Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 030

Orang-orang bertutup wajah itu pun kemudian benar-benar menyadari bahwa mereka tak akan dapat berbuat banyak menghadapi ketiga orang itu. Karena itu, maka mereka pun telah mengambil satu keputusan. Dengan isyarat yang tidak diketahui oleh ketiga orang lawan mereka, maka mereka pun siap untuk menarik diri.

Dua orang yang tidak dapat ikut bertempur karena gigitan ular dikaki, serta beberapa orang yang telah terlempar dari pertempuran sehingga tubuh mereka rasa-rasana tidak lagi mampu untuk bangkit, telah bersiap-siap pula. Bahkan mereka dengan diam-diam telah menyelinap kebalik semak-semak, tetapi tidak di atas gumuk, karena diatas gumuk itu terdapat banyak ular yang berkeliaran.

Beberapa saat kemudian, maka terdengar isyarat yang sebenarnya. Orang-orang bertutup wajah itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka pun segera berloncatan meninggalkan medan.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tertegun sejenak. Memang ada niat mereka untuk mengejar dan menangkap salah seorang di antara mereka. Tetapi niat itu urung karena tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara tertawa yang meledak-ledak.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura saling berpandangan. Namun mereka menyadari, bahwa suara itu tentu dilontarkan oleh seseorang yang berilmu tinggi.

“Berhati-hatilah,” bisik Mahisa Ura.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Namun mereka pun justru telah berpencar dan berdiri pada jarak beberapa langkah.

Suara tertawa itu masih terdengar. Semakin lama seakan-akan menjadi semakin keras dan mengguncang jantung.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai mengetrapkan ilmunya untuk melawan suara itu. Mahisa Ura pun telah mengerahkan daya tahannya agar ia tidak terseret ke dalam pengaruh suara yang menggetarkan itu.

Namun agaknya suara tertawa itu demikian tajamnya menusuk kedalam jantung, sehingga terasa betapa perasaan pedih bagaikan menusuk-nusuk.

Tetapi kekuatan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu membetengi jantung mereka dengan sebaik-baiknya. Agak berbeda dengan Mahisa Ura yang agaknya memang mengalami kesulitan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melihat kesulitan yang dialami oleh Mahisa Ura meskipun belum jelas. Karena itu, maka seperti berjanji maka mereka pun telah bergeser saling mendekat.

Mahisa Murti pun yang mula-mula berdiri menempelkan punggungnya pada punggung Mahisa Ura, sementara Mahisa Pukat berdiri tegak membelakangi mereka berdua.

Mahisa Ura memang tidak tahu maksud Mahisa Murti. Ia bahkan mengira bahwa Mahisa Murti menjadi sangat berhati-hati sehingga mereka pun harus berdiri saling membelakangi. Demikian juga Mahisa Pukat yang berdiri membelakangi mereka berdua.

Namun dalam pada itu, di luar sadarnya, maka tertawa orang yang tidak dilihat itu tidak lagi terasa terlalu tajam menusuk jantung. Pada sentuhan tubuhnya dengan tubuh Mahisa Murti seolah-olah terjadi arus getaran yang melintas. Mahisa Ura tidak menyadari apa yang terjadi. Namun justru karena itu Mahisa Murti mengalami sedikit kesulitan.

Ia harus mengerahkan segenap kekuatan yang ada didalam dirinya berlandaskan pada ilmunya untuk melindungi jantungnya sendiri dan mengalirkan kekuatan pada tubuh Mahisa Ura yang tidak dengan sengaja menyesuaikan dirinya.

“Salah sendiri,” berkata Mahisa Murti didalam hatinya. “Seharusnya ia berterus terang apa yang hendak dilakukan.” Namun Mahisa Murti masih ingin menjaga, agar Mahisa Ura tidak merasa dirinya menjadi terlalu kecil.

Ternyata Mahisa Murti tidak harus berjuang dengan segenap kemampuannya terlalu lama. Sejenak kemudian, maka suara tertawa itu pun mulai mereda, sehingga sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun telah bergeser setapak maju, sehingga punggungnya tidak lagi bersentuhan dengan punggung Mahisa Ura.

“Apa yang terjadi,” desis Mahisa Ura.

Ketika Mahisa Pukat kemudian memutar tubuhnya, maka dilihatnya Mahisa Ura bagaikan bermandi keringat. Tetapi ketika ia memandang wajah Mahisa Murti, maka wajah itu pun nampaknya basah pula. Bahkan di keningnya keringat masih nampak mengalir dan menitik satu-satu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Mahisa Murti sudah mengerahkan segenap ilmunya untuk melindungi dirinya sendiri dan Mahisa Ura di luar sadar, sehingga Mahisa Ura tidak dengan sengaja menempatkan diri dalam dukungan arus kekuatan ilmu Mahisa Murti.

“Kita masih harus menunggu,” desis Mahisa Murti, “agaknya seseorang ingin berbicara dengan kita.”

Mahisa Ura mengangguk. Namun masih terasa nafasnya yang seakan-akan menjadi sesak.

Tetapi suara tertawa itu sudah tidak terdengar lagi. Sehingga perlahan-lahan keadaan Mahisa Ura pun menjadi wajar lagi sebagaimana sebelum dadanya merasa dihentak-hentak oleh suara tertawa itu.

Sedangkan Mahisa Murti pun telah mengusap keringatnya yang mengembun dikeningnya.

“Kau tentu letih?” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian jawabnya, “Aku memang merasa letih. Tetapi kini tidak lagi. Aku harap dalam keadaan seperti itu, kau dapat membantuku.”

“Apa yang kalian bicarakan?” bertanya Mahisa Ura.

Mahisa Murti menarik nafas panjang. Katanya, “Tidak apa-apa. Suara tertawa itu benar-benar menggetarkan jantung.”

“Ya. Aku merasa jantungku bagaikan terlepas dari tangkainya,” jawab Mahisa Ura.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Namun mereka pun tidak kehilangan kewaspadaan. Karena itu, maka mereka masih tetap menunggu, apa yang akan terjadi.

Untuk beberapa saat mereka tidak mendengar suara apapun juga. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berteriak tanpa mempergunakan dorongan kekuatan ilmunya, “He, siapa yang telah mencoba menakut-nakuti kami dengan suara gunturnya?”

Tidak terdengar jawabnya. Untuk beberapa saat mereka menunggu. Namun Mahisa Pukat yang tidak telaten berteriak pula, “He, kenapa kau bersembunyi? Takut? Kemarilah. Kita akan berhadapan sebagai laki-laki.”

Masih tidak terdengar jawaban. Karena itu, maka Mahisa Ura lah yang berteriak, “He, kemarilah. Kita akan berbicara. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki?”

Ternyata terdengar jawaban. Suaranya mengumandang bagaikan berputar-putar di relung-relung hutan, “Siapakah kalian?”

Pertanyaan itu memang hanya pendek. Tetapi rasa-rasanya dada ketiga orang itu telah dihentakkan oleh satu kekuatan yang luar biasa. Mahisa Ura lah yang mengalami kesulitan untuk melindungi jantungnya dari cengkaman goncangan yang tajam itu. Bahkan hampir saja Mahisa Ura itu mengaduh. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan dan dengan susah payah berusaha untuk tetap pada keadaannya.

Mahisa Murti lah yang sempat menekan dadanya untuk memberikan kesan yang sebagaimana terasa oleh Mahisa Ura. Meskipun sebenarnya Mahisa Murti dapat menangkis serangan itu dan melepaskan diri dari cengkaman goncangan pada isi dadanya.

Ketika Mahisa Pukat melihat sikap Mahisa Murti, maka ia pun berusaha untuk berbuat serupa. Ia sadar, bahwa meskipun Mahisa Ura mungkin dapat melihat kelebihan mereka, tetapi jangan membuat orang itu merasa sangat kecil dan tidak berarti.

Yang kemudian menjawab pertanyaan itu adalah Mahisa Murti, “Kami adalah tiga orang pengembara. Kami adalah pedagang batu akik dan wesi aji. Mungkin kau tertarik, kenapa kami bertiga telah berusaha mendekati batu hijau itu. Justru kami adalah pedagang batu akik, maka batu hijau itu sangat menarik perhatian kami. Menurut dugaan kami, batu itu adalah batu akik raksasa. Kami memang ingin berhubungan dengan orang yang mempunyai wewenang atas batu itu. Mungkin kami akan membelinya dengan harga yang pantas.”

Sekali lagi terdengar suara tertawa. Suara itu memang bagaikan mengguncang jantung. Karena itu, maka dengan serta merta, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berdiri melekat pada Mahisa Ura meskipun saling beradu punggung. Namun baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah saling bersentuhan, sehingga yang kemudian membantu Mahisa Ura, bukannya hanya Mahisa Murti, tetapi juga Mahisa Pukat, sehingga dengan demikian, maka Mahisa Murti tidak berada pada keadaan yang sangat melelahkan.

“Jika terjadi sesuatu, maka aku akan membutuhkan kekuatan lahir dan batin untuk mengatasinya,” berkata Mahisa Murti didalam hatinya.

Tetapi suara tertawa itu tidak berkepanjangan. Sementara itu Mahisa Ura pun tidak merasa sangat terhimpit oleh suara tertawa yang segera berhenti.

“Kalian adalah anak-anak muda yang perkasa,” berkata suara itu, “kalian tidak hancur oleh suaraku. Tetapi apakah dengan demikian kalian merasa bahwa kalian akan mampu mengelakkan diri jika aku menghendaki kematianmu.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya kepada Mahisa Pukat, “orang itu tentu memiliki ilmu yang tinggi.”

“Apaboleh buat,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian tiba-tiba saja ia menengadahkan kepalanya sambil berkata, “Marilah, datanglah. Dengan demikian kita akan dapat berbicara panjang. Mungkin kita tidak akan mengalami salah paham. Katakan apa yang kau kehendaki. Mungkin bukan merupakan masalah bagi kami.”

“Sudahlah,” terdengar suara itu menggelepar dengan melontarkan getaran menggelisahkan, “pergi sajalah. Jangan berbuat sesuatu. Karena aku tidak akan membiarkan siapapun juga yang menaruh minat untuk kepentingan apapun atas batu itu. Batu itu sama sekali bukan batu yang berharga. Tetapi aku senang kepada batu itu. Karena itu, pergilah. Aku akan dapat melakukan apa saja yang aku inginkan atas kalian. Mungkin suaraku kurang meyakinkan kekuatan ilmuku, karena kalian ternyata memiliki daya tahan yang tinggi. Tetapi aku masih mempunyai seribu cara lain yang akan dapat aku pergunakan.”

Mahisa Murti menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih menahan diri sehingga ia menjawab dengan suara wajarnya, “Kau sama sekali tidak dapat menakut-nakuti kami.”

Yang terdengar adalah suara tertawa. Dengan demikian maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat dengan serta merta telah bergeser surut dan berdiri melekat tubuh Mahisa Ura.

Meskipun suara tertawa itu cukup menggetarkan jantung, tetapi tidak terlalu lama. Beberapa saat kemudian suara tertawa itu pun telah berhenti.

Yang terdengar adalah kata-kata orang yang tidak dapat mereka lihat itu, “Kalian memang luar biasa. Aku tidak akan berbuat apa-apa jika kau tidak memanjat gumuk itu. Tetapi jika kalian berusaha untuk menyentuh batu kehijauan itu, maka aku akan melakukan sesuatu yang mungkin tidak pernah kalian duga sebelumnya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bimbang. Mereka dapat saja naik ke gumuk itu dan melihat-lihat batu hijau itu tanpa merasa takut. Tetapi bagaimana dengan Mahisa Ura. Jika Mahisa Ura itu mereka tinggalkan, maka mungkin sekali ia akan mengalami serangan yang langsung menikam jantungnya dengan suara tertawa dan getaran kata-kata orang yang tidak kelihatan itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Apakah yang sebaiknya kita lakukan?”

“Bagaimana menurut pertimbanganmu?” bertanya Mahisa Ura.

“Orang itu sangat berbahaya bagi kita,” desis Mahisa Murti.

“Apakah kita tidak mempunyai jalan untuk memecahkan gangguan ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Orang itu mampu menyerang dari jarak yang tidak kita ketahui seperti sekarang ini,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Mahisa Murti masih menjaga perasaan Mahisa Ura agar ia tidak merasa terlalu kecil sehingga justru akan menumbuhkan keinginan berbuat yang aneh-aneh untuk menutupi kekecilannya.

Karena itu, makai Mahisa Pukat pun akhirnya berkata, “Marilah. Kita untuk sementara dapat meninggalkan tempat ini. Mungkin pada kesempatan lain kita akan dapat melihat batu itu lebih dekat.”

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Marilah. Mungkin besok kita akan kembali.”

Ketiga orang itu pun kemudian bergeser menjauhi gumuk kecil itu. Namun sementara itu, sikap Mahisa Ura menjadi agak berubah. Agaknya ia mulai mencoba mengenali apa yang telah terjadi sebenarnya dan apa yang telah dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Karena itu, ketika mereka menjauhi tempat itu, Mahisa Ura sempat berdesis, “Ada sesuatu yang harus kita bicarakan.”

Mahisa Murti ingin bertanya. Tetapi kemudian terdengar lagi suara tertawa itu.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendekati Mahisa Ura, tiba-tiba saja Mahisa Ura berkata, “Jangan sentuh aku. Biarlah aku melihat kenyataan tentang diriku dan tentang diri kalian berdua.”

“Mahisa Ura,” desis Mahisa Murti, “apa maksudmu?”

“Aku akan menjajagi kemampuan sendiri dalam keadaan seperti ini,” jawab Mahisa Ura.

Sementara itu suara tertawa itu pun terdengar mengumandang membentur dinding hutan dan memantul dengan getaran yang mengguncang dada.

“Jangan menunjukkan kelemahan di hadapan orang itu,” berkata Mahisa Murti, “cepat, pegang tanganku dan tangan Mahisa Pukat. Kita akan berdiri saling membelakangi.”

“Tidak,” jawab Mahisa Ura, “aku akan melihat ke diriku sendiri.”

Ketika Mahisa Murti bergeser maju, maka Mahisa Ura pun telah bergeser surut. Namun ternyata bahwa getaran yang mengguncang dadanya terasa menyesakkan nafasnya. Tulang-tulangnya terasa bagaikan terlepas dari sendi-sendinya.

Tubuh Mahisa Ura bergetar bagaikan kedinginan. Namun ketika ia hampir terjatuh, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, cepat meloncat mendekat dan dengan cepat mereka telah berdiri saling membelakangi.

“Tahankan,” desis Mahisa Murti, “kau tidak boleh jatuh dibawah pengaruh suara itu. Hentakkan kekuatanmu terakhir, sebelum kami berdua dapat membantumu. Jangan terlalu berpegang pada harga diri.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Ia menghentakkan kekuatannya yang terakhir untuk tetap tegak. Sementara itu, ia telah dengan sadar menyesuaikan diri dengan arus kekuatan yang mengalir dari tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sehingga dengan demikian, maka segala sesuatunya berjalan jauh lebih rancak dari yang pernah terjadi.

Karena itu, dengan cepat pula ketahanan yang mengalir dari kemampuan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melindungi jantung Mahisa Ura, sehingga tidak menjadi beku karenanya.

Untuk beberapa saat mereka berdiri dalam keadaan yang bagaikan membeku. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Aku akan menjawabnya jika orang itu berbicara.”

Tidak ada jawaban. Mahisa Pukat mengangguk kecil meskipun Mahisa Murti membelakanginya. Sementara Mahisa Ura semakin menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

“Kalian ternyata bijaksana,” sebenarnyalah terdengar suara orang yang tidak menampakkan dirinya itu, “selamat jalan. Mudah-mudahan kalian menyadari, bahwa kalian tidak perlu kembali.”

Mahisa Murtilah yang kemudian benar-benar menjawab, “Terima kasih atas pujian itu Ki Sanak. Tetapi dengan terpaksa aku beritahukan, mungkin aku akan kembali. Atau barangkali kau memandang perlu untuk memindahkan atau menyembunyikan batu itu, lakukanlah.”

Ternyata bahwa Mahisa Murti mampu mengimbangi getar suara orang yang tidak menampakkan dirinya itu. Sementara Mahisa Ura bertahan dengan bantuan Mahisa Pukat.

Namun apa yang dilakukan oleh Mahisa Murti itu benar-benar mengejutkan. Baik bagi Mahisa Ura, maupun bagi orang yang telah berusaha menakut-nakutinya.

Orang yang menyerang Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura dengan getar suaranya itu sama sekali tidak mengira, bahwa anak-anak muda itu ternyata juga mampu melontarkan kekuatan ilmunya lewat getar suaranya. Bahkan ternyata bahwa kemampuan Mahisa Murti sama sekali tidak berada dibawah kemampuan orang yang tidak menampakkan diri itu.

Sementara itu, Mahisa Ura pun mengerti, bahwa ternyata kedua orang anak muda itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ia pernah diselamatkan dari bisa ular yang tajam. Menurut dugaannya pada saat itu, kebetulan saja keduanya memiliki benda yang dapat menjadi penangkal bisa ular. Tetapi ketika Mahisa Ura itu mengalami serangan lewat getar suara maka ia pun menyadari, bahwa kedua anak muda itu memang bukan orang kebanyakan. Apalagi ketika ternyata Mahisa Murti mampu melepaskan serangan pula dengan cara yang sama sebagaimana oleh orang yang tidak menampakkan dirinya itu.

Tetapi Mahisa Ura tidak sempat berbuat sesuatu. Yang terjadi kemudian adalah semacam pertempuran antara orang yang tidak nampak itu melawan Mahisa Murti. Getar suara mereka mengumandang berbenturan di udara.

Terdengar suara tertawa. Tetapi suara tertawa itu terasa telah berubah. Suara tertawa itu bukan ungkapan dari kegembiraan dan kebanggaan. Tetapi semata-mata untuk melontarkan getaran suara yang menyerang mereka yang mendengarnya.

Telapi Mahisa Murti, Mahisa Pakal dan Mahisa Ura sama sekali tidak mengalami kesulitan karena serangan itu. Bahkan Mahisa Murti kemudian berkata dengan nada suaranya yang menghunjam ke dada orang yang tidak dilihatnya itu

“Suaramu tidak berarti sama sekali bagi kami. Tetapi hari ini kami memang tidak ingin berkelahi. Mungkin besok atau lusa aku akan kembali. Kita akan menentukan, siapakah di antara kita yang memiliki kelebihan dalam permainan ilmu seperti ini.”

Suara tertawa itu mereda. Yang kemudian terdengar adalah jawaban orang itu, “Aku akan menunggu anak muda. Tetapi aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang linuwih. Meskipun demikian, jangan terlalu cepat berbangga. Kalian belum melihat jenis-jenis kemampuan ilmu yang dapat aku tunjukkan kepadamu dan langsung menjerat lehermu, sehingga kalian tidak akan mampu berbuat sesuatu selain menangis menyebut nama ibu bapamu.”

Mahisa Murtilah yang tertawa. Suaranya menghentak tajam, sehingga mengejutkan orang yang tidak dilihatnya itu.

“Baiklah. Besok kita akan bertemu. Jika kau akan memindahkan batu itu lakukanlah malam nanti,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Beberapa saat kemudian, tempat itupun menjadi sepi lengang. Tidak terdengar lagi suara orang itu tertawa. Suara orang, berteriak dan tidak lagi udara digetarkan oleh benturan ilmu yang nggegirisi.

“Marilah kita pulang,” berkata Mahisa Murti.

Ketiga orang itu pun kemudian meninggalkan tempat itu, kembali ke banjar padukuhan tempat mereka bermalam. Namun belum lagi mereka jauh, mereka melihat beberapa orang keluar dari hutan sambil membawa beberapa helai dedaunan, tetapi dari arah yang lain.

“Orang-orang yang mencari daun pandan dengan duri sungsang itu,” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Perhatikan wajah-wajah mereka. Mungkin pada suatu saat kita harus mengenali mereka seorang demi seorang.”

Mahisa Ura dan Mahisa Pukat pun kemudian mencoba memperhatikan orang-orang itu. Tetapi ternyata bahwa mereka telah berbelok menyusuri rerumputan dan perlu menghindari ketiga orang yang sebenarnya sedang menunggu mereka.

“Mereka tentu orang-orang yang khusus,” berkata Mahisa Murti, “agaknya mereka memiliki satu cara untuk menyelamatkan diri dari getaran-getaran suara yang menghentak-hentak di dalam dada.”

“Bukankah kekuatan getar suara itu dipengaruhi oleh jarak pula?” bertanya Mahisa Pukat, “barangkali mereka berada di tempat yang cukup jauh ketika terjadi benturan getar suara itu. Nampaknya mereka telah keluar dari hutan ini dari arah yang bukan tempat mereka memasuki hutan itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Memang mungkin orang-orang itu berada di jarak yang jauh sehingga getar suara yang saling berbenturan itu tidak terlalu berpengaruh sebagaimana atas Mahisa Ura yang berdiri terlalu dekat dengan sumber kekuatan yang menggetarkan udara itu.

Namun dalam pada itu, di perjalanan kembali ke Banjar, Mahisa Ura pun berkata, “Kalian telah mempermainkan aku.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kalian berlaku seakan-akan kalian tidak memiliki kemampuan sejajar dengan kemampuanku. Ternyata bahwa kalian memiliki bekal ilmu yang sangat tinggi,” berkata Mahisa Ura.

“Tidak begitu,” jawab Mahisa Murti, “kita akan selalu bekerja bersama-sama. Kita adalah tiga orang bersaudara.”

“Tanpa kau, kami tidak akan menemukan apa-apa dalam perjalanan ini,” desis Mahisa Pukat. Lalu katanya pula, “Karena itu, marilah kita berbuat wajar saja. Kita bersama-sama mengemban tugas. Bagaimana sebaiknya harus kita lakukan agar tugas itu dapat kita selesaikan.”


“Kalian berdua yang mengemban tugas dari Kediri,” jawab Mahisa Ura.

“Tetapi akan memberikan arti pula bagi Singasari,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sambil menundukkan kepalanya ia berdesis, “Ternyata aku selama ini merupakan orang dungu yang tidak tahu diri. Kau mentertawakan aku sambil memeras keteranganku untuk kepentinganmu.”

“Mahisa Ura,” berkata Mahisa Murti kemudian, “aku sudah mengira jika kau akan mengalami goncangan jika kau mengetahui keadaanku dan Mahisa Pukat yang sebenarnya. Sejak berangkat aku sudah berada dalam kedudukan yang sulit karena anggapan dan penilaianmu yang salah terhadap kami. Tetapi kami tidak ingin menyakiti hatimu. Itulah sebabnya sepanjang perjalanan kami berusaha untuk menyasuaikan diri. Namun tiba-tiba kami dihadapkan kepada satu keadaan yang memaksa kami untuk berbuat sesuatu.”

“Kenapa kalian tidak melakukannya sejak permulaan,” desis Mahisa Ura.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Pukat, “kenapa hal seperti ini dapat menjadi persoalan yang nampaknya bersungguh-sungguh, Mahisa Ura. Kami tidak bermaksud buruk. Itu saja. Mungkin yang kami lakukan tidak sesuai dengan jalan pikiranmu. Tetapi sekali lagi aku ingin meyakinkan, bahwa kami tidak bermaksud buruk. Kami lakukan semuanya bagi kepentingam tugas-tugas kita.”

Mahisa Ura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Aku harus malu kepada diriku sendiri. Apakah dalam keadaan seperti ini aku masih akan dapat berada di antara kalian berdua.”

“Sudah aku katakan,” berkata Mahisa Murti, “apa yang dapat kami lakukan dan tidak dapat kau lakukan Tetapi sebaliknya ada yang dapat kau lakukan, tetapi tidak dapat aku lakukan.”

Mahisa Ura pun kemudian mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Terserah kepada kalian. Apakah kalian masih memerlukan aku atau tidak.”

“Jika kami tidak memerlukanmu, maka aku kira, sejak semula kami akan berangkat sendiri,” jawab Mahisa Pukat.

“Dan untuk selanjutnya aku tidak lebih dari sekedar penunjuk jalan,” gumam Mahisa Ura seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “aku kira aku akan dapat menjadi pelindung kalian, kerena kalian masih sangat muda. Namun yang sebenarnya, akulah yang harus berlindung kepada kalian.”

“Kita adalah tiga orang bersaudara,” desis Mahisa Murti, “kau ingat. Kita sudah menyesuaikan nama kita. Karena itu, maka kita akan berjalan terus bersama-sama. Menyelesaikan tugas kita bersama-sama, atau kita akan mati bersama-sama dalam tugas ini, karena kemungkinan itu akan dapat terjadi atas kita.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Ura, “aku akan mencoba menyisihkan perasaan malu di dalam hatiku. Aku akan meneruskan tugas ini seperti apa yang kau katakan. Apapun yang terjadi. Juga sengatan perasaanku sendiri.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar Mahisa Murti pun berkata, “Terima kasih. Kita akan melupakan semua kesulitan perasaan di dalam diri kita sendiri. Kita akan menghadapi tugas kita dengan wajah tengadah.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Mereka berjalan ke arah jalan yang lebih besar untuk menuju ke padukuhan serta meninggalkan lingkungan hutan dan padang perdu. Ketika mereka berpaling, maka mereka masih melihat batu berwarna hijau itu di tempatnya.

Namun ketiganya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat seorang laki-laki yang sudah lewat pertengahan abad. Rambutnya beberapa helai yang terjurai dibawah ikat kepalanya sudah mulai berwarna rangkap. Namun tubuhnya masih nampak kekar dan tegap. Di lehernya tergantung berbagai benda keramat. Sedangkan di tangannya tergenggam sebatang tongkat yang agak panjang dan bersisik. Tongkat itu berkepala sebutir batu sebesar genggaman tangan dan berwarna kehijau-hijauan, dalam cengkeraman tangan seekor naga yang terbuat dari logam berwarna kekuning-kuningan. Sekaligus ketiga orang yang berpapasan dengan orang itu menganggapnya bahwa logam itu tentu emas.

Ketika orang itu berpapasan dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, maka orang itu sempat menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun tersenyum pula sambil mengangguk. Tetapi baik orang itu, maupun ketiga orang yang menyatakan diri bersaudara itu pun tidak mengucapkan pertanyaan.

Namun demikian orang itu lewat, maka Mahisa Murti-pun berpaling sambil berbisik, “Aku curiga kepada orang itu.”

“Ya,” sahut Mahisa Ura dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

“Mungkin orang itu dengan sengaja berjalan ke arah yang berlawanan dengan kita,” berkata Mahisa Pukat, “orang itu tentu ingin lebih memperhatikan kita, seorang demi seorang.”

“Dari sorot matanya nampak bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi,” berkata Mahisa Murti, “Namun beruntunglah kita, bahwa dengan demikian kita dapat mengenalinya.”

“Mungkin memang dengan sengaja ia ingin bertemu dengan kita dengan lebih terbuka,” berkata Mahisa Ura.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Pukat pun berkata, “Kita akan bertemu lagi.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Gumamnya, “Ya, mudah-mudahan kita mendapat kesempatan itu.”

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agaknya akulah yang menyebabkan kalian menunda pertemuan kalian dengan orang-orang itu.”

“Bukankah kita tidak tergesa-gesa?” sahut Mahisa Murti.

Mahisa Ura mengangguk lemah.

Demikianlah maka mereka bertiga pun kemudian telah kembali ke banjar. Tidak ada kesan apapun yang mereka dapatkan dari orang-orang padukuhan itu. Namun dari penunggu banjar, Mahisa Murti mendapat suguhan sikap yang buram. Dengan nada rendah orang itu berkata, “Aku menunggu kalian datang. Tetapi kalian tidak membawa oleh-oleh. Karena itu, seperti yang aku katakan, kalian tidak boleh mempergunakan Pakiwan. Dan aku pun tidak mau mengatakan siapakah tamu yang mencari kalian hari ini meskipun mungkin akan mendatangkan keuntungan bagi kalian.”

“Ah,” desah Mahisa Murti, “sayang sekali kami telah melupakannya. Tetapi ada sesuatu yang menarik bagimu meskipun bukan oleh-oleh.”

“Apa?” bertanya penjaga banjar itu.

“Kau dapat menukarkannya dengan oleh-oleh. Bahkan kau akan sempat memilih bagi kesenangan anak-anakmu,” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Apa itu?” desak penjaga banjar itu.

“Tetapi, siapakah tamu yang mencari kami?” bertanya Mahisa Murti tiba-tiba.

“Ah. Kau belum memberikan apapun juga kepadaku sebagai pengganti oleh-oleh.” gumam penunggu banjar itu.

Mahisa Murti tertawa. Diambilnya beberapa keping uang sambil berkata, “Selama aku berada di banjar ini, belum ada seorang pun yang membeli barang-barangku. Tetapi aku harus sudah mengeluarkan uang untukmu.”

“Seseorang yang mengail harus lebih dahulu menyediakan umpan,” jawab penunggu banjar itu, “semakin besar ikan yang ingin ditangkap semakin besar umpan yang harus disediakan.”

“Luar biasa,” desis Mahisa Murti sambil tertawa.

Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun tertawa juga. “Kau benar-benar seorang yang pantas dihormati. Tetapi siapakah yang telah mencari kami.”

“Aku tidak akan mengatakannya,” jawab penunggu banjar itu.

Mahisa Murti menimang beberapa keping uang ditangannya sambil bertanya, “Siapakah yang mencari kami?”

Penjaga banjar itu mengamati uang di tangan Mahisa Murti itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti telah membuka kantong ikat pinggangnya yang besar sambil berdesis, “Baiklah, jika kau tidak mau mengatakannya, oleh-oleh ini akan aku simpan lagi.”

“Tunggu,” minta penunggu banjar itu, “jangan kau simpan lagi. Aku akan mengatakannya jika yang itu kau berikan kepadaku sebagai pengganti oleh-oleh.”

Mahisa Murti tersenyum. Diacungkannya tangannya. Tetapi ketika orang itu siap menerimanya, Mahisa Murti tidak segera melepaskan uang itu. Tetapi sekali lagi ia bertanya, “Siapa yang datang kemari?”

“Berikan uang itu,” bentak penunggu banjar.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jangan membentak. Tetapi jawab pertanyaanku, siapa yang mencari aku? Orang padukuhan ini yang ingin membeli batu-batu berharga atau batu akik atau wesi aji?”

Karena Mahisa Murti belum juga melepaskan uangnya, maka orang itu pun kemudian menyerah dan menjawab, “Yang mencari kalian adalah seorang pembeli yang mempunyai banyak sekali uang.”

“Ya, siapa?” Mahisa Murti pun menjadi tidak sabar.

Orang itu terdiam sejenak, lalu katanya, “Ki Jagabaya dari padukuhan di ujung lain dari Kabuyutan ini.”

“O,” Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga bahwa pada suatu saat Ki Jagabaya itu akan mencarinya.

“Tetapi apakah ia akan membeli sesuatu itulah yang meragukan,” desis Mahisa Murti, “Ki Jagabaya tidak akan membeli apapun juga.”

“Ah kau,” sahut penunggu banjar itu, “Ki Jagabaya adalah orang yang sangat kaya,” orang itu terdiam sejenak, lalu tiba-tiba, “he, manakah uang itu?”

Mahisa Murti tersenyum. Tetapi ia belum melepas uang itu, “Apakah benar Ki Jagabaya itu kaya raya?”

“Berikan uang itu,” geram penunggu banjar itu.

“Kau belum menjawab pertanyaanku,” berkata Mahisa Murti.

“Ya,” penunggu banjar itu hampir berteriak, “ia adalah orang yang kaya raya.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Jangan marah. Inilah oleh-oleh yang aku janjikan itu.”

Mahisa Murti pun kemudian memberikan beberapa keping uang kepada penunggu banjar itu. Namun ia pun masih bertanya, “Darimana kau tahu bahwa Ki Jagabaya itu kaya raya, sedangkan tetangga-tetangganya tidak pernah mengatakannya demikian.”

“Huh,” penunggu banjar itu mencibirkan bibirnya, “ia memang pintar berpura-pura. Ia membuat dirinya sebagai seorang yang tidak lebih dari orang kebanyakan. Tetapi ia menyimpan banyak harta benda di tempat lain. Di padukuhan ini terdapat seorang dari isteri-siterinya. Dengan susah payah ia merahasiakan isterinya itu dari isteri tuanya, karena Ki Jagabaya takut dicekik oleh mertuanya jika rahasianya itu terbuka.”

“O, dan Ki Jagabaya bertahan sampai saat ini sehingga rahasianya tidak diketahui oleh mertuanya?” bertanya Mahisa Murti.

“Orang-orang padukuhan ini tidak sampai hati memberitahukan rahasia itu meskipun ada beberapa orang yang mengetahuinya. Dengan demikian akan dapat timbul persoalan-persoalan yang dapat mengganggu ketenangan padukuhan-padukuhan di Kabuyutan ini. Jika demikian Ki Buyut akan dapat menjadi marah sekali dan mengambil langkah-langkah yang mengejutkan, karena kami sudah memahami sifat dan tabiat Ki Buyut itu.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Mahisa Pukat dan Mahisa Ura memang timbul kesan yang agak aneh.

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “aku mengucapkan terima kasih atas keteranganmu. Nah, kau sekarang dapat membeli oleh-oleh menurut kesukaanmu sendiri.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan pergi melihat adu gemak.”

“Ah,” desis Mahisa Murti, “apakah uang itu akan kau pergunakan untuk bertaruh?”

“Apa salahnya? Uang ini adalah uangku sendiri,” jawab penunggu banjar itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Uang itu memang uangmu sendiri. Tetapi untuk selanjutnya aku tidak akan memberimu uang lagi.”

“Kenapa?” bertanya penunggu banjar itu, “jika kau tidak mau memberi uang lagi, maka kalian tidak akan dapat mempergunakan pakiwan.”

“Itu satu pemerasan. Aku akan melaporkan kepada Ki Bekel,” jawab Mahisa Murti dengan sungguh-sungguh.

Wajah orang itu pun menjadi tegang. Dengan serta merta ia pun kemudian berkata, “Jangan. Jangan kau laporkan kepada Ki Bekel. Aku tidak bersungguh-sungguh.”

Mahisa Murti pun kemudian tersenyum. Katanya, “Jika kau tidak bertaruh, mungkin aku akan memberikan uang lagi. Bukankah uang itu lebih baik kau pergunakan untuk membelikan makanan anak-anakmu.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan bertaruh.”

Sementara orang itu kemudian meninggalkan ketiga orang itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Bagaimana tanggapanmu terhadap Ki Jagabaya.”

Mahisa Pukat tiba-tiba saja tertawa kecut sambil berkata, “Agaknya dugaan kita keliru. Ki Jagabaya tidak berpijak kepada persoalan-persoalan yang sedang kita hadapi. Tetapi ia sekedar ketakutan jika rahasia tentang dirinya itu kita dengar di sini.”

Mahisa Ura pun tersenyum. Katanya, “Kitalah yang melihatnya terlalu besar kepada persoalan yang terlalu khusus pada Ki Jagabaya.”

“Baiklah. Aku kira Ki Jagabaya masih akan kembali kemari,” berkata Mahisa Murti. “Sebaiknya kita beristirahat barang sebentar.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura itu pun kemudian telah membersihkan dirinya di pakiwan. Mereka pun kemudian duduk di serambi banjar. Pada kesempatan itu, maka Mahisa Ura pun berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, aku ingin menyatakan sebuah pikiran. Jangan dianggap bahwa aku tersinggung oleh sikap kalian dan aku tidak akan melibatkan diri pada persoalan-persoalan yang sedang kita hadapi bersama. Tetapi aku ingin menyatakan dengan jujur, bahwa aku akan dapat menjadi penghambat langkah-langkah kalian.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi batu hijau itu sama sekali bukan tujuan perjalanan kita. Karena itu maka kita akan dapat menundanya. Yang penting, kita akan pergi ke sebuah padepokan dari orang-orang bertongkat itu.”

Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong, “He, bukankah orang yang kita jumpai tadi juga bertongkat? Di ujung tongkat terdapat sebuah batu hijau dalam genggaman kuku-kuku yang kuat. Apakah dengan demikian berarti bahwa ada hubungan antara batu hijau itu dengan tongkat-tongkat para penghuni padepokan yang agaknya sudah tidak terlalu jauh lagi.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Orang yang kita jumpai itu pun bertongkat. Aku tidak tahu, apakah tongkat itu memiliki arti dan nilai yang serupa dengan tongkat-tongkat dari orang-orang yang telah tertangkap di Kediri itu.”

“Agaknya kita akan dapat berhubungan dengan orang bertongkat yang tadi kita jumpai jika kita mendekati lagi batu hijau itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Ada dua kemungkinan,” berkata Mahisa Murti, “kita mendekati batu itu lagi, atau kita akan pergi ke padepokan orang-orang bertongkat itu.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Ura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Pukat pun berkata, “Jika orang bertongkat yang kita jumpai itu adalah salah seorang di antara penghuni padepokan yang kita cari, maka kita tentu sudah dikenalnya, sehingga orang itu tentu akan dapat bertindak lebih dahulu atas kita. Orang itu serba sedikit telah mengetahui kemampuan kita, karena kita sudah menjawab kekuatan getar suaranya dengan kekuatan yang sama atau yang mirip dengan kekuatan itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Hal itu memang harus dipertimbangkan. Mungkin kita akan menjumpai satu sambutan yang sangat menyakitkan hati.”

“Karena itu, maka kalian dapat menyelesaikan orang yang kita jumpai di sekitar batu hijau itu,” berkata Mahisa Ura, “besok aku akan berada di banjar ini. Pergilah kalian ke batu hijau itu. Dengan demikian maka kalian tidak perlu memikirkan aku lagi. Kalian akan dapat berbuat sesuai dengan keadaan yang kalian hadapi. Beruntunglah kalian jika kebetulan bertongkat itu ada hubungannya dengan padepokan yang hendak kita datangi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, “Apakah kau tidak ingin menyaksikan apa yang terjadi?”

“Tetapi itu akan mengganggu pemusatan kemampuan kalian menghadapi orang itu, karena kalian masih harus melindungi aku,” jawab Mahisa Ura.

“Sebenarnya kau akan dapat melindungi dirimu sendiri,” berkata Mahisa Pukat, “kau akan dapat berusaha untuk membangunkan daya tahan dengan kekuatan ilmu yang ada padamu.”

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Tidak ada waktu lagi untuk mempelajarinya. Aku tahu bahwa kau ingin memberikan petunjuk kepadaku, bagaimana aku harus melakukannya. Tetapi dengan demikian maka segalanya akan terhambat sementara belum tentu bahwa aku akan dapat melakukan sesuatu sebagaimana kalian kehendaki. Karena itu, maka biarlah aku tinggal di banjar ini. Agaknya aku memang tidak kalian perlukan dalam tugas ini. Dalam langkah-langkah yang lain, aku akan tetap menyertai kalian.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Kau dapat tinggal di banjar ini. Jika pada satu saat aku pergi ke gumuk itu dan tidak kembali, maka tolong sampaikan hal itu kepada kakang Mahisa Bungalan di Singasari. Dan biarlah kakang Mahisa Bungalan melaporkannya ke Kediri.”

“Ah, jangan berkata begitu,” sahut Mahisa Ura, “aku yakin bahwa kalian akan dapat menyelesaikan tugas kalian dengan sebaik-baiknya.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memutuskan untuk kembali ke gumuk kecil itu. Mereka harus bertemu dengan orang yang telah menyerangnya lewat getaran suaranya. Menurut dugaan mereka, maka orang tua yang membawa tongkat itulah agaknya yang telah menyerang mereka dengan kekuatan ilmunya lewat getaran suaranya.

Ketika malam kemudian menyelimuti padukuhan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membenahi diri lahir dan batin. Ditunggui oleh Mahisa Ura keduanya berusaha untuk menggali semua kemampuan di dalam diri mereka. Baik yang telah mereka terima dari ayahnya, maupun yang telah mereka warisi dari Pangeran Singa Narpada. Dengan landasan ilmu-ilmu itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah menjadi anak muda yang jarang ada bandingannya.

Lewat tengah malam barulah keduanya selesai dengan samadi mereka. Karena itu, mereka pun mulai dengan menyiapkan senjata mereka yang paling menakutkan lawan. Pisau-pisau kecil yang jumlahnya cukup banyak, yang kemudian diselimutkan pada sarung-sarungnya yang terdapat melingkar di ikat pinggang.

Sentuhan pisau-pisau kecil itu akan dapat berakibat sangat buruk bagi lawan-lawannya, karena pisau-pisau itu adalah pisau yang sangat beracun.

Di samping pisau-pisau kecil itu, maka keduanya telah membawa sepasang pisau belati yang agak panjang, sehingga dengan sepasang pisau belati itu, keduanya akan mampu melawan segala jenis senjata dalam ujud kewadagan. Namun apabila keduanya harus melayani senjata yang tidak kasat mata, maka keduanya telah siap sepenuhnya.

Ketika semuanya sudah dipersiapkan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menyempatkan diri untuk beristirahat sepenuhnya. Mereka pun kemudian berbaring dan mencoba untuk tidur dengan nyenyak.

Yang ternyata tidak dapat segera tertidur adalah justru Mahisa Ura. Kecuali merenungi dirinya sendiri, ia pun menjadi gelisah karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang muda itu akan memasuki suatu arena yang mungkin akan berhadapan dengan orang yang sudah sangat berpengalaman. Bahkan menurut dugaan Mahisa Ura, orang yang telah menyerang mereka dengan getar suaranya itu tidak sendiri. Orang-orang yang bertutup wajah, bahwa orang-orang yang mengaku akan mencari daun pandan berduri sungsang, tentu kawan-kawan orang yang bertongkat itu.

Sampai saatnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bangun di dini hari, Mahisa Ura benar-benar tidak tidur barang sekejapun.

Sambil tersenyum Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Sudahlah. Jangan terlalu risau.”

“Kalian akan menghadapi lawan yang berat,” berkata Mahisa Ura, “orang itu tentu tidak sendiri.”

“Kami sudah memperhitungkannya. Tentu jumlah mereka tidak akan lebih banyak dari jumlah pisau-pisau kami,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Memang hatinya digelitik untuk ikut bersama kedua orang itu. Tetapi dengan demikian ia mungkin akan dapat menjadi beban. Mungkin salah seorang dari kedua orang anak muda itu akan lebih banyak memperhatikannya sehingga ia akan tidak dapat memusatkan nalar budi serta ilmunya untuk menghadapi lawannya.

Karena itu, Mahisa Ura tetap pada sikapnya. Ia tidak akan pergi bersama kedua orang anak muda itu.

“Mudah-mudahan mereka tidak salah mengerti. Mudah-mudahan mereka tidak menganggap bahwa aku adalah pengecut yang tidak berani memasuki arena perjuangan yang sangat berat,” berkata Mahisa Ura didalam hatinya.

Namun, sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti sepenuhnya bahwa Mahisa Ura telah merasa dirinya terlalu kecil. Bukan karena ketakutan.

Karena itu, maka keduanya sama sekali tidak memaksa agar Mahisa Ura ikut bersama mereka.

Ketika matahari mulai memanjat langit, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun minta diri. Mereka akan mulai dengan perjalanan mereka yang berbahaya.

Tetapi mereka telah bertemu lagi dengan penunggu banjar itu di regol. Sekali lagi penunggu banjar itu berkata, “Jika kau pergi, maka kau harus membawa oleh-oleh. Baik juga seperti yang kemarin kau lakukan.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Kau jangan memeras kami he?”

Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Aku main-main. Jangan kau laporkan kepada Ki Bekel.”

“Jadi kau tidak bersungguh-sungguh?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak. Tetapi jika kau memang ingin memberi, aku juga tidak berkeberatan,” jawab orang itu.

Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.

Tetapi penunggu banjar itulah yang kemudian bertanya, “Apa yang harus aku katakan, jika Ki Jagabaya itu datang lagi?”

“Kakang Mahisa Ura ada di banjar,” jawab Mahisa Murti.

“O,” penunggu banjar itu mengangguk-angguk.

Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun meninggalkan banjar. Mereka akan mengulangi perjalanan mereka kemarin, menuju ke gumuk kecil tempat batu hijau itu mereka ketemukan.

Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menemui kesulitan untuk menemukan kembali batu hijau yang berada di gumuk kecil itu.

“Marilah, kita akan melihat,” berkata Mahisa Murti, “kita tidak perlu menunggu, apakah orang itu ada di sekitar tempat ini atau tidak.”

Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, “Marilah. Jika mereka tidak ada ditempat ini, maka satu kesempatan bagi kita untuk mengetahui apakah batu itu batu berharga atau bukan. Jika mungkin ada pecahan-pecahan kecil dari batu itu, akan dapat kita bawa untuk kita pelajari.”

“Seandainya ada pecahan-pecahan batu itu, tetapi kitalah yang tidak sempat keluar dari gumuk itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Kepala kita akan diletakkan di dekat batu hijau itu,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tertawa. Mahisa Pukat pun kemudian tertawa juga.

Dengan langkah tetap keduanya telah mendekati gumuk kecil itu dan bahkan keduanya telah naik pula. Namun dalam pada itu Mahisa Murti sempat mengingatkan, “Di gumuk itu memang terdapat beberapa ekor ular yang berbisa.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun ular itu tidak berbahaya bagi kami, tetapi jika ular-ular itu menggigit maka perjalanan kita memang akan terhambat. Setidak-tidaknya kita harus melepaskan gigitan ular itu.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, “Karena itu, kita memang harus berhati-hati.”

Demikianlah maka keduanya pun melangkah semakin mendekati batu yang berwarna kehijauan itu. Sementara itu, mereka pun telah bersiap untuk mempertahankan diri jika tiba-tiba mereka mendapat serangan dengan getar suara.

Setiap langkah, rasa-rasanya telah meningkatkan ketegangan di hati kedua anak muda itu. Meskipun mereka menjadi semakin dekat, ternyata mereka belum mendapat serangan sebagaimana mereka perhitungkan.

Namun demikian, ketika keduanya semakin dekat dengan batu hijau itu Mahisa Murti memperingatkan, “Mungkin mereka akan mempergunakan cara lain.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun menduga bahwa ada sesuatu yang akan terjadi. Bukan sekedar getaran suara yang dilontarkan dari tempat yang tersembunyi, karena ternyata usaha yang demikian akan sia-sia saja.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru termangu-mangu. Namun kemudian keduanya pun melanjutkan langkah mereka mendekati batu hijau itu.

Tetapi belum lagi mereka menggapai dan meraba batu yang berwarna kehijauan itu, maka mereka telah dikejutkan oleh satu ledakan yang bagaikan mencuat dari dalam bumi. Segumpal api tersembul dari bawah rerumputan dan batang ilalang yang kering. Kemudian dengan cepat api itu menjalar di sekelilingnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang terkejut. Tetapi sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, api itu dengan cepat telah menjalar melingkari batu berwarna hijau itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain. Mereka harus berbuat sesuatu karena api pun kemudian telah mengepung mereka.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru termangu-mangu. Mereka berusaha untuk mengerti apa yang tengah terjadi.

“Kita terjebak kedalam perangkap api,” berkata Mahisa Murti.

“Api ini telah mengepung kita. Demikian cepat sehingga kita tidak dapat menghindarinya,” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Kita amati watak api yang mengepung kita. Nampaknya api ini bukan api yang sewajarnya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk, ia pun yakin bahwa api yang mereka hadapi adalah salah satu kekuatan ilmu dari orang-orang yang tidak mereka kenal.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menunggu. Api itu pun semakin lama menjadi semakin besar melingkari kedua orang anak muda itu. Bahkan api itu pun telah merambat semakin lama menjadi semakin menebar, sehingga lingkaran pun justru menjadi semakin sempit.

Asap yang mengepul telah memenuhi udara. Rasa-rasanya nafas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin sesak. Bahkan pandangan mereka pun menjadi semakin kabur karena asap yang membuat udara menjadi semakin pekat.

Untuk beberapa saat kedua anak muda itu bertahan. Tetapi semakin lama udara yang mereka hirup pun telah penuh dengan asap ilalang yang terbakar sementara pandangan mereka memang semakin menjadi gelap karena asap yang semakin kelabu.

Batu yang berwarna hijau itu pun seakan-akan menjadi kabur pula tertutup oleh asap yang kehitaman dan menyesakkan nafas mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah terbatuk-batuk kecil. Dunia bagaikah menjadi semakin sempit dan panas api pun mulai terasa menyentuh tubuh mereka.

“Mahisa Pukat,” desis Mahisa Murti, “kita harus berbuat sesuatu.”

“Apakah kita akan meyakinkan bahwa api ini benar-benar mampu membakar tubuh kita?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi api itu rasa-rasanya semakin menyempit dan hampir menjerat tubuh mereka berdua di dekat batu yang berwarna hijau itu.

Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Marilah. Kita akan memadamkan api ini.”

“Biarlah aku mencobanya sendiri,” jawab Mahisa Pukat, “jika yang melakukan ini hanya seorang, maka kita pun harus mengukur kemampuan kita seorang demi seorang.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia terbatuk oleh asap yang terhisap lewat lubang hidungnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Lakukanlah sendiri, kecuali jika bantuanku diperlukan.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia pun segera mempersiapkan diri untuk melepaskan ilmunya melawan api yang sudah menjadi semakin sempit pula. Bahkan seakan-akan tidak lagi memberikan ruang gerak bagi kedua anak muda itu.

Mahisa Pukat pun kemudian telah memusatkan nalar budinya. Ia tidak mengetrapkan ilmu pamungkasnya dalam ujudnya yang keras. Tetapi Mahisa Pukat yang telah berhasil meluluhkan ilmunya dengan ilmu yang diwarisinya dari Pangeran Singa Narpada, telah mengetrapkan ilmunya dalam ujudnya yang lunak. Mahisa Pukat tidak melepaskan ilmunya yang mampu membakar segala sesuatu yang disentuhnya, tetapi ia justru telah melepaskan ilmunya untuk melawan panasnya api itu dengan cara yang sebaliknya. Dengan cara itu maka benturan yang terjadi justru telah menghisap kekuatan ilmu lawannya dan menghapusnya sebagaimana dapat dilakukannya dalam benturan kekuatan dengan wadagnya, sehingga selapis demi selapis kekuatan lawan itu akan terhisap dan hapus dari padanya.

Beberapa saat lamanya Mahisa Pukat memusatkan kemampuan ilmunya pada lawannya terhadap api yang menjadi semakin sempit. Panasnya api yang memancar menjilat dan menelan segalanya itu, tiba-tiba saja telah membentur satu kekuatan lain. Bukan dengan keras menolaknya, tetapi justru bagaikan menghisapnya. Perlahan-lahan panasnya api itu pun mulai menyusut, ditelan oleh kekuatan lain yang perlahan-lahan bagaikan melunakkannya. Mahisa Pukat seakan-akan telah menaburkan udara yang dingin beku. Lebih dingin titik-titik embun di malam bediding. Lebih basah dari semburan hujan yang bercampur prahara di musim basah.

Itulah sebabnya, maka api yang betapapun panasnya itu mulai pudar. Perlahan-lahan lidah api yang meronta-ronta itu pun mulai menyusut dan akhirnya gelang api itu pun tidak lagi menyempit, bahkan perlahan-lahan telah melebar kembali.

Mahisa Murti memperhatikan perlawanan ilmu Mahisa Pukat yang mampu mengatasi kekuatan ilmu seseorang yang tidak dikenalnya. Tetapi yang dengan semena-mena telah menyerangnya bahkan agaknya orang itu benar-benar ingin membunuhnya.

Ketika api itu mulai menyusut, maka Mahisa Murti pun melihat abu yang berserakan di atas gumuk kecil itu. Rerumputan dan batang-batang ilalang pun telah hangus dan tidak berbekas, keculai tinggal abu yang berhamburan.

“Api itu bukan bayangan semu. Tetapi api itu benar-benar api yang mampu membakar sampai hangus,” berkata Mahisa Murti kepada dirinya sendiri.

Tetapi Mahisa Murti pun sadar, jika hal itu bukan api yang sebenarnya, dan tidak mampu membakar rerumputan dan batang-batan ilalang, maka cara untuk melawannya pun harus berbeda pula.

Namun api yang sebenarnya itu pun telah dapat diatasi. Meskipun dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus lebih berhati-hati menghadapi seseorang yang bukan sekedar mampu menampilkan serangan dengan api yang semu.

Api yang membakar rerumputan, batang-batang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu di gumuk kecil itu pun semakin lama menjadi semakin kecil dan akhirnya mulai padam.

“Bagus,” desis Mahisa Murti, “kau mampu menjinakkannya dan menguasainya. Api itu telah padam.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia memang melihat api itu telah padam. Tetapi gumuk itu menjadi bagaikan gundul. Dengan demikian Mahisa Pukat dapat membayangkan, betapa dahsyatnya api yang telah menyerangnya bersama Mahisa Murti. Namun Mahisa Pukat ternyata mampu mengatasinya.

“Apakah kau membiarkan aku melawannya seorang diri?” bertanya Mahisa Pukat.

“Apakah kau tidak merasakannya demikian?” Mahisa Murti justru ganti bertanya.

“Ya. Aku hanya ingin meyakinkannya,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti pun kemudian mendekatinya sambil berdesis, “Kita akan menghadapi serangan berikutnya.”

“Ya,” berkata Mahisa Pukat, “aku sudah siap.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian telah terdengar suara yang menggelepar menggetarkan udara. “Kalian memang luar biasa anak-anak muda. Kalian mampu melawan aji Gelap Ngamparku, dan kini kalian mampu melawan panas apiku. Bahkan kalian berhasil memadamkannya dengan membekukan udara tanpa membekukan darahmu sendiri.”

“Terima kasih atas pujian itu,” jawab Mahisa Pukat dengan kekuatan getar suara yang seimbang dengan kekuatan ilmu orang yang tidak dilihatnya itu.

“Aku memang sudah mengira bahwa kalian akan datang lagi hari ini,” berkata suara itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ternyata bahwa ia telah meningkatkan kemampuan ilmunya dan melepaskan jawaban yang menggelapar. “Jika demikian, maka marilah sambutlah kedatanganku dengan beradu dada.”

“Apakah kalian berdua tidak mampu menemukan aku?” bertanya orang itu.

Pertanyaan itu memang menghentak perasaan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Namun dalam pada itu dengan cepat Mahisa Pukat menemukan jawabnya, “Aku belum berusaha menemukanmu. Aku tidak ingin mempersulit diri dengan memusatkan indera pengamatanku untuk menemukanmu. Aku masih menghargaimu sebagai seorang laki-laki yang akan dengan sendirinya menghadapi dengan jantan orang yang dianggap lawannya.”

Getar suara Mahisa Pukat menjadi semakin berat dan menghentak di dada orang yang tidak dilihatnya. Sementara itu Mahisa Murti memberikan isyarat agar Mahisa Pukat memancing lawannya dalam pembicaraan yang lebih panjang.

Mahisa Pukat pun mengerti isyarat itu. Bahkan Mahisa Pukat pun mengerti bahwa Mahisa Murti akan berusaha untuk menemukan arah dari getar suara orang itu yang terasa melingkar-lingkar.

Ternyata orang itu masih menjawab, “Jangan menyembunyikan kelemahanmu. Kau tidak akan mampu menemukan aku. Meskipun kau memiliki kemampuan mengimbangi kemampuanku di satu segi ilmu, namun kalian masih sangat muda sehingga pengalaman kalian bagiku tidak berarti apa-apa.”

Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Baiklah. Bersembunyilah terus. Dengan cara yang demikian mungkin kau memang akan dapat menyelamatkan nyawamu meskipun kau harus mengorbankan harga dirimu.”

“Tutup mulutmu anak iblis,” bentak orang itu, “kau kira aku tidak dapat menyumbat mulutmu itu he?”

“Silahkan. Lakukanlah jika kau mampu. Kau tahu, bahwa aku dapat mengimbangi semua ilmumu, selain ilmu bersembunyimu yang licik itu,” jawab Mahisa Pukat.

Terdengar gemertak gigi. Demikian kuatnya dilontarkan dengan dorongan ilmu yang menghentak pula sehingga suaranya bagaikan bumilah yang menjadi retak.

Namun gemertak gigi itu telah disumbat oleh getar suara tertawa Mahisa Pukat bagaikan menggetarkan langit. Berkepanjangan, gelombang demi gelombang melanda lawannya seperu arus ombak yang datang susul menyusul menghantam pantai.

Sebenarnyalah orang yang tidak menampakkan dirinya itu harus meningkatkan daya tahannya. Ia tidak mengira bahwa anak-anak muda itu memiliki daya lontar yang sangat mendebarkan jantungnya.

Dengan demikian, maka orang itu telah memutuskan perhatiannya kepada daya tahannya. Setiap kali suara tertawa Mahisa Pukat telah mulai menyusup daya tahannya itu dan menyentuh isi dadanya sehingga mulai mempengaruhi pernafasannya.

Karena itulah, maka ada bagian yang mulai terasa lemah pada orang itu. Ia tidak lagi mampu membagi kemampuannya untuk bertahan dan untuk tetap mengaburkan sumber suaranya dalam getar suara yang berputaran.

Itulah sebabnya, maka perlahan-lahan tetapi pasti, Mahisa Murti akhirnya dapat menemukan arah sumber kekuatan ilmu Gelap Ngampar itu.

Mahisa Murti itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Suara itu ternyata tidak bersumber dan hutan di sebelah gumuk itu. Tetapi justru dari sebuah gerumbul di bawah gumuk yang telah terbakar itu.

Mahisa Pukat menangkap isyarat yang kemudian diberikan oleh Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun telah mengurangi tekanannya dan bahkan suara tertawanya pun mulai berhenti.

“Apakah kau masih tetap bersembunyi,” bertanya Mahisa Pukat.

Masih terdengar jawaban, “Pengecut yang licik. Cari aku jika kau memang mampu.”

Mahisa Pukat tertawa pendek. Jawabnya, “Kau akan melihat satu kenyataan pahit tentang dirimu sendiri.”

Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban, tetapi jawaban Mahisa Pukat itu benar-benar menggelisahkan orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti telah memberikan isyarat pula dimana orang itu berada. Dengan mengikuti arah pandangan mata Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun kemudian dapat menentukan, dimana orang itu bersembunyi.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berdiri tegak menghadap ke arah gerumbul yang dipergunakan oleh orang yang tidak menampakkan diri itu bersembunyi.

Sikap itu ternyata benar-benar telah menggelisahkan orang yang bersembunyi itu. Sikap Mahisa Pukat menyatakan, bahwa anak muda itu benar-benar telah mengetahui, dimana ia bersembunyi dan dari persembunyiannya dapat melihat dengan jelas kedua anak muda yang berada di atas gumuk yang telah menjadi gundul itu.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “marilah. Sebelum kau yakin bahwa aku telah mengetahui dimana kau bersembunyi, keluarlah atas kehendakmu sendiri. Jangan menunggu aku membakar persembunyianmu dengan kekuatan yang mungkin mampu mengimbangi kekuatanmu.”

Orang itu benar-benar menjadi gelisah. Kedua orang anak muda itu menurut perhitungannya benar-benar anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Berdua mereka tentu merupakan kekuatan yang sangat sulit untuk diatasi.

“Diluar dugaan,” berkata orang itu kepada diri sendiri. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang ada di hadapannya.

Justru karena itulah, maka ia harus berpikir masak-masak, langkah apakah yang sebaiknya diambil dalam keadaan yang sangat gawat itu.

Untuk beberapa saat orang itu hanya berdiam diri saja. Tetapi nalarnya sedang bergejolak mencari keluar dari keadaannya yang sulit. Anak-anak muda itu ternyata memiliki kemampuan diluar dugaannya.

Sementara itu, terdengar Mahisa Pukat telah berkata selanjutnya, “Dengar Ki Sanak. Aku tidak mempunyai waktu banyak. Marilah, apa yang akan kita lakukan, biarlah segera kita lakukan.”

Sejenak Mahisa Pukat menunggu. Namun tiba-tiba saja terdengar suara tertawa berkepanjangan sambil berkata di antara getar suara tertawanya itu, “Anak-anak muda. Ternyata kalian memiliki sesuatu yang dapat kalian banggakan. Tetapi apa yang kalian miliki itu sama sekali tidak banyak berarti bagiku. Meskipun demikian, maka aku masih memberi kalian kesempatan untuk meninggalkan tempat itu.”

Tetapi jawab Mahisa Pukat sangat menyakitkan hati. Katanya, “Aku tidak akan memanfaatkan kesempatan yang kau berikan itu Ki Sanak. Aku tidak memerlukannya, aku justru memerlukan kau.”

Namun suara tertawa itu masih saja berkepanjangan. Katanya, “Baiklah. Jika kalian berkeras untuk melakukan apa yang kau inginkan, aku tidak berkeberatan. Kau dapat melihat batu itu. Tetapi jangan disentuh apalagi dirusakkan. Akulah pemilik batu itu.”

Mahisa Pukat tertegun sejenak, ia pun kemudian berpaling ke arah Mahisa Murti sambil berdesis perlahan, “Apa maksudnya.”

“Kita akan menunggu,” jawab Mahisa Murti.

Kedua anak muda itu pun kemudian berdiri tegak menghadap ke arah gerumbul tempat orang yang tidak dikenal itu bersembunyi. Gerumbul itu memang terletak tidak terlalu dekat, meskipun masih dalam jangkauan suara yang dilambari ilmu oleh kedua belah pihak.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu. Namun sejenak kemudian, maka kedua anak muda itu melihat sesuatu bergerak pada gerumbul itu.

Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Dari gerumbul itu meloncat seekor harimau yang besar berbulu loreng.

“Harimau,” geram Mahisa Murti.

Mahisa Pukat seakan-akan telah membeku. Ia tidak mengira bahwa yang akan keluar dari gerumbul itu adalah seekor harimau.

Namun kedua anak muda itu dengan cepat telah berusaha untuk mengamati ujud yang dilihatnya. Ternyata mereka tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar pada harimau itu. Harimau itu menurut penglihatan mereka benar-benar seekor harimau. Bukan suatu ujud yang semu.

“Menurut pengamatanku, harimau itu wajar,” desis Mahisa Murti.

“Inilah yang mungkin kurang dapat kita pahami,” berkata Mahisa Pukat, “kita masih sulit untuk menentukan, apakah harimau itu bukan harimau jadi-jadian.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita dapat membedakan apakah ujud itu ada sebenarnya atau tidak. Tetapi kita memang tidak dapat mengerti, ujud yang sebenarnya ada itu apakah ujud jadi-jadian atau bukan.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “orang itu sempat mengejutkan kita. Dengan demikian ia mempunyai waktu sekejap lebih banyak dari kita. Dan waktu itu dapat dipergunakannya sebaik-baiknya untuk melarikan diri.”

“Satu kelengahan, sehingga kita tidak akan dapat mengejarnya lagi,” berkata Mahisa Murti. Namun kemudian katanya, “Tetapi kita harus meyakinkan, apakah didalam gerumbul itu tidak ada lagi seorang pun.”

“Marilah,” berkata Mahisa Pukat.

Keduanya kemudian justru telah menuruni gumuk kecil itu dan pergi ke gerumbul yang mereka duga menjadi tempat persembunyian orang yang telah menyerang mereka dengan ilmunya yang tinggi tanpa menampakkan dirinya.

Sambil melangkah, Mahisa Pukat berkata, “Sepengetahuan kita, seekor harimau jadi-jadian hanya dapat ada di malam hari. Jika benar orang itu tentu memiliki sejenis ilmu tentang harimau jadi-jadian yang lain dari yang pernah kita dengar sebelumnya, yang dapat merubah dirinya menjadi seekor harimau jadi-jadian di siang hari dan di panasnya matahari.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun keduanya tidak berbicara lagi. Mereka pun bergegas pergi ke gerumbul yang mereka yakini menjadi tempat orang itu bersembunyi.

Ketika mereka sampai kegerumbul itu, maka mereka pun mendekati dengan hati-hati. Dengan kemampuan ilmu mereka, maka mereka pun segera mengetahui, bahwa di dalam gerumbul itu tidak lagi terdapat apapun juga, apalagi seseorang.

Karena itu, maka keduanya pun segera menyibakkan gerumbul itu untuk melihat apa yang dapat mereka ketemukan yang mungkin akan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan Mahisa Pukat tentang seekor harimau jadi-jadian di siang hari.

Tetapi mereka benar-benar tidak menjumpai apapun juga. Apalagi seseorang. Mereka pun tidak menemukan pertanda apapun juga yang dapat membantu mereka menjawab pertanyaan tentang harimau jadi-jadian itu. Karena keduanya yakin, bahwa orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu telah melarikan diri dalam ujud seekor harimau. Itulah kelebihannya,” desis Mahisa Murti, “kita tidak akan dapat melakukannya. Menjadi ujud apapun tidak.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Kita telah kehilangan. Tetapi biar sajalah. Ia tentu akan kembali jika kita berbuat sesuatu atas batu hijau itu.”

Keduanya pun kemudian berpaling ke arah batu yang ada di atas gumuk, yang warnanya memang kehijau-hijauan. Namun yang belum mereka ketahui nilainya.

Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun kemudian hampir berbareng keduanya telah bergerak pula berputar menghadap ke arah batu yang berwarna kehijauan itu.

“Kita kesana,” berkata Mahisa Murti, “yang jelas warna hijau itu bukan warna lumut, tetapi warna batu itu.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. “Marilah. Kita akan melihat. Tetapi kemungkinan-kemungkinan yang lain masih dapat terjadi atas kita.”

“Kita memang harus berhati-hati,” desis Mahisa Murti.

Keduanya pun kemudian melangkah kembali naik ke atas gumuk kecil yang sudah menjadi gundul itu. Yang kemudian terhambur oleh kaki keduanya adalah abu dari rerumputan dan ilalang serta gerumbul perdu yang terbakar.

Semakin lama keduanya pun menjadi semakin dekat. Bahkan keduanya pun kemudian telah mencapai batu yang besar dan berwarna kehijauan itu.

Ketika seekor ular merayap dikaki mereka, maka mereka sama sekali tidak beranjak. Bahkan kemudian seekor lagi merayap menyilang dan bersembunyi di bawah batu itu.

“Tentu ada banyak ular yang bersembunyi di bawan batu itu,” berkata Mahisa Pukat, “ketika rumput dan ilalang terbakar, maka yang sempat menyelamatkan diri akan bersembunyi di bawah batu itu, karena hanya selingkar kecil di seputar batu ini sajalah rerumputan dan ilalang yang tidak terbakar.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ular bukan merupakan binatang yang menakutkan bagi keduanya.

Sejenak kemudian maka keduanya sempat memperhatikan batu yang berwarna kehijauan itu. Ketika mereka meraba dan menggosok pada satu sisi yang agak bersih maka Mahisa Murti berdesis, “Sejenis batu yang cukup berharga, meskipun bukan jenis yang sangat baik.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya memang menarik sekali. Sayang sekali bahwa tidak ada pecahan-pecahan kecil yang dapat kita bawa.”

“Agaknya orang-orang yang lebih dahulu menemukan tempat ini, telah membawa pecahan-pecahan kecil yang mungkin pernah ada. Batu pecahan yang besarnya segenggam tangan sudah akan dapat dibuat batu cincin berapa saja,” desis Mahisa Murti.

Mahisa Pukat pun kemudian mengelilingi batu itu. Tangannya meraba celah-celah batu yang kotor dan retak-retak.

Mahisa Pukat tiba-tiba saja mengibaskan jari-jarinya. Ternyata seekor binatang sejenis labah-labah yang sangat berbisa telah mengigitnya.

Mahisa Pukat meraba jari-jarinya. Untunglah bahwa ia memiliki penangkal racun yang dapat melindunginya dari segala macam bisa dan racun.

“Tentu tidak hanya seekor,” berkata Mahisa Murti.

Sebenarnyalah, ketika keduanya memperhatikan celah dan retak di tubuh batu itu, mereka telah melihat sejenis binatang yang mendebarkan. Laba-laba beracun, kala dan binatang berkaki seribu.

Betapapun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terlindung dari ketajaman bisa, namun tubuhnya meremang juga melihat berpuluh-puluh bahkan beratus jenis binatang berbisa di celah-celah retak batu yang berwarna kehijauan itu.

“Kita tidak dapat berbuat banyak dengan batu ini sekarang,” berkata Mahisa Murti, “Tetapi kita dapat menduga, bahwa batu ini memang ada harganya.”

“Ya. Jika mendapat perawatan dan penggarapan yang baik, batu ini akan dapat menjadi batu akik yang digemari. Keras dan membiaskan cahaya,” sahut Mahisa Pukat.

Lalu katanya, “Tetapi jika kita menemukan kemungkinannya, maka kita akan dapat membeli batu akik ini dari yang berhak. Tentu tidak dari orang yang telah berusaha mencegah kehadiran kita di sini.”

“Kita akan berhubungan dengan Ki Bekel. Mungkin kita memang harus berhubungan dengan Ki Buyut atau bahwa Sang Akuwu,” berkata Mahisa Murti kemudian. Namun ia pun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak boleh lupa akan tugas kita yang sebenarnya, kenapa kita datang ke tempat ini.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk.

Namun sebelum keduanya banyak berbuat atas batu hijau itu, maka mereka pun telah dikejutkan oleh kehadiran seekor harimau loreng yang besar di bawah gumuk. Terdengar harimau itu meraung ketika harimau itu melihat kedua orang yang berada di sebelah batu yang berwarna kehijauan itu.

“Harimau itu datang lagi,” desis Mahisa Pukat, “harimau itu mengira bahwa ia dapat berbuat sesuatu atas kita dalam ujudnya sebagai harimau.”


Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Katanya dengan nada datar, “Kita belum mengenal watak harimau jadi-jadian. Mungkin memang ada kelebihan yang dapat diandalkan dalam ujudnya sebagai harimau disamping kemampuan ilmunya.”

“Secara wadag seekor harimau memandang memiliki kekuatan yang sangat besar,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi baiklah, kita akan menunggu, apa yang akan dikerjakan oleh harimau itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menunggu. Harimau itu berjalan melingkari gumuk kecil itu hilir mudik. Sekali-sekali terdengar harimau itu menggeram.

Karena harimau itu tidak berbuat apa-apa, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Apakah kita akan menangkap harimau itu? Mungkin kita akan dapat menemukan seseorang yang akan sangat berarti bagi kita.”

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “jika tadi kita merasa kehilangan, kini harimau itu sudah datang lagi.”

“Bagus,” berkata Mahisa Murti, “Marilah. Kau dan aku akan berpisah dan kemudian menuruni tebing gumuk kecil ini. Kita akan menangkap seekor harimau jadi-jadian yang dapat terjadi di siang hari. Kau dari sisi yang satu aku akan datang dari sisi yang lain. Mudah-mudahan kita akan dapat berhasil, sehingga kita mendapat lebih banyak peluang untuk mengambil langkah selanjutnya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dipandanginya harimau itu dengan saksama, sementara harimau itu masih saja berjalan hilir mudik sambil memandangi kedua anak muda itu.

Meskipun harimau itu tidak segera menyerang, namun agaknya harimau itu nampaknya memang tidak bersahabat. Sekali-sekali harimau itu menampaknya taringnya yang tajam sambil menggeram.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai melangkah turun, maka harimau itu menjadi semakin garang. Bahkan harimau itu nampak menjadi gelisah.

“Harimau itu akan dapat lari lagi,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk. Jawabnya, “Kita akan mencobanya. Jika terpaksa harimau itu lari, apaboleh buat.”

Mahisa Murti pun tidak berkeberatan. Karena itu, maka keduanya pun segera berpisah dan memencar.

Tetapi seperti yang mereka duga, harimau itu surut ke belakang. Semakin lama semakin menjauhi gumuk yang gundul itu. Sekali-kali harimau itu menggeram dan mengkais-kais batang-batang ilalang. Namun harimau itu tetap memelihara jarak dengan kedua anak muda yang menuruni gumuk kecil itu.

“Kau pengecut yang paling licik,” Mahisa Pukat yang marah tiba-tiba telah melontar kekuatan ilmunya lewat getar suaranya, “berhenti. Jangan hanya memamerkan kemampuannmu melarikan diri. Coba sambut kedatangan kami. Atau jika kau takut menghadapi kami berdua, kita akan berhadapan dalam perang tanding. Pilih di antara kami, siapakah yang akan menjadi lawannya. Jika kami berdua mendekatimu, semata-mata karena kami ingin menangkapmu.”

Harimau itu menggeram keras sekali. Demikian kerasnya sehingga gumuk kecil itu bagaikan terguncang. Tetapi itu masih tetap bergeser surut menjauhi gumuk itu.

Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat yang menjadi semakin jauh daripadanya. Namun Mahisa Pukat itu menggeleng. Agaknya Mahisa Murti mengetahui maksudnya, bahwa sulit bagi mereka untuk dapat menangkap harimau yang selalu menjauh itu.

Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat seekor harimau lagi yang muncul dari balik sebuah gerumbul. Harimau itu juga sebesar dan segarang harimau yang terdahulu. Namun nampaknya harimau itu lebih mantap menatap kedua anak muda yang bergeser turun dari gumuk itu.

Mahisa Murti tiba-tiba saja telah bergeser mendekati Mahisa Pukat, sedangkan Mahisa Pukat yang melihat saudaranya itu mendekatinya, ia pun telah mendekat pula.

“Agaknya harimau itu datang dengan kawannya,” berkata Mahisa Murti, “kita harus berhati-hati sekali.”

“Mudah-mudahan kita dapat mengatasi keadaan. Tetapi jika mungkin jangan harimau-harimau itu terlepas lagi. Aku yakin bahwa harimau itu adalah harimau jadi-jadian.”

Mahisa Murti mengangguk. Dengan nada berat ia berkata, “Jika kita dapat menangkapnya satu atau keduanya, maka kita akan dapat menangkap seseorang.”

“Jika harimau itu bukan harimau jadi-jadian?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apaboleh buat.”

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu pun kemudian telah menghadapi dua ekor harimau. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak lagi ingin menangkap salah seekor diantara keduanya, tetapi mereka masing-masing menghadapi seekor harimau.

Ternyata harimau itu tidak lagi bergeser surut. Setelah harimau itu menjadi dua, maka nampaknya keduanya pun telah menantang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun saling berpandangan. Ketika Mahisa Murti meraba pisau belatinya, maka Mahisa Pukat pun melakukan hal yang sama. Bahkan dirabanya juga pisau-pisau kecilnya yang mengandung racun.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tahu, apakah racunnya akan berarti juga atas kedua ekor harimau itu.

Beberapa saat kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masing-masing telah berhadapan dengan seekor harimau. Keduanya menjadi semakin yakin bahwa harimau-harimau itu adalah harimau jadi-jadian karena sikapnya.

Ketika Mahisa Murti berada beberapa langkah dari harimau yang dihadapinya, maka ia pun bertanya, “He, kenapa kau dan kawanmu bersikap tidak bersahabat terhadap kami? Apakah kami telah merugikanmu? Bukankah kami tidak berbuat apa-apa atas harimau-harimau yang ada di sini sebelumnya?”

Harimau itu menggeram marah. Kepalanya pun seakan-akan berpaling ke arah batu yang berwarna kehijau-hijauan itu sambil mengibaskah ekornya. Kepalanya agak merunduk dan matanya nampaknya menjadi merah.

“Persetan,” geram Mahisa Murti, “siapapun kau, namun jika kau dengan sengaja mengganggu aku, maka kau akan aku binasakan.”

Harimau itu tiba-tiba saja sudah menggeram keras sambil meloncat menerkam.

Namun Mahisa Murti sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka ia pun telah bergeser selangkah, sehingga terkaman harimau itu tidak mengenai sasaran. Meskipun demikian ketika tubuh harimau itu meluncur di depan tubuh Mahisa Murti, maka kaki harimau itu telah menggeliat menggapai tubuh Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti telah surut lagi selangkah kecil. Sehingga dengan demikian maka kaki harimau itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Harimau itu mengaum keras-keras sambil dengan sigapnya memutar tubuhnya. Sekali lagi harimau itu merunduk dan siap untuk menerkam.

Tetapi Mahisa Murti pun sudah siap pula menghadapi segala kemungkinan. Ia pun telah berdiri tegak menghadap ke arah harimau itu. Tubuhnya agak miring dan merendah pada lututnya. Sementara itu Mahisa Murti pun telah berada pada puncak kemampuannya.

Sementara itu Mahisa Pukat telah bersiap pula. Lawannya ternyata masih belum menyerang. Harimau itu masih berjalan memutarinya, mengamatinya dari berbagai arah.

Dalam pada itu Mahisa Pukat masih berdesis, “Tingkah lakumu bukan tingkah laku seekor harimau. Meskipun ujudnya adalah ujud harimau yang besar dan garang, tetapi ungkapan tingkah lakumu menunjukkan sifat licikmu.”

Tiba-tiba saja harimau itu menggeram keras sekali. Mahisa Pukat bergeser selangkah. Katanya, “Aku tidak peduli apakah kau mengarti kata-kataku atau tidak. Tetapi sifat penakutmu itu tidak serasi dengan ujudmu yang garang dan mendebarkan jantung itu.”

Sekali lagi harimau itu mengaum keras. Tiba-tiba saja harimau itu meloncat menerkam Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Pukat pun sudah siap menghadapi kemungkinan itu. Sambil menghindar ia masih sempat berkata, “Apakah kau mengerti kata-kataku? “

Aneh, harimau nampaknya tanggap mendengar pembicaraan seseorang. Bahkan harimau jadi-jadian pun tidak akan mengerti bahasa manusia dalam keadaannya.

Harimau yang marah itu mengaum keras ketika kakinya gagal mengkoyak kulit Mahisa Pukat. Namun harimau itu menggeliat ketika Mahisa Pukat justru telah menyerangnya dengan kecepatan yang sangat tinggi, tepat pada saat harimau itu menjejakkan kakinya di tanah. Kaki Mahisa Pukat telah menghantam lambung harimau itu sehingga harimau yang besar dan kuat itu telah terdorong ke samping, bahkan hampir saja harimau itu jatuh berguling.

Tetapi harimau yang garang itu dengan tangkasnya pula telah berputar dan memperbaiki keseimbangannya Bahkan dengan cepat pula melonjak menggapai tubuh lawannya.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terlibat dalam perkelahian melawan dua ekor harimau yang besar dan garang. Namun ternyata bahwa kedua anak muda itu memang memiliki ketangkasan dan kemampuan melampaui orang kebanyakan.

Ketika harimau yang garang itu meloncat menyerang Mahisa Murtilah yang kemudian dengan cepat meloncat ke punggungnya dan justru telah berhasil melekat pada tubuh harimau itu.

Harimau yang marah itu menjadi semakin marah. Dengan sekuat tenaga harimau itu berusaha untuk rrtenghibaskan orang yang telah melekat di punggungnya.

Namun pegangan tangan Mahisa Murti bagaikan lekat pada kulitnya, sehingga Mahisa Murti itu tidak berhasil dikibaskannya dari punggungnya.

Beberapa saat kemudian perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Namun kedua ekor harimau itu ternyata tidak mampu menguasai kedua orang lawannya. Yang seekor, yang justru telah berada di cengkeraman tangan Mahisa Murti, menjadi bingung.

Meloncat, berputar, berguling dan dengan laku yang dapat dilakukan untuk melemparkan orang yang berada di punggungnya. Tetapi harimau itu tidak berhasil.

Sementara itu, harimau yang bertempur melawan Mahisa Pukat telah beberapa kali terkena serangan yang sangat keras. Bahkan harimau yang garang itu, telah terdorong beberapa langkah dan jatuh berguling.

Sekali-sekali kuku-kuku harimau itu memang berhasil menyentuh tubuh Mahisa Pukat sehingga terjadi goresan-goresan yang menitikkan darah. Namun luka-luka pada tubuh Mahisa Pukat itu tidak cukup berbahaya dan tidak mempengaruhi perlawanannya.

Sebagaimana Mahisa Pukat, Mahisa Murti pun telah terluka pula. Harimau yang bagaikan gila itu telah berguling-guling, meloncat dan membenturkan tubuhnya pada batu-batu padas. Dengan demikian maka kulit Mahisa Murti pun telah menyentuh tanah yang berbatu padas, menyentuh ranting-ranting perdu dan duri-duri gerumbul yang tajam. Namun luka-luka itu sama sekali tidak mempengaruhi perlawanan Mahisa Murti.

Untuk beberapa saat lamanya, ternyata bahwa kedua ekor harimau itu tidak mampu menunjukkan tanda-tanda kemenangan. Bahkan semakin lama justru menjadi semakin mengalami kesulitan. Baik yang melawan Mahisa Murti maupun yang melawan Mahisa Pukat.

Dalam keadaan yang paling gawat dari kedua ekor harimau yang semakin terdesak itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah dikejutkan oleh suara yang menggetarkan udara. “Bukan main anak-anak muda. Kalian mampu memberikan perlawanan yang luar biasa atas harimau-harimau yang garang itu.”

“Persetan,” geram Mahisa Murti, “licik kau.”

Yang terdengar adalah suara tertawa. Di sela-sela suara tertawanya terdengar kata-katanya, “Aku menguasai binatang buas di hutan itu. Harimau itu adalah harimau yang sebenarnya. Bukan harimau jadi-jadian seperti yang kalian duga. Aku mempunyai ilmu gendam yang dapat mempengaruhi binatang buas dan tunduk atas kehendakku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian menjadi sangat marah. Ternyata mereka berdua telah dihadapkan kepada salah satu kemampuan ilmu orang yang tidak dikenal itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun tidak sabar lagi untuk bertempur dengan puncak-puncak kemampuannya. Dengan kemarahan yang menggelora di dalam dadanya, maka Mahisa Pukat telah menggerakkan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang jarang sekali dipergunakan. Ilmu yang diwarisinya dari ayahnya.

Dengan kekuatan ilmu yang jarang ada duanya, maka Mahisa Pukat ingin mengakhiri perlawanan harimau yang garang itu.

Karena itu, maka tiba-tiba Mahisa Pukat itu pun telah mengambil jarak dari lawannya. Dengan cepat dan sigap, maka Mahisa Pukat pun telah bersiap dengan puncak ilmunya.

Pada saat yang demikian, maka harimau yang garang itu mengaum keras sekali. Dengan kedua kakinya yang terjulur ke depan, maka harimau itu telah meloncat menerkam Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat telah memperhitungkan masak-masak. Karena itu. maka ia pun dengan cepat telah bergeser selangkah, sehingga kaki harimau itu tidak mencengkamnya.

Namun demikian harimau itu menyentuh tanah, maka Mahisa Pukat lah yang kemudian meloncat dengan tidak kalah garangnya. Tangannya yang sudah dipenuhi oleh kekuatan ilmunya terayun dengan derasnya mengarah ke tengkuk harimau itu.


Sejenak kemudian, maka terdengarlah hentakkan ilmu Mahisa Pukat. Tangannya itu pun telah menyambar tengkuk harimau yang buas itu dengan lambaran ilmu pamungkasnya.

Yang terdengar kemudian adalah gemeretak tulang yang patah. Harimau itu tidak sempat mengaum lagi. Sekali harimau itu menggeliat, namun kemudian harimau itu telah diam untuk selama-lamanya.

Berbeda dengan cara Mahisa Pukat mengakhiri perlawanan harimau itu, maka Mahisa Murti telah mempergunakan itu, maka Mahisa Murti telah mempergunakan cara yang lain. Mahisa Murti yang berada di punggung harimau itu, telah mencabut pisau belatinya. Dengan pisau belatinya, maka Mahisa Murti berusaha untuk membunuh harimau itu.

Beberapa kali Mahisa Murti telah menghunjamkan pisaunya ke tubuh harimau itu. Darah pun telah memancar dari tubuh harimau yang koyak itu.

Untuk beberapa saat harimau itu masih berusaha untuk membebaskan diri. Namun kemudian terdengar aum kesakitan yang menyayat, sehingga akhirnya harimau itu pun roboh tidak berdaya.

Mahisa Murti mengakhiri perlawanan harimau itu tidak dengan ilmu pamungkasnya, tetapi dengan senjatanya, pisau belatinya.

Sejenak kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian setelah sempat mengatur perasaannya yang bergejolak, Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku ingin membunuh harimau itu tanpa melukainya. Bukankah dengan demikian kulitnya tidak berbekas lubang-lubang luka itu. Harganya tentu lebih mahal.”

Mahisa Murti tersenyum. Tetapi ia tidak sempat menjawab. Yang terdengar kemudian adalah suara dari orang yang tidak kelihatan itu, “Luar biasa. Benar-benar luar biasa. Kalian berdua telah membunuh harimau-harimau itu dengan cara yang berbeda. Tetapi alasan kalian yang sebenarnya bukan kulitnya berlubang atau tidak berlubang. Tetapi kalian berdua ingin menunjukkan kepadaku, bahwa kalian memiliki kemampuan yang dapat saling mengisi. Ilmu yang tajam sekali yang jarang ada bandingnya dan ketrampilan yang sangat tinggi dan luar biasa sehingga dengan pisau belati harimau itu telah terbunuh.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdiam sejenak. Keduanya justru berusaha untuk menemukan arah suara orang itu. Namun sebelum mereka berhasil, maka tiba-tiba saja mereka telah melihat seekor harimau meloncat dari sebuah gerumbul dan berlari menjauh.

Mahisa Murti menggeram. Namun ia sempat melontarkan kata-kata, “Kaulah harimau jadi-jadian itu. Sungguh luar biasa, bahwa kau dapat melakukannya di siang hari.”

Harimau itu sama sekali tidak berhenti. Tetapi harimau itu sempat berpaling. Namun sejenak kemudian harimau itu pun telah menyibak dan memasuki batang-batang ilalang yang tumbuh lebat di antara gerumbul-gerumbul perdu di sekitar gumuk kecil itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun kemudian sadar, bahwa mereka memang berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi meskipun agak kecil. Namun keduanya tidak tahu, apakah orang yang sempat menggerakkan dua ekor harimau itu datang dari padepokan yang mereka cari atau dari tempat lain. Dan apakah orang itu juga mengetahui bahwa batu kehijauan itu memiliki harga yang cukup mahal atau karena sebab-sebab lain.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengejarnya. Mereka pun merasa bahwa mereka tidak akan dapat mencapainya. Apalagi jika harimau itu sudah hilang di lebatnya hutan ilalang.

Karena itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah berada kembali di antara kedua ekor harimau yang terbunuh. Yang seekor mati tanpa luka seujung duri pun, sedangkan yang lain tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh pisau belati Mahisa Murti.

“Kita apakan dengan harimau ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku tidak tahu, apakah orang-orang padukuhan itu memerlukan kulitnya. Sebaiknya kita kembali ke padukuhan dan mengatakannya kepada penjaga banjar itu, apakah ia akan mau mengambil kulitnya atau tidak,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Bagaimana dengan batu itu?”

“Kita akan membiarkannya,” jawab Mahisa Murti, “Mungkin lain kali kita akan memanfaatkannya.”

Mahisa Pukat masih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian sekarang kita kembali ke padukuhan.”

“Ya. Tetapi kita akan singgah di sungai atau parit atau belik yang manapun. Kita harus menghapus bekas-bekas darah di tubuh kita. Apakah itu darah kita sendiri, atau darah harimau yang telah kita bunuh,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun kemudian meninggalkan kedua ekor harimau yang telah dibunuhnya itu. Mereka sempat singgah disebatang parit yang berair bersih sebelum mereka mulai memasuki sebuah bulak panjang. Di parit itu keduanya sempat membersihkan diri dan membenahi pakaian mereka.

Sementara itu di padukuhan, Mahisa Ura telah dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Agaknya Mahisa Ura sangat menyesal bahwa ia tidak ikut serta bersama kedua orang anak muda yang diakunya sebagai adiknya itu.

Karena itu. maka ia tidak dapat tinggal diam di banjar. Dalam kegelisahan maka Mahisa Ura pun telah menyusuri jalan menuju ke gerbang padukuhan.

Dari gerbang itulah Mahisa Ura memandangi jalan panjang yang terbentang di hadapannya. Bulak yang panjang, yang diapit oleh sawah yang subur.

“Jika keduanya pulang, mereka akan datang melalui jalan ini,” berkata Mahisa Ura di dalam hatinya.

Karena itu, maka Mahisa Ura pun kemudian telah berada di gardu di gerbang padukuhan itu berlama-lama. Ketika ia merasa jemu duduk dan berjalan hilir mudik, maka ia pun telah berbaring di dalam gardu.

Beberapa orang yang lewat, yang sudah mengenalnya sebagai salah seorang pedagang batu akik dan wesi aji yang berada di banjar sempat juga bertanya.

“Sekedar mencari udara sejuk,” jawab Mahisa Ura kepada setiap orang yang bertanya, “apa yang dilakukan di gardu itu.”

“Apakah di tempat asalmu, kau meronda di siang hari?” bertanya seorang anak muda sambil tertawa.

Mahisa Ura pun tertawa betapapun asamnya.

Tetapi Mahisa Ura tidak peduli. Ia berada saja di gardu itu dalam kegelisahannya. Tetapi Mahisa Ura tidak berusaha untuk menyusul. Mungkin justru akan dapat berselisih jalan.

Karena itu ia bertahan untuk tetap berada di gerbang itu. Sekali ia bangkit dan berjalan hilir mudik. Sekali berjongkok di dekat sebuah parit yang mengalirkan air yang jernih, sekali berdiri bersandar tiang pintu gerbang dan sekali berbaring di gardu sambil menyilangkan kakinya.

Pada saat Mahisa Ura hampir menjadi jemu, maka ia pun sekali lagi berjalan hilir mudik di depan pintu gerbang. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Ternyata Mahisa Ura melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat datang dari kejauhan.

Tetapi Mahisa Ura menahan diri untuk tidak berlari menyongsongnya. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat, maka Mahisa Ura itu pun telah duduk di bibir gerdu.

“Kau di sini?” bertanya Mahisa Murti ketika ia sampai di pintu gerbang dan melihat Mahisa Ura berada di gardu.

“Udara panas sekali di banjar. Aku mencari kesejukan dengan menghirup angin di bulak-bulak panjang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menaruh prasangka apapun. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Marilah. Kita kembali ke banjar.”

Mereka bertiga pun kemudian telah kembali ke banjar. Di halaman mereka melihat penunggu banjar itu mendatangi mereka.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi kita benar-benar mempunyai oleh-oleh yang berharga buat orang itu.”

“Apa,” bertanya Mahisa Ura, “nampaknya kau tidak membawa sesuatu.”

“Aku simpan ceriteraku sampai malam nanti. Tetapi agaknya aku harus menyebutkan karena penunggu banjar itu tentu bertanya tentang oleh-oleh itu,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Ura tidak menyahut. Tetapi ia menunggu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberi jawaban kepada penunggu banjar itu.

Sebenarnyalah penunggu banjar itu memang bertanya, “Apakah kalian membawa oleh-oleh.”

“Kau masih saja memeras?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak. Aku tidak memeras. Aku hanya bertanya apakah kau membawa oleh-oleh,” jawab orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku mempunyai dua lembar kulit harimau. Apakah kau mau?”

“Dua lembar kulit harimau?” bertanya orang itu.

“Ya,” jawab Mahisa Murti.

“Ah, yang benar sajalah,” desis orang itu, “jangan bergurau begitu. Aku akan menjadi sangat kecewa jika ternyata yang kau katakan itu tidak benar.”

“Aku memang mempunyai dua lembar kulit harimau,” jawab Mahisa Pukat, “apakah kau mau mengambilnya bersama kami berdua?”

“Tentu jika kau tidak berbohong,” jawab orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Sementara itu Mahisa Pukat berkata, “Baiklah. Setelah aku beristirahat sejenak, maka kita akan pergi ke tempat itu. Kau dapat mengambil dua lembar kulit harimau langsung dari tubuh harimau itu.”

“Ah, benar begitu?” bertanya penunggu banjar itu.

“Ya, kenapa tidak,” jawab Mahisa Pukat.

“Baiklah,” berkata penunggu banjar itu, “Tetapi sudah tentu tidak akan dapat aku lakukan sendiri. Aku memerlukan beberapa orang kawan untuk membawa harimau itu kemari.”

“Terserahlah,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Tunggulah. Aku memanggil kawan-kawan itu,” berkata penunggu banjar itu kemudian sambil dengan tergesa-gesa meninggalkan banjar itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian setelah membersihkan diri telah duduk di serambi untuk sekedar beristirahat sambil minum, karena tidak ada minuman panas, maka mereka telah meneguk air dari kendi yang terasa sangat segar dikerongkongan mereka.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menceriterakan apa yang telah mereka alami.

Mahisa Ura mendengarkan ceritera Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu dengan saksama. Namun sekali-sekali ia pun menarik nafas dalam-dalam karena kekagumannya kepada kedua orang anak muda itu.

“Kami tidak sedang menyombongkan diri,” berkata Mahisa Pukat, “Kami hanya ingin mengatakan yang sebenarnya.”

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mengerti bahwa kalian bukan anak-anak muda yang senang menyombongkan diri. Jika kalian menceriterakan apa yang kalian alami, semata-mata karena kalian ingin menunjukkan apa yang kalian alami itu sejelas-jelasnya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Sokurlah jika kau mempunyai pengertian tentang kami berdua.”

“Ceriterakanlah selanjutnya,” berkata Mahisa Ura.

“Sebentar lagi kami akan pergi lagi ke gumuk itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Ura, “apakah kalian berjanji untuk bertemu lagi dengan orang itu sebentar lagi?”

“Bukankah kita telah berjanji dengan penunggu banjar ini?” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kalian akan mengambil kulit harimau itu.”

“Nampaknya penunggu banjar ini lebih senang mengambil harimau itu dan mengulitinya di padukuhan daripada mengulitinya di tempat itu,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Namun ternyata mereka tidak menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian, maka penunggu banjar itu bersama tiga orang kawannya telah datang dengan membawa sepotong bambu yang cukup besar dan panjang serta beberapa helai tali ijuk.

“Inilah kawan-kawanku,” berkata penunggu banjar itu, “Marilah, kita mengambil harimau itu.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian bangkit sambil berdesis, “Kami akan pergi ke banjar.”

“Aku ikut bersamamu,” berkata Mahisa Ura.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia pun tidak menolaknya.

Demikianlah, mereka bertujuh pun telah berjalan beriringan menuju ke gumuk kecil yang sudah menjadi gundul itu. Di sepanjang jalan penunggu banjar itu sempat bertanya beberapa hal tentang harimau itu.

“Bagaiamana kau mendapatkan dua ekor harimau itu,” bertanya penunggu banjar itu, “apakah kau menemukan bangkai dua ekor harimau atau apa saja yang telah kau lakukan?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murtilah yang menjawab, “Kamilah yang membunuh dua ekor harimau itu.”

“Bukan main,” penunggu banjar itu menjadi sangat heran, “bagaimana mungkin kalian melakukannya.”

“Harimau-harimau itu akan mengganggu sekelompok orang yang sedang mencari daun pandan berduri sungsang,” berkata Mahisa Murti.

“Kalian berdua tiba-tiba datang menolong mereka dan membunuh harimau itu,” potong penunggu banjar itu.

“Siapa bilang?” bertanya Mahisa Murti.

Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam ketika Mahisa Murti berkata, “Kami memang datang. Tetapi yang membunuh harimau itu bukan hanya kami berdua. Tetapi kami bersama-sama. Orang-orang yang akan mencari daun pandan berduri sungsang dan kami berdua.”

Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berkata, “Ternyata kalian hanya menemukan bangkai harimau itu. Dan sekarang kau menawarkannya kepadaku.”

“Darimana pun aku dapatkan, tetapi bukankah kau mau mengambil kulit harimau itu?” bertanya Mahisa Murti.

Penunggu banjar itu tidak menyahut lagi.

Demikianlah maka mereka pun telah menempuh perjalanan menuju ke gumuk kecil. Sementara itu langit pun telah mulai menjadi buram, karena matahari telah menjadi sangat rendah di langit sebelah barat.

Semakin jauh mereka dari padukuhan, maka penunggu banjar bersama dengan ketiga orang kawannya itu merasa mulai diajari oleh perasaan takut di dalam hati.

“Kita akan pergi ke mana?” bertanya penunggu banjar itu.

“Ke gumuk kecil itu, bukankah kita akan mengambil kedua ekor harimau yang telah mati itu?” sahut Mahisa Murti.

Penunggu banjar itu tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia menjadi ketakutan. Apalagi matahari semakin pudar di sisi langit sebelah barat.

Namun ternyata seorang di antara kawan-kawannya tidak dapat lagi menahan perasaan takut itu sehingga dengan nada tinggi ia berkata, “Apakah kita akan pergi ke hutan.”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “ke gumuk. Apakah kau belum pernah melihat gumuk itu.”

“Tetapi tidak pada saat seperti ini,” sahut orang itu, “jika hari menjadi gelap, maka rasa-rasanya kami berada di pintu sarang hantu.”

“Bukankah sebentar lagi kita akan sampai?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia harus menahan perasaan takutnya.

Namun beberapa saat kemudian, sebelum langit menjadi benar-benar gelap, mereka telah sampai ke dekat gumuk itu. Mahisa Pukat yang berjalan dipaling depan telah mempercepat langkahnya menuju ke dua bangkai harimau yang mereka tinggalkan.

Tetapi wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Ketika ia sampai ke tempat itu, ternyata ia tidak menemukan lagi bangkai dua ekor harimau yang telah dibunuhnya dan dibunuh oleh Mahisa Murti.

Mahisa Murti melihat sikap Mahisa Pukat menjadi curiga. Ia-pun telah meloncat dan berlari mendekatinya.

“Harimau itu telah hilang,” desis Mahisa Pukat.

“Hilang?” ulang Mahisa Murti.

“Kita tidak menemukan lagi di sini,” sahut Mahisa Pukat.

Wajah Mahisa Murti pun menjadi tegang pula, sementara itu Mahisa Ura dan keempat orang yang menyertai mereka menjadi semakin dekat.

Dalam keremangan senja, maka orang-prang yang mendatangani padang perdu di dekat gumuk kecil itu menjadi berdebar-debar. Ketika penunggu banjar itu mengetahui bahwa kedua bangkai harimau yang dikatakan itu tidak ada, maka ketakutannya pun menjadi semakin mencengkam.

“Kau membohongi kami,” berkata penunggu banjar itu dengan suara bergetar.

“Tidak. Kami tidak berniat untuk berbohong. Kami memang meninggalkan kedua tubuh harimau itu di sini. Tetapi di luar pengetahuan kami agaknya ada orang lain yang telah menemukannya dan membawanya,” jawab Mahisa Murti.

“Omong kosong,” penunggu banjar itu menjadi marah bercampur ketakutan, “jangan permainkan kami.”

“Kalian mau mencoba-coba kami?” Kawan penunggu banjar itu pun marah pula.

“Sudah aku katakan, bahwa kami tidak berniat untuk membohongi kalian. Kami berkata sesungguhnya. Tetapi di luar pengetahuan kami dua ekor harimau yang mati itu hilang,” sahut Mahisa Pukat.

“Yang pasti bagi kami, di sini kita tidak menemukan apapun juga,” berkata penunggu banjar itu.

Tiba-tiba Mahisa Murti pun menjawab, “Baiklah. Kami harus bertanggung jawab atas keterangan kami. Karena itu, tunggulah di sini, kami bertiga akan mencarinya.”

“Mencari ke mana?” bertanya penunggu banjar itu.

“Ke hutan dan di sekitar gumuk itu,” jawab Mahisa Murti, “Mungkin bangkai itu masih disembunyikan di sana.”

“Kalian akan meninggalkan kami di sini dalam keadaan seperti ini?” bertanya penunggu banjar itu.

“Bukankah kami harus menemukan kedua tubuh harimau yang mati itu? Jika kami tidak menemukannya, maka kami harus mencarikan gantinya di tengah-tengah hutan itu. Kami harus berburu sehingga kami mendapatkan dua ekor harimau sebagai pertanggungan jawab kami,” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi kami jangan ditinggalkan di sini,” berkata penunggu banjar itu.

“Kami tidak mau,” berkata seorang kawannya.

“Ooo,” Mahisa Murti mengangguk-angguk, “jadi kalian akan ikut kami ke hutan?”

“Tidak,” hampir berbareng keempat orang itu menjawab.

“Lalu bagaimana?” bertanya Mahisa Murti, “kami harus mempertanggung jawabkan keterangan kami. Karena itu kami harus mencari ganti yang hilang. Tetapi kalian tidak membiarkan kami berburu harimau di hutan karena kalian tidak mau ditinggal, tetapi juga tidak mau pergi bersama kami. Lalu apa yang harus kami lakukan sekarang?”

Keempat orang itu termangu-mangu. Sementara langit-pun semakin lama menjadi semakin gelap. Matahari telah berlindung di balik bukit, dan gumuk yang ada di hadapan mereka mulai menjadi remang-remang.

Dengan demikian keempat orang itu pun menjadi semakin ketakutan. Karena itu, maka salah seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita kembali ke padukuhan.”

“Silahkan,” berkata Mahisa Murti, “jika kalian ingin kembali, silahkan kembali. Nanti kami akan datang dengan membawa dua ekor harimau itu.”

“Kami tidak dapat kembali hanya berempat,” jawab penunggu banjar.

“Kenapa? Bukankah hari belum malam. Kalian tidak akan melalui pinggiran hutan sehingga kalian tidak usah takut bertemu dengan seekor harimau. Kalian juga tidak akan mengalami gangguan yang lain di perjalanan pulang yang tidak terlalu jauh itu,” berkata Mahisa Murti.

“Antar kami pulang. Kami tidak memerlukan harimau itu lagi,” berkata penunggu banjar.

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah jika demikian. Marilah, kami antar kalian pulang. Tetapi bukankah kalian sudah tidak akan menuntut kami lagi?”

“Tidak,” jawab penunggu banjar itu, “asal kami segera kalian antar pulang.”

Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, “Marilah. Kita kembali ke banjar.”

Mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Dengan langkah yang panjang dan cepat, mereka berjalan semakin lama bagaikan orang yang berlari-lari. Tetapi ketika keempat orang itu sadar, bahwa jarak mereka dengan ketiga orang pedagang batu akik itu menjadi semakin jauh, maka mereka pun telah menunggu betapapun jantung mereka berdebaran.

“Nampaknya tempat ini menakutkan,” berkata Mahisa Murti.

“Ya,” jawab Mahisa Ura. “tetapi kalian telah bebas dari tuntutan tentang dua ekor harimau yang mati itu.”

Mahisa Murti mengangjguk-angguk. Namun Mahisa Pukat pun berkata, “Tetapi siapakah yang telah mengambil tubuh harimau yang mati itu?”

“Mungkin ada hubungannya dengan orang yang memusuhi kita itu,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu keempat orang yang mendahului mereka itu pun telah berjalan pula, sementara hari pun menjadi semakin gelap.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang nampaknya tidak begitu menghiraukan hilangnya kedua tubuh harimau itu, namun sebenarnyalah bahwa hal itu telah menjadi pikiran pula bagi mereka.

Ketika mereka menjadi semakin jauh dari gumuk kecil itu, maka keempat orang padukuhan itu pun menjadi semakin berani, sehingga mereka tidak lagi begitu banyak menghiraukan, apakah ketiga orang pedagang batu akik dan wesi aji itu ada di belakang mereka atau masih berjarak beberapa langkah.

Dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah salah hitung terhadap keempat orang yang berjalan di hadapan mereka. Ketika mereka sampai di banjar, ternyata penunggu banjar itu masih mempersoalkannya.

“Kalian telah mempermainkan kami,” berkata penunggu banjar itu, “sebenarnyalah kami akan dapat menyelesaikan beberapa pekerjaan jika kami tidak kau bawa ke gumuk itu.”

“Pekerjaan apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Dua orang di antara kawan-kawanku ini adalah blandong. Mereka tentu akan sempat menyelesaikan beberapa balok kayu jika ia tidak pergi mengikut kalian. Seorang lagi adalah seorang penganyam bambu yang membuat barang-barang anyaman yang akan dijual besok ke pasar. Ia juga harus menghentikan pekerjaannya karena kalian menawarkan dua lembar kulit harimau. Tetapi ternyata kalian telah mempermainkan kami, sementara itu, kami mengalami kerugian karena kami tidak dapat melakukan kerja kami pada saat kami mengikuti kalian pergi ke gumuk itu,” berkata penunggu banjar.

“Jadi, apakah maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.

Penunggu banjar itu termangu-mangu. Namun Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah mengetahui maksudnya.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah tadi kami sudah bersedia untuk mencarikan gantinya yang hilang itu. Tetapi kalian justru berkeberatan. Karena itu, maka niat itu kami urungkan.”

“Sekarang pergilah,” berkata penunggu banjar itu, “carikan ganti dua lembar kulit harimau sebagai ganti dari dua ekor harimau sebagaimana kalian katakan.”

“Kenapa baru sekarang?” bertanya Mahisa Pukat, “bukankah aku harus menempuh perjalanan kembali ke hutan?”

“Terserah kepada kalian. Tetapi itu adalah tanggung jawab kalian,” berkata penunggu banjar itu.

“Kau mulai memeras kami lagi?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah kami harus berhubungan dengan Ki Bekel?”

“Ah,” desah penunggu banjar itu, “jangan begitu. Kami hanya ingin kalian ketahui kesulitan yang terjadi karena kami telah kalian permainkan.”

“Kami tidak mempermainkan kalian,” jawab Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu, Mahisa Ura pun telah mengambil beberapa keping uang dari kantong ikat pinggangnya. Katanya, “Marilah. Aku akan mengganti kalian dengan uang. Bukan seharga dua lembar kulit harimau, tetapi sekedar pengganti upah yang kalian dapat atau nilai barang yang dapat kau hasilkan selama kalian mengikut kami ke gumuk itu.”

Keempat orang itu saling berpandangan. Namun akhirnya mereka pun menerima uang itu.

“Terima kasih,” berkata penunggu banjar itu.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mencegahnya karena dengan demikian maka persoalan di antara mereka pun segera dapat dianggap selesai. Penunggu banjar itu tidak akan mengejar lagi, sehingga mereka pun akan dapat beristirahat.

Ketika penunggu banjar dan kawan-kawannya telah pergi, maka ketiga orang itu pun segera membersihkan diri mereka ke pakiwan. Baru kemudian mereka duduk di sebuah amben besar di banjar itu.

Adalah di luar dugaan ketika penunggu banjar itu pun kemudian datang sambil membawa minuman hangat. Wedang sere dengan gula kelapa.

“Nyaman sekali,” desis Mahisa Ura.

“Silahkan, mumpung masih hangat,” katanya sambil bergeser keluar. Tetapi masih terdengar kata-katanya, “Aku akan membawa ketela pohon rebus.”

“Ah, terima kasih sekali. Kenapa kau tiba-tiba saja telah menyibukkan dirimu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak apa-apa,” jawab penunggu banjar itu semakin jauh.

Sebenarnyalah sejenak kemudian ia telah kembali sambil membawa ketela pohon rebus. Asapnya masih mengepul, sementara baunya mengusik hidung.

Ketika penunggu banjar itu pergi, maka Mahisa Murti pun berdesis, “orang ini menyatakan terima kasihnya karena pemberianmu Mahisa Ura.”


“Sebenarnyalah aku memberikan uang tidak terlalu banyak,” jawab Mahisa Ura, “tetapi biar sajalah. Ketela pohon dan wedang sere dengan gula kelapa ini nampaknya akan membuat tubuh kita menjadi segar.”

Demikianlah, maka mereka bertiga pun telah menikmati hidangan yang tidak mereka duga sebelumnya. Biasanya mereka hanya minum air dari kendi dan membeli makanan di sebuah kedai menjelang senja. Tetapi kedai itu telah ditutup ketika mereka kembali. Namun tiba-tiba mereka telah mendapat suguhan yang segar.

Dalam pada itu, sambil makan ketela rebus dan meneguk air sere panas, mereka bertiga telah membicarakan lagi tentang harimau yang hilang itu.

“Memang ada beberapa kemungkinan,” berkata Mahisa Ura, “mungkin orang yang menggerakkan harimau itulah yang telah mengambilnya. Tetapi mungkin orang lain yang menemukan harimau mati, yang menurut dugaannya tidak ada orang yang memerlukannya.”

“Memang banyak kemungkinan dapat terjadi,” berkata Mahisa Murti, “Tetapi seandainya orang itu yang menggerakkan harimau itu, apakah kepentingannya dengan dua ekor harimau yang telah mati?”

“Mungkin tidak ada hubungan apa-apa. Tetapi orang itu merasa kasihan bahwa bangkai kedua ekor harimau yang telah dipergunakannya itu ditinggalkan begitu saja tanpa ada yang memungutnya. Mungkin orang itu pun telah memberitahukan kepada orang lain untuk mengambilnya, “sahut Mahisa Pukat.

Yang lain mengangguk-angguk kecil. Tetapi mereka tidak dapat mengambil kesimpulan apa yang sebenarnya telah terjadi dengan bangkai harimau itu.

Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “besok kita tidak akan pergi ke gumuk itu. Kita sudah melihat batu itu dan mengetahuinya serba sedikit, bahwa batu itu memang batu yang berharga meskipun bukan yang paling baik. Tetapi kita pun harus menyediakan waktu untuk mereka yang telah datang ke banjar ini untuk melihat-lihat wcsi aji dan batu-batu akik.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Pukat pun berkata, “Baiklah. Besok kita tinggal di banjar ini sehari penuh. Aku juga ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh orang bertongkat itu.”

Demikianlah, maka akhirnya pembicaraan mereka pun berakhir untuk malam itu. Mereka pun kemudian menyingkirkan mangkuk-mangkuk minuman dan makanan. Baru kemudian mereka membaringkan diri untuk tidur.

Di hari berikutnya mereka benar-benar tidak meninggalkan banjar. Ki Bekel yang datang ke banjar itu dapat menemuinya dan melihat-lihat beberapa buah batu akik. Tetapi Ki Bekel masih belum mendapatkan yang paling sesuai dengan keinginannya, meskipun ia pun kemudian menyisihkan tiga buah akik yang dianggapnya terbaik.

Namun ternyata yang mengejutkan telah terjadi. Yang datang di banjar itu kemudian adalah seorang yang rambutnya telah berwarna rangkap, meskipun nampaknya tubuhnya masih tegap dan kekar. Membawa sebatang tongkat bersisik dengan sebuah batu yang terdapat di ujungnya. Batu yang berwarna kehijauan sebesar genggaman tangan dicengkeram oleh kaki seekor naga yang berwarna kekuningan.

Namun betapapun juga, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura harus menahan diri. Sebagaimana seorang pedagang, maka mereka telah mempersilahkan orang itu duduk dan dengan ramah mempertanyakan keperluannya.

“Menurut pendengaranku, kalian adalah pedagang batu-batu berharga dan wesi aji,” jawab orang itu.

“Benar Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “apakah Ki Sanak memerlukan Wesi aji atau batu akik?”

“Apakah aku dapat melihatnya?” bertanya orang itu.

“Tentu,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

Mereka pun kemudian telah menyiapkan beberapa buah akik dan tiga batang wesi aji yang paling baik yang ada pada mereka.

Sejenak orang itu mengamatinya. Namun kemudian orang itu pun tertawa kecil sambil berdesis, “Ki Sanak nampaknya hanya membuang-buang waktu saja. Apakah yang sebenarnya Ki Sanak bawa ini? Potongan-potongan besi yang kau temukan sisa kerja pande besi di pasar-pasar?”

Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi panas. Tetapi Mahisa Murti dengan cepat menguasai perasaannya dan menjawab, “Inilah yang dapat kami tunjukkan Ki Sanak. Menurut pendapatku barang-barang ini adalah barang-barang yang paling baik yang dapat aku tunjukkan kepada Ki Sanak.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Untunglah bahwa aku serba sedikit mampu mengenali wesi aji dan batu-batu berharga. Jika tidak, mungkin aku pun akan tertipu seperti barangkali telah terjadi atas banyak orang.”

“Kami tidak pernah menipu siapapun. Kami menunjukkan barang-barang yang kami bawa sebelum seseorang menawar. Mungkin orang itu melakukan tayuh. Mungkin tidak karena orang itu sudah dapat mengenalinya, yang manakah yang baik dan yang manakah yang tidak baik,” jawab Mahisa Murti.

“Nilai wesi ajimu yang hanya sekecil kuku kelingking itu tidak sebanding dengan wesi aji yang aku buat menjadi tongkatku ini. Tongkatku yang mempunyai bobot berpuluh kali dibanding dengan wesi aji yang kau perdagangkan ini tentu mempunyai nilai yang beratus kali lipat dari wesi ajimu itu,” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat lah yang menyahut, “O, kau kira tongkatmu itu mempunyai harga? Ujudnya memang bagus. Bahkan mungkin kau telah mempergunakan logam berharga untuk membuatnya. Mungkin ada bagian yang kau buat dari emas dan mungkin batu berharga. Tetapi tongkatmu itu tidak bernilai sama sekali jika dibandingkan dengan batu besar yang berwarna kehijauan di gumuk kecil itu. Kami telah menemukannya, menilainya dan kami sudah siap untuk mengambilnya. Kami sudah berbicara dengan Ki Bekel yang tidak berkeberatan untuk memberikannya kepada kami, sudah tentu dengan harga yang pantas.”

Wajah orang itulah yang menegang. Tetapi ia pun telah tersenyum pula sambil berkata, “Apa hubungannya antara tongkatku dengan batu di gumuk itu? Jika kau menganggap bahwa batu itu berharga, maka ternyata bahwa kalian memang belum mengenali batu-batu berharga dengan baik.”

“Mungkin kami keliru. Tetapi kami menganggap bahwa batu itu adalah batu berharga. Karena itu maka kami telah membelinya,” jawab Mahisa Pukat.

“Kepada siapa kau membelinya?” bertanya orang itu, “Tidak ada seorang pun yang berhak menjualnya. Batu itu biarlah berada di tempatnya.”

“Itu bukan persoalanmu Ki Sanak,” jawab Mahisa Pukat, “biar saja orang yang berhak mengambil keputusan, menentukan sikapnya. Mungkin dengan uang hasil penjualan batu itu, maka Ki Bekel akan dapat membangun padukuhan ini menjadi lebih baik.”

Orang itu termangu-mangu. Namun wajahnya nampak menjadi tegang. Sementara itu katanya, “Biarlah kita tidak membicarakan batu itu. Sebenarnyalah aku ingin membeli wesi aji yang benar-benar mempunyai bobot yang murwat bagi wesi aji yang sebenarnya. Bukan sekedar potongan kejen bajak yang patah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun nampaknya keduanya masih harus mengekang diri, justru karena mereka berada di banjar padukuhan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sepantasnya mengganggu ketenangan padukuhan itu dengan benturan kekerasan.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Ki Sanak. Inilah yang dapat aku tunjukkan kepadamu. Mungkin kau menilai barang-barangku ini terlalu buruk. Tetapi aku tidak mempunyai barang yang lebih baik dengan harga yang pantas. Tetapi jika kau ingin benar-benar membeli wesi aji sebagaimana kau kehendaki, maka kau harus menyediakan uang yang sangat banyak. Nah, jika kau bersedia, maka aku akan Sanggup mengusahakannya.”

“Aku tidak pernah ingkar untuk membayar barang-barang yang aku sukai,” berkata orang itu, “jika kau dapat menunjukkannya, maka aku akan membayarnya.”

“Tidak seorang pun akan dapat menjamin, apakah sesuatu kau sukai atau tidak kau sukai,” jawab Mahisa Pukat. Namun tiba-tiba saja ia pun menggeram, “Apakah yang sebenarnya kau kehendaki? Kau mencela benda-benda yang ada pada kami sekarang, sementara itu kau mengigau tentang barang-barang yang kau sukai.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa sambil berkata, “Jangan marah Ki Sanak. Kalian adalah penjual wesi aji dan batu-batu berharga. Sementara aku adalah salah seorang calon pembeli. Kau tidak dapat memaksakan penilaianmu atas barang-barangmu sendiri terhadap calon-calon pembelimu. Kau juga tidak dapat menipu calon-calon pembelimu dengan mengatakan bahwa barang-barangmu adalah barang-barang yang paling baik.”

“Baiklah kita bersikap jujur,” berkata Mahisa Pukat yang hampir kehilangan kesabaran, “apakah yang sebenarnya kau kehendaki? Mungkin kita akan dapat membicarakannya di tempat lain.”

Kata-kata Mahisa Pukat itu memang dapat dinilai sebagai satu tantangan, meskipun orang lain tidak mengetahuinya. Namun bagi orang bertongkat itu, sikap Mahisa Pukat sudah jelas.

Tetapi justru karena itu ia tertawa sambil berkata, “Kenapa kita harus membicarakannya di tempat lain? Bukankah kau membawa barang-barangmu kemari dan aku datang untuk melihatnya? Biar saja aku menilainya di sini. Jika ada orang lain yang mendengarnya bahwa barang-barangmu jelek, bukankah kalian tidak berkeberatan? Karena itu demikian kalian akan bersikap jujur.”

Wajah Mahisa Pukat menjadi merah. Namun dalam pada itu Mahisa Murti herkata, “Terima kasih atas penilaianmu Ki Sanak. Tetapi aku sangsi apakah kau sebenarnya mengerti tentang wesi aji. Kami adalah pedagang vvesi aji sejak kami masih kanak-kanak. Kesangsian kami atas pengenalan Ki Sanak terhadap wesi aji itu adalah sebagaimana kami lihat pada tongkat Ki Sanak yang sangat bagus dan barangkali mahal. Bukan karena bobot wesi ajinya. Tetapi karena pada tongkat itu terdapat emas dan segumpal batu yang merupakan pecahan batu yang berwarna kehijauan itu.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Jangan kau kira kami tidak mengenalinya. Itulah sebabnya kau tunggui batu hijau itu. Jika sekecil genggaman tangan pada tongkatmu itu sudah kau anggap memiliki nilai yang sangat tinggi, berapa besar nilai batu yang sebesar kepalamu atau bahkan batu yang berada di gumuk itu.”

“Persetan,” geram orang itu, “kau sama sekali tidak sopan Ki Sanak. Sebagai seorang pedagang kau akan menjauhkanmu dari para calon pembeli.”

“Ada beberapa macam calon pembeli. Ada yang bersungguh-sungguh ingin membeli, tetapi ada yang sekedar ingin menunjukkan kemampuannya mengenali wesi aji dan batu-batu berharga. Dan kau adalah jenis orang dalam kelompok kedua. Tetapi sayang, bahwa kau tidak memiliki kemampuan pengenalan sama sekali,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia hampir terpancing ke dalam satu sikap yang keras dan akan menimbulkan kesan yang kurang baik bagi padukuhan itu. Untunglah bahwa Mahisa Murti masih dapat mengekang diri dan bahkan menyesuaikan sikapnya dengan sikap orang bertongkat itu.

Untuk beberapa saat orang bertongkat itu berdiam diri. Namun pembicaraan itu ternyata telah mendebarkan jantung Mahisa Ura. Ia melihat satu kemungkinan bahwa kedua belah pihak tidak lagi dapat mengekang diri.

Tetapi Mahisa Ura tidak mencemaskan kedua anak muda itu. Yang dipikirkannya adalah Ki Bekel dari padukuhan itu. Jika kehadiran mereka di banjar itu menimbulkan kekerasan dan mengguncangkan suasana tenang di padukuhan itu, maka Ki Bekel tentu akan mempunyai pertimbangan lain.

Namun agaknya orang itu pun berpikir dua tiga kali untuk bertindak lebih jauh. Ia sadar, bahwa kedua anak muda itu memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi, karena sebenarnyalah menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, orang itu melihat bagaimana keduanya telah membunuh harimau dengan caranya masing-masing.

Sementara itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Nah Ki Sanak. Apa yang ingin kau lakukan di sini? Jika kau memang tidak senang atas wesi aji yang aku bawa, maka apa lagi yang kau tunggu di sini?”

Orang itu mengatupkan giginya. Tetapi ia pun masih juga harus menjaga diri. Katanya, “Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi jangan mencoba menipu orang lain dengan barang-barangmu yang tidak berharga. Jika demikian maka aku akan mengadukanmu kepada Ki Bekel, sehingga Ki Bekel tentu tidak akan membiarkan banjar ini kalian pergunakan untuk menipu penghuni padukuhan ini.”

“Pergilah. Mungkin aku akan mendapatkan batu yang paling berharga. Batu yang kehijauan itu,” jawab Mahisa Murti.

Wajah orang itu menegang. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Bahkan ia pun kemudian beringsut dan meninggalkan banjar itu.

Namun kedatangan orang itu ke banjar, benar-benar merupakan satu langkah yang pantas dipuji. Orang bertongkat itu tentu orang yang memiliki keberanian yang sangat tinggi. Meskipun ia menyadari, siapakah yang dihadapinya, namun ia tidak segan-segan untuk datang.

Tetapi kemudian dapat diketahui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menurut ceritera beberapa orang yang kemudian menemuinya, bahwa orang itu tidak sendiri. Ketika ia memasuki padukuhan, maka tiga orang kawannya telah menunggunya di luar regol padukuhan itu.

“Kami sama sekali tidak mencurigai mereka,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang melihat tiga orang kawan orang bertongkat itu menunggu di luar padukuhan, “tetapi ketika kemudian kami ketahui orang bertongkat itu pergi ke banjar, maka kami pun menjadi tertarik akan kehadirannya serta para pengikutnya yang ditinggalkannya di luar regol. Tetapi ternyata mereka tidak berbuat sesuatu dan kemudian meninggalkan regol padukuhan itu.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang mendapat keterangan itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun bertanya, “Apakah orang-orang yang ditinggal di regol itu juga membawa tongkat?”

Orang yang memberikan keterangan itu merenung sejenak, mengingat-ingat, apakah orang-orang yang berada di luar regol padukuhan itu bertongkat.

Baru kemudian orang itu berkata, “Aku tidak melihat tongkat. Tetapi entahlah jika tongkat itu mereka tinggalkan di manapun.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Terima kasih. Keterangan kalian penting bagi kami. Orang itu agaknya memang bukan seorang calon pembeli yang baik. Ia mencela semua barang-barang yang aku perlihatkan kepadanya, sedangkan Ki Bekel pun menganggap bahwa masih ada juga yang baik dari barang-barangku itu. Hanya saja di antara barang-barangku masih belum ada yang sesuai bagi Ki Bekel. Bukannya kurang baik. Bahkan Ki Bekel sudah menyisihkan di antara barang-barangku yang mungkin kemudian diketahui sesuai dengan keinginan Ki Bekel.”

Orang yang memberitahukan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah mengira.”

“Apakah kau mengetahui, kemana mereka pergi?” bertanya Mahisa Murti.

“Mereka menuju ke Barat lewat jalan bulak ini,” jawab orang yang memberikan keterangan itu.

“Aku ingin mengetahui, kemana mereka pergi. Karena itu, maka aku akan menelusurinya, bertanya kepada orang-orang di padukuhan sebelah apabila mereka mengetahui orang bertongkat itu lewat bersama kawan-kawannya,” berkata Mahisa Murti.

“Baiklah,” berkata orang yang memberikan keterangan itu, “Aku akan membantu. Aku akan memberikan kabar baru jika aku mendengarnya. Mungkin seseorang memberitahukan kepadaku, kemana mereka pergi.”

“Terima kasih. Kalian amat baik terhadap kami,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Dengan demikian, maka perhatian Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, sepenuhnya ditujukan kepada orang bertongkat itu, dalam hubungannya dengan batu yang berwarna kehijauan. Mereka pun telah mengalami langkah kekerasan dari orang bertongkat itu menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun yang tidak menemukan penyelesaian yang tuntas.

Karena itulah, maka akhirnya Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah menentukan satu langkah, bahwa mereka harus membuat perhitungan dengan orang bertongkat itu. Tetapi sebelumnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin mengetahui jalan menuju ke padepokan yang mereka cari.

“Jika terjadi sesuatu, kita sudah pernah menemukan padepokan dari orang-orang bertongkat itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Baiklah,” jawab Mahisa Murti, “kita memang harus menyelesaikan tugas pokok kita. Kita akan melihat padepokan itu. Mungkin ada sesuatu yang menarik yang dapat kita bawa sebagai laporan, atau jika salah seorang saja di antara kita yang sempat kembali, maka keterangan itu akan dapat sampai juga kepada yang seharusnya menerima.”

“Jangan berkata begitu,” sahut Mahisa Ura, “kita sudah menentukan langkah bersama. Jika kita gagal keluar dari lingkungan padepokan itu, maka kita bertiga akan tinggal. Hidup atau mati. Jika kita dapat keluar, maka kita bertigalah yang akan bersama-sama membawa laporan ini.”

“Tidak begitu,” berkata Mahisa Pukat, “salah seorang di antara kita harus kembali. Kau harus kembali ke Singasari. Kau sampaikan hasil perjalanan kita kepada kakang Muhisa Bungalan. Biarlah Kakang Mahisa Bungalan menyampaikannya kepada Panglima di Singasari tetapi juga kepada Pangeran Singa Narpada di Kediri, agar Pangeran Singa Narpada dapat merencanakan langkah-langkah yang dapat diambil untuk menghadapi orang-orang bertongkat itu.”

Mahisa Ura termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti-pun berkata, “Rahasia padepokan itu harus sampai kepada Pangeran Singa Narpada. Itu adalah persoalan yang paling penting yang harus kita selesaikan. Karena itu, maka aku sependapat. Salah seorang di antara kita harus tetap hidup.”

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Seandainya demikian, maka biarlah salah seorang dari kalian berdua sajalah yang akan kembali ke Kediri atau kalian berdua. Aku bukan orang yang utama dalam tugas ini, karena kalianlah yang memang sedang mengemban tugas ini dari Pangeran Singa Narpada.”

Tetapi Mahisa Murti tersenyum sambil menjawab, “Siapapun yang akan menyampaikannya kepada Pangeran Singa Narpada bukan soal. Tetapi kita harus memilih kemungkinan yang paling baik yang dapat kita lakukan.”

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Kakang Mahisa Ura. Sebenarnya kita dapat mempergunakan waktu sedikit untuk kepentinganmu mengatasi suara-suara yang dilontarkan dengan lambaran ilmu itu.”

Mahisa Ura termangu-mangu. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah benar begitu? Berapa lama waktu yang aku perlukan untuk itu?”

“Kau bukan anak ingusan di dalam olah kanuragan. Kau memiliki bekal yang cukup. Namun agaknya satu pintu masih tertutup. Marilah, kami bantu membuka pintu itu sehingga dengan demikian kau mampu menyalurkan kemampuanmu untuk meningkatkan daya tahanmu. Sebenarnya kekuatan itu ada di dalam dirimu. Namun agaknya kau belum dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya.”

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah harga dirinya agak tersinggung. Kedua anak muda itu jauh lebih muda daripadanya. Seharusnya ia lah yang membantu keduanya untuk menelusuri ilmunya. Tetapi yang terjadi ternyata sebaliknya. Anak-anak muda itu yang melihat bahwa ia masih belum mampu memanfaatkan sesuatu yang sebenarnya ada di dalam dirinya.

Tetapi dalam keadaan yang gawat itu Mahisa Ura harus mengesampingkan harga dirinya yang berlebih-lebihan. Meskipun keduanya masih terlalu muda dibandingkan dengan umurnya, namun adalah satu kenyataan bahwa keduanya memiliki kelebihan daripadanya.

Karena itu, maka Mahisa Ura itu pun berkata, “Apakah kalian melihat kemungkinan sebagaimana kau katakan itu?”

“Kita dapat mencoba,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi bukankah dengan demikian, tugas kalian akan terhambat?” bertanya Mahisa Ura.

“Kami tidak dibatasi waktu. Meskipun kami berharap bahwa kami akan dapat menyelesaikan tugas kami secepatnya, namun jika yang kita lakukan akan memperlancar tugas-tugas kita selanjutnya, maka hal itu tentu baik untuk dilakukan,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Ura masih saja dibayangi oleh kebimbangan. Namun ketika dilihatnya wajah-wajah anak-anak muda itu bersungguh-sungguh, maka ia tidak dapat bertahan pada harga dirinya. Karena itu katanya kemudian, “Baiklah. Jika kalian benar-benar menghendaki membantu aku, maka aku akan mengucapkan terima kasih.”

“Tetapi kau tahu, bahwa ilmu yang ada pada kami pun masih terlalu sempit, sehingga mungkin yang kami lakukan kurang memberimu kepuasan. Namun kami akan mencoba sejauh dapat kami lakukan” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Ura mengangguk kecil.

“Kita akan memerlukan waktu sekitar tiga hari. Pada malam berikutnya kita akan pergi padepokan itu. Mungkin terjadi sesuatu pada tiga hari yang kita sisihkan itu. Namun biarlah aku dan Mahisa Pukat menyelesaikannya,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Ura mengangguk-angguk, meskipun ia sadar, bahwa yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu lebih banyak ditujukan kepada keselamatannya dari pada keberhasilan tugas mereka. Meskipun demikian, Mahisa Ura tidak dapat menolak keiklasan hati kedua anak muda itu.

Tetapi mereka tidak akan dapat melakukannya di banjar itu apalagi di siang hari. Mereka berada di banjar itu sebagai pedagang batu-batu berharga dan wesi aji. Meskipun tidak banyak orang yang memerlukan mereka, tetapi sekali-sekali ada juga orang yang datang untuk melihatnya.

Karena itu, maka ketiga orang itu harus membuat rencana mereka dalam hubungan usaha mereka membuka kemungkinan Mahisa Ura mampu mengurai daya tahannya untuk melawan getaran yang dipancarkan lewat suara seseorang yang didorong oleh kekuatan ilmu yang tinggi.

Di siang hari mereka harus berada di banjar itu, sementara di malam hari mereka akan mengadakan latihan-latihan khusus di tempat yang tersembunyi. Sudah tentu mereka harus menghindarkan diri dari pengamatan orang-orang bertongkat itu.

Namun di siang hari, Mahisa Ura harus mempergunakan waktunya untuk menegaskan sikapnya di malam hari. Karena itu, maka ia harus tetap berada di pembaringannya, selalu dalam pemusatan nalar budi.

“Biarlah kau dianggap orang lain sedang sakit,” berkata Mahisa Pukat.

“Bagaimana jika orang-orang padukuhan ini, terutama yang pernah berhubungan dengan kita ingin menengok?” bertanya Mahisa Ura.

“Aku akan mengatakan bahwa sakitmu dapat menular meskipun tidak berbahaya jawab Mahisa Pukat, “mudah-mudahan tidak ada seorang pun di antara mereka yang dengan berani membiarkan dirinya kejangkitan penyakit seperti yang sedang kau derita. Pusing-pusing kepala, menggigil dan hidung tersumbat.”

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, “Cerdik juga kau agaknya. Baiklah. Aku akan menjalankan apa saja yang harus aku lakukan.”

Ketiganya pun kemudian telah menyusun rencana mereka. Pada malam pertama, maka mereka pun telah berpesan kepada penunggu banjar itu, bahwa mereka akan bangun pagi-pagi.

“Jika kami belum bangun pada saat fajar menyingsing, tolong bangunkan kami,” berkata Mahisa Murti.

“Jadi aku harus bangun pagi-pagi sekali? Satu hal yang tidak pernah aku lakukan kecuali jika terpaksa sekali,” jawab penunggu banjar itu.

“Aku tahu maksudmu. Kau perlu uang?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu tersenyum. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Aku akan memberimu uang besok jika kau benara-benar melakukan pesan itu. Jika kau lupa atau jika kau terlambat bangun, maka aku tidak akan memberimu apapun juga.”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Jangan takut. Setiap hari aku bangun menjelang dini hari.”

“Satu hal yang tidak pernah kau lakukan kecuali terpaksa sekali. Apakah kau setiap hari mendapat tekanan sehingga terpaksa bangun menjelang dini hari?” bertanya Mahisa Murti.

Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Aku akan membangunkan kalian.”

Demikianlah, maka penunggu banjar itu pun tidak lagi berniat mengusik ketiga orang itu di malam hari, karena menurut pesan mereka, maka mereka minta untuk dibangunkan pagi-pagi sekali.

Namun sebenarnyalah bahwa ketiga orang itu sama sekali tidak tidur di banjar. Ketika malam menjadi sepi, maka mereka telah meninggalkan banjar itu dengan meloncati dinding. Tidak seorang pun yang melihat mereka keluar. Orang-orang yang berada di gardu dan penunggu banjar itu tidak mengira bahwa ketiga orang itu telah meninggalkan banjar.

Malam itu ketiga orang itu telah berada di tempat yang tidak pernah dikunjungi seorangpun. Mereka telah menyepi untuk memberikan kesempatan kepada Mahisa Ura menjalani laku bagi peningkatan daya tahan tubuhnya. Terutama menghadapi ilmu yang dipancarkan lewat getaran suara.

“Sadarilah, bahwa kau telah memiliki ilmu yang cukup tinggi,” berkata Mahisa Murti, “kemudian, marilah. Aku dan Mahisa Pukat akan membantumu, menuntun pemusatan nalar budimu sehingga kau akan dapat menemukan jalan di dalam dirimu untuk mengungkapkan kemampuanmu bagi peningkatan daya tahanmu.”

Mahisa Ura pun mengikuti saja petunjuk kedua anak muda yang memiliki ilmu dan pengalaman yang ternyata jauh lebih luas dari dirinya.

Ketiga orang itu pun kemudian telah menentukan langkah yang akan mereka lakukan. Mahisa Murtilah yang pertama-tama akan membantu Mahisa Ura di dalam laku itu, sementara Mahisa Pukat akan mengamati keadaan.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka Mahisa Murti dan Mahisa Ura telah duduk di atas sebuah batu padas yang datar dan cukup luas. Mahisa Ura membelakangi Mahisa Murti yang memegangi kedua pundaknya. Dengan cara itu, maka keduanya telah berusaha untuk menemukan jalan bagi Mahisa Ura, agar ia mampu menyalurkan ilmunya bagi menopang daya tahannya.

Keduanya pun kemudian duduk tanpa bergerak sama sekali. Keduanya telah memusatkan nalar budi mereka, sebagai laku yang harus dijalani oleh Mahisa Ura.

Ternyata bahwa Mahisa Ura memang telah memiliki bekal yang cukup. Kekuatan yang seolah-olah mengalir dari diri Mahisa Murti ternyata dengan serta merta telah membuka kemungkinan bagi Mahisa Ura untuk melakukannya. Perlahan-lahan, tetapi pasti. Kekuatan yang seakan-akan menjalar melalui pundaknya telah menggetarkan seluruh tubuhnya. Namun Mahisa Ura sendiri telah membuka dirinya seluas-luasnya, sehingga karena itulah, maka seolah-olah gejolak yang terjadi di dalam dirinya telah dituntun ke satu arah yang berpusar di dalam dadanya.

Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Ura menjalaninya sampai menjelang dini hari. Ketika Mahisa Pukat memberikan isyarat maka keduanya telah mengurai pemusatan nalar budinya itu.

Menjelang diri hari, maka mereka pun segera kembali ke Banjar. Seperti saat mereka pergi, maka mereka pun memasuki banjar dengan cara yang sama. Dengan diam-diam mereka segera kembali ke pembaringan mereka yang gelap, karena lampu sengaja tidak dipasang.

Dengan hati-hati mereka bertiga telah berada kembali di pembaringan. Mahisa Ura pun segera meneruskan laku yang dijalaninya tanpa bantuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekedar untuk mendalami laku yang telah dijalaninya di tempat yang terasing itu.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk di tangga banjar sambil menunggu, sebagaimana disang-gupkan, penunggu banjar itu akan membangunkan mereka.

Ternyata penunggu banjar itu memenuhi kesanggupannya. Ia pun kemudian datang pada saat yang dijanjikan. Pada saat fajar menyingsing.

“Ooo,” orang itu tertegun ketika dilihatnya Mahisa Murti dan Mahias Pukat telah duduk di tangga banjar. “Ternyata kalian telah bangun.”

“Kami tidak dapat tidur semalaman,” sahut Mahisa Murti.

“Kenapa?” bertanya penunggu banjar itu.

“Saudaraku telah sakit,” jawab Mahisa Murti.

“Oo, sakit apa?” bertanya penunggu banjar itu, “apakah aku dapat menengoknya?”

“Jangan, sakitnya dapat menular?” jawab Mahisa Murti.

“Sakit apa?” wajah penunggu banjar itu menegang.

“Tubuhnya menggigil kedinginan. Namun kemudian terasa menjadi panas. Hidungnya bagaikan tersumbat dan lehernya terasa pedih,” jawab Mahisa Murti, “Menurut pengalaman kami, jika salah seorang dari kami bertiga dihinggapi penyakit seperti itu, maka yang lain pun akan ditularinya pula, jika kami terlalu dekat atau tidur di sampingnya.”

“Oo,” penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Lalu, “Jadi apakah yang dapat aku lakukan untuk membantu meringankan sakitnya?”

“Apakah kau mempunyai pohon ketela gerandel?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Ada. Aku tahu maksudmu. Apakah aku harus membuat reramuan dari ketela gerandel dari ujung akar sampai ke ujung daun? Aku memang mendengar bahwa obat seperti itu memang sangat baik bagi orang yang sakit kedinginan seperti kakakmu itu,” jawab penunggu banjar itu.

“Ya. Buatkanlah untuk kakang Mahisa Ura,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak segera berbuat sesuatu, sehingga Mahisa Pukat pun berdesis, “Aku akan memperhitungkan harga batang ketela gerandel itu sekaligus tenagamu.”

“Ah, bukan maksudku,” berkata penunggu banjar itu sambil melangkah pergi.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggelengkan kepalanya. Namun kemudian mereka pun telah membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil selanjutnya.

Ketika kemudian matahari terbit, maka penunggu banjar itu benar-benar telah membawa pipisan ketela gerandel dari ujung akarnya sampai ke ujung daunnya, termasuk bunga, buahnya dan tangkainya, meskipun masing-masing hanya sepotong kecil.

Sejenis reramuan obat yang pahit sekali.

Di hari itu, maka orang-orang yang pergi ke banjar itu pun mendapat pemberitahuan bahwa Mahisa Ura sedang sakit. Bahkan sakit menular sehingga tidak seorang pun yang dibenarkan untuk menengoknya.

Namun dalam pada itu, maka Mahisa Ura pun masih saja berada dalam pendalaman dari apa yang telah dilakukan semalam.

Ketika malam turun, maka ketiga orang itu pun kembali meninggalkan banjar dengan laku yang sama. Mereka berada di tempat yang semalam mereka pergunakan. Mahisa Ura telah kembali berada dalam pemusatan nalar budinya. Mahisa Pukatlah yang kemudian membantunya membuka pintu urat nadinya, untuk meningkatkan daya tahan, tubuhnya. Tetapi Mahisa Pukat tidak memegangi kedua pundak Mahisa Ura dengan kedua tangannya. Tetapi Mahisa Pukat hanya memegangi sisi pundak Mahisa Ura dengan sebelah tangannya.

Segala sesuatunya terasa semakin lancar di dalam diri Mahisa Ura. Setelah urat nadinya terasa terbuka semalam dan dengan kemampuan sendiri berusaha untuk memperlebarnya, maka malam itu rasa-rasanya segala sesuatunya menjadi semakin mudah.

Tidak ada hambatan, baik yang datang dari dalam diri Mahisa Ura sendiri maupun yang datang dari luar dirinya. Demikian pula ketika mereka kembali ke banjar menjelang dini hari. Kemudian sehari penuh Mahisa Ura berada di atas pembaringannya. Namun ia memang sedang menjalani laku. Dan Mahisa Ura pun benar-benar tidak makan dan minum kecuali pipisan seluruh bagian dari ketela gerandel dengan diberi sedikit garam.

Pada malam ketiga, Mahisa Ura tidak lagi duduk bersila dengan dibantu oleh Mahisa Murti atau Mahisa Pukat membuka urat nadinya untuk dapat membangunkan dan meningkatkan daya tahannya. Tetapi ia sudah mulai menempa peningkatan itu dengan kekuatan-kekuatan yang dilontarkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dengan demikian, maka ketiga orang itu pun merasa bahwa yang mereka lakukan itu telah membawa hasil. Mahisa Ura yang memang telah memiliki ilmu yang tinggi di dalam dirinya, seakan-akan mendapatkan saluran yang tidak dikenal sebelumnya untuk meningkatkan daya tahannya dari serangan-serangan getaran suara yang dilontarkan berlandaskan ilmu yang tinggi.

Ketika kemudian langit mulai dibayangi oleh warna-war-na merah, ketiga orang itu pun segera kembali ke banjar. Mahisa Ura yang sudah berhasil membuka ilmunya untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya terutama terhadap serangan-serangan yang lebih bersifat langsung kebagian dalam tubuhnya, bukan sekedar pada wadagnya, merasa dirinya telah menemukan sesuatu yang baru. Meskipun pada dasarnya bekal itu sudah ada di dalam dirinya, namun dibantu oleh dua orang yang meskipun jauh lebih muda daripadanya, maka ia dapat mengetrapkan ilmunya lebih mapan.

Ketika malam ketiga telah lewat, maka yang dilakukan oleh Mahisa Ura tinggallah menempatkan segala sesuatu di dalam dirinya agar lebih mapan. Ia masih harus membenahi beberapa gejolak di dalam dirinya yang tidak begitu sulit dilakukannya. Namun di hari itu Mahisa Ura masih juga tidak turun dari pembaringannya. Ia pun masih belum makan dan minum selain pipisan seluruh bagian dari batang ketela gerandel.

Dengan demikian, maka yang sedang bergejolak di dalam diri Mahisa Ura itu pun telah mapan kembali. Seolah-olah tidak terjadi perubahan apapun di dalam dirinya. Namun demikian, ternyata bahwa ia telah mampu membangunkan ilmunya serta mempergunakan tenaga cadangan di dalam dirinya untuk membangkitkan daya tahan yang semakin meningkat.

Ketika hari-hari yang penuh dengan laku itu telah lewat, maka Mahisa Ura pun telah mulai keluar dan turun dari pembaringannya. Penunggu banjar yang melihatnya, mendekatinya sambil bertanya, “Apakah kau sudah sembuh?”

Mahisa Ura tersenyum. Katanya, “Sudah Ki Sanak. Aku sudah berangsur baik.Tetapi selama aku sakit, kenapa kau tidak mau menjengukku. Bukankah kau tinggal melangkahi tangga saja?”

“Ah,” jawab penunggu banjar itu, “Bukankah sakitmu menular?”

“Siapa yang mengatakannya?” bertanya Mahisa Ura.

“Adik-adikmu,” jawab penunggu banjar itu.

Mahisa Ura tersenyum. Katanya, “Sakitku memang menular. Tetapi sama sekali tidak berbahaya. Adik-adikku adalah penakut. Mereka tidak berani tidur di sebelahku. Mereka lebih senang tidur di lantai atau bahkan duduk saja semalam suntuk di tangga pendapa.”

“Tetapi lebih baik begitu daripada mereka harus dijangkiti penyakit yang serupa. Jika kalian bertiga sakit, siapakah yang akan melayani kalian. Siapakah yang akan membeli nasi ke warung sebelah.

“Bukankah kau yang membelikannya?” bertanya Mahisa Ura.

“Ya. Tetapi jika kalian bertiga sakit, aku tidak mau mendekat. Kalian tidak akan dapat menyuruh aku membeli nasi atau membeli apapun juga. Aku pun tidak mau membuat minuman panas dan menyediakan obat ketela gerandel.”

Mahisa Ura tersenyum. Katanya, “Tetapi aku sudah sembuh. Aku tidak akan menyulitkan adik-adikku lagi. Juga tidak akan menyulitkanmu. Segala sesuatunya kini sudah dapat aku lakukan sendiri.”

Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah enam kali membuat obat ketela gerandel, masing-masing semangkuk penuh.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Ura.

“Karena itu maka kau telah disembuhkannya,” berkata orang itu lagi.

“Terima kasih,” jawab Mahisa Ura pula.

Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Dengan kesal ia berkata, “Setelah kau sembuh, bukankah kau dapat melakukan pekerjaanmu lagi?”

“Ya. Tentu” jawab Mahisa Ura.

“Akulah yang menyebabkannya” berkata penunggu banjar itu.

“Terima kasih” jawab Mahisa Ura.

“Terima kasih, terima kasih. Hanya terima kasih?“ penunggu banjar itu benar-benar menjadi jengkel.

Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengerti, kenapa tiba-tiba saja penunggu banjar itu marah kepadanya.

Namun dalam pada itu, terdengar suara tertawa. Tidak begitu keras tetapi suara itu telah menarik perhatian Mahisa Ura dan penunggu banjar itu, sehingga keduanya telah berpaling.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di bawah tangga pendapa. Ketika penunggu banjar itu memandanginya, maka ia pun berkata, “Sudah aku katakan, akulah yang akan membayarnya. Kakang Mahisa Ura tidak tahu menahu tentang perjanjian itu.”

Wajah penunggu banjar itu menjadi merah. Dengan gagap ia berkata, “Bukan maksudku. Aku sudah senang melihat kesembuhannya.”

Mahisa Ura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Terima kasih.”

Penunggu banjar itu tidak menjawab. Bahkan sambil melangkah pergi ia menirukan, “Terima kasih.”

Mahisa Ura pun tertawa. Namun ia tidak berkata sesuatu.

Demikianlah, hari itu, Mahisa Ura sempat membenahi dirinya. Setelah tiga hari ia tidak makan dan minum selain pipisan ketela gerandel. Hari itu ia mendapat kesempatan untuk memulihkan segenap tenaganya menurut ukuran kewadagan.

Dengan demikian, maka setelah Mahisa Ura selesai menjalani laku, ketiga orang itu pun telah melanjutkan rencana mereka untuk mendekati lingkungan sebuah padepokan yang dihuni oleh sekelompok orang-orang bertongkat.

“Kita akan pergi ke padepokan itu,” berkata Mahisa Ura, “kita akan mendekatinya di malam hari. Apapun yang akan terjadi, kita sudah menentukan satu langkah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Kita akan pergi besok malam. Tetapi bagaimana dengan Ki Bekel padukuhan ini? Apakah kita akan minta diri atau kita pergi dengan diam-diam.”

“Apakah kita yakin bahwa kita akan kembali di hari berikutnya sebelum pagi?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita tidak yakin,” jawab Mahisa Murti, “karena itu, bukankah sebaiknya kita berbicara dengan Ki Bekel, bahwa kita akan melanjutkan perjalanan kita mencari daerah baru untuk memasarkan barang-barang kita. Bukan berarti bahwa kita kecewa karena di sini barang-barang kita tidak banyak yang laku.”

“Aku kira itu adalah cara yang lebih baik daripada kita pergi dengan diam-diam. Pada kesempatan lain, kita akan dapat datang lagi jika kita perlukan tanpa merasa cangung,” berkata Mahisa Ura.

Demikianlah, maka mereka bertiga pun sepakat untuk pergi ke rumah Ki Bekel. Bukan untuk mendesak agar Ki Bekel segera menentukan pilihan, batu akik yang mana yang dikehendakinya. Tetapi mereka akan minta diri.

Ketika mereka benar-benar datang ke rumah Ki Bekel setelah senja, Ki Bekel terkejut. Sebelum ketiga orang itu mengatakan maksudnya, maka Ki Bekel telah mendahuluinya, “Maaf Ki Sanak, Aku belum sempat datang untuk menentukan yang manakah yang ingin aku ambil dari batu-batu akik yang aku sisihkan itu.”

Mahisa Ura mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Maaf Ki Bekel. Bukan maksudku untuk mempersoalkan tentang batu-batu berharga itu. Tetapi kami ingin minta diri, bahwa kami akan melanjutkan perjalanan.”

“Kemana?” bertanya Ki Bekel.

“Aku akan mendatangi padukuhan-padukuhan. Mungkin aku mendapat kesempatan untuk menawarkan barang-barangku. Sementara itu, aku pun dapat mengenali daerah yang lebih luas lagi,” jawab Mahisa Ura.

Ki Bekel mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Ura pun berkata, “Batu-batu akik yang Ki Bekel sisihkan itu akan kami tinggalkan. Kami berniat dalam waktu yang tidak lama, kami akan datang lagi ke padukuhan ini.”

Ki Bekel tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Kami akan menunggu kedatangan kalian kembali. Tetapi sebenarnya batu-batu akik itu tidak usah kalian tinggalkan.”


“Tidak apa-apa Ki Bekel. Kami masih membawa beberapa yang akan dapat kami jual di sepanjang perjalanan kami,” jawab Mahisa Ura.

Ki Bekel tidak dapat menolak. Karena itu, maka ia hanya dapat mengucapkan terima kasih dan benar-benar mengharap ketiganya untuk datang kembali.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun telah meninggalkan banjar padukuhan. Mereka sama sekali tidak mengatakan, kemana mereka akan pergi. Mereka hanya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu yang ramah dan baik hati.

Namun dalam pada itu, ketiga orang itu pun telah memasuki tugas mereka yang berbahaya. Mereka benar-benar telah mendekati padepokan orang-orang bertongkat yang sangat berbahaya.

Namun mereka harus menunggu sampai matahari terbenam. Jika malam menjadi gelap, maka mereka akan merayap mendekati padepokan itu untuk melihat, apakah mereka akan dapat berbuat lebih jauh lagi daripada sekedar melihat-lihat.

Untuk beberapa lamanya, mereka masih mempunyai waktu untuk beristirahat dan mempersiapkan diri menghadapi tugas yang sangat berbahaya itu.

Mahisa Ura yang pernah sampai ke lingkungan yang mereka datangi itu, berusaha untuk mengingat kembali, apa yang pernah dilihatnya sebelumnya.

“Tetapi yang aku ketahui tidak begitu banyak,” berkata Mahisa Ura.

“Kita akan melihat nanti,” jawab Mahisa Murti, “Tetapi bahwa kita telah mendekati sasaran itu adalah satu hasil yang besar. Terserah kepada kita, apakah kita akan dapat menyelesaikan atau tidak.”

Untuk menunggu waktu yang paling baik, maka mereka bertiga telah menunggu sebuah tikungan sungai kecil yang agaknya tidak pernah didatangi orang. Mereka berada di atas bebatuan, di balik gerumbul-gerumbul liar. Dari tempat itu, mereka harus merayap beberapa puluh tonggak lagi.

“Malam ini kita akan melihat, apakah yang dapat kita lakukan kemudian,” berkata Mahisa Murti, “Namun mungkin kita harus melihatnya pula di siang hari setelah kita mendapat gambaran yang lebih utuh dari padepokan ini. Di siang hari mungkin kita akan mendapat beberapa keterangan dari lingkungan di sekitarnya yang harus kita amati pula sebelumnya.”

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan memanfaatkan kehadiran kita di sini sebaik-baiknya. Kita harus mendapat keterangan sebanyak-banyaknya. Dengan bahan-bahan itu maka kita akan menentukan sikap. Mungkin langkah kita terbatas dengan sekedar memberikan laporan kepada Pangeran Singa Narpada. Tetapi mungkin kita akan mengambil langkah-langkah lebih jauh tanpa berhubungan dengan Pangeran Singa Narpada lebih dahulu.”

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Padepokan itu sampai saat ini masih merupakan bayangan dikegelapan bagi kita. Kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya dan kita belum tahu lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian maka kita akan mulai dari permulaan sekali.”

“Ya,” jawab Mahisa Ura, “sebelumnya memang tidak ada keterangan yang dapat aku berikan, selain arah dari padepokan ini.”

“Itu sudah cukup,” desis Mahisa Murti, “adalah kewajiban kita untuk mengumpulkan keterangan lebih banyak lagi.”

Ketiga orang itu membiarkan malam berlalu perlahan-lahan. Langit yang membentang digayuti oleh bintang-bintang yang berkeredipan.

Mahisa Murti pun kemudian bangkit sambil menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Marilah. Agaknya waktunya telah tiba.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian bangkit pula. Dengan nada datar Mahisa Pukat berkata, “Aku mempunyai dugaan, bahwa letak padepokan ini ada hubungannya dengan batu besar yang berwarna kehijau-hijauan itu. Batu itu adalah batu yang berharga meskipun bukan yang terbaik. Tetapi dalam ujud yang sangat besar, maka batu itu mempunyai nilai yang sangat mahal. Apalagi menilik orang bertongkat yang pada ujungnya terdapat pecahan batu itu pula yang setelah digosok nampak menjadi sangat bagus.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Mahisa Pukat. Bahkan katanya, “Aku yakin, orang bertongkat itu keluar dari padepokan ini pula. Karena itu, maka tidak mustahil bahwa kita pun harus berhadapan lagi dengan harimau. Mungkin harimau yang sebenarnya. Tetapi mungkin harimau jadi-jadian.”

Mahisa Pukat bahkan telah berkata pula, “orang itu mempunyai ilmu gendam. Mungkin ilmu itu ditujukan untuk menggerakkan harimau. Tetapi mungkin pula untuk yang lain. Ilmu itu adalah ilmu yang mampu menguasai tingkah laku binatang yang buas sekalipun.”

Mahisa Murti dan mengangguk-angguk pula. Katanya, “Kita memang harus berhati-hati.”

Demikianlah mereka bertiga telah dengan sangat hati-ha-ti melangkah menuju ke padepokan dari orang-orang bertongkat itu. Mereka menyadari bahwa orang bertongkat yang dijumpainya di tepi hutan dan yang kemudian datang ke banjar, tentu sudah memperhitungkan kemungkinan kehadirannya di padepokan itu. Dengan demikian maka mungkin sekali bahwa orang bertongkat itu telah menyiapkan sejenis penyambutan yang sangat menarik.

Karena itulah, maka mereka bertiga telah benar-benar mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Mahisa Murti yang menjadi tegang itu pun berdesis, “Kita akan berbuat sebaik-baiknya. Tetapi segala sesuatu akan kita serahkan kepada Yang Maha Agung. Jika tugas kita ini dires-tuinya, maka kita tentu akan berhasil apapun yang kita hadapi.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk. Me-reka pun telah melambari usaha mereka dengan sikap yang sama, dengan kesadaran yang tinggi, bahwa yang mereka lakukan adalah usaha semata-mata.

Selangkah demi selangkah ketiga orang itu menuju ke sebuah padepokan yang tidak mereka ketahui sebelumnya, ujud serta sifat dari lingkungannya. Dengan kemampuan serta ketajaman pengamatan mereka, maka mereka berusaha untuk mendekati dinding padepokan di bagian samping.

Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka mendengar suara tertawa seseorang. Perlahan sekali. Tetapi suara itu rasa-rasanya tajam menusuk sampai ke pusat jantung.

Ketiga orang itu pun kemudian telah berjongkok di antara batang-batang ilalang. Mereka memusatkan daya tahan mereka untuk melindungi jantung mereka dari serangan suara tertawa itu.

Meskipun Mahisa Ura sudah berhasil membuka kemungkinan untuk meningkatkan daya tahan di dalam dirinya, namun masih terasa jantungnya bagaikan akan meledak. Tetapi untunglah bahwa suara itu pun kemudian menjadi lenyap.

“Gila,” geram Mahisa Ura, “kedatangan kita telah diketahuinya.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya, “orang ini bukan orang bertongkat itu. Serangannya mempunya bobot yang berbeda.”

Mahisa Ura termangu-mangu. Ia tidak dapat membedakan serangan itu dengan serangan yang pernah dialaminya di dekat batu yang berwarna kehijauan itu. Namun pada waktu itu, ia masih belum memiliki kemampuan dasar sekalipun untuk meningkatkan daya tahannya terhadap serangan semacam itu.

Namun dalam pada itu Mahisa Pukat menyahut, “Ya. Aku merasakan bahwa serangan ini memiliki tingkat yang lebih berbahaya. Karena itu kita memang harus berhati-hati.”

Mahisa Ura menjadi berdebar-debar. Ia baru saja sampai pada satu tingkat di tataran pertama. Jika serangan itu datang dengan bobot yang terlalu berat, maka dadanya pun tentu akan pecah karenanya.

Meskipun demikian Mahisa Ura itu berkata kepada diri sendiri, “Aku sudah mampu menginjak tataran pertama. Aku tentu mampu meningkatkannya dalam keadaan yang memaksa.”

Namun serangan itu tidak datang lagi. Yang terdengar kemudian adalah suara lembut, “Luar biasa. Kalian masih sangat muda. Namun kalian telah memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Jarang sekali terjadi keanehan seperti ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi mereka dengan hati-hati telah mengetrapkan semua ilmu dan kemampuannya sampai tataran tertinggi untuk menghadapi segala kemungkinan.

Mahisa Ura pun telah bersiap-siap pula. Tetapi ia masih saja dibayangi oleh perasaan rendah diri di hadapan kedua anak muda itu. Apalagi jika mereka harus berhadapan dengan orang yang berilmu tinggi.

“Anak-anak muda,” berkata suara itu perlahan-lahan, “aku ingin menguji kemampuanmu. Tetapi tidak di dekat padepokan ini. Kita harus sedikit menjauh, agar kita tidak menarik perhatian orang-orang padepokan itu.”

“Apakah kau bukan orang padepokan itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku adalah pemimpin padepokan itu,” jawab orang yang tidak menampakkan dirinya itu, “Tetapi jika kita menarik perhatian para penghuninya, maka kalian akan mati dibantai oleh anak-anakku sehingga kau tidak akan berujud lagi. Tetapi jika kita menyingkir dan bertempur di tempat lain, kita akan mendapat kesempatan untuk menguji kemampuan kita. Mungkin kalian yang ingin mengetahui sampai di mana tingkat kemampuan kalian. Tetapi mungkin juga aku. Nah, apakah kalian bersedia? Sebenarnyalah kalian memang tidak mempunyai pilihan lain. Seandainya kalian menolak, dan kalian jatuh ke tangan anak-anakku, maka adalah salahmu sendiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Ketika mereka berpaling ke arah Mahisa Ura, maka Mahisa Ura sama sekali tidak memberikan kesan apapun juga.

“Namun dalam pada itu sejenak kemudian Mahisa Pukatlah yang menjawab,” Ki Sanak. Jika aku memenuhi permintaanmu, sama sekali bukan karena kami takut dicincang oleh anak-anakmu. Jika kami menjauhi padepokan ini, karena kami sebenarnya memang ingin menjajagi ilmu dari pemimpin padepokan ini.”

“Bagus,” jawab suara itu, “aku akan menyingkir. Aku akan pergi ke arah tanah berawa-rawa di hutan sebelah.”

“Aku belum pernah melihat tempat itu,” jawab Mahisa Pukat.

“Pergilah ke Barat. Kalian akan sampai ke hutan perdu yang basah. Jika kalian masuk lebih dalam, maka kalian akan sampai ke sebuah rawa yang ditumbuhi pepohonan air. Di tempat itu kalian akan menjumpai sebatang pohon besar yang sudah sangat tua. Aku menunggu di sekitar pohon itu,” jawab suara itu.

“Kau menantang kami bertempur di dalam air?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak. Kita akan bertempur di atas tanah meskipun jika perlu aku tidak akan mengelak jika kalian ingin bertempur di dalam rawa-rawa?” jawab suara itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu suara itu berkata lagi, “Aku akan mendahului kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun sejenak kemudian Mahisa Murti itu pun berdesis, “Marilah. Kita akan menjajagi kemampuan orang yang mengaku sebagai pemimpin padepokan ini.”

“Ia sangat sombong,” berkata Mahisa Pukat.

“Ya. Tetapi mungkin orang itu benar-benar memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia berani menantang orang yang kurang dikenalnya justru pada saat ia dengan mudah dapat memanggil anak-anaknya, yang barangkali yang dimaksud adalah murid-muridnya,” berkata Mahisa Murti pula.

“Kita memang harus berhati-hati,” jawab Mahisa Pukat.

Demikianlah mereka bertiga pun segera bersiap. Mahisa Murti yang melihat kekecutan hati Mahisa Ura berkata, “Kau tidak usah berkecil hati. Kau j anganmerasa dirimu terlalu kecil. Jauh lebih kecil dari yang sebenarnya. Seharusnya kau bangkit dan berdiri di atas kenyataanmu yang sebenarnya. Kau bukannya tidak berilmu. Jika kau merasa dirimu terlalu kecil, maka kau akan benar-benar menjadi kerdil dan kehilangan gelar yang pernah kau capai pada masa-masa lampaumu. Kau seorang diri mampu memburu orang yang dikehendaki oleh Singasari. Bahkan pada saat kita berangkat, kau telah menunjukkan kelebihanmu.”

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan mencobanya.”

“Kau tidak usah mencoba,” berkata Mahisa Murti, “kau tinggal mempergunakannya. Kau harus dapat berbuat sebagaimana kau lakukan sebelumnya. Sekarang kau justru telah bertambah. Bukan berkurang. Sadari itu.”

Mahisa Ura mengangguk-angguk kecil. Ia merasa dirinya justru menjadi paling muda di antara anak-anak muda itu. Ia tidak dapat menyingkirkan rasa rendah dirinya setelah ia melihat kenyataan bahwa kedua anak muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Namun ia benar-benar ingin mencoba untuk memulihkan kehangatan darahnya sebagai seorang petugas sandi yang mempunyai nama di Singasari.

Demikianlah maka mereka bertiga pun telah bergeser dari tempatnya menuju ke tempat yang telah ditunjuk oleh suara yang tidak dilihat siapa orangnya itu.

Beberapa saat kemudian, maka ketiga orang itu pun telah memasuki hutan perdu yang basah. Kemudian dalam kegelapan mereka sampai ke tempat yang berlumpur.

“Kita sudah sampai ke daerah yang berawa-rawa itu,” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Hanya karena ketajaman penglihatan mereka sajalah, maka mereka mengetahui apa yang ada di sekitarnya.

“Kita mencari pohon benda yang disebutkannya itu,” desis Mahisa Murti.

“Kita harus berhati-hati. Mungkin ini merupakan satu jebakan yang dapat menyeret kita ke dalam kesulitan,” berkata Mahisa Ura.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, mereka pun telah tertegun. Dalam kegelapan mereka melihat sebatang pohon benda yang besar dan berdaun rimbun, sehingga dahan-dahannya menebar melindungi daerah yang cukup luas.

Untuk beberapa saat ketiga orang itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun segera bersiap ketika mereka mendengar suara tertawa perlahan-lahan.

“Luar biasa,” berkata suara itu, “kalian adalah orang-orang yang sangat berani. Kemarilah, aku berada di sini.”

Mahisa Murti memberi isyarat kepada Mahisa Pukat untuk menjawab. Sebagaimana pernah mereka lakukan, selagi mereka berbicara, maka salah seorang di antaranya akan memusatkan pendengarannya untuk mengetahui arah suara itu.

Dengan nada datar maka Mahisa Pukat pun menjawab, “Baiklah Ki Sanak. Apakah tempat itu cukup luas untuk menjajagi kemampuan kita masing-masing.”

“Lebih dari cukup,” terdengar pula jawaban, “aku sudah terlalu lama menunggu.”

“Sudah kami katakan, bahwa kami masih harus mencari tempat ini,” berkata Mahisa Pukat, “untunglah, bahwa kami segera menemukannya.”

“Bukahkah aku sudah memberikan ancar-ancar?” bertanya suara itu.

“Ya. Bukankah kami masih harus mencarinya?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Baiklah,” jawab suara itu, “sekarang, kemarilah. Aku ada di sini. Apakah kau belum menemukan tempatku?”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Marilah. Kita akan mendekat.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata Mahisa Murti itu adalah pertanda bahwa ia telah menemukan arah suara yang tidak mereka lihat orangnya itu.

Namun keduanya yakin, bahwa orang itu bukannya orang bertongkat yang pernah mereka jumpai dan yang pernah datang ke banjar. Bahkan mereka menduga bahwa orang itu mempunyai landasan ilmu yang berbeda pula menilik sentuhan getar suaranya yang berbeda. Juga cara orang itu menyinggung sasarannya. Meskipun getaran itu terasa, tetapi sama sekali bukanlah merupakan serangan yang menyakitkan jantung. Getaran yang menyentuh sasaran terasa lunak yang tidak bersifat permusuhan meskipun kata-kata yang terlontar merupakan tantangan bagi mereka.

Meskipun demikian ketiga orang itu tidak kehilangan kewaspadaan. Segala kemungkinan dapat terjadi pada keadaan seperti itu. Mungkin yang,mereka hadapi termasuk sejenis jebakan yang berbahaya, sebagaimana tempatnya yang nampak sangat asing…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar