Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 061

Tidak ada yang menarik perhatian dua orang anak muda itu. Bagi keduanya sudah terlalu biasa melihat orang yang merasa berkuasa di pasar itu dan bertingkah-laku aneh. Karena itu keduanya hampir tidak mempedulikan sama sekali.

Namun, ternyata bahwa orang yang sebenarnya paling kuasa di antara mereka ada di dalam kedai itu. Ia mempunyai beberapa orang yang melakukan pemerasan di pasar itu, yang kemudian diserahkan kepada seorang yang berkepala botak dan berada di kedai itu pula.

Tetapi karena hal itu telah terjadi setiap hari, maka bagi orang-orang yang berada di dalam pasar itu, justru merupakan satu hal yang nampaknya menjadi wajar. Bahkan para pedagang yang ada di kedai itu pun justru telah menjadi akrab dengan orang itu. Tanpa segan-segan mereka berbicara tentang hasil pemerasannya itu.

Namun yang tidak terbiasa dilakukannya adalah ketika orang berkepala botak itu melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apalagi ketika orang botak itu melihat kedua anak itu membawa bekal uang yang cukup.

Sambil tertawa orang berkepala botak itu kemudian bertanya kepada kedua anak muda itu, “He, bukankah kalian bukan orang yang terbiasa datang ke pasar ini?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Yang menjawab kemudian adalah Mahisa Pukat, “Tidak Ki Sanak. Kami baru kali ini lewat di pasar ini.”

“Bagus,” berkata orang berkepala botak itu, “ada semacam peraturan di lingkungan ini, orang asing yang lewat dan apalagi singgah di lingkungan pasar ini akan dikenakan pajak.”

“Pajak?” bertanya Mahisa Pukat, “pajak apa?”

“Pajak lewat. Aku tahu kalian membawa uang banyak. Karena itu maka kalian dapat memberikan sebagian kecil dari uang itu kepada kami. Kami tidak menentukan jumlahnya. Kalian sendirilah yang menentukan karena kalianlah yang tahu, berapa banyak uang yang kalian bawa.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Mahisa Murti tidak ingin suasana menjadi ribut. Karena itu, maka ia pun telah memberikan beberapa keping uang kepada orang berkepala botak itu.

Orang berkepala botak itu tertawa. Katanya, “Kalian adalah anak-anak yang baik hati. Terima kasih. Mudah-mudahan kalian selamat diperjalanan.”

Orang berkepala botak itu pun kemudian melangkah ke pintu. Sambil mengangkat tangannya yang menggenggam beberapa keping uang itu, ia berkata kepada orang-orang yang ada di kedai itu, “Nah, silahkan makan dan minum. Aku akan melanjutkan tugasku, memungut pajak bersama beberapa orang kawanku.”

Demikian orang itu melangkah keluar, Mahisa Pukat pun berbisik, “Ada yang aneh pada orang itu.”

Mahisa Murti pun mengangguk.

“Ia terlalu ramah bagi seorang pemeras sebagaimana yang dilakukannya itu.” Mahisa Pukat melanjutkan.

Mahisa Murti masih mengangguk-angguk.

Agaknya seseorang dapat menduga, apa yang dikatakan oleh kedua anak muda itu. Karena itu, maka orang itu pun berkata, “Anak-anak muda. Jangan heran. Orang itu sebenarnya orang baik. Tetapi ia mendapat warisan pekerjaan itu dari pamannya yang garang. Ia memang melanjutkan tugas pamannya. Tetapi dengan caranya.”

“Jika itu dikatakan tugas, siapakah yang memberikan tugas itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak ada. Tugas itu dibuatnya sendiri,” jawab orang itu.

“Dasarnya? Apakah di sini memang ada paugeran yang memberi wewenang kepadanya untuk memberikan tugas kepada diri sendiri?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Dasarnya adalah bahwa pamannya termasuk seorang yang disegani di sini,” jawab orang itu.

“Orang yang menggantikannya itu? Apakah ia juga disegani?” bertanya Mahisa Murti.

“Ia memiliki ilmu sebagaimana pamannya. Tetapi karena ia jauh lebih baik dari pamannya, maka ia justru menjadi sahabat dari orang-orang yang diperasnya. Orang botak ini tidak pernah memaksakan berapa banyak seseorang harus membayar pajak kepadanya,” jawab orang itu.

“Dengan demikian, penghasilan dari pajaknya itu akan berkurang dari sebelumnya,” berkata Mahisa Pukat.

“Tentu. Tetapi orang berkepala botak itu tidak menganggapnya penting. Ia mempunyai sawah yang luas, ternak dan beberapa pedati yang dapat dipakainya untuk mencari uang.” Dan orang itu merasa bahwa kemudian katanya, “Namun orang-orang yang dipercayainya kadang-kadang bertindak lain dari yang dikehendakinya. Karena itu, beberapa kali ia berbenturan justru dengan orang-orangnya sendiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Semakin banyak mereka mengenal sifat-sifat seseorang, maka mereka merasa semakin sempit pergaulan mereka. Ternyata bahwa terdapat sifat-sifat yang tidak diduganya sebelumnya dan lain dari kebiasaan. Mereka semula menduga bahwa orang berkepala botak itu mempunyai sifat dan watak sebagaimana orang-orang yang melakukan pekerjaan seperti itu. Kasar, garang dan serakah. Tetapi orang berkepala botak itu tidak.

Keduanya semula sudah menyangka, bahwa mereka harus berkelahi lagi seperti yang pernah terjadi. Tetapi ternyata tidak.

Beberapa saat kemudian, setelah keduanya selesai makan dan minum, maka mereka pun telah minta diri. Mereka membayar sebagaimana seharusnya, sementara Mahisa Murti memang tidak menyembunyikan bekal yang dibawanya. Bukan maksudnya untuk menyombongkan diri dan terlalu yakin akan kemampuannya melindungi bekalnya itu, tetapi ia menganggap bahwa hal itu tidak akan menimbulkan persoalan, karena orang berkepala botak itu adalah orang yang baik.

Dari kedai itu, maka keduanya telah menyusuri jalan di sebelah pasar, menuju ke gerbang padukuhan.

Namun demikian keduanya memasuki bulak panjang, maka keduanya terkejut. Orang berkepala botak itu sedang bertengkar dengan empat orang yang bertubuh tinggi kekar dan garang.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tertarik untuk melihat apa yang terjadi, sehingga keduanya sama sekali tidak berhenti. Mereka berjalan terus semakin lama semakin dekat dengan orang-orang yang bertengkar itu.

Ternyata dibalik sebatang pohon nyamplung yang besar, masih ada seorang lagi yang berdiri sambil memegangi seorang perempuan yang ketakutan.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin dekat, maka ia mulai mendengar pertengkaran di antara mereka.

“Lepaskan perempuan itu,” geram orang berkepala botak itu.

“Jangan ikut campur,” bentak salah seorang yang berwajah garang. Lalu “Pamanmu bersikap baik terhadap kami. Selama ini yang kau lakukan tidak lebih dari tingkah laku seorang yang banci. Kau paksa kami mengurangi penghasilan kami dengan hampir separuh. Kami tidak memberontak karena kami ingat kebaikan pamanmu terhadap kami. Tetapi tentang perempuan ini, kau jangan turut campur.”

“Kalian adalah orang-orangku. Aku tidak mau orang-orang bertindak liar dan buas melampaui seekor binatang buas di hutan,” geram orang berkepala botak itu.

“Kau tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan perempuan ini. Aku akan membawanya ke bukit. Apa pedulimu?,” teriak orang yang memegangi perempuan dibawah pohon nyamplung itu.

Orang berkepala botak itu memandang orang yang berada di bawah pohon nyamplung dengan sorot mata yang membara. Dengan lantang ia berkata, “Iblis kau. Setiap orang mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Kenal atau tidak kenal. Apalagi dalam keadaan seperti perempuan itu. Setiap orang wajib menolongnya. Aku memang tidak mengenalnya secara pribadi, tetapi martabat kemanusiaanku menolak tingkah laku kalian yang buas itu.”

“Jangan hiraukan orang itu,” berkata orang yang memegangi perempuan itu.

“Jika kalian tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka kalian tidak akan aku pakai lagi,” orang berkepala botak itu hampir berteriak, “bahkan aku tidak menganggap kalian kawan-kawanku. Karena itu, kita akan berhadapan sebagai lawan sekarang ini.”

Keempat orang yang berdiri dihadapan orang berkepala botak itu termangu-mangu. Namun orang yang memegangi perempuan itu berteriak, “Kita pergi. Kita dapat berbuat apa saja tanpa menjadi pengikutnya.”

“Aku akan menghitung sampai tiga,” geram orang berkepala botak itu.

Orang yang berada di bawah pohon nyamplung itu tidak menghiraukannya. Bahkan ia pun kemudian telah menarik perempuan itu melewati tanggul parit. Beberapa langkah di belakang orang itu adalah pategalan yang lebat, sehingga memungkinkan orang-orang itu menghilangkan jejaknya.

Karena itu, maka orang berkepala botak itu telah meloncat dengan tangkasnya. Tidak menyerang salah seorang dari empat orang yang berada di hadapannya. Tetapi ia langsung menyerang orang yang membawa perempuan itu.

Ternyata bahwa kemampuan orang berkepala botak itu memang jauh lebih tinggi dari kemampuan kelima orang itu. Loncatan yang panjang telah membingungkan keempat orang yang lain, sementara orang yang menyeret perempuan itu, terpaksa, melepaskannya karena ia harus menangkis serangan orang berkepala botak itu.

“Cepat lari,” teriak orang berkepala botak itu.

Perempuan itu memang ketakutan. Tetapi teriakan itu membuatnya bagaikan terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Dengan serta-merta perempuan itu pun berlari. Adalah di luar sadarnya, bahwa perempuan itu telah berlari ke arah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Bahkan kemudian telah bersembunyi di belakang kedua orang anak muda itu.

Keempat orang yang lain memang akan memburunya. Namun tiba-tiba saja mereka hampir jatuh terjerembab, karena orang berkepala botak itu telah menyerang mereka langsung menghantam punggung dengan kaki dan kemudian tangannya berganti-ganti atas keempat orang itu.

Sejenak kemudian, maka perkelahian yang seru telah terjadi. Seorang melawan lima orang. Namun orang yang berkepala botak itu benar-benar seorang yang berilmu cukup mapan.

Dengan demikian maka kelima orang lawannya, yang semula adalah justru para pengikutnya itu telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mengalahkan orang berkepala botak itu.

Ternyata penilaian kelima orang itu atas orang yang dianggapnya lebih lemah dari pamannya itu salah. Orang berkepala botak jauh lebih ramah dari pamannya itu tidak bertindak kasar atas orang-orang yang diperasnya itu, ternyata memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan agaknya justru lebih baik dari pamannya yang garang dan kasar.

Karena itulah, maka kelima orang itu sama sekali tidak berhasil mengalahkan orang berkepala botak itu. Bahkan satu-satu kelima orang itu menyeringai menahan sakit, karena serangan yang cepat dari orang berkepala botak itu telah mengenai tubuh mereka. Seorang di antara kelima orang itu justru telah terlempar beberapa langkah dan jatuh di tanggul parit. Bahkan ia tidak dapat mencegah dirinya sendiri, ketika kemudian ia terguling ke dalam air yang meskipun tidak terlalu banyak namun cukup membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya.

Orang itu menggeram. Sambil menggeretakkan giginya ia bangkit dan meloncat menyerang bersama dengan keempat kawannya lagi. Namun, demikian ia memasuki arena, dua orang kawannya telah terlempar pula ke dalam parit.

Orang-orang yang basah kuyub itu mengumpat-umpat. Tetapi mulut merekalah yang kemudian menjadi serangan tumit orang berkepala botak itu.

Beberapa saat kemudian ternyata bahwa kelima orang itu benar-benar tidak mampu melawan orang yang untuk waktu yang cukup lama menjadi pemimpinnya itu. Bahkan satu dua orang yang lewat di jalan itu pun telah terhenti dan termangu-mangu menyaksikan perkelahian yang mendebarkan jantung.

Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung terlalu lama. Kelima orang itu mulai tidak tahan lagi. Semakin lama tubuh mereka semakin sering dikenai sehingga seakan-akan seluruh tubuh mereka merasa sakit. Meskipun satu dua kali, orang berkepala botak itu juga dapat mereka kenai, namun seakan-akan ia tidak merasakan kesakitan sama sekali.

Dalam keadaan yang semakin terdesak, tiba-tiba saja salah seorang di antara mereka bersuit nyaring. Dengan serta merta maka keempat kawannya pun telah tanggap. Tanpa diulang maka kelima orang itu pun kemudian telah berlari meloncati tanggul parit menuju ke pategalan.

Orang berkepala botak itu menarik nafas dalam-dalam.

Sambil membenahi pakaiannya ia pun kemudian melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Perempuan yang ketakutan itu masih saja berada di belakang kedua orang anak muda itu.


“Sudah selesai anak-anak muda,” berkata orang berkepala botak itu. Kemudian kepada perempuan yang berdiri dengan gemetar di belakang kedua anak muda itu ia bertanya, “Kau akan ke mana?”

Perempuan itu masih ketakutan, sehingga ia tidak dapat segera menjawab. Orang berkepala botak itu pun mengerti akan keadaan itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Cucilah wajahmu. Air parit itu cukup jernih dan bersih.”

Perempuan itu dengan tubuh yang masih gemetar turun ke dalam parit kecil di pinggir jalan. Airnya memang bersih sehingga perempuan itu pun benar-benar telah mencuci wajahnya.

Beberapa orang lewat memang berhenti. Tetapi orang berkepala botak itu kemudian berteriak, “berjalanlah. Kenapa kalian berhenti. Bukan tontonan yang menarik untuk ditonton.”

Jalan yang memang tidak terlalu sering dilalui itu, menjadi semakin lengang lewat tengah hari. Berbeda dengan jalan yang membujur ke jurusan lain. Jalan yang agak lebih besar dan ramai.

Setelah agak tenang, maka perempuan itu pun kemudian menjawab, “Aku orang Kademangan sebelah.”

“Jadi kau akan berjalan lewat jalan ini?” bertanya orang berkepala botak itu.

“Ya,” jawab perempuan itu.

“Jadi kau ditangkap oleh orang-orang itu di sini. Maksudku, bukan ditangkap di tempat lain lalu dibawa kemari,” bertanya orang berkepala botak itu pula.

“Ya. Aku dicegat dibawah pohon ini. Aku memang sudah mengenal orang itu. Bahkan ia sering datang ke rumahku. Tetapi aku tidak bersedia untuk menjadi isterinya, karena ternyata ia sudah berkeluarga,” berkata perempuan itu.

“Jadi sebelumnya kau pernah berjanji untuk menerima lamarannya?“ desak orang berkepala botak itu.

“Karena ia membohongi aku. Katanya ia belum beristeri. Tetapi ternyata ia sudah beristeri. Karena itu aku batalkan kesediaanku menjadi isterinya. Agaknya ia menjadi marah. Ia menangkap aku dan akan membawaku ke bukit,” perempuan itu mulai menangis.

“Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau dibawa ke bukit itu?” bertanya orang berkepala botak itu.

Perempuan itu mengangguk. Katanya, “Aku akan membunuh diri jika itu terjadi.”

“Baiklah. Kelima orang itu agaknya tidak akan berani mengganggumu lagi. Sebenarnya mereka adalah orang-orangku. Karena itu aku ikut bertanggung jawab atas tingkah laku mereka.” laki-laki berkepala botak itu menggeram.

“Terima kasih atas pertolongan itu,” desis perempuan itu.

“Apakah kau harus aku antar pulang?” bertanya laki-laki yang berkepala botak.

Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Biarlah aku mengantarnya. Aku berjalan searah dengan perempuan itu.”

Perempuan itu termangu-mangu. Nampaknya ia menjadi ragu-ragu. Namun yang berkepala botak itu berkata, “Baiklah. Bawa perempuan itu dan antarkan sampai ke rumahnya.”

Perempuan itu nampaknya masih tetap ragu-ragu. Tetapi orang berkepala botak itu telah melangkah meninggalkannya.

“Marilah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “berjalanlah di depan.”

Perempuan itu memang nampak gelisah. Tetapi ia pun kemudian telah melangkah meneruskan perjalanan, betapa pun ia ragu-ragu.

“Di manakah padukuhanmu Ki Sanak?” bertanya Mahisa Pukat.

“Di seberang padukuhan yang nampak itu,” jawab perempuan itu.

“Apakah kau dari pasar?” bertanya Mahisa Pukat pula.

Perempuan itu menggeleng. Tanpa berpaling perempuan itu menjawab, “Tidak. Aku baru saja mengunjungi bibi yang rumahnya memang tidak terlalu jauh dari pasar. Tetapi aku tidak pergi ke pasar.”

“Bagaimana laki-laki itu menangkapmu? Apakah tidak ada orang lain yang menolongmu kecuali orang itu, yang maaf, dari celah-celah ikat kepalanya yang tidak rapat, aku melihat kepalanya botak,” bertanya Mahisa Pukat selanjutnya.

“Tidak ada orang yang berani menolongku. Mereka malahan berusaha menghindar, karena tidak seorang pun yang berani menentang kelima orang yang garang itu. Mereka adalah pemungut pajak yang dahulu bekerja pada seorang yang keras dan kejam. Namun sekarang agaknya telah sedikit berubah, karena pemimpinnya sudah berganti. Meskipun demikian sisa-sisa kekasaran itu masih ada dan orang banyak telah terlanjur takut kepada mereka,” jawab perempuan itu. Namun perempuan itu masih juga tidak mau berpaling.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukannya lagi. Mereka berjalan saja di belakangnya. Bahkan keduanya telah membuat jarak beberapa langkah dari perempuan itu ketika mereka memasuki padukuhan, agar perjalanan mereka tidak justru menarik perhatian.

Namun ketika mereka kembali memasuki bulak panjang, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan lebih mendekat.

Apalagi karena di sebelah menyebelah jalan itu bukannya tanah persawahan, tetapi pategalan, karena air di parit kadang-kadang memang tidak mengalir sampai berhari-hari. Hal yang demikian itu sudah berlangsung bertahun-tahun sehingga sawah di sebelah-menyebelah bulak itu lambat laun telah berubah menjadi pategalan. Beberapa jenis pohon buah-buahan telah ditanam. Termasuk batang-batang kelapa. Di bawah pohon buah-buahan itu, dalam musim tertentu dapat ditanami padi gaga. Sejenis batang padi yang tidak terlalu banyak memerlukan air. Jika musim hujan datang, maka air hujan di satu musim telah cukup untuk mengairi padi gaga itu sampai saatnya menuai.

Ketika kemudian mereka sampai di tengah-tengah bulak yang agak sepi, tiba-tiba saja mereka terkejut. Beberapa orang telah berloncatan dari pategalan. Ternyata mereka telah menunggu sambil bersembunyi di balik pepohonan.

Perempuan yang diantar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah melangkah surut dengan tubuh gemetar karena ketakutan. Lima orang yang telah menangkap perempuan itu tiba-tiba saja telah berada lagi dihadapan mereka. Sementara itu, perempuan yang ketakutan itu tidak dapat mengharapkan lagi pertolongan orang berkepala botak yang telah menyelamatkannya. Yang ada hanyalah dua orang anak muda yang berjalan bersamanya.

Orang yang semula memeganginya dibawah pohon nyamplung itu pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Aku benar-benar tidak mau kehilangan kau. Aku berusaha untuk menepati janjiku. Kau pun harus berbuat sama. Kita akan hidup bersama sebagaimana pernah kita rencanakan. Jika kau menolak, maka aku akan mempergunakan kekerasan. Bagiku, lebih baik lenyap sama sekali daripada kau ingkar janji dan pada suatu saat kau menjadi isteri orang lain.”

“Tetapi kau telah menipu aku,” suara perempuan itu menjadi serak karena marah dan ketakutan.

Ketika laki-laki itu melangkah mendekat, perempuan itu telah berlari dan bersembunyi di belakang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Orang yang mendekatinya itu tertawa. Bahkan keempat kawannya pun tertawa pula. Dengan nada tinggi orang yang ingin memperisterinya itu berkata, “Kau tidak dapat mengharapkan pertolongan siapa pun sekarang. Anak-anak muda itu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika mereka mencoba melibatkan dirinya, maka mereka hanya akan mengalami kesulitan saja. Jika mereka dengan sombong ingin menjadi pahlawan, maka mereka adalah pahlawan yang bernasib buruk. Mereka harus tahu, bahwa kami tidak pernah ragu-ragu. Kami akan membunuh orang yang menghalangi niat kami.”

Perempuan itu benar-benar menjadi ketakutan. Ia dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas dirinya, jika kelima orang itu berhasil membawanya ke bukit. Bahkan baginya akan lebih baik mati saja daripada dibawa oleh orang-orang yang telah menjadi buas itu.

Namun adalah tidak diduga sama sekali bahwa salah seorang di antara anak muda itu berkata, “Jangan takut. Meskipun orang yang menolongmu itu tidak ada lagi di sini, tetapi kami berdua akan berusaha menggantikan kedudukannya sebagai pelindungmu. Orang itu sudah berpesan kepada kami, agar kami mengantarmu sampai ke rumah, sementara kami sudah menyatakan kesediaan kami.”

Kelima orang yang ingin menangkap perempuan itu termangu-mangu. Namun orang yang akan memperisterinya itu pun kemudian telah mengumpat sambil berkata, “Kalian agaknya memang ingin mati.”

“Tidak begitu mudah membunuh orang,” sahut Mahisa Pukat, “sebaiknya kalian tidak usah mencoba agar bukan kalianlah yang harus dikubur hari ini.”

Kemarahan semakin mencengkam jantung kelima orang itu. Ternyata kedua orang anak muda itu memang terlalu sombong di mata mereka.

Bahkan dalam pada itu, Mahisa Murti telah berkata, “berhati-hatilah kalian. Bukankah pemimpinmu tadi telah berpesan dengan sungguh-sungguh, agar kalian tidak mengulangi kesalahan kalian sebagaimana pernah kalian lakukan dihadapan pemimpin kalian itu? Bukankah dengan demikian, kalian akan dapat dipecat dari tugas-tugas kalian? Bahkan pemimpin kalian tidak akan menganggap kalian sebagai sahabat-sahabatnya lagi. Dan itu berarti, bahwa pemimpin kalian itu akan dapat bertindak keras terhadap kalian melampaui apa yang telah dilakukannya.”

“Persetan,” geram orang yang ingin memperisterikan perempuan itu, “aku memberi kesempatan terakhir kepadamu. Pergi atau kami benar-benar akan membunuh kalian.”

Tetapi Mahisa Pukat telah menjawab, “Aku memberi kalian kesempatan terakhir untuk meninggalkan tempat ini. Jika kalian tidak mempergunakan kesempatan terakhir ini, maka aku tidak bertanggung jawab, akibat apa yang dapat terjadi atas kalian nanti.”

Jawaban Mahisa Pukat itu benar-benar telah membakar jantung kelima orang itu. Karena itu, mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Terutama orang yang akan memperisteri perempuan itu. Dengan serta merta orang itu telah menyerang Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Pukat telah bersiap. Karena itu, maka serangan itu sama sekali tidak mengenainya.

Bahkan Mahisa Pukat pun kemudian berkata Mahisa Murti, “jaga perempuan itu. Biarlah mereka aku selesaikan.”

Mahisa Murti yang telah melihat perkelahian antara kelima orang itu melawan pemimpinnya yang berkepala botak itu, sama sekali tidak mencemaskan keadaan Mahisa Pukat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Baiklah. Aku akan menjaganya.”

Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada perempuan itu, “Kita sebaiknya sedikit menjauh dari arena.”

Perempuan itu seakan-akan tidak sadar lagi tentang apa yang dilakukannya. Ia pun kemudian telah bergeser saja sebagaimana diminta oleh Mahisa Murti. Sementara itu tubuhnya masih saja gemetar ketakutan.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah bertempur melawan orang-orang yang masih saja berniat menangkap perempuan itu. Bahkan kelima-limanya telah memasuki arena pertempuran. Dengan kemarahan yang bergejolak di dalam dada masing-masing, maka kelima orang itu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melumpuhkan perlawanan Mahisa Pukat,

Namun ternyata bahwa Mahisa Pukat bergerak dengan cepat dan kuat. Kelima orang itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Mahisa Pukat meskipun mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Bahkan beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat lah yang justru telah berhasil mengenai mereka seorang demi seorang. Sambil berloncatan Mahisa Pukat berkata, “Nah, katakan. Siapakah di antara kalian yang akan mati lebih dahulu?”

Kelima orang itu telah mengumpat. Seorang di antara mereka berteriak lantang, “Kaulah yang akan mati sekarang. Karena itu menyerahlah.”

Tetapi demikian orang itu mengatupkan mulutnya, maka Mahisa Pukat telah menyambar orang itu. Jari-jarinya telah menyentuh bibirnya yang baru saja terkatub. Namun orang itu telah berteriak kesakitan. Ternyata bahwa jari-jari Mahisa Pukat telah mematahkan dua buah giginya, sehingga dari sela-sela bibirnya itu telah mengalir darah.

“Itu baru gigimu,” berkata Mahisa Pukat, “sebentar lagi nyawamu yang akan tanggal.”

“Persetan,” geram orang itu.

Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Pukat. Bahkan Mahisa Murti pun ikut tertawa sambil berteriak, “Rontokkan giginya. Semua, jangan hanya sebagian.”

“Setan alas,” geram yang giginya tanggal, “kau pun akan aku bunuh.”

Tetapi Mahisa Murti tidak berhenti tertawa.

Kemarahan orang yang giginya tanggal itu, sementara perasaan sakit telah menggigit, justru menghentak-hentak di dadanya. Sikap Mahisa Murti telah membuatnya sangat marah, sedangkan menurut perhitungannya, orang yang melindungi perempuan itu tentu tidak memiliki ilmu yang baik sebagaimana anak muda yang telah bertempur itu. Karena itu, maka timbullah keinginannya untuk menyerang.

Orang yang giginya tanggal itu tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh. Kemarahannya telah membuatnya menjadi mata gelap, sehingga dengan demikian maka orang itu telah meloncat menyerang Mahisa Murti.

Perempuan yang mendapat perlindungan dari Mahisa Murti itu terkejut. Bahkan perempuan itu hampir menjadi pingsan karenanya. Jika orang yang melindunginya itu tidak dapat menghalau orang yang menyerangnya, maka keadaannya akan menjadi semakin sulit meskipun orang yang lain dapat bertahan terhadap keempat orang lawannya.

Namun, yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Demikian orang yang kehilangan giginya itu menyerang, maka tidak seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi. Yang mereka lihat kemudian adalah bahwa orang yang kehilangan giginya itu telah jatuh terlentang dan sekaligus menjadi pingsan.

“He, kau bunuh orang itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak. Aku tidak membunuhnya. Barangkali ia telah pingsan,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Nah, siapakah yang akan menyusul, lakukanlah. Ia masih bersedia untuk membuat satu dua orang lagi di antara kalian pingsan. Tapi siapa yang tidak ingin pingsan, maka kemungkinan lebih buruk dapat terjadi, karena aku agaknya akan membunuh.”

Keempat orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat itu justru mulai merenungkan kata-kata Mahisa Pukat itu. Beberapa saat mereka sempat memperhatikan apa yang terjadi sebenarnya. Mereka agaknya telah menyadari, bahwa ternyata anak muda itu masih belum bersungguh-sungguh. Anak muda itu nampaknya masih saja bermain-main meskipun akibatnya telah semakin menyakiti tubuh lawan-lawannya.

Dalam keadaan semacam itu, maka hampir semua orang terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar tepuk tangan.

Seseorang telah keluar dari pategalan sambil berteriak, “Bagus anak-anak muda. Buat mereka jera. Salah satu cara membuat mereka jera adalah membunuh mereka.”

Keempat orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat itu pun menjadi berdebar-debar. Ternyata yang datang itu adalah orang yang berkepala botak.

“Aku tidak akan turut campur,” berkata orang itu, “barangkali akan lebih berkesan jika kalian mendapat peringatan agak keras dari orang lain. Atau barangkali peringatan yang aku berikan masih terlalu lunak sehingga sama sekali tidak berkesan bagi kalian.”

Orang berkepala botak itu pun kemudian telah mendekati arena. Ia masih saja bertepuk tangan dan berteriak jika ia melihat Mahisa Pukat mengenai lawannya. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Aku senang melihat wajah kalian menjadi pengab. Jika kalian tidak juga jera, maka aku akan melakukan lebih keras lagi. Aku tidak mengesampingkan kemungkinan untuk membunuh kalian. Sejak semula aku sudah ragu-ragu, apakah kalian benar-benar jera. Itulah sebabnya, maka diam-diam aku telah mengikuti perempuan itu. Ternyata yang aku cemaskan itu terjadi. Namun kalian telah membentur kekuatan yang justru jauh lebih tinggi dari kemampuanku. Sambil bermain-main anak muda itu dapat berbuat apa saja terhadap kalian. Bahkan membunuh kalian berlima.”

Keempat orang yang masih saja bertempur itu memang menjadi cemas. Bagi mereka tidak ada yang lebih baik daripada melarikan diri dari arena. Namun agaknya Mahisa Pukat dapat membaca niat itu. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun telah bersungguh-sungguh. Dengan loncatan-loncatan panjang, maka ia telah menyerang keempat orang lawannya. Sentuhan-sentuhan dengan ujung jari di bahu, tepat di bawah leher, telah menghentikan perlawanan keempat orang itu, yang merasa seluruh tubuhnya menjadi lemah. Sehingga keempat orang itu telah terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh berguling di tanah.

Keempat orang itu memang sangat terkejut. Mereka tidak tahu bagaimana hal itu tiba-tiba telah terjadi. Mereka menyadari keadaan diri mereka masing-masing setelah mereka menjadi sangat lemah.

Orang berkepala botak itu pun terkejut pula. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Ia pun tidak begitu jelas, apa yang sudah dilakukan oleh anak muda itu. Namun ketika ia menyadari apa yang terjadi itu, maka ia pun telah bertepuk tangan sambil berkata lantang, “Nah, ternyata yang terjadi lebih menarik dari apa yang aku duga. Anak-anak muda itu memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari ilmu yang aku miliki.”

Mahisa Pukat berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan lantang ia bertanya, “Siapa di antara kalian yang ingin mati lebih dahulu? Aku akan membunuh kalian berturut-turut. Tetapi tentu tidak bersama-sama. Namun, aku akan bertanya saja kepada kalian, siapakah yang pertama, kedua, ketiga dan keempat. Yang terakhir aku akan menunggu orang yang pingsan itu sadar, agar ia tahu bahwa ia akan dibunuh.”

Wajah-wajah pun menjadi pucat. Sementara Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Membunuh kalian adalah pekerjaan yang sangat mudah. Tetapi kami memang ingin mempersulit diri agar kami merasa benar-benar bahwa kami telah membunuh.”

Keempat orang itu tidak dapat menjawab. Namun jantung mereka terasa berdentang semakin cepat.

Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat itu telah berkata pula, “Ada dua orang yang akan membantu kami, sehingga kami dapat melakukan seorang satu. Pemimpin kalian dan perempuan itu.”

“Ampuni kami,” tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka bagaikan merintih.

Tiba-tiba saja yang lain pun berdesis pula, “Ya, ampuni kami. Kami tidak akan melakukannya sekali lagi.”

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Suaranya pun bagaikan menggeretak di dalam dada mereka. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Aku sudah melihat, bahwa kalian benar-benar tidak dapat dipercaya. Kalian sudah diberi kesempatan sekali oleh pemimpin kalian. Tetapi kalian telah berbohong. Ternyata kalian justru telah mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan hal yang sama. Bahkan mengancam akan membunuh kami.”

“Kami mohon diampuni,” salah seorang di antara mereka hampir menangis, “kami telah terdorong niat jahat, sehingga kami telah lupa diri. Khususnya aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil.”

“Jika kau mempunyai isteri dan anak, kenapa hal seperti ini kalian lakukan? Bagaimana perasaan kalian, jika hal seperti yang akan terjadi atas perempuan itu terjadi atas anak kalian masing-masing?”

Keempat orang itu tidak menjawab.

Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat berteriak lagi, “Mari, kita bunuh mereka beramai-ramai. Boleh dengan pedang, pisau atau dengan duri. Atau jika memang tidak ada apa-apa, kita benamkan saja mereka di parit. Meskipun airnya kecil, jika mereka kita tidurkan menelungkup dengan kaki dan tangan terikat, maka lambat laun mereka akan mati. Sekali-sekali kita dapat menekan kepala mereka jika tersembul ke atas air.”

“Jangan perlakukan kami seperti itu. Kami mohon ampun,” keempat orang itu ternyata telah menangis.

Mahisa Pukat akhirnya berhenti berolok-olok. Katanya kepada orang berkepala botak itu, “Kau adalah pemimpinnya. Kami serahkan mereka kepadamu. Terserah, apa yang akan kau lakukan atas mereka. Jika kau berniat mengampuni mereka, terserah. Tentu dengan janji dan ancaman yang benar-benar dapat kau lakukan jika janji itu dilanggar.”

Orang berkepala botak itu pun berhenti tertawa pula. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Katanya, “Baiklah. Aku terima mereka, karena mereka memang orang-orangku.”

“Jika demikian, biarlah kami meneruskan perjalanan. Kami berdua akan mengantarkan perempuan itu sampai ke rumahnya,” berkata Mahisa Pukat.

“Silahkan,” berkata orang berkepala botak itu pula. “Aku sangat berterima kasih kepada kalian. Yang kalian lakukan akan memberi sedikit pelajaran bagi orang-orangku yang keras kepala itu.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mempersilahkan perempuan itu meneruskan perjalanan.

Rumahnya ada di padukuhan yang telah berada di depan mereka. Namun demikian, hampir saja perempuan yang sudah hampir sampai di padukuhannya itu mengalami bencana.

Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melanjutkan perjalanan mereka, mengantar perempuan yang masih merasa ketakutan itu. Namun semakin dekat ia dengan padukuhannya, rasa-rasanya hatinya menjadi semakin tenteram. Namun demikian ketegangan telah mencengkam jantung perempuan itu.

Demikian perempuan itu sampai di regol padukuhannya, tiba-tiba saja ia telah kehilangan kendali perasaannya. Tiba-tiba saja perempuan itu berlari sambil berteriak, “Ayah, ibu.”

Tentu saja sikap perempuan itu telah mengejutkan seisi padukuhan. Beberapa orang berlari-lari ke luar, melihat apa yang telah terjadi.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun terkejut melihat hal itu. Tiba-tiba saja keduanya menjadi cemas, bahwa akan dapat timbul salah paham dengan mereka berdua jika mereka tidak segera memberi penjelasan.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun dengan tergesa-gesa pula telah mengikuti perempuan itu.

Ternyata rumah perempuan itu tidak terlalu jauh dari regol padukuhan. Sambil berteriak-teriak perempuan itu berlari memasuki regol halaman rumahnya. Agaknya demikian tajamnya ketegangan mencengkam jantungnya, sehingga tiba-tiba telah meledak tanpa dapat dikekang lagi.

Seorang laki-laki yang berkumis lebat dan bertubuh kekar, telah keluar dari dalam rumahnya disusul oleh seorang perempuan yang agak gemuk. Demikian mereka melihat perempuan itu berlari-lari sambil berteriak-teriak menyebut nama ayah dan ibunya, maka keduanya telah menghambur lari ke halaman.

Perempuan yang berteriak-teriak itu langsung memeluk ibunya yang agak gemuk itu sambil menangis. Sementara ayahnya telah menggeram sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”

Nampaknya ketegangan yang sangat benar-benar tidak teratasi lagi akibatnya oleh perempuan itu. Bahkan demikian lengking tangisnya meninggi, perempuan itu pun menjadi pingsan.

Akibatnya memang tidak diinginkan. Ayahnya yang berkumis lebat dan bertubuh kekar itu menggeram, sementara ibunya ikut menjerit pula.

Perlahan-lahan orang berkumis lebat itu telah mengangkat anaknya yang pingsan dan membawanya ke pendapa rumahnya. Sambil membaringkan anaknya ia bergumam dengan nada keras, “Siapa yang telah memperlakukan anakku seperti ini?”


Ibunya pun berteriak pula, “Cari orang itu kakang. Kita minta orang itu mempertanggung jawabkan perbuatannya.”

“Aku akan membunuhnya,” geram laki-laki itu.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki regol itu pula. Beberapa orang laki-laki telah mengikutinya dengan dahi yang berkerut.

Ketika laki-laki berkumis lebat itu melihat dua orang anak muda tergesa-gesa memasuki halaman rumahnya, maka wajahnya menjadi merah. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya ia melangkah mendekati kedua anak muda yang termangu-mangu itu.

“Kalian kejar anakku?” geram laki-laki itu, “aku akan membunuh kalian berdua.”

“Tunggu,” berkata Mahisa Murti, “bertanyalah kepada anakmu itu, apa yang telah terjadi?”

“Jangan ingkar. Anakku menjadi pingsan karena ketakutan,” bentak laki-laki itu. Lalu “Nah, apa yang telah kau lakukan? Katakan sebelum aku mencekik leher kalian berdua.”

“Kami justru telah menolongnya,” berkata Mahisa Pukat.

“Jangan membual,” potong laki-laki berkumis lebat itu, “agaknya kau belum mengenal siapa aku, sehingga kau berani mengganggu anakku.”

“Siapa pun kau, tetapi kami benar-benar tidak mengganggunya. Anak perempuanmu telah ditangkap oleh lima orang laki-laki yang biasanya mengambil pajak di pasar di sebuah padukuhan di seberang dua bulak panjang.”

“Siapa?” mata orang itu terbelalak. Tiba-tiba saja ia tertawa, “Omong kosong. Mereka tidak akan berani melakukannya. Mereka mengenal aku. Kecuali jika pemimpin mereka ikut serta bersama mereka.”

Mahisa Pukat melangkah maju selangkah. Dengan singkat ia telah berusaha untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Tetapi orang itu justru membentak, “Kau sudah membuat ceritera yang buruk. Aku sama sekali tidak mempercayainya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata, “Kami berkata sebenarnya. Jika perempuan itu nanti sadar, maka biarlah ia berceritera.”

“Sementara itu kalian telah menemukan jalan untuk melarikan diri,” jawab orang berkumis lebat itu.

“Kami tidak akan melarikan diri,” geram Mahisa Murti yang mulai menjadi marah pula.

“Persetan,” geram laki-laki itu, “tidak ada hukuman yang lebih pantas aku berikan kepadamu selain membunuhmu.”

Mahisa Murti masih berusaha untuk menahan diri, katanya, “Aku minta kalian bersabar sebentar. Usahakan agar perempuan itu cepat menjadi sadar. Selain baginya akan lebih baik, ia pun akan dapat mengatakan yang sebenarnya apa yang telah terjadi. Kami akan menunggu anakmu itu berbicara, karena aku yakin, dengan demikian, maka semua salah paham akan dapat diakhiri.”

Tetapi laki-laki berkumis lebat itu pun kemudian telah kehilangan kesabarannya. Ia pun telah mulai bergerak. Kakinya menjadi renggang tangannya bergerak dengan cepat menyilang dan kemudian dadanya pun telah terbuka. Namun ia tidak menunggu lawannya menyerang. Dengan serta merta orang berkumis lebat itu telah meloncat menerkam Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat ternyata telah kehilangan kesabarannya pula. Karena itu, ia tidak membiarkan persoalan itu menjadi berlarut-larut. Karena itu, demikian lawannya yang berkumis lebat itu menyerang, maka Mahisa Pukat pun telah beringsut setapak.

Satu ayunan tangannya yang keras telah memukul punggung orang itu.

Betapa punggung orang bagaikan tertimpa sebongkah batu padas. Tulang panggungnya bagaikan menjadi berpatahan. Karenanya, maka Mahisa Pukat tidak perlu mengulanginya, orang itu pun kemudian telah jatuh terjerembab. Yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan.

“Aku sudah memberimu peringatan,” berkata Mahisa Pukat.

Isterinya yang melihat suaminya terjatuh pada pukulan yang pertama itu pun kemudian telah berlari-lari mendapatkannya. Sambil menangis ia kemudian berteriak, “Ia telah menyakiti suamiku. Tangkap orang itu.”

Orang-orang yang berada di halaman itu menjadi tegang.

Sementara itu perempuan yang agak gemuk itu masih saja berteriak, “Lihat suamiku. Dan lihat anakku. Kedua laki-laki itu memang harus ditangkap.”

Setiap orang yang ada di halaman itu menjadi ragu-ragu. Mereka telah melihat apa yang terjadi. Laki-laki berkumis dan bertubuh kekar itu adalah laki-laki yang disegani oleh seisi padukuhan itu. Namun dengan satu ayunan tangan, laki-laki itu sudah tidak berdaya.

“Apa kalian akan membiarkan laki-laki itu berbuat sewenang-wenang di padukuhan ini? He, siapa di antara kalian yang tidak mau membantu suamiku, akan menyesal. Suamiku akan segera bangkit dan menilai apa yang telah kalian lakukan untuknya,” teriak perempuan itu pula.

Setiap orang menjadi berdebar-debar mendengar ancaman perempuan itu. Jika yang dikatakan itu benar, maka berarti malapetaka bagi mereka. Laki-laki itu tentu akan mendendam mereka karena tidak mau membantunya menangkap kedua anak muda itu. Tetapi ternyata bahwa kedua orang anak muda itu adalah orang yang luar biasa. Apa yang telah terjadi itu telah membuktikannya.

Ketika orang-orang itu termangu-mangu, maka perempuan itu berteriak sekali lagi, “Tangkap mereka yang telah menyakiti suamiku dan yang telah menghina anak perempuanku.”

Orang-orang itu tidak dapat berpikir lagi. Mereka pun kemudian mulai bergerak selangkah demi selangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu Mahisa Pukat yang marah itu pun berkata lantang, “Marilah. Siapa yang akan maju lebih dahulu? Kami berhak membela diri. Kami tidak akan sekedar membuat kalian pingsan. Tetapi kami akan membunuh kalian.”

Orang-orang yang bergerak itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ketika mereka berpaling ke arah perempuan yang berjongkok di samping tubuh suaminya yang pingsan itu, mereka melihat perempuan itu bangkit dan menjerit, “Kalian laki-laki sepadukuhan, apakah kalian kalah dengan hanya dua orang cucurut buruk itu? Cepat tangkap mereka sebelum mereka berlari. Atau jika kalian tidak berani, biarlah aku, seorang perempuan, maju menangkap mereka. Meskipun suamiku telah disakitinya, tetapi aku tidak takut. Suamiku ternyata menjadi lengah karena kemarahan yang membakar jantungnya.”

Laki-laki padukuhan yang tersebar di halaman itu memang tidak dapat berbuat lain. Mereka pun kemudian telah maju lagi selangkah demi selangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi marah sekali mengalami perlakuan yang tidak adil itu. Karena itu, maka sekali lagi Mahisa Pukat memperingatkan, “Jika kalian masih dapat berpikir, dengar tawaranku sekali lagi. Usahakan agar perempuan yang pingsan itu menjadi sadar sehingga kalian dapat bertanya kepadanya, apakah yang telah terjadi dengan dirinya dan tentu perempuan itu akan mengenal kami berdua.”

“Persetan,” teriak perempuan itu, “cepat, jangan menunggu suamiku bangkit dan marah terhadap kalian.”

Laki-laki yang ada di halaman itu benar-benar tidak mempunyai kesempatan memilih. Mereka pun kemudian telah mengepung kedua anak muda itu. Ketika mereka sadar, bahwa jumlah mereka terlalu banyak bagi hanya dua orang, maka mereka pun menjadi semakin berani.

“Gila,” geram Mahisa Pukat, “jadi kalian benar-benar ingin mati?”

“Anak itu hanya menggertak saja,” jerit perempuan yang agak gemuk itu.

Serentak orang-orang yang mengepung kedua orang itu bergerak maju. Sementara itu, beberapa orang laki-laki masih berdatangan. Bahkan laki-laki yang ada di halaman itu memang menjadi semakin banyak. Yang datang kemudian dan mendengar tentang apa yang terjadi, justru menjadi lebih garang. Mereka tidak melihat apa yang dilakukan oleh Mahisa Pukat terhadap laki-laki berkumis lebat dan bertubuh kekar itu. Bahkan seorang anak muda yang baru datang, dengan serta merta telah menyibak orang-orang yang mengepung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dengan dada tengadah anak muda itu berkata lantang, “Siapakah yang telah berani mengganggu perempuan padukuhan ini? Dikira di padukuhan ini tidak ada laki-laki?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berusaha mengekang diri betapa pun dadanya menjadi sakit. Sementara itu mereka sempat melihat laki-laki berkumis itu telah diangkat dan dibawa ke pendapa, sementara beberapa orang perempuan memang berusaha untuk menyadarkan perempuan yang pingsan itu.

“Jawab pertanyaanku, siapakah kalian he? Jika kalian sudah berani mengganggu perempuan di padukuhan ini, maka kalian harus berani menghadapi laki-lakinya sebagai seorang laki-laki,” geram anak muda itu.

Mahisa Pukat benar-benar kehilangan kesabarannya, ia- pun menggeram, “Apa maumu he?”

“Berkelahi,” jawab anak muda itu.

“Bagus. Mari, sekarang kita berkelahi,” Mahisa Pukat hampir menjadi mata gelap.

Anak muda itu pun telah melangkah maju. Dengan isyarat ia minta agar orang-orang yang berkerumun mengepung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu agak mundur beberapa langkah, sehingga kemudian telah terbentuk arena yang melingkar di antara laki-laki padukuhan itu.

Ketika Mahisa Pukat maju selangkah, anak muda itu berkata lantang, “Aku tantang kalian berdua bersama-sama. Aku akan membenturkan kepala kalian. Jika kalian mati, itu bukan salahku.”

Mahisa Pukat yang sedang marah itu, benar-benar tidak dapat menahan diri. Kata-kata orang itu bagaikan bara yang menyengat dadanya. Karena itu maka Mahisa Pukat tidak dapat menahan tangannya ketika tangannya itu terayun menampar pipi anak muda yang dianggapnya telah menghinanya itu.

Demikian cepat dan kerasnya ayunan tangan Mahisa Pukat, sehingga anak muda itu sama sekali tidak dapat menghindarinya. Tamparan telapak tangan Mahisa Pukat itu mengenai pipinya dan mematahkan dua buah giginya. Bahkan anak muda itu tidak dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia pun bukan saja terhuyung-huyung, tetapi seakan-akan telah terlempar dan terbanting jatuh.

Yang terdengar adalah keluhan kesakitan. Anak muda itu memang mencoba untuk bangkit. Sementara itu mulutnya memang telah berdarah.

“Jangan coba menghina aku lagi,” geram Mahisa Pukat, “jika sekali lagi kau melakukannya, aku dapat membunuhmu.”

Wajah anak muda itu menjadi sangat tegang. Sementara itu Mahisa Murti melangkah mendekatinya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan memaksa diri. Kau tidak perlu bertahan pada harga dirimu. Jika saudaraku itu benar-benar marah, bukan hanya gigimu yang akan rontok. Tetapi tulang-tulang igamu.”

Anak muda itu memandang Mahisa Murti dengan sorot mata yang menyala. Namun sekali lagi ia menyeringai kesakitan ketika Mahisa Murti menangkap lengannya. Mahisa Murti memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi rasa-rasanya lengannya itu bagaikan terjepit oleh lapisan-lapisan besi baja.

“Dengar Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “kau salah menilai kami. Jika kami bergerak bersama-sama, maka kami akan dapat membunuh bukan saja kau. Tetapi seisi padukuhan ini akan mati. Nah, apakah kau memang ingin melihat kami melakukannya?”

Anak muda itu sekali-sekali berdesah menahan sakit di lengannya. Untuk beberapa saat ia memang mencoba untuk menjaga harga dirinya. Namun Mahisa Murti kemudian bertanya, “Apakah kau ingin bertahan. Jika kau tidak minta belas kasihanku, maka aku tidak akan melepaskan tanganku.”

Anak muda itu masih bertahan. Tetapi ketika genggaman tangan Mahisa Murti menjadi semakin keras, maka anak muda itu tidak dapat bertahan lagi. Apalagi ketika Mahisa Murti meraba tengkuknya. Sebelum Mahisa Murti menekan tengkuknya itu, ia pun telah berkata dengan nada tinggi, “Cukup. Cukup.”

“Apa yang cukup?” bertanya Mahisa Murti.

“Lenganku,” jawab anak muda itu.

“Jika kau minta belas kasihanku, aku akan melepaskannya,” berkata Mahisa Murti, “dan seperti kata saudaraku, jika kau menghina kami sekali lagi, maka kami berdua akan mematahkan tanganmu kiri dan kanan.”

Kesakitan yang sangat mencengkam lengannya. Karena itu, maka anak muda itu tidak mempunyai pilihan lain, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak sama sekali.

Ketika kedua orang anak muda itu melangkah meninggalkan halaman itu, tidak seorang pun yang berani menahannya.

Lingkaran orang itu pun justru telah menyibak, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak perlu mempergunakan kekerasan.

“Orang-orang bodoh,” geram Mahisa Pukat di sepanjang jalan padukuhan itu.

“Ya. Mereka memang orang-orang bodoh yang keras kepala. Karena itu, kita tidak perlu melayaninya,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu berjalan sambil berdiam diri. Kepala mereka tertunduk sambil melihat jalan yang akan terinjak oleh kaki mereka.

Ketika keduanya keluar dari regol padukuhan, maka mereka pun terkejut ketika mereka mendengar teriakan-teriakan di belakang mereka, memanggil-manggil.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berpaling, ternyata melihat sekelompok orang yang sedang berlari-lari mengejarnya.


Kedua anak muda itu menggeram. Sebenarnya mereka telah berusaha menghindari kekerasan. Namun mereka tentu tidak akan lari terbirit-birit seperti seekor tikus yang melihat seekor kucing di belakangnya.

Karena itu, maka kedua orang anak muda itu justru telah berhenti dan siap menghadapi segala kemungkinan.

Orang-orang yang mengejarnya itu pun telah menghambur keluar dari regol padukuhan. Namun ketika mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhenti, maka mereka pun telah berhenti pula.

Beberapa saat mereka berdiri dengan tegang. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak sama sekali.

Kedua belah pihak ternyata bagaikan mematung. Orang-orang yang menghambur keluar dari regol itu pun bagaikan telah membeku di tempatnya.

Karena orang-orang itu tidak berbuat apa-apa, maka Mahisa Murti lah yang kemudian membentak, “Kalian mengejar kami?”

Beberapa orang di antara mereka saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang telah memberanikan diri melangkah maju meskipun ragu-ragu.

“Ki Sanak,” berkata orang itu, “sebelumnya kami mohon maaf atas tingkah laku kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru terkejut. Sementara orang itu berkata lebih lanjut, “Ki Sanak. Kami mengharap Ki Sanak bersedia kembali ke rumah perempuan yang pingsan itu?”

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Pukat, “untuk mendengarkan penghinaan yang lebih menyakitkan hati? Atau untuk membunuh kalian semuanya?”

“Jangan salah paham Ki Sanak,” berkata orang itu dengan terbata-bata, “perempuan yang pingsan itu sudah sadar.”

“Jadi?” bertanya Mahisa Pukat.

“Temuilah perempuan itu barang sebentar,” berkata orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian saling berpandangan. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Katakan kepadanya, bahwa aku tergesa-gesa. Aku tidak mempunyai waktu untuk kembali.”

“Tetapi perempuan itu menunggu Ki Sanak berdua. Ia minta dengan sangat,” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Murti menggelengkan kepalanya, “Kembalilah. Tidak ada salah paham. Aku mengerti maksud kalian. Karena itu aku mengucapkan terima kasih.”

Mahisa Murti pun kemudian menggamit Mahisa Pukat. Tanpa berbicara lagi keduanya pun kemudian telah melanjutkan perjalanan mereka. Beberapa orang yang menyusulnya itu- pun berlari-lari mengikuti keduanya. Orang yang telah memberanikan diri untuk minta kedua anak muda itu kembali, telah menyusulnya dan sambil berjalan disisinya ia berkata, “Tolong Ki Sanak. Kembalilah meskipun hanya sebentar. Biarlah perempuan itu sempat menyatakan perasaannya kepada Ki Sanak.”

“Pergilah. Jangan ganggu kami,” berkata Mahisa Murti sambil berjalan terus.

Orang yang mencoba untuk mengajaknya kembali itu kemudian menjelaskan, “jangan curiga terhadap kami, bahwa kami akan menjebak Ki Sanak berdua. Kami berkata dengan jujur, bahwa kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya mengharap Ki Sanak bersedia kembali.”

“Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kalian akan menjebak kami. Kalian tidak akan dapat melakukannya. Aku mengerti bahwa kalian juga tidak akan berani melakukannya. Karena itu, sudah aku katakan. Tidak ada salah paham. Apalagi perempuan yang pingsan itu sudah sadar kembali,” jawab Mahisa Murti, “tetapi aku tidak akan kembali. Kami berdua tergesa-gesa, karena ada tugas penting yang harus kami lakukan, karena kami bukan pejalan yang tidak ada artinya.”

Ketika orang itu akan mendesaknya lagi, maka Mahisa Pukat lah yang membentak, “Cepat kembali. Atau kalian akan pingsan di sini?”

Orang itu terkejut mendengar ancaman Mahisa Pukat.

Apalagi ketika Mahisa Pukat itu berhenti. Bahkan Mahisa Murti pun berhenti pula. Dengan nada datar Mahisa Pukat berkata sekali lagi, “Pergilah. Atau kami membuat kalian pingsan agar kalian tidak mengikuti kami untuk seterusnya.”

Orang-orang itu memang tidak berani memaksa. Betapa pun berat hati mereka, tetapi mereka memang harus kembali.

Mereka tidak berhasil mengajak kedua anak muda itu untuk kembali.

Sebenarnyalah orang-orang padukuhan memang menunggu kedua anak muda itu kembali. Setelah perempuan yang pingsan itu sadar, maka yang ditanyakan pertama-tama adalah kedua anak muda yang telah menolongnya.

“Maksudmu?” bertanya ibunya yang agak gemuk.

“Ya. Keduanya telah menolongku,” jawab perempuan itu yang kemudian dengan singkat telah menceriterakan apa yang telah terjadi.

Karena itu, maka perempuan gemuk itu telah dengan tergesa-gesa menyuruh beberapa orang untuk membawa kedua anak muda itu kembali. Apalagi ketika anak perempuannya itu menjadi sangat menyesal atas peristiwa yang telah terjadi di halaman rumahnya itu.

“Ayah memang seorang pemarah. Ayah merasa seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi, sehingga apa yang dipikirkannya itu tentu benar,” berkata anak perempuannya, “tetapi ternyata ayah dibuatnya pingsan. Untung ayah tidak dibunuhnya.”

Laki-laki berkumis lebat itu pun telah menjadi sadar pula. Ia pun telah mendengar tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku menyesal sekali,” katanya, “tetapi sebentar lagi kedua anak muda itu akan datang lagi. Kita sempat minta maaf kepadanya.”

Isterinya mengangguk-angguk. Sementara anak perempuannya mulai menyesali tingkah ayah dan ibunya.

“Tanpa anak-anak muda itu, aku sudah membunuh diri,” berkata anak perempuan itu.

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Anak-anak muda itu memang anak-anak muda yang baik hati. Aku memperlakukan mereka dengan kasar, bahkan aku sudah mengancam untuk membunuh mereka. Tetapi ketika aku dipukulnya hanya satu kali dan pingsan, maka dibiarkan aku dalam keadaan demikian tanpa disentuhnya lagi. Jika keduanya pendendam, maka aku kira, aku sudah dihancurkannya.”

“Bersyukurlah,” berkata isterinya, “kita harus menebus kekasaran itu.”

Namun tiba-tiba saja, halaman rumah itu menjadi ribut. Beberapa yang mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang tanpa kedua anak muda itu.

“Dimana mereka?” bertanya laki-laki berkumis lebat itu.

“Aku sempat menyusul mereka diluar regol padukuhan ini,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Lalu?” bertanya laki-laki berkumis itu tidak sabar.

“Keduanya tidak mau kembali,” jawab orang yang menyusul itu.

“Kenapa?“ wajah laki-laki berkumis itu menjadi tegang.

“Aku tidak tahu,” jawab orang yang menyusul itu, “semula memang nampak ada kecurigaan, bahwa kita akan menjebaknya. Tetapi akhirnya kami dapat meyakinkan bahwa kami tidak akan berbuat apa-apa.”

“Jadi anak-anak muda itu takut kita menjebaknya?” bertanya laki-laki berkumis itu.

“Tidak. Mereka sama sekali tidak takut,” jawab orang itu.

“Jadi bagaimana?“ laki-laki berkumis itu menjadi bingung.

“Mereka tidak cemas akan diri mereka sendiri, tetapi mereka justru ingin menghindari dari kemungkinan untuk membunuh orang sepadukuhan. Jika kita menjebak mereka, maka ada kemungkinan bahwa mereka kehilangan kendali dan membunuh kami semua,” jawab orang itu.

Perempuan yang baru sadar dari pingsannya itu kemudian berkata lantang, “salah ayah dan ibu. Kita belum sempat mengucapkan terima kasih. Justru kita menyakiti hati mereka. Jika saja ayah dan ibu melihat apa yang terjadi atas diriku.”

“Aku sudah berusaha memanggil mereka,” berkata laki-laki berkumis itu.

“Kenapa ayah tidak menyusulnya sekarang?“ tangis anak perempuan itu.

“Baiklah, aku akan menyusul mereka,” desis ayahnya.

Tetapi orang-orang yang telah menyusul kedua anak muda itu tetapi tidak berhasil berkata, “Kemana kita akan menyusulnya. Mereka tentu sudah terlalu jauh. Dan kita tidak tahu kemana arah dan tujuan mereka. Mungkin mereka berbelok ke kiri, mungkin kekanan, tetapi mungkin mereka berjalan terus.”

Laki-laki berkumis itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara anak perempuannya dengan penuh sesal berkata, “Ayah selalu bertindak tergesa-gesa tanpa pertimbangan yang mapan. Kali ini ayah harus menyesal.”

“Aku memang menyesal,” berkata laki-laki berkumis itu, “bukan saja karena orang itu telah menolongmu, tetapi bahwa kami, orang-orang padukuhan ini, tidak mengalami bencana yang sebenarnya, adalah pertanda sifat dan wataknya yang terpuji.

“Jadi apa yang harus kita lakukan? Hanya cukup menyesal saja,” tangis anak perempuannya.

Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Memang tidak ada yang dapat kita lakukan sekarang.”

Anak perempuannya itu mengusap air matanya. Memang tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menyesalinya. Demikian penyesalan itu menekan dadanya, maka perempuan itu kemudian berkata, “Ayah. Jika ayah demikian marah dan berusaha untuk menghukum kedua anak muda yang ayah sangka telah mengganggu aku, apa yang ayah lakukan terhadap orang yang benar-benar telah menggangguku?”

Wajah orang berkumis itu menjadi merah. Tetapi ia tahu, bahwa untuk melawan kelima orang itu bersama-sama, ia memang merasa tidak sanggup. Apalagi jika pemimpinnya yang botak itu membantu mereka. Tetapi dalam hal ini, ia mendengar dari anak perempuannya bahwa orang berkepala botak itu telah lebih dahulu menolong anak perempuannya daripada kedua orang anak muda itu.

Karena laki-laki itu tidak segera menjawab, maka isterinya, ibu dari anak perempuan yang baru sadar dari pingsannya itu bertanya, “Apakah kau ingin ayahmu menghukum mereka? Jika kau memang berniat demikian, biarlah ayahmu menemui pemimpin mereka yang botak itu dan mengatakan keinginannya. Tetapi sudah barang tentu ayahmu tidak akan sendiri.”

Tetapi perempuan itu kemudian telah berkata sambil menggelengkan kepalanya, “Tidak ibu. Aku tidak ingin ayah menjadi pingsan lagi. Jika kelima orang itu yang membuat ayah pingsan, maka ada kemungkinan ayah tidak akan bangun lagi untuk selamanya. Kelima orang itu memang berbeda dengan kedua anak muda yang telah ayah perlakukan dengan tidak adil itu.”

“Tetapi jika itu kau kehendaki, aku tidak akan gentar menghadapi kelima orang itu, karena aku juga tidak sendiri,” berkata ayahnya, “dengan demikian aku akan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat dengan sewenang-wenang mengganggu anak orang. Apalagi jika pemimpin mereka itu ada dipihak kami.”

“Kelima orang itu sudah mendapatkan hukumannya,” jawab anak perempuannya, “tetapi jika mereka melakukan lagi, maka ayah akan dapat membunuhnya.”

Ayahnya merenung sejenak. Namun apa yang terjadi merupakan pengalaman yang sangat berharga baginya. Orang berkumis itu menyadari, bahwa ternyata ia tidak dapat memandang gerak kehidupan itu hanya dari satu sisi. Ada sesuatu yang tidak dikenalnya hadir dalam kehidupan ini.

Dengan pengalaman itu, maka pikirannya pun telah berkembang. Dengan nada rendah ia kemudian bergumam, “Baiklah ngger. Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi. Tetapi aku akan menemui orang berkepala botak itu. Aku akan mengucapkan terima kasih kepadanya, bahwa ia telah menolong anakku. Jika aku gagal mengucapkan terima kasih dan minta maaf kepada kedua anak muda itu, maka aku harap, bahwa aku sempat berterima kasih kepada orang itu.”

Anak perempuannya tidak berkata apa pun juga. Namun kemudian ia pun berusaha untuk bangkit dan meninggalkan pendapa.

Ibunyalah yang kemudian membantunya membimbingnya masuk sampai kedalam biliknya. Dari kesan di wajahnya, ibu-nya pun telah menunjukkan penyesalan yang sangat dalam. Sebagai seorang isteri dari seorang laki-laki yang disegani, maka perempuan yang agak gemuk itu pun merasa dirinya lebih dari perempuan-perempuan lain pula. Bahkan lebih dari setiap orang, karena tidak seorang pun yang berani menentang kehendaknya karena mereka takut kepada suaminya. Sehingga bahkan kadang-kadang ia bersikap lebih garang dari suaminya yang berkumis lebat itu sendiri.

Tetapi ternyata bahwa kelebihan yang dimiliki suaminya itu tidak mutlak. Dua orang anak yang masih sangat muda dengan tanpa berbuat apa-apa telah mengalahkannya. Bahkan lima orang laki-laki yang juga termasuk disegani di padukuhan lain, telah menghinakan anak perempuannya.

Peristiwa yang singkat itu ternyata telah merubah ragam hidup keluarga orang berkumis lebat itu untuk seterusnya. Juga anak muda yang giginya telah dirontokkan itu.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjadi semakin jauh. Keduanya memang masih berbicara tentang keluarga yang sebenarnya perlu dikasihani itu.

“Mudah-mudahan peristiwa ini memberikan peringatan khusus baginya,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Desisnya, “Aku tidak tahan. Aku rasa-rasanya memang ingin mencekiknya.”

“Yang kau lakukan sudah cukup,” berkata Mahisa Murti, “akhirnya mereka menyesal. Tetapi sebaiknya kita memang tidak kembali, agar kesan-kesan yang ada pada orang-orang padukuhan itu lebih menukik kedalam jantung mereka, sehingga tidak dilupakannya. Jika kita kembali, mereka sempat minta maaf dan mungkin menjamu kita atau dengan cara-cara lain yang dapat memberi kesan seakan-akan mereka telah membayar hutang mereka. Dengan demikian maka mereka akan dengan mudah melupakannya. Tetapi jika membiarkan mereka dibebani oleh perasaan berhutang, maka mereka tidak mudah melupakannya.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti sikap Mahisa Murti. Bahkan ia pun juga tidak ingin kembali dan sekedar menerima permintaan maaf.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun kemudian seakan-akan tidak memikirkan lagi peristiwa yang telah terjadi itu. Tentang seorang pemungut pajak yang berkepala botak, tetapi baik hati dan tentang lima orang pengikutnya yang ternyata kehilangan nilai-nilai dan martabat kemanusiaannya.

Karena itu, maka mereka kemudian berjalan terus, seakan-akan tidak lagi berpaling. Sementara jalan yang mereka tempuh pun kadang-kadang merupakan jalan setapak yang sempit dan rumpil, namun kadang-kadang mereka berjalan melalui jalan yang lebar dan rata.

Dalam perjalanan yang tenang itu, keduanya sempat memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Ketika mereka kemudian terlepas dari lingkungan padukuhan dan tanah persawahan, maka mereka pun kemudian telah memasuki lingkungan yang berbeda. Mereka telah menempuh perjalanan di sebuah padang perdu yang luas. Dikejauhan nampak hijaunya hutan yang membentang panjang. Seakan-akan memanjang dari ujung sampai ke ujung cakrawala.

Meskipun keduanya telah menempuh perjalanan jauh, tetapi jarang sekali mereka sempat memperhatikan betapa kokohnya pegunungan yang berdiri menjulang bagaikan menggapai langit dibalik cakrawala. Sedangkan di sisi lain, lembah yang dalam mengganggu memanjang. Di kedalaman lembah terdengar arus air yang mengalir disela-sela bebatuan.

Rasa-rasanya memang segar berjalan di antara lembah dan pegunungan yang hijau. Bahkan seluruh alam seakan-akan telah menjadi hijau pula.

Namun kadang-kadang hijaunya alam itu telah diganggu oleh berbagai macam peristiwa yang kebanyakan bersumber dari tingkah laku manusia, meskipun akibatnya akan dapat menimpa manusia itu pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang meskipun belum pernah menempuh melalui jalan itu, tetapi mereka mengenali arah yang dituju. Mereka dapat melihat arah dengan mengamati saat matahari terbit atau terbenam di siang hari dan dimalam hari mereka dapat berpedoman pada beberapa jenis binatang di langit. Jika saja langit tidak berawan, maka Bintang Gubug Penceng akan dapat menunjukkan arah Selatan.

Dengan demikian maka mereka akan dapat selalu memelihara perjalanan mereka agar tidak tersesat ke arah yang berbeda. Sementara puncak-puncak gunung yang menjulang dapat mereka pergunakan sebagai pegangan dari tujuan mereka.

Demikianlah, kedua anak muda itu telah menempuh perjalanan yang panjang. Namun sebagai pengembara yang berpengalaman, maka mereka tidak banyak mengalami kesulitan di perjalanan.

Di malam hari mereka bermalam dibawah birunya langit atau di banjar-banjar padukuhan tidak pernah mereka persoalkan. Mereka dapat berada di mana saja.

Namun ternyata perjalanan mereka tidak selalu berlangsung tenang tanpa gangguan. Tanah Singasari yang luas memang sulit untuk mendapatkan pengawasan yang utuh.

Ternyata kedua anak muda itu justru telah terjerat ke dalam sebuah padukuhan yang sama sekali tidak mereka sangka sebelumnya. Padukuhan yang buram.

Ketika mereka memasuki sebuah pintu gerbang padukuhan yang belum mereka kenal, kedua anak muda itu sama sekali tidak menyangka bahwa padukuhan yang ada dihadapan mereka adalah padukuhan yang penuh dengan gejolak yang panas.

Dua orang yang dianggap paling kuat di padukuhan itu ternyata sedang bermusuhan. Dua orang yang memang memiliki darah keturunan penguasa bukan saja padukuhan itu, tetapi keduanya adalah cucu dari Ki Buyut yang telah meninggal karena usianya yang tua.

Anaknya yang sulung, ternyata tidak berumur panjang. Anak laki-lakinya yang sulung meninggal ketika Ki Buyut berusaha untuk mempersiapkannya mengganti kedudukannya.

Karena itu, maka Ki Buyut telah memindahkan perhatiannya kepada anaknya yang kedua. Namun ternyata bahwa anaknya yang keduanya pun tidak sempat berbuat banyak atas Kabuyutan itu. Ia meninggal hanya beberapa hari setelah diwisuda menggantikan kedudukan Ki Buyut yang hampir pikun.

Karena itu, maka yang kemudian menjadi Buyut di Kabuyutan itu adalah menantunya.

Tetapi dengan demikian, maka persoalannya menjadi agak kalut. Anaknya yang sulung dan anaknya yang kedua ternyata mempunyai masing-masing anak laki-laki. Keduanya merasa memiliki hak untuk menggantikan kedudukan itu.

Anak laki-laki dari anak Ki Buyut yang sulung itu justru menjadi curiga bahwa ayahnya telah dibunuh dengan cara yang halus oleh adiknya yang kemudian menggantikan kedudukan itu. Namun anak laki-laki dari anak kedua Ki Buyut yang sempat menjabat kedudukan Buyut untuk beberapa saat itu pun juga merasa berhak untuk menggantikan kedudukan kakeknya, justru karena ayahnya pernah menjabat. Dan bahkan ia sempat menduga bahwa ayahnya itu pun telah dibunuh pula dengan cara yang rumit.

Sementara itu, keduanya memang telah menyatakan menentang pengangkatan paman mereka menggantikan jabatan itu. Pamannya itu menurut mereka sama sekali tidak berhak atas kedudukan yang sedang mereka perebutkan, karena ia bukan anak laki-laki kandung dari Ki Buyut yang tua.

Tetapi ternyata menantu Ki Buyut yang tua itu memiliki kewibawaan yang cukup tinggi. Dengan kemampuannya mengatur kebijaksanaan pemerintahannya, maka ia mampu membatasi pertentangan antara kedua kemanakannya itu didalam lingkungan yang kecil. Pertentangan itu justru hanya terjadi dalam sebuah padukuhan.

Tetapi ternyata keduanya menyadari akan hal itu. Karena itu, maka keduanya pun telah mempersiapkan perhitungan. Jika pertentangan mereka sudah menemukan penyelesaian, apa pun yang terjadi, maka salah seorang dari mereka baru akan membuka medan melawan Ki Buyut yang sedang berkuasa.

Kedua laki-laki itu sama sekali tidak berniat untuk menggabungkan kekuatan mereka, karena mereka yakin, bahwa dalam keadaan yang demikian, mereka tidak akan mampu melawan Ki Buyut yang berkuasa. Bahkan mereka pun menyadari, jika keduanya bergabung, seandainya mereka berhasil mengusir atau bahkan menghancurkan Ki Buyut yang berkuasa, pertarungan di antara mereka berdua akan menjadi semakin sengit. Keduanya masih sempat memperhitungkan kehancuran mutlak di Kabuyutan itu, sehingga keduanya tidak akan berhasil membangunkannya kembali.

Karena itu, maka kedua orang itu memang telah bertekad untuk saling berhadapan dengan membatasi medan. Baru kemudian, setelah salah satu di antara mereka terhapus, maka mereka akan mengibarkan panji-panji perlawanan terhadap kuasa Ki Buyut yang tidak mereka anggap sah itu. Persiapan-persiapan yang lebih cermat dan perjuangan yang lebih lama akan terjadi.

Dalam suasana yang demikian itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki padukuhan itu.

Kedua anak muda itu memang menjadi heran, bahwa jalan induk padukuhan itu nampaknya menjadi sangat lengang. Pintu-pintu regol halaman rumah tertutup rapat. Namun keduanya tidak mengetahui bahwa jalan induk padukuhan itu telah menjadi penyekat antara kedua kekuatan yang ada di padukuhan itu. Disebelah kiri jalan induk itu berpihak kepada keturunan anak sulung Ki Buyut, sementara di sebelah kanan jalan berpihak kepada anak laki-laki dari anak kedua Ki Buyut yang sempat menjabat beberapa hari itu.

Keheranan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin mencengkam ketika mereka sampai di simpang empat di dalam padukuhan itu. Ternyata jalan yang mengarah ke kanan dan ke kiri telah ditutup dengan pagar kayu yang rapat setinggi dinding halaman rumah.


“Apa yang telah terjadi?” bertanya Mahisa Pukat seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri.

Mahisa Murti hanya dapat menggeleng lemah. Katanya, “Menilik keadaannya, maka ada permusuhan dari orang-orang di sebelah kiri jalan dengan orang-orang yang tinggal di sebelah kanan jalan.”

“Rasa-rasanya memang aneh,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “tentu ada sebab yang sangat dalam sehingga hal seperti itu telah terjadi.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Diamatinya suasana di padukuhan itu dengan saksama.

Semakin lama memang semakin jelas pada kedua anak muda itu, bahwa jalan itu memang merupakan batas antara dua golongan yang tentu saling bertentangan.

Semula kedua orang anak muda itu tidak ingin melibatkan diri dalam pertentangan yang terjadi di padukuhan itu apa pun sebabnya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah mempercepat langkah mereka.

Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah melintasi jalan di padukuhan itu dan keluar lagi dari pintu gerbang di ujung lain dari jalan itu. Demikian mereka berada di luar pintu gerbang, maka keduanya telah menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan mereka telah terlepas dari kemungkinan buruk yang dapat menerkam mereka di dalam padukuhan itu tanpa diketahui sebab dan arahnya.

Keduanya pun dengan cepat telah melangkah menjauhi pintu gerbang padepokan itu menyusuri jalan di antara kotak-kotak persawahan.

Namun ternyata dugaan mereka salah. Ketika mereka mendekati simpang empat yang masih belum terlalu jauh dari padukuhan, maka mereka melihat dua orang laki-laki yang sedang dipukuli oleh beberapa orang laki-laki yang lain.

Meskipun kedua orang laki-laki itu berteriak-teriak, tetapi pukulan-pukulan itu masih saja menimpa tubuhnya, sehingga kedua orang laki-laki itu tidak lagi mampu berdiri. Keduanya telah berjongkok sambil memegangi kepala mereka. Namun tubuhnyalah yang kemudian mulai berdarah.

Semula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah berniat untuk tidak terlibat itu pun berjalan saja melalui simpang empat. Namun teriakan-teriakan kesakitan itu telah membuat langkah mereka menjadi termangu-mangu.

Akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tidak dapat tahan lagi. Keduanya pun telah melangkah kembali menuju ke tempat orang-orang yang bertengkar itu.

Demikian ia mendekat, belum lagi mengatakan apa-apa, salah seorang yang memukuli kedua orang laki-laki itu telah menyongsongnya. Dengan kata-kata kasar ia berteriak, “Pergi. Jangan campuri persoalan kami.”

Tetapi sikap itu justru telah mendorong Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk lebih mendekat meskipun orang itu berteriak-teriak semakin keras.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “apa yang sebenarnya telah terjadi di sini sehingga kalian telah memukuli kedua orang itu.”

“Persetan. Apa pedulimu,” bentak laki-laki itu.

“Memang kami berdua tidak mengenali kalian. Namun peristiwa yang terjadi itu telah menyentuh perasaan kami, sehingga kami merasa perlu untuk mencampurinya,” jawab Mahisa Murti.

Ternyata orang-orang yang mendengar jawaban itu pun telah berpaling kepada keduanya. Beberapa orang telah melangkah mendekatinya sementara dua orang yang lain tetap tinggal menunggui kedua orang yang sudah tidak berdaya itu.

Seorang yang telah separuh baya berdiri di paling depan dari antara kawan-kawan mereka. Katanya, “Anak-anak muda, kau jangan melibatkan dirimu dalam persoalan kami ini. Jika kalian akan lewat, lewatlah. Kami tidak akan mengganggu kalian.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti. Tetapi ia pun kemudian telah bertanya pula, “Tetapi kenapa dengan kedua orang itu? Bagi kami, sungguh tidak adil jika dua orang harus diperlakukan demikian kasarnya oleh beberapa orang sekaligus.”

“Baiklah aku memberitahukan apa yang telah terjadi dengan mereka,” jawab orang yang telah separuh baya itu. Lalu “Kedua orang itu telah melanggar hak kami. Keduanya telah berani menangkap seekor kambing milik kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Jika memang demikian persoalannya, mereka memang tidak dapat terlalu banyak mencampurinya. Tetapi adalah tidak sepantasnya bahwa kedua orang itu dipukuli tanpa am pun oleh sekian banyak orang. Sementara itu tentu ada orang yang berwenang untuk mengadilinya.

Tetapi sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengatakan sesuatu, salah seorang dari mereka yang dipukuli itu menyahut, “Itu tidak benar.”

Tetapi sebelum orang itu berkata lebih lanjut, tiba-tiba saja kaki salah seorang yang menungguinya telah menghantam wajah orang itu sehingga ia telah terdorong dan jatuh terlentang.

Sebelum ia sempat bangun, maka kaki orang yang menendangnya itu telah menginjak perutnya pula.

“Cukup,” Mahisa Pukat hampir berteriak, “kelakuan yang demikian adalah tidak wajar. Seandainya orang itu salah sekalipun, ia tidak semestinya diperlakukan begitu.”

“Apa pedulimu,” bentak orang yang telah menginjak perut itu.

“Ternyata keduanya tidak bersalah,” berkata Mahisa Pukat.

“Omong kosong,” bentak orang yang sudah separuh baya.

“Beri orang itu kesempatan untuk berbicara,” berkata Mahisa Murti, “maka akan terungkap bahwa keduanya tidak mencuri kambing seperti yang kau katakan.”

“Ia dapat berkata apa pun juga,” geram orang yang separuh baya itu, “tetapi kami sudah memutuskan untuk menghukum keduanya.”

“Tentu tidak,” berkata Mahisa Pukat, “yang terjadi ini tentu akibat saja perselisihan yang telah lama berlangsung di padukuhan itu antara orang yang tinggal di sebelah kanan dengan orang-orang yang tinggal di sebelah kiri jalan induk.”

Orang-orang itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tatapan mata yang tajam. Orang yang sudah separuh baya itu pun kemudian berkata, “Darimana kau tahu?”

“Aku sudah melihat keadaan padukuhan itu. Aku memasuki padukuhan itu dan keluar lewat pintu gerbang yang lain di ujung jalan. Aku melihat pagar yang kuat di simpang empat dan simpang tiga. Aku melihat, bagaimana orang-orang padukuhan itu berusaha untuk memisahkan lingkungan di sebelah kiri dan di sebelah kanan jalan.”

Orang separuh baya itu memotong, “Nah, jika demikian, jangan campuri persoalan kami. Sekarang, pergilah agar kalian berdua tidak terlibat.”

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti pula, “bagaimana aku tidak melibatkan diri, jika perlakuan kalian terhadap orang sepadukuhanmu seperti itu?”

“Apa yang kami lakukan, biarlah kami lakukan. Jangan menunggu sampai kami kehilangan kesabaran, sehingga justru kalian berdua akan mengalami kesulitan di sini,” berkata orang itu.

“Apa pun yang akan terjadi atas diri kami, maka kami memang berkewajiban untuk mencegah tingkah laku kalian yang berkelebihan itu,” berkata Mahisa Pukat. Lalu “Nah, jika kalian memang ingin jujur dalam persoalan ini, biarlah kedua orang itu berbicara. Kenapa mereka kalian pukuli? Apakah sekedar pelepasan dendam atau benar-benar karena mereka mencuri kambing?”

“Sekali lagi aku beri kalian kesempatan untuk pergi. Jika tidak, maka kepalamu akan kami pecahkan di sini. Kami memang akan melepaskan kedua orang itu, tetapi kalian akan menjadi gantinya,” berkata orang separuh baya itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hampir bersamaan. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Jika kalian kehendaki, maka kami berdua tidak berkeberatan.”

Wajah orang itu menjadi merah. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kau benar-benar ingin mengalami perlakuan seperti kedua orang itu?”

“Jika itu memberikan kepuasan kepada kalian, maka kami tidak akan menolak,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku ingin keduanya berbicara lebih dahulu.”

Orang separuh baya itu agaknya telah kehilangan kesabarannya. Karena itu, maka ia pun berkata, “Baiklah. Jika kalian ingin mengalami perlakuan seperti orang itu, kami tidak akan berkeberatan.” Lalu tiba-tiba saja ia memberi perintah kepada orang-orangnya, “Perlakukan kedua anak muda ini sebagaimana kalian lakukan terhadap kedua orang pencuri itu.”

Beberapa orang pun dengan tiba-tiba telah berloncatan menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana mereka lakukan terhadap kedua orang yang telah terbaring di tanah hampir pingsan itu.

Tetapi orang-orang itu pun ternyata telah terkejut bukan buatan. Tiga orang di antara mereka telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah. Kemudian seorang lagi yang terdorong menimpa beberapa orang kawan-kawannya, sehingga justru beberapa orang telah jatuh pula tertelentang.

Orang yang separuh baya itu pun telah terjatuh pula. Tetapi ia pun segera berusaha bangkit. Dengan nada tinggi ia berteriak marah, “Ayo bangun. Ternyata kedua anak muda ini benar-benar anak iblis. Mereka memang ingin mengalami perlakuan yang tidak saja seperti kedua orang pencuri itu.”

Orang-orang yang telah jatuh terbanting itu pun telah bangun pula. Mereka berusaha untuk tidak memperlihatkan, betapa punggung mereka terasa hampir patah karenanya.

Dengan serta merta orang-orang itu telah mengepung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi mereka tidak berani lagi berlaku tergesa-gesa. Orang yang sudah separuh baya itu berdiri dihadapan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sambil berkata, “Menyerahlah. Hukumanmu akan menjadi jauh lebih ringan. Kau tidak saja kami anggap seperti pencuri kambing atau bahkan lembu sekalipun. Tetapi kalian sudah kami anggap sebagai orang yang telah berani menghina dan menentang kami. Orang-orang yang demikian menurut paugeran yang berlaku di padukuhan kami, akan mendapat hukuman yang jauh lebih berat dari kedua orang yang telah kami pukuli itu.”

“Hukuman apa saja yang dapat kalian jatuhkan kepada kami?” bertanya Mahisa Murti.

“Segala macam hukuman. Termasuk hukuman mati. Bahkan hukuman picis sekalipun,” jawab yang sudah separuh baya.

“Apakah hukuman seperti itu pernah kalian berikan kepada seseorang?” bertanya Mahisa Murti.

Orang separuh baya itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Memang belum. Tetapi terhadap kalian berdua akan dapat kami pertimbangkan, karena kalian benar-benar telah menghina dan menentang kami.”

“Dalam hal seperti ini, bukan akulah yang menghina kalian. Tetapi kalianlah yang telah menghina kami. Karena itu, kami- pun akan dapat menjatuhkan hukuman kepada kalian sebagaimana kalian akan dapat menjatuhkan hukuman kepada kami.”

Orang yang sudah separuh baya itu tidak sabar menunggu lagi. Ia pun kemudian mulai bergerak maju. Demikian pula orang-orang yang lain. Semakin lama kepungan itu pun menjadi semakin sempit.

Dalam pada itu, kedua orang itu telah dipukuli itu memperhatikan peristiwa itu dengan jantung yang berdebaran. Jika kedua orang anak muda itu tidak berhasil, maka nasib mereka berdua justru akan menjadi lebih buruk. Namun melihat keyakinan yang memancar dari mata sepasang anak muda itu, maka kedua orang yang telah dipukuli itu pun mempunyai pengharapan bahwa mereka akan tertolong. Atau setidak-tidaknya ada kesempatan untuk melarikan diri ke seberang batas.

Sebenarnya bahwa beberapa orang laki-laki itu telah memusatkan perhatiannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apalagi kedua anak muda itu memang dengan sengaja memancing perhatian mereka.

Ketika orang-orang itu mulai menyerang, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser menjauhi kedua orang laki-laki yang telah dipukuli itu. Bahkan beberapa kali ia telah mendorong orang-orang yang mengepungnya itu sehingga jatuh terlentang. Namun dengan cepat mereka segera bangkit kembali dan menyerang kedua anak muda itu sambil mengumpat-umpat.

Ternyata orang-orang itu benar-benar menjadi lengah. Orang yang semula menunggui kedua orang yang telah mereka pukuli itu telah tertarik pula untuk membantu kawan-kawannya mengeroyok kedua anak muda yang telah berani mencampuri persoalan mereka.

Dalam kesempatan itu, kedua orang laki-laki yang telah dipukuli itu dengan sangat berhati-hati telah berusaha untuk merangkak. Sedikit demi sedikit. Namun tiba-tiba saja mereka telah berlari sekencang-kencangnya. Meskipun tulang-tulang mereka bagaikan berpatahan, namun mereka telah mempergunakan sisa tenaga mereka.

Beberapa orang yang sedang berkelahi dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya melihat juga. Beberapa orang telah menghambur mengejar mereka. Tetapi jaraknya cukup panjang. Meskipun jarak itu semakin lama menjadi semakin pendek, namun orang-orang itu tidak berhasil menangkap keduanya sehingga keduanya melewati simpang empat.

Demikian keduanya menyeberangi simpang empat, maka tubuh mereka benar-benar terasa tidak berdaya lagi. Keduanya pun segera terjatuh duduk di tanah bertelekan tangan-tangan mereka. Nafas mereka terengah-engah di lubang hidung mereka.

Dua orang telah muncul dari balik tanaman di sawah mendekati kedua orang itu, sementara orang-orang yang mengejarnya telah berhenti di simpang empat.

“Setan,” geram salah seorang dari antara yang mengejarnya, “mereka sempat lolos.”

Dua orang yang datang mendekati mereka memandang orang-orang itu dengan tatapan mata yang tajam. Dengan garangnya seorang di antara mereka berkata, “Kalian telah membuat perkara lagi. Jangan kalian sangka bahwa kami akan berdiam diri.”

“Persetan,” geram orang yang mengejarnya, “kau hanya berani menantang di belakang batas.”

“Apakah kau berani menyeberang?” bertanya orang yang datang menolong itu.

Orang-orang yang mengejar itu pun segera teringat kepada dua orang anak muda yang telah menyebabkan kedua orang itu terlepas. Karena itu, maka seorang di antara mereka berkata, “Kita selesaikan persoalan kita kelak. Kami masih mempunyai urusan dengan kedua orang anak gila itu.”

Orang-orang itu tidak menunggu jawaban. Mereka segera berlari-lari ke arah kawan-kawannya yang sedang berkelahi.

Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah tidak berminat lagi untuk berkelahi dengan mereka. Karena itu setelah mereka yakin bahwa kedua orang itu telah terlepas dari bahaya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk melepaskan diri dari pertempuran itu.

Memang tidak sulit bagi kedua orang anak muda itu. Karena itu maka sejenak kemudian, maka keduanya pun telah berhasil meloncat keluar dari arena dan berlari menuju ke simpang empat.

Seperti kedua orang yang telah terlepas dari tangan beberapa orang laki-laki yang marah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pula menyeberang simpang empat dan dengan demikian, maka orang-orang yang mengejarnya tidak menyusulnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berdiri termangu-mangu. Sejenak ia memperhatikan orang-orang yang marah di seberang simpang empat. Namun kemudian mereka- pun telah berpaling ke arah kedua orang yang tubuhnya menjadi lemah karena tulang-tulangnya bagaikan retak.

Sementara itu, orang-orang yang berada di seberang simpang empat masih sempat mengumpat-umpatinya. Namun me-reka pun kemudian telah meninggalkan simpang empat itu dengan kemarahan yang tertahan.

Ketika orang-orang itu telah pergi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mendekati kedua orang yang telah ditolongnya itu. Namun tiba-tiba dua orang yang datang kemudian itu telah mencegahnya. Seorang di antara mereka berkata, “Kalian mau apa? Kami tidak mengenal kalian.”

“Kami telah menolong kedua orang yang dipukuli oleh orang-orang seberang simpang empat itu,” berkata Mahisa Murti.

“Kami tidak memerlukan pertolongan orang asing,” berkata orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar jawaban itu. Ketika keduanya kemudian memandang orang yang terluka itu, keduanya menjadi semakin heran, karena salah seorang di antara mereka berkata, “Tanpa pertolonganmu pun kami akan dapat melepaskan diri. Karena itu jangan merasa bahwa kalian telah berjasa kepada kami berdua, seolah-olah tanpa kalian kami akan mati.”

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Apa sebenarnya yang telah terjadi? Aku tidak mengerti akan sikap kalian. Jika demikian, apakah memang benar kalian telah mencuri kambing mereka.”

“Omong kosong,” salah seorang yang terluka itu hampir berteriak, “aku tidak mencuri kambing. Kambingku yang terlepas dan berlari ke seberang. Ketika aku akan menangkapnya, maka mereka pun datang dan merekalah yang menangkap aku sebelum aku berhasil menangkap kambingku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Pukat pun kemudian bertanya, “Kenapa mereka menangkapmu? Bukankah kambing itu kambingmu?”

“Kambingku berada di daerah mereka,” jawab orang yang terluka itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun sementara itu salah seorang di antara kedua orang yang terluka itu membentak, “Pergilah. Jangan merasa berjasa kepada kami berdua.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi keduanya pun melangkah meninggalkan kedua orang yang terluka serta dua orang yang menunggui mereka.

Di simpang empat kedua orang itu berhenti. Mereka memandang ke kedua lingkungan yang dibatasi oleh jalan yang membelah padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan.

“Memang aneh,” berkata Mahisa Murti, “bukan saja pembagian wilayah yang keras, tetapi juga sifat-sifat orang di padukuhan ini. Mereka sama sekali tidak merasa ditolong meskipun pada saat mereka dipukuli oleh orang-orang di lingkungan yang berseberangan berteriak-teriak minta tolong.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Sulit untuk dimengerti. Tetapi justru menimbulkan keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang padukuhan itu.”

“Bukankah kita mempunyai kewajiban yang harus kita selesaikan?” bertanya Mahisa Murti, “semakin banyak kita tersangkut persoalan-persoalan yang terjadi di sepanjang jalan, maka kita akan semakin lama meninggalkan padepokan kita. Aku cemas bahwa ayah menjadi tidak telaten dan meninggalkan padepokan tanpa menunggu kita kembali. Atau barangkali terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan di padepokan.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Kali ini saja kita berhenti. Aku menjadi penasaran dan ingin tahu isi dari padepokan yang aneh ini.”

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apa yang akan kita lakukan?”

“Kita memasuki padukuhan itu. Kita melihat-lihat isinya dan apa saja yang belum kita ketahui didalamnya,” berkata Mahisa Pukat.

“Apakah akan ada artinya?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Mungkin tidak. Sekedar ingin tahu,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Tetapi kita jangan terlalu lama terkait oleh padukuhan aneh ini. Jika kita tidak menemukan apa-apa selain keanehan ini, atau katakanlah bahwa jika kita tidak segera mendapatkan jawaban atas teka teki yang ada di padukuhan ini, maka sebaiknya kita tinggalkan saja padukuhan ini.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan segera meninggalkan tempat ini jika kita tidak menemukan sesuatu yang pantas kita perhatikan.”

Mahisa Murti mengangguk pula. Sekali lagi ia bertanya, “Apa yang akan kita lakukan?”

“Marilah, kita masuk saja ke padukuhan itu dan melihat-lihat tanpa menghiraukan batas itu,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti setuju, sehingga keduanya pun kemudian telah melangkah kembali ke padukuhan. Mereka memasuki pintu gerbang yang lengang karena tidak seorang pun yang akan lewat pintu gerbang itu. Orang yang tinggal di sebelah kiri jalan akan melalui pintu regol di samping kiri sementara orang yang tinggal di sebelah kanan akan keluar dan masuk lewat regol sebelah kanan.

Untuk beberapa lama keduanya menelusuri jalan padukuhan itu. Pintu-pintu regol halaman yang menghadap ke jalan induk padukuhan itu tetap tertutup. Ternyata para penghuninya memilih arah lain untuk keluar dari halaman rumah masing-masing, sehingga mereka tidak langsung turun ke jalan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian sampai ke persimpangan jalan di dalam padukuhan yang sudah ditutup dengan pagar, ternyata berniat untuk memasuki jalan itu. Karena itu, maka keduanya pun telah memanjat dan melompati pagar itu.

Namun demikian mereka turun di belakang pagar, tiba-tiba saja beberapa orang laki-laki telah mengerumuni mereka.

Tetapi demikian mereka melihat bahwa kedua orang anak muda itu bukan orang di seberang jalan induk padukuhan. maka mereka pun justru tidak segera berbuat sesuatu. Namun orang yang tertua di antara mereka melangkah maju sambil bertanya, “Siapakah kalian Ki Sanak. Dan kenapa kalian memasuki daerah kami?”

Mahisa Pukat mengangguk hormat. Dengan nada rendah ia berkata, “Ki Sanak. Padukuhan ini sangat menarik perhatian kami. Setiap jalan simpang telah ditutup. Sementara nampaknya orang-orang di seberang menyeberang jalan telah bermusuhan. Di luar padukuhan ini aku telah menolong dua orang dari sisi ini yang dipukuli oleh sekelompok laki-laki dari sisi lain, sehingga kedua orang itu sempat berlari menyeberang batas. Namun ternyata bahwa keduanya justru memusuhi kami berdua dan menganggap kami mencampuri persoalan mereka.”

Orang tertua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jadi kalian berdua telah mencampuri persoalan kami?”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Katanya, “Sama sekali bukan maksudku. Kami berniat menolong kedua orang yang berteriak-teriak sampai lehernya akan putus. Tetapi setelah kami berhasil menolong mereka, maka mereka sama sekali tidak berterima kasih.”

“Ternyata kawan-kawanku itu benar,” berkata orang tertua itu, “kalian telah mencampuri persoalan kami.”

“Bagaimana seandainya kami tidak menolong kedua orang itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Apakah kau kira kami tidak dapat mengatasi persoalan kami?” bertanya orang itu.


Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun termangu-mangu. Mereka benar-benar tidak mengerti sifat orang-orang padukuhan itu. Namun karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah menempuh cara yang tidak direncanakan semula.

Dengan tanpa menghiraukan orang-orang itu maka Mahisa Pukat pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti, “Marilah, kita berjalan-jalan.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tidak membantahnya ketika Mahisa Pukat menariknya.

Keduanya pun melangkah tanpa menghiraukan orang-orang yang mengerumuninya. Bahkan Mahisa Pukat telah menyibak orang-orang yang berdiri dihadapannya.

Orang-orang padukuhan itulah yang kemudian menjadi heran. Namun justru karena itu, maka mereka bagaikan mematung di tempat masing-masing.

Baru kemudian orang-orang itu menyadari setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membelakangi mereka.

“Tangkap orang-orang itu,” tiba-tiba saja orang tertua itu pun berteriak.

Orang-orang itu pun kemudian telah berlari-lari mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka telah berusaha untuk menangkap kedua anak muda itu.

Mahisa Murti yang kurang tahu rencana Mahisa Pukat itu pun berdesis, “Apa yang akan kita lakukan?”

“Melawan mereka,” berkata Mahisa Pukat.

“Melawan?” bertanya Mahisa Murti.

“Kita sakiti mereka,” jawab Mahisa Pukat, “lalu kita lari keluar dari lingkungan ini.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingkar.

Karena itu, ketika orang-orang itu berusaha menangkapnya, maka kedua anak muda itu telah melawan mereka. Bahkan seperti yang dimaksud oleh Mahisa Pukat, keduanya benar-benar telah menyakiti beberapa orang yang berusaha menangkapnya itu, sehingga ada di antara mereka yang telah berteriak-teriak kesakitan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak banyak mengalami kesulitan mengatasi orang-orang yang akan menangkapnya itu. Seperti yang mereka rencanakan, maka setelah beberapa orang kesakitan, maka mereka pun telah melarikan diri.

Orang-orang padukuhan itu memang tidak berani mengejar kedua anak muda yang memang ternyata memiliki kelebihan dari mereka. Apalagi setelah beberapa orang di antara mereka menjadi kesakitan dan tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

Dengan sigapnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncati pagar yang menutup jalan simpang itu, dan turun di jalan induk padukuhan yang sepi.

Orang-orang yang berusaha menangkapnya itu hanya dapat memperhatikan keduanya dari balik pagar. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan tanpa seorang pun yang mengganggu.

Beberapa saat lamanya keduanya berjalan di jalan induk. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat mengajak Mahisa Murti untuk memasuki lingkungan yang lain dari lingkungan yang telah mereka masuki.

Mahisa Murti yang sekedar mengikuti saja keinginan Mahisa Pukat tidak membantah. Dengan hati-hati mereka mendekati sebuah jalan simpang yang juga berpagar seperti yang berbelok ke arah sisi yang lain dari padukuhan itu.

“Marilah,” ajak Mahisa Pukat.

Mahisa Murti pun mengangguk. Ketika kemudian Mahisa Pukat meloncat, maka Mahisa Murti pun telah meloncat pula.

Seperti yang terjadi di sebelah lain dari padukuhan itu, maka sejenak kemudian beberapa orang laki-laki telah berkerumun di sekeliling kedua orang anak muda.

Ternyata ada di antara mereka yang ikut memukuli dua orang laki-laki di luar padukuhan itu. Karena itu dengan serta merta orang itu melangkah maju sambil berteriak, “Kau adalah orang yang telah mencampuri persoalan yang terjadi di antara kami dengan orang-orang gila di sebelah. Nah, sekarang kau masuk ke daerah kami. Apa yang sebenarnya kalian kehendaki?”

“Bukan apa-apa. Aku ingin berjalan ke mana aku suka. Dan aku ingin memasuki daerah yang ingin aku lihat,” jawab Mahisa Pukat.

“Persetan,” geram seorang yang bertubuh tinggi tegap, “kau sebenarnya mau apa? Setelah mencampuri persoalan kami dengan orang-orang sebelah, sekarang kau memasuki lingkungan kami.”

“Sudah aku jawab. Aku mau berbuat apa saja sesuka hatiku. Kau jangan mencampuri persoalanku, lebih-lebih yang bersifat pribadi seperti ini,” jawab Mahisa Pukat pula.

Orang-orang itu menjadi semakin heran. Mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh kedua orang itu. Namun orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak mau berpikir terlalu banyak. Katanya, “Sebelum kami menjadi semakin marah, pergilah. Bahwa kau telah mencampuri persoalan kami itu kau telah menyakiti hati kami. Sekarang kau berbuat aneh-aneh tanpa menghiraukan hak kami atas tanah ini.”

“Jangan mencegah apa yang ingin kami lakukan,” geram Mahisa Pukat.

“Ini daerah kami,” bentak orang bertubuh tinggi kekar itu.

“Aku tidak peduli,” teriak Mahisa Pukat sehingga orang-orang itu telah terkejut karenanya.

Orang-orang itu kemudian telah menjadi marah. Seperti orang-orang di sebelah, maka mereka pun telah berusaha untuk menangkap Mahisa Pukat dan Mahisa Murti.

Tetapi seperti yang terjadi di sebelah pula, maka orang-orang itu pun satu-satu telah terlempar jatuh. Meskipun mereka berusaha bangkit lagi, namun tubuh mereka terasa menjadi sakit-sakit.

Untuk beberapa saat lamanya mereka masih saja berkelahi. Namun kemudian orang-orang padukuhan itu tidak berdaya untuk menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Berbeda dengan ketika keduanya berada di bagian yang lain dari padukuhan itu, maka keduanya sama sekali tidak melarikan diri. Tetapi ketika perlawanan orang-orang padukuhan itu berhenti, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berjalan justru memasuki bagian dari padukuhan itu semakin dalam.

Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menimbulkan persoalan di padukuhan yang sebelah itu. Beberapa kali mereka harus berkelahi. Namun tidak ada di antara orang-orang padukuhan itu yang dapat mengalahkan mereka apalagi menangkap mereka.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun dengan leluasa telah berjalan di sepanjang lorong-lorong di belahan padukuhan itu.

Ternyata bahwa di belahan padukuhan itu, kehidupan sehari-hari agaknya berlangsung wajar. Meskipun di beberapa bagian nampak gardu-gardu tempat beberapa orang laki-laki berkumpul. Agaknya mereka tidak hanya di malam hari saja meronda, juga di siang hari. Justru karena kedua sisi padukuhan itu saling bermusuhan.

Di gardu-gardu itulah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berkelahi.

Setelah melihat-lihat beberapa lama, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan padukuhan itu. Namun ternyata mereka telah melakukan lagi hal seperti itu pula di belahan yang lain. Tetapi kepada laki-laki yang punggungnya bagaikan patah, Mahisa Pukat berkata, “Laporkan kedatanganku kepada pemimpinmu. He, siapakah pemimpin di sini? Ki Bekel? Atau siapa?”

Laki-laki itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram, “Awas kau. Kami akan melaporkan kalian kepada pemimpin kami.”

“Cepat, sebelum kami meninggalkan padukuhan ini,” bentak Mahisa Pukat.

Orang itu memang berusaha untuk melangkah tertatih-tatih menyusuri jalan padukuhan itu. Sementara kawan-kawan-¡nya masih terbaring kesakitan.

Beberapa saat kemudian, orang itu telah datang kembali.

Seorang yang bertubuh tinggi datang menyertainya diiringi oleh tiga orang pengawalnya yang bersenjata.

“Jadi kalian berdua yang telah mengacaukan lingkungan kami ini?” berkata orang yang bertubuh agak tinggi itu. Lalu katanya, “Menurut laporan yang aku dengar, hari ini kau telah dua kali datang kemari dan sekali memasuki belahan padukuhan yang lain. Apakah kau diupah oleh mereka untuk mengacaukan tempat ini?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Pukat pun berkata, “Ki Sanak. Kaukah Bekel dari padukuhan ini?”

“Bukan,” jawab orang itu, “Bekel padukuhan ini tidak berarti apa-apa lagi bagiku. Tetapi aku adalah pemimpin dari padukuhan ini.”

“Termasuk di belahan yang lain?” bertanya Mahisa Murti.

“Pada saatnya memang demikian. Bahkan bukan saja sepadukuhan ini. Tetapi aku akan menjadi pemimpin dari Kabuyutan ini,” jawab orang yang bertubuh agak tinggi itu.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “sebenarnyalah bahwa kami ingin tahu, apa yang telah terjadi di padukuhan ini. Bahwa padukuhan ini dibagi menjadi dua bagian telah sangat menarik perhatian kami. Bahkan agaknya kedua belah pihak dari kedua belahan padukuhan ini telah bermusuhan.”

“Kalian tidak perlu mencampuri persoalan kami,” jawab orang bertubuh tinggi itu.

“Semua orang berkata begitu,” jawab Mahisa Pukat, “semua orang di belahan padukuhan ini dan di belahan yang lain selalu mengatakan jangan campuri persoalan kami.”

“Ya, kau dengar. Jangan campuri persoalan kami. Sebelum kami kehabisan kesabaran, kalian harus pergi dari tempat ini,” berkata orang bertubuh tinggi itu.

“Tidak Ki Sanak. Aku tidak mau pergi. Aku ingin mengetahui apa yang telah terjadi. Menurut pengertianku, ingin mengetahui sesuatu belum tentu berarti mencampuri persoalan yang timbul padanya,” jawab Mahisa Pukat.

Orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya pula, “Sebaiknya kau pergi saja.”

“Tidak. Ada beberapa keanehan yang ingin kami ketahui,” jawab Mahisa Pukat.

“Jika kau tidak mau pergi, kami akan memaksamu,” berkata orang bertubuh tinggi yang mengaku pemimpin dari padukuhan itu.

Namun Mahisa Pukat dengan singkat telah mengatakan apa yang dilihatnya tentang dua orang yang telah dipukuli oleh orang sebelah.

Namun orang bertubuh tinggi itu pun tetap berkata, “Kau telah melakukan kesalahan. Kau memang mencampuri persoalan kami.”

Mahisa Pukat menjadi jengkel karenanya. Tiba-tiba saja ia membentak, “Aku sudah jemu mendengar jawaban seperti itu. Katakan, apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Laki-laki bertubuh tinggi itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Hanya ada satu pilihan. Pergi atau kami usir kalian dari tempat ini dengan kekerasan.”

“Kau memaksa kami bergabung dengan orang-orang di sebelah. Kau harus memperhitungkan kemampuan kami. Tidak ada laki-laki di padukuhan ini yang dapat melawan kami.”

Orang yang bertubuh tinggi itu termangu-mangu. Ia memang sudah mendengar laporan tentang kedua orang yang sudah dua kali datang ke lingkungan mereka selain apa yang pernah mereka lakukan di luar padukuhan ketika dua orang di antara mereka sedang dipukuli oleh orang-orang sebelah.

Namun orang bertubuh tinggi itu ternyata tidak gentar. Apalagi karena ia memang merasa memiliki kemungkinan untuk memegang jabatan tertinggi bukan saja di padukuhan itu tetapi di seluruh Kabuyutan.

Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Jangan menakut-nakuti kami dengan cara itu. Aku adalah pemimpin di sini. Aku harus dapat mengatasi segala kesulitan yang timbul di lingkunganku. Karena itu, maka pergilah. Jangan membuat aku marah. Jika kau membanggakan diri kalian seolah-olah tidak ada orang yang mampu mengalahkan kalian, maka kalian akan menyesal.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa heran melihat sikap yang begitu tenang dari orang bertubuh tinggi itu. Orang itu terlalu yakin akan dirinya, serta terlalu yakin akan kemampuan nya untuk memimpin padukuhannya bahkan Kabuyutannya.

Tetapi dengan demikian maka persoalan di padukuhan itu menjadi semakin mengasikkan untuk ditelusuri. Nampaknya ada permasalahan tentang pimpinan di padukuhan itu.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Ki Sanak. Nampaknya kau memang terlalu yakin akan dirimu sendiri.”

“Aku memang harus yakin, bahwa aku adalah pemimpin di sini,” jawab orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat kemudian bertanya, “Ki Sanak. Apakah di sebelah juga terdapat orang seperti Ki Sanak? Yang merasa dirinya akan menjadi pemimpin di sini?”

“Itu bukan urusanku. Tetapi akulah pemimpin di sini,” bentak orang itu.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dari orang lain. Karena itu ada baiknya kau berusaha mengusir aku. Kemudian aku akan membiarkan diriku diusir oleh orang yang mengaku pemimpin di sebelah.”

Wajah orang itu menjadi marah. Dengan nada keras ia berkata, “Sebenarnya apa keuntunganmu mencampuri urusan orang lain?”

“Keanehan di padukuhan ini sangat menarik perhatianku. Justru pada saat Singasari berusaha mempersatukan bagian-bagiannya sampai bagian terkecil, maka di padukuhan ini terjadi yang sebaliknya. Bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi besar, jika justru saling memisahkan diri dan bermusuhan seperti ini.”

“Apa pedulimu?” bentak orang bertubuh tinggi itu, “sekali lagi aku minta kau pergi dari lingkunganku.”

Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Aku justru ingin mencampuri persoalan di padukuhan ini lebih mendalam. Aku ingin di padukuhan ini tidak ada pagar sehingga padukuhan ini akan menjadi satu kembali seperti sebelumnya. Meskipun aku tidak melihat, namun aku yakin, bahwa semula padukuhan ini satu. Persatuan di lingkungan paling kecil dari satu lingkungan yang besar, merupakan alas yang paling kokoh dari persatuan itu. Tanpa persatuan pada bagian-bagian terkecil dari lingkungan Singasari, maka tidak akan ada persatuan yang mendasar di Singasari.”

“Kau tidak usah mengigau tentang Singasari,” berkata orang bertubuh tinggi itu, “yang aku hadapi adalah kenyataan ini. Aku tidak peduli apa yang terjadi diluar padukuhanku.”

“Perpecahan seperti ini akan dapat menjadi setitik api di dalam seonggok jerami. Jika kita biarkan, maka jerami itu akan terbakar habis,” berkata Mahisa Pukat.

“Jika kau memang ingin mencampuri persoalan kami, singkirkan orang lain yang mengaku pemimpin di padukuhan ini,” sahut orang bertubuh tinggi itu.

“Bukan begitu caranya,” jawab Mahisa Pukat, “sebaiknya kalian bertemu dan berbicara.”

“Bibir kami tidak cukup tebal untuk berbicara. Sampai habis pun tidak akan ada penyelesaian yang baik. Karena itu maka tidak ada jalan lain kecuali menyingkirkannya,” berkata orang bertubuh tinggi itu.

“Aku tidak sependapat,” jawab Mahisa Pukat.

“Aku tidak peduli. Karena itu, pergilah,” bentak orang bertubuh tinggi itu.

Mahisa Pukat menggeleng sambil berkata, “Aku akan berbuat apa saja yang aku sukai.”

Ternyata orang bertubuh tinggi itu menjadi marah sekali. Dengan serta merta tangannya terayun ke wajah Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Pukat telah siap menghadapi kemungkinan itu. Dengan memiringkan wajahnya, maka pukulan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Namun ternyata bahwa orang bertubuh tinggi itu tidak menghentikan serangannya, la pun segera meloncat sambil mengayunkan tangannya, langsung menyerang ke arah dada.

Sekali lagi Mahisa Pukat harus mengelak. Dengan cepatnya ia bergeser ke samping, sehingga pukulan itu tidak mengenainya. Namun tubuh orang itulah yang kemudian berputar. Kakinya terayun deras ke arah lambung.

Mahisa Pukat memang harus meloncat surut untuk menghindarinya. Tetapi ia tidak membiarkan dirinya diserang terus.

Karena itu, demikian ia berjejak diatas tanah, ia pun melenting dengan cepatnya menyerang dengan ayunan kaki ke arah dada.

Tetapi ternyata bahwa orang bertubuh tinggi itu telah mengejutkan Mahisa Pukat. Orang itu pun telah bergerak dengan cepat pula menghindar, sehingga serangan Mahisa Pukat tidak mengenainya.

Mahisa Pukat memang belum mengerahkan kemampuannya. Namun bagaimanapun juga ia mampu menilai orang bertubuh tinggi itu. Ternyata orang bertubuh tinggi itu juga memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Bahkan tidak mustahil bahwa sebenarnya ia memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia belum merasa perlu untuk mengungkapkannya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat harus menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak dapat menganggap lawannya itu sebagaimana orang-orang lain di padukuhan itu.

Orang bertubuh tinggi yang menyebut dirinya pemimpin dari padukuhan itu, bahkan pemimpin dari seluruh Kabuyutan itulah yang. kemudian melangkah mendekat. Dengan cepat ia meloncat menyerang dengan garangnya.

Sejenak kemudian, maka telah terjadi pertempuran yang sengit. Mahisa Murti yang memperhatikan pertempuran itu, segera dapat melihat, bahwa orang bertubuh tinggi itu memang memiliki kemampuan yang tinggi pula. Perlahan-lahan orang itu mulai meningkatkan kemampuannya sehingga sampai pada satu tataran yang melampaui kemampuan orang kebanyakan.

Mahisa Pukat pun berusaha untuk mengimbangi kemampuan itu. Namun Mahisa Pukat pun kemudian yakin, bahwa orang bertubuh tinggi itu masih akan mampu meningkatkan ilmunya.

Bahkan tidak mustahil bahwa orang itu memiliki ilmu puncak yang menggetarkan.

Sementara itu, beberapa orang laki-laki dari padukuhan itu telah berkumpul pula mengerumuni arena itu. Bahkan orang-orang yang menyaksikan keadaan dua orang yang telah dipukuli oleh orang-orang sebelah. Mereka telah melihat bagaimana dua orang anak muda itu telah menolong dua orang di antara mereka yang mengalami kesulitan.

Tetapi ternyata bahwa suasana yang tidak menentu telah membuat orang-orang yang tinggal di belahan padukuhan itu saling menyombongkan diri dan merasa tidak memerlukan pertolongan orang lain. Apalagi karena mereka merasa memiliki pemimpin yang memiliki kemampuan yang tinggi.

Karena itu, ketika pertempuran itu meningkat semakin cepat, maka orang-orang yang berkerumun itu pun merasa bahwa kesombongan kedua orang anak muda itu akan berakhir.

Apalagi ketika orang bertubuh tinggi itu pun kemudian berkata dengan lantang, “Kenapa kalian tidak maju berdua bersama-sama?”

Mahisa Murti sama sekali tidak menanggapinya. Ia masih saja berdiam diri sambil mengamati Mahisa Pukat yang bertempur semakin cepat.

Seperti yang diduganya, ketika Mahisa Pukat mengimbangi kemampuannya, maka orang bertubuh tinggi itu justru telah meningkatkan kemampuannya pula. Sehingga dengan demikian, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat menjadi semakin berhati-hati menghadapi orang bertubuh tinggi itu.

Ketika pertempuran itu berlangsung semakin cepat, maka orang-orang yang mengerumuni arena itu menjadi semakin tergetar pula hatinya. Rasa-rasanya mereka ingin meloncat dan mendorong pemimpinnya untuk segera mengakhiri pertempuran dan mengalahkan lawannya. Bahkan di luar sadar, satu dua orang mulai berteriak-teriak. Namun yang akhirnya, sepuluh, dua puluh, bahkan semua orang telah ikut berteriak-teriak pula. Mereka tidak lagi mengekang diri, sebagaimana mereka melihat sabung ayam. Mereka meneriakkan kata-kata yang melontarkan kegeraman dan kemarahan hati terhadap anak muda yang bertempur melawan pemimpinnya itu.

Namun orang-orang yang bersorak-sorak itu kemudian seakan-akan telah mengarahkan pandangan mata mereka kepada Mahisa Murti. Selagi Mahisa Pukat bertempur melawan pemimpinnya yang bertubuh tinggi itu, maka Mahisa Murti berdiri saja termangu-mangu justru di antara orang-orang padukuhan itu yang mengerumuni pemimpin mereka yang sedang bertempur.

Orang-orang itu seakan-akan baru sadar, bahwa Mahisa Murti itu juga merupakan lawan bagi para penghuni padukuhan itu, karena pemimpinnya telah bertempur dengan seorang anak muda yang lain.

Karena itu, tiba-tiba saja seorang di antara orang-orang yang berkerumun itu tiba-tiba berteriak, “He, kita apakan kawannya yang seorang itu?”

“Kita tangkap saja anak itu,” teriak yang lain. Lalu yang lain lagi menyahut, “Kita ikat saja di halaman banjar.”

Beberapa orang telah berteriak-teriak pula. Demikian gelora yang membakar jantung mereka, sehingga beberapa orang yang pernah berkelahi sebelumnya seakan-akan telah melupakan kemampuan anak muda itu.

Namun ketika orang-orang itu mulai bergerak, pemimpinnya pun berteriak, “jangan. Jangan berlaku bodoh. Bukankah kalian tidak mampu berbuat apa-apa atas anak muda itu? Biarkan aku sendiri menyelesaikan mereka. Apakah mereka akan bersama-sama bertempur melawan aku, atau mereka akan maju seorang demi seorang.”

Orang-orang itu telah mengurungkan niatnya. Mereka yang sudah bergerak mendekat, telah menarik diri lagi. Seakan-akan mereka telah diingatkan, apa yang telah terjadi sebelumnya, ketika mereka menghadapi anak-anak muda itu. Beberapa orang justru menjadi hampir pingsan karenanya.

Dengan demikian maka perhatian mereka telah tertuju lagi kepada pemimpinnya yang sedang bertempur itu. Rasa-rasanya gerak mereka berdua semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga beberapa saat kemudian, gerak mereka tidak lagi dapat diikuti oleh orang-orang yang berkerumun itu.

Dengan demikian maka orang-orang itu tak lagi memperhatikan Mahisa Murti yang berdiri di antara mereka, karena perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada kedua orang yang sedang bertempur itu…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar