Bunga Di Batu Karang Jilid 28 (Tamat)

Mayor Bilman menggeram. Tetapi tubuhnya menjadi semakin lemah.

Sementara itu, tabib dari pasukan Mayor Bilman telah bekerja keras. Seperti yang dilakukan atas Kapten Kenop maka luka Mayor Bilman itu pun telah digoresnya dengan pisau. Tetapi tabib itu menjadi sangat gelisah, justru Mayor Bilman tidak lagi mengaduh ketika lengannya itu tergores pisau.

“Bagaimana?” bertanya kapten Kenop dengan gelisah pula.

Tabib itu tidak melihat lagi kesempatan untuk berbuat sesuatu. Keadaan Mayor Bilman jauh lebih gawat dari keadaan Kapten Kenop justru karena Mayor Bilman diguncang oleh kemarahannya dan tidak segera berusaha untuk menemui tabib itu.

Tetapi karena keadaan kapten Kenop sendiri yang parah, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kepada seorang pengawal ia berkata, “Panggil Letnan Rapis atau Letnan Morman”

Pengawal itu pun segera meninggalkan tempat itu memasuki arena untuk menemui salah seorang dari kedua orang yang disebut namanya oleh kapten Kenop itu.

Namun dalam pada itu, keadaan Mayor Bilman sudah menjadi semakin parah. Kesadarannya telah menjadi semakin kabur.

Namun dalam pada itu, tabib yang merawatnya masih mendengar Mayor itu berkata, “Tentu ada pengkhianat di antara kita”

“Apakah Mayor mempunyai dugaan atau justru dengan yakin?” bertanya tabib itu.

Tetapi Mayor yang semakin lemah itu menggeleng.

Sebenarnyalah jantung Mayor yang dalam keadaan yang sulit itu sedang bergejolak. Ia sadar, bahwa tentu ada sesuatu yang tidak wajar, justru karena kedatangan pasukannya dan pasukan Surakarta itu telah diketahui oleh Pangeran Mangkubumi. Sepercik tuduhan memang telah terlontar kepada seorang perempuan yang telah mengisi kekosongan hatinya selama ia berada di Surakarta. Teringat oleh Mayor itu, bahwa ia memang pernah mengatakan, bahwa ia akan berhadapan langsung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi sehingga ia sendiri harus berangkat ke medan.

Tetapi mulutnya terasa sangat berat untuk menyebut nama Raden Ayu Galihwarit. Perempuan itu benar-benar telah berhasil merebut hatinya di saat-saat ia jauh dari keluarganya.

“Jika aku menyebut namanya, maka ia tentu akan digantung di alun-alun atau dihadapkan kepada seregu prajurit yang akan menembaknya sampai mati” berkata Mayor itu di dalam hatinya, “Tetapi jika aku keliru, dan aku tidak sempat memperbaiki kesalahan ini, maka aku sudah membunuh seseorang yang tidak berdosa, justru seseorang yang telah memberikan isi pada hidupku yang kosong di seberang lautan ini”

Justru dalam keragu-raguan itulah racun tombak orang berbaju kutung itu semakin meresap ke dalam jantungnya, membekukan darahnya. Segala usaha dan obat yang diberikan oleh tabibnya yang pandai itu ternyata tidak banyak menolong-nya, karena kelambatannya sendiri.

“Jika saja Mayor cepat menghubungi aku” desis tabib itu. Nampak keringat membasah di keningnya. Namun sebenarnya-lah bahwa usahanya sia-sia.

Sejenak kemudian, telah timbul noda-noda hitam dan kemerah-merahan di tubuh Mayor Bilman. Karena itu, maka segala usaha sudah sia-sia. Sejenak kemudian Mayor yang berani itu seakan-akan telah membeku. Penjelajahannya di antara benua dan samodra pun telah diselesaikannya di Surakarta.

“Bagaimana keadaannya?” bertanya kapten Kenop.

Tabib itu menggeleng.

“Gila” geram kapten itu. Namun ketika ia akan bangkit, tabib itu melarangnya. Katanya, “kapten harus mengambil keadaan Mayor Bilman sebagai pengalaman. Kelambatannya yang hanya beberapa saat saja telah membuat kehilangan kesempatan. Ia telah meninggal”

“Jika demikian, pasukan kumpeni ini menjadi tanggung jawabku” geram kapten Kenop.

“Tetapi keadaan kapten sendiri tidak menguntungkan” jawab tabib itu. Lalu, “Kapten dapat memberikan perintah lewat Letnan Rapis atau Letnan Morman”

Kapten Kenop menggeretakkan giginya. Tetapi ia harus mengikuti petunjuk tabib itu, di sampingnya Mayor Bilman terbujur diam untuk selama-lamanya.

Sejenak kemudian pengawal yang diperintahkan untuk memanggil Letnan Rapis atau Letnan Morman itu pun telah datang. Bersama orang itu adalah seorang Letnan yang berkumis lebat, panjang.

Setelah memberikan hormat, maka Letnan itu pun berjongkok di samping kapten Kenop.

“Kau lihat keadaan Mayor?” bertanya kapten Kenop.

“Ya kapten” jawab Letnan itu.

“Dan kau lihat keadaanku?” bertanya kapten Kenop pula.

“Ya kapten” jawab Letnan itu pula.

“Aku perintahkan kau memimpin pasukan kumpeni. Hubungi Pangeran Yudakusuma dan laporkan apa yang terjadi” perintah kapten Kenop. Lalu, “beritahukan hal ini kepada Letnan Rapis”

“Letnan Rapis berada di sebelah sungai bersama Pangeran Yudakusuma” jawab Letnan itu.

“Cari hubungan dengan Letnan Rapis dan Pangeran Yudakusuma. Cepat. Keadaan medan semakin gawat” berkata kapten yang terluka itu.

“Bukan saja gawat kapten” jawab Letnan itu, “Tetapi parah. Tetapi keadaan lawan pun tidak berbeda”

“Hancurkan mereka. Usahakan menangkap orang berbaju warna ungu gelap, dengan lengan baju sampai kesiku” perintah kapten itu pula.

Letnan itu pun bangkit. Setelah memberi hormat maka ia pun meninggalkan kapten yang terluka itu dengan darah yang bagaikan mendidih. Dua orang perwira tertinggi dalam pasukan-nya telah lumpuh. Bahkan Mayor Bilman telah terbunuh di pertempuran itu. Satu korban yang sangat mahal harganya

Dengan wajah yang geram maka ia pun memerintahkan seorang sersan kumpeni untuk menghubungi Letnan Rapis yang bertempur berdampingan dengan Pangeran Yudakusuma.

Sementara itu, maka ia pun telah mempergunakan seekor kuda untuk memasuki arena pertempuran di seberang sungai. Dengan kemarahan yang menyala ia berjanji kepada diri sendiri untuk membunuh orang berbaju ungu gelap dengan lengan baju sampai kesiku.

Sementara itu, di arena pertempuran berkuda, Juwiring dan Buntal pun telah tersisih pula karena luka-luka mereka. Namun dalam pada itu, perlawanan pasukan berkuda dari lingkungan Pangeran Mangkubumi masih juga membakar arena. Mereka yang tidak mempergunakan kuda pun telah melibatkan diri melawan kumpeni dan pasukan berkuda dari Surakarta. Dengan tombak dan lembing-lembing tajam mereka berusaha untuk menyerang lawan mereka yang berada di punggung kuda.

Tetapi dalam pada itu, Letnan Morman itu sama sekali tidak bertemu dengan orang berbaju kutung. Meskipun demikian, ia tidak dengan mudah dapat menghalau lawan-lawannya, meskipun Letnan itu pun memiliki kemampuan yang tinggi

Namun sementara itu sersan yang diperintahkannya mencari hubungan dengan Letnan Rapis telah menyusulnya. Dengan wajah tegang sersan itu berkata, “Letnan Rapis terluka parah”

“He? Terluka?” bertanya Letnan Morman.

“Ya Letnan. Terluka oleh orang berbaju ungu gelap dengan lengan baju sepanjang sikunya” jawab sersan itu.

“Gila” dimana orang itu sekarang?” bertanya Morman.

“Orang itu menghilang di medan” jawab sersan itu.

“Aku cari orang itu disini. Bukankah di arena ini Mayor Bilman terbunuh dan kapten Kenop terluka. Tetapi tiba-tiba saja ia sudah berada di seberang. Aku berharap bahwa orang itu berani menghadapi aku di medan ini, “Letnan Morman yang marah itu berteriak.

Tetapi suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk pertempuran.

Sementara itu sersan itu pun berkata, “Aku sudah membuat hubungan dengan Pangeran Yudakusuma”

“Apa perintahnya?” bertanya Letnan itu.

“Keadaan menjadi gawat. Pangeran minta pertimbangan Letnan. Agaknya tidak ada gunanya pertempuran dilanjutkan” jawab sersan itu.

Letnan itu mengerutkan keningnya. Ketika ia melayangkan pandangannya ke medan, maka nampak kedua belah pihak menjadi sangat letih. Sementara matahari telah condong ke Barat Seperti juga pasukan kedua belah pihak yang sedang bertempur, matahari itu pun dengan letih pula bergantung di langit. Semakin lama semakin rendah.

Namun sebenarnyalah pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat yang menurunkan Senapati-senapati terpentingnya, di antaranya beberapa orang bangsawan Surakarta, telah berusaha untuk menghadapkan kekuatannya sebagian besar kepada kumpeni, meskipun mereka pun harus bertahan terhadap pasukan Surakarta.

Sementara itu ketika seorang Pangeran yang bertempur di medan dengan sebatang tombak pendek mendekati Pangeran Yudakusuma, maka terdengar Pangeran Yudakusuma mengge-ram, “Marilah adimas. Kita akan menentukan, siapakah Senapati terbaik di antara kita”

Tetapi jawaban Pangeran di pihak Pangeran Mangkubumi itu mengejutkan sekali. Katanya, “Tentu kakangmas Yudakusuma. Tidak ada yang dapat mengimbangi keperwiraan kakangmas Pangeran. Namun sayang, bahwa keperwiraan itu ternyata berada di pihak yang salah”

“Aku bukan kanak-kanak yang tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk” jawab Pangeran Yudakusuma, “di peperangan kita akan memperbandingkan tajamnya ujung senjata kita”

“Aku sama sekali tidak akan berani melawan kakangmas” jawab Pangeran yang berdiri di pihak Pangeran Mangkubumi itu, “karena itu, aku akan mencari lawan yang sebenarnya lawan. Kumpeni. Biarlah para pengawal menahan kemarahan kakangmas”

Pangeran Yudakusuma menggeram Tetapi Pangeran itu meninggalkannya, seolah-olah tidak menghiraukannya sama sekali. Tetapi ketika ia berusaha memburunya, maka ia harus melawan orang-orang yang bagaikan mengepungnya. Para pengikut Pangeran Mangkubumi itu tahu benar, bahwa Pangeran Yudakusuma, Senapati Agung dari Surakarta itu harus di hadapi dalam sebuah kelompok.

Tetapi yang terjadi itu telah terulang kembali, Seorang Pangeran yang lain pun memperlakukannya seperti Pangeran yang terdahulu. Bahkan Pangeran yang kemudian itu berkata, “Jika kakangmas ingin melihat rakyat Surakarta menjadi bagaikan tebangan ilalang, maka kakangmas akan dapat melakukannya. Mungkin kakangmas Pangeran Mangkubumi akan dapat menahan kemarahan kakangmas Yudakusuma. Tetapi kakangmas Pangeran Mangkubumi lebih tertarik membunuh para perwira kumpeni. Dan itu sudah dilakukannya”

Jantung Pangeran Yudakusuma menjadi berdebaran. Keadaan pertempuran itu sama sekali tidak menguntungkan pasukannya dan pasukan kumpeni, apalagi sepeninggal Mayor Bilman seperti yang telah dilaporkannya kepadanya.

Sikap para Pangeran dan Senapati dalam pasukan Pangeran Mangkubumi itu pun telah menyakitkan hatinya. Tetapi sementara itu, ia pun sempat melibat apa yang sebenarnya dihadapinya. Jika ia membunuh sebanyak-banyaknya, maka yang dibunuhnya itu adalah rakyat Surakarta sendiri. Sementara Pangeran Mangkubumi telah memilih lawan. Bukan orang Surakarta.

Yang terjadi itu ternyata telah membuat isi dadanya bergejolak Karena itu, ia hampir tidak sabar menunggu pendapat Letnan Morman yang untuk sementara harus memegang tanggung jawab, karena Mayor Bilman terbunuh dan kapten Kenop telah terluka.

Dalam pada itu, pertempuran pun masih berlangsung dengan sengitnya. Panas matahari di langit seolah-olah telah menambah kemarahan di setiap hati, sehingga karena itu, maka pedang dan tombak pun telah berdentang semakin keras.

Tetapi hati Pangeran Yudakusuma telah terguncang oleh sikap para Senapati pasukan lawan. Nampaknya memang sudah diatur, bahwa ia harus berhadapan dengan sekelompok pengikut Pangeran Mangkubumi. Tentu sekelompok orang yang memiliki kemampuan untuk melawannya, namun mereka bukan orang-orang yang menentukan. Sementara itu para Senapati telah berusaha untuk berhadapan langsung dengan para perwira kumpeni.

Pangeran Yudakusuma itu pun telah mendengar laporan tentang perwira-perwira yang terluka.

Dalam pada itu, dalam kegelisahannya, seorang penghubung telah datang kepadanya, untuk melaporkan, bahwa Letnan Morman sedang berhubungan dengan kapten Kenop yang terluka.

“Aku memerlukan pendapatnya secepatnya” berkata Pangeran Yudakusuma.

Sementara itu Letnan Morman memang telah menghadap kapten Kenop untuk melaporkan keadaan medan dalam keseluruhan. Ia pun telah melaporkan bahwa Rapis telah terluka oleh orang yang disebut berbaju warna ungu gelap dan lengan bajunya hanya sepanjang siku.

“Aku mencarinya di medan yang kapten sebutkan” berkata Morman, “Tetapi tiba-tiba ia sudah melukai Letnan Rapis di seberang sungai itu”

“Orang itu memang Iblis” geram kapten Kenop.

“Bagaimana pertimbangan kapten?” bertanya Morman.

Kapten Kenop menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku sependapat dengan Letnan. Pasukan kita memang harus ditarik sebelum keadaan menjadi semakin parah.

Sejenak kemudian Letnan Morman sendiri telah menemui Pangeran Yudakusuma. Keduanya pun. kemudian sepakat untuk menarik pasukan Surakarta yang telah menjadi jauh susut. Meskipun lawan pun menjadi parah pula.

Sebentar kemudian telah terdengar suara terompet. Dua orang kumpeni telah meniupkan aba-aba bagi pasukannya. Mereka tidak lagi akan bertahan terlalu lama dalam pertempuran yang menggila itu.

Perintah itu cukup tegas. Sejenak kemudian setiap orang di dalam pasukan Surakarta itu pun telah membenahi diri. Beberapa orang masih berusaha untuk membawa kawan-kawan mereka yang terluka dengan perlindungan kawan-kawannya yang lain.

Sementara itu, ternyata dari pihak pasukan Pangeran Mangkubumi pun telah terdengar isyarat pula. Tiga buah panah sendaren naik ke udara. Pertanda bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi pun berusaha untuk menghentikan pertempuran sebelum waktunya.

Sebenarnyalah, pasukan Pangeran Mangkubumi sama sekali tidak berusaha mengejar pasukan lawan yang bergeser, surut. Karena kemampuan yang mapan, maka kumpeni dan pasukan Surakarta itu tidak terpecah dan berlari tercerai berai. Mereka mundur dengan teratur meskipun agak tergesa-gesa, sehingga ada saja di antara mereka yang terluka tertinggal, dan senjata yang tidak terbawa. Bahkan beberapa meriam kecil telah mereka tinggalkan di pinggir sungai yang berlereng agak terjal itu.

Pangeran Mangkubumi memang memerintahkan agar pasukannya tetap tinggal. Menilik kekuatan yang tidak terpaut terlalu banyak maka pasukan Pangeran Mangkubumi itu tidak akan berhasil menghancurkan kumpeni dan pasukan Surakarta yang mengundurkan diri. Namun dalam benturan itu ternyata bahwa korban yang terbesar justru adalah kumpeni.

Karena itu, maka pasukan Mangkubumi telah melepaskan lawannya menarik diri kembali ke Surakarta dalam keadaan yang parah. di antara mereka terdapat tubuh Mayor Bilman yang terbunuh. Kapten Kenop dan Letnan Rapis yang terluka berat. Beberapa orang bintara dan prajurit yang sempat mereka ambil dari antara tubuh yang terkapar di arena.

Namun korban di pihak Pangeran Mangkubumi pun tidak sedikit. Beberapa Senapati telah terluka. Sementara itu di antara pasukan berkuda, Juwiring dan Buntal pun telah terluka pula.

Meskipun demikian, para pemimpin di dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi itu pun mengucap sYukur bahwa mereka berhasil menahan kekuatan kumpeni dan pasukan Surakarta. Tanpa perlindungan dari Yang Maha Kuasa, dengan lantaran Raden Ayu Galihwarit yang sempat menyampaikan berita rencana serangan kumpeni itu lewat Rara Warih, maka pasukan Mangkubumi tentu akan mengalami keadaan yang sangat pahit. Mereka tidak akan sempat menyusun rencana jebakan. Bahkan merekalah yang akan terjebak di dalam kepungan tanpa sempat memberi tahu pasukan yang berada di Sukawati.

Jika terjadi demikian, maka kekuatan pokok pasukan Pangeran Mangkubumi benar-benar akan patah, karena pasukan Surakarta itu benar-benar dihimpun untuk maksud menghancurkan sampai tuntas pasukan Pangeran Mangkubumi.

Dengan persiapan yang tergesa-gesa, namun pasukan Pangeran Mangkubumi berhasil di selamatkan, meskipun korban memang harus jatuh. Tetapi korban itu tidak mematahkan kekuatan pokok Pangeran Mangkubumi.

Dalam pada itu, pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta yang menarik diri telah meninggalkan medan dengan lesu. Ketika mereka melalui bulak panjang, tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat di jalur jalan sempit yang sejajar dengan jalan itu, seorang penunggang kuda dengan baju berwarna ungu gelap dan dengan lengan baju sampai ke siku.

“Anak iblis” geram Letnan Morman yang melihatnya, “Orang itulah yang telah melukai kapten Kenop dan membunuh Mayor Bilman”

“Apakah kami harus menangkapnya Letnan?” bertanya seorang sersan pengawal.

Letnan Morman ragu-ragu. Sementara itu seorang Senapati Surakarta berdesis, “Tidak ada gunanya. Kau tidak akan dapat mengejarnya”

“Kita akan menembaknya” geram Letnan Morman, yang kemudian memerintahkan beberapa orang prajuritnya siap dengan senapan mereka.

“Tidak ada gunanya” sekali lagi Senapati Surakarta itu seolah-olah bergumam bagi diri sendiri”

Letnan Morman mengerutkan keningnya. Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Katanya, “Orang itu berada dalam jarak jangkau tembakan senapan”

Senapati yang bergumam itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Sejenak kemudian, beberapa orang kumpeni telah siap dengan senapan mereka. Letnan Morman memerintahkan mereka berjajar di pinggir jalan. Orang berbaju kutung itu berkuda perlahan-lahan, sebagaimana pasukan Surakarta yang lesu itu, berjarak kotak-kotak sawah yang mengantarai dua jalur jalan yang sejajar.

Tiba-tiba saja Letnan Morman itu pun memekikkan aba-aba. Sesaat kemudian, beberapa pucuk senapan telah meledak bersama-sama.

Letnan Morman melihat kuda orang berbaju kutung itu bergeser dan melonjak. Tetapi sesaat kemudian orang berbaju kutung itu sudah menguasai kudanya kembali.

Pangeran Yudakusuma yang berada di paling depan mendengar di belakang, ledakan tembakan itu. Ia hanya sekedar berpaling. Tetapi ia tidak menghiraukannya lebih lanjut. Seperti Senapati-senapati Surakarta, ia tahu bahwa tembakan itu tidak akan ada gunanya sama sekali. Bahkan Pangeran Yudakusuma pun menjadi berdebar-debar melihat orang berbaju kutung itu. Ia pun mendengar bahwa ada orang berbaju kutung di medan. Beberapa orang perwira kumpeni telah terbunuh. Tetapi orang berbaju kutung itu tidak pernah dapat dikalahkan.

Dan sekarang ia melibat orang berbaju kutung itu.

“Meskipun semua senapan akan meledak, tetapi orang itu tidak akan dapat dikenaInya” berkata Pangeran Yudakusuma kemudian, “kecuali jaraknya tidak cukup dekat, kumpeni yang lelah itu tidak akan mampu mengangkat laras senapannya dan membidik dengan tepat”

Namun sebenarnyalah di dalam hati Pangeran Yudakusuma berkata, “Orang itu adalah Pangeran Mangkubumi sendiri. Ternyata Pangeran Mangkubumi telah benar-benar marah dengan gerakan pasukan ini. Kecuali ia sendiri langsung menyusup di medan dengan pakaian yang aneh itu, di tangannya telah tergenggam tombak Kangjeng Kiai Pleret itu sendiri”

Pangeran Yudakusuma menarik nafas dalam-dalam. Semen-tara itu Letnan Morman mengumpat dengan kasarnya. Tidak sebutir peluru pun yang nampaknya menyentuh orang berbaju kutung itu.

“Kami akan mengejarnya” minta seorang sersan dari pasukan berkuda, “Kami seberangi sawah yang sempit ini. Kami akan menembaknya dengan pistol dari jarak yang lebih pendek”

Seorang Senapati Surakarta yang mendengarnya tersenyum. Katanya, “Jangan bermimpi melawan orang itu. Yang dapat membunuhnya bukan senjata-senjata semacam itu”

“Apa?” bertanya Morman.

“Seperti Pangeran Ranakusuma, diperlukan sepucuk pusaka yang mampu mengatasi kekebalan kulitnya” jawab Senapati.

“Omong kosong” geram Morman, “Kalau aku mendekatinya dengan senjata api di tangan, ia tentu melarikan diri. Orang pribumi memang mempunyai kepercayaan yang aneh-aneh”

Tetapi Senapati itu menyahut, “Kau lihat. Peluru-pelurumu tidak mengenainya”

“Jarak ini memang terlalu jauh untuk dapat membidik dengan tepat” jawab Morman.

“Tetapi jika kau yang berdiri di jalan itu, maka peluru-peluru itu akan menembus kulitmu” berkata Senapati itu.

“Aku tidak percaya” jawab Morman marah.

“Terserah kepadamu. Jika kau ingin mengejarnya, ajak sepuluh orang prajurit kumpeni untuk melakukannya. Aku memang percaya bahwa orang berbaju kutung itu akan melarikan diri. Tetapi tembakan-tembakanmu tidak akan mengenainya sama sekali” berkata Senapati itu pula.

Morman menggeram. Tetapi ia tidak memerintahkan kumpeni untuk mengejarnya. Bukan karena ia takut bahwa orang berbaju kutung itu tidak akan tembus peluru. Tetapi selama kumpeni itu menyeberangi sawah beberapa kotak dan bergumul dengan lumpur, orang itu tentu sudah sempat melarikan kudanya jauh-jauh.

Karena itu maka Morman tidak menghiraukannya lagi. Demikian orang-orang lain dalam pasukan itu.

Akhirnya orang berbaju kutung itu tidak mengikutinya untuk selanjutnya. Ketika orang itu sampai ke sebuah tikungan, maka ia pun berbelok menjauhi iring-iringan pasukan kumpeni. Selanjutnya orang itu menghilang di dalam sebuah padukuhan kecil dihadapannya.

Para Senapati prajurit Surakarta menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah mereka telah terlepas dari pengawasan seseorang yang sangat mendebarkan jantungnya. Pangeran Mangkubumi sendiri.

Sebenarnyalah, bahwa Pangeran Mangkubumi telah memerintahkan kepada pasukannya untuk tidak mundur lagi ke Sukawati atau ke Gebang. Sebagian saja pasukannya agar pergi ke Sukawati. Namun yang lain diperintahkannya pergi ke Gunung Garigal. Sebuah bukit kecil yang menurut pengamatan Pangeran Mangkubumi memiliki kemungkinan pertahanan yang lebih baik dari Gebang. Ternyata bahwa kumpeni dan pasukan Surakarta akan dapat menyerangnya dengan tiba-tiba. Sementara di bukit Garigal, mereka akan dapat mengawasi keadaan lebih baik dari tempat yang agak tinggi dan untuk mencapai bukit itu diperlukan perjalanan yang agak sulit.

Pada saat-saat Pangeran Mangkubumi mengawasi langsung pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta yang menarik diri, maka pasukannya pun telah bersiap-siap. Karena Pangeran Mangkubumi tidak memberikan tanda apa-apa, maka pasukannya berpendapat, bahwa pasukan lawan bukan hanya sekedar membuat gelar menarik diri untuk datang kembali dengan pukulan yang lebih berat karena mereka sempat mengatur diri. Tetapi pasukan lawan itu benar-benar telah kembali ke Surakarta.

Karena itu, maka pasukan Pangeran Mangkubumi itu pun sempat membenahi diri. Mengurusi mereka yang gugur di peperangan. Bukan saja dari pasukannya sendiri, tetapi juga para prajurit dari Surakarta dan kumpeni. Mereka sempat mengenali beberapa orang prajurit Surakarta yang terpaksa saling membunuh dengan orang-orang Surakarta sendiri.

Sementara itu, beberapa orang telah mendahului meninggal-kan medan sambil membawa mereka yang terluka ke Sukawati. Beberapa orang perempuan dan anak-anak pun ikut pula ke Sukawati sebelum mereka dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru.

Ketika Arum mengetahui bahwa kedua kakak angkatnya telah terluka, maka ia pun menjadi gelisah. Dengan tergesa-gesa ia mendapatkan Juwiring dan Buntal, bersama Rara Warih.

Tetapi keduanya telah mendapat pengobatan untuk sementara, sehingga darah mereka sudah tidak lagi mengalir dari luka.

“Kau baru saja sembuh kakangmas” berkata Warih kepada Juwiring, “sekarang kau terluka lagi”

Juwiring tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak apa-apa Warih. Sebentar lagi lukaku ini akan sembuh”

“Bagaimana dengan kakang Buntal” bertanya Arum pula.

Ternyata keadaan Buntal masih lebih baik. Jawabnya, “Lukaku lebih ringan dari luka kakang Juwiring. Orang berbaju kutungan berwarna wulung itu telah menolong kami”

“Pamanda Pangeran Mangkubumi” desis Juwiring.

“Aku sudah menduga, tetapi aku tidak sempat memperhati-kannya lebih lama karena keadaan medan” jawab Buntal.

Dalam pada itu, maka Buntal dan Juwiring pun termasuk diantara mereka yang harus berada di Sukawati untuk beberapa saat. Arum dan Rara Warih akan mengikutinya bersama beberapa orang yang lain.

Ketika malam turun, beberapa puluh orang dari pasukan Pangeran Mangkubumi masih sibuk untuk membenahi medan. Sebagian dari mereka telah meninggalkan medan untuk mengatur tempat yang baru bagi mereka. Ternyata dari pertempuran itu pasukan Mangkubumi telah mendapat beberapa pucuk senjata. Bahkan meriam-meriam kecil yang akan dapat mereka tempatkan di lereng bukit Garigal, meskipun mereka hanya mendapat beberapa butir peluru. Namun para pengikut Pangeran Mangkubumi itu akan dapat berusaha mendapatkan peluru lebih banyak lagi, dengan cara sebagaimana pernah mereka lakukan, karena diantara para pelayan dan pengikut kumpeni di tempatkan beberapa orang pengikut setia Pangeran Mangkubumi.

Hampir semalam suntuk kumpeni dan prajurit Surakarta menempuh perjalanan kembali ke Surakarta. Karena keadaan pasukan itu, maka setiap kali pasukan itu berhenti. Orang-orang yang luka parah memerlukan perawatan khusus, sementara yang letih pun menjatuhkan dirinya di tepi jalan apabila pasukan itu beristirahat. Bahkan diantara mereka ada yang berbaring saja di rerumputan.

Dalam pada itu. para pemimpin pasukan Surakarta dan kumpeni itu yakin, bahwa seorang pengkhianat telah memberi-tahukan kepada petugas-petugas sandi Pangeran Mangkubumi bahwa pasukan kumpeni yang kuat akan menyerang Gebang.

“Tidak terduga sama sekali” berkata seorang Senapati, “meskipun rencana ini disusun dalam lingkungan yang sangat terbatas, tetapi telinga petugas sandi Pangeran Mangkubumi sempat juga mendengarnya.

“Tentu seorang pengkhianat” geram seorang perwira kumpeni.

Senapati itu tidak membantah, iapun sependapat, tentu ada seorang pengkhianat. Tetapi siapa?

Teka-teki itu memang harus dijawab. Ketika kumpeni dan prajurit Surakarta gagal mengepung dan menghancurkan pasukan Raden Mas Said, mereka pun sependapat. Ada seorang pengkhianat. Tetapi pengkhianat diantara mereka masih belum dapat diketemukan. Ketika kemudian Surakarta merencanakan menyerang Gebang dengan rencana yang sangat dirahasiakan, bahkan sampai saat pasukan itu berangkat tidak banyak yang mengetahuinya selain para pemimpin tertinggi, namun rencana itu dapat juga diketahui oleh Pangeran Mangkubumi.

Dengan demikian, maka setiap pemimpin Surakarta dan kumpeni telah sependapat, bahwa persoalan pengkhianatan itulah yang harus diselesaikan lebih dahulu. Baru kemudian mereka akan dapat merencanakan tindakan-tindakan lebih lanjut.

Karena itu, ketika pasukan Surakarta yang marah memasuki kota menjelang dini hari, maka para pemimpin Surakarta menyambutnya dengan penuh keprihatinan.

“Hampir tidak mungkin” berkata seorang Tumenggung.

“Siapa tahu, Pangeran Mangkubumi mempunyai aji lelimunan. Ia dapat melenyapkan diri dan hadir dalam setiap pembicaraan” sahut yang lain.

“Aku percaya kalau Pangeran Mangkubumi memiliki sekumpulan ilmu dan aji-aji. Tetapi aku kira tidak aji lelimunan” sahut Tumenggung yang pertama. “Menurut pendapatku, tentu ada pengkhianatan diantara para pemimpin tertinggi. Aku sendiri tidak tahu, bahwa sepasukan yang besar telah menuju ke Gebang. Baru kemudian aku mengetahuinya setelah pasukan itu berangkat. Tentu beberapa orang pun seperti halnya dengan aku. Jika ada pengkhianatan, apakah mungkin penghubungnya sempat menyampaikan rencana itu dan memberikan kemung-kinan pasukan Pangeran Mangkubumi menyiapkan jebakan yang demikian sempurna, meskipun masih juga ada kelemahan-kelemahannya, jika pengkhianatnya bukan justru para pemimpin?”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga adalah satu kenyataan bahwa rencana kumpeni itu dapat dicium oleh hidung petugas sandi Pangeran Mangkubumi.

Pada hari berikutnya, rasa-rasanya para pemimpin Surakarta menjadi berkabung. Mereka yang terluka parah, ternyata ada yang tidak sempat ditolong lagi. Namun mereka masih beruntung bahwa mereka sempat melihat Surakarta lagi mekipun dalam gelapnya pagi hari.

Karena itu, maka telah terjadi kesibukan yang menarik perhatian rakyat Surakarta. Bahkan akhirnya para prajurit tidak lagi dapat menyembunyikan kegagalan mereka, sehingga berita itu pun tersebar secepat tumbuhnya matahari di langit.

Orang-orang yang pergi kepasar pun segera mendengar, bahwa pasukan Surakarta telah mengalami kegagalan. Bahkan mengalami kerugian yang parah. Mayor Bilman telah terbunuh di peperangan.

Dalam pada itu, di istana Sinduratan, Raden Ayu Galihwarit masih selalu dicengkam oleh kegelisahan. Kepergian Rara Warih ke Gebang membuatnya selalu gelisah. Apakah gadisnya itu sampai ketujuan.

Karena itu, sejak Rara Warih meninggalkan Sinduratan diantar oleh seorang pengawal, Raden Ayu Galihwarit menjadi selalu gelisah. Rasa-rasanya ia tidak dapat duduk tenang dan tidak dapat tidur nyenyak ketika malam tiba.

Bahkan bukan saja karena Rara Warih yang belum pernah mengemban tugas-tugas seperti yang dilakukannya itu, tetapi Raden Ayu Galihwarit juga memikirkan keadaan pasukan Pangeran Mangkubumi. Jika Warih terlambat atau tersesat dan tidak berhasil mencapai Gebang, maka keadaan pasukan Pangeran Mangkubumi tentu akan parah. Meskipun seandainya Rara Warih tersesat, namun kemudian ia berhasil pulang kembali ke istana Sinduratan dengan selamat, namun kelambatan pemberitahuan pada pasukan Pangeran Mangkubumi itu tidak akan dapat diperbaikinya lagi. Jika malam itu pasukan Pangeran Mangkubumi dihancurkan, maka pasukan itu akan lumpuh. Jika Pangeran Mangkubumi sendiri berhasil lolos, maka untuk menyusun kekuatan kembali diperlukan waktu dan barangkali juga menyusun kembali kepercayaan orang-orang Surakarta atas kemampuannya.

Menjelang pagi, jantung Raden Ayu Galihwarit bagaikan berdentang semakin cepat. Raden Ayu sadar, bahwa saat-saat menjelang fajar itulah Bilman dan pasukannya akan mengepung dan menghancurkan pasukan Pangeran Mangkubumi yang berada di Gebang.

Karena kegelisahannya itulah, maka Raden Ayu Galihwarit yang hampir tidak tidur semalam suntuk itu pun berjalan mondar-mandir di serambi biliknya. Semakin terang langit di sebelah Timur, rasa-rasanya jantungnya menjadi semakin cepat berdenyut. Jika terjadi perang besar, maka perang itu tentu sudah pecah.

Seperti kemarin, sehari itu pun Raden Ayu Galihwarit dicengkam oleh kegelisahan yang semakin dalam. Tidak ada seorang pun yang dapat membantunya memikul beban di hatinya. Ia tidak sampai hati membuat ayahandanya menjadi gelisah pula seperti dirinya. Dalam keadaan yang pelik, kadang-kadang ayahandanya justru tidak dapat berpikir lagi jika penyakitnya menjadi kambuh.

Hari itu adalah hari yang menyiksa bagi Raden Ayu Galihwarit. Rasa-rasanya panas matahari telah membakar seisi istana. Dimana-mana terasa panas, sementara jantungnya menjadi semakin berdebaran.

“Apakah Warih memang tidak sempat pulang” katanya di dalam hati, “atau justru karena peristiwa ini, ia benar-benar meninggalkan aku sendiri sebagaimana dimintanya setiap kali” Namun kadang-kadang hatinya meronta, “Akulah yang bodoh, yang memberinya satu beban yang terlalu berat baginya. Jika Warih gagal, dan mengalami kesulitan bagi dirinya sendiri serta kehancuran bagi pasukan Pangeran Mangkubumi, maka tanggung jawabnya adalah pada pundakku. Kenapa aku tidak berangkat sendiri”

Tetapi sekilas terbayang orang-orang yang mendapat tugas mengawasi istana Sinduratan itu. Jika Raden Ayu sendiri yang keluar meskipun dari pintu butulan, tentu akan lebih cepat dikenal oleh para pengawas yang di tempatkan di sekitar istana itu.

“Mereka sudah mulai curiga kepadaku” berkata Raden Ayu itu kepada diri sendiri.

Namun dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit masih tetap berusaha menyembunyikan kegelisahannya kepada ayahandanya. Apalagi ayahandanya masih tetap murung di dalam biliknya karena kepalanya yang terasa sangat pening di hari-hari terakhir. Sejak peristiwa kematian dua orang perwira kumpeni di istananya, Pangeran Sindurata memang sering merenung. Tetapi Raden Ayu Galihwarit yang sibuk dengan persoalannya sendiri tidak sempat untuk mengamati keadaan ayahandanya, bahkan ia justru berusaha menyembunyikan persoalannya sendiri agar tidak menambah beban hati ayahandanya

Malam kedua terasa siksaan itu menjadi semakin berat. Semalam suntuk Raden Ayu Galihwarit tidak tidur sama sekali. Bahkan rasa-rasanya udara di dalam biliknya terlalu panas seperti di dalam tungku. Karena itu, seperti malam sebelumnya. Raden Ayu itu berjalan mondar-mandir di serambi. Bahkan kadang-kadang ia duduk dengan gelisah.

Ketika pengawal istana itu mengelilingi halaman dan kebun, maka setelah membungkuk hormat, pengawal itu bertanya, “Kenapa Raden Ayu berada diluar bilik di malam begini?”

“Udara panas sekali” jawab Raden Ayu singkat.

Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mohon diri untuk melanjutkan tugasnya. Meskipun pengawal Itu membungkuk hormat namun di dalam hati ia berkata, “Perempuan itu kesepian. Agaknya tidak ada perwira yang sempat menjemputnya ke sebuah bujana dua malam berturut-turut ini”

Bahkan pengawal itu sebagaimana juga para pelayan di istana itu menganggap bahwa puteri itu telah menyingkirkan anak gadisnya. Mungkin untuk mengamankan anak gadisnya dari kebuasan orang-orang asing. Tetapi mungkin juga karena Rara Warih yang meningkat dewasa dan tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik itu akan dapat menyaingi kecantikannya di mata orang-orang pendatang dari seberang yang disebut kumpeni itu.

Karena itulah, maka sebenarnyalah para pelayan itu sama sekali tidak menaruh hormat kepada Raden Ayu itu di dalam hati, meskipun yang terungkap dalam sikap dan tingkah laku mereka setiap hari agak berbeda.

Demikianlah, kegelisahan itu mencengkam Raden Ayu tanpa dapat dihindarinya. Karena itulah, ketika ia mendengar seorang pelayannya di dapur yang baru saja kembali dari pasar di pagi harinya, berbicara tentang pasukan Surakarta, dengan serta merta maka pelayan itu telah dipanggilnya.

“Apa yang kau dengar di pasar pagi ini?” bertanya Raden Ayu Galihwarit

“Ampun Raden Ayu” jawab pelayannya itu, “orang-orang di pasar berbicara tentang kumpeni dan pasukan Surakarta yang kembali dari medan”

“Medan mana?” bertanya Raden Ayu.

“Hamba tidak tabu Raden Ayu” jawab pelayan itu, “tetapi mereka menyebut-nyebut pasukan Pangeran Mangkubumi”

“Coba katakan, apa yang telah kau dengar sebagaimana kau dengar. Jangan ditambah dan jangan dikurangi. Aku ingin mendengar apa yang telah terjadi”

Pelayan itu beringsut setapak. Kemudian katanya, “Raden Ayu, orang-orang di pasar itu mengatakan, bahwa pagi ini pasukan Surakarta yang terdiri dari kumpeni dan prajurit-prajurit Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Yudakusuma dan Mayor Bilman telah memasuki kota dalam keadaan yang parah”

“Parah bagaimana?” bertanya Raden Ayu itu tidak sabar.

“Menurut ceritera yang hamba dengar, pasukan itu mengalami kegagalan, karena perlawanan pasukan Pangeran Mangkubumi. Seorang dapat mengatakan seolah-olah melihatnya sendiri, bahwa pasukan itu telah terjebak”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pasukan Pangeran Mangkubumi itu berhasil mengatasi kedatangan kumpeni dan para prajurit Surakarta.

Meskipun Raden Ayu Galihwarit tidak mengabaikan kemungkinan, bahwa berita tentang sergapan yang tiba-tiba itu didengar oleh Pangeran Mangkubumi dari petugas-petugas sandinya yang lain, namun bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi tidak justru terjebak itu, membuatnya sedikit berlega hati.

“Raden Ayu” pelayannya itu melanjutkan, “memang kasihan sekali. Ketika hamba berangkat ke pasar, hamba memang melihat kesibukan para prajurit. Kemudian hamba mendengar, bahwa banyak kumpeni dan prajurit yang gugur, dan terluka parah”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian terkejut ketika ia mendengar pelayannya itu berkata, “Diantara mereka yang gugur terdapat Mayor Bilman, dan yang terluka parah diantaranya adalah kapten Kenop dan Letnan Rapis”

“Mayor Bilman gugur?” Raden Ayu mengulang.

Pelayannya mengerutkan keningnya. Pelayan itu tahu bahwa Mayor Bilman adalah salah seorang dari kawan Raden Ayu yang dekat. Tetapi ia sudah terlanjur menyebutkannya. Karena itu, maka jawabnya, “Itu hanya yang hamba dengar Raden Ayu. Tetapi hamba tidak tahu. apa yang sebenarnya telah terjadi”

Raden Ayu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terima kasih. Pergilah ke dapur”

Pelayan itu pun kemudian meninggalkan Raden Ayu itu seorang diri. Kegelisahannya tiba-tiba saja telah justru meningkat. Ia kemudian berpikir tentang Rara Warih. Apakah yang kemudian terjadi atasnya.

Namun akhirnya Raden Ayu Galihwarit itu tidak dapat ingkar. Kematian Mayor Bilman memang berkesan sekali. Laki-laki asing itu mempunyai kedudukan yang khusus di dalam hatinya. Meskipun ia tetap menganggap orang asing, serta hubungannya di saat-saat terakhir adalah justru karena usahanya memperbaiki kesalahannya dan menebus segala dosanya dengan caranya, yang justru melahirkan dosa-dosa baru, namun Bilman adalah lain dari para perwira kumpeni yang lain.

Karena itu, berita kematiannya telah membekas pula di hatinya. Sejak itu, maka ia tidak akan dapat bertemu lagi dengan Mayor yang kadang-kadang lembut, tetapi kadang-kadang kasar sesuai dengan sifatnya sebagai seorang prajurit yang telah menjelajahi benua dan samodra, namun yang tidak dapat berbuat banyak menghadapi Pangeran Mangkubumi dari Surakarta,

Baru kemudian, setelah Raden Ayu Galihwarit sempat menilai perasaannya, maka ia mulai menyisihkan kematian Mayor Bilman dari hatinya. Pada saat-saat ia sudah bertekad untuk menunjukkan pengabdiannya kepada keluarganya yang telah dinodainya, kepada Surakarta dan kepada bangsanya, maka sentuhan perasaan terhadap Mayor Bilman itu harus disingkir-kan. Jika ia benar-benar merasa hadirnya sesuatu ikatan, maka ia justru telah menodai lagi kesetiaannya kepada Pangeran Ranakusuma. Bukan saja dengan tingkah laku lahiriah karena ia menginginkan sesuatu yang tidak pernah dipunyainya sebelumnya, tetapi justru makna dari kesetiaannya itu sendiri.

“Jika aku berhubungan dengan Bilman, dengan siapa-pun juga diantara para perwira kumpeni, justru karena aku ingin menghancurkan mereka’” perasaan Raden Ayu itu pun menghentak di dalam dadanya untuk mengatasi getar hatinya karena kematian Mayor Bilman.

Dengan demikian, maka Raden Ayu itu pun menjadi semakin tenang. Kematian Mayor Bilman adalah pertanda bahwa Pangeran Mangkubumi benar-benar berhasil mengatasi kehadiran pasukan kumpeni dan para prajurit Surakarta yang tiba-tiba.

Yang kemudian masih dipikirkannya adalah Rara Warih. Tetapi ia pun dapat berharap, bahwa Rara Warih telah benar-benar sampai ke daerah Gebang.

“Rasa-rasanya tidak ada orang lain yang mengetahui rahasia yang dipegang sangat rapat oleh kumpeni dan para perwira tinggi di Surakarta. Karena itu, tentu Rara Warih telah sampai dengan selamat ke padukuhan Gebang” Raden Ayu Galihwarit mencoba menenangkan hatinya sendiri.

Sementara itu, rakyat Surakarta di hari berikutnya benar-benar menyaksikan keparahan kumpeni dan prajurit Surakarta. Mayor Bilman dimakamkan dengan upacara kebesaran menurut tataran keprajuritan. Namun ternyata disamping Mayor Bilman terdapat beberapa korban yang lain. Mereka yang semula terluka parah, namun ternyata nyawa mereka tidak sempat diselamat-kan. Diantara mereka terdapat Letnan Rapis,

Sementara itu, dengan upacara keprajuritan pula, beberapa orang prajurit Surakarta yang terbunuh di peperangan pun dimakamkan pula. Nampaknya memang tidak terlalu banyak seperti juga korban dipihak kumpeni. Tetapi ternyata bahwa sebagian dari mereka yang terbunuh di peperangan itu tidak sempat terbawa pada saat pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta mengundurkan diri.

Rasa-rasanya Surakarta memang berkabung. Rakyat Surakarta yang ingin melibat iring-iringan itu telah berdiri berjajar di pinggir jalan. Berbagai tanggapan telah hinggap di hati rakyat Surakarta. Sebagian dari mereka menyesali sikap Pangeran Mangkubumi. Tetapi yang lain menganggap bahwa korban itu adalah wajar sekali, justru karena perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk merebut kembali martabat Surakarta dihadapan orang-orang asing itu.

Dalam pada itu, diantara rakyat Surakarta yang menyaksikan pemakaman para prajurit termasuk kumpeni dengan upacaranya masing-masing, terdapat seorang petani yang berwajah murung. Tidak seorang pun yang menghiraukan kehadirannya diantara mereka, karena orang itu sama sekali tidak menarik perhatian. Dengan pakaian dan sikap kewajaran seorang petani ia berdiri termangu-mangu. Namun karena iring-iringan korban yang akan dimakamkan masih juga belum lewat, orang itu pun meninggalkan tempatnya, bergeser dibelakang jajaran rakyat yang berdiri di pinggir jalan.

Ketika seseorang berpaling, maka orang itu berkata di dalam hatinya, “Orang itu tentu tidak sempat menunggu lebih lama lagi, karena ia harus kembali ke rumahnya yang jauh”

Yang lain mengira bahwa orang itu tentu baru saja pergi ke pasar menjual hasil sawahnya.

Namun ternyata orang itu membawa sebuah kurungan berisi seekor burung menco yang masih muda.

Sebenarnyalah orang itu pun beringsut semakin lama semakin jauh. Kemudian ia telah berbelok ke sebuah lorong kecil dan hilang dari antara orang-orang yang menunggu iring-iringan korban yang akan dimakamkan.

Sebagaimana semula, tidak ada orang yang menghiraukan petani yang membawa sebuah kurungan berisi seekor burung menco muda itu.

Dalam pada itu, petani yang membawa kurungan itu telah pergi ke istana Sinduratan. Sementara itu, orang-orang yang bertugas mengawasi istana itu nampaknya juga tertarik untuk menyaksikan pemakaman korban perang melawan pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Sehingga karena itu, tidak seorang-pun yang memperhatikan petani itu kemudian memasuki istana. Bahkan seandainya orang yang mengawasi istana itu melihatnya, maka mereka tidak akan menghiraukan seseorang yang akan menawarkan seekor burung menco kepada Pangeran Sindurata.

Sebenarnyalah pada saat itu Pangeran Sindurata tidak berada di istananya. Sebagaimana para Pangeran yang lain maka ia telah datang dalam upacara pemakaman korban-korban yang jatuh di peperangan itu.

Dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit yang masih saja digelisahkan oleh tugas yang diberikannya kepada Rara Warih, tiba-tiba saja terkejut ketika ia melihat seorang petani yang membawa sebuah kurungan dan seekor burung di dalamnya berdiri di pintu seketheng.

Dengan serta-merta maka Raden Ayu Galihwarit itu pun kemudian berkata, “Ayahanda tidak ada di rumah. Aku tidak mengerti apakah ayahanda masih memerlukan seekor burung”

Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi ia tidak beringsut dari tempatnya. Sehingga karena itu, maka Raden Ayu pun menjadi berdebar-debar.

Sekali lagi ia berkata, “Ayahanda tidak ada di rumah, Aku tidak mendapat pesan apapun tentang seekor burung”

Tetapi orang yang membawa seekor burung menco dalam kurungan itu masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga karena itu Raden Ayu Galihwarit pun menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia berteriak memanggil seorang pengawal yang kebetulan ada di belakang.

“Apakah Raden Ayu tidak mengenal aku lagi?” bertanya orang yang membawa kurungan dan memakai pakaian petani itu.

Raden Ayu Galihwarit mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia berlari menyongsongnya.

“Pangeran Mangkubumi” desis Raden Ayu Galihwarit.

“Ya” jawab petani itu, “aku datang khusus untuk menemui Raden Ayu”

“Marilah Pangeran. Silahkan duduk” Raden Ayu mempersilah-kan.

“Terima kasih. Jika aku duduk di serambi, maka para pelayan di istana ini akan menjadi heran, bahwa Raden Ayu telah menerima tamu seorang petani”

“Aku selalu menerima Juwiring, Buntal dan Arum di serambi ini” jawab Raden Ayu, “mereka datang sebagai penjual reramuan perawatan tubuh. Mangir dan lulur”

“Terima kasih. Waktuku juga tidak terlalu banyak. Aku membawa seekor burung menco. Aku kira pamanda Pangeran Sindurata akan senang sekali, karena burung menco ini benar-benar seekor burung akan sangat bagus” berkata Pangeran Mangkubumi.

“Terima kasih Pangeran. Aku akan menyampaikannya kepada ayahanda” jawab Raden Ayu Galihwarit.

“Tetapi ada sesuatu yang penting ingin aku sampaikan kepada Raden Ayu. Kami, sepasukan, ingin mengucapkan terima kasih atas pesan Raden Ayu yang dibawa Warih kepada kami” berkata Pangeran Mangkubumi selanjutnya.

“Ah” desis Raden Ayu Galihwarit, “aku hanya melakukan kewajibanku sebagai rakyat yang mulai menyadari keadaan diri”

“Sebenarnyalah apa yang telah Raden Ayu lakukan itu sangat menguntungkan pasukan kami. Jika Warih tidak datang tepat pada waktunya, maka akhir dari pertempuran itu akan sangat berlainan dengan yang ternyata kemudian terjadi. Mungkin kami akan kehilangan sebagian besar kekuatan kami” berkata Pangeran Mangkubumi kemudian.

“Hanya itulah yang dapat kami lakukan Pangeran” sahut Raden Ayu Galihwarit sambil menundukkan kepalanya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Jadi, Warih telah berada di Gebang?”

“Ia telah sampai ke Gebang pada waktunya dengan selamat” jawab Pangeran Mangkubumi. Meskipun Pangeran Mangkubumi mendengar juga laporan tentang perlakuan pengawal Rara Warih yang kemudian justru terbunuh, tetapi Pangeran Mangkubumi sama sekali tidak mengatakannya. Karena hal itu akan dapat mengguncangkan perasaan Raden Ayu Galihwarit

“Syukurlah” desis Raden Ayu, “dua hari dua malam aku menjadi gelisah. Bukan saja karena Warih, tetapi jika ia gagal mencapai Gebang, maka mungkin akan timbul akibat yang kurang baik bagi pasukan Pangeran”

“Karena itu aku sengaja datang untuk mengucapkan terima kasih” sahut Pangeran Mangkubumi, “namun lebih dari itu, aku ingin memberikan satu peringatan kepadamu”

Wajah Raden Ayu Galihwarit menegang. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Peringatan apa Pangeran? Apakah aku telah membuat kesalahan?”

“Tidak Sama sekali tidak” jawab Pangeran Mangkubumi dengan serta merta, “tetapi satu peringatan bagi keselamatan Raden Ayu untuk seterusnya”

Raden Ayu Galihwarit termangu-mangu. Sementara itu Pangeran Mangkubumi berkata selanjutnya, “Raden Ayu. Kegagalan kumpeni yang terakhir ini benar-benar membuat mereka marah. Karena itu, mala mereka akan dengan sungguh-sungguh mencari, siapakah sebenarnya yang telah berkhianat menurut anggapan mereka”

“Ya Pangeran” berkata Raden Ayu, “agaknya mereka memang mulai mencurigai aku. Di depan rumah ini ada dua atau tiga orang pengawas yang mengawasi pintu-pintu regol”

“Mereka tidak ada di tempat sekarang” jawab Pangeran Mangkubumi, “mungkin mereka ingin juga melihat iring-iringan korban yang akan dimakamkan”

“O” Raden Ayu mengangguk-angguk.

“Namun Raden Ayu, justru karena itu, sebenarnya Raden Ayu masih mempunyai kesempatan. Menurut laporan yang aku terima, kecurigaan itu memang sudah terlalu mengarah. Menurut beberapa orang perwira, orang yang terakhir berhubungan dengan Mayor Bilman selain para perwira dan Senapati terpenting di Surakarta adalah Raden Ayu Galihwarit” berkata Pangeran Mangkubumi selanjutnya, “karena itu tidak mustahil, bahwa pada satu saat yang dekat, mereka akan benar-benar melakukan satu tindakan yang mengejutkan bagi Raden Ayu”

“Tetapi apakah aku masih akan dapat mengelak?” bertanya Raden Ayu.

“Karena itu, aku ingin menunjukkan satu jalan” jawab Pangeran Mangkubumi.

“Jalan yang mana Pangeran?” bertanya Raden Ayu itu pula.

“Raden Ayu meninggalkan kota Surakarta ” jawab Pangeran Mangkubumi.

“Meninggalkan kota?” ulang Raden Ayu dengan kening yang berkerut.

“Ya. Satu-satunya jalan. Raden Ayu tidak akan dapat bersembunyi di dalam kota. Kemanapun juga, agaknya Raden Ayu akan dapat diketahui oleh kumpeni” jawab Pangeran Mangkubumi, “karena itu, jika Raden Ayu sependapat, sekarang adalah saatnya. Orang-orang Surakarta menjadi lengah karena mereka ingin melihat korban-korban itu dimakamkan dengan upacara keprajuritan”

“Sekarang?” wajah Raden Ayu menjadi semakin tegang.

“Tidak ada kesempatan lain. Sebentar lagi kumpeni akan datang ke istana ini dan mencari keterangan dengan teliti, apakah Raden Ayu tidak terlibat dalam tindak yang mereka anggap pengkhianatan itu” berkata Pangeran Mangkubumi.

“Lalu, menurut Pangeran, aku harus kemana?” bertanya Raden Ayu.

“Menyusul anak gadismu. Rara Warih tentu akan senang sekali menerima kedatanganmu di Sukawati atau di tempat lain yang kemudian akan di tempatinya. Mungkin Gunung Garigal atau padukuhan-padukuhan di sekitarnya”

Wajah Raden Ayu Galihwarit menegang sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah hal itu perlu sekali aku lakukan Pangeran?”

“Aku kira perlu sekali Raden Ayu” berkata Pangeran Mangkubumi, “Raden Ayu telah banyak sekali memberikan jasa dalam perjuangan kami. Aku kira segalanya yang pernah Raden Ayu lakukan telah lebih dari cukup. Karena itu, sudah sampai waktunya Raden Ayu memikirkan keselamatan Raden Ayu selama ini”

Namun tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit menggeleng. Katanya, “Pangeran. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku akan menebus segala dosa dan kesalahanku terhadap Pangeran Ranakusuma. Mungkin yang aku lakukan selama ini memang bukan satu perjuangan yang murni, karena sebenarnyalah tujuanku bukannya murni. Jika seandainya aku tidak merasa bersalah terhadap keluargaku, mungkin aku tidak akan melakukan seperti apa yang aku lakukan sekarang ini, karena sebenarnyalah bahwa aku termasuk salah seorang yang dekat dengan kumpeni pada mulanya”

“Jangan berkata begitu Raden Ayu” jawab Pangeran Mangkubumi, “apa yang Raden Ayu lakukan adalah satu perjuangan yang besar bagi negeri yang sedang mengalami keruntuhan ini. Raden Ayu harus menyadari, jika kumpeni berhasil mendapatkan bukti atau saksi bahwa Raden Ayu pernah memberikan keterangan kepadaku, lewat siapapun juga. maka Raden Ayu akan mengalami nasib yang sangat buruk. Karena itu, aku minta Raden Ayu untuk meninggalkan kota bersama aku sekarang. Tulislah surat kepada pamanda Sindurata dan tinggalkan surat itu sebagai permohonan diri bahwa Raden Ayu akan pergi ke tempat yang tidak Raden Ayu ketahui”

Sejenak wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi semakin tegang. Namun akhirnya sekali lagi ia menggeleng sambil tersenyum, “Pangeran. Aku titipkan Warih kepada Pangeran. Aku akan tetap berada di tempat ini apapun yang akan terjadi. Mudah-mudahan aku masih dapat berbuat sesuatu bagi Pangeran sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban perasaanku”

“Itu berbahaya sekali” Pangeran Mangkubumi mendesak, “aku sudah mendapat keterangan. Nama Raden Ayu sudah disebut-sebut. Percayalah”

“Pangeran. Aku tidak pernah tidak mempercayai Pangeran. Aku mengucapkan beribu terima kasih. Tetapi aku mohon perkenan Pangeran untuk tetap tinggal disini. Mudah-mudahan aku masih mempunyai arti” jawab Raden Ayu.

“Sekali lagi aku katakan dengan jujur. Perjuanganmu telah melampaui setiap orang di dalam pasukanku” jawab Pangeran Mangkubumi, “karena itu, kau sudah berhak untuk mendapat kehormatan tertinggi, meskipun kau tidak lagi melakukan perjuangan seperti yang pernah kau lakukan sebelumnya”

Tatapan mata Raden Ayu Galihwarit menjadi buram Namun ia masih mencoba tersenyum. Meskipun demikian Pangeran Mangkubumi melihat titik air di pelupuk mata Raden Ayu Galihwarit yang pernah dikenal dengan sebutan Raden Ayu Sontrang itu.

“Aku, mohon ampun Pangeran. Aku tidak sampai hati meninggalkan ayahanda yang tua dan sakit-sakitan itu. Jika aku tidak ada di rumah ini, maka tentu ayahandalah yang akan menjadi sasaran kemarahan kumpeni. Namun demikian, aku masih mengharap, bahwa kumpeni tidak akan berbuat apa-apa terhadap keluarga kami” berkata Raden Ayu itu tersendat.

“Aku yakin, mereka akan datang ke rumah ini” jawab Pangeran Mangkubumi.

“Segalanya akan aku hadapi dengan penuh tanggung jawab” desis Raden Ayu itu sambil menunduk dalam-dalam. Dengan sehelai sapu tangan Raden Ayu itu mengusap matanya yang basah. Katanya kemudian, “Aku tahu maksud baik Pangeran yang ingin menyelamatkan aku dari kemungkinan yang paling buruk. Tetapi aku mohon ampun, bahwa aku akan tinggal. Aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas perhatian Pangeran terhadap keselamatanku”

Pangeran Mangkubumi pun menarik nafas dalam-dalam. Dari kejauhan terdengar senapan meledak. Karena itu, katanya, “Upacara pemakaman korban dari pihak kumpeni itu sudah dimulai. Aku sudah mendengar tembakan kehormatannya. Karena itu. sebentar lagi upacara itu akan selesai. Raden Ayu. masih ada kesempatan. Raden Ayu dapat berganti pakaian dengan pakaian pelayan. Kita akan pergi”

Tetapi Raden Ayu Galihwarit tetap menggeleng, meskipun air matanya menjadi semakin deras. Katanya, “Selamat jalan Pangeran. Aku mohon titip anakku Warih, anakku Juwiring dan yang sudah aku anggap sebagai anak-anakku pula Buntal dan Arum”

Pangeran Mangkubumi tidak dapat memaksanya lagi. Karena itu maka katanya, “Jika Raden Ayu berkeras. apaboleh buat. Aku datang untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Namun aku pun berdoa, mudah-mudahan Tuhan akan selalu melindungi Raden Ayu”

“Kita akan saling berdoa, Pangeran” jawab Raden Ayu Galihwarit

“Jika demikian, perkenankan aku mohon diri. Aku akan meninggalkan burung ini. Burung ini tentu akan tumbuh menjadi burung dewasa yang sangat bagus. Mudah-mudahan pamanda Pangeran Sindurata akan berkenan di hati”

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Tetapi air di matanya mengalir semakin deras. Bahkan tiba-tiba saja Raden Ayu itu telah berjongkok memeluk kaki Pangeran Mangkubumi.

“Sst, jangan lakukan” cegah Pangeran Mangkubumi, “jika seorang pelayan atau pengawal istana ini melihat bahwa kau berjongkok dihadapan seorang petani, maka jelaslah sudah, bahwa Mangkubumi pernah datang ke tempat ini”

Raden Ayu Galihwarit pun kemudian bangkit sambil mengusap matanya. Betapapun juga ia masih berusaha tersenyum. Katanya, “Selamat berjuang Pangeran”

Pangeran Mangkubumi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Selamat tinggal Raden Ayu. Kita memang harus saling berdoa”

Demikianlah maka Pangeran Mangkubumi itu pun meletakkan burung menco dengan sangkarnya. Kemudian ia pun mengangguk kecil sambil berkata, “Aku minta diri”

Raden Ayu Galihwarit masih akan menjawab. Tetapi terasa tenggorokannya tersumbat. Yang terdengar kata-katanya patah, “Aku titipkan anak-anakku”

Pangeran Mangkubumi tidak sempat menjawab karena Raden Ayu itu pun menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba saja tangisnya tidak tertahankan lagi.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Pangeran Mangkubumi pun meninggalnya. Ketika ia keluar dari regol, diamatinya keadaan di sekitarnya. Ternyata tidak ada seorang pun. Agaknya orang-orang di Surakarta khususnya yang tinggal di dalam kota sedang menyaksikan upacara pemakaman dengan tatanan keprajuritan itu.

Pangeran Mangkubumi kemudian dengan cepat meninggalkan regol itu. Ia menyesal bahwa Raden Ayu Galihwarit tidak mau meninggalkan istana Sindurata, karena keterangan yang diterimanya dan menurut perhitungannya, maka Raden Ayu Galihwarit tentu akan menjadi sasaran pengamatan para petugas sandi kumpeni dan prajurit Surakarta. Namun ia tidak akan dapat memaksanya.

Dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit pun kemudian membawa sangkar dan isinya itu ke serambi. Ketika ia berhasil mengatasi isak tangisnya, maka ia pun menggantungkan kurungan itu di serambi. Diamatinya burung menco yang masih muda itu di dalam sangkarnya.

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Di dalam kurungan itu terdapat tempat makanan yang terisi. Pisang yang tersangkut pada dinding kurungan. Air yang jernih. Namun agaknya burung itu pun nampak murung dibatasi oleh ruji-ruji kurungannya.

‘“Sementara itu rakyat Surakarta sekarang telah siap memasuki sebuah sangkar emas yang bernama Surakarta itu” berkata Raden Ayu Galihwarit kemudian.

Hampir diluar sadarnya Raden Ayu itu masuk kedalam biliknya. Pada saat-saat permulaan ia bergaul dengan kumpeni, maka barang-barang yang dianggapnya aneh telah memikat hatinya. Kemudian kekayaan yang melimpah seolah-olah telah merupakan tujuan hidupnya untuk menemukan kebahagiaan.

Tetapi ternyata ia keliru. Kekayaan, harta benda, barang-barang yang menarik itu, bukannya membuat hidupnya berbahagia. Bahkan ia telah kehilangan segala-galanya. Dan sekarang, ia seolah-olah hidup sendiri. Meskipun ia masih mempunyai seorang anak gadis, tetapi sebenarnyalah ia tidak pantas lagi menyebut dirinya sebagai ibu anak gadisnya yang menghargai kesucian keluarga. Sementara ia telah menodainya dengan tingkah laku yang tidak dapat dimaafkan lagi. Meskipun ia telah melakukan apa saja bagi perjuangan rakyat Surakarta. Tetapi nodanya dalam keluarga justru menjadi semakin bertambah-tambah.

Tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit itu membayangkan sebuah jalan lurus untuk meninggalkan kemurungan itu. Untuk melupakan segala dosa-dosa yang pernah dilakukan. Dosa-dosa dalam penebusan dosanya yang lama. Bertimbun dan bertimbun

“Maut adalah jalan yang menarik” berkata Raden Ayu Galihwarit itu di dalam hatinya. Namun demikian, air matanya kembali membasahi pipinya. Pipi seorang perempuan cantik. Tetapi ketika tangannya mengusap pipinya itu, terasa pipinya tidak sepadat dahulu. Terasa bahwa pipinya itu menjadi semakin kendor oleh umurnya yang merambat terus.

“Anak laki-lakiku Rudira, kakangmas Ranakusuma dan kemudian Bilman pun telah melewati jalan itu” berkata Raden Ayu Galihwarit itu di dalam hatinya.

Raden Ayu Galihwarit itu pun kemudian menjatuhkan dirinya di pembaringannya. Ia tidak memikirkan lagi rakyat Surakarta yang berjejal melihat iring-iringan yang lewat.

Raden Ayu itu pun tidak mengetahui, kapan ayahanda kembali. Tetapi ketika ia bangkit dan keluar ke serambi, ia melihat ayahandanya sedang mengamati burung menconya.

“Burung dari mana?” bertanya ayahandanya.

“O” desis Raden Ayu Galihwarit, “kapan ayahanda pulang? Aku sama sekali tidak mendengar derap kereta ayahanda”

“Belum lama. Nampaknya kau sedang merenung” jawab Pangeran Sindurata, “he, dari mana kau dapat burung ini?”

Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak ingkar. Karena itu jawabnya, “Pangeran Mangkubumi”

“Pangeran Mangkubumi?” Pangeran Sindurata mengulang, “kau tidak mimpi bahwa Pangeran Mangkubumi datang sambil membawa seekor burung menco muda yang bagus sekali?”

“Aku berkata sebenarnya ayahanda” jawab Raden Ayu Galihwarit, “Pangeran Mangkubumi dalam pakaian seorang petani”

“Bukan main” desis Pangeran Sindurata, “apa yang dikatakannya kepadamu?”

“Pangeran Mangkubumi mengucapkan terima kasih atas bantuanku selama ini” jawab Raden Ayu Galihwarit, “yang terakhir Pangeran Mangkubumi memperingatkan agar aku meninggalkan kota”

Pangeran Sindurata mengerutkan keningnya Namun kemudian katanya, “Pendapat Pangeran Mangkubumi benar”

Raden Ayu Galihwarit terkejut. Sementara itu ayahanda berkata selanjutnya, “aku sudah merasakan kecurigaan yang semakin meningkat. Dan aku pun tidak dapat berpura-pura untuk tidak mengetahui untuk seterusnya. Kedatangan Juwiring dan saudara angkatnya itu tentu sudah menjadi perhatian. Kematian kedua orang perwira itu tentu mendapat pertimbangan dari segala sudut. Karena itu, maka aku sependapat bahwa kau sebaiknya meninggalkan kota. Biarlah aku yang tua ini akan mempertanggung jawabkan segala sesuatunya jika kumpeni menuntut pertanggungan jawab itu”

“Ayahanda” potong Raden Ayu Galihwarit.

“Aku berkata sebenarnya Sontrang” berkata ayahandanya.

Raden Ayu Galihwarit menjadi tegang. Dipandanginya dengan tajamnya seolah-olah ingin mengetahui isi jantungnya yang sebenarnya.

Dalam pada itu ayahandanya berkata pula, “Galihwarit. Sampai saat ini kita belum melihat pengkhianatan diantara kita di rumah ini. Tetapi sebenarnyalah aku tidak yakin, bahwa kelicikan kumpeni tidak akan dapat membuka mulut salah seorang dari pelayan kita. Mereka mempunyai seribu cara. Dari cara yang paling kasar, sampai dengan cara yang paling lembut. Mereka dapat mengancam, menakut-nakuti, tetapi juga dapat mereka pergunakan uang”

Raden Ayu menarik nafas dalam-dalam. Air matanya yang sudah mulai kering itu pun nampak membasahi pipinya lagi.

Namun dalam pada itu ia berkata, “Ayahanda. Semuanya sudah aku lakukan dengan sadar. Jika saat itu datang, biarlah aku menghadapinya. Aku tidak akan meninggalkan ayahanda sendiri di rumah ini untuk mempertanggung jawabkan sesuatu yang tidak ayahanda ketahui, atau yang sebenarnya tidak ayahanda lakukan sejak semula”

“Aku sudah tua” berkata Pangeran Sindurata, “aku sudah kenyang makan pahit getirnya kehidupan. Juga sudah kenyang asin manisnya. Karena itu, maka tidak ada lagi yang dapat menahanku untuk menghadapi pertanggungan jawab yang bagaimanapun beratnya”

“Tidak. Tidak” sahut Galihwarit, “dengan demikian aku akan menambah dosaku lagi”

Pangeran Sindurata memandang anaknya dengan wajah sayu. Namun kemudian ia berkata, “Jika hatimu sudah bulat aku tidak akan dapat memaksamu”

“Aku akan pasrah diri terhadap keadaan, apapun yang akan aku alami” berkata Raden Ayu Galihwarit, “sementara itu aku hanya dapat berdoa. Dan aku pun telah menyerahkan semua anak-anakku kepada Pangeran Mangkubumi”

“Warih dan Juwiring?” bertanya Pangeran Sindurata,

“Ya, Juga Buntal dan Arum. Karena mereka adalah saudara Juwiring maka keduanya juga anak-anakku” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berkata, “Aku sudah mengerti tentang Warih. Baiklah. Kita hanya dapat berdoa”

Ketika ayahandanya melangkah meninggalkan serambi, Raden Ayu itu berkata, “Burung itu ayahanda. Pangeran Mangkubumi memang membawanya untuk ayahanda”

“O” Pangeran Sindurata tertegun. Kemudian diambilnya kurungan itu sambil berkata, “Terima kasih. Burung ini bagus sekali”

Sambil membawa kurungan berisi seekor burung menco yang masih-muda Pangeran Sindurata meninggalkan serambi bilik anak perempuannya. Kepalanya terasa mulai pening. Tetapi ia sendiri tidak tahu, kenapa ia tidak ingin marah sama sekali seperti biasanya. Justru ia merasa iba dan kasihan melihat anak perempuannya yang telah menjalani masa hidupnya yang kelam. Bahkan perjuangan yang ditempuhnya pun dilaluinya lewat genangan lumpur yang paling kotor.

Hari itu, seisi istana itu telah dicengkam oleh kegelisahan. Raden Ayu Galihwarit dan Pangeran Sindurata tidak dapat mengesampingkan satu kemungkinan bahwa kumpeni akan datang ke istana itu dan menangkap semua isinya. Sementara para pelayan pun menjadi gelisah melihat sikap Raden Ayu Galihwarit dan Pangeran Sindurata. Mereka tidak tahu apa yang sedang mencengkam perasaan kedua orang tuanya itu.

Namun ternyata bahwa pada hari itu, tidak seorang kumpeni yang datang. Juga tidak ada seorang perwira pun yang mendatangi Raden Ayu Galihwarit sebagaimana biasanya.

Tetapi ketika malam turun, ternyata Raden Ayu Galihwarit telah benar-benar dapat menenangkan hatinya dalam pasrah. Ia benar-benar menjadi mapan menghadapi segala kemungkinan. Justru karena telah diketahuinya dengan pasti, bahwa anak gadisnya selamat sampai ke Gebang, serta bahwa dengan demikian pasukan Pangeran Mangkubumi tidak mengalami kehancuran mutlak. Maka persoalan selanjutnya adalah yang menyangkut dirinya sendiri.

“Seandainya besok kumpeni itu benar-benar datang, maka biarlah segalanya itu terjadi” berkata Raden Ayu Galihwarit.

Namun dalam pasrah itulah, akhirnya Raden Ayu Galihwarit yang kelelahan itu pun tertidur juga.

Ketika matahari terbit di Timur, Raden Ayu Galihwarit itu telah bangun. Disuruhnya pelayannya menyediakan beberapa ikat merang.

“Aku akan mandi keramas” berkata Radon Ayu Galihwarit.

Tidak seperti biasanya, Raden Ayu ku, membakar merang itu sendiri. Kemudian mengumpulkan abunya dan merendamnya di dalam air. Menjelang matahari sepenggalah, maka Raden Ayu itu pun telah berada di pakiwan untuk mengeramasi rambutnya yang panjang ikal. Setelah mandi, ia pun mencuci kedua jari-jarinya setelah itu ia berkumur-kumur, mencuci mukanya, kedua tangannya, mengusap kepalanya dan telinganya, yang terakhir ia mencuci kakinya. Raden Ayu itu seolah-olah telah memasrahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Pemaaf, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ia mengingat segala macam dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian dengan sedalam-dalamnya ia mengakui dosa itu di dalam hatinya dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Ia benar-benar bertaubat, taubat yang sebenar-benarnya.

Demikianlah, setelah selesai mandi, keramas dan berwudhu, maka Raden Ayu itu pun menuju kamarnya, ia mencoba mendekatkan dirinya kepada Sang Maha Pencipta. Setelah beberapa lama, ia pun ke serambi, duduk sambil mengurai rambutnya yang ikal panjang. Dipandanginya dedaunan yang bergerak-gerak disentuh angin yang lembut. Tetapi sebenarnya-lah Raden Ayu Galihwarit tidak melihat gerak dedaunan itu. Yang dilihatnya adalah perjalanan hidupnya dimasa yang lampau.

Setelah beberapa lama ia duduk di serambi, Raden Ayu itu mulai membenahi dirinya. Adalah menarik perhatian para pelayannya, bahwa Raden Ayu Galihwarit itu telah merias dirinya sebaik-baiknya, seolah-olah ia hendak pergi ke sebuah bujana yang besar. Dipergunakannya reramuan yang paling baik yang ada padanya. Namun kemudian Raden Ayu itu justru mempergunakan pakaiannya yang paling sederhana. Dikumpulkannya semua perhiasannya di dalam sebuah kotak dan diletakkannya di depan cermin.

Raden Ayu itu berpaling ketika ia mendengar ayahandanya datang kepadanya sambil bertanya, “Apakah kau akan pergi?”

Raden Ayu tersenyum sambil menggeleng. Katanya, “Tidak ayahanda. Aku tidak akan pergi kemanapun juga. Aku akan tetap berada di rumah menemani ayahanda,”

Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Ayu itu pun berkata, “Aku telah menyimpan perhiasanku di kotak ini ayahanda. Jika pada suatu saat aku dapat bertemu dengan Warih dan Arum, aku akan menyerahkannya semuanya kepada keduanya. Tetapi jika aku tidak sempat bertemu lagi dengan keduanya, biarlah ayahanda saja kelak yang memberikan kepadanya”

“Jangan berkata begitu Galihwarit” berkata ayahandanya, “kedua anak itu pada suatu saat tentu akan datang lagi kepadamu”

Galihwarit tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Ketika Pangeran Sindurata itu kemudian meninggalkan anak perempuannya, terasa hatinya terguncang. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa ia sudah meloncati jarak yang membatasinya dengan anak perempuannya yang seorang itu. Anak yang semula telah dianggapnya hilang karena tingkah lakunya yang menodai keluarganya. Namun kini anak itu telah hadir lagi di hatinya. Justru melampaui anaknya yang lain.

Pangeran Sindurata itu pun kemudian pergi ke serambi di sebelah yang lain. Diturunkannya burung-burungnya dari gantungannya. Sebagaimana biasanya ia sendirilah yang memberi makan dan minum burung-burung yang dipeliharanya.

Namun dalam pada itu, selagi Pangeran Sindurata itu sibuk dengan burung-burungnya, tiba-tiba telah terdengar derap sebuah kereta dan beberapa ekor kuda memasuki halaman. Karena itu, maka dengan serta merta, maka Pangeran Sindurata itu telah bergegas ke halaman depan.

Pangeran itu terkejut ketika ia melihat sepasukan kecil kumpeni dan beberapa orang perwira prajurit Surakarta lengkap bersenjata telah berada di halaman itu

Ketika mereka melihat Pangeran Sindurata, maka perwira kumpeni di pasukan kecil itu telah meloncat turun dari kudanya, diikuti oleh para prajurit yang lain. Sambil membungkuk hormat, perwira itu pun kemudian mendekatinya sambil berkata, “Kami mohon maaf Pangeran, mungkin kami telah mengejutkan Pangeran”

“Apakah keperluan kalian” bertanya Pangeran Sindurata kepada perwira kumpeni itu.

Perwira kumpeni itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kami membawa perintah untuk memanggil Raden Ayu Galihwarit menghadap”

Wajah Pangeran Sindurata menjadi tegang. Dengan lantang ia bertanya, “Siapa yang memerintahmu?”

“Kapten Kenop” jawab perwira itu.

Wajah Pangeran Sindurata menjadi merah padam. Dengan geram ia berkata, “Katakan kepada kapten Kenop. Ia tidak berhak memanggil anakku. Ia adalah puteri seorang Pangeran dari Surakarta, sedangkan kapten Kenop adalah orang asing disini”

Jawaban itu sama sekali tidak terduga. Justru karena itu, maka perwira kumpeni itu tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian wajahnya menjadi tegang. Dengan gagap oleh gejolak perasaannya ia berkata, “Pangeran. Aku membawa perintah. Aku akan melaksanakan perintah itu”

“Aku tidak mengakui kekuasaan kapten Kenop disini” bentak Pangeran Sindurata,

“Sepeninggal Mayor Bilman ia adalah pejabat pimpinan pasukan khusus di Surakarta ” perwira itu pun membentak pula.

“Aku tidak peduli apa jabatannya dalam urutan kekuasaan kumpeni. Tetapi itu adalah kepangkatan kumpeni. Bukan termasuk pimpinan pemerintahan di Surakarta ” jawab Pangeran Sindurata, “karena itu, cepat pergi dari rumahku. Atau aku akan melaporkannya kepada Kangjeng Susuhunan”

“Kangjeng Susuhunan mengesahkan kekuasaan kumpeni di Surakarta ” jawab perwira itu.

“Atas masalah-masalah tertentu dan diantara kumpeni sendiri. Tetapi kau tidak berhak memanggil, menangkap dan apalagi menghukum rakyat Surakarta. Karena itu pergilah dari halaman rumahku” Pangeran Sindurata berteriak semakin keras.

Perwira kumpeni itu pun menjadi marah. Katanya, “Pangeran pernah membunuh dua orang perwira kumpeni disini. Saat itu Pangeran masih sempat mengelabui kami. Tetapi sekarang tidak lagi. Kami akan menangkap Raden Ayu Galihwarit sekaligus Pangeran sendiri”

“Aku menolak. Jika kau berkeras, aku tantang kau sebagai-mana seorang laki-laki. Jika kau pengecut, matilah bersama-sama. Aku lebih baik mati di halaman rumahku ini dari pada tunduk kepada perintah orang yang tidak berhak” Pangeran Sindurata itu pun kemudian bertolak pinggang dengan sorot mata yang menyala.

Perwira kumpeni itu pun benar-benar marah. Namun sebelum ia bertindak lebih lanjut, seorang Senapati prajurit Surakarta yang menyertainya berkata, “Pangeran benar. Ia memang dapat menolak perintah yang dikeluarkan oleh kapten Kenop”

“Omong kosong” bentak perwira itu.

“Perintah itu harus datang dari Kangjeng Susuhunan atau orang yang mendapat limpahan kuasanya dalam keadaan perang ini” jawab Senapati itu, “karena itu, maka kita harus memenuhinya. Membawa perintah dari Kangjeng Susuhunan atau orang yang mendapat limpahan kuasanya itu”

“Aku tidak peduli. Aku mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk memaksanya sekarang” teriak perwira kumpeni itu.

“Paksalah jika kau berani memaksa” jawab Pangeran Sindurata yang meskipun sudah tua, tetapi suaranya masih cukup lantang, “aku akan menolak. Jika kau akan membunuh aku, bunuhlah. Kau akan digantung oleh kuasa Kangjeng Susuhunan karena kau sudah membunuh seorang Pangeran”

Tetapi perwira kumpeni itu nampaknya tidak menghiraukannya. Ia memang akan memaksa Pangeran Sindurata untuk menyerahkan anak perempuannya yang bernama Galihwarit itu.

Tetapi ketika ia sudah siap untuk memaksakan niatnya berdasarkan atas perintah dari kapten Kenop, maka Senapati prajurit Surakarta itu berkata, “Aku masih menghormati para Pangeran di Surakarta. Karena itu, urungkan niatmu”

“Kau dengar perintah kapten Kenop. Kau tidak menolak dan tidak membantah ketika perintah itu jatuh. Bahkan kau disertakan dengan kami agar kau mendampingi kami menjalankan tugas ini. Sekarang kau bersikap lain” bentak perwira kumpeni itu.

“Satu kekhilafan. Aku sudah terbiasa menjalankan perintah kumpeni meskipun kadang-kadang menurut susunan tataran keprajuritan itu keliru. Tetapi harga diriku memang tidak cukup tinggi seperti harga diri seorang Pangeran. Sekarang, kalian berhadapan dengan seorang Pangeran di Surakarta. Karena itu, kalian harus menghargai. Kalian harus menempuh jalur yang seharusnya. Kalian harus menghubungi Senapati Surakarta yang berhak melakukannya karena limpahan kekuasaan dari Kangjeng Susuhunan. Misalnya Pangeran Yudakusuma, Senapati Agung pasukan Surakarta sekarang ini” jawab Senapati itu.

“Persetan. Aku tidak ingin mengulangi kerja yang sudah hampir selesai aku lakukan. Aku mempunyai kekuatan hukum untuk melakukan tugas ini. Aku membawa surat perintah” bentak perwira itu pula.

“Yang menanda tangani surat perintah itulah yang tidak diakui oleh Pangeran Sindurata, bahwa ia berhak memberikan perintah menangkap Raden Ayu Galihwarit, putera puteri Pangeran Sindurata atas tuduhan keterlibatannya dalam peperangan ini” Senapati itu pun mulai berbicara dengan keras.

“Kau mencoba melindungi kesalahannya?” bertanya perwira itu.

“Tidak. Tetapi aku juga tidak ikhlas bahwa orang-orang yang tidak berhak melakukan tindakan yang dapat mengurangi wibawa pimpinan pemerintahan di Surakarta ” jawab Senapati itu.

Wajah perwira itu menjadi merah. Sekilas dipandanginya para prajuritnya. Namun dalam pada itu, para prajurit Surakarta yang menyertai kumpeni itu pun telah bersiaga pula.

Karena itu, maka perwira kumpeni itu pun harus berpikir jernih. Ia tidak akan dapat berbuat tanpa menghiraukan sikap Senapati itu. Karena itu, maka katanya, “Jadi menurut pendapat-mu, kita semuanya sekarang kembali untuk mendapatkan surat perintah yang baru dari Pangeran Yudakusuma?”

“Ya” jawab Senapati itu.

“Dan membiarkan orang yang akan kita tangkap melarikan diri?” bertanya perwira itu pula.

“Jika kau mempunyai nalar, kau dapat melakukan satu tindakan pencegahan” jawab Senapati ku pula.

Perwira itu menarik nafas panjang. Seolah-olah ia ingin menelan kembali kemarahan yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun.

Namun kemudian maka ia pun berkata, “Aku akan melaporkan kepada kapten Kenop. Tetapi sebagian dari orang-orangku akan tetap berada disini agar orang yang kami kehendaki tidak melarikan diri.

“Terserahlah kepadamu” jawab Senapati itu.

“Lalu kau, apa yang akan kau kerjakan?” bertanya perwira itu.

“Aku akan menunggu sampai perintah dari yang berhak itu ada” jawab Senapati itu.

Perwira kumpeni itu pun kemudian memberikan beberapa perintah kepada prajurit-prajuritnya. Sementara itu ia sendiri akan menemui kapten Kenop. Bagaimanapun juga kumpeni itu memang harus menghargai seorang Pangeran dari Surakarta, karena ia sadar sepenuhnya jika persoalan ini didengar oleh para Pangeran yang lain, maka mungkin sekali akan menimbulkan persoalan tersendiri, seolah-olah kekuasaan kumpeni sudah melampaui kekuasaan Kangjeng Susuhunan sendiri.

“Biarkan kereta yang akan membawa Raden Ayu itu disini” perintah perwira itu.

Sejenak kemudian, diiringi oleh beberapa orang pengawalnya, perwira itu meninggalkan halaman istana Pangeran Sindurata, sementara sebagian yang lain memencar ke sudut-sudut halaman untuk mengawasi keadaan. Sedangkan para Senapati dan prajurit Surakarta yang menyertai kumpeni itu telah menyingkir dan berdiri diluar regol.

Dalam pada itu, Pangeran Sindurata telah meninggalkan halaman dan menemui anak perempuannya. Sementara itu Raden Ayu Galihwarit telah selesai berkemas dan membenahi dirinya.

“Mereka datang Galihwarit” desis Pangeran Sindurata.

Sama sekali tidak nampak kecemasan di wajah Raden Ayu Galihwarit. Bahkan sambil tersenyum ia menjawab, “Aku sudah mendengar ayahanda. Dan aku sudah siap”

Jantung Pangeran Sindurata berdesir. Anak perempuannya itu ternyata telah benar-benar siap lahir dan batin. Ia sudah mandi dan keramas, serta merias diri sebaik-baiknya, meskipun pakaian yang kemudian dikenakannya adalah justru pakaian yang sederhana. Namun seolah-olah ia telah berusaha menyucikan diri pada ujud kelahirannya. Sementara itu, sikapnya yang tenang dan wajahnya yang jernih telah menunjukkan bahwa secara jiwani, Raden Ayu Galihwarit pun telah siap menghadapi persoalan itu.

“Apakah aku harus berangkat sekarang?” bertanya Raden Ayu itu.

Pangeran Sindurata menggeleng. Katanya, “Aku menolak surat perintah yang ditanda tangani oleh kapten Kenop. Aku seorang bangsawan Surakarta hanya mengakui kekuasaan Kangjeng Susuhunan atau orang yang mendapat limpahan kuasanya. Tidak kepada kumpeni”

Raden Ayu Galihwarit itu tersenyum pula. Katanya, “Terima kasih ayah. Aku sependapat, bahwa yang berhak menangkap aku adalah mereka yang diperintahkan oleh pimpinan prajurit Surakarta dalam masa perang ini”

“Sebentar lagi mereka tentu akan datang” berkata Pangeran Sindurata, “Pangeran Yudakusuma tentu tidak akan berkeberatan untuk menanda-tangani surat perintah semacam itu. Tetapi aku sudah mempertahankan harga diri seorang bangsawan Surakarta meskipun tidak ada sekuku-ireng dibanding dengan apa yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya. Tetapi aku sudah berbuat sesuatu bagi kebanggaanku, seorang putra Surakarta ”

Raden Ayu Galihwarit tertawa. Kemudian katanya, “Sebentar lagi aku akan mohon diri ayah”

Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Mungkin mereka akan membawa aku pula”

“Tidak ada alasan untuk membawa ayahanda” berkata Raden Ayu Galihwarit.

“Aku dapat dituduh membantumu. Atau mereka akan menelusuri kematian kedua orang kumpeni itu” jawab Pangeran Sindurata.

“Tidak” jawab Raden Ayu sambil menggeleng, “mereka hanya akan membawa aku sendiri”

Pangeran Sindurata mengangguk kecil. Ia pun kemudian terduduk di serambi, sementara Raden Ayu Galihwarit telah mengemasi pakaian yang akan dibawanya. Hanya selembar kain dan selembar baju.

“Kau membawa ganti pakaian?” bertanya ayahandanya.

“Ya ayahanda” jawab Raden Ayu, “aku kira selembar sudah cukup. Aku tidak memerlukan terlalu banyak pakaian di dalam tahanan”

Pangeran Sindurata tidak bertanya lebih banyak, la duduk termenung sambil memandang kekejauhan. Namun yang terasa adalah kepalanya menjadi sangat pening.

Dalam pada itu, istana Sinduratan itu telah mendapat pengawasan yang ketat. Ternyata kumpeni tidak hanya berada di halaman depan. Tetapi mereka juga mengelilingi bagian luar dinding istana dan mengawasi regol-regol butulan.

Tetapi yang mereka lakukan itu tidak ada gunanya sama sekali, karena Pangeran Sindurata maupun Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan tempat itu.

Dalam pada itu, beberapa saat kemudian ternyata sepasukan kecil kumpeni dan prajurit Surakarta telah memasuki halaman itu lagi. Bukan hanya kumpeni yang terpaksa urung menangkap Raden Ayu Galihwarit, tetapi diantara mereka terdapat seorang Tumenggung dari Surakarta.

Pangeran Sindurata yang mendengar derap kaki kuda memasuki halamannya itu pun telah keluar lewat seketheng. Dengan tidak ragu-ragu sama sekali ia melangkah mendekati Tumenggung yang sudah turun dari kudanya.

Tumenggung itu mengangguk hormat sambil berkata, “Ampun Pangeran, aku mengemban tugas dari Pangeran Yudakusuma”

“Aku mengerti” jawab Pangeran Sindurata.

“Pangeran Yudakusuma tidak memberikan surat perintah kepada kumpeni, tetapi akulah yang telah diperintahkan untuk menjemput puteri Pangeran, Raden Ayu Galihwarit” berkata Tumenggung itu sambil menunjukkan sebuah tunggul yang dibawa oleh seorang prajurit.

“Begitulah seharusnya tatanan di Surakarta ” berkata Pangeran Sindurata, “dengan demikian aku percaya bahwa kau adalah utusan Senapati Agung di Surakarta. Aku kenal tunggul dan kelebet kecil berwarna kelabu dengan garis merah itu. Karena itu, aku akan menjalankan segala perintah dengan sebaik-baiknya. Jika semula aku menolak kumpeni itu, karena aku tidak percaya bahwa mereka akan bertindak sebagaimana seharusnya. Mungkin anak perempuanku akan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak. Tetapi hanya karena mereka menginginkan-nya saja”

“Ada surat perintah dari kapten Kenop” perwira itu memotong.

“Justru kepada Kenop itulah yang aku tidak percaya” jawab Pangeran Sindurata.

Perwira kumpeni itu masih akan menjawab. Tetapi Tumenggung yang datang dengan tunggul dan kelebet kecil itu pun berkata, “Jika demikian Pangeran, aku mohon maaf, bahwa aku akan membawa Raden Ayu sekarang”

“Ia sudah siap” jawab Pangeran Sindurata.

“Jika demikian, aku akan segera meninggalkan istana ini” berkata Tumenggung itu.

Pangeran Sindurata pun kemudian memanggil Raden Ayu Galihwarit. Ketika Raden Ayu itu sampai di seketheng maka terasa jantungnya bergetar. Dilihatnya beberapa orang prajurit dan kumpeni yang bersenjata Kemudian sebuah kereta yang sudah siap untuk membawanya.

Namun sejenak kemudian kegelisahannya itu pun lenyap bagaikan dihembus oleh angin. Ketika ia selangkah maju. maka Raden Ayu itu sudah tersenyum sambil berkata, “Marilah. Apakah aku juga harus naik kuda?”

Tumenggung itulah yang kemudian menjawabnya, “Aku sudah menyediakan sebuah kereta untuk Raden Ayu. Silahkan”

“Terima kasih” jawab Raden Ayu sambil melangkah menuju ke kereta yang sudah menunggu itu.

“Kita akan kemana?” bertanya Raden Ayu kepada Tumenggung itu. Raden Ayu tertawa kecil. Kemudian dipandanginya ayahnya yang berdiri termangu-mangu. Dengan wajah yang sama sekali tidak membayangkan kecemasan, Raden Ayu itu berkata kepada ayahandanya, “Aku harus meninggalkan ayahanda”

“Pergilah ngger” desis Pangeran Sindurata. Suaranya menjadi parau. Seolah-olah ia telah kehilangan Raden Ayu Galihwarit itu untuk kedua kalinya. Baru beberapa hari sebelumnya ia menemukan kembali anaknya yang hilang itu. Namun ternyata bahwa anak itu terpaksa dilepaskannya lagi.

Sejenak kemudian Raden Ayu Galihwarit itu pun telah berada di dalam kereta yang akan membawanya. Ia masih melambaikan tangannya kepada ayahandanya. Sementara Tumenggung yang akan membawa Raden Ayu itu berkata, “Pangeran. Aku mohon diri. Raden Ayu aku bawa atas perintah Pangeran Yudakusuma. Perintah yang lain tertuju kepada Pangeran sendiri”

“Apa” bertanya Pangeran Sindurata.

“Dalam kedudukannya sebagai Senapati Agung, Pangeran Yudakusuma minta agar Pangeran tidak meninggalkan istana ini. Setiap saat Pangeran diperlukan untuk memberikan keterangan atau kesaksian tentang Raden Ayu Galihwarit”

“Perintah itu akan aku jalani” jawab Pangeran Sindurata.

“Terima kasih Pangeran. Sekarang, kami akan minta diri” berkata Tumenggung itu.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah keluar dari regol halaman istana Sinduratan. Tumenggung yang mengemban perintah Pangeran Yudakusuma itu pun kemudian memberi perintah kepada sais kereta yang membawa Raden Ayu, “Bawa ke bekas istana Pangeran Ranakusuma”

“He, apa yang kau katakan?” perwira kumpeni itu memotong.

“Untuk sementara Raden Ayu akan di tempatkan di istananya sendiri” berkata Tumenggung itu.

“Tidak mungkin. Kapten Kenop memerintahkan membawanya ke loji. Perempuan itu harus di tahan di loji” berkata perwira itu.

Tetapi Tumenggung itu menggeleng. Katanya, “Aku melakukan perintah Pangeran Yudakusuma. Kuasa Pangeran Yudakusuma melampaui kuasa kapten Kenop disini. Kecuali karena perintah itu, maka sangat berbahaya bagi Raden Ayu untuk ditahan di loji”

“Ia seorang pengkhianat” geram perwira itu.

“Ia dituduh berkhianat” sahut Tumenggung itu. Lalu, “meskipun demikian seandainya ia berkhianat, maka tidak selayaknya ia berada di loji. Raden Ayu akan menjadi seekor kelinci yang masuk ke sarang serigala yang kelaparan”

Wajah perwira itu menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun demikian, ia pun menggeram, “Aku akan melaporkannya kepada kapten Kenop”

“Terserah kepadamu. Tetapi kapten Kenop tentu menyadari, bahwa ia tidak akan dapat membawa Raden Ayu ke loji” jawab Tumenggung itu.

Raden Ayu Galihwarit mendengarkan perdebatan itu Sebenarnyalah kulitnya telah meremang ketika ia mendengar, bahwa kumpeni akan membawanya ke loji. Ia sadar, bahwa sebagai seorang tahanan, maka harga dirinya akan jauh berbeda dari harga dirinya pada saat-saat lain ia memasuki loji itu. Sedangkan pada saat ia dengan suka rela memasuki loji itu harga dirinya sudah dikorbankan. Apalagi sebagai seorang tawanan. Maka kumpeni akan dapat memperkukuhkannya sekehendak hati mereka.

Ketika ia mendengar bahwa Tumenggung yang mengemban tugas dari Pangeran Yudakusuma itu berkeras untuk menempatkannya di bekas istananya, maka ia pun menjadi agak lega, Betapapun ia pasrah diri, tetapi perlakuan orang-orang yang menawannya memang dapat mempengaruhi ketahanan jiwanya. Dan ia berterima kasih kepada Pangeran Yudakusuma bahwa atas perintahnya, ia akan di tempatkan di luar loji sebagaimana dikehendaki oleh kapten Kenop.

Demikianlah, maka akhirnya, iring-iringan itu memasuki bekas istana Pangeran Ranakusuma yang dipergunakan oleh pasukan berkuda. Kedatangan iring-iringan itu telah disambut oleh beberapa orang perwira prajurit Surakarta dari pasukan berkuda. Mereka telah mendapat pemberitahuan sebelumnya, bahwa Raden Ayu Galihwarit akan di tempatkan di istana itu, sebagaimana pernah dilakukan atas Rara Warih, puteri dari Raden Ayu Galihwarit itu sendiri.

Ternyata bahwa ruang yang disediakan juga ruang yang pernah dipergunakan oleh Rara Warih, karena ruang itu adalah ruang yang rapat dan mudah diawasi.

Ketika Raden Ayu Galihwarit turun dari keretanya di halaman bekas istananya, sebelum dibawa ke ruang yang telah disediakan, maka ia telah diterima oleh Tumenggung Watang, yang untuk sementara diserahi pimpinan pasukan berkuda.

“Selamat datang Raden Ayu” sapa Ki Tumenggung Watang.

“Selamat Ki Tumenggung” jawab Raden Ayu sambil tersenyum. Sama sekali tidak nampak kegelisahan di wajahnya, “kali ini aku tidak berkepentingan dengan anakku, tetapi aku sendirilah yang akan menjalaninya sebagaimana pernah di jalani oleh anakku, Rara Warih”

“Aku akan sekedar menjalankan tugas Raden Ayu” berkata Tumenggung Watang.

“Ya. Aku mengerti. Kalian hanyalah menjalankan tugas kalian” jawab Raden Ayu.

Sesaat kemudian, maka Raden Ayu itu pun telah dibawa dan dipersilahkan masuk kedalam ruangan yang telah disiapkan.

Ketika Raden Ayu sudah berada di dalam, maka Tumenggung yang membawanya dari istana Sinduratan itu pun telah menyerahkan tanggung jawabnya atas Raden Ayu Galihwarit kepada Ki Tumenggung Watang, katanya, “Kakang Tumenggung. Segala sesuatunya kini terserah kepada kakang. Mungkin nanti, mungkin besok, Raden Ayu tentu akan diperiksa. Bukan saja oleh para Senapati kita sendiri, tetapi Kenop yang belum sembuh sama sekali itu pun tentu akan ikut memeriksanya”

“Aku akan menyiapkan segala-galanya” jawab Ki Tumenggung Watang.

“Terima kasih” jawab Tumenggung yang menyerahkannya. Kemudian perlahan-lahan Ki Tumenggung itu pun menceriterakan keinginan kumpeni untuk menahan Raden Ayu di dalam loji.

“Tentu akan terjadi kekasaran” berkata Tumenggung Watang, “mereka adalah orang-orang yang menjadi buas karena terlalu lama jauh dari lingkungan keluarga”

“Karena itu, bijaksana sekali bahwa perintah Pangeran Yudakusuma adalah, membawanya ke tempat ini” berkata Tumenggung itu pula, “karena itu, segala sesuatunya terserah kepadamu”

Dengan demikian, maka Raden Ayu Galihwarit pun telah ditinggalkan oleh orang-orang yang mengambilnya di dalam satu bilik yang tertutup rapat dan diawasi dengan sebaik-baiknya. Beberapa orang kumpeni mengumpat karena mereka gagal membawa Raden Ayu menghadap kapten Kenop dan menahannya di loji. Memang ada niat yang tidak sewajarnya, bahwa mereka akan menahan Raden Ayu itu di loji. Seorang perwira rendahan berkata kepada kawannya, “Gila. Aku kira bahwa akhirnya aku akan dapat juga bagian. Ternyata perempuan itu tidak dibawa ke loji. Tetapi disimpan di bekas rumahnya sendiri. Dibawah pengawasan Tumenggung Watang yang ketat, tidak seorang pun akan dapat mengganggunya kapan saja”

Dalam pada itu, maka perwira kumpeni yang semula akan mengambil Raden Ayu Galihwarit itu pun telah menghadap kapten Kenop dan melaporkan bahwa Raden Ayu Galihwarit telah berada di dalam pengawasan pasukan berkuda dari Surakarta.

Kapten Kenop mengumpat dengan kasar. Sambil bangkit dari pembaringan ia berkata, “Persetan dengan keputusan Pangeran Yudakusuma. Kita akan menyiapkan tuduhan itu dengan lengkap. Kau hubungi saksi yang telah bersedia untuk memberikan keterangan itu. Penuhi uang yang kau janjikan. Kita akan membuat hubungan dengan Pangeran Yudakusuma agar di dalam pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya, aku diperkenankan hadir dengan membawa saksi itu”

“Tetapi kapten masih sakit” berkata perwira bawahannya itu.

“Aku akan segera sembuh. Jika bukan aku, Morman yang akan pergi kepada Pangeran Yudakusuma” jawab kapten Kenop.

Perwira bawahannya itu mengangguk-angguk, ia akan menjalankan segala perintah sebaik-baiknya.

Dalam pada itu tabib yang mengobati kapten Kenop pun memasuki biliknya dan mempersilahkan kapten Kenop itu untuk berbaring saja di pembaringannya.

Dalam pada itu di Sukawati, Pangeran Mangkubumi telah menemui Juwiring, Rara Warih, Buntal dan Arum. Pangeran Mangkubumi telah memberitahukan langsung kepada mereka, bahwa ia telah berusaha untuk membawa Raden Ayu Galihwarit keluar dari kota karena keadaannya menjadi gawat. Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak bersedia.

“Aku sudah memberikan beberapa peringatan” berkata Pangeran Mangkubumi, “tetapi ibundamu adalah seorang yang sangat tabah menghadapi keadaan. Karena itu, maka ibundamu berkeras untuk tetap tinggal di rumah”

“Tetapi dengan demikian, apakah mungkin ibunda akan ditangkap, pamanda?” bertanya Rara Warih.

Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah aku berkata berterus terang Warih. Kau sudah dewasa menghadapi keadaan. Yang lain pun telah dewasa pula. Karena itu, maka aku dapat berterus terang, bahwa aku sudah mendengar rencana kumpeni untuk menangkap ibundamu. Karena itu, maka aku telah datang kepadanya, memberitahukan kepadanya. Tetapi seperti yang aku katakan, ibundamu tidak dapat meninggalkan istana ayahandanya dan juga ayahandanya itu sendiri, yang sudah semakin tua dan sakit-sakitan”

“O” Rara Warih menjadi sangat gelisah. “Ibunda salah hitung. Ibunda tidak sampai hati meninggalkan eyang Sindurata. Tetapi jika ibunda ditangkap, apakah itu juga bukan berarti meninggalkan eyang Sindurata”

“Tetapi ada dorongan lain Warih” berkata Pangeran Mangkubumi, “ibundamu seorang pejuang yang bertanggung jawab”

“Tetapi bukankah hak seseorang untuk menghindari bahaya yang mengancamnya” berkata Rara Warih yang kecemasan.

Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Nampaknya masih ada yang ingin dikatakannya. Tetapi niatnya itu pun diurungkannya.

“Marilah kita berdoa” katanya kemudian, “mudah-mudahan Tuhan selalu melindungi kita”

Pangeran Mangkubumi kemudian minta diri untuk melakukan tugas-tugasnya yang lain. Namun akhirnya laporan yang dicemaskan itu pun datang. Seorang petugas sandi yang datang dari kota melaporkan bahwa Raden Ayu Galihwarit sudah ditangkap.

Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam, la merasa berkewajiban untuk menyampaikannya kepada anak-anak muda yang disebut oleh Raden Ayu itu sebagai anak-anaknya. Tetapi agaknya hati Rara Warih masih terlalu lemah untuk melihat kenyataan itu.

“Tetapi aku kira lebih baik ia mengetahui sejak awal daripada ia akan dikejutkan oleh keputusan kumpeni yang tiba-tiba” berkata Pangeran Mangkubumi di dalam hatinya. Karena sebenarnyalah Pangeran Mangkubumi sudah memperhitungkan hukuman apa yang akan diterima oleh Raden Ayu Galihwarit itu.

Karena itu, maka pada kesempatan yang dianggap baik, sekali lagi Pangeran Mangkubumi menemui anak-anak muda itu. Warih dan Arum masih merawat Juwiring dan Buntal yang terluka. Tetapi nampaknya Buntal yang lukanya tidak terlalu parah, sudah mulai pulih kembali meskipun lukanya itu sendiri masih belum sembuh, sementara Juwiring pun telah berangsur-angsur menjadi lebih baik.

Dengan sangat berhati-hati, Pangeran Mangkubumi pun akhirnya sampai juga pada berita, bahwa Raden Ayu Galihwarit memang sudah ditangkap.

Ternyata berita itu cukup mengguncangkan hati Rara Warih. Di dalam pelukan Arum ia menangis terisak-isak.

“Sudah diajeng” Raden Juwiring berusaha menghiburnya, “kita serahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Aku kira ibunda bukan tidak mempunyai perhitungan”

Rara Warih memandang kakaknya dengan mata basah. Gadis itu tahu bahwa Raden Ayu Galihwarit bukan ibunda kakaknya itu yang sebenarnya. Karena itu, tanggapan di hatinya tentu berbeda dengan tanggapan di hatinya sendiri.

Raden Juwiring seolah-olah dapat membaca gejolak hati adiknya. Karena itu, katanya, “Diajeng. Bagiku ibunda Galihwarit tidak ubahnya dengan ibundaku sendiri. Pada saat-saat terakhir ibunda itu pun telah menganggap aku sebagai puteranya sendiri. Apalagi dalam perjuangan yang saling mengisi ini. Namun bagaimanapun juga, kita memang harus sampai kepada sikap pasrah. Tidak ada sesuatu apapun juga yang akan dapat merubah apa yang sudah digariskan Nya”

Tetapi akhirnya semuanya yang menyaksikan Warih menangis dapat juga mengerti, bahwa hal itu adalah wajar sekali. Namun demikian Pangeran Mangkubumi pun berpesan, “Menangis memang dapat mengurangi beban di hati Warih. Tetapi kau pun harus berusaha menghubungkan kenyataan yang kau hadapi dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang tidak dapat diubah oleh kuasa apapun seperti yang dikatakan oleh kakakmu Juwiring. Kau dapat menyesali apa yang terjadi. Tetapi tentu dilambari dengan nalar. Dan sekali-sekali jangan menyesali apa yang dikehendaki oleh Tuhan itu sendiri”

Rara Warih mengangguk kecil meskipun ia masih juga terisak. Sementara itu, Pangeran Mangkubumi pun berkata, “Bagaimanapun juga, kau harus ikut merasa bangga, bahwa beberapa kali ibundamu telah memberikan keterangan yang sangat berharga”

Sekali lagi Rara Warih mengangguk. Ia pun kemudian mencoba menempatkan dirinya dalam gejolak perjuangan itu. Ibundanya telah ditangkap karena perjuangannya.

Sekilas Rara Warih membayangkan, apa yang terjadi dalam pertempuran yang dahsyat di pinggir kali itu. Korban berjatuhan tanpa dihitung lagi. Seandainya ibundanya tidak berhasil menyadap berita sergapan itu, apakah yang akan terjadi dengan pasukan Pangeran Mangkubumi. Namun dengan demikian, ibunya telah mengorbankan segala-galanya. Kehormatannya, dan kini ia telah ditangkap.

Jantung Rara Warih serasa berhenti berdetak jika ia membayangkan hukuman apa yang dapat dijatuhkan atas ibundanya Sebagaimana pernah didengarnya, hukuman bagi orang yang dianggap berkhianat.

Dalam tekanan perasaan itu, ia membayangkan kembali korban-korban di pertempuran. Orang-orang itu juga mengorbankan nyawanya bagi pengabdiannya untuk menegakkan kebebasan bagi tanah air tercinta.

“Sudahlah Warih” berkata Pangeran Mangkubumi kemudian, “Kita akan sama-sama berdoa”

Sepeninggal Pangeran Mangkubumi, Warih berusaha menahan air matanya. Sementara itu ia masih berada di dalam pelukan Arum. Meskipun keduanya sebaya, tetapi Arum nampak lebih tabah karena tempaan kehidupannya di padepokan.

Namun akhirnya Rara Warih pun dapat menenangkan hatinya. Meskipun jantungnya masih terasa berdegupan, tetapi ia berhasil mengatasi tangisnya.

Meskipun demikian, wajah-wajah yang lain pun masih nampak murung, karena mereka tahu, kemungkinan yang dapat terjadi atas Raden Ayu Galihwarit.

Pada hari berikutnya, Pangeran Mangkubumi telah memerintahkan petugas-petugas sandinya untuk melihat satu kemungkinan atas Raden Ayu Galihwarit. Jika kemungkinan itu nampak, betapapun kecilnya, maka Pangeran Mangkubumi akan berusaha untuk membebaskannya dari tangan prajurit Surakarta yang menahannya

Tetapi laporan yang diterimanya sangat mengecewakannya.

“Kami sama sekali tidak melihat kemungkinan itu, Pangeran” berkata seorang petugas sandi yang menyelidiki tempat Raden Ayu Galihwarit ditahan.

Pangeran Mangkubumi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Mangkubumi yang kebetulan berada di Sukawati itu telah memanggil Raden Juwiring. Bersama-sama petugas sandi itu mereka mengurai kemungkinan yang dapat mereka lakukan. Karena Juwiring pernah tinggal di istana Pangeran Ranakusuma. maka ia dapat mengenal semua sudut istana itu.

Namun menurut laporan yang diterima dari para petugas sandi, maka segala kemungkinan telah tertutup karena penjagaan yang ketat dan berlapis. Bahkan kumpeni yang kecewa. Sudah memberikan bantuannya, yang sebenarnya berpangkal pada kecurigaan kumpeni, bahwa ada usaha untuk melindungi Raden Ayu Galihwarit dan apalagi berusaha untuk memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri.

Tetapi sebenarnyalah bahwa prajurit Surakarta benar-benar telah menjaga agar Raden Ayu Galihwarit dapat diperiksa. Pimpinan tertinggi pasukan Surakarta merasa, bahwa korban telah terlalu banyak yang jatuh. Namun mereka sama sekali tidak berhasil berbuat sesuatu yang berarti untuk mengatasi perlawanan Pangeran Mangkubumi.

Karena itulah, maka para pengikut Pangeran Mangkubumi sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menolong Raden Ayu Galihwarit. Bahkan Pangeran Mangkubumi pun masih juga menyangsikan, seandainya kesempatan itu ada, apakah Raden Ayu Galihwarit bersedia melarikan diri.

Dengan demikian, maka usaha untuk menolong Raden Ayu itu pun terpaksa tidak dapat dilakukan, agar tidak akan jatuh korban yang hanya sia-sia.

Dalam pada itu, maka di hari-hari berikutnya, Raden Ayu memang mengalami pemeriksaan yang terus-menerus. Namun sebenarnyalah pemeriksaan itu berjalan tanpa kesulitan. Raden Ayu mengatakan apa saja yang pernah dilakukannya. Namun demikian ia masih berusaha melindungi nama ayahandanya,

“Tidak ada gunanya aku menyembunyikan setitik rahasia pun dihadapan kalian” berkata Raden Ayu itu kepada para petugas dari Surakarta dan kumpeni, “aku tahu, bahwa kalian telah mendengar segala-galanya. Mustahil kalian dapat memberikan tuduhan begitu terperinci jika tidak ada seorang pelayan atau pengawal istana Sinduratan yang bersedia memberikan keterangan”

“Apa kewajiban ayahanda Raden Ayu dalam hubungannya dengan keterangan-keterangan yang Raden Ayu berikan kepada pasukan Pangeran Mangkubumi?” bertanya seorang perwira kumpeni.

“Ayah tidak bersangkut paut dengan tugas-tugas semacam itu” jawab Raden Ayu Galihwarit, “yang ayah ketahui semula anak-anakku itu disangkanya penjual burung dan penjual lulur. Ketika kemudian ayahanda mengetahui siapa mereka, maka ayahanda menjadi sangat marah dan untuk seterusnya tidak mau tahu tentang apa saja yang aku lakukan. Aku dianggapnya anak yang hilang karena tingkah lakuku”

“Bohong” perwira kumpeni itu membentak.

Raden Ayu mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia berkata, “Kau jangan membentak-bentak di hadapanku. Kau kira aku seorang tawanan karena aku mencopet di pasar?”

Perwira itu masih akan membentak. Namun Tumenggung Watang yang ikut serta dalam pemeriksaan itu telah bertanya dengan lembut, “Raden Ayu. Jadi menurut Raden Ayu, ayahanda Raden Ayu sama sekali tidak ikut campur dalam hal ini?”

“Ya” jawab Raden Ayu Galihwarit.

“Apakah Raden Ayu bersedia jika kami hadapkan seorang saksi?” berkata Tumenggung Watang.

“Silahkan. Silahkan” jawab Raden Ayu sambil tersenyum. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kegelisahannya meskipun ia akan dihadapkan kepada siapa saja.

Sejenak kemudian, seseorang telah dibawa masuk ke dalam bilik pemeriksaan. Ketika dilihatnya Raden Ayu Galihwarit. maka kepalanya pun telah ditundukkan dalam-dalam.

Namun dalam pada itu, Raden Ayu pun tersenyum sambil menyapanya, “Bagaimana khabar keselamatanmu Ki Samangun?”

Wajah orang itu menjadi semakin tunduk. Pertanyaan Raden Ayu itu benar-benar telah menusuk jantungnya. Justru karena itu, maka sepatahpun ia tidak dapat menjawab.

Dalam pada itu, maka perwira kumpeni yang ikut memeriksa Raden Ayu itulah yang kemudian berkata, “Nah, sekarang katakan terus terang, apa yang kau ketahui tentang Raden Ayu ini”

Wajah orang itu menjadi merah padam. Di hadapan Raden Ayu Galihwarit rasa-rasanya mulutnya menjadi tersumbat.

“Cepat, bicara” bentak perwira kumpeni itu.

Terasa punggungnya didorong oleh tangan yang kasar kuat. Tentu tangan perwira kumpeni itu. Karena itu. maka tiba-tiba tumbuhlah ketakutannya, sehingga dengan suara bergetar ia kemudian bertanya, “Apa yang harus aku katakan, tuan?”

“Apa yang kau ketahui tentang keterlibatan Pangeran Sindurata” bentak kumpeni itu.

Orang itu bergeser setapak. Kemudian katanya, “Pangeran Sindurata mengenal Raden Juwiring”

“Tentu. Bodoh” perwira itu menjadi marah, “tetapi hubungannya dengan pengkhianatan ini”

“Aku tidak tahu tuan” jawab orang itu, “tetapi yang aku katakan sejak semula, bahwa Pangeran Sindurata mengetahui bahwa Raden Juwiring datang ke istana Sinduratan”

Perwira kumpeni itu menjadi sangat marah. Namun dalam pada itu sambil tersenyum Raden Ayu berkata, “Nah, bukankah seperti yang aku katakan. Ayahanda akhirnya tahu, bahwa yang datang dengan membawa burung itu adalah anakku. Juwiring. Hal itulah yang membuat ayahanda semakin marah kepadaku”

“Begitu?” teriak perwira kumpeni itu.

Diluar dugaan kumpeni itu, maka orang itu pun mengangguk sambil berkata, “Ya tuan. Begitulah”

Hampir saja punggung orang itu dihantam sepatu oleh perwira yang marah sekali itu. Namun seorang Senapati yang ada di dalam bilik itu mencegahnya, “Ia seorang saksi”

“Tetapi ia berbohong” geram perwira kumpeni itu.

“Biarlah ia mengatakan apa yang ingin dikatakannya” berkata Senapati itu.

Dalam pada itu Raden Ayu Galihwarit pun berkata, “Apa lagi yang sebenarnya kalian inginkan. Aku tidak ingkar, bahwa akulah yang memberitahukan beberapa persoalan penting kepada pasukan Pangeran Mangkubumi lewat anak-anakku yang sekarang berada di dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Nah, apalagi? Bukankah kalian tinggal menjatuhkan hukuman yang paling sesuai atasku?”

“Pengkhianat” geram perwira kumpeni itu.

Tetapi Raden Ayu justru tertawa. Katanya, “Tergantung siapa yang menyebutnya. Bukankah begitu Ki Tumenggung Watang?”

Tumenggung Watang mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya Raden Ayu. Memang tergantung sekali, siapakah yang mengatakannya”

Wajah perwira kumpeni itu bagaikan membara. Tetapi Tumenggung Watang memang berbeda dengan Ki Samangun yang duduk di lantai dengan kepala tunduk. Tumenggung Watang dapat mengatakan apa saja yang ingin dikatakannya tanpa perasaan takut.

Meskipun demikian, setelah pemeriksaan atas Raden Ayu Galihwarit itu selesai, maka baik kumpeni maupun pimpinan keprajuritan di Surakarta telah menyatakannya bersalah. Namun mereka tidak dapat menyebut dengan pasti, bahwa Pangeran Sindurata telah terlibat dalam kesalahan Raden Ayu Galihwarit.

Akhirnya yang berhak mengambil keputusan dalam waktu perang di Surakarta itu telah mengambil keputusan atas Raden Ayu Galihwarit yang dituduh telah berkhianat atas Surakarta, yang beberapa kali telah memberikan keterangan penting dalam hubungannya, dengan peperangan yang sedang berlangsung antara Surakarta dengan Pangeran Mangkubumi yang mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan yang sah di Surakarta.

Dan keputusan itu adalah keputusan hukuman yang terberat. Hukuman mati.

Tetapi Keputusan itu sama sekali tidak mengejutkan Raden Ayu Galihwarit. Ia sudah menduga sejak semula, bahwa hukuman yang paling sesuai baginya menurut sudut pandangan orang-orang Surakarta dan kumpeni adalah hukuman mati. Dan ia sama sekali tidak akan ingkar menghadapi hukuman itu.

Karena itu. maka ketika para pemimpin prajurit Surakarta dan kumpeni bertanya kepadanya, apakah ia menerima keputusan itu, maka Raden Ayu Galihwarit menjawab sambil tersenyum, “Tidak ada hukuman lain yang lebih pantas bagiku selain hukuman mati menurut pandangan kalian. Karena itu, aku menerima hukuman itu”

Namun yang masih mendebarkan hati Raden Ayu itu adalah cara yang akan dipergunakan untuk menjatuhkan hukuman mati itu.

Semula keputusan itu berbunyi dihukum gantung sampai mati. Tetapi akhirnya dirubah menjadi dihukum tembak sampai mati dihadapan regu tembak

Sebenarnyalah beberapa orang perwira kumpeni yang ikut berbicara saat-saat keputusan itu diambil adalah kawan-kawan Raden Ayu Galihwarit. Bagaimanapun juga, mereka tidak dapat mengingkari getar perasaan mereka. Tentu mereka tidak akan sampai hati melihat perempuan cantik itu tergantung di tiang gantungan. Karena itu, maka mereka telah berpendapat, bahwa ada cara yang lebih baik untuk menghukumnya menurut cara yang sering dilakukan oleh kumpeni.

Dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit telah benar-benar bersiap menghadapi kematiannya. Lahir dan batin. Ia sendiri sudah mulai dicengkam oleh kejemuan terhadap hidupnya yang selalu dilumuri oleh kotornya lumpur kehidupan itu sendiri. Namun disaat terakhir ia sudah sempat menyatakan penyesalan dan bertaubat kepada Sang Pencipta lagi Maha Pengampun. Bahkan di dalam ketiadaan sadar, kadang-kadang ia sendiri melihat kematian adalah salah satu jalan yang telah dipilihnya untuk mengakhiri kehidupannya yang suram.

Namun untunglah, bahwa pada: saat terakhir, dengan cara hidupnya itu Raden Ayu Galihwarit masih melibat kesempatan, bahwa hidupnya yang kotor itu masih juga ada gunanya, sebelum akhirnya maut itu memang datang menjemputnya.

Keputusan itu telah menggemparkan Surakarta. Ketika keputusan itu diumumkan, maka terasa bahwa perasaan rakyat Surakarta telah bergejolak. Ada berbagai tanggapan yang mencengkam perasaan rakyat Surakarta.

Ketika Raden Ayu Galihwarit itu ditangkap, sudah banyak rakyat Surakarta yang memperbincangkannya. Meskipun saat itu mereka sudah mulai bertanya-tanya dan menilai tentang dirinya. Namun sebenarnyalah rakyat Surakarta memang tidak begitu menghiraukannya, karena Raden Ayu Galihwarit yang cantik itu bagaikan sekuntum bunga yang indah yang berkembang diatas setambun sampah di dalam lumpur.

Bahkan seperti pendapat beberapa orang pelayan di dalam istana Sinduratan yang tersebar dilingkungan para tetangga dan orang-orang yang mereka kenal di pasar, bahwa Raden Ayu Galihwarit telah menyingkirkan anak gadisnya, karena anak gadisnya itu ternyata tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik, yang akan dapat menyainginya.

Kematian dua orang perwira kumpeni di istana Sinduratan telah menarik perhatian rakyat Surakarta. Kemudian disusul penangkapan Raden Ayu itu sendiri. Tetapi tidak banyak orang yang tahu dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh, apakah sebenarnya yang telah terjadi dengan seorang puteri bangsawan yang telah sempat mencemarkan nama baik puteri Surakarta itu dihadapan kumpeni.

Namun ketika dengan resmi diumumkan, bahwa Raden Ayu Galihwarit telah dijatuhi hukuman mati karena ia telah berkhianat dan memberikan beberapa keterangan penting kepada pasukan Pangeran Mangkubumi sehingga beberapa kali gerakan kumpeni dan pasukan Surakarta gagal, maka mulailah rakyat Surakarta dengan sungguh-sungguh menilainya.

Ternyata bahwa Raden Ayu Galihwarit bukannya sampah yang paling kotor seperti yang mereka duga.

Apalagi mereka yang mendukung perjuangan Pangeran Mangkubumi meskipun di dalam hati, tiba-tiba telah merasa bersalah, bahwa selama itu mereka menganggap bahwa Raden Ayu Galihwarit adalah perempuan yang hanya tahu tentang dirinya dan bahkan telah melanggar segala paugeran bagi puteri utama di Surakarta.

Tetapi berita tentang hukuman mati dan sebabnya itu, benar-benar telah menyentuh hati mereka.

Dalam pada itu, Pangeran Mangkubumi dan pasukannya pun telah mendengar, bahwa Raden Ayu Galihwarit telah dijatuhi hukuman mati. Sebenarnyalah mereka memang sudah menduga. Bagi kumpeni kesalahan Raden Ayu Galihwarit adalah besar sekali. Bahkan Pangeran Mangkubumi berpendapat, seandainya ada hukuman yang lebih berat dari hukuman mati, maka hukuman itulah yang akan dijatuhkannya.

Juwiring, Buntal dan Arum telah dipanggil menghadap. Betapa berat perasaan mereka mendengar keputusan itu. Dan betapa beratnya mereka akan menyampaikan berita itu kepada Rara Warih.

“Juwiring” berkata Pangeran Mangkubumi, “bagaimanapun juga, aku adalah orang tuanya. Warih adalah kemanakanku. Sepeninggal ayah dan ibunya, ia adalah anakku. Karena itu, panggillah ia kemari. Aku sendiri yang akan menyampaikan kepadanya”

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian beringsut dan bangkit untuk memanggil Rara Warih.

Dengan sangat hati-hati, Pangeran Mangkubumi sendiri telah menyampaikan berita keputusan kumpeni dan pimpinan keprajuritan Surakarta tentang Raden Ayu Galihwarit.

“Tidak ada di dunia ini yang kekal, Rara Warih” berkata Pangeran Mangkubumi, “segalanya yang ada akan tiada. Dan segala yang hidup pada akhirnya akan mati”

Wajah Rara Warih menjadi tegang. Ia sudah mulai dapat meraba arah pembicaraan Pangeran Mangkubumi. Karena itu, tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimana dengan ibunda?”

Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Bahwa kita harus kembali kepada Maha Pencipta itu tidak akan dapat kita ingkari. Bahkan waktunya pun tidak akan dapat kita tawar lagi jika waktu itu memang sudah tiba. Warih, bagaimanapun juga kita yang ditinggalkan akan merasa kehilangan, namun sebenarnyalah bahwa yang meninggalkan kita itu akan kembali ke sisi Yang Maha Pencipta”

“Bagaimana dengan ibunda, pamanda Pangeran?” Rara Warih tidak sabar lagi.

“Yang terjadi hanyalah bagaimana kematian itu datang menjemput kita. Tetapi kematian itu sendiri tidak dapat kita hindari” jawab Pangeran Mangkubumi. Lalu, “Rara Warih, pada saatnya kita semua akan mati, adalah giliran ibundamu yang akan dipanggil lebih dahulu dari kita. Rara Warih, kita telah melihat bermacam-macam cara Tuhan memanggil hambaNya, ada kalanya seseorang meninggal dalam keadaan sakit yang berkepanjangan, ada yang dalam keadaan sehat, ada pula meninggal dalam kecelakaan. Tetapi kali ini Tuhan akan memanggil ibundamu dengan cara melalui tangan kumpeni”

“Pamanda” wajah Rara Warih menjadi semakin tegang, “maksud pamanda Pangeran, ibunda dihukum mati?”

Pangeran Mangkubumi terpukau di tempatnya. Namun hampir diluar sadarnya, ia telah mengangguk kecil.

Terdengar Rara Warih itu menjerit. Namun untunglah bahwa Juwiring dengan cepat telah menangkapnya, sehingga ketika Rara Warih itu pingsan, ia berada di tangan Raden Juwiring.

Beberapa orang menjadi sibuk. Mereka mengerti, betapa hancurnya hati gadis itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya sendiri sama sekali tidak pernah mengalami kegembiraan. Ayahandanya sudah gugur di peperangan sepeninggal kakaknya, Rudira. Kemudian ibundanya harus mengalami hukuman mati.

Ketika Rara Warih itu sadar, ia melihat wajah Pangeran Mangkubumi yang mengamatinya. Ketika terdengar isak tangisnya, maka Pangeran Mangkubumi itu berkata, “Rara Warih. Terimalah keputusan itu dengan menyebut nama Maha Tuhanmu. Pasrahkan ibundamu kembali kepadaNya”

“Aku tidak lagi berayah dan beribu” tangisnya.

“Aku adalah pengganti orang tuamu, Warih” jawab Pangeran Mangkubumi.

Rara Warih memandang Pangeran Mangkubumi dengan sorot mata yang layu. Namun kemudian gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia telah mencoba untuk mengerti persoalan yang dihadapinya. Namun demikian, bagaimanapun juga, kepergian ibundanya adalah satu himpitan baru di hatinya.

Dalam pada itu, ternyata Surakarta tidak berniat untuk menunda-nunda hukuman mati yang sudah mereka jatuhkan atas Raden Ayu Galihwarit. Karena itu, pada saat yang pendek maka Surakarta sudah bersiap-siap untuk melakukannya.

Sebenarnya Raden Ayu Galihwarit bukannya orang yang pertama mengalami hukuman mati. Tetapi biasanya kumpeni tidak pernah mempergunakan tatanan yang seperti ditrapkan kepada Raden Ayu Galihwarit yang kebetulan adalah seorang bangsawan. Biasanya kumpeni langsung menghukum mati setiap orang yang dicurigainya tanpa pemeriksaan yang teliti. Tanpa pengakuan, tanpa bukti dan tanpa saksi. Jika kumpeni mencurigai seseorang berdasarkan laporan yang tidak jelas, hal itu sudah cukup kuat untuk menembak, orang itu di sembarang tempat dan di sembarang waktu.

Tetapi tidak demikian dengan Raden Ayu Galihwarit. Puteri itu masih mendapat kehormatan untuk dihukum mati di sebuah lapangan di depan loji. Surakarta sengaja menghukum puteri itu di depan umum, dengan pengertian, bahwa tingkah lakunya jangan ditiru oleh orang lain. Dan Surakarta ingin membuktikan bahwa hukum berlaku bagi siapa saja, termasuk seorang anak perempuan Pangeran di Surakarta sendiri.

Pada hari yang ditentukan, maka terjadi kesibukan di lapangan di depan loji. Penjagaan dilakukan dengan sangat ketat. Bukan saja di tempat kejadian, tetapi di seluruh kota. Hampir di setiap pintu gerbang telah dipasang meriam-meriam kecil yang dapat menahan serangan jika hal itu akan terjadi. Sementara para peronda hilir mudik di seluruh kota tanpa ada hentinya sejak matahari terbit.

Dalam pada itu, ternyata banyak juga orang, yang ingin menyaksikan, bagaimana Raden Ayu Galihwarit itu mengakhiri hidupnya. Karena itu, maka jalan-jalan di seluruh kota pun menjadi ramai. Berkelompok-kelompok orang menuju ke lapangan di depan loji.

Dengan perasaan yang berbeda-beda rakyat Surakarta berusaha untuk melihat, apa yang sebentar lagi akan terjadi.

Dalam pada itu, betapapun tabahnya hati Raden Ayu Galihwarit, namun ketika datang saatnya hukuman mati itu akan dilaksanakan, maka wajahnya pun nampak menjadi pucat. Jantungnya bagaikan berdetak semakin cepat Pada saat seorang penjaga membuka pintu biliknya, kemudian mempersilahkan Tumenggung Watang memasuki bilik itu, terasa jantungnya bagaikan berhenti mengalir.

Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak mau menunjukkan kegelisahannya yang sangat. Karena itu, ia pun berusaha untuk tetap tersenyum sambil bertanya, “Apakah aku harus berangkat sekarang?”

“Belum Raden Ayu” jawab Tumenggung Watang, “aku masih mendapat kesempatan untuk bertanya kepada Raden Ayu, apakah masih ada yang Raden Ayu inginkan sebelum Raden Ayu menjalani hukuman itu?”

Jantung Raden Ayu itu bergetar. Namun katanya kemudian, “Aku ingin bertemu dengan ayahanda sekali lagi”

“Baiklah Raden Ayu. Biarlah ayahanda dijemput untuk datang ke tempat ini sebelum Raden Ayu pergi” jawab Tumenggung Watang.

Namun dalam pada itu, ternyata Tumenggung Watang sendirilah yang telah pergi menjemput Pangeran Sindurata. Ketika ia memasuki halaman istana Sinduratan maka ia pun segera meloncat turun dari kudanya diikuti oleh para pengawalnya.

Tumenggung Watang tertegun ketika ia melihat Pangeran tua itu duduk di pendapa istananya seorang diri. Tidak seorang pun yang menghadap dan menemaninya. Anak-anaknya yang lain juga tidak. Dengan kerut merut yang semakin dalam karena usianya serta beban perasaannya, Pangeran itu merenungi pepohonan yang tegak di halaman istananya.

Ketika Pangeran Sindurata melihat Tumenggung Watang, maka tanpa bergerak dari tempat duduknya, ia mempersilahkan Tumenggung itu naik.

“Apa keperluanmu? Apakah kau juga mendapat perintah untuk menangkap aku?” bertanya Pangeran Sindurata.

“Tidak Pangeran” jawab Tumenggung Watang yang kemudian menyampaikan permohonan Raden Ayu Galihwarit untuk dapat bertemu dengan ayahandanya sekali lagi.

“Terima kasih” jawab Pangeran Sindurata, “aku akan segera datang”

“Kami akan menunggu Pangeran berkemas” jawab Tumenggung Watang.

Dengan tergesa-gesa Pangeran Sindurata pun segera membenahi diri. Dengan keretanya ia pun kemudian pergi ke bekas istana Pangeran Ranakusuma untuk menjumpai anak perempuannya yang sebentar lagi akan menjalani hukuman mati.

Ketika di jalan-jalan raya Pangeran itu melihat orang berduyun-duyun, maka ia pun bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, “Mereka akan melihat satu pertunjukan yang paling baik di pekan ini”

Kedatangannya disambut oleh Raden Ayu Galihwarit dengan isak yang tertahan. Sambil berjongkok Raden Ayu itu menyembah kepada ayahandanya. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya sejak ia berada dalam satu lingkungan yang dekat dengan kumpeni.

“Hamba mohon maaf atas segala kesalahan hamba ayahanda. Hamba telah mengotori nama ayahanda dengan tingkah laku hamba. Hamba telah membunuh anak hamba laki-laki dan hamba pula yang telah mendorong kakangmas Ranakusuma untuk mengambil sikap yang menyebabkan ia gugur” tangis puteri itu.

“Tetapi Pangeran Ranakusuma gugur sebagai pahlawan” jawab Pangeran Sindurata, “dan kau pun akan menjalani hukumanmu sebagai seorang pejuang”

“Hamba mohon restu, agar hati hamba menjadi tabah” desis Raden Ayu.

“Ketabahan adalah ciri kepahlawananmu Galihwarit. Kau telah mapan dan pasrah, sehingga tidak ada yang dapat menggoyahkan hatimu lagi. Kau akan berdiri tegak seperti batu karang di pinggir Samodra. Perjuanganmu adalah bunga yang akan mekar di persada tanah air inti. Jika pada saatnya kembang itu gugur, maka baunya yang harum akan tetap dikenang”

Raden Ayu Galihwarit mengusap matanya yang basah. Sekali lagi ia menyembah ayahandanya dan mencium kakinya. Kemudian ia pun berdiri tegak sambil berkata, “Aku sudah siap ayahanda”

“Pergilah. Aku akan mengiringimu dengan doa, semoga kau diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa” jawab ayahandanya.

Raden Ayu Galihwarit mengangguk sambil tersenyum. Katanya lirih, “Selamat tinggal ayahanda,”

Pangeran Sindurata tidak menyahut. Ia pun kemudian keluar dari bilik itu langsung menuju ke keretanya. Betapa kerasnya hati orang tua itu. namun di kedua matanya telah mengembun setitik air mata.

Sepeninggal Pangeran Sindurata, maka Tumenggung Watang pun masuk kedalam bilik Raden Ayu itu pula. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apakah masih ada keinginan Raden Ayu yang tertinggal?”

Raden Ayu Galihwarit itu tertawa. Katanya, “Sudah cukup Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung bertanya lagi, maka aku akan menjawab, bahwa yang aku inginkan adalah kepala kapten Kenop”

“Ah” desah Tumenggung Watang.

“Sekarang aku sudah siap” berkata Raden Ayu.

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Ayu itu sekilas. Hampir saja ia bertanya, dimanakah puterinya yang bernama Rara Warih sekarang. Tetapi niatnya itu diurungkan. Hal itu akan dapat mengungkit luka di hati Raden Ayu itu justru pada saat-saat terakhir. Bahkan mungkin Raden Ayu itu akan salah mengerti, bahwa disangkanya ia akan memburunya dan menangkapnya. Tetapi ingatan Tumenggung Watang itu semata-mata karena Warih adalah kawan baik anak perempuannya yang sebaya.

“Apa yang ditunggu lagi Ki Tumenggung?” justru Raden Ayu itulah yang mendesak.

“Sebentar lagi akan datang kereta khusus yang menjemput Raden Ayu” jawab Tumenggung Watang.

Raden Ayu itu mengangguk-angguk. Namun belum lagi Raden Ayu bertanya tentang yang lain, maka telah terdengar derap kereta dan kaki kuda memasuki halaman itu.

“Mereka datang” berkata Tumenggung Watang.

Sejenak kemudian, maka di halaman itu telah siap sebuah kereta yang menjemput Raden Ayu itu. Diiringi oleh beberapa orang kumpeni yang siap dengan senjata di tangan. Sementara itu pasukan berkuda Surakarta pun telah menyiapkan sekelompok prajuritnya untuk mengawal Raden Ayu itu pula.

“Marilah Raden Ayu” Tumenggung Watang mempersilahkan.

Denyut jantung Raden Ayu Galihwarit terasa semakin cepat. Tetapi ia sudah benar-benar pasrah. Pasrah bagi dirinya sendiri dan pasrah atas anak-anaknya yang ditinggalkannya.

Dalam pada itu, diiringi oleh Tumenggung Watang dan seorang perwira kumpeni, Raden Ayu Galihwarit itu naik ke dalam kereta. Namun dalam pada itu, ia berkata, “Aku masih mempunyai satu permintaan Ki Tumenggung”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Ia cemas, bahwa Raden Ayu itu akan minta kepala seorang kumpeni. Tetapi dalam pada itu, Raden Ayu itu pun berkata, “Aku minta bahwa yang berada disebelah menyebelah kereta ini adalah prajurit Surakarta. Bukan kumpeni Karena aku adalah rakyat Surakarta ”

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah Raden Ayu. Permintaan itu akan aku penuhi”

Demikianlah, maka iring-iringan itu pun meninggalkan halaman bekas istana Pangeran Ranakusuma. Diluar regol Raden Ayu masih berpaling sekali, seolah-olah ingin melihat regol bekas istananya itu sekali lagi. Kemudian, Raden Ayu itu pun duduk tenang di dalam keretanya.

Jantungnya menjadi berdebaran ketika ia melihat sedemikian banyak orang yang menunggunya. Terasa hatinya tersentuh. Sekian banyak orang yang ingin melihat dan menjadi saksi kematiannya. Tetapi Raden Ayu pun sadar, bahwa perasaan orang-orang itu tentu berbeda-beda menghadapi peristiwa yang bakal terjadi atas dirinya

Dalam pada itu, di Sukawati, Juwiring, Buntal dan Arum tengah berusaha menenangkan Rara Warih. Mereka tahu, bahwa hukuman mati itu dilaksanakan pada pagi hari itu. Karena itu, Rara Warih telah dicengkam lagi oleh kegelisahan.

Bahkan dalam pada itu, Juwiring telah mengundang Kiai Danatirta dari Gunung Garigal. Ia berharap bahwa Kiai Danatirta akan dapat membantunya menenangkan anak perempuannya itu. Karena pada waktu itu Pangeran Mangkubumi tidak berada di Sukawati. Juwiring tahu, bahwa Pangeran Mangkubumi tentu berada di dalam kota pada saat hukuman itu dilaksanakan

Dengan sabar Kiai Danatirta memberikan beberapa petunjuk kepada Rara Warih tentang saat-saat manusia datang dan saat-saat mereka harus pergi

“Yang penting ngger” berkata Kiai Danatirta, “apakah yang kemudian dapat kita lakukan untuk melanjutkan perjuangan ibundamu”

Rara Warih tersentuh oleh kata-kata Kiai Danatirta, itu. Sekali lagi ia mengulang di dalam hatinya, “Yang penting, apakah yang kemudian dapat kita lakukan untuk melanjutkan perjuangan ibunda”

Rara Warih menarik nafas dalam-dalam. Betapapun juga. akhirnya ia harus sampai kepada kenyataan yang dihadapinya. Sementara itu pesan Kiai Danatirta itu telah tergores di dinding jantungnya.

“Aku sudah berada di dalam lingkungan pasukan pamanda Mangkubumi” berkata Rara Warih di dalam hatinya, “aku akan berbuat apa saja bagi perjuangan ini” Tetapi ia masih melanjutkan, “Namun aku tidak akan berani menempuh cara seperti yang ibunda lakukan”

Dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit telah berada di antara orang-orang yang ingin menjadi saksi atas hukuman mati yang akan dijatuhkan. Namun sekali lagi, Raden Ayu itu telah menggetarkan hati Rakyat Surakarta. Dari jendela kereta yang membawanya rakyat Surakarta melihat wajah Raden Ayu itu sama sekali tidak menunduk. Tetapi sambil menengadahkan wajahnya Raden Ayu itu justru melambaikan tangannya.

Ketika kereta itu kemudian berhenti di lapangan di depan loji maka yang nampak turun dari kereta itu adalah seorang perempuan cantik yang masih saja tersenyum. Dengan tengadah Raden Ayu Galihwarit memandang ke sekelilingnya. Sehingga justru karena itulah, maka wajah-wajah rakyat Surakarta itulah yang menunduk dalam-dalam. Sebuah gejolak yang dahsyat telah menerpa jantung mereka. Yang membenci maupun yang mencintainya, telah berdesah di dalam hati, “Seorang perempuan yang Agung”

Raden Ayu Galihwarit menolak untuk ditutup matanya. Ketika ia berdiri dihadapan sekelompok penembak, maka ia berdiri dengan tegak.

Yang justru menjadi gemetar adalah Letnan Morman. Ia mendapat perintah untuk memberikan aba-aba kepada, tujuh orang kumpeni dengan senapan di tangan.

“Luar biasa” berkata Morman itu di dalam hatinya, “ia sadar sekali, apa yang dilakukannya bagi tanah air, bagi bangsa dan bagi dirinya sendiri”

Bagaimanapun juga Letnan itu terpaksa mengangguk hormat ketika Raden Ayu Galihwarit memandangnya sambil tersenyum.

Di sebelah kiri dari lapangan itu, beberapa orang bangsawan dan pemimpin dari Surakarta berdiri tegak. Pangeran Yudakusuma hadir dalam pelaksanaan hukuman mati itu. Dalam pada itu, tidak seorang pun diantara mereka yang berani menatap wajah Raden Ayu Galihwarit Sambil menundukkan kepala, mereka berkata di dalam hati, “Bahwa perempuan yang pernah tercemar namanya ini, pada suatu saat telah menempatkan diri sebagai seorang pejuang yang sulit dicari bandingnya” Tetapi tidak seorang pun diantara mereka yang berani melihat dan menilai diri mereka sendiri. Beberapa orang pimpinan dalam jajaran tertinggi di Surakarta, yang sejak semula telah berusaha menjatuhkan kedudukan Pangeran Mangkubumi karena iri dan dengki, berusaha untuk membaurkan pengakuan di dalam hatinya itu dengan pernyataan-pernyataan yang semu, sehingga dengan susah payah barulah mereka berhasil menipu diri mereka sendiri.

Sejenak kemudian, maka pelaksanaan hukuman mati itu pun telah di persiapkan. Ketika Morman menempatkan Raden Ayu yang tidak mau ditutup matanya itu, maka ia telah berbisik dengan bahasa yang kaku, “Aku mohon maaf Raden Ayu. Aku adalah prajurit yang menjalankan tugasku”

Raden Ayu itu tersenyum. Seperti kepada anak-anak yang merengek minta gula-gula Raden Ayu itu menepuk pundaknya, “Lakukan tugasmu dengan baik Letnan”

Sejenak kemudian, maka tujuh orang penembak tepat itu telah bersiap.

Namun dalam pada itu, rakyat yang menyaksikan peristiwa itu telah bergejolak. Beberapa orang tidak dapat menahan tangisnya, sementara beberapa, orang yang lain dengan tergesa-gesa telah meninggalkan tempat itu, sebelum hukuman dilaksanakan,

Dalam pada itu, ketika dengan suara gemetar Morman meneriakkan aba-aba dan senapan yang tujuh pucuk itu meledak, maka meledak pula pertempuran yang dahsyat di Jatimalang. Ternyata Pangeran Mangkubumi tidak menyaksikan hukuman mati itu dilaksanakan. Pagi-pagi sekali ia memang berada di kota, diantara orang-orang yang berduyun-duyun ke lapangan didepan loji itu. Namun kemudian ia telah meninggalkan kota justru ketika ia melihat, bahwa seluruh kekuatan kumpeni dan prajurit Surakarta telah dikerahkan untuk menjaga keamanan kota pada saat pelaksanaan hukuman mati itu.

Kematian Raden Ayu Galihwarit di depan tujuh orang penembak itu, bukannya dibiarkan saja berlalu oleh Pangeran Mangkubumi. Namun pada saat yang bersamaan, ternyata pasukan Pangeran Mangkubumi yang berada di Gunung Garigal telah turun dan menyerang salah satu pertahanan kumpeni yang kuat. Tetapi ternyata bahwa Pangeran Mangkubumi sendiri telah memimpin serangan itu dengan sebagian besar kekuatannya.

Pasukan di Jatimalang itu tidak sempat minta bantuan ke kota. Dengan kemarahan yang meluap, Pangeran Mangkubumi telah menyapu mereka sehingga pertahanan di Jatimalang itu hancur menjadi debu.

Hanya beberapa orang kumpeni yang berhasil lolos dan melarikan diri ke kota, yang masih diliputi suasana yang mengandung rahasia. Karena tidak seorang pun yang dapat menghitung dengan pasti, berapa orang yang menarik nafas lega karena pengkhianat telah terbunuh sementara berapa orang yang telah mengutuk hukuman itu sebagai satu tindakan yang paling biadab.

Kapten Kenop telah mendapat laporan di tempat tidurnya, bahwa pelaksanaan hukuman mati itu telah dijalankan. Namun pada hari itu juga ia telah mendengar pula, bahwa pasukan kumpeni di Jatimalang telah digilas habis oleh pasukan Pangeran Mangkubumi yang marah, yang menuntut keseimbangan peristiwa atas hukuman mati yang dijatuhkan kepada Raden Ayu Galihwarit.

Kemarahan yang tidak ada taranya telah membakar dada Kapten Kenop. Tetapi ia masih harus berbaring di pembaringan. Sehingga karena itu ia hanya dapat mengumpat-umpat dengan kata-kata kasar. Sementara itu, beberapa perwira lainnya, telah menyiapkan pasukan yang akan dikirim untuk membangun kembali pertahanan di Jatimalang.

Malam itu, Surakarta bagaikan kota mati. Sepi. Bahkan seperti sebuah kuburan yang sangat luas. Rakyat masih dicengkam oleh peristiwa yang menggetarkan jantung mereka di lapangan di depan loji. Sementara kumpeni masih dihantui oleh peristiwa hancurnya pertahanan di Jatimalang, yang terjadi dalam pertempuran yang termasuk cepat dan tiba-tiba.

Hari itu juga tubuh Raden Ayu Galihwarit telah dimakamkan. Tetapi hari itu juga, mayat kumpeni yang berserakan di Jatimalang, karena kawan-kawannya tidak sempat membawanya telah diambil oleh pasukan yang kemudian datang, setelah laporan itu sampai kepada para perwira kumpeni di Surakarta.

Malam itu, Pangeran Mangkubumi berada di Sukawati setelah membersihkan diri. Bersama Kiai Danatirta, Juwiring. Buntal, Warih dan Aram, Pangeran itu duduk di sebuah amben yang besar.

Dengan wajah yang tenang Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk ketika ia mendengar Warih berkata, “Aku mengerti pamanda. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta bagaimana aku harus melanjutkan perjuangan ibunda. Tetapi aku berbeda dengan ibunda dan berbeda dengan Arum yang memiliki ilmu kanuragan”

Pangeran Mangkubumi tersenyum. Katanya, “Perjuangan untuk menegakkan cita-cita kemerdekaan ada seribu macam cara. Ibundamu telah mengambil salah satu cara yang barangkali teramat sulit untuk dilakukan oleh orang lain. Arum juga mengambil caranya sendiri untuk ikut serta dalam perjuangan ini. Aku yakin, bahwa besok atau lusa, kau akan segera menyesuaikan dirimu dengan salah satu cara yang paling baik bagimu. Perjuangan itu masih panjang Warih”

Rara Warih menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah kakaknya yang menegang. Namun Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam ketika Rara Warih mengangguk.

“Aku akan menyesuaikan diri dengan keadaanku sekarang” berkata Rara Warih, “aku akan berusaha pamanda”

“Bagus” berkata Pangeran Mangkubumi, “kita. akan mulai dengan perjuangan yang barangkali akan lebih luas dan lebih cepat. Kira akan selalu bergerak Pengalaman kita sampai sekarang mengatakan, bahwa Untuk menetap di satu tempat kadang-kadang kurang menguntungkan. Seandainya kita tidak dapat mencium rencana kumpeni menyerang dengan kekuatan yang besar, maka kita akan dapat dihancurkan”

Juwiring dan Buntal pun mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Danatirta berkata, “Pangeran, agaknya dukungan terhadap perjuangan Pangeran pun menjadi semakin luas. Kemanapun Pangeran pergi, agaknya Pangeran akan mendapat sambutan yang baik. Bukan saja bagi kedatangan Pangeran, tetapi juga bagi perjuangan Pangeran”

“Terima kasih Kiai Besok kami akan bertemu dengan kawan-kawan kami yang tersebar. Kami akan menentukan langkah yang lebih tepat menghadapi keadaan yang berkembang dengan cepat” berkata Pangeran Mangkubumi, “nah, sejak sekarang, bersiap-siaplah. Mudah-mudahan Juwiring dan Buntal akan segera sembuh”

“Aku sudah sembuh Pangeran” jawab Buntal.

“Besok aku pun sembuh” desis Juwiring sambil tersenyum.

Demikianlah Pangeran Mangkubumi telah meninggalkan anak-anak muda itu. Malam itu juga Pangeran Mangkubumi kembali ke Gunung Garigal, mempersiapkan sebuah pertemuan yang akan dilakukan di keesokan harinya di suatu tempat yang dirahasiakan.

Namun dalam pada itu, di Sukawati seorang petugas sandi telah menemui anak-anak muda itu. Tanpa dapat dicegah lagi ia berceritera. tentang hukuman mati yang sudah dilaksanakan. Bagaimana sebagian dari rakyat Surakarta menangisi kematian Raden Ayu Galihwarit.

“Di tempat Raden Ayu ditembak sekarang menggunung bunga tabur. Entah siapa yang memulainya, namun kumpeni tidak dapat mencegah, rakyat Surakarta yang bagaikan arus bengawan mengalir untuk menaburkan bunga di tempat itu” berkata petugas sandi itu.

Setitik air nampak di pelupuk mata Rara Warih. Tetapi ia tidak menangis lagi.

Demikianlah, agaknya gugurnya Raden Ayu Galihwarit menjadi pertanda perubahan cara yang ditempuh oleh Pangeran Mangkubumi. Di dalam pertemuan di hari berikutnya di tempat yang dirahasiakan, para pemimpin pasukan Pangeran Mangkubumi, termasuk Raden Mas Said mengakui, bahwa sekuntum bunga telah gugur. Bukan bunga yang tumbuh di taman sari yang asri, tetapi bunga yang tumbuh di gersangnya batu karang, sebagaimana gersangnya kehidupan Raden Ayu Galihwarit itu sendiri. Namun bunga-bunga yang lain masih dan akan berkembang. Bunga yang tumbuh di batu-batu karang, yang tumbuh di tanah-tanah tandus, di hutan-hutan perdu, dan di alas gung liwang-liwung. Karena taman sari yang asri justru sedang dijamah oleh orang-orang asing yang dengan tamaknya telah menghisap saripatinya kehidupan di Surakarta, sehingga kehidupan rakyat Surakarta itu akan menjadi semakin tandus, gersang dan kering.

Namun perjuangan Pangeran Mangkubumi tidak terhenti. Justru semakin lama menjadi semakin dahsyat Kumpeni menjadi semakin pening menghadapi perlawanan yang semakin teratur meskipun menebar di daerah yang sangat luas.

Juwiring dan Warih kemudian menjadi satu bagian dari perjuangan Pangeran Mangkubumi. Sementara Buntal dan Arum merupakan pasangan yang tidak terpisahkan. Bukan saja ikatan pribadinya, tetapi juga dalam lingkungan perjuangan Pangeran Mangkubumi, bersama dengan ayah angkat mereka. Kiai Danatirta. Arum memang mempunyai cara yang berbeda dari Rara Warih. Namun dalam beberapa hal keduanya berada dalam satu medan yang saling mengisi. Dengan perempuan-perempuan yang siap menghadapi tantangan perjuangan, Warih telah menyiapkan segala keperluan para pejuang di medan. Sementara Arum dan beberapa orang pengawal siap melindungi mereka dalam bentuk apapun juga.

Perjuangan itu ternyata telah menempa anak-anak muda itu menjadi semakin dewasa. Sehingga dewasa pulalah hubungan antara Arum dan Buntal.

Namun dalam pada itu, genderang dan sangkakala masih bergema di setiap lereng bukit dan lembah-lembah. Perjuangan Pangeran Mangkubumi telah menggetarkan jantung kumpeni. Semakin lama menjadi semakin dahsyat, sehingga akhirnya kumpeni tidak lagi dapat berbuat banyak.

Betapapun juga, perang terbuka telah diakhiri pada perjanjian Giyanti. Kumpeni tidak dapat mengingkari kekuatan Pangeran yang pernah dianggap tidak berarti di Surakarta itu. Namun sebenarnyalah perjuangan belum berakhir. Pada saat-saat berikutnya perang terbuka itu pecah pula di mana-mana di seluruh persada pertiwi, sehingga akhirnya, penjajahan benar-benar telah terusir dari bumi tercinta ini.....

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar