Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 073

Mahisa Semu kemudian menerima senjatanya. Ia langsung dapat mengenalinya bahwa senjata itu adalah senjatanya. Karena itu, maka sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “akhirnya senjata itu kembali kepadaku,” akan tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “kenapa kau ambil senjataku he?”

Orang itu tidak segera menjawab.

Ketika Mahisa Semu membentak, orang itu terdorong beberapa langkah surut karena terkejut dan ketakutan.

Akhirnya Mahisa Semu sendiri yang memberikan jawaban, “Kau kira kami benar-benar perampok he?”

“Kami tidak tahu anak-anak muda,” suara orang itu gemetar.

Mahisa Semu memandangi orang itu beberapa saat. Namun yang dikatakan kemudian mengejutkan orang itu, “Sudahlah. Pergilah. Tetapi senjata kedua orang saudaraku belum kembali.

Orang itu tidak percaya kepada telinganya, bahwa ia begitu saja diminta untuk meninggalkan tempat itu. “

Tetapi Mahisa Semu telah membentaknya, “Cepat pergi. Atau kau ingin aku mengambil sikap lain.”

Dengan tergesa-gesa orang itu pun kemudian telah melangkah meninggalkan Mahisa Semu.

Melihat hal itu, maka orang yang telah menyembunyikan senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak lagi merasa takut untuk mengembalikannya. Apalagi nampaknya senjata itu bukan senjata khusus seperti milik anak muda yang satu itu. Karena itu, maka mereka pun telah menyerahkan senjata-senjata itu pula.

Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun menyadari, bahwa prajurit-prajurit itu tentu tidak akan puas dengan peristiwa yang baru saja terjadi.

Dengan demikian maka mereka telah menduga bahwa akan datang pasukan segelar sepapan untuk menangkap mereka bertiga. Bukan saja jumlahnya yang akan berlipat ganda. Tetapi juga kemampuan orang-orangnya. Senapati yang akan memimpin pasukan itu tentu orang pilihan.

Karena itu, maka mereka tidak akan dapat tinggal terlalu lama di satu tempat. Mereka harus segera meninggalkan padukuhan itu untuk menghindari kemungkinan yang lebih buruk lagi.

Beberapa orang padukuhan itu, telah memberanikan diri untuk minta maaf kepada anak-anak muda itu. Bahkan mereka mengucapkan terima kasih, bahwa anak-anak muda itu tidak mendendam mereka. Apalagi melakukan tindakan-tindakan yang dapat mencelakakan mereka.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kami tahu bahwa bukan karena sikap kalian sendiri. Para prajurit memang telah memberikan keterangan yang tidak benar kepada kalian.”

“Kami juga tidak berani menentang mereka,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Lupakan saja. Kami harus segera meninggalkan tempat ini. Kalian tentu tahu, bahwa para prajurit yang sesat itu tentu tidak mau diketahui tingkah lakunya oleh para pemimpin di Kediri. Karena itu, maka mereka tentu akan menghapuskan saksi dari tindakan mereka. Kami bertiga harus dihapuskan, agar kami tidak membuat laporan tentang mereka,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu mengangguk-angguk. Demikian orang-orang lain yang mendengar jawaban Mahisa Murti.

Karena itu, maka mereka pun telah melepas Mahisa Murti meninggalkan padukuhan mereka. Orang-orang dari padukuhan yang lain pun kemudian telah kembali pula ke padukuhan masing-masing. Namun mereka tidak henti-hentinya berbicara tentang ketiga anak muda itu. Mereka akhirnya menjadi tidak jelas, apakah anak-anak muda itu benar-benar petugas sandi dari Singasari atau dari Kediri atau bahkan bukan sama sekali.

“Siapapun mereka, tetapi mereka bukan pendendam. Mereka sama sekali tidak membalas kita yang telah memperlakukan mereka dengan kasar sebagaimana kita memperlakukan para perampok,” desis salah seorang dari mereka.

Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi terasa bulu-bulu tengkuknya meremang jika ia mengingat bahwa anak-anak muda itu akan dapat bertindak lebih jauh lagi. Untunglah bahwa hal itu tidak dilakukannya.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sambil menggandeng Mahisa Amping telah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka berusaha untuk tidak terlibat lagi dalam pertempuran melawan para para prajurit Kediri meskipun mereka semakin yakin bahwa tentu ada sesuatu yang tidak wajar dibalik langkah-langkah yang diambil oleh para prajurit itu.

Karena itulah, maka mereka telah menelusuri jalan-jalan yang lebih kecil. Lembah-lembah yang terasing dan jalan-jalan sempit di pinggir hutan.

Sekali-sekali mereka memang terpaksa mengikuti jalan lewat padukuhan-padukuhan kecil. Namun agaknya orang-orangpadukuhan itu tidak banyak memperhatikan mereka, sehingga dengan demikian anak-anak muda itu menduga bahwa perintah para prajurit itu tidak menjalar sejauh itu.

Di malam hari anak-anak muda itu tetap bermalam di pategalan atau di padang perdu. Mereka tidak mau bermalam di banjar-banjar padukuhan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Namun anak-anak muda itu tidak pernah bergeser arah. Meskipun sekali-sekali mereka harus menempuh jalan berliku-liku, namun mereka tentu akan kembali ke arah yang seharusnya dengan ancar-ancar yang tidak pernah bergeser dari tempatnya.

Namun ketika mereka pagi-pagi menyeberangi sebuah sungai yang dibatasi oleh dinding-dinding lereng yang agak tinggi, maka mereka tidak mengira sama sekali bahwa demikian mereka memanjat tanggul, maka di hadapan mereka berdiri sekelompok prajurit dalam ciri-ciri lengkap, prajurit Kediri.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar. Karena itu, maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghadapi sekelompok prajurit itu. Apalagi menurut perhitungan mereka, kelompok itu jumlahnya tidak lebih banyak dari kelompok yang pernah mereka temui di saat mereka ditangkap oleh orang-orang padukuhan.

Dalam pada itu, pemimpin prajurit yang berada di belakang tanggul itu pun maju beberapa langkah. Namun agak diluar dugaan bahwa prajurit itu berkata, “Siapakah kalian anak-anak muda?”

Mahisa Murti termangu-mangu. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Namun akhirnya Mahisa Murti itu pun menjawab, “Aku Mahisa Murti. Ketiga anak muda itu adalah adikku.”

Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kalian datang dari mana atau akan pergi ke mana?”

“Kami adalah pengembara,” jawab Mahisa Murti, “kami sudah melewati daerah yang panjang sekali. Menuruni lembah dan menelusuri lereng-lereng pegunungan.”

“Apakah tujuan kalian sebenarnya?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Sekedar mencari pengalaman,” jawab Mahisa Murti.

Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya pula, “Apakah kalian melewati daerah yang luas di dataran seberang sungai itu?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti.

“Apakah kalian pernah bertemu dengan kelompok-kelompok prajurit seperti kami?” bertanya orang itu pula.

“Ya,” jawab Mahisa Murti pula, “kami bertemu dengan prajurit-prajurit. Bahkan prajurit berkuda yang meronda di daerah yang luas. Tetapi nampaknya mereka tidak menyentuh daerah dekat di seberang sungai ini.”

Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sayang Ki Sanak. Kami harus melihat apakah ada yang mencurigakan pada kalian. Apakah kalian bukan bagian dari prajurit-prajurit itu yang sengaja menyusup ke daerah ini.”

“Aku tidak mengerti? Apakah kalian menganggap bahwa prajurit-prajurit di dataran itu lain dari kalian?” bertanya Mahisa Murti. Lalu katanya, “Menurut penglihatan kami sama sekali tidak ada bedanya antara kalian dengan para prajurit yang kami temui di seberang. Tetapi tidak di padukuhan-padukuhan terdekat.”

“Dalam ujud lahiriah memang tidak ada bedanya,” jawab pemimpin prajurit itu, “tetapi kami adalah prajurit Kediri yang berjalan menurut jalur pemerintahan Kediri yang sah. Sementara itu masih saja ada sekelompok prajurit yang mencoba untuk mengambil langkah-langkah yang tidak bijaksana. Setelahbeberapa orang pangeran gagal mengambil kebijaksanaan lain daripada kebijaksanaan Sri Baginda, maka kini ada lagi seorang pangeran yang melakukannya.”

“Pangeran Kediri maksudmu? Melawan pemerintahan Kediri?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku tidak tahu pasti, siapakah kalian sebenarnya. Jika kalian petugas sandi dari para prajurit yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda itu pun tidak apa-apa. Bahkan kau tentu akan mengatakan kepada pangeran itu, bahwa langkahnya adalah sesat. Apapun yang akan dilakukan oleh Kediri terhadap Singasari harus dilakukan dalam ikatan yang satu. Kita tidak akan dapat bertindak sendiri-sendiri.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Mahisa Pukat bertanya, “Pangeran?. Siapakah yang telah mengambil kebijaksanaan yang lain itu?”

Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Bahkan pemimpinnyam pun untuk beberapa saat tidak menjawab. Rasa-rasanya mereka sedang mencerna arti pertanyaan Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka anak-anak muda itu tentu bukan dari golongan para prajurit yang mempunyai kebijaksanaan terpisah dari kebijaksanaan Kediri.

Namun dengan demikian pemimpin prajurit itu berkata, “Sudahlah. Jika kalian adalah pengembara, maka silahkan melanjutkan perjalanan. Kami tidak akan mengganggu kalian. Tetapi kalian tidak perlu ikut memikirkan persoalan kami.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Baiklah kami meneruskan perjalanan kami.

“Silahkan,” berkata pemimpin sekelompok prajurit itu, “Meskipun demikian, berhati-hatilah. Kadang-kadang kita dapat saja terantuk langit. Apalagi dalam keadaan yang buram seperti sekarang ini.”

“Terima kasih Ki Sanak. Kami akan berhati-hati,” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah sepeninggal para pengembara itu, maka para prajuritpun telah bergerak pula. Keterangan anak-anak muda itu akan dapat mereka pakai sebagai bahan untuk menyusun pengawasan daerah yang luas di seberang sungai.

Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah menyeberangi satu daerah yang sangat berbahaya bagi mereka. Seakan-akan mereka telah terlepas dari satu daerah yang luas yang akan dapat menjerat mereka ke dalam bencana. Meskipun mereka masih berada di wilayah Kediri, tetapi ternyata bahwa mereka telah keluar dari batas satu lingkungan yang seakan-akan telah memisahkan diri dari Kediri.

Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sikap seperti itu bukannya sikap yang pertama kali. Telah beberapa kali terjadi hal seperti itu di Kediri. Mereka sempat menjadi heran, bahwa masih saja ada yang mengulangi sikap itu, meskipun menurut pengalaman, orang-orang yang mengambil kebijaksanaan sendiri itu tidak pernah dapat berhasil.

Demikianlah, maka keempat orang itu telah melanjutkan perjalanan. Mereka kadang-kadang memang sempat menarik perhatian beberapa orang padukuhan, justru karena di pinggang mereka tergantung senjata.

Namun perjalanan mereka memang masih panjang. Mereka masih harus menuruni lembah dan menyusuri lereng-lereng pegunungan, sehingga mereka akan sampai ke padepokan mereka.

Tetapi bagaimanapun juga, memang sulit bagi mereka untuk menghindarkan diri sama sekali dari kemungkinan buruk di perjalanan. Apalagi mereka tidak melalui jalan-jalan yang telah mereka kenal. Mereka hanya berjalan menurut arah sesuai dengan ancar-ancar.

Namun dalam pada itu, di perjalanan yang panjang, di daerah-daerah yang sepi, Mahisa Semu sempat mengembangkan ilmu yang telah dimilikinya. Ternyata beberapa pengalaman di sepanjang perjalanan itu telah memberikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikembangkannya pada ilmu yang telah di sadapnya dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Tetapi persoalan pun telah datang lagi ketika dalam perjalanan itu mereka sempat singgah di pasar. Agaknya Mahisa Amping masih saja berbuat sesuka hatinya. Dengan tidak merasa bersalah sama sekali, anak itu telah berteriak-teriak ketika tangannya ditangkap oleh seorang laki-laki yang duduk di samping seorang penjual telur.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.

“Anak itu anak siapa?” laki-laki itu justru bertanya.

“Adikku,” jawab Mahisa Semu.

“Jadi kau ajari adikmu yang kecil ini untuk mencuri he?” bentak laki-laki itu.

“Mencuri apa?” bertanya Mahisa Semu.

“Mencuri telur. Ia telah mengambil telur yang diperdagangkan oleh isteriku,” jawab laki-laki itu.

Mahisa Semu memandang Mahisa Amping dengan kerut di dahi. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, seorang berwajah seram telah datang sambil mengumpat kasar.

“Siapa yang telah melempari lutungku dengan telur he?” bertanya laki-laki berwajah seram itu.

“Bukan kami,” dengan tergesa-gesa penjual telur itu menjawab, “anak ini telah mencuri telur kami.”

Orang berwajah seram itu memandang Mahisa Amping dengan marah. Katanya, “Ternyata kau yang telah melempari lutungku dengan telur. Kau lihat, lutung itu menjadi marah dan meloncat-loncat. Jika lutung itu lepas, maka kepalamu harus dipakai sebagai gantinya.”

Mahisa Amping hanya terdiam sambil memandangi orang-orang itu berganti-ganti.

Mahisa Semu lah yang kemudian berkata, “Aku minta maaf Ki Sanak. Anak ini adalah adikku. Aku akan mengganti harga telur yang telah diambilnya.”

“Kau dapat mengganti harga telur itu. Tetapi kau tidak akan dapat mengganti kemarahan lutungku itu. Apalagi jika ia lepas dan berlari ke pategalan. Tentu sulit sekali untuk menangkapnya kembali,” geram orang berwajah seram itu.

“Kami minta maaf yang sebesar-besarnya,” berkata Mahisa Semu.

“Bukan sekedar minta maaf. Anak itu harus dihajar,” berkata orang itu.

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun nampaknya orang yang berwajah seram itu tidak dapat diajak berbicara dengan baik.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti telah mengangkat Mahisa Amping dan mendukungnya. Kemudian katanya, “Marilah, kita tinggalkan tempat ini.”

“Anak ini harus dihajar,” berkata orang berwajah seramitu.

“Aku akan melakukannya sendiri,” berkata Mahisa Murti, “anak ini adalah adikku. Aku memang tidak mengajarinya mencuri. Karena itu ia memang harus dihukum. Tetapi bukan orang lain yang wajib menghukumnya. Tetapi aku sendiri.”

“Tetapi ia bukan sekedar mencuri,” jawab orang berwajah seram itu, “tetapi ia telah menyakiti lutungku.”

“Lutung itu akan segera menjadi tenang. Bahkan tentu lebih cepat dari kau sendiri,” jawab Mahisa Murti.

“Gila kau.” orang itu semakin marah.

Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Gantilah harga telur yang pecah itu.”

Mahisa Semu memang ingin membayarnya. Karena itu,maka ia pun segera mengambil sekeping uang dan diberikan kepada pemilik telur itu.

“Tetapi kau tidak dapat membayar harga kemarahan lutungku,” berkata orang itu.

“Lutungmu sudah tenang. Karena itu kau tidak usah marah-marah terus. Kau perlu belajar dari lutungmu itu untuk melupakan peristiwa seperti ini. Kami sudah minta maaf. Atau barangkali kami dapat menebus beaya untuk memandikan lutungmu itu,” bertanya Mahisa Pukat.

“Persetan,” geram orang itu, “jangan menghina aku. Aku adalah orang yang paling terpandang disini.”

“Sekali lagi kami minta maaf,” berkata Mahisa Semu.

“Tunggu. Aku harus memperlihatkan lutung itu kepadamu. Lutung yang telah menjadi kotor karena pokal anak gila itu,” berkata orang berwajah seram itu.

Tanpa menunggu jawaban, orang itu pun telah pergi ke tempat sepasang lutungnya diikat. Namun dalam pada itu, penjual telur itu berkata, “Larilah. Kedua ekor lutung itu adalah binatang yang sangat buas. Orang itu mempergunakan kedua ekor lutung itu untuk memeras orang lain. Tidak ada seorang-pun yang dapat melawan lutung itu. Bahkan lutung itu mampu membunuh dua orang bersenjata. Dua orang yang bertubuh tinggi kekar dan berwajah garang.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping memang termanggu-mangu sejenak. Sebenarnyalah dengan mendukung Mahisa Amping, Mahisa Murti ingin membawanya pergi. Namun peringatan itu telah mendesaknya untuk bertindak lebih cepat.

Karena itu, sebelum orang itu sempat melepaskan lutungnya, maka Mahisa Murti telah memberi isyarat untuk meninggalkan tempat itu.

Namun agaknya mereka terlambat. Demikian mereka berada di depan pasar, maka dua ekor lutung yang tiba-tiba menjadi buas telah menghadang mereka.

Pasar itu memang menjadi bubar. Orang-orang pasar itu telah mengenal betapa buasnya dua ekor lutung yang ukurannya memang terlalu besar bagi lutung kebanyakan. Warnanya yang hitam kelam, serta ekornya yang panjang memberikan kesan yang terlalu garang.

“Kau akan lari kemana?” bertanya orang berwajah seram itu.

“Kami tidak ingin memperpanjang masalah ini,” berkata Mahisa Murti, “kami ingin pergi saja dari tempat ini.”

“Tidak. Kau harus memberikan satu tebusan atas kelancangan adikmu itu,” berkata orang itu.

“Tebusan apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Seharga adikmu itu,” jawab orang itu.

“Bagaimana kita dapat menilai harga seseorang?” bertanya Mahisa Murti.

“Kau bayar seharga timang emas. Tidak usah tretes berlian,” berkata orang itu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kau pergunakan peristiwa ini sebagai alasan untuk memeras?”

“Apapun yang kau katakan. Jika kau tidak mau memenuhinya maka kau lihat, kedua ekor lutungku ini menjadi buas,” berkata orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kedua ekor lutung itu memang nampak buas sekali. Bahkan Mahisa Amping pun ternyata telah menjadi ketakutan.

“Kalian tidak akan dapat melarikan diri,” berkata orangitu.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “suruhlah kedua ekor lutungmu itu pergi. Aku akan memberimu beberapa keping uang. Tetapi sudah barang tentu tidak seharga timang emas sebagaimana kau katakan.”

“Aku tidak mau mendengar kau menawar lagi. Serahkan uang itu, atau aku perintahkan lutungku untuk mengoyak dagingmu,” geram orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kau tidak dapat menakut-nakuti aku. Kau dapat menakut-nakuti adikku. Tetapi tentu tidak menakut-nakuti kami yang tua-tua ini. Karena itu, pergilah sebelum kau menyesal. Kami memang tidak segan-segan membunuh lutungmu, karena tentu lebih baik membunuh lutungmu daripada membunuhmu.”

Jawaban Mahisa Pukat itu memang sangat mengejutkan orang itu. Justru untuk sesaat ia terdiam. Namun kemudian orang itu berkata lantang. “Tidak seorang pun yang pernah berkata demikian kepadaku. Karena itu, maka jangan menyesal. Lutungku akan mengoyak mulutmu.”

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “meskipun hanya seekor lutung, tetapi sebaiknya kau mencegahnya agar lutungmu tidak harus mati karena ketamakanmu.”

Tetapi orang itu memotong, “Tutup mulutmu. Ternyata kau adalah orang asing yang sombong. Tetapi kau harus menebus kesombonganmu dengan nyawamu. Lutungku akan sanggup membunuhmu berempat. Bahkan seekor saja dari keduanya.”

“Jangan mengigau,” jawab Mahisa Pukat, “betapapun kau banggakan lutung-lutungmu, tetapi keduanya tidak akan mungkin mengimbangi kemampuan seseorang. Kami dapat mempergunakan senjata kami. Sedang lutung-lutungmu tidak.”

“Cukup,” teriak orang itu, “aku tidak hanya sekedar ingin berbicara, mengancam dan katamu memeras. Tetapi aku akan membuktikan bahwa kau harus melakukannya. Atau mati disini. Tidak akan ada orang yang menuntut kematian kalian karena tidak seorang pun yang mengenal kalian.”

“Seandainya aku ingin memenuhi permintaanmu itu, aku tidak mempunyai uang,” jawab Mahisa Pukat.

“Persetan,” geram orang itu, “semuanya telah terlambat. Seandainya kau bayar dengan apapun juga, sebanyak berapapun juga, aku tidak akan menarik pendirianku untuk membunuhmu.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Jika itu yang kau kehendaki, maka biarlah aku memenuhinya. Aku akan membunuh kedua lutungmu yang sering kau pergunakan untuk menakut-nakuti orang dan kemudian memerasnya. Meskipun sebenarnya aku merasa iba untuk melakukannya. Kedua ekor lutung itu sama sekali tidak bersalah.”

Namun Mahisa Pukat tidak dapat berbicara lebih banyak. Tiba-tiba lutung yang nampak buas itu menjadi semakin buas.

Mahisa Amping yang didukung oleh Mahisa Murti memang menjadi ketakutan. Tetapi Mahisa Murti melihat, bahwa kedua ekor binatang itu memang cukup berbahaya.


Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menyerahkan Mahisa Amping kepada Mahisa Semu sambil berkata, “Jika lutung itu mulai menyerang, tarik pedangmu. Mungkin kau harus melindungi anak ini dan bahkan dirimu sendiri dengan pedang.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sebenarnya ia pun sama sekali tidak gentar menghadapi lutung yang buas itu. Tetapi ia percaya bahwa Mahisa Murti memiliki pengamatan yang lebih tajam dari pengamatannya.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah bersiap menghadapi lawan yang aneh. Mereka tidak berhadapan dengan dua orang perwira prajurit Kediri atau berhadapan dengan dua orang perampok atau pemimpin perampok yang berilmu sangat tinggi, tetapi mereka berhadapan dengan dua ekor lutung.

Namun demikian, Mahisa Murti sempat berkata kepada Mahisa Semu, “Amati gerak gerik lutung itu. Dalam rangka memahami gerak naluriah binatang dalam mempertahankan hidupnya, kau akan menemukan unsur-unsur yang akan berarti untuk melengkapi unsur-unsur gerak yang telah kau pelajari.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ternyata yang akan terjadi itu ada gunanya juga. Bukan sekedar satu permainan yang lain dari yang pernah mereka lakukan sebelumnya.

Sejenak kemudian, maka orang berwajah seram itu telah memberikan isyarat kepada kedua ekor lutungnya itu untuk meloncat menyerang.

Sebenarnyalah, dengan teriakan nyaring kedua ekor lutung itu telah menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya seolah-olah mengetahui bahwa mereka masing-masing harus menghadapi seorang di antara kedua orang lawan itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak segera mempergunakan senjatanya. Mereka tertarik kepada gerak tangan, kuku, ekor dan bahkan leher lutung itu. Mulutnya yang menganga dan taring-taringnya yang tajam. Sementara itu, teriakan-teriakan yang memekakkan telinga terdengar tanpa henti-hentinya.

Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan ilmunya yang tidak segera dapat dilihat oleh orang lain. Sentuhan tangannya telah menjadi sepanas bara.

Tetapi keduanya memang tidak segera ingin mengusir kedua ekor lutung itu. Jarang sekali mereka mempunyai kesempatan untuk melihat, bagaimana dua ekor binatang yang termasuk tataran yang tinggi itu berkelahi.

Ternyata banyak hal yang menarik bagi anak-anak muda itu. Banyak sekali gerakan yang tidak terduga telah mengejutkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Hanya karena kemampuan mereka yang sangat tinggi sajalah maka mereka mampu menghindari serangan-serangan yang cepat itu.

Namun ternyata kedua ekor lutung yang tidak tahu paugeran perang itu bergerak sekehendak mereka saja. Kasar, liar dan akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang harus selalu berloncatan menghindari itu menjadi jemu juga.

Karena itulah, maka keduanya mulai menyentuh tubuh lutung itu. Sentuhan tangan mereka yang telah menjadi panas bagaikan bara api, sehingga dengan demikian lutung-lutung itu menjadi sangat terkejut.

Kedua ekor lutung itu tidak pernah merasakan sentuhan seseorang demikian panasnya, sehingga dengan serta merta kedua ekor lutung itu telah berloncatan menjauh.

Orang berwajah seram itu tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia pun tidak segera melihat luka bakar lengan lutungnya yang berbulu lebat dan hitam legam itu.

Karena itu, maka orang itu pun telah membentak dengan keras sebagai isyarat bahwa kedua ekor lutungnya itu harus menyelesaikan kedua orang lawannya.

Kedua ekor lutung yang tidak memiliki penalaran itu pun dengan tangkapan naluriah telah meloncat dengan garangnya. Ditambah dengan perasaan sakit pada tubuhnya oleh sentuhan sepanas bara api.

Lutung yang marah itu pun kemudian telah menyerang semakin garang, liar dan buas. Namun dengan demikian, maka lebih banyak yang dapat diamati bukan saja oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi juga oleh Mahisa Semu. Semakin liar kedua ekor lutung itu, gerak-gerak naluriahnya rasa-rasanya menjadi semakin kaya. Kecepatan geraknyapun bagaikan menjadi semakin meningkat pula disamping teriakan-teriakannya yang memekakkan telinga.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru semakin tertarik. Tetapi kedua ekor binatang itu memang menjadi semakin berbahaya. Ternyata kekuatannya pun sangat besar dan serangannya-pun tidak terduga-duga.

Yang lebih dahulu mengusir lutung itu adalah Mahisa Pukat. Ia memang telah menjadi jemu melihat lawannya yang kasar itu, sementara baginya agak terasa aneh, bahwa ia harus berkelahi melawan seekor binatang. Namun demikian, ternyata ada juga keuntungannya bahwa ia dapat mempelajari beberapa hal tentang gerak-gerik lutung yang marah itu.

Karena itulah, maka sekali lagi Mahisa Pukat telah menyentuh lutung itu dengan tangannya yang membara.

Lutung itu berteriak kesakitan. Tetapi naluriahnya telah mendorongnya lagi untuk menyerang Mahisa Pukat. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja tubuhnya terasa tersentuh bara.

Namun dua tiga kali hal itu terjadi, sehingga akhirnya lutung itu pun menjadi semakin buas. Tanpa menghiraukan kekuatan lawan yang membuatnya kesakitan, maka lutung itu telah meloncat menerkam Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat memang agak terkejut. Satu hal yang tidak akan dilakukan oleh seseorang betapapun bodohnya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat harus menahan lutung yang menerkamnya itu. Sekilas nampak mulut lutung yang menganga dengan taringnya yang panjang dan tajam.

Memang tidak ada pilihan lain. Demikian lutung itu menerkamnya, maka Mahisa Murti pun langsung menangkap lehernya dan menahannya agar gigi-gigi yang tajam itu tidak terhunjam ditubuhnya.

Tetapi yang terjadi adalah nasib yang sangat buruk bagi lutung itu. Tangan Mahisa Pukat bukan saja terlalu kuat mencekik leher lutung itu. Tetapi tangannya adalah sepanas bara.

Karena itu, teriakan-teriakan yang keras dari lutung itu perlahan-lahan telah berhenti, sehingga akhirnya lutung itu sama sekali tidak berdaya lagi. Ketika Mahisa Pukat melepaskan lutung itu, maka lutung itu pun telah jatuh terkulai di tanah. Mati.

Orang berwajah seram itu berteriak marah. Ia melihat seekor binatang kesayangannya yang telah beberapa lama dipergunakannya untuk memeras orang-orang yang datang ke pasar itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti masih belum membunuh lawannya. Ternyata gerak-gerik lutung yang kesakitan itu menjadi semakin menarik.

Bahkan Mahisa Murti masih berkata, “Seekor lutungmu sudah mati. Kau harus menarik yang seekor lagi, karena jika tidak, maka lutungmu inipun akan mati juga.”

“Persetan,” geram itu, “akulah yang akan membunuh kalian.”

Ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja orang itu telah menyerang Mahisa Pukat sambil berteriak, “Kau sudah membunuh binatangku. Kau pun harus mati karenanya.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Diamatinya lawannya yang nampak garang itu. Namun setelah menjajagi sejenak, maka orang itu bukan orang yang harus diperhitungkan. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak merasa perlu mempergunakan ilmunya untuk menundukkannya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti pun menjadi jemu melayani lutung yang garang itu. Ketika lutung itu kemudian meloncat menerkamnya, maka Mahisa Murti tidak mempergunakan cara sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat. Namun Mahisa Murti telah mempergunakan ilmunya yang lain. Dengan kekuatan yang sangat besar, maka Mahisa Murti membentur serangan lutung itu tepat pada dahinya, sehinga lutung itu langsung terlempar dan jatuh di tanah. Mati.

Orang yang menyerang Mahisa Pukat itu menjadi semakin marah. Dua ekor lutungnya sudah mati.

Namun ternyata bahwa ia memang bukan lawan Mahisa Pukat. Dengan tanpa mengalami kesulitan apapun juga, Mahisa Pukat telah membuat lawannya yang berwajah seram itu tidak berdaya. Tanpa mempergunakan ilmunya, maka dengan pukulan wajar, orang itu sudah tidak mampu menahannya.

Beberapa kali orang itu terjatuh. Demikian ia berusaha untuk bangkit, maka sekali lagi ia jatuh tersungkur. Sehingga akhirnya, ia tidak lagi mampu untuk berbuat sesuatu.

Mahisa Pukat yang kemudian berdiri disisinya bertanya, “Bagaimana? Sudah puas.”

Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Mahisa Pukat telah memegangi lengannya sambil menariknya bangkit.

“Ayo berdiri,” bentak Mahisa Pukat.

“Ampun, ampun,” orang itu memohon.

“Ayo bangkit. Jika kau tidak mau berdiri, kau akan aku bunuh seperti lutung-lutungmu itu,” bentak Mahisa Pukat.

Demikian takutnya orang berwajah seram itu sehingga akhirnya justru ia berhasil bangkit berdiri, meskipun tertatih-tatih ia berusaha mempertahankan keseimbangan agar mereka tetap dapat berdiri tegak.

“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “apa maumu sekarang setelah kedua ekor lutungmu terbunuh?”

“Aku minta ampun,” orang itu memang benar-benar ketakutan seperti Mahisa Amping melihat kedua ekor lutung itu. Namun yang kemudian telah berani turun dari dukungan Mahisa Semu dan bahkan melihat-lihat tubuh lutung yang sudah terbunuh itu.

“Kau bertanggung jawab atas kematian kedua ekor lutungmu itu,” berkata Mahisa Piikat, “sebenarnya kau memiliki sesuatu yang sangat berharga. Kedua ekor lutung itu telah berhasil kau tuntun untuk satu maksud tertentu. Sayang, keduanya telah kau ajari melakukan sesuatu yang sangat berbahaya bagi orang lain.”

Orang itu tidak menjawab. Namun sekali-kali dipandanginya tubuh kedua ekor lutung yang mati itu.

“Lihat tubuh kedua ekor lutungmu yang mati karena ketamakanmu itu. Namun agaknya kedua ekor lutung itu memang binatang yang sangat berbahaya. Keduanya tentu sudah pernah melukai, bahkan membunuh orang. Tetapi sudah tentu atas tanggung jawabmu karena kedua ekor binatang itu tidak akan berbuat demikian tanpa ada orang yang mengenalkannya,” berkata Mahisa Murti.

Orang itu sama sekali tidak menjawab. Hal itu memang pernah terjadi. Namun ketika kedua ekor lutungnya membunuh orang yang menolak membayar uang yang dimintanya, maka ia masih dapat mencuci tangan. Ia masih dapat berdalih, bahwa kedua orang itu telah mengganggu lutungnya yang garang.

“Nah,” berkata Mahisa Murti, “sekarang apa maumu?”

“Aku mohon ampun,” desis orang itu.

“Lihat orang-orang yang berkerumun sekarang ini,” berkata Mahisa Murti, “tanpa kedua ekor lutungmu, apakah kau mampu melawan mereka.”

“Tidak, tidak,” orang itu menjadi semakin ketakutan.

Orang-orang yang semula bercerai berai ketika mereka melihat kedua ekor lutung itu dilepas, telah bergerak kembali mengelilingi arena ketika mereka melihat kedua ekor lutung itu telah mati. Dengan wajah yang penuh kebencian orang-orang itu memandangi pemilik lutung yang telah menjadi ketakutan itu.

“Apakah kau masih akan memeras mereka?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak, tidak,” jawab orang itu.

“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat, “kali ini kau masih mendapat kesempatan untuk terlepas dari tangan orang-orang sepasar. Tetapi lain kali, kami tidak akan melepaskanmu. Kau akan aku lemparkan kepada orang-orang sepasar yang mendendammu. Yang pernah kau takut-takuti dengan kedua ekor lutungmu.”

“Aku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,” berkata orang itu.

“Yang penting bukan janjimu. Tetapi apa benar kau berbuat sebagaimana kau katakan,” jawab Mahisa Murti.

“Kau boleh melihat kelak,” jawab orang itu dengan suara bergetar.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sekarang lihat lutungmu itu.”

Orang itu memang ragu-ragu. Namun sebenarnyalah ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan lutungnya itu.

Ketika orang itu berjongkok di sebelah lutungnya yang telah mati, ia terkejut. Ia melihat luka-luka bakar ditubuh lutungnya. Apalagi seekor di antaranya lehernya bagaikan telah dijerat dengan bara api.

Namun dengan demikian orang itu menyadari, bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang berilmu tinggi. Ia pun merasa beruntung sekali bahwa orang-orang itu tidak membunuhnya sekali sebagaimana mereka membunuh lutungnya.

Tetapi ketika anak-anak muda itu minta diri, maka orang itu menjadi ketakutan lagi. Orang-orang sepasar rasa-rasanya telah memandanginya dengan sorot mata penuh dendam, sehingga karena itu, maka ia pun berkata, “Tolong Ki Sanak. Bawa aku pergi dari tempat ini.”

Anak-anak muda itu mengerti, bahwa orang berwajah seram itu tidak berani menghadapi orang-orang yang memang sangat membencinya. Meskipun orang-orang itu tidak berniat berbuat sesuatu,tetapi orang itu telah menjadi ketakutan.

Karena itu, maka anak-anak muda itu tidak berkeberatan untuk membawa orang itu pergi. Meskipun ia harus memanggul kedua ekor lutungnya dengan agak terlalu berat.

Ternyata peristiwa itu telah menimbulkan kesan tersendiri bagi anak-anak muda itu. Mereka menjadi tertarik kepada sifat dan sikap binatang yang sedang berkelahi.

Ketika mereka meninggalkan pasar itu, di perjalanan beberapa lama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berbincang tentang tingkah laku kedua ekor lutung yang terpaksa telah mereka bunuh. Bahkan kemudian bersama Mahisa Semu mereka mencari tempat yang sepi. Tempat yang tidak banyak dikunjungi orang, di lereng sebuah gumuk kecil berbatu-batu padas.

“Selagi masih segar dalam ingatan kita,” berkata Mahisa Murti.

Demikianlah mereka bertiga telah menirukan beberapa gerakan dari kedua ekor lutung yang marah itu. Pada beberapa bagian ternyata gerakan-gerakan itu dapat melengkapi unsur-unsur gerak anak-anak muda itu. Justru mereka yakin bahwa dengan mengamati gerak berbagai macam binatang mereka akan menemukan kekayaan bagi unsur-unsur gerak mereka.

“Satu hal yang sangat menarik,” berkata Mahisa Murti, “kenapa selama ini kita tidak pernah melihat kemungkinan itu. Bukan saja dari seekor lutung. Tetapi seekor harimau, seekor serigala da bahkan bagaimana binatang-binatang kecil mampu menyelamatkan diri dari kuku-kuku binatang yang jauh lebih kuat dan lebih besar. Kecepatan berlari disamping kecerdikan menentukan arah.”

“Nampaknya burung pun menjadi menarik untuk diamati,” berkata Mahisa Pukat, “pertempuran di antara burung-burung buas tentu banyak memberikan kemungkinan untuk memperkaya unsur-unsur gerak yang sudah kita miliki.”

“Apakah kita dapat memilih jalan hutan?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Di hutan mereka dapat melihat berbagai macam binatang. Mungkin mereka akan dapat melihat banyak hal tentang binatang-binatang itu. Juga tentang gerakan-gerakan mereka.

“Tetapi sudah tentu kita tidak akan menggigit sebagaimana seekor lutung,” berkata Mahisa Semu sambil tertawa.

Yang lain pun tertawa pula. Bahkan Mahisa Amping juga tertawa.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya Mahisa Semu kepada anak itu.

Anak itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah, tanpa meninggalkan arah perjalanan mereka, maka mereka memang berusaha untuk melalui hutan yang masih cukup lebat. Mereka agaknya benar-benar tertarik kepada gerak-gerik berbagai macam binatang yang mereka harapkan akan dapat mereka pergunakan sebagai bahan untuk memperkaya unsur-unsur gerak mereka.

Perjalanan mereka menelusuri hutan memang kurang menarik, karena jalan menjadi sempit, licin dan kadang-kadang terlalu sulit untuk dilalui.

Namun sebagaimana mereka harapkan, maka mereka benar-benar mendapat kesempatan untuk melihat berbagai binatang yang berkelahi.

Untuk mendapat kesempatan yang lebih baik, maka mereka telah memanjat sebatang pohon yang cukup besar. Mahisa Amping yang kecil itu ternyata tidak banyak mengalami kesulitan. Ia memang seorang anak yang memiliki kepandaian memanjat.

Dari dahan sebatang pohon mereka sempat melihat, bagaimana seekor banteng liar berkelahi melawan seekor harimau. Keduanya memang terluka. Tetapi harimau itu harus melarikan diri dengan luka yang parah di perutnya.

Anak-anak muda itu sempat memperhatikan bagaimana seekor banteng melindungi bagian tubuhnya yang lemah dengan tanduknya. Tetapi mereka pun sempat memperhatikan bagaimana seekor harimau menerkam mangsanya.

Unsur-unsur gerak itu memang tidak begitu berarti jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melepaskan serangan dengan ilmunya dari jarak tertentu. Namun, dalam pertempuran unsur-unsur gerak yang diperkaya akan sangat berarti. Lebih-lebih bagi Mahisa Semu.

Ketika kemudian mereka meneruskan perjalanan, maka mereka pun telah melihat bagaimana seekor ular berusaha menangkap seekor tikus yang besar dari jenis tikus tanah berkaki panjang.

Namun, ternyata tikus itu mampu melepaskan dirinya. Sambil membelakangi ular itu, maka tikus itu mengais tanah dan seakan-akan telah disebarkan ke arah mata ular itu, sehingga ular itu harus berpaling untuk menyembunyikan matanya. Ternyata tikus itu dapat mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk melarikan dirinya masuk ke dalam gerumbul-gerumbul liar.

Gerak-gerik ular itu sendiri memang menarik. Tetapi tikus itu pun telah memberikan kesan tersendiri.

Dengan beberapa petunjuk dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ketika mereka keluar dari hutan, Mahisa Semu telah mendapatkan beberapa bahan yang berarti baginya. Dalam kesempatan berikutnya, Mahisa Semu telah mencoba menyadap beberapa unsur yang dapat disesuaikan dengan ilmu yang telah dikuasainya.

Bahkan bertiga mereka mencoba mengetrapkannya dengan sangat berhati-hati untuk mengembangkan ilmu mereka, terutama Mahisa Semu.

Memang mereka tidak dapat mempergunakan dengan serta merta. Namun dalam latihan-latihan yang mereka adakan di sepanjang perjalanan sebagaimana sebelumnya, kadang-kadang mereka mampu menyerap dan mengetrapkan sebagai unsur gerak yang melengkapi unsur-unsur yang telah ada.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja telah timbul satu pikiran di kepala Mahisa Pukat. Ia telah memancing Mahisa Amping untuk melakukan sesuatu.

Ternyata dalam gerak anak itu Mahisa Pukat dan Mahisa Murti melihat unsur-unsur gerak dari beberapa ekor binatang yang dilihatnya.

“Bagus,” desis Mahisa Murti, “aku mengerti maksudmu.”

Mahisa Pukat mengangguk sambil berkata, “Satu cara bermain yang bagus.”

“Apa yang kalian maksud?” bertanya Mahisa Semu.

“Kita mulai dengan satu cara yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Kita ajak anak itu bermain-main dengan mengingatkan anak itu terhadap gerak-gerik binatang-binatang yang pernah dilihatnya dan yang masih akan dilihatnya,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi bagaimana tanggung jawab kita terhadap satu aliran ilmu kanuragan sebagaimana kalian ajarkan terhadapku?” bertanya Mahisa Semu.

“Kita masih harus mempelajari perkembangannya,” jawab Mahisa Pukat.

“Kita jadikan anak itu bahan percobaan?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas ia berkata, “Kita tidak bermaksud demikian. Tetapi kita akan mencoba satu cara baru untuk memberikan kekayaan gerak pada anak itu sebelum ia memasuki satu latihan tertentu. Unsur-unsur itu akan mewarnai penguasaannya atau aliran ilmu yang tidak menyimpang dari garis yang ditetapkan.”

Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat membayangkan bagaimanakah ujud kemampuan anak itu kemudian. Apakah akibatnya akan sama sebagaimana dirinya yang mempelajari ilmu menurut aliran ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kemudian menirukan beberapa unsur gerak alami dari beberapa ekor binatang sehingga dengan hati-hati tersisip di antara unsur-unsur gerak ilmunya, atau penguasaan gerak alami beberapa ekor binatang yang kemudian ditata dengan garis-garis ilmu yang kemudian dikuasainya.

Namun Mahisa Murti berkata, “Memang mengandung pengertian percobaan. Tetapi kita akan mengamati setiap perkembangan. Kemampuannya dan watak dari ilmunya harus tetap seimbang dalam satu usaha memperkaya unsur-unsur gerak. Jika ternyata terdapat penyimpangan, maka kita akan segera melihatnya. Keyakinan kita akan keberhasilan dari cara ini adalah, ternyata kita juga mampu memperkaya unsur-unsur gerak yang telah kita miliki sebelumnya.”

“Tetapi apakah ciri dari ilmu kanuragan dari aliran ilmu int tidak akan bergeser?” bertanya Mahisa Semu.

“Mungkin akan berkembang. Bukan bergeser. Tetapi ilmu memang harus berkembang. Kita tidak boleh terpancang pada satu bentuk mati dari yang disebut ciri-ciri sebuah perguruan. Tetapi wataknyalah yang jangan berubah. Karena itu, kadang-kadang dua aliran perguruan yang bersumber dari perguruan yang sama dapat berbeda ujudnya karena perkembangannya masing-masing,” jawab Mahisa Murti, “karena itu maka kita pun tidak boleh terpacang pada satu bentuk mati, sementara ilmu di sekitar aliran perguruan kita telah berkembang maju dengan pesat. Dengan demikian maka satu perguruan kecil, tetapi penuh dengan daya cipta para pendukungnya akan dapat melampaui keunggulan dari satu perguruan yang besar yang terpancang pada kebesarannya, sehingga tidak lagi berusaha untuk mengembangkannya lebih jauh.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan itu, sehingga karena itu, maka ia tidak lagi merasa cemas bahwa Mahisa Amping akan sekedar menjadi bahan percobaan yang akan dapat membahayakan perkembangan bukan saja tubuhnya tetapi juga jiwanya.

Demikianlah, maka di hari-hari berikutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengarahkan perhatian Mahisa Amping pada gerak-gerik binatang. Sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menirukan gerak-gerik binatang itu. Cara bermain yang mereka pergunakan ternyata sangat menarik minat anak itu.

Dengan demikian maka setiap saat, Mahisa Amping telah diajak bermain-main secara khusus. Permainan yang diarahkan dan dipersiapkan untuk memasuki satu latihan dari ilmu kanuragan, sehingga dengan demikian anak itu sama sekali tidak merasa dipaksa melakukannya sebagaimana pernah dilakukan atasnya di sebuah padepokan terpencil yang berusaha membentuk anak-anak kecil menjadi orang-orang yang kelak akan kehilangan kepribadiannya masing-masing.

Mahisa Amping yang telah dicuci dari pengaruh hitam perguruannya yang pernah menyimpannya, memang telah menjadi kosong. Perlahan-lahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha mengisi kekosongan itu dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Sambil bermain-main, Mahisa Amping telah menirukan unsur-unsur gerak alami dari beberapa ekor binatang. Terutama jenis, binatang yang digemarinya. Dengan demikian, maka Mahisa Amping sadar atau tidak sadar telah memasuki satu masa latihan dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh oleh Mahisa Semu.

Ada bagian yang hilang di sini

Mahisa Amping pun ternyata menjadi marah juga. Tanpa minta persetujuan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, anak itu berteriak, “Aku tidak mau dihukum. Jika kalian mencoba memukuli aku, maka akulah yang akan memukuli kalian. Jika kalian memanggil kakak, paman atau ayah kalian,maka kakak-kakakku akan memukuli mereka.”

Remaja yang marah itu memang menjadi heran mendengar tantangan Mahisa Amping. Tetapi sejenak kemudian ia telah menguasai dirinya kembali sambil berkata, “Kau jangan mengigau. Aku akan menghitung sampai sepuluh. Jika kau tetap menolak, maka kami akan mulai memukulimu.”

Mahisa Amping ternyata tidak sabar lagi. Ketika remaja itu menghitung sampai tiga, maka Mahisa Amping telah meloncat mendekatinya dan langsung memukul mulutnya.


Anak itu tidak mengira bahwa justru anak itulah yang telah menyerangnya.

Serangan anak itu ternyata telah membuat sebuah giginya patah. Karena itu, maka mulutnyapun telah berdarah.

Beberapa orang kawan-kawannya menjadi bingung. Tetapi anak yang giginya patah itu menjadi sangat marah. Hampir di luar sadarnya ia berteriak, “Kita pukuli anak itu.”

Beberapa orang anak yang telah mengepung Mahisa Amping itu memang tertegun sejenak. Namun kemudian mereka pun telah bergerak dengan serentak menyerang Mahisa Amping.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu dengan sengaja membiarkannya. Mereka sudah berusaha untuk mencegah agar tidak terjadi benturan. Tetapi anak-anak itu tidak menghiraukannya. Bahkan mereka telah mengancam untuk memanggil orang-orang tua mereka.

Bahkan anak-anak muda itu memang ingin melihat apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Amping. Meskipun ia menghadapi beberapa orang anak dan ada di antaranya yang lebih besar daripadanya, namun kakak-kakak angkatnya berharap, bahwa anak itu akan dapat mengatasi kesulitan itu. Atau setidak-tidaknya dapat menunjukkan sesuatu yang memberikan harapan bagi masa-masa mendatang.

Sebenarnyalah maka sejenak kemudian telah terjadi perkelahian yang sengit. Mahisa Amping yang nampaknya sangat tertarik melihat cara seekor lutung berkelahi, telah berloncatan dengan lincahnya. Namun adalah diluar dugaan, bahwa anak itu juga meloncat berlari dan dengan kepalanya telah menyuruk menyerang perut salah seorang lawannya. Ternyata lawannya itu tidak dapat bertahan, ia justru terlempar jatuh menelentang sehingga punggungnya terasa sakit sekali. Bahkan ia tidak lagi dapat bertahan, sehingga ia telah menangis terisak-isak sambil mengaduh kesakitan.

Tetapi, Mahisa Amping tidak saja menyeruduk lawannya dengan kepalanya, tetapi ia pun telah menerkam lawannya dan mencengkam pipinya, sehingga tergores oleh kukunya. Meskipun kukunya tidak setajam kuku harimau, tetapi goresan-goresannya telah menitikkan darah.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu semakin lama justru semakin cemas. Ternyata Mahisa Amping menjadi sangat garang. Meskipun ilmu yang diterimanya dari padepokan yang beraliran hitam itu sudah dihapuskan sehingga sampai ke akarnya, serta pergeseran watak telah pula terjadi, namun agaknya anak itu belum sempat menyaring unsur-unsur gerak binatang-binatang yang diamatinya. Bahkan Mahisa Amping telah pula menirukan, bagaimana tikus tanah menyelamatkan diri dari tangkapan seekor ular. Ketika beberapa orang menyerangnya bersama-sama, maka tiba-tiba saja Mahisa Amping telah menggenggam tanah dan membaurkannya kepada anak-anak itu.

Serentak mereka berteriak kesakitan. Mata mereka menjadi pedih. Sementara itu Mahisa Amping telah memukul perut mereka seorang demi seorang.

Ternyata bahwa anak-anak itu tidak mampu mengalahkan Mahisa Amping yang mempunyai banyak akal, meskipun sebagian di antaranya dilakukan dengan licik. Tetapi anak itu belum tahu bahwa sepatutnya ia tidak berbuat demikian.

Beberapa orang anak di antara mereka justru telah menangis. Bahkan ada di antara mereka yang berlari pulang.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu agaknya dapat menduga apa yang akan terjadi. Karena itu, maka Mahisa Semu pun kemudian telah menangkap Mahisa Amping dan menariknya keluar dari perkelahian yang tidak seimbang, karena lawan-lawannya seakan-akan sudah tidak dapat melawan lagi.

“Kita tinggalkan tempat ini, sebelum terjadi sesuatu yang lebih besar,” berkata Mahisa Pukat kemudian.

“Aku belum kalah,” teriak Mahisa Amping.

“Kau memang tidak kalah,” jawab Mahisa Semu, “tetapi perkelahian itu tidak usah diteruskan.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Semu tidak menjawab. Bahkan anak itu pun telah diangkat dan didukungnya meninggalkan tempat itu. Mereka dengan tergesa-gesa telah menuju ke bulak panjang menjauhi padukuhan itu.

Tetapi bagaimanapun juga, mereka masih saja menjadi berdebar-debar, karena orang-orang padukuhan yang marah akan dapat menyusulnya.

Tetapi ternyata orang-orang tua dari anak-anak itu agak lamban bergerak, sehingga Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah menjadi semakin jauh.

Ada bagian yang hilang di sini

Mula-mula mereka mengira bahwa mereka telah bebas dari persoalan kambing yang nakal itu. Tetapi ketika mereka sampai di tengah-tengah bulak, maka mereka pun telah terkejut. Beberapa ekor kuda berderap ke arah mereka.

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan orang-orang berkuda itu,” berkata Mahisa Murti.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat telah menarik Mahisa Amping dan mendukungnya. Katanya, “Jangan melakukan sesuatu yang dapat mencelakaimu sendiri.”

Mahisa Amping tidak menyahut. Tetapi ia justru berpegangan leher Mahisa Pukat.

Beberapa saat, beberapa ekor kuda itu menjadi semakin dekat. Tetapi tidak ada tanda-tanda mereka memperlambat derap kuda-kuda itu. Namun, meskipun demikian ketika kuda-kuda itu melampaui mereka, maka anak-anak muda itu telah meloncati parit dan berdiri di tanggul seberang parit.

Tetapi ternyata kuda-kuda itu berlari terus, para penunggangnya pun sama sekali tidak turun dari kuda mereka, bahkan berpalingpun tidak.

Ketiga anak muda itu termangu-mangu sejenak. Mereka pun kemudian telah berloncatan kembali ke jalan bulak persawahan itu.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya Mahisa Semu.

“Entahlah,” jawab Mahisa Murti, “tetapi belum berarti semuanya sudah lewat bagi kita.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi Mahisa Amping telah diletakkannya sambil berkata, “Kau berjalan sendiri.”

Mahisa Amping termangu-mangu. Sebenarnya ia lebih senang didukung oleh siapapun. Tetapi kemudian ia harus berjalan sendiri. Bahkan berlari-lari kecil, karena ketiga orang kakak angkatnya telah melangkah meninggalkannya.

Tetapi anak-anak muda itu tiba-tiba telah memperlambat langkah mereka. Sementara itu Mahisa Pukat berkata, “Orang-orang itu berhenti disimpang ampat. Mereka membawa busur dan anak panah cukup banyak.”

“Nampaknya mereka akan berburu,” jawab Mahisa Murti.

“Untuk apa mereka berhenti, untuk menunggu kita?” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi untuk menghindari kemungkinan yang tidak mereka kehendaki, mereka justru melangkah terus.

Namun, ketika mereka sampai ke simpang ampat, maka kuda-kuda itu telah menutup dua jalur jalan. Dengan isyarat maka pemimpin dari orang-orang berkuda itu telah memaksa anak-anak muda itu menuju ke arah yang mereka kehendaki.

Anak-anak muda itu memang menjadi heran. Apalagi bahwa hal seperti itu terjadi tidak hanya dua tiga kali.

Namun, akhirnya anak-anak muda itu menyadari, bahwa mereka telah digiring ke dalam sebuah pategalan yang mulai padat dengan pepohonan atau sebuah kebun yang luas yang dengan sengaja dibiarkan menjadi lebat seperti hutan yang jarang.

Demikianlah, mereka berjalan ke arah pategalan itu, maka Mahisa Murti berdesis, “Apakah kalian tahu, apa yang akan terjadi?

Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, “Ya. Permainan yang mengasyikkan.”

“Permainan apa?” bertanya Mahisa Semu.

“Mereka ingin menjadi pemburu yang terkenal. Tetapi mereka ternyata pengecut yang tidak berani benar-benar berburu di hutan. Karena itu, mereka akan menjadikan kita sasaran perburuan mereka. Kita akan dilepaskan di pategalan itu. Mereka akan memburu kita dengan kuda-kuda mereka,” jawab Mahisa Pukat.

“Setan,” geram Mahisa Semu, “jika demikian bukankah kita dapat melawan mereka sekarang?”

Tetapi Mahisa Pukat tersenyum sambil menjawab, “Ternyata permainan itu akan sangat menarik. Biar sajalah, kita bermain-main sejenak dengan orang-orang padukuhan itu.”

Sebenarnyalah sejenak kemudian, sebelum anak-anak muda itu sampai di pategalan, orang-orang berkuda itu sudah menyusul mereka. Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpin mereka berkata, “Kalian telah berdosa terhadap anak-anak kami. Karena itu maka kalian pantas untuk dihukum. Tetapi kami sama sekali bukan orang yang bertindak semena-mena. Kami akan bertindak adil. Jika kalian tidak bersalah, maka kalian akan luput dari hukuman kami.”

“Hukuman apakah yang kalian maksud?” bertanya Ma-hisa Murti.

“Kalian harus berlari memasuki pategalan itu. Pada saat yang ditentukan, kami akan melontarkan isyarat dengan panah sendaren. Seterusnya kalian adalah buruan kami. Jika kalian terkejar oleh anak panah kami, maka kalian atau sebagian dari kalian akan mati. Tetapi siapa yang dapat mencapai batas di seberang, maka ia akan bebas. Orang yang bebas itu tentu bukan orang yang bersalah. Sedangkan yang terbunuh oleh anak panah kami, adalah orang-orang yang bersalah,” berkata pemimpin dari sekelompok orang tadi.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu orang itu pun berkata, “Jangan menyesali nasib. Kalian masih dapat berusaha. Jika aku menghitung sampai lima, kalian harus melarikan diri. Demikian anak panah sendaren naik ke udara, kami mulai memburu kalian.”

Ketiga orang anak muda itu termangu-mangu. Lebih-lebih lagi Mahisa Amping. Ia tidak tahu pasti, apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang berkuda itu.

Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Biarlah, aku akan mendukung anak itu dalam perburuan ini.”

“Lakukan apa yang baik menurut kalian,” berkata pemimpin dari sekelompok orang-orang itu.

Demikianlah sejenak kemudian, pemimpin dari orang-orang berkuda itu pun mulai menghitung, “Satu, dua, tiga ….”

Pada hitungan yang kelima, maka anak-anak muda itu mulai berlari memasuki pategalan yang memang sengaja dibuat rimbun seperti hutan dengan pepohonan perdu dan pohon buah-buahanyang besar dan bertebaran di seluruh pategalan itu.

Namun seorang di antara mereka yang akan memburu itu sempat berteriak, “bertebaranlah, agar ada di antara kalian yang sempat hidup.”

Sambil berlari Mahisa Pukat bertanya, “Apakah kita akan menebar?”

“Tidak perlu. Hanya akan memberikan kesenangan saja kepada mereka,” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu berlari-lari di antara pepohonan dan batang-batang perdu. Mereka tidak dapat belari terlalu kencang, justru karena Mahisa Murti mendukung Mahisa Amping.

Namun adalah diluar dugaan, ketika Mahisa Amping justru minta, “Biarlah aku berlari sendiri.”

Tetapi Mahisa Murti melarangnya. Katanya, “Sangat berbahaya bagimu.”

Beberapa lama mereka berlari. Tetapi masih belum terdengar suara panah sendaren.

Namun justru karena itu, maka anak-anak muda itu pun telah berhenti. Mahisa Murti lah yang mengatur cara untuk menghadapi orang-orang berkuda itu.

“Mahisa Semu,” berkata Mahisa Murti, “bawa Amping bersembunyi di atas pohon besar itu. Kau harus memanjat hampir sampai ke puncak. Anak itu tidak akan takut. Kami berdua akan mengganggu mereka sehingga mereka akan mengurungkan niat mereka.”

Mahisa Semu yang merasa dirinya belum memiliki bekal cukup sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tidak membantah. Ia pun segera membawa Mahisa Amping memanjat. Untunglah bahwa anak itu memang senang memanjat pepohonan, sehingga ia pun tidak mengalami kesulitan memanjat melampaui dahan-dahan dan daunnya yang rimbun.

Dalam pada itu, mereka pun telah mendengar anak panah sendaren mengaum di udara. Mereka sadar, bahwa sejenak kemudian suara kaki kuda akan berderap di pategalan itu.

Kedua orang anak muda itu pun kemudian telah berlari meninggalkan pohon besar itu menuju ke tengah-tengah pategalan. Mereka yang merasa akan dijadikan sasaran permainan itu pun telah bersiap-siap pula untuk ikut bermain bersama mereka.

Sebenarnyalah, beberapa ekor kuda telah berderap di antara semak-semak dan pepohonan. Mereka tidak mengira bahwa salah seorang di antara anak-anak muda itu bersama seorang anak kecil telah memanjat sebatang pohon besar. Mereka mengira bahwa bertiga, mereka telah berlari jauh lebih dalam.

Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang pernah dilepas di pategalan itu mendapat kesempatan untuk kembali, karena di garis batas mereka telah menempatkan beberapa orangnya pula.

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu berlari cepat. Tetapi mereka tidak dapat menghapuskan bekas yang dapat diikuti oleh para pemburu itu, karena di antara mereka adalah yang memiliki kemampuan mengenali jejak.

Mereka melihat jejak anak-anak muda itu masuk ke jantung pategalan. Mereka melihat ranting-ranting perdu yang patah serta dedaunan yang runtuh.

Orang-orang itu mempercepat perjalanan kuda mereka. Pemburu jejak itu berada di paling depan sehingga mereka tidak kehilangan arah.

Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan ilmu mereka untuk mendorong kecepatan langkah mereka. Karena itu, meskipun berkuda, tetapi orang-orang itu akan sulit untuk dapat menyusul Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Setan itu dapat berlari seperti angin,” teriak pemimpinsekelompok pemburu itu.

“Ya,” sahut orang yang mengenali jejak itu, “mereka telah menuju ke seberang pategalan ini.”

“Cepat, jangan sampai lepas,” teriak pemimpin kelompokitu.

Mereka berpacu semakin cepat, meskipun tidak secepat di padang rumput yang tidak ditumbuhi oleh pohon-pohon perdu yang liar dan sedikit mengganggu kecepatan.

Tetapi orang yang mengenali jejak itu menjadi semakin cemas. Jarak tempat itu dengan batas akhir dari pategalan itu pun menjadi semakin sempit.

Dalam pada itu, dengan kemampuan mereka berlari cepat, maka mereka memang sudah hampir mencapai batas. Jika mereka kehendaki maka mereka akan dengan selamat keluar dari tempat itu.

Tetapi mereka tidak menghendaki demikian. Kecuali Mahisa Semu dan Mahisa Amping masih ada di pategalan itu, maka mereka pun memang berniat untuk benar-benar bermain-main. Karena itu, ketika kedua orang anak muda itu melihat pategalan menjadi semakin tipis, maka mereka justru saling bertanya, “Lalu, apa yang akan kita lakukan.”

“Kita tidak akan keluar dari pategalan ini,” berkata Mahisa Murti.

Keduanya pun kemudian justru telah berhenti. Di hadapan mereka adalah daerah terbuka. Sebuah padang perdu yang sempit. Kemudian tanah persawahan yang luas. Jika mereka memasuki padang perdu, maka hak hidup mereka telah mereka dapatkan kembali.

Namun, selagi mereka masih ragu-ragu, terdengar derap beberapa ekor kuda yang memburu mereka. Seorang di antara mereka berteriak, “Itu mereka. Jangan beri kesempatan memasuki padang perdu.”

Tiba-tiba saja beberapa batang anak panah telah meluncur ke arah mereka, sehingga keduanya harus berloncatan menghindar.

“Marilah. Kita bicarakan di luar pategalan,” desis Mahisa Murti.

“Tetapi permainan ini akan segera selesai,” jawab Mahisa Murti.

“Jika demikian kita akan berlari-lari berkeliling pategalan ini,” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu telah berlari lagi. Mereka memang menuju ke batas. Tetapi demikian mereka ada di batas, mereka tidak langsung meloncat keluar. Tetapi mereka telah berlari berputar di dalam pategalan itu.

“Gila,” teriak seseorang, “mereka tidak keluar dari pategalan.”

“Persetan. Kita bunuh mereka,” teriak yang lain.

Kata-kata itu ternyata menarik perhatian Mahisa Murti. Katanya kepada Mahisa Pukat sambil berlari dan menghindari anak panah yang meluncur dari beberapa buah busur itu, “Kita keluar. Apa yang mereka lakukan.”

Mahisa Pukat mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka mereka pun telah bergeser mendekati tempat terbuka. Sejenak kemudian mereka telah berlari di padang perdu.

Beberapa saat kemudian, keduanya berhenti. Mereka melihat beberapa ekor kuda memang berhenti di pinggir pategalan itu.

“Bukankah kita sudah bebas?” bertanya Mahisa Murti.

“Setan,” geram salah seorang di antara mereka, “di mana anak itu?”

“Ia sudah lepas lebih dahulu. Ia berada di tengah-tengah tanaman di sawah itu,” jawab Mahisa Murti.

Sesaat mereka termangu-mangu. Namun tiba-tiba seorangdi antara mereka berkata, “Kita giring mereka kembali masuk hutan. Kita adalah pemburu-pemburu yang tidak pernah kehilangan buruan kita.”

“Gila,” geram Mahisa Murti, “aku kira mereka hanya digelitik oleh perkelahian antara Amping dan anak-anak mereka. Namun ternyata mereka adalah orang-orang aneh yang mempunyai kegemaran yang gila.”

“Apa yang kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Seperti yang kita rencanakan,” jawab Mahisa Murti, “bermain-main dengan mereka.”

Demikianlah, sejenak kemudian, kuda-kuda itu telah berderap. Tetapi kuda-kuda itu telah melingkari kedua orang anak muda itu. Dengan cambuk mereka telah menggiring Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memasuki pategalan itu kembali.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah menghilang lagi di pategalan. Dengan ilmu yang mereka miliki, didukung oleh tenaga cadangan yang ada di dalam diri mereka, maka keduanya mampu berlari cepat di antara batang-batang perdu, gerumbul-gerumbul liar dan pepohonan yang besar yang rapat di pategalan itu.

Di belakang mereka beberapa ekor kuda berderap memburu. Ternyata orang-orang berkuda itu tidak lagi mau memberi jarak sebelum mereka mulai bergerak. Tetapi mereka langsung memburu sambil melepaskan anak panah mereka.


Tetapi, yang mereka buru adalah dua orang anak muda yang berilmu tinggi. Anak panah yang lepas itu tidak pernah mengenai sasaran. Kadang-kadang menancap di batang pepohonan. Kadang-kadang tersangkut di sulur-sulur liar atau di daun perdu yang rapat.

“Setan,” geram pemimpin kelompok pemburu itu.

Beberapa orang di antara mereka berusaha mendahului. Beberapa ekor kuda berlari menerobos semak-semak di sebelahkedua orang anak muda itu.

Tetapi tiba-tiba saja kedua anak muda itu telah mengambil arah lain.

“Kita berbelok ke kiri,” desis Mahisa Murti.

Demikianlah keduanya berbelok tajam, maka kuda-kuda itu pun menjadi kacau. Mereka harus berputar arah, sementara pepohonan tumbuh rapat. Ketika dengan tergesa-gesa seorang di antaranya menarik kendali kudanya, maka kuda itu telah menyentuh sebatang pohon sehingga kakinya telah terantuk kakinya sendiri yang sebelah.

Kuda itu tidak dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga kuda itu telah terjatuh. Penunggangnya terlempar dan membentur sebatang pohon. Untunglah, bahwa ia masih sempat bangkit meskipun sulit baginya untuk berdiri tegak karena punggungnya terasa bagaikan retak.

Namun sayang, bahwa kaki kudanyalah yang patah, sehingga kuda itu tidak dapat bangkit lagi.

Orang itu melangkah tertatih-tatih mendekati kudanya yang meringkik. Dengan suara memelas ia berkata, “Ternyata bahwa akhirnya kau harus mati di pategalan ini. Punggungku bagaikan patah dan buruan itu belum tentu akan dapat di tangkap apalagi dibunuh.”

Kudanya masih menggeliat. Tetapi tidak ada pilihan lain, bahwa kuda itu harus dibunuh daripada menderita terlalu lama. Kakinya yang patah dan keadaannya yang parah, tidak memungkinkannya untuk dapat sembuh kembali.”

Tetapi orang itu ternyata tidak sampai hati untuk melakukannya. Karena itu, maka dengan langkah yang berat ia melangkah meninggalkan kudanya sambil menyeringai kesakitan.

“Biarlah orang lain melakukannya,” desisnya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berlari-lari di antara pepohonan. Yang kemudian dilemparkan tidak saja anak panah. Tetapi juga lembing dan tombak-tombak pendek. Namun tidak sebatang pun yang dapat menyentuh kedua anak muda yang berlari berbelok-belok itu.

Orang-orang itu menjadi semakin marah. Mereka belum pernah mengalami seperti itu. Biasanya mereka menyelesaikan buruan mereka dengan sangat memuaskan. Beberapa anak panah menusuk punggung dan tengkuk buruannya. Kemudian jatuh terjerembab. Menggeliat kesakitan sambil merintih.

Biasanya sebatang tombak mengakhiri hidupnya itu.

Tetapi kali ini buruannya tidak semudah itu dapat dikenai oleh anak panah. Bahkan lembing dan tombak. Keduanya justru telah memenangkan pertarungan dengan keluar dari lingkungan perburuan. Namun keduanya telah digiring masuk lagi.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih saja berlari-lari itu ternyata benar-benar merasa sempat bermain-main. Keduanya dapat mempermainkan kuda-kuda yang kadang-kadang kebingungan.

Ketika Mahisa Murti sempat meloncat dan bergayutan pada sebatang dahan pohon yang menyilang, ia sempat menyerang dua orang penunggang kuda sekaligus. Keduanya telah terpelanting dari kudanya dan jatuh terbanting. Seorang membentur sebatang pohon sehingga pingsan, sedangkan yang lain masih sempat bangkit. Tetapi kudanya telah berlari jauh.

Beberapa ekor kuda telah berputar untuk melingkari Mahisa Murti. Tetapi anak muda itu tiba-tiba saja telah hilang dari pandangan mata mereka. Namun mereka sempat melihat bayangan Mahisa Murti berlari menjauh.

Dengan marah para pemburu itu melarikan kudanya dengan kencang. Namun seseorang telah meluncur meloncat menggapai penunggang kuda yang paling belakang.

Dua sosok tubuh jatuh berguling di tanah. Satu pukulan yang keras telah melemparkan pemburu itu jatuh terlentang.

Ketika ia mencoba bangkit, maka tangan yang kuat bagaikan jepit besi baja telah menekan tangannya yang terpilin.

Yang terdengar adalah gemeretak tulang patah. Ketika tangannya dilepaskan, maka kesakitan yang sangat telah mencengkam tangannya yang ternyata memang patah itu.

Beberapa ekor kuda telah berputar lagi. Namun Mahisa Pukat telah berlari menjauh.

Kemarahan yang hampir tidak terkendali telah membakar orang-orang yang mengaku sebagai pemburu-pemburu yang tidak pernah gagal itu.

Beberapa saat kemudian mereka telah berpencar. Dalam jajaran yang melebar kuda-kuda itu berlari. Yang ada di tangan orang-orang berkuda itu bukan lagi busur dan anak panah, tetapi pedang dan tombak.

Tetapi kedua orang anak muda itu sudah tidak nampak lagi. Karena itu, maka setiap orang di punggung kuda itu menjadi semakin berhati-hati, karena banyak hal yang dapat terjadi.

Sebenarnyalah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiapkan diri untuk menyerang. Mereka justru berbaring diam dibawah rimbunnya semak-semak. Adalah tidak sengaja bahwa seekor ular yang cukup besar menelusur dibawah kaki Mahisa Murti. Seekor ular belang yang berbisa. Dengan tangkasnya tanpa bangkit, ular itu telah ditangkapnya. Meskipun ular itu menggigitnya, tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak terpengaruh oleh bisanya, meskipun sedikit terasa sakit.

Ketika kuda-kuda itu berderap lewat, keduanya telah melenting berdiri dari rimbunnya semak-semak. Belum lagi mereka berhenti terkejut, maka Mahisa Murti telah melemparkan ular belang yang cukup besar itu kepada pemimpin kelompok pemburu yang benar-benar berusaha membunuhnya itu.

Ternyata bahwa ular itu tidak mengenai penunggangnya. Tetapi demikian ular itu jatuh ke leher kuda, maka ular itu telah mematuk kuda itu.

Kuda itu terkejut. Sambil berdiri di atas kedua kaki belakangnya kuda itu meringkik tinggi, sehingga penunggangnya yang terkejut oleh seekor ular belang yang besar serta gerak kudanya yang meloncat berdiri itu, maka ia telah terlempar dari punggung kudanya.

Kuda itu, masih sempat berlari tanpa penunggangnya untuk beberapa saat. Tetapi ternyata bisa ular itu cukup tajam, sehingga akhirnya kuda itu pun telah berputar-putar sejenak. Kemudian terjatuh dengan lemahnya.

Kemarahan orang-orang yang merasa dirinya pemburu-pemburu yang tidak pernah gagal itu menjadi semakin memuncak. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berlari lagi, maka pemimpin sekelompok pemburu itu telah memaksa seorang pengikutnya untuk turun dari kudanya.

“Aku memerlukan kuda itu,” geram pemimpin kelompokitu.

Sejenak kemudian perburuanpun telah dimulai lagi. Kuda-kuda itu mulai berderap dan bahkan memencar. Setiap kali terdengar di antara mereka berteriak marah. Dengan pedang di tangan kuda-kuda itu membawa penunggang-penunggangnya menyusup di antara pepohonan.

Tetapi ternyata mereka telah menghadapi buruan yang lain dari yang biasa mereka lakukan. Biasanya mereka tidak banyak mengalami kesulitan. Sebelum mereka mencapai bagian terakhir dari pategalan itu, maka buruan mereka telah jatuh dengan anak panah yang tertancap di punggung.

Sudah berapa saja kematian terjadi di pategalan itu. Mayat-mayat itu pun telah langsung dikuburkan dengan penuh kebanggaan seorang pemburu yang berhasil.

Tetapi saat itu, mereka telah kehilangan beberapa ekor kuda dan beberapa orang kawan mereka telah pingsan dan terluka.

Meskipun demikian jumlah mereka masih cukup banyak untuk memburu dua orang anak muda yang masih ada di pategalan itu, sedangkan yang lain telah mereka anggap benar-benar sudah meninggalkan pategalan itu.

Demikianlah, maka akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah memencar. Namun mereka sepakat untuk selalu mengamati tempat Mahisa Semu dan Mahisa Amping bersembunyi. Jika orang-orang yang menganggap diri mereka pemburu itu menemukan mereka, maka mereka harus mengambil langkah-langkah pengamanan.

Demikian keduanya berpisah, maka malapetaka telah semakin banyak dialami oleh para pemburu itu. Mahisa Murti yang menemukan sulur liar yang berjuntai pada batangnya telah mempergunakannya untuk menjerat seorang penunggang. Satu kejadian yang tidak terduga-duga sama sekali, sehingga rasa-rasanya seperti seorang yang telah menggantung diri.

Sementara itu, dengan sebatang tombak yang berserakan di pategalan itu, yang telah dilontarkan oleh pemburu-pemburu kerdil itu, Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah muncul dari balik sebatang pohon. Ujung tombak itu langsung telah menikam pundak seorang di antara mereka yang memburunya. Sehingga dengan demikian maka orang itu pun telah terlempar dari kudanya dan jatuh berguling di tanah.

Mahisa Pukat masih mendengar orang itu merintih kesakitan. Tetapi Mahisa Pukat harus berlari lagi di antara pepohonan untuk menghindari orang-orang lain yang telah memburunya pula.

Beberapa ekor kuda masih berderap. Tetapi wajah-wajah para penunggangnya sudah berubah. Wajah-wajah itu tidak lagi menunjukkan kegembiraan seorang pemburu yang memburu buruannya yang lemah dan tidak berdaya. Tetapi wajah-wajah mereka menjadi tegang. Dan bahkan beberapa di antara mereka mulai menjadi ketakutan. Apalagi jika mereka melarikan kuda mereka melingkari pategalan itu dan menjumpai kawan-kawannya yang terbaring kesakitan dan bahkan pingsan. Kuda-kuda yang mati dan hal-hal yang lain yang menakutkan.

Tetapi mereka tidak sempat berhenti menolong kawan-kawan mereka, karena dengan demikian, maka buruan mereka akan hilang lagi. Bahkan demikian mereka muncul langsung mencekik leher sebagaimana pernah terjadi.

Dalam keadaan yang kalut, para penunggang kuda itu telah melihat kedua anak muda itu menyusuri batas. Selangkah lagi mereka sudah berada di luar pategalan memasuki daerah bebas sebagaimana mereka janjikan. Tiba-tiba saja orang-orang itu mengharap keduanya yang telah berkumpul lagi itu keluar saja dari pategalan sehingga mereka tidak perlu memburu dan menyerahkan korban-korban baru.

Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak melangkah keluar. Mereka justru berpisah lagi ke arah yang berlawanan.

“Setan,” geram pemimpin sekelompok pemburu itu. Bagaimanapun juga ia harus mempertahankan harga dirinya dengan memburu kedua orang itu. Sebagian dari para pengikutnya yang tersisa pergi bersamanya, sementara yang lain berburu ke arah yang lain pula.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah sepakat untuk melenyapkan pategalan yang telah menjadi arena pembantaian itu. Keduanya menganggap bahwa orang-orang yang telah dilukainya masih akan sempat melarikan diri dari hutan buatan yang akan dihancurkannya itu.

Namun Mahisa Murti telah sempat memanggil Mahisa Semu dan Mahisa Amping turun dari pohon tempat mereka bersembunyi.

Pemimpin kelompok yang melihat keduanya bersembunyi itu menjadi semakin marah. Tetapi ketika seorang pengikutnya menyambar dengan pedangnya, Mahisa Semu telah membenturnya dengan sekuat tenaganya. Dengan satu putaran maka pedang penunggang kuda itu terlepas, sementara orang itu sendiri telah terlempar jatuh dari kudanya. Demikian kerasnya sehingga sulit baginya untuk segera bangkit. Sementara Mahisa Semu telah meloncat mendekatinya. Ujung pedangnya tiba-tiba saja sudah berada di leher orang itu.

“Ternyata kalian adalah pemburu-pemburu gila,” geram Mahisa Semu.

Orang yang terbaring itu menjadi pucat. Ujung pedang di lehernya itu terasa begitu dinginnya. Seandainya ujung pedang itu menembus urat darahnya, agaknya darahnya sudah tidak akan dapat menitik lagi.

Sementara itu, pemimpin kelompok pemburu yang kerdil itu memang menjadi semakin marah. Dengan gerangnya kudanya berlari menyambar Mahisa Semu yang masih melekatkan ujung pedangnya pada salah seorang di antara orang yang memburunya.

Agaknya Mahisa Semu tidak menduga, bahwa orang itu akan melakukannya disaat kawannya terancam maut. Ia sama sekali tidak mengira bahwa pemimpin kelompok itu sama sekali tidak menghargai nyawa kawannya sendiri.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat. Karena itu hampir berbareng keduanya telah berusaha mencegahnya. Mahisa Murti telah menghalanginya dengan mempergunakan ilmunya untuk mematahkan sebatang dahan yang berdaun rimbun dari tempatnya berdiri. Dengan kekuatan yang sangat besar, maka serangannya bagaikan meledakkan pangkal dahan itu.

Pemimpin kelompok itu ternyata masih sempat menarik kekang kudanya sehingga dahan yang patah itu tidak menimpanya. Namun dengan kegarangan seorang yang merasa dirinyapemburu yang tidak pernah gagal, maka ia pun telah berteriak keras-keras, “Bunuh semuanya. Sekarang.”

Mahisa Pukat yang telah meloncat dengan pedang ditangan tidak sempat mematahkan serangan pemimpin kelompok itu. Namun ia pun telah bersiap untuk menyelesaikan permainan yang mulai menjemukan itu.

Sebagaimana yang telah direncanakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka pategalan itu harus dihancurkan. Pategalan itu tidak boleh menjadi ajang pembantaian sebagaimana akan mereka lakukan saat itu.

Karena itu, maka keduanya telah memutuskan untuk mengakhiri permainan itu. Dengan kemampuan yang ada pada diri mereka, maka pategalan itu harus dihancurkan.

Demikianlah, ketika sisa-sisa dari orang-orang berkuda itu masih saja akan menyerang mereka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menahan diri lagi. Dengan ilmu mereka yang tinggi, maka keduanya mulai mematahkan dahan-dahan dan ranting-ranting pepohonan. Pangkal dahan-dahan batang kayu yang cukup besar itu bagaikan meledak dan batang-batang kayu itu pun berpatahan.

Rasa-rasanya di pategalan itu pun telah terjadi kiamat. Ledakan terjadi di mana-mana. Batang-batang patah dan runtuh. Kuda-kudapun menjadi ketakutan. Meringkik sambil melonjak-lonjak. Namun di sekitarnya, semuanya menjadi berserakan.

Beberapa orang di antara mereka tidak sempat menghindari batang-batang dan dahan-dahan yang berpatahan. Beberapa ekor kuda telah terhimpit dan bahkan dengan penunggangnya.

Dalam keadaan yang kalut itu, maka pemimpin dari sekelompok orang yang merasa dirinya pemburu-pemburu perkasa itu justru berusaha untuk melarikan diri.

Tetapi ketika tiba-tiba saja kudanya terjerat oleh sehelai sulur, maka kuda itu pun telah terjatuh. Penunggangnya pun telah terlempar jatuh pula.

Namun demikian ia bangkit berdiri, maka Mahisa Semu telah berdiri di hadapannya.

“Apakah kau akan melarikan diri?” bertanya Mahisa Semu.

“Persetan,” geram orang itu, “kau harus dibunuh lebih dahulu.”

“Semua kawan-kawanmu sudah tidak berdaya. Ada yang tertindih batang-batang pohon yang rebah. Ada yang pingsan karena kepalanya membentur kayu. Ada yang terluka oleh senjata atau sebab-sebab yang lain,” berkata Mahisa Semu, “menyerahlah. Kau tidak mempunyai pilihan lain.”

Tetapi orang yang merasa dirinya pemburu pilihan itu ternyata mempunyai harga diri yang tinggi. Ia tidak mudah menyerah. Bahkan kemudian katanya, “Ternyata akhirnya aku berhasil membunuh kalian berempat.”

Mahisa Semu tidak dapat menahan diri lagi. Ia pun kemudian telah memutar pedangnya, sementara orang itu pun telah menyerangnya pula.

Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Namun ternyata Mahisa Semu yang telah dengan bersungguh-sungguh menempa diri, telah mampu mengatasi lawannya yang merasa dirinya pemburu yang tidak ada duanya.

Ternyata Mahisa Semu tidak memerlukan waktu yang lama. Dengan beberapa kali putaran pedang, maka dalam benturan berikutnya pedang Mahisa Semu telah melemparkan pedang lawannya.

Namun malang bagi orang itu. Pedangnya yang terlempar itu ternyata telah tersangkut di lehernya sendiri. Ketajaman pedangnya telah memotong urat nadi di lehernya, sehingga darahnya bagaikan memancar dari lukanya itu.

Orang itu pun kemudian telah terhuyung-huyung jatuh.

Tidak ada kesempatan untuk menolongnya. Darahnya sudah terlalu banyak mengalir dari tubuhnya.

Mahisa Semu berdiri termangu-mangu. Sementara itu beberapa orang yang masih sempat berjalan atau merangkak mendekati anak-anak muda itu telah menyerahkan dirinya.

Dalam pada itu, pategalan yang untuk waktu yang lama menjadi medan perburuan itu pun benar-benr telah menjadi berserakan. Sedangkan pemimpin kelompok dari para pemburu itu pun telah terbunuh pula.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Kumpulkan kawan-kawanmu. Ada yang tertindih dahan, ada yang pingsan karena kepalanya membentur pohon, ada yang terluka pedang dan entah apa lagi. Mungkin selain orang yang nampaknya memimpin kawan-kawannya itu ada juga yang terbunuh. Atau barangkali kami masih akan membunuh lebih banyak lagi.”

“Kami mohon ampun,” minta beberapa orang di antara mereka.

Dalam pada itu Mahisa Pukat membentak, “Cepat, kumpulkan kawan-kawanmu. Cari di seluruh pategalan ini. Jangan ada yang melarikan diri. Jumlah kalian harus utuh sebagaimana kalian memasuki pategalan ini. Jika ada yang melarikan diri, maka kami telah mengetahui padukuhan kalian. Kami akan datang dan kami akan memburu semua penghuni padukuhan kalian sebagaimana kalian memburu kami. Kami akan membunuh semua penghuninya yang tidak berhasil melarikan diri dari padukuhan itu. Aku tidak peduli, tua muda, perempuan atau anak-anak.”

“Jangan lakukan itu,” minta orang-orang itu.

“Jika demikian, cepat. Kumpulkan kawan-kawan kalian dalam keadan apapun,” Mahisa Pukat hampir berteriak sehingga orang-orang itu pun menjadi semakin ketakutan.

Apa yang mereka lihat benar-benar satu mimpi yang menakutkan. Dahan-dahan berderak patah. Pohon-pohon yang berdiri tegakpun telah roboh. Akar-akar bagaikan tercabut dari cengkeraman bumi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka orang-orang itu telah bekerja keras mencari kawan-kawan mereka. Yang masih mampu berjalan, telah menelusuri pategalan yang luas itu. Seorang demi seorang telah dikumpulkannya. Yang pingsan, yang luka parah, bahkan yang terbunuh. Yang terhimpit dibawah dahan pepohonan yang roboh telah diangkat dengan mengerahkan semua orang yang masih mungkin berbuat sesuatu.

Ternyata mereka memerlukan waktu yang lama. Namun salah seorang di antara orang-orang itu telah memimpin kawan-kawannya untuk bekerja terus sebagaimana diperintahkan oieh anak-anak muda itu.

Dalam pada itu, maka akhirnya mereka telah terkumpul semua. Anak-anak muda itu percaya saja, bahwa semuanya telah genap, karena mereka memang tidak sempat menghitung jumlah mereka seluruhnya.

“Bawa kami ke padukuhan kalian,” berkata Mahisa Pukat, “bawa pula orang-orang yang terluka, bahkan yang mati sekalipun.”

Orang-orang itu tidak membantah. Namun karena mereka tidak dapat membawa semuanya sekaligus, maka anak-anak muda itu telah diantarkan lebih dahulu bersama beberapa orang yang terluka yang dapat dibawa serta. Mereka akan memanggil orang-orang padukuhan lebih banyak lagi untuk membawa kawan-kawan mereka atau barangkali sebuah pedati.

Ternyata ketika mereka mendekati padukuhan, maka anak-anak kecilpun mulai bersorak-sorak. Mereka meneriakkan isyarat-isyarat khusus, sehingga sejenak kemudian, beberapa orang telah keluar dari padukuhan untuk menyongsong mereka.

Tetapi orang-orang itu terkejut. Mereka melihat sanak kadang mereka yang terluka. Bahkan pemimpin mereka telah terbunuh, yang sempat dibawa kembali pada kesempatan pertama.

“Apa yang terjadi?” bertanya seorang perempuan separo baya yang ternyata adalah isteri dari pemimpin yang telah terbunuh itu.


Seorang yang tertua di antara orang-orang yang tersisa itu menjawab, “Marilah. Kita bawa semuanya ke banjar.”

“Kita sudah menyiapkan makan bersama di banjar. Kita sudah menyembelih hasil buruan kalian. Ampat ekor. Tiga ekor lembu dan seekor kambing. Bukankah buruan kalian berjumlah ampat? Hasil buruan kalian tentu juga ampat ekor seperti biasanya. Tetapi kali ini seekor di antaranya lebih kecil. Jadi kami sembelih kambing seekor,” berkata perempuan itu.

Tidak seorang pun yang sempat mencegahnya berbicara. Sementara itu Mahisa Murti bertanya, “Apa artinya itu? Jadi setiap kali kalian melakukan pembantaian di pategalan itu, kalian telah mengadakan andrawina dengan menyembelih lembu sebagaimana kalian membawa hasil buruan kembali dari hutan? Sungguh satu permainan gila.”

“He, tutup mulutmu. Kenapa kau tidak mati di pategalan itu? Bukankah kau orang yang harus diburu kali ini? Menurut pendengaranku, ampat orang anak muda, seorang di antaranya masih kecil,” teriak perempuan itu.

“Jadi, haruskah aku membunuh semua orang disini,” teriak Mahisa Murti yang marah sekali. Jarang ia menjadi marah sehingga hampir lupa diri. Ia mempunyai pembawaan yang lebih tenang dari Mahisa Pukat. Tetapi menghadapi orang-orang padukuhan itu, Mahisa Murti benar-benar hampir kehilangan kesabaran.”

“Tunggu,” berkata orang tertua di antara mereka yang tersisa, “kami sudah menyerah. Kali ini kami tidak kuasa berbuat apa-apa.”

“Apa yang terjadi?” bertanya perempuan itu.

“Kami tidak berhasil dalam perburuan kami kali ini. Suamimu telah terbunuh. Beberapa orang yang lain juga terbunuh dan terluka. Ternyata anak-anak muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

Perempuan itu menjadi pucat. Tetapi ia masih menggeram, “Tidak Mungkin. Suamiku tidak mungkin gagal. Ia adalah pemburu yang paling baik.”

“Tetapi lihat, suamimu mati,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Tentu ada pengkhianatan di antara kalian,” teriak perempuan itu.

“Kau akan melihat, hampir semua orang mengalami cidera. Mati, luka-luka bahkan parah, pingsan atau kesulitan-kesulitan lain,” berkata orang tertua di antara mereka.

“Omong kosong. Suamiku tidak akan mati,” suara perempuan itu bergetar.

Tetapi ia harus melihat kenyataan. Seorang di antara mereka yang diusung adalah suaminya. Sudah meninggal.

Perempuan itu menangis meraung-raung. Bahkan mengumpat kasar dan berkata kepada orang-orang padukuhan itu, “Kenapa patuh kepadanya. Setiap kali kalian melakukan perburuan dipimpin oleh suamiku, kalian selalu berhasil dengan gemilang. Kau bunuh buruan kalian di pategalan, dan kita menyembelih lembu di banjar. Sekarang perburuan itu sudah lama tidak dilakukan. Tiba-tiba saja ketika kesempatan itu datang, seharusnya padukuhan ini bergembira ria. Kami yang menunggu telah menyembelih tiga ekor lembu dan seekor kambing. Tetapi yang kami dapatkan adalah kematian seperti ini.”

Tiba-tiba Mahisa Murti bertanya, “Kenapa kau menangis,he?”

“Pertanyaan yang gila. Apakah kau belum pernah kematian keluargamu? Orang tuamu, kakekmu atau nenekmu atau siapapun yang dekat hubungan keluarganya denganmu?” bertanya perempuan itu.

“Sudah,” jawab Mahisa Murti.

“Kenapa kau masih bertanya kenapa aku menangis? Bukankah kau tahu suamiku terbunuh,” jawab perempuan itu.

“Aku juga pernah mengalami kesedihan karena kakakku meninggal setahun yang lalu. Aku juga sedih. Agaknya aku juga menangis meraung-raung seperti itu. Dan kau tahu kenapa kakakku meninggal? Kakakku telah menjadi korban perburuan gila yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan ini. Nah, sekarang kau juga harus merasakan bagaimana kehilangan keluarganya. Bahkan aku juga akan membunuh anak-anakmu atau ayahmu atau semua keluargamu. Tidak ada orang yang dapat mencegah aku, karena aku dapat membunuh seisi padukuhan ini tanpa dapat dicegah oleh siapapun juga,” geram Mahisa Murti yang marah sekali itu.

Wajah perempuan itu menjadi semakin pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Omong kosong. Tidak ada orang yang memiliki ilmu lebih tinggi dari suamiku.”

Beberapa orang laki-laki dari padukuhan itu, yang belum melihat tingkat ilmu anak-anak muda itu memang masih meragukan kata-kata Mahisa Murti. Mereka pun tidak dapat mengerti, kenapa pemimpinnya terbunuh dan kawan-kawannya terluka. Namun seperti perempuan yang pucat karena marah, bimbang tetapi juga ketakutan itu, mereka tidak dapat membayangkan bahwa tiga orang anak muda akan dapat mengalahkan seisi padukuhan.

Namun kemarahan Mahisa Murti yang hampir tidak terkendali itu telah mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Ketika ia melihat beberapa orang ragu-ragu akan kemampuannya, maka tiba-tiba saja ia telah memusatkan nalar budinya. Dikerahkannya puncak kemampuannya untuk menghantam sebuah regol halaman di pinggir jalan itu.

Dengan mengayunkan tangannya, dengan telapak tangan menghadap ke depan mengarah ke regol halaman itu, Mahisa Murti telah melontarkan ilmunya.

Akibatnya memang dahsyat sekali. Regol halaman rumah yang nampak kokoh itu tiba-tiba bagaikan meledak. Ketika Mahisa Murti mengulangi serangannya sekali lagi, maka regol itu benar-benar telah roboh dan hancur berserakan.

Suasana benar-benar telah mencengkam. Orang-orang yang menyaksikannya bagaikan telah membeku. Perempuan yang pucat itu seakan-akan telah tidak berdarah lagi.

Mahisa Murti yang marah itu telah berkata lantang, “Nah, siapa yang akan melawan aku? Ayo, bawa seratus ekor kuda. Jika kalian memang pemburu-pemburu yang baik, lakukanlah perburuan itu di pategalan. Kejar kami berempat, sebagaimana kalian berburu dan membantai korban-korban kalian yang tidak berdaya. Maka aku berjanji, tidak sampai matahari terbenam, kami bertiga akan membunuh seratus pemburu yang kalian anggap pilihan itu, bahkan tiga kali lipat sekalipun.”

Orang-orang padukuhan itu pun menjadi semakin ketakutan. Agaknya anak muda itu tidak sekedar menakut-nakuti mereka. Dalam kemarahan yang memuncak itu, ia akan dapat berbuat apa saja diluar dugaan.

Namun tiba-tiba Mahisa Murti berkata, “Beruntunglah kalian, bahwa kami belum menjadi gila karenanya. Dengan demikian kami masih dapat mengendalikan diri betapapun kemarahan membakar jantung kami. Kami sudah sering melihat kelaliman, kebengisan dan sikap orang-orang tidak berjantung. Tetapi kami belum pernah bertemu dengan jenis manusia-manusia iblis seperti kalian ini.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka benar-benar menjadi ketakutan. Namun bagaimanapun juga mereka tentu tidak akan dapat menyembunyikan kesedihan mereka.

Karena itu, maka demikian Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pergi membawa Mahisa Amping, maka terdengar tangis di beberapa rumah yang telah kehilangan orang-orangnya. Selain pemimpin kelompok itu, maka masih ada orang lain lagi yang terbunuh dalam benturan kekerasan melawan anak-anak muda yang tidak mereka kenal itu.

Dalam pada itu, maka bagaimanapun juga keadaan yang sebenarnya, namun persoalan itu telah terdengar di telinga Ki Buyut Tapakgawe. Sebuah Kabuyutan yang cukup besar masih di tlatah Kediri.

Ternyata bahwa peristiwa di pategalan itu telah menyentuh harga dirinya sebagai seorang Buyut yang masih cukup muda. Ki Buyut yang belum lama menjabat itu menganggap bahwa langkah-langkah yang telah diambil oleh anak-anak muda itu bukan pada tempatnya.

Apalagi ternyata laporan kepada Ki Buyut Tapakgawe itu telah dibumbui oleh hal-hal yang sama sekali tidak benar. Sehingga dengan demikian maka Ki Buyut yang masih muda itu telah menjadi sangat marah.

Bersama sekelompok pasukannya maka ia pun telah datang ke tempat yang dianggapnya telah terjadi malapetaka itu. Apalagi ketika ia juga menyaksikan beberapa orang yang memang benar-benar mati terbunuh.

Darah Ki Buyut yang muda itu bagaikan mendidih. Ia merasa ditantang langsung oleh orang-orang yang tidak tahu diri. Ki Buyut yang baru keluar dari sebuah perguruan justru karena ia dipanggil menggantikan kedudukan ayahnya itu pun telah berkata lantang, “Kami akan mengikuti jejak mereka. Dalam hari ini juga, kami tentu sudah akan dapat menyusul mereka.”

Orang-orang padukuhan itu pun bersorak. Mereka yang mula-mula merasa sangat ketakutan, tiba-tiba telah dibakar oleh dendam.

Sejenak kemudian, maka Ki Buyut dan orang-orangnya telah menelusuri jejak Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Dengan penuh keyakinan Ki Buyut yang merasa dirinya telah ditempa dalam perguruan untuk beberapa tahun itu, telah memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga tidak akan dapat dikalahkan oleh pengembara yang betapapun tinggi ilmunya.

Sayang bahwa Ki Buyut tidak begitu memperhatikan bekas arena yang telah dihancurkan oleh anak-anak muda itu. Tidak pula memperhatikan regol halaman yang runtuh serta tidak sempat bertanya apa yang telah terjdi sebenarnya. Demikian ia mendengar peristiwa itu terjadi, maka dengan serta merta ia merasa tersinggung.

Dengan demikian maka orang-orang padukuhan itu cenderung untuk mengipasi api yang nampak mulai menyala di hati Ki Buyut yang muda itu.

Seorang yang benar-benar memiliki kemampuan mengikuti jejak benar-benar telah mampu mengikuti arah perjalanan anak-anak muda itu. Meskipun mereka kemudian melewati jalan yang cukup ramai, namun ternyata orang itu benar-benar ahli mengikuti jejak yang dikehendaki.

Di bulak-bulak panjang, betapa sempitnya jalan yang mereka lalui, namun kuda Ki Buyut mampu berjalan jauh lebih cepat dari langkah seseorang. Karena itu, maka semakin lama jarak di antara mereka pun menjadi semakin dekat.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, ketika mereka muncul di sebuah bulak panjang, maka di jalan sempit yang mereka ikuti nampak sebesar kelingking jari tangan empat orang berjalan berurutan. Yang paling depan dari mereka adalah seorang anak yang masih kecil.

Ki Buyut pun telah memacu kudanya semakin cepat. Mereka memang dengan cepat mampu menyusul keempat orang yang berjalan dengan cepat itu.

Mahisa Murti ternyata masih sangat marah ketika ia mengetahui beberapa orang telah memburunya.

“Tentu bukan orang-orang padukuhan itu,” berkata Mahisa Murti, “orang-orang padukuhan itu telah jatuh ke dalam perasaan takut yang sedalam-dalamnya. Mereka tentu tidak akan berani berbuat apa-apa sama sekali. Mereka tahu akibat yang bakal mereka alami jika mereka berani melakukan satu langkah-pun yang tidak kami kehendaki. Namun agaknya mereka telah mendapatkan sekelompok orang yang mereka anggap akan dapat mereka pergunakan untuk melepaskan dendam mereka.”

“Mungkin orang itu memang orang yang berilmu tinggi yang merasa dirinya menjadi pelindung terhadap rakyatnya apapun yang telah dilakukan oleh rakyatnya itu,” sahut Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Murti berkata, “Rakyatnya itu tentu tidak akan mengatakan apa yang sebenarnya. Yang hitam dikatakan putih, yang putih dikatakan hitam,” sahut Mahisa Murti.

“Pokoknya kita bertempur,” berkata Mahisa Semu yang memang merasa beruntung mendapat pengalaman yang sebanyak banyaknya sehingga perjalanan yang semula harus dipaksakannya itu akhirnya merupakan bagian dari hidupnya.

Mahisa Murti memang menjadi sangat marah. Karena itu, maka ia pun berkata, “Kita berhenti disini. Kita tunggu mereka apapun yang akan mereka lakukan.”

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan saudara-saudara-nyajelah berhenti dan duduk di atas tanggul di pinggir jalan. Namun Mahisa Murti agaknya menjadi gelisah. Ia pun telah bangkit dan berjalan mondar-mandir, sementara dengan cepat sekelompok orang berkuda menjadi semakin dekat.

Beberapa langkah di hadapan Mahisa Murti yang berdiri sambil bertolak pinggang, kuda-kuda itu berhenti. Seorang yang masih muda telah meloncat turun dari kudanya diikuti oleh orang-orang yang mengikutinya.

“Aku adalah Buyut dari Kabuyutan Tapakgawe yang membawahi beberapa padukuhan. Salah satu di antara padukuhan-padukuhan itu adalah padukuhan yang telah kalian rusakkan,” berkata orang yang masih terhitung muda itu.

“Oh jadi kau adalah orang yang paling bertanggung jawab di Kabuyutan yang kau sebut Tapakgawe itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya,” jawab orang itu, “karena itu, maka aku datang untuk menemui kalian telah merusak sendi-sendi kehidupan sebuah di antara padukuhan-padukuhanku.”

“Bagus Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “kedatanganmu adalah satu kebetulan. Kami memang memerlukanmu untuk menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya.”

Ki Buyut itu pun tertawa. Katanya, “Cukup satu penyesalan yang sedalam apapun juga?”

“Memang tidak cukup. Kau harus mengambil langkah-langkah yang paling baik untuk mengatasinya,” jawab Mahisa Murti.

“Aku sudah melakukannya. Kalian harus kembali ke padukuhan,” berkata Ki Buyut yang masih muda itu.

“Untuk apa kembali?” bertanya Mahisa Murti, “kau dapat melakukannya tanpa kami.”

“Apa yang kau maksud?” bertanya Ki Buyut.

“Bukankah sudah aku katakan. Aku menyesal sekali melihat tingkah laku orang-orangmu, khususnya padukuhan yang satu itu. Aku tidak tahu, apakah kau mengetahui atau tidak, apa saja yang telah mereka lakukan selama ini dan apa pula yang telah dikatakannya kepadamu tentang kami,” berkata Mahisa Murti.

Ki Buyut itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Apa maumu sebenarnya? Menurut kau, penyesalan apa yang akan kau katakan itu?”

Mahisa Murti melangkah maju. Dengan nada geram ia berkata, “Atau kau yang menyebut dirimu Ki Buyut Tapakgawe itu tidak tahu apa yang telah terjadi?”

“Kenapa kau berputar-putar seperti itu? Apakah kau sedang berusaha melindungi dirimu dan alasan-alasan yang tidak masuk akal?” desak Ki Buyut.

Mahisa Murti pun kemudian mengatakan dengan singkat apa yang telah dialaminya di padukuhan itu, sehingga ia mengambil keputusan untuk memusnahkan pategalan itu dan membunuh orang-orang yang paling jahat di antara mereka.

Tetapi tanggapan Ki Buyut ternyata jauh dari harapan Mahisa Murti. Bahkan sambil tertawa ia berkata, Dari mana kau memperoleh dongeng semacam itu? Kalian adalah pengembara. Mungkin kalian memang pernah mengalami perlakuan seperti itu. Atau barangkali kalian adalah orang-orang yang dipermainkan oleh bayangan angan-angan kalian. Tetapi jika permainan itu menimbulkan kesulitan pada orang lain, bahkan kematian, maka kalian memang merupakan orang-orang yang berbahaya.”

Ternyata pengaruh kemarahan di jantung Mahisa Murti masih belum mereda. Dengan lantang ia berkata, “Ternyata kau bukan seorang Buyut yang baik. Mungkin umurmu masih terlalu muda bagi seorang Buyut, sehingga kau masih belum tahu batas tugas-tugasmu atau lingkup tanggung jawabmu. Kau kira seorang Buyut cukup duduk di pendapa rumahnya sambil menunggu para pemungut pajak uang dan hasïl bumi saja? Atau menunggu seseorang merangkak memberikan upeti untuk maksud-maksud tertentu. Menyuapmu dengan tujuan yang buruk serta keuntungan-keuntungan lain yang dapat kau hisap bagi kepentingan pribadimu?”

“Tutup mulutmu,” bentak Ki Buyut yang juga menjadi marah, “Kau tahu kau berhadapan dengan seorang Buyut. Apapun alasanmu kau harus menghormatiku. Di sini, di Kabuyutan ini akulah orang yang paling berkuasa. Kau harus tunduk kepada perintahku karena aku mempunyai wewenang untuk memaksamu dengan kekerasan.”

“Aku tidak peduli apakah kau seorang Buyut atau bukan. Bahkan aku pernah menentang seorang Akuwu dan menantangnya bertempur karena ia melakukan kesalahan yang sangat berbahaya bagi Pakuwonnya. Tetapi ketika ia menyadari kesalahannya, maka ia lah yang minta maaf kepada kami,” jawab Mahisa Murti.

“Kau makin mengingau,” geram Ki Buyut, “kau tidak pantas untuk berkata seperti itu. Karena itu, maka kalian memang harus mendapat hukuman yang paling berat.”

“Aku menolak hukuman apapun yang akan diberikan kepada kami. Hukuman yang paling ringan sekalipun. Tetapi jika kau tidak mau memperbaiki kesalahanmu sebagai seorang Buyut, kamilah yang akan menghukummu,” jawab Mahisa Murti.

“Cukup,” berkata Ki Buyut,” bersiaplah untuk mati.”

“Aku tahu. Kau tentu berilmu tinggi. Karena itu, aku tantang kau berperang tanding,” berkata Mahisa Murti, “karena jika tidak, maka para pengikutmu akan ikut mati semuanya.”

Tantangan itu memang menggetarkan hati Ki Buyut. Kata-kata yang diucapkan oleh pengembara muda itu agaknya sangat meyakinkan.

Namun Ki Buyut adalah seorang yang baru saja meninggalkan sebuah perguruan. Dengan demikian kebangaan sebagai seorang murid yang telah tuntas menyadap ilmu dari sebuah perguruan masih saja membakar hatinya. Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab dengan lantang, “Aku terima tantanganmu. Tetapi kau harus menyadari, bahwa batas perang tanding adalah mati.”

“Aku sadar karena aku telah berpuluh kali melakukannya,” jawab Mahisa Murti.

Wajah Ki Buyut itu pun berkerut. Tetapi ia segera melangkah maju. Dengan garang ia berkata, “Bersiaplah untuk mati. Barangkali ada pesan bagi kawan-kawanmu itu.”

“Ada pesan tidak untuk kawan-kawanku. Tetapi bagi kawan-kawanmu,” tanpa menghiraukan Ki Buyut Mahisa Murti berkata, “Nah, kalian menjadi saksi kematian Buyut Kabuyutanmu yang akan mati muda. Kuburkan ia baik-baik disamping kubur ayah bundanya jika mereka sudah mati.”

Mahisa Murti tidak menyelesaikan kata-katanya. Ki Buyut yang masih muda itu telah meloncat menyerangnya dengan garang.

Tetapi Mahisa Murti sudah bersiap menghadapinya. Karena itu, demikian serangan itu menerkamnya, maka Mahisa Murti dengan tangkasnya telah meloncat menghindar. Bahkan kemudian ia pun telah berputar dengan ayunan kaki yang keras, menyerang dalam putaran.

Namun kakinya sama sekali tidak menyentuh tubuh lawannya. Dengan sigapnya Ki Buyut itu pun telah meloncat menghindar. Tetapi Mahisa Murti tidak melepaskannya. Ia pun telah memburunya dengan serangan yang keras, kakinya terjulur mendatar mengarah ke dada.

Sekali lagi Mahisa Murti gagal. Ki Buyut itu telah merendah dan dengan cepat sekali kakinya menyapu satu kaki Mahisa Murti dan menjadi tumpuannya berdiri di saat kakinya menyerang.

Tetapi Ki Buyut itu pun tidak berhasil. Mahisa Murti telah menjatuhkan diri pada tangannya yang kemudian mendorong tubuhnya melenting. Sesaat kemudian ia pun telah berdiri tegak di atas kedua kakinya.

Ki Buyut tidak membiarkannya. Ia lah yang kemudian meloncat menyerang. Serangan yang cepat dan dengan kekuatan yang cukup besar. Namun Mahisa Murti pun telah siap menghadapinya, sehingga serangan itu pun tidak mengenainya. Tangan Ki Buyut menyambar tidak ada sejengkal dari kening.

Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin keras dan cepat. Ternyata Mahisa Murti betapapun marahnya masih mengekang diri untuk tidak langsung menghentikan perlawanan Ki Buyut itu.

Perlahan-lahan ia mengikuti perkembangan ilmu Ki Buyut yang terhitung masih muda meskipun tentu umurnya lebih banyak dari umur Mahisa Murti sendiri meskipun hanya berselisih tiga tahun.

Para pengawal Ki Buyut itu menjadi tegang menyaksikan pertempuran yang berlangsung cukup lama. Bahkan semakin lama menjadi semakin sengit. Para pengawal Ki Buyut itu terbiasa melihat bagaimana Ki Buyut yang baru saja keluar dari sebuah perguruan itu dengan cepat mengakhiri perlawanan musuh-musuhnya. Tetapi dalam perang tanding itu ternyata bahwa Ki Buyut memerlukan waktu lebih lama. Ia tidak segera dapat mengakhiri perlawanan pengembara yang masih muda itu.

“Jadi ceritera orang-orang padukuhan itu tidak dilebih-lebihkan,” berkata Ki Buyut di dalam hatinya.

Semula ia memang kurang percaya bahwa para pengembara itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bahkan mampu mematahkan dahan dan cabang-cabang pepohonan tanpa menyentuhnya. Menghancurkan regol dari jarak jauh.

Tetapi ternyata semuanya itu telah terjadi. Dan kini ia sudah berhadapan dengan pengembara itu dalam perang tanding.

Tetapi Ki Buyut itu pun tidak gentar seandainya lawannyaakan menyerangnya dari jarak jauh sekalipun. Ia tentu akan mampu menghindarinya. Ia bukan sebatang dahan atau cabang pepohonan yang mati. Juga bukan regol halaman yang tidak akan mampu bergeser dari tempatnya. Tetapi ia adalah seorang yang memiliki ketangkasan dan kemampuan bergerak melampaui kecepatan serangan itu.

Tetapi Mahisa Murti tidak segera melakukannya. Ia bertempur dari satu tataran ke tataran berikutnya. Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat dan garang.

Berbeda dengan para pengikut Ki Buyut yang tegang, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mampu mengikuti pertempuran itu dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Menurut mereka, maka Mahisa Murti nampaknya ingin menjajagi seberapa batas tingkat tertinggi kemampuan Ki Buyut itu. Baru kemudian Mahisa Murti akan mengalahkannya.

Namun nampaknya Ki Buyut yang muda itu masih saja mampu meningkatkan ilmunya. Ternyata ia pun berusaha untuk mengetahui sampai seberapa jauh tingkat kemampuan Mahisa Murti. Karena itu, maka Ki Buyut itu pun tidak dengan serta merta mencapai tingkat tertinggi dari kemampuannya. Namun agaknya para pengikutnya tidak memahami apa yang dilakukan oleh Ki Buyut yang masih cukup muda itu.

Namun yang terjadi adalah pertempuran yang semakin sengit. Ki Buyut itu akhirnya harus mengakui bahwa lawannya benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Ketika Ki Buyut itu telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak, ternyata ia masih belum mampu menguasai lawannya. Bahkan serangan-serangannya hampir tidak banyak berpengaruh terhadap lawannya yang juga masih muda itu.

Bahkan dalam pertempuran yang semakin sengit itu, ujung-ujung jari tangan Mahisa Murti mulai menyentuhnya, justru ketika Ki Buyut telah sampai ke puncak kemampuannya.

Mahisa Murti yang ingin memaksa lawannya meningkatkan ilmunya lagi dengan sentuhan-sentuhannya atas tubuh lawanya-pun kemudian menyadari, bahwa lawannya memang sudah sampai ke puncak.

Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat mengukur seberapa jauh tingkat kemampuan Ki Buyut muda itu.

Ketika Mahisa Murti sudah yakin akan tingkat kemampuan lawannya, maka ia mulai berusaha untuk menguasai lawannya. Mahisa Murti masih meningkatkan ilmunya selapis lagi, sehingga dengan demikian, maka Mahisa Murti mempunyai lebih banyak peluang untuk memenangkan pertempuran itu daripada Ki Buyut yang ilmunya memang sudah sampai ke batas.

Sentuhan-sentuhan jari Mahisa Murti terasa semakin sering mengenai tubuh Ki Buyut itu. Pada serangan-serangannya yang cepat, maka keempat ujung jari tangannya yang merapat telah menyentuh perut lawannya.

Terasa perut itu menjadi sangat mual. Rasa-rasanya isi perut Ki Buyut itu telah diaduk. Bahkan disertai perasaan sakit yang sangat.

Dengan kemarahan yang semakin memuncak, Ki Buyut berusaha untuk mendorong ilmunya dengan mengerahkan segenap tenaga cadangannya. Namun ia tetap tidak dapat mengatasi kemampuan Mahisa Murti. Bahkan sisi telapak tangan Mahisa Murti itu telah menghantam pundaknya dengan keras sekali, sehingga rasa-rasanya tulangnya menjadi berpatahan. Perasaan sakit yang sangat telah hampir melumpuhkan satu tangannya. Justru tangannya yang kanan.

Tetapi Ki Buyut adalah seorang tertinggi di lingkungannya. Karena itu, maka ia pun seorang yang harus meyakinkan. Apapun yang terjadi, maka ia tetap pada janjinya, perang tanding.

Sebenarnyalah sesaat kemudian Ki Buyut telah terdesak.

Jari-jari tangan Mahisa Murti semakin sering mengenainya. Perutnya, pundaknya, kemudian dadanya dan keningnya. Bahkan kemudian telapak tangan Mahisa Murti telah dengan kerasnya menghantam dada Ki Buyut sehingga Ki Buyut itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian kehilangan keseimbangannya sehingga Ki Buyut itu jatuh terguling di tanah. Dadanya yang tersentuh telapak tangan Mahisa Murti menjadi demikian sakitnya, seakan-akan telah terhimpit batu padas sebukit kecil. Nafasnya menjadi sesak dan Ki Buyut harus bertahan agar ia tidak menjadi pingsan.

Ketika Mahisa Murti melangkah maju, maka dengan susah payah Ki Buyut telah berusaha untuk bangkit dan mempersiapkan diri dengan sisa tenaganya.

Tetapi Ki Buyut itu sudah banyak kehilangan kesempatan, sehingga kawan-kawannyapun dapat mengetahui, bahwa harapannya untuk dapat bertahan menjadi semakin kecil.

Ki Buyut sendiri telah menyadari. Ternyata kemampuan Mahisa Murti itu memang berada di atasnya. Tetapi ia belum benar-benar sampai ke puncak kemampuannya. Ia masih belum mempergunakan senjatanya.

Karena itu, ketika Mahisa Murti maju selangkah lagi, Ki Buyut telah mencabut pedangnya. Pedang yang terbuat dari baja pilihan. Buatannya pun sangat baik dan rapi, sehingga pedang itu merupakan pedang yang sangat tinggi nilainya.

Ketika Ki Buyut menggerakkan pedangnya itu, seakan-akan cahaya yang kebiru-biruan telah memancar dari kilatan daun pedang yang terbuat dari baja pilihan itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Buyut yang masih muda itu berkata lantang, “Pandanglah daun pedangku ini. Pedang yang tidak ada duanya di seluruh Kediri dan bahkan Singasari. Setiap kali pedang ini lepas dari sarungnya, maka setidak-tidaknya sebuah nyawa akan melayang. Demikian pula sekarang. Aku sudah mencabut pedangku. Maka tidak akan ada harapan lagi bagimu untuk tetap hidup.”

Mahisa Murti bergeser selangkah surut. Sementara itu Ki Buyut melangkah maju sambil berkata, “Jangan menyesal. Kau akan mati disini.”

Ketika Ki Buyut memutar pedangnya, maka Mahisa Murti-pun mengerti, bahwa Ki Buyut benar-benar seorang yang memiliki ilmu pedang yang tinggi. Karena itu, ia tidak akan melawannya dengan tangannya saja. Namun Mahisa Murti itu-pun telah mencabut pedangnya pula.

Tetapi demikian Mahisa Murti mengangkat pedangnya, maka Ki Buyut itu pun tertawa berkepanjangan. Dengan nada tinggi ia berkata, “Pedang apakah yang kau bawa itu? Apakah dengan pedang itu kau akan melawan pendangku?”

“Yang penting bukan pedang apakah yang kita pergunakan,” jawab Mahisa Murti, “tetapi ilmu pedang yang bagaimanakah yang kita kuasai.”


“Tetapi senjata kita akan ikut menentukan,” jawab Ki Buyut.

“Memang hanya ikut menentukan. Tetapi bukan sebab utama,” jawab Mahisa Murti.

Namun Ki Buyut itu masih saja tertawa. Selangkah demi selangkah ia maju sambil berkata, “Ternyata umurmu memang hanya sampai hari ini. Semula aku merasa bahwa aku telah terdesak. Tetapi ternyata bahwa kau memang akan mati.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah merasa meredam kemarahanku. Tetapi kau telah mulai mengungkitnya lagi. Jika kau tidak dapat menahan diri, maka kau akan menyesal, bahwa batas kekuasaanmulah yang hanya sampai hari ini.”

“Anak setan,” geram Ki Buyut. Lalu sambil memutar pedangnya ia berkata, “Kau akan segera melihat satu kenyataan pahit tentang dirimu.”

Mahisa Murti melangkah maju pula. Pedangnyapun mulai bergetar. Dengan nada rendah ia berkata, “Baiklah. Kita akan melihat, apa yang akan terjadi.”

Ki Buyut tidak menjawab lagi. Namun itu pun kemudian telah meloncat menyerang dengan garangnya. Pedangnya berputaran dengan cepat, menebas mendatar, namun kemudian terayun tegak dan dengan cepat mematuk ke arah dada.

Tetapi Ki Buyut ternyata tidak mampu menyentuh tubuh lawannya. Dengan sigap Mahisa Murti meloncat mengelakkan setiap serangan. Bahkan kemudian menangkis dengan pedangnya yang dianggap tidak berharga sama sekali oleh Ki Buyut.

Ki Buyut memang menjadi sangat terkejut. Pedangnya yang terbuat dari baja pilihan dan berkilat-kilat kehijauan itu, telah membentur sebilah pedang yang tidak lebih baik dari parang pembelah kayu. Namun getarannya bagaikan merambat menyakiti telapak tangannya.

Tetapi Mahisa Murti pun menjadi terkejut pula. Ketika kedua pedang itu beradu, ternyata pedang Mahisa Murti telah terluka, meskipun hanya pecah sebesar biji beras. Tetapi jika hal seperti itu terjadi di setiap benturan, maka tajam pedangnya akan menjadi seperti gergaji.

Sekali lagi Ki Buyut tertawa. Katanya, “Lihat, mata pedangnya yang pecah. Meskipun hanya sebesar debu sekalipun, namun hal seperti itu akan terjadi beberapa kali, sehingga akhirnya pedangmu akan menjadi rusak sama sekali.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Tidak apa-apa. Aku masih mempunyai dua pedang yang lain. Jika pedangku patah sekalipun, aku dapat meminjam pedang adik-adikku.”

“Pedang-pedang itu akan patah juga,” geram Ki Buyut.

“Tetapi tentu memerlukan waktu. Sementara itu kau sudah kehabisan tenaga,” jawab Mahisa Murti.

Ki Buyut itu menggeram. Sambil berteriak marah ia meloncat menyerang pula. Sebuah ayunan yang mengerahkan segenap sisa tenaganya mengarah ke leher Mahisa Murti.

Tetapi Mahisa Murti telah mengetahui kemampuan pedangnya dihadapkan dengan pedang Ki Buyut yang memang sangat bagus, bukan saja buatannya tetapi juga bahannya. Karena itu, maka Mahisa Murti sama sekali tidak menangkis serangan itu. Dengan satu loncatan kecil menghindari serangannya lawannya, namun justru kemudian pedangnya telah mengikuti ayunan itu, menyentuhnya dan dengan cepat berputar seakan-akan membelit pedang Ki Buyut.

Ki Buyut terkejut bukan buatan. Dengan segenap sisa tenaganya ia merenggut pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya. Namun ternyata ia masih berhasil mempertahankannya meskipun telapak tangannya terasa bagaikan terbakar.

Yang kemudian tertawa adalah Mahisa Murti. Dengan lantang ia berkata, “Hampir saja aku mendapatkan sebilah pedang yang sangat bagus dan terbuat dari baja pilihan. Tetapi aku yakin, dalam dua atau tiga putaran lagi, pedang itu tentu akan terlepas dri tanganmu dan akan menjadi milikku.”

“Persetan,” geram Ki Buyut yang telah mempersiapkan diri untuk menyerang kembali.

Tetapi Ki Buyut tidak dapat mengingkari kenyataan yang baru saja terjadi. Jika hal seperti itu terulang, maka nampaknya yang dikatakan lawannya itu akan terjadi.

Tetapi Ki Buyut ternyata menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak lagi berusaha untuk mematahkan begitu saja pedang lawannya. Tetapi ia mulai menyerang dengan ilmu pedangnya yang tinggi.

Namun Mahisa Murti yang sudah mulai jemu dengan pertempuran itu pun telah memutuskan untuk menghentikan perlawanan Ki Buyut.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian, Mahisa Murtitidak lagi sekedar bertahan. Tetapi ia pun telah mulai menyerang semakin lama semakin garang. Dengan pedangnya yang sederhana itu Mahisa Murti menunjukkan kemampuan yang sangat tinggi dalam ilmu pedang, sehingga Ki Buyut itu berteriak nyaring ketika segores luka telah mengoyak lengannya.

“Buktikan bahwa pedangmu adalah pedang yang lebih baik dari pedangku,” berkata Mahisa Murti meskipun pada mata pedangnya telah terdapat beberapa bagian yang pecah. Namun Mahisa Murti itu pun berkata, “Semakin banyak pecahan pada mata pedangku, maka pedangku menjadi semakin mengerikan. Setiap goresan luka akan berarti daging yang terkoyak sampai ke tulang, justru karena tajam pedangku tidak rata.”

Wajah Ki Buyut memang menjadi tegang. Namun ia adalah seorang Buyut, sementara itu beberapa orang pengikutnya telah menyaksikan perang tanding itu. Ia sendiri telah meneriakkan isyarat bagi perang tanding itu. Sampai salah seorang di antaranya mati.

Ternyata bahwa Ki Buyut itu pun seorang laki-laki yang berpegang pada harga dirinya. Meskipun ia menyadari betapa besarnya bahaya yang mengancamnya, namun ia masih juga maju selangkah, sementara darah masih saja mengalir dari lukanya.

“Jika pedangku menyentuh lehermu, kau dapat membayangkannya,” berkata Mahisa Murti.

Ki Buyut menggeretakkan giginya. Namun kemudian ia pun telah meloncat menyerang, pedangnya yang memang pedang pilihan itu berputar dengan cepatnya, melontarkan cahaya yang kehijauan.

Tetapi betapapun bagusnya pedang di tangan Ki Buyut, namun lawannya adalah seorang yang berilmu pedang jauh lebih tinggi dari ilmunya.

Karena itu, maka sejenak kemudian, maka Ki Buyut itu pun telah kembali terdesak. Sekali lagi ujung pedang Mahisa Murtimengenai tubuhnya, sehingga pundaknya telah terluka pula.

Ki Buyut menyadari, betapa tinggi ilmu lawannya. Meskipun hanya dengan pedang yang tidak lebih bagus dari parang pembelah kayu, ia mampu mengatasinya, meskipun ia mempergunakan pedang pilihan.

Dalam pertempuran selanjutnya, maka Ki Buyut tidak banyak dapat berbuat. Bahkan sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Murti, dalam satu benturan yang keras, maka sekali lagi pedang Mahisa Murti bagaikan membelit pedang pilihan di tangan Ki Buyut itu. Namun Ki Buyut ternyata terlambat merenggut pedangnya. Justru telapak tangannya bagaikan menggenggam bara, sehingga pedang pilihan di tangannya itu terlepas.

Pedang itu memang meloncat ke udara. Namun demikian pedang itu melayang jatuh, tangkainya tepat melekat di telapak tangan lawannya.

Mahisa Murti tertawa. Sambil memutar dua bilah pedang di kedua tangannya ia berkata, “Nah, ternyata aku benar-benar berhasil mendapatkan pedang pilihan ini.”

“Persetan,” geram Ki Buyut, “sekarang, jika kau akan membunuhku, bunuhlah. Perang tanding ini memang baru berakhir setelah seorang di antara kita mati.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia justru termangu-mangu.

Namun dalam pada itu, terdengar suara tertawa di balik gerumbul perdu. Sejenak kemudian, seorang berjanggut putih telah meloncat dari persembunyiannya.

Mahisa Murti bergeser surut. Sementara itu terdengar Ki Buyut berdesis, “Guru. Aku mohon maaf, ternyata aku telah gagal menjunjung tinggi nama perguruanku.”

“Kau kalah?” bertanya orang berjanggut putih itu.

Ki Buyut itu menunduk. Jawabnya, “Aku belum mati Guru. Perang tanding ini akan berakhir jika seorang di antara kami telah terbunuh.”

“Dan kau akan menyerahkan lehermu untuk ditebas dengan tajam pedang yang bergerigi itu?” bertanya gurunya.

Ki Buyut tidak menjawab. Tajam pedang Mahisa Murti yang bergerigi itu memang mengerikan. Tetapi baginya, perang tanding itu harus berakhir. Apalagi di hadapan gurunya, ia tidak boleh menjadi pengecut.

Tetapi di luar dugaan, gurunya berkata, “Kau sudah kalah. Kau tidak perlu membunuh diri.”

Ki Buyut itu termangu-mangu. Sementara itu, orang berjanggut putih itu telah melangkah maju mendekati Mahisa Murti.

Dengan demikian Mahisa Murti pun telah bersiaga. Tetapi di tangannya tergenggam sebilah pedang yang baik buatannya dan bahannya yang dirampasnya dari lawannya.

Karena itu, maka ia pun telah menyarungkan pedangnya. Sambil memutar pedang pilihan itu ia berkata, “Pedang ini benar-benar pedang luar biasa.”

“Ya,” desis guru Ki Buyut, “nilainya sangat tinggi.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya, “Jadi kau adalah guru Ki Buyut?”

“Ya, ngger. Aku adalah guru Ki Buyut,” jawab orang tua itu.

“Sekarang, apakah kau juga akan menantang aku untuk berperang tanding?” bertanya Mahisa Murti yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bersiap pula. Sementara Mahisa Amping berdiri termangu-mangu.

Tetapi orang itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak ngger. Mana mungkin aku berani berhadapan dengan ilmu Bajra Geni meskipun sudah dalam bentuk pengembangannya.”

Mahisa Murti terkejut. Sementara orang tua itu berkata, “Jika pada saatnya ilmu Bajra Geni itu sampai ke puncaknya,maka siapakah yang akan kuat menahankannya? Apalagi kekuatan ilmu Bajra Geni telah bergabung dengan aliran Pakuwon Lemah Warah. Benar-benar ilmu yang luar biasa.”

“Dari mana kau tahu Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku adalah pengembara seperti angger bertiga dan sekarang berempat dengan seorang kanak-kanak,” jawab orang itu, “aku mengenali banyak sekali jenis ilmu. Dan akupun mampu menilai tingkat dan tataran ilmu itu. Karena itu, aku ingin menasehati muridku, bahwa ia tidak perlu berkecil hati jika ia dikalahkan oleh ilmu Bajra Geni. Muridku harus mengerti, bahwa aku sendiri pun tidak akan mampu menandingi ilmu itu.”

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menjadi termangu-mangu. Ia belum mengenal orang itu. Dengan terperinci orang itu mencoba menyebut ilmunya.

Namun orang itu telah menjelaskan, “Sebenarnyalah aku belum mengenal anak-anak muda secara pribadi. Justru kami ingin tahu, siapakah kalian yang telah membawa bekal ilmu yang paling dahsyat itu, disamping itu Gundala Sasra, maka ilmu kalian tidak ada tandingnya.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia justru bertanya, “Siapakah namamu dan kau datang dari perguruan yang mana?”

“Namaku tidak penting. Kau tentu belum mengenal aku. Tetapi baiklah aku menyebutnya jika itu kau anggap perlu. Namaku Adyan Akenan. Nama yang sama sekali tidak dikenal. Tetapi karena pengembaraanku yang lama, maka aku justru telah mengenali banyak sekali jenis dan ciri-ciri ilmu,” jawab orang itu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Nah, setelah kau tahu namaku, maka aku ingin dari perguruan manakah kalian datang.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Kami adalah orang-orang dari perguruan Bajra Seta. Sebuah perguruan kecil yang tidak penting sama sekali. Bahkan kau yang pengembara dan banyak sekali mengetahui tentang dunia kanuragan, belum tahu juga tentang perguruan Bajra Putih itu.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Ia memang belum pernah mendengar perguruan Bajra Seta atau yang agaknya juga disebut Bajra Putih. Sambil menggeleng ia berkata, “Aneh. Ilmu yang nampak dalam susunan unsur-unsur gerakmu adalah ilmu Bajra Geni. Namun kau sebut perguruanmu dengan nama Bajra Seta. Atau barangkali ada hubungan antara perguruanmu dengan ilmu Bajra Geni?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar