Bunga Di Batu Karang Jilid 18

Tidak ada kesempatan lagi bagi kumpeni itu untuk mempergunakan senjatanya karena keadaan medan. Keempat orang lawannya telah menjadi terlampau dekat. Sejenak kemudian yang beradu adalah senjata di tangan keempat orang itu dengan senjata para prajurit dari Surakarta, sementara yang seorang dari sisi yang lain pun telah terlibat pula dalam pertempuran. Namun para prajurit Surakarta itu tidak sempat membinasakan kelima orang itu beramai-ramai karena prajurit-prajurit itu harus segera bersiaga menghadapi lontaran anak panah dari laskar berkuda yang lain. yang menyerang mereka langsung sambil berpacu dengan anak panah mereka.

Kekalutan segera terjadi. Pertempuran seperti yang diduga tidak dapat dihindarkan. Dalam pada itu, maka serangan gelombang pertama pun telah meluncur dari balik pepohonan. Beberapa orang berkuda dengan lajunya memacu kuda mereka langsung menyerang para prajurit Surakarta yang memang telah menyiapkan diri.

Tetapi laskar Pangeran Mangkubumi itu bertempur dengan rencana tertentu. Betapapun mereka dicengkam oleh luapan kemarahan, namun mereka tidak dapat meninggalkan rencana yang telah mereka susun dengan baik, apalagi sesuai dengan perintah yang telah diberikan oleh Pangeran Mangkubumi.

Karena itu, maka pasukan Pangeran Mangkubumi itu tidak langsung menusuk prajurit Surakarta itu sampai ke jantung barisan. Mereka seakan-akan hanya berputaran mengepung prajurit-prajurit Surakarta itu. Dengan demikian maka pertempuran yang terjadi pun seakan-akan selalu bergeser dan bergerak.

Tetapi putaran pasukan Pangeran Mangkubumi itu dapat membingungkan lawannya. Mereka harus berusaha menyesuai-kan diri. Dengan demikian mereka tidak segera dapat menyusun gelar tertentu untuk menghadapi perang yang berputaran. Apalagi pasukan Pangeran Mangkubumi bertempur sambil berteriak-teriak tidak menentu. Kadang-kadang mereka bersorak, tetapi kadang-kadang mengumpat-mengumpat dengan kasarnya.

Beberapa orang kumpeni yang ada di dalam pasukan Surakarta itu tidak terkejut menghadapi peperangan yang agak liar itu. Penjelajahannya ke benua yang lain pun memberikan gambaran yang serupa. Orang-orang yang masih terbelakang, di dalam olah keprajuritan, biasanya memang berteriak-teriak sambil berlari-lari tidak menentu.

“Agaknya hanya orang-orang yang tinggal di kota dan yang sudah bergaul dengan kami sajalah yang telah menjadi beradab dan mengenal cara-cara yang baik di peperangan” berkata kumpeni itu di dalam hati. Meskipun mereka tidak dapat ingkar bahwa mereka telah menyaksikan seorang anak muda yang mampu mempergunakan otaknya, bukan saja tenaga jasmaniahnya.

Demikianlah maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Namun agaknya putaran laskar Pangeran Mangkubumi semakin lama justru menjadi semakin luas. Bahkan kemudian, prajurit-prajurit Surakarta berhasil mendesak mereka semakin jauh dari pusat lingkaran yang telah mereka buat itu.

Beberapa orang kumpeni yang ada di dalam pasukan Surakarta itu pun bertempur dengan gigihnya. Ternyata mereka benar-benar cakap bertempur dengan pedang di atas punggung kuda. Karena itu, maka setiap sambaran pedang dari laskar yang berputaran itu sama sekali tidak dapat mengenai mereka. Dengan tangkasnya mereka menangkis setiap serangan. Bahkan dengan garang mereka menyerang kembali. Pedangnya yang bergerak seakan dalam bidang-bidang yang mendatar, tetapi tiba-tiba saja langsung mematuk dada, adalah gerak yang sangat berbahaya.

Tetapi beberapa orang kumpeni itu tidak pernah mendapatkan lawan yang mapan. Setiap kali lawannya meninggalkannya, kemudian datang lawan yang lain menyerang sambil berteriak.

Dalam pada itu, selagi laskar Pangeran Mangkubumi terdesak sehingga kepungannya menjadi semakin longgar dan bahwa hampir pecah, langit pun menjadi semakin suram. Matahari menjadi semakin rendah dan kemudian hilang di balik cakrawala. Untuk beberapa saat lamanya, cahaya merah masih bergayutan di bibir mega yang berarak di langit. Namun warna itu pun segera menjadi kelabu.

Ketika gelap mulai menyelubung, di padepokan Jati Aking, Kiai Danatirta duduk di pendapa rumahnya menghadapi mangkuk berisi minuman panas dan beberapa potong makanan. Sambil memandang ke dalam kegelapan ia mulai membayang-kan, bahwa agaknya pertempuran sedang berlangsung. Buntal dan kawan-kawannya tentu sedang dengan gigihnya bertempur melawan prajurit-prajurit Surakarta. Meskipun pasukan Pangeran Mangkubumi itu membawa pesan agar jangan sampai jatuh terlampau banyak korban di kedua belah pihak, tetapi di dalam pertempuran agaknya terlampau sulit untuk melaksanakannya.

Selagi Kiai Danatirta menikmati minuman hangat dan makanan yang dihidangkan oleh Arum, meskipun dengan hati yang berdebar-debar, tiba-tiba saja ia telah dikejutkan oleh derap seekor kuda yang berlari kencang di halaman.

Dengan sigapnya Kiai Danatirta meloncat berdiri dan berlari turun dari tangga pendapa. Tetapi kuda itu sudah berderap melintas.

Namun demikian terdengar suara Kiai Danatirta memanggil, “Arum, Arum”

Tetapi kuda itu tidak berhenti. Arum, yang lada di punggung kuda itu berpacu terus meninggalkan halaman rumahnya.

Untuk beberapa saat lamanya Kiai Danatirta masih berdiri termangu-mangu. Ditatapnya kegelapan malam yang terbentang di hadapannya.

Ia tersadar ketika beberapa orang penghuni padepokan itu mendekatinya. Seorang yang sudah agak lanjut usia bertanya, “Siapakah yang berkuda begitu cepatnya Kiai?”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam, “Apakah ada seseorang yang telah mengambil kuda kita tanpa memberitahukan lebih dahulu?”

Kiai Danatirta menggeleng.

Dan yang lain lagi berkata, “Tetapi, apakah aku mendengar Kiai memanggil nama Arum?”

Kiai Danatirta berpaling. Tetapi kemudian kepalanya pun tertunduk. Katanya dalam nada yang datar, “Sudahlah. Biarlah kuda itu pergi”

“Tetapi siapakah yang membawanya?”

Kiai Danatirta tidak menjawab.

“Apakah Arum?”

Kiai Danatirta masih tetap berdiam diri. Tetapi ia berjalan, ke pendapa dan tanpa menjawab pertanyaan itu. ia pun segera naik.

Beberapa orang masih termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun kemudian segera kembali ke tempat masing-masing. Meskipun demikian masih saja ada yang berbicara di antara mereka, “Dahulu aku sudah memperingatkan, bahwa tidak baik seorang gadis belajar menunggang kuda. Beberapa tahun yang lalu. Tetapi agaknya Kiai Danatirta tidak begitu berkeberatan”

“Ya meskipun hanya diperkenankan berlatih di malam hari atau di tempat yang sepi di padang ilalang di balik bukit-bukit kecil itu”

“Akibatnya, ada kerinduan gadis itu untuk menunggang kuda. Agaknya sudah lama ia tidak diperkenankan lagi berlatih, sehingga tiba-tiba saja ia memaksa untuk naik tanpa ijin ayahnya”

Keduanya mengangguk-angguk. Tetapi ketika mereka berpaling ke pendapa, mereka tidak melihat lagi Kiai Danatirta duduk menghadapi mangkuknya.

“Kemana Kiai itu?”

“Apakah ia akan membiarkan anak gadisnya berkuda di malam hari dalam keadaan seperti ini? Selagi Surakarta dicengkam oleh udara yang panas dan baru siang tadi di bulak itu beberapa orang prajurit Surakarta Merampas senjata setiap orang yang lewat?”

Kedua terdiam sejenak. Ternyata yang mereka duga adalah benar. Sejenak kemudian mereka melihat Kiai Danatirta sudah di punggung kudanya sambil berkata kepada penghuni-penghuni padepokan yang dijumpainya di halaman, “Jagalah rumah ini baik-baik. Mungkin malam hari aku baru kembali”

“Kemana Kiai akan pergi?”

“Mencari Arum yang nakal itu. Jika keadaan Surakarta tidak sepanas ini, maka aku kira, aku tidak perlu mencarinya”

“Tetapi kemana Kiai akan mencari?”

“Entahlah. Tetapi aku dapat mengikuti jejak kaki kuda itu”

“Di malam hari?”

“Aku harus berhenti di setiap tikungan dan mencari arah jejak kaki-kaki kuda itu”

“Dan kuda itu menjadi semakin jauh”

“Pada saatnya ia akan berhenti” sahut Kiai Danatirta.

Demikianlah maka Kiai Danatirta pun segera memacu kudanya. Sebenarnya ia tahu pasti arah kuda Arum. Gadis itu tentu pergi ke tempat yang disebut oleh Buntal. Setelah hari mulai gelap, maka diam-diam ia pun pergi ke kandang kuda dan berpacu tanpa minta ijin lebih dahulu, karena Arum tahu bahwa ia tentu tidak akan diijinkan oleh ayahnya.

“Jika pertempuran itu sudah berakhir saat Arum sampai di sana, alangkah baiknya” berkata Kiai Danatirta kepada diri sendiri sambil berpacu. Tetapi agaknya pertempuran itu tentu masih berlangsung. Prajurit-prajurit Surakarta adalah prajurit pilihan. Dan laskar Pangeran Mangkubumi pun cukup terlatih dan dipersiapkan. Karena itu, pertempuran itu tentu akan menjadi sangat seru. Apalagi di malam hari.

“Jika gelap malam dapat menahan pertempuran itu serba sedikit alangkah baiknya. di dalam gelap, tentu mereka menjadi sangat hati-hati agar mereka tidak mengenai kawan-kawan sendiri”

Kiai Danatirta pun kemudian berpacu lebih cepat lagi. Ia tidak mau terlambat terlampau lama. Jika Arum dengan serta merta ikut bertempur, maka persoalannya akan menjadi sangat gawat baginya.

Dalam pada itu, sebenarnyalah Arum memang berpacu menuju ke hutan perburuan. Ia tahu bahwa di hutan itu tentu sedang berlangsung pertempuran yang sengit

Ketika Buntal meninggalkan padepokannya, ia sudah menjadi bimbang, apakah ia akan mengikutinya. Tetapi ia tidak berani melakukannya, karena hal itu tentu akan menghambat perjalanan Buntal yang akan memaksanya untuk kembali. Waktu yang pendek selama Buntal harus bertegang hati memaksanya pulang ke padepokan itu, akan sangat berharga bagi pasukan yang ditinggalkan. Dan akan sangat berharga bagi setiap nyawa di dalam pasukan itu Keterlambatan Buntal akan mempunyai akibat yang sangat luas bagi pasukan Pangeran Mangkubumi itu.

Karena itu ia menyabarkan diri, menunggu hari menjadi gelap. Baru kemudian dengan diam-diam ia pergi meninggalkan halaman rumahnya.

Sebenarnya Arum pun mengetahui akibat yang gawat jika ia tidak dapat mengendalikan dirinya dan ikut bertempur begitu saja. Karena itu, yang akan dilakukannya hanyalah sekedar melihat. Mungkin dengan melihat pertempuran yang sebenarnya dari dua pasukan dalam jumlah yang cukup banyak, ia akan mendapatkan pengalaman.

Dengan demikian maka kaki kuda Arum itu pun berderap di atas jalan berbatu padas. Rambutnya yang disanggulnya tinggi, diusap oleh angin malam yang basah sehingga ujung tali-talinya menggapai-gapai di wajahnya.

Sekali-sekali Arum memandang tanah persawahan disebelah menyebelah jalan. Dilihatnya kunang-kunang yang berkeredipan dalam kelompok-kelompok yang besar.

Arum menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan udara malam yang sejuk itu akan dihisapnya sampai tuntas, sementara kaki kudanya masih tetap berderap terus.

Namun demikian, semakin dekat dengan hutan perburuan yang tidak terlampau lebat itu, Arum pun menjadi semakin berdebar-debar. Jika ia berjumpa dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, apakah ia petugas sandi atau penghubung dari mereka yang bertempur di sebelah hutan itu, maka ia tidak akan dapat mengetahui, apakah orang itu prajurit Surakarta, atau laskar Pangeran Mangkubumi.

“Prajurit-prajurit Surakarta mempunyai pakaian yang khusus. Aku akan segera dapat mengenalnya” berkata Arum di dalam hatinya. Namun kemudian, “Tetapi petugas-tugas sandi biasanya tidak mempergunakan pakaian khusus itu, agar penyamarannya tidak dengan mudah dapat dikenal”

Arum menjadi bimbang. Namun ia tidak berhenti. Ia masih berpacu terus mendekati hutan perburuan itu.

Dalam pada itu, malam yang gelap pun menjadi semakin gelap. di langit bintang nampak bergayutan dari ujung cakrawala sampai ke ujung yang lain. Dan angin yang dingin berhembus menembus dedaunan di hutan rindang.

Ternyata Arum menyadari bahwa derap kaki kudanya dapat menarik perhatian orang-orang yang sedang bertempur Itu, atau pengawas-pengawas yang bertugas di luar medan. Karena itu, ketika ia menjadi semakin dekat dengan hutan perburuan itu, maka ia pun segera menghentikan kudanya, dan meloncat turun. Ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon perdu di balik gerumbul yang agak rimbun.

Sejenak Arum termangu-mangu, di lambungnya tergantung sehelai pedang tipis dan dua batang pisau belati di lambung yang lain.

Dan hampir di luar sadarnya Arum meraba pisau belatinya sambil berkata di dalam hati, “Jika aku bertemu dengan kumpeni itu, aku dapat mempergunakan pisau ini. Pisauku dapat menyambar dadanya seperti peluru di senjata apinya.

Agaknya Arum memang percaya kepada kemampuannya melontarkan pisau. Ia sengaja mempelajarinya sebaik-baiknya sejak la mendengar bahwa kumpeni mempunyai senjata yang dapat menyerang dari jarak yang cukup jauh. Meskipun ia pun sadar bahwa jarak lontarannya tentu tidak akan dapat sejauh jarak lontaran peluru senjata kumpeni itu, tetapi dengan demikian ia masih akan mendapat kesempatan untuk melawan jika tiba-tiba saja ia menjumpainya.

Sejenak kemudian, setelah mengatur diri sebaik-baiknya maka Arum pun segera mendekati hutan perburuan itu dengan hati-hati. Ia berjalan di antara gerumbul-gerumbul perdu mendekati hutan itu dari arah yang lain dari jalan yang diikutinya dari pedukuhannya.

Ternyata, sebelum ia dapat melihat sesuatu, telinganya lah yang telah lebih dahulu mendengar hiruk pikuk pertempuran itu, ia mendengar beberapa orang berteriak-teriak tidak menentu.

Arum menjadi Heran. Dan ia pun bertanya kepada diri sendiri, “Apakah demikian cara prajurit Surakarta bertempur? Atau barangkali kumpeni-kumpeni itu?” Namun kemudian, “Tetapi juga mungkin pasukan Pangeran Mangkubumi itulah yang berteriak-teriak”

Seakan-akan ada sesuatu yang mendorongnya untuk merayap semakin dekat. Dan Arum itu bergeser dari gerumbul yang satu ke gerumbul yang lain di sisi parit yang membujur di tepi jalan sempit. Arum bersembunyi di balik pohon-pohon jarak yang rimbun bahkan kadang-kadang berjongkok di balik tanggul parit, la tidak ingin dilihat lebih dahulu oleh siapapun juga sebelum ia melihat pertempuran yang sedang berlangsung itu.

Di dalam gelapnya malam, Arum pun lamat-lamat mulai melihat bayang mereka yang bertempur. Tidak begitu jelas, namun Arum segera mengerti bahwa mereka yang bertempur masih tetap berada di punggung kudanya meskipun ada juga satu dua orang yang ternyata telah terjatuh dan bertempur di atas tanah.

Keinginan Arum untuk menyaksikan pertempuran itu pun menjadi semakin besar. Karena itu, maka ia pun merayap semakin dekat.

Akhirnya Arum benar-benar mendapat kesempatan untuk melihat pertempuran itu, meskipun tidak terlampau dekat. Pertempuran berkuda itu ternyata memerlukan tempat yang luas. Beberapa orang yang bertempur di atas tanah harus menepi agar mereka tidak terinjak oleh kaki kuda yang berlari-larian itu.

“Adalah mustahil dapat mengenal kawan sendiri sebaik-baiknya di dalam pertempuran seperti ini” berkata Arum di dalam hatinya, “Apalagi jika seseorang masih belum memahami benar-benar siapakah kawan-kawan mereka di peperangan”

Dan karena itulah maka ia dapat mengerti, kenapa Buntal telah melarangnya untuk mengikutinya. di dalam perang yang demikian, dengan mudah dapat terjadi salah paham di antara kawan sendiri jika mereka belum mengenal dengan baik.

Karena itu, Arum memerlukan waktu yang lama untuk dapat menilai pertempuran itu. Ia kemudian dapat melihat, sebagian dari mereka yang bertempur itu, masih saja selalu bergerak dalam lingkaran meskipun semakin lama semakin lambat dan putaran itu pun menjadi semakin longgar, sehingga akhirnya tidak lagi merupakan sebuah kepungan yang bergerak, karena di beberapa bagian kepungan yang semula berputar itu telah hampir pecah.

“Tentu laskar Pangeran Mangkubumi yang ada di luar” desis Arum.

Namun dengan demikian ia menjadi cemas melihat kepungan yang hampir patah dan bahkan pasukan Pangeran Mangkubumi itu terdesak semakin jauh. Bahkan mereka sudah mulai bertempur di dalam batasan pematang-pematang tanah persawahan. Dan seperti yang dicemaskan oleh para pengawas, maka batang-batang padi pun kemudian telah terinjak-injak oleh kaki-kaki kuda. Namun pertempuran di tanah lumpur itu nampaknya menjadi lamban, tetapi justru menjadi lebih berbahaya. Jika kaki kudanya terperosok, maka seseorang menjadi terpecah perhatiannya. Sebagian pada kudanya dan sebagian pada senjata lawannya.

“Ada beberapa orang kumpeni di dalam pertempuran itu” berkata Arum di dalam hati. Dan adalah di luar sadarnya, bahwa tiba-tiba saja timbul niatnya untuk melihat kumpeni-kumpeni itu atau bahkan ia berkata kepada, diri sendiri, “Jika ada di antara mereka yang memisahkan diri. aku ingin mencoba kemampuannya. Apakah benar bahwa mereka memiliki kelebihan dari prajurit Surakarta, dan karena pengembaraannya yang panjang dari tanah kelahiran mereka sampai ke tanah ini, penjelajahan yang luas, maka mereka adalah prajurit-prajurit yang tidak terkalahkan.

“Tetapi mereka ada di dalam pertempuran yang riuh” berkata Arum di dalam hatinya pula.

Demikianlah maka pertempuran itu semakin lama semakin menjadi seru. Lingkaran yang semula seakan-akan mengepung prajurit Surakarta itu menjadi semakin kendor dan bahkan hampir pecah sama sekali.

Arum pun kemudian menjadi berdebar-debar ketika ia melihat lingkaran yang sudah terputus-putus itu bagaikan awan ditiup angin. Pecah berserakan didesak oleh prajurit-prajurit Surakarta yang bertempur dengan gigihnya.

Tetapi pada saat itu, dari dalam hutan perburuan itu muncul beberapa kelompok kecil laskar berkuda. Kehadiran mereka benar-benar telah mengejutkan prajurit-prajurit Surakarta. Apalagi ketika mereka melihat pasukan yang meskipun tidak begitu banyak, tetapi masih cukup segar itu langsung menusuk ke pusat pertempuran itu.

Sejenak pertempuran itu menjadi kisruh. Namun ketika para prajurit Surakarta berhasil menguasai diri masing-masing, maka laskar yang sudah berada dipusat pertempuran itu pun mulai menyerang.

Karena itulah maka pertempuran itu pun bagaikan mekar semakin luas. Prajurit-prajurit Surakarta terdesak melebar, dan agaknya laskar Pangeran Mangkubumi yang ada di luar, sengaja membiarkan prajurit-prajurit Surakarta berserakan. Bahkan mereka pun kemudian membantu kawan-kawannya yang menyerang prajurit-prajurit Surakarta itu dari pusat pertempuran setelah mereka berhasil menyusup ke dalamnya.

Ternyata bahwa bukannya laskar Pangeran Mangkubumi lah yang sebenarnya pecah. Tetapi adalah prajurit-prajurit Surakarta yang agak kebingungan menghadapi keadaan yang tidak diduga. Apalagi ternyata bahwa jumlah laskar Pangeran Mangkubumi itu banyaknya melampaui prajurit-prajurit Surakarta yang sudah mulai kehilangan keseimbangan.

Arum bersorak di dalam hati. Ia melihat kemungkinan yang berbalik. Dengan pasukan yang baru, maka hampir dapat dipastikan bahwa pasukan Surakarta akan terpecah bercerai-berai.

Sebenarnya itulah yang diharapkan oleh pimpinan pasukan Pangeran Mangku-bumi yang sudah berjanggut putih. Ia hanya ingin memecah pasukan itu dan membubar-kannya. Pasukan yang pecah bercerai-berai adalah pertanda bahwa pasukan itu benar-benar dikalahkan.

Arum yang kegirangan itu agaknya itulah menjadi lengah. Sambil menghentak-hentakkan tangannya ia kadang-kadang lupa akan dirinya dan melonjak berdiri.

Pada saat itulah ia terkejut mendengar langkah yang kasar di belakangnya. Dengan serta-merta ia meloncat dan berbalik.

Sesaat Arum tertegun. Dilihatnya seseorang yang bertubuh tinggi besar berdiri di hadapannya.

Dalam sekejap Arum pun segera mengetahui menilik ujud dan pakaiannya, bahwa yang dihadapinya itu adalah salah seorang dari beberapa orang kumpeni yang ada di dalam pasukan Surakarta itu.

Sejenak Arum termangu-mangu. Ia merasa sesuatu bergejolak di hatinya. Seakan-akan tiba-tiba saja keinginannya terpenuhi. Namun dalam pada itu, ia pun menjadi berdebar-debar. Perkelahian di dekat pertempuran yang seru itu akan berbahaya baginya. Jika orang-orang di medan itu melihat, maka perhatian mereka akan tertarik. Mungkin satu dua orang akan datang untuk melihat apa yang terjadi.

Tetapi kumpeni itu kini sudah ada di hadapannya, dengan pedang yang teracu ia bertanya dengan bahasa yang patah-patah.

“Siapa kau? Kau juga pemberontak?”

Arum termangu-mangu sejenak.

“Siapa? Sebelum aku membunuhmu”

Arum masih saja termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku bukan dari kedua pasukan yang sedang bertempur”

Kumpeni itu terkejut. Lalu, “Kau perempuan? Suaramu suara perempuan, tetapi pakaianmu laki-laki”

“Ya. Aku perempuan”

“Kenapa kau ada di sini?”

Arum terdiam, la masih ragu-ragu untuk mulai dengan sebuah perkelahian betapapun ia ingin. Ia tidak mau memancing perhatian salah satu pihak yang sedang bertempur itu.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Arum meloncat berlari menyusur parit yang rendah, sehingga tidak begitu nampak dari kejauhan, apalagi di dalam gelapnya malam dan sekali-sekali tertutup oleh pohon-pohon jarak yang tumbuh ditanggul parit.

Kumpeni itu tidak membiarkan perempuan itu lari. Karena itu maka ia pun segera mengejarnya tanpa menghiraukan apapun juga. Sementara itu pedangnya pun teracu-acu sambi berkata lantang, “Jangan lari. Jangan lari”

Arum tidak menghiraukannya. Tetapi ia berlari terus, ia tidak takut kumpeni itu menyerangnya dengan senjata api. Jika kumpeni itu masih mempunyai kesempatan mempergunakan senjata apinya yang berlaras pendek, maka senjata itu tentu sudah teracu sejak kumpeni itu mendekatinya.

“Senjata itu sudah kehabisan peluru” berkata Arum di dalam hatinya, “Atau kumpeni itu tidak sempat mengisinya lagi di dalam peperangan yang riuh itu, sehingga senjata itu tidak berguna lagi baginya”

Meskipun demikian sekali-sekali Arum berpaling juga. Namun yang nampak di tangan kumpeni itu adalah pedangnya yang besar dan panjang.

“Berhenti, berhenti” kumpeni itu masih saja berteriak. Arum sama sekali tidak menghiraukannya. Ia berusaha mencapai tikungan. Di tikungan itu tumbuh gerumbul-gerumbul liar dan pohon-pohon jarak yang rimbun. Jika ia harus berkelahi, maka m akan berkelahi di balik gerumbul-gerumbul itu.

Ternyata kumpeni yang mengejar Arum itu menjadi heran. Meskipun yang dikejarnya itu seorang perempuan, namun perempuan itu dapat berlari cepat sekali. Dan terlebih-lebih lagi ketika dilihatnya sehelai pedang tergantung di lambungnya.

“Orang ini tentu satu di antara pemberontak-pemberontak itu” berkata kumpeni di dalam hatinya, “Tetapi kenapa ia seorang perempuan dan memisahkan diri dari pasukannya?”

Kumpeni itu kemudian mengira bahwa Arum adalah salah seorang pengawas saja dari pasukan yang telah mencegat prajurit Surakarta di pinggir hutan itu.

Seperti yang diinginkan, ternyata Arum sempat mencapai tikungan. Dengan serta-merta ia pun kemudian meloncat berbalik dengan cepatnya. Hampir di luar kemampuan tatapan mata kumpeni itu, maka Arum pun telah menggenggam pedang di tangannya.

Kumpeni itu terkejut. Ia pun kemudian berhenti termangu-mangu sejenak. Dipandanginya saja Arum yang kemudian berdiri tegak dengan pedang di tangannya.

“Kau tentu juga pemberontak” geram kumpeni itu ternyata perempuan-perempuan turut memberontak”

Arum memandang orang yang bertubuh tinggi besar itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia sudah sering melihat kumpeni. Tetapi baru kini ia berdiri berhadap-hadapan pada jarak yang pendek. Ternyata bahwa orang-orang asing itu jauh lebih tinggi dari dirinya.

“Tangannya tentu cukup panjang” berkata Arum di dalam hatinya, “Tetapi ia hanya mempergunakan tangannya, ia. tidak banyak memanfaatkan kakinya seperti yang dikatakan Juwiring”

Dan Arum pun pernah mendengar bahwa Pangeran Rana-kusuma pun pernah berhasil membunuh seorang kumpeni di dalam perang tanding.

“Meskipun aku bukan Pangeran Ranakusuma yang memiliki ilmu yang hampir sempurna, tetapi aku juga sudah mempelajari ilmu pedang dengan saksama. Dan tentu kumpeni ini pun bukan seorang perwira seperti yang pernah berperang tanding dengan Pangeran Ranakusuma, sehingga ilmunya pun tentu tidak setinggi perwira yang sudah terbunuh itu” berkata Arum di dalam hatinya.

Karena Arum masih belum menjawab, maka kumpeni itu mendesaknya lagi, “Siapa kau sebenarnya he? Pemberontak atau perampok atau apa?”

“Namaku Arum” jawab Arum.

“Kau pemberontak juga?”

“Sudah aku katakan, bahwa aku tidak berdiri di pihak manapun juga”

“Bohong. Jika demikian kenapa kau berada di dekat peperangan itu?”

“Aku sedang meronda padesan ketika aku mendengar hiruk pikuk. Ternyata pertempuran itu sedang berlangsung dengan serunya. Dan aku senang menonton prajurit-prajurit Surakarta di kejar-kejar oleh pasukan Pangeran Mangkubumi”

“Darimana kau tahu bahwa pasukan itu pasukan Pangeran Mangkubumi, bukan pasukan Raden Mas Said?” bertanya kumpeni lagi.

Arum terdiam sejenak. Ia tidak menyangka bahwa ia akan dapat pertanyaan serupa itu.

“Darimana kau tahu” desak kumpeni itu, lalu, “Jika kau bukan salah seorang dari mereka kau tentu tidak akan dapat mengetahui dengan pasti”

Arum tidak dapat mengelak lagi. Maka katanya kemudi an, “Aku bukan dari golongan mereka, tetapi aku tahu pasti”

“Persetan” kumpeni itu menggeram. Perlahan-lahan ia melangkah maju mendekat dengan pedang siap di tangan.

Tetapi Arum pun telah siap pula menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.

“Kau harus menyerah. Kau perempuan. Mungkin kau akan mendapat perlakuan yang lain dari laki-laki” berkata kumpeni itu.

“Aku tidak akan menyerah. Aku akan bertempur. Bukankah kau lari dari pertempuran itu dan secara kebetulan melihat aku?” tebak Arum

Wajah kumpeni itu menjadi merah. Katanya, “Apa pedulimu perang dengan orang-orang liar tidak ada gunanya. Sekarang, aku akan menangkapmu, dan membawamu ke Surakarta ”

“Tidak ada gunanya. Kau akan dicari dan akan dibantai bersama orang kawan-kawanmu”

Kumpeni itu terdiam sejenak. Katanya di dalam hati, “Apakah tidak lebih baik bagiku untuk lari saja menjauhi pertempuran itu dan mencapai Surakarta” dan ia mengumpat di dalam hati.

“Nah, kau sajalah yang menyerah” desis Arum.

Kumpeni itu benar-benar merasa terhina. Ia adalah seorang prajurit Kerajaan yang besar dan pernah menjelajahi benua dan samodra. Kini seorang perempuan mengacukan pedangnya sambil mengancamnya agar ia menyerah.

Bagi kumpeni itu, menghindar dari peperangan untuk mencari hidup, masih jauh lebih baik daripada diancam oleh seorang perempuan untuk menyerah. Karena itu, maka ia pun menggeram marah, “Kau gila. Aku dapat membunuhmu”

“Aku pun dapat membunuhmu” sahut Arum meskipun dadanya terasa agak berdebar-debar. Orang asing itu tentu mempunyai ilmu yang asing pula.

Ternyata bahwa jawaban Arum itu benar-benar telah membakar jantung kumpeni itu. Bagaimanapun juga ia mempunyai harga diri yang cukup. Karena itulah maka ia pun menggeram, “Kau memang tidak dapat dimaafkan. Aku mencoba untuk berbuat baik terhadapmu. Tetapi kau keras kepala. Jangan menyesal bahwa kau benar-benar akan mati”

Arum tidak menjawab, tetapi ia sudah bersiaga sepenuhnya. Bahkan ia pun kemudian maju selangkah sambil mengacukan pedangnya. Sekali-sekali digerakkannya pula untuk memancing gerakan lawannya.

Seperti yang dikatakan oleh Juwiring, bahwa kumpeni itu pun segera memiringkan tubuhnya, mengacukan pedangnya hampir sepanjang lengannya.

“Begitulah caranya bertempur dengan pedang” berkata Arum.

Sejenak Arum melihat sikap itu. Namun kemudian ia tidak dapat berdiam diri sambil mengamati lawannya, karena kumpeni itu pun segera menyerangnya

Pedangnya yang besar dan panjang itu pun segera terjulur lurus ke depan menusuk langsung kearah dada. Tetapi Arum sudah bersiap. Ia pun segera mengelak. Ia tidak menangkis serangan lawannya, tetapi ia justru menyerang dengan ayunan mendatar.

Kumpeni itu cukup lincah pula. Ia meloncat surut dan pedangnya menyambar pedang Arum.

Dengan sengaja Arum membenturkan pedangnya, sehingga terdengar kedua pedang itu beradu. Sepercik bunga api meloncat dari benturan itu.

Arum meloncat mundur. Kumpeni itu memiliki tenaga yang cukup kuat. Tetapi tenaganya benar-benar tenaga jasmaniah saja. Meskipun demikian Arum tidak dapat mengabaikan kekuatan itu. Sehingga dengan demikian, ia harus berusaha setiap kali menghindari benturan-benturan yang dapat terjadi.

Karena itulah Arum mulai dengan serangan-serangannya. ia tidak hanya mempergunakan tangannya dan geseran kaki selangkah-selangkah. Tetapi Arum mulai berloncatan berputar-putar.

Seperti kumpeni-kumpeni yang lain, mereka pernah mendapat petunjuk bagaimana orang-orang pribumi di Surakarta bertempur. Dari para prajurit, kumpeni-kumpeni itu sudah mempelajarinya serba sedikit tata gerak orang-orang Surakarta mempermainkan pedangnya, sehingga karena itu, kumpeni itu tidak terkejut melihat Arum berloncatan. Dengan sigapnya kumpeni itu bergeser setapak demi setapak. Berputar pada sebelah tumitnya dan kemudian sebuah loncatan yang panjang sambil menjulurkan pedangnya lurus-lurus.

Tetapi gadis lawannya itu bertempur selincah tupai. Bahkan kemudian kakinya bagaikan tidak lagi menyentuh tanah.

Kumpeni itu mengumpat di dalam hatinya. Pedangnya seakan-akan tidak pernah berarti sama sekali di dalam perkelahian itu. Arum hampir tidak pernah membiarkan senjatanya membentur senjata lawannya secara langsung.

“Ia akan segera kehabisan tenaga” berkata kumpeni itu di dalam hatinya. Dan ia pun membiarkannya Arum berloncatan mengelilinginya.

Tetapi semakin lama kumpeni itu menjadi semakin bingung. Ia tidak dapat sekedar menangkis dan menghindar sambil menunggu Arum kelelahan. Tetapi ia harus berbuat sesuatu untuk menghentikan usaha Arum menyerangnya seolah-olah dari segala jurusan.

Dengan demikian, kumpeni itu pun mulai mengerahkan segenap kemampuannya. Tangannya memang dapat bergerak cepat sekali. Serangan Arum yang mengarah kebagian tubuh lawannya, selalu menyentuh pedang kumpeni itu yang menangkisnya dengan cekatan.

“Pertahanan kumpeni itu benar-benar rapat” desis Arum. Namun Arum masih berharap, bahwa kumpeni itu pada suatu saat akan menjadi semakin lamban dan memberikan kesempatan kepadanya untuk menyusupkan pedangnya.

Tetapi kumpeni itu pun mengharap, bahwa cara berkelahi yang dipergunakan oleh Arum akan segera membuat gadis itu kelelahan dan perempuan itu akan segera kehabisan tenaga.

Dalam pada itu, di ujung hutan itu pun pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata bahwa laskar Pangeran Mangkubumi telah berhasil memecah pasukan Surakarta. Mereka menjadi terpisah-pisah dibelah oleh laskar Pangeran Mangkubumi yang dengan sengaja melakukan gerakan-gerakan menyilang.

Beberapa orang dari prajurit-prajurit Surakarta yang telah kehilangan kudanya, tidak mampu berbuat apa-apa lagi selain menyingkir dari pertempuran seperti yang dilakukan oleh kumpeni yang sedang bertempur dengan Arum itu. Bahkan ada di antara mereka yang berlari secepat-cepatnya menjauhi pertempuran itu untuk menyelamatkan nyawanya, karena baginya pertempuran itu seolah-olah sudah tidak memberikan tempat lagi baginya.

Kumpeni-kumpeni yang ada di pertempuran itu pun sudah terpisah yang seorang meninggalkan medan dan melihat Arum yang sedang merunduk. Kemudian terlibat dalam perkelahian melawannya. Yang lain masih berada di atas punggung kudanya dengan pedang di tangannya. Dengan gigih ia melawan orang-orang pribumi yang dianggapnya masih terlampau liar. Sedang seorang di antara mereka harus bertempur melawan seorang anak muda yang memiliki kecepatan bergerak di luar dugaan. Anak muda itu adalah Buntal. Anak muda yang membenci kumpeni sampai ke ujung ubun-ubun.

Ternyata kumpeni yang memiliki pengalaman yang luas itu, menjadi bingung pula melawan Buntal yang memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa.

Bagi kumpeni, orang-orang Surakarta agaknya tidak sebodoh yang diduganya. Orang-orang Surakarta telah mempunyai dasar-dasar yang kuat di dalam olah kanuragan, meskipun berbeda dengan ilmu yang mereka pelajari di negeri mereka. Dan kumpeni itu tidak dapat mengatakan bahwa ilmunya jauh lebih baik dari ilmu orang-orang pribumi.

Semula mereka menyangka bahwa para prajurit Surakarta memiliki kemampuan berperang dan bermain senjata karena kumpeni telah memberikan beberapa petunjuk kepada mereka. Tetapi di dalam pertempuran yang sesungguhnya, orang-orang yang tidak pernah mempelajari ilmu yang dibawanya itu pun ternyata terlampau sulit dikalahkan.

Dan kini salah seorang dari kumpeni itu merasakan, betapa beratnya melawan seorang anak muda yang bernama Buntal.

Namun sementara itu, pertempuran di padang ilalang yang tidak terlampau luas itu menjadi kisruh. Para prajurit Surakarta tidak lagi dapat bertahan lebih lama. Mereka mulai terpencar dan menyebar sampai ke tanah persawahan. Bahkan sebagian dari mereka telah menjadi tercerai berai.

Laskar Pangeran Mangkubumi dengan sekuat tenaga menekan lawannya dan berusaha segera memecah sampai lumat. Kadang-kadang mereka menggeram jika setiap kali pasukan Pangeran Mangkubumi itu harus selalu dikekang oleh pesan-pesan pemimpinnya yang berjanggut putih, bahwa jangan ada korban yang jatuh jika tidak terpaksa sekali, karena prajurit-prajurit Surakarta itu sebenarnya adalah masih keluarga sendiri pula.

“Tetapi mereka membunuh pula kawan-kawan kami” hampir setiap orang di dalam pasukan Pangeran Mangkubumi itu menggerutu di dalam hati. Sehingga dengan demikian, maka ada pula di antara mereka yang tidak dapat mengendalikan dirinya, dan ada juga prajurit-prajurit Surakarta yang menjadi korban.

Ketika seorang laskar Pangeran Mangkubumi berhasil menghentikan seorang prajurit yang melarikan diri dan terluka di bahunya, maka laskar itu pun berkata, “Kau akan lari kemana?”

Prajurit Surakarta itu tidak menjawab, ia sadar bahwa lukanya cukup parah, sehingga jika ia harus bertempur, maka ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Tetapi karena ia berada di medan perang, maka ia tidak dapat berbuat apapun juga.

“Kemana?” laskar itu membentak.

Tetapi prajurit itu masih tetap diam. Meskipun demikian, prajurit yang terluka itu masih tetap menggenggam senjata di tangannya,

“Apakah kau ingin mati?” bertanya laskar itu.

Prajurit itu memandangnya dengan tegang. Namun kemudian jawabnya, “Kematian bagi seorang prajurit di medan adalah wajar. Tetapi aku masih menggenggam padang”

Terasa sepercik api memanasi telinga laskar itu. Tetapi setiap kali pula ia tertahan oleh pesan pemimpinnya. Bahkan kemudian di hati laskar Pangeran Mangkubumi itu tumbuh semacam keinginan untuk menunjukkan harga dirinya sebagai seorang yang berada di dalam lingkungan yang disebut pemberontak.

Karena itu maka ia pun kemudian berkata sambil tertawa, “Jangan lekas berputus asa. Memang bagi seorang prajurit kematian adalah wajar. Tetapi sekarang aku ingin menunjukkan bahwa kau berada dalam keadaan yang tidak wajar, karena kau tidak akan mati. Pergilah. Dan sampaikan kepada kawan-kawanmu di Surakarta, bahwa laskar Pangeran Mangkubumi bukan pembunuh yang tidak berperi-kemanusiaan. Jika kau berbicara tentang sifat kesatria, maka aku tidak akan membunuhmu karena kau sudah terluka parah dan tidak mampu lagi melawan dengan baik. Jika kau berbicara tentang warna kulit kita yang serupa, maka kita adalah saudara di dalam keluarga besar. Musuhku yang terutama adalah kumpeni-kumpeni itu, yang sebentar lagi akan mati di medan ini. Tetapi jika kau ingin berbicara tentang keluhuran budi, demikianlah agaknya Pangeran Mangkubumi yang berpesan mewanti-wanti, bahwa kami tidak diperkenankan membunuh prajurit-prajurit Surakarta jika bukan karena terpaksa harus mempertahankan hidup sendiri” laskar Pangeran Mangkubumi itu berhenti sejenak, lalu, “sekarang pergilah. Sampaikan salamku kepada prajurit-prajurit Surakarta yang lain. Mereka bukan musuh kami dalam arti yang sebenarnya”

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Terasa sebuah sentuhan yang pedih tergores di dinding jantungnya

Namun kemudian harga dirinya pun melonjak pula. Katanya, “Jangan menjadi pengecut. Apakah kau melihat bahwa meskipun aku terluka, aku masih cukup kuat untuk membunuhmu”

Laskar Pangeran Mangkubumi itu terkejut mendengar jawaban itu. Tetapi ia pun kemudian menyadari bahwa prajurit itu tidak mau dihinakan. Maka katanya, “Jangan merajuk. Pergilah sebelum kau menyesal”

Laskar Pangeran Mangkubumi itu tidak menungguinya lebih lama lagi. Ia pun segera meninggalkan prajurit Surakarta yang terluka itu untuk segera terjun kembali ke dalam pertempuran yang riuh, tetapi yang sudah tidak lagi merupakan benturan yang dahsyat dari dua kekuatan yang seimbang, karena sebagian besar prajurit Surakarta telah benar-benar tercerai berai.

Sejenak prajurit Surakarta itu termangu-mangu. Ia tidak menyangka akan mengalami perlakuan yang demikian. Menurut pendengarannya, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said telah menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan para penjahat besar dan kecil. Orang kasar dan bodoh. Anak-anak muda yang tidak mempunyai hari depan sama sekali, sehingga dengan mudah dapat dihasut untuk melakukan kekerasan dan bahkan kejahatan sekalipun.

Tetapi yang dijumpainya ternyata memberikan kesan yang berbeda sekali.

Dalam keragu-raguan prajurit itu sempat melihat arena yang kacau. Tetapi ia pun melihat yang sebenarnya telah terjadi, prajurit Surakarta telah tercerai berai sama sekali.

Karena itu, tidak ada gunanya ia berbuat apapun juga selain meninggalkan medan dan kembali ke Surakarta. Dan prajurit itu pun kemudian melangkah pergi dengan tergesa-gesa sambil menahan sakit pada lukanya.

“Mudah-mudahan aku dapat mencapai Surakarta dengan keadaan seperti ini”

Dalam pada itu pertempuran di ujung hutan itu sudah tidak terlalu riuh. Prajurit-prajurit Surakarta sudah tidak bertahan lebih lama lagi. Dan agaknya laskar Pangeran Mangkubumi pun membiarkan mereka lari meninggalkan gelanggang. Beberapa orang saja di antara laskar Pangeran Mangkubumi itu yang mengejar mereka sambil berteriak-teriak. Meskipun demikian mereka tidak bermaksud benar-benar memburu dan kemudian membunuh. Yang mereka lakukan adalah sekedar memberikan tekanan atas kekalahan pasukan Surakarta itu.

Tetapi laskar Pangeran Mangkubumi itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada kumpeni yang ada di medan itu untuk lari. Sepeninggal prajurit-prajurit Surakarta, maka perhatian mereka benar-benar hanya tertuju kepada kumpeni yang masih ada di medan.

Pada saat laskar Pangeran Mangkubumi yang lain menyadari bahwa kumpeni itu masih ada di antara mereka, karena mereka sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk meninggalkan medan, maka kumpeni itu dengan cemas sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya.

Tetapi malang bagi yang seorang di antara mereka. Betapapun kumpeni itu cakap mempergunakan pedangnya, tetapi menghadapi lawan yang tidak menentu, ia pun akhirnya menjadi bingung. Seakan-akan ia mendapat serangan dari segala arah oleh laskar berkuda yang berputaran.

Dengan bahasa yang kasar kumpeni itu mengumpat-umpat ketika ia melihat prajurit-prajurit Surakarta meninggalkan medan. Sedang ia sendiri, bagaikan terperosok ke dalam sebuah lingkaran yang tidak tertembus.

Namun ternyata bahwa kumpeni itu benar-benar seorang prajurit. Ia pernah mengarungi samodra yang hampir tidak berbatas. Pengembaraannya selama itu telah membentuknya menjadi seorang prajurit berhati baja. Itulah sebabnya maka ia sama sekali tidak menjadi gentar meskipun maut telah membayang. Ia melihat seolah-olah di dalam gelapnya malam, sorot mata laskar Pangeran Mangkubumi bagaikan api yang memancarkan kebencian dan dendam.

Tetapi kumpeni itu tidak mau mati dibantai seperti seekor lembu. Seperti kepercayaan yang telah berakar di dalam hatinya, seorang prajurit harus mati dengan pedang di tangan.

Dan sebenarnyalah demikian yang terjadi. Akhirnya kumpeni itu tidak dapat bertahan melawan luapan kemarahan, kebencian dan dendam laskar Pangeran Mangkubumi, sehingga sejenak kemudian maka terdengar kumpeni itu mengaduh tertahan. Ia masih sempat meneriakkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh laskar Pangeran Mangkubumi. Namun kemudian ia pun mulai kehilangan keseimbangan.

Ketika sebilah ujung pedang menyambar pundaknya, maka ia pun tidak lagi dapat bertahan, berpegangan pada kendali kudanya. Sesaat kumpeni itu masih berusaha mengangkat pedangnya. Namun tangannya sudah terlampau lemah, sehingga yang dapat dilakukannya adalah menggenggam pedang itu erat-erat.

Ketika kudanya melonjak oleh kejutan sentuhan senjata seorang laskar Pangeran Mangkubumi, maka kumpeni itu sudah tidak mampu bertahan lagi, dan ia pun terlempar dari punggung kudanya jatuh ke atas bumi. Bumi yang hendak dirampasnya dari tangan putra-putranya yang setia.

Akhirnya kumpeni itu harus menebus keserakahannya dengan nyawanya.

Di tempat yang lain, Buntal masih bertempur dengan gigihnya. Beberapa orang kawannya yang melihat pertempuran itu, segera melingkarinya. Mereka seakan-akan ingin melihat, apakah Buntal mampu mengalahkan kumpeni itu. Dengan demikian, mereka membiarkan Buntal bertempur seorang melawan seorang di atas punggung kuda masing-masing.

Sebenarnyalah bahwa Buntal memang tidak ingin diganggu oleh kawan-kawannya. Ia benar-benar ingin mengukur kemampuannya dengan kumpeni itu. Kemampuan bermain pedang, dan kemampuan bermain-main dengan kuda. Meskipun kuda kumpeni itu agak lebih tegar dari kudanya, namun ternyata bahwa kuda Buntal pun cukup lincah pula.

Dalam pada itu, di tempat lain, Arum masih bertempur dengan gigihnya melawan seorang dari kumpeni-kumpeni itu. Dalam keadaan berikutnya, ternyata Arum menjadi berbesar hati. Meskipun kumpeni itu bertubuh tinggi tegap, namun kecepatan geraknya dapat dilampauinya. Arum merasa bahwa dengan ilmunya ia akan dapat menembus pertahanan lawannya yang nampaknya masih cukup rapat.

Setiap kali Arum berkata kepada diri sendiri, “Benar juga. Kaki orang asing itu seperti diberati timah”

Dan Arum dapat berloncatan semakin cepat seperti kijang di padang rerumputan.....

Tetapi ternyata bahwa Arum tidak dapat segera menembus pertahanan lawannya seperti yang diharapkan. Meskipun kumpeni itu nampaknya hanya bergeser setapak dua tapak, namun ia seakan-akan dapat menghadap ke segala arah darimanapun ia menyerang.

“Gila” desis Arum, “Ia hanya berputar-putar saja di tempatnya”

Tetapi Arum tidak menjadi bingung. Bahkan serangannya semakin lama menjadi semakin cepat dan seolah-olah telah mengurung kumpeni itu di dalam lingkaran pedang.

Meskipun demikian kumpeni itu masih tetap pada sikapnya. Sekali-sekali kumpeni itu bergeser selangkah maju, kemudian surut dan berputar pada sebelah kakinya.

Dalam pada itu, prajurit Surakarta telah tercerai berai ke segala arah di antara mereka ada pula yang berlari menyusur parit dan ketika tiba-tiba saja prajurit itu muncul di tikungan, dilihatnya di balik gerumbul dua orang yang sedang bertempur dengan sengitnya.

Akhirnya prajurit itu pun mengenal bahwa yang berkelahi itu adalah seorang kumpeni melawan orang yang tidak dikenalnya.

“Tentu salah seorang pemberontak telah mengejar kumpeni itu” berpikir prajurit itu.

Karena itu, selagi tidak ada orang lain, maka ia pun berkata di dalam hatinya, “Aku harus menyelamatkan kumpeni itu sebelum orang-orang yang liar itu mengejar kami”

Dengan demikian maka perlahan-lahan prajurit itu pun mencoba untuk merunduk dengan senjata di tangan. Baru beberapa langkah di sebelah perkelahian itu ia meloncat sambil berkata, “Tahankan tuan. Aku akan membantu tuan”

Kumpeni itu sempat berpaling. Dilihatnya seorang prajurit Surakarta telah berdiri di belakangnya.

“Bunuh saja perempuan ini” desis kumpeni itu.

“Perempuan kata tuan”

“Ya. Perempuan”

Prajurit Surakarta itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian segera maju mendekati Arum dengan pedang terjulur.

Arum menjadi berdebar-debar. la tidak segera dapat mengalahkan kumpeni yang bertempur dengan ilmunya yang lain dengan kebiasaan orang-orang Surakarta. Tetapi dengan ilmu itu kumpeni itu pun tidak dapat berbuat banyak melawan Arum yang lincah selain mempertahankan diri.

Tetapi tiba-tiba Arum kini dihadapkan kepada dua orang lawan sekaligus.

Namun bagaimanapun juga, Arum sudah sengaja datang ke medan peperangan. Itulah sebabnya maka Arum pun telah membulatkan tekadnya menghadap segala akibat.

Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk melawan kedua orang itu.

Sejenak kemudian perkelahian itu pun telah berkembang. Arum memusatkan perhatiannya kepada prajurit Surakarta yang bertempur dengan cara yang lain dari kumpeni itu. Prajurit Surakarta itu bertempur dengan memanfaatkan segenap tubuhnya seperti Arum sendiri. Ia tidak sekedar bergeser selangkah maju kemudian surut. Tetapi prajurit itu pun berloncatan dengan cepat dan cekatan.

Tetapi dengan kehadiran prajurit itu, ternyata bahwa kumpeni yang semula hanya bertahan saja mulai bergerak lebih banyak. Meskipun ia tidak dapat bertempur seperti Arum dan prajurit Surakarta itu, namun dengan caranya sendiri ia telah menyerang Arum pula.

Terasa kemudian oleh Arum, bahwa melawan dua orang yang memiliki ilmu yang berbeda itu agak sulit pula. Kumpeni yang gerakannya sebagian besar adalah gerakan yang datar, seperti sekedar maju dan mundur itu dibarengi dengan serangan-serangan yang lincah dari prajurit Surakarta, merupakan perlawanan yang sangat berat.

Namun Arum tidak menjadi berputus-asa. Ia bertempur terus dengan sekuat tenaganya.

Tetapi bahwa kemudian yang melihat perkelahian itu tidak hanya seorang prajurit saja, membuat Arum menjadi berdebat. Sejenak kemudian telah datang pula seorang prajurit yang berlari-lari. Tetapi prajurit itu pun berhenti pula setelah ia melihat seorang kawannya dan seorang kumpeni bertempur melawan seorang yang tidak dikenal.

Seperti kawannya dan kumpeni itu, prajurit yang datang kemudian itu pun menganggap bahwa orang itu tentu salah seorang dari laskar Pangeran Mangkubumi.

Karena itulah, maka ia pun segera melibatkan diri pula di dalam pertempuran itu.

Arum yang mendapat lawan lagi, akhirnya merasa bahwa ia tentu akan mendapat kesulitan. Ia merasa bahwa terlampau berat, baginya untuk mengatasi ketiga lawannya itu sekaligus.

Meskipun demikian, ia sudah dengan sengaja berada di medan. Dan akibat yang manapun juga akan diterima dengan dada tengadah.

Tetapi selagi pertempuran itu menjadi semakin berat sebelah terdengarlah derap kaki kuda mendekat Ternyata kemudian nampak seorang penunggang kuda di dalam keremangan malam. Sejenak penunggang kuda itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian dapat menilai keadaan. Seorang yang tidak dikenal sedang bertempur melawan seorang kumpeni dan dua orang prajurit.

Karena itu, maka penunggang kuda itu pun segera meloncat turun. Dengan hati-hati ia mendekati arena perkelahian itu dengan heran. Ia justru tidak mengenal orang yang sedang bertempur melawan kumpeni dan dua orang prajurit itu.

Namun demikian, karena kebenciannya kepada kumpeni telah mencengkam jantungnya, dan ia telah kehilangan buruannya di gerumbul-gerumbul perdu, maka orang itu pun segera mendekat sambil berkata kepada Arum, “Aku tidak mengenalmu, tetapi karena kau bertempur melawan kumpeni, biarlah aku membantumu”

“Lawanlah yang bukan kumpeni” berkata Arum

Orang itu terkejut. Desisnya, “Kau seorang perempuan?” Tetapi Arum tidak menjawab.

Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi, karena ketiga orang lawan perempuan itu agaknya bertempur semakin sengit

Karena itu, maka ia pun segera menerjunkan diri di dalam perkelahian itu. Ia tidak tahu siapakah perempuan yang mampu bertahan melawan tiga orang meskipun nampaknya ia sudah sangat terdesak.

Kehadiran orang itu telah memperingan tugas Arum. Tetapi agaknya orang yang baru datang itu tidak lebih baik dari seorang prajurit Surakarta, sehingga karena itu maka Arum masih harus melawan dua orang sekaligus.

Tetapi perkelahian yang demikian itu tidak berlangsung lebih lama lagi. di arena di ujung hutan, pertempuran telah hampir selesai seluruhnya. Bahkan laskar Pangeran Mangkubumi itu pun kemudian melihat lawan Buntal terlempar dari kudanya dan tidak akan dapat bangun lagi untuk selama-lamanya. Dadanya telah dikoyak oleh senjata Buntal sehingga darah telah memencar dengan derasnya.

Sesaat mereka menjadi termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun berpencaran pula sambil menggertak prajurit-prajurit Surakarta yang berlari-larian karena kehilangan kuda mereka. Namun seperti yang dipesankan oleh pemimpinnya, mereka tidak berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya.

Dalam pada itu beberapa orang laskar Pangeran Mangkubumi yang juga berpencaran itu sudah mulai berkumpul kembali di ujung hutan. Namun tiba-tiba seseorang datang berkuda dengan tergesa-gesa dan memberikan laporan kepada pemimpinnya, “Seorang perempuan sedang bertempur melawan kumpeni yang lari dari gelanggang. Beberapa orang kumpeni terbunuh di arena. Sedang yang seorang, yang melarikan diri, kini sedang berkelahi dengan seorang perempuan yang tidak kita kenal itu”

Buntal yang mendengar laporan itu terkejut bukan buatan. Ia segera menduga, bahwa perempuan itu tentu Arum. Karena itu, maka tanpa menunggu perintah, ia pun bertanya, “Dimana?”

“Di tikungan, di tepi parit itu”

Buntal segera memacu kudanya. Beberapa saat kemudian ia pun telah melihat beberapa orang kawannya sedang melingkari sebuah arena pertempuran.

Buntal pun kemudian berhenti di antara kawan-kawannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia melihat Arum bertempur melawan seorang kumpeni.

“Bagaimana mungkin hal ini terjadi?” bertanya Buntal kepada kawannya.

“Semula perempuan itu bertempur melawan tiga orang”

“He?” Buntal terkejut.

“Ketika kami datang, seorang kawan kami telah mengambil seorang lawannya, sehingga ia tinggal berkelahi melawan seorang kumpeni dan seorang prajurit. Tetapi prajurit-prajurit Surakarta itu keduanya sudah kami tangkap, sedang kumpeni itu kita usahakan agar tidak dapat meninggalkan gelanggang”

“Maksudmu, kalian membiarkan kumpeni itu bertempur seorang melawan seorang dengan perempuan itu?”

“Ya”

“Gila. Apakah kalian menyangka bahwa kalian sedang menyabung ayam?”

“Bukan kami yang menyabung mereka. Ketika seorang kawan kami datang, mereka sudah bertempur. Bahkan perempuan itu berkelahi melawan tiga orang. Dua orang prajurit dan seorang kumpeni”

“Seharusnya kalian mengambil alih lawan-lawan itu. Seluruhnya, “

“Perempuan itu tidak mau melepaskan kumpeni itu”

Buntal menggeram. Bukan saja karena ia melihat Arum berada di daerah pertempuran itu, tetapi juga karena kawan-kawannya yang melihat perkelahian itu seperti melihat sabung ayam.

Dalam pada itu, Arum sendiri tidak sempat memperhatikan, siapa saja yang ada di sekitar arena. Dendamnya kepada kumpeni telah menutup segenap pertimbangannya. Rasa-rasanya ia ingin melumatkan kumpeni itu dengan tangannya.

“Belum tentu aku akan mendapat kesempatan serupa ini setahun dua tahun lagi” berkata Arum di dalam hatinya.

Tetapi agaknya Buntal tidak dapat membiarkan hal serupa itu berlangsung lebih lama lagi. Karena itu, tanpa menunggu perintah pemimpinnya, ia meloncat turun dari kudanya dan menyerahkan kendalinya kepada kawannya.

“Pegang kudaku”

“Kau mau apa?”

Buntal tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian berjalan mendekati arena.

“Tidak seorang pun boleh mendekat” seorang kawannya yang lain menegurnya. Tetapi Buntal tidak berhenti.

Beberapa langkah dari arena Buntal berkata, “Arum, Kenapa kau lakukan hal ini?”

Arum terkejut mendengar suara Buntal. Tetapi ia tidak dapat segera menanggapinya karena ia harus menghadapi serangan kumpeni itu.

“Arum” berkata Buntal kemudian, “tinggalkan lawanmu. Biarlah aku menyelesaikan”

“Huh” tiba-tiba Arum berdesis, “Aku sudah melukainya. Sebentar lagi ia akan mati di tanganku. Jangan ikut campur”

“Arum, apakah kau tidak mau mendengarkan aku?”

“Tinggalkan aku sendiri. Bawalah prajurit-prajurit Surakarta itu. Tetapi jangan yang seorang ini”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Ia memang melihat bahwa kumpeni itu sudah menjadi semakin lemah. Di pundaknya tergores luka yang meskipun tidak begitu dalam, tetapi semakin banyak darah yang mengalir, maka kumpeni itu menjadi semakin lemah.

“Arum” Buntal masih mencoba mencegah, “daerah ini adalah daerah pertempuran”

Arum masih bertempur terus. Bahkan ia menjadi semakin garang. Ia sama sekali tidak menghiraukan beberapa pasang mata yang memperhatikannya dengan berbagai macam tanggapan.

“Arum” sekali lagi Buntal memanggil.

“Buntal” seorang kawannya yang menyaksikan perkelahian itu berkata, “Kenapa kau menjadi ribut seperti cacing tersentuh api. Kita memang sedang menyaksikan perkelahian yang aneh. Ternyata bahwa di Surakarta ada juga seorang perempuan yang mampu bertempur melawan kumpeni. Lihat, kumpeni itu hampir mati”

Buntal tidak menghiraukannya. Ia mendesak maju semakin dekat.

“Hentikan Arum” Buntal masih mencegah.

Tetapi seorang kawannya mendekatinya sambil menarik bahunya, “Biarkan saja. Aku ingin melihat kumpeni itu jatuh tersungkur. Jangan cemaskan nasib perempuan itu. Ia tentu akan menang”

“Tetapi aku tidak dapat membiarkannya menjadi tontonan seperti ini”

“Siapakah perempuan itu? Isterimu?” pertanyaan itu membuat wajah Buntal menjadi merah. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Ia adalah adikku”

“Adikmu?” bertanya beberapa orang bersama-sama.

“Ya. Dan aku berhak melarangnya”

Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian salah seorang dari mereka berdesis, “Mengagumkan. Jika demikian maka anak itu hidup dalam keluarga yang dibayangi oleh kemampuan olah kanuragan. Betapa tinggi kemampuan orang tua mereka”

“Belum tentu” sahut yang lain, “mungkin orang tua mereka hanya menyerahkan keduanya pada seorang guru”

Yang lain tidak menyahut lagi. Kini mereka memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh Buntal.

“Arum” berkata Buntal, “Apakah kau benar-benar tidak mau berhenti?”

“Nyawanya sudah ada di ujung pedangku. Jika sekali lagi aku mengibaskannya, maka nyawanya akan terlempar”

“Serahkan kepadaku”

“Tidak” Arum hampir berteriak, “Aku akan melakukannya sendiri”

“Dan menjadi tontonan seperti sabungan ayam?”

Kata-kata Buntal yang terakhir membuat Arum meloncat surut. Ia sempat memperhatikan beberapa orang yang berdiri melingkarinya.

Dalam pada itu, kumpeni yang terluka itu sudah berputus asa. Ia tidak melihat jalan keluar dari maut di sekitarnya berdiri beberapa orang laskar pemberontak yang memang sedang mencarinya.

Namun justru karena itu, maka kumpeni itu telah kehilangan akal. Ia tidak lagi dapat berpikir, selain jika ia harus mati, maka ia harus tetap menggenggam senjata di tangan. Dan apabila mungkin, maka ia harus membawa lawannya serta.

Karena itu, selagi Arum sedang termangu-mangu memperhatikan beberapa orang yang mengitarinya, maka kumpeni itu pun meloncat menyerang dengan sisa-sisa tenaga yang ada padanya.

Tetapi ternyata bahwa Arum masih tetap berwaspada. Ketika serangan yang dilontarkan dengan sisa tenaga itu terjulur ke dadanya, maka Arum pun sempat meloncat ke samping. Kemudian dengan sekuat tenaganya, Arum telah memukul pedang kumpeni itu sehingga pedang itu terlepas dari tangannya yang memang sudah menjadi semakin lemah.

Kumpeni itu terkejut. Tetapi ia sudah tidak sempat berbuat apa-apa. Ketika ia berusaha untuk mengambil senjatanya, maka Arum telah meloncat maju dan melekatkan pedangnya di dada lawannya.

“Kau harus mati” teriak Arum.

Kumpeni itu menjadi gemetar. Ia ingin dapat menggenggam senjatanya kembali meskipun ia harus mati. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ujung senjata lawannya telah menyentuh kulitnya.

Namun dalam pada itu, Buntal yang gelisah masih berdiri di tepi arena. Dengan lantang ia masih mencoba menahan pedang Arum, “Tunggu Arum. Ada sesuatu yang akan aku katakan”

“Aku akan membunuhnya” berkata Arum.

Buntal termangu-mangu. Tetapi ia merasa bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Arum tentu tidak akan menghiraukannya lagi. Apa lagi karena ujung pedangnya memang sudah melekat di dada kumpeni yang sangat dibencinya itu.

Namun beberapa saat lamanya Arum masih berdiri mematung Terasa sesuatu bergejolak di dadanya. Kebenciannya, memang telah mendorongnya untuk menghunjamkan pedangnya di tubuh lawannya. Namun demikian ada sesuatu yang rasa-rasanya telah memberatinya.

“Membunuh di peperangan bukannya suatu dosa” Ia mencoba menguatkan hatinya agar tangannya dapat digerakkannya, menusukkan pedangnya. Sekilas ia melihat lawannya yang tinggi besar dan berkulit putih itu berdiri tegak dengan tegangnya.

Namun tiba-tiba terdengar suara yang seolah-olah menjawab kata-kata di hatinya itu, “Jangan kau bunuh orang itu”

Semua orang yang mendengar suara itu berpaling. Arum pun berpaling juga sekilas. Dilihatnya seseorang yang berjanggut putih berdiri di pinggir arena di sebelah Buntal.

“Jangan kau bunuh orang itu” Orang berjanggut putih itu mengulangi.

“Itu adalah urusanku” jawab Arum, “Aku telah berperang tanding dengan kumpeni ini. Penyelesaiannya terserah kepadaku”

Orang berjanggut putih itu termangu-mangu sejenak. Yang terdengar kemudian adalah suara Buntal, “Arum. Dengarlah perintahnya”

“Tidak ada orang yang memerintah aku”

“Tetapi ia adalah pemimpin laskar Pangeran Mangkubumi di daerah pertempuran ini”

“Aku bukan anak buahnya”

“Karena ia diangkat oleh Pangeran Mangkubumi, maka perintahnya sama nilainya dengan perintah Pangeran Mangkubumi sendiri di peperangan ini”

Mendengar kata-kata Buntal itu Arum menjadi termangu-mangu sejenak. Kemudian hampir di luar sadarnya ia melangkah surut sehingga ujung pedangnya tidak lagi melekat di tubuh orang yang tinggi besar dan berkulit putih itu.

“Dengarlah” berkata orang berjanggut putih.

“Namanya Arum” potong Buntal.

“Dengarlah Arum” pemimpin itu melanjutkan, “Aku tidak akan mencampuri persoalanmu. Kau memang sudah melakukan perang tanding di luar lingkungan pasukanku. Jika kau berkeras untuk memenuhi keinginan perasaanmu saja, aku tidak dapat mencegahmu” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sifat seorang kesatria di Surakarta harus kau ketahui. Apabila lawan telah menguncupkan tangannya dan tidak mampu lagi berbuat apapun juga, maka seorang yang bersifat kesatria tidak akan membunuhnya”

“Ambil pedangmu” tiba-tiba Arum berteriak kepada kumpeni yang sudah kehabisan tenaga itu.

“Tidak ada gunanya” sahut pemimpin laskar Pangeran Mangkubumi itu, “kumpeni itu sudah terlampau lemah. Ia tidak akan dapat melawan lagi”

“Jadi bagaimana? ia tetap melawan. Ia tidak mau menyerah. Karena itu aku berhak membunuhnya”

“Ya. Tetapi seperti yang aku katakan, ia sudah tidak berdaya lagi” pemimpin itu berhenti sejenak. Dipandanginya Arum yang berdiri termangu-mangu.

“Arum” Orang itu melanjutkan, “aku ingin mengusulkan kepadamu agar kau bersikap seperti seorang kesatria. Aku kagum bahwa kau benar-benar seorang perempuan yang luar biasa. Tetapi aku juga kagum bahwa kau sebenarnya adalah seorang yang bersifat kesatria. Ternyata kau tidak langsung menusuk jantung orang itu. Kau menjadi ragu-ragu ketika ujung pedangmu sudah melekat di dadanya. Sifat itulah yang harus kau kembangkan di dalam diri sebagai kesatria di Surakarta. Dan kami akan berbangga karenanya”

“Jadi apa yang harus aku lakukan”

“Biarkan orang itu pergi meninggalkan gelanggang”

“Apakah kumpeni itu akan dibiarkan hidup?”

“Ya”

Arum memandang pemimpin laskar Pangeran Mangkubumi itu dengan heran. Bahkan sebenarnya bukan saja Arum, tetapi setiap orang yang mendengar keputusan itu menjadi heran. Jika kumpeni itu berada di arena pertempuran di ujung hutan itu, meskipun ia berada dalam keadaan yang sama, apakah ia akan dapat diselamatkan?

Tetapi kemudian masih terdengar pemimpin itu berkata, “Nah, apa katamu Arum”

“Tetapi ia adalah kumpeni” jawab Arum, “Ia datang dari suatu kerajaan yang jauh dan ingin menguasai kerajaan Surakarta. Apakah kita akan membiarkannya hidup?”

“Dalam keadaan seperti itu aku ingin membiarkannya hidup. Aku pun yakin, jika disini ada Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran itu pun akan membiarkannya hidup”

Arum termangu-mangu sejenak. Kemudian dipandanginya Buntal seakan-akan ia ingin mendapat pertimbangan daripadanya.

Tetapi Buntal pun menjadi bingung menanggapi keputusan itu. Jika ia mencegah Arum, maka ia hanya ingin menyingkirkan Arum dari arena, yang seakan-akan seperti ayam sabungan yang dikerumuni oleh penontonnya di gelanggang sabungan.

“Nah. jika kau sependapat, sarungkan pedangmu, Kita akan membiarkan kumpeni itu pergi”

Arum menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi karena orang itu telah menyebut sikap Pangeran Mangkubumi jika ia berada di tempat itu, maka Arum pun menjadi bimbang. Apalagi agaknya Buntal sama sekali tidak dapat membantunya memberikan pendapatnya.

Dengan hati yang berat Arum pun kemudian melangkah surut. Perlahan-lahan ia pun menyarungkan pedangnya sambil berkata, “Jika memang demikian yang dikehendaki oleh Pangeran Mangkubumi, maka aku pun akan mentaatinya”

Pemimpin yang berjanggut putih itu menarik nafas dalam-dalam. Kekaguman di hatinya kian bertambah. Ternyata gadis itu memiliki rasa pengabdian pula kepada Pangeran Mangkubumi meskipun gadis itu tidak mempunyai hubungan apapun pada bentuk lahiriahnya.

“Terima kasih Arum” berkata orang berjanggut putih itu kemudian, “ternyata bahwa sikapmu yang terakhir itu menunjukkan bahwa meskipun kau berbuat atas namamu sendiri, tetapi kau merasa dirimu satu dengan perjuangan Pangeran Mangkubumi. Dan sekarang kau telah melepaskan lawanmu yang tidak berdaya itu” pemimpin itu terdiam sejenak, lalu katanya kepada kumpeni itu, “Pergilah”

Kumpeni itu masih berdiri mematung. Tubuhnya terasa menjadi semakin lemah.

“Pergilah” sekali lagi pemimpin laskar Pangeran Mangkubumi itu berkata, “Kau kami bebaskan. Kawan-kawanmu telah mati terbunuh di peperangan”

Kumpeni itu memandang pemimpin berjanggut putih itu dengan heran.

“Jangan bingung. Pergilah” Kumpeni itu masih berdiri di tempatnya.

“Pergilah” pemimpin berjanggut putih itu kemudian membentaknya, “selamatkan dirimu. Jika kau dapat mencapai perbatasan malam ini, maka kau akan selamat dan hidup. Tetapi bahwa kami telah menunjukkan sikap kesatria, kau sudah mengetahuinya”

“Gila” tiba-tiba kumpeni itu mengumpat, “Kalian akan menyesal karena kalian tidak membunuhku sekarang. Besok atau lusa, akulah yang akan membunuhmu”

Tetapi pemimpin laskar Pangeran Mangkubumi itu tertawa. Katanya, “Ternyata kau juga seorang prajurit jantan, Aku memang sudah mendengar bahwa meskipun kau datang dari kerajaan kerdil di benuamu, tetapi kalian adalah prajurit-prajurit pilihan. Sayang bahwa di samping kejantanan kalian secara pribadi, sikap kumpeni adalah sangat licik. Mengadu domba, menghasut dan kadang-kadang menipu”

“Itu adalah akibat kebodohanmu sendiri” kumpeni itu masih menjawab, “dan bangsa yang bodoh seperti kalian memang tidak lebih baik dari domba aduan”

“Aku juga kagum kepadamu” berkata orang berjanggut putih, “Tidak sia-sia kau datang dari benua yang jauh, dari arah matahari terbenam. Tetapi sebaiknya kau pergi. Sampaikan salamku kepada kawan-kawanmu jika kau dapat bertahan sampai ke kota”

Kumpeni itu menggeram. Namun pemimpin pasukan Pangeran Mangkubumi itu tidak menghiraukannya lagi. Katanya kepada anak buahnya, “Kita tinggalkan kumpeni ini. Buang senjatanya agar ia tidak mengganggu penduduk di sepanjang perjalanannya kembali ke kota”

Meskipun anak buahnya menjadi ragu-ragu sejenak, namun akhirnya mereka pun mulai bergerak meninggalkan tempat itu.

Tetapi Buntal mendekati pemimpinnya sambil berdesis, “Aku minta ijin untuk mengantarkan adikku kembali ke padepokan. Sebelum fajar aku sudah berada di antara kawan-kawan semuanya”

Pemimpinnya mengerutkan keningnya. Katanya, “Ia adalah seorang perempuan yang mengagumkan. Apakah ia tidak berani pulang sendiri?”

“Bukan tidak berani pulang sendiri” jawab Buntal, lalu suaranya menjadi semakin perlahan, “Tetapi ia akan berkeliaran dan barangkali mencari kumpeni yang kita lepaskan itu”

Orang berjanggut putih itu tersenyum. Katanya, “Adikmu memang luar biasa. Baiklah. Antarkan ia pulang dan serahkan kepada orang tuamu. Kemudian kau segera menyusul kami. Kami akan melaporkan hasil tugas kami, bersama dengan kelompok-kelompok di tempat-tempat lain”

Buntal menarik nafas. Ternyata pemimpinnya dapat mengerti dan memberikan ijin kepadanya untuk mengurus Arum lebih dahulu sebelum ia kembali kepada kawan-kawannya.

Namun pemimpinnya itu masih bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kau membawa satu dua orang kawan? Dalam keadaan seperti ini kau memerlukan kawan. Mungkin kau bertemu dengan peronda kumpeni di perjalanan, atau prajurit-prajurit Surakarta. Mungkin juga kau bertemu dengan laskar Raden Mas Said yang tidak saling mengenal dan yang mungkin dapat terjadi salah paham”

Buntal merenung sejenak. Tetapi ia tidak dapat menolak. Memang hal yang serupa itu dapat terjadi.

“Baiklah” berkata Buntal kemudian, “Aku akan membawa seorang kawan”

Pemimpin berjanggut putih itu pun kemudian memanggil dua orang kawan Buntal dan berkata, “Bawalah keduanya bersamamu”

“Kemana?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ikutlah Buntal”

Keduanya tidak menjawab lagi. Ketika pemimpinnya kemudian meninggalkan tempat itu, maka keduanya pun tinggal bersama Buntal.

Arum masih berdiri termangu-mangu. Ia sempat melihat kumpeni yang sudah tidak bersenjata lagi itu tertatih-tatih meninggalkan arena sambil mengumpat dengan bahasa yang tidak dimengerti. Namun menilik nada dan tekanan kata-katanya, kumpeni itu merasa sangat terhina dan marah tidak habis-habisnya. Namun demikian, ia pun meninggalkan arena itu dan hilang di dalam gelap.

Arum mengerutkan keningnya ketika ia melihat laskar Pangeran Mangkubumi itu kemudian meninggalkan arena. Tetapi agaknya Buntal akan tetap tinggal mengawaninya.

Tetapi ternyata bersama Buntal masih ada dua orang yang lain yang tidak segera pergi sehingga tiba-tiba saja Arum mendekat mereka sambil bertanya, “Kalian tidak pergi bersama kawan kalian?”

“Arum” sahut Buntal, “Aku akan mengantarkan kau kembali ke padepokan”

“Kenapa kau akan mengantar aku? Apa kau sangka aku tidak berani pergi sendiri?”

“Bukan begitu, tetapi dalam keadaan serupa ini, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di sepanjang jalan. Kau tentu masih ingat orang-orang yang membawa kalung merjan itu. Mereka pun prajurit-prajurit sandi yang berkeliaran. Ada banyak sekali prajurit-prajurit sandi seperti itu. Dan bahkan mungkin kita akan bertemu dengan laskar Raden Mas Said. Jika kita saling mempercayai tidak akan timbul sesuatu. Tetapi jika timbul salah paham, dan kita saling berprasangka, maka akan dapat timbul persoalan. Kita masing-masing tidak akan dapat membedakan, yang manakah laskar Pangeran Mangkubumi, yang manakah laskar Raden Mas Said, dan yang manakah prajurit-prajurit Surakarta dalam tugas sandi”

Arum mengerutkan keningnya. Namun katanya sambil memandang kedua kawan Buntal, “Kenapa mereka tinggal juga bersamamu?”

“Seperti yang aku katakan. Kita tidak dapat berjalan seorang diri dalam keadaan ini”

“Kau takut?”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Bukan takut Arum. Ada bedanya antara ketakutan dan berhati-hati”

Arum memandang kedua kawan Buntal berganti-ganti. Nampak kekecewaan membersit di hatinya. Dalam tanggapan perasaan Buntal yang telah terisi oleh sikap tertentu terhadap Arum, seakan-akan Arum menjadi kecewa bahwa ada orang lain yang akan pergi bersama mereka berdua.

Tetapi Buntal yang menyadari keadaan, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam arus perasaannya saja. Karena itu. maka katanya kemudian, “Marilah Arum. Apakah kau hanya berjalan kaki saja?”

“Aku membawa kuda. Aku sembunyikan kudaku di balik semak-semak itu”

“Marilah. Secepatnya aku harus kembali ke pasukanku”

“Kenapa tidak sekarang saja?”

Buntal yang mengetahui sifat Arum hanya dapat menarik nafas. Sedang kedua kawannya mempunyai tanggapan yang, aneh terhadap adik Buntal itu. Tetapi bagi mereka sifat gadis itu memang sangat menarik. Keduanya tidak pernah menjumpai gadis yang mempunyai sifat dan sikap seperti Arum. Dan apalagi mampu bertempur melawan tiga orang sekaligus meskipun ia terdesak dan bahkan membahayakan jiwanya seandainya tidak ada orang lain yang melihatnya.

Dalam pada itu, maka Buntal pun berkata pula, “Marilah Arum. Dimana kudamu. Jangan mempersulit keadaanku”

Buntal tidak menyahut. Sambil menuntun kudanya yang telah diserahkan kepadanya ia berjalan mendekat sambil berkata, “Nah, kami akan mengambil kudamu lebih dahulu. Kemudian aku akan mengantarkan kau sampai ke padepokan”

Arum tidak menyahut. Ia pun kemudian melangkah meninggalkan tempatnya. di belakangnya Buntal dan kedua kawannya berjalan menuntun kuda masing-masing.

Kedua kawan Buntal yang sempat melihat pakaian Arum di dalam keremangan malam, melihat kelengkapan yang dibawa oleh gadis itu. Selain pedang, ternyata diikat pinggangnya terselip pisau-pisau belati.

Dengan demikian, kedua kawan Buntal itu dapat menduga, bahwa gadis itu benar-benar seorang gadis yang siap bertempur menghadapi segala kemungkinan. Tetapi sayang, bahwa ia melakukannya sendiri, tanpa ikatan dengan pasukan yang telah ada sehingga memang mungkin sekali dapat timbul salah paham.

Tetapi keduanya tidak berkata apapun juga. Dalam waktu yang singkat keduanya dapat menangkap serba sedikit sikap dan sifat gadis itu.

Demikianlah maka mereka pun kemudian menyusup ke balik gerumbul untuk mengambil kuda Arum, yang ditinggalkannya ketika ia merayap mendekati hutan.

Tetapi Arum terkejut bukan buatan ketika ia tidak melihat lagi kudanya di tempat ia menambatkannya.

“Di sini aku menambatkan kudaku” Arum hampir berteriak.

“Apakah kuda itu lari dan terlepas?”

“Tentu tidak” jawab Arum, “Jika kuda itu melepaskan diri dengan paksa, maka tentu akan nampak bekas-bekasnya. Ranting-ranting itu akan berpatahan, atau daun-daunan akan rontok oleh sentuhan kendali yang aku tambatkan dengan cukup kuat”

“Jadi menurut dugaanmu, kudamu diambil orang”

“Ya” dan tiba-tiba saja Arum menggeram, “Tentu kumpeni itu. Ia menyusup gerumbul-gerumbul liar dan menemukan kuda itu. Gila. Kenapa aku tidak membunuhnya?

“Ia tidak berjalan kearah ini. Ia menuju kearah kota. Tentu kumpeni itu tidak akan sampai ke tempat ini”

“Siapa tahu ia mencari jalan melingkar karena ia masih tetap curiga. Atau barangkali ia memang tersesat, dan tanpa sengaja menemukan kudaku”

Buntal mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Pakailah kudaku”

“Tidak mau”

“Kenapa?”

“Aku tidak mau berkuda berdua”

“Bukan begitu. Maksudku, kau pakai kudaku. Aku akan berdua dengan salah seorang kawanku”

Arum mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Kemudian ia pun mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah”

Kedua kawan Buntal tidak dapat menahan senyumnya. Gadis ini agak manja juga. Tetapi ternyata ia tidak sekedar bermanja-manja. Justru gadis itu memiliki kemampuan yang melampaui kebanyakan gadis-gadis sebayanya. Bahkan tidak banyak anak muda yang mampu berbuat seperti gadis itu.

Namun dalam pada itu, selagi Buntal akan menyerahkan kudanya kepada Arum, terdengar gemerisik dedaunan di belakang mereka, sehingga dengan gerak naluriah, maka mereka yang ada di tempat itu pun segera mempersiapkan diri.

Serentak mereka bersikap, menghadap kearah dedaunan yang mulai menyibak, dan sebuah bayangan nampak tersembul dari balik gerumbul-gerumbul yang rimbun itu. Semakin lama semakin jelas bagi mereka yang berdiri dengan tegang menantikannya.

Dan hampir di luar sadar pula, tangan-tangan mereka pun telah melekat di hulu senjata masing-masing.

Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara tertawa perlahan-lahan. Dan disela-sela suara tertawa itu terdengar orang yang baru saja tersembul dari gerumbul itu berkata, “Apakah kau mencari seekor kuda yang tertambat di sini”

“Ayah” Arum hampir berteriak, “Tentu ayah yang sedang mempermainkan aku”

Ternyata orang yang baru datang itu adalah Kiai Dana-tirta. Buntal pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Ayah mengejutkan kami”

Kiai Danatirta masih tertawa. Katanya, “Ya. Akulah yang menyembunyikan kudamu”

“Ayah selalu mengganggu aku” desis Arum.

“Tidak. Tetapi aku benar-benar menyembunyikan kuda itu. Prajurit Surakarta yang berlari bercerai-berai itu ternyata ada yang sampai ke tempat ini pula. Jika aku tidak menyembunyikan kudamu, maka kudamu itu tentu sudah hilang pula”

Arum termangu-mangu sejenak. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi kenapa ayah tiba-tiba saja sudah ada di sini?”

“Kenapa kau berada di sini pula?” Justru ayahnya ganti bertanya.

Arum tidak menyahut, tetapi kepalanya sajalah yang tertunduk dalam-dalam. Tanpa disadarinya tangannya telah mempermainkan hulu kedua pisau belati yang tidak dipergunakannya.

“Arum telah melakukan sesuatu yang sangat berbahaya ayah” berkata Buntal.

“Tumbak cucukan” desis Arum, “Kenapa kau melaporkannya kepada ayah seperti kanak-kanak saja, “

Buntal justru tertawa. Katanya, “Jadi maksudmu agar ayah tidak mengetahui bahwa kau telah melakukan itu? Baiklah. Aku tidak akan mengatakan kepada ayah bahwa kau telah mencegat kumpeni itu dan kemudian bertempur melawan dua bahkan tiga orang sekaligus”

“Tidak” Arum hampir berteriak, “kumpeni itulah yang merunduk aku dan kemudian menyerang. Dan aku tidak berkelahi melawan tiga orang. Kawan kakang Buntal lah yang kemudian berkelahi itu”

“Jadi kau tidak?” bertanya Buntal.

“Tidak”

“Apakah aku dapat bertanya kedua kawanku ini”

“Tentu mereka akan memihakmu”

Sebelum Buntal menjawab, ayahnyalah yang mendahuluinya, “Aku melihat semuanya. Aku melihat Arum melonjak-lonjak kegirangan melihat prajurit Surakarta terdesak yang karena itu ia menjadi lengah sehingga kumpeni itu melihatnya Kemudian aku pun melihat kumpeni itu bertempur tanpa senjata api berlaras pendek. Kemudian datang seorang dan seorang lagi. Berturut-turut aku menungguinya”

“O” Buntal mengangguk-angguk sedang Arum menundukkan kepalanya.

Dalam pada itu kedua kawan Buntal benar-benar menjadi heran. Ia yakin bahwa ayah gadis itu tentu bukan orang kebanyakan, menilik sikap dan tingkah lakunya. Namun ia membiarkan anak gadisnya bertempur melawan tiga orang, justru demikian berbahaya bagi jiwanya

“Tetap agaknya ia yakin tentang anak gadisnya” berkata yang seorang di dalam hatinya, sedang yang lain berkata kepada diri sendiri, “Tentu ayahnya sudah siap menyelamatkannya apabila keadaan menjadi semakin gawat”

Dalam pada itu, Kiai Danatirta pun kemudian berkata, “Arum, marilah kita pulang. Biarlah Buntal dan kedua kawannya kembali ke induk pasukannya. Mereka masih harus melaporkan hasil dari tugas mereka”

“Tetapi dimana kudaku itu ayah?”

“Jangan takut. Kudamu selamat. Prajurit-prajurit Surakarta yang tercerai berai itu tidak menjumpai kudamu”

Arum mengangguk kecil.

“Nah Buntal, sekarang kembali sajalah kepada induk pasukanmu. Biarlah aku yang membawa Arum kembali”

“Baiklah ayah” jawab Buntal datar. Tetapi sepercik kekecewaan telah menyentuh hatinya. Ada semacam keinginan untuk pergi bersama Arum, meskipun dengan dua orang kawannya. Apalagi apabila ada kesempatan baginya untuk pergi berdua saja. Bagaimanapun juga sebagai seorang anak muda Buntal masih dibayangi oleh perkembangan jiwa mudanya.

Namun demikian Buntal sadar sepenuhnya, bahwa ia berada dalam suasana yang khusus. Suasana yang diliputi oleh perjuangan untuk menegakkan hak dan harga diri. Bukan secara pribadi, tetapi hak dan harga diri bangsanya yang diancam oleh kekuasaan orang-orang asing.

Karena itu, maka ia harus menekan perasaan sendiri. Perasaannya sebagai seorang yang meningkat dewasa terhadap seorang gadis yang memiliki kekhususan baginya. Bukan karena Arum seorang gadis yang mampu bermain pedang, tetapi sentuhan-sentuhan halus yang terasa membelah hatinya.

Dalam pada itu, maka Buntal bersama kedua orang kawannya pun segera minta diri untuk kembali ke induk pasukannya. Namun terasa hati Buntal tergetar ketika ia melihat sorot mata Arum yang asing. Meskipun di dalam keremangan malam, seakan-akan ia melihat sorot mata yang sekejap menyala, namun kemudian wajah itu berpaling.

Tetapi tiba-tiba saja terbayang sebuah wajah yang lain. Wajah seorang putera bangsawan yang tampan dan berwibawa Juwiring. Raden Juwiring, putera Pangeran Ranakusuma.

“Persetan” Ia menggeram di dalam hati, “ia telah mengkhianati tanah kelahirannya. Ia telah mengkhianati gurunya dan ia telah berkhianat pula kepada dirinya sendiri, kepada cita-cita dan pendiriannya. Pada suatu saat aku akan menghadapinya di medan perang. Meskipun ia memiliki ilmu rangkap, dari perguruan Jati Aking dan dari ayahandanya sendiri, aku pun mempunyai ilmu rangkap pula. Selain ilmu dari Jati Aking, aku pun telah mempelajari ilmu khusus dari Kiai Sarpasrana yang tidak kalah dahsyatnya dari Pangeran Rana Kusuma”

Demikianlah maka Buntal pun kemudian berpisah dengan Arum yang dibawa serta oleh ayahnya, dan kembali ke induk pasukannya bersama dengan kedua orang kawannya.

“Adikmu lucu sekali” tiba-tiba salah seorang kawannya berdesis.

“Kenapa?” bertanya Buntal.

“la seorang gadis yang perkasa, tetapi sekaligus manja. Ia dapat menjadi seorang kawan yang bagus sekali di dalam kesulitan, tetapi juga seorang kawan yang manis di dalam kehidupan yang sewajarnya. Namun demikian, jika ia marah ia dapat menjadi berbahaya. Jika kelak suaminya bukan seorang yang mampu mengatasinya Setidak-tidaknya dari satu segi, jika bukan dalam olah kanuragan, mungkin dari segi kejiwaan maka ia adalah seorang isteri yang sulit dikendalikan”

“Demikianlah” desis Buntal.

Dan tiba-tiba saja kawannya yang lain berkata sambil tertawa, “Sebenarnya aku ingin melamarnya Buntal. Tetapi aku menjadi cemas jika tiba-tiba ia menarik pedangnya dalam perselisihan yang dapat saja terjadi di dalam lingkungan rumah tangga. Mungkin ia kecewa oleh kayu bakar yang basah di dapur, maka ia menjadi marah kepadaku dan menantang untuk berperang tanding. Atau barangkali aku terlambat bangun dan jambangan belum terisi ketika ia ingin mandi, maka aku dapat didorongnya dengan ujung pedang ke bibir sumur”

Kawannya yang lain tertawa. Buntal sendiri tersenyum betapa masamnya. Hal yang serupa itu memang sudah terbayang diangan-angannya. Tetapi justru karena ia benar-benar mempertimbangkan hal itu, maka ia tidak mau mengatakannya kepada siapapun juga”

“Tetapi kemanapun kita pergi di malam hari, rumah kita tidak akan dimasuki pencuri” desis kawannya yang lain.

“Benar. Tetapi ada keberatan lain. Jika kita pulang terlampau malam, maka kita harus berhadapan dalam perang tanding”

Mereka itu pun tertawa. Buntal pun tertawa pula.

“Sudahlah” berkata Buntal kemudian, “Jangan mempercakap-kan anak nakal yang manja itu. Aku mempunyai permintaan kepada kalian, agar kalian tidak menyebar luaskan ceritera tentang gadis yang suka menuruti kehendaknya sendiri. Hal itu akan dapat membahayakan padepokanku jika kelak terdengar oleh petugas-tugas sandi”

“Tetapi kumpeni itu tentu mendengar nama adikmu disebut”

“Ia tidak akan dapat mengucapkan nama itu dengan baik, atau barangkali ia sudah lupa sama sekali. Seandainya ia ingat, ia pun tidak akan dapat menunjukkannya”

Demikianlah maka mereka bertiga itu pun kemudian berpacu menyusul kawan-kawan mereka ke induk pasukan. Mereka sudah tahu benar, kemana mereka harus pergi setelah tugas itu selesai.

Dalam pada itu, Arum pun sudah berpacu pula bersama ayahnya kembali ke padepokannya. di sepanjang jalan, mereka hampir tidak berbicara sama sekali, sampai pada saatnya Arum bertanya, “Kenapa ayah berada di daerah pertempuran?”

“Karena kau ada di sana pula Arum. Aku melihat kau berangkat. Kau sama sekali tidak berpaling ketika aku memanggilmu. Karena itu, maka aku pun segera menyusulmu”

“Jika ayah melihat aku bertempur melawan tiga orang, dan bahkan aku sudah menjadi sangat terdesak, kenapa ayah diam saja?” gadis itu seakan-akan menuntut.

Kiai Danatirta justru tersenyum. Katanya, “Aku memang ingin melihat kau mengerahkan segenap kemampuanmu sampai tuntas. Aku kecewa bahwa ada orang lain yang ikut campur di dalam perkelahian itu”

“Apakah ayah menunggu dadaku sobek?”

Kiai Danatirta justru tertawa karenanya. Katanya, “Jika kau benar-benar sudah sampai pada puncak kesulitan, tentu kau berusaha dengan segenap kemampuanmu untuk mencari jalan keluar. Jika kau merasa tidak mampu lagi melawan ketiga orang itu bersama-sama, maka aku menunggu kau mempergunakan senjatamu yang masih tetap berada di sarungnya”

“O” tanpa disadarinya Arum meraba pisau belatinya yang masih tetap terselip di pinggangnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Jika aku ingat, maka dua orang prajurit Surakarta itu tentu sudah tembus oleh pisau-pisau ini”

“Untunglah bahwa kau terlupa karenanya, sehingga kau tidak perlu membunuh sesamamu”

“Tetapi bukankah di peperangan membunuh bukannya pantangan ayah? Jika seseorang tidak mau membunuh di peperangan, maka mungkin darinya sendirilah yang akan terbunuh”

“Benar. Tetapi peperangan bukan tempat orang yang sekedar ingin melepaskan dendam hatinya dan membunuh sebanyak-banyaknya. Justru di dalam peperangan kita diuji, apakah kita akan tenggelam dalam ketidak sadaran atas diri sendiri, atau kita tetap berada di dalam kepribadian yang utuh. Jika peperangan dapat dimenangkan tanpa menitikkan darah setetes pun itu tentu jauh lebih baik dari suatu kebanggaan, bahwa di peperangan kita sudah membunuh beratus-ratus orang”

Arum mengerutkan keningnya. Terngiang kembali kata-kata orang berjanggut putih, yang disebut pemimpin oleh laskar Pangeran Mangkubumi termasuk Buntal. Jika lawan telah menguncupkan tangannya, maka tidak sepantasnya kita membunuhnya, meskipun kita masih harus tetap berwaspada.

Arum yang sedang merenungi kata-kata itu, untuk beberapa saat lamanya tidak berbicara. Kiai Danatirta pun masih berdiam diri sambil memandang jauh ke depan. Ke dalam kegelapan malam yang menjadi semakin dalam.

Semakin lama mereka pun menjadi semakin dekat dengan padepokan Jati Aking. Yang baru saja terjadi, bagi Arum merupakan suatu pengalaman baru yang mungkin tidak akan terulang kembali. Kesempatan untuk bertempur seorang lawan seorang dengan kumpeni merupakan pengalaman yang sangat berharga baginya. Sebagai seorang anak Surakarta, maka Arum menjadi semakin percaya kepada diri sendiri, bahwa orang asing itu bukan orang-orang yang mempunyai martabat yang lebih tinggi daripadanya. Ternyata bahwa seorang laki-laki asing yang bertubuh tinggi tegap dan kekar, tidak mampu mengalahkannya di dalam perang tanding.

“Apakah sebenarnya kelebihan mereka?” bertanya Arum kepada diri sendiri. Dan akhirnya Arum mempunyai kesimpulan bahwa kelebihan mereka adalah kecakapan mereka memper-gunakan dan memanfaatkan sifat-sifat sebagian anak-anak Surakarta sendiri. Tamak dan dungu. Benar-benar seperti seekor domba yang dengan mudahnya diadu yang satu dengan yang lain.

Tetapi Arum, seorang gadis dari padepokan kecil di daerah Jati Sari, tidak akan dapat berbuat apapun juga, selain memandang akibat dari pertentangan yang ditimbulkan di dalam diri sendiri. Gemerlapnya istana para Pangeran memancing kebencian yang diharapkan oleh orang-orang asing itu. Dan mereka pun berusaha memperluas jarak antara para bangsawan yang kaya raya dan rakyat Surakarta kebanyakan.....

Namun pada suatu saat telah meledak perasaan kebencian rakyat Surakarta kepada kumpeni itu jauh di luar dugaan.

Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi ternyata mampu menggoncangkan kedudukan orang-orang asing itu di Surakarta

Yang terjadi di ujung hutan itu adalah salah satu kenyataan dari perjuangan Pangeran Mangkubumi.

Pada malam itu juga para pemimpin kelompok yang mendapat tugas yang bersamaan di tempat-tempat yang berbeda telah memberikan laporan masing-masing. Ternyata bahwa tidak semua kelompok yang dikirim oleh Pangeran Mangkubumi dapat berhasil sebaik-baiknya. Ada di antara sekian banyak kelompok-kelompok itu yang hampir gagal sama sekali. Justru karena pesan dari para pemimpinnya, agar mereka tidak menjatuhkan korban sejauh dapat dihindari.

“Ternyata beberapa orang kita sendiri menjadi korban” berkata seorang pemimpin kelompok yang terpaksa mundur sebelum berhasil memecah pasukan Surakarta yang dicegatnya.

Namun dalam pada itu, ternyata yang telah terjadi merupakan goncangan yang telah menggetarkan Surakarta. Beberapa kelompok prajurit Surakarta yang mendapat tugas untuk merampas segala jenis senjata telah mendapat serangan serentak. Meskipun tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi prajurit-prajurit Surakarta itu dapat menebak, bahwa yang bergerak adalah pasukan Pangeran Mangkubumi

Para pemimpin Surakarta dan kumpeni, sebenarnyalah dengan sengaja memancing ledakan itu. Tetapi mereka tidak menduga sama sekali, bahwa Pangeran Mangkubumi telah benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan yang tiba-tiba. Jika kumpeni menghendaki agar Pangeran Mangkubumi menjadi marah karena para prajurit Surakarta dan kumpeni dengar sengaja melakukan perampasan senjata atas rakyat Surakarta, ternyata mereka telah dikejutkan oleh tindakan yang serta-merta dari Pangeran Mangkubumi. Tetapi dalam tindakan yang serta-merta itu pasukan Pangeran Mangkubumi bukan sekedar merupakan laskar dari segerombolan orang liar yang dengan kasar dan buas menyerang para prajurit Surakarta dan kumpeni yang menyertainya.

Dan agaknya tindakan serta-merta tetapi yang sudah dipersiapkan dengan masak itu benar-benar telah mengejutkan paru pemimpin prajurit Surakarta dan kumpeni. Mereka tidak lagi mengharap Pangeran Mangkubumi menjadi marah dan kemudian mempersiapkan orang-orangnya untuk melakukan serangan-serangan kecil. Tetapi yang terjadi adalah sebenarnya sebuah peperangan besar yang merata di sekitar Surakarta.

Dalam pada itu, selagi para pemimpin Surakarta mengadakan pembicaraan di antara mereka sebelum mereka dengan resmi melaporkan keadaan itu kepada Kangjeng Susuhunan. maka para prajurit yang perlahan-lahan mulai terkumpul lagi setelah mereka terpecah bercerai berai, mulai berbicara di antara mereka. Semula mereka ragu-ragu untuk menyatakan pengalam-an masing-masing. Namun seorang prajurit yang terluka di pundaknya berkata, “Aku menjadi bingung menghadapi sikap laskar Pangeran Mangkubumi”

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Ketika salah seorang berhasil melukai aku, maka dalam keadaan yang tidak berdaya aku hanya dapat menunggu ujung pedangnya mengakhiri hidupku. Tetapi hal itu tidak dilakukannya, ia membiarkan aku hidup dan kembali seperti yang kau lihat sekarang” prajurit itu berhenti sejenak, lalu-jika pada saat-saat yang mendebarkan itu aku hanya dapat membayangkan isteriku dan anak-anakku yang masih terlampau kecil untuk menjadi seorang anak yang tidak berbapa, maka agaknya aku masih akan mendapat kesempatan untuk benar-benar bertemu dengan mereka, bukan sekedar di dalam angan-angan”

Ternyata kemudian bukan hanya satu dua orang sajalah yang berceritera tentang hal yang serupa. Dan bukan saja mereka yang berada di dalam satu medan.

“Agaknya Pangeran Mangkubumi memang membekali laskarnya dengan sikap itu” berkata seorang prajurit yang sudah lebih tua dari kawan-kawannya, “dan sebenarnyalah sikapnya itu sikap seorang kesatria sejati. Kesatria Mataram yang sebenarnya”

Para prajurit yang lain mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat melepaskan diri dari kesan yang demikian.

Dalam pada itu, kumpeni yang telah dilepaskan oleh pasukan Pangeran Mangkubumi, telah berhasil pula sampai ke Surakarta. Sebagai seorang prajurit yang memiliki pengalaman yang luas, ia tidak menyerah kepada keadaannya. Meskipun ia terluka, tetapi dengan segenap sisa kemampuannya kumpeni itu seolah-olah merangkak memasuki kota. Namun ia tidak berputus asa. Apalagi ia dibebani oleh perasaan dendam yang tiada taranya terhadap peristiwa yang baru saja dialami.

Ternyata ia adalah salah satu dari dua orang kumpeni yang masih tetap hidup. Yang lain, yang ikut serta di dalam pasukan Surakarta yang tersebar untuk dengan sengaja memancing agar Pangeran Mangkubumi melepaskan laskarnya, telah tewas dalam pertempuran yang terjadi di beberapa tempat itu.

“Aku mengenal setidak-tidaknya satu nama” desis kumpeni yang kemudian berbaring di pembaringan di bawah perawatan seorang tabib.

“Beristirahatlah. Kau tidak boleh terlampau banyak berbicara. Jika kau sudah agak tenang, maka kau dapat melaporkan semua yang kau alami. Dan nama itu mungkin akan sangat penting artinya” berkata tabib yang merawatnya.

Kumpeni itu seakan-akan tidak sabar lagi. Tetapi ia tidak dapat bangkit dari pembaringannya karena tubuhnya menjadi sangat lemah. Tetapi ia masih mencoba minta kepada tabib itu, “Apakah kau dapat menghubungi komandanku?”

“Tentu. Tetapi tidak sekarang. Nanti pada saatnya ia akan datang kemari, atau utusannya”

Kumpeni itu menggeram. Terbayang seorang perempuan yang dengan wajah mengejek melukai tubuhnya dengan pedang. Kemudaan beberapa orang laki-laki yang menangkap dua orang prajurit Surakarta mengerumuninya seperti melihat sabungan ayam yang banyak terdapat di pinggir kota Surakarta.

“Kenapa mereka tidak membunuh aku”, Ia menggeram, “itu suatu penghinaan. Akulah kelak yang akan datang membunuh mereka. Dan mereka akan menyesali kesombongannya. Tetapi penyesalan itu tidak akan ada artinya.”

Dengan demikian ia berharap untuk segera dapat bertemu dengan siapapun juga. Ia harus mengatakan bahwa ia mengenal nama salah seorang dari pemberontak-pemberontak itu.

“Arum” desisnya, “namanya Arum”

Namun kemudian, “Tetapi jika nama itu nama yang banyak dipakai oleh perempuan-perempuan pribumi, maka akan sulit untuk dapat menemukannya”

Tetapi kumpeni itu kemudian teringat, bahwa ia mengenal seorang Senopati dari pasukan berkuda yang menurut pendengarannya pernah tinggal di suatu padepokan.

“Padepokan itu terletak di dekat kami bertugas” Ia meng-geram, “beberapa orang prajurit Surakarta menunjuk sebuah desa kecil dan mengatakan bahwa Raden Juwiring pernah berada di padukuhan itu untuk beberapa lamanya. Tentu ia akan dapat membantu menemukan perempuan yang bernama Arum itu”

Kumpeni yang terbaring itu tersenyum sendiri. Seakan-akan ia sudah berada di punggung kuda bersama beberapa orang kawannya dan sepasukan prajurit Surakarta mencari perempuan yang bernama Arum itu.

“Jika aku tidak membunuhnya, aku dapat berbuat apa saja atasnya jika ia sudah tertangkap. Meskipun ia lincah memper-gunakan pedang, tetapi tanpa senjata ia tentu tidak berdaya”

Kumpeni itu tersenyum sendiri. Namun tiba-tiba ia pun menyeringai ketika lukanya terasa pedih.

“Aku tidak akan mengatakan nama itu kepada siapapun, kecuali kepada komandan dan kepada Raden Juwiring, Senapati pasukan berkuda putera Pangeran Ranakusuma”

Sehari-harian kumpeni itu masih saja dipengaruhi oleh bayangan-bayangan yang peristiwa yang dialaminya itu. Apalagi masih belum ada orang yang dapat menengoknya, sebelum ia menjadi tenang menurut penilaian tabib yang merawatnya.

“Aku sudah tenang. Aku tidak apa-apa” katanya kepada diri sendiri. Namun ia masih harus tetap berbaring.

Dengan demikian, tidak ada yang dapat dilakukan selain berangan-angan. Tentang dirinya sendiri, tentang perempuan yang melukainya dan tentang orang-orang yang mengerumuni-nya.

Kumpeni itu tiba-tiba mengerutkan keningnya. Terbayang pedang gadis yang sudah melekat di dadanya itu. Tetapi nampak jelas padanya, keragu-raguan yang sangat telah menahan tangannya.

“Kenapa ia ragu-ragu? Kenapa?” kumpeni itu menggeram, “itu suatu kesombongan yang tiada taranya”

Namun tiba-tiba nampak padanya suatu segi yang lain dari keragu-raguan perempuan yang bernama Arum itu. Betapa kebencian telah mencengkam jantung perempuan itu, sehingga ia tidak mau membiarkan orang lain melawannya. Tetapi pada saat yang menentukan, pedangnya tidak segera menghunjam di dadanya. Dan menilik sikap dan tatapan matanya, perempuan itu telah terpengaruh oleh suatu perasaan yang memercik di hatinya.

“Nampaknya bukan karena kesombongannya” tiba-tiba saja di luar sadarnya kumpeni itu berdesis. Dan bahkan meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mengerti bahwa niat untuk membunuhnya tetap menyala di hati gadis itu, karena kebencian yang tidak ada taranya. Tetapi ia tidak melalaikannya. Perempuan itu tidak membunuhnya, meskipun seandainya tidak ada orang lain yang melarangnya.

“Kenapa ia tidak melakukannya?” sebuah pertanyaan telah membelit hatinya.

Kumpeni itu memejamkan matanya. Ia tidak dapat menolak ketika seakan-akan di depan wajahnya dihadapkan sebuah cermin. Perempuan pribumi yang dianggapnya masih terbelakang di dalam pengenalan ilmu lahir dan batin itu ternyata memiliki perasaan kasih di antara sesama. Demikian tebalnya perasaan itu sehingga mampu mengatasi perasaan dendam dan benci yang mencengkam hati perempuan pribumi itu.

“Dan ia tidak sampai hati menghunjamkan pedangnya di dadaku” desahnya.

Namun kemudian kumpeni itu menggeretakkan giginya sambil menggeram, “Tidak. Aku tidak perlu belas kasihan itu”

Tetapi yang terdengar di lubuk hati adalah jawaban, “Bukan sekedar belas kasihan. Tetapi itu adalah perasaan kasihan”

Kumpeni itu berdesis. Sekali-sekali ia menggeliat dalam kegelisahan seakan-akan lukanya terasa menjadi pedih. Itulah sebabnya seorang yang merawatnya selalu mengawasinya.

Tetapi kegelisahan kumpeni itu bukan karena lukanya itu. Ia merasa bahwa ia dihadapkan pada suatu kenyataan yang tidak dapat dimengerti. Perempuan pribumi yang nampaknya masih dipengaruhi oleh keterbelakangan di dalam peradaban dunia yang luas, namun ternyata memiliki peradaban batin yang tinggi.

Namun akhirnya kumpeni itu dapat menguasai perasaannya. Karena itu maka ia pun menjadi tenang, dan kemudian berhasil memejamkan matanya meskipun hanya sesaat oleh kelelahan lahir dan batin.

Ketika ia kemudian membuka matanya, terasa badannya menjadi agak segar. Dilihatnya di dalam biliknya dua orang kumpeni yang sedang bercakap-cakap perlahan-lahan. Ternyata yang seorang adalah seorang perwira. Pemimpinnya.

“Tidur sajalah” berkata komandan itu.

Kumpeni yang terluka itu berusaha untuk bangkit Tetapi tubuhnya masih terlampau lemah, dan komandannya itu pun menahan pundaknya sambil berkata, “Kau harus tetap berbaring”

Kumpeni itu menarik nafas dalam-dalam.

“Kau sudah menjadi agak tenang. Bukankah kau ingin bertemu dengan aku? Tabib yang menolongmu berkata, bahwa ada sesuatu yang akan kau katakan. Barangkali akan sangat berguna bagi Surakarta ”

Kumpeni yang terluka itu mengerutkan keningnya.

“Apakah kau mengenal salah seorang dari pemberontak ku?” bertanya komandannya.

Kumpeni itu mengerutkan keningnya. Terbayang wajah perempuan yang memegang pedang itu. Terngiang nama perempuan itu disebut oleh kawan-kawannya. Namanya Arum. Dan jika kumpeni membawa Raden Juwiring besertanya, maka kemungkinan besar akan segera dapat diketemukan. Kemudian perempuan itu akan dapat diperas untuk menyebut nama-nama lain dari pemberontak-pemberontak itu, bahkan mungkin orang-orang sepadukuhan yang tersangkut di dalamnya. Mungkin orang-orang itu tidak pulang ke rumahnya, tetapi dengan menangkap keluarganya, isteri dan anak-anaknya, maka setiap laki-laki yang tidak berhati batu akan segera kembali. Apalagi jika dijanjikan pengampunan meskipun kemudian mereka akan dipancung di hadapan umum untuk menakut-nakuti orang-orang pribumi yang akan berpihak kepada pemberontak. Baik Pangeran Mangkubumi maupun Raden Mas Said.

Dalam pada itu komandannya mendesaknya, “Coba sebut saja nama itu, atau barangkali jalan yang paling baik untuk menemukannya”

Kumpeni itu tiba-tiba menjadi tegang. Ketika bibirnya bergerak untuk menyebut nama perempuan yang sombong itu, tiba-tiba saja ia menjadi ragu-ragu.

“Siapa?” desak komandannya pula

Sejenak kumpeni itu merenung. Namun tiba-tiba dengan suara gemetar ia berkata, “Maaf komandan, aku tidak dapat menyebutnya”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu, kenapa aku telah lupa sama sekali. Aku memang mendengar sebuah nama disebut. Tetapi nama itu terlampau sukar dan panjang”

“Kau tentu dapat mengingat-ingatnya”

Kumpeni itu termenung sejenak. Di benaknya seolah-olah menari nama Arum. Arum. Tetapi sesuatu telah menahannya untuk menyebut nama yang sama sekali tidak dilupakannya itu.

“Apakah kau tidak dapat mengingatnya sama sekali” Kumpeni itu menggeleng, “Terlalu gila. Barangkali aku sudah menjadi gila komandan. Tetapi aku benar-benar tidak dapat mengingatnya, meskipun hanya satu suku kata dari nama yang panjang itu”

Komandannya itu mengerutkan keningnya, katanya, “Kau harus menemukan nama itu”

Kumpeni itu menggeleng, “Ingatanku menjadi gelap”

“Gila, sebut sebuah nama”

Kumpeni itu memandang komandannya yang wajahnya menjadi kemerah-merahan. Tetapi sekali lagi ia menggeleng lemah, “Aku akan berusaha komandan. Tetapi ingatanku sekarang benar-benar sedang gelap”

Komandannya menjadi sangat kecewa. Bahkan marah Tetapi sebelum ia membentak lagi, tabib yang merawat kumpeni itu mendekatinya dan berkata, “Ia masih harus banyak beristirahat”

“Tetapi ia bodoh sekali. Ia harus dapat mengingat nama yang didengarnya itu”

“Memang nama pribumi sangat sulit untuk diingat” berkata tabib itu.

“Aku dapat mengingatnya jika aku mendengar. Itu termasuk salah satu dari tugasnya. Jika ia tidak dapat mengingatnya, kita kehilangan kesempatan untuk mencari jejak. Setidak-tidaknya sekelompok pemberontak itu. Dan dengan demikian kita tahu pasti, apakah yang dihadapi oleh para prajurit itu pemberontakan Pangeran Mangkubumi atau Raden Mas Said”

“Tetapi ia tidak dapat dipaksa untuk berpikir terlampau banyak. Tubuhnya masih terlampau lemah. Sebaiknya biarlah ia beristirahat lagi”

“Ia sudah cukup lama beristirahat”

Tetapi tabib itu menggeleng. Katanya, “Goncangan perasaan-nya telah membuatnya menjadi kehilangan ingatan itu. Mudah-mudahan ia akan dapat menemukan kembali ingatan yang hilang itu”

Komandannya terdiam sejenak. Tetapi nampak kekecewaan yang sangat memancar disorot matanya. Namun ia tidak dapat memaksa kumpeni itu untuk mengatakan sesuatu yang tidak dapat dikatakannya. Apalagi tabib yang merawatnya berkeberat-an untuk memberinya kesempatan.

“Baiklah” berkata komandan itu, “Aku akan pergi. Tetapi usahakan ia dapat mengingat semuanya. Namanya, dan barangkali ciri-cirinya. Aku ingin menemukan orang itu”

“Baik” jawab tabib itu, “demikian ia dapat mengingat atau mengucapkan sebuah nama, aku akan mencatatnya”

Demikianlah maka komandan kumpeni itu pun kemudian meninggalkan bilik itu dengan wajah yang bersungut-sungut. Seorang pengawalnya masih berpaling memandang kawannya yang terbaring itu sejenak. Namun ia pun kemudian meninggalkan bilik itu pula mengikuti komandannya.

Kumpeni yang terbaring itu termenung sejenak. Ia melihat tabib yang merawatnya berdiri di sisinya.

“Kau masih dipengaruhi oleh kegelisahan dan kebingungan” berkata tabib itu, “tenangkan hatimu. Jangan hiraukan pertanya-an komandanmu. Pada suatu saat kau akan teringat nama itu. Nama orang-orang pribumi hampir sama”

“Tentu tidak. Ada dua orang yang namanya jauh berbeda” jawab kumpeni itu, “Mangkubumi dan Said. Itu baru dua nama. Maka jika kita mendengar sepuluh nama, maka nama itu akan sangat jauh berlainan”

Tabib itu mengangguk. Memang nama itu ternyata sangat berlainan. Apalagi orang-orang pribumi tidak mempergunakan nama keluarga di belakang namanya. Jika mereka menjadi dewasa, maka mereka akan memilih namanya sendiri. Bahkan pegawai istana di Surakarta terlampau sering berganti nama jika jabatan mereka berganti pula”

Namun dalam pada itu, kumpeni yang terbaring karena luka-lukanya itu sama sekali tidak lagi memikirkan untuk mengingat nama Arum yang sebenarnya dapat dengan mudah disebutnya. Ia sudah memutuskan untuk tidak mengatakan kepada siapapun bahwa perempuan yang telah melukainya itu bernama Arum. Kepada Raden Juwiring pun tidak.

Demikianlah, setelah setiap kelompok prajurit Surakarta yang tersebar berhasil berkumpul barulah mereka mengetahui bahwa bagaimanapun juga, banyak di antara mereka yang tidak dapat kembali. Sedangkan yang terluka pun berdesakan untuk mendapat perawatan. Bahkan beberapa di antara mereka yang harus berbaring di pembaringan dengan luka parah di tubuhnya.

Tetapi di antara mereka hanya ada dua orang kumpeni yang berhasil kembali ke Surakarta.

Ketika para pemimpin di Surakarta kemudian berkumpul dan membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi, maka mereka tidak lagi dapat mengelakkan, bahwa perang sudah benar-benar dimulai.

“Kita tidak sekedar memancing mereka untuk mengetahui kekuatan mereka” berkata Panglima prajurit Surakarta yang dihadapkan kepada Pangeran Mangkubumi dan sekaligus Raden Mas Said, “Tetapi kita benar-benar sudah berada di dalam perang terbuka”

“Ya” berkata seorang perwira kumpeni, “Aku sudah kehilangan beberapa orang. Kita tidak dapat lagi berbuat lebih baik dari langsung menggempur pusat pertahanannya”

“Apakah kau sudah mempertimbangkan seluruh kekuatan Pangeran Mangkubumi?” bertanya Pangeran Ranakusuma yang ada di antara mereka pula.

“Tidak lebih dari segerombolan orang-orang daerah Sukawati dan sekitarnya”

Tetapi Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau keliru. Kekuatan Pangeran Mangkubumi tidak terhitung besarnya. Jika perang yang sebenarnya mulai berkobar maka di segala tempat akan bangkit kesatuan-kesatuan yang berpihak kepadanya. Meskipun mereka bukan prajurit-prajurit terlatih, tetapi mereka adalah orang-orang yang mempunyai bekal ilmu secara pribadi dan dalam jumlah yang tidak terbatas”

“Apa maksud Pangeran sebenarnya?” bertanya perwira itu, “Apakah Pangeran ingin menakut-nakuti kami atau Pangeran memang tidak berhasrat untuk menindas pemberontakan Pangeran Mangkubumi?”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Sekilas terbayang warna merah di wajahnya. Katanya, “Aku tidak tahu maksud pertanyaanmu”

“Pertanyaanku jelas. Pangeran justru melemahkan tekad kami”

“Kau adalah seorang prajurit” jawab Pangeran Ranakusuma, “bahkan menurut pendengaranku, kau pernah menjelajahi benua dan lautan. Tetapi kau masih bertanya, apakah maksudku” Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak lalu, “sebagai seorang prajurit kita tidak akan dapat menipu diri sendiri. Kita tidak dapat memperkecil arti lawan kita sekedar untuk menyenangkan hati sendiri atau sekedar untuk membangkitkan keberanian. Kita harus tahu pasti, berapakah jumlah lawan yang kita hadapi untuk dapat menyiapkan pasukan yang memadai”

“Aku sudah tahu” potong perwira itu, “Pangeran tidak usah mengajari aku. Aku memang sudah pernah menjelajahi benua dan lautan. Aku pernah mengalami peperangan dengan orang-orang yang berkebudayaan tinggi dan mempergunakan senjata api. Bukan sekedar batang-batang bambu yang diruncingkan”

“Tetapi kau tidak mau mendengar kenyataan, bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi tidak terhitung jumlahnya, dan tidak dapat disebut tempatnya, karena pasukan itu bertebaran di setiap padukuhan dan jumlahnya tidak dapat disebut dengan bilangan. Bertanyalah kepada setiap prajurit Surakarta yang jujur menghadapi Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Aku pun mencoba menyebut dengan jujur, meskipun aku tidak akan menyerah. Menurut ukuran kesatria Surakarta, maka perjuangan ini akan diselesaikan sampai tuntas”

Kumpeni itulah yang kemudian menjadi merah. Kulitnya yang keputih-putihan nampak bagaikan tersentuh api. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu Panglima yang telah diserahi kekuasaan oleh Kangjeng Susuhunan Paku Buwana itu pun berkata, “Tidak ada gunanya kita bertengkar. Aku dapat mengerti kebenaran dari pendapat kalian. Karena itu, marilah kita mencari jalan untuk menyelesaikan peperangan ini dalam waktu yang singkat dan korban yang sekecil-kecilnya dari kedua belah pihak.

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah kumpeni itu sejenak. Tetapi ia tidak mengucapkan sesuatu.

Dalam pada itu Panglima itu pun kemudian mendengarkan beberapa laporan dari para pemimpin kelompok, pendapat mereka, dan kemudian berkata, “Kita memang tidak sedang bermain-main. Menurut pengamatanku, yang kalian hadapi baru pasukan Pangeran Mangkubumi. Karena itu sebelum Raden Mas Said mengambil bagian di dalam peperangan yang lebih besar, maka kita harus menyusun rencana terperinci untuk membatasi setiap gerakan Pangeran Mangkubumi, dan apabila mungkin memadamkannya sama sekali”

Pangeran Ranakusuma tidak menyahut. Tetapi tampak di bibirnya sikapnya yang sangat menjengkelkan bagi kumpeni meskipun perwira kumpeni itu pun masih harus menahan diri.

Namun akhirnya di dalam pertemuan itu, para Senapati berpendapat, bahwa Surakarta tidak boleh terlambat. Justru Surakarta lah yang harus mengambil sikap karena jelas bahwa Pangeran Mangkubumi sudah memberontak.

“Aku akan menghadap Kangjeng Susuhunan dan melaporkan semua yang telah terjadi” berkata Panglima.

“Kita susun dahulu rencana sebaik-baiknya” berkata perwira kumpeni yang menghadiri pertemuan itu.

“Tidak perlu” sahut Pangeran Ranakusuma, “Kita menghadap Kangjeng Susuhunan. Jika Kangjeng Susuhunan memerintahkan agar kita langsung menyerang kedudukan Pangeran Mangku-bumi, maka kita akan melakukannya. Tetapi jika Kangjeng Susuhunan mengambil kebijaksanaan lain, kita harus tunduk akan keputusannya”

“Tidak mungkin ada keputusan lain” potong kumpeni itu, “satu-satunya jalan, Pangeran Mangkubumi harus dihancurkan”

“Kenapa tidak mungkin?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

“Kita tidak dapat menunggu agar bukan kitalah yang akan menjadi hancur”

“Yang berkuasa di Surakarta adalah Kangjeng Susuhunan Paku Buwana. Bukan pihak lain”

Sekali lagi wajah kumpeni itu menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab, maka Panglima pasukan Surakarta itu pun segera berkata, “Kita akan menghadap Kangjeng Susuhunan. Kita akan mengusulkan untuk menghancurkan Pangeran Mangkubumi. Kemudian Raden Mas Said. Setelah Pangeran Mangkubumi maka Raden Mas Said tentu tidak akan terlampau sulit”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun.

Akhirnya Panglima itu memutuskan untuk membicarakan persoalan yang gawat itu di dalam lingkungan yang lebih kecil. Panglima menunjuk tujuh orang termasuk seorang perwira kumpeni untuk mohon menghadap Kangjeng Susuhunan untuk melaporkan peristiwa yang sudah terjadi dan kemudian menentukan sikap seterusnya.

“Semakin banyak orang yang ikut di dalam pembicaraan ini. persoalannya akan menjadi semakin kabur” berkata Panglima, “Apalagi bahaya bahwa semua rencana itu akan merembes sampai ke telinga Pangeran Mangkubumi akan menjadi lebih besar”

“Jadi apakah ada orang yang pantas kita curigai?” tiba-tiba Pangeran Ranakusuma bertanya.

“Bukan maksudku” jawab Panglima, “Tetapi kita wajib berhati-hati”

“Itu bijaksana sekali” berkata kumpeni, “Aku memang tidak dapat mempercayai setiap orang di Surakarta ini”

“Baiklah” berkata Panglima itu, “Kita dapat melaksanakannya segera”

Pangeran Ranakusuma memandang Panglima dan perwira kumpeni itu berganti-ganti. Namun ia masih nampak menyimpan sesuatu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, setelah pertemuan itu dibubarkan, maka ketujuh orang yang telah ditunjuk itu pun segera menghadap Kangjeng Sultan. Selain perwira kumpeni yang seorang itu, terdapat pula Pangeran Ranakusuma sebagai Senapati pengapit, dan seorang yang memiliki pengalaman dan ilmu yang cukup.

Panglima pasukan yang dipersiapkan untuk melawan Pangeran Mangkubumi itu pun kemudian memberikan laporan kepada Kangjeng Susuhunan tentang tindakan pertama yang sudah diambil oleh prajurit Surakarta. Mereka telah berhasil memancing pasukan Pangeran Mangkubumi dan dapat menduga kekuatannya.

“Ampun Kangjeng Susuhunan, ternyata bahwa kekuatan Pangeran Mangkubumi jauh lebih besar dari yang kami duga sebelumnya. Pangeran Mangkubumi dapat menyiapkan pasukan sebanyak yang disiapkan oleh Surakarta, bahkan melampaui. Setiap kelompok prajurit telah mendapat gangguan dan kadang-kadang cukup gawat”

“Aku sudah kehilangan beberapa orang prajurit” berkata perwira kumpeni itu.

Kangjeng Susuhunan mengerutkan keningnya. Namun tanpa diduga sebelumnya, Kangjeng Susuhunan itu justru tertawa. Katanya, “Ternyata kalian memang terlampau bodoh dengan mengumpankan pasukan-pasukan kecil yang tersebar itu”

“Ampun Kangjeng Susuhunan. di tempat-tempat yang diduga mempunyai kekuatan pengikut Pangeran Mangkubumi pasukan Surakarta sudah diperkuat”

“Tetapi tidak mampu berbuat apa-apa atas pasukan adimas Pangeran Mangkubumi. Dan ternyata bahwa bukan hanya pasukan yang berada di tempat-tempat yang diduga dekat dengan pemusatan pasukan Pangeran Mangkubumi sajalah yang mendapat serangan. Tetapi semua kelompok prajurit yang kau sebarkan di sekitar kota”

Panglima itu mengerutkan keningnya. Dan sebelum ia sempat menjawab, Kangjeng Susuhunan telah melanjutkan, “Korban telah jatuh. Untunglah bahwa adimas Pangeran Mangkubumi masih merasa dirinya sekeluarga dengan kalian, sehingga ia berpesan untuk tidak menjatuhkan korban sebanyak-banyaknya atas kedua belah pihak” Kangjeng Susuhunan berhenti sejenak, lalu, “banyak prajurit yang terluka, tetapi kembali dengan selamat. Tetapi di antara mereka hanya ada dua orang kumpeni yang lolos dari maut, meskipun yang seorang luka-luka”

Orang-orang yang mendengar keterangan itu menjadi heran. Ternyata Kangjeng Susuhunan telah mengetahui semuanya sebelum laporan resmi itu disampaikan.

Dengan demikian maka para pemimpin Surakarta itu berpendapat bahwa Kangjeng Susuhunan menaruh perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan keadaan, sehingga ia telah menunjuk petugas-tugas sandinya sendiri yang dapat memberikan laporan dengan lengkap tanpa menunggu laporan para pemimpin prajurit Surakarta.

Namun dengan demikian, maka para pemimpin prajurit itu pun menyadari, bahwa dengan petugas-petugas khusus yang langsung memberikan laporan kepada Kangjeng Susuhunan, maka mereka tidak akan dapat berbohong. Mereka tidak akan dapat mengatakan kuntul sebagai gagak, dan tidak dapat mengatakan gagak sebagai kuntul. Mereka harus mengatakan apa yang sebenarnya ada dan sebenarnya terjadi.

Karena para pemimpin prajurit itu masih saja termangu-mangu, maka Kangjeng Susuhunan pun kemudian berkata, “Bagaimana? Apakah ada yang salah?”

“Tidak Kangjeng Susuhunan” jawab Panglima, “semuanya benar seperti yang Kangjeng Susuhunan sebutkan”

“Jika demikian, apakah rencana kalian?”

“Hamba belum menentukan sikap. Kedatangan hamba menghadap Kangjeng Susuhunan adalah dalam rangka menyu-sun tindakan berikutnya. Kami akan mengadakan pertemuan, dan kami akan menentukan sikap. Barangkali Kangjeng Susuhunan akan memberikan pesan kepada kami, sehingga dapat menunjukkan arah perjuangan kami membebaskan Surakarta dari pengaruh para pemberontak”

Kangjeng Susuhunan menahan nafas sejenak. Sekilas dipandanginya wajah perwira kumpeni yang berdiri di hadapannya. Benar-benar suatu sikap yang menyakitkan hati. Tetapi karena adat mereka demikian, maka Kangjeng Susuhunan tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka akan berbuat demikian pula jika mereka menghadap rajanya sendiri.

Namun dalam pada itu, terpercik di dalam hatinya, bahwa sebenarnya usaha untuk menghentikan pemberontakan Pangeran Mangkubumi itu tidak terlampau sulit. Jika ia memiliki keberanian untuk bertindak mengusir kumpeni dari Surakarta dan membatalkan semua persetujuan yang pernah dibuat, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh raja-raja sebelumnya.

“Betapa penakutnya aku ini” Kangjeng Susuhunan mengeluh di dalam hati.

Sementara itu para pemimpin prajurit di Surakarta masih duduk tepekur. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan oleh Kangjeng Susuhunan. Tetapi ternyata kemudian Kangjeng Susuhunan berkata, “Siapkan dahulu rencana sebaik-baiknya. Kemudian sampaikan rencana itu kepadaku. Aku akan mempelajarinya dan memutuskan”

Para pemimpin prajurit Surakarta itu serentak mengangguk-angguk kecil. Tetapi di dalam hati terbersit pertanyaan, “Berapa lama keputusan itu akan jatuh?”

Namun mereka merasa, bahwa kelambatan itu datangnya harus bukan dari mereka. Mereka harus segera menyiapkan rencana dan menyampaikan kepada Kangjeng Susuhunan.

“Menurut ingatanku, Kangjeng Susuhunan itu pun seorang prajurit yang baik. Kangjeng Susuhunan seharusnya tahu apa yang harus dilakukan. Yang mana yang segera dan yang mana yang dapat diambil keputusan kemudian” berkata Panglima di dalam hatinya.

Karena itu, demikian mereka meninggalkan ruangan, mereka pun segera menentukan waktu untuk bertemu dan membicarakan rencana untuk menghadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi kemudian juga Raden Mas Said.

Ternyata bahwa para prajurit Surakarta itu memang mampu bertindak cepat. Mereka pun segera menjalankan tugasnya sebaik-baiknya. Mereka hanya sekedar pulang ke istana masing-masing untuk sesaat, kemudian mereka telah siap untuk berangkat lagi menghadiri pertemuan yang diadakan khusus untuk membicarakan cara-cara yang sebaiknya untuk menumpas pemberontakan dengan bantuan kumpeni.

“Kau harus bersiap Juwiring” berkata ayahandanya sesaat sebelum ia turun ke halaman, “semuanya sudah mulai”

“Ya ayahanda” sahut Juwiring.

“Kita tidak dapat berbuat banyak. Tetapi semuanya sudah mapan. Nanti sebentar lagi aku akan menghadiri pertemuan penting untuk menumpas pemberontakan. Kau pun harus mempersiapkan pasukanmu”

“Apakah pasukanku juga akan diikut sertakan ayahanda?”

“Aku masih belum tahu pasti. Tetapi pasukan berkuda akan merupakan pasukan yang sangat diperlukan. Setiap Senapati Surakarta tentu memperhitungkan bahwa Pangeran Mangku-bumi akan mempergunakan cara-cara yang khusus. Ia akan membawa pasukannya dalam gerakan yang cepat. Seperti kabut ia datang, tetapi seperti kabut ditiup angin, mereka akan cepat menghilang”

“Dengan demikian maka pasukan berkuda akan merupakan pasukan yang penting di dalam perang ini”

“Ya. Tetapi jika rencana yang sepintas sudah aku dengar akan dibicarakan nanti adalah perang yang tentu akan merupakan perang besar. Surakarta bermaksud sekaligus menumpas pasukan Pangeran Mangkubumi sebelum mereka menyebar. Atau Setidak-tidaknya induk pasukannya termasuk Pangeran Mangku-bumi sendiri. Petugas-tugas sandi telah dapat menemukan tempat yang diduga, tetapi agaknya mendekati kebenaran, tempat tinggal Pangeran Mangkubumi untuk sementara”

“Sukawati?”

“Justru tidak di Sukawati”

Raden Juwiring mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi ketika ayahanda berkata, “Nanti aku akan memberitahukan, apa saja yang harus kita lakukan setelah kami mengambil keputusan di dalam pembicaraan ini. Mungkin pembicaraan nanti akan berlangsung lama”

“Ya ayahanda”

“Jagalah adikmu baik-baik. Jangan kau beritahukan peristiwa-peristiwa yang dapat menggelisahkannya”

“Ia sudah mendengar ayahanda, karena hampir semua orang sudah mendengar pula”

Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Namun ia masih-berpesan, “Tetapi usahakan agar kau dapat menenangkan hatinya” Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu, “dimana Warih sekarang?”

“Ia berada di dapur ayahanda. Diajeng Warih sekarang senang berada di dapur”

“Syukurlah. Ia harus berubah. Dan agaknya ia sudah berusaha menyesuaikan dirinya”

Demikianlah maka Raden Juwiring mengantar ayahandanya sampai ke mulut regol. Ketika kereta yang membawa ayahanda-nya berlari semakin kencang, maka sambil menundukkan kepalanya ia melintasi halaman rumahnya dan langsung naik ke tangga pendapa.

Langkahnya tertegun ketika ia melihat adiknya berdiri di depan pintu sambil memandanginya dengan tajamnya.

“O, aku kira kau masih ada di dapur” desis Juwiring.

Adik perempuannya menarik nafas dalam-dalam. Namun sesuatu nampaknya tersembunyi di balik tatapan matanya.

“Kangmas” gadis itu berkata perlahan-lahan, “Jadi haruskah aku selalu diselubungi oleh teka-teki tentang Surakarta, tentang tugas ayahanda dan tugas-tugasmu kangmas?”

Raden Juwiring termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun bertanya, “Aku tidak mengerti. Apakah yang kau maksudkan?”

“Ayahanda selalu berpesan agar kangmas tidak memberitahu-kan persoalan-persoalan yang terjadi kepadaku. Ayahanda selalu berpesan agar kangmas menenangkan hatiku. Tetap bukankah dengan demikian ayahanda sekedar menyelubungi keadaan dengan sehelai tabir yang lapuk, yang setiap saat bila angin yang agak kencang berhembus, tabir itu akan sobek? Jika aku sama sekali tidak mengetahui apa yang tersembunyi di balik tabir itu, maka aku akan terkejut sekali melihatnya, dan aku akan kehilangan pegangan untuk seterusnya. Karena itu kangmas, sebaiknya kau selalu mengatakan apa yang kau ketahui kepadaku, agar aku tidak selalu dibayangi oleh teka-teki dan pertanyaan-pertanyaan yang meragukan”

Juwiring menegang sejenak. Namun kemudian ia tersenyum. Katanya, “Itulah kasih sayang seorang ayah. Ayahanda tidak mau melihat kau menjadi gelisah dan apalagi cemas. Tetapi aku sudah mengatakan kepada ayahanda, bahwa kau sudah mendengar semuanya”

“Dan ayahanda minta kepadamu agar kau berusaha membuat aku tenang dan tidak gelisah”

“Ya”

“Dan mendapat gambaran yang lain dari peristiwa yang sudah terjadi itu?”

Juwiring tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan terlampau banyak berprasangka. Sebenarnyalah yang terjadi tidak segawat seperti yang dikatakan orang. Ayahanda sekarang sedang mengadakan pembicaraan dengan Panglima dan para Senapati, bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk membuat Surakarta menjadi tenang”

“Ada jalan lain” desis adiknya.

“Yang mana?” bertanya Juwiring.

“Jika orang asing itu pergi dari Surakarta, maka pamanda Pangeran Mangkubumi tidak akan memberontak. Dan ayahanda tidak usah menjadi Senapati perang melawan kadang sendiri seperti pamanda Pangeran Mangkubumi” gadis itu berhenti sejenak, lalu, “Pamanda Pangeran Mangkubumi adalah orang yang sangat baik. Bukankah ketika kangmas Rudira meninggal, pamanda Pangeran Mangkubumi termasuk orang yang pertama-tama menjenguknya aku tahu, bahwa pamanda Pangeran tentu tidak senang terhadap anak-anak muda seperti kangmas Rudira saat itu”

Terasa dada Juwiring berdesir. Sebuah kenangan telah melintas di dadanya. Kenangan tentang Rudira, dan tentang padepokan Jati Aking. Bahkan terkenang olehnya saat-saat Dipanala datang kepadanya, dan ia berkata, “Aku tidak mempunyai sangkut paut lagi dengan istana Ranakusuman”

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam.

Namun kemudian ia pun segera berkata, “Sudahlah. Kau jangan menghiraukan lagi pemberontakan Pamanda Pangeran Mangkubumi. Bukan maksudku untuk menyembunyikan kenyataan yang terjadi di Surakarta. Tetapi sebaiknya kau tidak usah memikirkannya. Biarlah itu menjadi tugas ayahanda dan para Senapati. Kemudian jika saatnya datang, biarlah aku pun berangkat ke medan tanpa membuat pertimbangan sendiri”

“Jadi menurut kangmas, apakah kita sebaiknya menjadi semacam seekor kuda yang sudah dipasang di depan sebuah kereta. Kadang-kadang seekor kuda bahkan ditutup matanya sama sekali, sehingga kuda itu berlari saja seperti dikehendaki oleh sais tanpa mengetahui arah”

“Tentu tidak. Maksudku, ayahanda tahu apa yang harus dilakukan. Apa yang harus diputuskan”

“Kumpeni memang harus pergi” desis gadis itu. Sekilas terbayang diangan-angannya, senjata api itu meledak dan kakaknya, Raden Rudira terlempar dari punggung kudanya. Terbayang pula, apa saja yang pernah terjadi atas ibundanya.

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia memandang sesuatu yang nampak sedikit mencuat diikat pinggang adiknya di bawah kembennya.

“Patrem itu tentu selalu dibawanya” berkata Juwiring di dalam hatinya.

Dengan demikian Raden Juwiring dapat membayangkan kegelisahan di hati adiknya, seorang gadis. Jika kumpeni dan prajurit Surakarta kalah, dan kota kemudian diduduki orang-orang yang disebut pemberontak, maka ia akan menjadi barang rampasan dan oleh orang-orang yang disebut pemberontak itu, ia tentu akan diperlakukan sebagai perempuan rampasan yang tidak ada harganya. Tetapi adiknya itu pun menyadari, bahwa kumpeni justru sudah memperlakukan perempuan-perempuan di Surakarta sebagai barang mainan.

Gadis itu memejamkan matanya ketika seolah-olah terbayang tingkah laku ibundanya di rongga matanya.

“Kau digelisahkan oleh angan-anganmu” berkata Juwiring sambil menepuk pundak adiknya.

Adiknya memandanginya sesaat Namun gadis itu pun kemudian berlari ke dalam biliknya.

Ketika Juwiring menyusulnya, dilihatnya adiknya sudah menelungkup di pembaringannya sambil menangis.

“Kau dihantui oleh bayangan angan-anganmu sendiri” berkata Juwiring sambil duduk di sebelah adiknya, “Sudahlah. Jangan risau. Tidak akan terjadi perubahan apapun di Surakarta ”

“Aku takut kangmas” terdengar suara gadis itu disela-sela isak tangisnya, “Aku tidak mau melihat kemungkinan yang manapun yang bakal terjadi. Aku tidak mau kumpeni memperlakukan perempuan-perempuan di Surakarta ini seperti memperlakukan ibunda. Dan aku juga tidak mau menjadi perempuan rampasan yang diperlakukan tidak lebih baik dari benda-benda rampasan yang lain jika prajurit Surakarta kalah”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Yang dikatakan oleh adiknya adalah tepat seperti yang diduganya.

“Kau tidak perlu gelisah. Bukankah di sekitar kita masih lengkap prajurit-prajurit pengawal? Aku adalah Senapati pasukan berkuda, sedang ayahanda adalah Senapati yang disegani”

“Justru karena itulah kalian akan selalu berada di peperangan”

“Ayahanda akan menyerahkan kau kepada paman Dipanala dan beberapa orang pengawal pilihan. Jika terpaksa kau dapat menempatkan dirimu di bawah perlindungan prajurit-prajurit Surakarta di istana. Tidak akan ada apa-apa”

Tetapi adiknya masih terisak meskipun lambat laun akhirnya ia terdiam juga. Bahkan kemudian Juwiring mendengar desah nafas adiknya yang teratur. Ternyata gadis itu tertidur sambil menelungkup di pembaringannya.

Juwiring pun kemudian tidak mengusiknya. Ditinggalkannya adiknya keluar dari bilik itu. Dengan hati-hati ia menutup pintu dan kemudian melangkah ke dalam biliknya sendiri.

Sejenak Juwiring duduk termangu-mangu. Kini ia sendiri pun mulai dipengaruhi oleh kegelisahan. Sebenarnyalah semuanya dapat terjadi atas Surakarta. Kekuatan Pangeran Mangkubumi memang tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu. Ternyata bahwa kelompok-kelompok prajurit Surakarta telah mendapat serangan serentak dari pasukan Pangeran Mangkubumi.

“Tentu ada orang dalam yang memberikan kabar tentang rencana pencegatan senjata itu” berkata Raden Juwiring di dalam hatinya, “Jika tidak, maka pamanda Pangeran Mangkubumi tentu tidak akan mengetahui seluruh kelompok prajurit yang disebarkan oleh Surakarta di sekitar kota untuk merampas segala jenis senjata”

Sementara itu, Pangeran Ranakusuma telah berada bersama dengan beberapa orang yang telah ditentukan untuk menyusun rencana tindakan yang segera harus diambil oleh prajurit Surakarta, sebelum Pangeran Mangkubumi bergerak lebih luas lagi.

“Tidak ada jalan lain kecuali membinasakannya segera” berkata kumpeni.

“Jika hal itu sama-sama kita setujui, maka persoalannya adalah, bagaimana kita akan dapat membinasakan Pangeran Mangkubumi” bertanya seorang Senapati.

“Kita harus dengan tindakan yang cepat menyergap pusat kemudi pemberontakannya. Menangkap hidup atau mati Pangeran Mangkubumi dengan beberapa orang Pangeran yang lain”

“Mereka tentu terpencar”

“Jika demikian yang penting adalah Pangeran Mangkubumi”

“Tidak semudah yang kau katakan” desis Panglima.

“Surakarta menyediakan pasukan sejauh dapat dihimpun” berkata kumpeni itu, “Aku akan menyediakan prajuritku yang ada di Surakarta seluruhnya. Kita kepung tempat tinggal mereka. Kemudian kita binasakan. Semua bangunan kita bakar, dan semua orang kita bunuh, sehingga tidak ada yang terlampau. Menurut pendengaranku Pangeran Mangkubumi dapat merubah dirinya dalam segala bentuk penyamaran. Karena itu, untuk menghindari penyamaran yang sempurna, maka semua laki-laki yang tertangkap harus dibunuh. Siapapun mereka”

Para Senapati dari Surakarta terdiam sejenak. Bagaimanapun juga pemberontak-pemberontak itu adalah keluarga orang-orang Surakarta sendiri.

Namun demikian agaknya para Senapati segan mengemuka-kannya dihadapan perwira kumpeni itu, sehingga untuk beberapa saat tidak seorang pun yang mengatakan sesuatu pendapat.

Tetapi akhirnya Pangeran Ranakusuma berkata, “Jika semua laki-laki dibunuh, maka akan jatuh banyak sekali korban yang tidak berarti di antara rakyat Surakarta ”

Para Senapati yang mendengar kata-kata Pangeran Rana-kusuma itu mengangguk-angguk. Merekapun tidak akan dapat membiarkan pembunuhan yang semena-mena itu terjadi di antara rakyat Surakarta. Namun demikian mereka pun menyadari bahwa korban pasti akan jatuh di kedua belah pihak. Tetapi bukan pembunuhan dan pembantaian seperti yang dikatakan oleh kumpeni itu.

Dalam pada itu perwira kumpeni itu pun menjawab, “Tetapi jika kita tidak berani bertindak tegas, maka pemberontakan itu akan cepat menjalar”

“Kita harus dapat menyelesaikan persoalan ini dengan tegas, tetapi bijaksana” berkata Panglima.

“Itu adalah kebijaksanaan” jawab kumpeni, “Jika kita berani memberikan korban dengan tidak ragu-ragu, maka tidak akan ada orang lain yang berani berpihak kepada Pangeran Mangku-bumi. Bukankah dengan demikian ada keseimbangan sehingga tidak akan jatuh korban-korban baru yang akan berceceran di segala tempat. Bukankah itu juga diperhitungkan atas pertimbangan yang sama dengan pertimbangan kalian?”

Para Senapati mengerutkan keningnya. Tetapi Pangeran Ranakusuma berkata, “Aku dapat mengerti. Tetapi alangkah baiknya jika korban dapat dibatasi sekecil-kecilnya. Kita tidak usah mengadakan pembantaian dimanapun juga. Kita usahakan untuk mengepung tempat persembunyian Pangeran Mangku-bumi. Kita tidak membiarkan seorang pun lolos. Jika kita berhasil memaksa mereka meletakkan senjata, kita akan dapat dengan segera mengenal Pangeran Mangkubumi”

“Bagaimana jika tidak?” bertanya perwira kumpeni.

“Kita bertempur. Tetapi ada bedanya antara bertempur sampai orang terakhir dengan membunuh semua orang laki-laki”

Kumpeni menahan kata-kata yang sudah hampir meloncat dari bibirnya ketika Panglima pasukan Surakarta berkata, “Aku sependapat. Kita bertempur sampai mereka menyerah atau musnah sama sekali. Bukan pembunuhan semata-mata. Kita akan menemukan Pangeran Mangkubumi di antara mereka. Baru kemudian kita memikirkan Raden Mas Said”

Perwira kumpeni tidak membantah lagi. Ia mengerti bahwa betapapun tipisnya ternyata masih juga ada perasaan kebangsaan di antara para bangsawan dan Senapati itu. Karena itu maka jalan yang paling baik adalah menerima ketentuan itu dengan perintah khusus bagi kumpeni, membunuh setiap laki-laki yang dijumpainya.

Pembicaraan itu masih dilanjutkan. Setelah pokok pikiran itu diterima, maka mereka pun mulai membicarakan cara yang dapat mereka tempuh untuk melaksanakannya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar