan, tidak akan dapat menghapus retak di jantungku. Karena itu, maka untuk menyembuhkannya hanya ada satu jalan. Itu pun jika ternyata kau benar-benar seorang laki-laki.”

“Aku tidak tahu maksudmu, mPu.” sahut Mahisa Pukat.

“Dengar. Besok pagi-pagi aku akan berada di tempat ini. Aku ingin kau juga berada di tempat ini. Sendiri. Aku tidak mau menghancurkan kebanggaan kedua orang muridmu itu atas gurunya. Jika mereka melihat kau hancur di sini, maka hatinya pun akan hancur pula. Ia akan kehilangan kepercayaan kepada semua orang yang kelak ditunjuk menjadi gurunya karena orang yang dibanggakan ternyata sama sekali tidak memberikan kebanggaan apa-apa. Dengan demikian maka ia akan menganggap orang lain pun seperti kau.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia berpaling kepada kedua orang muridnya yang tegang. Namun kemudian kepada Empu Kamenjangan ia berkata, “Jika itu yang kau kehendaki, mPu. Maka aku akan memenuhinya.”

“Ternyata kau juga seorang laki-laki” desis Empu Kamenjangan sambil tersenyum.

Mahisa Pukat memang tersinggung. Katanya, “Bukankah Empu tahu bahwa aku sejak semula adalah laki-laki? Bukankah Empu tahu bahwa untuk menjadi seorang Pelayan Dalam aku telah melampaui pendadaran tiga rambahan?”

Empu Kamenjangan tertawa. Katanya, “Apakah artinya pendadaran seorang calon Pelayan Dalam.”

“Tetapi kau tahu mPu, bahwa bekalku bukan sekedar berhasil dalam pendadaran bagi calon Pelayan Dalam,” jawab Mahisa Pukat.

“Bagus. Bagus” jawab Empu Kamenjangan, “besok pagi-pagi aku menunggumu di sini.”

Empu Kamenjangan tidak menunggu jawaban Mahisa Pukat. Bersama dengan kedua orang kawannya, ia pun meninggalkan tempat itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mendekati kedua orang muridnya sambil berkata, “Satu contoh yang tidak baik, Raden. Tetapi aku tidak dapat menghindar. Karena itu, sebaiknya kalian berdua tidak mengatakan kepada siapapun juga. Sebenarnya aku malu berselisih dengan siapapun juga. Tetapi mereka memaksa aku untuk membela harga diriku.”

Kedua bangsawan remaja itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah seorang di antara mereka berkata, “Aku mengerti guru. Tetapi apakah guru harus menghadapi mereka bertiga besok?”

“Tidak” jawab Mahisa Pukat, “nampaknya yang paling mendesak ingin menjajagi kemampuanku adalah Empu Kamenjangan. Agaknya Empu Sidikara pun diminta untuk Empu Kamenjangan untuk menjajagi kemampuanku. Menurut penglihatanku, Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara memiliki sumber ilmu yang sama. Meskipun aku belum pernah mengamati unsur-unsur gerak Empu Kamenjangan, tetapi unsur itu nampak pada murid-muridnya.”

Kedua remaja itu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu seorang di antara mereka bertanya, “Tetapi bagaimana jika mereka bersama-sama melawan guru?”

“Aku berharap bahwa hal seperti itu tidak terjadi, Raden.”

Kedua remaja itu tidak menjawab. Tetapi mereka nampak merenung. Agaknya mereka menjadi cemas, bahwa kedua orang kawan Empu Kamenjangan itu akan bertempur bersama-sama.

“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “bagaimanapun juga aku masih menghargai Empu Kamenjangan. Ia tidak akan berbuat licik seperti itu.”

Kedua remaja itu hanya mengangguk-angguk saja betapapun mereka merasa ragu.

“Marilah” berkata Mahisa Pukat, “kita mulai dengan latihan-latihan ringan seperti biasanya. Lupakan apa yang kalian lihat dan kalian dengar tadi. Itu adalah persoalanku. Biarlah aku menyelesaikan persoalanku.”

Kedua orang remaja itu masih berdiam diri. Mereka pun kemudian bangkit dan mulai berlatih. Tetapi Mahisa Pukat mengetahui bahwa mereka tidak lagi dapat memusatkan perhatian mereka.

Meskipun demikian Mahisa Pukat masih saja membawa mereka ke dalam latihan-latihan untuk memanaskan tubuh mereka.

Ketika matahari mulai naik, maka Mahisa Pukat mengajak kedua orang muridnya itu kembali ke Kesatrian. Mereka berjalan dengan kepala tunduk. Kedua remaja itu tidak nampak gembira seperti biasanya. Bahkan di Kesatrian pun mereka menjadi lebih banyak berdiam diri.

Mahisa Pukat yang mengerti gejolak perasaan mereka, sempat memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka. Namun Mahisa Pukat pun menyadari bahwa ia tidak akan dapat menghapuskan gejolak perasaan anak-anak itu dengan serta merta, sehingga mereka masih saja tidak dapat memusatkan perhatian mereka kepada latihan-latihan yang harus mereka lakukan.

“Lihat” berkata Mahisa Pukat sambil tersenyum, “aku yang akan menghadapi mereka tidak merasa cemas. Tidak pula kehilangan kegembiraanku hari ini. Karena itu, kalian jangan menjadi muram seperti itu.”

Namun jika kemudian anak-anak itu tersenyum dan tertawa, Mahisa Pukat menyadari bahwa mereka hanya sekedar ingin menghapuskan kesan kemuraman saja.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat terkejut ketika di sore hari seseorang telah mencarinya, ketika Mahisa Pukat menemuinya, ternyata orang itu adalah Empu Sidikara.

“Marilah mPu” Mahisa Pukat mempersilahkan. Mereka pun kemudian duduk di amben panjang di serambi belakang Kesatrian.

“Maaf mPu” berkata Mahisa Pukat kemudian setelah mereka duduk, “kedatangan Empu membuat aku berdebar-debar.”

Empu Sidikara menarik nafas panjang. Katanya, “Akulah yang harus minta maaf bahwa aku telah mengejutkanmu ngger.”

“Apakah Empu datang untuk sekedar melihat-lihat, atau Empu mempunyai satu kepentingan?”

Empu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ngger. Aku tidak tahu, apakah langkahku ini menunjukkan kepicikan penalaranku. Bahkan mungkin aku dapat disebut berkhianat terhadap saudara seperguruanku.”

“Maksud mPu?” desak Mahisa Pukat.

Empu Sidikara pun kemudian menceriterakan niat Empu Kamenjangan untuk menemui Mahisa Pukat dan menjajagi kemampuannya.

“Sebenarnya aku dapat saja tidak ikut campur setelah aku melakukannya untuk kepentingan saudara seperguruanku itu pula.” berkata Empu Sidikara kemudian, “tetapi aku tidak dapat berbuat demikian ngger. Aku bahkan sudah mencoba untuk mencegah saudara seperguruanku itu. Aku sudah mengatakan bahwa tataran kemampuannya yang setataran dengan kemampuanku tidak akan dapat melampaui kemampuan angger Mahisa Pukat. Tetapi saudara seperguruanku itu tidak percaya. Sementara itu aku tidak ingin sesuatu terjadi, baik atas angger Mahisa Pukat yang menurut penilaianku sama sekali tidak bersalah, tetapi juga atas saudara seperguruanku.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan suara berat ia menceriterakan pertemuannya dengan Empu Kamenjangan di lereng bukit.

“Besok, aku harus menemuinya. Aku memang tidak mempunyai pilihan.” berkata Mahisa Pukat kemudian.

“Apakah angger sudah mempertimbangkan bahwa dua orang kawan Empu Kamenjangan akan hadir?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia bertanya, “Apakah keduanya juga saudara seperguruan Empu Kamenjangan?”

“Apakah kau melihat persamaan ilmu di antara mereka?” bertanya Empu Sidikara.

“Aku belum pernah melihat mereka dalam olah kanuragan.” jawab Mahisa Pukat, “tetapi melihat beberapa kemungkinan, mereka tidak seperguruan meskipun nampaknya mereka dapat bekerja sama dengan baik.”

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka bukan saudara seperguruan. Tetapi mereka memang dapat bekerja sama dengan baik. Mereka bertiga bersama-sama bertugas di Kesatrian setelah mereka bersama-sama terpilih dari antara sebelas orang yang menyatakan diri untuk menjadi guru di Kesatrian.” jawab Empu Sidikara.

“Dan Empu sendiri tidak termasuk di antara mereka?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku memang tidak menyatakan diri untuk mengikuti pendadaran pada waktu itu.” jawab Empu Sidikara.

“Selain ketiga orang itu, ada beberapa orang guru di bidang yang lain yang bertugas di Kesatrian.”

“Ya. Dengan mereka aku tidak mempunyai persoalan.” jawab Mahisa Pukat.

“Justru dengan Empu Kamenjangan mereka mempunyai persoalan. Tetapi Pangeran Kuda Pratama selalu berusaha menengahi. Karena mereka tidak bekerja di bidang yang sama, maka mereka dapat berjalan sesuai dengan tugas mereka sendiri-sendiri, meskipun ke tidak sesuaian itu tetap ada. Namun para guru di bidang lain, tidak pernah mempersoalkannya. Mereka melaksanakan tugas mereka saja sebaik-baiknya. Mereka menuntun para bangsawan dalam ilmu kesusasteraan, ilmu hitung, pengenalan musim dan dasar-dasar ilmu perbintangan dan secara khusus guru yang menuntun mereka dalam budi pekerti dan unggah-ungguh. Tetapi sebagian dari para bangsawan muda itu tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Yang paling menonjol hanyalah pengetahuan dalam olah kanuragan. Guru-guru dalam olah kanuragan pulalah yang nampaknya lebih menguasai anak-anak muda itu.”

Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia mengerti bahwa maksud Empu Sidikara tentu baik. Agaknya apa yang dikatakannya itu adalah sikapnya yang jujur. Ia tidak ingin saudara seperguruannya mengalami bencana karena Empu Sidikara menyadari bahwa ilmu Empu Kamenjangan itu tidak lebih tinggi dari ilmu Mahisa Pukat. Tetapi ia pun tidak ingin membiarkan Mahisa Pukat mengalami kesulitan, karena dengan mata gelap, Empu Kamenjangan dapat melibatkan kedua orang kawannya.

Namun Mahisa Pukat memang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Seandainya kedua orang kawan Empu Kamenjangan bersama-sama melibatkan dirinya, maka ia pun harus menghadapinya dengan segenap ilmunya. Ia harus dengan cepat menghisap tenaga mereka sejauh dapat dilakukan sejak awal keduanya memasuki arena. Bahkan jika perlu, ia harus mempergunakan ilmu pamungkasnya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat itu pun kemudian berkata, “mPu. Aku berterima kasih bahwa Empu telah berusaha memberikan peringatan kepadaku. Aku tahu bahwa Empu memang berdiri di simpang jalan yang sulit. Di satu pihak berdiri Empu Kamenjangan yang kebetulan adalah saudara seperguruan mPu, sedang di lain pihak Empu melihat kebenaran sikapku. Tetapi aku telah bersiap sepenuhnya, mPu. Meskipun aku harus mohon maaf, jika ada ketelanjuran sikapku. Aku sama sekali tidak berniat untuk menciderai dan selanjutnya mencelakai Empu Kamenjangan karena sebenarnya kami tidak bermusuhan. Yang terjadi hanyalah sekedar salah paham di Kesatrian.”

“Bukan salah paham ngger” sahut Empu Sidikara, “jika kita ingin mempergunakan istilah dengan jujur, maka Empu Kamenjangan merasa dengki karena kehadiran angger. Berbeda dengan kehadiran kedua kawannya karena mereka datang bersama-sama.”

Mahisa Pukat memang tidak membantah. Sambil mengangguk kecil ia berkata, “Mungkin memang demikian mPu.”

“Tetapi jika dengan demikian dengan tidak sengaja terjadi bencana, apaboleh buat,” gumam Empu Sidikara.

“Tetapi aku akan berusaha mPu. Namun agaknya hati Empu Kamenjangan jauh lebih keras dari hati Empu Sidikara.” jawab Mahisa Pukat.

“Ya. Kau benar ngger. Bukan karena aku ingin menunjukkan kelebihanku, tetapi hati Empu Kamenjangan memang sekeras batu.”

Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk. Sementara Empu Sidikara pun kemudian telah minta diri.

Kehadiran Empu Sidikara memang dapat melunakkan hati Mahisa Pukat. Kemarahannya kepada Empu Kamenjangan pun memang menyusut. Tetapi Mahisa Pukat memang tidak dapat berbuat lain daripada mempertahankan diri jika Empu Kamenjangan benar-benar ingin menyingkirkannya dengan cara apapun juga.

Malam harinya, Mahisa Pukat memang tidak dapat segera tertidur. Kedatangan Empu Sidikara membuat perasaannya terpancang kepada persoalan yang akan dihadapinya esok pagi.

Namun lewat tengah malam, akhirnya Mahisa Pukat pun sempat tertidur pula. Mimpi yang gelisah sempat mengganggunya. Namun Mahisa Pukat merasa cukup lama beristirahat, sehingga kekuatan wadagnya benar-benar telah menjadi segar kembali. Karena ia tidak dapat mengingkari tantangan Empu Kamenjangan.

Seperti dijanjikan, maka menjelang matahari terbit, Mahisa Pukat telah berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke lereng bukit untuk memenuhi janjinya kepada Empu Kamenjangan. Dengan sengaja Mahisa Pukat berjalan cepat untuk memanaskan tubuhnya. Jika ia langsung harus berhadapan dengan Empu Kamenjangan, maka darahnya sudah cukup panas dan urat-uratnya telah menjadi lemas.

Tetapi ketika ia sampai di lereng bukit, ternyata Empu Kamenjangan belum ada di tempat.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan disangka mengulur waktu jika ia datang kemudian.

Sambil menunggu, maka Mahisa Pukat telah mempergunakan waktunya untuk lebih memanaskan tubuhnya.

Baru beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat melihat Empu Kamenjangan dengan dua orang kawannya datang. Mereka berjalan sambil berbincang memanjat tebing yang tidak terlalu terjal.

Empu Kamenjangan nampaknya memang tidak tergesa-gesa. Bahkan rasa-rasanya mereka memang dengan sengaja memperlambat langkah mereka. Meskipun Empu Kamenjangan dan kedua orang kawannya sudah melihat Mahisa Pukat menunggu, tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka masih saja berjalan seenaknya. Justru perhatian mereka tertuju ke lembah dan ngarai dibawah bukit itu. Empu Kamenjangan sempat menunjuk padukuhan-padukuhan yang teronggok di atas hijaunya hamparan batang-batang padi di sawah.

Sementara itu, Kotaraja yang seakan-akan berada dihadapan kaki mereka yang berdiri di lereng bukit kecil itu.

Mahisa Pukat mula-mula memang menjadi gelisah. Ia merasa dianggap tidak berarti sama sekali oleh Empu Kamenjangan dengan kedua orang kawannya. Perhatian mereka sama sekali tidak tertuju kepadanya, meskipun Empu Kamenjangan telah menantangnya untuk saling menjajagi.

Namun Mahisa Pukat pun kemudian menyadari, bahwa agaknya Empu Kamenjangan dengan sengaja ingin merendahkannya, sekaligus membuatnya marah. Kemarahan akan dapat membuat penalaran menjadi kabur.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun sama sekali tidak menunjukkan gejolak perasaannya. Bahkan demikian ia berhenti memanaskan tubuhnya dan memandang Empu Kamenjangan yang berjalan naik lereng bukit kecil itu, maka ia pun tidak menghiraukannya lagi. Mahisa Pukat kemudian melanjutkan gerakan-gerakan sederhananya sebagai mana dilakukannya sebelumnya.

Empu Kamenjangan yang melihat sikap Mahisa Pukat itu telah mengerutkan dahinya. Apalagi kemudian Mahisa Pukat yang tubuhnya telah basah oleh keringat itu justru duduk di atas seonggok batu padas dan bahkan kemudian membaringkan tubuhnya. Kedua kakinya diangkatnya berganti-ganti. Kemudian keduanya bersama-sama.

Empu Kamenjangan justru menjadi berdebar-debar. Mahisa Pukat itu nampaknya juga tidak memperhatikan kedatangannya. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi gelisah melihat orang yang menantangnya itu mendekatinya dan siap untuk bertempur. Anak muda yang sudah berdiri sejenak melihat kedatangannya itu bukannya segera mempersiapkan diri. Tetapi ia justru masih saja memanasi tubuhnya tanpa menghiraukannya sama sekali.

Namun akhirnya, Empu Kamenjangan dan kedua orang kawannya itu telah sampai ke tempat Mahisa Pukat bermain-main sendiri. Demikian ketiganya berdiri beberapa langkah daripadanya, Mahisa Pukat itu menghentikan geraknya. Perlahan-lahan dengan malasnya ia bangkit berdiri.

“Selamat datang Empu bertiga” sapa Mahisa Pukat.


Empu Kamenjangan memandanginya dengan tajamnya.

Dengan nada berat ia menjawab, “Selamat anak muda. Aku kira kau tidak akan memenuhi janjimu.”

Mahisa Pukat tertawa. Tetapi ia bertanya, “Apa alasan Empu dengan dugaan Empu itu?”

“Kau tentu merasa betapa kecilnya kau di hadapanku.”

Mahisa Pukat tertawa semakin panjang. Katanya, “Ya, perasaan itu memang ada mPu. Tetapi justru perasaan itulah yang mendorong aku untuk datang kemari.”

“Kenapa?” bertanya Empu Kamenjangan.

“Aku tidak yakin bahwa perasaan itu benar. Aku tidak yakin bahwa aku terlalu kecil dihadapan Empu Kamenjangan.”

“Jadi kau merasa bahwa kau pantas untuk mengimbangi kemampuanku?”

“Apakah Empu sudah bertemu dan berbicara dengan Empu Sidikara yang menurut pengakuannya saudara seperguruan mPu?”

Empu Kamenjangan lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Ya. Ia adalah saudara seperguruanku. Kami bersama-sama dituntun oleh guru yang sama. Kami bersama-sama telah menuntaskan ilmu dari perguruan kami. Tetapi Sidikara lalu berhenti. Ia tidak lagi mampu meningkatkan ilmunya. Ia sudah merasa puas dengan apa yang dimiliki dari seorang guru saja. Tetapi aku tidak anak muda. Aku haus akan ilmu. Karena itu, maka setelah aku berpisah dengan Sidikara, maka kemampuanku meningkat dua tiga kali lipat dari kemampuan Empu Sidikara itu.”

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Apakah aku juga harus mengarang ceritera yang lebih garang lagi dari cerita Empu itu sehingga kesannya aku memiliki kelebihan dari Empu?

Wajah Empu Kamenjangan menjadi merah. Mahisa Pukat ternyata tidak mempercayai ceriteranya tentang dirinya.

Karena itu, maka ia pun kemudian menggeram, “Baiklah, kau benar-benar anak yang sombong dan tidak tahu diri. Aku ingin menunjukkan kepadamu, bahwa kau tidak lebih dari seorang anak ingusan bagiku.”

MahisaPukat mengerutkan dahinya. Ia sadar, bahwa Empu Kamenjangan justru telah menjadi marah. Namun Mahisa Pukat pun sudah memperhitungkan bahwa Empu Kamenjangan tentu tidak akan kehilangan penalarannya. Bagaimanapun juga Empu Kamenjangan adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Karena itu maka Mahisa Pukat pun menyadari, bahwa pertempuran yang akan terjadi adalah pertempuran yang bukan saja sekedar penjajagan. Meskipun perasaan Empu Kamenjangan tentu sudah mengendap, namun ia pada suatu saat akan dapat kehilangan kendali, sehingga ia akan mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya. Jika kemudian yang terjadi demikian, maka yang harus dilakukannya adalah mempertaruhkan segala-galanya yang ada padanya.

(ada beberapa alenia dobel kubuang ajja-dewi kz)

Demikianlah, maka Empu Kamenjangan yang marah itu pun berkata, “Anak muda. Bersiaplah. Matahari sudah mulai memanjat langit. Kita akan mulai bermain-main. Jika kau pernah bermain-main dengan Empu Sidikara, maka kini kau bermain-main dengan aku. Empu Kamenjangan,”

“Aku sudah siap. mPu. Bukankah aku sudah datang lebih dahulu dari mPu?” sahut Mahisa Pukat.

Empu Kamenjangan bergeser maju. Kepada kedua kawannya ia berkata, “Nah, kalian akan menjadi saksi apa yang terjadi di sini atas anak muda yang sombong itu. Jika tanganku terlanjur menyakitinya, itu bukan salahku.”

Kedua orang kawan Empu Sidikara itu pun segera mendekat pula. Mereka berdiri beberapa langkah dari Empu Sidikara yang kemudian telah berhadap-hadapan dengan MahisaPukat.

Ternyata Empu Kamenjangan telah melepaskan senjatanya. Sebuah nenggala yang tajam di kedua ujungnya dan menyerahkannya kepada salah seorang dari kedua kawannya.

“Aku tidak ingin mempergunakannya.” Namun kemudian katanya kepada Mahisa Pukat, “kau sebaiknya tidak usah melepas senjatamu itu, mungkin kau akan mempergunakannya.”

Mahisa Pukat tersenyum sambil menjawab, “Kau tentu sudah mendengar dari Empu Sidikara, bahwa aku tidak selalu memerlukan senjataku. Karena itu, supaya menjadi adil, maka aku pun akan meletakkan senjataku pula.”

Empu Kamenjangan tidak menyahut. Tetapi ia hanya memandangi saja Mahisa Pukat yang kemudian meletakkan pedang dan sarungnya diatas batu padas.

“Kau memang sombong” geram Empu Kamenjangan, “tetapi segala yang terjadi kemudian adalah salahmu sendiri.”

Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Ketika ia melihat Empu Kamenjangan bergeser mendekat lagi, maka ia pun benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Empu Kamenjangan memang mulai menyerang meskipun sekedar memancing gerakan Mahisa Pukat. Ketika Mahisa Pukat bergeser, maka Empu Kamenjangan telah meloncat menyusul dengan serangannya pula.

Mahisa Pukat yang menghindar, justru telah mulai mempersiapkan diri untuk membalas serangan Empu Kamenjangan.

Dengan demikian maka pertempuran itu telah menjadi semakin meningkat. Baik Empu Kamenjangan maupun Mahisa Pukat masih berusaha untuk menjajagi kemampuan masing-masing. Namun pada langkah selanjutnya, maka Empu Kamenjangan telah bergerak semakin cepat.

Mahisa Pukat mampu mengenali satu dua unsur gerak sebagaimana dapat dilihatnya pada unsur gerak Empu Sidikara yang kebetulan adalah saudara perguruan Empu Kamenjangan. Namun di antara unsur-unsur gerak yang samar itu, memang nampak ada unsur-unsur gerak yang berbeda. Semakin cepat mereka bertempur, maka Mahisa Pukat memang merasakan perbedaan itu. Namun bagi Mahisa Pukat, perbedaan yang ada itu, masih belum menyulitkannya.

Meskipun Empu Kamenjangan telah mendapat laporan dari Empu Sidikara tentang Mahisa Pukat, namun agaknya Empu Kamenjangan masih ingin menjajagi langsung tataran demi tataran dari ilmu anak muda yang telah membuatnya tersingkir dari Kesatrian.

Namun Mahisa Pukat yang menyadari akan hal itu, telah berusaha untuk mengurungkannya Ia tidak ingin Empu Kamenjangan menelusuri ilmunya tataran demi tataran. Sebenarnya ia sama sekali tidak berkeberatan, namun Mahisa Pukat hanya ingin melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan keinginan Empu Kamenjangan.

Karena itu, pada saat Empu Kamenjangan mulai meningkatkan ilmunya tataran demi tataran, Mahisa Pukat justru telah meloncat ke tataran yang lebih tinggi.

Empu Kamenjangan sempat terkejut. Beberapa langkah ia terdorong surut.

Empu Kamenjangan yang terkejut mendapat serangan yang keras itu telah meloncat mengambil jarak sambil mengumpat. Namun Mahisa Pukat tidak memberinya kesempatan. Serangannya justru menjadi semakin cepat.

Dengan demikian maka Empu Kamenjangan memang tidak mempunyai kesempatan untuk melihat ilmu Mahisa Pukat tataran demi tataran. Untuk mengimbangi serangan-serangan anak muda itu, maka Empu Kamenjangan pun harus dengan cepat meningkatkan ilmunya pula.

(sepertinya ada bagian cerita yang terlewatkan)

Mahisa Pukat yang melihat lawannya menjatuhkan diri, mengurungkan niatnya. Tetapi justru tubuhnya berputar. Kakinya yang terangkat itu kemudian menjadi tumpuan putaran tubuhnya sehingga kakinya yang lain terayun mendatar menyambut kepala Empu Kamenjangan.

Tetapi Empu Kamenjangan menundukkan kepalanya dalam-dalam, hampir mencium tanah. Dengan demikian maka kaki Mahisa Pukat yang terayun itu tidak mengenainya. Bahkan demikian kaki itu lewat, maka Empu Kamenjangan dengan cepat bangkit berdiri. Kakinya yang dilipat itu dengan cepat menyerang Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat lah yang terkejut. Tetapi Mahisa Pukat dengan cepat menjatuhkan dirinya. Kedua kakinya yang renggang meluncur mendatar menjepit sebelah kaki Empu Kamenjangan yang berpijak kuat-kuat, sementara kakinya yang lain terayun keluar.

Ketika Mahisa Pukat memutar kakinya, maka Empu Kamenjangan pun ikut berputar pula. Karena itu, maka Empu Kamenjangan itu pun telah terbanting jatuh.

Hanya karena ketrampilannya sajalah maka kepalanya tidak seperti dihentakkan membentur tanah. Tubuhnya yang liat itu berhasil lepas dari jepitan kaki Mahisa Pukat. Dua kali Empu Kamenjangan berguling. Baru kemudian, ia melenting berdiri tegak diatas kedua kakinya.

Demikian pula Mahisa Pukat. Ketika Empu Kamenjangan berdiri tegak, maka Mahisa Pukat pun telah berdiri pula.

Empu Kamenjangan menggeram marah. Ia tidak dapat mengingkari bahwa kekuatan anak muda itu terlalu besar untuk dilawan. Benturan-benturan yang terjadi telah membuat tubuh Empu Kamenjangan menjadi sakit. Serangan Mahisa Pukat yang mampu menembus pertahanannya membuat tulang-tulangnya bagaikan retak. Ketika ia terbanting jatuh, meskipun ia sempat berguling dan melenting tegak berdiri, namun Empu Kamenjangan harus menyeringai menahan sakit di punggungnya.

Karena itu maka Empu Kamenjangan tidak mempunyai pilihan lain. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa memang sulit baginya untuk dapat mengalahkan Mahisa Pukat tanpa mempergunakan ilmu puncaknya.

Karena itu, maka setelah tidak mempunyai kemungkinan lain maka Empu Kamenjangan itu pun telah mempersiapkan dirinya untuk sampai kepada kemampuan ilmu puncaknya.

Mahisa Pukat yang melihat unsur-unsur yang sama pada ilmu Empu Kamenjangan dengan ilmu Empu Sidikara memang menjadi termangu-mangu. Namun seperti yang dikatakan oleh Empu Kamenjangan, bahwa ilmunya lebih dari yang telah dimiliki oleh Empu Sidikara.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun merasa bahwa ia harus menjadi sangat berhati-hati.

Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Empu Kamenjangan mempersiapkan dirinya dalam pemusatan nalar budinya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “mPu. Apakah kita benar-benar akan membenturkan ilmu puncak kita?”

“Persetan” geram Empu Kamenjangan, “kau sudah kehilangan kesempatan untuk memohon pengampunan. Tengadahkan wajahmu ke langit dan tundukkan kepalamu ke pusat bumi. Kau akan segera hancur menjadi debu.”

Mahisa Pukat memang tidak mempunyai banyak kesempatan. Karena itu, ketika Empu Kamenjangan berdiri tegak dengan kaki renggang serta kedua tangannya merapat di depan dadanya, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat mempersiapkan dirinya pula. Meskipun ia tidak membawa kerisnya yang berwarna kehijauan, namun ia mempersiapkan ilmunya pada landasan segala kemampuan dan tenaga-tenaga dalam yang ada di dalam dirinya.

Mahisa Pukat memang tidak mempunyai kesempatan untuk mengelakkan benturan ilmu itu. Karena itulah, maka ketika ia melihat Empu Kamenjangan menggerakkan kedua tangannya dan mengosokkan kedua tetapi tangannya, maka ia pun telah siap untuk melontarkan ilmunya pula.

Demikianlah, sekejap kemudian Empu Kamenjangan itu telah menghentakkan ilmu puncaknya. Ia telah melontarkan getar kekuatan ilmu di dalam dirinya dalam lontaran ilmu yang jarang ada bandingnya.

Namun sementara itu Mahisa Pukat pun telah melakukan hal yang sama. Ia telah mempersiapkan dirinya. Memusatkan nalar budinya, dan siap melontarkan puncak ilmunya pula.

MahisaPukat memang tidak ingin terlambat. Ketika melihat Empu Kamenjangan melontarkan ilmunya, ia maka Mahisa Pukat pun telah melepaskan ilmunya pula. Ketika kedua telapak tangannya yang terbuka menghadap ke arah Empu Kamenjangan, maka sinar yang kehijauan seolah-olah telah meluncur dari telapak tangan anak muda itu.

Sejenak kemudian, benturan kekuatan yang dahsyat telah terjadi. Dua getaran ilmu puncak yang tidak ada bandingnya.

Kedua kekuatan ilmu itu telah saling menghantam dengan gelombang kekuatan getaran masing-masing.

Benturan kekuatan itu ternyata telah saling dan saling menekan. Keseimbangan kekuatan dahsyat yang berbenturan itu telah menentukan akibat yang terjadi pada kedua orang yang telah melepaskannya. Getaran yang terpantul oleh benturan itu, ternyata telah mengetuk jantung Mahisa Pukat sehingga anak muda itu harus mengerahkan daya tahannya, agar jantungnya tidak pecah karenanya

Meskipun demikian getaran yang menghentaknya itu telah mendorongnya beberapa langkah surut. Namun Mahisa Pukat masih mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia masih berdiri tegak diatas kedua kakinya.

Tetapi anak muda itu pun segera menyilangkan kedua tangannya di dadanya, menghisap udara dalam-dalam memenuhi rongga dadanya, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan.

Dada Mahisa Pukat memang terasa nyeri. Namun diulanginya tarikan udara ke dalam rongga dadanya dan melepaskannya perlahan-lahan.

Sementara itu, akibat yang menimpa Empu Kamenjangan ternyata lebih parah. Empu Kamenjangan bukan saja terdorong beberapa langkah surut. Tetapi Empu Kamenjangan telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah berbatu padas. Hentakkan balik pantulan benturan ilmunya melawan ilmu Mahisa Pukat yang lebih kuat telah menghantam seisi dadanya. Betapapun Empu Kamenjangan mengerahkan daya tahannya, namun isi dadanya bagaikan telah rontok berjatuhan.

Terdengar erang kesakitan. Sementara itu kedua orang kawan Empu Kamenjangan telah berlari dan berjongkok di sisinya.

“mPu” desis salah seorang dari mereka.

Empu Kamenjangan memang tidak pingsan. Tetapi keadaannya memang parah. Darah nampak menitik dari sela-sela bibirnya.

“Dimana iblis itu?” desis Empu Kamenjangan.

Kedua orang kawan Empu Kamenjangan itu pun berpaling ke arah Mahisa Pukat. Namun mereka melihat Mahisa Pukat itu sudah duduk memusatkan nalar budinya, mengatur pernafasannya untuk meningkatkan daya tahannya. Perlahan-lahan maka Mahisa Pukat itu dapat menguasai rasa sakit di dadanya. Nafasnya pun semakin lama menjadi semakin lancar. Demikian pula darahnya telah mengalir wajar di jalur-jalur pembuluhnya di seluruh tubuhnya.

“Kenapa kalian diam saja?” bertanya Empu Kamenjangan dengan nafas yang tersengal-sengal.

“Apa yang harus kami lakukan?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Hancurkan anak itu. Ia tidak boleh keluar dari lingkaran pertempuran ini. Ia akan menjadi semakin sombong dan mengira bahwa ia dapat mengalahkan aku” desis Empu Kamenjangan.

Kedua orang kawannya itu termangu-mangu sejenak. Namun Empu Kamenjangan itu berkata, “Ia tentu dalam kesulitan pula sekarang ini seandainya ia tidak mati. Dadanya tentu retak dan jantungnya telah pecah. Jika ia masih dapat bangkit, maka nyawanya sudah berada di ujung rambutnya.”

Kedua orang kawannya itu mengangguk. Tetapi mereka memang merasa sakit hati pula terhadap Mahisa Pukat. Apalagi setelah Mahisa Pukat mampu mengalahkan Empu Kamenjangan. Maka Mahisa Pukat tentu akan semakin menengadahkan kepalanya dan berkata kepada setiap orang dan kepada Pangeran Kuda Pratama, bahwa Empu Kamenjangan telah dikalahkan.

Karena itu, maka kedua orang itu pun segera bangkit berdiri. Mereka berdua juga bukan orang kebanyakan. Mereka telah terpilih di antara beberapa orang yang menyatakan diri untuk mendapat tugas di Kesatrian, membimbing para bangsawan muda.

Beberapa langkah mereka berjalan mendekati Mahisa Pukat. Sementara itu Mahisa Pukat telah berhasil menguasai perasaan sakitnya, serta memulihkan pernafasannya serta peredaran darahnya. Meskipun demikian, tenaga dan kemampuannya memang belum pulih sepenuhnya.

Tetapi Mahisa Pukat tidak akan bersedia menyerahkan kepalanya kepada siapapun juga. Karena itu, meskipun kemampuannya belum pulih kembali, namun Mahisa Pukat pun telah bangkit pula dan bersiap untuk segera menghadapi kedua orang itu dengan penuh kesadaran, bahwa kedua orang itu tentu memiliki ilmu yang tinggi pula.

Karena itu, Mahisa Pukat tidak sekedar mempercayakan diri pada ilmunya yang akan dapat dilontarkan dari jarak jauh. Tetapi Mahisa Pukat pun telah mengetrapkan pula ilmunya yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.

“Kau dalam keadaanmu seperti itu tidak akan dapat berbuat banyak, anak muda” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Jadi? Maksudmu, biarlah aku menundukkan kepalaku, sementara kalian akan mematahkan leherku?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya” jawab yang lain, “kau tidak boleh kembali ke Kesatrian dengan menyebarkan ceritera bohong tentang Empu Kamenjangan dan kami berdua”

“Ceritera bohong bagaimana? Seandainya aku mengatakan bahwa aku dapat mengalahkan Empu Kamenjangan, bukankah itu sebenarnya telah terjadi?” jawab Mahisa Pukat.

“Apapun yang telah terjadi, sebaiknya kau tidak mengatakan apapun kepada siapapun. Hal itu akan dapat terjadi, jika kau tidak keluar dari arena pertempuran ini.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi kata-kata itu sudah pasti baginya. Ia harus bertempur melawan kedua orang kawan Empu Kamenjangan. Dua orang yang juga bertugas di Kesatrian Singasari. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah bersiap sepenuhnya. Apapun yang akan terjadi, tetapi ia akan mempertahankan diri sejauh dapat dilakukannya.

“Nah, anak muda” berkata salah seorang dari kedua orang itu, “jika kau dapat lolos dari tangan Empu Kamenjangan, maka datang saatnya kau mati pula.”

Mahisa Pukat menggeram. Ia memang tidak terlalu terkejut melihat sikap kedua orang itu. Karena itu, maka apa yang akan terjadi, Mahisa Pukat telah siap menghadapinya. Bahkan sampai kemungkinan terburuk sekalipun. Meskipun belum utuh kembali, tetapi ia merasa bahwa ia telah berhasil menemukan kembali landasan untuk berpijak.

Ketika kedua orang itu bergerak saling menjauh, maka Mahisa Pukat pun segera memiringkan tubuhnya. Satu kakinya ditariknya setengah langkah surut sambil merendah pada lututnya. Kedua tangannya mengepal dan bersilang di depan dadanya.

“Jangan menyesali nasibmu yang buruk anak muda.” desis seorang yang lain sambil bergeser selangkah, “luka Empu Kamenjangan yang parah akan segera terbalas.”


Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap meloncat dan bertempur pada jarak dekat, sehingga memungkinkannya untuk membenturkan tubuhnya pada tubuh lawannya, sehingga tenaga dan kemampuan lawannya akan dapat terhisap. Kecuali itu jika ia bertempur pada jarak dekat dengan salah seorang di antara mereka, maka yang seorang tentu tidak akan dengan gegabah melontarkan ilmunya dari jarak jauh, seandainya ia memiliki kemampuan itu.

Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Pukat sudah siap untuk meloncat menyerang dan bertempur pada jarak dekat, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa diatas batu padas di tebing bukit kecil itu.

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Yang berdiri tegak sambil tertawa diatas batu padas itu adalah Empu Sidikara. Agaknya ia telah meloncat dari balik batu padas itu.

“Empu Sidikara” desis salah seorang dari kedua orang kawan Empu Kamenjangan itu.

“Ya Ki Sanak. Aku telah melihat apa yang telah terjadi di sini. Aku telah melihat bagaimana Empu Kamenjangan, saudara seperguruanku itu jatuh terpelanting dan terluka parah di bagian dalam tubuhnya.”

“Apakah kau akan menuntut balas atas kekalahan saudara seperguruanmu?” bertanya salah seorang dari kedua kawan Empu Kamenjangan itu.

“Tidak” jawab Empu Sidikara, “aku telah memberikan peringatan kepadanya sebelum ia bertanding melawan Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mendengarkannya. Bahkan ia telah merendahkan bukan saja Mahisa Pukat, tetapi juga aku. Empu Kamenjangan merasa bahwa ilmunya lebih tinggi dari ilmuku. Tetapi lihat, apa yang telah terjadi? Apakah ilmunya benar lebih tinggi dari ilmuku.”

“Jika kau merasa ilmumu lebih tinggi, kenapa kau tidak menuntut balas kekalahan saudara seperguruanmu? Jika benar ilmumu lebih tinggi, maka kau akan dengan mudah dapat mengalahkan Mahisa Pukat.”

“Tidak. Aku tidak akan menuntut balas karena aku tahu siapakah yang bersalah dalam pertandingan ini.” jawab Empu Sidikara.

“Apakah aku tidak salah dengar?” bertanya salah seorang kawan Empu Kamenjangan itu, “bukankah seharusnya seseorang akan membela saudara seperguruannya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri?”

“Apakah nilai seorang saudara seperguruan lebih tinggi dari nilai kebenaran?” bertanya Empu Sidikara.

“Apakah yang kau maksud?” bertanya kawan Empu Kamenjangan itu.

“Jika dalam persoalan ini saudara seperguruanku berada di fihak yang bersalah, apakah aku harus menuntut balas? Sementara itu lawan saudara seperguruanku berdiri di pihak yang benar sebagaimana Mahisa Pukat?”

“Persetan” geram orang itu, “kau sudah sampai hati mengkhianati saudara seperguruanmu sendiri.”

“Itu lebih baik daripada aku berkhianat terhadap kebenaran.” jawab Empu Sidikara.

“Terkutuklah kau” berkata kawan Empu Kamenjangan itu. “Jika kelak Empu Kamenjangan sembuh dan kekuatannya pulih kembali, maka kau akan menyesal. Ia akan menghukummu.”

“Kenapa bukan aku yang menghukumnya? Ia sudah melanggar nasehatku.” jawab Empu Sidikara.

“Jangan sombong. Kau akan dihancurkan oleh saudara seperguruanmu. Biarlah sekarang aku membalaskan sakit hatinya menghancurkan Mahisa Pukat itu. Nanti, kita akan berbicara tentang pengkhianatanmu itu.” berkata kawan Empu Kamenjangan itu.

Tetapi Empu Sidikara itu tertawa. Katanya, “Ki Sanak. Sejak semula aku memang datang dengan tujuan lain. Sama sekali tidak akan membantu apalagi menuntut balas akan kekalahannya. Biarlah ia menyadari, bahwa ilmunya memang masih belum mencapai tataran kemampuan Mahisa Pukat” berkata Empu Sidikara. Lalu katanya, “Sekarang aku justru akan berurusan dengan kalian. Kau tahu, bahwa Mahisa Pukat masih terlalu letih. Apalagi setelah ilmunya berbenturan dengan ilmu Empu Kamenjangan. Karena itu, maka tidak adil kiranya jika ia harus bertempur melawan dua orang sekaligus sekarang ini. Jika kalian memaksakan pertempuran, maka biarlah Mahisa Pukat melawan seorang saja di antara kalian.”

“Apa pedulimu. Kami berdua akan bertempur bersama-sama. Mahisa Pukat harus kami hancurkan sekarang juga.” geram kawan Empu Kamenjangan itu.

“Ki Sanak. Jika kalian berdua memaksa untuk bertempur melawan Mahisa Pukat, maka biarlah aku juga turun ke arena. Aku berdiri di pihak Mahisa Pukat”

Kedua orang itu terkejut. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa Empu Sidikara justru akan berpihak kepada Mahisa Pukat. Justru setelah Mahisa Pukat mengalahkan Empu Kamenjangan.

Seorang di antara kedua orang kawan Empu Kamenjangan itu pun kemudian berkata lantang, “mPu Sidikara. kau telah melengkapi pengkhianatanmu. Jika kemudian Empu Kamenjangan tahu, apa saja yang akan dilakukan atasmu?”

“Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku. Sudah aku katakan, aku lebih baik berkhianat kepada saudara seperguruanku daripada berkhianat atas keyakinanku.”

Mahisa Pukat yang mendengar kata-kata Empu Sidikara itu pun diluar sadarnya berkata, “Terima kasih mPu. Ternyata bahwa Empu mampu melihat kebenaran.”

Empu Sidikara itu melangkah mendekat. Sementara itu kedua orang kawan Empu Kamenjangan itu menjadi ragu-ragu. Jika Mahisa Pukat mampu mengalahkan Empu Kamenjangan, maka mereka berdua tentu sulit untuk dapat memenangkan pertempuran melawan anak muda itu bersama-sama dengan Empu Sidikara. Apalagi nampaknya Empu Sidikara juga memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana Empu Kamenjangan.

Karena itu, maka untuk beberapa saat keduanya berdiri termangu-mangu. Sementara itu Empu Sidikara telah berdiri di sebelah Mahisa Pukat. Katanya, “Pikirkan Ki Sanak. Masih ada kesempatan untuk mengurungkan perkelahian yang tentu tidak akan menguntungkan bagi kalian berdua. Seorang di antara kalian tentu akan dibunuh oleh Mahisa Pukat, sedang yang lain akulah yang akan membunuhnya.”

Kedua orang itu benar-benar dicekam oleh kebimbangan. Antara kesetia-kawanan, harga diri dan kenyataan yang dihadapinya yang tidak dapat diingkarinya.

“Pergilah. Bawa Empu Kamenjangan. Kalian tentu dapat mencari seorang tabib yang akan dapat mengobatinya. Atau Empu Kamenjangan sendiri agaknya mempunyai obat penolong untuk sementara agar ia tetap dapat bertahan hidup.” berkata Empu Sidikara.

Kedua orang itu masih tetap ragu-ragu. Tetapi Empu Sidikara berkata lebih keras, “Jangan tunggu Empu Kamenjangan mati. Tanyakan kepadanya apakah ia membawa obat atau tidak.”

Kedua orang itu pun kemudian mendekati Empu Kamenjangan yang menjadi semakin lemah. Matanya mulai terpejam sementara nafasnya menjadi semakin sesak.

“mPu” desis salah seorang kawannya.

Empu Kamenjangan ternyata masih mendengar suara kawannya. Dengan lemah ia bertanya, “Apakah tikus itu sudah mati?-

Kedua orang itu berpaling. Tetapi Mahisa Pukat dan Empu Sidikara telah berdiri dekat di belakang mereka. Bahkan keduanya telah mendengar pula desah suara Empu Kamenjangan meskipun hanya perlahan-lahan.

Kedua orang itu memang menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu Empu Kamenjangan masih saja berdesis lemah, “Apakah anak itu sudah mati?”

Namun Empu Sidikara lah yang berdesis, “Suruh ia menelan obat yang dapat membantunya mempertahankan hidupnya”

Kedua orang kawan Empu Kamenjangan itu ragu-ragu. Namun Empu Sidikara justru telah mendesak mereka dan berjongkok disamping Empu Kamenjangan. Tanpa mengatakan sesuatu Empu Sidikara telah mengambil sebutir obat dari kantong ikat pinggangnya dan perlahan-lahan dimasukan di sela-sela bibir Empu Kamenjangan.

Empu Kamenjangan tidak menyadari apa yang terjadi. Namun ketika obat itu seakan-akan mencair di mulutnya dan tertelan lewat kerongkongannya maka rasa-rasanya sentuhan udara segar telah mengalir di dalam rongga dadanya. Darahnya yang hampir membeku telah mulai bergejolak mengalir di seluruh pembuluh di tubuh.

Empu Kamenjangan sempat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keadaannya masih saja sangat lemah.

“Kalian harus menunggui Empu Kamenjangan untuk beberapa lama. Keadaannya akan berangsur baik meskipun dalam keterbatasannya. Kalian berdua kemudian dapat membantunya meninggalkan tempat ini. Jika ia menjadi sadar, maka Empu Kamenjangan sendiri tahu, apa yang harus ditelannya. Katakan bahwa aku telah menyelipkan sebutir obat di mulutnya.”

Kedua orang itu. tidak menjawab. Mereka hanya termangu-mangu saja melihat Empu Sidikara yang kemudian mengajak Mahisa Pukat meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal Mahisa Pukat dan Empu Sidikara, maka keadaan Empu Kamenjangan memang menjadi semakin baik. Ketika ia kemudian menyadari keadaannya, maka ia bertanya lagi, “Apakah kau sudah membunuh anak itu?”

“Tidak Empu” jawab salah seorang kawannya.

“Kenapa?” bertanya Empu Kamenjangan dengan wajah tegang.

Kawannya memang menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi yang seorang lagi berkata, “mPu, sebaiknya Empu memikirkan keadaan Empu sekarang ini. Mungkin Empu mempunyai obat yang dapat setidak-setidaknya membantu agar daya tahan Empu semakin meningkat. Dengan demikian kita akan dapat meninggalkan tempat ini.”

Empu Kamenjangan termangu-mangu sejenak, sementara kawannya yang lain berkata pula, “Marilah mPu. Kita tinggalkan tempat ini. Nanti jika keadaan Empu menjadi semakin baik, biarlah kami ceriterakan apa yang telah terjadi.”

Tetapi Empu Kamenjangan itu tiba-tiba saja bertanya, “Apakah Empu Sidikara ada di sini?”

“Ya Empu” jawab salah seorang dari kedua kawannya.

“Samar-samar aku mendengar suaranya.” namun tiba-tiba ia bertanya, “apakah ia memberikan obat untukku?”

Kedua orang kawannya memang ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi Empu Kamenjangan itu mendesak, “Ia mempunyai obat sebagaimana aku punya. Rasa-rasanya keadaanku cepat berubah karena obat yang diberikannya atau obatku sendiri.”

Kedua kawannya tidak dapat mengelak lagi. Meskipun ragu-ragu namun seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Empu Sidikara telah memberikan obat itu kepada Empu langsung. Empu Sidikara lah yang menyelipkan obat itu di bibir mPu.”

“Lalu apa lagi yang dilakukan oleh orang tua?” bertanya Empu Kamenjangan.

“Empu Sidikara telah pergi.” jawab kawannya. Namun katanya pula, “Tetapi sudahlah mPu. Sekarang, marilah kita pergi. Kita akan dapat membicarakan nanti jika keadaan Empu sudah bertambah baik.”

“Kau jangan bodoh” berkata Empu Kamenjangan, “pengaruh obat itu semakin lama semakin baik. Seandainya kita sempat menunggu beberapa saat, maka keadaanku tentu bertambah baik.”

“Tetapi daya obat itu mempunyai keterbatasan. Semakin lama memang semakin baik. Tetapi bagaimana jika terlalu lama melampaui daya kekuatannya dalam keterbatasannya.”

Empu Kamenjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Marilah kita pergi.”

Kedua orang kawannya itu pun telah membantu Empu Kamenjangan bangkit berdiri. Ternyata bahwa kekuatan yang tersisa dan yang bahkan telah dibantu oleh obat yang telah diselipkan dibibirnya, namun Empu Kamenjangan masih harus dipapah oleh kedua orang kawannya ketika ia meninggalkan tempat itu.


Baru kemudian, setelah mereka berada di rumah, kedua kawan Empu Kamenjangan itu menceriterakan semua peristiwa yang terjadi sejak Empu Kamenjangan terlempar jatuh.

Empu Kamenjangan sempat merenungi keterangan kedua kawannya itu. Namun bagaimanapun juga ia masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa ia dikalahkan oleh Mahisa Pukat.

Empu Kamenjangan juga sulit untuk mengerti sikap saudara seperguruannya. Empu Sidikara sama sekali tidak mau membantunya, bahkan ketika kedua orang kawannya siap melawan Mahisa Pukat, Empu Sidikara itu menyatakan berdiri di pihak Mahisa Pukat. Namun ternyata bahwa Empu Sidikara itu telah memberikan obat baginya pada saat yang sangat mencemaskan. Seandainya Empu Sidikara membiarkannya terkapar di tanah berbatu padas, mungkin ia tidak akan sempat bangkit lagi. Justru karena obat yang diberikan oleh Empu Sidikara itu, maka ia sempat sampai ke rumahnya dan kemudian sempat menelan obat yang lebih sesuai dengan keadaannya yang parah itu.

Kedua orang kawannya itu kemudian menasehatkan kepada Empu Kamenjangan untuk beristirahat saja lebih dahulu tanpa memikirkan bermacam-macam persoalan. Biarlah yang telah terjadi atasnya itu terjadi. Jika keadaan Empu Kamenjangan telah menjadi baik, maka ia akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan baru, apa yang akan dilakukannya.

Sementara itu, Mahisa Pukat justru telah diminta singgah di rumah Empu Sidikara. Rumahnya memang tidak ada dilingkungan dinding Kotaraja sebagaimana Empu Kamenjangan. Namun juga tidak terlalu jauh. Rumah Empu Sidikara berada di sebuah padukuhan yang besar. Namun halamannya yang luas terletak di ujung padukuhan. Bahkan terpisah oleh kotak-kotak sawah yang sempit, milik Empu Sidikara sendiri.

“Sebuah padepokan kecil yang tenang” desis Mahisa Pukat.

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang merindukan sebuah padepokan. Tetapi aku masih belum sempat mendirikannya. Rumah yang dikelilingi oleh halaman dan sawah ini aku harap kelak dapat berkembang menjadi sebuah padepokan. Meskipun tidak akan pernah dapat menjadi padepokan sebesar Padepokan Bajra Seta.”

“Kenapa tidak?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak. Aku tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mendirikan sebuah padepokan. Meskipun demikian aku memang mencoba untuk merintisnya. Ada beberapa orang anak muda yang tinggal di rumahku. Mereka menyebut aku guru.” berkata Empu Sidikara.

“Satu langkah awal” desis Mahisa Pukat.

Beberapa lama Mahisa Pukat berada di rumah Empu Sidikara yang sejuk. Mahisa Pukat memang melihat beberapa orang anak muda yang tinggal di rumah yang terhitung besar itu. Mereka bersikap hormat kepada Empu Sidikara sebagaimana seorang murid kepada gurunya.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dibanding dengan Padepokan Bajra Seta, maka padepokan yang sedang dirintis oleh Empu Sidikara itu adalah padepokan yang kecil saja.

Untuk beberapa lama Mahisa Pukat masih berada di rumah Empu Sidikara itu. Bahkan Mahisa Pukat sempat membicarakan kemungkinan pengganti kedudukan Empu Kamenjangan di Kesatrian.

Namun Empu Sidikara tersenyum sambil berdesis, “Sulit bagiku untuk menerima tawaran seperti itu.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Kenapa mPu. Bukan Empu yang menyebabkan Empu Kamenjangan terusir dari Kesatrian. Seandainya Empu kemudian hadir, maka tidak ada lagi hubungannya dengan kepergian Empu Kamenjangan.”

“Tidak ngger. Aku adalah saudara seperguruan Empu Kamenjangan. Tentu tidak baik jika kemudian aku hadir di Kesatrian, sementara saudara seperguruanku telah terusir.” jawab Empu Sidikara.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti sepenuhnya kenapa Empu Sidikara merasa berkeberatan untuk menggantikan kedudukan Empu Kamenjangan di Kesatrian.

Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak membicarakannya lagi.

Demikianlah, setelah beberapa lama Mahisa Pukat berada di rumah Empu Sidikara, maka ia pun berniat untuk minta diri. Namun Mahisa Pukat itu pun kemudian bertanya, “mPu, bagaimana sikap Empu jika Empu Kamenjangan benar-benar marah kepada mPu?”

Empu Sidikara tersenyum. Katanya, “Sudah aku katakan ngger. Bahwa aku tidak dapat mengingkari kata nuraniku. Karena itu, maka aku akan mempertanggung jawabkan akibat dari sikapku. Sebenarnyalah bahwa Empu Kamenjangan tidak mempunyai banyak kelebihan dari aku. Empu Kamenjangan mempunyai beberapa kelebihan di satu sisi. Aku pun mempunyai kelebihan di sisi lain, sehingga jika kami benar-benar harus membenturkan ilmu dan kemampuan aku sudah siap. Tetapi aku harap bahwa hal itu tidak akan terjadi. Jika kelak hati Empu Kamenjangan sudah dingin, maka ia tidak akan berusaha menghukumku. Sementara itu kedua kawannya tentu akan membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Untuk apa ia tetap setia kepada Empu Kamenjangan jika mereka sudah tidak lagi mempunyai kepentingan yang sama.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Hatinya ikut menjadi tenang mendengar sikap Empu Sidikara. Empu Sidikara ternyata sama sekali tidak digelisahkan oleh sikap saudara seperguruannya itu kelak. Bahkan ia berharap bahwa saudara seperguruannya dan dua orang kawannya itu berubah sikap.

Sebenarnyalah ketika keadaan Empu Kamenjangan berangsur baik, maka ia sempat berpikir kembali tentang sikapnya terhadap Mahisa Pukat dan kemarahannya terhadap saudara seperguruannya. Ia pun menilai arti dari usaha Empu Sidikara mengobatinya pada saat umurnya telah berada di ujung rambut. Seandainya saudara seperguruannya itu benar-benar berniat buruk terhadapnya, maka untuk apa ia memberikan obat yang mampu membantunya meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga ia tidak mati di lereng bukit itu. Disamping itu ia pun harus mengakui kelebihan Mahisa Pukat atas dirinya. Kedua kawannya itu mengatakan, bahwa beberapa saat setelah benturan itu terjadi, maka Mahisa Pukat telah mampu bersiap untuk melawan mereka berdua sebelum Empu Sidikara menampakkan diri.

“Dengan demikian” berkata salah seorang kawan Empu Sidikara itu, “jika Mahisa Pukat berniat, maka ia dapat saja melakukan tindakan yang lebih jauh dari yang sudah dilakukan. Apalagi setelah Empu Sidikara menyatakan sikapnya.”

Empu Kamenjangan mengangguk-angguk kecil. Ternyata ia sempat menilai kembali, tindakan-tindakan yang pernah diambilnya sejak Mahisa Pukat datang di Kesatrian sebagai pemimpin kelompok Pelayan Dalam. Sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, ia merasa tersinggung melihat perlakuan penghuni Kesatrian itu terhadap para Pelayan Dalam yang dianggap tidak lebih dari sekedar pelayan sebagaimana para pelayan yang lain.

“Baiklah” berkata Empu Kamenjangan kepada kedua orang kawannya justru ketika luka-luka dalamnya menjadi semakin baik beberapa hari kemudian. “Agaknya kita harus mengakhiri permusuhan kita dengan Mahisa Pukat. Meskipun aku sudah benar-benar mengancam jiwanya, namun ia masih tetap menahan diri. Aku memang tidak dapat lain kecuali mengakui kesalahan dan sekaligus mengakui kekalahanku. Bagaimanapun juga, aku tidak akan dapat menang melawannya jika aku bertindak jujur.”

Kedua kawannya pun menarik nafas panjang. Sebenarnyalah bahwa mereka memang sudah jemu bermusuhan dengan Mahisa Pukat yang berilmu tinggi. Jika anak muda itu kehilangan kesabaran, jika ia berusaha melawan mereka bertiga seorang demi seorang, maka mereka akan dapat menjadi debu.

Dengan demikian, maka persoalan yang terjadi di Kesatrian Singasari itu pun menjadi tenang. Persoalan yang memang tidak banyak diketahui orang. Tetapi yang hampir saja merenggut jiwa orang yang pernah bertugas di Kesatrian itu.

Dengan demikian maka untuk sementara Mahisa Pukat bertugas sendirian di Kesatrian Singasari. Para bangsawan muda yang semula menjadi murid Empu Kamenjangan dan kedua orang guru yang lain, harus belajar ilmu kanuragan kepada Mahisa Pukat.

Mula-mula memang ada keseganan pada para bangsawan muda itu. Tetapi sikap Mahisa Pukat yang tegas dan berwibawa ternyata mampu menundukkan tantangan yang tumbuh dilingkungan Kesatrian.

Namun ternyata bahwa Pangeran Kuda Pratama berpendapat bahwa Mahisa Pukat akan menjadi sangat sibuk di Kesatrian jika ia harus memberikan latihan olah kanuragan seorang diri di Kesatrian.

Bahkan Pangeran Kuda Pratama itu telah memanggilnya dan bertanya kepadanya, “Apakah kau dapat menunjuk seseorang yang dapat bekerja bersama untuk memberikan latihan-latihan olah kanuragan di Kesatrian?”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ingatannya yang pertama telah meloncat kepada saudaranya Mahisa Murti yang ada di padepokan Bajra Seta. Namun ia tidak segera dapat menyanggupinya karena ia harus berhubungan lebih dahulu dengan Mahisa Murti.

Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab, “Pangeran, ada seorang saudaraku di Padepokan Bajra Seta. Ia memiliki kemampuan dan ilmu sebagaimana aku sendiri. Jika Pangeran berkenan, aku akan menghubunginya untuk menanyakan kepadanya, apakah ia bersedia bekerja bersamaku di Kesatrian.”

“Aku tidak berkeberatan. Pergilah, temuilah saudaramu itu dan ajaklah ia menemui aku.” berkata Pangeran Kuda Pratama.

“Jika demikian aku mohon waktu barang tiga hari untuk menemui saudaraku itu” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Ternyata Pangeran Kuda Pratama tidak berkeberatan. Setelah memberitahukan rencananya meninggalkan Kesatrian kepada para Pelayan Dalam serta menunjuk seorang di antara mereka untuk mewakilinya selama ia pergi, maka Mahisa Pukat pun telah meninggalkan Kesatrian. Ia sempat singgah untuk menemui ayahnya, memberitahukan rencananya untuk minta agar Mahisa Murti bersedia berada di Kesatrian.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun kemudian telah meninggalkan Kotaraja seorang diri menuju ke padepokan Bajra Seta dengan penuh harapan, bahwa saudaranya akan bersedia bekerja bersamanya di Kesatrian.

Perjalanan panjang yang ditempuh seorang diri memang terasa melelahkan. Namun karena Mahisa Pukat memacu kudanya sambil berpengharapan, maka ia dapat mengatasi perasaan lelah. Bahkan rasa-rasanya ia ingin berpacu lebih cepat lagi.

Meskipun demikian Mahisa Pukat memang harus singgah di sebuah kedai. Kecuali untuk kepentingan Mahisa Pukat sendiri, kudanya pun perlu beristirahat, minum dan makan rumput segar.

Baru setelah beristirahat beberapa lama, maka Mahisa Pukat segera melanjutkan perjalanannya.

Ternyata tidak ada hambatan apapun diperjalanan. Sehingga Mahisa Pukat telah sampai ke padepokan Bajra Seta dengan selamat.

Kedatangan Mahisa Pukat disambut dengan wajah-wajah cerah. Mahisa Murti, Wantilan, Mahisa Semu apalagi Mahisa Amping telah menyatakan kegembiraan mereka atas kedatangan Mahisa Pukat. Demikian pula para cantrik yang sudah lama tidak melihat Mahisa Pukat di padepokan itu.

Hampir tanpa berhenti Mahisa Amping bertanya apa saja yang telah dilakukan Mahisa Pukat di Kotaraja. Sekali2 Mahisa Semu pun telah menanyakannya pula tentang pengalaman Mahisa Pukat selama di Kotaraja.

Dengan senang hati Mahisa Pukat pun menceriterakan apa yang telah dialaminya. Juga keberhasilannya memasuki lingkungan Pelayan Dalam.

“Alangkah senangnya” berkata Mahisa Amping.

Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi ia tidak mengatakan bahwa sebenarnya ilmunya berada pada tataran yang lebih tinggi dari tataran ilmu Pelayan Dalam pada umumnya.

Demikianlah, Mahisa Pukat masih belum secara langsung mengatakan niat kedatangannya kepada Mahisa Murti. Waktu yang ada dipergunakannya untuk melihat-lihat Padepokan yang untuk beberapa lama ditinggalkannya. Banyak hal yang menumbuhkan kembali keterikatannya dengan padepokan itu. Namun Mahisa Pukat juga harus mengingat keinginan Sasi. Sasi tentu lebih senang jika ia mengabdikan dirinya di istana Singasari sebagaimana ayah Sasi itu sendiri daripada berada di padepokan seperti ini.

(sepertinya ada bagian cerita yang terloncati)

Mahendra yang mengetahui dengan pasti perasaan Mahisa Murti pada dasarnya berkeberatan atas rencana anaknya itu. Namun ia tidak ingin mendahuluinya meskipun ia yakin bahwa Mahisa Murti tidak akan bersedia memenuhinya.

Meskipun demikian Mahendra itu juga bertanya, “Jika Mahisa Murti kau ajak untuk berada di Kesatrian pula, siapakah yang akan mengurusi Padepokan Bajra Seta?”

“Ada beberapa orang yang sudah sanggup melakukannya” jawab Mahisa Pukat, “ada paman Wantilan, ada Mahisa Semu dan para cantrik yang umurnya menjadi semakin tua. Mereka akan dapat mengurusi Padepokan itu dan mengembangkannya.”

“Tetapi di sebuah Padepokan diperlukan setidak-tidaknya seorang yang dapat dianggap sebagai Panutan. Ia harus mempunyai wibawa cukup atas semua penghuni dan isi padepokan.”

“Setidak-tidaknya hanya untuk sementara ayah. Sebelum aku mendapatkan kawan yang lain yang memadai. Jika aku sudah mendapatkannya, maka biarlah Mahisa Murti kembali ke padepokan.”

Namun bagaimana dengan Mahisa Murti?

Setelah berada di padepokan Mahisa Pukat justru merasa ragu-ragu untuk menyampaikan maksudnya. Ia tidak sampai hati membiarkan padepokan yang telah dibangunnya itu ditinggal tanpa pimpinan yang cukup berwibawa. Jika ia pergi dan kemudian Mahisa Murti juga pergi, padepokan itu benar-benar akan kehilangan Panutan sebagaimana dikatakan oleh ayahnya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat masih harus berpikir ulang tentang niatnya untuk mengajak Mahisa Murti ke Kotaraja.

Meskipun demikian, Mahisa Pukat akhirnya mengatakan juga maksud kedatangannya kepada Mahisa Murti ketika mereka tinggal berdua saja. Meskipun agak ragu, namun Mahisa Pukat menceriterakan apa yang telah dialaminya di Kesatrian. Dengan urut Mahisa Pukat menceriterakan apa yang telah terjadi sehingga akhirnya ia tinggal sendiri di Kesatrian Singasari.

“Pangeran Kuda Pratama memerintahkan agar aku mendapat seorang yang akan dapat bekerja bersama untuk menangani para bangsawan muda di Kesatrian. Karena itulah, maka aku pulang dan menyampaikan persoalan ini kepadamu.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tanggap akan maksud Mahisa Pukat.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti merenungi maksud Mahisa Pukat. Namun seperti yang sudah diduga oleh Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti itu kemudian berkata, “Aku berterima kasih kepadamu Mahisa Pukat, bahwa kau berniat untuk mengajakku masuk ke Kesatrian Singasari. Dengan demikian maka kau telah membuka kesempatan bagiku untuk ikut mengabdi langsung di istana. tetapi jika aku kemudian juga meninggalkan padepokan ini, lalu siapakah yang akan mengungsi padepokan kita ini? Kita sudah mendirikannya, memupuknya sehingga dapat tumbuh dengan subur. Jika kemudian kita tinggalkan, bukankah kerja yang telah kita lakukan itu akan sia-sia?”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Mahisa Murti. Ketika aku memasuki padepokan ini, maka sudah terlintas diangan-anganku jawabanmu seperti itu. Berbeda dengan saat aku mendengar perintah Pangeran Kuda Pratama yang dengan serta-merta aku telah berpaling kepada kemungkinan membawamu ke Kesatrian”

“Aku minta maaf Mahisa Pukat” berkata Mahisa Murti kemudian, “tetapi apakah ayah mengerti rencanamu ini?-

“Ya. Ayah pun telah mengatakan kepadaku kemungkinan sikapmu itu. Karena itu, maka aku dapat mengerti sepenuhnya” jawab Mahisa Pukat.

“Syukurlah jika kau dapat mengerti. Aku sangat berterima kasih kepadamu” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Pukat memang tidak dapat berkata apapun lagi tentang niatnya mengajak Mahisa Murti memasuki lingkungan Kesatrian. Namun demikian Mahisa Pukat telah minta pertimbangan Mahisa Murti, bagaimana pendapatnya jika ia mengajak Mahisa Semu untuk sekedar membantunya di Kesatrian. Setidak-tidaknya untuk sementara karena Mahisa Semu sudah memiliki dasar kemampuan yang utuh dari landasan ilmu padepokan Bajra Seta.

(sepertinya ada bagian yang terpotong)

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku masih menyangsikan kematangannya berpikir. Ia masih terlalu muda untuk membimbing anak-anak muda pula. Jika terjadi pergeseran sikap di antara mereka, maka suasananya akan cepat menjadi panas.”

Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk pula. Ia mengerti keberatan yang diajukan oleh Mahisa Murti.

Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Jika demikian aku akan kembali tanpa siapapun juga.”

“Kami minta maaf, Pukat, bahwa kami tidak dapat memenuhi keinginanmu.”

“Aku mengerti. Padepokan ini memang tidak dapat ditinggalkan.” jawab Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Meskipun demikian, biarlah aku akan ikut bersamamu sampai ke Singasari. Aku ingin mengunjungi ayah barang dua tiga hari. Aku akan mengajak Mahisa Semu dan Mahisa Amping.”

“Apakah Amping sudah dapat berkuda sendiri pada jarak sejauh Singasari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku kira ia sudah dapat melakukannya.” jawab Mahisa Murti.

“Syukurlah” desis Mahisa Pukat, “mudah-mudahan ia cepat menguasai ilmu yang diperuntukkan baginya pada umurnya.

“Aku kira ia sudah cukup baik. Ia justru mampu menunjukkan kelebihan dari takaran yang seharusnya bagiku.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun teringat kepada dua orang remaja di Kesatrian yang sejak semula diasuhnya. Keduanya adalah remaja yang memiliki dasar yang baik sebagaimana Mahisa Amping. Katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan keduanya mampu menyerap ilmu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Amping.”

Demikianlah, maka keduanya sepakat untuk bersama-sama menempuh perjalanan ke Kotaraja. Mahisa Pukat harus kembali ke Kesatrian sementara Mahisa Murti akan mengunjungi ayahnya bersama dengan Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

Sementara mereka pergi maka Mahisa Murti minta agar Wantilan dan beberapa orang cantrik tertua untuk memimpin padepokan itu.

“Semua kerja kita sehari-hari hendaknya dapat berlangsung dengan baik” pesan Mahisa Murti.

“Kami akan berusaha” jawab Wantilan.

“Kami tidak akan lama paman” berkata Mahisa Murti, “ mungkin hanya tiga hari. Lima hari dengan perjalanan pulang balik.”

“Baiklah. Tetapi jangan lebih lama lagi. Padepokan ini akan terasa sepi tanpa kalian bertiga” berkata Wantilan.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kepergian Mahisa Murti untuk sekitar lima hari sudah dianggap cukup lama. Apalagi jika ia benar-benar meninggalkan padepokan itu. Maka padepokan Bajra Seta tentu akan segera menjadi susut dan bahkan mungkin akan hilang sama sekali.

Karena itu, seandainya Mahisa Murti bersedia sekalipun, maka ia memang berniat untuk mengurungkan maksudnya mengajak Mahisa Murti untuk bekerja bersamanya di Kesatrian.

Meskipun demikian, maka mereka berdua bersama Mahisa Semu dan Mahisa Amping bersama-sama pergi ke Kotaraja. Mereka menempuh perjalanan berkuda pada jarak yang cukup panjang.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang jarang keluar dari padepokannya sejak mereka tinggal di padepokan itu, merasa betapa lapangnya penglihatannya. Sawah yang luas sampai ke kaki cakrawala. Bukit-bukit yang membujur di kejauhan seperti tubuh raksasa dalam dongeng yang sedang tidur nyenyak.

Semuanya itu pernah dilihatnya. Tetapi setelah beberapa lama ia berada di Padepokan Bajra Seta, maka ia pun jarang menempuh perjalanan jauh, sehingga perjalanan yang dilakukan itu, rasa-rasanya telah membuatnya menjadi segar. Langit yang bersih, angin semilir lembut, membuat wajah anak itu menjadi semakin cerah.

Mahisa Amping itu teringat saat pengembaraannya bersama Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka berjalan saja tanpa batas waktu dan tujuan. Meskipun akhirnya mereka memasuki Padepokan Bajra Seta.

Diluar sadarnya Mahisa Amping itu pun telah memacu kudanya di paling depan. Sambil mengamati alam yang ramah, Mahisa Amping sempat melihat beberapa orang petani yang bekerja keras di sawah mereka masing-masing. Mereka dengan tekun membersihkan sawah mereka dari rerumputan liar yang tumbuh di antara batang-batang padi yang hijau.

Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu memang tidak ingin menempuh perjalanan itu terlalu cepat. Meskipun kuda mereka berlari diatas jalan bulak, tetapi tidak terlalu kencang. Mereka membiarkan Mahisa Amping mendahului mereka, kemudian berhenti pada jarak yang agak jauh, dibawah pepohonan yang rindang. Sebagaimana dahulu sering dilakukannya. Bahkan dahulu Mahisa Amping yang berlari-lari mendahului perjalanan mereka, sempat memanjat pohon-pohon yang tumbuh di pinggir jalan.

Ketika kemudian matahari melampaui puncak, maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai di pinggir jalan itu. Kedai yang terhitung cukup besar. Bukan saja para penunggang kuda yang dapat beristirahat sambil minum dan makan, tetap kuda-kuda mereka pun dapat beristirahat sambil minum dan makan pula.

Ketika mereka memasuki kedai itu, maka beberapa orang telah berada di dalamnya. Nampaknya mereka juga orang-orang yang menempuh perjalanan jauh.

Seorang di antara mereka adalah seorang yang telah berambut dan berjanggut putih. Tetapi orang itu masih nampak kuat dan tegar.

Adalah diluar dugaan bahwa orang berambut putih yang nampaknya sedang berbincang dengan kawan-kawannya itu berkata, “Aku tidak rela bahwa Sidikara telah mengkhianati Kamenjangan.”

“Tetapi bukankah Empu Kamenjangan akhirnya sudah mengakui kekeliruannya. Ia telah salah langkah sehingga akhirnya ia justru terusir dari Kesatrian.”

“Itulah yang harus dibenahi. Memang agaknya tidak ada lagi jalan kembali Ke Kesatrian. Tetapi seharusnya Sidikara tidak mengkhianatinya. Aku benci pada orang-orang yang demikian.” geram orang berambut putih itu.

“Tetapi guru, yang bersalah adalah Empu Kamenjangan. Bukan Empu Sidikara.” berkata yang lain.

“Omong kosong” jawab orang itu, “apa artinya salah atau benar bagi saudara seperguruan? Yang penting saudara-saudara seperguruan harus hidup dalam kesetia-kawanan. Bukan saja saat mereka berguru. Tetapi juga kemudian setelah mereka berada di luar dinding perguruan.”

Tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk dan yang makan paling banyak di antara mereka berkata, “Tetapi bukankah Empu Kamenjangan memang kalah dan ia pun mengakui kekalahan itu.”

“Justru pada saat yang demikian Sidikara harus tampil. Bukan sebaliknya malahan berkhianat,” jawab orang berambut putih itu.

Yang lain pun terdiam. Sementara orang berambut putih itu berkata, “Itulah sebabnya kalian telah kami kumpulkan. Kita akan berbicara dengan Kamenjangan dan Sidikara. Aku berniat untuk menebus kekalahan ini.”

Beberapa orang di antara mereka saling berpandangan. Tetapi mereka tidak berkata apa-apa.

Tetapi ketika orang tua itu keluar sebentar untuk pergi ke pakiwan, maka seorang di antara mereka berkata, “Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh guru? Semakin tua, ia menjadi semakin berubah. Ia tidak lagi mampu menilai persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan penalaran yang bening.”

“Kita tahu, bahwa kakang Kamenjangan adalah murid yang dianggap terbaik oleh guru. Ia mendapat kesempatan lebih dari murid-muridnya yang lain. Karena itu, bahwa Empu Kamenjangan dikatakan dapat dikalahkan oleh seorang anak muda, maka janggutnya merasa terbakar.”

“Hus” desis yang lain.

“Tetapi bukankah guru memang sudah berubah” berkata orang yang pertama.

“Ia memang menjadi semakin tua. Tetapi ada yang tidak berubah. Aku masih dibiarkan makan sebanyak-banyaknya” berkata orang yang gemuk itu.

Kawan-kawannya sempat tertawa. Seorang di antaranya berkata, “Kau tidak pernah berpikir lain kecuali makan sebanyak-banyaknya. Apapun yang terjadi di sekelilingmu tidak akan mempengaruhimu, asal kau masih tetap dapat makan sebanyak-banyaknya.”

Orang itu tertawa. Tetapi dengan cepat ia menutup mulutnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar