Bunga Di Batu Karang Jilid 09

Di antara mereka adalah Pangeran Ranakusuma. Bukan saja karena ia menerima langsung berbagai macam hadiah, tetapi ia juga ingin mendapat pengaruh lebih banyak lagi di dalam istana Susuhunan. Selain kepentingan langsung itu, isterinya pun telah mendorongnya pula agar ia tidak menjauhkan diri dari lingkungan orang-orang asing yang baik hati, murah hati dan menyenangkan itu.

Sejalan dengan perkembangan itu, hati Raden Rudira pun menjadi semakin berkembang pula. Keinginannya untuk mengetahui, apa saja yang dilakukan ibunya di dalam lingkungan orang-orang asing itu tanpa ayahnya, selalu mendesaknya, sehingga kadang-kadang ia hampir tidak dapat mengendalikan dirinya lagi.

“Jangan bermain api Raden” Mandra mencoba mencegahnya.

“Aku tidak tahan lagi Mandra. Rasa-rasanya aku selalu digelitik oleh perasaanku sendiri. Terus-terang aku menjadi curiga”

“Apa yang Raden curigai?”

Raden Rudira tidak menjawab. Ia tahu bahwa sebenarnya Mandra sudah mengerti perasaannya.

“Jangan tergesa-gesa” berkata Mandra kemudian, “meskipun pada akhirnya rencana Raden itu dilakukan, tetapi Raden harus mengingat, bahwa perbuatan itu penuh dengan bahaya. Setiap kali diadakan pertemuan bagi kumpeni di rumah bangsawan yang manapun, penjagaan di sekitar halaman itu diperkuat. Apalagi mereka mempunyai senjata-senjata yang dapat melontarkan sebutir besi dan yang langsung dapat membunuh korbannya”

“Aku tidak takut akan senjata api itu”

“Memang kita tidak takut. Tetapi usaha kita gagal dan kita justru terbunuh oleh senjata api itu, maka bukankah dengan demikian tidak ada gunanya, apapun yang pernah kita lakukan?”

Raden Rudira mengangguk-angguk.

“Jika Raden memang berkeinginan untuk melakukannya, sebaiknya Raden memberitahukan kepadaku. Aku akan menyelidiki dahulu kemungkinan yang sebaiknya Raden lakukan. Malam nanti Raden Ayu mendapat undangan pula dari seorang perwira kumpeni. Bukankah begitu?”

“Ya, dan ayahanda malam ini tidak dapat pergi mengantarkan ibunda karena ayahanda mendapat undangan tersendiri ke istana Susuhunan”

“Tetapi sebaiknya Raden tidak bertindak malam ini. Undangan semacam itu masih akan berdatangan. Tentu tidak sampai tiga hari lagi”

“Belum tentu Mandra. Mungkin di hari mendatang, ayahanda dapat pergi bersama ibunda. Karena itu, apa salahnya jika malam ini aku mencoba melihat apa yang terjadi. Jika aku gagal, barulah aku akan menentukan hari-hari berikutnya sehingga aku akhirnya yakin apa yang dilakukan ibunda itu. Dengan demikian hatiku akan menjadi tenteram”

Mandra merenung sejenak. Dipandanginya wajah Rudira yang tegang. Namun orang yang bertubuh raksasa seperti Sura itu kemudian tersenyum, “Baiklah Raden. Jika Raden tetap pada pendirian Raden apaboleh buat. Biarlah aku pergi lebih dahulu ke tempat bujana itu akan diadakan. Apakah Raden mengetahuinya?”

“Ya. Aku mengetahuinya. Di rumah pamanda Surawijaya,” Mandra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu. Istananya berada di sebelah simpang tiga dengan pohon Kayu Legi yang terjajar tiga di halaman samping?”

“Ya”

“Baiklah Raden. Jika memang Raden kehendaki, aku akan pergi ke istana Surawijayan. Aku mempunyai seorang kawan yang baik mengabdikan diri pada di Surawijayan. Barangkali aku dapat menghubunginya dan mendapatkan kesempatan untuk memasuki halaman istana itu malam nanti untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi”

“Baiklah. Pergilah. Tetapi hati-hati, jangan sampai rencana ini diketahui oleh siapapun. Jika demikian maka ibunda akan mengurungkan niatnya, atau kumpeni akan memasang penjagaan yang kuat. Tentu orang-orang kita juga yang akan berjaga-jaga di luar istana Surawijayan, sedang kumpeni akan makan minum dengan sepuas-puasnya”

Mandra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku minta diri Raden. Selagi masih jauh waktunya, sehingga orang-orang di istana itu, atau barangkali pengawas-pengawas yang sudah dipersiapkan tidak mencurigai aku”

“Pergilah”

Rudira pun kemudian memberikan bekal uang kepada Mandra seperti yang biasa dilakukannya apabila ia memberikan tugas yang agak menyimpang dari tugasnya sehari-hari. Apalagi tugas ini termasuk tugas yang cukup berbahaya.

Sepeninggal Mandra, Rudira selalu duduk merenung. Ia tidak dapat melepaskan diri dari kecurigaan terhadap ibunya. Semakin lama semakin dalam. Sebagai satu-satunya anak laki-laki yang manja, ia benar-benar tidak mau melepaskan kasih sayang ibunya dan membaginya dengan orang lain. Bagi Rudira, perkawinan ayah dan ibunya adalah ikatan yang paling luhur di dalam hidup kekeluargaan. Setelah isteri ayahandanya semuanya tersisih dari istana itu, meninggal atau kembali ke orang tuanya, maka ibunyalah satu-satunya orang yang berhak sepenuhnya atas istana Ranakusuman di samping ayahandanya. Setelah ayahandanya menyisihkan orang-orang yang dapat mengurangi kasih sayangnya kepada isteri yang tinggal satu-satunya, maka ibundanya pun tidak boleh menodai kasih dan cinta itu. Umur Rudira yang menginjak dewasa itu, memandang cinta antara laki-laki dan perempuan sebagai cinta yang paling suci dan sama sekali tidak boleh dinodai.

Dengan demikian maka keinginannya untuk mengetahui apa saja yang telah dilakukan ibunya itu pun menjadi semakin besar.

Dalam pada itu, sepeninggal Mandra, dari balik dinding yang menyekat ruangan pembicaraan antara Mandra dan Rudira seseorang perlahan-lahan sambil berjingkat, meninggalkan tempatnya setelah ia tanpa sengaja mendengar pembicaraan-pembicaraan itu. Pembicaraan yang sangat mendebarkan jantungnya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam, ketika ia sudah berada di tempat yang terpisah oleh gandok sebelah kanan, orang itu mengangguk-angguk.

Orang itu adalah Dipanala, yang masih saja berada di istana itu dengan berbagai macam akibat yang dapat terjadi atasnya. Dengan sadar Dipanala melihat kemungkinan-kemungkinan itu. Dari yang paling ringan sampai yang paling pahit baginya, mati. Tetapi ia masih belum berniat meninggalkan istana Ranakusuman.

Ternyata percakapan yang didengarnya tanpa sengaja itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Bahkan tanpa disadarinya ia bergumam, “Raden Rudira tidak tahu bencana apa saja yang dapat menimpanya. Untuk mendekati lingkungan itu adalah sangat berbahaya sekali meskipun Mandra akan berusaha menemukan jalan”

Tetapi tiba-tiba saja melonjak perasaan sakit hati di dalam dadanya, “Aku tidak peduli. Aku tidak berkepentingan apa-apa. Biar saja apa yang akan terjadi pada keduanya. Justru keduanya pernah mencoba membunuh aku. Dan tentu niat itu sampai saat ini masih tersimpan di dalam hati, karena niat itu bersumber dari ibundanya dan barangkali sebentar lagi dari kedua-duanya, dari ibunda dan ayahandanya”

Dipanala pun kemudian mencoba melupakan, apa yang akan dilakukan oleh keduanya. Ia pun segera pergi ke belakang, ke kandang kuda. Dibersihkannya beberapa ekor kuda yang ada di dalam kandang itu bersama juru pemelihara kuda. Para pekatik dan gamel itu kadang-kadang merasa heran juga, bahwa Ki Dipanala semakin sering bekerja di kandang kuda. Tetapi mereka tidak tahu, bahwa Dipanala di istana Ranakusuman itu seolah-olah sudah tidak mempunyai kerjaan lain yang pasti, kecuali kadang-kadang ia mendapat perintah dan Pangeran Ranakusuma untuk menyampaikan pesan kepada orang-orang yang dekat dengannya.

Namun Dipanala yang keras hati itu tetap tidak meninggalkan istana Ranakusuman. Ia sadar, bahwa jika ia pergi, maka umurnya pun tidak akan dapat bertahan, karena baik Pangeran Ranakusuma maupun Raden Ayu Ranakusuma akan memerintahkan orang-orang upahan untuk membunuhnya agar ia tidak membuka rahasia mereka masing-masing.

Dengan demikian maka kemungkinan baginya hampir tidak ada bedanya. Meninggalkan istana atau tetap tinggal. Namun yang sedang dipikirkannya adalah bagaimana ia dapat menyingkir bersama keluarganya dan bergabung dalam suatu kelompok kekuatan yang dapat melindunginya dan terutama yang mempunyai sikap yang pasti terhadap orang-orang asing yang semakin lama menjadi semakin berkuasa di Surakarta, dan dengan demikian mereka semakin leluasa menyebarkan racun perpecahan untuk memperkuat kedudukan mereka.

Bagi Dipanala, tempat yang paling baik baginya adalah Padepokan Jati Aking. Namun di sana ada Raden Juwiring, sehingga hubungan antara istana ini dan padepokan Jati Aking tampaknya masih terlampau dekat.

Tetapi Dipanala tidak begitu terpancang kepada usahanya itu. Sebenarnyalah bahwa ia memang harus berusaha menyelamat-kan diri. Tetapi jika maut memang sudah waktunya menjemput-nya, ia tidak akan ingkar lagi, dengan suatu permohonan, mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi keluarganya dari malapetaka.

Namun sehari-harian itu Dipanala selalu saja digelisahkan oleh rencana Raden Rudira. Setiap kali ia berusaha melupakan rencana itu, karena ia memang tidak berkepentingan. Ia tidak ingin ikut campur sehingga ia akan tersudut semakin jauh. Semakin banyak rahasia yang diketahuinya, sengaja atau tidak sengaja, maka semakin sulitlah perasaannya dan bahkan semakin sempitlah ruang yang dapat dihuninya untuk mempertahankan hidupnya.

Aku tidak ingin menjadi korban dari rahasia orang-orang lain. Biar saja Raden Rudira mengetahui rahasia ibunya. Biar saja Raden Rudira melihat kenyataan bahwa ibunya sama sekali bukan seorang perempuan bangsawan yang terhormat seperti yang diduganya. Juga ayahandanya bukan seorang laki-laki yang baik apalagi sebagai seorang Pangeran. Bilamana dikehendaki ia dapat mengambil beberapa orang isteri, tetapi tidak meloncati pagar ayu, menodai cinta kasih seorang perempuan yang bersuami” berkata Dipanala di dalam hatinya.

Tetapi ketika kemudian ia melihat sebuah kereta memasuki halaman istana Pangeran Ranakusuma menjelang senja, maka hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa Raden Rudira pun sudah menyiapkan kudanya meskipun Mandra masih belum datang menemuinya.

Bagaimanapun juga ia berusaha, namun Ki Dipanala tidak dapat menutup mata, bahwa ia melihat Pangeran Ranakusuma telah berangkat lebih dahulu ke istana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana, kemudian disusul oleh Raden Ayu Ranakusuma mengenakan pakaian yang cemerlang, dengan perhiasan yang berkilauan seperti bintang yang gemerlapan di langit.

Dipanala yang berada di longkangan belakang menarik nafas dalam-dalam. Belum lagi debar jantungnya mereda, dilihatnya Mandra dengan tergesa-gesa menemui Raden Rudira di depan gedogan kuda.

“Semuanya sudah beres. Kita dapat berangkat apabila gelap telah menyeluruh”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya, “Apakah kau baru datang?”

“Ya Raden”

“Lama sekali?”

“Aku berusaha menyelesaikan semuanya. Dengan demikian maka kita tidak akan berbuat dua kali”

Rudira yang kemudian melihat Dipanala berhenti sejenak. Meskipun Dipanala tampaknya tidak menghiraukannya, namun Rudira pun kemudian membawa Mandra pergi.

“Persetan” Dipanala merasa bahwa dirinya dicurigai oleh Rudira, “Aku tidak peduli. Aku tidak peduli”

Ingin rasanya Dipanala itu menjerit. Seandainya ia seorang anak-anak yang masih pantas berteriak keras-keras, maka ia pun akan berteriak keras-keras pula.

Meskipun Dipanala tidak mendengar pembicaraan antara Rudira dan Mandra, namun ia sudah dapat menangkap maksudnya, karena ia pun mendengar pembicaraan sebelumnya.

“Aku tidak mau tahu” Ki Dipanala menggeram.

Rudira yang kemudian berbicara sambil berbisik-bisik dengan Mandra pun telah menetapkan rencana mereka. Mereka benar-benar akan pergi ke istana Pangeran Surawijaya untuk melihat sendiri, apa yang telah terjadi di dalam bujana makan dan minum yang diselenggarakan oleh beberapa orang perwira Kumpeni.

Dipanala yang kemudian meninggalkan longkangan, karena ia tidak mau mengetahui rahasia itu lebih banyak, duduk di serambi gandok seorang diri. Ia melihat beberapa orang penjaga regol yang sedang berganti tugas.

Dalam kesibukan para pengawal di senja hari itu, Dipanala justru merasa hatinya terlalu sepi. Ia merasa bahwa tidak ada sesuatu yang dapat dikerjakan. Apapun yang dilakukan rasa-rasanya tidak akan bermanfaat sama sekali. Bahkan berbuat baik pun agaknya tidak akan menguntungkannya. Seandainya ia mencoba mencegah Rudira, karena yang akan dilakukannya itu benar-benar berbahaya, tentu anak muda itu akan salah paham. Dan ia akan dianggap sebagai seseorang yang lelah mengetahui rahasianya pula.

“Lebih baik aku pulang” berkata Dipanala kepada diri sendiri, “Lebih baik bermain-main dengan anak-anak. Jika orang-orang di istana ini memerlukan aku, mereka akan memanggil. Apalagi Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu tidak ada di rumah. Tentu tidak akan ada orang yang memerlukan aku”

Tetapi ketika ia sedang berdiri, ia terkejut mendengar derap dua ekor kuda dari halaman belakang. Hampir di luar sadarnya ia melekatkan tubuhnya pada dinding gandok dan bergeser di belakang tiang sehingga terlindung dari cahaya obor yang sudah dinyalakan, karena bayangan tiang itu.

Dengan hati yang berdebar-debar ia melihat Raden Rudira dan Mandra yang berada di atas punggung kuda keluar dari halaman istana Ranakusuman.

Sejenak Dipanala seakan-akan membeku Di tempatnya. Keragu-raguan yang dalam telah menghentak-hentak di dadanya. Namun sekali lagi ia menggeram, “Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Aku tidak berkepentingan sama sekali”

Ketika suara derap kaki-kaki kuda itu lenyap, maka Dipanala pun kemudian meninggalkan tempatnya. Di halaman samping ia berpapasan dengan seorang pelayan yang baru keluar dari dalam istana. Katanya, “Istana rasa-rasanya menjadi sangat sepi”

“Tentu” sahut Ki Dipanala, “semuanya telah pergi. Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu dan Raden Rudira” jawab Ki Dipanala.

“Berulang kali hal serupa itu terjadi. Tetapi rasa-rasanya tidak seperti malam ini”

“Kenapa?” bertanya Ki Dipanala kemudian.

“Lampu di ruang tengah itu seakan-akan tidak mau menyala dengan terang. Meskipun sumbunya telah aku panjangkan, namun nyalanya itu bagaikan pelita yang kehabisan minyak saja”

“Tentu minyaknya lah yang kurang bersih”

“Minyaknya adalah minyak yang setiap kali aku pergunakan”

“Tentu pada suatu ketika minyak itu habis, dan minyak yang baru itu tidak sebaik minyak yang lama”

“Tidak. Aku sudah mempergunakan minyak ini selama tiga malam berturut-turut”

Ki Dipanala tidak menjawab lagi. Tetapi ketika ia menengok ruang dalam lewat pintu butulan, rasa-rasanya ruangan itu memang sepi dan bersuasana lain.

“Marilah kita lihat” berkata Ki Dipanala kepada pelayan itu.

Keduanya pun kemudian memasuki ruang dalam istana Ranakusuman. Mereka memang merasakan suasana yang lain. Lampu minyak yang biasanya terang benderang, rasa-rasanya memang menjadi suram. Bukan saja lampu di ruang tengah. Bahkan ketika keduanya memasuki bilik Raden Ayu Ranakusuma, terasa seakan-akan tengkuk mereka telah dihembus perlahan-lahan sehingga seluruh bulu kulit mereka berdiri.

Dipanala bukan seorang penakut. Yang terjadi baginya seakan-akan sekedar suatu kebetulan saja. Namun demikian ia tidak dapat ingkar, bahwa hatinya telah diusik oleh kegelisahan, seakan-akan yang terjadi itu adalah suatu isyarat. Tetapi karena kebodohannya, maka ia tidak dapat mengurai apakah yang sebenarnya akan terjadi.

Sekali lagi pelayan itu mencoba menarik sumbu lampu-lampu minyak di ruang dalam, namun cahayanya bagaikan tetap redup.

Tiba-tiba saja Dipanala tersenyum sambil berkata, “Ada yang kau lupakan”

“Apa Ki Dipanala?”

“Lihatlah, lampu di pendapa masih menyala terlampau terang Agaknya masih belum kau susut sama sekali”

“Masih terlampau sore”

“Maksudku, justru karena lampu di pendapa itu terlampau terang, maka lampu di dalam ruangan ini tampaknya sangat redup. Cobalah, susut sedikit lampu di pendapa itu”

“Apakah begitu?”

“Cobalah. Nanti dibesarkan lagi”

Pelayan itu pun kemudian pergi ke pendapa. Disusutnya lampu yang menyala terang sekali, sehingga cahayanya menjadi redup. Dengan demikian, ketika ia masuk ke ruang dalam, maka lampu-lampu di ruang dalam itu rasa-rasanya menjadi bertambah terang.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Kau benar Ki Dipanala”

“Nah, sekarang, tariklah sumbu lampu di pendapa itu, supaya istana ini tidak kelihatan redup”

Pelayan itu kembali lagi ke pendapa, dan dibesarkannya nyala lampu yang tergantung di tengah-tengah pendapa yang besar dan dihiasi dengan Barang-barang yang cukup baik dan mahal, yang sebagian diterimanya sebagai hadiah dari perwira-perwira kumpeni.

Tetapi belum lagi pelayan itu masuk, seorang peronda mendekatinya sampai di tangga pendapa sambil bertanya, “He. kenapa kau bermain-main dengan lampu minyak itu?”

Pelayan itu hanya menggelengkan kepalanya saja.

Peronda itu pun tidak bertanya lagi. Dengan dahi yang berkerut-merut ia melangkah kembali ke gardu di regol depan.

Namun dalam pada itu, meskipun pelayan itu agaknya mencoba mengerti keterangan Ki Dipanala, bahwa ruangan-ruangan di dalam istana itu tampaknya redup karena justru lampu di pendapa terlampau terang, namun bagi Dipanala sendiri ada sesuatu yang masih tetap mengganggu, justru karena ia tahu, kemana Raden Rudira pergi.

Karena itulah, maka hatinya masih tetap tidak tenang. Apalagi ketika terasa sesuatu yang aneh menyentuh perasaannya ketika ia berada di dalam bilik Raden Ayu Ranakusuma dan Raden Rudira yang terasa sangat sepi, sesepi kuburan. Yang tampak hanyalah alat-alat rumah tangga yang berdiri tegak dan kaku. Geledeg kayu berukir, pembaringan yang bersih dialasi dengan kain yang mengkilap, serta sebuah kaca yang besar, yang diterima juga sebagai hadiah dari orang-orang asing itu, dengan berbagai macam benda yang lain yang sangat mengagumkan. Namun semuanya itu bagaikan perlambang dari hati Raden Ayu Ranakusuma yang mati seperti benda-benda itu. Tidak berperasaan.

Tetapi Ki Dipanala tidak mengatakan sesuatu kepada pelayan yang masih berdiri di sisinya. Bahkan perlahan-lahan pelayan itu berkata kepadanya, “Bilik ini pada suatu saat tentu akan penuh sesak dengan hadiah-hadiah yang setiap saat diterimanya”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Marilah. Bukankah kau hanya mempersoalkan nyala lampu yang redup itu?”

Pelayan itu menganggukkan kepalanya.

“Dan bukankah kau sudah mengetahui sebabnya?” Sekali lagi pelayan itu mengangguk.

“Jika demikian, aku akan keluar dan pulang, menengok anak-anak di rumah”

“Silahkan Ki Dipanala” berkata pelayan itu.

Ki Dipanala pun kemudian meninggalkan pelayan itu di tangga pintu butulan. Dengan langkah yang lamban, Dipanala berjalan menuju ke butulan dinding halaman di belakang, yang langsung menuju ke halaman rumahnya yang terletak di balik dinding halaman itu.

Namun hatinya masih saja dipengaruhi oleh kepergian Raden Rudira. Setiap kali ia mencoba mengusir perasaannya itu, namun setiap kali pula ia menjadi berdebar-debar.

Ketika Dipanala sudah berada di luar halaman, dan sudah menutup pintu itu kembali, hatinya menjadi semakin ragu-ragu. Karena itulah maka ia pun mengurungkan niatnya untuk memasuki rumahnya yang sudah tertutup. Bahkan ia pun pergi ke kandang kuda dan dengan hati-hati membenahi pakaian kudanya dan menuntunnya keluar perlahan-lahan, agar tidak mengejutkan isi rumahnya.

Sejenak kemudian Ki Dipanala pun sudah berpacu di jalan yang sudah menjadi sepi karena malam yang semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin gelap, meskipun di langit bintang-bintang bercahaya dengan cerah.

Kegelisahan di hati Ki Dipanala ternyata telah mendorongnya untuk berpacu lebih cepat. Ia pun tahu benar, bahwa malam itu Raden Ayu Galihwarit sedang mengadakan bujana makan dan minum tanpa batas di rumah Pangeran Surawijaya.

Tetapi ia tidak mau terlibat terlampau jauh. Sebenarnya ia hanya ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi di rumah Pangeran itu, jika Raden Rudira mengetahui apa yang dilakukan oleh ibundanya.

Karena itu, ia tidak langsung mendekati istana itu. Diikatnya kudanya agak jauh dari istana Pangeran Surawijaya. Kemudian untuk beberapa lamanya ia menunggu di dalam kegelapan sebelum ia pergi mendekati halaman yang luas dan berdinding tinggi.

Tetapi pepohonan di luar dinding memberi kesempatan kepadanya untuk melihat apa yang ada di dalam, karena dahan-dahannya yang menjulang melampaui tinggi dinding halaman itu.

Sejenak Ki Dipanala menunggu. Ia menduga, bahwa Raden Rudira pun pasti sedang menunggu. Tetapi ia tidak tahu, dimana anak muda itu bersembunyi bersama Mandra.

Karena itu maka Ki Dipanala harus berhati-hati. Ia harus menghindarkan diri dari anak muda itu, agar ia tidak menambah kesulitan bagi dirinya sendiri karena ia mengetahui pula rahasianya disamping rahasia ayah dan ibundanya.

Betapa dada Ki Dipanala menghentak-hentak ketika ia mendengar gelak tertawa di pendapa istana yang dihiasi dengan lampu yang terang benderang. Gelak tertawa orang-orang asing yang diseling dengan suara tertawa dalam nada tinggi. Suara isteri para bangsawan yang keriangan pula di dalam bujana itu. Apalagi mereka masih mengharap bermacam-macam hadiah dari orang-orang asing itu. Hadiah yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya, karena hadiah itu adalah benda-benda yang mereka bawa dari negeri mereka.

Ki Dipanala yang menunggu di luar dinding menjadi pening. Suara tertawa itu dapat membuatnya menjadi gila. Karena itu, maka akan lebih baik baginya untuk melihat apa yang terjadi dari pada sekedar mendengar suaranya. Sebab dengan demikian ia dapat membayangkan apa saja menurut angan-angannya terjadi di balik dinding itu. Tetapi jika ia melihatnya, maka ia akan segera dibatasi oleh penglihatannya, meskipun yang dilihatnya itu mungkin juga sangat memuakkannya.

Seperti anak-anak ingin melihat adu ayam di arena yang penuh, maka Ki Dipanala pun kemudian memanjat sebatang pohon di luar dinding. Dengan hati yang berdebar-debar ia menjengukkan kepalanya dari balik dedaunan yang rimbun.

Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Ternyata memang yang dibayangkan jauh lebih menggetarkan dadanya dari yang terjadi. Ternyata mereka hanya sekedar duduk berkeliling pendapa sambil berbicara, meskipun betapa riuhnya. Justru orang-orang asing yang belum menguasai bahasa Jawa, dan mencoba mempergunakannya itulah yang dapat menimbulkan gelak yang sangat riuh.

Dipanala meraba keningnya. Tetapi ia tetap duduk di atas dahan. Bahkan kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Mudah-mudahan tetap seperti itu saja, seperti yang sering dilakukan di rumah Pangeran Ranakusuma. Sekedar makan dan minum”

Dan ternyata bahwa Ki Dipanala tidak melihat sesuatu yang dapat menggetarkan hatinya, dan sudah barang tentu hati Raden Rudira. Ia melihat juga Raden Ayu Galihwarit duduk di antara beberapa orang puteri bangsawan. Dan Raden Ayu Galihwarit yang berpakaian cemerlang itu pun tidak berbuat apa-apa selain tertawa dan kadang-kadang sampai terguncang-guncang.

Sejenak kemudian orang-orang di pendapa itu pun dijamu makan yang bagi Dipanala, melampaui setiap batas keinginan-nya. Bermacam-macam jenis lauk pauk telah terhidang. Bahkan di antaranya adalah jenis lauk pauk yang belum pernah dilihatnya, yang mungkin disesuaikan dengan cara makan orang-orang asing itu.

Tetapi acara makan itu pun tidak menarik perhatiannya. Bahkan Dipanala pun mulai jemu duduk di atas dahan itu. Tetapi ia masih juga ingin tahu kesudahan dari pertemuan yang demikian.

“Apakah seperti yang sering terjadi di istana Pangeran Ranakusuma, atau masih ada acara-cara lain yang dapat membakar hati Raden Rudira?” bertanya Ki Dipanala di dalam hatinya.

Namun sejenak kemudian, ternyata pertemuan itu berakhir. Beberapa orang bangsawan dan orang asing itu minta diri dan meninggalkan istana Surawijayan.

Ki Dipanala menarik nafas lega. Jika Raden Ayu Galihwarit pun kemudian pulang ke istana Ranakusuman, maka tidak akan timbul persoalan yang dapat mendebarkan jantungnya. Raden Rudira yang tentu juga telah mengintip, pasti akan segera pulang tanpa terjadi sesuatu.

Tetapi tiba-tiba alis Ki Dipanala berkerut. Dilihatnya pendapa itu semakin lama menjadi semakin sepi. Namun Raden Ayu Galihwarit masih belum minta diri untuk meninggalkan pendapa itu.

Dada Ki Dipanala mulai berdebar-debar. Karena itu, maka ia justru memperhatikan pendapa itu lebih tajam lagi. Hatinya yang semula mulai tenang, kini telah bergejolak kembali.

Dan rasa-rasanya kegelisahannya tidak lagi dapat ditahankannya di dalam dadanya, ketika bangsawan yang terakhir meninggalkan pendapa itu.

“Apakah yang akan terjadi?” Ki Dipanala menjadi semakin berdebar-debar.

Namun sekali lagi ia harus menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Raden Ayu Galihwarit pun kemudian minta diri pula. Seperti biasanya, maka sebuah kereta sudah siap untuk mengantarkannya.

“Hem” Ki Dipanala berdesah, “Aku terlampau berprasangka. Ternyata Raden Ayu Galihwarit pun segera pula sebelum malam menjadi semakin jauh”

Karena itu maka Dipanala pun segera turun dari dahan di luar dinding halaman. Namun ada sesuatu yang tidak mapan di dalam hatinya. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengikuti kereta Raden Ayu Galihwarit itu. Bagaimanapun juga ia mencoba mencegah keinginannya itu, namun Ki Dipanala tidak berhasil.

Dengan demikian maka ia pun dengan tergesa-gesa pergi ke kudanya. Hatinya sendiri telah memaksanya untuk kemudian dari jarak yang agak jauh mengikuti sebuah kereta yang meninggalkan regol istana Pangeran Surawijaya.

“Agaknya hatiku memang ditumbuhi rambut jagung” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya, “Akulah yang berpikir jelek”

Tetapi Dipanala masih tetap mengikuti kereta itu di dalam keremangan malam di jalan raya kota Surakarta. Namun ia harus berhati-hati. Jika Raden Ayu Galihwarit mengetahui bahwa ia mengikutinya, maka nafsunya untuk membunuh pasti akan menjadi semakin besar.

Sejenak Ki Dipanala hanya melihat kesepian. Kota yang ramai di siang hari itu bagaikan sudah tidur nyenyak. Sinar lampu minyak masih tampak berpencaran di beberapa buah rumah di pinggir jalan. Tetapi rumah-rumah yang lain tampaknya sudah menjadi gelap seperti tidak berpenghuni.

Namun terasa dada Ki Dipanala berdesir ketika matanya yang tajam menangkap bayangan sesuatu di pinggir jalan di hadapan-nya, bahkan di hadapan kereta Raden Ayu Galihwarit. Bayangan itu adalah bayangan sebuah kereta pula, seperti kereta yang dipergunakan oleh Raden Ayu Galihwarit.

Ki Dipanala benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia pun segera meloncat turun dan mengikat kudanya Di tempat yang agak jauh dan terlindung. Namun ia tidak segera tahu, apa yang harus dilakukan.

Ki Dipanala hanya dapat mengawasi kereta Raden Ayu Galihwarit yang juga berhenti. Dengan hati-hati Dipanala merayap mendekat di luar sadarnya. Seakan-akan ia dengan bernafsu sekali ingin mengetahui apa yang telah terjadi.

Terasa dada Ki Dipanala terguncang. Ia melihat seorang perwira berkulit putih turun dari kereta yang semula berhenti, kemudian meloncat naik ke kereta yang lain, yang ditumpangi oleh Raden Ayu Galihwarit.

“Gila, Gila” terasa dada Dipanala bergejolak. Wajahnya menjadi panas dan tangannya bagaikan ingin meremas kepala orang asing itu. Juga di luar sadarnya, Ki Dipanala meraba hulu kerisnya.

Tetapi tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Bahkan kemudian dengan geram ia berkata di dalam hatinya, “O, apakah aku akan melibatkan diri dalam kesulitan yang lebih dalam? Ketika aku tanpa sengaja menjumpai peristiwa yang hampir sama, maka maut sudah mulai meraba tengkukku. Apalagi jika aku sekarang mengulanginya. Maka aku rasa umurku tidak akan bertahan sampai sepekan”

Ki Dipanala menahan gejolak di dadanya dengan telapak tangannya.

“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Ternyata yang telah terjadi itu tidak membuat Raden Ayu Galihwarit menjadi jera. Kemaksiatan itu masih juga diulanginya, tanpa menghiraukan kemungkinan yang dapat terjadi, “

Namun dada Ki Dipanala tiba-tiba berguncang ketika ia teringat kepada Raden Rudira. Jika anak itu mengetahui apa yang terjadi, tentu ia tidak akan dapat menahan hatinya lagi. Apalagi jika Raden Rudira sempat mengikuti kemana kereta ini akan pergi dan apa yang akan dilakukan oleh Raden Ayu Galihwarit selanjutnya.

“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli” Ki Dipanala menggeram di dalam dadanya.

Karena itu, maka ia pun kemudian melangkah surut, la tidak akan ikut mencampuri persoalan itu, agar ia tidak semakin tersudut di dalam kesulitan. Ia masih mempunyai keluarga yang harus mendapat perlindungannya.

“Jika aku mati karena aku mempertahankan harga diri tanah ini, apaboleh buat. Tetapi alangkah nistanya mati tanpa arti dibunuh oleh Mandra dan kawan-kawannya” Ki Dipanala mengeluh di dalam hati.

Tetapi niatnya diurungkannya ketika ia mendengar desir di tikungan. Ketika dari celah-celah dedaunan ia melihat di dalam keremangan malam dua ekor kuda yang perlahan-lahan maju di sebelah lorong kecil menuju ke jalan raya, hatinya bagaikan melonjak. Kedua orang penunggang kuda itu adalah Raden Rudira dan Mandra.

Sejenak Ki Dipanala tidak dapat berpikir apakah yang sebaiknya dilakukan. Namun dalam pada itu, kereta yang semula ditumpangi oleh orang asing itu sudah mulai bergerak meninggalkan tempatnya.

Sebelum Ki Dipanala berbuat sesuatu, maka ia mendengar Mandra berdesis, “Sekarang Raden”

Keduanya melecut kudanya, sehingga kuda itu pun segera meloncat berlari menuju ke kereta yang masih berhenti di pinggir jalan

Sebuah desir yang tajam bagaikan membelah jantung Ki Dipanala. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Karena itu. di luar sadarnya ia pun bergeser menepi, sehingga meskipun dari kejauhan, ia dapat menyaksikan apa yang terjadi dalam keremangan malam.

“O” Ia berdesah, “kudaku tertambat agak jauh”

Dipanala berdiri saja mematung. Dengan demikian ia memang tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika ia berlari ke kudanya, maka yang akan terjadi pasti sudah terjadi.

Ki Dipanala terkejut ketika sejenak kemudian ia mendengar seseorang berteriak, “Kubunuh kau bule”

Tetapi suara itu bukan suara Raden Rudira. Suara itu adalah suara Mandra.

Pada saat itu, kereta yang ditumpangi oleh Raden Ayu Galihwarit dan perwira kumpeni itu sudah siap untuk berangkat. Tetapi suara Mandra itu bagaikan memberi aba-aba kepada perwira kumpeni itu untuk bertindak. Dengan tangkasnya ia menyambar sesuatu sebelum tangannya mendorong pintu keretanya. Ketika pintu itu terbuka, ia pun segera meloncat turun.

Sesaat kemudian terdengar sebuah ledakan memekakkan telinga. Ledakan yang serasa meretakkan dada Ki Dipanala. Ia tahu benar, suara apakah yang telah merobek sepinya malam itu. Dan hampir berbareng dengan itu, seorang dari kedua penunggang kuda yang ingin menyerang perwira kumpeni itu pun terlempar dari kudanya dan jatuh di jalan berbatu-batu.

Sementara itu, selagi orang yang terjatuh itu menggeliat, maka kuda yang lain pun berlari kencang sekali dan hilang membelok ke dalam sebuah lorong sempit

Ki Dipanala mengetahui, bahwa untuk meledakkan senjata itu untuk kedua kalinya diperlukan waktu. Karena itu hampir saja ia meloncat menyerang. Tetapi sekali lagi hatinya telah diterkam oleh keragu-raguan. Ia mengetahui bahwa yang terlempar itu justru adalah Raden Rudira yang berpacu di depan.

Selagi Ki Dipanala ragu-ragu, maka terdengar kereta yang ditumpangi oleh perwira kumpeni dan Raden Ayu Galihwarit itu mulai berderak, dan roda-rodanya pun mulai berputar pula.

Dalam pada itu, di dalam kereta yang sudah mulai bergerak itu, Raden Ayu Galihwarit menggigil ketakutan mendengar bunyi ledakan senjata perwira kumpeni itu. Namun sambil tersenyum perwira asing itu berkata dalam bahasa yang patah-patah, “Tidak ada apa-apa”

“Siapakah yang tuan tembak itu?”

Perwira itu tertawa, “Seorang perampok. Mereka ingin merampok aku. Memang ada orang-orang Surakarta yang tidak senang melihat kehadiran kami, betapapun baik maksud dan tujuan kami”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bertanya, “Apakah mereka tidak akan menyerang kita lagi nanti?”

“Tentu tidak berani. Yang masih hidup itu tentu akan lari, karena ia tidak akan dapat melawan senjataku. Mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak mau ditolong hidupnya untuk mengetahui kemajuan dunia. Pandangan mereka terlampau sempit dan sombong. Jika sekali-sekali mereka melihat negeriku dan negeri-negeri tetangga, barulah mereka sadar, bahwa mereka sudah ketinggalan untuk lebih dari satu abad lamanya.

Raden Ayu Galihwarit tidak begitu mengerti maksud perwira asing itu. Namun ia pun menjadi agak tenteram, karena perwira itu memang memiliki senjata sedahsyat petir.

Dengan demikian Raden Ayu Galihwarit mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Ia harus berbuat sebaik-baiknya terhadap perwira kumpeni itu dan ia akan segera kembali ke istana Ranakusuman sebelum Pangeran Ranakusuma datang dari istana Susuhunan.

Selagi kereta itu berderik di sepanjang jalan, maka Ki Dipanala berdiri membeku Di tempatnya. Namun ia tidak sampai hati untuk tidak berbuat sesuatu, karena dari kejauhan ia yakin bahwa sebenarnya Raden Rudira masih belum benar-benar terbunuh.

Setelah melalui pergolakan perasaan yang riuh, akhirnya Ki Dipanala melangkah setapak demi setapak mendekati. Tetapi ia pun segera meloncat ke samping dan hilang di balik dedaunan ketika ia mendengar seekor kuda berderap mendekat. Dan Ki Dipanala yakin, bahwa orang berkuda itu pasti Mandra.

“Ia akan dapat segera menolongnya. Agaknya masih ada harapan bagi Raden Rudira” berkata Ki Dipanala di dalam hati.

Sejenak kemudian maka seekor kuda berhenti beberapa langkah di samping tubuh Raden Rudira yang tergolek di tanah. Namun setiap kali anak muda itu masih mencoba untuk bangkit, meskipun ternyata ia sudah tidak mampu lagi.

Ketika ia melihat Mandra berdiri tegak di sampingnya, maka terdengar suaranya lemah, “Mandra. Mandra. Tolong bawa aku pulang. Aku ingin berbicara dengan ayahanda”

Tetapi Mandra masih tetap berdiri Di tempatnya.

“Mandra. Mandra” nafas Raden Rudira menjadi semakin terengah-engah.

Namun yang terdengar adalah suara tertawa yang berkepanjangan. Ternyata suara tertawa itu telah mengejutkan Raden Rudira, sehingga ia pun tersentak sejenak. Kepalanya terangkat dan untuk beberapa lamanya ia bersandar pada siku tangannya. Tetapi tidak terlalu lama, karena kemudian kepalanya itu dengan lemahnya perlahan-lahan terkulai lagi di tanah.

Namun terdengar suaranya lemah, “Kenapa kau tertawa? Aku terluka. Meskipun peluru bangsat itu hanya mengenai pundakku, tetapi aku terbanting dari kuda. Punggungku terasa seakan-akan patah dan darah masih saja mengalir”

Suara tertawa Mandra menjadi semakin keras. Namun sejenak kemudian suara itu mereda, “Raden. Aku hanya ingin menimbulkan kesan kepada orang-orang yang tinggal tidak begitu jauh dari tempat ini. Mereka tentu mendengar ledakan senjata orang asing itu. Mereka tentu menyangka terjadi sesuatu. Tetapi jika mereka mendengar suara tertawa, maka mereka tentu akan berpikir lain”

“O” suara Raden Rudira menjadi semakin lemah, “sekarang tolonglah aku, bawa aku pulang. Aku akan berbicara dengan ayahanda. Ayahanda harus tahu apa yang telah terjadi”

Tetapi aneh sekali. Ki Dipanala yang mendengar pembicaraan itu dari balik gerumbul di pinggir jalan pun menjadi bingung ketika ia mendengar Mandra tertawa pula.

“Mandra” desak Raden Rudira, “Jangan tunggu aku mati di sini”

Dan yang benar-benar mengejutkan adalah jawaban Mandra, “Apakah salahnya?”

“Mandra” sekali lagi Raden Rudira tersentak kali lagi ia tergolek dengan lemahnya.

“Yang terjadi adalah di luar kekuasaanku Raden”

“Tetapi, kau dapat berusaha”

“Terlambat”

“Kenapa terlambat?”

Mandra tidak menjawab. Tetapi suara tertawanya masih terdengar.

“Mandra, Mandra. Apakah kau sudah gila” desis Rudira.

“Tidak, tidak Raden. Aku masih tetap sadar. Dan aku pun menyadari kegagalan ini”

“Kenapa bisa gagal Mandra? Kau mengatakan bahwa semuanya sudah kau atur sebaik-baiknya. Kau sudah berbicara dengan sais kereta itu. Dan kau katakan bahwa orang asing itu tidak akan membawa senjata di dalam keretanya, apalagi kereta yang satu itu”

Ketika kemudian Mandra tertawa, Raden Rudira menjadi curiga. Juga Ki Dipanala menjadi curiga.

“Raden” berkata Mandra, “nasib Raden memang terlampau jelek. Seharusnya orang itu tidak bersenjata dan seharusnya sais itu menahan keretanya”

“Tetapi kenapa tidak”

Suara tertawa Mandra semakin menyakitkan hati. Bahkan kemudian ia berkata, “Sudahlah Raden. Ikhlaskan saja kematian Raden. Raden memang bernasib jelek hari ini”

“Mandra, kau benar-benar gila”

“Aku tidak gila”

“Katakan, kenapa kau berbuat seperti orang gila jika kau masih tetap sadar?”

“Baiklah Raden. Di saat terakhir sebelum Raden benar-benar mati aku akan mengatakannya” Mandra berhenti sejenak oleh suara tertawanya, “Aku tidak dapat mencegah bahwa hal ini harus terjadi. Jika sais kereta itu berbuat sesuatu yang dapat menyelamatkan jiwa penumpangnya, maka hadiahnya terlampau banyak. Terlampau banyak untuk ditolak. Itulah yang menarik perhatianku Raden. Dan aku akan mendapat separo dari hadiah itu”

“O” Rudira benar-benar terkejut mendengarnya. Bahkan jantung Dipanala pun bagaikan melonjak mendengarnya. Hampir saja ia berteriak. Tetapi ia pun masih berhasil menahan diri. Bahkan ia tidak dapat menolak ketika sebuah ingatan menyambar hatinya.

“Keduanya telah berusaha membunuh aku. Aku tidak berkepentingan apapun atas keduanya. Jika aku melihat yang terjadi biarlah itu sebagai suatu pengalaman saja bagiku”

Dalam pada itu ia mendengar Raden Rudira berkata dengan suara bergetar, “Pengkhianat. Pengkhianat”

Tetapi Mandra tertawa saja.

“Mandra, apakah aku tidak pernah memberimu sesuatu? Apakah aku tidak pernah memberimu hadiah dan upah yang cukup?”

“Memang cukup Raden. Menurut ukuran orang berkulit coklat seperti kita. Tetapi ternyata orang-orang berkulit putih itu memberikan upah terlalu banyak. Apalagi sais yang mencium rencana pembunuhan itu. Ia dapat mengarang ceritera, alasan apakah yang dipergunakan oleh pembunuh yang mengintai. Iri, dengki, pemberontak, dan apa saja. Sebelum hal ini terjadi, sais itu sudah mendapat kepercayaan. Apalagi setelah ia berhasil menyelamatkan tuannya dan Raden Ayu Galihwarit”

“Diam, diam” Raden Rudira masih ingin berteriak. Tetapi suaranya sudah sangat lemah.

“Anak yang malang. Di saat terakhir kau telah mengalami bencana ganda. Kau telah dikhianati oleh kepercayaanmu, dan kau harus melihat kenyataan bahwa ibumu bukan orang yang sebersih kapas”

“O”

Mandra masih tertawa. Katanya, “Aku selalu ingat kepada nasib Sura. Seorang penjilat besar. Mungkin lebih besar dari aku. Jika pada suatu saat tidak diperlukan lagi, maka ia akan dilempar jauh-jauh, bahkan mungkin dibunuh seperti Dipanala. Tetapi agaknya nyawa Dipanala masih cukup liat” Mandra berhenti sejenak, lalu, “ingatan itu selalu menghantui aku. Dan terbayanglah nasibku sendiri jika aku tetap menjadi budak Raden yang setiap hari harus menjilat. Akhirnya aku jemu. Ketika sais sahabatku itu menawarkan pekerjaan yang lebih baik, dan sekaligus upah yang menggelarkan jantung, maka aku mengambil keputusan untuk berkhianat sekarang, sekaligus menghilangkan jejak. Memang licik sekali”

Raden Rudira menggeram. Terdengar suaranya bergetar oleh perasaan sakit dan terlebih-lebih sakit lagi adalah hatinya, “Kau tidak ubahnya seperti anjing”

Mandra justru tertawa. Katanya, “Raden benar. Aku memang tidak ubahnya seperti anjing. Jika ada orang lain yang melemparkan tulang lebih besar, aku akan lari kepadanya. Bahkan sekaligus aku akan menggigit tuanku yang terdahulu. Jangan menyesal bahwa tuan sudah memelihara anjing. Dan anjing seperti aku dan Sura pasti masih akan berkeliaran”

“Gila, gila. Kubunuh kau”

Mandra tertawa semakin keras. Katanya kemudian, “Sudahlah. Nikmatilah kepedihan hati yang terakhir. Pengkhianatan dan pelanggaran pagar ayu. Sejenak lagi aku harus kembali ke Ranakusuman. Berpura-pura mencari kau Raden, dan kemudian menangis sehari-harian karena kau tidak dapat diketemukan. Sesudah itu, agar aku tidak terlalu bersedih, aku akan meninggalkan Ranakusuman Di rumah itu aku akan selalu teringat kepada momonganku, karena aku adalah seorang abdi yang setia. Begitu?”

“Gila, gila sekali. O” Raden Rudira menjadi semakin lemah.

“Tetapi Raden, aku masih akan berbuat baik sekali lagi. Aku akan mempercepat penderitaan Raden, kemudian membuang Raden Di tempat yang terasing, begitu? Dan apakah Raden tahu tempat yang terasing itu? Di jalan menuju ke Jati Aking. Aku akan menyobek luka peluru itu. sehingga tepat seperti luka pedang” Mandra berhenti sejenak, lalu, “setuju?”

“O” Raden Rudira sudah kehilangan tenaganya.

“Jika mayat Raden diketemukan, maka aku akan menangisinya sekali lagi, dan dengan menyesal meratap kenapa Raden pergi sendiri, tanpa aku. Tentu aku akan menyebar desas-desus bahwa telah terjadi pertengkaran antara Raden dan Raden Juwiring ketika Raden Juwiring akan memasuki kota. Kemudian kalian berkelahi dan saling mengejar di luar pengetahuanku karena aku sedang pulang ke rumahku beberapa lama. O, alangkah mudahnya membuat ceritera semacam itu. Mungkin ceritera lain yang lebih menarik”

Rudira sama sekali tidak menjawab lagi. Tubuhnya sudah menjadi terlalu lemah oleh darah yang mengalir dan hati yang meronta-ronta. Alangkah pedihnya.

“Baiklah Raden. Aku kira sudah cukup. Apakah Raden masih akan bertanya lagi?”

Rudira sama sekali tidak menjawab.

“Bagus. Sekarang aku akan mempercepat kematian Raden. Sayang, peluru itu hanya mengenai pundak Raden, sehingga Raden tidak segera mati. Jika Raden cepat mati, Raden tidak akan mendengar pengakuanku yang menyakitkan hati dan mendengar kenyataan tentang ibunda yang cantik dan tetap muda itu”

Rudira yang menjadi putus-asa itu sama sekali tidak menyahut lagi. Dalam saat yang menggetarkan jantung itu masih sempat diingatnya lamat-lamat, apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang pernah dilakukan. Dalam keremangan malam yang sepi di jalur jalan kota itu ia masih melihat bayangan Mandra yang berdiri tegak di sisi tubuhnya yang lemah. Sejenak kemudian ia melihat Mandra itu menarik pedangnya sambil tertawa.

Ki Dipanala masih bersembunyi Di tempatnya. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak ikut campur di dalam persoalan antara Mandra dan Raden Rudira.

“Aku tidak mau terlibat lagi. Sudah cukup parah bagiku” katanya di dalam hati.

Dari tempatnya ia melihat Mandra itu menyentuh Raden Rudira dengan kakinya sambil berkata, “Bersiaplah untuk mati. Ini adalah kebaikan hatiku yang terakhir untuk segera mengakhiri penderitaan Raden. Penderitaan lahir dan batin. Mungkin di saat menjelang mati orang-orang berdosa seperti kita memang akan mengalami penderitaan lahir dan batin seperti Raden ini. Tetapi jangan menyesal setelah semuanya terlambat”

Perlahan-lahan Mandra mengangkat pedangnya siap untuk menusuk dada Raden Rudira yang terbaring dengan lemahnya.

“Jangan mengumpat. Dosamu akan bertambah” desis Mandra sambil tertawa.

Namun ketika pedang Mandra itu perlahan-lahan mulai bergerak, ternyata sesuatu yang tidak dimengerti sama sekali oleh Ki Dipanala, telah mendorongnya tanpa dapat dilawannya. Kata hati nuraninya ternyata jauh lebih kuat dari nalarnya, sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat dari gerumbul di pinggir jalan itu.

Mandra yang sudah siap untuk membunuh itu terkejut bukan buatan. Sejenak ia berdiri mematung, namun kemudian dengan cepat ia menginjak dada Rudira sambil melekatkan ujung pedangnya di dada itu pula. Katanya, “Kau Dipanala. Apa yang akan kau lakukan?”

Dipanala termangu-mangu sejenak. Pedang itu akan dapat segera menghunjam di dada Raden Rudira. Karena itu, ia tidak boleh berbuat dengan tergesa-gesa.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba semua ingatan tentang usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Raden Rudira itu tersisih oleh kata nuraninya yang sebenarnya. Dengan demikian maka ia pun kemudian berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyelamatkan anak muda yang malang itu.

“Dipanala” geram Mandra kemudian, “Kenapa kau di sini?”

Dipanala termenung sejenak. Lalu jawabnya, “Kebetulan saja Mandra. Setiap kali dengan kebetulan aku melihat rahasia yang besar tentang keluarga Ranakusuman, sehingga hampir saja aku terbunuh agar aku tidak menyebarkan rahasia itu”

“Lalu sekarang kau mau apa?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat Raden Rudira mati”

Mandra menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya Dipanala dan Rudira berganti-ganti. Dipanala yang berdiri tegak di dalam keremangan malam, sedang Rudira yang menjadi semakin lemah, sudah tidak dapat melawannya sama sekali, sementara kakinya diletakkannya di dada orang yang selama ini diturutinya setiap patah katanya.

“Mandra” berkata Dipanala kemudian, “Aku mengetahui segala rahasia yang tersimpan di Ranakusuman. Aku juga mengerti bahwa kau dan Raden Rudira berusaha membunuhku atas persetujuan Raden Ayu Galihwarit karena kebetulan aku mengetahui apa yang pernah terjadi, seperti yang terjadi saat ini”

“Gila” geram Mandra. Tetapi ia pun kemudian tertawa sambil berkata kepada Raden Rudira, “Nah Raden, ketahuilah. Kita memang telah dipaksa dengan cara yang paling halus untuk membunuh Dipanala karena Dipanala pernah mengetahui rahasia ibunda Raden Rudira. Satu lagi bekal menjelang kematianmu”

Raden Rudira memang sudah terlalu lemah. Tetapi yang paling buruk padanya, adalah perasaan putus-asanya, sehingga seakan-akan ia memang tidak mampu berbuat apapun lagi.

“Nah, sekarang aku melihat satu rahasia lagi” berkata Dipanala kemudian, “bahwa Mandra, penjilat besar yang berhasil menyingkirkan Sura, telah berkhianat pula. Memang agak berbeda dengan Sura. Sura dianggap berkhianat setelah ia sempat berpikir. Tetapi Mandra berkhianat justru karena ia menjadi penjilat yang lebih besar lagi, yang sama sekali telah kehilangan akal dan pikiran”

“Tutup mulutmu” teriak Mandra, “Jika kau membuka mulutmu sekali lagi, pedangku akan segera terhunjam di dada anak malang ini”

“Apa peduliku” jawab Dipanala, “Kalian telah berusaha membunuh aku. Sekarang kalian akan saling berbunuhan sendiri Silahkan. Silahkan. Dendamku akan terbalas tanpa aku minta. Raden Rudira mati di ujung pedang Mandra, sedang Mandra kelak pasti akan tertangkap karena pembunuhan ini”

“Tidak seorang pun melihat” geram Mandra.

“Aku. Akulah yang melihat. Aku bersedia untuk menjadi saksi di dalam perkara ini”

Wajah Mandra menjadi merah padam Dipandanginya Dipanala yang masih berdiri Di tempatnya dengan wajah yang tegang.

“Kau tidak akan melakukannya Dipanala”

“Kenapa tidak? Ini adalah suatu kesempatan yang paling baik bagiku. Tanpa berbuat sesuatu aku sudah dapat melepaskan pembalasan yang setimpal. Kedua orang yang akan membunuh aku akan mati dengan caranya sendiri. Raden Rudira dengan cara yang pantas, sedang kau akan mengalaminya dengan cara yang lebih mengerikan. Mungkin kau akan digantung di alun-alun, tetapi mungkin kau akan menjadi pertunjukan pendahuluan pada upacara rampogan macan di alun-alun. Kau akan diadu dengan seekor harimau lapar tanpa senjata sebelum harimau itu dirampok oleh para prajurit”

“Tidak. Tidak” Mandra hampir berteriak.

“Jangan berteriak. Bukankah ada rumah yang terletak tidak jauh dari tempat ini?”

“Aku tidak peduli”

“Jangan menyesal bahwa kelak kau benar-benar akan diadu dengan harimau lapar, karena kau membunuh seorang putera Pangeran. Jika kau terlalu sakti dan memenangkan perkelahian melawan harimau itu, maka kau pasti akan dihukum picis”

Namun tiba-tiba Mandra itu tertawa. Katanya, “Tidak akan ada saksi hidup yang dapat mengatakan tentang peristiwa ini, kecuali orang asing itu. Ia tentu akan mengatakan bahwa justru aku sudah menyelamatkannya”

“Memang kau sudah menyiapkan ceritera panjang tentang usaha pembunuhan itu. Tetapi seperti kau yang dapat mengarang ceritera semacam itu, bahkan tentang jalan sepi ke Jati Aking agar kesan kematian Raden Rudira seakan-akan oleh Raden Juwiring, maka aku pun akan dapat mengarang ceritera yang barangkali lebih baik dari ceriteramu”

“Tidak” Mandra tertawa semakin keras, “karena kau pun akan mati di sini. Kau berdualah yang akan diketemukan orang di jalan sepi ke Jati Aking”

“Kenapa aku?” suara Dipanala menjadi gemetar.

“Karena kebodohanmulah kau akan mati saat ini. Kenapa kau tidak melihat pembunuhan ini sambil bersembunyi saja jika kau memang ingin menjadi saksi hidup dan melepaskan dendammu kepadaku sama sekali? Tetapi sekarang sudah terlambat. Kau akan aku bunuh juga seperti Raden Rudira”

“Aku tidak berbuat apa-apa” sahut Dipanala dengan cemasnya, “Aku hanya melihat saja”

Mandra tertawa semakin keras. Dan tiba-tiba saja ia mengangkat kakinya dari dada Raden Rudira. Baginya Rudira sudah tidak akan berdaya sama sekali. Kapan pun ia akan dapat membunuhnya dengan mudah.

Karena itu, maka perlahan-lahan ia melangkah mendekati Dipanala yang bergeser surut.

“Kau ternyata akan mati lebih dahulu dari Raden Rudira. Aku ingin membunuhmu sebelum kau sempat melihat sebagian dendammu terbalas. Kau tidak akan melihat Raden Rudira mati” Mandra tertawa semakin keras, “Jangan menyesal bahwa kau terjebak oleh kebodohanmu sendiri”

“Jangan, jangan” desis Dipanala sambil terus melangkah surut menjauhi tubuh Raden Rudira.

“Apakah kau akan lari”

“Tetapi jangan bunuh aku”

“Persetan. Senang sekali melihat kau ketakutan. Ternyata aku lebih senang melihat kau ketakutan daripada melihat Raden Rudira yang pasrah. Gila, anak itu tidak menjadi ketakutan seperti kau. Dan untunglah kau datang dan memberikan kepuasan kepadaku”

Dipanala masih melangkah surut beberapa langkah. Dan Mandra pun mendekatinya selangkah demi selangkah seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor tikus.

Tetapi tiba-tiba Dipanala berhenti. Ia tidak melangkah surut lagi ketika punggungnya sudah melekat pada pagar batu di pinggir jalan.

“Ha, kemana lagi kau akan lari? Apakah kau akan meloncat masuk ke halaman kosong sebelah?”

“Tidak” Dipanala menggelengkan kepalanya.

“Apakah kau sudah pasrah seperti anak itu? Itu tidak menyenangkan. Lebih baik kau ketakutan dan berteriak minta ampun. Aku berharap bahwa tidak ada orang yang akan mendengarnya karena rumah yang terdekat di ujung lorong ini sudah menutup pintunya dan penghuninya sudah tertidur nyenyak. Seandainya lamat-lamat mendengar suaramu, mereka tidak akan berani keluar rumah di saat-saat yang gawat seperti ini. Apalagi mereka baru saja mendengar suara letusan senjata orang asing itu”

“Tidak” berkata Dipanala, “Aku tidak akan berteriak dan tidak akan lari. Aku sedang mengambil jarak dari Raden Rudira agar kau tidak berbuat licik atasnya karena ia memang sudah tidak berdaya”

Mandra terkejut mendengar jawaban itu, sedang Dipanala masih berbicara terus, “Aku memang mendendamnya Mandra, tetapi aku sama sekali tidak berhasil memaksa diriku sendiri untuk sekedar menonton saja sebuah pengkhianatan yang paling licik dari yang pernah terjadi. Penjilat-penjilat semacam kau memang dapat saja berkhianat setiap saat seperti yang kau katakan sendiri, jika ada orang lain yang melemparkan tulang lebih baik dari tuannya, bahkan jika perlu menggigit tuannya yang terdahulu. Itulah yang sangat menyakitkan hatiku, karena dengan demikian kau sudah merendahkan martabatmu sebagai manusia”

Mandra yang heran melihat perubahan sikap yang tiba-tiba itu masih belum sepenuhnya menguasai diri, sehingga ia masih belum menjawab. Dan Dipanala pulalah yang berkata, “Nah, sekarang kita akan berhadapan sebagai laki-laki. Aku tidak tahu siapakah yang akan mati di antara kita. Tetapi Setidak-tidaknya kau harus menyadari bahwa perbuatanmu itu sama sekali tidak disukai oleh siapapun. Bahkan barangkali oleh dirimu sendiri”

“Persetan” Mandra itu menggeram, “Jadi kau akan mencoba melawan”

“Ya. Setelah kau tidak mungkin lagi berbuat licik dengan mengacukan pedang di atas tubuh anak muda itu, kemudian memaksa aku untuk membunuh diri”

“Kau benar-benar gila Dipanala. Apakah kau belum mengenal Mandra?”

“Justru karena aku mengenalmu baik-baik. Tetapi agaknya kaulah yang belum mengenal Dipanala. Aku berhasil menyelamatkan diriku dari tangan empat orang yang diupah oleh Raden Rudira”

“Jangan sombong. Seseorang telah menolongmu. Tetapi sekarang jangan mengharap pertolongan orang lain”

“Aku tidak akan mengharap pertolongan siapapun. Aku pun tidak mau menumbuhkan persoalan karena ada seorang saksi bahwa aku telah membunuhmu”

“Gila” wajah Mandra menjadi merah padam. Pedang yang di tangannya tiba-tiba saja telah teracu lurus mengarah ke dada Ki Dipanala.

Tetapi Ki Dipanala pun sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tiba-tiba saja kerisnya pun telah berada di dalam genggaman. Meskipun senjatanya tidak sepanjang pedang Mandra, tetapi kerisnya mempunyai kelebihan pula. Setiap goresan ujung keris itu tentu akan berakibat maut jika tidak segera mendapat pengobatan yang baik, karena keris itu dilumuri dengan warangan. yang tajam.

Sejenak kemudian, oleh kemarahan yang memuncak, maka Mandra pun segera meloncat menyerang dengan pedangnya yang mematuk lurus kedepan. Namun Ki Dipanala yang berdiri melekat dinding batu itu sempat mengelak. Dengan tangkasnya ia meloncat ke samping dan segera bersiaga menerima serangan berikutnya.

Mandra yang gagal mengenai lawannya, berhasil mencegah ujung pedangnya membentur batu. Bahkan sekaligus ia berputar sambil menggerakkan pedangnya mendatar setinggi lambung menyambar perut Ki Dipanala. Tetapi sekali lagi Ki Dipanala berhasil menghindarinya dengan bergeser sambil menarik bagian tubuhnya yang hampir saja tersentuh pedang lawannya. Bahkan masih sambil membongkokkan badannya, ia mulai menyerang lawannya. Tepat pada saat pedang Mandra berdesing di depan perutnya ia meloncat maju. Senjata yang pendek itu hampir saja berhasil menggores lengan Mandra yang sedang terayun itu, tetapi ternyata Mandra pun tangkas pula sehingga ia berhasil menghindarkan dirinya.

Demikianlah sekejap kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang sengit. Ternyata Mandra tidak berhasil untuk segera membinasakan lawannya. Bahkan semakin lama orang yang sudah melampaui masa pertengahan umurnya itu justru tampak menjadi semakin tangkas.

Dalam pada itu, Raden Rudira yang terbaring pasrah, merasakan sesuatu yang asing di dalam dirinya. Ia merasa aneh bahwa tiba-tiba Dipanala telah berkelahi melawan Mandra karena orang itu tidak dapat melihat pembunuhan terjadi, meskipun Dipanala sadar bahwa Rudira memang pernah akan membunuhnya, namun orang itu masih juga berusaha bahkan mempertaruhkan jiwanya.

Namun sejenak kemudian timbul pula prasangka di dalam dirinya. Raden Rudira yang lemah itu telah dibayangi oleh dosanya sendiri.

“Agaknya Dipanala ingin membunuh aku dengan tangannya sendiri. Tidak oleh Mandra” katanya di dalam hati. Dan ternyata pikiran itu benar-benar telah menghantuinya.

Mandra yang sedang bertempur dengan sengitnya menjadi semakin marah karena ternyata Dipanala benar-benar tangkas. Kini Mandra harus menyadari, bahwa Dipanala memang mampu bertahan untuk beberapa lamanya melawan empat orang perampok yang mencegatnya di bulak Jati Sari.

“Tetapi aku harus berhasil membinasakannya” geram Mandra di dalam hatinya.

Raden Rudira yang dicengkam oleh kecemasan itu pun berusaha untuk bangkit. Tetapi badannya benar-benar telah menjadi lemah sehingga ia hanya dapat beringsut setapak demi setapak.

Harapannya tumbuh sedikit ketika ia melihat kuda Mandra di pinggir jalan itu. Tetapi untuk mencapai kuda itu, ia memerlukan waktu yang panjang.

“Dipanala tentu ingin membunuh Mandra, kemudian baru membunuhku. Mungkin ia mempergunakan cara yang lebih mengerikan lagi karena dendamnya kepadaku, sehingga sepeninggal Mandra ia akan leluasa melakukannya” berkata Raden Rudira di dalam hatinya yang dicengkam oleh prasangka dan kecemasan.

Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Meskipun ia masih juga berusaha beringsut mendekati kuda itu, namun hasilnya sangat diragukannya sendiri. Apalagi ketika ia melihat justru Mandra lah yang semakin lama menjadi semakin terdesak.

“Siapapun yang menang, aku akan mengalami nasib yang jelek sekali” berkata Rudira pula di dalam hatinya. Sepercik penyesalan merayapi jantungnya. Namun kini agaknya telah terlambat.

Dalam pada itu, seperti yang dilihat oleh Raden Rudira, sebenarnyalah Mandra yang juga bertubuh raksasa seperti Sura itu mulai terdesak. Meskipun Ki Dipanala bertubuh lebih kecil dan umurnya lebih tua, tetapi ia ternyata masih cukup lincah. Dengan penuh kesadaran, Ki Dipanala menghindari setiap benturan senjata. Bukan saja karena senjata Mandra lebih besar dan panjang, namun Ki Dipanala pun sadar, bahwa kekuatan Mandra tentu jauh lebih besar. Sehingga dengan demikian Dipanala memusatkan perlawanannya pada kepercayaan terhadap kecepatannya bergerak.

Semakin lama Mandra yang marah itu justru menjadi semakin terdesak. Ki Dipanala membuatnya bingung karena ketangkasannya. Setiap kali Mandra yang garang itu kehilangan lawannya. Namun dengan senjatanya yang lebih panjang, maka ia masih tetap berhasil melindungi dirinya. Bahkan setiap kali senjatanya yang panjang itu masih juga berbahaya bagi Ki Dipanala. Ayunan yang keras dan kuat, kadang-kadang memaksa Ki Dipanala untuk berloncatan menjauh, sehingga Mandra masih juga berhasil mendesaknya. Tetapi sejenak kemudian keris di tangan Ki Dipanala itu bagaikan berubah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, berdesing di sekitarnya, seperti sekelompok lebah yang berterbangan menyerang bersama.

Namun semakin lama semakin nyata, bahwa Ki Dipanala yang tua itu memiliki beberapa kelebihan dari Mandra. Ki Dipanala yang menyadari bahwa perkelahian itu akan memakan waktu, maka ia tidak menghabiskan segenap tenaganya sekaligus. Dengan demikian, maka ketika Mandra menjadi semakin terengah-engah diganggu oleh pernafasannya, Ki Dipanala masih tetap bertahan.

Dan itulah sebabnya maka Mandra semakin lama menjadi semakin terdesak. Dan bahkan hampir kehabisan tenaga.

Dalam keadaan yang demikian, Mandra masih sempat melihat sekilas tubuh Rudira yang bergeser beberapa jengkal dari tempatnya mendekati kudanya yang ada di tepi jalan. Kuda itu sama sekali tidak menghiraukan, apakah yang sedang terjadi beberapa langkah daripadanya.

Tiba-tiba saja timbullah niatnya yang licik. Karena ia tidak melihat kemungkinan lagi untuk mengalahkan Ki Dipanala, maka Raden Rudira akan dapat dipakainya sebagai perisai jika ia berhasil menguasainya. Ia menyesal bahwa ia terpancing oleh sikap Ki Dipanala dan melepaskan Raden Rudira. Kini ternyata bahwa Ki Dipanala itu tidak dapat dikalahkannya.

Sambil bertempur, perlahan-lahan Mandra bergeser mendekati Raden Rudira yang terbaring lemah. Dengan menghindari setiap serangan Ki Dipanala, dan bahkan sekali-sekali dengan gerak yang melingkar ia bergeser selangkah demi selangkah, sehingga Ki Dipanala tidak menjadi curiga. Ki Dipanala hanya menganggap bahwa Mandra semakin lama telah semakin terdesak olehnya, sehingga karena itu, maka Ki Dipanala pun berkata, “Mandra. Masih ada kesempatan bagimu untuk menyerah. Jika kau melepaskan senjatamu, dan memberikan kedua tanganku untuk diikat, kau akan tetap hidup. Aku akan menyerahkan kau kepada yang berhak, Pangeran Ranakusuma”

Mandra tidak segera menjawab. Tetapi tawaran itu telah membakar jantungnya. Ia merasa terhina untuk menyerahkan tangannya dan diikat. Terlebih-lebih lagi, jika ia dihadapkan kepada Pangeran Ranakusuma, maka ia tentu akan mendapat hukuman yang sangat berat. Apalagi jika Raden Rudira itu tidak tertolong lagi jiwanya.

Meskipun demikian dengan licik ia bertanya, “Apakah jaminanmu bahwa sebaiknya aku menyerah?”

“Aku tidak akan membunuhmu, “

“Persetan” Mandra menyerang dengan dahsyatnya. Namun Ki Dipanala berhasil menghindar dan bahkan membalas serangan itu dengan sengitnya pula. Dan memang itulah yang ditunggu oleh Mandra. Dengan loncatan, panjang ia menghindarinya seakan-akan ia benar-benar terdesak tanpa dapat berbuat apa-apa. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin dekat dengan Raden Rudira.

“Sudah waktunya” katanya di dalam hati, “Aku dapat mencapainya dengan beberapa loncatan, dan mengacukan pedang ini di dadanya.

Sejenak Mandra masih memancing perhatian Ki Dipanala, namun ketika terbuka kesempatan baginya, maka dengan serta merta ia meloncat meninggalkan gelanggang perkelahian itu langsung ke tempat Raden Rudira terbaring.

Ki Dipanala terkejut melihat hal itu. Ia memang tidak menyangka bahwa Mandra akan berbuat begitu liciknya. Namun bagaimanapun juga itu adalah suatu kelengahan baginya, karena ialah yang telah memulai memancing Mandra untuk meninggalkan Raden Rudira. Ternyata kemudian Mandra mempergunakan cara yang sebaliknya.

Dalam waktu yang singkat, Ki Dipanala harus menemukan cara untuk menyelamatkan Rudira. Jika sekali lagi Mandra berhasil mencapai anak muda yang malang itu, maka tentu tidak akan ada kesempatan lagi baginya untuk membebaskannya. Karena itu, di dalam kesulitan itu, Ki Dipanala tidak dapat berpikir panjang. Dengan serta-merta ia melemparkan kerisnya meluncur mengejar Mandra.

Sejenak kemudian Ki Dipanala memalingkan wajahnya. Ia mendengar Mandra mengerang tertahan, ketika kerisnya hinggap di punggung orang itu. Tetapi Ki Dipanala tidak melihatnya ketika Mandra itu jatuh terguling. Yang didengarnya hanyalah sebuah umpatan pendek. Namun kemudian sepi. Sepi sekali.

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melangkah mendekati Mandra yang sudah menjadi mayat. Dengan dada yang berdebar-debar Ki Dipanala mendekatinya dan mencabut kerisnya dari punggung orang itu.

“Aku telah membunuh lagi” desis Ki Dipanala perlahan-lahan, “tanpa aku kehendaki, aku telah membunuh beberapa orang tidak di peperangan”

Sejenak Ki Dipanala berdiri mematung. Namun sejenak kemudian sambil menjinjing kerisnya yang berlumuran darah ia berjalan perlahan-lahan mendekati Rudira yang masih saja berusaha beringsut mendekati kuda Mandra yang terikat di pinggir jalan.

Dalam keremangan malam Rudira melihat Ki Dipanala melangkah setapak demi setapak mendekatinya dengan keris telanjang di tangannya. Langkah itu terasa bagaikan hentakan yang dahsyat sekali memukul dadanya. Setiap langkah rasa-rasanya sebuah tulang iganya menjadi patah.

Sejenak kemudian Ki Dipanala itu berdiri tegak di sisi tubuh Raden Rudira yang terbaring. Rasa-rasanya Ki Dipanala yang tidak sebesar Mandra itu bagaikan seorang raksasa yang berdiri tegak dengan kokohnya. Kakinya yang kuat itu siap menginjak dadanya sehingga tulang belulangnya akan remuk menjadi debu.

Sejenak suasana menjadi tegang. Namun sejenak kemudian, hampir di luar dugaannya, Raden Rudira melihat Ki Dipanala itu berjongkok di sampingnya setelah menyarungkan kerisnya. Bahkan ketika ia mendengar Ki Dipanala itu berkata, suaranya tidak sekeras guruh yang menyambar telinganya. Kalanya, “Luka Raden cukup parah. Sebaiknya Raden segera kembali ke Ranakusuman”

Rudira tidak segera percaya kepada pendengarannya. Bahkan kepalanya mulai agak pening dan pandangannya berkunang-kunang.

“Apakah aku sudah dipengaruhi oleh khayalan-khayalan yang menyesatkan” katanya di dalam hati.

Namun ia mendengar sekali lagi Dipanala berkata, “Marilah Raden, aku tolong Raden naik ke punggung kuda Mandra Kuda Raden sendiri agaknya telah berlari agak jauh ketika Raden terjatuh”

Raden Rudira masih termangu-mangu. Namun Dipanala tidak menunggu darah Raden Rudira semakin banyak mengalir. Bahkan kemudian Dipanala itu pulalah yang menyarankan agar Raden Rudira melepas saja ikat kepalanya untuk menahan darahnya dari luka oleh peluru perwira kumpeni itu.

Dengan tertatih-tatih Raden Rudira dipapah oleh Ki Dipanala dan ditolongnya naik ke punggung kuda Mandra.

“Hati-hati1ah Raden. Tunggulah di sini sebentar. Aku akan mengambil kudaku”

Ki Dipanala pun kemudian mengambil kudanya yang disembunyikannya. Kemudian sambil membawa mayat Mandra, Ki Dipanala pun naik bersama dengan Raden Rudira. Sedang mayat Mandra itu diletakkannya menyilang di punggung kudanya sendiri.

“Aku akan menjaga Raden” berkata Ki Dipanala.

Raden Rudira sendiri tidak mengerti, perasaan apakah yang berkecamuk di dalam dadanya. Bahkan ia masih saja dibayangi oleh prasangka, bahwa tiba-tiba saja Dipanala itu akan menusuk lambungnya dari belakang.

Tetapi hal itu ternyata tidak terjadi. Dengan tanpa mengalami gangguan di perjalanan mereka pun kemudian mendekati regol Ranakusuman.

Ketika regol itu terbuka, maka para penjaganya menjadi sangat terkejut karenanya. Mereka melihat Raden Rudira yang lemah dilayani oleh Ki Dipanala, sedang di punggung kuda yang lain mereka melihat mayat Mandra tergantung menyilang.

Sejenak para penjaga regol itu menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian pemimpin peronda itu dengan serta merta mengacukan tombaknya ke dada Ki Dipanala sambil berkata, “Ki Dipanala, apakah yang sudah kau lakukan? Apakah kau membunuh Mandra dan melukai Raden Rudira”

Sebelum Ki Dipanala menjawab, maka beberapa orang pengawal yang lain telah mengacukan senjata mereka pula mengelilingi Dipanala yang masih duduk di punggung kudanya.

Sejenak Ki Dipanala menjadi tegang. Bahkan ia pun menjadi cemas. Jika Raden Rudira yang sudah akan membunuhnya itu ingkar, dengan sepatah kata saja, anak muda itu akan dapat membunuhnya di regol itu dengan meminjam tangan dan senjata para penjaganya.

Karena itu, maka dadanya pun segera bergolak. Dipandangi-nya para penjaga itu seorang demi seorang. Mereka tentu pernah mendengar, bahwa Raden Rudira sangat membencinya.

Sejenak mereka yang ada di regol itu dicengkam ketegangan. Senjata para penjaga regol itu benar-benar sudah siap menembus tubuh Ki Dipanala jika mereka mendengar perintah Raden Rudira, karena para penjaga itu akan dapat menyebut beberapa alasan kenapa mereka melakukannya.

“Keputusan terakhir dari persoalan ini ada pada Raden Rudira” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya. Ia sudah tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Mengancam Raden Rudira pun ia sudah tidak dapat melakukannya, karena begitu tangannya bergerak mencabut kerisnya, maka tombak para penjaga itu pasti sudah menembus tubuhnya.

Sejenak Ki Dipanala menunggu dengan tegangnya. Dadanya bagaikan berhenti berdetak ketika ia merasakan gerak Raden Rudira yang perlahan-lahan mengangkat kepalanya yang lemah.

“Kami menunggu perintah Raden” berkata pemimpin penjaga itu.

Nafas Raden Rudira menjadi semakin terengah-engah. Tetapi ia masih mencoba berkata, “Minggir, minggir semua. Jangan menahan kami lebih lama lagi, supaya aku tidak terlanjur mati sebelum aku bertemu dengan ayahanda”

Para penjaga regol itu terkejut. Mereka kurang yakin akan pendengarannya, sehingga karena itulah mereka menjadi ragu-ragu.

Namun sekali lagi mereka mendengar suara Raden Rudira yang dalam, “Minggir, minggir sebelum aku mati”

Para penjaga regol itu pun segera bergeser surut dengan wajah yang tegang. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Mereka harus membiarkan Ki Dipanala memasuki halaman rumah itu sambil menjaga tubuh Raden Rudira yang lemah, sedang di belakangnya seekor kuda yang terikat pada pelana kuda Dipanala itu mengikutinya sambil membawa mayat Mandra.

Beberapa langkah dari para penjaga itu Ki Dipanala berdesis, “Terima kasih Raden”

Rudira menarik nafasnya yang terasa semakin sendat, “Kenapa kau yang mengucapkan terima kasih?” Ki Dipanala tidak menyahut.

Sejenak mereka pun telah sampai ke pintu samping. Dengan hati-hati Ki Dipanala turun dari kudanya lebih dahulu, baru kemudian ia mengangkat tubuh Raden Rudira yang semakin lemah.

“Buka pintu itu” berkata Ki Dipanala terhadap seorang pelayan yang menjadi termangu-mangu.

Pelayan itu pun kemudian dengan gugup membuka pintu samping kemudian mengikuti Ki Dipanala masuk ke dalam dan membaringkan Raden Rudira di pembaringannya.

“Panggil seorang tabib yang sering merawat Pangeran Rana-kusuma” berkata Ki Dipanala kepada beberapa orang pelayan dengan berkerumun di luar pintu, “Cepat”

Para pelayan itu termangu-mangu, namun kemudian salah seorang meloncat ke punggung kuda yang baru saja diperguna-kan oleh Ki Dipanala bersama Raden Rudira. Ketika di regol halaman para penjaga menghentikannya, pelayan itu hanya berteriak sambil berpacu, “Aku harus segera memanggil seorang dukun yang paling pandai di Surakarta”

Dalam pada itu, di dalam biliknya Raden Rudira berbaring dengan lemahnya. Ketika Dipanala meneteskan air di mulutnya, Rudira menarik nafas dalam-dalam.

“Terima kasih” desisnya.

“Sebentar lagi tabib itu akan datang” desis Ki Dipanala.

Raden Rudira mengangguk kecil. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia bertanya, “Apakah ayahanda belum datang?”

Ki Dipanala tidak dapat menjawab. Ketika ia berpaling kepada pelayan yang ada di belakangnya, maka pelayan itulah yang menjawab, “Belum Raden. Ayahanda dan ibunda masih belum pulang”

“Persetan dengan ibunda” tiba-tiba saja Raden Rudira menggeram. Wajahnya yang pucat itu menegang sejenak. Namun ia tidak dapat bangkit dari pembaringannya.

Pelayan yang mendengarnya menjadi heran. Kenapa tiba-tiba saja Raden Rudira nampaknya marah kepada ibundanya, Raden Ayu Galihwarit.

“Paman Dipanala” desis Rudira kemudian, “Apakah paman dapat memerintahkan seseorang menyusul ayahanda di istana. Aku ingin segera bertemu dan mengatakan sesuatu sebelum aku mati.

“Tidak. Raden tidak akan mati. Raden akan sembuh karena sebentar lagi tabib itu akan datang”

“Panggillah ayahanda” desisnya.

Dipanala menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah Raden”

Dipanala pun kemudian memerintahkan salah seorang abdi untuk pergi menyusul Pangeran Ranakusuma ke istana Kangjeng Susuhunan.

“Hati-hati1ah. Sampaikan persoalannya dengan sebaik-baiknya. Jangan mengejutkan Pangeran Ranakusuma dan jangan membuatnya menjadi bingung” pesan Ki Dipanala kepada abdi yang akan menyusul Pangeran Ranakusuma itu.

Dalam pada itu, di luar, kawan-kawan Mandra sedang merubung mayat orang bertubuh raksasa itu. Mereka ragu-ragu untuk mengambil mayat itu dari atas punggung kuda.

Namun salah seorang dari mereka berkata, “Marilah kita bawa masuk ke dalam bilik belakang”

“Tetapi, apakah dengan demikian kami tidak berbuat kesalahan?”

Mereka menjadi ragu-ragu sejenak, lalu, “Kita bertanya dahulu kepada Ki Dipanala yang membawanya pulang”

“Masuklah, dan bertanyalah kepadanya. Ia berada di dalam bilik Raden Rudira”

Mereka menjadi ragu-ragu sejenak. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang sebenarnya sudah terjadi.

Kawan-kawan Mandra itu pun menganggap bahwa Raden Rudira dan Mandra adalah orang yang sangat membenci Ki Dipanala meskipun mereka tidak tahu sebabnya. Dan kini mereka melihat justru Ki Dipanala membawa Raden Rudira yang parah dan mayat Mandra. Pada umumnya mereka mempunyai dugaan yang sama. Ki Dipanala telah membunuh Mandra dan melukai Raden Rudira.

Tetapi mereka masih juga menyangsikannya. Apakah mungkin Ki Dipanala melawan kedua orang itu sekaligus.

“Ki Dipanala mampu berkelahi melawan beberapa orang perampok sekaligus” desis salah seorang dari mereka.

Kawan-kawan Mandra yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang mungkin sekali Ki Dipanala telah membunuhnya meskipun barangkali ia berbuat curang. Kemudian melukai Raden Rudira sekaligus”

“Jika demikian buat apa Dipanala membawa mereka kemari? Kenapa keduanya tidak ditinggalkan saja dimanapun juga?”

“Dimanapun juga akibatnya tidak berbeda. Raden Rudira itu masih dapat menyebut namanya”

“Tentu ia akan dibunuhnya sama sekali”

Kawan-kawannya tidak menyahut. Keragu-raguan yang tajam telah mencengkam hati mereka.

Sementara itu, seorang pelayan melangkah keluar dari pintu samping. Kemudian pelayan itu pun menemui kawan-kawan Mandra yang sedang berkerumun.

Sebelum pelayan itu mengatakan sesuatu, kawan-kawan Mandra itu pun telah mendahului bertanya, “Apakah yang sebelumnya telah terjadi?”

Pelayan itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak seorang pun yang tahu. Raden Rudira masih sangat lemah. Ia tidak mau berbicara tentang apapun juga, selain minta agar Pangeran Ranakusuma dijemput”

“Lalu, bagaimana dengan mayat Mandra ini?” bertanya salah seorang kawannya”

“Menurut Ki Dipanala, kita dimintanya untuk mengangkat mayat itu dan membawanya ke dalam bilik di ruang belakang”

“Kenapa Dipanala, bukan Raden Rudira?”

“Raden Rudira hampir tidak sadar”

“Persetan dengan Dipanala. Apakah bukan Dipanala yang telah berkhianat?”

“Kami tidak tahu. Kami menunggu perintahnya. Tetapi Raden Rudira tidak berkata apapun juga. Bahkan seakan-akan ia hanya mau berbicara dengan Ki Dipanala saja”

“Aneh” salah seorang berdesis. Namun tiba-tiba katanya, “Cepat, masuklah. Awasi Dipanala itu. Mungkin dengan diam-diam ia berusaha membunuh Raden Rudira yang luka itu untuk menghilangkan jejak kejahatan dan pengkhianatannya”

Abdi itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menungguinya”

Ketika pelayan itu masuk kembali ke dalam, maka kawan-kawan Mandra pun mengangkat mayat itu dan membawanya ke belakang.

“Jika benar Dipanala telah membunuhnya, maka ia pasti akan mendapat hukuman yang setimpal. Sebenarnya seisi istana ini sudah membencinya. Tetapi aku tidak tahu, bahwa hanya karena kebaikan hati sajalah maka Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galih Warit tidak mengusirnya”

“Aku ingin, Dipanala itu diserahkan kepadaku”

“Kepada kita”

“Ya, kepada kita. Kita akan mencincangnya sampai lumat.

“Tidak dicincang. Tetapi kita akan menghukum picis”

“Ya hukum picis. Kita harus mendapatkan jeruk dan garam”

“Disapu dengan rotan. Jika punggungnya sudah babak belur, kita mandikan orang itu dengan air jeruk dan garam. Itu lebih baik dari hukum picis. Dengan hukuman picis ia akan segera mati karena darah yang meleleh, tetapi dengan hukuman cambuk dengan rotan, kita akan dapat memeliharanya untuk empat atau lima hari”

“Semuanya terserah kepada Pangeran Ranakusuma” berkata salah seorang dari mereka.

Kawan-kawannya pun kemudian terdiam. Mereka duduk mengelilingi mayat Mandra yang terbujur di atas pembaringan bambu yang besar.

“Luka Mandra adalah luka yang mematikan” desis salah seorang dari mereka, “Justru di punggung. Tentu suatu kecurangan. Jika Ki Dipanala itu berhadapan muka, maka ia tidak akan dapat membunuhnya. Mandra adalah orang yang luar biasa”

Yang lain mengangguk-angguk. Namun tampaklah wajah di dalam, bilik itu dipenuhi oleh pertanyaan yang tidak dapat mereka jawab. “Kenapa Mandra mati dengan luka di punggungnya?”

Dalam pada itu, keadaan Raden Rudira menjadi semakin gawat. Meskipun Ki Dipanala sudah berusaha menahan darah yang keluar dari luka di lengannya, namun Rudira sudah benar-benar lemah. Punggungnya rasa-rasanya telah patah ketika ia terpelanting dari kudanya dan jatuh di jalan yang keras. Kecepatan lari kudanya telah menambah lukanya semakin parah.

Dengan gelisah Ki Dipanala menunggu anak muda yang terbujur diam itu. Sekali-sekali terdengar erang tertahan. Namun yang mendengarnya seakan-akan ikut merasakan betapa sakit luka-lukanya.

Beberapa orang ikut menungguinya. Beberapa di antara mereka pun menaruh curiga kepada Ki Dipanala. Apalagi abdi yang baru saja berbicara dengan kawan-kawan Mandra. Ia berada di paling depan sambil mengawasi Ki Dipanala dengan tanpa berkedip.

Ki Dipanala pun merasa betapa sorot mata orang-orang di sekelilingnya itu bagaikan menusuk jantung Namun ia masih tetap di tempatnya. Ia hanya mengharap agar Raden Rudira masih tetap sadar sehingga ia akan dapat mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.

Karena itu, maka dengan tekun Ki Dipanala melayaninya. Menitikkan air setetes demi setetes, dan membasahi dahi anak muda yang mulai menjadi panas itu.

Dengan gelisah orang-orang di dalam bilik dan yang berkerumun di luar pintu itu menunggu kedatangan seseorang yang akan dapat menyelamatkan Raden Rudira yang nampaknya menjadi semakin parah. Jika Raden Rudira itu tidak tertolong lagi, maka tidak akan ada keterangan yang dapat dipercaya.

Karena pertimbangan itu pulalah Ki Dipanala pun masih tetap berdiam diri. Ia merasa bahwa kata-katanya tentu tidak akan dipercaya, sehingga karena itu, ia pun menggantungkan diri kepada kejujuran Raden Rudira.

“Mudah-mudahan Raden Rudira bersikap seperti ketika ia berada di regol halaman” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, tabib yang ditunggu-tunggu itu pun masih juga belum datang, sehingga rasa-rasanya keadaan Raden Rudira menjadi semakin gawat.

Ketika di halaman terdengar derap seekor kuda, maka semua orang yang berada di dalam bilik itu mengangkat wajahnya. Bahkan salah seorang berdesis, “Tentu tabib itu datang”

Ki Dipanala pun menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia bergeser ke pintu. Namun pelayan yang mendapat pesan dari kawan-kawan Mandra itu pun segera bertanya, “Kau mau kemana Ki Dipanala?”

Dipanala memandang pelayan itu sejenak, lalu jawabnya, “Aku tidak akan pergi”

“Kau harus tetap di sini. Kau harus mempertanggung jawabkan apa yang telah terjadi di sini, “

Ki Dipanala mengerutkan keningnya. Dipandanginya pelayan itu dengan tajamnya. Namun ia dapat mengerti, bahwa kecuriga-an itu tidak hanya hinggap pada seorang itu saja. Karena itu, untuk tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru, Ki Dipanala tidak menjawab. Bahkan kemudian ia bergeser kembali mendekati Raden Rudira. Namun sekali lagi pelayan itu berkata, “Jangan sentuh Raden Rudira”

Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Dipanala. Tetapi seperti tidak mendengar kata-kata itu, Ki Dipanala melangkah mendekati Raden Rudira dan meraba dahinya.

“Panas sekali” desisnya.

Terdengar Raden Rudira mengerang. Namun ia masih sempat berdesis, “Air, air”

Tanpa menghiraukan kecurigaan orang lain, Ki Dipanala meneteskan setitik air di bibir Raden Rudira

Pelayan yang berdiri didekat Raden Rudira terbaring itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, karena ia pun tahu bahwa Ki Dipanala mempunyai pengaruh yang kuat pada Pangeran Ranakusuma betapapun orang itu dibencinya.

Sesaat kemudian, pelayan yang harus memanggil tabib itu pun bergegas masuk. Dengan kata-kata yang memburu di antara nafasnya ia berkata, “Tabib itu, tabib itu, sebentar lagi. Sekarang ia sedang merawat seseorang di rumahnya. Seorang yang terjatuh dari pohon kelapa”

“Tetapi bukankah kau sudah mengatakan, bahwa yang memerlukannya adalah putera Pangeran Ranakusuma?” bertanya Ki Dipanala.

“Ya, tetapi orang yang terjatuh itu sudah hampir meninggal, sehingga ia memerlukan perawatan segera”

“Seperti juga Raden Rudira”

“Ia akan segera datang, jika ia sudah selesai. Ia tidak dapat meninggalkan seseorang yang hampir mati tetapi masih mungkin mendapatkan pertolongan”

Ki Dipanala hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat memaksa tabib itu karena sedang menghadapi orang yang sedang berjuang melawan maut. Yang dapat dilakukannya hanya-lah sekedar mengharap kehadirannya segera setelah pekerjaan itu selesai.

Ternyata orang-orang yang ada di Ranakusuman itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian mereka mendengar derap seekor kuda pula memasuki halaman istana itu.

“Lihat, siapakah orang itu” perintah Ki Dipanala tanpa menghiraukan perasaan para abdi Ranakusuman itu terhadap-nya.

Seseorang segera berlari-lari keluar. Dan rasa-rasanya jantungnya yang hampir berhenti itu telah berdegup kembali. Yang datang itu tabib yang ditunggunya.

Dengan tergesa-gesa tabib yang masih agak muda itu pun segera masuk ke bilik tempat Raden Rudira dibaringkan.

Ketika tabib itu membuka ikat kepala Raden Rudira yang di pergunakan untuk menyumbat lukanya, maka tabib itu pun terkejut Dengan nada yang datar ia berkata, “Luka oleh peluru”

“Ya” sahut Ki Dipanala, “luka itu oleh peluru”

Para pelayan pun terkejut pula karenanya. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa luka Raden Rudira itu adalah bekas tertusuk peluru. Bukan oleh senjata tajam.

“Tetapi” berkata Ki Dipanala kemudian, “yang tidak kalah parahnya adalah punggung Raden Rudira karena ia terjatuh dari kudanya”

Tabib itu mengangguk-angguk. Kemudian diambilnya reramuan obat-obatan dari dalam kantong yang dibawanya.

“Air” katanya, “reramuan itu harus dicairkan dengan air sedikit, kemudian harus diusahakan agar reramuan ini dapat diminum untuk menambah daya tahannya, sementara aku akan mengobati lukanya dan barangkali perlu merawat punggungnya”

Seorang abdi pun kemudian mengambil semangkok air yang kemudian dituangkan ke dalam mangkok yang lain untuk mencairkan reramuan obat yang dibawa oleh tabib itu.

Untunglah bahwa Raden Rudira masih dapat menelan minuman itu, meskipun dengan agak kesulitan. Kemudian dengan cekatan tabib itu mengobati luka Raden Rudira yang tergores peluru.

“Untunglah bahwa peluru itu tidak mengeram di dalam tubuhnya” desis tabib itu.

Ki Dipanala tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.

Dalam pada itu, selagi tabib itu dengan teliti mengobati luka-luka Raden Rudira, baik karena peluru maupun karena goresan tanah yang keras, terdengar roda-roda kereta berderap di halaman. Beberapa orang pelayan segera bergeser pergi meninggalkan bilik itu. Yang datang dengan kereta itu tentu salah satu dari kedua orang tua Raden Rudira, sehingga dengan demikian, jika mereka masih berkumpul di bilik itu, tentu mereka akan mendapat marah.

Yang tinggal di dalam bilik itu tinggallah Ki Dipanala, tabib yang sedang mengobati Raden Rudira itu, dan seorang pelayan yang masih saja tetap mencurigai Ki Dipanala meskipun karena luka di tubuh Raden Rudira itu adalah luka peluru, maka kecurigaannya itu pun menjadi kabur.

Ternyata yang datang dengan tergesa-gesa itu adalah Pangeran Ranakusuma yang sudah mendapat berita tentang puteranya yang terluka. Namun berita yang didengarnya dari seorang abdinya itu masih belum jelas, sehingga justru ia menjadi agak gugup.

Dengan tergesa-gesa ia memasuki pintu depan yang masih terbuka langsung masuk ke dalam bilik Raden Rudira. Ketika dilihatnya Ki Dipanala ada di dalam bilik itu, maka Pangeran Ranakusuma pun memandanginya dengan tajamnya. Dengan suara yang berat ia pun kemudian berkata, “Apa yang terjadi Dipanala. Berkatalah berterus terang”

Ki Dipanala menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Jika Raden Rudira sudah agak tenang dan badannya menjadi agak kuat, sebaiknya Raden Rudira sajalah yang memberikan keterangan dengan singkat. Kemudian aku tinggal menjelaskan persoalannya”

“Kaukah yang melakukannya?”

“Ampun Pangeran. Sudah hamba katakan, sebaiknya biarlah Raden Rudira saja yang mengatakannya nanti. Tetapi hamba mohon tidak seorang abdi pun yang boleh mendengarnya”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia memandang abdi yang masih ada di dalam bilik itu sambil berkata, “Tinggalkan bilik ini”

Pelayan itu menjadi ragu-ragu. Namun ia pun melangkah keluar dari bilik itu.

Ketika ia berhenti di muka pintu, maka Pangeran Ranakusuma membentaknya, “Cepat. Jangan ragu-ragu. Jika Dipanala berbuat gila aku dapat membunuhnya”

Pelayan itu pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu. Sebenarnyalah bahwa Pangeran Ranakusuma adalah seorang prajurit yang baik, sehingga Kangjeng Susuhunan memberinya anugerah nama Ranakusuma. Bunga di peperangan.

“Nah, apa yang terjadi, katakan” Pangeran Ranakusuma Menjadi tidak sabar lagi.

Ki Dipanala memandang tabib itu sejenak, lalu, “Apakah Raden Rudira boleh berbicara”

“Sekedarnya saja” jawab tabib itu.

Ki Dipanala pun kemudian berlutut di samping tubuh Raden Rudira yang terbaring diam. Perlahan-lahan ia berbisik di telinganya, “Raden, apakah Raden dapat berbicara beberapa patah kata saja dengan ayahanda”

Raden Rudira mendengar dengan jelas kata-kata itu. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang lemah, yang pelupuk-nya bagaikan telah melekat. Meskipun agak kabur ia masih dapat melihat, bahwa ayahandanya berdiri di sampingnya.

“Ayahanda” suara Raden Rudira perlahan sekali.

“Ya Rudira, di sini ayahandamu”

“Ayah” suaranya sangat lemah, “dengarkan ayah”

“Ya, ya. Aku mendengar Rudira” sahut ayahandanya sambil mendekatkan telinganya, “Kenapa kau terluka?”

“Aku ditembak, ayahanda”

“Ditembak? Siapakah yang menembakmu?”

“Mandra telah berkhianat. Biarlah paman Dipanala mengata-kannya. Percayalah kepadanya ayah”

Wajah Pangeran Ranakusuma menjadi tegang. Ketika terpandang wajah tabib yang merawat Raden Rudira itu, tabib itu mengangguk sambil berkata, “Ya Pangeran. Lukanya adalah luka peluru”

“Siapakah yang sudah berbuat gila itu?”

Tetapi Raden Rudira sudah memejamkan matanya kembali. Tubuhnya rasa-rasanya menjadi semakin lemah.

“Bagaimana dengan anak itu?” bertanya Pangeran Ranakusuma kepada tabib yang merawatnya.

“Hamba sedang berusaha Pangeran”

“Tetapi, maksudku, apakah masih ada harapan?”

Tabib itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Marilah kita bersama-sama berdoa. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Penyayang mengabulkan doa kita”

Dada Pangeran Ranakusuma menjadi berdebaran. Jawaban tabib yang masih muda itu benar-benar membuatnya gelisah dan cemas. Ia kenal tabib itu dengan baik, karena setiap kali ia memerlukan maka dipanggilnya tabib itu bagi seluruh keluarganya. Kini tabib yang dikenalnya sebagai seorang yang pandai itu menjawab dengan penuh keragu-raguan.

“Hamba sudah memberikan obat yang paling baik yang ada pada hamba Pangeran. Hamba pun telah mengobati luka peluru itu dan memberikan param pada punggung Raden Rudira yang agaknya cidera ketika ia terjatuh dari kudanya”

Raden Rudira mencoba bergeser sedikit, tetapi yang kemudian terdengar adalah rintihannya yang tertahan.

“Punggung itu sakit sekali” berkata tabib itu.

Pangeran Ranakusuma memandang Ki Dipanala sejenak, lalu katanya, “Kau dapat menceriterakannya?”

“Hamba Pangeran. Jika Pangeran tidak berkeberatan, hamba dapat mengatakan apa yang telah terjadi atas Raden Rudira”

Pangeran Ranakusuma terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Dipanala yang tampak bersungguh-sungguh dan sejenak kemu-dian ditatapnya wajah Rudira yang pucat dengan mata yang terpejam.

Dengan suara yang dalam, maka Pangeran Ranakusuma pun kemudian berkata, “Katakanlah Dipanala. Aku kira kali ini aku harus mempercayaimu seperti yang dikatakan oleh Rudira”

“Terima kasih Pangeran. Hamba akan menceriterakan apa yang hamba ketahui tanpa mengurangi dan tanpa menambahi-nya. Memang sama sekali bukan maksud hamba untuk selalu berusaha mengetahui segala macam rahasia yang ada di istana Ranakusuman ini. Tetapi agaknya memang nasib hamba yang tidak menguntungkan jika pada suatu ketika hamba mengetahui beberapa macam rahasia tanpa hamba kehendaki sendiri”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ketika terpandang olehnya tabib yang menunggu Raden Rudira, maka katanya kemudian kepada Dipanala, “Biarlah kita berbicara di ruang yang lain, agar tidak mengganggu Rudira yang sedang beristirahat”

Ki Dipanala menarik nafas. Ia menyadari bahwa di ruang itu masih ada orang lain. Karena itu maka katanya, “Baiklah Pangeran. Hamba menurut saja perintah Pangeran”

Merekapun kemudian keluar dari bilik itu dan pergi ke bilik Pangeran Ranakusuma. Setelah mereka yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarnya, maka berkatalah Pangeran Ranakusuma, “Katakanlah. Apapun yang terjadi. Jangan hirau-kan perasaanku. Aku akan mencoba untuk melihat kenyataan dengan hati yang tenang. Karena kenyataanku sendiri seperti yang kau ketahui, bukannya kenyataan yang dapat dibanggakan”

Ki Dipanala menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Aku tahu, bahwa kau ragu-ragu. Tetapi kali ini seperti aku mencoba untuk mempercayaimu, kau pun sebaiknya mencoba percaya kepadaku”

“Ya Pangeran. Hamba akan mencobanya”

“Nah, katakanlah. Aku tidak akan marah. Aku tidak akan mendendam dan segala macam perasaan terhadapmu”

“Ampun Pangeran. Yang pernah hamba alami, meskipun hamba sudah mencoba menyimpan rahasia seseorang sebaik-baiknya, namun nyawa hamba masih juga terancam”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kau juga menganggap aku terlibat dalam, usaha membunuhmu?”

Ki Dipanala menggelengkan kepalanya, “Tidak Pangeran, aku tahu bahwa Pangeran tidak terlibat dalam usaha pembunuhan itu”

“Nah, sekarang, katakan apa yang kau ketahui”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sekali lagi hamba ingin menjelaskan bahwa hamba sama sekali tidak bermaksud untuk mengetahui rahasia orang lain sebanyak-banyaknya, apalagi dengan tujuan yang kurang baik. untuk memeras misalnya”

“Aku percaya, seperti yang dikatakan oleh Rudira. Karena aku tahu sikap Rudira sebelumnya terhadapmu”

“Terima kasih Pangeran. Jika hamba mendapat jaminan bahwa tidak akan timbul salah paham, maka biarlah hamba menceriterakannya”

Demikianlah maka Ki Dipanala mencoba menceriterakan dengan singkat, apa saja yang diketahuinya. Sejak ia tidak sengaja mendengar rencana Raden Rudira dan Mandra. Kemudian dorongan perasaannya untuk mengikuti keduanya dan menunggui pertemuan Raden Ayu Galihwarit dengan para perwira kumpeni dan beberapa orang bangsawan yang lain. Kemudian diceriterakan pula apa yang sebenarnya sudah dilakukan oleh Raden Ayu Galih Warit, sehingga memaksa Raden Rudira bertindak. Apalagi Mandra yang berkhianat ternyata sudah menyiapkan rencana yang sebaik-baiknya. Tanpa ada yang dilampauinya Ki Dipanala menceriterakannya, sampai pada akhirnya, ia membawa Raden Rudira dan mayat Mandra kembali ke Ranakusuman.

Ketika Ki Dipanala meng-akhiri ceritanya, dilihatnya Pangeran Ranakusuma dengan hati yang pedih menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Seakan-akan ia tidak berani melihat gambaran yang jelas dari peristiwa yang diceritakan oleh Ki Dipanala tanpa ada yang terlampaui.

Ki Dipanala memandang Pangeran Ranakusuma itu seje-nak, kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Kemudian segalanya terserah kepada tuan. Hamba akan melakukan segala perintah”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada yang dalam, “Terima kasih Dipanala. Aku percaya semua yang kau katakan. Tetapi dengan demikian aku justru menjadi yakin, bahwa kau mengetahui rahasia isteriku bukan baru kali ini saja. Itulah sebabnya ia berusaha membunuhmu dengan memperalat anak laki-lakinya itu.

Ki Dipanala menganggukkan kepalanya, “Ampun Pangeran Sebenarnyalah demikian”

Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku tidak ingin mendengar rahasia yang kau ketahui sebelumnya, karena aku sudah dapat meraba apa yang terjadi. Hal itu tentu hanya akan menambah luka di hati saja”

Ki Dipanala tidak menjawab.

“Terima kasih” desis Pangeran Ranakusuma kemudian, “tinggalkan aku sendiri”

Ki Dipanala pun kemudian mohon diri, keluar dari dalam bilik Pangeran Ranakusuma itu.

Sepeninggal Ki Dipanala, maka Pangeran Ranakusuma itu pun duduk diam mematung. Seakan-akan terbayang dengan jelas, apa yang sedang terjadi saat itu dengan isterinya. Meskipun sebelumnya memang sudah ada perasaan curiga, namun ia berusaha untuk mengingkari perasaan” itu. Tetapi tanpa disadarinya ia pun telah memperalat Rudira untuk mengamati ibunya, sehingga kini akibat yang dialaminya ternyata menjadi sangat berat.

“Anak itu akan kehilangan kepercayaan kepada orang lain. Jika ia sudah tidak mempercayai ibunya sendiri, maka tidak akan ada manusia lain yang akan dapat menyejukkan hatinya”

Dengan penuh penyesalan Pangeran Ranakusuma melihat ke dalam dirinya sendiri, keluarganya dan orang-orang yang pernah bersangkut paut dengan dirinya. Terbayang kembali isterinya yang sudah meninggal dunia. Isterinya yang lain, yang dikembalikannya kepada orang tuanya. Anaknya yang disingkirkan ke padepokan Jati Aking dan anaknya yang manja, namun yang akhirnya terperosok ke dalam bencana yang tidak disangka-sangka oleh pengkhianatan orang yang selama ini menjilat kakinya.

“Alangkah rendahnya martabat manusia” katanya di dalam hati. Tetapi ia pun tidak ingkar, bahwa sebenarnya dirinya sendiri tidak akan lebih baik dari Mandra, jika ia menyadari bahwa ia pun sedang berusaha menjilat kekuasaan di Surakarta yang mulai kabur.

“Aku pun dapat seperti Mandra” suara hatinya itu serasa semakin keras bergema di dalam dadanya, “Aku pun akan dapat berkhianat kepada kumpeni dan kepada Susuhunan”

Namun tiba-tiba tumbuh pertanyaan, “Apakah selama ini aku tidak berkhianat terhadap Surakarta?”

Sekali lagi Pangeran Ranakusuma menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Semuanya menjadi semakin jelas terbayang.

Pangeran Ranakusuma itu terkejut ketika ia mendengar seseorang memanggilnya, “Pangeran, Pangeran”

Pangeran Ranakusuma mengangkat wajahnya. Dilihatnya Ki Dipanala berdiri terbungkuk-bungkuk di depan pintu.

“Ada apa?”

“Ampun Pangeran, Raden Rudira menjadi semakin lemah”

“He” dengan serta-merta Pangeran Ranakusuma meloncat berdiri.

“Raden Rudira memanggil tuan”

Dengan tergesa-gesa Pangeran Ranakusuma pergi ke bilik puteranya. Dilihatnya Raden Rudira menjadi gelisah. Kepalanya bergerak-gerak tidak menentu.

“Rudira, Rudira” bisik ayahnya di telinganya, “ini ayahandamu”

“O” terdengar anak muda itu berdesah.

“Tenanglah. Kau akan segera sembuh”

“Ayahanda” suaranya lemah sekali, “gelap ayahanda”

Dada Pangeran Ranakusuma serasa dihentakkan oleh kata-kata itu. Namun ia menjawab, “Ya, Rudira. Memang hari masih malam. Biarlah lampu dibesarkan”

“Gelap. Gelap sekali ayah” Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam, “panas, panas sekali”

Pangeran Ranakusuma menjadi semakin bingung. Dipandanginya tabib yang berdiri di sampingnya. Namun wajah tabib yang masih agak muda itu menjadi tegang.

Ki Dipanala pun menjadi sangat cemas. Ia masih berusaha untuk membasahi dahi Raden Rudira dengan air jeruk pecel. Tetapi ia tidak berhasil menenangkan kegelisahan anak muda itu.

“Tidurlah Rudira” berkata ayahnya, “Cobalah untuk tidur, “

Tetapi Raden Rudira seakan-akan sudah tidak mendengarnya lagi. Bahkan ia menjadi semakin gelisah dan berdesis, “Panas. Panas sekali. Sakit ayah”

“Ayah ada di sini”

Raden Rudira mengeluh pendek. Namun suaranya semakin lemah.

“Raden” tabib yang mengobatinya tiba-tiba saja berjongkok di sampingnya. Wajahnya menjadi semakin tegang dan dengan suara yang bergetar ia berkata, “Raden Rudira”

Rudira menggeliat sekali. Dicobanya untuk membuka matanya. Meskipun semakin kabur, ia masih melihat bayangan ayahandanya. Karena itu ia masih mencoba berbicara, “Ayahanda, aku mohon maaf”

“Rudira?” ayahnya menjadi bingung dan sangat cemas.

“Dimana Dipanala”

“Di sini Raden, aku ada di sini”

“Aku minta maaf kepadamu Dipanala. Aku pernah berbuat dosa terhadapmu. Aku tidak mengerti waktu itu, bahwa seharusnya aku tidak melakukannya”

“Tidak, Raden tidak bersalah. Tenanglah. Jangan membayangi diri Raden dengan persoalan-persoalan yang tidak penting. Yang penting bagi Raden sekarang adalah penyembuhan dari segala macam kesakitan yang ada pada diri Raden. Untuk itu Raden harus beristirahat. Lahir dan batin. Raden sekarang berada di dalam istana Raden sendiri. Karena itu jangan gelisah”

Rudira mencoba mengangguk. Tetapi tubuhnya menjadi semakin lemah. Selama ia belum mendapat pertolongan, darahnya terlampau banyak mengalir. Punggungnya yang bagaikan patah, selalu menyakitinya dan seakan-akan tidak ada sesuatu lagi yang menarik baginya. Ibunya telah mengecewakan-nya. Mengecewakan sekali, sehingga tidak akan ada kepercayaan lagi yang dapat diberikannya.

“Ayah” desis Raden Rudira.

“Rudira” Ayahnya menjadi kehilangan akal. Lalu katanya kepada tabib itu, “berbuatlah sesuatu, berbuatlah sesuatu”

Tabib itu pun menjadi gelisah. Obat yang paling baik telah diberikannya kepada Raden Rudira. Lukanya justru sudah tidak mengalirkan darah lagi. Namun sebenarnya perawatan baginya memang agak terlambat. Bukan karena kedatangannya yang lambat, tetapi darahnya memang sudah terlampau banyak mengalir.

Ki Dipanala pun menyadari keadaan itu. Selama ia berkelahi melawan Mandra dan membunuhnya, ia tidak sempat berbuat apa-apa terhadap anak muda yang terluka itu, sehingga darahnya pasti terlampau banyak berceceran. Itulah kesulitan yang dihadapi oleh tabib yang sebenarnya cukup pandai itu. Apalagi hati Raden Rudira sendiri yang telah patah, membuatnya kehilangan nafsu untuk bertahan.

Keadaan Raden Rudira membuat Pangeran Ranakusuma menjadi semakin bingung. Wajah anak muda itu telah menjadi seputih kapas, dan nafasnya seakan-akan tinggal satu-satu tersangkut di kerongkongan.

“Berbuatlah sesuatu” suara Pangeran Ranakusuma menjadi bergetar.

Tabib yang menunggui Raden Rudira itu pun berjongkok disampingnya. Ia sudah merasa berbuat sejauh-jauhnya yang dapat dilakukan. Keputusan terakhir ada pada Yang Maha Kuasa.

Namun demikian, ia masih juga berusaha. Diteteskannya air jernih ke bibir Raden Rudira.

“Ayah” suara anak muda itu hampir tidak terdengar lagi, “Apakah Ki Dipanala sudah mengatakan seluruhnya”

“Sudah Rudira, sudah”

“Itulah yang penting ayah. Aku sudah tidak berkepentingan lagi dengan hidupku. Ternyata ibuku sangat mengecewakan aku”

“Rudira”

Rudira memandang ayahnya sejenak. Tetapi pelupuknya bagaikan melekat. Namun demikian, ia masih melihat sebuah bayangan hitam yang ia yakin itu adalah ayahnya.

Sebuah senyum terbayang di bibir anak muda itu. Perlahan sekali ia berkata, “Aku masih sempat mohon maaf kepada ayah, kepada Ki Dipanala, kepada kakang Juwiring dan kepada siapapun juga. Karena itu aku merasa bersyukur. Yang utama aku pun sempat menyesali dosa-dosaku terhadap Tuhan Yang Maha Murah”

“Rudira”

Senyum Rudira tampak semakin cerah. Sekilas warna merah membayang di wajah yang pucat itu, namun kemudian semuanya itu lenyap seperti asap dihembus angin yang kencang. Sebuah tarikan nafas yang panjang menggerakkan dada Raden Rudira. Tetapi tarikan itu bagaikan terputus di tengah.

“Rudira, Rudira”

Tetapi Raden Rudira sudah tidak mendengarnya lagi. Ia telah mengakhiri hidupnya yang pendek. Ternyata bahwa ia meninggal dalam usia yang masih terlalu muda.

Raden Rudira terbaring diam ketika ayahnya melekatkan mulutnya di telinganya sambil berbisik, “Rudira, Rudira”

Ki Dipanala dan tabib yang mencoba mengobatinya itu saling berpandangan sejenak. Mereka melihat setitik air mengambang di mata Pangeran Ranakusuma. Seorang Pangeran yang menjadi kebanggaan Surakarta di medan perang.

Tetapi menghadapi peristiwa semacam itu, maka hampir tidak ada bedanya antara seorang Pangeran, seorang Senapati dan seorang rakyat kecil. Dengan penuh penyesalan seorang ayah melihat anaknya meninggal dalam keadaan seperti itu. Anak muda yang baru tumbuh.

Betapapun bengal, kasar dan keras kepala, namun kesalahan seluruhnya tidak dapat ditimpakan kepada Raden Rudira. Dalam kedukaan yang paling dalam, Pangeran Ranakusuma melihat anaknya itu telah menjadi korban tingkah laku orang tuanya sendiri.

Pangeran Ranakusuma pun kemudian berdiri termangu-mangu. Dipandanginya tubuh anaknya yang terbaring diam membeku. Wajahnya menjadi putih dan tampak senyumnya masih membayang. Tetapi di balik senyum itu seakan-akan tampak penyesalan yang tiada taranya. Kecewa dan pedih.

“Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma dengan suara parau, “pindahkan tubuh itu ke pembaringan ibunya”

Ki Dipanala termangu-mangu mendengar perintah itu. Sehingga Pangeran Ranakusuma mengulanginya, “Pindahkan lah tubuh itu ke bilik ibunya. Selimuti seperti jika ia sedang tidur. Jangan memberikan kesan apapun juga atas kematian Rudira. Berbuatlah seolah-olah tidak terjadi apa-apa sama sekali jika nanti ibunya datang”

Ki Dipanala menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, “Baik Pangeran”

“Aku akan duduk di pendapa. Setelah kau selesai, pergilah ke pendapa juga” lalu katanya kepada tabib yang mencoba mengobati Raden Rudira tetapi gagal, “Aku mengucapkan terima kasih atas usahamu. Sekarang tidak ada gunanya lagi kau berbuat sesuatu atas mayat anakku. Karena itu, kau dapat meninggalkan rumah ini. Pada saatnya kami akan menyelesaikan perhitungan atas jasa-jasamu”

“Terima kasih tuanku. Hamba sangat menyesal bahwa hamba tidak berhasil”

“Bukan salahmu. Kau sudah berusaha. Bantulah Dipanala, kemudian kau boleh pulang”

Pangeran Ranakusuma itu pun kemudian pergi ke pendapa. Ditinggalkannya Rudira yang sudah tidak bernafas lagi itu dengan hati yang luka.

Sepeninggal Pangeran Ranakusuma, maka Ki Dipanala yang mengerti maksud Pangeran itu, segera membawa Raden Rudira ke bilik ibunya dan dibaringkannya di pembaringan Raden Ayu Galih Warit, dengan diselimutinya baik-baik seolah-olah Raden Rudira sedang tidur nyenyak. Kemudian disusutkannya nyala lampu di dalam ruang itu dan dibersihkannya ruang Raden Rudira sendiri.

Setelah semuanya selesai, maka tabib itu pun minta diri kepada Ki Dipanala.

“Sampaikan kepada Pangeran Ranakusuma. Aku tidak usah mohon diri lagi kepadanya”

“Baiklah. Tetapi jangan mengatakan kepada siapapun apa yang sudah terjadi”

Tabib itu menganggukkan kepalanya, dan sejenak kemudian ia pun meninggalkan istana Ranakusuman.

Para pelayan yang berusaha menanyakan kepadanya tentang Raden Rudira, sama sekali tidak dijawabnya. Namun karena tabib itu nampaknya tersenyum-senyum, maka para abdi mengira bahwa keadaan Raden Rudira menjadi berangsur baik.

Tetapi mereka masih tetap menjadi gelisah, karena Pangeran Ranakusuma belum memberikan perintah apapun bagi mayat Mandra yang masih dibaringkan belakang.

Dalam pada itu, Pangeran Ranakusuma duduk di ruang depan dengan wajah yang murung. Terbayang apa saja yang sudah dilakukan selama ini. Usahanya untuk mendapatkan pengaruh dan kedudukan telah merampas seluruh waktunya sehingga ia tidak sempat meneliti tingkah lakunya sendiri.

Sejenak kemudian maka Pangeran Ranakusuma itu pun berdiri. Dilihatnya Dipanala sudah duduk di bibir tangga pendapa. Tetapi ia tidak menyapanya. Perlahan-lahan ia masuk ke ruang dalam dan menengok ke bilik sebelah bilik Rudira. Dilihatnya pembaringan Raden Rara Warih pun masih kosong.

“Tanpa diajari oleh ibunya, agaknya Warih mempunyai kebiasaan yang sama dengan ibunya” berkata Pangeran Ranakusuma, “selama ini aku tidak pernah memperhatikan kedua anak-anakku. Aku tidak tahu apa saja yang dilakukan dan apa saja akibatnya. Apalagi ibunya yang tampaknya sangat menyayangi anak-anaknya”

Ketika Pangeran Ranakusuma kembali ke pendapa, terbayang sekilas pergaulan anak gadisnya itu menurut penglihatannya yang hanya sepintas. Setiap kali ia pergi bersama anak-anak gadis putera bangsawan. Meskipun mereka adalah saudara-saudaranya juga, bahkan ada di antara mereka yang masih sepupunya, namun kadang-kadang akan dapat menumbuhkan persoalan pula di antara mereka.

Tiba-tiba Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Katanya kepada diri sendiri, “Tetapi kali ini ia pergi ke kakeknya. Mungkin besok ia baru kembali”

Sambil menarik nafas dalam-dalam Pangeran Ranakusuma itu mulai melihat apa yang sudah dikerjakan oleh anak-anaknya. Akhir-akhir ini puterinya sering pergi ke istana kakeknya. Di sana ada beberapa orang gadis sepupunya.

“Apakah anak itu harus diberi tahu tentang kakaknya?” pertanyaan itu mulai mengganggunya.

Namun akhirnya Pangeran Ranakusuma memutuskan, bahwa ia akan menunggu kedatangan Raden Ayu Galih Warit lebih dahulu, kemudian baru berbicara tentang Warih.

Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranakusuma merenung. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Mungkin itu pula sebabnya, kenapa ia justru sering menyuruh Warih pergi ke kakeknya. Mungkin Warih dapat mengganggunya apabila ia ada di rumah. Bukan karena anak itu ingin menyertainya, tetapi mungkin kehadirannya dapat membuatnya bimbang untuk melakukan perbuatan yang tercela itu”

Ki Dipanala yang duduk di ujung pendapa, sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya duduk sambil menun-dukkan kepalanya. Ia menunggu jika Pangeran Ranakusuma bertanya sesuatu kepadanya. Tetapi karena Pangeran Rana-kusuma sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun, maka Ki Dipanala pun hanya diam saja sambil merenungi peristiwa yang baru saja terjadi.

Dengan demikian, meskipun di pendapa itu duduk dua orang yang tidak begitu berjauhan, namun suasananya benar-benar dicengkam kesenyapan. Pangeran Ranakusuma setiap kali menundukkan wajahnya dan mengusap keringat dingin yang meleleh dikeningnya, sedang Ki Dipanala setiap kali menarik nafas dalam-dalam.

Mereka berdua bersama-sama mengangkat wajahnya ketika mereka mendengar suara kereta.

“Tentu Galih Warit” desis Pangeran Ranakusuma, karena bukan kebiasaan Rara Warih datang berkereta di malam hari apabila ia pergi ke istana kakeknya, ayahanda ibunya.

Dugaannya itu ternyata benar. Sejenak kemudian sebuah kereta berderap memasuki halaman istana Ranakusuman. Di dalamnya duduk seorang perempuan cantik dalam pakaian yang cemerlang. Sedang di samping sais seorang prajurit yang agaknya telah mengantarnya lengkap dengan senjata di lambungnya.

Ki Dipanala dengan tergesa-gesa berdiri ketika kereta itu langsung menuju ke tangga pendapa. Sambil melangkah turun sampai ke anak tangga yang paling bawah, Dipanala memandang kereta itu dengan hampir tidak berkedip. Tiba-tiba saja dadanya menjadi berdebar-debar seperti sedang menghadapi bahaya yang tidak mungkin dapat diatasinya.

Kereta itu berhenti tepat di kuncung pendapa. Prajurit yang duduk di dekat sais itu pun segera meloncat turun dan membuka pintu kereta. Sambil membungkuk dalam-dalam ia mempersilah-kan Raden Ayu Galih Warit keluar dari kereta itu.

Pangeran Ranakusuma memandang isterinya yang baru turun dari kereta itu dari tempat duduknya. Ia sama sekali tidak beringsut dan apalagi berdiri.

Ketika Raden Ayu Galih Warit turun dari keretanya dan dilihatnya Pangeran Ranakusuma sudah duduk di pendapa, dadanya berdesir. Namun ia segera berusaha tersenyum sambil bertanya, “Kakanda sudah kembali dari istana?”

“Belum lama” jawab Pangeran Ranakusuma.

Jawaban itu ternyata mengejutkan Ki Dipanala. Hampir tidak ada kesan sama sekali, bahwa sebenarnya hati Pangeran Ranakusuma sedang dibelit oleh kedukaan yang tiada taranya.

“O, Pangeran tidak langsung pergi ke pertemuan itu”

“Aku kira kau sudah kembali” jawab Pangeran Ranakusuma.

“Pertemuan itu baru saja bubar. Yang hadir melampaui yang diundang. Dan itu menimbulkan kesulitan” Raden Ayu Galih Warit tertawa, lalu, “untunglah kesulitan itu dapat segera di atasi”

Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Lalu, katanya, “Apakah kereta itu masih akan kembali ke tempat pertemuan itu?”

“Ya kakanda. Masih ada beberapa orang yang harus dijemput”

Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi.

Raden Ayu Galih Warit lah yang kemudian menyuruh sais keretanya untuk meninggalkan istananya.

“Kembalilah, mungkin masih ada yang akan mempergunakan-nya” katanya.

Sejenak kemudian maka kereta itu pun segera berderap meninggalkan halaman. Prajurit yang ada di samping sais itu mengangguk dalam-dalam ketika kereta itu mulai bergerak.

“Cukup meriah” berkata Raden Ayu Galih Warit sambil tersenyum. Perlahan-lahan ia mendekati suaminya yang masih duduk Di tempatnya.

“Sayang, kakanda tidak pergi menyusul hamba. Beberapa orang Pangeran hadir juga di dalam perjamuan itu” Raden Ayu Galih Warit berhenti sejenak, lalu, “Kenapa mereka tidak menghadap Kangjeng Susuhunan”

Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu”

Raden Ayu Galih Warit mengerutkan keningnya. Lalu sambil berdiri di belakang Pangeran Ranakusuma ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang sulit di dalam pembicaraan Pangeran dengan pihak istana atau kumpeni?”

“Tidak, tidak” jawab Pangeran Ranakusuma, “semuanya berjalan lancar. Justru karena itu aku pulang lebih awal dari pertemuan yang pernah dilakukan di istana”

“O” Raden Ayu Galih Warit tertawa. Kedua tangannya meraba pundak Pangeran Ranakusuma sambil berkata, “Apakah kakanda akan duduk saja di pendapa?”

“Aku akan duduk di sini sebentar. Udara terlampau panas. Aku minta Ki Dipanala menemui aku”

Raden Ayu Galih Warit berpaling memandang Dipanala yang sudah duduk kembali di lantai pendapa tepat di atas tangga. Sejenak terbersit kecemasan di dalam hatinya. Sikap Pangeran Ranakusuma kali ini agak meragukan.

“Apakah cucurut itu sudah mulai menjilat dan mengatakan apa yang pernah diketahuinya?” bertanya Raden Ayu Galih Warit di dalam hatinya. Tetapi dijawabnya sendiri, “Jika demikian ia tentu tidak akan duduk tenang menerima kedatanganku. Mungkin Pangeran Ranakusuma langsung mengusir aku malam ini juga atau memanggil ayahanda untuk menjemputku”

Karena itu, maka Raden Ayu Galih Warit itu pun kemudian tersenyum pula sambil bertanya, “Apakah Dipanala tidak mempunyai pekerjaan lain?”

“Tentu tidak di malam hari” jawab Pangeran Ranakusuma.

“O” Raden Ayu Galih Warit tertawa, “Tentu tidak. Ia bukan peronda di istana ini”

“Ya. Ia memang bukan peronda”

“Tetapi udara akan menjadi semakin dingin kangmas. Apakah tidak sebaiknya Pangeran masuk ke dalam?”

“Masuklah dahulu. Aku akan duduk di sini sejenak”

Raden Ayu Galih Warit menjadi ragu-ragu. Sekali lagi ia memandang Ki Dipanala yang duduk sambil menundukkan kepalanya.

“Pangeran” berkata Raden Ayu Galih Warit, “terasa tubuh Pangeran menjadi sangat dingin. Tentu Pangeran sudah kedinginan”

“Udara terasa segar sekali di pendapa”

“Kalau begitu, aku akan ikut duduk di sini”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Lalu, “Masuklah. Atau berganti pakaian lah dahulu”

Raden Ayu Galih Warit tertawa. Katanya kemudian, “Barangkali ada juga yang ditunggu. Tetapi jika kakanda menunggu Warih, tentu ia tidak akan kembali malam ini. Mungkin besok bahkan mungkin lusa. Ia merasa kerasan di rumah kakeknya, karena di rumah eyangnya ia mendapatkan beberapa orang kawan sebaya”

“Ya. Tentu ia kerasan di rumah eyangnya. Tetapi aku memang tidak sedang menunggu Warih. Jika kau ingin duduk pula bersama kami, berganti pakaian lah lebih dahulu”

“Baiklah kakanda. Aku akan berganti pakaian dahulu, dan aku akan menyusul duduk di sini. Tetapi sebaiknya Dipanala menyuruh seorang pelayan untuk membuat minuman panas”

“Baiklah. Biar ia nanti pergi”

Raden Ayu Galih Warit pun kemudian melangkah masuk. Di muka pintu langkahnya terhenti. Serasa ada sesuatu yang menahannya.

“Kangmas” Raden Ayu itu memanggil, “Apakah tidak ada seorang pelayan pun yang ada di dalam?”

“Di belakang” jawab Pangeran Ranakusuma.

“Kenapa lampu di dalam bilik itu suram sekali?”

“O, tentu. Kau baru datang dari perjamuan. Tentu lampunya terang benderang sehingga lampu di dalam rumah kita itu rasa-rasanya terlampau suram. Tetapi nanti akhirnya akan terbiasa juga”

Raden Ayu Galih Warit mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga ragu-ragu melangkah. Rasa-rasanya tengkuknya meremang dan jantungnya berdebaran.

“Belum pernah aku merasakan perasaan seperti ini” berkata Raden Ayu itu kepada diri sendiri.

Tetapi kemudian dibantahnya sendiri, “Mungkin aku menjadi gelisah karena kebetulan Pangeran Ranakusuma sudah datang mendahului. Tentu ada. perasaan yang kurang jernih padanya. Tetapi aku kira Dipanala tidak mengatakan sesuatu. Jika benar, Pangeran Ranakusuma tentu tidak akan setenang itu”

“Ah, aku ternyata telah diganggu oleh perasaanku sendiri” berkata pula Raden Ayu Galih Warit kepada diri sendiri.

Dengan demikian, maka kakinya pun terayun pula memasuki, ruangan dalam. Kemudian dengan ragu-ragu ia menuju ke pintu biliknya yang tertutup.

Namun sekali lagi langkahnya tertegun. Ruangan dalam itu terasa terlampau sepi. Sepi sekali seperti kuburan. Dipandangi-nya pintu-pintu bilik yang tertutup. Biliknya sendiri, bilik kedua anak-anaknya dan bilik Pangeran Ranakusuma. Dan pintu-pintu yang tertutup itu kesannya bagaikan wajah-wajah yang murung dengan mata yang terpejam.

Terasa sekali lagi tengkuknya meremang, seakan-akan dirambati oleh binatang-binatang kecil tetapi berjumlah banyak sekali.

“Ah, tentu karena aku datang dari pertemuan yang ramai sehingga rumahku ini terasa sangat sepi” Ia mencoba bertahan. Dipaksanya juga kakinya melangkah ke pintu biliknya.

Meskipun hatinya ragu-ragu, namun perlahan-lahan didorongnya juga pintu bilik yang tertutup itu. Ketika terlihat olehnya sesosok tubuh terbaring di pembaringannya, Raden Ayu Galih Warit terkejut. Tetapi hanya sejenak, karena di dalam cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan, ia segera mengenal wajah anak laki-lakinya Rudira.

Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa aneh, bahwa Rudira tidur di pembaringannya. Hal itu tidak pernah dilakukannya.

Tiba-tiba saja dada Raden Ayu Galih Warit berdebar-debar. Katanya di dalam hati, “Tentu ayahnya yang menyuruhnya tidur di pembaringanku sebagai cara untuk menegur keterlambatanku. Atau barangkali Dipanala memang sudah mengatakannya?”

Raden Ayu Galih Warit menjadi ragu-ragu. Bahkan ia pun kemudian menduga, bahwa sebenarnya Rudira itu tentu belum tidur. Anak itu tidak pernah tidur lurus membujur di pembaringannya. Kadang-kadang ia tidur sambil melingkarkan tubuhnya atau bahkan menelungkup.

Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dalam-dalam.

“Biarlah aku akan bertanya kepadanya. Jika sesuatu akan terjadi, aku tentu masih mempunyai cara untuk mengelak. Aku akan mendapat bantuan dari para perwira kumpeni dan beberapa orang lainnya. Aku dapat mengupah beberapa orang untuk mengingkarinya dan memberikan kesaksian palsu. Tentu Rudira sendiri akan membantuku” namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata kepada diri sendiri, “Atau justru Rudira yang menjadi sangat marah kepadaku?”

“O, Dipanala memang pengkhianat. Kenapa ia masih belum terbunuh. Ia memang harus mati segera. Segera”

Namun dengan demikian ibunda Raden Rudira itu justru ingin segera mengetahui, kenapa puteranya itu tidur di dalam biliknya.

Perlahan-lahan ia mendekatinya agar Rudira itu tidak terkejut. Kemudian dengan perlahan-lahan pula ia meraba tubuh itu dan mengguncang pada ujung kakinya, “Rudira, Rudira”

Tetapi menurut dugaan Raden Ayu itu, Rudira tidak segera terbangun.

“Anak ini” katanya, “Jika sudah tertidur, betapa sukarnya untuk membangunkannya” namun kemudian, “Tetapi anak ini tentu belum tidur”

“Rudira, Rudira” Panggilnya pula.

Dan tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Sama sekali. Bahkan dadanya pun tidak.

Raden Ayu Galih Warit mulai curiga. Tetapi sekali lagi ia justru tertawa sambil berkata, “Ah, bukan begitu caranya tidur Rudira. Orang yang tidur nyenyak tidak menjadi sekaku potongan kayu. Ayo bangun dan katakan, kenapa kau tidur di sini malam ini? Siapakah yang menyuruhmu? Ayahanda barangkali?”

Tetapi tetap tidak ada jawaban. Rudira tidak bangkit sambil tertawa. Tidak pula marah dan merajuk. Tetapi ia tetap berbaring diam membeku.

“Rudira” akhirnya kesabaran ibunya pun menjadi semakin susut. Katanya, “Ayo bangun. Apa sebenarnya maumu?”

Masih tetap tidak ada jawaban.

Raden Ayu Galih Warit tidak sabar lagi menunggu jawaban anaknya. Karena itu maka didekatinya tubuh Raden Rudira itu dan ditariknya selimut yang menyelubungi badannya.

Ketika tubuh itu terbuka, dada Raden Ayu Galih Warit bagaikan dihentakkan oleh sesuatu di dalam dirinya. Dengan mata terbelalak ia melihat sesuatu yang aneh. Namun kemudian darahnya bagaikan terhenti mengalir ketika dilihatnya tubuh Raden Rudira itu benar-benar telah membeku dengan tangan yang disilangkan di dadanya. Noda-noda darah yang masih belum terhapus dan luka-luka yang tampak di antara bajunya yang bagaikan disayat.

“O” Raden Ayu Galih Warit berdiri sejenak. Namun kemudian sebuah pekik yang tinggi memecah keheningan malam itu. Dengan sekuat-kuat tenaganya Raden Ayu Galih Warit menjerit sambil memeluk tubuh anaknya.

Beberapa orang pelayan yang mendengar jerit itu pun segera berlari-lari ke pendapa, karena mereka tahu, bahwa kereta yang membawa Raden Ayu Galih Warit baru saja datang. Mungkin Raden Ayu Galih Warit terkejut melihat keadaan puteranya yang terluka itu.

Dalam pada itu, Pangeran Ranakusuma memang sudah menduga bahwa isterinya akan menjerit sekuat-kuatnya. Karena itu, ia sama sekali tidak terkejut karenanya. Bahkan ketika beberapa orang berlari-larian ke pendapa, Pangeran itu berdiri dan mendekati mereka sambil berkata, “Tidak ada apa-apa. Ia hanya terkejut. Nanti ia akan tenang kembali. Pergilah ke tempatmu masing-masing”

Para pelayan itu menjadi termangu-mangu. Satu-satu mereka berjalan meninggalkan pendapa kembali ke tempat masing-masing.

Di dalam bilik Raden Ayu Galih Warit menangis sejadi-jadinya. Dengan mengguncang-guncang tubuh yang terbaring itu dipanggilnya nama anaknya. Tetapi Raden Rudira tidak menyahut sama sekali.

“Pangeran, Pangeran” Raden Ayu Galih Warit itu berteriak, “Bagaimana dengan Rudira ini Pangeran”

Pangeran Ranakusuma perlahan-lahan mendekati bilik itu sambil berkata kepada Dipanala, “Ikut aku”

Demikian Pangeran Ranakusuma sampai kedepan pintu bilik, isterinya segera berlari mendapatkannya. Sambil memeluk suaminya Raden Ayu Galih Warit berkata di antara tangisnya, “Apa yang terjadi kakanda. Apa yang telah terjadi?”

Tetapi sikap Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak seperti kebiasaannya. Setiap kali Raden Ayu Galih Warit mengalami goncangan perasaan, atau bahkan kadang-kadang sekedar memanjakan diri, Pangeran Ranakusuma selalu berusaha untuk menenangkannya. Tetapi kali ini Pangeran Ranakusuma bagaikan patung yang membeku.

Raden Ayu Galih Warit tidak segera dapat menanggapi keadaan. Bahkan ia pun mengguncang-guncang tubuh Pangeran Ranakusuma sekuat-kuatnya sambil bertanya disela-sela isak tangisnya, “Apa yang sudah terjadi atas Rudira?”

Perlahan-lahan Pangeran Ranakusuma mendorong tubuh Raden Ayu Galih Warit sambil berkata, “Diamlah”

Raden Ayu Galih Warit mulai merasakan sikap yang semakin asing dari Pangeran Ranakusuma. Karena itu, ketika Pangeran Ranakusuma kemudian berjalan mendekati tubuh Rudira, ia justru terdiam karenanya.

“Kemarilah” berkata Pangeran Ranakusuma kepada isterinya yang justru menjadi termangu-mangu.

“Kemarilah” Pangeran Ranakusuma mengulang, “Rudira ternyata telah mengalami bencana tanpa kita duga-duga sebelumnya”

Raden Ayu Galih Warit dengan ragu-ragu melangkah mendekat.

“Ia sudah meninggal beberapa saat yang lalu”

Raden Ayu Galih Warit menganggukkan kepalanya. Katanya terputus-putus, “Kakanda tidak memberitahukan apapun pada saat aku datang”

“Aku tidak ingin mengejutkanmu dan apalagi merusak kesan yang cerah di dalam hatimu, setelah kau mengunjungi pertemuan itu”

Raden Ayu Galih Warit mengangkat wajahnya. Sekilas dipandanginya Dipanala yang berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bagaimanapun juga, hatinya merasa pedih melihat seorang ibu yang harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit itu.

“Siapakah yang telah mencelakai Rudira kakanda?” Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu. Ia diketemukan terkapar di jalan”

“O”

“Lihatlah lukanya. Luka itu bukan luka senjata tajam, tetapi lukanya adalah luka peluru”

“Peluru?”

“Ya. Peluru kumpeni”

“O, bagaimana mungkin hal itu terjadi?”

“Tidak ada yang dapat mengatakan dengan pasti”

“Apakah Rudira hanya seorang diri? Biasanya ia pergi bersama Mandra”

“Mandra juga mati”

“Mandra juga mati?”

“Ya, tetapi dalam kedudukan yang lain. Bagaimanapun juga nakalnya Rudira, tetapi kali ini ia terbunuh selagi ia ingin menyatakan sikapnya sebagai seorang anak laki-laki yang baik”

“Aku tidak mengerti”

“Tentu kau tidak mengerti” jawab Pangeran Ranakusuma.

Raden Ayu Galih Warit menjadi semakin bingung. Dipandanginya suaminya yang benar-benar terasa asing baginya, seperti juga Pangeran Ranakusuma merasa sebagai orang asing di dalam bilik itu. Isterinya yang cantik itu sama sekali tidak dapat memberinya gairah lagi kepadanya sebagai seorang suami. Bukan saja karena ia sedang berdiri di sisi mayat puteranya, namun apa yang terjadi memang sudah memisahkannya dari perasaan seorang suami.

“Kematian Rudira memang memberikan suasana yang asing di dalam rumah ini” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian. Namun ia masih tetap berusaha menahan gejolak hatinya yang bagaikan meretakkan dada, “Memang tidak ada bukti apapun yang dapat disangkutkan dengan kematian Rudira, selain luka peluru ini. Tetapi di Surakarta ini ada beberapa buah senjata yang dapat melepaskan peluru seperti ini”

Raden Ayu Galih Warit mengangguk kosong.

“Tetapi senjata yang manakah yang telah melepaskan peluru dan melukai Rudira, tentu sulit sekali untuk diketahui”

Isterinya menganggukkan kepalanya sekali lagi.

“Tetapi” berkata Pangeran Ranakusuma selanjutnya, “masih ada kemungkinan kita dapat menemukan pembunuh anak kita”

“Siapa yang telah membunuhnya kangmas?”

“Seseorang melihatnya, bagaimana seorang perwira kumpeni menembaknya”

“O” dada Raden Ayu Galih Warit menjadi berdebar-debar.

“Perwira kumpeni itu meloncat dari sebuah kereta”

“Kereta?” suara Raden Ayu Galih Warit menjadi bergetar.
“Ya. Seseorang melihat, sebuah kereta yang baru saja keluar dari tempat pertemuan yang meriah. Tetapi ternyata ada kereta lain yang sudah menunggunya di tempat yang gelap. Seorang perwira kumpeni telah berpindah tempat dari kereta yang berhenti lebih dahulu ke dalam kereta yang kemudian”

“O, siapakah yang mengatakannya?”

“Tunggu. Ada hubungannya dengan kematian Rudira”

Wajah Raden Ayu Galih Warit menjadi pucat. “Apakah yang sudah dilakukan oleh Rudira?”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan sesuatu telah menyumbat di kerongkongannya. Namun akhirnya terucapkan juga dari sela-sela bibirnya, “Rudira ingin melihat apa yang sudah dilakukan oleh perwira itu, karena ia mendengar suara seorang perempuan di dalam kereta yang kemudian. Ia tidak rela melihat bahwa sesuatu telah terjadi karena tingkah perwira kumpeni itu, karena ia tahu, bahwa seorang perempuan yang ada di dalam kereta itu pun tentu seorang bangsawan”

Wajah Raden Ayu Galih Warit yang pucat menjadi semakin pucat. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Apakah yang kemudian dilakukan oleh Rudira”

“Ia menyusul kereta itu”

“O” tubuh Raden Ayu Galih Warit lah yang kemudian menjadi gemetar, “Tidak. Tidak terjadi apa-apa. Tidak terjadi apa-apa. Itu hanyalah kebetulan saja, bahwa kereta itu bertemu di tengah jalan”

“Apa yang tidak terjadi apa-apa?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

“Perwira itu tidak berbuat apa-apa”

“Tentu ia berbuat apa-apa”

“Tidak, tidak”

Pangeran Ranakusuma memandang isterinya sejenak, lalu, “Akulah yang memberitahukan hal ini kepadamu. Bukan kau”

“Tetapi tidak terjadi apa-apa dengan kumpeni itu”

“Darimana kau tahu? Dan apakah kau juga melihatnya?”

Pertanyaan itu terdengar bagaikan bunyi guntur yang meledak di langit. Sejenak Raden Ayu Galih Warit berdiri mematung. Dengan tatapan mata yang tajam dipandanginya wajah Pangeran Ranakusuma yang tegang. Lalu dengan suara gemetar ia berkata seakan-akan tidak terpikirkan lebih dahulu karena kegelisahan, kecemasan, kepedihan yang bercampur baur, “Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa-apa”

“Tetapi Rudira mengetahuinya” berkata Pangeran Rana-kusuma, “Ia tahu siapa yang berada di dalam kereta itu. Ia tahu siapa yang mengatur pertemuan itu. Namun dengan demikian ia sudah terjebak oleh pengkhianat Mandra”

“O”

“Ketika Rudira dan Mandra mengejar kereta itu, dan Rudira berada di depan, ia melihat seorang perwira kumpeni meloncat dari kereta. Ia mendengar sebuah ledakan yang memekakkan telinga dan terasa ia terdorong pada pundaknya. Ia tidak dapat menguasai diri lagi. Dengan derasnya ia terlempar dan jatuh di atas jalan berbatu itu”

“O”

“Ia masih hidup ketika aku datang karena disusul oleh seorang abdi. Ia masih dapat mengatakan, siapakah yang ada di dalam kereta itu”

Raden Ayu Galih Warit rasa-rasanya tidak lagi berpijak di atas tanah.

“Dari orang yang telah ditembak oleh kumpeni yang sedang dibakar oleh nafsu kecantikan seorang putera bangsawan itu adalah Rudira. Anakmu”

Rasa-rasanya langit bagaikan runtuh menimpa dadanya. Sejenak Raden Ayu Galih Warit tidak dapat bergerak. Sekilas terbayang kembali perwira kumpeni yang meloncat turun. Kemudian disusul oleh bunyi tembakan dan suara tertawa yang berkepanjangan. Ketika dengan ketakutan ia bertanya, maka perwira itu menjawab, bahwa ia telah menembak seorang penjahat yang mencoba hendak membunuhnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar