Bunga Di Batu Karang Jilid 03

Tetapi selagi Ki Demang akan menjawab, Rudira memotongnya dengan lantang, “Aku sudah tahu. Aku sudah tahu”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Nama yang sudah ada di ujung lidahnya seakan-akan ditelannya kembali.

Demikianlah maka mereka berjalan menyelusuri jalan-jalan padukuhan yang semakin lama menjadi semakin sempit. Mereka berbelok beberapa kali pada tikungan-tikungan yang suram, karena matahari telah tenggelam. Padukuhan Sukawati itu semakin lama menjadi semakin gelap, sedang jalan di bawah kaki kuda mereka pun menjadi semakin jelek.

“He, apakah kau menunjukkan jalan yang benar?” bertanya Rudira yang menjadi jemu berjalan di jalan sempit yang gelap.

“Ya tuan, jalan inilah yang menuju ke pesanggrahan Pangeran Mangkubumi”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Sesaat ia berpaling kepada Sura yang dianggapnya sudah mengetahui jalan-jalan di daerah Sukawati. Tetapi Sura menganggukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Namun di dalam. hati, Sura merasakan sesuatu yang lain dari anggukan kepalanya. Ia memang mengetahui jalan-jalan di daerah Sukawati meskipun tidak kenal benar. Dan ia kenal jalan lain yang lebih baik dari jalan yang ditempuhnya sekarang ke pesanggrahan Pangeran Mangkubumi.

“Ki Demang agaknya telah tersinggung” berkata Sura dalam hatinya, “Kalau Raden Rudira tidak melarangnya naik kuda, maka kita tidak akan melewati jalan ini, dan barangkali kita jauh lebih cepat sampai”

Tetapi Sura tetap berdiam diri, meskipun kemudian ia yakin, bahwa memang demikianlah agaknya. Jalan yang mereka lalui adalah jalan yang sempit dan sangat gelap karena tidak ada seorang pun yang memasang lampu di regol-regolnya yang kecil.

“Kita seperti berjalan di dalam goa” desis Raden Rudira.

“Inilah kehidupan di daerah padesan tuan” sahut Ki Demang, “Tetapi kami sudah biasa hidup di dalam keadaan seperti ini, sehingga kami tidak merasa canggung lagi. Mungkin agak berbeda atau bahkan jauh berbeda, seperti bumi dan langit dengan kehidupan di kota-kota yang ramai. Apalagi di Negari Ageng seperti Surakarta”

Raden Rudira tidak menyahut, meskipun hatinya terasa menggelepar.

Namun akhirnya iring-iringan itu pun mendekati pesanggrahan. Dari kejauhan telah nampak cahaya obor yang terang di regol. Dan bahkan lampu-lampu minyak yang melontarkan cahayanya di pendapa.

“Itukah pesanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi?” bertanya Raden Rudira.

“Ya, itulah pesanggrahan Pangeran Mangkubumi” sahut Ki Demang di Sukawati.

Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Menurut Ki Demang, Pangeran Mangkubumi saat itu tidak berada di pesanggrahannya. Karena itulah pesanggrahan itu tampaknya sangat lengang.

Ketika mereka sampai di regol pesanggrahan itu, dua orang pengawal telah membuka pintu. Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam salah seorang dari mereka bertanya, “Siapakah yang kau antar kemari Ki Demang?”

“Putera Pangeran Ranakusuma” jawab Ki Demang di Sukawati.

“O” desis salah seorang dari keduanya itu pula, “Aku sudah menyangka. Tentu seorang bangsawan dari kota meskipun tidak membawa songsong. Agaknya Raden akan pergi berburu”

“Aku akan menghadap Ramanda Pangeran Mangkubumi” berkata Rudira. Namun terasa bahwa suaranya bergetar karena hatinya yang bergetar pula.

“O. Maaf tuan. Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan”

Raden Rudira mengerutkan keningnya, dan Ki Demang di Sukawati itu menyahut, “Aku sudah memberitahukan bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan”

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk.

Namun demikian Raden Rudira berkata, “He, apakah kami tidak kau persilahkan masuk?”

“Kalau tuan menghendaki, silahkan. Tetapi supaya tuan tidak kecewa, kami telah memberitahukan bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan”

“Aku akan masuk pesanggrahan Ramanda Pangeran. Meskipun Ramanda tidak ada, tetapi aku sudah berusaha menghadap”

“Tetapi apakah yang akan tuan dapatkan di pesanggrahan ini jika Pangeran tidak ada?”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Ternyata kedua pengawal yang tampaknya sangat hormat itu membuatnya jengkel juga. Seharusnya mereka mempersilahkannya masuk dan duduk di pendapa pesanggrahan. Bahkan mempersilahkannya bermalam di pesanggrahan itu juga. Tetapi agaknya kedua pengawal itu memang tidak mempunyai kesopanan sama sekali. Ia hanya sekedar diajari untuk membungkuk dan menghormat. Seterusnya, ia tidak mengenal sopan santun sama sekali.

“Aku akan masuk” berkata Raden Rudira kemudian.

“O, silahkan. Mungkin tuan belum pernah melihat pesanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi”

“Aku tidak sekedar ingin melihat. Tetapi aku adalah kemanakannya”

“O Baiklah. Silahkanlah”

Kedua pengawal itu pun kemudian membuka regol pesanggrahan itu semakin lebar. Keduanya berdiri dengan hormatnya di sebelah menyebelah pintu. Tetapi ketika Raden Rudira mulai melintasi regol halaman, maka kedua pengawal itu pun maju bersama-sama sambil berkata, “Maaf tuan. Kami harap tuan turun dari kuda”

“He” Raden Rudira terkejut, “Aku harus turun dari kuda?”

“Ya tuan”

“Kalian menghina aku. Kalau rakyat kecil memasuki halaman pesanggrahan ini memang harus turun dari kendaraannya. Tetapi aku tidak. Aku adalah Raden Rudira Putera Pangeran Ranakusuma”

“Maaf tuan. Hanya seorang yang diperkenankan naik kuda di halaman ini. Pangeran Mangkubumi. Selain Pangeran Mangkubumi, siapapun harus turun. Bahkan pengiring-pengiring Pangeran Mangkubumi pun harus turun dari kudanya meskipun mereka datang bersama dan mengiringi Pangeran Mangkubumi sendiri”

“Bohong. Kau sangka aku tidak mengetahui peraturan yang berlaku? Seorang putera Pangeran pasti diperkenankan memasuki halaman Kapangeranan diatas punggung kuda, meskipun ia harus turun sebelum sampai di depan pendapa, dan kemudian mengikatkan kudanya di depan gandok”

“O”

“Peraturan itu berlaku dimanapun. Dan sekarang pun aku tidak perlu turun dari kuda”

“Maaf tuan. Aku adalah seorang pedesan. Meskipun aku bekerja pada Pangeran Mangkubumi, tetapi aku berasal dari Sukawati ini, sehingga aku tidak mengetahui peraturan yang seharusnya berlaku. Tetapi di pesanggrahan ini, tuan harus turun dari kuda apabila tuan memasuki regol ini”

“Tidak. Aku tidak akan turun”

“Tuan” berkata pengawal itu, “Aku hanyalah seorang abdi. Aku tidak, dapat menolak perintah tuanku. Karena itu, jika tuan kasihan kepada kami, agar kami tidak berbuat salah dan yang mungkin mempunyai akibat yang luas bagi kami berdua dan keluarga kami, kami persilahkan tuan turun”

Sebelum Rudira menjawab, Ki Demang di Sukawati telah mendahului, “Tuan, kami berharap bahwa tuan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Tanah Sukawati adalah tanah kalenggahan. Karena itu semua peraturan yang berlaku disini bersumber kepada Pangeran Mangkubumi. Memang mungkin dengan demikian ada beberapa perbedaan dengan peraturan yang berlaku di tempat lain, bahkan di Negari Ageng sekalipun. Tetapi demikianlah yang dikehendaki oleh Pangeran Mangkubumi”

Raden Rudira menggeram. Dengan mata yang menyala ia berkata lantang, “Apakah hal ini bukan sekedar pokal kalian? Sejak aku memasuki padukuhan ini aku sudah melihat sikap orang-orang Sukawati yang mencurigakan, seperti sikap petani yang aku jumpai di bulak Jati Sari. Dengan demikian aku menjadi semakin yakin, bahwa orang itu memang berkata sebenarnya. Agaknya memang menjadi ciri orang-orang Sukawati yang suka menentang perintah orang-orang yang seharusnya dihormati”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah keuntungan kami dengan berbuat demikian? Kami sekedar menjalankan tugas kami seperti yang dikatakan oleh para pengawal pesanggrahan ini”

Raden Rudira menggeretakkan giginya. Tanpa disadarinya ia berpaling kepada Sura. Tetapi Sura telah mendahului meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh para pengiringnya yang lain serta kelima pengawal Ranakusuma.

Raden Rudira tidak dapat berbuat lain daripada memenuhi. Tetapi betapa hatinya menjadi sakit. Dua kali ia dipaksa turun dari kudanya.

“Kalau aku tahu, bahwa kali ini aku harus turun untuk kedua kalinya, aku tidak akan turun tadi di halaman Kademangan” Ia menggerutu di dalam hatinya.

Setelah meloncat turun, maka ia pun segera menyerahkan kudanya kepada pengiringnya. Sambil menjinjing wiron kain panjangnya ia berjalan menuju ke pendapa pesanggrahan Pangeran Mangkubumi.

Sejenak ia berdiri termangu-mangu di muka pendapa. Ada hasratnya untuk menunjukkan kebesaran dirinya dengan melangkahi tangga naik ke pendapa. Tetapi hatinya tiba-tiba menjadi ragu-ragu. Pendapa yang sepi lengang itu terasa terlampau agung baginya. Pendapa yang sama sekali tidak berisi peralatan apapun juga itu, rasa-rasanya mengandung pengaruh yang tidak terkatakan.

“Apakah tuan akan naik?” bertanya para pengawal.

Rudira menjadi ragu-ragu. Tetapi untuk mengatasi keragu-raguan itu ia bertanya, “Kaulah yang seharusnya mempersilahkan aku naik. Aku adalah tamu disini”

“Jika demikian, maka baiklah aku beritahukan bahwa tuan rumah tidak berada di rumahnya. Apakah tuan akan menunggu atau tuan akan kembali?”

Pertanyaan itu benar-benar telah menggetarkan dada Raden Rudira. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang-orang Sukawati itu adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengenal sopan santun dan tata hubungan dengan para bangsawan. Karena itu, rasa-rasanya darahnya telah mendidih di dalam jantungnya. Tetapi ia harus tetap menahan diri, agar ia tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan persoalan dengan para pengawal pesanggrahan itu dan para bebahu Kademangan. Justru karena itulah maka dadanya menjadi sesak karenanya.

Dengan demikian maka sejenak suasana menjadi tegang. Raden Rudira berdiri dengan tubuh gemetar. Sedang Sura dan para pengiring yang lain menjadi termangu-mangu, menunggu perintah Raden Rudira selanjutnya

Namun agaknya Raden Rudira masih berusaha untuk mempertahankan harga dirinya. Karena itu maka ia pun kemudian berkata kepada para pengawal, “Aku adalah keluarga Ramanda Pangeran Mangkubumi. Hubunganku dengan Ramanda Pangeran adalah jauh lebih dekat dari hubungan kalian yang hanya sekedar sebagai seorang abdi dengan tuannya. Karena itu, kalian pun harus menghormati aku sebagai keluarga dekat dari tuanmu”

“Tentu tuan. Kami akan tetap menghormati tuan dalam batas-batas yang diijinkan”

“Aku akan bermalam di pesanggrahan ini bersama pengiringku”

Para pengawal itu terkejut mendengar kata-kata itu. Sejenak mereka saling berpandangan.

Salah seorang dari mereka pun kemudian berkata, “Tuan, saat ini Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan ini. Karena itu, kami tidak dapat menentukan, apakah kami dibenarkan menerima tuan bermalam di pesanggrahan ini”

“Pesanggrahan ini adalah pesanggrahan Ramanda Pangeran. Pesanggrahan pamanku sendiri. Kenapa kalian membuat pertimbangan yang terlalu berbelit-belit”

“Bukan maksud kami. Tetapi kami tidak berani menentukan” pengawal itu menyahut, “Tetapi jika tuan memang menghendaki, tuan kami persilahkan bermalam di gandok sebelah kanan”

“Di gandok? Jadi aku, Raden Rudira, Putera Pangeran Ranakusuma harus bermalam di gandok?”

“Bukan maksud kami merendahkan tuan. Apalagi tuan adalah putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi kami tidak berani menerima tuan bermalam di Dalem Agung dari pesanggrahan ini, karena kami tidak mendapat wewenang untuk itu”

“Bodoh sekali. Kalian tidak lebih dari seekor kuda penarik pedati. Kalau kendali ditarik ke kiri, baru kau berbelok ke kiri. Kalau kendali ditarik kekanan baru kau berbelok kekanan”

“Maaf tuan. Demikianlah keadaan seorang abdi yang sebenarnya. Kami memang tidak lebih dari seekor kuda pedati. Karena itu kami tidak berani menerima tuan di Dalem Agung” pengawal itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi di gandok pun tersedia perlengkapan yang cukup Tuan akan dapat berbaring dengan tenang dan beristirahat secukupnya”

Dada Raden Rudira rasa-rasanya akan meledak. Timbul juga penyesalannya bahwa ia telah sampai ke padukuhan Sukawati. Ternyata orang-orang Sukawati. adalah orang-orang yang memang keras kepala. Seperti juga petani yang pernah ditemuinya di bulak Jati Sari.

Karena itu, maka untuk sejenak Raden Rudira menggeram. Hampir saja ia memaksa para pengawal itu. Persoalan yang dapat timbul kemudian dapat diserahkan kepada ayahnya, seandainya Ramanda Pangeran Mangkubumi menjadi marah. Kalau perlu ayahandanya dapat minta bantuan kepada Kumpeni. Kalau Pangeran Ranakusuma berkeberatan, maka ibunya pasti akan bersedia mengusahakannya, sehingga Pangeran Mangkubumi tidak akan dapat bertindak apapun juga atasnya.

Tetapi ketika ia melihat dua orang pengawal, Ki Demang Sukawati, dan dua orang bebahu Kademangan yang menyertai-nya, hatinya serasa bergetar. Satu dari para petani di Sukawati sudah dikenal kemampuannya. Apalagi kini ia berhadapan dengan lima orang, bukan saja petani biasa. Tetapi seorang dari mereka adalah Demang Sukawati, yang lain bebahunya dan dua orang pengawal pesanggrahan.

Tanpa disadarinya ia memandang para pengiringnya. Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Apakah para pengiringnya termasuk lima orang pengawal yang paling baik dari Ranakusuman itu mampu menghadapi orang-orang Sukawati.

Tetapi ketika terbayang olehnya orang-orang yang berdiri di sebelah menyebelah jalan sambil menyilangkan tangannya di dada, ia merasa ngeri sendiri. Orang-orang itu memang tidak ubahnya seperti kuda pedati. Mereka tidak akan mampu berpikir. Jika atasannya memerintahkannya untuk berkelahi, maka mereka pun akan berkelahi, siapapun yang akan menjadi lawannya. Jika ternyata mereka mempunyai kemampuan seperti petani yang ditemuinya di bulak Jati Sari itu. maka seluruh rombongannya akan mengalami bencana.

Dan ternyata betapapun Raden Rudira membusungkan dadanya, ia memang bukan seorang yang berjiwa besar. Karena itu, ia tidak memilih meninggalkan pesanggrahan itu meskipun harus bermalam di tengah hutan. Ternyata betapa dadanya menggelegak, ia berkata, “Hanya karena aku tidak mau berselisih dengan keluarga Ramanda Pangeran Mangkubumi sajalah aku bersedia menginap di gandok. Jika aku memaksa, maka akan dapat menimbulkan salah paham di antara kami dan Ramanda Pangeran Mangkubumi, meskipun seandainya Ramanda Pangeran Mangkubumi mengetahui persoalan yang sebenarnya, tentu kalianlah yang akan mengalami bencana. Baik bagi kalian sendiri, maupun bagi keluarga kalian”

Tidak seorang pun yang menjawab. Seolah-olah mereka membiarkan saja apa yang akan dikatakan oleh Raden Rudira. Namun ia dengan terpaksa telah bersedia menginap di gandok bersama para pengiringnya.

“Nah tuan” berkata Ki Demang kemudian, “Tuan telah mendapat- tempat yang baik untuk menginap. Karena itu, kami minta diri untuk kembali ke Kademangan”

“Tetapi aku memerlukan kau. Besok sejak pagi-pagi kau harus mengantarkan aku, mengelilingi padukuhanmu untuk mencari petani yang telah menghinakan kami”

“Baik tuan. Di pagi-pagi hari aku sudah ada di halaman pesanggrahan ini”

Rudira tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja Demang Sukawati yang kemudian minta diri kepada kedua pengawal pesanggrahan itu.

Demikianlah, maka Raden Rudira malam itu bersama para pengiringnya Di tempatkan di gandok sebelah kanan. Betapa sakit hati putera Pangeran Ranakusuma, tetapi ia tidak dapat memaksa untuk tinggal di Dalem Ageng pesanggrahan itu.

Ketika di malam hari Raden Rudira membentak-bentak Sura, yang baginya terasa sama sekali tidak dapat membantunya, maka seorang pelayan telah mendatanginya. Dengan hormatnya ia bertanya kepada Raden Rudira, “Apakah yang telah terjadi tuan? Agaknya tuan marah sekali kepada pengiring tuan itu”

“Jangan turut campur. Itu adalah persoalanku”

“Kami, para abdi di pesanggrahan ini terkejut dan bahkan ada yang menjadi ketakutan”

“Apa pedulimu”

“Sebaiknya tuan tidak membentak-bentak”

“Kau, kau memerintah aku ya? Aku adalah putera seorang Pangeran”

“Apalagi putera seorang Pangeran, sedang seorang Pangeran pun tidak berlaku seperti tuan. Pangeran Mangkubumi tidak pernah membentak-bentak seperti tuan”

“Aku tidak peduli”

“Pangeran Mangkubumi adalah seorang yang tenang. Sikapnya matang sebagai sikap seorang Pangeran. Tetapi ia adalah seorang yang ramah tidak dibuat-buat. Kalau ada di antara kami yang berbuat salah, maka Pangeran Mangkubumi memberikan nasehat kepada kami, agar kami tidak mengulangi kesalahan itu”

“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli”

Tetapi abdi pesanggrahan itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia berkata terus, “Namun dengan demikian sikapnya memiliki perbawa. Pandangannya tajam dan setiap katanya bernilai buat kami” ia berhenti sejenak, lalu, “Tuan. sebenarnya Pangeran Mangkubumi pun selalu berada di gandok. Tetapi gandok sebelah kiri. Jarang sekali Pangeran Mangkubumi berada di Dalem Agung, yang dengan demikian seakan-akan terpisah dari lingkungannya. Kami adalah sahabat-sahabat yang sangat dekat dengan Pangeran Mangkubumi meskipun kami adalah abdinya. Seakan-akan tidak ada batas di antara kami. orang-orang kecil yang sama sekali tidak mempunyai setitikpun darah keturunan dari kraton, dengan Pangeran Mangkubumi, keturunan pertama dari seorang raja, karena bagi Pangeran Mangkubumi, di antara kami memang tidak ada batasnya”

“Bohong, bohong. Kau berbohong”

“Aku berkata sebenarnya tuan. Itulah Pangeran Mangkubumi. Meskipun tuan adalah kemanakannya, tetapi ternyata bahwa kami lebih dekat dengan Pangeran itu daripada tuan. Bukan saja dekat dalam pengertian lahiriah, tetapi hati kami pun terlalu dekat pula”

“Bohong, bohong” ternyata Raden Rudira telah berteriak pula

Abdi pesanggrahan itu terkejut mendengar bentakan-bentakan yang semakin keras itu. Tetapi ia pun kemudian berusaha menguasai dirinya dan berkata lebih lanjut, “Apakah tuan akan mengenal Ramanda tuan itu lebih dekat?”

“Apa maksudmu?”

“Agar tuan tidak menyangka aku berbohong, maka marilah tuan melihat-melihat apa yang ada di dalam bilik Pangeran Mangkubumi di gandok sebelah kiri. Bukan di Dalem Ageng. Karena di Dalem Ageng tuan akan menjumpai kelengkapan pesanggrahan seorang Pangeran. Sebuah batu hitam beralaskan kulit harimau tempat duduk Pangeran Mangkubumi. Sebuah songsong bertangkai panjang. Beberapa buah tombak pusaka, meskipun bukan pusaka Pangeran Mangkubumi yang paling bertuah, dan beberapa kelengkapan yang lain. Tetapi berbeda sekali dengan isi gandok, yang justru merupakan tempat tinggal Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya apabila ia berada di Pesanggrahan ini”

Sejenak Raden Rudira menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Sura yang kosong. Kemudian beberapa orang pengiringnya.

“Apakah tuan ragu-ragu?” tiba-tiba pelayan itu bertanya.

“Ya” jawab Raden Rudira, “Apakah ada manfaatnya?”

“Tentu ada Raden. Agar tuan dapat mengenal Ramanda tuan dengan baik. Sebagai seorang kemanakan, tuan akan dapat lebih mendekat lagi kepadanya”

Raden Rudira masih tetap ragu-ragu. Meskipun sebenarnya ia memang kemenakannya, tetapi rasa-rasanya jarak antara Ranakusuman dan Mangkubumen memang terlampau jauh.

Tetapi ternyata abdi pesanggrahan itu mendesaknya, “Tuan. marilah. Tuan akan melihat Ramanda Pangeran Mangkubumi seutuhnya”

Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Tetapi ada juga keinginannya untuk melihat, apakah yang dimaksud oleh pelayan itu. Sehingga karena itu, maka ia pun kemudian menjawab, “Baik. Aku akan melihat gandok sebelah kiri” Lalu katanya kepada Sura, “Sura, ikuti aku”

Keduanya itu pun kemudian diantar oleh abdi pesanggrahan itu pergi ke gandok sebelah kiri Dengan ragu-ragu Raden Rudira mengikuti langkah pelayan itu. Ada juga timbul kecurigaannya menilik sikap dan sifat-sifat orang Sukawati yang seolah-olah disaput oleh rahasia yang baur.

Ketika mereka memasuki ruang depan dari gandok itu, dilihatnya perlengkapan yang sederhana. Lebih sederhana dari perlengkapan yang ada di gandok kanan. Di ruang itu terdapat sebuah amben bambu yang besar. “Sebuah bancik lampu dan geledeg bambu. Buat apa amben sebesar ini?” bertanya Raden Rudira.

“Ini adalah kehendak Pangeran Mangkubumi sendiri. Jika Pangeran Mangkubumi mengunjungi rumah-rumah orang miskin, maka, selalu ditemukannya sebuah amben sebesar ini, atau katakanlah satu-satunya kelengkapan rumah rakyat kecil adalah amben semacam ini. Ada juga yang memiliki geledeg bambu dan bancik dlupak minyak kelapa seperti ini”

“Huh” tiba-tiba Raden Rudira berdesah, “Apakah sebenarnya gunanya Ramanda Pangeran membuat suasana pesanggrahan serupa ini?”

“Pangeran Mangkubumi ternyata merasa tenteram berada di dalam suasana ini. Jauh lebih tenteram daripada berada di Dalem Ageng dalam suasana yang penuh ketegangan. Disini Pangeran Mangkubumi dapat duduk selonjor bersandar tiang atau dinding sambil minum air panas dan makan jagung rebus. Tetapi tidak di Dalem Ageng. Jika Pangeran Mangkubumi duduk diatas batu yang beralaskan kulit harimau itu dan dihadap oleh para bebahu Kademangan, suasananya memang menjadi kaku dan tegang. Karena itu Pangeran Mangkubumi lebih senang menerima Demang di Sukawati di ruangan ini sambil duduk seenaknya”

Raden Rudira tiba-tiba merasa dadanyalah yang menjadi tegang. Tingkah laku Pangeran Mangkubumi itu sama sekali tidak disukainya. Dengan demikian Pangeran itu telah merendahkan derajadnya sendiri. Derajad yang sebenarnya harus dipertahankan. Seandainya Raden Rudira itu juga seorang Pangeran, maka ia pasti akan berbuat sesuatu untuk menghentikan solah Pangeran Mangkubumi itu.

“Akibatnya dapat dilihat langsung” ia berkata di dalam hatinya, “ternyata orang-orang Sukawati tidak menaruh hormat lagi kepada para bangsawan. Mereka menganggap aku ini sederajad saja dengan mereka”

Dalam pada itu, maka pelayan pesanggrahan itu pun berkata, “Marilah tuan, silahkan tuan masuk ke ruang dalam. Ke bilik Pangeran Mangkubumi”

Raden Rudira menjadi ragu-ragu, sehingga pelayan itu berkata, “Ramanda tuan tidak akan marah. Tempat ini seperti banjar Kademangan saja. Semua orang boleh masuk. Tetapi tidak di Dalem Ageng. Hanya orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu saja orang boleh memasuki Dalem Ageng”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian mengikuti pelayan itu memasuki sebuah bilik di ruang dalam gandok sebelah kiri itu.

Tiba-tiba dada Raden Rudira merasa berdentangan ketika ia melihat beberapa potong pakaian tergantung di dinding. Dengan serta merta ia bertanya, “Pakaian siapakah itu?”

“Pangeran Mangkubumi” jawab pelayan itu.

“Bodoh kau, yang aku maksud adalah pakaian yang tergantung itu. Bukankah pakaian itu pakaian seorang petani. Tutup kepala yang besar dan ikat pinggang kulit kasar itu?”

“Ya. Itu adalah pakaian Pangeran Mangkubumi jika Pangeran ada disini”

“Bohong. Bohong” sekali lagi Rudira berteriak, “pakaian itu adalah pakaian seorang petani”

Pelayan itu menjadi heran. Jawabnya, “Ya, pakaian itu memang pakaian seorang petani” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa tuan harus berteriak-teriak. Para abdi pesanggrahan ini tidak biasa mendengar seseorang membentak-bentak seperti tuan. Kenapa seseorang harus membentak-bentak? Dan kenapa orang lain harus dibentak-bentak?”

“Diam, diam kau. Kau jangan membuat aku marah”

“Baiklah. Tetapi aku tidak biasa melayani seseorang seperti tuan. Jika tuan jemu menyaksikan ruangan Ramanda Pangeran, tuan aku persilahkan kembali ke bilik tuan di gandok sebelah kanan”

Rudira berdiri tegak seperti patung. Jawaban itu menyakitkan hatinya. Tetapi yang lebih mendebarkan jantungnya adalah pakaian yang tergantung di dinding itu.

“Apakah benar pakaian itu, pakaian Ramanda Pangeran?” pertanyaan itu telah mengetuk dinding jantungnya. Serasa semakin lama semakin keras.

Namun tiba-tiba sekali lagi ia berkata keras-keras, “Bohong sekali. Tentu tidak benar bahwa pakaian itu adalah pakaian Ramanda Pangeran”

Tetapi pelayan itu menyahut, “Terserahlah kepada tuan, apakah tuan mempercayainya atau tidak. Tetapi pakaian itu sebenarnyalah pakaian Pangeran Mangkubumi”

“Tetapi kenapa pakaian itu sekarang tidak dipakainya?”

“Tentu Pangeran Mangkubumi tidak hanya mempunyai pakaian sepengadeg itu”

Terasa sesuatu telah menggetarkan dada Raden Rudira. Seakan-akan ia pernah melihat pakaian seperti pakaian yang tergantung di dinding itu.

Karena itu. untuk melepaskan ketegangan yang tiba-tiba telah mencengkam dadanya, Raden Rudira berkata lantang, “Cukup. Aku sudah cukup melihat-melihat gandok ini. Aku tidak percaya bahwa Ramanda Pangeran Mangkubumi selalu berada di gandok ini. Pakaian ini pasti pakaian kalian, abdi-abdi pesanggrahan yang deksura dan tidak mengenal sopan santun. Kalau Ramanda Pangeran mengetahui, bahwa kalian telah berani berada di gandok ini seperti berada di rumah kakek dan nenekmu sendiri, maka Ramanda Pangeran pasti akan menjadi marah sekali. Kalian akan dipecat dan bahkan kalian akan mendapat hukuman”

“Tuan” sahut abdi itu, “Kalau Pangeran Mangkubumi tidak berkenan di hatinya, apakah mungkin, kami para abdi berani memasukkan amben sebesar itu ke dalam gandok ini meskipun Pangeran tidak ada di pesanggrahan?”

“Diam, diam. Jangan membual lagi, Aku tidak mau mendengarnya. Aku akan kembali ke gandok kanan. Ternyata pesanggrahan ini diliputi oleh suasana yang tidak menyenangkan apabila Ramanda sedang tidak berada disini. Kalian merasa, seolah-olah pesanggrahan ini adalah milikmu sendiri”

Abdi itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah jika tuan tidak percaya Marilah, aku persilahkan tuan kembali ke gandok sebelah kanan. Tetapi aku telah berkata sebenarnya, Terserahlah atas penilaian tuan”

Kemarahan Raden Rudira rasa-rasanya tidak lagi dapat ditahan. Hampir saja ia berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri. Untunglah, selagi ia berjuang menahan perasaannya, Sura telah menggamitnya. Dan sentuhan tangan Sura itu seakan-akan membuat Raden Rudira semakin menyadari keadaannya.

Demikianlah, maka Raden Rudira itu pun diantar kembali ke gandok sebelah kanan. Namun sepatah katapun Raden Rudira tidak berbicara lagi dengan pelayan pesanggrahan itu.

Tetapi dalam pada itu, di kepalanya sedang berkecamuk persoalan yang hampir tidak masuk akalnya. Pakaian yang tergantung itu, menurut keterangan pelayan pesanggrahan adalah pakaian Ramanda Pangeran Mangkubumi.

“Bohong. Orang itu mencoba membohongi aku”

Dan terasalah olehnya, bahwa pesanggrahan itu agaknya telah diliputi oleh suatu rahasia. Seperti di dalam kabut di waktu pagi,
maka yang dapat dilihatnya itu adalah sekedar bentuk yang samar-samar.

Ketika ia sudah duduk kembali di dalam bilik di gandok sebelah kanan, maka ia pun mulai mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Para pengiringnya yang berada di luar bilik itu pun mendengar langkah kakinya yang gelisah. Kadang-kadang Raden Rudira membanting dirinya, duduk di pembaringan. Namun kadang-kadang dengan tergesa-gesa ia meloncat berdiri dan berjalan hilir-mudik.

Akhirnya, dada Raden Rudira serasa tidak tahan lagi merendam perasaannya. Dengan serta-merta dipanggilnya Sura yang berada di luar biliknya

Dengan tergesa-gesa Sura melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati Raden Rudira yang berdiri di sudut biliknya.

“Sura” berkata Raden Rudira, “Apakah kau percaya kepada abdi pesanggrahan ini?”

Sura termangu-mangu sejenak. Terasa berat sekali untuk mengatakan yang sebenarnya tersirat di dalam hatinya.

“Apakah kau percaya he?”

“Maaf Raden” berkata Sura, “sebenarnyalah bahwa aku percaya kepada abdi pesanggrahan itu”

“Kau percaya he? Kau mempercayainya?”

Sura menundukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab dengan suara bergetar, “Ya tuan. Aku mempercayainya”

“Jadi kau percaya juga bahwa pakaian itu pakaian Ramanda Pangeran?”

“Ya Raden, “

“Gila. Kau juga sudah gila” Raden Rudira berhenti sejenak, lalu, “Aku merasa pernah melihat pakaian serupa itu. Tetapi tentu ada lebih dari seribu rakyat kecil yang mengenakan pakaian serupa itu. Kain lurik kasar, tutup kepala lebar dan baju lurik bergaris tebal”

“Tuan benar. Tuan memang pernah melihatnya?”

“Ya, dan sudah aku katakan, ada seribu orang yang mengena-kan pakaian serupa itu. Tentu para abdi di pesanggrahan ini pun sering mengenakan pakaian serupa itu”

“Apakah tuan ingat, dimana tuan melihat pakaian serupa itu yang terakhir kali?”

Meskipun Rudira tidak senang mendengar pertanyaan itu, tetapi ia mencoba mengingat-ingat. Namun ia menggelengkan kepalanya

“Tidak. Aku tidak mempunyai kesempatan mengingat-ingat pakaian petani kecil”

“Tetapi petani yang seorang ini agak lain Raden” sahut Sura kemudian.

“Maksudmu?”

“Apakah tuan ingat pada petani yang tuan cari?”

“Ya”

“Pakaiannya?”

Rudira mengingat-ingat sejenak. Lalu tiba-tiba ia berkata lantang, “Ya. Itulah yang kita cari. Orang yang mengenakan pakaian itu. Tentu ia orang Sukawati. Kita akan segera menemukannya. Bahkan mungkin ia orang pesanggrahan ini pula”

“Raden” berkata Sura kemudian, “Jika tuan menghubungkan pakaian itu dengan petani dari Sukawati yang tuan cari, dan ceritera tentang pakaian itu oleh abdi pesanggrahan ini, tuan pasti akan dapat mengambil kesimpulan”

“He?” tiba-tiba wajah Rudira menjadi pucat.

“Dan apakah tuan dapat membayangkan kembali bentuk petani dari Sukawati itu”

“Tidak. Tidak” tiba-tiba Rudira berteriak. Namun kemudian tubuhnya menjadi gemetar. Terbayang kembali petani yang dijumpainya di bulak Jati Sari. Petani yang bertubuh tegap kekar, dan mengenakan pakaian serupa yang tergantung di dinding itu. Atau bahkan pakaian itulah yang memang dipakainya.

“Orang itu bertubuh tinggi, besar, bermata tajam. Ia memiliki kemampuan yang hampir tidak terkatakan. Ia menguasai olah kanuragan yang sempurna. Aku merasakan langsung sentuhan tangannya yang membuat aku hampir kehilangan semua kekuatan” desis Sura.

“Cukup, cukup”

“Raden. Bayangkan wajah yang kotor oleh debu itu. Apakah Raden tidak mengenalnya? Aku tidak dapat segera mengenal waktu itu, tetapi setelah aku merenung justru sekarang aku mengetahui dan yakin . . . . . . . . . . . . . . “

Kata-kata Sura terputus, karena tiba-tiba saja Rudira telah menampar mulutnya, sambil berteriak, “Diam, diam kau”

Sura hanya terdorong selangkah surut. Meskipun tangan Rudira itu terasa sakit di pipinya, namun ia meneruskan, “Orang yang tuan cari sekarang itulah Pangeran Mangkubumi”

“Diam. diam, diam” Rudira berteriak-teriak, sehingga para pengiringnya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka mendengar percakapan di dalam bilik itu. Dan mereka pun menjadi berdebar pula karenanya.

Sura pun kemudian terdiam. tetapi rasa-rasanya dadanya sudah menjadi lapang. Yang tidak pernah berani dilakukan, telah dilakukannya. Selagi Rudira membentak-bentak, bahkan telah menampar pipinya, ia masih juga berbicara terus dan berhasil mengucapkan nama itu, ..”Pangeran Mangkubumi.”

Ternyata nama itu telah mempengaruhi setiap dada dari para pengiring Raden Rudira. Jika yang dikatakan Sura itu benar, apakah mungkin mereka akan meneruskan usaha mereka untuk menemukan petani yang deksura di bulak Jati Sari itu?.

Suasana yang tegang sejenak telah mencengkam semua orang di dalam iring-iringan Putera Pangeran Ranakusuma yang sedang dicengkam oleh kebimbangan. Kadang-kadang ia berusaha juga membayangkan wajah Petani yang dijumpainya di Jati Sari. Namun tiba-tiba ia menggeleng sambil menggeretakkan giginya, seolah-olah ia ingin menghalau pengakuan kenyataan yang di hadapinya.

“Tidak mungkin, tidak mungkin” tiba-tiba ia menggeram.

Sura tidak menyahut. Ia mengerti bahwa yang dimaksud oleh Raden Rudira adalah petani yang dijumpainya di Jati Sari itu. Namun Sura sama sekali tidak berbuat sesuatu. Tidak berkata apapun juga dan tidak bergerak dari tempatnya.

Dan tiba-tiba saja Raden Rudira membentaknya, “Kau berbohong Sura. Kau sudah menjadi pengecut, Karena kau melihat sikap orang-orang Sukawati, kau telah membuat bayangan khayal itu, agar aku mengurungkan niatku mencarinya dengan menjelajahi seluruh wilayah Sukawati.

Sura tidak menjawab. Kepalanya tertunduk dalam-dalam,

“Aku tidak percaya. Besok kita meneruskan usaha ini. Aku harus menemukannya dan membawanya ke istana Ranakusuman” geram Raden Rudira. Meskipun demikian terasa betapa ia sedang berusaha mengatasi gejolak di dalam hatinya sendiri.

Dalam pada itu Sura masih tetap diam. Ia masih saja menundukkan kepalanya. Ia sudah mengatakan apa yang tersirat di hatinya. Dan ia sudah puas karenanya, Apapun yang akan terjadi atas Raden Rudira dan pengiringnya termasuk dirinya sendiri tergantung sekali kepada sikap dan tanggapan Raden Rudira.

Sura terkejut ketika tiba-tiba saja Raden Rudira berteriak, “Pergi, pergi kau pengecut”

Sura membungkukkan badannya dalam-dalam. Kemudian ia pun melangkah surut sambil terbungkuk-bungkuk pula meninggalkan bilik Raden Rudira itu.

Di luar Sura segera dikerumuni oleh kawan-kawannya dan pengawal khusus dari Ranakusuman itu. Sambil berbisik-bisik mereka minta agar Sura menjelaskan, kenapa ia menyebut-nyebut nama Pangeran Mangkubumi.

“Itulah Pangeran Mangkubumi” berkata Sura kemudian, “Tidak seorang pun yang dapat menatap tajam pandangan matanya. Kekuatan yang ada di dalam dirinya bagaikan kekuatan seratus banteng ketaton, dan ilmu kanuragan yang dikuasainya, meliputi segala macam kemungkinan yang ada. Namun ternyata hatinya bersih sebersih mata air di lereng pegunungan”

“He, apakah kau sedang bermimpi?” bertanya salah seorang kawannya yang tahu benar tentang keadaan Sura selama ini.

“Aku sadar, bahwa aku adalah penjilat yang paling rendah di dalam Ranakusuman. Tetapi menghadapi Pangeran Mangkubumi aku mempunyai kesan tersendiri di antara para Pangeran yang. ada di Surakarta”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka mendesak, “Jadi menurut dugaanmu, petani yang kita jumpai di bulak Jati Sari itulah Pangeran Mangkubumi itu sendiri”

“Ya. Dan ini bukan sekedar bayangan ketakutan karena aku berada di tengah-tengah rakyat Sukawati yang aneh, yang diliputi oleh rahasia ini. Tetapi ketika aku melihat pakaian yang tergantung di gandok sebelah kiri, dan abdi pasanggrahan ini menyebut bahwa pakaian itu adalah pakaian Pangeran Mangkubumi, maka aku mulai merenungi wajah itu lagi. Wajah yang waktu itu kotor oleh keringat dan debu. Tetapi kalau kita berhasil membayangkan kembali sorot matanya, ialah Pangeran Mangkubumi itu”

“Ah” berkata salah seorang pengawal, “mungkin kau keliru. Apakah Pangeran Mangkubumi merendahkan dirinya berpakaian sebagai seorang petani dan berjalan menyusuri bulak Jati Sari”

“Memang hampir mustahil. Tetapi aku meyakininya”

“Aku kenal betul wajah Pangeran Mangkubumi” berkata salah seorang pengawal, “Jika kita berhasil menjumpainya, aku akan dapat mengenal”

“Tetapi dalam pakaian seorang petani yang kotor dan kumal, serta wajah yang basah oleh keringat dan noda-noda debu, wajah itu memang berubah, sehingga aku tidak segera dapat mengenalnya. Tetapi sekarang aku yakin. Yakin sekali” suara Sura menjadi semakin mantap.

Tidak seorang pun yang kemudian menyahut. Tetapi mereka mencoba membayangkan kembali wajah petani itu, kecuali para-pengawal yang saat itu tidak ikut bersama mereka.

“Seperti kita melihat bintang Bima Sakti” tiba-tiba salah seorang berdesis.

“Maksudmu?” bertanya Sura.

“Semakin tajam kita berangan-angan maka bentuk itu menjadi semakin jelas, seolah ada gambar Bima yang cemerlang di langit yang terjadi dari taburan bintang-bintang yang gemerlapan. Tetapi itu adalah gambaran kita sendiri. Kitalah yang membuat gambar Bima itu. Tidak di langit, tetapi di dalam angan-angan kita”

“O, jadi maksudmu demikian juga dengan petani dari Jati Sari itu?” sahut Sura, “Kita sendirilah yang membuat gambaran seolah-olah orang itu Pangeran Mangkubumi? Gambaran kitalah yang menyesuaikan bentuk orang itu dengan Pangeran Mangkubumi?”

“Itulah yang benar” tiba-tiba mereka terkejut. Ternyata Rudira mendengarkan percakapan mereka, dan tiba-tiba saja ia menyahut ketika ia sudah berdiri di ambang pintu biliknya.

Selangkah demi selangkah Raden Rudira berjalan mendekati para pengiringnya. Satu-satu dipandanginya wajah-wajah yang kemudian tertunduk. Lebih-lebih lagi Sura. Ia merasa bahwa kepercayaan Rudira kepadanya semakin menurun. Namun ada sesuatu yang melonjak di dalam hatinya. Kekaguman yang luar biasa kepada sikap Pangeran Mangkubumi. Di dalam angan-angannya terbayang kebesaran Pangeran itu Seakan-akan seisi Kademangan Sukawati ini berada di dalam genggamannya. Setiap orang mengarahkan kiblat pandangan hidupnya kepada Pangeran Mangkubumi. Setiap kali nama itu selalu diucapkan oleh siapapun juga di dalam Kademangan ini.

Tetapi jiwa Sura yang kerdil tidak cukup kuat untuk mengungkapkan perasaannya itu. Bagaimanapun juga telah hidup untuk bertahun-tahun lamanya sebagai seorang penjilat di dalam istana Pangeran Ranakusuma, sehingga untuk melepaskan diri dari jalan hidup yang sudah terlalu lama dihayatinya itu terlampau sulit baginya.

Dengan demikian, ketika Raden Rudira berdiri di hadapannya, kepalanya menjadi semakin tunduk. Ia sendiri tidak dapat mengatakannya, kekuatan apakah yang telah mendorongnya untuk menyatakan keyakinannya, bahwa orang itu adalah Pangeran Mangkubumi. Tetapi kini ia sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mempertahankan keyakinannya itu.

“Sura” berkata Raden Rudira kemudian, “Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba kau sudah berubah. Sudah bertahun-tahun kau berada di Ranakusuman. Selama ini kau adalah abdi yang paling setia dan kau memang memiliki kelebihan dari kawan-kawanmu. Tetapi tiba-tiba kini kau berkerut menjadi seorang pengecut”

Sura tidak menjawab, tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk, “Hanya karena kau sudah lama berada di Ranakusuman, maka aku tetap membiarkan kau pada kedudukanmu yang sekarang. Tetapi jika kau benar-benar sudah tidak bermanfaat lagi bagi kami, kau akan segera tersisih, karena orang lain cukup banyak yang memiliki syarat-syarat seperti yang kau miliki sekarang”

Sura masih tetap membeku. Dalam keadaan yang demikian rasa-rasanya ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan apapun juga selain menundukkan kepalanya. Sura dalam keadaan yang demikian, sama sekali tidak mencerminkan kekasaran yang keganasannya seperti apabila ia sedang berkelahi. Berkelahi untuk kepentingan tuannya yang selama ini telah melimpahkan pemberian kepadanya dan kepada keluarganya.

Tetapi adalah aneh sekali, bahwa di saat ia harus menunduk semakin dalam, ada perasaan lain yang menyelinap di dalam hatinya. Setiap kali perasaannya itu selalu dipengaruhi oleh nama yang bagaikan bergema tidak ada henti-hentinya di seluruh Kademangan Sukawati.

“Alangkah bedanya” katanya di dalam hati, “Aku dan orang-orang Sukawati. Aku seorang abdi dan orang-orang Sukawati itu juga seorang abdi seperti abdi pesanggrahan itu, tetapi rasa-rasanya mereka tidak harus selalu menundukkan kepalanya” Bahkan terbayang di rongga mata Sura itu. bahwa abdi Mangkubumen kadang-kadang sempat juga berkelakar dengan Pangeran Mangkubumi, memberikan pendapat dan pertimbang-an, bahkan sampai pada persoalan-persoalan yang penting dan pribadi.

“Ah tentu tidak” Sura berkata kepada dirinya sendiri, “itu pasti hanya gambaranku saja. Seperti aku menciptakan bentuk Bima Sakti di langit karena angan-anganku”

Sura terkejut ketika Rudira berkata, “Sura. Kau harus mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan yang lelah kau perbuat untuk mengembalikan kepercayaanku dan ayahanda Pangeran Ranakusuma kepadamu. Kalau kau tidak berhasil, maka nasibmu akan menjadi sangat jelek”

Tanpa disadarinya Sura mengangguk perlahan sambil menjawab, “Ya tuan. Aku akan mencoba memperbaikinya”

Namun suasana itu tiba-tiba telah dipecahkan oleh suara tertawa perlahan. Hampir berbareng setiap orang berpaling kearah suara itu. Ternyata salah seorang pengawal yang ikut serta di dalam iring-iringan itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya Raden Rudira.

“Pengecut itu” jawabnya sambil menunjuk Sura.

Wajah Sura menjadi merah padam. Tetapi ia tidak sempat menjawab ketika Rudira berkata, “Teruskan. Kau tentu mempunyai alasan untuk menyebutnya sebagai pengecut”

“Ia menjadi ketakutan melihat sepotong pakaian tergantung di dinding seperti ceriteranya sendiri”

“Kau benar” berkata Raden Rudira. Ketika ia berpaling memandang wajah Sura, dilihatnya orang itu menggertakkan giginya, “Jangan marah. Ia berkata sebenarnya. Aku memang sudah berpikir untuk memberikan kesempatan kepada orang lain. Tetapi sudah aku katakan, bahwa karena kau sudah terlalu lama berada di Ranakusuman, maka kau masih mendapat kesempatan jika kau berhasil memulihkan kepercayaanku kepadamu. Terutama selagi kita berada di dalam keadaan yang gawat sekarang ini”

Sura tidak menyahut. Sekali-sekali ia masih memandang pengawal itu dengan sudut matanya. Tetapi pengawal itu seolah-olah acuh tidak acuh saja.

Tanpa disadarinya Sura mulai menilai pengawal itu. Sudah lama ia mengenalnya. Tetapi ia tidak menduga sama sekali, bahwa pada suatu saat ia akan berbuat demikian.

Tubuhnya yang tinggi kekar dan dijalari oleh otot-otot yang kuat, membayangkan keadaan orang itu. Tidak jauh badannya dengan dirinya sendiri. Orang itu pun dapat juga disebut raksasa di Ranakusuman. Dan agaknya orang itu sengaja memancing persoalan di dalam saat yang menguntungkan itu baginya. Arahnya dapat jelas dilihat oleh Sura, bahwa orang itu ingin menggantikan kedudukannya.

Tetapi di dalam hal yang demikian, Sura adalah orang yang kasar, dan bahkan hampir liar. Karena itulah maka jantungnya segera dibakar oleh dendam yang menyala di dadanya.

“Kalau ada kesempatan, aku akan menyelesaikan masalah ini” katanya di dalam hati. Tetapi Sura pun sadar, bahwa orang itu pasti tahu juga akibat yang bakal dihadapinya. Dan agaknya orang itu pun sama sekali tidak takut.

“Memang salah seorang dari kami harus pergi” berkata Sura di dalam hatinya.

Tetapi sementara itu, pengawal yang bertubuh raksasa seperti Sura itu pun berkata di dalam hatinya, “Kau sudah terlalu lama berkecimpung dalam genangan pemberian yang berlimpah-limpah dari Pangeran Ranakusuma dan Raden Rudira hanya karena kau membasahi tanganmu dengan darah. Aku pun dapat berbuat seperti kau, dan salah seorang di antara kita memang harus pergi dari Ranakusuman. Di Ranakusuman cukup ada seorang raksasa saja, dan yang seorang harus pergi”

Tetapi keduanya menyimpan masalah itu di dalam hati mereka. Kini mereka harus mendengarkan Rudira berkata, “Besok kita teruskan usaha ini. Kita tidak menghiraukan kicau abdi pesanggrahan ini tentang pakaian yang tergantung di dinding gandok kiri itu”

“Kita sudah siap” berkata pengawal yang bertubuh raksasa itu, sementara Sura hanya menganggukkan kepalanya saja.

“Sekarang kalian boleh beristirahat”

Ketika Rudira masuk ke dalam bilik yang disediakan olehnya, Sura dan pengawal yang bertubuh raksasa itu saling memandang untuk, beberapa saat. Namun mereka sama sekali tidak berbicara apa-apa, karena beberapa orang yang mengerti akan keadaan itu segera berusaha mengalihkan perhatian mereka berdua.

Sura yang hatinya sedang dibelit oleh berbagai persoalan itu sama sekali tidak menghiraukan lagi kawan-kawannya. Ia langsung membaringkan dirinya diatas tikar di sudut ruangan. Sedang beberapa orang yang lain masih juga duduk sambil berbicara.

“Suasana menjadi panas” berkata salah seorang pengiring Rudira, “pengawal itu terlampau bernafsu. Sebenarnya ia dapat mencari kesempatan lain”

“Akibatnya tentu tidak menyenangkan bagi keduanya” sahut yang lain. Tetapi suara mereka seakan-akan hanya dapat mereka dengar sendiri. Mereka menganggap bahwa para pengawal pasti berada di pihak raksasa itu.

Tetapi ternyata bahwa kawan pengawal yang bertubuh raksasa itu pun kecewa terhadap sikap itu. Namun demikian mereka tidak berniat untuk mencampurinya. Meskipun pada umumnya mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan, namun mereka segan untuk bertengkar dengan kawan sendiri di pihak manapun mereka akan berdiri.

Demikianlah maka malam itu mereka membaringkan diri masing-masing dengan ketegangan yang menyesak di dalam dada. Bukan saja karena kawan-kawan mereka bertengkar, tetapi juga karena petani yang mengandung rahasia itu.

Dengan demikian, maka hampir tidak seorang pun yang dapat tidur nyenyak. Sura yang tampaknya berbaring diam di sudut ruangan ternyata hatinya bergolak semakin dahsyat. Semakin tenang keadaan ruangan itu, terasa hatinya menjadi semakin sakit mengingat sikap pengawal yang bertubuh raksasa itu.

“Mandra memang sudah gila” katanya di dalam hati, “Aku tidak menyangka bahwa ia begitu bernafsu dan tanpa malu-malu berusaha merebut kedudukan” tiba-tiba saja Sura menggeram, “Aku tidak peduli. Tetapi aku pasti akan membuat perhitungan, Salah seorang dari kami memang harus pergi”

Namun ternyata bahwa Rudira pun tidak dapat memejamkan matanya. Pakaian yang tergantung di gandok sebelah kiri membuat hatinya menjadi bingung. Kadang-kadang ia mempercayainya, bahwa pakaian Pangeran Mangkubumi. Dan petani yang dijumpainya di bulak Jati Sari itu benar-benar Pangeran Mangkubumi pula.

“Tidak mungkin. Tidak mungkin” setiap kali ia berusaha mengusir perasaan itu, “hanya seorang Pangeran yang gila sajalah yang berbuat demikian. Dan sudah barang tentu tidak dengan Ramanda Pangeran Mangkubumi”

Namun demikian, perasaan yang bergolak tidak juga dapat ditenangkannya, sehingga Raden Rudira menyadari keadaannya ketika ia mendengar kokok ayam jantan yang penghabisan.

“Fajar” ia berdesis.

Namun ternyata fajar itu telah mengurangi ketegangan di dalam dada Rudira. Ia lebih baik berpacu diatas punggung kuda daripada berada di dalam bilik yang sempit tanpa dapat memejamkan matanya. Sehingga karena itu, maka ia pun segera pergi keluar biliknya. Dilihatnya beberapa orang pengiringnya masih tertidur meskipun dengan gelisah, namun Sura yang berada di sudut ternyata telah duduk bersandar dinding.

“Kau sudah bangun?” bertanya Raden Rudira.

“Ya tuan”

“Kau pasti tidak dapat tidur sama sekali”

“Raden benar” jawabnya.

“Kemarilah”

Sura pun mendekat. Dilangkahinya saja kawan-kawannya yang masih tertidur diatas tikar yang dibentangkan di lantai gandok itu.

“Cari pelayan pasanggrahan itu. Suruhlah mereka menyediakan air panas. Aku akan mandi”

Sura termangu-mangu sejenak. Pesanggrahan ini adalah pesanggrahan Pangeran Mangkubumi Pelayan-pelayan itu adalah pelayan Pangeran Mangkubumi. Apakah mereka tidak menjadi sakit hati apabila Raden Rudira memberikan perintah semena-mena.

“He, kenapa kau diam saja? Cepat. Suruh pelayan-pelayan itu menyediakan air panas”

“Baik, baik tuan. Aku akan mencarinya”

Sura pun kemudian keluar dari gandok sebelah kanan. Langit menjadi semakin terang oleh cahaya merah yang semakin cerah.

Tetapi hati Sura justru menjadi semakin gelap. Ia tidak mengerti, kenapa kini ia dihinggapi oleh sikap ragu-ragu. Sebagai seorang hamba yang setia, didukung oleh sifat-sifatnya yang kasar, biasanya Sura menjalankan tugas yang diberikan kepadanya tanpa berpikir.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian rasa-rasanya ia mulai menemukan dirinya kembali setelah untuk waktu yang lama ia terbenam dalam sikap yang rendah. Menjilat.

“Ternyata selama ini aku telah kehilangan otakku” berkata Sura kepada diri sendiri, “Aku tidak pernah sempat berpikir. Ternyata aku memang tidak lebih dari seekor kuda penarik pedati seperti yang dikatakan oleh abdi pesanggrahan ini kemarin. Meskipun ia mengatakan tentang dirinya sendiri, namun akulah yang lebih dungu dari padanya”

Namun demikian, tidak mudah untuk merubah sikap dengan tiba-tiba. Demikian juga Sura yang perlahan-lahan dirayapi oleh ketidak puasan terhadap dirinya sendiri itu. tidak dapat berbuat lain dari pada mematuhi perintah yang diterimanya. Tetapi ia kini tidak dapat berbuat tanpa berpikir, justru karena ia sudah mulai berpikir.

Dengan ragu-ragu Sura pergi kebagian belakang dari pesanggrahan itu. Dilihatnya di dapur api sudah menyala. Ketika ia menjengukkan kepalanya, dilihatnya dua orang perempuan sedang sibuk memanasi air dan menanak nasi, sambil menuang air untuk mengisi jambangan pencuci alat-alat dapur.

Sejenak Sura berdiri termangu-mangu. Apakah ia akan berbuat seperti yang selalu dilakukannya selama ini? Berbuat tanpa berpikir? Ia dapat saja menyampaikan perintah Raden Rudira itu. Tetapi itu tidak benar menurut perasaannya kini. Ia sudah mendapat kesempatan untuk bermalam. Tetapi apakah ia masih harus memerintah para pelayan, menyediakan air panas untuk mandi.

Ternyata ada sesuatu yang menahan Sura. sehingga ia tidak sampai hati menyampaikan perintah yang semena-mena itu. Tetapi ia juga tidak dapat menolak perintah Raden Rudira untuk menyediakan air panas. Karena itu, maka ia berusaha untuk menemukan jalan.

Kedua perempuan yang ada di dapur itu terkejut melihat Sura yang kemudian muncul di pintu. Tetapi Sura segera mengangguk sambil tertawa kecil, “Eh maaf. Mungkin aku telah mengejutkan kalian”

Kedua perempuan itu saling berpandangan sejenak. Tetapi tampak kecemasan di wajahnya.

“Aku adalah salah seorang pengawal Raden Rudira yang bermalam di gandok”

“O” kedua perempuan itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka pun bertanya, “Apakah yang kau perlukan sekarang?”

“Aku mendapat perintah agar menyediakan air panas untuk mandi. Apakah aku dapat menumpang merebus air?”

“O” sahut salah seorang dari mereka, “Aku sedang merebus air”

“Tetapi bukankah air itu untuk minum?”

“Tetapi air itu cukup banyak. Kalau masih kurang, aku dapat menambahnya. Aku akan mengambil secukupnya untuk membuat air minum. Yang lain dapat kau ambil untuk mandi tamu pesanggrahan ini”

Sura menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia masih berpura-pura berkata, “Tetapi itu akan merepotkan kalian”

“Tidak. Tidak mengapa, Kami akan menyediakannya”

Ternyata hal itu merupakan suatu pengalaman baru bagi Sura. Ia mendapatkan apa yang dikehendaki tanpa membentak dan mengancam.

“Beberapa hari yang lalu, aku tentu bersikap lain dari sekarang” berkata Sura di dalam hatinya, “barangkali tiga hari yang lalu, jika aku mendapat perintah itu, aku akan masuk ke dapur ini sambil bertolak pinggang dan berteriak, “Sediakan air untuk tuanku”

Sura menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian ia memang akan mendapat air. Tetapi ternyata bahwa dengan cara yang lain ia mendapatkan air panas itu juga. Bahkan sama sekali tanpa menyakiti hati orang lain. Mereka membantunya dengan senang hati dan dengan wajah yang terang, tanpa perasaan takut dan tegang.

“Bodoh sekali” berkata Sura di dalam hatinya, “Kenapa baru sekarang aku tahu”

Sura terkejut ketika salah seorang perempuan itu berkata, “Silahkan kau menunggu saja. Tidak pantas kau berada di dapur, Selain kau seorang laki-laki, kau adalah tamu-tamu kami”

“Terima kasih. Terima kasih” sahut Sura terbata-bata, “Aku akan menunggu di luar”

Sura pun melangkah perlahan-lahan keluar dapur. Tanpa disadarinya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata bahwa apa yang pernah dilakukan selama ini, membentak-bentak, mengancam, bahkan dengan kekerasan badaniah, adalah suatu kebodohan dan merusak hubungan baik antar manusia.

Demikianlah dengan kewajaran hubungan dan tanpa menimbulkan persoalan apapun. Sura berhasil memenuhi perintah Raden Rudira, dengan menyediakan air panas di jambangan pakiwan. Bagi Sura, pengalaman yang kecil itu semakin membuka hatinya, bahwa sebenarnyalah selama ini ia tidak mempergunakan otaknya Ia telah dibutakan oleh sikap menjilat dan limpahan orang-orang dari keluarga Ranakusuman.

Tanpa disadarinya, bulu-bulu kuduk raksasa itu berdiri. Terbayang keluarga Ranakusuman yang seorang demi seorang telah dilemparkan keluar. Ia memegang peranan yang cukup penting, dalam hal yang kini terasa olehnya, terlampau kasar. Bahkan sekilas terbayang pula olehnya, Raden Juwiring yang terpaksa meninggalkan istana Ranakusuman dengan seribu macam alasan, dan berada di padepokan Jati Aking di Jati Sari.

“Hampir saja aku mencelakainya” gumamnya, “untunglah seorang petani yang penuh dengan rahasia itu menyelamatkan-nya”

Terlintas pula tandang seorang anak muda yang mengagumkannya. Dengan tanpa ragu-ragu anak itu menyerangnya, sehingga untuk sesaat ia tidak berdaya.

“Luar biasa” Sura berdesis, “mereka akan menjadi anak-anak muda yang perkasa kelak. Jauh lebih perkasa dari Raden Rudira”

Sura yang sedang merenung itu terperanjat ketika Raden Rudira memanggilnya dari dalam biliknya di gandok. Dengan tergesa-gesa ia meloncat berdiri dan berlari-lari kecil menghampirinya. Ternyata bahwa ia tidak dapat dengan serta-merta berbuat lain dari perbuatan seorang penjilat.

“Suruhlah semua pengiring bersiap. Kemudian panggillah Demang di Sukawati. Aku akan segera berangkat mengelilingi padukuhan ini untuk mencari orang yang telah merusak sendi tata hubungan antara orang-orang kecil dan para bangsawan itu”

Sura menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik, baik tuan” Tetapi masih ada yang agaknya tersangkut di kerongkongannya. Namun ketika Raden Rudira membentaknya, sambil terbungkuk-bungkuk Sura menyahutnya.

“Ya, ya tuan. Aku akan melakukan”

Sikap Sura itu ternyata tidak lepas dari sorotan mata Raden Rudira. Ia melihat suatu kelainan, meskipun samar-samar. Kadang-kadang Sura bersikap biasa sebagai seorang abdi yang setia. Tetapi kadang-kadang matanya memancarkan sinar yang aneh, yang tidak dikenalnya selama ini.

“Kenapa raksasa itu benar-benar menjadi ketakutan di Sukawati dan sekitarnya ini?” pertanyaan itulah yang selalu menyentuh hati Raden Rudira. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam hati Sura telah berkembang suatu sikap yang lain, meskipun masih terlampau dalam diliputi oleh ketebalan kabut yang selama ini membungkus isi dadanya.

Sejenak kemudian maka para pengiring itu pun sudah siap. Dua orang abdi pasanggrahan sempat juga menghidangkan minuman untuk Raden Rudira dan para pengiringnya.

“Panggil Demang yang malas itu” berkata Raden Rudira kemudian, “matahari akan menjadi semakin tinggi, dan aku masih saja berada disini”

Tetapi sebelum Sura pergi ke Kademangan, muncullah dua orang bebahu Kademangan di halaman pesanggrahan. Mereka langsung menemui Raden Rudira sambil berkata, “Raden, kami berdua mendapat pesan dari Ki Demang, bahwa Raden bersama para pengiring diminta untuk datang ke Kademangan. Ki Demang ingin menjamu makan, karena agaknya Raden bersama para pengiring masih belum makan sejak kemarin malam”

Sejak Raden Rudira termenung. Secercah kegembiraan membayang di setiap wajah yang memang sudah merasa lapar. Namun tiba-tiba Raden Rudira membentak, “Kenapa Ki Demang tidak datang kemari sendiri?”

Kedua bebahu Kademangan Sukawati itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka saling berpandangan. Salah seorang dari mereka pun kemudian menjawab, “Maaf Raden. Ki Demang sedang sibuk sekali menyiapkan jamuan bagi Raden dan para pengiring. Ki Demang tidak dapat mempercayakannya kepada para pelayan, agar jamuan itu tidak mengecewakan Raden”

Raden Rudira mengangguk-angguk. Sebelum ia menjawab dipandanginya setiap wajah para pengiringnya. Agaknya mereka pun mengharap undangan itu dapat diterima, karena sebenarnyalah mereka menjadi lapar. Jika mereka berburu, maka semalam mereka pasti sudah makan dengan daging hasil buruan mereka. Tetapi ternyata semalam mereka terbaring dengan gelisah karena di antara kawan-kawan mereka sendiri telah terjadi perselisihan

“Baiklah” berkata Rudira kemudian, “Kami akan pergi ke Kademangan sebentar lagi. Suruhlah Ki Demang bersiap, bahwa kita akan segera pergi mencari petani yang telah berani melanggar tata kesopanan terhadap para bangsawan di bulak Jati Sari. Kau dengar”

“Ya, ya Raden. Kami akan menyampaikannya kepada Ki Demang di Sukawati”

“Pergilah mendahului. Kami akan mempersiapkan segala sesuatu yang perlu bagi kami. Kami akan langsung pergi mencari petani itu tanpa kembali ke pasanggrahan ini lagi”

“Baik Raden. Kami akan mendahului”

Raden Rudira memandang kedua bebahu yang meninggalkan pesanggrahan itu dengan kerut-merut dikeningnya. Sejenak kemudian, kedua orang itu pun segera lenyap di balik regol, disusul oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari kencang.

“Mereka berkuda” berkata Raden Rudira kepada diri sendiri.

Demikianlah maka Raden Rudira bersama pengiringnya, segera mempersiapkan diri masing-masing. Mereka akan segera meninggalkan pesanggrahan itu dengan membawa semua bekal mereka, karena mereka tidak akan kembali lagi ke pesanggrahan itu.

“Sura” Panggil Raden Rudira kemudian, “Panggil para pelayan, Beritahukan, bahwa aku akan pergi”

“Baik, baik Raden” sahut Sura. Tetapi ia masih ragu-ragu, Apakah ia harus memberitahukan kepada para pelayan, atau sebaiknya ia minta diri.

“Kenapa kau masih berdiri disitu?” bentak Raden Rudira.

“O” Sura menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Ia pun kemudian pergi ke belakang mencari para pelayan.

Tetapi pengalamannya telah membuatnya menjadi seorang yang mempunyai pertimbangan atas tingkah lakunya. Ketika ia bertemu para pelayan, ia sama sekali tidak sekedar memberitahu-kan bahwa Raden Rudira akan meninggalkan pesanggrahan, tetapi katanya kepada pelayan itu, “Ki Sanak, Raden Rudira akan minta diri. Kami akan pergi ke Kademangan, tetapi selanjutnya kami akan langsung meninggalkan Sukawati tanpa singgah ke pesanggrahan ini”

“O” pelayan itu terkejut, “begitu tergesa-gesa? Kami akan menyiapkan makan buat kalian. Kami harap kalian bersabar sebentar”

“Terima kasih. Terima kasih sekali. Kami terpaksa sekali tidak dapat menerima kebaikan hati Ki Sanak. Ki Demang agaknya menduga bahwa tidak ada persediaan di pasanggrahan ini. Karena itu Ki Demang sudah menyediakan makan buat kami. Baru saja dua orang pesuruhnya datang menjemput kami”

“Jadi?”

“Kami minta maaf”

“Lalu buat apa nasi sebanyak ini?”

“Kami sudah terlanjur menyanggupi Ki Demang di Sukawati. Aku kira nilainya sama saja buat kami. Kami telah menerima kebaikan hati rakyat Sukawati”

Pelayan itu tampak kecewa sekali. Tetapi ia pun kemudian berdesah, “Apaboleh buat”

“Lain kali kami akan datang. Dan lain kali kami akan menolak pemberian siapapun juga. Kini kami dihadapkan pada pilihan yang sama-sama berat”

Pelayan itu mengangguk-angguk.

“Sekarang, kami akan minta diri. Raden Rudira dan para pengiringnya yang lain pun akan minta diri pula”

Pelayan itu menganguk-angguk. Dengan tergesa-gesa ia membenahi pakaiannya. Kemudian diajaknya seorang kawannya menyertainya ke gandok sebelah kanan.

Raden Rudira hampir tidak sabar menunggu. Ketika ia melihat Sura membawa dua orang pelayan mendekatinya, dari kejauhan Raden Rudira sudah berkata, “Kami tergesa-gesa”

Kedua pelayan itu pun berjalan semakin cepat. Sambil membungkukkan kepala mereka berhenti beberapa langkah di hadapan Rudira. Salah seorang dari mereka berkata, “Kami mengucapkan selamat jalan Raden. Sebenarnya kami sedang menyiapkan makan buat Raden dan para pengiring”

“Aku tidak sempat” jawab Raden Rudira, “Aku akan pergi ke Kademangan. Selanjutnya aku akan mencari orang yang telah menyakitkan hatiku itu”

Pelayan itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata sekali lagi, “Kami mengucapkan selamat jalan”

Raden Rudira menjadi acuh tidak acuh. Bahkan ia merasa bahwa ternyata para pelayan itu kini telah berubah sikap. Mereka terpaksa menghormatinya sebagaimana seharusnya menghor-mati seorang bangsawan.

“Aku akan pergi”

“Silahkan tuan. Kami sangat berterima kasih bahwa tuan sudi singgah ke pasanggrahan ini”

“Aku singgah di rumah pamanku, tidak di rumah kakekmu, “ jawab Raden Rudira.

Kedua pelayan itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak mengucapkan sepatah katapun.

Dan Raden Rudira tidak menghiraukannya lagi. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memang seorang bangsawan yang seharusnya dihormati. Tingkah laku para pelayan itu kemarin sangat menyakitkan hatinya. Kini agaknya mereka menyadari, dan menempatkan diri mereka pada keadaan yang seharusnya bagi seorang pelayan.

“Bawa kudaku kemari” tiba-tiba saja Raden Rudira berteriak. Dengan tergesa-gesa seorang pengiring berlari-lari sambil membawa kuda Raden Rudira.

Tetapi Raden Rudira itu menjadi sangat terkejut ketika pelayan yang disangkanya menyesali tingkah lakunya kemarin itu berkata, “Tuan, maaf. Tuan tidak dapat menaiki kuda tuan di halaman pesanggrahan ini”

“He” wajah Raden Rudira tiba-tiba menjadi merah padam. Ternyata ia salah sangka. Ternyata pelayan-pelayan pesanggrah-an ini masih saja seperti kemarin. Deksura dan tidak sopan sama sekali.

Namun dengan demikian Raden Rudira justru terdiam. Hanya giginya sajalah yang terdengar gemeretak, serta wajahnya yang semakin merah.

Sura berdiri tegak seperti patung. Kini tanggapannya atas sikap Raden Rudira menjadi lain. Seakan-akan ia melihat seorang bangsawan yang lain dari yang selalu diikutinya. Namun ia pun kemudian menyadari, bahwa bukan Raden Rudira lah yang berubah, tetapi tanggapannya atas Raden Rudira itu.

Kedua pelayan itu pun menundukkan wajah-wajah mereka. Mereka tidak mau memandang warna-warna merah di wajah Raden Rudira. Namun demikian mereka sama sekali tidak menarik keterangannya itu.

Sejenak kemudian, barulah Raden Rudira dapat berbicara, “Jadi kalian masih tetap tidak menyadari kebodohan kalian?”

Kedua pelayan itu terheran-heran. Sejenak mereka saling berpandangan.

“Tuan” berkata salah seorang dari mereka kemudian, “Kami hanyalah abdi-abdi pesanggrahan ini. Kami hanya sekedar melakukan tugas kami. Demikianlah yang diperintahkan kepada kami. Tidak seorang pun yang boleh naik kuda di halaman, selain Pangeran Mangkubumi”

“Tetapi aku adalah putera Pangeran Ranakusuma”

“Tidak seorang pun yang diperbolehkan, siapapun orang itu”

“Gila. Kau-bohong. Seandainya Ramanda, Pangeran ada, maka justru Ramanda Pangeran akan menyuruh aku naik diatas punggung kuda bersama semua pengiringku”

“Mungkin, jika itu dikehendaki oleh Pangeran Mangkubumi sendiri. Tetapi tentu kami tidak berani melanggar perintah yang pernah kami terima”

“Aku tidak peduli. Aku tidak percaya bahwa Ramanda Pangeran benar-benar membuat peraturan itu. Itu hanya karena kalian ingin menunjukkan, bahwa kalian berkuasa disini apabila Ramanda Pangeran tidak ada. Sekali-sekali abdi yang paling rendah pun ingin menunjukkan kekuasaannya atas orang yang lebih luhur derajadnya. Tetapi aku tidak peduli, Aku tidak mau mendengar peraturanmu yang cengeng itu”

“Maaf Raden” berkata pelayan itu, “Kami sama sekali tidak berusaha mengada-ada. Apakah keuntungan kami dengan membuat peraturan-peraturan yang berbelit-belit itu, yang hanya akan mempersulit diri kami sendiri. Tetapi kami mohon dengan hormat, tuan dapat mengerti”

Darah Raden Rudira mendidih sampai ke ubun-ubun. Tanpa disadarinya ia mengedarkan tatapan matanya. Namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya, dua orang penjaga regol depan telah menutup pintu. Keduanya kemudian berdiri sambil memeluk tombak-tombak panjang mereka. Di sudut halaman ia melihat seorang, juru taman berdiri bersandar dinding Sapu lidinya telah disandarkannya pada dinding halaman. Sedang di tempat lain dilihatnya dua orang abdi pesanggrahan itu juga berdiri sambil menyilang-kan tangannya di dada.

“Gila” Raden Rudira menggeram, “Aku akan menyampaikan perlakuan gila-gilaan ini kepada Ramanda Pangeran Mangku-bumi. Kalian akan diusir dari pesanggrahan ini”

Tidak seorang pun yang menjawab. Wajah kedua pelayan yang ramah itu, tiba-tiba saja telah menjadi buram.

Raden Rudira pun kemudian melemparkan ujung kendali kudanya kepada pengiringnya yang masih berdiri di sampingnya. Dengan tanpa berbicara separah katapun ia berjalan dengan tergesa-gesa melintasi halaman yang luas menuju ke regol halaman.

Hatinya menjadi semakin panas, ketika kedua penjaga regol itu tanpa diperintahnya telah membuka pintu. Demikian Raden Rudira melangkah di hadapan mereka, maka mereka pun menundukkan kepala mereka dalam-dalam.

Tetapi Raden Rudira sama sekali tidak berpaling. Ia berhenti sejenak menunggu kudanya. Kemudian dengan menengadahkan dadanya ia meloncat ke punggung kudanya dan berpacu cepat-cepat meninggalkan pesanggrahan yang telah membuat hatinya menjadi pedih.

Para pengiringnya pun kemudian berloncatan naik ke punggung kuda masing-masing. Merekapun segera berpacu mengikuti Raden Rudira yang tanpa! berpaling menjauhi regol itu.

Namun dalam pada itu Sura masih sempat berkata kepada kedua penjaga regol itu, “Terima kasih. Selama kami berada di pesanggrahan kami mendapat pelayanan yang menyenangkan sekali.

Para penjaga regol itu tidak menyahut. Namun keduanya tersenyum sambil mengangguk.

Sura terkejut ketika ia mendengar namanya dipanggil oleh Raden Rudira. Dengan dada yang berdebar-debar ia mempercepat langkah kudanya menyusul Raden Rudira yang berada di paling depan.

“Kau tahu jalan ke Kademangan? Aku tidak sempat mengingat-ingat lagi jalan yang kita tempuh kemarin”

Ketika Sura telah berada di sisi Raden Rudira, maka ia pun berkata, “Raden, apakah kita akan mengikuti jalan yang kemarin, atau kita akan mengambil jalan lain yang lebih dekat?”

“Apakah ada jalan lain?”

“Ada Raden”

“Apakah jalan itu lebih baik atau justru lebih jelek?”

“Aku sudah lama tidak melalui jalan itu. Aku tidak tahu apakah jalan itu sekarang menjadi lebih jelek atau masih seperti dahulu”

Raden Rudira berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia berkata, “Kita lewati jalan yang pasti. Jalan yang kemarin. Mungkin jalan yang kau kenal itu sekarang sudah dibongkar atau sudah menjadi pategalan”

Sura menarik nafas. Tetapi agaknya itu memang lebih baik. Jika jalan yang akan ditunjukkannya itu jalan yang lebih baik, maka Rudira pasti akan marah dan merasa bahwa ia telah dipersulit oleh Demang Sukawati.

Demikianlah maka mereka menempuh jalan yang semalam dilalui. Meskipun terasa sulit, tetapi di siang hari mereka dapat memilih sisi yang baik untuk dilalui.

Namun semakin dekat dengan regol Kademangan. dada Raden Rudira menjadi semakin berdebar-debar. Masih terngiang kata-kata Ki Demang ketika ia dipaksa turun dari kudanya, ketika ia sampai di kuncung pendapa Kademangan Sukawati.

“Seorang Pangeran pun akan turun dari kudanya” berkata Demang Sukawati itu. Dan Pangeran yang dikatakannya itu adalah Pangeran Mangkubumi.

“Mangkubumi, Mangkubumi” Rudira menggeram di dalam hati, “setiap orang menyebut namanya, tingkah lakunya yang aneh dan melanggar sendi-sendi tata pergaulan di Surakarta, hubungan antara seorang bangsawan dan rakyat kecil, akan menggoncangkan tata kehidupan di Surakarta”

Tetapi terasa juga kengerian merayap di hatinya. Ia merasa berada di daerah asing yang penuh dengan rahasia. Di perjalanan ke Kademangan ini pun ia menjumpai beberapa orang yang berdiri di sebelah menyebelah jalan dengan tangan bersilang di dada. Meskipun mereka melihat Raden Rudira lewat di hadapan mereka, maka mereka hampir tidak memberikan penghormatan apapun juga, selain mengangguk betapapun dalamnya.

“Daerah ini harus dimusnakan” tiba-tiba saja Raden Rudira menggeram di dalam hatinya, “Surakarta harus mengetahui apa yang telah terjadi disini. Kumpeni juga pantas diberi tahu. Mungkin aku memerlukan bantuan mereka.

Raden Rudira menyadari angan-angannya ketika ia sudah berada di regol Kademangan. Ia melihat Ki Demang dan beberapa orang bebahu Kademangan sudah siap menyambutnya.

“Gila” desis Raden Rudira, “kadang-kadang mereka bersikap sangat sopan. Tetapi kadang-kadang sikap mereka sangat deksura”

Namun dengan demikian, terasa bahwa rahasia yang menyaput padukuhan ini menjadi semakin tebal.

Meskipun Raden Rudira berusaha menengadahkan kepalanya, tetapi terasa juga dadanya bergetar semakin cepat. Ki Demang di Sukawati yang tampaknya ramah dan hormat itu, memancarkan tatapan mata yang aneh baginya.

“Silahkan tuan, kami sudah menunggu” berkata Ki Demang Sukawati.

Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya pendapa Kademangan yang sudah terisi oleh bentangan tikar yang putih serta beberapa jenis makanan.

Rudira menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah kudanya berjalan memasuki halaman itu. Tetapi sekali lagi ia merasa debar jantungnya menjadi semakin cepat, ketika ia melihat kuncung pendapa Kademangan itu. Ia harus turun apabila kudanya memasuki kuncung itu.

Karena itu, Raden Rudira tidak mau pergi ke kuncung pendapa. Tetapi ia menarik kendali kudanya ke kiri, sehingga kuda itu melangkah ke samping dan berhenti di depan tangga di sisi pendapa.

Ki Demang berdiri termangu-mangu. Tetapi ia pun kemudian menyusul Raden Rudira yang meloncat dari punggung kudanya langsung ke tangga pendapa yang terakhir. Selangkah ia naik, maka ia sudah berdiri di pendapa.

Seorang pengiringnya segera memegang kendali kudanya dan menuntunnya menepi, mengikatnya pada tonggak-tonggak di sebelah gandok.

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekerasan hati Putera Pangeran Ranakusuma itu. Namun ia melihat juga bahwa sebenarnya hatinya bukanlah hati yang kuat dan tabah. Apalagi ia sama sekali bukan seorang bangsawan yang berjiwa besar. Ia masih memerlukan bersikap angkuh yang berlebih-lebihan untuk mengangkat kewibawaannya yang tentu dirasakannya sendiri, masih belum setinggi yang diharapkannya.

Tetapi Ki Demang tidak mempersoalkannya lebih lanjut. Dipersilahkannya Raden Rudira dan pengiringnya duduk melingkari makanan yang lelah disediakan.

Tetapi rasa-rasanya makanan yang berlimpah-limpah itu tidak memberikan rangsang bagi Raden Rudira sendiri untuk makan dengan tenang. Berbeda dengan para pengiringnya yang menyuapi mulutnya dengan penuh gairah, maka Raden Rudira rasa-rasanya selalu digelisahkan oleh kesamaran Kademangan Sukawati itu.

Bahkan tiba-tiba saja Raden Rudira terkejut ketika ada seekor kuda berlari kencang di halaman. Tanpa berhenti di samping pendapa kuda itu langsung masuk ke longkangan belakang. Begitu kuda dan penunggangnya itu hilang di balik sudut pendapa, maka seakan-akan suara derap kaki kuda itu pun segera menghilang.

Beberapa orang pengiring Raden Rudira berhenti juga menyuapi mulut masing-masing dan berpaling. Tetapi mereka tidak menghiraukannya lagi, setelah kuda itu hilang dari tatapan mata mereka, karena mereka kembali disibukkan oleh makanan di hadapan mereka.

Tetapi Raden Rudira yang memang selalu dibayangi oleh kecurigaan itu menjadi semakin curiga, meskipun ia tidak berbuat apapun juga

Namun belum lagi hatinya menjadi tenang, sekali lagi seekor kuda dengan penunggangnya berlari memasuki halaman itu, dan seperti yang terdahulu, kuda itu pun seakan-akan lenyap di balik sudut pendapa.

Raden Rudira tidak dapat menahan kecurigaannya lagi. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Ki Demang, “Siapakah mereka?”

“O” Ki Demang tersenyum, “Mereka adalah keluargaku, tuan”

“Keluargamu? Maksudmu, apakah mereka bebahu Kademangan atau sanak kadangmu?”

“Yang terdahulu adalah anakku laki-laki” berkata Ki Demang

“Anakmu? Kenapa ia berkuda terus sampai ke longkangan?”

“Itu sudah menjadi kebiasaannya tuan”

“Yang kedua?”

“Adik iparku”

“Juga kebiasaannya berkuda sampai ke longkangan?”

“Ya. Umur keduanya hampir sebaya. Kemanakan dan paman itu memang anak-anak bengal. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa tuanlah yang berada di pendapa”

“Tetapi ia tidak sopan sama sekali, jika ada tamu di pendapa, seharusnya ia tidak berbuat begitu. Apalagi tamu seorang bangsawan. Lihat, debu itu menghambur kemari. Terlebih-lebih lagi kau menyuguh makanan bagi kami”

“Maaf tuan. Aku akan memberi tahukan kepadanya kelak”

“Tetapi hal itu sudah terjadi”

Raden Rudira mengangguk-angguk. Tetapi kecurigaannya masih saja membayang di wajahnya. Apalagi ketika Ki Demang kemudian berkata, “Mereka adalah pengiring-pengiring Pangeran Mangkubumi apabila Pangeran itu berada di pesanggrahan dan berkenan untuk pergi berburu”

“Pengiring Ramanda Pangeran Mangkubumi? Bohong. Pengiring Ramanda Pangeran pasti pengawal-pengawal Kapangeranan yang tingkatnya hampir serupa dengan prajurit-prajurit Kerajaan”

“Memang” sahut Ki Demang, “Tetapi di pesanggrahan Pangeran Mangkubumi senang sekali bergaul dengan anak-anak muda. Mereka banyak mendapat kesempatan. Dua di antara mereka adalah anak dan iparku itu. Mereka adalah pemburu-pemburu yang baik di hutan-hutan perburuan di daerah Sukawati. Pangeran Mangkubumi memang membiarkan beberapa bagian hutan menjadi lebat. Berburu di hutan rindang tidak lagi menyenangkan baginya dan bagi anak-anak Sukawati itu”

Wajah Raden Rudira menjadi tegang. Namun kemudian ia bertanya, “Jadi ada juga abdi Ramanda Pangeran yang khusus mengikutinya berburu?”

“Bukan abdi, tetapi kawan berburu”

“He?” Raden Rudira membelalakkan matanya, “Kau katakan anak dan iparmu itu kawan berburu bagi Ramanda Pangeran Mangkubumi?”

“Ya tuan”

“Apakah kau sudah mabuk pangkat hanya karena kau menjadi seorang Demang di Sukawati?” Raden Rudira membelalakkan matanya, “Aku tidak senang kau menyebut anak dan iparmu itu sebagai pengiring Ramanda Pangeran. Yang pantas mereka adalah hamba-hambanya. Sekarang justru kau menyebutnya sebagai kawan”

Ki Demang menjadi terheran-heran. Sejenak ia memandang Raden Rudira. Kemudian para bebahu di Sukawati. Dengan ragu-ragu menjawab, “Maaf tuan. Tetapi demikianlah Pangeran Mangkubumi menyebutnya. Mereka adalah kawan-kawan berburu. Tentu aku tidak akan berani menyebutnya demikian, jika Pangeran Mangkubumi sendiri tidak mengatakan demikian”

“Bohong, bohong” Raden Rudira hampir berteriak. Tetapi ia pun kemudian berusaha menahan hatinya. Namun dengan demikian dadanya menjadi semakin sesak.

Para pengiring dan pengawal yang sedang sibuk menelan makanan, terpaksa berhenti juga sejenak. Dipandanginya wajah Raden Rudira yang merah. Tetapi ada pula di antaranya yang tidak menghiraukannya lagi selagi makanan dihadapannya masih tersisa.

Namun demikian, mereka terpaksa menelan dengan susah payah ketika tiba-tiba saja Raden Rudira berkata, “Kita pergi sekarang. Antarkan kami mencari petani yang telah berani melawan aku dan para bangsawan itu.

Ki Demang terkejut. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Tetapi silahkan menyelesaikan dahulu tuan. Juga para pengiring sedang makan”

“Cukup. Sudah cukup”

Beberapa orang dengan tergesa-gesa menyuapkan makanan yang tersisa, sehingga kadang-kadang mereka terpaksa menarik leher yang serasa sesak, disusul oleh beberapa teguk air hangat untuk mendorong makanan itu turun ke dalam perut.

Agaknya Raden Rudira tidak sabar lagi menunggu. Ia pun segera berdiri dan berjalan turun dari pendapa.

“Ambil kudaku” teriaknya.

Para pengiringnya pun kemudian dengan tergesa-gesa berdiri. Ada juga satu dua orang yang sempat memasukkan beberapa bungkus makanan ke dalam kantong-kantong baju mereka. Nagasari dan hawug-hawug. Ada juga yang tidak sempat lagi mengunyah makanan yang sudah ada di dalam mulutnya, sehingga hampir saja makanan itu menyumbat lehernya, jika ia tidak segera menelan beberapa teguk minuman.

“Tunggu sebentar tuan” berkata Ki Demang, “Aku akan menyiapkan kudaku”

“Kau berjalan kaki” bentak Raden Rudira. Namun kemudian ia menyadari bahwa dengan demikian akan menelan waktu terlampau lama, sehingga katanya kemudian, “Cepat, ambil kudamu”

Ki Demang menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun segera berlari-lari ke belakang menyiapkan kudanya bersama beberapa orang bebahu yang lain, yang akan memakai kuda-kuda dari Kademangan itu pula.

Ki Demang hanya memerlukan waktu sedikit, karena kudanya memang sudah siap. Kuda itu adalah kuda yang baru saja berlari memasuki halaman Kademangan itu.

Demikianlah maka Raden Rudira diantar oleh Ki Demang di Sukawati meninggalkan Kademangan. Dengan nada yang datar Rudira berkata, “Kita kelilingi padukuhan induk ini sebelum kita pergi ke setiap padukuhan yang lain”

“Tetapi tuan” berkata Ki Demang, “Jika Raden ingin bertemu dengan para petani di saat-saat begini, pada umumnya mereka berada di sawah atau di sungai?”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya, pada umumnya mereka berada di sawah. Tetapi kenapa ada juga yang di sungai?”

“Mereka yang telah selesai dengan kerja di sawah, ada juga yang pergi menjala ikan di sepanjang sungai tuan. Sekedar untuk tambah membeli garam”

“Apakah banyak petani-petani yang pergi menjala ikan di sungai itu?”

“Beberapa. Ada lima atau enam orang dari padukuhan ini. Tetapi ada padukuhan yang hampir semua laki-laki dewasa pergi mencari ikan di saat-saat tidak ada kerja di sawah. Di saat-saat mereka tinggal menunggu padi yang sudah mulai menguning”

“Persetan” geram Raden Rudira, “bawa aku ke sawah”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Diiringi oleh Ki Demang, maka Raden Rudira bersama pengawal-pengawalnya melintas keluar dari padukuhan dan menuju ke bulak yang luas di sebelah padukuhan itu.

Tetapi sawah yang terbentang di hadapannya terlalu luas. Hampir sampai keatas penglihatan. Di cakrawala barulah tampak sebuah padukuhan yang lain, padukuhan kecil. Di sebelah yang lain ada juga padukuhan kecil serupa, Tetapi jarak itu tidak terlalu dekat.

“Untunglah Demang itu berkuda” berkata Rudira di dalam hatinya, ”Kalau tidak, maka sehari penuh aku tidak akan dapat mengelilingi bulak yang satu ini”

Demikianlah maka kuda itu pun segera berpacu. Dilihatnya beberapa, orang laki-laki yang sedang bekerja di sawah. Ketika mereka mendengar derap kaki kuda, mereka pun mengangkat kepala mereka. Tetapi kepala itu pun segera tertunduk kembali menekuni kerja yang belum selesai.

“Gila” berkata Raden Rudira di dalam hati, “Kenapa rakyat Sukawati ini acuh tidak acuh terhadap seorang yang asing?”

Tetapi ia tidak mengucapkannya. Yang dikatakannya adalah, “Sura, jangan lengah. Lihat setiap orang. Kalau kau melihat orang yang kita cari, kau harus mengatakan kepadaku”

Sura mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Sura, apakah kau sudah tuli atau bisu?”

“Ya, ya Raden?” Sura menjawab terbata-bata.

Namun ketegangan melonjak ketika di antara para pengawal terdengar suara tertawa pendek. Ketika semua orang berpaling, dilihatnya Mandra menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya Raden Rudira.

“Apakah pengecut itu berani menunjuk orang yang Raden cari? Sayang, aku tidak melihatnya sebelumnya. Kalau aku pernah melihat, maka pasti aku akan segera menemukannya”

Sura yang mendengar jawaban itu menjadi merah padam. Tetapi ia tidak sempat menjawab, karena Raden Rudira berkata, “Ia masih harus membuktikan bahwa ia masih Sura yang dahulu”

Sura sama sekali tidak menyahut. Tetapi hatinya menjadi semakin sakit ketika ia mendengar Mandra itu tertawa tertahan-tahan. Meskipun demikian ia masih lelap berdiam diri sambil menahan hati.

Demikianlah iring-iringan itu melintasi bulak yang panjang di tengah-tengah sawah yang sedang digarap. Beberapa orang laki-laki sibuk membajak tanah yang digenangi air. Yang lain mengatur pematang, sedang yang lain lagi mulai menyebarkan rabuk kandang.

Tetapi di antara mereka tidak terlihat petani yang sedang mereka cari.

“Dimana orang itu he?” tiba-tiba Rudira yang mulai jengkel berteriak.

Tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab” Dimana Ki Demang? Dimana orang itu?”

Ki Demang menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Kami tidak mengetahui orang yang Raden maksud, sehingga kami tidak akan dapat membantu menunjukkan dimana ia berada”

“Orangnya bertubuh tinggi, kekar. Bermata setajam mata burung hantu. Ayo, tunjukkan orang yang berciri serupa itu”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak pernah melihat orang itu. Mungkin orang itu sengaja ingin menjelekkan nama Sukawati sehingga ia mengaku orang Sukawati”

“Tentu tidak. Hampir semua orang Sukawati mempunyai sikap serupa dengan orang itu. Deksura dan tidak tahu adat”

“Apakah begitu?”

“Ya”

“Jika begitu, akan semakin sulit lagi untuk menemukannya Seorang di antara sekian banyak orang yang mempunyai ciri hampir sama”

“Bodoh sekali” teriak Raden Rudira, “Aku akan dapat mengenalinya jika aku menemukannya”

“Dan ternyata tuan masih belum menemukannya sekarang” sahut Ki Demang, “Tetapi Sukawati adalah daerah yang luas. Mungkin kita tidak dapat menemukan di bulak ini, tetapi kita akan dapat menjumpainya di bulak yang lain. Atau mungkin pula orang itu sedang berada di sungai, atau seperti yang tuan katakan, ia seorang petualang yang sedang bertualang. Sehingga dengan demikian, maka kita tidak akan dapat menjumpainya disini”

“Kita harus menemukannya, harus”

Ki Demang tidak menyahut lagi. Ditebarkannya saja tatapan matanya ke bulak di sekitarnya. Para petani masih juga sibuk dengan kerja mereka, seakan-akan tidak acuh sama sekali akan iring-iringan di jalan yang membelah tanah persawahan itu.

Kuda-kuda itu pun berderap semakin cepat. Ketika mereka sampai ke ujung bulak dan tidak menemukan orang yang dicarinya, mereka pun berbelok lewat jalan sempit mengitari bulak itu. Tetapi sampai pada satu lingkaran penuh, mereka masih belum menemukannya.

“Kita terus ke bulak di sebelah lain” berkata Rudira, “Aku tidak akan kembali ke Ranakusuman tanpa membawa orang itu”

“Silahkanlah” berkata Ki Demang, “Aku akan mengantarkan tuan sampai orang itu kita ketemukan”

Kuda-kuda itu pun berpacu terus. Setiap orang tidak luput dari pengawasan Raden Rudira dan pengiringnya. Namun sama sekali tidak ada orang yang mirip dengan orang yang mereka cari.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Raden Rudira, mereka tidak berhenti. Mereka berkeliling dari satu bulak ke bulak yang lain di seluruh Kademangan Sukawati. Sampai lewat tengah hari mereka sudah menempuh hampir semua daerah persawahan tidak saja di seputar padukuhan induk, tetapi juga di Padukuhan-padukuhan kecil lainnya.

“Gila” geram Raden Rudira, “Kau suruh orang itu bersembunyi?”

“Tentu tidak Raden”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Terasa juga tubuhnya menjadi lelah. Karena itu, maka ia pun berhenti sejenak di sudut padukuhan induk.

“Tuan” berkata Ki Demang, “Kami ingin mempersilahkan tuan dan para pengiring untuk beristirahat sejenak di Kademangan. Nanti aku akan mengantar Raden meneruskan pencaharian ini. Bukan saja ke bulak-bulak. tetapi aku akan mencarinya dari pintu ke pintu”

“Tidak. Aku tidak akan beristirahat dimanapun. Aku akan mencari terus”

Namun demikian terasa nafas Raden Rudira mengalir semakin cepat. Panas matahari yang mulai condong ke Barat, rasa-rasanya bagaikan membakar kulit, sehingga dengan demikian, maka hati Raden Rudira pun rasa-rasanya telah ikut terbakar pula.

Tetapi yang dicarinya belum juga dapat diketemukan.

Sementara itu para pengiringnya pun telah menjadi lelah dan haus, bahkan jemu. Mereka hampir tidak mengharap akan menemukan orang yang dicarinya. Seorang di antara sekian banyak orang-orang Sukawati. Bahkan mungkin orang itu sama sekali bukan orang Sukawati. Untuk menghilangkan jejak, dapat saja ia menyebut dirinya orang Sukawati.

Namun demikian, seperti yang dikatakan oleh Rudira, ada juga ciri-ciri yang sama pada orang-orang Sukawati itu. Mereka bersikap acuh tidak acuh terhadap bangsawan. Dan hal itu agaknya terbawa oleh sikap Pangeran Mangkubumi yang rendah hati, sehingga bagi orang Sukawati, bangsawan bukannya manusia yang melampaui manusia yang lain.

Demikianlah, setelah mereka beristirahat sejenak, terasa tubuh mereka dan kuda-kuda mereka menjadi segar. Karena itu maka Raden Rudira yang sudah siap melanjutkan perjalanan bersama pengiringnya berkata, “Kita teruskan. Kita jelajahi seluruh Kademangan ini”

“Tetapi tuan” berkata Ki Demang, “Aku sudah, lelah sekali. Mungkin aku sudah terlalu tua untuk berkuda sepanjang hari”

“Pemalas. Aku tahu, kau hanya malas atau barangkali dengan demikian kau menghindari tanggung jawabmu atas orang-orang di wilayahmu”

“Tidak tuan. Aku sama sekali tidak ingin menghindari tanggung jawab. Tetapi ternyata nafasku memang hampir putus. Panas matahari rasa-rasanya hampir memecahkan kepala”

“Persetan” geram Raden Rudira, “Aku akan berangkat”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apakah aku diperkenankan menunggu disini? Jika tuan memerlukan aku, salah seorang dari pengiring tuan aku persilahkan memanggil aku disini”

“Tidak, kau harus ikut”

Tetapi Demang itu menggeleng, “Maaf tuan. Jika tuan sudi beristirahat sampai nanti senja, aku akan mengantar tuan. Berapa hari pun asal aku mendapat kesempatan beristirahat. Aku sekarang tidak kuat lagi”

“Aku tidak peduli. Kau harus pergi bersama kami. Kau kami perlukan di daerah ini”

“Maaf tuan. Aku akan pingsan di bulak itu”

Raden Rudira menjadi marah sekali. Namun tiba-tiba saja Sura yang tidak pernah berselisih pendapat dengan tuannya, karena selama ini ia hanya sekedar mengiakan, tiba-tiba berkata, “Raden, Ki Demang memang sudah terlalu tua. Bagaimana kalau seperti yang dikatakannya, biarlah ia menunggu disini. Kita akan mencarinya di seluruh Kademangan atas ijin Ki Demang”

Raden Rudira justru terbungkam sesaat. Ia tidak menduga sama sekali bahwa Sura berani menyatakan pendapat yang berbeda dengan pendapatnya sendiri. Namun karena itu ia justru hanya dapat membelalakkan matanya tanpa mengucapkan kata-kata.

Yang menyahut kemudian adalah pengawal Rudira yang bertubuh besar itu, “Sura, kau adalah seorang hamba. Kau hanya dapat melakukan perintahnya. Tidak menentang dan tidak mengguruinya”

Tetapi sesuatu telah berkembang di hati Sura, sehingga ia menyahut, “Aku adalah seorang hamba yang tidak ingin melihat tuanku berbuat kesalahan”

“Kau berani menyalahkan Raden Rudira?” teriak Mandra.

“Aku tidak menyalahkannya sekarang, karena Raden Rudira belum berbuat kesalahan. Tetapi aku mencoba mencegah agar ia tidak berbuat kesalahan itu” Sura berhenti sejenak, lalu, “selama ini aku adalah seorang hamba yang jelek. Yang tidak pernah mencoba mencegah suatu kesalahan. Aku selalu mengiakan dan membenarkan semua yang diputuskan oleh momonganku. Tetapi ternyata itu tidak benar. Jika aku ingin menjadi hamba yang baik, aku harus mengatakan yang benar menurut pendapatku, bukan selalu membenarkan sikap tuanku”

“Kau mengigau. Aku tidak mengerti yang kau maksudkan. Tetapi, aku adalah hamba yang setia, yang tidak senang melihat kau mulai berkhianat”

“Pikiran itulah yang menyesatkan kita dan justru tuan kita. Kesetiaan yang mati telah menjerumuskan kita bersama-sama, bersama Raden Rudira sendiri ke dalam suatu sikap yang salah”

“Diam, diam kau Sura” tiba-tiba Raden Rudira berteriak.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian diam meskipun tidak menundukkan kepalanya seperti biasanya.

Perubahan sikap itu semakin terasa pada Raden Rudira. Sura yang sekarang, memang lain dari Sura yang dahulu tidak pernah bertanya apapun yang diperintahkannya.

“Ki Demang” berkata Rudira kemudian, “Aku tidak peduli tentang keadaanmu. Kau harus mengikuti kami mencari orang itu sampai kita dapat menemukannya”

Tetapi Ki Demang menggeleng sambil berkata, “Maaf tuan. Aku mohon Raden dapat menundanya sampai senja nanti, setelah aku beristirahat sebentar. Aku sudah terlalu lelah”

“Tidak” Raden Rudira membentak.

Tetapi Ki Demang pun tetap menggeleng juga, “Tidak. Aku tidak akan dapat meneruskan perjalanan. Aku dapat menjadi pingsan”

“Aku tidak peduli. Mati pun aku tidak peduli. Biarlah orang-orang Sukawati menguburmu”

“Maaf tuan, aku tidak dapat”

“Jangan banyak mulut” tiba-tiba Mandra membentak, “berangkat, atau kau akan menyesal”

Ki Demang memandang pengawal Raden Rudira yang bertubuh raksasa itu. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata, “Ki Sanak, aku sudah tua. Kalau aku masih semuda dan segagah Ki Sanak, aku tidak akan ingkar. Tetapi maaf, dalam keadaanku serupa ini, aku tidak dapat memaksa diri berjalan terus. Kudaku pun sudah lelah karena kuda ini bukan kuda sebaik kuda Ki Sanak”

“Aku tidak peduli. Raden Rudira pun tidak peduli. Ayo pergi”

Ki Demang masih tetap menggelengkan kepalanya. Katanya, “Ki Sanak jangan memaksa aku. Aku bukan bawahan Ki Sanak dan bukan bawahan Raden Rudira. Aku adalah abdi tanah kalenggahan Pangeran Mangkubumi. Hanya Pangeran Mangkubumi atau para hambanya yang dipercaya sajalah yang dapat memerintah aku. Kau tidak, siapapun tidak. Jika Ki Sanak mencoba memaksa kami, itu berarti Ki Sanak telah melanggar hak Pangeran Mangkubumi”

Mandra menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Raden Rudira yang agaknya sedang dilanda oleh kebimbangan.

Namun tiba-tiba saja Raden Rudira berteriak, “Aku akan mengatakannya kepada Ramanda Pangeran Mangkubumi. Akulah yang bertanggung jawab”

Mandra mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian sambil mendekati Ki Demang ia berkata, “Jangan membantah lagi”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu Sura pun bergeser setapak sambil berkata, “Mandra, jangan berbuat apapun yang dapat membuai Pangeran Mangkubumi murka. Kau akan tahu akibatnya”

“Sura” Raden Rudira berteriak, “Ia berbuat atas namaku”

Sura mengerutkan keningnya. Ia masih mencoba mencegah, “Tetapi tuan, kekerasan sama sekali tidak bijaksana di dalam masalah ini”

“Ia tidak akan mempergunakan kekerasan” berkata Raden Rudira, “Tetapi Mandra akan menawarkan kudanya. Mungkin dengan demikian Ki Demang tidak akan berkeberatan untuk berjalan terus”

“Bukan saja kudaku, tetapi terutama adalah badanku sendiri, “ Ki Demang menyahut.

Raden Rudira benar-benar menjadi marah. Seorang Demang di Sukawati telah berani menentang kehendaknya, seperti petani di Sukawati itu. Ternyata kekecewaan, kemarahan, bahkan hinaan telah dialaminya berturut-turut selama ia berada di Sukawati.

“Orang-orang Sukawati memang gila” Ia menggeram di dalam hatinya. Namun tiba-tiba ia menggeretakkan giginya sambil berkata kepada diri sendiri, “Jika Demang itu kelak menuntut lewat Ramanda Pangeran Mangkubumi, biarlah ia berurusan dengan ayahanda. Tentu ayahanda Ranakusuma memiliki kekuasaan lebih besar dari Ramanda Pangeran Mangkubumi karena ayahanda Ranakusuma adalah saudara tua dan ayahanda pasti lebih dekat pada Kangjeng Susuhunan dari pada Ramanda Pangeran Mangkubumi. Apalagi ibunda mempunyai sahabat-sahabat orang asing yang mempunyai kelengkapan jauh lebih baik dari orang-orang Surakarta yang manapun juga”

Oleh pikiran itu, serta luapan perasaan yang bertimbun-timbun maka Raden Rudira pun menjadi semakin berani. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Kau tidak mempunyai pilihan lain Ki Demang”

“Aku dapat menentukan sikapku sendiri Raden. Hanya Pangeran Mangkubumi lah yang dapat memaksa aku. Orang lain yang manapun tidak. Aku sudah berbuat sebaik-baiknya menyambut kedatangan Raden Rudira di Sukawati. Bahkan aku sudah membiarkan Raden bermalam di pesanggrahan Pangeran Mangkubumi. Tetapi ternyata Raden adalah orang yang tidak mengenal terima kasih. Kini Raden masih memaksa aku untuk melakukan pekerjaan di luar kemampuan tenagaku”

“Diam, diam” teriak Raden Rudira, “apakah kau tidak dapat menutup mulutmu”

“Maaf Raden, aku hanya sekedar memberikan penjelasan”

“Bungkam mulutmu” teriak Raden Rudira.

Biasanya Sura tidak perlu mendapat perintah untuk kedua kalinya. Tetapi kini Sura masih berada di tempatnya. Ia masih duduk tanpa bergerak diatas punggung kudanya.

Namun ada juga orang yang mulai bergerak maju. Mandra.

Dengan wajah yang tegang Sura mengawasinya. Tanpa sesadarnya ia pun bergerak. Tetapi perintah Raden Rudira masih belum dapat diatasinya ketika perintah itu terasa mencengkam dadanya

“Kau tetap di tempatmu Sura. Ternyata kau tidak aku perlukan lagi”

Sura masih belum mampu menembus batas yang digoreskan oleh Raden Rudira itu. Karena itu, bagaimanapun juga ia tidak dapat melanggarnya.

Dalam pada itu Mandra yang mengambil alih tugas Sura, maju semakin dekat. Namun ternyata ia tidak mau berbuat sesuatu selagi ia masih berada di punggung kuda. Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun sambil berkata, “Ki Demang, kau tidak mempunyai pilihan lain. Mengantarkan kami, atau kau menjadi seorang tawanan yang akhirnya harus menyertai kami juga mengelilingi Kademanganmu ini, karena kami berkeputusan untuk memaksamu ikut serta”

Tetapi ternyata. Ki Demang dengan tenang menjawab, “Tidak ada orang yang dapat memaksa aku Ki Sanak”

“Aku akan memaksamu. Turunlah dari kudamu, supaya jika kudamu lari kau tidak terseret olehnya dan mengalami luka-luka parah karena kulitmu terkelupas. Aku hanya ingin membuat kau jera untuk berkeras kepala”

Ki Demang tidak menyahut. Tetapi dari matanya yang semula redup itu pun ternyata memancar sorot kemarahan yang memuncak.

“Apakah kau akan memaksa aku dengan kekerasan?” bertanya Ki Demang.

“Apaboleh buat” sahut Mandra.

Ki Demang tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Jika demikian kami terpaksa membela diri”

“He” Mandra terkejut mendengar jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa Ki Demang berani menjawab demikian. Menilik tubuhnya yang kecil dan seperti yang dikatakannya sendiri, nafasnya sudah mulai terengah-engah, masih juga ia berani mengatakan untuk membela diri.

Mandra menjadi semakin heran ketika ia melihat Ki Demang melambaikan tangannya kepada seorang bebahu yang mengikutinya. Seorang pendiam yang bertubuh sedang, berkulit hitam dan berkumis tipis dialas bibirnya yang tebal.

“Cegah orang itu” perintah Ki Demang pendek. Perintah itu pun ternyata telah menggetarkan setiap dada.

Meskipun perintah itu hanya pendek, tetapi seakan-akan mempunyai kekuatan perbawa yang luar biasa. Bukan saja atas orang yang mendapat perintah, tetapi juga atas orang-orang yang mendengarnya.

Orang yang bertubuh sedang dan berkulit hitam itu pun kemudian meloncat turun pula dari kudanya. Setelah menyerahkan kendali kudanya kepada kawannya, ia pun kemudian berjalan dengan tenangnya dan berdiri tegak di muka Ki Demang menghadap kearah Mandra.

“Kau berani melawan orangku?” bertanya Raden Rudira dengan marahnya.

“Maaf tuan. Seperti tuan juga berani melawan orang-orang Pangeran Mangkubumi”

“Persetan, aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma yang lebih tua dan lebih berkuasa dari Ramanda Pangeran Mangkubumi”

“Terserahlah kepada tuan. Tetapi aku tidak mau dipaksa oleh siapapun”

“Mandra, jangan menunggu lagi. Sebentar lagi hari akan benar-benar menjadi senja”

“Baik Raden” jawab Mandra yang kemudian siap menghadapi orang berkulit hitam itu.

Ternyata orang berkulit hitam dan berkumis jarang itu sama sekali tidak berkata apapun. Ia berdiri saja dengan penuh kewaspadaan menghadapi segala kemungkinan.

Mandra yang berusaha untuk mendapat kepercayaan dan kedudukan yang baik menggantikan Sura yang mulai goyah itu. segera melangkah mendekat. Semakin dekat ia pada orang berkulit hitam itu, maka orang itu pun menjadi semakin siaga dan merendah diatas lututnya.

Tiba-tiba saja Mandra itu pun langsung menyerangnya. Ia menganggap orang-orang Sukawati bukan orang-orang kuat yang pantas diperhitungkan. Namun ternyata, bahwa serangannya yang pertama itu gagal, bahkan orang berkulit hitam itu ternyata dengan lincahnya telah berhasil memukul pundaknya dengan sisi telapak tangannya.

“Uh, Gila” Mandra menyeringai sambil meloncat mundur. Kini ia terbangun dari lamunannya. Ternyata lawannya bukannya seorang pedesaan yang tidak mampu berbuat apa-apa.

Karena itu, maka ia pun kini harus mempergunakan segenap kekuatan dan kemampuannya. Ia harus berhasil menundukkan orang itu di dalam waktu yang paling pendek, supaya tampak oleh Raden Rudira, bahwa ia memang seorang yang pilih tanding.

Dengan demikian, maka Mandra pun mengulangi serangannya. Kini menjadi semakin dahsyat.

Namun lawannya yang bertubuh lebih kecil daripadanya itu pun telah siap pula menghadapi serangannya. Dengan tangkasnya ia menghindar, dan dengan tangkasnya pula ia menyerang kembali. Tetapi Mandra berhasil menangkis serangan itu dengan sikunya, meskipun ia terdorong beberapa langkah surut.

Dengan demikian, maka Mandra dapat menilai kekuatan lawannya. Ternyata ia tidak menyangka bahwa lawannya yang lebih kecil daripadanya, dan pendiam pula, seolah-olah tidak bertenaga sama sekali itu mempunyai kekuatan yang dapat mendorongnya surut meskipun ia tidak berada dalam sikap perlawanan sepenuhnya.

Sejenak kemudian keduanya pun terlibat dalam, perkelahian yang sengit. Perkelahian yang sama sekali tidak diduga-duga, baik oleh Mandra, maupun oleh Sura dan kawan-kawannya. Bahkan Raden Rudira menjadi terheran-heran melihat kemampuan orang Sukawati itu.

Mandra adalah salah seorang pengawal terpilih dari Ranakusuman. Ia memiliki tenaga raksasa sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar itu. Namun menghadapi seorang yang bertubuh, sedang dan pendiam itu, Mandra tidak banyak mendapat kesempatan.

Di dalam benturan-benturan kekuatan yang terjadi, Mandra memang memiliki kelebihan tenaga. Tetapi orang yang hitam itu memiliki kelebihan yang lain. Ia mampu bergerak secepat tatit, sesigap sikatan menyambar bilalang. Itulah yang kadang-kadang membuat Mandra menjadi bingung. Selagi ia bergulat mengerahkan kekuatannya untuk melumpuhkan lawannya itu, tiba-tiba saja lawannya itu seakan-akan telah hilang. Sebelum ia sadar, maka ia sudah dihadapkan pada serangan yang bagaikan kilat menyambar di langit.

Demikianlah maka akhirnya Mandra menjadi semakin bingung Setiap kali ia kehilangan lawannya. Dan setiap kali serangan lawannya, meskipun tidak dengan tenaga sekuat tenaganya, telah berhasil mengenainya. Betapapun besar daya tahan tubuhnya, namun lambat laun, serangan-serangan itu telah menyakitinya.

Raden Rudira yang melihat perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Sura yang masih duduk diatas punggung kudanya rasa-rasanya bagaikan membeku. Mandra tidak akan dapat mengalahkan orang berkulit hitam itu. Dan seandainya ia sendiri yang turun ke arena, itu pun pasti tidak akan berhasil mengalahkannya.

Ki Demang Sukawati duduk dengan tenangnya, diatas punggung kuda. Ia menonton perkelahian itu seperti menonton adu ayam. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk-angguk.

“Pantas ia menjadi keras kepala” Raden Rudira mengumpat di dalam hati, “Agaknya ia mempunyai seorang pelindung yang baik. Tetapi aku tidak mau kepalang tanggung. Keadaan sudah terlanjur memburuk. Aku tidak perduli lagi apakah Ramanda Pangeran akan marah kepadaku. Aku akan mendapat perlindungan dari ayahanda Pangeran Ranakusuma dan ibu akan mendapatkan bantuan kumpeni. Sukawati memang harus diperingatkan, karena Sukawati telah merusak sendi-sendi adat pergaulan rakyat Surakarta”

Karena itu, ketika Mandra semakin lama justru menjadi semakin terdesak, Raden Rudira sudah tidak dapat berpikir bening. Ia tidak ingat lagi dimana ia berada dan akibat-akibat yang dapat timbul karenanya.

Sementara itu Mandra memang menjadi semakin sulit. Serangan lawannya yang berkulit hitam dan berkumis jarang itu menjadi semakin lama justru semakin cepat. Betapapun kuatnya daya tahan tubuhnya, namun lambat laun Mandra menjadi semakin lemah juga. Serangan-serangan yang cepat kadang-kadang membuatnya bingung dan tanpa dapat berbuat sesuatu, ia harus menerima serangan-serangan dari arah yang tidak diketahuinya.

“Persetan” Raden Rudira menggeram, lalu katanya di dalam hati, “Aku tidak peduli. Demang ini harus ditangkap dan dibawa ke kota. Ia harus diadili karena ia berani menentang aku”

Dengan demikian Raden Rudira telah mengambil keputusan, bahwa orang-orangnya harus turun tangan tanpa mempedulikan apapun. Demang itu harus ditangkap. Harus.

Dengan wajah yang tegang Rudira berpaling kepada orang-orangnya yang menjadi tegang pula. Namun ia menjadi heran, bahwa orang-orangnya sama sekali tidak memperhatikan arena perkelahian yang semakin berat bagi Mandra. Mereka melihat ke kejauhan dengan sorot matanya yang aneh.

Tanpa disadarinya Raden Rudira pun memandang kekejauhan pula, kearah tatapan mata para pengiringnya.

Tiba-tiba saja jantungnya serasa berdentangan semakin keras. Dilihatnya beberapa orang laki-laki berdiri berjajar di pinggir desa di seberang parit. Dengan wajah yang seakan-akan beku mereka berdiri dengan tangan bersilang di dada memperhatikan orang yang berkulit hitam, yang sedang berkelahi melawan Mandra.

Tetapi ternyata bukan hanya di seberang parit, tetapi juga di dalam pagar batu tampak tudung kepala berjajar-jajar. Di bawah tudung kepala itu tampak wajah-wajah yang membeku.

“Gila” Raden Rudira mengumpat di dalam hatinya, “ini sudah suatu pemberontakan”

Namun demikian wajahnya yang merah semakin lama menjadi semakin pucat. Kalau seorang di antara mereka berhasil mengalahkan Mandra, apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang berdiri di seberang parit dan di balik pagar batu itu.

Ki Demang agaknya mengerti persoalan yang bergejolak di dalam hati Raden Rudira. Karena itu sambil tersenyum ia berkata, “Mereka adalah petani-petani yang berpikir sederhana tuan. Mereka melihat aku, Demang di Sukawati yang mereka anggap sebagai pemomong mereka mendapat kesulitan, maka mereka pun datang berkerumun. Mereka adalah petani-petani yang kita lihat bekerja di sawah dan ladang. Dan kita tidak dapat menemukan petani yang justru tuan cari”

Rudira tidak menyahut. Tetapi dadanya berdesir ketika ia melihat Mandra terlempar beberapa langkah surut, ketika kaki orang berkulit hitam itu terjulur ke dadanya. Sejenak Mandra mencoba bertahan, namun ternyata bahwa keseimbangannya sudah tidak dapat dikuasainya lagi, sehingga akhirnya ia pun terjatuh di tanah.

Meskipun demikian, dengan susah payah ia mencoba bangun. Dikerahkan segala sisa tenaganya yang ada. Tetapi selagi kedua kakinya belum tegak benar, serangan lawannya itu telah meluncur sekali lagi. Kali ini mengenai pundaknya, sehingga Mandra terputar satu kali dan sekali lagi jatuh terbanting di tanah.

Wajah Raden Rudira menjadi merah padam. Orang berkulit hitam itu berdiri hanya selangkah di sisi Mandra yang agaknya benar-benar sudah kehabisan tenaga meskipun ia tidak mengalami luka yang berbahaya.

“Sudahlah” berkata Ki Demang di Sukawati, “tinggalkan orang itu”

Orang berkulit hitam itu berpaling. Dipandanginya Ki Demang sejenak, lalu dianggukkan kepalanya sedikit. Perlahan-lahan ia berjalan meninggalkan lawannya yang masih terbaring di tanah, tanpa Pepatah katapun meloncat dari bibirnya.

“Gila kau Mandra” teriak Raden Rudira, “bangun atau kau akan tinggal disini”

Dengan susah payah Mandra berusaha untuk bangkit. Ketika ia memutar tubuhnya menghadap Ki Demang di Sukawati, maka orang berkulit hitam yang sudah berdiri di samping kudanya, melangkah setapak maju. Tetapi Ki Demang menggamitnya sehingga ia pun berhenti.

“Apakah kalian sudah memperhitungkan akibat perlawanan kalian” Raden Rudira menggeram. Suaranya bergetar penuh kemarahan.

“Sama sekali belum Raden, karena kami harus mengambil sikap dengan tiba-tiba. Tetapi akulah yang seharusnya bertanya, apakah Raden sudah memperhitungkan akibat yang timbul dari sikap Raden itu?”

“Aku akan mempertanggung jawabkannya”

“Tetapi orang yang tuan percaya itu tidak mampu melawan orangku. Apakah tuan akan mengambil sikap lebih keras lagi dan memerintahkan para pengiring Raden menangkap aku?”

Raden Rudira tidak segera menjawab. Tetapi ia sadar bahwa Ki Demang dengan sengaja menyindirnya, karena ia merasa kuat Petani-petani yang ada di sawah dan melihat perkelahian itu ternyata telah berkerumun meskipun dari jarak agak jauh.

Kemarahan Raden Rudira seakan-akan telah bergejolak sampai ke ubun-ubun. Tetapi ia sama sekali tidak berdaya untuk mengambil suatu sikap, karena orang-orang Sukawati ternyata adalah orang-orang yang keras kepala.

“Tanggung jawab atas sikap yang gila ini terletak pada. Ramanda Pangeran Mangkubumi” berkata Rudira di dalam hatinya jika Ramanda Pangeran tidak bersikap keliru dan memanjakan orang-orangnya di daerah Sukawati ini, maka hal-hal semacam ini pasti tidak akan dapat terjadi”

Tetapi Rudira tidak dapat berbuat apa-apa saat itu. Betapapun dadanya serasa akan retak, namun ia harus menahan diri. Ia tidak tahu, kemampuan apa yang tersimpan di balik wajah-wajah yang beku dan tangan-angan yang bersilang di dada itu.

Karena Raden Rudira tidak segera menjawab, maka Ki Demang Sukawati itu menarik nafas dalam-dalam, sambil berkata, “Sudahlah Raden. Kadang-kadang kita memang dihanyutkan oleh perasaan yang meledak-meledak. Aku tahu, umur Raden yang masih sangat muda itulah yang membuat Raden kurang pertimbangan. Tetapi itu bukan suatu kesalahan yang perlu disesalkan sekali, meskipun harus selalu diingat sebagai pengalaman. Sekarang, lupakan saja apa yang telah terjadi. Aku rasa orang di rumah sudah menyediakan makan siang buat Raden dan para pengiring. Bagaimanapun juga, aku tetap ingin mempersilahkan Raden dan para pengiring untuk makan siang di rumah kami, karena disini tuan adalah tamu kami”

Kata-kata itu rasa-rasanya justru membuat hati Rudira semakin panas. Tanpa menjawabnya Raden Rudira berteriak kepada Mandra, “Cepat naik ke kudamu. Kita akan pergi”

“Raden” berkata Ki Demang dengan serta merta, “Kami persilahkan Raden singgah sejenak”

Rudira tidak menjawab. Bahkan ia memalingkan wajahnya. Katanya kepada pengiringnya, “Kita akan meninggalkan neraka ini. Tetapi kita tidak akan membiarkan daerah ini tetap dikuasai oleh kebodohan serupa ini. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma”

Raden Rudira tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera menyentuh perut kudanya dengan tumitnya, sehingga kudanya mulai bergerak.

Tetapi tiba-tiba saja Raden Rudira menarik kendali kudanya yang sudah mulai berlari, sehingga kuda itu terkejut dan melonjak berdiri. Beberapa orang pengiringnya pun terkejut pula. Bahkan Mandra yang dengan lemahnya duduk diatas punggung kudanya mengangkat wajah dan mencoba mengerti, kenapa tiba-tiba saja Raden Rudira berhenti.

Dengan mata yang terbelalak Raden. Rudira memandang ke sudut desa yang sedikit menjorok masuk ke tanah persawahan. Dilihatnya beberapa orang petani berdiri berjajar sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Namun yang berdiri di paling ujung, agaknya petani yang sedang dicarinya.

Sura yang berkuda di antara mereka pun terkejut pula melihat orang yang berdiri tidak terlalu jauh dari jalan yang sedang dilaluinya. Namun tanpa disadarinya, mulutnya berdesis, “Benar dugaanku. Orang itu adalah Pangeran Mangkubumi”

Desis Sura itu mengguncangkan dada Raden Rudira. Laki-laki yang berdiri di ujung itu adalah laki-laki yang sedang dicarinya. Wajah. laki-laki itu pun kotor oleh lumpur yang melekat disana-sini. Seperti petani-petani yang lain, disisinya terletak sebuah cangkul, pakaian yang kotor dan basah, serta wajah yang beku. Tetapi yang seorang ini memiliki sepasang mata yang tajam dan rasa-rasanya sedang membara.

Raden Rudira menjadi termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba kengerian yang sangat telah merayapi hatinya. Siapapun orang itu, namun kemampuannya tentu berlipat-lipat dari orang yang berkulit hitam. Sura di bulak Jati Sari sama sekali tidak berdaya menghadapinya. Kini Mandra telah dilumpuhkan oleh orang berkulit hitam itu.

“Apalagi kalau benar orang itu adalah Ramanda Pangeran Mangkubumi” tanggapan itu tiba-tiba saja melonjak di dadanya.

Dengan demikian tanpa disadarinya sekali lagi Raden Rudira memandang orang itu. Tiba-tiba saja jantungnya serasa berhenti berdenyut. Orang itu memang mirip sekali dengan Ramanda Pangeran Mangkubumi”

Tetapi ia pun kemudian mencoba membantahnya sendiri, “Ada seribu orang yang mirip di dunia ini”

Meskipun demikian, Raden Rudira segera memacu kudanya. Semakin lama semakin cepat diikuti oleh para pengiringnya. Debu yang putih berterbangan menyelubungi jalan yang kering.

Yang berpacu di paling belakang adalah Sura. Tetapi bagaimanapun juga, rasa-rasanya masih ada ikatan yang tidak dapat dilepaskannya, bahwa ia harus mengikuti Raden Rudira kembali ke Surakarta.

Ternyata bahwa perasaan Raden Rudira telah benar-benar menjadi kisruh. Darahnya bagaikan mendidih. Tetapi hentakan di dadanya

Tanpa mengucapkan sepatah katapun Raden Rudira berpacu kembali ke kota. Ia tidak menghiraukan lagi panas yang semakin lama menjadi semakin lemah dan cahaya langit yang kemerah-merahan.

“Kita akan sampai ke kota jauh malam” desis seseorang di antara para pengawalnya, itu masih harus tetap disimpannya paling dalam.

“Ya. Tetapi tidak terlalu malam. Lihat, matahari masih agak tinggi”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia berdesis, “Aku haus sekali”

“Aku tidak hanya sekedar haus. Aku lapar sekali”

Kawannya berpaling. Dilihatnya orang yang merasa lapar itu menjadi pucat meskipun cahaya kemerah-merahan masih memancar di langit dan jatuh di setiap wajah.

Dalam pada itu, Mandra masih tampak terlalu lemah, meskipun ia mampu juga berpacu Namun tampaknya ia tidak sesegar ketika berangkat, dan bahkan rasa-rasanya lain sekali dengan Mandra yang selalu mentertawakan Sura.

Sedang Sura sendiri berpacu di paling belakang. Angan-angannya masih saja dicengkam oleh kenangannya atas petani yang dijumpainya di bulak Jati Sari. Petani itu pasti petani yang berdiri di ujung itu. Dan keduanya adalah Pangeran Mangkubumi itu sendiri.

Sebenarnya bukan saja Sura yang bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi pertanyaan tentang petani itu tumbuh juga di hati para pengiring Raden Rudira yang pernah mengikutinya berjalan di tengah bulak Jati Sari. Dan mereka yang mengenal Pangeran Mangkubumi akan berkata di dalam hati, “Orang itu memang mirip sekali dengan Pangeran Mangkubumi. Apalagi jika ia mengenakan pakaian yang pantas dan baik. Seandainya ia bukan Pangeran Mangkubumi, maka seseorang pasti akan dapat keliru”

Namun keragu-raguan yang berkembang di dalam setiap dada itu, membuat mereka menjadi semakin lama semakin dicengkam oleh kecemasan. Bahkan akhirnya mereka hampir meyakini, bahwa orang itu memang Pangeran Mangkubumi.

Tetapi Raden Rudira seakan-akan telah menutup pintu hatinya, la tidak mau mengakui kenyataan penglihatannya. Baginya orang itu adalah seorang petani yang telah memberontak terhadap para bangsawan di Surakarta. Menurut Raden Rudira, mereka harus mendapat hukuman.

“Ibunda akan memanggil beberapa orang asing. Dengan senjata api mereka tidak akan dapat dilawan oleh Pangeran Mangkubumi seandainya mereka mempertahankan Sukawati”

Dengan dada yang berdentangan Raden Rudira memacu kudanya terus. Ia tidak berhenti sama sekali, seandainya kudanya tidak gelisah kehausan.

“Pemalas” Ia menggeram. Meskipun demikian Raden Rudira memberi kesempatan juga kepada kudanya untuk meneguk air bening yang mengalir di parit di pinggir jalan. Demikian juga kuda-kuda yang lain. Kuda Mandra dan kuda Sura.

Dalam pada itu Sura bergeser mendekati seorang kawannya sambil berbisik, “Aku tidak tahu tanggapanmu atasku. Mungkin kau menjadi muak melihat sikapku. Aku tidak peduli. Tetapi aku ingin meyakinkan perasaanku. Coba katakan, apakah orang yang kita lihat tadi adalah petani di bulak Jati Sari?”

Kawannya ragu-ragu sejenak.

“Aku mungkin kau tuduh berkhianat kepada Raden Rudira. Aku tidak ingkar, Tetapi katakan dengan jujur, apakah benar orang itu petani yang berada di bulak Jati Sari?”

Meskipun masih ragu-ragu, tetapi kawannya itu menjawab, “Aku kira begitu”

“Bagus. Apakah kau kenal Pangeran Mangkubumi”

“Kenal, tetapi tidak dari dekat”

“Apakah orang itu Pangeran Mangkubumi?”

Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia menundukkan kepalanya, “Kau tidak mau menjawab?”

Kawannya masih tetap berdiam diri.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertambah yakin karenanya.

Sejenak kemudian maka Raden Rudira pun sudah berpacu kembali. Rasa-rasanya semakin lama semakin cepat. Kemarahan, keragu-raguan dan bahkan kecemasan telah bercampur baur di dalam hatinya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melupakan wajah petani yang seorang itu. Ia tidak dapat ingkar, bahwa wajah itu adalah wajah seorang Pangeran yang pernah berbicara dengannya satu kali di halaman. Masjid Agung.

“Tidak” Ia menggeletakkan giginya, “Tentu hanya mirip”

Seperti yang mereka perhitungkan, maka mereka memasuki regol halaman istana Pangeran Ranakusuma setelah jauh malam. Derap kaki-kaki kuda itu telah mengejutkan para penjaga dan para abdi yang tinggal di dalam dinding istana itu. Bahkan orang-orang yang tinggal di tepi-tepi jalan pun terkejut pula dan bertanya-tanya di dalam hati, “Siapakah yang berpacu di malam begini?”

Tetapi ketika derap kaki-kaki kuda itu sudah menjauh, maka mereka pun segera tidur kembali. Mereka tidak menghiraukan-nya lagi ketika suara itu telah lenyap dari pendengaran.

Namun tidak demikian halnya dengan orang-orang yang tinggal di dalam halaman istana Pangeran Ranakusuma. Beberapa orang penjaga segera bersiaga. Namun ketika mereka melihat bahwa yang datang itu Raden Rudira bersama pengiringnya, maka mereka pun menjadi semakin heran.

Tetapi tidak seorang pun yang berani bertanya. Mereka hanya sekedar menganggukkan kepala, sedang beberapa orang yang lain berlari-lari menyusulnya sampai ke tangga pendapa.

Demikian Raden Rudira meloncat dari punggung kudanya, maka orang yang berlari-lari itu pun segera menangkap kendali kuda itu.

Dengan tergesa-gesa Raden Rudira naik ke pendapa. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat pendapa yang masih dikotori oleh titik-titik air yang berwarna kekuning-kuningan. Beberapa potong makanan masih terkapar di sudut.

“He” bertanya Raden Rudira kepada seorang pelayan, “Apakah baru saja ada tamu?”

“Ya tuan. Baru saja mereka meninggalkan halaman ini”

“Siapa?”

“Beberapa orang kumpeni. Ibunda tuan baru saja menjamu beberapa orang sahabatnya, setelah ibunda menerima undangan mereka dan berkunjung ke rumah Tumenggung Santidarma yang dipinjam oleh kumpeni untuk menjamu ibunda tuan”

“Bersama ayahanda?”

“Tidak. Ayahanda Raden Rudira sedang menghadap Kangjeng Susuhunan di istana. Utusan dari istana datang lewat tengah hari”

“Dan sekarang?”

“Ayahanda dan ibunda ada di dalam. Keduanya sudah di istana ini sebelum para tamu datang”

“Dada Raden Rudira berdentangan mendengar jawaban abdi itu. Ia sebenarnya tidak senang jika ibunya diundang untuk menghadiri perjamuan yang diselenggarakan oleh kumpeni di rumah Tumenggung Santidarma atau di rumah Tumenggung Nitiraga. Meskipun ia belum pernah menyaksikan pertemuan itu, dan meskipun ia tidak pernah mendengar apa yang terjadi di dalam pertemuan-pertemuan semacam itu, tetapi ia mempunyai firasat bahwa pertemuan itu tidak wajar diselenggarakan untuk beberapa orang bangsawan.

“Tetapi dengan demikian ibunda mempunyai banyak kawan dari lingkungan mereka. Mudah-mudahan aku dapat mengambil manfaat dari hubungan ibunda dengan orang-orang bule itu” berkata Raden Rudira di dalam hatinya. Dan apabila ia sudah mulai terbentur pada kepentingan sendiri, maka ia pun tidak akan peduli lagi, apa yang akan dilakukan oleh ibunya, meskipun kadang-kadang ia dihantui oleh kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi.

“Ayah tidak melarangnya” berkata Raden Rudira itu pula di dalam hatinya.

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian dihentakkannya tangannya. Baru saja ia mengalami kegagalan mutlak. Dan kini ia menghayati suatu perasaan yang terasa pedih di hatinya, meskipun ia dapat mengambil keuntungan daripada-nya.

“Persetan” Raden Rudira itu pun segera menuju ke pintu pringgitan yang tengah. Tetapi pintu itu sudah digerendel dari dalam.

“Tuan” salah seorang pelayannya mempersilahkan, “sebaiknya tuan mengambil jalan dari longkangan”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian melangkah turun dari pendapa, lewat longkangan menuju ke pintu butulan.

Dengan kerasnya ia mengetuk pintu yang sudah tertutup itu pula, sehingga seorang pelayan yang ada di dalam terkejut karenanya.

“Siapa?” pelayan itu bertanya setelah ia berdiri di muka pintu.

“Aku. Bukalah pintu” sahut Rudira.

“Aku siapa?”

“Cepat, aku puntir kepalamu”

Tetapi pelayan itu masih ragu-ragu, sehingga Raden Rudira membentak, “Buka pintu. Jika kau mempermainkan aku, aku pukul kepalamu sampai pecah”

Tetapi pelayan yang terkejut itu masih berdiri kebingungan. Ia berpaling ketika ia mendengar suara dari pintu dalam, “Bukalah. Raden Rudira”

“Ampun Raden Ayu” Orang itu terbungkuk-bungkuk, “Aku, aku tidak tahu”

“Nah, sekarang bukalah”

Dengan gugup orang itu segera membuka pintu. Demikian pintu terbuka, Raden Rudira yang marah langsung menggenggam rambut pelayannya ambil membentak. “Lain kali, buka telingamu Kau harus mengenal suaraku”

“Ampun tuan, ampun”

“Sudahlah, lepaskan. Ia terkejut mendengar ketokan pintu itu, karena itu ia menjadi bingung”

Raden Rudira melepaskan rambut pelayan itu. Perlahan-lahan ia melangkah memasuki istananya dengan wajah yang suram.

“Bagaimana dengan perjalananmu? Dan kenapa kau pulang di jauh malam begini?”

“Gagal” sahut Raden Rudira pendek?”

“Kau tidak dapat menemukan?”

“Tidak” jawab Raden Rudira. Tetapi terbayang di rongga matanya, petani yang dicarinya itu berdiri berjajar di antara para petani yang lain. Tetapi demikian besar pengaruh tatapan matanya, sehingga ia justru tidak berani berhenti dan berbuat sesuatu atasnya, setelah sekian lama dicarinya.

“Gila” tiba-tiba penyesalan yang sangat telah melanda dinding jantungnya. Lalu katanya di dalam hatinya pula, “Kenapa aku justru pergi meninggalkan padukuhan itu setelah Mandra kalah? Gila, barangkali aku juga sudah gila melihat sikap orang-orang Sukawati yang seolah-olah semuanya sudah kerasukan iblis itu”

Raden Rudira mengangkat wajahnya ketika ibunya berkata, “Sudahlah. Jangan selalu kau renungi kegagalanmu. Itu tidak baik sama sekali. Besok atau lusa kau dapat mengulanginya. Mungkin orang itu sedang bersembunyi karena ia sudah menduga bahwa kau akan datang ke Sukawati”

Raden Rudira menganggukkan kepalanya.

“Karena itu, justru apabila mereka sudah tidak membicarakan-nya lagi, kau pergi dengan tiba-tiba saja ke padukuhan Sukawati itu”

Sekali lagi Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Raden Rudira itu dengan tergesa-gesa pergi ke pintu butulan kembali. Ketika dilihatnya seseorang pelayan lewat maka dipanggilnya pelayan itu mendekat.

“Panggil Mandra dan beberapa orang pengiring yang lain”

“Baik tuan”

“Apakah yang akan kau lakukan Rudira?” Bertanya ibunya yang menjadi heran.

Tetapi Rudira tidak menyahut. Dari kejauhan di bawah sinar obor di halaman ia melihat beberapa orang mendatanginya.

“He” berkata Raden Rudira setelah orang-orang itu berada di hadapannya, “Siapakah yang dapat pergi ke istana Ramanda Pangeran Mangkubumi”

Tidak seorang pun yang menyahut.

“Siapa yang mempunyai satu atau dua orang saudara yang. menjadi abdi di istana Ramanda Pangeran?”

“Apa yang akan kau perbuat Rudira?” bertanya ibunya.

Raden Rudira tidak menghiraukan pertanyaan ibunya. Sekali lagi ia bertanya kepada orang-orangnya, “Siapa yang mempunyai saudara yang tinggal di Dalem Istana Ramanda Pangeran Mangkubumi he?”

Sejenak orang-orangnya itu termangu-mangu. Namun kemudian seseorang di antara mereka berkata, “Aku Raden. Aku mempunyai seorang kakak yang bekerja disana. Menjadi abdi pekatik Pangeran Mangkubumi”

“Bagus, pergilah menemui kakakmu itu”

“Rudira” ibunya memotong, “Apakah kau sadari perintahmu itu?”

“Aku sadar sepenuhnya ibu. Bukankah bunda ingin mengaitkan bahwa hari telah larut malam?”

“Ya”

“Tidak ada. Orang itu harus menemui kakaknya saja. Apapun alasannya. Ia dapat menyebut bahwa ayahnya sakit atau ibunya atau siapa saja, sehingga ia mendapat ijin penjaga regol untuk memasuki halaman dan bertemu dengan kakaknya”

“Jika ia sudah menemui kakaknya, apa yang harus dikerjakan?”

“Hanya sekedar bertanya, apakah Ramanda Pangeran ada di istananya.

“Kenapa?” bertanya ibunya.

“Aku ingin meyakinkan, apakah Ramanda Pangeran ada di istana”

“Kenapa tidak besok saja Rudira”

“Aku memerlukannya sekarang ibu. Ada sesuatu yang memaksa aku untuk mengetahuinya sekarang”

Ibunya mengerutkan keningnya. Tetapi agaknya keinginan Rudira itu tidak dapat ditundanya lagi. Meskipun demikian ibunya berkata, “Rudira, lebih baik kau mohon nasehat ayahandamu”

Rudira mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak memerlukan nasehat apapun, karena aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin mengetahui, apakah Ramanda Pangeran ada di istananya. Hanya itu”

“Kenapa kau ingin mengetahuinya?”

“Ramanda Pangeran tidak ada di pesanggrahan”

“Dan kenapa harus sekarang?”

Raden Rudira termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, “Tidak apa-apa. Tetapi aku ingin mengetahuinya sekarang”

Ibunya tidak dapat mencegahnya lagi. Karena itu, ia pun tidak mencoba menahannya.

“Pergilah” berkata Rudira kepada orang yang mengaku mempunyai seorang kakak yang bekerja menjadi pekatik di Dalem Pangeran Mangkubumi itu.

Orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun Rudira segera membentak, “Pergi, cepat”

“Ya, ya tuan. Aku akan pergi”

Maka dengan tergesa-gesa orang itu pun meninggalkan istana Ranakusuman. Bagaimanapun juga ia tidak dapat menolak tugas itu. Sambil melangkahkan kakinya, maka ia pun mulai mereka-reka, alasan apakah yang akan dikemukakannya kepada para penjaga regol agar ia diperkenankan menemui kakaknya itu.

“Kakek sakit keras” desisnya, “mungkin alasan itu dapat diterima, meskipun kakek sudah lama meninggal. Lebih baik aku menyebut orang yang sudah meninggal daripada aku harus menyebut ayah dan ibuku. Bagaimana kalau mereka benar-benar menjadi sakit”

Sementara itu, di istana Ranakusuman, Rudira masih-berdiri di muka pintu sambil berkata, “Mandra, siapkan pengiring-pengiringku. Besok kita akan pergi lagi”

“Kemana Rudira?” bertanya ibunya.

“Aku harus menebus sakit hatiku. Lebih baik mengurus gadis kecil itu daripada petani Sukawati yang gila itu”

“Maksudmu?”

“Ada gadis cantik di Jati Aking. Ia dapat diambil sebagai abdi di istana ini. Ibunda tentu memerlukannya seorang dayang yang dapat membantu ibunda menyediakan tempat sirih dan botekan”

“Siapakah anak itu?”

“Anak Danatirta, Jati Aking”

“Danatirta?” Raden Ayu Sontrang mengerutkan keningnya, “Maksudmu dari padepokan Jati Aking, tempat tinggal Juwiring sekarang?”

“Ya”

“Apakah kau pergi ke Jati Aking”

“Ya. bukankah aku pernah mengatakan bahwa aku bertemu dengan petani gila itu di bulak Jati Sari?”

Raden Ayu Sontrang mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Ya. Kau memang pernah mengatakannya. Tetapi bagaimana dengan gadis itu?”

“Aku akan mengambilnya dan menyerahkannya kepada ibunda”

“Aku tidak memerlukannya”

“Barlah ia berada di istana ini. Gadis itu cantik. Jika ia tetap berada di Jati Aking bersama-sama dengan kangmas Juwiring, agaknya akan berbahaya baginya”

“Jangan kau urusi orang itu”

“Aku tidak akan mengurusi kangmas Juwiring, tetapi aku akan menyelamatkan gadis itu. Aku akan minta Kepada ayahnya, agar anak gadisnya diserahkan kepada ibunda”

“Kau akan menambah persoalan Rudira. Danatirta bukan anak-anak macam Sura” ibunya berhenti sejenak, lalu tiba-tiba, “He, dimana Sura sekarang?”

“Ia menjadi liar. Bahkan hampir berkhianat”

“Tidak mungkin. Ia adalah abdi tertua disini”

“Bertanyalah kepada orang-orang kita yang lain, ibu. Mereka akan memberikan keterangan dengan jujur. Tanpa ditambah dan tanpa dikurangi”

Raden, Ayu Sontrang mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap ragu-ragu atas keterangan puteranya itu. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi dan berkata, “Sudahlah. Hari sudah jauh malam, beristirahatlah”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dilemparkannya segala kelengkapan yang masih melekat di tubuhnya.

“Aku akan mandi. Kemudian aku memerlukan makan, aku lapar”

Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Disuruhnya pelayannya membangunkan pelayan yang lain. juru masak dan pembantu-pembantunya. Puteranya memerlukan makan meskipun sudah jauh malam.

Sambil menggerutu pelayan-pelayan di dapur itu pun mulai menyiapkan makan bagi Raden Rudira dengan tergesa-gesa. Apalagi Raden Rudira termasuk orang yang agak sulit dilayani, justru karena ibundanya sangat memanjakannya, terlebih-lebih lagi setelah Juwiring tidak ada lagi di istana itu.

“Raden Juwiring makan apa yang ada” berkata seorang juru masak kepada pembantunya, “Tetapi Raden Rudira memerlukan lauk yang disenanginya. Kapan pun ia ingin makan. Untunglah yang disenanginya tidak begitu sulit dicari. Telur ayam, otak lembu dan udang, yang hampir setiap hari pasti tersedia di dapur Dalem Ranakusuman”

Dalam pada itu. selagi Raden Rudira mandi, ibunda Raden Ayu Sontrang menunggunya di ruang dalam. Tetapi ia tidak membangunkan Pangeran Ranakusuma yang baru saja tidur, yang agaknya lelah juga selelah menghadap ke istana Susuhunan.

Sejenak Raden Ayu Sontrang duduk seorang diri di bawah lampu minyak yang menyala terang di ruang dalam. Sejenak ia sempat merenungi keadaan puteranya laki-laki. Ia berharap agar puteranya kelak menjadi satu-satunya pewaris segala kekayaan yang berlimpah di Ranakusuman ini. Bahkan Raden Ayu Sontrang masih belum puas dengan kekayaan yang ada. Ia masih juga menerima banyak sekali pemberian dari beberapa orang perwira kumpeni yang menjadi kawan-kawannya terdekat.

Kadang-kadang terasa bulu-bulunya meremang jika dikenang, imbalan yang harus diberikan kepada perwira-perwira berkulit putih itu. Kulit yang kasar dan sikap yang kasar. Tetapi gemerlapnya permata memang telah menyilaukannya.

“Kangmas Ranakusuman tidak menghiraukannya” berkata Raden Ayu Sontrang ini. Karena Kangmas Ranakusuma juga memerlukan dukungun dari orang-orang kulit putih itu untuk mendapat tempat terbaik di istana. Dukungan timbal balik”

Tetapi Raden Ayu Sontrang kemudian mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia tidak mau mendengarkan persoalan yang tumbuh di hatinya tentang dirinya sendiri. Apapun yang terjadi atas dirinya sudah dilakukannya dengan sadar, sehingga seharusnya tidak ada persoalan lagi baginya.

Dalam pada itu, seorang abdi yang diperintahkan oleh Raden Rudira pergi ke Mangkubumen, semakin lama menjadi semakin dekat dengan regol yang sudah tertutup. Dengan hati yang berdebar-debar ia mendekat, sementara ia masih juga mengatur alasan yang akan dikemukakannya.

“Memang lebih baik kakek” desisnya. Tetapi tiba-tiba, “Jika kakek yang sakit, kenapa tampaknya aku terlampau gugup. Kakek pasti sudah tua. Jika ia sakit keras, itu sudah wajar”

Pelayan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian, “Tetapi kakang telah diangkat menjadi anak kakek itu”

Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Tanpa disadarinya ia sudah berdiri di luar regol Dalem Mangkubumen.

Dengan tangan gemetar ia mengetuk lubang di pintu regol. Ketika lubang persegi empat itu terbuka, dilihatnya seraut wajah yang menjenguk dari lubang itu.

“Siapa?” Ia mendengar orang di dalam regol itu bertanya.

“Aku, Sampir”

“Sampir siapa?”

“Aku akan menemui kakangku yang bekerja disini sebagai pekatik”

“Malam-malam begini?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar