Bunga Di Batu Karang Jilid 14

Sekali lagi Warsi menyembunyikan wajahnya dan bergeser surut. Sedang kawan-kawannya mulai berani tertawa tertahan-tahan sambil mendorong tubuh Warsi yang pendek itu.

“Dan siapa namamu anak manis?” tiba-tiba yang lain bertanya sambil memandang Arum yang duduk bersandar batang pohon duwet.

Sebenarnya Arum mempunyai sikap yang lain daripada gadis-gadis kawannya bermain. Tetapi ia tidak mau menyatakan dirinya dan kematangan jiwanya. Itulah sebabnya, maka ia pun berpura-pura menunduk sambil bermain-main dengan ujung kainnya.

“Siapa?”

Arum tidak menjawab. Tetapi kawan-kawannyalah yang menyebut namanya.

“Arum. Namanya Arum”

“O, nama yang bagus sekali” desis anak muda itu.

Tetapi Arum sendiri tetap menundukkan kepalanya sambil mengumpat di dalam hati, “Memuakkan sekali”

Meskipun demikian Arum masih tetap menundukkan kepalanya, dan dibiarkannya kawan-kawannya menyebut namanya berulang kali dan yang lain mengguncang-guncang.

Anak-anak muda itu tertawa melihat sikap gadis-gadis desa yang masih diliputi oleh perasaan malu dan segan. Tetapi mereka dapat mengerti, karena lingkungan hidup yang membentuk mereka adalah demikian.

“Baiklah” berkata anak-anak muda itu, “Aku tidak akan memaksa kalian untuk bersikap lain. Tetapi kalian tentu memiliki selera seperti gadis-gadis yang lain. Gadis-gadis kota dan gadis-gadis di daerah yang lebih ramai dari padukuhan sepi ini. Apakah kalian pernah melihat permainan seperti ini?”

Gadis-gadis itu tertarik ketika salah seorang dari anak-anak muda itu mengambil seuntai kalung merjan yang bagus dari kantong yang dibawanya. Sambil mengguncang-guncang kalung itu, ia berkata, “Semua gadis senang memiliki kalung seperti ini. Meskipun kalung ini tidak semahal kalung emas, tetapi kalung ini tampaknya lebih cerah dan menyenangkan”

“Bagus sekali” hampir berbareng beberapa orang gadis memujinya.

“Tentu” sahut anak muda itu, “Aku membeli kalung ini di Semarang. Bagus sekali. Sebagus nama-nama Arum dan Warsi”

“Ah” gadis-gadis itu mulai saling mendorong lagi. Dan Arum pun tidak mau bersikap lain meskipun ia mengumpat-umpat di dalam hatinya.

“Baiklah. Tetapi, ada yang ingin aku tanyakan kepada kalian. Yang pertama, siapa yang senang akan kalung merjan ini. Dan yang kedua, apakah kalian sering melihat sesuatu yang menarik perhatian di daerah ini”

“Maksud tuan?” beberapa orang gadis bertanya bersama-sama

“Apakah kalian pernah melihat perampok yang berkeliaran di sini? Atau mendengar beritanya bahwa di sini ada perampok-perampok. Atau laskar yang lain”

Gadis-gadis itu saling berpandangan.

“Kami memang sedang mencari keterangan tentang perampok-perampok agar perjalanan kami tidak terganggu”

“Tetapi” tiba-tiba salah seorang gadis bertanya, “Bukankah perampok-perampok itu sudah ditangkap”

“Tentu belum semua” kawannya yang menyahut, “Tetapi berita tentang perampok itu memang bersimpang siur di sini”

“Maksudmu?” bertanya salah seorang anak muda itu, “Apakah di sini ada laskar yang bukan perampok?”

“Tidak ada. Semuanya tidak ada. Tetapi kami mendengar bertanya, bahwa sebenarnya perampok-perampok yang pernah disebut sebagai laskar Raden Mas Said itu sebenarnya salah. Mereka adalah orang-orang yang sengaja dibuat oleh kumpeni untuk mengelabui rakyat, agar membenci pasukan Raden Mas Said”

Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Mereka memang pernah mendengar, bahwa sikap rakyat Jati Sari terhadap perampok-perampok itu memang agak lain. Ternyata bahwa rakyat Jati Sari tidak mudah dikelabui seperti rakyat di Padukuhan-padukuhan terpencil lainnya.

Dalam pada itu, dada Arum menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat mencegah kawan-kawannya mengatakan apa yang mereka ketahui.

“Jadi” berkata salah seorang dari kedua anak-anak muda itu, “Kalian tidak percaya bahwa yang merampok itu laskar Raden Mas Said, dan menganggap bahwa mereka justru orang-orang yang sengaja dibuat oleh kumpeni?”

“Ya” sahut seorang gadis kurus.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi keduanya lalu tersenyum sambil mengayunkan kalung merjannya. Katanya, “Nah, siapakah yang senang memiliki kalung ini”

Hampir berbareng gadis-gadis itu berteriak, “Aku, aku”

Anak-anak muda itu tertawa. Katanya, “Baik, baik. Jangan berebut. Aku membawa banyak sekali kalung merjan. Kalung ini memang tidak terlalu mahal. Tetapi sangat menarik. Kawan-kawanmu yang kebetulan tidak ada di sini tentu akan iri hati. Nah, hitunglah, ada berapa orang gadis di sini?”

Gadis-gadis itu pun saling menghitung di antara mereka sendiri. Dan berebutan, mereka berteriak, “Tujuh, tujuh, “Tetapi yang lain berkata, “delapan, delapan orang”

“Salah” seorang anak muda itu berkata, “Delapan. Benar, ada delapan orang. Nah, aku akan memberikan delapan kalung merjan yang besar”

Anak muda itu pun kemudian bangkit dan mengambil kalung merjan. Sambil melangkah semakin dekat ia mengulurkan tangannya menyerahkan kalung itu.

Gadis-gadis itu pun kemudian berebutan berdiri untuk menerima kalung itu. Tetapi anak muda itu masih belum memberikan. Katanya, “Sebentar. Masih ada satu pertanyaan. Siapakah yang mula-mula mengatakan bahwa perampok-perampok itu adalah kaki tangan kumpeni? Bukan anak buah Raden Mas Said?”

Gadis-gadis itu terdiam. Sejenak mereka saling memandang. Tetapi akhirnya mereka berdesis, “Kami tidak tahu. Tetapi yang kami dengar adalah dari orang-orang tua kami. Mereka kadang-kadang berbicara tentang perampok-perampok itu jika mereka berada di sawah atau pategalan”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu, “Tetapi sebut salah seorang dari mereka yang berpendirian begitu. Aku ingin bertanya kepadanya karena aku akan menempuh perjalanan jauh, agar aku mengetahui persoalannya dengan pasti”

Arum menjadi berdebar-debar. Tetapi seperti gadis-gadis yang lain ia ikut mengerumuni merjan itu agar tidak menimbulkan kesan yang lain.

Namun demikian, ia sedang berpikir, bagaimanakah sebaiknya menjawab pertanyaan itu, Arum menjadi semakin cemas ketika ia melihat seorang kawannya yang berparas bulat telur dengan mata yang bulat berkata meskipun dengan kepala tunduk, “Barangkali aku tahu”

Arum tidak mau membiarkan kawannya itu menyebut nama seseorang. Sebab dengan demikian orang itu akan dapat menjadi rambatan untuk menemukan sumber yang sebenarnya. Dan sumber itu adalah dirinya sendiri.

Karena itu dengan serta-merta ia menyahut, “Ya, aku juga tahu. Orang yang mula-mula mengatakannya adalah seorang yang bertubuh gemuk. Aku tahu benar karena aku melihatnya”

Kawan-kawannya kini berpaling kepada Arum. Kedua anak muda itu pun memperhatikan kata-katanya dengan saksama.

“Orang bertubuh gemuk dan naik seekor kuda berwarna coklat. Ia datang bersama seorang yang bertubuh sedang dengan kuda belang-belang. Merekalah yang mengatakan kepada orang-orang yang saat itu sedang berada di sawah, bahwa perampok-perampok itu bukan anak buah Raden Mas Said”

“Jadi kau mendengar sendiri ceritera orang itu?” bertanya anak muda itu dengan wajah yang tegang.

“Aku mendengar sendiri” jawab Arum.

Anak-anak muda itu mendekatinya. Lalu, “Katakan, katakan, apa yang kau dengar dari mereka”

Dan Arum pun mulai menyusun ceritera tentang dua orang berkuda yang pertama-tama mengatakan bahwa perampok-perampok itu bukan anak buah Raden Mas Said. Arum pun mengatakan bahwa perampok-perampok yang terbunuh itu pun hanyalah sekedar umpan untuk memancing kepercayaan rakyat dengan mengorbankan jiwa orang-orang tamak itu. Lalu akhirnya, “Tetapi orang itu mengancam agar kami tidak menyebutkan mereka berdua. Bahkan keduanya berkata bahwa semua kaki tangan kumpeni akhirnya akan dibunuh oleh kumpeni sendiri untuk menghapuskan jejak”

Kedua anak muda itu menjadi semakin tegang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Menilik sikap dan tatapan mata gadis-gadis Jati Sari, mereka telah berkata dengan jujur. Dan sudah, barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat menyusun ceritera itu sendiri.

“Kenapa kau sekarang mengatakan tentang kedua orang itu?” bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu, “Bukankah mereka telah mengancam bahwa kau tidak boleh menyebut mereka”

“Mereka sekarang sudah pergi jauh sekali. Dan mereka tentu tidak tahu bahwa sekarang aku mengatakannya kepada tuan”

Anak-anak muda itu tersenyum. Pikiran gadis desa memang terlampau sederhana. Namun jujur dan dapat dipercaya.

Itulah sebabnya maka kedua anak-anak muda itu pun mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Terima kasih. Nah, sekarang aku akan membagi kalung merjan ini”

Gadis-gadis itu pun semakin berdesakan maju. Tetapi anak muda yang memegang kalung merjan itu masih belum memberikannya. Dan bahkan ia masih bertanya, “Tunggu sebentar. Aku masih ingin bertanya kepada Arum”

Arum menjadi semakin berdebar-debar.

“Arum. Kenapa ceritera orang gemuk itu tersebar di Jati Sari? Apakah kau mengatakan kepada kawan-kawanmu, bahwa apa yang dikatakan oleh orang gemuk itu benar?”

Arum menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku tidak mengatakan”

“Jadi siapa saja di antara kau dan orang-orang yang ada di sawah waktu itu yang menyebarkan pendapat orang gemuk berkuda coklat itu?”

Arum menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Sudahlah, jangan hiraukan lagi. Kau menjadi pucat Tetapi kau justru bertambah cantik”

“Ah” Arum menjadi tersipu-sipu.

“Nah, kau akan mendapat dua untai kalung merjan” berkata anak muda itu, “dan kau mendapat kehormatan memilih lebih dahulu”

Wajah Arum masih kemerah-merahan. Apalagi ketika tangan anak muda itu menyentuh dagunya sambil berkata, “Pilihlah”

Kawan-kawannya mendorong Arum semakin dekat. Dan Arum tidak melawan. Dengan ragu-ragu ia memilih dua untai kalung yang berwarna kebiru-biruan di antara warna kuning yang lembut.

“Kau pandai memilih warna. Kau tidak memilih warna yang tajam. Kau mempunyai kelainan dengan gadis-gadis yang lain” berkata anak muda itu, “caramu memilih warna sangat menarik”

Sekali lagi Arum menundukkan kepalanya. Tetapi kali ini ia benar-benar menjadi berdebar-debar. Ternyata kedua orang itu memiliki ketajaman perasaan yang tidak disangkanya. Caranya memilih warna memang tidak sejalan dengan sikapnya yang seperti gadis-gadis yang lain, bodoh, jujur, dan sederhana. Tetapi ia tidak menduga, bahwa orang-orang yang tidak dikenal itu memperhatikannya sampai pada caranya memilih warna.

Dan ternyata ketika anak muda itu memberi kesempatan kepada Warsi untuk memilih kalung merjan itu, ia memilih kalung yang berwarna merah, kuning tajam diseling oleh warna ungu yang tua. Sedang kawan-kawannya yang lain memilih warna-warna yang menyolok dan silau.

Setelah semuanya memiliki kalung itu, maka kedua anak muda itu pun kemudian berkata, “Nah, semuanya sudah memiliki kalung yang bagus. Sekarang aku akan pergi. Aku akan meneruskan perjalanan meskipun aku masih belum mendapat keterangan yang jelas mengenai perampok-perampok itu, sehingga aku masih ragu-ragu. Baiklah. Tetapi barangkali aku boleh singgah di rumahmu pada kesempatan lain Warsi, dimana rumahmu?”

“Ah rumahku hanya sekedar gubug miring yang jelek. Malu ah?” gadis itu menyembunyikan wajahnya di punggung kawannya.

Anak muda itu tersenyum. Lalu, “Kalau Arum. dimana rumahmu?”

Sebelum Arum menjawab, kawan-kawannya telah mendahului
“Itu, di padepokan itu. Rumahnya besar, halamannya luas”

“Ah” Arum pun menunduk dalam-dalam.

“O” anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Baiklah. Jika kau tidak berkeberatan, aku akan singgah. Jika aku kelak lewat di daerah ini lagi, aku akan membawa kalung merjan yang berwarna lunak seperti kesenanganmu Arum”

Arum tidak menjawab. Hampir saja ia memukul tangan anak muda itu ketika tangan anak muda itu sekali lagi menyentuhnya. Untunglah bahwa ia menyadari keadaannya pada waktu itu sehingga ia hanya dapat melangkah surut, dan bersembunyi di antara kawan-kawannya.

“Sudahlah, kami akan mohon diri. Terima kasih atas sikap kalian yang ramah. Kalian adalah gadis-gadis yang cantik. Gadis-gadis desa adalah gadis-gadis yang cantik, justru karena kalian bekerja setiap hari”

Ketika gadis-gadis itu menjadi tersipu-sipu, maka kedua anak muda yang tampan itu pun melangkah meninggalkan mereka. Sekali mereka masih berpaling dan melambaikan tangannya. Gadis-gadis itu pun berebutan membalas lambaian tangan itu dengan melambaikan kalung-kalung mereka yang berwarna cerah.

Ternyata kalung itu sangat menyenangkan hati gadis-gadis itu, selain Arum. Ia menjadi gelisah dan cemas. Firasatnya mengatakan bahwa kedua anak-anak muda itu tidak melepaskan perhatian mereka kepadanya. Bukan sebagai seorang gadis yang menurut mereka adalah gadis yang cantik. Tetapi kelengahannya memilih warna dan barangkali dengan demikian kedua anak muda itu menghubungkan hal itu dengan sikapnya yang lain, telah membuatnya gelisah.

“Marilah kita pulang” gadis-gadis itu pun saling mengajak. Mereka ingin segera menunjukkan kalung masing-masing kepada orang tua mereka dan kepada kawan-kawannya yang kebetulan tidak bersama mereka.

“Marilah, marilah” Mereka saling menyahut.

“Sebentar lagi aku akan menyusul kalian” berkata Arum, “Aku masih akan memetik terung”

“Marilah aku bantu”

“Terima kasih. Silahkan berjalan dahulu”

Gadis-gadis itu pun kemudian meninggalkan Arum yang pergi ke pategalannya untuk mengambil beberapa buah terung.

Namun sebenarnya Arum ingin memisahkan diri dari kawan-kawannya. Ia ingin mendapat kesempatan merenungi apa yang baru saja terjadi.

Sambil memetik terung, Arum mencoba menilai lagi sikapnya, kata-katanya dan pilihannya.

“Hem” Arum menarik nafas dalam-dalam, “mudah-mudahan tidak menumbuhkan persoalan bagiku dan apalagi bagi padepokan Jati Aking”

Ketika Arum kemudian meninggalkan pategalannya, langkahnya tertegun ketika ia melihat dua orang lain lagi berjalan dengan tergesa-gesa. Ketika keduanya melihatnya maka mereka pun berhenti pula.

Tetapi kali ini orang itu sangat menarik perhatian Arum. Bahkan kemudian dengan tergesa-gesa ia mendekatinya sambil berdesis, “Paman”

Orang itu adalah seorang yang bertubuh raksasa. Sambil tersenyum ia berkata, “Bukankah kau Aram, saudara seperguruan Raden Juwiring”

“Ya paman. Darimana paman, atau akan kemana?” jawab Arum yang sudah mengetahui serba sedikit tentang perkembangan watak orang bertubuh raksasa itu.

Orang itu memandang kawannya sejenak, lalu katanya, “Ada sedikit kepentingan. Tetapi aku tidak akan mengganggumu, kecuali jika kau mengerti”

“Maksud paman?”

“Arum” berkata orang itu, “Aku telah bertemu dengan Buntal”

“He, dimana paman Sura bertemu dengan Buntal?”

Sura tersenyum sejenak, lalu diceriterakannya pertemuannya dengan Buntal.

“O, pada saat kakang Buntal berangkat ke Sukawati?” bertanya Arum, namun kemudian, “Tetapi apakah paman sekarang berada di dalam laskar Raden Mas Said”

“Ya. Aku tidak usah bersembunyi, karena aku tahu sikapmu dan sikap ayahmu. Aku sedang dalam perjalanan mengikuti dua orang anak muda yang aku kira pergi ke padukuhan ini. Menurut keterangan, mereka harus mendapatkan keterangan tentang sikap orang-orang Jati Sari yang aneh, yang menentang pendapat umum, bahwa kami, laskar Raden Mas Said adalah perampok-perampok”

“Tetapi apakah memang demikian?”

“Tentu tidak Arum. Memang mungkin ada satu dua orang yang menodai perjuangannya dengan ketamakan. Tetapi sikap kalian sudah benar. Aku sudah mendengar sikap orang-orang Jati Sari. Perampok-perampok itu memang dibuat oleh kumpeni, meskipun ada di antara mereka yang diupah untuk dibunuh. Dan upah itu tidak akan pernah mereka terima” Sura terdiam sejenak, lalu, “Apakah kau melihat dua orang yang tidak kalian kenal lewat di padukuhan ini?”

“Paman, kadang-kadang di daerah ini memang lewat orang-orang yang mencurigakan. Tetapi baru saja ada dua orang anak muda yang lewat membawa kalung-kalung merjan ini. Mereka memang bertanya tentang sikap kami”

“Nah itulah yang aku ikuti. Tetapi aku kehilangan jejaknya di bulak sebelah. Dimana mereka sekarang?”

Arum menjadi ragu-ragu. Sejenak dipandanginya wajah Sura, kemudian wajah kawannya yang tampaknya selalu bercuriga.

“Paman” berkata Arum, “Mereka mengaku sebagai pedagang. Mereka memang ingin mendapat keterangan tentang perampok-perampok itu, yang katanya agar mereka tidak menemui kesulitan di perjalanan”

Sura mengangguk-angguk sambil tersenyum, “Ya, merekalah yang kami ikuti”

Wajah Arum menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Apakah maksud paman?”

Sura mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Jangan takut Arum. Aku tidak akan merampoknya”

“O, tidak, tidak. Bukan maksudku paman, “Arum menjadi tergagap. Tetapi Sura justru tertawa.

“Tidak apa-apa. Memang di masa seperti ini, setiap orang pantas dicurigai. Tetapi aku minta kau percaya kepadaku. Jika kau bertemu dengan Buntal, bertanyalah tentang aku”

“Ya, ya paman. Aku percaya” Arum menarik nafas, lalu, “kedua orang itu lewat jalan ini”

“Apa saja, yang dilakukan menurut pengetahuanmu?”

Arum menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian menceriterakan apa yang dilihat dan didengar dari kedua anak-anak muda yang tampan dan mengaku pedagang itu. Dikatakannya pula niat keduanya untuk singgah, karena ia sudah menyebut orang gemuk berkuda coklat sebagai sumber berita tentang perampok-perampok yang sebenarnya adalah kaki tangan kumpeni”

Sura mengangguk-angguk pula. Katanya, “Kau sudah melakukan sesuatu yang berbahaya bagimu Arum. Tetapi siapakah sebenarnya sumber berita itu jika kau mengetahuinya”

Arum masih tetap ragu-ragu. Dan akhirnya ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu paman”

“Baiklah. Aku akan mencoba mengikutinya. Mungkin aku terpaksa menghentikan mereka dan membawanya kembali ke kota. Atau, menghadap Raden Mas Said atau orang-orang kepercayaannya”

Arum mengangguk kecil. Ia tahu apa yang dimaksudkan oleh Sura. Tetapi ia tidak menjawab.

“Sudahlah Arum. Berhati-hatilah. Jaga dirimu baik-baik Kau adalah anak Kiai Jati Aking, maksudku Kiai Danatirta dari Jati Aking. Kau tentu memiliki kelainan dari gadis-gadis sebayamu, kau akui atau tidak kau akui. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atasmu”

Arum menundukkan kepala sambil menyahut, “Aku tidak lebih dari seorang gadis padesan paman”

“Ah, semua orang dari padepokan Jati Aking sangat berendah hati. Raden Juwiring adalah sebuah gambaran yang paling baik bagi anak-anak muda bangsawan. Buntal dan tentu juga kau”

Wajah Arum masih tetap menunduk. Tidak dibuat-buat seperti ketika dua orang anak-anak muda yang membawa merjan itu memuji kecantikannya.

“Pulang sajalah Arum. Dan ceriterakan semuanya kepada ayahmu. Semua yang kau dengar dan kau lihat. Ayahmu akan dapat mengambil kesimpulan”

Arum menganggukkan kepalanya.

Sura dan kawannya pun kemudian minta diri untuk melanjutkan perjalanannya. Mereka berdua masih mengharap untuk dapat menemukan kedua anak muda yang telah membagikan merjan kepada gadis-gadis Jati Sari

Sepeninggal Sura, maka Arum pun bergegas pulang sambil menjinjing bakul yang berisi beberapa buah terung. Di sepanjang jalan, angan-angannya selalu dibayangi oleh kedua anak-anak muda yang memang mencurigakan itu.

Ketika ia sampai padukuhan Jati Sari, ia melihat kawan-kawannya yang mendahuluinya, ternyata berdiri di depan gardu dikerumuni oleh kawan-kawannya yang lain. Mereka saling berebutan melihat kalung merjan yang berwarna cerah dan yang jarang dijumpai di padukuhan itu.

Arum yang mendekati mereka yang berada di depan gardu itu pun kemudian dikerumuni pula oleh kawan-kawannya. Mereka pun ingin melihat kalung yang dimiliki Arum. Bahkan dua untai.

“Ia memilih lebih dahulu daripada kami” berkata salah seorang temannya.

“Ia mendapat dua untai. Kami masing-masing satu” sahut yang lain.

“O, agaknya anak muda itu jatuh cinta kepadamu Arum” gurau seorang kawannya yang tidak mendapat kalung.

Wajah Arum menjadi merah.

“Ya. Anak muda yang kaya itu jatuh cinta kepadamu. Beruntunglah kau Arum. Ia tentu akan datang kembali dan membawa kalung lebih banyak lagi”

“Ah” Arum tidak menjawab. Jika ia menjawab sepatah saja maka kawan-kawannya akan mengganggunya semakin tajam. Karena itu maka Arum hanya dapat menundukkan kepalanya.

Tetapi agaknya kawan-kawannya tidak begitu tertarik pada kalung Arum yang berwarna lunak itu. Mereka lebih senang merjan yang berwarna tajam, sehingga seorang kawannya berkata, “He. Arum, kenapa kau memilih warna yang suram ini?”

Sejenak Arum termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku menjadi gemetar sehingga aku tidak dapat memilih. Aku mengambil saja di antara untaian kalung di tangannya”

Kawan-kawannya tertawa riuh Dan salah seorang berkata, “Ya, sekali-sekali anak muda itu menggamitnya”

Dan Warsi berteriak, “Di dagunya”

Meledaklah suara tertawa di sudut desa itu, sehingga beberapa orang laki-laki yang berada di sawah di pinggir desa itu berpaling sejenak. Dilihatnya gadis-gadis padesan sedang bergurau dengan riuhnya, sehingga mereka hanya dapat menarik nafas saja.

Seorang tua yang lewat di dekat mereka pun berhenti sejenak dan bertanya, “Apa yang menarik?”

“O, kakek” sahut Warsi, “kalung merjan yang bagus”

Kakek itu berhenti sejenak, lalu, “Darimana kau dapatkan kalung ini?”

“Dari dua orang pedagang yang lewat”

“He, kau sudah kenal?”

“Belum”

“Bagaimana mungkin ia memberi kalung merjan?”

“Kami tidak minta. Merekalah yang memberikan kepada kami”

Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Anak-anak gadis sekarang tidak lagi mengenal diri. Seharusnya kalian menolak menerima pemberian dari laki-laki yang belum kalian kenal. Kalian belum tahu pasti maksud dari laki-laki itu, siapapun mereka”

“Keduanya orang baik, kek?”

“Siapa tahu di dalam untaian kalung itu terdapat guna-guna. Kalian tentu akan tergila-gila kepada laki-laki itu, dan kalian akan diseret ke dalam cengkeramannya. Pada saatnya kalian akan dilemparkan setelah kalian tidak berharga lagi baginya”

Gadis-gadis itu mengerutkan keningnya. Namun salah seorang menjawab, “Tidak kek. Guna-guna itu tidak akan berpengaruh jika kalung ini sudah aku langkahi”

Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat gadis itu meletakkan kalungnya di tanah dan kemudian kalung itu dilompatinya tiga kali.

Kawan-kawannya pun menirukannya kecuali Arum.

“He, kau tidak Arum. Apakah benar-benar kau telah kena guna-guna itu”

Arum menggeleng, jawabnya, “Tidak. Aku sudah melakukan-nya lebih dahulu dari kalian. Ketika kalian mendahului aku, aku sebenarnya ingin melakukan hal itu, tetapi aku malu terhadap kalian. Karena itu, aku berpura-pura mengambil buah terung.

“O, jadi kau sudah mendahului kami?” Arum menganggukkan kepalanya.

Kakek tua itu masih saja menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan sekali lagi ia bergumam sambil melangkah pergi, “Gadis-gadis sekarang tidak lagi membatasi dirinya. Siapa tahu kalian akan kehilangan kesadaran. Jika laki-laki itu lewat sekali lagi kalian akan kepelet dan mengikutinya tanpa sadar”

Gadis-gadis itu membiarkan laki-laki tua itu pergi. Ketika laki-laki tua itu telah hilang dikelokan, mereka pun tertawa berkepanjangan.

Seorang gadis yang berwajah panjang tertawa paling keras sambil berkata, “Jika kalung-kalung itu mengandung guna-guna, maka Arum lah yang pertama-tama akan mencari laki-laki itu, karena ia mendapat dua untai kalung sekaligus”

Dan yang lain menyahut, “Ya. Tentu Arum yang akan mencarinya lebih dahulu”

“Ah” Arum tersenyum. Tetapi di dalam hati ia berkata, “Aku memang ingin mencarinya. Tetapi seperti paman Sura, aku ingin menangkap mereka dan menyerahkan kepada Raden Mas Said. Tidak untuk kepentingan yang lain”

“Arum” Anak yang berwajah panjang yang belum mendapat kalung merjan itu masih berkata, “Marilah kita membagi nasib. Berikan kalung yang seuntai kepadaku. Biarlah aku saja yang kelak mencarinya, bukan kau”

Suara tertawa gadis-gadis itu bagaikan meledak. Arum pun tertawa pula sehingga air matanya mengambang di pelupuknya.

“Cepat, sebelum kau benar-benar dicengkam oleh guna-guna itu”

“Katakan saja, kau ingin mempunyai kalung merjan” berkata Arum kemudian.

Dan gadis berwajah panjang itu menyahut, “Baiklah. Agaknya memang begitu. Aku ingin memiliki kalung merjan”

“Pantas, kau memang pandai membujuk” teriak yang lain.

“Sst, jangan iri. Siapa tahu, Arum berbaik hati”

“Baiklah” berkata Arum. Dan sebelum Arum melanjutkan gadis itu sudah meloncat sambil berkata, “Nah, jangan iri”

“Tunggu” berkata Arum, “Aku belum selesai. Aku ingin mengatakan, bahwa aku akan mencoba minta beberapa lagi untuk kalian jika aku bertemu”

Sekali lagi gadis-gadis itu bersorak. Kali ini mereka mengejek kawannya yang berwajah panjang.

“Sayang, sayang manis” seorang gadis gemuk mendekati sambil membelai rambutnya.

“Aku akan menangis saja” berkata gadis berwajah panjang itu

“Silahkan” seorang kawannya tiba-tiba menyahut, “Kami memang sudah lama tidak melihat kau menangis”

“Tidak jadi”

Arum pun tertawa. Tetapi sebenarnyalah ia melihat kekecewaan di wajah kawannya. Bukan sekedar bergurau. Karena itu, maka ia pun mendekatinya sambil berkata, “Jangan merajuk. Aku akan memberikan kepadamu yang seuntai. Benar-benar akan aku berikan”

Gadis itu menjadi bingung sejenak. Tetapi ketika Arum benar-benar menyerahkan seuntai kepadanya, tiba-tiba saja ia meloncat sambil memeluk Arum.

“Terima kasih. Kau memang gadis yang paling cantik di Jati Sari. Kau memang pantas diguna-gunai oleh laki-laki lewat itu”

“Hus, aku tidak jadi memberimu”

“O, tidak, tidak. Akulah yang cantik, dan akulah yang pantas diguna-gunai oleh laki-laki”

Gadis-gadis itu masih saja bergurau. Bahkan di sepanjang jalan pulang ke rumah masing-masing pun, mereka masih saja berkelakar, sehingga orang-orang yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan menjengukkan kepala mereka lewat pintu depan yang terbuka.

“Ah, anak-anak itu” desisnya.

Ketika gadis-gadis itu sampai ke rumah masing-masing, maka mereka pun segera menceriterakan tentang laki-laki yang tidak mereka kenal, dan memberikan kalung kepada mereka.

Beberapa orang tua memang menjadi cemas. Tetapi gadis-gadis itu berkata, “Mereka tidak akan berbuat apa-apa ayah. Mereka hanya sekedar lewat. Dan mereka telah kami beritahu tentang perampok-perampok sehingga mereka akan dapat menyesuaikan diri mereka selama perjalanan”

Orang-orang tua mereka pun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja, karena mereka tidak begitu mengerti tentang perampok-perampok yang sedang menjadi bahan pembicaraan itu.

Berbeda dengan mereka, meskipun Arum pun menceriterakan peristiwa itu kepada ayahnya, namun arah pembicaraannya agak lain. Arum sama sekali tidak tertarik kepada kalung itu sendiri, tetapi ia tertarik kepada sikap dan pembicaraan kedua laki-laki muda itu.

Seperti Sura, maka Kiai Danatirta pun kemudian dapat menangkap apa yang menarik perhatian kedua anak-anak muda itu. Karena itu maka katanya, “Arum, memang ada kemungkinan bahwa keduanya akan datang ke rumah ini”

“Paman Sura juga mengatakan begitu”

“Sura” ulang ayahnya, “dimana kau bertemu pamanmu Sura?”

Arum pun menceriterakan serba sedikit pertemuannya dengan Sura, dan dikatakannya pula, bahwa ia telah menunjukkan kalungnya dan mengatakan tentang laki-laki muda itu.

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Katanya, “Peristiwa ini bukan peristiwa yang akan berdiri sendiri. Jika Sura berhasil menemukan kedua orang itu, akan dapat terjadi persoalan-persoalan yang menyangkut kita semuanya”

Arum dapat mengerti persoalan yang dikatakan oleh ayahnya itu, sehingga karena itu, maka ia pun tidak akan dapat melepaskan tanggung jawabnya, jika sesuatu terjadi atas Jati Sari. Namun, di Jati Sari, seakan-akan ia berdiri sendiri di dalam sikap dan perbuatan. Orang-orang lain tidak banyak menghiraukan persoalan yang dapat timbul di masa-masa yang dekat. Ada beberapa anak muda yang dapat dipercaya di dalam sikap. Tetapi mereka tidak memiliki bekal untuk berbuat banyak. Jika terjadi sesuatu, maka mereka justru harus menyingkir, agar tidak menjadi korban yang sia-sia saja.

“Seharusnya ayah tidak selalu menyelimuti dirinya dengan sikap yang pura-pura ini” berkata Arum, “Seperti Kiai Sarpasrana, ayah dapat berbuat bagi anak-anak muda itu”

Tetapi Arum tidak berani mengatakannya kepada ayahnya. Ia hanya sekedar mengatakan hal itu di dalam hati. Namun ia berpengharapan bahwa dalam keadaan yang memaksa, ayahnya akan mengambil sikap yang lain.

Demikianlah, maka kedua orang yang membawa kalung merjan itu tetap merupakan persoalan bagi Arum. Sehari-harian ia tidak dapat tenang. Setiap kali dipandanginya kalung merjannya. Bahkan ketika ia keluar dari padepokannya di sore hari, kalung itu tetap dibawanya.

“He, kemana Arum?” bertanya seorang kawannya.

“O” Arum berhenti, lalu, “ke sawah sebentar mengambil bakul. Aku tadi minta seorang pembantu memetik lombok. Dan aku akan mengambilnya sendiri ke sawah”

“Ah, kau tidak dapat pisah dengan kalungmu”

Arum tersenyum. Tetapi ia tidak dapat menjawab.

Ketika langit menjadi suram, Arum baru kembali ke padepokannya. Ia sejenak terhenti di simpang empat karena bertemu dengan beberapa orang kawannya. Karena itulah maka ia sampai di padepokan ketika matahari sudah bersembunyi di bawah kaki langit.

“Darimana kau Arum” bertanya ayahnya.

“Mengambil lombok ini ayah”

“Yang kau susul sudah datang lebih dahulu”

“Aku berhenti di simpang empat sebentar ayah. Kawan-kawan ada di sana”

Kiai Danatirta tidak bertanya lagi. Dibiarkannya anaknya mandi dan berganti pakaian.

Namun Arum menjadi termangu-mangu di dalam biliknya. Ada sesuatu yang selalu mengganggu perasaannya. Kalung itu. Tetapi ia yakin bahwa hal itu bukan karena guna-guna. Tetapi justru karena kehadiran Sura dan pesan ayahnya.

Sejenak kemudian maka Arum pun makan malam bersama ayahnya. Kini tidak ada orang lain di antara mereka, karena Juwiring sama sekali tidak pernah menampakkan diri lagi, dan Buntal telah berada jauh dari Jati Sari, di antara anak-anak muda yang dipersiapkan oleh Kiai Sarpasrana di sekitar daerah Sukawati.

Tetapi mereka berdua terkejut ketika seorang pembantunya masuk ke ruang dalam sambil membungkuk, “Kiai, ada dua orang tamu”

“Siapa?”

“Aku belum pernah melihatnya Kiai”

“Masih muda” potong Arum.

“Ya. Masih muda dan agaknya orang-orang kota”

Arum menjadi berdebar-debar, dan ayahnya berdesis, “Apakah mereka datang?”

Arum tidak segera menjawab.

“Temuilah Arum. Kau buka saja anakku, tetapi kau adalah murid perguruan Jati Aking”

Arum memandang ayahnya sejenak. Dengan ragu-ragu ia pun kemudian bertanya, “Maksud ayah?”

“Arum. Kau tentu tahu, apa yang akan dilakukan. Tetapi kau pun tahu apa yang seharusnya kau lakukan. Tetapi ingat, kau harus berusaha agar kau tidak mengguncangkan ketenangan padepokan ini di saat-saat sekarang”

Arum tidak segera menjawab. Dipandanginya ayahnya sejenak, kemudian orang yang datang memberitahukan kehadiran tamu-tamu itu.

“Persilahkan mereka duduk di pendapa” berkata Arum kepada pembantunya itu, “Katakan bahwa kami sedang makan”

“Baiklah” sahut pembantunya sambil melangkah surut.

Ketika hal itu diberitahukan kepada tamu itu, mereka menjadi agak ragu-ragu. Salah seorang dari mereka berkata, “Dimanakah mereka makan?”

“Di ruang dalam” jawab pembantu itu.

“Katakan, bahwa aku hanya sebentar”

“Sudah aku katakan. Dan mereka pun sudah hampir selesai makan”

Kedua tamu itu saling berpandangan sejenak. Lalu yang seorang menjawab, “Baiklah aku tunggu di halaman saja. Udara terlampau panas”

Pembantu itu tidak dapat memaksa mereka. Dari kegelapan ia hanya dapat melihat kedua orang itu pun kemudian memencar. Yang seorang pergi ke regol halaman dan yang lain hilir mudik di sisi pendapa.

“Mencurigakan sekali” desis pembantu Kiai Danatirta itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali masuk lagi ke ruang dalam dan memberitahukannya kepada Kiai Danatirta dan Arum.

“Biar sajalah” berkata Arum, “awasi mereka dari kegelapan. Tetapi jangan kau ganggu mereka”

Sepeninggal pembantunya Arum bertanya, “Apa yang mereka lakukan itu ayah?”

“Mereka agaknya cemas bahwa kau akan melarikan diri. Mereka tentu mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang rumit seperti yang mereka ketahui tentang tugas mereka yang penuh dengan rahasia itu, maka mereka menganggap bahwa orang lain pun selalu berprasangka terhadap mereka”

Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya, “Apakah aku akan menemui mereka sendiri?”

Ayahnya menggelengkan kepalanya, “Tidak Arum, aku pun akan melihat tampang mereka itu”

Arum pun kemudian meninggalkan ruang dalam setelah ia membenahi mangkuk dan sisa-sisa makan mereka. di muka pintu Arum terhenti sejenak.

Ayahnya memandanginya dari kejauhan. Tetapi agaknya ia mengerti, apa yang diragukan oleh anaknya. Senjata.

Karena itu maka Kiai Danatirta pun menggelengkan kepala-nya, sehingga Arum dapat menangkap pula maksudnya, bahwa ia harus menemui tamunya tanpa mencurigakannya.

Perlahan-lahan Arum membuka pintu depan. Ditebarkannya tatapan matanya menyapu pendapa rumahnya, kemudian keremangan malam di halaman. Samar-samar ia melihat bayangan yang hilir mudik di halaman, sedang yang lain berdiri di bagian dalam regol yang tertutup.

“Silahkan” Arum mempersilahkan tamu-tamunya.

“O. Terima kasih” sahut yang seorang.

Arum segera mengenal. Suara itu memang suara orang-orang yang pernah memberinya merjan. Karena itu, maka rasa-rasanya jantungnya berdetak semakin cepat.

Ketika keduanya mendekati pendapa, dan sinar lampu minyak mulai meraba wajah-wajah mereka, Arum pun menjadi pasti bahwa keduanya itulah yang datang seperti yang pernah mereka katakan.

“Aku benar-benar singgah ke rumahmu anak manis” berkata salah seorang dari mereka sambil naik ke pendapa.

Arum tersenyum sambil menundukkan kepalanya. Tetapi ia pun kemudian berdesis, “Silahkan duduk”

Keduanya pun duduk di atas tikar yang putih di tengah-tengah pendapa di bawah lampu minyak yang menyala terang. Sambil tersenyum salah seorang dari mereka berkata, “Kemarilah. Kenapa kau masih berada di situ?”

“Aku akan mengatakannya kepada ayah, bahwa tuan-tuan datang kemari”

“Tidak perlu. Aku datang mengunjungimu. Bukan ayahmu”

“Tetapi sepantasnyalah bahwa ayah menemui tuan-tuan”

“Pantas atau tidak pantas, itu tidak penting. Tetapi aku tidak ingin mengganggu ayahmu yang barangkali baru beristirahat, atau bahkan sudah tidur”

“Belum, ayah baru saja makan”

“Sudahlah. Jangan ganggu ayahmu”

Tetapi sebelum Arum menjawab, pintu pringgitan itu pun terbuka lagi dan ayahnya telah berdiri sambil membe-nahi ikat kepalanya.

“Maaf tuan-tuan, agaknya aku terlambat menyambut tuan-tuan”

“Ah, kami sebenarnya tidak ingin mengganggu ketenangan Kiai. Barangkali bapak baru beristirahat atau bahkan sudah berbaring di pembaringan. Silahkan Kiai melanjutkannya. Aku hanya memerlukan Arum saja. Aku pernah bertemu siang tadi di pategalan. Dan aku tertarik melihat sikapnya yang agak lain dari kawan-kawannya”

“Apakah yang lain?” bertanya ayahnya, “Ia tidak ada bedanya dengan kawan-kawannya. Tetapi anakku memang agak lebih dungu dari mereka. Sedikit malas, dan banyak bergurau tanpa arti. Itulah yang tidak aku senangi” ayahnya berhenti sejenak. Lalu, “Silahkan. Barangkali aku dapat mengawani kalian sejenak”

“Tidak perlu. Tinggalkan kami bertiga” berkata salah seorang dari kedua tamu itu.

“Ah” Kiai Danatirta tertawa, “Tuan juga senang bergurau. Biarlah aku duduk bersama tuan”

“Aku tidak bergurau Kiai. Biarlah aku berbicara dengan Arum”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Lalu, “Apakah tuan tidak bergurau?”

“Tidak. Kami tidak sedang bergurau. Kami ingin berbicara dengan anakmu. Dan kami tidak ingin mengganggumu”

“Tuan” suara Kiai Danatirta pun merendah, “Jika demikian, maka aku semakin ingin duduk bersama tuan-tuan. Aku kira tidak pantas seorang gadis menerima tamu laki-laki tanpa orang tuanya”

Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun agaknya ayah Arum berkeras untuk ikut menemuinya, sehingga karena itu maka kedua anak muda itu tidak dapat menolaknya lagi.

“Nah tuan, silahkan tuan berbicara dengan anakku. Aku tidak akan mengganggu. Seperti yang aku katakan, bahwa aku ada di sini sekedar agar anakku tidak menjadi buah pembicaraan orang Jati Sari. Apalagi anakku adalah seorang gadis padepokan yang menurut tetangga-tetangga kami di Jati Sari, padepokan ini merupakan daerah kecil terpencil yang menjadi arena untuk mempelajari olah kajiwan, meskipun sekedar ilmu kajiwan dari padepokan kecil yang tentu tidak akan banyak berarti”

Keduanya memandang orang itu dengan kerut-merut di kening. Dan salah seorang dari mereka pun berkata, “Baiklah. Duduk sajalah di situ. Tetapi jangan mengganggu pertanyaan-pertanyaanku kepada Arum”

Sejenak Kiai Danatirta terdiam. Namun kemudian ia mengangguk, “Baiklah tuan”

“Sebenarnya tidak ada persoalan yang penting yang aku bawa” berkata salah seorang dari mereka, lalu, “Tetapi sebelum aku bertanya yang lain, aku ingin menunjukkan sebuah kalung merjan yang paling bagus yang pernah aku punyai. Bukan saja warnanya yang cerah, tetapi untainya pun agak lain dengan yang pernah aku berikan kepadamu Arum”

“Ah” Arum berdesah.

“Ternyata bahwa kau adalah gadis yang paling cantik dari padukuhan ini. Karena itu maka aku lebih senang datang ke rumahmu daripada ke rumah orang lain. Terlebih-lebih lagi karena kau melihat dua orang berkuda. Yang seorang bertubuh gemuk dan berkuda coklat”

Dada Arum berdesir. Tentu ceriteranya itulah yang sangat menarik perhatian. Ceritera yang dikarangkannya dengan tiba-tiba saja untuk menghindari kecurigaan kedua orang itu. Namun akibatnya justru sebaliknya. Kedua orang itu benar-benar datang kepadanya. Agaknya mereka dengan sungguh-sungguh menganggap ceriteranya itu sebenarnya telah terjadi.

Karena Arum tidak segera menjawab maka orang itu pun berkata, “Jangan takut Arum. Aku tidak apa-apa. Aku hanya sekedar ingin mendengar ceritera tentang orang-orang berkuda itu”

“Bukankah aku sudah mengatakannya” sahut Arum.

“O, kau memang sudah mengatakannya. Tetapi barangkali kau mengetahui lebih banyak lagi?”

“Tidak”

“Baiklah. Jika demikian, selain kau siapa sajakah yang mendengar ceritera tentang perampok-perampok itu? Dan barangkali kau sudah mengenal mereka, karena mereka tentu berasal dari padepokan ini pula”

Arum termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, “Aku sudah tidak ingat lagi, siapa saja yang waktu itu ada di sekitar tempat itu”

Laki-laki muda itu tersenyum. Katanya, “Kau dibayangi oleh ketakutan dan prasangka. Aku benar-benar sekedar mencari keterangan agar perjalananku selalu selamat. Jangan menduga yang bukan-bukan. Sebaiknya kau menceriterakannya kepadaku. Dengan demikian, jika kau memang ketakutan, aku dapat bertanya kepada orang lain itu. Bukan kepadamu. Jika aku datang kepadamu, semata-mata aku hanya ingin memberimu kalung merjan. Gelang dan perhiasan-perhiasan yang lain. Kau memang sangat cantik”

Kiai Danatirta yang ada di sisi Arum hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak ikut di dalam pembicaraan itu.

“Kenapa kau tidak mau menyebut salah seorang dari mereka Arum?”

Arum menggeleng sambil berkata, “Aku benar-benar tidak ingat lagi. Apakah yang ada di tempat itu waktu itu beberapa orang laki-laki atau beberapa orang perempuan”

“Tetapi kau ingat bahwa kau tidak sendiri?”

“Ya. Aku tidak sendiri. Tetapi aku tidak ingat lagi, dengan siapa aku berada di sawah waktu itu”

“Itu mustahil sekali Arum. Kau tentu ingat seorang dari mereka”

“Aku benar-benar tidak ingat”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah Arum, jika kau tidak ingat, aku tentu tidak akan dapat memaksa. Tetapi seperti yang aku katakan, aku mempunyai seuntai kalung merjan yang jauh lebih bagus. Marilah, kita ambil sebentar kalung itu. Aku meninggalkannya di dalam kereta”

“Kau membawa kereta?”

“Ya. Aku membawa kereta”

“Tadi siang kau tidak membawa kereta. Darimana kau mendapatkan kereta itu?”

“Tadi siang aku juga membawa kereta. Tetapi aku tinggalkan di ujung bulak, karena aku sengaja ingin memasuki padukuhan kecil ini untuk mendapatkan keterangan.

Arum mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat apakah Sura yang membayangi kedua orang itu pun tidak membawa kendaraan apapun. Juga tidak membawa kuda. Tetapi memang mungkin sekali mereka membawa kereta atau kuda yang ditinggalkannya di luar pedukuhan.

“Marilah Arum. Kalung itu jauh lebih bagus dari kalung yang aku bawa siang tadi. Hanya kepada gadis secantik kau saja yang aku akan memberikan kalung itu”

Arum menjadi termangu-mangu. Hanya gadis padesan yang paling bodoh sajalah yang tidak menaruh kecurigaan apa-apa terhadap kedua orang yang akan memberinya kalung yang tertinggal di kereta. Tetapi justru karena Arum bukan anak yang paling dungu di desanya, ia digelitik oleh perasaan ingin tahu apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh kedua orang itu.

“Kenapa kau termenung? Apakah kau takut?”

Arum menggelengkan kepala. Katanya, “Tidak. Aku tidak takut. Tetapi tentu tidak pantas aku mengikuti di malam begini. Sedangkan tuan bukan sanak dan bukan kadangku”

Kedua Laki-laki itu tertawa. Salah seorang berkata, “Gadis-gadis padesan memang banyak bertingkah. Tetapi aku tahu, itu bukan karena kau merajuk atau karena maksud-maksud buruk. Tetapi karena kau memang benar-benar anak padesan yang masih dicengkam oleh perasaan-perasaan yang sebenarnya tidak berarti lagi bagi jaman ini. di kota, peradaban orang-orang asing itu telah sama-sama kita miliki. Batas antara laki-laki dan perempuan semakin dekat dan akhirnya tentu akan hilang sama sekali”

“Ah” Arum berdesah, “Tentu tidak. Kita bukan orang-orang asing itu”

“Tetapi apa salahnya kita menyadap peradabannya. Bukankah dengan peradabannya mereka mampu menaklukkan lautan dan mengelilingi dunia ini? Sedang kita yang berpegang teguh pada peradaban kita yang picik ini, apakah yang dapat kita capai? Dunia pada suatu saat tentu akan terasa menjadi sempit, dan kita pun harus berada di tengah-tengah pergaulan yang sempit itu. Kenapa kita harus takut kepada peradaban asing itu?”

“Tuan” Kiai Danatirta lah yang menyahut, “kadang-kadang memang kita merasa bahwa kita menjadi bagian dari pergaulan dan peradaban yang semakin dekat dari isi bumi ini. Tetapi bagi orang-orang tua seperti aku ini, yang barangkali masih tetap terkebelakang, memang merasa bahwa kita harus terjun ke dalamnya. Tetapi jika kita berada di tengah-tengah dunia ini, maka kita adalah kita. Kita bukan orang yang terjun dan tenggelam. Tetapi kita terjun dan tetap berada di antara mereka sebagai kita-kita ini. Sebagai sebuah pribadi yang akan mereka kenal dan memang mempunyai kelainan seperti juga pribadi-pribadi yang lain, yang memiliki kediriannya masing-masing”

Kedua anak-anak muda mengerutkan keningnya, namun salah seorang daripadanya kemudian tertawa sambil berkata, “Kau tidak akan dapat hidup di dalam alam yang dibayangi oleh harga diri yang berlebih-lebihan itu terus menerus. Jika demikian, maka orang lain telah memiliki tujuh buah kereta yang ditarik oleh delapan ekor kuda karena ia tidak membatasi diri di dalam lingkungan dan hubungannya dengan orang asing, maka kau akan tetap berjalan kaki sampai ke segala penjuru pulau ini jika kau mempunyai keperluan. Tetapi itu adalah persoalanmu sendiri. Aku tidak akan berkeberatan” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebaiknya kau biarkan anak gadismu menikmati hidup di masa remajanya. Jika kau akan tetap di dalam dunia yang terkebelakang, itu terserah. Umurmu tinggal beberapa tahun lagi. Tetapi lepaskan anak gadismu menikmati hidup ini sepuas-puasnya. Jika ia mau, ia akan menjadi orang yang terhormat di kota”

“Ah, biarlah ia. tetap menjadi anak padesan” sahut Kiai Danatirta.

“Baiklah. Itu bukan persoalanku. Sekarang, biarlah aku menemui janjiku. Aku akan memberinya kalung merjan yang paling bagus”

Arum menjadi ragu-ragu. Tetapi keinginannya untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh anak-anak muda itu menjadi semakin besar. Dan agaknya ayahnya pun mengetahui-nya pula, sehingga hampir di luar dugaan kedua anak-anak muda itu, Kiai Danatirta pun berkata, “Baiklah tuan. Jika tuan ingin memberinya kalung, biarlah aku mengantarkannya sampai ke kereta tuan”

Kedua anak muda itu saling berpandangan. Tetapi salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata, “Baiklah. Baiklah. Marilah kita pergi”

Arum menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin tenang, karena ayahnya ikut pula bersamanya.

Demikianlah maka Arum pun diantar oleh Kiai Danatirta turun ke halaman dan keluar dari regol. Beberapa saat lamanya mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan di dalam gelapnya malam. Agaknya padukuhan itu menjadi lengang. Beberapa orang menjadi segan keluar dari rumahnya di malam hari setelah terjadi berita yang mendebarkan tentang perampok-perampok yang berkeliaran. Tetapi malam memang terlampau dingin sehingga malas juga berada di gardu-gardu.

Ketika mereka sampai di luar padukuhan, mereka sama sekali tidak melihat seekor kuda pun. Apalagi sebuah kereta sehingga Arum yang memang sudah bercuriga itu pun bertanya, “Dimanakah kereta tuan?”

“Di sana, di ujung bulak”

“Di ujung bulak?” ulang Arum.

“Ya, di ujung bulak di sebelah sudut padukuhan”

Arum tidak menjawab. Ia berjalan saja diiringi oleh ayahnya.

Namun ketika mereka sampai ke ujung bulak, maka mereka masih belum melihat sesuatu, sehingga sekali lagi Aram bertanya, “Tuan, dimanakah kereta tuan?”

Sejenak keduanya tidak menjawab. Tetapi mereka masih saja melangkah memasuki bulak yang gelap.

“Tuan” langkah Arum pun kemudian terhenti. Demikian juga Danatirta.

“Kenapa kau berhenti?” bertanya salah seorang dari kedua laki-laki muda itu.

“Kereta tuan tidak ada”

Laki-laki itu menarik nafas, lalu, “Ya, keretaku memang tidak ada”

“Jadi, apakah maksud tuan sebenarnya?”

“Marilah, kita ambil kalung itu di Surakarta. Kalung itu bukan hanya dari merjan, tetapi dari emas. Kita singgah sebentar di rumah kawanku. Sebenarnyalah bahwa aku meninggalkan keretaku di sana di daerah Losari”

“Losari?”

“Ya”

“Bukankah padukuhan Losari itu jauh dari sini?”

“Masih lebih jauh ke Surakarta”

“Ah, tidak tuan. Biarlah aku dan ayah kembali saja ke padepokan”

“Jangan Arum. Aku memerlukan kau. Memang aku tidak memerlukan ayahmu. Biarlah ayahmu kembali. Kau mempunyai keterangan yang berharga tentang orang gemuk berkuda coklat. Dan kau adalah gadis yang cukup cantik. Kau akan mendapat tempat yang baik di Surakarta. Orang-orang asing akan memberi apa saja yang kau minta. Dan jika mereka tidak mau, maka aku pun bersedia memeliharamu”

“Gila” Arum berteriak.

“Jangan berteriak di malam hari”

“Tuan” berkata Kiai Danatirta, “sebenarnya bukan caranya tuan berbuat begitu sebagai seorang laki-laki Surakarta. Tuan telah mengecewakan aku. Aku menganggap bahwa orang-orang Surakarta adalah orang-orang jantan dan bersifat kesatria”

“Hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang berbuat demikian” orang itu tertawa, “Kami tidak lagi ingin dicengkam oleh kebodohan kami, seolah-olah dengan kejantanan dan sifat-sifat kesatria kita akan dapat mencukupi kebutuhan kita”

“Kebutuhan lahiriah”

“Itulah yang sangat menarik. Seperti kecantikan lahiriah anakmu”

“Tuan, tentu aku tidak akan membiarkan anakku tuan bawa”

“Persetan”

“Ijinkanlah aku membawa anakku pulang”

Kedua anak-anak muda itu termenung sejenak. Lalu salah seorang berkata, “Jangan cari perkara Kiai. Pulanglah sendiri”

Kiai Danatirta menjadi termangu-mangu. Ia masih ragu-ragu untuk berbuat sesuatu, karena dengan demikian akan dapat menimbulkan akibat yang berkepanjangan. Menurut penilaian-nya, kedua anak-anak muda itu tentu bukan orang kebanyakan. Keduanya pasti orang-orang yang mendapat kepercayaan dari kumpeni atau dari para bangsawan yang berpihak kepada kumpeni untuk mengumpulkan keterangan tentang sikap orang-orang Jati Sari.

“Jika salah seorang dari keduanya berhasil melarikan diri. atau barangkali ada kawan-kawannya yang ada di sekitar tempat ini dan melihat peristiwa ini terjadi, maka akibatnya akan menjadi sangat luas” berkata Kiai Danatirta di dalam hatinya, “Tetapi jika aku membiarkan Arum mereka bawa, maka banyak kemungkinan dapat terjadi. Jika Arum terjerumus ke dalam lingkungan mereka, maka ia akan mengalami nasib yang sangat malang. Dan bahkan tidak dapat dibayangkan sebelumnya”

Namun dalam pada itu kedua anak-anak muda itu pun telah memperhitungkan setiap kemungkinan. Mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Menurut pengalaman mereka, para penghuni padepokan, bukan saja menguasai olah kajiwan, tetapi olah kanuragan pula. Karena itu, maka mereka tidak mau kehilangan kesempatan untuk membawa Arum pergi. Sebelum terjadi sesuatu yang akan dapat menyulitkan mereka, maka tiba-tiba saja, hampir di luar penglihatan mata, tangan salah seorang dari kedua anak muda itu telah melingkar di leher Arum. Sebuah pisau belati kecil tergenggam di tangan itu, sedang ujungnya telah menyentuh leher Arum yang menjadi tegang.

“Jangan berbuat sesuatu Kiai” berkata salah seorang anak muda itu, “Kau tentu masih sayang kepada anakmu. Jika kau mencoba untuk melakukan sesuatu yang mencurigakan, maka pisau ini akan menusuk leher anakmu” ia berhenti sejenak, lalu, “Arum, kenapa di lehermu tidak tersangkut kalung merjan itu?”

Arum mengumpat di dalam hati. Tetapi ia tidak bergerak sama sekali, karena ujung pisau itu terasa menekan lehernya.

“Pergilah Kiai” berkata anak muda itu, “pergilah. Atau kau ingin melihat leher anakmu ini sobek?”

“Jangan” suara Kiai Dana-tirta yang menjadi sangat cemas.

“Pergilah. Dan jangan mencoba membuat keributan dengan membangunkan tetangga-tetanggamu, apalagi mengejar kami. Karena dengan demikian kau akan mempercepat kematian anakmu”

Kiai Danatirta tidak dapat berbuat lain. Jika ia berbuat sesuatu, betapapun ia mampu bergerak dengan cepat, tetapi pisau itu tentu lebih cepat menghunjam di leher anak gadisnya.

Karena itu, Kiai Danatirta tidak akan mempunyai pilihan, ia harus tunduk kepada perintah anak-anak muda itu.

“Cepatlah Kiai. Jangan membuat kami marah” geram anak muda itu.

Perlahan-lahan Kiai Danatirta melangkah mundur. Dipandanginya saja wajah Arum yang tegang. di dalam kegelapan Kiai Danatirta tidak melihat bahwa wajah itu menjadi semerah bara.

“Aku tidak akan berbuat apa-apa terhadap anakmu jika kau menurut perintahku, dan seterusnya tidak mengganggu” berkata anak muda yang mengancam leher Arum dengan pisau itu.

Kiai Danatirta tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian berjalan perlahan-lahan menjauhi kedua anak-anak muda yang sudah berhasil menguasai Arum.

“Nah, sekarang kau seorang diri anak manis” berkata anak muda itu setelah Kiai Danatirta tidak kelihatan lagi, “Aku memang hanya memerlukan kau. Bukan ayahmu. Dua orang kawanku telah menunggumu. Mereka adalah orang-orang yang baik, yang akan memberimu apa saja, asal kau menjawab pertanyaan mereka dengan baik. Misalnya, tentang orang gemuk berkuda coklat itu. Dan tentang tetangga-tetanggamu yang kebetulan mendengar juga orang gemuk berkuda coklat itu berceritera”

Arum tidak menjawab. Ia tidak memberikan kesan bahwa ia memiliki kelainan dari gadis-gadis biasa. Karena itu, maka ia pun menurut saja perintah yang diberikan oleh kedua orang yang mengambilnya itu.

Dengan demikian, maka orang-orang itu pun menjadi tidak mencurigainya lagi, bahwa ia akan melawan, atau Setidak-tidaknya akan melarikan diri. Anak muda yang mengacukan pisaunya itu telah menyarangkannya kembali. Namun demikian keduanya masih tetap berjalan sebelah menyebelah Arum.

Di perjalanan itu Arum pun berusaha untuk menemukan jalan, agar ia dapat melepaskan diri dari keduanya. Arum sama sekali tidak tahu, sampai berapa jauh kemampuan kedua orang itu di dalam olah kanuragan. Namun yang jelas bagi Arum, bahwa anak-anak muda itu tentu membawa senjata. Setidak-tidaknya pisau-pisau belati seperti yang diacukan ke lehernya.

Dengan hati-hati Arum mencoba menyentuhkan tangannya ke lambung salah seorang dari keduanya dengan berpura-pura kakinya terperosok sebuah lubang di tengah jalan. Dan ternyata sentuhan itu memberikan kesan kepadanya, bahwa sebenarnya-lah senjata anak-anak muda itu bukan hanya sebuah pisau belati kecil itu. di bawah kainnya terdapat sarung sebilah pisau belati yang lebih besar, bahkan hampir sebuah pedang kecil yang pendek. Sedang hulunya pun disembunyikannya di bawah bajunya yang longgar.

Dengan demikian Arum pun menjadi bimbang. Apakah ia akan dapat berbuat sesuatu. Apalagi kedua orang itu berkata, bahwa masih ada dua orang kawannya lagi yang sedang menunggu.

Di sepanjang langkahnya Arum mencoba memperhitungkan, apakah yang sebaiknya dilakukan. Jika kemudian mereka sampai kepada kedua orang yang menunggu itu, maka ia akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk melepaskan diri.

“Tetapi bagaimanakah akibatnya jika kedua orang ini memiliki kemampuan yang tinggi?” Arum bertanya kepada diri sendiri.

Dan pertanyaan itu pun disusul pula oleh pertanyaan lain, “Namun tentu tidak akan lebih baik jika aku berada di antara orang-orang yang tidak aku kenal dan berjumlah lebih banyak lagi, sehingga aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas diriku nanti”

Arum terkejut ketika tiba-tiba saja salah seorang anak muda yang berjalan di sisinya itu menggamitnya sambil berkata, “Jangan risau. Ayahmu pulang dengan selamat. Dan kau pun akan selamat jika kau tidak berbohong”

Arum mencoba memandang wajah anak muda itu. Namun kepalanya di palingkannya ketika anak muda itu menyentuh pipinya, “Kau tidak akan mengalami apapun juga, justru karena kau cantik. Bahkan mungkin kau akan mendapat perlakuan khusus dari mereka”

Arum menjadi semakin muak kepada anak muda itu. Sepercik penyesalan telah meraba hatinya. Jika ia tidak menyebut orang gemuk berkuda coklat, maka ia tidak akan mengalami nasib serupa itu.

“Tidak” Ia menggeram di dalam hati, “Aku tidak mau sampai kepada dua orang lain lagi yang tidak aku kenal. Apapun yang akan terjadi, aku harus berusaha. Jika kedua orang ini ternyata memiliki kemampuan yang tinggi, biarlah aku mati di sini. Itu lebih baik daripada aku akan jatuh ke tangan orang-orang yang tentu akan memeras keteranganku dengan segala macam cara. Dan bahkan mungkin dengan cara yang paling buas yang dapat dilakukan atas seorang perempuan”

Dan ternyata Arum pun telah berketetapan hati. Karena itu, ia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Apalagi saat itu mereka masih berjalan di jalan persawahan yang agak jauh dari padesan.

“Aku harus berbuat sesuatu sebelum aku sampai ke ujung bulak itu” katanya di dalam hati.

Arum pun kemudian mempersiapkan dirinya. Ia telah mem pelajari ilmu olah kanuragan sampai tuntas, meskipun masih perlu dikembangkan lebih jauh. Namun dengan bekal yang ada, ia harus mempertahankan dirinya dari kebuasan orang-orang yang tidak dikenalnya itu.

Untuk beberapa saat kemudian Arum masih saja berjalan dengan kepala tunduk. Dibiarkannya saja anak muda itu mengganggunya, bahkan kadang-kadang menyentuhnya.

Namun adalah di luar dugaan mereka, bahwa tiba-tiba saja Arum meloncat selangkah surut, dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Kedua anak-anak muda itu terkejut bukan kepalang. Dengan serta merta mereka pun kemudian berhenti dan berpaling. Namun Arum tidak memberinya kesempatan sama sekali, justru karena ia tidak mengerti tingkat ilmu dari kedua orang itu.

Tetapi Arum sudah memutuskan bahwa ia akan berjuang dengan sekuat tenaga sampai kemungkinan yang terakhir. Jika ia gagal, dan kedua anak muda itu berhasil membawanya, maka ia tentu akan memilih mati. Ia pernah mendengar bagaimana kumpeni atau orang-orangnya berbuat terhadap orang-orang yang dicurigai dan tidak disenanginya. Apalagi ia adalah seorang gadis.

Sebelum kedua orang itu sempat berbuat sesuatu, maka Arum pun sudah memulainya. Ia berusaha untuk lebih dahulu melumpuhkan seorang dari antara mereka, karena dengan demikian ia akan berhadapan dengan seorang saja lagi. Setidak-tidaknya ia akan dapat mengurangi kemampuan yang seorang itu.

Karena itulah, maka sebelum keduanya sadar sepenuhnya akan persoalan yang dihadapinya, sebuah serangan telah meluncur menghantam dada salah seorang dari kedua anak muda itu. Serang kaki yang lurus mendatar, sehingga karena itu maka anak muda yang tidak menduga akan mengalami serangan yang demikian keras dan cepatnya itu, tidak sempat berbuat apa-apa.

Yang terdengar kemudian adalah hentakan yang keras di dada anak muda itu disusul oleh keluhan yang tertahan. Kemudian anak muda itu terhuyung-huyung dan jatuh terlentang.

Peristiwa itu benar-benar telah mengejutkan anak muda yang seorang lagi. Namun dengan gerak naluriah ia pun segera bersiap dan bahkan senjatanya telah tergenggam di tangannya. Seperti dugaan Arum, sebuah pedang yang pendek sekali, namun cukup berbahaya bagi lawannya.

Menghadapi senjata pendek itu Arum harus berhati-hati. Tetapi ia sempat melihat dengan sudut matanya, anak muda yang seorang itu menggapaikan tangannya dan perlahan-lahan mencoba bangkit.

Tetapi demikian anak itu berhasil duduk bersandar tangannya, sekali lagi Arum menyerangnya dengan kakinya tepat mengenai pelipisnya. Sekali lagi terdengar anak muda itu mengaduh, namun kemudian ia pun jatuh pingsan.

Tetapi berbareng dengan itu, anak muda yang lain, yang telah siap dengan senjatanya, menyadari sepenuhnya apa yang sedang dihadapinya. Karena itu, maka ia pun segera menyerang dengan pedang pendeknya.

Arum sempat mengelak. Sebuah loncatan yang panjang telah melemparkannya agak jauh dari lawannya, sehingga ia sempat mempersiapkan dirinya menghadapi lawannya yang bersenjata itu.

Namun dalam pada itu terasa angin malam menyentuh kakinya sampai ke paha. Ternyata bahwa kain panjangnya telah tersobek pada serangannya yang pertama hampir sampai ke ikat pinggangnya.

“Aku tidak sempat memakai pakaian khususku” desisnya di dalam hati, “Tetapi apa boleh buat. Lebih baik kain ku yang tersobek daripada kulitku”

Demikianlah keduanya kemudian terlibat di dalam perkelahian yang sengit. Anak muda itu harus mengakui, bahwa gadis yang dihadapinya saat itu bukannya gadis kebanyakan. Dan itu adalah di luar dugaannya.

Arum yang tidak ingin-mengalami perlakuan yang tidak adil atas dirinya, dan bahkan kemudian berkembang bukan saja sekedar atas dirinya, tetapi atas orang-orang di padukuhannya, telah bertempur sekuat-kuatnya. Meskipun lawannya menggeng-gam sebuah pedang pendek, namun Arum tidak mengalami terlampau banyak kesulitan. Bahkan ia masih berhasil membuat lawannya itu menjadi bingung. Kadang-kadang Arum meloncat surut, namun kemudian melingkar dan menyerang menyusup ayunan pedang pendek lawannya.

Tetapi lawannya benar-benar seorang yang licik di dalam kesulitan ia mencoba mencari jalan lain untuk menundukkan lawannya. Karena itu maka katanya kemudian, “Kau memang luar biasa Arum. Aku tidak menyangka bahwa di Jati Sari ada seorang gadis yang lengkap seperti kau. Seorang gadis yang bukan saja cantik dan manis, tetapi juga seorang gadis yang memiliki kemampuan bertempur yang luar biasa”

Arum tidak menghiraukannya. Ia masih tetap bertempur dengan sengitnya sehingga lawannya itu terdesak beberapa langkah.

“Arum, kenapa kalungmu tidak kau pakai? Kau tentu akan bertambah cantik dengan kalung merjanmu”

Arum menjadi muak. Dan tiba-tiba saja ia menjawab, “Kalung yang tidak berharga itu sudah aku berikan kepada orang lain”

“Kenapa?”

“Aku tidak memerlukannya. Aku menerimanya sekedar untuk menyenangkan hatimu. Tetapi ternyata kau adalah orang yang paling memuakkan”

“Ah” Orang itu berdesah. Tetapi suaranya terputus karena serangan Arum yang semakin dahsyat.

Ternyata bahwa kalung merjan itu tidak memberikan kesan apapun bagi Arum. Sejak gadis itu memilih kalung merjan, ia sudah mempunyai penilaian yang lain terhadap Arum. Ternyata bahwa tidak seperti gadis lain-lainnya, Arum tidak memerlukan kalung itu.

“Kenapa kau tidak senang akan kalung merjan itu?” anak muda itu masih mencoba bertanya.

Arum tidak menjawab. Ia berusaha untuk menghancurkan lawannya. Apalagi mereka sudah tidak berada di padukuhannya lagi sehingga jika bekas dari peristiwa itu diketemukan, maka tetangga-tetangganya tidak akan mengalami akibat yang parah karena hilangnya kedua orang itu.

Karena kalung itu sama sekali tidak mempengaruhi Arum, maka orang itu mencari akal yang lain. Tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berkata, “Arum, aku hampir gila kau buat. Mungkin kau sengaja mempengaruhi agar aku tidak dapat bertempur seperti seharusnya. Jika aku berkelahi melawan perampok-perampok anak buah Raden Mas Said, aku tentu sudah membunuhnya. Tetapi sekarang yang aku lawan adalah seorang gadis yang cantik, yang tidak menutup tubuhnya dengan lengkap”

Dada Arum bergetar mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya sebelah tangannya berusaha mengatupkan kainnya yang sobek sampai ke ikat pinggangnya.

“Aku tidak dapat berbuat banyak atasmu Arum. Tanpa banyak kesulitan kau akan dapat memenangkan pertempuran ini. Justru karena kau singkapkan kain panjangmu”

“Gila” Arum hampir berteriak. Tetapi kini setiap kali ia sibuk dengan kainnya yang sobek.

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Apakah kau menghendaki aku menyerah? Tetapi apakah kau akan menjamin keselamatan-ku”

“Persetan” bentak Arum, “Aku akan membunuhmu”

“Tetapi itu tidak jujur. Kau mempergunakan cara yang tidak kesatria”

Arum menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung. Karena itu, sebelah tangannya menjadi seakan terikat pada kain panjangnya, dan tata gerak kakinya tidak lagi selincah sebelumnya. Setiap kali anak muda itu menyebut seolah-olah ia telah berbuat sengaja, sehingga dengan demikian ia telah berbuat licik.

Karena itulah, maka Arum tidak lagi dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung, sehingga pedang lawannya menjadi semakin berbahaya baginya. Setiap kali dadanya berdesir jika ia mendengar lawannya tertawa dan menunjuk kainnya yang sobek itu dengan ujung pedangnya.

“Gila” teriak Arum kemudian, “Kaulah yang licik”

“Kenapa aku? Aku tidak berbuat apa-apa. Bahkan aku bersedia menyerah jika kau menghendaki. Bukan karena kemampuanmu yang tinggi, tetapi justru karena kain panjangmu yang sengaja kau sobek sampai ke ikat pinggang itu”

“Gila, gila, gila” bagaimanapun juga Arum adalah seorang gadis. Itulah sebabnya maka kelemahannya sebagian besar ada pada dirinya sendiri. Pada perasaannya. Dan lawannya telah mempergunakan sebaik-baiknya.

Bahkan hampir menangis Arum berteriak, “Kau pengecut. Kau tidak berani bertempur dengan jujur?”

“Kaulah yang tidak jujur Arum” terdengar anak muda itu tertawa, “ketika aku melihat kau di pategalan, aku sudah hampir menjadi gila. Apalagi sekarang, dengan caramu yang berhasil itu, aku benar-benar tidak mampu melawanmu”

“Tutup mulutmu, tutup mulutmu. Kita sedang bertempur”

Justru terdengar suara tertawa. Bukan saja tertawa kemenangan karena Arum menjadi semakin terdesak. Tetapi tertawa licik yang lambat laun akan dapat menghancurkan pertahanan di dalam dada Arum.

Sejenak Arum bagaikan kehilangan akal. Ia hanya sekedar bertahan dan menghindar. Ia sama sekali tidak lagi dapat menyerang dengan garang, apalagi mempergunakan kakinya yang lincah.

Bahwa Arum kemudian benar-benar terdesak, sama sekali bukan karena ia tidak mampu mengimbangi ilmu lawannya, tetapi semata-mata karena perasaannya sebagai seorang gadis padepokan yang hidup dalam lingkungan kecil.

Anak muda itu merasa bahwa ia pasti akan berhasil menguasai Arum dengan caranya. Bahkan kemudian tumbuh pula di dalam hatinya, keinginannya untuk menangkap Arum hidup-hidup.

“Tetapi ia akan dapat menjadi liar dan berbahaya” berkata orang itu di dalam hatinya. Tetapi lalu, “Aku dapat mengikat tangannya dan membiarkannya berpakaian tidak lengkap seperti itu”

Sebenarnyalah bahwa semakin lama Arum menjadi semakin terdesak. Bahkan sekali-sekali pedang lawannya bagaikan akan menyentuh tubuhnya.

Dalam keadaan yang semakin terdesak itu Arum menjadi sangat gelisah. Namun ia masih tetap sadar, bahwa jika ia dapat ditangkap oleh orang itu, ia akan mengalami nasib yang parah.

Karena itu, di dalam kesulitan yang semakin menghimpitnya, Arum mencoba mempertimbangkan apa yang sebaiknya dilakukan.

Akhirnya Arum memutuskan bahwa baginya akan lebih baik bertempur dalam pakaiannya yang compang camping daripada tertangkap oleh orang yang memuakkannya itu.

“Aku harus menghancurkannya sama sekali, agar ia tidak meninggalkan bekas yang selalu memanaskan hati jika aku pada suatu saat bertemu dengan orang ini” berkata Arum di dalam hatinya.

Dengan keputusannya itu, maka Arum pun kemudian menemukan keseimbangannya kembali. Ia mencoba mengke-sampingkan perasaannya dan mempergunakan nalarnya. Jika ia masih selalu dibayangi oleh perasaan malu dan segan karena pakaiannya, maka ia pasti akan mendapatkan malu yang jauh lebih besar lagi.

Sejenak kemudian anak muda itu terkejut. Aram tiba-tiba melepaskan sebelah tangannya yang selalu memegangi kainnya yang sobek sampai ke ikat pinggang. Dan tiba-tiba saja Arum telah menemukan bentuk perlawanannya kembali.

Sejenak anak muda itu dicengkam oleh kecemasan. Namun kemudian ia berusaha mempengaruhi Aram dengan cara yang sama.

Tetapi Aram tidak menghiraukannya. Bahkan ia berkata hampir di luar sadarnya, “Aku tidak peduli. Malam cukup gelap untuk melindungi aku”

Jawaban itu mengejutkan lawannya. Apalagi ketika ia melihat Arum semakin cepat bergerak. Bukan saja tangannya, tetapi juga kakinya.

“He, kau tidak mengenal malu. Ternyata kau bukan seorang gadis yang baik seperti yang aku duga” Anak muda itu hampir berteriak.

Tetapi Arum menjawab, “Memang aku bukan seorang gadis yang baik seperti yang kau duga”

Anak muda itu menggeram. Ia kini merasa bahwa caranya untuk mempengaruhi Arum sudah tidak dapat dipercaya lagi. Agaknya Arum tidak lagi menghiraukan kainnya yang sobek hampir sampai ke ikat pinggang.

Karena itu, maka anak muda itu menjadi gelisah. Meskipun ia bersenjata, tetapi ia tidak dapat menguasai Arum sama sekali. Bahkan sekali-sekali Arum berhasil menyusup di antara ayunan pedangnya, dan menyerangnya dengan dahsyatnya. Anak muda itu mengaduh tertahan ketika kaki Arum berhasil menyentuh lambungnya. Kemudian tangan gadis itu mengenai pelipisnya sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.

“Aku akan dikalahkannya” desis anak muda itu di dalam hati.

Karena itu, ia harus melepaskan niatnya untuk menangkap Arum untuk dirinya sendiri. Ternyata ia lebih menyukai nyawanya sendiri daripada Arum.

Dalam keadaan yang paling sulit, maka terdengar anak muda itu bersuit nyaring. Suaranya bagaikan bergema memantul pada dinding-dinding padukuhan.

Dada Arum menjadi berdebar-debar karena ia mendengar suara suitan yang serupa di kejauhan. Agaknya kawan anak muda itulah yang menjawab isyarat Arum.

“Mereka pasti akan datang” berkata Arum di dalam hatinya.

Dengan demikian, kembali Arum menjadi gelisah. Bukan karena pakaiannya yang sobek, tetapi karena di arena itu tentu akan hadir beberapa orang laki-laki. Laki-laki yang kasar, buas dan liar.

Sejenak Arum mencoba memecahkan cara yang paling baik untuk melawan. Sudah barang tentu ia tidak mau menyerah kepada orang-orang yang buas dan liar itu.

“Apakah aku harus melarikan diri?” bertanya Arum kepada diri sendiri.

“Agaknya aku dapat menempuh cara itu. Sama sekali bukan karena aku menjadi licik dan pengecut. Tetapi perkelahian yang gila ini membuat aku ngeri. Bukan oleh kematian tetapi oleh persoalan lain yang lebih gila dari mati”

Namun sebelum Arum sempat mengambil sikap, maka ia sudah melihat dua orang berdiri di pematang sambil bertolak pinggang.

“He, apa yang kau lakukan?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Memetik bunga. Tetapi agaknya bunga ini berduri”

“Dan kau tidak dapat mengatasinya”

“Aku ingin bunga ini tetap cantik”

Kedua orang yang berdiri di pematang itu tertawa. Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya dengan nada yang tegang, “He, apakah kawanmu yang terbaring itu?”

“Ya”

“Mati?”

“Aku tidak tahu”

“Huh, ternyata kalian tidak dapat berbuat apa-apa melawan orang perempuan. He, agaknya di Jati Sari ada perempuan yang aneh”

“Inilah perempuan yang aku katakan itu. Ialah yang menerima pemberianku dua untai kalung merjan”

“Dan kini ia melawanmu”

Anak muda yang sedang bertempur melawan Arum itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat membantah, bahwa serangan Arum benar-benar menakjubkan.

Kedua orang yang berada di pematang itu pun menjadi heran pula. Ternyata bahwa gadis itu memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikan.

Sejenak kedua orang yang berdiri di pematang itu masih menilai, betapa berbahayanya gadis Jati Sari itu. Sehingga mereka sampai pada suatu kesimpulan, bahwa mereka tidak akan dapat membiarkan seorang kawannya itu bertempur seorang diri.

“Kita harus ikut campur” desis salah seorang dari mereka.

Arum menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat mencegah. Ia sadar bahwa lawan-lawannya memang orang-orang yang sangat licik” dan tidak tahu malu. sehingga karena itu, tidak akan ada gunanya menggugat kejantanan dan cara perang tanding seperti seorang kesatria.

Yang dipikirkan Arum adalah bagaimana ia akan mampu melawan ketiga orang itu sekaligus. Karena mereka tentu akan segera turun ke arena.

Ketika Arum melihat salah seorang lawannya yang terbaring itu maka tiba-tiba saja ia teringat, bahwa orang itu pun tentu bersenjata seperti kawannya. Karena itu, tiba-tiba saja ia menyerang lawannya dan mendesaknya menjauh. Kemudian dengan tiba-tiba ia meloncat ke sisi orang yang terbaring itu.

Sebelum seorang pun dapat mencegahnya, ternyata Arum sudah mencabut sehelai pedang pendek. Dengan pedang pendek itu Arum bertekad untuk melawan ketiga orang lawannya meskipun ia sadar, bahwa ketiga lawannya itu bukannya lawan yang ringan.

“Apaboleh buat. Aku harus bertempur. Tetapi menghadapi orang-orang yang licik, aku tidak perlu mempertahankan kejantanan. Jika perlu aku dapat melarikan diri, bahkan berteriak sekalipun” berkata Arum di dalam hatinya.

Demikianlah, maka dengan pedang pendek itu Arum telah siap menghadapi segala kemungkinan. Menghadapi ketiga orang laki-laki yang bukan orang kebanyakan. Tetapi ia sudah bertekad apapun yang terjadi, ia tidak akan menyerah. Lebih baik lari atau mati sama sekali.

Ternyata Arum tidak usah menunggu terlalu lama. Kedua orang itu pun perlahan-lahan mendekati arena dan salah seorang menggeram, “Kita akan ikut dalam permainan yang menyenangkan itu”

Arum sadar sepenuhnya, bahwa ia harus memusatkan segenap perhatian dan kemampuannya atas ketiga lawannya. Ia tidak boleh terganggu oleh keadaan dirinya sendiri.

Sekali-sekali anak muda yang bertempur pertama kali melawan Arum masih mencoba mengganggunya karena kainnya yang sobek. Dan agaknya kedua orang kawannya yang kemudian berada di dalam arena itu pun segera tertarik dan ikut pula memperolok-olokkannya. Tetapi Arum benar-benar tidak peduli lagi. Ia sudah siap bertempur dengan sepenuh tenaga.

Demikianlah sejenak kemudian Arum memang harus bertempur melawan tiga orang sekaligus. Ternyata bahwa ia benar-benar harus memeras segenap kemampuan yang ada padanya.

Lawan-lawannya, yang meskipun harus juga berusaha keras untuk menundukkan Arum, ternyata semakin lama merasa, bahwa mereka akan berhasil. Meskipun sekali-sekali mereka terkejut melihat kecepatan bergerak Arum dan bahkan serangan-serangannya kadang-kadang di luar dugaan, tetapi mereka bertiga dapat bekerja bersama sebaik-baiknya untuk memancing tenaga Arum tertumpah seluruhnya.

“Gadis yang luar biasa ini akan segera menjadi lelah. Dan jika ia sudah tidak mampu lagi berbuat selincah itu, maka ia akan dengan mudah ditundukkan” berkata salah seorang dari mereka.

Arum menggeram, ia sadar sepenuhnya, bahwa ia memang telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, sehingga dengan demikian, maka ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Tetapi jika ia tidak mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, ia tidak akan berhasil mengimbangi kemampuan ketiga orang lawannya.

Namun ternyata perhitungan ketiga orang itu meleset. Setelah mereka bertempur beberapa lamanya, tenaga Arum nampaknya sama sekali belum susut. Anak Jati Aking yang sudah membiasakan diri berlatih untuk waktu yang panjang itu masih tetap dapat mempertahankan keseimbangan tubuh dan ilmunya.

“Apakah anak ini kepanjingan setan” desis salah seorang lawannya yang menjadi sangat heran melihat kemampuan dan ketahanan tubuh Arum.

Tetapi mereka harus menghadapi kenyataan itu. Dan mereka harus bertempur terus.

Dalam pada itu, anak muda yang semula pingsan itu pun mulai mengejapkan matanya. Udara malam yang segar, dan angin yang basah telah mengusap wajahnya. Kepalanya yang terasa akan pecah itu pun berangsur-angsur menjadi ringan dan kesadarannya perlahan-lahan menjadi pulih kembali.

Ketika ia mengangkat kepalanya, dilihatnya gadis yang menyerangnya dengan tiba-tiba itu masih bertempur melawan tiga orang. Dan ketiga orang itu adalah kawan-kawannya.

Anak muda itu menarik nafas. Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia meraba lambungnya. Pedangnya ternyata sudah tidak ada.

Tetapi di lambungnya yang lain masih terselip sebuah pisau belati. Meskipun pisau itu terlampau kecil, namun itu akan lebih baik daripada ia tidak bersenjata sama sekali.

Sejenak ia masih tetap berbaring diam. Ia mencoba memulihkan kekuatannya dan segenap kesadarannya.

Baru sejenak kemudian ia mulai bangkit. Dengan pisau belati di tangan ia melangkah mendekati arena perkelahian itu. Meskipun dadanya masih terasa sakit, tetapi ia sudah merasa mampu untuk ikut di dalam perkelahian itu bersama dengan tiga orang kawannya.

Arum lah yang kemudian menjadi semakin berdebar-debar. Kini ia harus bertempur melawan empat orang sekaligus. Meskipun ilmunya cukup tinggi, tetapi keempat orang yang sudah mendapat kepercayaan sebagai petugas-tugas sandi itu ternyata memiliki ilmu yang cukup pula, sehingga untuk melawan keempatnya bersama-sama merupakan pekerjaan yang sangat berat baginya.

Sebenarnya kelemahan hati Arum justru dibebani oleh perasaannya sebagai seorang gadis. Ia masih belum mempunyai pengalaman sama sekali di dalam tata kehidupan yang luas di luar padukuhannya. Itulah sebabnya ia selalu cemas bahwa ia akan dapat tertangkap hidup dan mengalami perlakuan yang parah.

Kecemasannya itulah yang kemudian mendorong Arum semakin dekat kepada keputusan untuk menghindarkan dirinya dari arena dan mendekati padukuhan. Yang kemudian paling penting baginya adalah menghindarkan dirinya dari tangan keempat lawannya yang menakutkan itu. Justru karena ia seorang gadis, dan lawannya adalah empat orang laki-laki yang seakan-akan menjadi semakin lama semakin buas.

Bulu-bulu tengkuk Arum meremang ketika ia mendengar salah seorang dari keempat lawannya itu berkata, “Menyerah sajalah anak manis. Kami akan memperlakukan kau sebaik-baiknya”

“Kubunuh kau” bentak Arum yang mulai disentuh lagi oleh kebingungannya menghadapi Laki-laki itu.

Terdengar suara tertawa. Dan keempatnya itu pun mengepung Arum semakin rapat. Namun demikian mereka sebenarnya masih dihinggapi oleh perasaan kagum dan bahkan cemas, karena Arum masih saja bertempur dengan gigihnya. Nafasnya masih tetap teratur, meskipun kadang-kadang Arum sudah harus menarik nafas dalam-dalam.

Namun akhirnya ternyata bahwa tenaga Arum pun mulai susut. Keempat orang lawannya itu pun menjadi semakin yakin, bahwa mereka akan segera dapat menguasai gadis itu sepenuhnya.

Arum yang merasa bahwa ia tidak dapat lagi mempertahankan tenaga dan kemampuannya karena nafasnya mulai mengganggu, menjadi semakin cemas. Bahkan kemudian ia menjadi agak bingung. Ia sama sekali belum memiliki pengalaman untuk menyelesaikan kesulitan serupa itu. Bahwa ia harus menghindari dari tangan keempat orang itulah yang selalu dipikirkannya, atau mati sama sekali.

Kegelisahan yang semakin mengganggu Arum justru mempercepat kesulitannya sendiri. Beberapa kali ia sudah membuat kesalahan sehingga senjata lawannya hampir saja mengenainya. Sedang serangan-serangannya semakin jauh dari sasaran.

Dengan demikian Arum pun menjadi semakin terdesak. Keseimbangannya perlahan-lahan semakin menjadi kisruh. Dan bahkan kemudian Arum benar-benar sudah berada di dalam kesulitan.

Lawan-lawannya melihat kesulitan pada gadis yang bernama Arum itu. Karena itu, maka tanpa mereka bicarakan sebelumnya, seolah-olah mereka mempunyai niat yang sama. Keempat orang itu pun kemudian mengepung Arum semakin rapat dan berusaha agar gadis itu tidak dapat lagi menghindar dari tangan mereka.

Arum mengumpat-umpat di dalam hati. Namun ia kemudian bertekad untuk mati saja, karena agaknya ia tidak akan berhasil meloloskan dirinya dari kepungan itu.

Dalam puncak kesulitan itu, tiba-tiba Arum dikejutkan oleh suara tertawa. Bukan dari keempat orang yang mengepungnya. Tetapi suara itu agak jauh dari arena perkelahian di tengah bulak itu.

“Kau tidak dapat ingkar lagi Arum” terdengar suara disela-sela suara tertawa itu.

Dada Arum menjadi semakin menggelepar. Agaknya kawan-kawan orang itu berdatangan semakin banyak.

Tetapi ternyata bukan Arum saja yang terkejut mendengar suara itu. Keempat orang yang mengepungnya itu pun agaknya terkejut pula sehingga seakan-akan mereka pun berhenti menyerang dan berpaling kearah suara itu.

Dan mereka mendengar suara itu lagi dari dalam kegelapan, “Nah, sekarang aku melihat sendiri, bahwa padepokan Jati Aking benar-benar merupakan sebuah padepokan yang pantas dikagumi. Aku tidak akan heran bahwa Raden Juwiring dan Buntal dapat bertempur seperti seekor banteng terluka. Tetapi yang sekarang aku lihat adalah kau. Arum”

Arum menjadi semakin bingung. Namun kemudian di dalam kegelapan ia melihat bayangan dua orang berjalan di pematang. Yang seorang, yang berjalan di depan adalah seorang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang.

Tiba-tiba Arum dapat mengenali suara itu setelah ia merenung sejenak. Hampir di luar sadarnya ia berteriak, “Paman Sura”

Orang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Ya. Aku Sura. Sudah lama aku melihat kau berkelahi. Tetapi aku sengaja membiarkan saja kau sampai pada puncak ilmumu. Ternyata empat ekor kelinci jantan yang merindukan seekor harimau betina ini akan menjadi sangat kecewa”

“Siapa kau?” tiba-tiba salah seorang dari keempat orang yang berkelahi melawan Arum itu bertanya lantang.

Sura tertawa lagi. Ia kini menjadi semakin dekat dan dengan sebuah loncatan ia berdiri di pinggir jalan di tengah bulak itu.

Keempat orang yang baru saja bertempur dengan Arum itu menjadi termangu-mangu. Mereka melihat seorang yang bertubuh raksasa berdiri sambil tertawa.

“Siapa kau?” salah seorang dari keempat orang itu mengulangi pertanyaan itu.

“Kau tentu pernah mendengar ceritera Arum tentang seseorang yang berkuda coklat. Nah, itu adalah aku” jawab Sura.

“Kau? Tetapi Arum menyebutnya seorang bertubuh gemuk”

“Anak padukuhan adalah anak yang berpikir sederhana. Baginya tidak ada bedanya, apakah ia bertubuh gemuk atau bertubuh seperti aku ini”

Keempat orang itu memandang Sura dengan tegang. Tubuh Sura bukan tubuh yang dapat disebut gemuk. Tetapi ia bertubuh besar seperti raksasa.

“Nah, lebih baik kau bertanya kepadaku langsung dari pada kau bertanya kepada gadis itu. Mungkin kau tidak akan mengalami kenyataan yang sangat memalukan, bahwa empat erang laki-laki muda tidak dapat mengalahkan seorang gadis padesan yang bernama Arum, yang masih senang bermain pasaran di padepokannya”

“Diam” bentak salah seorang dari keempat orang itu.

“He, kenapa kau membentak? Bertanyalah kepadaku apa yang kau kehendaki. Jangan kepada Arum” Sura berhenti sejenak, lalu, “Mungkin kau ingin mendapat penjelasan siapakah yang pertama-tama membantah berita bahwa perampok-perampok yang kadang-kadang membunuh, dan yang di antara mereka telah berhasil dibunuh oleh prajurit Surakarta dan kumpeni adalah anak buah Raden Mas Said. Bukankah begitu? Baiklah, aku sajalah yang menjawab. Tentu akan lebih jelas dari Arum karena akulah yang disebutnya orang gemuk berkuda coklat”

“Cepat, katakan” Anak muda yang memberi merjan Arum itulah yang kemudian membentaknya.

“Aku mengikuti kau sejak siang tadi, sejak kalian membagikan kalung merjan kepada gadis-gadis Jati Sari”

“Persetan, aku ingin dengar jawabmu. Siapakah kau dan apakah yang sudah kau katakan kepada orang-orang Jati Sari tentang perampok-perampok itu”

“Nah, pertanyaan itu lebih baik”

“Cepat, jawablah pertanyaan itu”

“Kau selalu tergesa-gesa. Baiklah. Namaku Sura. Tentu kau sudah mendengar Arum memanggil namaku. Yang aku katakan kepada orang Jati Sari adalah, bahwa ceritera tentang perampok itu tidak benar. Anak buah Raden Mas Said bukan perampok. Mungkin memang ada satu dua di antara kami yang merampok. Tetapi itu adalah orang-orang gila yang harus kami singkirkan dari antara kami. Tetapi yang lebih gila dari mereka adalah pengkhianat-pengkhianat seperti kau. He, berapa upah yang kau terima, sehingga kau bersedia menjual keterangan tentang Jati Sari kepada kumpeni itu?”

“Tutup mulutmu” Orang yang tertua di antara keempat orang itu membentak, “Kami adalah prajurit-prajurit yang setia. Kami berjuang untuk menegakkan wibawa Surakarta”

Sura tertawa. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, aku harus memberikan keterangan lebih banyak lagi tentang perampok-perampok itu. Sebenarnyalah bahwa tidak ada hubungan apapun antara perampok dengan pasukan Raden Mas Said yang berjuang untuk mengusir kekuasaan orang asing itu. Nah, apakah sudah jelas? Itulah yang aku ceriterakan kepada orang-orang Jati Aking di sawah. Akulah orangnya yang berkuda coklat itu, kau dengar?”

Sejenak keempat orang itu termangu-mangu. Arum pun menjadi bingung. Ia merasa sekedar berbohong ketika ia menyebut orang gemuk berkuda coklat. Tetapi karena ia sudah menceriterakan hal itu kepada Sura, maka Sura agaknya berusaha mengambil alih ceritera itu daripadanya.

“Apakah kau juga anak buah Raden Mas Said?”

“Ya. Aku adalah anak buah Raden Mas Said. Karena itu aku tahu pasti, bahwa kau sedang berusaha menyebarkan kabar bohong agar rakyat Surakarta membenci Raden Mas Said. Tetapi agaknya kau tidak akan berhasil, karena perjuangan kami yang tidak mengenal menyerah ini kami landasi dengan suara hati rakyat yang sebenarnya”

“Persetan. Jika demikian, sepantasnya kaulah yang harus dibawa dan dihadapkan kepada kumpeni”

Sura masih saja tertawa. Katanya, “Baiklah. Tetapi sebaiknya biarlah kumpeni saja yang datang kepada kami dan menangkap kami. Bukan kau”

“Jangan sombong. Kami telah mendapat kepercayaan untuk menangkap orang yang mengacaukan kebijaksanaan pemerintahan Surakarta sekarang ini. Karena itu, menyerahlah. Kalian akan kami tangkap”

Sura tertawa semakin keras. Katanya, “Sebaiknya kau bercermin pada tengkukmu. Mana mungkin kau akan membawa kami. Sedangkan seorang gadis padepokan saja telah berhasil mengacaukan perlawanan kalian berempat” Sura berhenti sejenak, lalu, “Nah. kalian dapat menghitung. Aku datang berdua, sedang Arum masih tetap berada di sini. Tentu kau akan dapat membuat perbandingan. Meskipun aku tidak sekuat anak-anak Jati Aking, namun aku akan dapat membantunya, mengganggu pemusatan perhatian kalian, sehingga seorang demi seorang kalian akan dibantai di sini oleh Arum, “Sura berhenti sejenak, lalu, “eh. maksudku, kalian akan dapat dilumpuhkannya dan aku akan membawa kalian menghadap Raden Mas Said, jika Arum tidak berkeberatan”

“Persetan” Orang-orang itu menggeram. Namun mereka telah menyiapkan diri mereka untuk melawan orang yang menyebut dirinya bernama Sura dan mengaku sebagai anak buah Raden Mas Said itu.

Namun demikian, sebenarnyalah telah timbul kecemasan di dalam hati keempat orang itu. Melawan Arum seorang diri mereka tidak dapat segera mengalahkannya. Apalagi kini datang dua orang yang akan membantunya. Betapapun lemahnya kedua orang itu, namun kehadiran mereka tentu akan menambah kekuatan pada pihak Arum. Apalagi menilik bentuk dan sikap orang yang menyebut dirinya bernama Sura itu, maka rasa-rasanya bulu tengkuk orang-orang itu menjadi meremang karenanya.

Tetapi tidak ada jalan lain bagi mereka. Jika mereka tertangkap oleh anak buah Raden Mas Said, maka nasib mereka pun akan menjadi sangat buruk.

Karena itu, maka keempat orang itu pun telah mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Ki Sanak” bertanya Sura kemudian, “Apakah tidak ada niat pada kalian untuk menyerah saja? Kalian akan mengalami perlakuan dan nasib yang lebih baik daripada jika kalian memberikan terlalu banyak perlawanan. Yang dapat kalian berikan hanyalah sekedar memperpanjang waktu, dan membuat hati Arum semakin terbakar. Jika gadis Jati Aking itu kemudian menjadi benar-benar marah, maka kalian akan menyesal”

“Jangan banyak bicara” bentak salah seorang dari keempat lawan Arum.

“Baiklah, jika demikian, aku tidak akan berbicara lagi”

Dada keempat orang itu menjadi berdebar-debar. Sura melangkah perlahan-lahan maju ke depan. Dengan suara yang datar ia berkata, “Arum, aku minta ijin untuk turut dalam permainan ini. Kau tidak berkeberatan?”

“Tentu tidak paman” jawab Arum.

“Baiklah, Marilah kita berpencar. Kita akan mengurung keempatnya. Bukan kitalah yang harus mereka kurung”

Hampir di luar sadarnya, Arum pun menjauhi Sura. Demikian seorang kawan Sura yang hampir tidak mengucapkan sepatah katapun itu.

Sejenak kemudian, maka mereka semuanya yang ada di bulak itu telah menggenggam senjata masing-masing. Sesaat lamanya mereka masih bergeser beberapa langkah. Namun tiba-tiba Sura meloncat maju menyerang sambil mengayunkan goloknya yang besar.

Lawannya pun telah siap menyambutnya, sehingga dengan demikian maka mereka pun segera terlibat di dalam perkelahian yang sengit. Demikian pula kawan Sura yang seorang itu. Ia pun segera terjun di dalam perkelahian itu.

Yang masih termangu-mangu justru Arum sendiri. Sejenak ia. melihat perkelahian itu. Sura dan seorang kawannya masing-masing harus berkelahi melawan dua orang. Dan Arum tidak mengerti kenapa ia sendiri tidak mendapatkan lawan dan seolah-olah lawan-lawannya tidak menghiraukannya lagi.

“Agaknya mereka telah benar-benar kebingungan” berkata Arum di dalam hatinya.

Tetapi Arum sendiri tidak segera berbuat apa-apa. Bahkan seakan-akan ia melihat pertunjukan yang sangat menarik baginya. Sejenak ia menunggui perkelahian itu. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya. Kadang-kadang tangannya meng-hentak-hentak. Dan bahkan sekali-sekali ia memekik di luar sadarnya, seperti kebanyakan gadis-gadis yang sedang dicengkam ketegangan.

Namun kemudian Arum menjadi heran melihat perkelahian itu. Ia sendiri tidak yakin kepada penglihatannya. Ternyata Sura dan seorang kawannya yang masing-masing harus melawan dua orang itu mengalami kesulitan.

“Aneh” berkata Arum, “Aku sendiri dapat melawan mereka bersama-sama meskipun aku pun kemudian mengalami kesulitan”

Sura bagi Arum adalah orang yang luar biasa. Yang memiliki kekuatan yang besar dan kemampuan berkelahi yang tinggi. Tetapi ternyata bahwa melawan dua orang petugas sandi itu, ia harus berjuang sekuat-kuatnya, meskipun tampak juga di dalam perkelahian itu bahwa tenaganya memang luar biasa.

Jika perkelahian itu dibiarkan saja, belum tentu bahwa Sura akan segera dapat menyelesaikannya dengan baik.

Namun dengan demikian, seolah-olah Arum dihadapkan pada sebuah cermin tentang dirinya sendiri. Ternyata bahwa kemajuan yang pernah dicapai di dalam olah kanuragan sudah sedemikian jauhnya. Jika Sura memuji kemampuannya, sama sekali bukannya suatu hal yang dibuat-buat. Ternyata bahwa menurut penilaiannya di dalam perkelahian itu, ilmunya sendiri telah berada di atas kemampuan Sura.

Demikianlah perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Sura dan kawannya harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Dengan mengerahkan segenap kekuatannya Sura sekali-sekali berhasil mendesak lawannya. Jika ia mengayunkan pedangnya yang besar dengan sekuat tenaganya, maka kedua lawannya itu sama sekali tidak berani menangkisnya, sehingga mereka terpaksa berloncatan mundur.

Akhirnya Arum pun menjadi jemu melihat perkelahian itu. Jika dibiarkannya, maka perkelahian itu akan berlangsung semalam suntuk, dan bahkan belum dapat dipastikan bahwa Sura akan dapat keluar dengan selamat. Demikian juga seorang kawannya itu.

Karena itu, maka ia pun kemudian mendekat sambil berkata, “Paman Sura. Apakah paman masih ingin bertempur dengan cara ini semalam suntuk?”

“Ah” terdengar Sura berdesah. Tetapi ia. masih sempat tertawa, “Sudah aku katakan. Tentu aku tidak akan dapat mengimbangi kemampuan anak-anak Jati Aking”

“Paman selalu memuji”

“Terus terang, aku mengalami kesulitan sedikit dengan kelinci ini”

“Tutup mulut” salah seorang lawannya membentak sambil menyerang dengan serunya, sehingga Sura terkejut karenanya. Namun kemudian diputarnya pedangnya yang besar itu sehingga lawannya itu tidak dapat mendekatinya lebih rapat lagi.

Arum memekik kecil, karena ia pun terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu. Tetapi kemudian ia tertawa kecil sambil berkata, “Paman, apakah aku boleh ikut serta”

“Ah, jangan bergurau Arum. Aku menjadi malu mendengar tawaranmu”

Arum masih tertawa, sedang lawannya pun mengumpat-umpat tidak habis-habisnya.

Tiba-tiba saja Arum merasa melihat suatu permainan yang mengasyikkan di dalam kejemuannya. Karena itu, maka ia pun melangkah semakin dekat sambil berkata, “Aku akan terjun. Malam sudah semakin larut, dan udara menjadi semakin dingin”

Hampir di luar dugaannya, maka salah seorang lawan Sura itu menyahut, “Sudah tentu, karena kau tidak mengenakan pakaian dengan baik”

Arum mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia meraba kainnya dan menelangkupkannya. Tetapi karena kain itu memang sudah sobek, maka setiap kali angin malam yang dingin telah menghembusnya.

Namun sekali lagi Arum menemukan keseimbangan perasaannya kembali. Maka katanya, “Bukan waktunya kau sebut-sebut lagi. Kita sudah membicarakannya sejak semula, dan agaknya sudah terlampau sering kau sebut-sebut”

Jawaban itu membuat lawan-lawan Sura itu menjadi berdebar-debar.

Sejenak kemudian Arum sudah berdiri di antara mereka yang sedang bertempur. Sekali-sekali ia masih disentuh oleh keragu-raguan, namun kemudian ia pun mulai menggerakkan senjatanya.

Lawannya sudah mengetahui betapa kemampuan gadis yang cantik itu. Karena itu, maka dua di antaranya melepaskan lawannya dan bertempur melawan Arum yang segera mulai menyerang salah seorang dari mereka.

Namun dengan demikian akhir dari perkelahian itu sudah mulai terbayang. Keempat lawan Arum yang kini harus melawan tiga orang itu segera merasakan tekanan yang berat, sehingga debar di jantung mereka pun menjadi semakin berdentangan.

“Gadis ini benar-benar luar biasa” desis salah seorang dari mereka.

Ternyata bahwa perkelahian itu pun segera menuju ke akhirnya. Kemampuan Arum benar-benar mengagumkan. Apalagi kini ia hanya melawan dua orang saja di antara keempat lawannya.

Dalam pada itu Sura pun segera berhasil menguasai seorang lawannya. Demikian pula kawannya. Sehingga dengan demikian, maka tidak ada kesempatan lagi bagi keempat orang itu untuk mengharap dapat memenangkan perkelahian itu.

Namun ternyata bahwa mereka benar-benar bukan orang-orang jantan di dalam kesulitan itu, salah seorang lawan Arum ternyata berusaha untuk melarikan diri, setelah ia mengumpankan kawannya sendiri dengan mendorongnya ke depan, sehingga hampir saja ia melanggar Arum yang terkejut.

Tetapi Arum sempat menghindar. Bahkan ia masih sempat memukul orang yang terhuyung-huyung itu dengan sisi telapak tangan kirinya, sehingga orang itu justru terjerembab jatuh menelungkup. Bukan saja wajahnya yang mencium tanah, dan hidungnya yang membentur batu dan menjadi berdarah, tetapi ternyata pukulan Arum telah membuatnya pingsan.

Kawannya, yang mendorongnya dengan sekuat tenaganya, untuk menghalang-halangi Arum agar ia mendapat kesempatan, segera berusaha melarikan diri. Namun ternyata nasibnya justru lebih buruk dari kawannya yang pingsan itu, karena Arum yang marah tidak sempat berpikir panjang. Tiba-tiba saja ia melemparkan pedang pendeknya dengan sekuat tenaganya.

Yang terdengar kemudian adalah pekik kesakitan yang melengking menyobek heningnya malam, seakan-akan menggetarkan dedaunan yang tidur dengan tenang di sebelah menyebelah jalan bulak itu.

Arum sekilas melihat orang itu terhenti. Kemudian sejenak ia berdiri terhuyung-huyung, dan jatuh terjerumus ke dalam parit. di punggungnya masih menghunjam pedang pendek yang dilemparkan Arum dengan sekuat tenaganya.

Tetapi Arum sendiri kemudian memekik sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia sama sekali tidak sengaja membunuh lawannya dengan cara yang mengerikan itu. Yang dilakukan itu sekedar gerak naluriahnya, namun yang didasari oleh ilmunya yang tuntas.

Sura dan kawannya ternyata telah menyelesaikan pekerjaan mereka pula. Dengan sebuah ayunan yang keras, Sura berhasil melemparkan senjata lawannya, sehingga dengan gemetar lawannya itu tidak dapat melakukan perlawanan lagi ketika ujung pedang Sura menyentuh dadanya.

“Kau menyerah?” bentak Sura.

Lawannya tidak menjawab.

“Jika tidak, aku akan menekan pedang ini”

“Aku menyerah” desisnya.

Sura menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Lemparkan senjatamu dan duduklah menepi”

Orang itu melemparkan senjatanya dan kemudian duduk bersila di atas tanggul parit di pinggir jalan, sambil menundukkan kepalanya.

“Tautkan tanganmu di atas tengkuk” perintah Sura.

Orang itu pun kemudian mentautkan kedua tangannya di atas tengkuk.

Sementara itu, kawan Sura telah melukai lawannya sehingga orang itu pun tidak dapat melawannya lagi meskipun ia tidak mati.

Perlahan-lahan Sura mendekati Arum yang masih dicengkam oleh debar jantungnya. Dengan suara yang dalam Sura berkata, “Sudahlah Arum. Kau tidak berbuat salah”

Arum masih dicengkam oleh debar jantungnya yang keras. Namun perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya dan meman-dang kepada Sura. Katanya, “Aku tidak sengaja melakukannya paman”

“Itulah gambaran dari benturan kekerasan. Perkelahian dan di dalam bentuknya yang besar adalah peperangan. Hampir dapat dikatakan tidak seorang pun dengan sengaja menjerumuskan diri di dalam peperangan. Setiap orang menginginkan kehidupan yang tenang dan damai. Tetapi pada suatu saat kita akan sampai pada daerah kehidupan yang tidak kita inginkan ini”

Arum menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Dalam pada itu kawan Sura menjadi heran. Tidak banyak gadis yang memiliki kemampuan seperti Arum. Gadis yang hampir sempurna di dalam olah kanuragan, tetapi yang gemetar melihat lawannya terbunuh dengan darah yang terpancar dari lukanya.

“Paman” berkata Arum kemudian, “Bagaimanakah dengan orang-orang ini? Jika mereka dibiarkan di sini. dan para petugas sandi dari Surakarta melihatnya, apakah tidak akan ada akibat yang tidak menyenangkan bagi padukuhan di sekitar tempat ini?”

“Tentu Arum. Karena itu, biarlah aku membawa semua orang yang ada di bulak ini. Biarlah aku menguburkan yang mati dan membawa yang hidup menghadap Raden Mas Said atau orang-orang kepercayaannya”

Arum tidak segera menjawab.

“Dengan demikian, kau dan padukuhan di sekitar tempat ini tidak usah bertanggung jawab atas hilangnya keempat orang petugasnya, karena tidak seorang pun yang akan menyangka bahwa kaulah yang melakukannya. Sementara itu, aku akan mengatakan bahwa kau telah membantu aku, bahkan hampir menentukan, sehingga keempat orang ini dapat tertangkap”

Arum termangu-mangu sejenak, lalu, “Terserahlah kepada paman”

“Baiklah. Aku akan membawanya. Sebentar lagi yang seorang itu tentu akan sadar kembali. Aku sudah melihat ia mulai bergerak. Yang terluka itu pun tidak terlampau parah, sedang yang seorang lagi masih sehat walafiat”

Arum menganggukkan kepalanya.

“Nah Arum. Jika kau akan kembali ke padepokanmu, silahkan. Mungkin ayahmu telah menunggumu dengan gelisah, meskipun ayahmu percaya sepenuhnya akan kemampuanmu”

Arum mengangguk sekali lagi sambil menjawab, “Baiklah paman. Terserahlah kepada paman untuk menghilangkan jejak kematian petugas sandi itu”

“Serahkanlah kepadaku”

Arum memandang Sura sejenak, lalu kepada kawannya berganti-ganti. Kemudian setelah minta diri, ia pun segera kembali ke padepokannya dengan hati yang masih berdebar-debar. Jika teringat olehnya, lawannya mengaduh dan kemudian terhuyung-huyung karena pedang pendeknya menghunjam di punggung, maka ia pun menjadi kian berdebar-debar.

“Tetapi aku tidak dapat berbuat lain” katanya kepada diri sendiri Dan setiap kali terngiang kata-kata Sura di telinganya, “Itulah gambaran dari benturan kekerasan. Perkelahian dan di dalam bentuknya yang besar adalah peperangan”

Arum menarik nafas dalam-dalam.

Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mendengar desir langkah di belakangnya sehingga tiba-tiba saja ia telah bersiap dan memutar tubuhnya menghadap kearah suara itu.

Di dalam kegelapan ia melihat sesosok tubuh yang berjalan di belakangnya. Tetapi yang sama sekali tidak berusaha menghindar atau bersembunyi ketika ia sudah menghadapinya.

Arum menjadi berdebar-debar. Mungkin ia harus bertempur lagi menghadapi orang yang lebih berat dari keempat orang yang telah berada di bawah kekuasaan Sura itu.

Tetapi ketika orang itu menjadi semakin dekat, maka Arum pun kemudian berdesis, “Ayah”

Terdengar suara ayahnya tertawa kecil sambil menyahut, “Ya Arum”

“Dari manakah ayah datang?”

“Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah aku pergi bersamamu dari rumah?”

“Tetapi ayah sudah pulang lebih dahulu”

“Itulah orang tua Arum. Orang tua kadang-kadang selalu dibebani oleh perasaan cemas terhadap anaknya meskipun anaknya sudah cukup masak menghadapi masalahnya sendiri. Aku tentu tidak akan dapat membiarkan kau dibawa oleh orang-orang itu meskipun aku tahu bahwa kau akan dapat mengatasi kesulitanmu. Tetapi jika pamanmu Sura tidak hadir di arena. mungkin kau memerlukan cara lain untuk mengatasi lawan-lawanmu yang sebenarnya cukup berat bagimu. Kemampuan mereka di dalam kelompok yang ternyata terdiri dari empat orang pilihan itu memang berada di atas kemampuanmu”

“Ayah melihat?”

“Ya Arum. Aku melihat sejak permulaan”

“Dan ayah mengetahui kehadiran paman Sura”

“Ya. Tetapi pamanmu Sura tidak mengetahui bahwa aku menungguinya” ayahnya berhenti sejenak, lalu, “Tetapi Arum. Jangan membiasakan diri merasa aku selalu menungguimu. Sebenarnya aku ragu-ragu untuk mengatakan kepadamu kali ini bahwa aku ada di dekatmu saat itu. Aku mempunyai pertimbangan lain, bahwa aku tetap diam dalam hal ini agar kau tidak merasa bahwa setiap kali kelak, aku tentu ada di dekatmu jika kau mendapat kesulitan. Dengan demikian kau akan menjadi lemah dan kurang berusaha. Padahal sudah barang tentu bahwa aku tidak akan selalu dapat berbuat seperti ini”

Arum mengerti maksud ayahnya. Sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab, “Aku mengerti ayah”

“Nah baiklah. Marilah kita percepat langkah kita”

“Bagaimana dengan paman Sura?”

“Biarlah pamanmu menyelesaikan kesanggupannya. Agaknya tawanannya yang sehat itulah yang dipaksanya untuk mengusung temannya yang terbunuh. Ia akan menguburnya dan melenyapkan semua bekas-bekas perkelahian itu”

Arum menarik nafas sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Demikianlah maka keduanya pun kemudian berjalan semakin cepat. Tetapi ketika sampai di padepokan, Arum tidak mau masuk melalui pintu depan rumahnya. Ia langsung pergi ke pintu butulan dan masuk lewat belakang. Baru setelah ia berganti pakaian maka ia pun pergi ke ruang tengah menemui ayahnya yang duduk menghadapi semangkuk minuman panas. Agaknya beberapa orang pelayannya menjadi gelisah pula sepeninggal Arum, sehingga mereka tetap menunggu sampai saatnya Arum dan ayahnya pulang. Bahkan sempat menyediakan minuman panas bagi mereka.

Dalam pada itu Sura sibuk dengan tawanannya. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, maka yang masih sehat itulah yang harus membawa mayat kawannya, sedang Sura dan kawannya membantu kedua orang yang lain. Bahkan ketika mereka sampai ke tanah pekuburan, maka orang itu pulalah yang harus menggali lubang.

“Tidak ada cangkul” katanya.

“Carilah di rumah yang paling dekat. Mungkin di kandang lembu dan kerbau. Biarlah aku tunggui orang-orang ini” berkata Sura kepada kawannya.

Akhirnya kawan Sura itu pun menemukan cangkul itu di sebuah kandang.

Setelah mengubur kawannya yang terbunuh itu, maka tawanan itu masih harus memapah kawannya yang terluka. Sedang kawan Sura menolong orang yang baru sadar dari pingsannya karena tengkuknya dipukul oleh Arum dengan sisi telapak tangannya.

“Kita akan pergi jauh. Apakah kalian tidak membawa kuda atau kereta atau apapun yang kau sembunyikan atau kau titipkan kepada seseorang?” bertanya Sura kepada orang-orang itu.

Ternyata mereka menyediakan kuda yang mereka tinggalkan di tengah-tengah pategalan, seperti juga kuda Sura. Karena itu maka mereka pun kemudian mengambil kuda yang mereka simpan di tempat yang berbeda-beda.

“Sudah tiga hari aku berkeliaran di daerah ini menunggu kedatangan kalian” berkata Sura, “Agaknya petugas sandi yang berpihak kepada Raden Mas Said cukup tajam penciumannya. Akhirnya aku benar-benar menemukan kau. Pembicaraanmu dengan gadis-gadis itu meyakinkan aku bahwa kau akan kembali mengambil Arum” berkata Sura kepada mereka sambil tersenyum, “Jangan menyesal bahwa ada di antara kalian yang menyadari arti perjuangan Raden Mas Said”

Para petugas sandi itu tidak menyahut. Tetapi mereka pun sudah menduga bahwa ada di antara kawannya yang berpihak kepada lawan, sehingga ada orang yang mengetahui kehadirannya di padukuhan Jati Sari.

Tanpa dapat mengelak lagi, maka tawanan-tawanan itu pun segera dibawa oleh Sura dan kawannya ke dalam daerah kekuasaan mereka, dan diserahkannya kepada para Senapati yang kelak akan membawanya langsung menghadap Raden Mas Said.

“Jangan takut” berkata para pengawal Raden Mas Said itu, “dalam keadaan yang bagaimanapun juga Raden Mas Said tetap menyadari bahwa kita adalah saudara sebangsa. Lihatlah kulitmu yang berwarna sawo seperti kulitku. Karena, itulah maka kami tetap tidak berbuat lain daripada berjuang untuk bangsa kita yang semakin lama semakin terdesak oleh orang-orang yang berkulit putih itu”

Para tawanan itu tidak menjawab. Namun mereka sadar bahwa lebih baik berkata terus terang apabila ia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dari para pengawal Raden Mas Said itu daripada mereka harus dipaksa untuk membuka mulut mereka dengan kekerasan.

Meskipun demikian, masih ada saja yang ingin mereka sembunyikan. Tetapi mereka tidak akan dapat bertahan lama, apalagi apabila mereka melihat Sura yang bertubuh raksasa itu ada di antara mereka.

“Aku pernah mengalami nasib seperti kalian” berkata Sura, “Aku harus membuka rahasia laskar Raden Mas Said di hadapan kumpeni. Tetapi seperti kalian, aku tentu ingin merahasiakannya. Dan aku tetap berbuat demikian” Sura berhenti sejenak, lalu, “Tetapi dengan demikian tulang-tulangku serasa remuk. Dari mulutku mengalir darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman. Dan akhirnya aku tidak dapat bertahan lagi. Hampir saja aku membuka mulut. Tetapi untunglah bahwa seseorang telah menolongku. Meskipun aku belum mengenalnya, tetapi aku yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang berpihak kepada Raden Mas Said” sejenak Sura berdiri tegang. Lalu, “Agaknya kalian pun akan berbuat seperti aku. Dan itu adalah layak sekali. Sebelum tulang belulang kalian remuk, dan sebelum dari mulut kalian mengalir darah yang kehitam-hitaman, kalian tentu belum akan mengatakan sampai tuntas apa yang kalian ketahui. Dan aku pun tidak berkeberatan jika kalian menghendaki demikian”

“Tidak. Tidak” tawanan yang paling muda itu memohon dengan suara gemetar, “Jangan sakiti aku. Aku akan mengatakan apa saja yang aku ketahui”

Sura tersenyum di dalam hati. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikannya sehingga wajahnya masih tetap tampak tegang, “Jangan berbohong. Sebelum aku mulai memaksamu menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan baik, kau sudah berbohong”

“Tidak, aku tidak berbohong”

Sura berpaling sejenak kearah para pemimpin pengawal yang akan mengajukan beberapa pertanyaan pendahuluan seolah-olah mempersilahkan mereka untuk memulainya.

Ternyata bahwa selanjutnya pemeriksaan pendahuluan itu berjalan lancar tanpa menyentuh orang-orang itu, apalagi melakukan kekerasan.

Yang dilakukan Sura kemudian adalah sekedar duduk menonton orang-orang itu menjawab setiap pertanyaan dengan baik.

Namun dalam pada itu, para pemimpin petugas-tugas sandi dari Surakarta yang bekerja bersama dengan kumpeni, merasa kehilangan empat orang anggautanya. Mereka adalah anak-anak muda yang baik menurut penilaian mereka. Tetapi ketika empat orang itu dikirim ke daerah Jati Sari untuk mendapatkan keterangan, siapakah yang mula-mula menyangkal desas desus bahwa perampok-perampok itu adalah anak buah Raden Mas Said, mereka tidak pernah kembali lagi kepada para pemimpin mereka.

“Mereka hilang di Jati Sari” berkata salah seorang dari pemimpin-pemimpin petugas sandi itu.

“Mencurigakan sekali” berkata seorang kumpeni dengan bahasa yang patah-patah, “Tentu ada pengkhianatan”

“Mungkin mereka hilang di Jati Sari. Tetapi mungkin di perjalanan” berkata salah seorang pemimpin petugas sandi dari Surakarta itu, “Tetapi tentu ada pihak lain yang ikut campur. Mungkin justru orang-orang Raden Mas Said sendiri yang agaknya berada di sembarang tempat. Mustahil jika orang-orang Jati Sari sendiri berani melakukan sesuatu”

Agaknya pendapat itu disetujui oleh para pemimpin yang lain. Namun sebelum mereka mengambil kesimpulan, maka salah seorang dari mereka berkata, “Cobalah mengingat sesuatu yang barangkali dapat dijadikan pancatan untuk mengusut persoalan ini. Kalian tentu ingat, bahwa Raden Juwiring. putera Pangeran Ranakusuma pernah berada di Jati Aking. ternyata ia adalah seorang prajurit yang mumpuni”

Sebelum orang itu melanjutkan, yang lain menyahut, “Ia berguru dalam olah kajiwan dan kesusasteraan. Yang melatih ilmu kanuragan adalah ayahandanya sendiri”

“Mungkin demikian. Tetapi sudah barang tentu Raden Juwiring banyak sekali mengetahui tentang Jati Sari. Mungkin Raden Juwiring dapat menemukan orang-orang yang kita perlukan, atau barangkali ia dapat bertanya kepada sahabat-sahabatnya, kawan-kawannya dan bahkan gurunya, jika mereka mengetahui kemana hilangnya petugas-tugas sandi itu. Jika sekiranya mereka melihat pertempuran atau semacam tindak kekerasan sebelum keempat orang itu dinyatakan hilang”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Kumpeni yang ada di antara mereka pun tersenyum sambil berkata, “Ya, kenapa kita tidak minta kepada Pangeran Ranakusuma, agar Raden Juwiring dikirim ke Jati Aking”

“Kita menaruh harapan kepadanya”

“Ya. Kita akan menghubungi Pangeran Ranakusuma”

Ternyata bahwa kumpeni itu benar-benar melaksanakan rencananya. Mereka menarik satu jalur ke atasan mereka yang benar-benar telah datang kepada Pangeran Ranakusuma, dan minta kepadanya agar puteranya diijinkan untuk memikul itu.

“Apakah tugas itu sangat penting sehingga puteraku yang harus melakukannya? Apakah tidak ada petugas-tugas sandi yang cukup cakap?”

“Kami berpikir demikian Pangeran. Dan kami telah mengirimkan empat orang petugas sandi. Tetapi keempat orang itu tidak pernah kembali. Hal itulah yang membuat kami semakin khawatir akan daerah Jati Sari”

“Jati Sari adalah daerah yang kecil, yang tidak mempunyai kekuatan apapun juga. Berbeda dengan Sukawati yang benar-benar harus kalian awasi seperti sekarang ini”

“Tentu Pangeran. Tetapi sebentar lagi keputusan Susuhunan akan jatuh. Sukawati akan ditarik kembali dari kekuasaan Pangeran Mangkubumi”

“Tetapi itu sangat menyakitkan hati”

“Kita tidak peduli. Tetapi sebenarnya keadaan Sukawati sudah menjadi semakin parah. Apalagi tidak sepantasnya Pangeran Mangkubumi mendapat kedudukan begitu banyak dan luas di atas daerah yang sangat subur”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam.

“Nah Pangeran, sebelum Jati Sari menjadi daerah yang semakin berbahaya, ijinkanlah putera Pangeran untuk menyelidikinya. Putera Pangeran adalah seorang prajurit muda yang baik. Meskipun baru saja Raden Juwiring mendapat kedudukannya sekarang, tetapi ia menunjukkan banyak kelebihan dari putera Pangeran yang meninggal itu. Raden Rudira.

Pangeran Ranakusuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Terserahlah kepada kalian. Perintah baginya dapat disalurkan lewat Senapati yang memimpin pasukannya”

“Tentu atas persetujuan Pangeran”

“Ya, atas persetujuanku”

Dalam pada itu. Raden Juwiring menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar, bahwa ia mendapat perintah untuk pergi ke Jati Sari. Dengan tergesa-gesa ia menghadap ayahanda dan mohon pertimbangan atas perintah yang diterimanya itu.

“Pergilah. Kau adalah seorang prajurit. Kau harus melakukan tugasmu sebaik-baiknya”

Raden Juwiring menjadi tegang. Tetapi seperti kata ayahandanya, bahwa ia adalah seorang prajurit. Dan ia tidak akan dapat ingkar lagi untuk menjalankan perintah dari atasannya.

Demikianlah maka Raden Juwiring pun kemudian mempersiapkan diri dengan sepasukan kecil untuk pergi ke Jati Sari. Bukan sebagai pasukan sandi, tetapi sebagai sekelompok prajurit berkuda yang disertai beberapa orang prajurit pilihan.

Dengan hati yang berat maka Raden Juwiring pun melakukan tugasnya sebagai seorang prajurit Surakarta. Sebagai seorang perwira yang masih muda dan memiliki kelebihan dari perwira-perwira muda yang lain, maka Raden Juwiring disegani oleh prajurit-prajurit yang berada di bawah pimpinannya.

Ketika matahari mulai memancar di pagi hari, pasukan kecil itu pun meninggalkan gerbang kota Surakarta menuju ke Jati Sari.

Di sepanjang perjalanan prajurit itu selalu dibayangi oleh ketegangan. Setiap saat mereka dapat bertemu dengan orang-orang yang berada di bawah pengaruh Raden Mas Said. Bahkan Pangeran Mangkubumi. Meskipun Pangeran Mangkubumi nampaknya masih tetap diam, tetapi kediaman telaga yang sangat dalam adalah justru sangat mengerikan.

Report this ad

Tetapi. prajurit-prajurit Surakarta itu sudah dilengkapi dengan sejenis senjata yang didapatnya dari kumpeni. Senjata yang memang lebih baik dari sekedar senjata tombak. Senjata api itu dapat dipergunakan untuk menyerang dari jarak yang jauh meskipun hanya untuk sekali dan harus dipersiapkan lagi sebelum dipergunakan berikutnya.

Namun mereka mempunyai perhitungan bahwa laskar Raden Mas Said jarang sekali bergerak di siang hari. Mereka hanya berbuat sesuatu di malam hari. Sedangkan di saat terakhir, sejak Raden Mas Said mulai bergerak lagi, kegiatannya masih belum nampak seperti saat-saat sebelum gerakannya dihentikan untuk sementara.

Tetapi tugas yang dibebankan kepada Raden Juwiring kali ini adalah tugas yang sangat mendebarkan jantung. Ia harus pergi ke Jati Sari untuk mencari keterangan tentang hilangnya keempat orang petugas sandi dari Surakarta yang dikirim ke Jati Sari sebelumnya. Sedangkan Jati Sari bagi Raden Juwiring adalah tempat untuk menempa diri sebelum ia berguru pula kepada ayahandanya sendiri.

“Aku harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang sulit ini” berkata Raden Juwiring di dalam hatinya.

Demikianlah maka pasukan itu pun kemudian berderap menyusur bulak persawahan. Beberapa orang petani yang melihat pasukan itu lewat menjadi berdebar-debar. Mereka tahu bahwa prajurit yang lewat itu adalah prajurit dari pasukan berkuda yang terkenal. Bagi Surakarta mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Hanya untuk tugas-tugas yang penting sajalah mereka pergi keluar kota.

Tetapi bagi tugas yang. dijalankannya sekarang, meskipun tidak terlampau penting, namun mereka harus memperhitung-kan, sengaja atau tidak sengaja, mereka akan dapat berpapasan dengan pasukan Raden Mas Said yang besar dan kuat. Itulah sebabnya, maka Raden Juwiring kali ini membawa sepasukan prajurit dari pasukan berkuda di Surakarta

Tidak banyak persoalan yang terjadi di sepanjang jalan. Merekapun tidak bertemu dengan pasukan Raden Mas Said. Yang mereka temui adalah tatapan mata para petani yang kecemasan melihat pasukannya. Setiap kali ada sepasukan prajurit yang lewat, maka para petani itu pun menjadi cemas. Siapakah yang akan hilang dari rumah mereka. Dan justru biasanya adalah orang-orang yang berpengaruh.

“Mereka menuju ke Jati Sari” desis salah seorang yang melihat pasukan itu lewat.

“He, bukankah yang paling depan itu Raden Juwiring.

“Siapakah Raden Juwiring itu?”

“Ah, masakan kau tidak mengetahuinya. Aku pernah beberapa, kali pergi ke Jati Sari. Setiap orang Jati Sari mempercakapkannya sebagai seorang bangsawan yang baik dan rendah hati. Ia tinggal pada Kiai Danatirta di padepokan Jati Aking”

“O” lawannya berbicara itu mengangguk-angguk, “Aku mengerti. Aku pernah melihatnya”

“Bukankah anak muda yang berkuda di paling depan itu?”

“Ya. Aku mengenalnya sekarang”

“Tetapi kenapa ia berpakaian seorang prajurit dari Surakarta?”

“Apa salahnya? Bukankah ia seorang bangsawan Surakarta”

“O” yang seorang berhenti sejenak sambil memandangi pasukan yang lewat itu. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa terasa sesuatu yang aneh bahwa Raden Juwiring yang sudah cukup lama berada di Jati Aking itu tiba-tiba saja berpakaian seorang prajurit Surakarta.

Kedatangan prajurit berkuda di padukuhan Jati Sari memang menimbulkan pertanyaan yang bermacam-macam di hati para petani yang menyaksikannya. Apalagi yang memimpin pasukan itu adalah Raden Juwiring, seorang bangsawan muda yang mereka kenal sebagai seorang bangsawan yang baik dan rendah hati. Tidak seorang pun dari orang-orang Jati Sari yang mengetahui, apakah yang pernah terjadi di kelamnya malam atas empat orang petugas sandi. Mereka tidak mengetahui bahwa Arum, anak gadis Kiai Danatirta itu telah membunuh seorang yang sedang berusaha mengamati padukuhan mereka. Karena itu, maka kedatangan pasukan itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan.

Juwiring yang dengan berat hati membawa pasukannya memasuki daerah Jati Sari itu pun berusaha untuk tidak terpengaruh oleh tatapan mata orang di sebelah menyebelah jalan. Namun demikian kadang-kadang terasa bahwa tatapan mata orang-orang Jati Sari itu terlampau tajam menusuk langsung ke jantungnya.

“Tugas yang harus aku pikul memang terlampau berat” katanya di dalam hati. Tetapi Raden Juwiring tidak ingin mundur. Apapun yang dilakukannya, adalah keyakinannya.

Untuk memulai dengan penyelidikannya Raden Juwiring telah memutuskan menempuh jalan yang paling baik dilakukan. Ia akan pergi ke Jati Aking dan menemui Kiai Danatirta.

Tetapi Raden Juwiring tidak ingin membawa seluruh pasukannya ke padepokan itu. Karena itulah maka sebelum ia menemui Kiai Danatirta, maka ia pun lebih dahulu pergi kepada seseorang yang dikenalnya mempunyai rumah yang besar dan halaman yang luas.

“Tinggallah kalian di sini sejenak. Aku mempunyai seorang yang aku kenal baik-baik. Mungkin ia dapat membuka jalan penyelidikan yang akan kita lakukan ini”

Setelah menyerahkan pimpinan pasukannya kepada seorang perwira yang dipercayanya, dan berpesan agar dilakukan penjagaan yang baik dan penuh kewaspadaan, maka Raden Juwiring pun minta diri kepada pasukannya.

“Apakah Raden memerlukan beberapa orang pengawal?”

“Tidak. Aku akan pergi sendiri. Aku mengenal padukuhan ini dengan baik, seperti aku mengenal kota Surakarta”

Demikianlah maka Raden Juwiring pun melarikan kudanya ke padepokan Jati Aking untuk menghadap Kiai Danatirta yang sudah lama sekali tidak pernah dikunjunginya.

Dalam pada itu Kiai Danatirta telah mendengar kehadiran pasukan yang dipimpin oleh Raden Juwiring justru ketika ia berada di sawah. Karena itulah, maka Kiai Danatirta dengan sengaja menghindarinya dan tidak segera pulang ke padepokannya. Bahkan Kiai Danatirta itu langsung pergi ke sungai seakan-akan dengan sengaja menyembunyikan diri.

Yang ada di padepokannya adalah Arum dan para pembantunya. Kedatangan Raden Juwiring benar-benar sangat mengejutkannya. Apalagi ketika Arum melihat bahwa Raden Juwiring berpakaian seorang prajurit Surakarta.

Arum yang semula berlari-larian untuk menyongsongnya, setelah ia berdiri di pendapa, justru langkahnya tertegun. Untuk beberapa saat ia berdiri termangu-mangu memandang Raden Juwiring dalam pakaiannya. Meskipun anak muda itu nampak menjadi semakin gagah dan tampan, namun ada sesuatu yang rasa-rasanya hilang dari kepribadian Raden Juwiring itu.

Sejenak kemudian barulah Arum dapat menguasai perasaan-nya. Perlahan-lahan ia melangkah melintasi pendapa dan menuruni tangga yang rendah.

“Arum” sapa Raden Juwiring sambil tersenyum, “Apakah kau tidak dapat mengenali aku lagi?”

“Selamat datang Raden. Aku segera dapat mengenal Raden meskipun Raden berpakaian seorang prajurit. Tetapi ada sesuatu yang rasa-rasanya tidak aku kenal pada Raden” jawab Arum.

“Kenapa kau berubah Arum. Panggil aku seperti kebiasaanmu memanggil aku selagi aku masih berada di padepokan ini”

Arum menggelengkan kepalanya, Katanya, “Sebelum aku menemukan yang hilang pada Raden, aku tidak akan dapat bersikap seperti itu”

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Arum dengan ragu-ragu. Rasa-rasanya Arum telah berubah menjadi orang yang asing baginya, seperti Arum menganggapnya sudah berubah pula.

Tetapi Raden Juwiring pun segera berhasil menguasai perasaannya. Sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah Arum. Mungkin karena kita sudah terlampau lama tidak bertemu, sehingga pertemuan ini menjadi canggung karenanya. Tetapi baiklah, kita akan segera dapat mengatasi perasaan kita masing-masing”

“Mungkin Raden. Tetapi kecanggungan itu dapat juga disebabkan oleh pakaian Raden yang asing, yang rasanya telah membuat batas di antara kita”

Raden Juwiring tertawa. Tetapi betapa pahitnya.

“Marilah Raden. Silahkan duduk”

Dengan agak ragu-ragu Juwiring pun kemudian naik ke pendapa. Pendapa yang di masa lalu menjadi bagian dari hidupnya, atau jika ia pulang dari sawah setelah mencuci kaki dan tangannya di sore hari bersama Buntal dan Kiai Danatirta. Setiap hari ia duduk-duduk di pendapa itu jika malam mulai gelap, jelang saat-saat latihannya. Kadang-kadang ia menemui tamunya, kawan-kawannya dan kadang-kadang ia ikut di dalam pembicaraan-pembicaraan penting di pendapa.

Kini ia benar-benar merasa orang asing yang dipersilahkan duduk di pendapa itu.

“Raden” berkata Arum kemudian, “Sudah cukup lama Raden tidak pernah mengunjungi padepokan ini. Kini tiba-tiba saja Raden datang dengan pakaian yang lengkap. Apakah ada keperluan yang penting yang harus Raden selesaikan di padepokan ini?”

Raden Juwiring termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tidak dapat ingkar lagi akan tugasnya. Jika ia tidak menyebut-nyebut para prajurit yang dibawanya, Arum pun pasti akan mendengarnya juga. Karena itu, maka katanya kemudian, “Arum. Aku datang untuk melakukan tugasku sebagai seorang prajurit. Aku tidak datang sendiri ke padepokan ini. Aku membawa sepasukan prajurit yang sekarang menunggu aku di ujung jalan ini”

“O” Arum mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Apakah Raden akan mencari kakang Buntal dan menangkapnya”

“Ah, kau berprasangka Arum. Sebenarnya aku sama sekali tidak berubah. Aku masih menganggap kau dan Buntal sebagai saudaraku”

Arum memandang Juwiring dengan tatapan mata yang aneh. Dan tiba-tiba saja terbersit jawabannya di sudut bibirnya, “Terima kasih”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Namun ia berusaha untuk menyembunyikan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya.

“Arum” berkata Buntal, “kedatanganku adalah sekedar menjalankan tugas yang dibebankan kepadaku sebagai seorang prajurit. Aku kira aku sudah benar, bahwa aku datang ke padepokan ini sebelum aku mulai dengan tindakan-tindakan yang lain di padukuhan Jati Sari”

Arum mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menyahut.

“Dimanakah Kiai Danatirta Arum?” bertanya Raden Juwiring.

“Ayah berada di sawah. Apakah Raden memerlukannya? Apakah yang tuan cari bukan kakang Buntal tetapi ayah”

“Tidak. Tidak. Jangan berprasangka lebih dahulu. Aku hanya ingin mendapat beberapa keterangan daripadanya”

“Ayah tidak ada Raden. Benar-benar tidak ada di padepokan. Jika Raden tidak percaya, silahkan Raden mencarinya”

Juwiring termenung sejenak, lalu, “Baiklah. Jika Kiai Danatirta tidak ada, aku dapat menunggunya atau mencarinya di sawah. Tetapi sementara ini, biarlah aku bertanya saja lebih dahulu kepadamu Arum. Bagiku kau adalah orang yang terpilih di padukuhan ini. Tidak ada gadis yang lain yang memiliki kelebihan seperti kau. Karena itu, aku datang kepadamu”

“Apakah yang ingin Raden tanyakan?”

“Arum. Barangkali kau dapat membantuku. Aku mendapat tugas untuk mencari empat orang prajurit yang hilang di daerah ini di dalam tugas sandinya. Mereka mendapat tugas untuk mencari keterangan, kenapa rakyat Jati Sari mempunyai sikap yang agak lain dari padepokan di sekitarnya”

“Bagaimanakah bentuk kelainan itu Raden? Apakah Jati Sari tidak sanggup menghasilkan padi seperti yang dihasilkan oleh padukuhan yang lain, atau di Jati Sari terlalu sering terjadi kerusuhan dan pencurian yang menurut ceritera orang, mereka yang melakukan kejahatan itu adalah anak buah Raden Mas Said?”

“Ah, jika bukan kau yang bertanya demikian aku percaya bahwa orang itu benar-benar tidak mengerti. Tetapi seharusnya kau tidak bertanya demikian. Tentu aku tidak akan menanyakan tentang hasil padi. Tetapi karena kau menyinggung tentang anak buah Raden Mas Said, maka ada sedikit sentuhan dari tugasku”

Juwiring berhenti sejenak, lalu, “orang-orang yang hilang itu memang sedang mencari keterangan tentang perampok-perampok anak buah Raden Mas Said. Tetapi agaknya rakyat Jati Sari tidak mempercayainya. Nah, barangkali kau dapat mengatakan siapakah biang keladi dari penolakan itu?”

“Jika bukan Raden yang bertanya demikian, aku percaya bahwa yang diucapkan itu benar-benar suatu pertanyaan, bukan suatu tuduhan terhadap diri kami di padepokan ini”

“Ah” Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam.

“Raden. Apakah Raden menuduh kami? Dan apakah hubungannya dengan yang Raden katakan orang-orang yang hilang”

“Pertanyaanku sebenarnya sudah jelas Arum. Tetapi aku benar-benar tidak menuduhkan apapun juga. Orang yang mencari keterangan itu telah hilang di daerah Jati Sari. Mereka bertugas kemari, tetapi mereka tidak pernah kembali”

“Apakah itu sudah merupakan bukti bahwa mereka hilang di Jati Sari? Apakah tidak ada kemungkinan lain, bahwa orang-orang itu secara kebetulan bertemu dengan Raden Mas Said di perjalanan kemari?”

“Tentu Arum, tentu. Orang-orang itu mungkin sekali bertemu dengan pasukan Raden Mas Said yang kemudian menangkap atau bahkan membunuhnya”

“Nah, sebaiknya Raden mencari keterangan tentang hal itu lebih dahulu”

“Arum” berkata Raden Juwiring, “Sebenarnyalah bahwa kedatanganku ini benar-benar mengharap bantuan darimu. Tetapi yang aku jumpai adalah keadaan yang berbeda sekali dengan harapanku. Kau tidak lagi bersikap seperti seorang adik. Tetapi kau nampaknya dibayangi oleh prasangka dan kecurigaan”

“Tepat” jawab Arum, “pakaian Raden membuat aku berprasangka dan curiga”

“Cobalah kau tidak menghiraukan pakaianku Arum. Tetapi aku benar-benar mengharap kau membantuku. Mungkin kau melihat beberapa orang yang asing di daerah ini. Dan mungkin kau tahu kemana mereka pergi”

“Jalan yang membelah padukuhan Jati Sari adalah jalan yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, antara kademangan yang satu dengan kademangan yang lain. Karena itu, setiap hari berpuluh-puluh orang yang tidak aku kenal lewat di jalan itu. Dari pagi sampai matahari hampir terbenam”

Raden Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. ia sadar, bahwa Arum tidak akan dapat dilunakkannya karena ia menganggapnya tidak dapat lagi dipercaya. Karena itu, maka sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Baiklah Arum. Jika kau tidak dapat mengatakan apapun juga tentang orang-orang yang hilang itu, baiklah. Aku akan mencari keterangan kepada orang lain”

“Silahkan Raden. Barangkali ada orang lain yang bersedia memberikan keterangan kepada Raden”

“Ternyata aku keliru datang kepadamu kali ini Arum”

“Benar. Raden keliru datang ke padepokan kecil ini. Raden adalah seorang bangsawan tinggi, karena Raden adalah putera seorang Pangeran”

“Cukup Arum” potong Raden Juwiring. Terasa dadanya bergetar betapapun ia masih tetap berusaha untuk menahan perasaannya.

“Jika sudah cukup, silahkan”

Dada Raden Juwiring benar-benar terguncang. Tetapi ia pun menyadari bahwa Arum adalah anak Kiai Danatirta. Meskipun ia seorang gadis tetapi ia memiliki kelebihan dari gadis-gadis lain. Selama ia tidak datang lagi ke padepokan ini, maka Arum pasti sudah mendapat tempaan yang terakhir sehingga ilmu Jati Aking pasti sudah tuntas disadapnya.

“Baiklah Arum. Aku minta diri. Sampaikan salamku kepada Buntal jika kau bertemu”

“Kakang Buntal sudah bergabung dengan Pangeran Mangkubumi di Sukawati”

“Aku sudah mendengar” jawab Raden Juwiring, “kemudian baktiku kepada ayah Kiai Danatirta”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar