Bunga Di Batu Karang Jilid 25

“Jangan, jangan Kangjeng Susuhunan. Tuan harus tetap tinggal di istana. Sangat berbahaya bagi Tuan jika Tuan keluar dari istana apalagi pergi ke bengawan.


Mungkin masih ada satu dua kelompok kecil orang-orang yang ingin membunuh diri” desis kapten itu. Lalu, “mohon Tuan mengetahui, pasukan Pangeran Mangkubumi adalah pasukan liar yang licik”

Tetapi jawab Kangjeng Susuhunan benar-benar mengejutkan, “Aku muak mendengar bualanmu. Jangan berbohong kepadaku. Aku mengerti apa yang terjadi di luar dinding halaman istana ini”

Kapten itu termangu-mangu. Namun ia pun sadar, bahwa Kangjeng Susuhunan tentu sudah mendengar laporan serba sedikit tentang apa yang telah terjadi. Tetapi kapten kumpeni itu pun yakin, bahwa yang dikatakan oleh Kangjeng Susuhunan itu adalah sekedar untuk menutupi kecemasannya saja.

Namun sementara itu, jalan-jalan kota Surakarta rasa-rasanya menjadi hidup lagi meskipun di malam hari. Tetapi yang hilir mudik di jalan-jalan adalah para prajurit dan kumpeni dengan lagak mereka masing-masing. Seolah-olah memang merekalah yang telah berhasil mengusir pasukan Pangeran Mangkubumi yang sekitar setengah hari telah menguasai kota.

Ternyata kota itu menjadi semakin ramai menjelang pagi hari. Ternyata pasukan yang meninggalkan Penambangan dengan penuh kesal telah memasuki kota pula.

Penduduk kota Surakarta sendiri masih belum berani keluar dari rumah atau tempat mereka mengungsi. Yang berada di halaman istana masih tetap berada di halaman, sementara yang menutup pintu rumahnya erat-erat, masih belum juga berani membuka.

Namun pagi hari itu Surakarta menjadi ramai. Pasukan yang datang dari Penambangan itu pun sangat mengejutkan. Mereka membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Namun ternyata bahwa ada pula kawan-kawan mereka yang hanya kembali namanya saja, karena mereka tidak sempat membawanya.

Dalam pada itu, Kumpeni benar-benar merasa terpukul. Mereka yang menganggap dirinya memiliki banyak kelebihan dari orang-orang pribumi dengan pengalaman mereka menjelajahi benua dan samodra, ternyata telah gagal mutlak meskipun mereka telah menyusun rencana dengan cermat dengan mengerahkan hampir seluruh kekuatan kumpeni yang berada di Surakarta.

Namun beberapa orang perwira, kumpeni memang orang-orang yang cerdas. Demikian mereka bertemu setelah kegagalan-kegagalan itu, maka mereka langsung mengurai sebab-sebab dari kegagalan mereka.

Satu kesimpulan yang mereka dapatkan adalah, bahwa rencana mereka agaknya telah bocor”

“Tentu ada pengkhianat di antara kita” berkata kumpeni-kumpeni itu.

Beberapa orang perwira prajurit Surakarta yang mendengar-kan kesimpulan itu pun sependapat. Kegagalan yang pahit itu agaknya bukan satu kebetulan.

Dengan demikian, maka kecurigaan-kecurigaan mulai timbul di antara para perwira di Surakarta. Kebocoran itu tidak mungkin dilakukan oleh para perwira kumpeni. Karena itu, maka pengkhianat itu tentu terdapat di lingkungan orang-orang Surakarta sendiri.

Perwira-perwira prajurit Surakarta memang sulit untuk membantah. Agaknya memang tidak mungkin jika seorang kumpeni dengan sengaja telah membocorkan rahasia yang mereka pegang teguh. Menurut pengetahuan para perwira di Surakarta, tidak seorang perwira kumpeni pun yang mempunyai kepentingan lain di Surakarta, kecuali tugas-tugas yang mereka emban sebagai prajurit dan pimpinan kumpeni.

Namun para perwira itu, baik perwira kumpeni maupun perwira prajurit Surakarta telah berjanji untuk bersama-sama menemukan, siapakah pengkhianat yang telah menghancurkan segala rencana yang telah disusun sebaik-baiknya.

“Pengkhianatan ini tidak kalah berbahayanya dari peng-khianatan Pangeran Ranakusuma dan anak laki-lakinya yang semula berada di lingkungan pasukan berkuda” berkata seorang perwira kumpeni.

Bagaimanapun juga para perwira prajurit Surakarta itu pun ikut tersentuh pula perasaan mereka. Tetapi mereka tidak dapat membantah, diam mereka pun tidak dapat mengatakan yang lain dari kenyataan itu. Kenyataan dari. sudut pandangan kumpeni dan para prajurit dari Surakarta.

Dalam pada itu, ketika matahari menjadi semakin tinggi dan tidak terdengar lagi pertempuran-pertempuran di dalam kota, maka satu demi satu penduduk yang ketakutan itu pun mencoba membuka pintu rumahnya. Yang mengungsi di halaman istana pun telah diberi tahu oleh para prajurit bahwa keadaan sudah menjadi aman.

Satu demi satu, orang-orang yang mengungsi itu pun keluar dari gerbang samping. Ketika ternyata jalan-jalan tidak lagi menjadi ajang pertempuran, maka mereka pun keluar seperti laron keluar dari liangnya.

Berduyun-duyun dan setengah berlari-lari orang-orang yang mengungsi itu pulang ke rumah masing-masing. Di sepanjang jalan mereka merasa aman karena mereka banyak berpapasan dengan prajurit yang meronda. Bahkan mereka pun bertemu pula dengan kumpeni-kumpeni berkuda yang melibat lihat keadaan kota Surakarta setelah setengah hari dikuasai oleh pasukan Pangeran Mangkubumi.

Namun demikian, beberapa rumah masih tertutup rapat. Regol beberapa orang bangsawan pun masih belum terbuka.

Ketika seorang perwira kumpeni dengan beberapa orang pengawalnya lewat di muka pintu gerbang istana Sinduratan, maka mereka melihat pintu regol masih tertutup rapat. Tetapi ketika seorang di antara mereka di luar sadar menyentuh pintu gerbang itu, ternyata pintu itu tidak diselarak, sehingga pintu itu pun terbuka sejengkal.

Perwira kumpeni itu pun tiba-tiba saja telah tertarik untuk memasuki halaman istana itu. Beberapa ekor kuda itu pun kemudian berderap memasuki halaman.

Beberapa orang pelayan istana itu terkejut. Seorang di antara mereka pun telah memberi tahukan kehadiran beberapa orang kumpeni itu kepada Pangeran Sindurata dan kepada Raden Ayu Galihwarit.

Jantung puteri itu pun berdebar. Bagaimanapun juga ia mempunyai hubungan dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Namun demikian, sebagaimana ia pandai memulas wajahnya, maka seolah-olah tidak ada kegelisahan apapun juga, ia keluar dari seketheng.

Ketika Raden Ayu sampai di halaman, ayahandanya telah berada di halaman. Perwira kumpeni. dan para pengawalnya yang sudah meloncat turun itu pun menjadi kecewa ketika yang menemui mereka adalah Pangeran Sindurata. Namun akhirnya mereka tersenyum juga ketika mereka melihat Raden Ayu keluar sambil tertawa.

“Marilah, aku persilahkan kalian naik ke pendapa” Raden Ayu itu mempersilahkan.

“Aku juga sudah mempersilahkan” sahut Pangeran Sindurata.

“Kami telah menghalau pemberontak-pemberontak itu” berkata seorang sersan kumpeni, “Kami membunuh orang-orang yang keras kepala”

Para pengungsi itu menjadi berdebar-debar. Tetapi prajurit Surakarta sendiri pun memberitahukan kepada mereka, bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi memang sudah ditarik dari kota.

Perwira itu ternyata menguasai bahasa yang diucapkan oleh Raden Ayu Galihwarit. Tetapi beberapa orang kawannya tidak mengerti, sehingga mereka hanya mengangguk-angguk dan tersenyum-senyum saja.

“Terima kasih” jawab perwira itu, “aku sedang bertugas. Tetapi kenapa pintu itu tidak di kancing. Apakah kalian tidak cemas dengan pemberontak-pemberontak itu?”

“Tentu” jawab Raden Ayu mendahului ayahandanya, “kami baru saja membuka selaraknya ketika keadaan menjadi berangsur baik. Sebelumnya kami telah menyelaraknya. Kami takut, jika ada dendam di antara bekas pengawal Pangeran Ranakusuma. Karena mereka tidak dapat melepaskan dendam mereka kepada para prajurit atau kumpeni, mereka akan dapat mencari sasaran yang tidak akan dapat melawan”

Perwira itu tertawa. Katanya, “Jangan takut. Pemberontak-pemberontak itu tidak akan dapat berbuat-apa-apa. Mereka datang untuk menyerahkan nyawa beberapa orang di antara mereka tanpa hasil yang pantas untuk mereka”

“Tetapi kami bukan prajurit” jawab Raden Ayu.

“Dalam keadaan yang gawat rumah ini tentu akan mendapat pengawasan yang sebaik-baiknya” jawab perwira itu.

“Terima kasih. Marilah, silahkan duduk” sekali lagi Raden Ayu itu mempersilahkan.

Tetapi kumpeni itu menggeleng. Jawabnya, “Aku akan meneruskan tugas ini. Kami mohon diri Pangeran”

Pangeran Sindurata yang mendengarkan pembicaraan itu pun menyahut dengan serta merta, “Silahkan. Terima kasih atas perhatian kalian”

Sejenak kemudian kumpeni-kumpeni itu pun meninggalkan istana Sindurata. Demikian mereka hilang di balik regol, maka Pangeran Sindurata pun berkata, “Hati-hatilah Galihwarit. Tentu mereka bukannya tidak mempunyai maksud tertentu datang kemari. Mungkin mereka mengira atas beberapa keterangan, bahwa tempat ini menjadi tempat persembunyian orang-orang Pangeran Mangkubumi, atau dugaan-dugaan lain yang menyangkut persoalan seperti itu. Karena itu, kedatangan anak-anak padepokan itu membuat aku menjadi cemas”

Tetapi Raden Ayu itu pun hanya tertawa saja. Bahkan kemudian ia berkata, “Jangan cemas ayahanda. Hanya itulah yang dapat aku persembahkan kepada Surakarta. Mungkin sebuah permata. Tetapi aku harus memungutnya dari dalam lumpur”

Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun segera meninggalkan Raden Ayu dan naik ke pendapa. Sejenak kemudian Pangeran itu pun telah hilang di balik pintu pringgitan.

Raden Ayu Galihwarit termangu-mangu sejenak di halaman. Ia sadar betapa kotornya cara yang ditempuhnya. Ia pun sadar, bahwa Warih yang telah dewasa itu tersiksa dengan sikapnya. Tetapi ia tidak mempunyai cara lain untuk mengabdi kepada Surakarta sebagai tebusan atas segala kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap suami dan rakyat, bahkan yang telah merampas korban anak laki-lakinya pula.

Raden Ayu itu menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia melangkah ke seketheng. Namun ia terkejut ketika Raden Ayu itu melihat anak gadisnya muncul dengan tergesa-gesa

“Apa yang terjadi ibunda. Aku baru dari pakiwan ketika aku mendengar dari seorang pelayan, bahwa beberapa orang kumpeni telah datang?”

Betapa pahitnya, namun Raden Ayu itu pun tersenyum, Jawabnya, “Tidak apa-apa manis”

Tetapi Rara Warih masih saja gelisah dan bertanya pula

“Apakah ada hubungannya dengan peristiwa yang baru saja terjadi?”

“Tidak. Tidak ada apa-apa. Kita menjadi gelisah karena kita mengetahui apa yang kita lakukan. Tetapi orang lain yang tidak mengetahuinya, tidak akan menjadi gelisah seperti kita” jawab ibundanya.

“Jadi, kenapa mereka singgah?” bertanya gadis itu pula.

“Tidak apa-apa. Mereka sedang meronda. Aku kira mereka memasuki setiap halaman istana untuk menanyakan keselamatan setiap penghuninya. Dengan demikian, maka mereka berusaha untuk mendekati hati rakyat Surakarta, seolah-olah mereka adalah pelindung-pelindung yang baik” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Rara Warih tidak bertanya lagi. Bersama ibundanya ia pun kembali ke ruang dalam lewat pintu samping di belakang seketheng.

Dalam pada itu. perlahan-lahan Surakarta mulai hidup kembali. Orang-orang yang merasa bahwa keadaan menjadi semakin aman. telah membuka pintu rumahnya. Mereka menjadi sibuk dengan keperluan mereka masing-masing setelah di hari sebelumnya mereka tidak sempat berbuat apa-apa. Bahkan makan pun rasa-rasanya mereka tidak sempat melakukannya oleh kegelisahan, kecemasan dan ketakutan.

Sementara orang-orang Surakarta mulai melakukan kewajibannya sehari-hari, maka para prajurit pun masih saja hilir mudik di setiap pintu gerbang, nampak pasukan yang kuat berjaga-jaga.

Di istana, ternyata Kangjeng Susuhunan masih saja di bayangi oleh kegelisahan. Bahkan kemudian Kangjeng Susuhunan itu memerintahkan para Panglima untuk bersiap-siap. Katanya, “Aku akan melihat, apa yang telah terjadi di Surakarta ”

Seorang Kapten kumpeni dengan ragu-ragu mencoba mencegahnya. Katanya, “Kangjeng Susuhunan, sebaik-nya tuan tidak meninggalkan istana. Mungkin masih terjadi sesuatu. Selebihnya biarlah kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh pemberontak itu dibenahi. Dengan demikian Kangjeng Susuhunan tidak akan melihat betapa liarnya pasukan pemberontak itu. Hal itu hanya akan menambah gelisah Kangjeng Susuhunan saja”

“Kapten” jawab Kangjeng Susuhunan, “Aku adalah prajurit seperti kau. Seandainya aku bertemu dengan pasukan lawan pun aku tidak akan lari. Aku dapat memimpin sendiri pasukan Surakarta untuk menghadapi mereka di medan”

“Tetapi Kangjeng Susuhunan sekarang adalah seorang Raja. Dalam keadaan tertentu, maka keselamatan Kangjeng Susuhunan merupakan masalah bagi seluruh prajurit Surakarta, karena Kangjeng Susuhunan adalah pemegang kekuasaan di Surakarta. Jika terjadi sesuatu atas Kangjeng Susuhunan, maka akibatnya bukan saja di bidang keprajuritan yang kehilangan pengikatnya”

“Dengan demikian maka seorang Raja akan menjadi golek pajangan yang tidak berarti apa-apa bagi rakyatnya” jawab Kangjeng Susuhunan. Lalu, “Aku memerintahkan untuk mempersiapkan pasukan. Aku akan melihat-lihat keadaan seluruh kota. Aku tidak akan mempergunakan kereta, tetapi aku akan berkuda”

Tidak ada orang yang dapat mencegahnya lagi. Kangjeng Susuhunan memang ingin melihat apa yang telah dilakukan oleh pasukan Pangeran Mangkubumi di dalam kota Surakarta.

Sejenak kemudian, maka pasukan pengawal Kangjeng Susuhunan itu pun sudah siap. Kuda yang akan dipergunakannya itu pun telah siap pula. Seekor kuda yang tegar dan berwarna gelap.

Ketika terdengar aba-aba di belakang regol halaman samping istana Kangjeng Susuhunan, maka regol itu pun perlahan lahan terbuka. Dengan gelar kebesaran sepenuhnya Kangjeng Susuhunan meninggalkan halaman istana mengelilingi kota Surakarta untuk melihat apa yang telah terjadi sebenarnya. Sebagaimana seorang prajurit, maka Kangjeng Susuhunan pun membawa kelengkapan seorang prajurit. Seorang Senapati pengawal yang berkuda dekat di belakangnya membawa sebatang tombak pendek yang dibelit dengan cinde pada tangkainya, sementara seorang yang lain membawa songsong kebesaran yang berwarna emas.

Rakyat Surakarta yang baru saja berani turun ke jalan telah terkejut melihat iring-iringan itu. Mereka melihat songsong keemasan yang mereka kenal sebagai songsong Kangjeng Susuhunan sendiri. Meskipun semula mereka ragu-ragu, namun akhirnya mereka melihat, sebenarnyalah bahwa Kangjeng Susuhunan telah menelusuri jalan-jalan kota untuk melihat-lihat keadaan.

Dalam pada itu, Kangjeng Susuhunan sendiri menjadi berdebar-debar ketika ia sudah berada di jalan-jalan raya. Rasa-rasanya ia akan melihat, betapa kota Surakarta mengalami kerusakan yang sangat berat karena kehadiran pasukan Pangeran Mangkubumi. Rumah-rumah banyak yang dibakar dan hancur menjadi abu. Apalagi rumah-rumah mereka yang dianggap berhubungan dengan orang-orang asing yang berada di Surakarta. Bahkan mungkin istana-istana Pangeran yang berpihak kepada Kangjeng Susuhunan.

Namun sedikit demi sedikit ketegangan itu pun mulai mengendor. Setelah menempuh sebagian kecil jalan-jalan di kota Surakarta maka sambil menarik nafas dalam-dalam Kangjeng Susuhunan itu bergumam di dalam hati, “Adimas Mangkubumi memenuhi janjinya. Ia tidak memusuhi rakyat Surakarta ”

Sebenarnyalah tidak banyak kerusakan yang berarti di kota Surakarta. Jika ada kerusakan-kerusakan kecil, maka hal itu dapat di mengerti. Dalam pertempuran yang terjadi di seluruh kota maka sudah tentu terjadi hentakan-hentakan perasaan yang sulit dikendalikan. Namun dalam keseluruhan, Kangjeng Susuhunan benar-benar mengagumi kesetiaan Pangeran Mangkubumi kepada janjinya.

Ketika iring-iringan itu melintas tidak terlalu jauh dari loji yang dihuni kumpeni, maka Kangjeng Susuhunan telah melihat beberapa bangunan yang hancur. Tetapi sama sekali bukan karena perbuatan pasukan Pangeran Mangkubumi. Menilik bekas-bekasnya, justru meriam kumpeni lah yang telah menghancurkannya. Agaknya kumpeni berusaha mengusir pasukan Pangeran Mangkubumi yang mendekati loji itu dengan tanpa menghiraukan apakah peluru meriamnya akan dapat menimbulkan kerusakan justru pada rumah-rumah penduduk.

Ketika Kangjeng Susuhunan berpaling kearah seorang perwira kumpeni yang ada di dalam iring-iringan itu, maka dengan sengaja kumpeni itu berpura-pura menunduk memperhatikan sesuatu pada dirinya.

Demikianlah, maka Kangjeng Susuhunan melihat sendiri apa yang telah terjadi, seolah-olah ia melihat saat-saat pasukan Pangeran Mangkubumi berada di dalam kota selama kira-kira setengah hari.

Namun dalam pada itu, bahwa Kangjeng Susuhunan telah turun ke jalan-jalan raya, di kota, maka rasa-rasanya rakyat Surakarta pun menjadi semakin tenang. Mereka merasa, bahwa Kangjeng Susuhunan itu benar-benar telah memperhatikan keadaan mereka.

Ternyata bahwa Kangjeng Susuhunan tidak sekedar melalui jalan-jalan raya saja. Dalam beberapa hal, Kangjeng Susuhunan justru melintas di jalan-jalan sempit Bahkan turun di halaman seseorang untuk berbicara dengan penghuninya yang menyambut kehadiran Kangjeng Susuhunan sambil berjongkok di halaman.

Dari percakapan-percakapan itu pun Kangjeng Susuhunan mengetahui bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi memang tidak mengganggu rakyat Surakarta dari tingkatan yang paling tinggi sampai tingkatan yang paling rendah, kecuali benturan-benturan senjata dengan para prajurit.

Demikianlah setelah melihat-lihat keadaan seluruh kota, maka Kangjeng Susuhunan pun kembali ke istana dengan kesan tersendiri Namun demikian, Kangjeng Susuhunan tidak banyak berbicara dengan para pengawalnya dan dengan para perwira kumpeni.

Namun dalam pada itu, para perwira kumpeni dan para Senapati di Surakarta, masih tetap pada sikap mereka. Menurut pengamatan mereka, tentu ada pengkhianat yang tersembunyi di lingkungan mereka sehingga rencana-rencana yang telah mereka susun sebaik-baiknya itu dapat diketahui oleh lawan.

Dalam pada itu, selagi rakyat Surakarta berusaha memulihkan keadaan kehidupan mereka sehari-hari, di istana telah diterima laporan bahwa Raden Mas Said yang meninggalkan Penambangan telah menyusun pemerintahan di daerah Keduwang. Keduwang telah menjadi daerah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Bupati yang memerintah bagi Raden Mas Said sendiri telah bersiap-siap untuk kembali ke Penambangan.

“Penambangan telah hancur” geram perwira kumpeni yang memimpin sergapan ke Penambangan yang gagal itu.

“Ia akan dapat membangun daerah itu dalam waktu singkat meskipun dengan bangunan-bangunan darurat Tetapi Penambangan mempunyai daerah yang subur yang dapat menjadi lumbung bagi pasukan Raden Mas Said” jawab salah seorang Senapati prajurit Surakarta.

Kumpeni itu hanya dapat mengumpat. Untuk menyerang Penambangan lagi tentu memerlukan waktu dan perhitungan yang cermat, karena kegagalan yang mereka alami itu, telah mengecilkan arti kumpeni bagi Surakarta.

Karena itu, maka kumpeni dan para Senapati akan berusaha mencari lebih dahulu, siapakah pengkhianat yang berada di antara mereka.

Sehingga dengan demikian, maka untuk sementara kumpeni tidak mempunyai rencana untuk menyerang. Kumpeni dan pasukan Surakarta memusatkan kekuatannya pada tempat-tempat tertentu yang merupakan pusat-pusat pertahanan untuk membendung seandainya ada serangan sekali lagi ke jantung kota.

Sepasukan prajurit dan kumpeni yang diperlengkapi dengan senjata-senjata api dan meriam kembali berada di Jatimalang, sementara pasukan yang lain berada di padukuhan sedikit di luar kota menghadap ke arah Sukawati. Meskipun demikian bukan berarti bahwa tempat-tempat lain diabaikan.

Dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit pun mendengar dari mulut para perwira kumpeni yang berbau minuman keras, bahwa di antara prajurit Surakarta tentu ada satu atau lebih pengkhianat yang telah menggagalkan semua rencana kumpeni yang telah tersusun rapi,

“Siapa lagi yang akan berkhianat?” bertanya. Raden Ayu Galihwarit kepada seorang perwira kumpeni yang masih muda.

Perwira itu menggeleng. Jawabnya, “Itulah yang harus kami cari”

“Pengkhianat itu harus dapat ditangkap sebelum meledak seperti Pangeran Ranakusuma yang langsung memberontak di dalam gelar yang dipimpinnya. Dengan demikian ia telah menikam langsung dari dalam tubuh sendiri. Bahkan anak laki-lakinya pun telah ikut pula melakukannya”

“Aku muak mendengar namanya” geram Raden Ayu Galihwarit, “ketika aku masih berada di istana Ranakusuman anak itu aku usir pergi. Aku tidak mau tinggal bersama anak-anak padesan yang tidak tahu diri. Tetapi demikian aku meninggalkan istana itu sepeninggal anak laki-lakiku sendiri, maka anak padesan itu telah dipanggil masuk. Agaknya keduanya menemukan jalan yang sama. Berkhianat”

Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi bukankah Pangeran Ranakusuma sudah mati?”

“Tetapi anak yang memuakkan itu justru masih hidup” sahut Raden Ayu Galihwarit, “bahkan anak itu telah sempat menjerumuskan anak gadisku ke dalam tangan pasukan berkuda yang menganggap bahwa dengan menahan Warih, Juwiring akan menyerah. O, alangkah mudahnya mengambil satu kesimpulan. Juwiring dan Warih bagaikan air dengan minyak. Bahkan seandainya Warih digantung sekalipun, Juwiring tidak akan meratapinya. Bahkan ia akan mengucap syukur bahwa pada satu kesempatan ia akan dapat memiliki semua peninggalan Pangeran Ranakusuma”

“Ya. Raden Ayu benar. Memang bodoh itu Panglima pasukan berkuda” sahut perwira kumpeni itu, “Tetapi bukankah Raden Ayu sudah dapat mengambil gadis itu dan membawanya pulang?”

“Sudah. Dengan surat kumpeni aku telah membawanya pulang” jawab Raden Ayu.

“Itu sudah cukup untuk sementara” jawab perwira itu, “kumpeni lah yang selanjutnya akan menangkap pengkhianat kecil itu dan menggantungnya di alun-alun. Kepalanya kemudian akan dipenggal dan ditanjir dengan ujung tombak di gerbang samping istana Kangjeng Susuhunan, agar setiap orang yang lewat mengerti, apa yang pantas oleh para pengkhianat”

Raden Ayu hanya mengangguk-angguk saja. Namun dengan demikian ia mengerti bahwa kumpeni benar-benar sedang berusaha untuk menemukan seorang pengkhianat di antara para prajurit Surakarta.

Karena itu, maka Raden Ayu itu pun menjadi semakin berhati-hati. Ia pun sadar, bahwa jika mereka tidak menemukan pengkhianat itu di antara para prajurit, maka kumpeni akan berpaling kepada orang-orang yang berhubungan dengan mereka.

Ketika di hari-hari berikutnya, setelah keadaan kota menjadi tenang kembali, Arum dan Buntal yang memasuki istana Sinduratan telah mendapat peringatan dari Raden Ayu Galihwarit, bahwa keadaan menjadi semakin gawat bagi mereka.

“Adalah tepat, bahwa kalian tidak datang bersama Juwiring” berkata Raden Ayu, “nampaknya kumpeni menjadi semakin berhati-hati. Meskipun, dalam penyamaran, namun Juwiring akan dapat lebih mudah dikenali oleh kawan-kawannya dari pasukan berkuda yang selalu meronda di seluruh kota”

“Ya Raden Ayu. Agaknya Ki Wandawa sudah memperhitungkan-nya pula, sehingga untuk menghubungi Raden Ayu selanjutnya, kami berdualah yang mendapatkan tugas itu” jawab Buntal.

Raden Ayu pun kemudian memberitahukan bahwa agaknya untuk sementara kumpeni tidak akan melakukan gerakan-gerakan keluar. Mereka masih akan membuat perhitungan ke dalam, sehingga mereka ingin menemukan lebih dahulu, siapakah pengkhianat yang berada di antara mereka.

“Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kalian tidak akan lagi sering datang ke tempat ini” berkata Raden Ayu Galihwarit, “kecuali mungkin sekali kumpeni merubah pendiriannya sehingga dengan tiba-tiba merencanakan satu gerakan keluar, agaknya kehadiran Arum ke rumah ini dapat memberikan suasana yang lain bagi Warih”

Arum menundukkan kepalanya. Ia pun merasa, jika ia hadir di istana itu, Rara Warih nampak menjadi gembira, seperti anak-anak yang mendapat kawan untuk bermain. Tetapi jika saatnya untuk meninggalkan istana itu tiba, maka wajah gadis itu pun kembali menjadi muram.

“Kami akan selalu datang Raden Ayu” berkata Buntal kemudian, namun kalanya pula, “Tetapi untuk beberapa hari kami akan melaksanakan perintah Pangeran Ranakusuma”

“Perintah yang mana?” bertanya Raden Ayu.

“Di saat terakhir, Pangeran Ranakusuma memerintahkan Kepada Raden Juwiring untuk menyingkirkan sebilah keris yang telah melukai Pangeran Ranakusuma. Agaknya keris itu pulalah yang telah menyebabkan Pangeran itu gugur” jawab Buntal.

“Keris Tumenggung Sindura seperti yang pernah kalian ceriterakan itu?” bertanya Raden Ayu Galihwarit.

“Ya Raden Ayu” jawab Buntal.

“Baiklah. Tetapi kalian benar-benar harus berhati-hati. Keris itu menurut pendengaranku, memang keris linuwih. Sebagai-mana nampak pengaruhnya kepada Tumenggung Sindura semasa hidupnya, Ia adalah seorang prajurit yang keras, tegas tetapi juga terlalu cepat mengambil keputusan untuk membunuh. Menurut keterangan beberapa orang yang tentu juga diketahui oleh Pangeran Ranakusuma, namun agaknya tidak sempat mengatakannya kepada Juwiring, bahwa keris itu menuntut kematian demi kematian. Kematian yang dirahasiakan di dalam lingkungan keluarga Tumenggung Sindura telah beberapa kali terjadi. Tumenggung Wiguna menurut ceritera juga terbunuh oleh keris itu, meskipun ia saudara kandung Tumenggung Sindura sendiri dalam perselisihan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Tetapi rakyat Surakarta menganggap bahwa Tumenggung Wiguna telah ditenung oleh lawan-lawannya yang tersembunyi di dalam lingkungan pasukannya. Beberapa orang ingin menduduki jabatannya, sehingga akhirnya ia meninggal oleh tenung yang keras.

Buntal mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Ayu berkata selanjutnya, “Kelebihan dari keris itu adalah, bahwa keris itu dapat mempengaruhi pribadi seseorang pada saat-saat tertentu. Seolah-olah keris itu pun merupakan satu pribadi yang dapat berbuat sesuatu atas pribadi orang lain pada saat-saat dikehendakinya. Karena itu, kalian harus berhati teguh selama kalian menyimpan keris itu. Aku setuju bahwa keris itu harus segera di labuh ke gunung Lawu. Sebenarnyalah bahwa Tumenggung Sindura pun telah menanggung akibat dari pengaruh keris itu pada pribadinya. Sebelum ia mendapatkan keris itu, pribadinya jauh berbeda dari saat-saat ia mulai menyimpan keris itu. Hampir semua orang yang sebayanya mengetahui akan hal itu”

Buntal masih mengangguk-angguk. Kemudian jawabnya, “Terima kasih Raden Ayu. Aku akan menyampaikannya kepada Raden Juwiring. Dan sebenarnyalah bahwa menurut rencana kami, besok kami akan membawanya ke Gunung Lawu, mumpung kumpeni agaknya sedang sibuk dengan persoalan ke dalam tubuh sendiri”

“Berhati-hatilah” pesan Raden Ayu, “namun, demikian kalian kembali dari Gunung Lawu, aku minta kalian segera datang kemari. Mungkin ada sesuatu yang penting perlu kalian ketahui”

“Baik Raden Ayu” jawab Buntal, “Kami akan segera menghadap setelah kami turun”

Demikianlah, Raden Ayu masih memberikan beberapa pesan kepada kedua anak-anak muda itu. Namun kemudian, keduanya pun mendapat kesempatan untuk beristirahat dan berbicara tentang beberapa hal dengan Rara Warih.

Lewat tengah hari kedua anak muda itu pun minta diri. Setiap kali mereka harus menjelaskan kepada Rara Warih, bahwa keadaan masih belum mapan jika Rara Warih akan ikut bersama mereka.

“Pada saatnya kami akan menjemput puteri” berkata Arum ketika ia melihat wajah itu menjadi muram.

Keterangan Raden Ayu itu ternyata telah menguatkan rencana Juwiring untuk meninggalkan pasukannya dalam beberapa hari. Ia ingin memenuhi pesan terakhir dari Pangeran Ranakusuma, untuk menyingkirkan keris yang sangat berbahaya itu. Bukan saja karena racunnya yang seolah-olah tidak terlawan, tetapi juga karena satu kepercayaan bahwa keris itu dapat mempengaruhi pribadi seseorang.

Buntal dan Arum pun. kemudian segera menghadap Kiai Danatirta setelah mereka kembali dari kota. Bersama Raden Juwiring mereka memberikan laporan tentang pembicaraan-mereka dengan Raden Ayu Galihwarit kepada Kiai Danatirta.

“Syukurlah bahwa Raden Juwiring tidak pergi bersamamu ke kota” desis Kiai Danatirta.

“Ya” sahut Arum, “hampir di setiap saat kami bertemu dengan prajurit dari pasukan berkuda. Jika kakang Juwiring ada bersama kami, maka satu dan di antara mereka tentu akan dapat mengenalinya, sehingga hal itu akan sangat berbahaya bagi dirinya”

“Untuk beberapa saat sebaiknya kakang Juwiring memang tidak usah pergi ke kota” desis Buntal.

“Aku memang tidak akan ke kota sampai aku menyelesaikan kewajiban terakhir yang dibebankan ayahanda kepadaku” jawab Juwiring.

“Jadi kalian benar-benar akan pergi ke Gunung Lawu untuk menyingkirkan keris itu?” bertanya Kiai Danatirta.

“Ya ayah” jawab Juwiring, “keris itu mempunyai pengaruh yang kurang baik bagi seseorang”

“Mungkin” jawab Kiai Danatirta, “jika demikian, maka kalian harus mempersiapkan diri sebelum berangkat. Kalian pun harus memberitahukan, dan selebihnya minta ijin kepada Ki Wandawa”

“Aku pernah mengatakan kepada Ki Wandawa tentang rencana itu” jawab Juwiring, “Tetapi aku belum mengatakan kepastiannya. Nampaknya sekarang rencana itu sudah pasti. Menurut ibunda Galihwarit, untuk beberapa lamanya kumpeni tidak akan mengadakan gerakan besar-besaran. Karena itu, maka untuk sementara aku tidak perlu menghadap ibunda. Demikian pula Buntal dan Arum. Namun itu bukan berarti bahwa kita semuanya dapat meninggalkan kewaspadaan”

“Menurut rencanamu, kapan kau dan adikmu akan berangkat?” bertanya Juwiring.

“Aku juga akan pergi” potong Arum.

“Sebaiknya kau tinggal menemani aku Arum” sahut Kiai Danatirta.

“Ayah di sini sudah mempunyai banyak kawan” jawab Arum, “pokoknya kali ini aku harus ikut. Boleh atau tidak boleh”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian menurut pertimbangannya perjalanan itu tidak terlalu berbahaya, karena mereka akan pergi ke tempat yang sepi dan melewati jalan yang jarang disinggung oleh peronda dari Surakarta. Dengan demikian maka jika Arum akan ikut pun bagi Juwiring tidak terlalu banyak keberatannya

Karena itu, maka katanya, “Ayah, jika Arum memaksa untuk ikut, kami berdua pun tidak berkeberatan. Tetapi dengan janji, bahwa Arum akan bersedia berjalan untuk jarak yang panjang sekali dan tidak akan mengeluh sama sekali betapapun letihnya”

“Apakah kita tidak akan berkuda?” bertanya Arum.

“Kita akan berkuda sampai di kaki Gunung Lawu. Kemudian kita akan memanjat naik dan meletakkan keris itu di tempat yang tinggi, yang tidak akan pernah disentuh oleh seseorang kapan pun juga” jawab Juwiring.

“Kenapa kita harus memanjat? Asal kita sudah sampai ke lereng Gunung Lawu, maka pesan itu sudah terpenuhi. Kakang dapat mencari tempat yang tersembunyi, tetapi tidak usah memanjat naik” desis Arum.

“Kau sudah mulai segan” desis Buntal.

“Tidak. Aku tidak akan segan meskipun harus naik sampai ke puncak” sahut Arum dengan serta merta.

Dengan demikian maka Kiai Danatirta pun tidak dapat menolak. Ia harus melepaskan Arum ikut serta pergi ke Gunung Lawu untuk menyingkirkan keris yang mempunyai kekuatan nggegirisi itu.

Ternyata Juwiring tidak menunda-nunda lagi keberangkatan-nya. Jika pada saatnya, keadaan bertambah gawat, maka ia berharap bahwa ia sudah berada di dalam pasukannya.

Malam itu juga Juwiring dan Buntal telah menghadap Ki Wandawa untuk mohon ijin. Bahwa di hari berikutnya mereka akan mohon diri untuk beberapa hari, mendaki Gunung Lawu untuk menyingkirkan keris sesuai dengan pesan ayahanda Ranakusuma.

“Meskipun tugas ini nampaknya tidak terlalu berat Raden” berkata Ki Wandawa, “seolah-olah hanya sekedar membuang barang yang tidak dapat dipergunakan lagi, namun kalian harus tetap berhati-hati. Perjalanan ke, Gunung Lawu, meskipun tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Lereng Gunung Lawu masih merupakan hutan yang lebat, yang jarang sekali disentuh kaki manusia”

“Terima kasih Ki Wandawa” sahut Juwiring, “Aku akan mengikuti segala petunjuk Ki Wandawa dan sudah barang tentu juga ayah Danatirta?”

Dengan singkat Ki Wandawa memberikan petunjuk jalan yang paling baik dilaluinya, sehingga kemungkinan untuk bertemu dengan prajurit Surakarta atau petugas-petugas sandi sangat kecil.

Namun adalah di luar dugaan Juwiring ketika seseorang telah dengan diam-diam mendengarkan pembicaraan itu. Seorang yang bertubuh tinggi kekar berjambang lebat. Dari balik dinding ia mendengar bahwa Raden Juwiring akan memenuhi permintaan ayahanda Pangeran Ranakusuma, bahwa keris yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Sindura itu harus di labuh di Gunung Lawu.

“Bodoh” berkata orang itu kepada seorang kawannya, “keris itu adalah keris yang bertuah. Keris yang dapat memberikan kewibawaan kecuali keris itu sendiri adalah keris yang sakti”

“Lalu, apa maksudmu?” bertanya kawannya.

“Aku akan mengambilnya dari tangan anak itu” geram-nya.

“Tetapi jika anak itu menolak memberikan keris itu kepadamu?” bertanya kawan-nya.

Orang bertubuh tinggi kekar itu tertawa. Katanya, “Anak itu tidak banyak berarti bagiku. Aku dapat menyingkirkannya”

“Tetapi, ia adalah seorang yang baik dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi” desis kawannya pula.

Tetapi orang bertubuh kekar itu tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah kau juga ingin menjadi seorang pengawal Pangeran Mangkubumi yang baik? Persetan dengan perjuangan ini. Jika aku berada di antara pasukan Pangeran Mangkubumi, adalah karena aku memerlukan kedok yang paling baik bagi usahaku, selama ini. Ternyata di sini aku benar-benar celah terlindung, Tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa seorang dari antara pasukan Pangeran Mangkubumi adalah perampok yang namanya pernah menggetarkan pesisir Utara.

“Banyak di antara kita di sini perampok-perampok” jawab kawannya, “Tetapi justru setelah kita berada di dalam pasukan ini maka kita telah meninggalkan pekerjaan itu untuk kepentingan nama baik pasukan Pangeran Mangkubumi”

“Bodoh sekali” desis orang bertubuh kekar itu, “dan aku bukan termasuk orang-orang yang bodoh seperti itu”

Kawannya termangu-mangu. Namun orang bertubuh kekar itu berkata, “Nah, jika kau tidak terbius oleh pikiran-pikiran bodoh itu, ikut aku ke kaki Gunung Lawu. Kita akan merampas keris itu. Jika kelak pengaruh keris itu telah nampak padaku, dan aku menjadi seorang Tumenggung seperti Tumenggung Sindura, maka kau akan mendapat kesempatan menikmati kedudukan itu”

Kawannya mengerutkan keningnya.

“Seandainya keris itu tidak akan membuat aku menjadi seorang Tumenggung, namun keris itu adalah keris yang tidak ada duanya. Pangeran Ranakusuma yang kebal oleh segala macam senjata itu ternyata terbunuh oleh keris Ki Tumenggung Sindura yang akan dilabuh ke Gunung Lawu itu” orang bertubuh kekar itu melanjutkan.

Kawannya jangan menjadi gila dan merasa dirimu berjasa karena kau sudah berada di antara pasukan Pangeran Mangkubumi. Aku tahu, bahwa kau semula adalah perampok juga seperti aku” kawannya itu masih berbicara terus, “He, apakah kau tahu, jika kelak perjuangan Pangeran Mangkubumi sudah selesai, maka kau akan ditangkap kembali dan dimasukkan ke dalam penjara seperti yang pernah kau alami. Tetapi jika kita sudah menjadi kaya raya dengan menyimpan harta benda dan memiliki pusaka yang tidak ada duanya, maka kita akan segera memisahkan diri dan menikmati kekayaan kita itu. Atau mungkin kita mempunyai rencana-rencana lain yang lebih baik lagi”

Kawannya mengerutkan keningnya. Kata-kata itu telah menggelitik hatinya. Jika untuk beberapa lamanya ia tenggelam dalam kehidupan yang gelap, maka rasa-rasanya cara yang ditempuh oleh kawannya yang bertubuh kekar itu masuk di akalnya.

Karena itu, maka akhirnya ia bertanya, “Tetapi apakah kawan-kawan kita tidak mencurigai jika kita juga pergi demikian anak itu meninggalkan baraknya.

“Kita akan mendahuluinya, Besok mereka akan berangkat, malam ini kita minta diri. Kita dapat menyebut alasan apapun juga. Mungkin saudara atau orang tua kita sakit keras atau alasan-alasan lain yang masuk akal” berkata orang bertubuh tinggi kekar itu.

Kawannya kemudian berdesis, “Aku akan memikirkannya”

“Kau gila. Sekarang kita akan minta diri. Sampai kapan kau akan berpikir? Kita masih akan membenahi diri, dan barangkali ada pertimbangan-pertimbangan yang perlu kita dengarkan dari pimpinan kelompok kita” geram orang bertubuh tinggi kekar itu.

Kawannya masih termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Darimana kau tahu segalanya itu?”

“Secara kebetulan aku mendengar pembicaraan itu dari balik dinding ketika anak itu melaporkan kepada Ki Wandawa” jawab orang bertubuh tinggi itu.

“Balik dinding yang mana? Apakah kau dapat masuk ke ruang dalam tempat tinggal Ki Wandawa?” bertanya kawannya.

“Nampaknya rahasia ini bukan rahasia yang dianggap sangat penting. Mereka berbicara di serambi,. Tidak di ruang dalam. Adalah kebetulan aku lewat dan berhenti sejenak untuk mengerti apa yang mereka bicarakan. Nah, jika kau ingin ikut menikmati kemukten dari keris itu, ikutlah aku. Aku akan pergi bersama adikku. Ia tentu akan dengan senang hati melakukannya” jawab orang bertubuh tinggi kekar itu.

Ternyata kawannya itu telah berhasil dipengaruhi oleh orang bertubuh tinggi kekar itu. Setelah berpikir sejenak, maka ia pun mengangguk sambil berkata, “Aku ikut bersamamu. Tetapi kaulah yang minta ijin kepada pemimpin kelompok kita”

“Aku akan mengatakannya” jawab orang bertubuh tinggi kekar itu.

Seperti yang direncanakan, maka orang itu pun telah menghadap pemimpin kelompoknya. Dengan memelas ia minta diri dengan mengatakan bahwa ayahnya sedang sakit keras”

“Darimana kau mengetahui bahwa ayahmu sakit keras?” bertanya pemimpin kelompoknya.

“Adikku telah datang kemari” jawab orang itu.

“Dimana adikmu sekarang?” bertanya pemimpin kelompok-nya.

“Ia sangat tergesa-gesa. Ia sudah melanjutkan perjalanan ke kota untuk memberi tahukan hal ini kepada paman” jawab orang itu.

Akhirnya permintaan ijin itu pun dikabulkannya dengan pertimbangan kemanusiaan dan bahwa keadaan tidak lagi dalam puncak kegawatan.

Dalam pada itu, maka adik orang bertubuh tinggi kekar itu pun telah minta ijin pula kepada pemimpin kelompoknya dengan alasan yang sama dan bahwa ia akan pergi bersama dengan kakaknya yang berada di kelompok lain. Seperti orang bertubuh tinggi itu, ia pun mengatakan bahwa adiknya yang bungsu lah yang telah datang kepadanya dan kepada kakaknya.

Malam itu juga dengan berkuda keduanya telah meninggalkan kelompok masing-masing. Seorang kawannya telah ikut pula bersama mereka.

“Kau sudah minta ijin untukku?” bertanya kawannya.

“Sudah” jawab orang bertubuh tinggi itu berbohong

Demikianlah ketiga orang itu telah mendahului pergi ke Gunung Lawu. Sebagaimana di nasehatkan oleh Ki Wandawa kepada Juwiring, maka orang itu pun telah melalui jajan yang akan dilalui oleh Raden Juwiring dan Buntal.

“Kita harus lebih dahulu sampai” berkata orang bertubuh tinggi kekar itu, “Kita tidak hanya sekedar memungut pusaka itu setelah di sembunyikan. Tetapi kita akan mencoba, apakah pusaka itu benar-benar pusaka yang sakti”

“Maksudmu?” bertanya adiknya.

“Jika kita sudah mendapatkan pusaka itu, maka aku akan mencoba, seberapa tinggi kemampuan anak muda yang bernama Juwiring itu sebenarnya. Apakah ia mampu bertahan melampau ketahanan tubuh ayahandanya sehingga ia akan dapat hidup jika ia kembali dari Gunung Lawu” berkata orang bertubuh tinggi kekar itu.

Namun kawannya berkata, “Itu satu perbuatan bodoh. Biar sajalah mereka kembali. Kita tidak peduli Tetapi jika anak itu tidak kembali, maka tentu akan timbul kecurigaan dari orang-orang disekitarnya. Mungkin justru Ki Wandawa sendiri”

“Persetan” geram orang bertubuh tinggi kekar itu, “tidak seorang pun yang akan menghubungkan kepergian Juwiring dengan kepergian kita”

Kawannya tidak menjawab. Ia pun kemudian berpikir, bahwa hanya karena kecemasannya sajalah maka ia telah berangan-angan seolah-olah semua orang mengetahui bahwa mereka bertiga telah mendahului perjalanan Raden Juwiring.

Ternyata bahwa ketiga orang itu telah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Mereka telah mendahului Raden Juwiring menuju ke Gunung Lawu. Jika mereka telah sampai ke kaki gunung, maka mereka akan menunggu. Kemudian dengan diam-diam mereka akan mengikutinya.

“Lebih baik menunggu anak itu melepaskan pusaka itu daripada merampasnya” desis orang bertubuh tinggi kekar itu, “karena dengan demikian, dalam keadaan yang paling gawat, ia akan dapat mempergunakannya”

“Jika anak itu mempergunakan juga keris itu, apakah kakang akan melangkahi surut?” bertanya adiknya.

“Tentu tidak” jawab orang bertubuh tinggi kekar itu, “aku sudah terkenal di pesisir Utara. Aku adalah orang yang paling ditakuti di antara, para perampok. Jika anak itu mengetahui bahwa kita telah mengikutinya, maka aku akan menyelesaikannya meskipun ia membawa pusaka itu. Betapa saktinya pusaka itu, tetapi jika kulitku tidak tergores sama sekali maka racun keris itu tidak akan membunuhku”

Adiknya mengangguk-angguk. Katanya, “Itu lebih baik. Tetapi kita akan mencoba mencari jalan yang paling baik. Meskipun demikian, jika yang paling baik itu tidak dapat kita gapai, maka kita akan mengambil jalan yang manapun juga”

Orang bertubuh tinggi kekar itu mengangguk-angguk. Rencananya sudah masak, meskipun, ia akan menghadapi keadaan yang mungkin tidak sesuai dengan harapan mereka. Namun mereka bertekad untuk mengambil sikap yang menentukan apapun yang akan terjadi.

Ketika langit mulai dibayangi warna fajar, ketiga orang itu telah melalui jarak yang cukup. Tetapi mereka tidak segera beristirahat. Mereka masih berkuda terus meskipun tidak terlalu tergesa-gesa.

Pada saat yang sama Juwiring telah membenahi dirinya bersama Buntal dan Arum yang tidak mau ketinggalan. Mereka akan menempuh perjalanan ke Gunung Lawu dengan menelusuri jalan seperti di nasehatkan oleh Ki Wandawa. Peronda-peronda dari Surakarta kadang-kadang memang mengejar orang-orang yang berkuda. Mungkin karena kecurigaan, tetapi kadang-kadang mereka memerlukan kuda-kuda yang baik bagi pasukan mereka.

Demikianlah, maka menjelang matahari menjenguk cakrawala, tiga orang anak muda telah meninggalkan Gebang menuju ke Gunung Lawu. Beberapa orang yang melihat mereka, menyapanya. Tetapi jika mereka, bertanya, kemana ketiga anak-anak muda itu akan pergi, maka Juwiring hanya tersenyum saja.

Dalam pada itu, maka Juwiring telah menyembunyikan keris yang akan dilabuhnya di Gunung Lawu di bawah bajunya. Sementara itu, pada lambung kudanya ketiganya telah menyangkutkan senjata mereka. Jika mereka bertemu dengan hambatan yang gawat, maka mereka akan dapat mempergunakannya.

Demikian mereka keluar dari Gebang, maka matahari sudah mulai memancarkan cahayanya. Dua orang pengawal yang bertugas di ujung padukuhan menyapanya. Namun seperti setiap kali seseorang bertanya kemana, maka Raden Juwiring hanya dapat tersenyum saja.

“Mereka tentu mendapat tugas sandi dari Ki Wandawa” desis yang seorang.

Yang lain hanya mengangguk-angguk saja.

Beberapa kali Raden Juwiring mendapat pertanyaan yang demikian oleh para petugas yang tersebar. Bahkan setelah mereka melampaui bulak panjang dan memasuki padukuhan berikutnya, petugas-petugas sandi masih saja mengamatinya. Satu dua di antara mereka telah mengenalnya dan bertanya pula kepada mereka. Tetapi Raden Juwiring tidak mengatakannya, kemana mereka akan pergi.

Namun dalam pada itu, ketika Raden Juwiring bertemu dengan seorang anak muda yang telah mengenalnya dalam pakaian seorang petani kebanyakan, sambil menjinjing hasil sawah untuk di jual ke pasar, maka anak muda itu berkata, “Semalam aku melihat tiga orang berkuda melalui jalan ini”

“Siapa?” bertanya Raden Juwiring.

“Aku hanya mengenal seorang di antara mereka” jawab anak muda itu.

“Siapa?” bertanya Raden Juwiring pula.

“Ki Singaprana” jawab anak muda itu, “bersamanya ikut pula dua orang yang lain, yang aku belum mengenalnya”

“Kemana?” bertanya Raden Juwiring.

“Aku tidak tahu. Aku tidak menyapanya, karena aku segan berbicara dengan orang itu” jawab anak muda itu.

“Kenapa?” bertanya Buntal.

“Ia selalu menyombongkan diri. Kemudian menggurui siapa saja, Semalam ia lewat jalan ini. Tetapi ia tidak melihat aku, karena aku kebetulan berbaring di atas jerami di pematang” jawab anak muda itu.

Raden Juwiring mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terima kasih. Sekarang kau akan kemana?”

“Ke pasar. Aku akan menjual kacang tanah” jawab anak muda itu.

“Kacang tanah hanya segenggam dan masih terlalu muda itu?” justru Arum lah yang bertanya.

Tetapi Juwiring lah yang menjawab, “Yang penting bukan kacang tanah itu. Tetapi bahwa ia akan berada di pasar, di antara orang-orang yang berada di pasar adalah orang-orang dari banyak padukuhan. Mereka akan berbicara tentang banyak hal yang mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan sikap”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Tetapi jika kacang ini laku juga, aku dapat membeli dawet cendol jika aku haus.

Juwiring, Buntal dan Arum tersenyum. Namun mereka pun kemudian minta diri untuk meneruskan perjalanan.

Di beberapa daerah yang agak jauh dari kota, pengaruh pertempuran besar yang baru saja terjadi di kota kurang terasa. Meskipun ada juga satu dua orang yang membicarakannya, namun pasar-pasar masih banyak dikunjungi orang.

Demikianlah perjalanan ketiga orang anak muda itu tidak menemui hambatan apapun juga. Agaknya jalan yang mereka tempuh, sesuai dengan petunjuk Ki Wandawa, memang tidak pernah di jamah oleh para prajurit Surakarta, apalagi kumpeni. Tidak ada kesan yang mereka lihat di sepanjang jalan. Bahkan nampak bahwa pengaruh Pangeran Mangkubumi terasa di padukuhan-pedukuhan itu.

Perjalanan ketiga anak-anak muda itu tidak terlalu tergesa-gesa. Sekali-sekali mereka beristirahat untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat pula.

Dalam pada itu, maka seperti yang telah mereka rencanakan, bahwa mereka hanya akan berkuda sampai ke kaki Gunung Lawu, Kemudian mereka akan mendaki Gunung untuk melabuh keris milik Tumenggung Sindura yang gawat itu.

Karena itu, ketika mereka sampai ke lereng Gunung Lawu, maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai untuk makan dan sekaligus mencari tempat untuk menitipkan kuda mereka.

“Maaf Ki Sanak” berkata pemilik warung itu ketika Juwiring mengatakan kepadanya untuk menitipkan kudanya, “Tidak ada tempat dan tenaga yang dapat menjaga kuda”

“Apakah di daerah ini banyak terjadi pencurian?” bertanya Juwiring.

“Tidak. Maksud kami bukan karena kami takut kehilangan kuda itu. Tetapi sudah barang tentu bahwa kuda itu memerlukan makan dan minum. Mungkin pemeliharaan sekedarnya” jawab pemilik warung itu. Kemudian, “Baru siang tadi ada juga tiga orang yang akan menitipkan kudanya. Tetapi kami juga tidak sanggup menerimanya”

“Tiga orang?” bertanya Juwiring.

“Ya. Mereka akan mendaki Gunung Lawu” jawab pemilik warung itu.

“Untuk apa?” bertanya Juwiring pula.

“Aku kurang tahu” jawab pemilik warung itu. Lalu, “Karena itu, maka mereka pun pergi dan mencari titipan di tempat yang lain”

Juwiring memandang Buntal sejenak. Kemudian katanya, “Ki Sanak. Apakah tidak ada orang di sekitar tempat ini yang dapat menolong memelihara kuda hanya untuk hari ini. Jika seseorang bersedia untuk menyabit rumput dan memberi sekedar dedak bagi kudaku, maka aku akan membayar berapa yang kau kehendaki”

Pemilik warung itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Hanya hari ini?”

“Maksudku hanya satu dua hari saja” Juwiring menjelaskan.

Ternyata pemilik warung itu mulai mempertimbangkannya. Akhirnya sebagaimana sifatnya sebagai seorang pedagang maka ia pun telah menawarkan harga tertentu untuk pemeliharaan setiap ekor kuda di setiap hari.

Juwiring tidak memikirkan nilai penawaran itu. Ia langsung mengiakannya. Pikirannya sepenuhnya tertuju pada pelepasan pusaka itu. Semakin cepat ia dapat melakukannya, akan semakin baik.

Demikianlah, maka setelah ketiga anak-anak muda itu selesai makan dan minum serta pembicaraan tentang kuda yang telah mendapatkan kesesuaian, maka mereka pun segera minta diri.

“Kalian akan naik ke Gunung Lawu” bertanya pemilik warung itu.

“Ya” jawab Juwiring.

“Untuk apa?” bertanya pemilik warung itu pula.

“Samadi” jawab Juwiring singkat.

Pemilik warung itu tidak bertanya lebih lanjut. Memang sering terjadi, satu dua orang naik ke Gunung Lawu untuk nenepi.

Dalam pada itu, maka Juwiring serta adik-adik seperguruannya itu pun segera menelusuri jalan sempit di kaki Gunung Lawu. Setelah mereka mengambil senjata masing-masing. Nampaknya lereng masih landai. Tetapi beberapa saat kemudian mereka akan sampai pada lereng yang menjadi semakin terjal.

Arum yang lebih banyak diam, apalagi jika ada orang lain. Agar ia tidak segera dikenal sebagai seorang gadis, memandang hutan di kaki Gunung Lawu itu dengan dada yang berdebaran. Apalagi langit menjadi buram, karena matahari telah menjadi sangat rendah di ujung Barat.

“Kita naik lewat hutan ini” gadis itu bertanya di luar sadarnya.

Juwiring memandanginya sekilas. Timbul juga perasaan ibanya, bahwa gadis itu harus memanjat tebing yang semakin lama menjadi semakin curam sementara hutan yang lebat itu rasa-rasanya menjadi semakin pepat.

Tetapi Arum seolah-olah menangkap gejolak perasaan itu. Karena itu justru katanya, “Menyenangkan sekali. Satu pengalaman baru yang belum pernah aku lakukan. Naik ke lambung Gunung Lawu”

Juwiring dan Buntal menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba saja Arum itu bertanya, “He, apakah keris itu harus kita labuh di puncaknya atau dapat kita lakukan pada lambungnya saja asal sudah jelas tidak akan dapat diketemukan orang?”

“Kita akan memanjat sampai ke puncak, Arum” jawab Juwiring.

“Sampai ke puncak?” Arum mengulang. Tetapi terasa pada nada kata-katanya, bahwa ia merasa segan untuk berjalan sampai ke puncak. Namun demikian, ia sudah terlanjur berjanji untuk tidak mengeluh dan mengganggu perjalanan itu.

Juwiring tersenyum. Ketika ia memandang Buntal, maka Buntal lah yang menjawab, “Semakin tinggi kita memanjat, maka kita tentu akan semakin banyak mendapat pengalaman”

Arum mengerutkan dahinya. Ia sadar, bahwa kedua orang kakaknya itu mulai mengganggunya. Tetapi justru karena itu maka ia menjawab, “Ya. Nampaknya akan menyenangkan sekali”

Buntal dan Juwiring masih saja tersenyum. Tetapi keduanya tidak menyahut lagi.

Namun dalam pada itu, ketika langit menjadi semakin gelap, Juwiring harus membuat perhitungan, apakah ia akan terus memanjat naik atau berusaha untuk mendapat tempat peristirahatan. Ia pun menyadari betapa sulitnya melanjutkan perjalanan di malam hari.

Ketika ketiga anak-anak muda itu sampai pada sebuah lereng yang sedikit terbuka, maka Juwiring pun bertanya kepada Buntal, “Apakah kita akan melanjutkan perjalanan, atau kita akan berhenti di sini sampai menjelang pagi?”

Buntal mengamati keadaan di sekitarnya. Tempat yang terbuka itu ternyata terdiri dari bebatuan yang keras, sehingga pepohonan tidak dapat tumbuh di atasnya, sementara di sekitar tempat itu, hutan masih tetap lebat dan pepat.

“Aku kira, kita dapat berhenti sejenak di sini untuk menilai keadaan” berkata Buntal.

Arum menarik nafas dalam-dalam. Ia memang berharap untuk beristirahat. Tetapi jika ia yang mengucapkannya, maka kedua orang kakak seperguru-annya itu tentu akan semakin mengganggunya.

Ternyata Juwiring pun sependapat. Mereka berhenti di antara bebatuan raksasa yang tersebar. Nampaknya tempat itu seolah-olah sebuah longkangan sempit di antara lebatnya hutan di lereng Gunung Lawu.

Demikianlah maka ketiga anak muda itu pun segera mencari tempat masing-masing. Arum telah mendapatkan sebuah batu yang besar dan justru datar di bagian atasnya, sehingga ia pun langsung membaringkan dirinya sambil menatap langit yang hitam penuh dengan bintang-bintang yang bergayutan. Ia tidak menghiraukan bahwa batu itu basah oleh embun yang sudah mulai turun.

Dalam pada itu, Juwiring dan Buntal pun telah duduk pula di batu sebelah menyebelah. Rasa-rasanya mereka pun telah diganggu pula oleh perasaan letih, sehingga demikian mereka duduk, maka mereka pun telah menjelujurkan kaki mereka.

Sambil memijit-mijit kakinya Buntal berdesis, “Letih juga berkuda sehari-harian, kemudian memanjat kaki bukit ini”

Tiba-tiba saja Arum memotong, “Bukan aku yang mengatakannya”

Buntal dan Juwiring tertawa kecil.

Dalam pada itu, Juwiring pun kemudian berkata, “Bukankah kita membawa bekal?”

“Ya. Ada di kampil ini” jawab Buntal.

“Aku tidak ingin makan sekarang. Bukankah kita sudah makan di warung itu. Besok pagi, aku baru merasa lapar. Pondoh jagung itu masih akan tahan dua hari lagi” berkata Arum.

“Aku juga tidak lapar” sahut Juwiring, “Tetapi mulut ini rasa-rasanya ingin mengunyah sesuatu”

“Kau tidak membeli kacang yang dibawa anak muda yang kita jumpai menjelang kita berangkat itu” desis Arum.

“Aku tidak memikirkannya pada waktu itu” desis Juwiring.

“Tetapi jika kau akan makan pondoh jagung ini, marilah” Buntal menawarkannya.

Tetapi Juwiring pun justru membaringkan dirinya di atas sebongkah batu pula sambil berkata, “Kita bergantian. Aku akan tidur dahulu, jika tengah malam lewat, bangunkan aku”

Buntal mengangguk sambil menjawab, “Tidurlah kalian. Nanti pada saatnya aku akan membangunkan kalian”

Arum dan Juwiring pun kemudian memejamkan mata mereka. Nampaknya Arum benar-benar letih, sehingga ia pun segera tertidur. Baru kemudian Juwiring pun telah tertidur pala.

Buntal masih duduk di atas batu. Ia berusaha untuk menahan diri agar ia pun tidak tertidur pula. Meskipun mereka berada di tengah hutan, namun sesuatu dapat saja terjadi. Apalagi menilik lebatnya hutan itu, tentu banyak menyimpan binatang buas di dalamnya.

Namun selain binatang buas. Buntal juga berpikir tentang tiga orang berkuda yang juga akan naik ke Gunung Lawu. Ketika mereka bertiga berangkat, seorang anak muda pun memberitahukan, bahwa malam sebelumnya, Ki Singaprana telah menuju ke arah seperti yang ditempuhnya juga bertiga seperti orang-orang yang akan menitipkan kudanya di warung itu.

Pikiran itu ternyata telah mengganggunya. Buntal tidak dapat mengabaikan keadaan itu. Apalagi ia mengetahui serba sedikit tentang Ki Singaprana yang dalam beberapa hal berada di dekat Ki Wandawa. Namun Ki Wandawa memang pernah mengatakan, bahwa orang itu adalah salah seorang pengawalnya, tetapi tidak untuk diajak berbicara

Tiba-tiba saja Buntal menjadi gelisah. Tetapi justru kegelisahannya itu telah membuatnya tidak mengantuk. Ia berusaha untuk menghubungkan keterangan pemilik warung tempat ia menitipkan kudanya, dengan keterangan anak muda ketika ia berangkat meninggalkan Gebang.

“Apakah mungkin orang itu mengetahui bahwa kami bertiga akan melabuh pusaka yang keramat itu?” bertanya Buntal di dalam hatinya.

Buntal mengangkat wajahnya ketika ia mendengar seekor harimau mengaum. Suaranya bagaikan menggetarkan seluruh hutan di lereng Gunung Lawu itu.

Ternyata bahwa aum harimau itu telah membangunkan Juwiring. Ia pun menggeliat dan kemudian bangkit duduk di atas batu itu. Namun Arum yang agaknya terganggu juga tidurnya, hanya berkisar saja sambil berdesis, “Bangunkan aku jika harimau itu datang kemari”

Buntal tidak menyahut. Harimau yang lain telah mengaum pula seolah-olah menjawab sapa harimau yang pertama. Namun Arum tetap saja berbaring sambil mendekapkan tangannya di dadanya

Tetapi Juwiring agaknya tidak berminat lagi untuk tidur. Bahkan katanya, “Jika kau akan beristirahat, beristirahatlah”

Buntal mengangguk. Namun ia tidak segera berbaring. Bahkan katanya, “Kau ingat kata pemilik warung itu tentang tiga orang berkuda yang datang sebelum kita?”

Juwiring mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku juga sedang memikirkannya. Agaknya kau juga menghubungkan tiga orang yang dikatakan oleh pemilik warung itu dengan tiga orang yang dikatakan oleh petugas sandi pada saat kita berangkat. Ki Singaprana dengan dua orang kawannya”

Buntal mengangguk pula sambil menjawab, “Ya. Nampaknya ada sesuatu yang perlu diperhatikan tentang mereka”

Ternyata kedua anak muda itu mempunyai sikap yang sama terhadap ceritera tentang tiga orang berkuda yang telah berada di kaki Gunung Lawu itu. Apalagi karena mereka pun ternyata akan naik ke lambung seperti yang mereka katakan kepada pemilik warung itu.

Kedua anak muda itu pun tidak berbicara lagi. Buntal lah yang kemudian berbaring di atas sebuah batu yang basah oleh embun malam. Namun Buntal sama sekali tidak menghiraukannya

Ternyata Buntal yang juga merasa letih itu pun sempat juga tertidur. Tetapi ia pun tidak dapat tidur terlalu lama. Buntal juga terbangun ketika terdengar aum binatang buas.

Akhirnya baik Juwiring maupun Buntal tidak lagi berbaring dan berusaha untuk tidur. Namun mereka membiarkan saja Arum berbaring meskipun kadang-kadang nampak juga ia gelisah. Sekali-sekali Arum menggeliat dan berbalik. Namun kemudian ia menyilangkan tangannya kembali di dadanya.

Sebenarnyalah pada saat itu, orang yang disebut bernama Ki Singaprana memang telah berada di kaki Gunung Lawu. Mereka adalah orang yang disebut pula oleh pemilik warung yang menolak menerima kuda mereka untuk dititipkan. Ternyata bahwa ketiganya berhasil menitipkan kudanya justru kepada seorang penghuni padukuhan meskipun mereka juga berjanji untuk memberikan imbalan.

Setelah hampir jemu menunggu, maka mereka pun akhirnya melihat juga tiga orang anak-anak muda yang mendaki lereng Gunung. Justru di saat matahari terbenam di ujung Barat.

Dengan sangat berhati-hati, ketiga orang itu mengikuti anak-anak muda itu memanjat lereng Gunung. Mereka tidak dapat terlalu dekat, tetapi juga tidak dapat terlalu jauh, agar mereka tidak kehilangan jejak.

Tetapi mereka mengumpat ketika ternyata ketiga anak-anak muda itu beristirahat di tempat yang agak terbuka. Sudah barang tentu bahwa mereka tidak dapat ikut memasuki tempat terbuka itu. Ketiga orang itu harus menunggu di antara pepatnya pepohonan dan liarnya gerumbul-gerumbul perdu semak dan duri.

“Anak-anak malas, kenapa mereka tidak melabuh keris itu justru di malam hari” geram orang bertubuh kekar yang bernama Ki Singaprana itu.

“Kita akan lebih mudah mengikutinya di siang hari” desis adiknya.

“Kenapa?” bertanya Ki Singaprana.

“Jika kita tidak langsung dapat melihatnya, maka kita akan dapat mencari jejak dan bekasnya. Mungkin ranting-ranting patah, mungkin dedaunan yang menyibak atau tanda-tanda yang lain” jawab adiknya.

Ternyata Ki Singaprana pun sependapat, meskipun mereka harus berada di tempat yang lembab dan pengab

Ketika fajar nampak di Timur, ketiga anak-anak muda itu pun telah berkemas. Arum agak jengkel karena di tempat itu tidak ada air. Namun Buntal pun kemudian berkata, “Aku kira di tempat ini banyak terdapat sumber air. Marilah pertama-tama kita akan mencari air”

Ketiga anak-anak muda itu pun kemudian meninggalkan tempat mereka bermalam. Seperti yang dikatakan oleh Buntal, maka mereka pertama-tama akan mencari air.

Sekali lagi Ki Singaprana mengumpat. Mereka masih harus menunggu anak-anak muda itu membersihkan diri. Terutama anak muda yang nampaknya berwajah ke kanak-kanakan itu.

Demikianlah, maka ketika matahari mulai memanjat langit ketiga anak-anak muda itu melanjutkan perjalanan. Namun baik Juwiring maupun Buntal telah dibekali dengan dugaan, bahwa ketiga orang yang disebut-sebut oleh pemilik warung itu adalah tiga orang yang dikatakan oleh petugas sandi pada saat mereka berangkat. Dan kepergian mereka ke lambung Gunung Lawu itu tentu ada hubungannya dengan kehadiran Juwiring sendiri dengan kedua adik seperguruannya.

Karena itu, maka keduanya tidak kehilangan kewaspadaan. Bahkan akhirnya mereka pun merasa perlu untuk memberitahukan hal itu kepada Arum, agar gadis itu tidak terkejut apabila terjadi sesuatu.

Ternyata Arum sama sekali tidak heran mendengar keterangan Juwiring tentang ketiga orang itu. Bahkan Arum pun kemudian berkata, “Aku sudah menduga. Aku pun tahu bahwa kakang juga mempunyai dugaan yang demikian”

“Kenapa hal itu tidak kau katakan?” bertanya Juwiring.

“Aku yakin, kakang berdua sudah mengetahuinya” jawab Arum.

Juwiring dan Buntal hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka pun berbangga bahwa ternyata Arum pun mempunyai penggraita yang cukup tajam. Dalam beberapa hal, jika Arum terpaksa harus melakukan tugas tanpa orang lain, maka ia tidak akan mudah terjebak oleh satu keadaan yang sebenarnya dapat dihindari.

Ketiga anak muda itu pun kemudian memanjat semakin tinggi. Jalan setapak yang mereka lalui menjadi semakin sulit.

Bahkan kemudian mereka tidak lagi melihat jalur yang dapat mereka telusuri. Sehingga karena itu. maka mereka pun kemudian harus membuat jalan bagi mereka sendiri.

Betapapun sulitnya, Arum yang sudah berjanji untuk tidak mengeluh, sama sekali tidak mengatakan apapun juga. Ia pun merasa, bahwa ia pernah mendapat tempaan lahir dan batin seperti juga kedua saudara seperguruannya. Karena itu, jika kedua saudara seperguruannya itu mampu melakukan, maka ia pun akan mampu melakukannya pula.

Meskipun demikian terbersit pula pertanyaan di hati Arum kenapa mereka masih memanjat terus hanya sekedar untuk membuang sebilah keris saja.

Tetapi pertanyaan itu tidak pernah diucapkannya.

Dalam pada itu, lereng pun semakin lama menjadi semakin curam. Ternyata mereka menjadi semakin lambat maju. Setapak demi setapak. Sementara itu, meskipun Arum tidak pernah mengatakannya, tetapi Juwiring dan Buntal lah yang mengatur saat-saat mereka beristirahat.

Panasnya matahari tidak terasa langsung membakar tubuh mereka, karena pepohonan yang pepat. Tanah terasa lembab dan basah. Namun kadang-kadang mereka harus memanjat tanah berbatu padas. Ada beberapa longkangan yang tidak berpohon, sehingga dalam keadaan yang demikian, sinar matahari benar-benar menggigit sampai ke tulang.

“Apakah malam ini kita akan bermalam lagi?” bertanya Arum.

Juwiring memandang adik seperguruannya itu. Namun ia mengerti, apa yang sebenarnya ingin ditanyakannya. Arum sebenarnya ingin tahu apakah perjalanan itu masih panjang.

Dalam pada itu, Juwiring lah yang menyahut, “Kita akan bermalam satu malam lagi. Menurut beberapa keterangan, sebentar lagi kita akan lepas dari daerah hutan yang lebat. Kita masih akan melintasi ara-ara perdu. Kemudian kita akan muncul di tempat terbuka. Ddi tempat itulah kita akan melabuh keris itu. Kita akan menemukan sebuah jurang yang dalam dan menempatkan keris itu ke dalamnya, agar keris itu tertidur di sana selama-lamanya.

Arum mengangguk. Ia mengerti, bahwa batas itu masih jauh dari puncak Gunung Lawu. Tetapi agaknya Juwiring menganggap bahwa mereka tidak perlu naik sampai ke puncak. Kecuali jalan terlalu sulit, mereka tidak membawa perlengkapan yang cukup untuk melawan udara dingin.

Tetapi sebenarnyalah mereka tidak akan memanjat terlalu tinggi. Karena itu mereka sama sekali tidak tergesa-gesa. Apalagi jalan memang sangat sulit.

Beberapa kali mereka harus berhenti, beristirahat dan makan bekal yang mereka bawa. Sementara itu, ternyata di lereng Gunung yang pepat oleh pepohonan itu, mereka tidak terlalu sulit untuk mencari air.

Namun dalam pada itu, Juwiring, Buntal dan Arum itu ternyata tidak dapat mengabaikan tiga orang berkuda yang mungkin mengikutinya. Karena itu, sambil beristirahat di antara pepohonan mereka mulai membicarakan, apa yang harus mereka lakukan.

“Kita harus memancing mereka” berkata Buntal.

“Aku setuju. Aku akan berpura-pura meletakkan keris itu di antara bebatuan di luar hutan ini. Kemudian kita meninggalkannya” jawab Juwiring.

“Ya. Dengan suatu upacara kecil” sambung Arum.

“Upacara bagaimana?” bertanya Buntal.

“Untuk meyakinkan bahwa kakang Juwiring telah meletakkan keris itu. Kita akan berjongkok dan pura-pura berdoa. Kemudian baru kita tinggalkan tempat itu” jawab Arum.

Juwiring dan Buntal tertawa. Sementara Arum berusaha membela pendapatnya, “Bukankah kita telah datang dari tempat yang jauh untuk melabuh keris itu? Jika kita hanya ingin membuangnya saja, kenapa tidak kita lemparkan saja keris itu di Bengawan?”

“Ya, ya. Aku setuju” jawab Juwiring, “Aku tidak mentertawakan pendapatmu. Tetapi aku merasa geli seandainya kita sudah terlanjur berjongkok, pura-pura berdoa, tetapi ternyata tidak seorang pun yang melihat apalagi kemudian terpancing karenanya”

“Ah, bukankah kita berusaha” jawab Arum.

“Aku setuju” Buntal menyahut. Lalu, “segalanya akan nampak bersungguh-sungguh. Dengan demikian, maka seandainya ketiga orang itu benar-benar mengikuti kita, mereka akan segera mencari keris itu”

“Jika demikian, apakah yang akan kita lakukan?” bertanya Juwiring dengan sungguh-sungguh.

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang ingin menjebak. Tetapi lalu apa yang paling baik mereka lakukan, ternyata merupakan persoalan tersendiri bagi mereka.

Akhirnya mereka sepakat. untuk menangkap mereka bertiga. Melaporkannya kepada Ki Wandawa bahwa mereka telah berbuat curang.

“Tetapi kakang Juwiring” berkata Buntal, “Ki Singaprana bukan orang kebanyakan. Ia adalah seorang yang memiliki nama yang ditakuti oleh lingkungannya sebelum ia berada di antara pasukan Pangeran Mangkubumi”

“Aku tahu” jawab Juwiring, “Tetapi kita wajib menangkapnya. Jika kita tidak berbuat sesuatu, kita tidak akan dapat mengemukakan hal itu kepada Ki Wandawa. Setidak-tidaknya kita menunjukkan kepadanya bahwa kita akan dapat memberikan satu kesaksian dari satu perbuatannya yang keliru. Yang tidak seharusnya dilakukan. Kecuali karena ia ingin memiliki keris yang bukan haknya, ia juga telah mencuri satu rahasia yang tidak seharusnya didengarnya”

Anak-anak muda-itu pun telah mengambil satu keputusan, meskipun mereka pun menyadari, bahwa ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Menangkap ketiga orang itu atau mereka bertiga tidak akan pernah kembali.

Demikianlah setelah mereka istirahat secukupnya, maka mereka pun melanjutkan perjalanan. Jarak yang akan mereka capai tidak terlalu jauh lagi. Sejenak kemudian hutan pun terasa menjadi semakin tipis. Batu-batu padas terasa di bawah telapak kaki mereka.

Ketika kemudian mereka sampai ke hutan yang lebih jarang dan sebagian besar adalah pepohonan perdu maka mereka pun segera mencari tempat yang paling baik untuk berpura-pura meletakkan keris yang harus dilabuh.

“Kau lihat batu padas yang menjorok itu?” bertanya Juwiring.

“Ya” jawab Buntal.

“Sebuah goa kecil itu merupakan tempat yang baik untuk permainan ini” desis Juwiring.

“Ya. Kita akan melakukannya di tempat itu. Di sisi goa itu terdapat sebatang pohon serut yang umurnya melampaui panjangnya jalan di seluruh negeri ini” desis Arum.

Ketiga anak-anak muda itu pun kemudian pergi ke tempat yang mereka tunjuk. Sebuah dinding padas yang di bagian bawahnya terdapat semacam goa yang kecil dan dangkal.

Sejenak kemudian ketiga anak-anak muda itu pun telah berdiri tegak di hadapan dinding padas yang menjorok itu.

“Kita berjongkok di sini” desis Arum.

“Ya. Aku akan berpura-pura meletakkan sesuatu” sahut Juwiring.

Ketiga anak-anak muda itu pun kemudian berjongkok di hadapan goa kecil itu. Juwiring telah berpura-pura meletakkan sesuatu pada goa itu sementara Buntal dan Arum menunggu dengan penuh khidmat.

“Kita sekarang berpura-pura berdoa” desis Arum.

Ketika orang anak muda itu pun kemudian berlutut sambil menunduk kepala mereka dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Arum sendiri tersenyum membayangkan tingkah laku mereka.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah tiga orang mengawasi mereka dari kejauhan. Ki Singaprana yang memimpin ketiga orang kawannya itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Kita akan berhasil. Aku akan mengambil keris itu. Kemudian menghentikan ketiga anak-anak muda itu dan membunuhnya”

Adiknya tersenyum. Katanya, “Ternyata yang kita lakukan tidak sesulit yang kita bayangkan”

“Jangan meremehkan anak-anak itu” sahut kawannya, “Mereka adalah anak-anak muda yang mendapat kepercayaan dari Ki Wandawa”

“Kepercayaan apa?” sahut Ki Singaprana, “Apakah karena Juwiring itu bekas seorang prajurit dari pasukan berkuda, maka ia memiliki ilmu yang luar biasa? Aku percaya bahwa Pangeran Ranakusuma adalah seorang Senapati yang pilih tanding. Tetapi apa artinya Juwiring itu bagiku. Seandainya aku mendapat kesempatan seperti Tumenggung Sindura dengan keris yang keramat itu, mungkin aku pun akan dapat melawan Pangeran Ranakusuma. Apalagi Juwiring”

Kawannya tidak menjawab lagi. Ia pun percaya bahwa Ki Singaprana adalah seorang yang memiliki kemampuan di atas kemampuan orang kebanyakan.

Dalam pada itu, untuk beberapa lamanya orang itu menunggu. Akhirnya mereka menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat ketiga anak-anak muda itu kemudian berdiri. Setelah mundur beberapa langkah ketiga anak-anak muda itu masih mengangguk sekali. Baru kemudian mereka meninggalkan tempat itu.

“Jangan tergesa-gesa” berkata Ki Singaprana, “Biarlah anak-anak itu menjauh dan hilang di balik pepohonan. Kita akan mengambilnya dan kemudian menyusulnya untuk membuktikan, arti dari keris yang dengan bodoh mereka tinggalkan untuk mereka labuh di bawah pohon serut di hadapan dinding padas itu”

Ketiga orang itu masih menunggu. Anak-anak muda itu pun kemudian telah menghilang di balik pepohonan. Menurut pengamatan ketiga orang yang menungguinya itu, anak-anak muda itu tentu sudah mulai dengan perjalanan mereka menuruni lambung Gunung Lawu.

Baru setelah menunggu beberapa lama, adik Ki Singaprana itu berkata, “Jangan membiarkan mereka terlalu jauh. Kita akan terpisah dari mereka, sehingga sulit untuk menyusulnya”

Ki Singaprana pun kemudian bangkit berdiri. Sejenak kemudian katanya, “Marilah. Kita mengambil pusaka itu. Aku akan memilikinya dan memeliharanya sebaik-baiknya, agar tuah keris itu benar-benar akan bermanfaat bagiku. Aku akan menjadi seorang Tumenggung dan aku akan memiliki wibawa sebesar Tumenggung Sindura. Tanpa Pangeran Ranakusuma, maka Tumenggung Sindura tidak akan di kalahkan oleh siapapun juga”

Ki Singaprana bersama adik dan kawannya itu pun kemudian keluar dari tempat persembunyian mereka. Dengan hati-hati mereka mendekati dinding padas yang menjorok itu. Ketiga orang itu pun langsung menuju ke sebuah goa kecil yang terdapat pada dinding padas itu.

“Pohon serut itu agaknya yang menjadi ancar-ancar mereka. Mungkin Pangeran Ranakusuma yang berpesan, agar keris itu dilabuh di bawah pohon serut. Nampaknya Pangeran Ranakusuma benar-benar takut terhadap keris itu, sehingga ia berharap dengan demikian anak keturunannya tidak akan tersentuh oleh keris itu” berkata Ki Singaprana.

Tetapi adiknya menyahut, “Tetapi justru anaknya langsunglah yang akan mengalaminya”

Ki Singaprana tertawa. Katanya, “Itu adalah perbuatan nasib. Dan nasib Juwiring memang sangat buruk”

Ketiga orang itu pun berhenti di depan dinding padas. Sejenak mereka mengawasi keadaan. Kemudian mereka mulai melihat, apa yang terdapat di dalam goa kecil, di bawah pohon serut itu.

“Gila” desis Ki Singaprana, “keris itu dikuburnya”

Ketiga orang itu pun kemudian berjongkok di depan goa kecil itu. Mereka mendapatkan seonggok tanah sebagaimana sebuah kuburan kecil yang di tandai oleh sebuah batu hitam.

Dengan hati-hati Ki Singaprana pun membongkar onggokan tanah itu. Sementara adiknya berpesan, “Hati-hatilah. Jika ujung keris itu sempat tergores di jari-jarimu”

“Kau benar” jawab Ki Singaprana. Ia pun kemudian mencabut pedangnya. Dengan pedang itu ia mengaduk seonggok tanah di dalam goa kecil dan dangkal itu.

Untuk beberapa lamanya Ki Singaprana melakukannya. Namun keningnya semakin lama semakin berkerut. Bahkan kemudian ia tidak sabar lagi. Diletakkannya pedangnya dan ia mulai lagi melakukannya dengan tangannya.

“Tidak ada apa-apa” desisnya.

“He?” adiknya pun menjadi tegang pula, “mungkin bukan di sini. Keris itu tentu tidak akan dikuburkannya”

“Tetapi tidak terdapat tanda-tanda lain” sahut kawannya,

Ketiga orang itu menjadi tegang. Sejenak mereka termangu-mangu. Bahkan kemudian Ki Singaprana telah menghentakkan kakinya sambi menggeram, “Apakah anak-anak itu telah mempermainkan kita?”

Tetapi adiknya berkata, “Mereka tidak mengetahui bahwa kita telah mengikutinya”

“Belum tentu. Mungkin mereka mengetahuinya, atau firasat mereka mengatakan, bahwa ada orang yang mengikuti mereka” jawab Ki Singaprana.

Dalam pada itu, adik Ki Singaprana dan kawannya pun telah mencari di sekitar tempat itu. Di bawah pohon serut, di sekitar batu padas yang menjorok, di dinding-dinding goa kecil itu. Bahkan di balik-balik batu di sekitar tempat itu.

“Gila” geram Ki Singaprana, “Mereka telah mempermainkan kita”

“Jadi, apakah yang akan kita lakukan?” bertanya adiknya.

“Kita akan menyusulnya. Kita akan membunuh mereka bertiga dan merampas pusaka itu” geram Ki Singaprana.

“Sekarang” geram adiknya, “Jangan biarkan mereka pergi.

Namun dalam pada itu, sebelum mereka melangkah, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh kehadiran seseorang. Dengan lantang orang itu berkata, “Kalian tidak usah mencari aku. Aku masih tetap di sini”

Ki Singaprana berpaling kearah suara itu. Kemudian terdengar suaranya dalam, “Raden Juwiring”

“Ya paman. Aku memang menunggu paman di sini. Ternyata paman benar-benar datang” sahut Juwiring.

Sesaat Ki Singaprana terdiam. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang.

Dalam pada itu, maka adiknya lah yang kemudian berkata, “Nah, adalah kebetulan sekali bahwa kau datang Raden. Sekarang kami ingin bertanya, dimanakah keris yang akan Raden labuh itu”

“Di bawah pohon serut itu” jawab Juwiring.

“Jangan bergurau seperti anak kecil” jawab adik Ki Singaprana, “Aku sudah terlalu lama tidak bercanda dengan cara yang cengeng itu. Aku lebih senang bercanda dengan pedang. Nah, katakan, dimana pusaka itu”

“Apakah kau tidak mendengar” sahut Raden Juwiring, “keris itu aku letakkan di bawah pohon serut itu seperti pesan ayahanda. Tetapi aku pun terkejut ketika terasa seolah-olah ada tangan-tangan yang memang menerima keris itu. Aku tidak dapat melawan ketika tangan itu kemudian menggenggamnya dan merenggutnya dari tanganku. Semuanya itu hanya terjadi dalam sesaat, karena sekejap kemudian keris itu telah hilang, manjing ke dalam tubuh batang serut itu. Aku tidak tahu, apakah jika pohon itu ditebang, kayu pun di belah, akan dapat diketemukan keris itu juga”

“Raden jangan ngayawara” geram Ki Singaprana, “agaknya Raden memang menganggap kami sebagai kanak-kanak yang pantas diajak bergurau dalam keadaan seperti ini. Raden. Aku mohon, cepat tunjukkan dimana keris itu. Bukankah keris itu sudah tidak terpakai lagi bagi Raden?”

“Tetapi keris itu memang harus dilabuh paman. Dan tidak seorang pun boleh memilikinya. Karena itu, maka perjalanan kami, kami lakukan secara rahasia. Adalah aneh jika paman dapat mengetahui, bahwa kami pada hari ini berada di Gunung Lawu untuk menyingkirkan keris itu sebagaimana dipesankan oleh ayahanda Pangeran Ranakusuma”

“Sudahlah. Sebaiknya Raden jangan bertanya suatu yang bukan kewajiban Raden. Yang penting, tunjukkan keris itu” Ki Singaprana menjadi tidak sabar lagi.

“Sudah aku labuh” jawab Raden Juwiring.

“Belum. Raden bohong” sahut Ki Singaprana, “Tetapi aku pun mengerti bahwa Raden akan berkeberatan untuk mengatakan, dimana keris itu. Baiklah. Aku akan memaksa Raden untuk berbicara. Raden tentu mengenal, siapakah aku. Namaku ditakuti orang sejak bertahun-tahun yang lalu. Namun ternyata perjuangan Pangeran Mangkubumi telah berhasil menjinakkan namaku yang semula dianggap liar. Tetapi justru karena aku telah banyak berjasa pada pasukan Pangeran Mangkubumi, aku mohon Raden tidak berkeberatan untuk menyerahkan keris itu”

Tetapi Raden Juwiring menggeleng. Jawabnya, “Maaf paman. Seandainya keris itu belum aku labuh, aku pun tidak akan menyerahkannya, karena demikianlah pesan ayahanda Pangeran Ranakusuma pada saat-saat terakhir dari hidupnya”

“Tetapi ayahanda Raden sudah meninggal. Akan tidak ada manfaatnya lagi untuk memaksa diri melaksanakan pesan pesannya” geram adik Ki Singaprana.

“Maaf. Aku tidak dapat menunjukkan dimana keris itu aku labuh” jawab Juwiring.

“Jangan memaksa kami untuk melakukan kekerasan Raden” berkata Ki Singaprana.

“Aku pun mengharap demikian. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalahnya. Seandainya paman membunuhku, tentu tidak akan ada manusia yang akan dapat menunjukkan keris itu kepada paman” jawab Juwiring.

“Tetapi jika kau tidak mau mengatakannya, aku terpaksa membunuhmu. Biarlah keris itu tidak aku ketahui dimana tempatnya. Tetapi dengan kematianmu, maka rahasia itu tidak akan pernah didengar oleh siapapun juga” geram Ki Singaprana.

“Aku memang tidak akan pernah mengatakannya” desis Juwiring.

“Tetapi rahasia yang demikian pada suatu saat akan dapat terucapkan. Sengaja atau tidak sengaja” jawab Ki Singaprana, “Nah, sekarang tinggal memilih. Mengatakan dimana keris itu atau kami akan membunuhmu”

Juwiring memandang ketiga orang itu dengan tegang. Ia pun pernah mendengar bahwa Ki Singaprana adalah seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Namun demikian ia sudah bertekad untuk tidak mengatakannya kepada siapapun tentang pusaka itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Aku tidak akan mengatakannya”

Ki Singaprana pun menganggap bahwa tidak ada gunanya lagi untuk berbicara panjang lebar. Juwiring pun ternyata tidak mengenal takut. Sebagai seorang prajurit dan pasukan berkuda, maka ia tentu telah mendapat tempaan untuk tidak gentar menghadapi apapun juga.

Karena itu, maka Ki Singaprana itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Kami akan membunuhmu. Kami tahu bahwa kalian bertiga di sini”

“Ya” jawab Juwiring yang kemudian segera mempersiapkan diri sambil memanggil kedua adik seperguruannya.

Buntal dan Arum pun segera bersiap pula. Mereka berdiri beberapa langkah dari Juwiring. Masing-masing telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ki Singaprana dan kedua orang yang bersamanya itu pun melangkah mendekat. Kemarahan nampak memancar di wajah orang yang namanya pernah menggetarkan pesisir Utara itu. Namun yang kemudian telah bergabung pada pasukan Pangeran Mangkubumi, meskipun ternyata hal itu sekedar dipergunakan-nya sebagai selubung saja.

“Sebenarnya aku merasa sayang untuk membunuh anak-anak muda ini” berkata Ki Singaprana, “Kalian masih diperlukan oleh pasukan Pangeran Mangkubumi. Tetapi karena kalian keras kepala, maka apaboleh buat. Kami akan membunuh kalian bertiga, meskipun sebenarnya kalian sendiri dapat menghindari hal ini”

Juwiring tidak menjawab. Ia pun tergeser maju. Dengan tajamnya ia menatap Ki Singaprana. Nampaknya Ki Singaprana adalah orang yang paling gawat di antara tiga orang yang mengikutinya. Karena Juwiring merasa dirinya yang tertua di antara ketiga anak muda itu, maka ia pun telah menempatkan diri menghadapi Ki Singaprana. Sementara Buntal telah bersiap di hadapan adik Ki Singaprana, sementara kawan mereka telah dihadapi oleh Arum.

Namun tiba-tiba kawan Ki Singaprana itu berkata, “Apakah gadis ini boleh dibiarkan hidup?”

Adik Ki Singaprana lah yang menyahut, “Aku sependapat Biarlah ia dibiarkan hidup. Aku akan mengantarkannya kembali kepada ayahnya”

“Memuakkan” geram Arum yang marah.

Namun Juwiring menyahut, “Jangan marah Arum. Kau harus menghadapi lawanmu dengan hati yang terang agar kau tidak dikacaukan oleh kecurangan yang dilakukan orang-orang itu justru karena kau seorang gadis yang tidak akan dapat dikalahkan dengan ujung senjata”

Arum tidak menyahut. Ia pernah mengalami peristiwa yang demikian. Dan ia pun mengerti, bahwa gejolak perasaan yang tidak terkendali hanya akan mempersulit kedudukannya saja.

Karena itu, ketika sekali lagi lawannya itu mencoba menyentuh perasaannya, ia justru berkata, “He, nampaknya kau akan dapat menjadi suami yang baik. Sayang sebentar lagi kau akan mati”

“Persetan” geram laki-laki itu.

Dalam pada itu, Ki Singaprana sudah tidak sabar lagi. Ia pun telah mencabut pedangnya. Kemudian menjulurkan pedang itu lurus ke dada Juwiring sambil menggeram, “Kau akan segera mati”

Raden Juwiring tidak menyahut. Ia pun telah menggenggam pedangnya pula. Ia harus bertahan, betapapun tinggi ilmu orang yang bernama Ki Singaprana itu.

Adik Ki Singaprana dan kawannya yang berhadapan dengan Arum itu pun telah siap dengan senjata masing-masing pula. Sebilah pedang, dan kawannya itu mempergunakan canggah bertangkai pendek.

Arum memperhatikan senjata lawannya. Ia sadar, bahwa canggah yang bermata rangkap itu adalah senjata yang berbahaya. Jika lawannya itu membawa senjata jenis itu, maka tentu ia pun akan mampu mempergunakan sebaik-baiknya. Menurut pengalamannya mempergunakan senjata, serta latihan-latihan yang dilakukan, maka senjata bermata rangkap mempunyai kemampuan merampas senjata lawannya. Jika pedangnya terperangkap di antara kedua mata canggah itu, dan kemudian canggah itu diputarnya, maka senjatanya tentu akan terlepas dari genggaman.

Karena itu Arum memang harus berhati-hati. Ia tidak boleh lengah sehingga senjatanya akan dapat terlepas dari tangannya.

Sejenak kemudian, Ki Singaprana yang tidak sabar itulah yang telah mulai menggerakkan senjatanya. Juwiring dengan sengaja bergeser ke tempat yang lebih, lapang dan datar meskipun di bawah kakinya terhampar batu-batu padas yang keras.

Buntal pun menanggapi sikap Juwiring. Ia pun bergeser pula untuk dapat melawan adik Ki Singaprana itu dengan loncatan-loncatan panjang. Sementara Arum masih tetap berada di tempatnya. Pedangnyalah yang terjulur. Ketika ujungnya mulai bergerak, maka lawannya pun bersiap menghadapinya Menilik sikapnya, meskipun Arum seorang gadis, tetapi ia memiliki kemampuan ilmu pedang yang baik.

Ternyata lawannyalah yang memancing perlawanan Arum, Ia mengangkat canggahnya dan terayun dari sisi kanan Arum. Tetapi ternyata Arum tidak menjadi tegang terkejut dan apalagi meloncat-loncat. Dengan tenang ia bergeser setapak. Namun justru ialah yang kemudian meloncat menyerang langsung kearah dada.

Sikap Arum itu benar-benar telah mengejutkan. Dengan demikian maka orang itu pun menjadi semakin yakin, bahwa Arum memang seorang gadis yang memiliki ilmu pedang yang baik.

Lawannya itu pun terpaksa meloncat ke samping. Dengan canggahnya yang bertangkai pendek itu ia mencoba menjepit pedang Arum dan memutarnya. Tetapi Arum pun dapat bergerak cepat, apalagi ia sudah mengetahui kemampuan senjata bermata dua itu. Karena itulah, maka ia pun telah menarik pedangnya sehingga canggah lawannya itu tidak menyentuhnya. Namun sekali lagi ia mengejutkan lawannya, karena pedangnya terayun mendatar menyerang lambung.

Sekali lagi lawannya mengelak. Tetapi Arum tidak memburunya, karena ia menyadari, bahwa lawannyalah yang kemudian bersiap untuk menjebak senjatanya

Sejenak Arum berdiri dengan pedang yang masih tetap terjulur. Ketika lawannya bergeser, ia pun berputar mengikuti arah lawannya.

Sementara itu, Buntal telah bertempur dengan cepat dan keras mengimbangi kekerasan lawannya. Keduanya berloncatan dengan langkah panjang. Namun kemudian senjata mereka berbenturan dengan dahsyatnya. Mereka saing menyerang dan menangkis.

Dalam pada itu, Buntal yang sudah menduga bahwa lawannya akan bertempur dengan keras, sama sekali tidak terkejut ketika lawannya itu meloncat sambil berteriak. Sambaran pedangnya yang garang dan kuat, disusul dengan hentakkan-hentakkan yang kasar.

Ternyata anak muda dari padepokan Jati Aking itu sudah cukup memiliki pengalaman bertempur melawan berjenis-jenis ilmu. Karena itu maka ia pun segera mampu menyesuaikan diri dengan sikap dan cara lawannya itu bertempur.

Ki Singaprana ternyata tidak kalah garangnya. Namun nampaknya Ki Singaprana masih menjaga diri sebagai salah seorang pengawal dalam pasukan Pangeran Mangkubumi. Meskipun tandangnya juga keras, tetapi ia berusaha meninggal-kan kebiasaannya sebagaimana yang selalu dilakukannya di pesisir Utara.

Dengan tangkasnya ia memutar pedangnya. Sekali terjulur, kemudian menebas datar. Pada kesempatan lain terayun dengan derasnya menyambar kening.

Tetapi Juwiring pun cukup tangkas. Ia mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Bahkan sekali-sekali jika senjata mereka bersentuhan, terasa bahwa Juwiring memang mempu-nyai kekuatan yang cukup.

Tetapi ternyata Ki Singaprana itu tidak telaten bertempur dengan cara itu. Di dalam pasukan Pangeran Mangkubumi ia bertempur dalam satu kelompok bersama para pengawal yang lain, sehingga ia sendiri berada di antara satu kekuatan yang harus saling menyesuaikan diri. Dalam keadaan yang demikian, sifat dan wataknya sebagai seorang yang namanya di takuti di pesisir Utara, tidak terlalu menonjol.

Namun ketika ia harus bertempur seorang melawan seorang dengan Raden Juwiring, murid padepokan Jati Aking dan juga bekas seorang prajurit dari pasukan berkuda maka ia tidak akan dapat bertahan pada sikapnya itu.

“Persetan” katanya di dalam hati, “aku tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh anak itu. Sebentar lagi aku akan membunuhnya Kemudian ia tidak akan dapat berbicara apapun tentang aku”

Dengan demikian maka Ki Singaprana itu pun tidak lagi berusaha mengekang diri. Semakin lama tata geraknya pun menjadi semakin kasar. Akhirnya sebagaimana nampak pada adiknya Ki Singaprana telah berada pada wajahnya yang sebenarnya selagi ia berada di pesisir Utara.

Kegarangan dan kekasarannya benar-benar mendebarkan jantung Juwiring, yang seperti Buntal memiliki pengalaman yang luas dalam dunia petualangan olah kanuragan. Namun menghadapi orang yang bernama Ki Singaprana ini, Juwiring menjadi berdebar-debar.

Sebenarnyalah tingkat kemampuan ilmu Ki Singaprana dan adiknya memang berselisih selapis. Ki Singaprana memiliki kekuatan dan pengalaman melampaui adiknya pada atas ilmu yang sama. Karena itu, maka Ki Singaprana adalah seseorang yang lebih berbahaya dari adiknya dan kawannya yang juga bekas seorang perampok yang disegani.

Dengan demikian, maka ketiga orang yang meskipun juga pernah berada dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi, namun dalam keadaan yang demikian, telah nampak warna mereka yang sebenarnya. Sehingga di lambung Gunung. Lawu itu pun kemudian telah terdengar teriakan-teriakan nyaring dan bahkan kadang-kadang umpatan kasar dan tidak sewajarnya diucapkan. Apalagi di antara mereka terdapat seorang gadis.....

Dengan demikian, maka Juwiring pun telah melihat satu kenyataan bahwa tidak semua orang yang berada di dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi adalah orang-orang yang benar-benar ingin menegakkan keadilan di atas Surakarta. Bahkan orang yang bukan saja tidak bercita-cita, tetapi dengan sengaja telah berusaha menyelubungi dirinya.

“Orang-orang yang demikian itulah agaknya yang telah menodai perjuangan” berkata Juwiring di dalam hatinya, “setitik nila yang diteteskannya, akan dapat merusak susu sebelanga”

Karena itu, maka Juwiring pun telah bertekad untuk menghancurkan orang itu sama sekali.

Namun ternyata bahwa orang itu seperti yang pernah didengarnya, adalah orang yang memiliki kelebihan. Dengan kasar, buas dan liar ia telah melawan Raden Juwiring. Orang itu telah meloncat-loncat sambil berteriak-teriak. Menghentak hentak tidak menentu. Namun bukan berarti bahwa ia tidak mengenal ilmu pedang dan tata gerak ilmu kanuragan. Nampaknya ia telah mendapat tuntunan yang demikian di dalam padepokan tempat orang itu berguru. di samping landasan unsur-unsur gerak yang mapan, ketrampilan dan kecepatan gerak, orang itu telah menunjukkan perlawanan yang nggegerisi.

Juwiring tidak dapat ingkar akan kenyataan itu. Betapapun ia mengerahkan segenap kemampuannya, namun ia telah terdesak semakin berat. Kekasaran lawannya benar-benar membuatnya kadang-kadang bingung dan terkejut.

Sementara itu. Buntal telah melawan adik Ki Singaprana dengan mapan. Meskipun orang itu juga berteriak-teriak, meloncat-loncat dengan kasar dan liar, namun dasar landasan kemampuannya setingkat di bawah Ki Singaprana, sehingga karena itu, ketenangan Buntal masih dapat mengimbanginya. Apapun yang dilakukan oleh lawannya, Buntal berhasil menyesuaikan diri, meskipun dengan demikian kadang-kadang ia pun harus bertempur dengan kasar.

Namun dalam pada itu, pada benturan-benturan yang terjadi kemudian, Buntal berhasil mempengaruhi lawannya, karena ternyata ia memiliki tenaga yang lebih besar dari lawannya.

Ketika lawannya menyerangnya sambil berteriak, Buntal berkata, “Apa gunanya kau berteriak-teriak? Kau kira kau dapat menakuti aku dengan mulutmu yang lebar itu? Kau tidak dapat ingkar, bahwa pada setiap benturan tanganmu bergetar”

“Persetan” geram adik Ki Singaprana itu, “aku akan membunuhmu”

Buntal tidak menyahut. Tetapi ia tidak pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan.

Namun dalam pada itu. jantungnya berdesir ketika ia melihat Juwiring yang justru terdesak Beberapa kali Juwiring harus meloncat surut menjauhi lawannya untuk menghindari kekasaran dan keliarannya. Namun lawannya pun mampu bertindak cepat, sehingga dengan garangnya ia pun telah berusaha memburunya kemana Juwiring menghindar.

Buntal pun menyadari, bahwa Ki Singaprana tentu lebih tinggi ilmunya daripada adiknya. Karena itu, maka Juwiring tentu benar-benar berada dalam kesulitan.

Tetapi jika ia ingin membantunya, maka ia harus mengalahkan lawannya lebih dahulu. Ia harus melumpuhkan atau bahkan membunuhnya sama sekali.

Dada Buntal tergetar sekali lagi ketika ia melihat Arum. Lawannya yang kasar benar-benar mempengaruhi perlawanan gadis itu. Sebagaimana pernah terjadi, maka sikap dan kata-kata kotor orang itu bagi Arum tidak kalah berbahayanya dari mata canggah di dalam genggamannya

“Kau ingin bertempur atau sekedar berteriak-teriak mengumpat” geram Arum.

Tetapi lawannya tertawa. Ia menjadi semakin kasar dan semakin liar. Kata-katanya pun menjadi semakin kotor.

Arum pun ternyata telah terdesak pula. Sekali-sekali ia meloncat surut. Namun suara tertawa dan teriakan-teriakan yang memuakkan masih selalu terdengar.

Namun bukan hanya sikapnya yang liar dan kata-katanya sajalah yang menjadi semakin kotor. Tetapi canggah itu benar-benar berbahaya bagi Arum. Sekali-sekali canggah itu menyambar lengan, namun pada keadaan tertentu canggah itu langsung mematuk leher. Jika Arum terlambat menghindar, maka lehernya akan terjepit kedua mata canggah itu yang tajam di bagian dalam, sehingga leher itu akan tertebas dari kedua belah sisi.

Meskipun ternyata Arum cukup cepat bergerak, tetapi lawannya selalu memburunya dengan sikapnya yang licik.

Tetapi Arum sadar, bahwa ia tidak akan dapat menghentikan kata-kata kotor, umpatan-umpatan dan teriakan-teriakan itu dengan kata-kata. Karena itu, maka ia pun bertempur semakin cepat dan garang.

Namun demikian, menurut pengamatan Buntal, Arum masih dapat didesak oleh lawannya.

“Aku harus dengan cepat menyelesaikan orang ini” berkata Buntal di dalam hatinya, “lawan Arum itu terlalu kasar. Tetapi sudah tentu bahwa ia pun memiliki ilmu yang matang. Bahkan nampaknya lebih baik atau lebah liar dari lawanku ini”

Tetapi lawan Buntal itu pun tidak membiarkan Buntal dengan mudah mengalahkannya. Ketika Buntal mengerahkan segenap kemampuannya, maka ia pun telah melawan dengan segala kekuatan yang ada padanya. Bahkan agaknya orang itu pun mempunyai perhitungan yang cermat. Ia melihat, bahwa Ki Singaprana berhasil mendesak Juwiring, sementara kawannya meskipun dengan licik, tetapi dapat menekan Arum yang menjadi sangat gelisah. Karena itu, maka ia mempunyai perhitungan, seandainya ia sekedar menghindar saja, berlari-lari dan meloncat-loncat, akhirnya Buntal harus menghadapi tiga orang sekaligus setelah Juwiring terbunuh dan Arum dapat diselesaikan pula.

Juwiring pun menjadi sangat gelisah. Ia melihat, bagaimana Arum mulai terdesak. Tatapi ia tidak dapat mengelakkan kenyataan, bahwa ia sendiri pun telah terdesak pula.

Benturan-benturan yang terjadi telah menggetarkan tangan Juwiring. Orang yang bernama Ki Singaprana itu benar-benar seorang yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang sangat luas, selain sikap dan tandangnya yang sangat kasar.

Bahkan kesulitan demi kesulitan telah menekan Juwiring sehingga sekali-sekali ia hampir kehilangan keseimbangan. Batu-batu padas di bawah kakinya rasa-rasanya menjadi semakin tajam dan menghunjam pada telapak kakinya.

Senjata orang itu terasa semakin dekat terayun di sisi tubuhnya. Ketika Juwiring terpaksa meloncat surut, maka ujung senjata lawannya itu telah memburunya. Dengan cepat Juwiring berusaha menangkisnya. Senjata itu memang bergeser, tetapi tiba-tiba justru terayun mengarah ke dadanya. Demikian cepatnya, sehingga Juwiring terkejut karenanya. Sekali lagi ia berusaha menangkis serangan itu. Namun ia tidak berhasil sepenuhnya. Ujung senjata lawannya itu masih tergores di pundaknya.

Juwiring menggeram. Luka itu tidak terlalu dalam. Tetapi darah telah mulai menitik dari luka itu.

“Menyerahlah” geram Ki Singaprana, “sebentar lagi kau akan mati”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi. Juwiring sama sekali tidak ingin menyerahkan lehernya kepada orang itu. Luka di lengannya telah membuatnya bagaikan banteng ketaton.

Dalam pada itu, Buntal memang berhasil mendesak lawannya,. Tetapi ia pun tidak segera melihat, bahwa ia akan dapat menyelesaikan pertempuran itu dalam waktu dekat Apalagi lawannya yang mengetahui pula keadaan pertempuran itu mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia tidak melawan Buntal dalam benturan-benturan senjata dan dengan saling melibat pada jarak yang dekat. Tetapi orang itu telah berloncatan dengan langkah-langkah panjang.

Demikianlah, pertempuran di lambung Gunung Lawu itu berlangsung dengan sengitnya. Darah di lengan Juwiring mengalir semakin banyak. Anak muda itu berdesah ketika sekali lagi ujung pedang Ki Singaprana mengenai pundaknya.

Yang terdengar adalah suara tertawa Ki Singaprana. Dengan lantang ia pun kemudian berkata, “Kau akan mati di sini. Bukan keris itulah yang akan dilabuh. Tetapi mayat kalian bertiga”

Betapa kemarahan menghentak-hentak dadanya. Tetapi kenyataan itu telah terjadi

Jantung Juwiring pun hampir meledak ketika ia melihat, Arum benar-benar dalam kesulitan. Canggah lawan gadis itu berputar bagaikan baling-baling. Ketika Arum mempergunakan satu kesempatan yang terbuka dengan menebas lawannya, tiba-tiba saja lawannya berhasil menangkis dan bahkan pedang Arum telah terperangkap di antara kedua mata canggah.

Dan yang dicemaskan itu pun telah terjadi. Dengan cepat lawan Arum ratu memutar canggahnya. Sebelum Arum sempat menarik senjatanya itu, maka satu hentakkan yang kuat telah merenggut senjata Arum, sehingga senjata itu telah terlempar beberapa langkah dari padanya.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa meledak bagaikan mengguncangkan Gunung Lawu. Kawan Ki Singaprana itu merasa bahwa ia telah berhasil menyelesaikan satu pertempuran yang berat. Dengan demikian, maka gadis itu akan segera menjadi jinak dan tunduk kepada segala perintahnya.

Yang terjadi itu membuat Buntal bagaikan kehilangan akal. Seperti badai ia memburu lawannya. Tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan yang dapat menghambatnya.

Dengan demikian, maka tenaga Buntal bagaikan menjadi berlipat. Seperti prahara ia mengamuk. Lawannya yang berloncatan itu seakan-akan tidak mendapat tempat lagi. Pedang Buntal selalu mengejarnya seperti seekor lalat yang berdesing di telinganya. Sehingga akhirnya lawannya itu merasa punggungnya membentur dinding padas. Dengan demikian maka lawan Buntal itu tidak akan dapat lagi berloncatan surut.

Sementara itu, tidak kalah garangnya sikap Juwiring. Ia sadar, bahwa ia telah terluka. Ia pun sadar, bahwa Ki Singaprana mempunyai kelebihan dari padanya. Namun ia tidak dapat membiarkan Arum mengalami perlakuan yang sangat mengerikan dari orang yang seolah-olah menjadi mabuk itu.

Karena itu, terjadilah yang sama sekali tidak direncanakan. Juwiring yang seolah-olah telah kehabisan akal itu tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Dalam keadaan yang paling sulit, sementara ia tersudut dalam dua keadaan yang bertentangan, di saat ia harus melindungi Arum sebagaimana harus dilakukan oleh saudara tertua, namun juga kenyataan bahwa ia tidak akan mampu melawan Ki Singaprana dalam keadaan wajar, maka tiba-tiba saja ia telah menyingkapkan bajunya. Dengan tiba-tiba-saja tangannya telah menarik keris yang disembunyikan di balik bajunya. Justru keris yang harus dilabuhnya itu.

Tiba-tiba saja, bahkan seolah-olah bagaikan terjadi di luar kewajaran, langit yang cerah itu bagaikan menyala sekejap. Seolah-olah kilat yang dahsyat telah menyambar di langit tanpa mendung tanpa hujan setitikpun. Namun kemudian Ki Singaprana melihat, bahwa sebilah keris yang bercahaya kemerah-merah telah berada di dalam genggaman tangan Juwiring.

“Raden Juwiring” desis Ki Singaprana.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain. Kau harus mati oleh keris yang kau buru ini” geram Juwiring.

Ki Singaprana mundur selangkah. Nampak pada tatapan matanya bahwa hatinya telah tergetar. Namun kemudian ia pun berkata, “Raden. Keris itu memang keris yang luar biasa. Setiap sentuhan akan berakibat maut. Tetapi aku tidak yakin bahwa Raden dapat menyentuh kulitku dengan keris itu”

Wajah Raden Juwiring menjadi merah padam. Matanya bagaikan menyala dan giginya gemeretak. Seolah-olah Raden Juwiring yang menggenggam pedang di tangan kanan dan keris di tangan kiri itu bukan Raden Juwiring yang dikenal oleh Ki Singaprana. Raden Juwiring yang menggenggam keris itu seolah-olah adalah orang lain yang garang, kasar dan sebuas Ki Singaprana sendiri.

Ki Singaprana tidak mempunyai pilihan lain. Sejenak kemudian Juwiring yang digelisahkan oleh keadaan Arum itu pun segera menyerang. Langkahnya seolah-olah menjadi semakin kasar dan keras. Pedangnya terayun-ayun mengerikan. Seakan akan Juwiring sudah tidak mempunyai perhitungan sama sekali.

Namun dalam pada itu, selagi Juwiring tenggelam ke dalam gejolak perasaan yang tidak terkendali, ternyata Buntal telah menekan lawannya semakin berat. Justru karena lawannya seolah-olah telah bersandar pada dinding padas, maka kesempatannya menjadi semakin sempat. Dengan garang oleh kemarahan yang tidak tertahan lagi karena sikap lawan Arum maka Buntal telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ketika ia menjulurkan pedangnya, lawannya itu masih sempat menangkis. Ia memukul pedang Buntal ke samping. Namun Buntal menarik senjatanya. Dengan ayunan yang keras ia menebas lambung. Sekali lagi lawannya berusaha bergeser sambil memukul senjata Buntal, namun Buntal tidak mau lebih lama lagi membiarkan Arum dalam kesulitan. Karena itu, maka ia telah menemukan saat yang paling tepat Demikian senjata lawannya terayun, maka ia melihat kesempatan terbuka pada dada lawannya. Dengan kecepatan yang menghentak dilandasi segenap tenaga dan kemampuannya, maka Buntal telah menggeser pedangnya dan langsung menusuk dada adik Ki Singaprana.

Tidak ada kesempatan untuk menangkis. Tetapi orang itu masih berusaha mengelak, dengan bergeser setapak. Tetapi Buntal telah memperhitungkannya. Karena itu, maka pedangnya pun bergeser pula, sehingga ujung pedang itu pun telah menghunjam langsung ke dalam jantung lawannya.

Orang itu tidak sempat mengelak. Ketika Buntal menarik pedangnya, maka orang itu pun telah terhuyung-huyung dan kemudian jatuh menelungkup di tanah. Ia tidak sempat lagi mengeluh, karena tusukan pedang Buntal itu langsung membunuhnya.

Sementara itu. Buntal tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera meloncat, menuju ke arena pertempuran antara Arum dan lawannya.

Namun Buntal tertegun sejenak. Ia masih melihat Arum telah mengerahkan kemampuannya yang terakhir untuk mempertahankan dirinya meskipun ia telah kehilangan pedangnya. Pada saat-saat lawannya menikmati kemenangannya, ia telah menjadi lengah. Ia sadar ketika ia melihat di tangan Arum tergenggam pisau-pisau belati kecil.

Tetapi terlambat. Demikian ia berusaha menyiapkan diri ternyata sebilah pisau belati kecil telah meluncur mematuk langsung ke dadanya. Meskipun ia berusaha mengelak, tetapi pisau itu menancap pula di pundaknya.

Orang itu menggeram. Kemarahannya tidak terkatakan. Ternyata Arum benar-benar tidak dapat dijinakkan. Bahkan orang itu pun kemudian melihat tangan kiri Arum telah terayun pula. Sebilah pisau belati meluncur ke lehernya.

Dengan gontai orang itu bergeser ke samping sambi menangkis pisau belati itu. Sebenarnyalah ia berhasil. Namun dalam pada itu, diluar dugaannya pula pisau yang luput itu diikuti oleh sambaran pisau belati berikutnya, langsung menancap pada lambung.

“Gila, perempuan gila” geramnya.

Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan. Perasaan sakit, pedih dan nyeri pada pundak dan lambungnya membuatnya kehilangan pengamatan diri. Itulah sebabnya ketika tiga pisau meluncur lagi dari tangan Arum satu di antaranya benar-benar telah menancap di dadanya, meskipun yang dua dapat ditangkisnya dengan canggahnya.

Betapapun kemarahan menghentak-hentak. Namun orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan itu.

Ia menyesal atas kelengahannya. Tetapi segalanya telah terjadi. Ia tidak dapat mengulangi dari permulaan sejak saat ia berhasil merampas pedang gadis itu. Namun terkilas juga di dalam kepalanya, seandainya ia tidak kehilangan kewaspadaan, maka ia tidak akan mengalami nasib yang demikian buruknya.

Sejenak orang itu berdiri tegak. Dipandanginya Arum dengan nyala kemarahan yang tiada taranya. Tubuhnya mulai bergetar oleh kemarahan dan rasa sakit yang menghunjam sampai ke sungsum.

Namun agaknya Arum masih belum meyakini keadaan lawannya. Dua buah pisau lagi telah meluncur. Keduanya mengenai dada orang yang sudah tidak mampu mengelak lagi itu.

Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah terjatuh, la masih mengumpat dengan kata-kata kotor. Tetapi sejenak kemudian ia pun telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Arum menarik nafas dalam-dalam. Dirabanya ikat pinggangnya yang besar. Sebagaimana kebiasaannya, ia telah menyimpan pisau-pisau kecil pada ikat pinggangnya di bawah bajunya.

“Hampir semuanya sudah aku lontarkan” desir Arum. Suaranya masih bergetar oleh gejolak perasaan di dalam dadanya.

“Aku akan mengumpulkannya nanti dan membersihkannya” desis Buntal.

“Pisau itu sudah bernoda darah” jawab Arum.

“Kau dapat memakai pisau-pisauku meskipun tidak sebanyak pisau yang kau bawa” jawab Buntal.

Namun dalam pada itu, Arum melontarkan pandangan matanya ke arah Juwiring yang masih bertempur. Buntal pun telah berpaling pula kepadanya. Terasa jantung mereka berdentang semakin cepat melihat darah di tubuh Juwiring. Tetapi yang terjadi kemudian sudah berubah. Agaknya Juwiring telah mendesak lawannya yang menjadi sangat berhati-hati. Meskipun sekali-sekali ujung pedang Ki Singaprana masih saja menahan serangan-serangan Juwiring dengan sentuhan-sentuhan kecil, tetapi Juwiring seolah-olah tidak lagi menghirau-kannya. Ia menyerang seolah-olah tidak memperhitungkan keadaan dirinya.

Ki Singaprana adalah seorang perampok yang memiliki nama yang ditakuti di pesisir Utara. Ia adalah orang yang kasar, buas dan liar. Tidak ada yang dapat mencegahnya untuk berbuat apa saja jika hal itu sudah dikehendaki.

Namun menghadapi Juwiring yang menggenggam keris yang luar biasa itu di tangan kirinya, rasa-rasanya jantungnya berdegup semakin cepat. Ia melihat seolah-olah keris itu membara dengan warna kemerah-merah, sementara tingkah laku Juwiring telah berubah sama sekali. Ia tidak bertempur sebagai seorang kesatria, apalagi putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi ia bertempur dengan kasar pula seperti Ki Singaprana sendiri.

Akhirnya Ki Singaprana itu tidak lagi mampu melawan kegarangan Juwiring dengan senjata rangkap. Pedang di tangan kanan anak muda itu mampu memancing pedang Ki Singaprana yang menangkisnya. Namun tiba-tiba dengan kecepatan yang tidak diduga, Juwiring meloncat dengan garangnya. Keris di tangan kirinya terjulur lurus kearah dada.

Tetapi Ki Singaprana tidak mau dikenai keris itu. Karena itu, ia pun segera meloncat menghindar. Namun Juwiring memburunya. Ketika ia melihat pedang Ki Singaprana terjulur untuk menghentikan serangannya, ia menangkis dengan pedangnya pula. Sementara itu, ia masih meloncat pula dengan tangan kiri terjulur.

Ujung pedang Ki Singaprana itu masih mengoyak kulit lengannya. Namun Juwiring tidak menghiraukannya. Tanpa diduga ia meloncat semakin dekat.

Terjadilah bencana yang tidak dapat dielakkan lagi bagi Ki Singaprana. Dalam kekalutan sikap karena serangan-serangan Juwiring yang seperti orang kerasukan itu, maka ujung keris yang akan dilabuh itu telah tergores pada ujung jari Ki Singaprana. Hanya pada ujung jari saja. Namun dalam pada itu, wajah Ki Singaprana pun segera menjadi pucat. Dengan loncatan panjang ia menjauhi Raden Juwiring sambil berkata, “Cukup Raden. Kau telah menyelesaikan pertempuran ini”

Raden Juwiring tertegun sejenak. Namun kemudian ia melihat Ki Singaprana mengacukan jarinya yang tergores keris itu. Katanya di luar sadar, “ternyata gerak tanganku telah menyentuh keris itu”

“Dengan sengaja aku lakukan” potong Juwiring.

Wajah Ki Singaprana menegang sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku percaya” Kata-katanya terputus. Keris itu benar-benar keris yang luar biasa. Tubuh Ki Singaprana itu pun gemetar. Wajahnya menjadi merah biru.

Dengan sisa tenaganya Ki Singaprana itu pun segera duduk bersandar sebatang pohon sambil menyilangkan tangannya. Rasa-rasanya kematian itu menjemputnya terlampau cepat, sehingga ia hanya sempat berkata, “Waktuku telah tiba”

Ki Singaprana masih sempat memejamkan matanya. Namun kemudian ia tidak dapat bergerak lagi. Nafasnya terhenti di ujung hidungnya, sedang darahnya telah mengental di dalam tubuhnya.

Juwiring berdiri di hadapannya dengan garangnya. Pedangnya masih tetap digenggamnya di tangan kanan, sementara tangan kirinya masih pula menggenggam keris yang harus dilabuhnya.

Demikian Juwiring mengakhiri pertempuran itu, maka Buntal dan Arum pun menarik nafas dalam-dalam. Setelah saling memandang sejenak, mereka pun kemudian melangkah mendekati Juwiring yang masih berdiri tegak.

Namun langkah kedua anak muda itu tertegun. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa Juwiring itu pun mengumpat dengan garangnya sambil mendorong mayat yang terduduk itu dengan kakinya. Bahkan kemudian katanya, “Mayatmu akan menjadi racun bagi binatang buas yang akan mengoyak dagingmu. Di tempat ini akan bertimbun bangkai-bangkai binatang buas dan burung gagak yang berkeliaran di langit”

Sekali lagi Buntal dan Arum saling berpandangan. Namun kemudian mereka melangkah lagi mendekat. Dengan hati-hati Buntal melangkah di sebelah sambil berkata, “Ia sudah mati kakang”

“Ya. Ia sudah mati” geram Juwiring.

“Kamipun telah berhasil membunuh lawan-lawan kami” berkata Buntal selanjutnya.

“Bagus. Semuanya memang harus dibunuh dan dicincang di sini” sahut Juwiring dengan kasar.

Buntal mengerutkan keningnya. Sikap Juwiring memang agak berbeda. Kelelahan, kejengkelan dan kemarahan yang tidak terkendali memang dapat membuat seseorang menjadi kasar.

“Tetapi kita tidak akan dapat meninggalkan mereka begitu saja” berkata Buntal.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” bertanya Juwiring dengan nada tinggi.

“Kita akan menguburkannya” jawab Buntal.

“Mengubur perampok-perampok yang telah mengkhianati perjuangan Pangeran Mangkubumi ini?” bertanya Juwiring pula.

“Mereka memang pengkhianat. Tetapi mereka telah mati. Kita tidak pantas mendendam kepada orang mati. Karena itu, biarlah kita menguburkan mayat mereka. Kita dapat mencari disela-sela batu-batu pada tanah yang lebih lunak” berkata Buntal.

“Tidak. Aku tidak akan menguburkan mereka. Terutama iblis ini. Ia mati karena racun yang luar biasa telah bekerja pada tubuhnya. Biarlah kematiannya menjadi bencana bagi binatang-binatang buas dan burung pemakan bangkai” bentak Juwiring.

Buntal merasa aneh. Namun Juwiring kemudian membentaknya sekali lagi, “Jangan hiraukan mayat-mayat itu”

“Tetapi bukankah kita berkewajiban kakang” suara Arum penuh keragu-raguan”

“Tidak” Juwiring hampir berteriak, “sudah aku katakan, tidak pantas orang-orang yang telah berkhianat itu mendapat kehormatan. Aku tidak mau. Bahkan seharusnya kita memenggal kepala mereka dan membawanya kembali kepada Ki Wandawa. Menunjukkan kepadanya dan minta agar kepala itu di tanjir di pintu gerbang padukuhan Gebang, sebagaimana dilakukan oleh kumpeni”

Jawaban Juwiring itu benar-benar telah membingungkan Buntal dan Arum. Karena itu sejenak keduanya termangu-mangu.

Arum lah yang kemudian mendekati Juwiring sambil berkata, “Betapapun jantung kita bergejolak, tetapi kita jangan kehilangan nalar yang bening. Kakang, apakah salahnya jika kita berbuat sesuatu yang kita anggap baik. Mayat-mayat itu sudah tidak akan berarti apa-apa bagi kita. Mereka sudah mati. Aku berhasil membunuh lawanku dengan pisau-pisau kecilku. Kakang Buntal menusuknya dengan pedang, dan kau yang mendapat lawan paling berat telah membunuh lawanmu dengan keris yang akan kita labuh. Bukankah semuanya sudah selesai. Kenapa kita masih harus mendendam terhadap mayat-mayat yang sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa itu?”

Wajah Juwiring menjadi semakin tegang. Namun kemudian ia berkata, “Lakukan jika kalian akan melakukannya. Aku lelah sekali. Aku tidak peduli terhadap mayat-mayat itu”

Buntal dan Arum menjadi semakin heran melihat keadaan Juwiring. Tetapi mereka menganggap bahwa Juwiring benar-benar telah mengalami pergolakan perasaan yang dahsyat, sehingga ia masih belum dapat berpikir bening.

Karena itu, maka Arum pun berkata kepada Buntal, “Semuanya dapat kita selesaikan nanti, setelah kakang Juwiring beristirahat dan hatinya menjadi tenang. Aku ingin mencari air untuk membersihkan diri dan mencuci senjataku”

Buntal mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan memungut pisau-pisau kecilmu. Yang mengenai lawan, maupun yang tidak. Kita akan mencucinya. Jika kau ingin membawa yang bersih, yang tidak ternoda darah meskipun telah dicuci, kau dapat membawa pisau-pisauku, dan aku akan membawa pisau-pisaumu”

Arum mengangguk. Tetapi ia memberikan isyarat kepada Buntal agar ia mengajak Juwiring bersama mereka, atau setidak-tidaknya minta ijin kepadanya.

Buntal yang dengan ragu-ragu mendekati Juwiring yang duduk di atas sebuah batu itu pun kemudian berkata, “Kakang. Kami akan mencari air untuk membersihkan diri. Apakah kau juga akan membersihkan diri?”

“Tidak. Aku di sini. Aku perlu beristirahat” jawab Juwiring.

Buntal dan Arum tidak dapat memaksanya. Mereka berdua pun kemudian memasuki lebatnya pepohonan untuk mencari sebuah belik yang terdapat di bawa pohon-pohon raksasa di hutan itu. Namun sebelum mereka turun, Buntal telah memungut beberapa pisau yang dapat diketemukannya dan mencabut pisau yang tertancap di tubuh lawan Arum. sementara Arum telah memungut pedangnya yang terlepas dari tangannya.

Ternyata mereka tidak terlalu sulit untuk mencari sebuah belik. di bawah sebatang pohon preh yang besar mereka menemukan sebuah belik. Meskipun airnya jernih, tetapi belik kecil itu dikotori oleh daun-daun kering yang runtuh dari dahannya.

Namun dalam pada itu, sambil mencuci senjata-senjata dan membersihkan dirinya, keduanya sempat berbincang tentang Juwiring dengan sifat-sifatnya yang aneh.

“Hatinya benar-benar terguncang” berkata Buntal, “hampir saja kakang Juwiring kehilangan kesempatan”

“Ia terluka” desis Arum.

“Kakang Juwiring mempunyai obat pemampat darah. Nampaknya luka-lukanya tidak begitu berbahaya” jawab Buntal.

Arum menarik nafas dalam-dalam. Sementara Buntal berkata, “Aku justru menduga, bahwa kaulah yang akan di hentak oleh kejutan perasaan sehingga mungkin untuk beberapa saat lamanya, kau akan dicengkam oleh kegelisahan. Tetapi justru bukan kau, tetapi kakang Juwiring”

“Aku sudah melambari perasaanku dengan pasrah” jawab Arum, “ternyata bahwa Yang Maha Pelindung telah melindungi kita. Sementara kakang Juwiring benar-benar menghadapi keadaan yang paling gawat. Mungkin kakang Juwiring melihat juga, seperti yang kau lihat, pedangku telah terlepas dari tanganku”

“Ya Sementara itu kakang Juwiring sendiri telah terdesak” sahut Buntal.

“Keadaan itulah yang agaknya membuat kakang Juwiring seolah-olah berubah akal” gumam Arum, “Tetapi mudah-mudahan ia menjadi tenang kembali. Nalarnya menjadi jernih dan ia dapat menilai semuanya yang telah terjadi dengan hati yang bening”

Buntal mengangguk-angguk. Sementara tangannya masih sibuk dengan pisau-pisau kecil yang bernoda darah.

Setelah beberapa saat mereka berada di belik itu, dan setelah mereka menganggap bahwa Juwiring menjadi tenang, mereka pun telah menyimpan senjata masing-masing. Dengan hati yang berdebar-debar mereka kembali ke tempat Juwiring beristirahat.

Namun hati mereka tergetar ketika mereka melihat Juwiring duduk di atas sebongkah batu padas. Nampaknya ia sudah mengobati luka-lukanya. Tetapi ia masih sibuk menimang keris yang akan dilabuhnya di lambung Gunung Lawu itu.

Ketika Juwiring melihat kedua adik seperguruannya, tiba-tiba saja matanya menjadi menyala. Dengan kasar ia bertanya, “He, apakah yang telah kalian lakukan? Aku harus menunggu di sini sampai tua? Kalian datang ke tempat ini untuk satu tugas yang penting, bukan untuk bercinta seperti itu”

Wajah kedua adik seperguruannya menjadi merah. Tetapi Buntal menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin menelan kembali perasaannya yang tiba-tiba saja telah melonjak.

“Aku mencuci pedang kakang” jawab Buntal, “selebihnya aku memang menunggu kakang menjadi tenang”

“Cukup” bentak Juwiring, “Aku tidak mau mendengar alasan-alasan yang kalian buat-buat. Waktu kita tidak terlalu banyak. Kita akan segera kembali ke Gebang”

Kedua adik seperguruannya itu pun terkejut pula. Bahkan dengan serta merta Arum bertanya, “Tetapi bukankah kita masih akan melabuh keris itu kakang?”

“Bodoh” geram Juwiring, “ternyata kita sudah berbuat bodoh”

Buntal menjadi semakin tidak mengerti. Dengan heran ia bertanya, “Kau membuat aku bingung kakang. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki setelah kau berhasil membunuh Ki Singaprana? Jika kau memerlukan waktu yang cukup untuk menenangkan hatimu, maka kami tidak akan berkeberatan”

“Cukup. Tutup mulutmu Buntal” bentak Juwiring, “dengar. Aku tidak memerlukan waktu untuk beristirahat. Aku ingin segera kembali ke Gebang. Aku ingin segera melaporkan segala peristiwa ini kepada Ki Wandawa bahwa tiga orang di antara pasukan Pangeran Mangkubumi telah berkhianat”

“Tetapi bagaimana dengan pusaka itu?” bertanya Arum.

“Aku akan membawa pusaka ini kembali” jawab Juwiring, “adalah bodoh untuk membuang pusaka yang keramat seperti ini. Pusaka ini memiliki kemungkinan yang tidak terbatas. Sebagaimana kau lihat, aku dapat membunuh Ki Singaprana yang memiliki kelebihan dari aku”

“Tetapi kakang” sahut Buntal, “bukankah ayahanda kakang Juwiring, Senapati Agung Surakarta yang bergelar Pangeran Ranakusuma telah memberikan perintah kepadamu, untuk melabuh keris itu di Gunung Lawu ini”

Buntal dan Arum terkejut melihat sikap Juwiring. Mereka menjadi semakin tidak mengerti. Bahkan kulit mereka serasa meremang ketika mereka mendengar Juwiring tertawa berkepanjangan. Katanya, “Jangan cengeng seperti itu. Pangeran Ranakusuma adalah ayahku. Ia lah yang memberikan perintah itu. Tetapi ayahanda sudah gugur. Karena itu, maka perintahnya sudah tidak mengikat lagi”

“Kakang” potong Arum, “Apakah kau menyadari apa yang kau katakan?”

“Tentu. Aku menyadari sepenuhnya apa yang aku katakan” jawab Juwiring, “Aku tidak sedang gila sekarang ini. Aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi. Aku tahu, kalian adalah adik seperguruanku. Aku tahu bahwa kita bertiga datang ke tempat ini untuk memenuhi perintah ayahanda agar pusaka yang telah dipergunakan oleh Tumenggung Sindura itu di labuh. Aku sadar sepenuhnya”

“Jika demikian, kenapa kakang Juwiring akan membatalkan niat kakang untuk melabuh pusaka itu?” bertanya Arum.

“Baru sekarang aku menyadari, betapa tinggi nilai keris itu. Aku pun baru saja menyadari, bahwa saat ayahanda akan gugur, maka nalarnya sudah tidak bekerja lagi dengan baik, sehingga perasaannya sajalah yang bergejolak. Karena itulah maka ayahanda telah menjatuhkan perintah agar keris itu dilabuh saja. Tetapi jika saat itu, perasaan ayahanda dapat diimbangi dengan nalar, ayahanda tentu tidak akan memerintahkan demikian. Keris ini akan sangat berarti bagiku, apalagi dalam perjuangan sekarang ini. Aku akan dapat memasuki barak kumpeni di loji, dan aku akan dapat membunuh kumpeni sebanyak-banyaknya. Apakah hal itu tidak kau sadari”

Jantung kedua anak muda, adik seperguruan Juwiring itu berdebar-debar. Ketika mereka menatap wajah Juwiring, terasa kulit mereka meremang. Wajah Juwiring seolah-olah telah berubah sama sekali. Ia bukan lagi Juwiring putera Pangeran Ranakusuma. Bukan pula anak angkat dan sekaligus murid Kiai Danatirta. Tetapi yang berada di hadapan kedua anak-anak muda itu adalah seorang anak muda yang berwajah liar dan membayangkan watak yang gelap dalam bayangan nafsu untuk membunuh.

Dalam kebingungan maka Buntal pun kemudian berkata, “Kakang Juwiring. Aku mohon kakang dapat menenangkan hati. Cobalah mengingat segala pesan dan perintah ayahanda kakang Juwiring. Keris itu harus dilabuh di atas Gunung Lawu. Kita sekarang sudah berada di lambung Gunung Lawu”

“Tidak. Sekali lagi aku katakan tidak. Aku akan kembali sambil membawa keris ini. Aku memerlukannya. Aku adalah putera-seorang Pangeran yang sudah barang tentu pada suatu saat aku akan memangku jabatan penting di Surakarta, apabila Pangeran Mangkubumi sudah berhasil mengusir kumpeni. Kangjeng Susuhunan pun akan terusir pula karena ia berpihak kepada kumpeni. Jika Pangeran Mangkubumi menang, aku akan menjadi seorang Tumenggung. Namaku akan dikenal oleh seluruh rakyat Surakarta. Bahkan mungkin namaku akan lebih besar dari Tumenggung Sindura sendiri”

“Kakang” potong Arum, “kakang sudah melupakan tugas kakang. Kakang telah kehilangan kepribadian kakang”

“Omong kosong” geram Juwiring.

“Kakang” berkata Buntal, “lepaskan keris itu barang sekejap. Keris yang kotor oleh darah itu agaknya telah mempengaruhi kepribadianmu”

“Gila” Juwiring justru menjadi marah, “Kau kira aku sudah kehilangan kepribadian? Kau kira aku adalah seorang yang berjiwa lemah yang dengan mudah dapat dipengaruhi oleh keadaan di luar diriku sendiri? Kau kira karena aku memegang keris ini, maka kepribadianku telah berubah dan aku telah lupa segala-galanya yang baik menurut pertimbangan kepribadianku yang sebenarnya? Tidak anak-anak. Sama sekali tidak. Tetapi perkembangan nalar itu dapat terjadi. Bukan kehilangan kepribadian. Jika sekarang aku menganggap bahwa keris ini adalah keris yang sangat berarti bagi kedudukanku kelak, bukan berarti bahwa aku sudah kehilangan kepribadianku. Tetapi ini adalah perkembangan sikap jiwani. Perkembangan yang demikian itulah yang akan dapat membawa seseorang kepada cita-citanya. Sebagaimana Pangeran Mangkubumi pernah berusaha untuk mengekang pemberontakan Raden Mas Said, namun karena perkembangan sikap jiwaninya, maka Pangeran Mangkubumi sendiri telah mengangkat senjata”

“Bukan satu perbandingan” bantah Buntal, “Tetapi yang kakang lakukan sekarang adalah benar-benar satu perubahan kepribadian. Kakang yang lembut dan berhati bersih, seperti seharusnya seorang kesatria yang penuh dengan pengabdian, tiba-tiba kakang telah berubah menjadi seorang yang tamak dan penuh dengan nafsu angkara. Kakang sebelumnya tidak pernah berbicara tentang kedudukan dan pangkat, tiba-tiba kakang sudah mengigau tentang kedudukan. Bahkan lebih baik dari kedudukan Tumenggung Sindura. Cobalah, jika masih ada sisa kesadaranmu. Lepaskan keris itu barang sejenak”

Wajah Juwiring menjadi kian membara. Dengan nada kasar ia berkata, “Apakah kau menjadi iri Buntal? Jika keris ini aku lepaskan, maka kau tentu akan menerkamnya dan memilikinya”

“Tidak kakang. Sama sekali tidak. Aku tidak memerlukan keris itu, karena menurut Pangeran Ranakusuma, keris itu harus di labuh. Karena itu keris itu harus ditinggalkan di Gunung Lawu ini”

Raden Juwiring menjadi semakin marah. Katanya, “Aku adalah saudara tertua di antara kalian. Seharusnya kalian menurut segala petunjukku. Namun nampaknya kalian justru akan mengajari aku. Karena itu, aku tidak peduli lagi akan Kalian. Aku akan kembali ke Gebang. Meneruskan perjuangan. Memenangkan perang melawan Surakarta, dan aku akan menjadi seorang Senapati pilihan seperti ayahanda Pangeran Ranakusuma”

Raden Juwiring tidak menghiraukan kedua adik seperguruannya lagi. Ia pun segera membenahi diri. Sambil menjinjing keris yang seharusnya di labuh itu, maka ia meninggalkan tempatnya.

“Kakang” panggil Buntal, “Jangan kehilangan akal”

“Tutup mulutmu” bentaknya.

Namun Arum berlari-lari memotong jalan Juwiring sambil berkata, “Jangan kakang. Jangan”

Langkah Juwiring tertegun. Sekali lagi ia berteriak, “Minggir. Arum, kau jangan menjadi gila seperti itu. Aku adalah saudara seperguruanmu dalam urutan yang lebah tua. Karena itu, jangan menggurui aku”

“Jangan pergi kakang. Jangan kau lakukan pelanggaran itu, “Arum hampir menangis.

Tetapi Juwiring bergeser arah. Dengan tergesa-gesa ia melangkah meninggalkan lambung Gunung itu.

Namun Buntal lah yang mencegatnya. Dengan suara yang hampir parau ia pun berusaha mencegah Juwiring yang dianggapnya sudah kehilangan kepribadian.

Akhirnya Juwiring telah benar-benar kehilangan kesabaran. Dengan suara bergetar ia berkata, “Buntal dan Arum. Kalian adalah adik-adik seperguruanku. Kalian telah aku anggap sebagai adikku sendiri, sehingga selama ini. kita selalu berbagi duka dan berbagi suka. Tetapi kali ini kalian menjadi berubah. Kalian telah dipengaruhi oleh perasaan iri dan dengki. Apakah salahnya jika aku kelak menemukan kamukten? Apakah kalian menganggap bahwa aku tidak akan ingat lagi kepada kalian”

“Tidak. Tidak sama sekali” Arum benar-benar menangis, “Aku tidak menginginkan apapun juga kakang. Tetapi aku mohon kakang menyadari apa yang kakang lakukan kali ini”

“Arum, apakah kau ingin bahwa Buntal lah yang harus mewarisi keris ini agar ialah yang kelak dapat menjadi seorang Tumenggung? Dengan demikian, jika kau menjadi isterinya, maka kau adalah isteri seorang Tumenggung?”

“Tidak, tidak” Arum tidak dapat menahan diri lagi. Tangisnya meledak-ledak, betapapun ia berusaha menahannya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Tetapi Juwiring sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan katanya, “Aku sudah tidak sabar lagi. Kalian memang iblis yang tidak tahu diri. Jangan berpura-pura lagi bersikap seperti saudara yang baik hati. Aku tahu apa yang terkandung di dalam hatimu”

Juwiring tidak menghiraukan lagi kedua saudara seperguruannya itu. Namun Buntal benar-benar tidak ingin melepaskannya. Setiap kali ia selalu memotong langkah Juwiring yang nampak tergesa-gesa.

Akhirnya Juwiring itu pun berteriak, “Buntal. Kau adalah saudara yang bagiku bagaikan saudara kandung sendiri. Tetapi kau sebenarnya bukan apa-apa. Kau adalah anak yang hilang yang di ketemukan dan dipelihara di padepokan Jati Aking. Karena itu, jika kau berkeras untuk merebut ini, maka akhirnya aku akan sampai kepada satu keputusan, bahwa kau pun harus disingkirkan”

“Kakang” wajah Buntal menjadi tegang, sementara Arum pun yang sedang menangis bagaikan dihentakkan oleh kata-kata itu, sehingga justru tangisnya terhenti dengan tiba-tiba.

“Kakang” suara Arum tiba-tiba melengking, “Jadi kau sudah benar-benar kehilangan diri?”

“Persetan dengan kau. Aku tidak peduli”

“Arum” sahut Buntal, “adalah menjadi kewajiban kita untuk mencegahnya, justru karena kita adalah saudara seperguruannya”

“Cukup” teriak Juwiring, “Kalian akan menjadi hambatan bagiku. Sekarang atau kelak. Kalian pun tentu akan membocorkan rahasia ini sehingga keris ini akan menjadi rebutan. Karena itu. kalian berdua memang harus disingkirkan. Sebenarnyalah kalian sama sekali tidak ada hubungan keluarga apapun dengan aku”

Tiba-tiba saja Juwiring telah mengangkat keris itu. Sambil menggerakkan keris yang bercahaya kemerah-merahan itu ia berkata, “Kalian harus mati”

Buntal melangkah surut. Ia memandang keris itu dengan jantung yang berdebaran. Kemudian dipandanginya wajah Juwiring yang telah berubah sama sekali. Betapa bengisnya wajah itu,

“Bersedialah untuk mati” geram Juwiring.

Tetapi Buntal tidak mau mati. Karena itu ketika Juwiring mendekatinya dengan keris terjulur di tangannya. ia pun telah mencabut pedangnya sambal berkata, “Maaf kakang. Aku terpaksa melindungi diriku sendiri”

Juwiring tidak menyahut. Ia pun dengan serta merta meloncat menyerang. Namun Buntal masih sempat mengelak. Ia pun menyadari, bahwa segores luka, akan berarti maut baginya.

Namun nampaknya Arum pun telah kehilangan akal. Tiba-tiba ia pun telah mencabut pedangnya pula. Dengan loncatan panjang ia mendekat sambil berkata, “Aku berdiri di pihak kakang Buntal”

“Bagus” teriak Juwiring, “Kalian berdua akan mati”

Buntal menjadi sangat gelisah. Dengan pedang di tangan ia berdiri beberapa langkah dari Arum. Keduanya telah bersiap untuk mempertahankan hidup masing-masing, sementara Juwiring memandang mereka dengan mata yang kemerah-merahan seperti cahaya yang memancar dari keris di tangannya. Keris yang sakti tiada taranya, namun yang selalu menuntut kematian demi kematian.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar