Orang ini adalah seorang pertapa tua yang amat menyeramkan. Kulit mukanya hitam gelap dan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang Hindu. Keningnya tinggi, matanya amat dalam, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal. Hidungnya panjang, mulutnya tipis. Telinganya panjang dan lebar, dan kepalanya terikat oleh pengikat kepala yang berwaarna putih dilibatkan beberapa kali di atas kepalanya. Jenggotnya pendek dan kasar sekali. Sang Prabu Samaratungga tidak tahu siapakah orang ini dan apa perlunya masuk ke dalam lapangan sayembara, maka ia lalu memberi isyarat kepada penjaga di bawah panggung.
Penjaga itu segera maju dan menghampiri pertapa itu, lalu bertanya,
“Hai, sang panembahan, engkau seorang pertapa tua mempunyai keperluan apakah memasuki lapangan ini ? “
Pertapa itu tertawa begelak, suara ketawanya tinggi dan nyaring sekali sehingga menyeramkan semua pendengarnya. Lalu ia mendorong penjaga itu dengan tangan kirinya.
Aneh sekali, biarpun tangannya tidak menyentuh dada penjaga yang berdiri sekitar satu tombak jauhnya, penjaga itu terlempar ke belakang dan bergulingan beberapa kali di atas tanah! Kemudian pertapa itu lalu menjura ke arah panggung dan berkata kepada Sang Prabu Samaratungga,
“Perkenankanlah saya memperkenalkan diri sebagai calon mantu Kerajaan Syailendra! Saya adalah seorang raja pula, seorang calon raja besar yang akan dapat mengangkat tinggi derajat Kerajaan Syailendra. Saya adalah Sang Maha Raja Siddha Kalagana, raja besar dari Kerajaan Durgaloka ! Saya mendengar tentang sayembara pemilihan mantu, maka saya datang untuk memasuki sayembara. Mana gendewa itu, hendak saya tarik sampai patah. Ha, ha, ha!“
Akan tetapi, ketika ia menengok, ia melihat Indrayana sedang menghampiri gendewa itu, maka ia berdiri saja menonton sambil tersenyum mengejek. Seperti Rakai Pikatan tadi, Indrayana dengan mudahnya dapat menarik gendewa itu sampai bulat, lalu menaruh kembali gendewa itu di atas meja, mengundurkan diri dan duduk di belakang kedua orang utusan dari Sriwijaya.
Ketika semua orang bersorak gemuruh memuji Indarayana. Sang Rakai memandang kearah Indrayana dengan muka pucat dan kening berkerut. Apakah maksud Indrayana dengan mengikuti sayembara ini, pikirnya tak senang. Bukankah Indrayana sudah melarikan diri dengan Candra Dewi dan sudah mengawini gadis itu?
Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika kebetulan Indrayana juga memandangnya dengan sinar mata yang amat mengejutkan, karena sinar mata Indrayana mengandung kebencian besar! Ia tahu bahwa Indrayana mempunyai perasaan yang sama, bahkan merasa marah dan penasaran.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah Indrayana menyerahkan surat pinangan Sang Rakai Pikatan kepada Panembahan Bayumurti, pemuda yang patah hati ini lalu pulang ke Syailendra, selanjutnya tinggal bersama ayahnya dan hidup sebagai seorang pertapa. Penghidupannya sudah aman dan luka hatinya sudah mulai sembuh.
Akan tetapi ketika ia ikut menonton sayembara yang diadakan Sang Prabu Samaratungga, hendak melihat siapa orangnya yang keluar sebagai pemenang dan menjadi calon suami Pramodawardani, tiba-tiba ia melihat Sang Rakai Pikatan memasuki sayembara! Bukan main marahnya Raden Pancapana ini ikut pula memasuki sayembara.
“Keparat ! “ makinya di dalam hati. “Baru saja mengambil Candra Dewi merampas kekasihku dari tanganku, sekarang ia sudah meninggalkannya untuk mencoba mendapatkan Pramodawardani! aku harus menghalang-halangi kesesatannya ini untuk menolong Candra Dewi!“
Demikianlah, tanpa banyak pikir lagi, ia lalu masuk ke dalam kalangan sayembara dan ikut menarik gendewa itu hingga berhasil baik.
Melihat betapa Indrayana musuh besarnya dahulu berhasil menarik gendewa, Siddha Kalagana lalu melangkah lebar menuju ke meja gendewa itu, tanpa banyak peradatan lagi ia menyambar gendewa dengan tangan kiri, tangan kanan menyahut talinya dan ditariknya gendewa ini sekuat tenaga. Akan tetapi ia merasa terkejut sekali karena gendewa itu benar-benar ampuh dan kuat sekali, sehingga jangankan untuk melengkungkannya, menggerakkannya saja ia tak mampu !
Memang sesungguhnya Siddha Kalagana tidak memiliki kedigdayaan yang timbul dari latihan-latihan olah raga, akan tetapi ia hanya memiliki aji kesaktian yang timbul dari mantera dan segala ilmu hitam yang aneh-aneh. Ia lalu berkemak-kemik membaca mantera, dari kedua tangannya mengepul uap hitam dan ketika ia menarik daya mukjizat yang melawan dan menolak tenaga hitam yang keluar dari tangan Siddha Kalagana. Terjadilah pergulatan antara tenaga hitam dan daya mujizat, dan akhirnya terpaksa gendewa pusaka itu harus mengakui keunggulan tenaga luar biasa yang keluar dari kedua tangan pendeta itu.
“Krak ! “ maka patahlah gendewa itu pada tengahnya, karena biarpun gendewa itu telah melengkung dan membulat, Siddha Kalagana masih saja membekuknya terus dengan tenaga yang makin lama makin ganas!
“Ramanda prabu, hamba juga hendak menerangkan syarat hamba sendiri."
Kemudian Sang Puteri membisikkan sesuatu kepada ayahnya dan wajah Sang Maha Raja Samaratungga berseri-seri. Ia memandang kepada puterinya dengan kagum sekali, kemudian sambil tersenyum girang ia berdiri lagi dan mengangkat tangan memberi tanda agar semua orang berdiam. Kemudian terdengarlah kata-katanya yang lantang dan berpengaruh.
“Dengarlah, hai rakyatku di Syailendra ! Dan terutama sekali kalian yang mengikuti sayembara ini ! Selain syarat-syarat yang kuajukan tadi, puteriku sendiripun mempunyai prasetia dan hanya mau menerima peminang yang dapat membangun sebuah candi Buddha yang besarnya segunung anakan! Untuk bangunan itu telah tersedia tanah suci milik puteri mahkota sendiri yaitu Desa Teru di Tepusan. Nah, sekian adanya syarat-syarat sayembara dan rakyat menjadi saksi utama siapa yang akan sanggup mengerjakan semua syarat dan mengadakan bukti-bukti yang diminta, berhak menjadi suami dari pada anakku. Puteri Pramodawardani ! “
Bukan main hebatnya sambutan rakyat atas syarat baru dari sang puteri ini. Berarti bahwa agama mereka akan tetap terjunjung tinggi, siapapun yang akan memenangkan sayembara itu akan memperisteri Sang Puteri Mahkota!
Sang Rakai Pikatan tertegun sebentar, kemudian ia mengangguk-angguk, di dalam hati ia memuji kebijaksanaan gurunya, yaitu Sang Panembahan Bayumurti yang pernah menyatakan bahwa tanah Jawa akan makmur dan persatuan dapat tercapai kalau Mataram sudah bangkit kembali dan jalannya hanya bersatu dengan Kerajaan Syailendra.
Setelah itu, pertemuan di alun-alunpun dibubarkan. Para pengikut sayembara yang lulus dalam ujian pertama itu dipersilakan untuk melakukan tugas dan pelaksanaan syarat-syarat selajutnya, sedangkan Sang Prabu beserta keluarga lalu kembali ke dalam keraton.
Sepasang senapati dari Sriwijaya, yaitu Kalinggajaya dan Kalinggapati, menjelajah seluruh Bukit Papak, mengelilinginya, masuk keluar hutan dan mendekati puncaknya sampai sehari, mereka berdua tidak menemukan sesuatu. Menjelang senjakala, kedua senopati itu mengaso dan duduk di bawah sebatang pohon randu alas yang amat besar.
“Dimas Kalinggapati,“ kata Kalinggajaya kepada adiknya, “telah sehari penuh kita berputar di gunung ini, akan tetapi iblis yang kita singkirkan itu tak juga muncul. Aku merasa ragu-ragu apakah benar-benar ada iblis yang mengganggu manusia tinggal di bukit ini?“
“Sesungguhnya, kangmas Kalinggajaya,“ jawab Kalinggapati, “sungguhpun alas dan gunung ini cukup angker dan liar, akan tetapi akupun tidak melihat sesuatu. Menurut cerita pendduduk di dekat gunung yang kutanyai sebelum kita berangkat, memang dahulu sering sekali terjadi penculikan atas diri gadis-gadis kampung yang dilakukan oleh seorang liar yang amat sakti. Boleh jadi dahulu memang ada seorang sakti yang jahat tinggal disini, akan tetapi siapa tahu kalau-kalau dia sudah mati.“
Baru saja Kalinggajaya mendorong tubuh adiknya dan bersama-sama menggelundung dari tempat duduknya sampai beberapa tombak jauhnya. Kalinggapati hendak menegur karena heran, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat kepala seekor ular amat besar dan panjang bergantung dari cabang pohon randu alas itu! Kalau saja Kalinggajaya tidak berlaku cepat, tentu tubuh Kalinggapati telah kena disambar oleh ular itu!
“Binatang keparat!“ seru Kalinggapati dengan amat marah dan senapati ini mencabut pedangnya, siap menyergap maju menyerang ular besar itu.
“Nanti dulu, dimas. Kau lihat, bukankah ular ini aneh sekali ? Seperti bukan ular biasa?" seru kalinggajaya kepada adiknya yang segera memandang dengan penuh perhatian.
Memang ular itu amat mengerikan. Besar tubuhnay seperti gelugu (batang pohon kelapa). Kulitnya mengkilap berwarna kelabu (abu-abu) kehitam-hitaman. Kepalanya lebar dan gepeng, akan tetapi mulutnya dapat terbuka lebar. Diantara kedua matanya yang kecil bergerak-gerak itu terdapat daging jadi yang bentuknya meruncing seperti tanduk. Dari mulutnya mendesis-desis itu nampak mengepul uap kehitaman. Inilah yang membuat Kalinggajaya menjadi heran dan sangsi, timbul kekhawatirannya dan mencegah adiknya berlaku gegabah.
“Awas, dimas, agaknya ia berbisa. Lebih baik menggunakan anak panah!”
Sambil berkata demikian Kalinggajaya mengambil busur dan anak panah, sedemikian Kalinggapati. Kedua orang senapati setengah tua itu mementang busur dan ketika tali gendewa dilepas, melesatlah dua batang anak panah bagaikan kilat menyambar, tepat menuju kearah kedua mata binatang itu.
Akan tetapi ular itu benar-benar hebat. Agaknya maklum bahwa kedua matanya takkan dapat menahan dua batang anak panah itu, maka cepat sekali kepalanya ditundukkan dan ia menerima datangnya kedua batang anak panah itu dengan kepalanya yang berbentuk daging! Dan….. alangkah kaget dan herannya kedua orang senapati Sriwijaya itu ketika melihat anak panah mereka mengenai kepala ular dan meleset tanpa melukainya sedikitpun juga.
“Dia kebal!!” seru Kalinggapati dengan kedua mata heran.
Ular itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian meluncur makin panjang dan agaknya hendak mengayun tubuhnya kearah kedua orang penyerangnya.
“Lekas pergunakan panah putih!” kata Kalinggajaya kepada adiknya.
Kedua orang senapati ini memang memiliki anak-anak panah yang ujungnya terbuat daripada logam putih yang amat keras dan jangankan tubuh orang atau binatang kebal, bahkan besi dan bajapun akan dapat tertembus oleh anak panah ini.
Kedua orang senapati Sriwijaya ini telah memasang anak panah putih mereka pada busur masing-masing dan ular itu ketika melihat cahaya yang keluar dari ujung anak-anak panah itu agaknya tahu akan keampuhan senjata ini, karena kepalanya bergerak-gerak ke kanan kiri seolah-olah merasa gelisah.
Gendewa dipentang dan agaknya sebentar lagi tubuh ular itu akan termakan oleh dua batang anak panah itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang senapati itu memekik keras lalu roboh terguling.
Busur dan anak panah terlepas dari pegangan dan di punggung mereka menancap lembing-lembing yang dilepas dari arah belakang! Mereka roboh mandi darah dan tak bernyawa lagi, dengan kulit berubah hitam karena lembing-lembing itu ternyata mengandung bisa ular yang amat jahat!
Masih terdengar gema suara jeritan kedua orang senapati yang tewas itu ketika dari balik semak-semak melompat keluar dua orang laki-laki yang berkepala gundul dan bertubuh jangkung kurus.
Usia mereka ini kurang lebih empat puluh tahun dan keadaan mereka memang amat luar biasa sehingga siapapun juga yang bertemu dengan mereka, terutama di waktu malam hari tentu akan mengira bahwa mereka adalah iblis-iblis dan bukan manusia. Selain kepala mereka yang gundul dan klimis, juga mereka tidak berkumis atau berjenggot sehingga muka mereka seperti muka bayi yang baru dicukur rambutnya.
Wajah mereka hampir sama, seperti pinang dibelah dua, hanya kulit muka mereka saja yang berbeda, seorang agak putih karena kulit mukanya penuh panu dan orang kedua agak kehitam-hitaman. Sepasang mata bundar menonjol hampir keluar dari rongga mata, hidung pesek hampir rata dengan tulang pipi sedangkan mulut mereka berbibir tipis dan lebar sekali. Mereka hanya mengenakan sebuah celana panjang hitam, adapun tubuh bagian atas telanjang sama sekali.
Inilah kedua saudara kembar yang menjadi iblis dari Gunung Papak. Mereka ini dahulunya adalah perwira-perwira gagah perkasa dari Mataram di zaman pemerintahan Prabu Sanjaya dan telah diusir dari kerajaan oleh karena mereka seringkali melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan.
Mereka melarikan diri dan akhirnya bertapa di atas Gunung Papak sambil memperdalam ilmu-ilmu dan kesaktian. Gunung itu memang terkenal angker dan seram, mungkin agaknya mereka telah dimasuki oleh roh-roh yang sesat jalan karena belum lama mereka berada di atas gunung itu, mereka telah berobah seperti orang-orang yang miring otaknya. Akan tetapi, mereka ini sungguh-sungguh amat sakti dan semua binatang ular yang berada di gunung itu seakan-akan menjadi bala tentara mereka!
Penjaga itu segera maju dan menghampiri pertapa itu, lalu bertanya,
“Hai, sang panembahan, engkau seorang pertapa tua mempunyai keperluan apakah memasuki lapangan ini ? “
Pertapa itu tertawa begelak, suara ketawanya tinggi dan nyaring sekali sehingga menyeramkan semua pendengarnya. Lalu ia mendorong penjaga itu dengan tangan kirinya.
Aneh sekali, biarpun tangannya tidak menyentuh dada penjaga yang berdiri sekitar satu tombak jauhnya, penjaga itu terlempar ke belakang dan bergulingan beberapa kali di atas tanah! Kemudian pertapa itu lalu menjura ke arah panggung dan berkata kepada Sang Prabu Samaratungga,
“Perkenankanlah saya memperkenalkan diri sebagai calon mantu Kerajaan Syailendra! Saya adalah seorang raja pula, seorang calon raja besar yang akan dapat mengangkat tinggi derajat Kerajaan Syailendra. Saya adalah Sang Maha Raja Siddha Kalagana, raja besar dari Kerajaan Durgaloka ! Saya mendengar tentang sayembara pemilihan mantu, maka saya datang untuk memasuki sayembara. Mana gendewa itu, hendak saya tarik sampai patah. Ha, ha, ha!“
Akan tetapi, ketika ia menengok, ia melihat Indrayana sedang menghampiri gendewa itu, maka ia berdiri saja menonton sambil tersenyum mengejek. Seperti Rakai Pikatan tadi, Indrayana dengan mudahnya dapat menarik gendewa itu sampai bulat, lalu menaruh kembali gendewa itu di atas meja, mengundurkan diri dan duduk di belakang kedua orang utusan dari Sriwijaya.
Ketika semua orang bersorak gemuruh memuji Indarayana. Sang Rakai memandang kearah Indrayana dengan muka pucat dan kening berkerut. Apakah maksud Indrayana dengan mengikuti sayembara ini, pikirnya tak senang. Bukankah Indrayana sudah melarikan diri dengan Candra Dewi dan sudah mengawini gadis itu?
Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika kebetulan Indrayana juga memandangnya dengan sinar mata yang amat mengejutkan, karena sinar mata Indrayana mengandung kebencian besar! Ia tahu bahwa Indrayana mempunyai perasaan yang sama, bahkan merasa marah dan penasaran.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah Indrayana menyerahkan surat pinangan Sang Rakai Pikatan kepada Panembahan Bayumurti, pemuda yang patah hati ini lalu pulang ke Syailendra, selanjutnya tinggal bersama ayahnya dan hidup sebagai seorang pertapa. Penghidupannya sudah aman dan luka hatinya sudah mulai sembuh.
Akan tetapi ketika ia ikut menonton sayembara yang diadakan Sang Prabu Samaratungga, hendak melihat siapa orangnya yang keluar sebagai pemenang dan menjadi calon suami Pramodawardani, tiba-tiba ia melihat Sang Rakai Pikatan memasuki sayembara! Bukan main marahnya Raden Pancapana ini ikut pula memasuki sayembara.
“Keparat ! “ makinya di dalam hati. “Baru saja mengambil Candra Dewi merampas kekasihku dari tanganku, sekarang ia sudah meninggalkannya untuk mencoba mendapatkan Pramodawardani! aku harus menghalang-halangi kesesatannya ini untuk menolong Candra Dewi!“
Demikianlah, tanpa banyak pikir lagi, ia lalu masuk ke dalam kalangan sayembara dan ikut menarik gendewa itu hingga berhasil baik.
Melihat betapa Indrayana musuh besarnya dahulu berhasil menarik gendewa, Siddha Kalagana lalu melangkah lebar menuju ke meja gendewa itu, tanpa banyak peradatan lagi ia menyambar gendewa dengan tangan kiri, tangan kanan menyahut talinya dan ditariknya gendewa ini sekuat tenaga. Akan tetapi ia merasa terkejut sekali karena gendewa itu benar-benar ampuh dan kuat sekali, sehingga jangankan untuk melengkungkannya, menggerakkannya saja ia tak mampu !
Memang sesungguhnya Siddha Kalagana tidak memiliki kedigdayaan yang timbul dari latihan-latihan olah raga, akan tetapi ia hanya memiliki aji kesaktian yang timbul dari mantera dan segala ilmu hitam yang aneh-aneh. Ia lalu berkemak-kemik membaca mantera, dari kedua tangannya mengepul uap hitam dan ketika ia menarik daya mukjizat yang melawan dan menolak tenaga hitam yang keluar dari tangan Siddha Kalagana. Terjadilah pergulatan antara tenaga hitam dan daya mujizat, dan akhirnya terpaksa gendewa pusaka itu harus mengakui keunggulan tenaga luar biasa yang keluar dari kedua tangan pendeta itu.
“Krak ! “ maka patahlah gendewa itu pada tengahnya, karena biarpun gendewa itu telah melengkung dan membulat, Siddha Kalagana masih saja membekuknya terus dengan tenaga yang makin lama makin ganas!
“Ramanda prabu, hamba juga hendak menerangkan syarat hamba sendiri."
Kemudian Sang Puteri membisikkan sesuatu kepada ayahnya dan wajah Sang Maha Raja Samaratungga berseri-seri. Ia memandang kepada puterinya dengan kagum sekali, kemudian sambil tersenyum girang ia berdiri lagi dan mengangkat tangan memberi tanda agar semua orang berdiam. Kemudian terdengarlah kata-katanya yang lantang dan berpengaruh.
“Dengarlah, hai rakyatku di Syailendra ! Dan terutama sekali kalian yang mengikuti sayembara ini ! Selain syarat-syarat yang kuajukan tadi, puteriku sendiripun mempunyai prasetia dan hanya mau menerima peminang yang dapat membangun sebuah candi Buddha yang besarnya segunung anakan! Untuk bangunan itu telah tersedia tanah suci milik puteri mahkota sendiri yaitu Desa Teru di Tepusan. Nah, sekian adanya syarat-syarat sayembara dan rakyat menjadi saksi utama siapa yang akan sanggup mengerjakan semua syarat dan mengadakan bukti-bukti yang diminta, berhak menjadi suami dari pada anakku. Puteri Pramodawardani ! “
Bukan main hebatnya sambutan rakyat atas syarat baru dari sang puteri ini. Berarti bahwa agama mereka akan tetap terjunjung tinggi, siapapun yang akan memenangkan sayembara itu akan memperisteri Sang Puteri Mahkota!
Sang Rakai Pikatan tertegun sebentar, kemudian ia mengangguk-angguk, di dalam hati ia memuji kebijaksanaan gurunya, yaitu Sang Panembahan Bayumurti yang pernah menyatakan bahwa tanah Jawa akan makmur dan persatuan dapat tercapai kalau Mataram sudah bangkit kembali dan jalannya hanya bersatu dengan Kerajaan Syailendra.
Setelah itu, pertemuan di alun-alunpun dibubarkan. Para pengikut sayembara yang lulus dalam ujian pertama itu dipersilakan untuk melakukan tugas dan pelaksanaan syarat-syarat selajutnya, sedangkan Sang Prabu beserta keluarga lalu kembali ke dalam keraton.
Sepasang senapati dari Sriwijaya, yaitu Kalinggajaya dan Kalinggapati, menjelajah seluruh Bukit Papak, mengelilinginya, masuk keluar hutan dan mendekati puncaknya sampai sehari, mereka berdua tidak menemukan sesuatu. Menjelang senjakala, kedua senopati itu mengaso dan duduk di bawah sebatang pohon randu alas yang amat besar.
“Dimas Kalinggapati,“ kata Kalinggajaya kepada adiknya, “telah sehari penuh kita berputar di gunung ini, akan tetapi iblis yang kita singkirkan itu tak juga muncul. Aku merasa ragu-ragu apakah benar-benar ada iblis yang mengganggu manusia tinggal di bukit ini?“
“Sesungguhnya, kangmas Kalinggajaya,“ jawab Kalinggapati, “sungguhpun alas dan gunung ini cukup angker dan liar, akan tetapi akupun tidak melihat sesuatu. Menurut cerita pendduduk di dekat gunung yang kutanyai sebelum kita berangkat, memang dahulu sering sekali terjadi penculikan atas diri gadis-gadis kampung yang dilakukan oleh seorang liar yang amat sakti. Boleh jadi dahulu memang ada seorang sakti yang jahat tinggal disini, akan tetapi siapa tahu kalau-kalau dia sudah mati.“
Baru saja Kalinggajaya mendorong tubuh adiknya dan bersama-sama menggelundung dari tempat duduknya sampai beberapa tombak jauhnya. Kalinggapati hendak menegur karena heran, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat kepala seekor ular amat besar dan panjang bergantung dari cabang pohon randu alas itu! Kalau saja Kalinggajaya tidak berlaku cepat, tentu tubuh Kalinggapati telah kena disambar oleh ular itu!
“Binatang keparat!“ seru Kalinggapati dengan amat marah dan senapati ini mencabut pedangnya, siap menyergap maju menyerang ular besar itu.
“Nanti dulu, dimas. Kau lihat, bukankah ular ini aneh sekali ? Seperti bukan ular biasa?" seru kalinggajaya kepada adiknya yang segera memandang dengan penuh perhatian.
Memang ular itu amat mengerikan. Besar tubuhnay seperti gelugu (batang pohon kelapa). Kulitnya mengkilap berwarna kelabu (abu-abu) kehitam-hitaman. Kepalanya lebar dan gepeng, akan tetapi mulutnya dapat terbuka lebar. Diantara kedua matanya yang kecil bergerak-gerak itu terdapat daging jadi yang bentuknya meruncing seperti tanduk. Dari mulutnya mendesis-desis itu nampak mengepul uap kehitaman. Inilah yang membuat Kalinggajaya menjadi heran dan sangsi, timbul kekhawatirannya dan mencegah adiknya berlaku gegabah.
“Awas, dimas, agaknya ia berbisa. Lebih baik menggunakan anak panah!”
Sambil berkata demikian Kalinggajaya mengambil busur dan anak panah, sedemikian Kalinggapati. Kedua orang senapati setengah tua itu mementang busur dan ketika tali gendewa dilepas, melesatlah dua batang anak panah bagaikan kilat menyambar, tepat menuju kearah kedua mata binatang itu.
Akan tetapi ular itu benar-benar hebat. Agaknya maklum bahwa kedua matanya takkan dapat menahan dua batang anak panah itu, maka cepat sekali kepalanya ditundukkan dan ia menerima datangnya kedua batang anak panah itu dengan kepalanya yang berbentuk daging! Dan….. alangkah kaget dan herannya kedua orang senapati Sriwijaya itu ketika melihat anak panah mereka mengenai kepala ular dan meleset tanpa melukainya sedikitpun juga.
“Dia kebal!!” seru Kalinggapati dengan kedua mata heran.
Ular itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian meluncur makin panjang dan agaknya hendak mengayun tubuhnya kearah kedua orang penyerangnya.
“Lekas pergunakan panah putih!” kata Kalinggajaya kepada adiknya.
Kedua orang senapati ini memang memiliki anak-anak panah yang ujungnya terbuat daripada logam putih yang amat keras dan jangankan tubuh orang atau binatang kebal, bahkan besi dan bajapun akan dapat tertembus oleh anak panah ini.
Kedua orang senapati Sriwijaya ini telah memasang anak panah putih mereka pada busur masing-masing dan ular itu ketika melihat cahaya yang keluar dari ujung anak-anak panah itu agaknya tahu akan keampuhan senjata ini, karena kepalanya bergerak-gerak ke kanan kiri seolah-olah merasa gelisah.
Gendewa dipentang dan agaknya sebentar lagi tubuh ular itu akan termakan oleh dua batang anak panah itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang senapati itu memekik keras lalu roboh terguling.
Busur dan anak panah terlepas dari pegangan dan di punggung mereka menancap lembing-lembing yang dilepas dari arah belakang! Mereka roboh mandi darah dan tak bernyawa lagi, dengan kulit berubah hitam karena lembing-lembing itu ternyata mengandung bisa ular yang amat jahat!
Masih terdengar gema suara jeritan kedua orang senapati yang tewas itu ketika dari balik semak-semak melompat keluar dua orang laki-laki yang berkepala gundul dan bertubuh jangkung kurus.
Usia mereka ini kurang lebih empat puluh tahun dan keadaan mereka memang amat luar biasa sehingga siapapun juga yang bertemu dengan mereka, terutama di waktu malam hari tentu akan mengira bahwa mereka adalah iblis-iblis dan bukan manusia. Selain kepala mereka yang gundul dan klimis, juga mereka tidak berkumis atau berjenggot sehingga muka mereka seperti muka bayi yang baru dicukur rambutnya.
Wajah mereka hampir sama, seperti pinang dibelah dua, hanya kulit muka mereka saja yang berbeda, seorang agak putih karena kulit mukanya penuh panu dan orang kedua agak kehitam-hitaman. Sepasang mata bundar menonjol hampir keluar dari rongga mata, hidung pesek hampir rata dengan tulang pipi sedangkan mulut mereka berbibir tipis dan lebar sekali. Mereka hanya mengenakan sebuah celana panjang hitam, adapun tubuh bagian atas telanjang sama sekali.
Inilah kedua saudara kembar yang menjadi iblis dari Gunung Papak. Mereka ini dahulunya adalah perwira-perwira gagah perkasa dari Mataram di zaman pemerintahan Prabu Sanjaya dan telah diusir dari kerajaan oleh karena mereka seringkali melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan.
Mereka melarikan diri dan akhirnya bertapa di atas Gunung Papak sambil memperdalam ilmu-ilmu dan kesaktian. Gunung itu memang terkenal angker dan seram, mungkin agaknya mereka telah dimasuki oleh roh-roh yang sesat jalan karena belum lama mereka berada di atas gunung itu, mereka telah berobah seperti orang-orang yang miring otaknya. Akan tetapi, mereka ini sungguh-sungguh amat sakti dan semua binatang ular yang berada di gunung itu seakan-akan menjadi bala tentara mereka!