Dalam pandangannya, bibir patung itu seakan-akan tersenyum manis, maka dengan mesra Indrayana lalu menciumnya. Baru sadarlah ia ketika hidung dan bibirnya bertemu dengan batu yang dingin dan kasar !
Ia menarik napas panjang lalu berlari cepat menuju ke Gunung Muria. Ia telah memasuki wilayah Mataram ketika seorang pertapa tua menghadang di tengah perjalanannya. Tadinya Indrayana tidak memperhatikan, akan tetapi ketika kakek yang berdiri di tengah jalan itu mengangkat tangan kanannya, ia memandang dan alangkah herannya bahwa kakek itu bukan lain adalah Panembahan Bayumurti pertapa yang mengganggu pembukaan Candi Lokesywara dengan persembahannya patung Dewi Tara yang kini dipondong oleh Indrayana, lalu berkata tersenyum,
“Ha, hendak kau bawa kemanakah patung Dewi Tara itu ? “
Merahlah muka Indrayana Kalau pertapa yang sakti ini tahu akan semua pengalamannya, tentu ia tahu pula bahwa ia telah gandrung dan tergila-gila kepada patung yang dianggapnya Sang Ayu Pramodawardani itu.
“Ini bukan patung Dewi Tara…… patung…… patung…… “ dengan ucapan gagap ini Indrayana lalu mengangkat patung itu dan memandangnya.
Tiba-tiba matanya terbelalak dan tak terasa patung itu terhempas dari tangannya, jatuh ke atas tanah dan patah lehernya ! ternyata muka patung itu tidak menyerupai wajah Pramodawardani lagi, akan tetapi menyerupai wajah Dewi Tara sebagaimana yang sering dibuatkan patungnya oleh para ahli seni pahat.
“Ha, ha ! “ Panembahan Bayumurti tertawa. “Pandangan mata memang hanya tipuan dan palsu belaka, Indrayana. Engkau hendak pergi ke tempat pertapaan eyangmu, Begawan Ekalaya, bukan? Cepat, mari engkau ikut aku ke pondokku. Lekas, betulkan disana. Tidak ada waktu lagi anak muda, cepat ! “
Ajakan ini sedemikian berpengaruh sehingga Indraana tak kuat menahan kehendak sendiri. Ia membungkuk, mengambil patung yang telah patah lehernya itu, lalu berjalan mengiringkan pendeta yang sakti itu menuju ke sebuah hutan kecil.
Kedatangan mereka disambut oleh sepasang anak muda elok sekali. Yang seorang adalah seorang pemuda sebaya dengan Indrayana, cakap, tampan, dan gagah sekali. Sepasang matanya amat berpengaruh dan tajam dan dari bentuk mukanya dapat diduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan, melainkan keturunan bagsawan tinggi. Pakaiannya berbeda dengan pakaian pemuda biasa, bahkan pada tangannya tampak gelang ukiran dari pada emas. Begitu bertemu pandang, Indrayana menjadi kagum dan juga timbul rasa hormat dan sukanya kepada pemuda itu dan diam-diam ada juga sedikit perasaan iri, karena dalam hal kecakapan dan kegagahan, pemuda ini benar-benar merupakan saingan berat !
Ketika ia melirik kepada orang kedua, kembali ia tertegun. Orang kedua adalah seorang dara yang usianya paling banyak enam belas tahun. Berbeda dengan pemuda itu, dara ini pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi justruh kesederhanaan pakaiannya ini makin menonjolkan kecantikannya yang asli dan murni. Seorang juita yang jarang ada duanya, terutama mulut yang selalu tersenyum manis dan sepasang mata yg bening kocak itu.
Bagaimana di dalam hutan kecil, di pondok reyot dari panembahan ini terdapat dua orang manusia yang cakap seperti Dewa Komajaya dan cantik seperti Dewi Komaratih ini? Panembahan Bayumurti memperkenalkan kedua orang muda itu kepada Indrayana dengan amat terburu-buru dan sederhana.
“Ini adalah muridku bernama Raden Pancapana, dan ini adalah anak tunggalku bernama Candra Dewi. Duduklah, Indrayana, duduklah. Dan kalian juga, Raden dan Dewi. Kalian bertiga dengarlah pesanku terakhir. “
Sungguhpun Indrayana dapat melihat keterkejutan yang tiba-tiba menyerang dara itu dan juga Raden Pancapana, namun keduanya dapat menenangkan perasaan dan duduk dengan tenang. Hal ini amat mengagumkan hatinya, karena ternyata bahwa kedua orang muda itu telah mempunyai cukup tenaga batin untuk menekan segala perasaan hatinya.
“Indrayana, dengarlah. Ayahmu dan aku adalah sahabat karib ketika ayahmu belum menyebrang ke Syailendra dulu. Kami berdua sefaham, senasib sependeritaan, bahkan bertapapun didalam satu gua. Akhirnya ayahmu mendapat kurnia dari Hyang Agung sehingga pandai membuat senajata, sedangkan aku hanya mendapat kurnia sebagai seorang pembuat patung saja. Seperti kau lihat sendiri, maksud baikku untuk mempersembahkan sebuah patung ternyata diterima dengan salah pengertian oleh Maha Raja Samaratungga. Hal itu tidak apa, karena Sang Prabu itu masih mempunyai alasan yang mengandung kebijaksanaan. Akan tetapi Maha Wiku Dharmamulya telah mempergunakan kesempatan itu untuk memperlihatkan dendam dan bencinya kepada kami orang-orang Mataram dan kepada kepercayaan dan agama kami. Ayahmu telah membuktikan kebijaksanaannya dan berusaha menolongku, maka sekarang, akupun harus membalas budinya itu. Ia berada dalam bahaya. “
Indrayana terkejut sekali,
“Dalam bahaya ? Siapakah yang mengganggu ayah ?” tanyanya kurang percaya.
“Siapa lagi kalau bukan Maha Wiku Dharmamulya yang meminjam kekuasaan Maha Raja Samaratungga. Bahkan kau sendiripun dan aku juga takkan mudah melepaskan diri dari jangkauan tangan Maha Wiku yang panjang dan penuh dendam, Indrayana. “
Pada saat Indrayana hendak bertanya, tiba-tiba terdengar suara orang dan derap kaki banyak sekali kuda menuju ke dalam hutan itu dan Panembahan Bayumurti berkata,
“Indrayana, kalau kau mau belajar seni pahat dan ukir dari murid dan puteriku, kau akan dapat membuat patung orang yang kau kasihi, akan tetapi kau harus berjanji mau mengajak murid dan puteriku menuju ke Gunung Muria dan menghadapkan mereka kepada eyangmu agar mendapatkan bimbingan. Yang datang itu adalah orang-orang syailendra, biarlah aku yang menghadapi mereka Kalian bertiga berangkatlah sekarang juga ke Muria ! “
“Rama panembahan…… “ dara jelita itu berseru sambil memandang kepada ayahnya. Jidatnya yang bagus itu berkerut dan matanya memandang ragu.
Panembahan Bayumurti menghampiri putrinya dan mengelus-elus rambut anaknya yang hitam, halus dan panjang itu.
“Dewi, bocah ayu jangan gelisah. Kau pergilah dan ikut kedua orang pemuda ini. Pasti akan selamat “
“Rama panembahan, aku lebih suka mati disampingmu daripada hidup jauh dari padamu, rama….“
Derap kaki kuda telah tiba di luar pondok dan di antara suara pikuk itu terdengar suara ketawa Panembahan Bayumurti yang nyaring ketika ia mendengar ucapan puterinya itu.
“Anakku yang manis, anakku yang denok ! Siapa mau kau mati di sampingku ? Kita takkan mati nak, sebelum Hyang Yamadipati mengulurkan tangannya. Jangan rewel, engkau pergilah ! Raden Pancapana, tolonglah kau jaga adikmu Si Dewi yang nakal. Nah, kalian bertiga, berangkatlah dari pintu belakang. Tidak ada waktu lagi ! “
Setengah ditarik lengannya oleh raden Pancapana, Candra Dewi berjalan ke luar dari pintu belakang, sebentar-sebentar menengok memandang ayahnya, diikuti Indrayana dari belakang. Patung yang patah lehernya itu ditinggalkan di dalam pondok. Setelah sekarang tidak menyerupai Pramodawardani, tak perlu ia bawa-bawa sepanjang jalan.
“Bayumurti dan Indrayana, menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan !“ terdengar Maha Wiku Dharmamulya di luar pondok.
Ternyata bahwa Maha Wiku itu datang sendiri memimpin pengejaran dan bersama dia ikut pula seorang pertapa berjubah kuning yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi besar bagaikan seorang raksasa. Memang dia ini bukanlah seorang Jawa, akan tetapi adalah seorang pendeta Buddha yang datang dari tanah Hindu dan bernama Wisananda.
Pendeta Wisananda ini baru beberapa bulan berada di Kerajaan Syailendra dan ternyata bahwa selain dia pandai sekali dalam hal pelajaran Agama Buddha, juga memiliki kesaktian yang tinggi dan memiliki pula ilmu sihir dan gaib yang mengagumkan orang. Maha Wiku Dharmamulya segera menghubungi dan mendekatinya, sehingga sebelum pendeta dari tanah hindu itu kenal dengan orang lain, telah menjadi sahabat dan pembantunya yang amat setia.
Mendengar seruan Maha Wiku Dharmamulya, Panembahan Bayumurti lalu keluar dari pondoknya sambil membawa arca Dewi Tara yang patah lehernya itu. Ia tersenyum menghadapi Maha Wiku Dharmamulya lalu berkata,
“Dharmamulya, engkau datang mau apakah? Apakah engkau hendak mengambil patung ini? Akan tetapi harus kubikin betul dulu, karena lehernya patah ! “ Sambil betkata demikian, kedua tangan pendeta ini bergerak memasang kepala patung yang patah itu pada lehernya, memencet-mencet dan mengelus-elus sebentar dan…… patung itu telah menjadi lebih baik kembali. Panembahan Bayumurti lalu meletakkan patung itu di atas tanah dan berkata, “ Nah, sekarang sudah baik kembali, kalau hendak kau bawa, bawalah ! “
Terdengar seruan kagum,
“Ahli patung yang luar biasa !“
Biarpun seruan itu di ucapkan dalam Bahasa Hindu, namun Panembahan Bayumurti yang sudah kenyang mempelajari kitab-kitab Weda, tentu saja dapat mengerti, maka ia tersenyum sambil memandang kepada orang yang mengeluarkan seruan memuji itu.
Ternyata bahwa yang memuji itu adalah Wisananda, pendeta Buddha dari Hindu itu yang merangkap kedua tangan memberi penghormatan kepada Bayumurti. Di negerinya, ahli pembuat patung amat dihormati, baik oleh pendeta pemeluk Agama Hindu kuno maupun oleh pendeta-pendeta Budha dan dianggap sebagai seorang yang amat tinggi kedudukannya, sejajar dengan para pendeta tinggi dan amat dihormati. Akan tetapi pada saat itu, Maha Wiku Dharmamulya melihat berkelebatnya tiga bayangan orang-orang muda melarikan diri dari pintu pondok sebelah belakang.
“Nah, itu dia si pemberontak Indrayana ! tangkap ! “
Beberapa orang perwira segera menyerbu dan berusaha menangkap indrayana, akan tetapi belum sempat mereka menjatuhkan tangan, Indrayana telah mendahului mereka dengan gerakan kaki tangannya sehingga tiga orang perwira yang menyerang di muka bergulingan mengaduh-aduh.
Para perwira dan tamtama segera mengepung dan menyerang bagaikan semut, akan tetapi kini bukan hanya Indrayana yang menyambut mereka, juga Raden Pancapana membantu Indrayana menghadapi para pengeroyok itu. Melihat sepak terjang Raden Pancapana yang sekali bergerak saja sudah menjatuhkan lima orang pengeroyok, terkejut dan kagumlah Indrayana. Tidak saja dalam ketampanan dan kegagahan, juga dalam ilmu kepandaian dan kedigdayaan.
Ksatriya ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkatnya. Ia makin gembira dan bersama Raden Pancapana lalu mengamuk. Para pengeroyok dianggap tumpukan rumput kering saja. Sekali dorong roboh bergulingan, sekali tendang cerai berai dan simpang siur.
Candra Dewi hanya berdiri menonton dan sepasang matanya yang indah itu bersinar gembira memandang kagum kepada Indrayana tanpa diketahui oleh yang dipandangnya. Melihat sepak terjang kedua orang yang dahsyat itu, Maha Wiku Dharmamulya maklum bahwa orang-orangnya takkan dapat berhasil untuk menangkap Indrayana, maka ia lalu berkata kepada Pendeta Wisananda.
“Saudara Wisananda, harap kau suka mengulurkan tangan membantu kami dan menangkap pemuda itu !“ Ia menuding ke arah Indrayana. “Dia adalah seorang pemuda yang telah mengina Sang Prabu dan berani menghina Candi Lokesywara yang kita bangun. “
Panembahan Bayumurti memandang tajam dan alagkah terkejutnya ketika ia melihat tubuh pendeta Hindu itu berkelebat dan tahu-tahu Pendeta Wisananda telah berdiri menghadang perjalanan Indrayana, Raden Pancapana, dan Candra dewi. Di tangannya terdapat sebatang tongkat panjang yang entah dari mana diambilnya.
Melihat gerakan pendeta asing ini, Indrayana dan raden Pancapana terkejut dan maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendeta berilmu tinggi, maka kedua orang muda itu lalu mencabut keris pusaka masing-masing dan menyerbu ke depan.
Akan tetapi, sambil tertawa Wisananda menggerakkan tongkatnya menangkis dan sekaligus kedua keris pemuda-pemuda itu beradu dengan tongkatnya yang ampuh. Indrayana dan kawannya terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka perih dan panas sekali.
Sebelum mereka hilang kagetnya, tiba-tiba tangan kiri Wisananda menyambar dan sehelai tambang berwarna biru meluncur dari tangan kiri itu ke arah Indrayana. Pemuda ini mencoba untuk menangkis, akan tetapi begitu lengan kanannya bertemu dengan tambang, tahu-tahu tambang itu terus melibat bagaikan ekor ular dan sebentar luar biasa itu ! Indrayana mengerahkan tenaga dan kesaktiannya, akan tetapi ia tak berdaya. Tambang itu terlalu kuat dan mempunyai daya yang mujizat sehingga makin keras ia memberontak. Makin erat pula ikatan pada tubuhnya !
Raden Pancapana hendak menolongnya, akan tetapi tongkat Wisananda terputar cepat dan mencegahnya mendekati tubuh Indrayana yang telah terikat erat dan tidak berdaya itu sehingga Pancapana terpaksa mundur lagi sambil menangkis dan mengelak dari serangan tongkat yang amat cepat dan berbahaya itu. Tiba-tiba nampak bayangan yang amat cepat berkelebat dan terdengar bentakan.
“Wisananda ! Jangan engkau menghina anak muda. Kalau engkau mempunyai kepandaian, lawanlah, aku, sama tua !“
Ia menarik napas panjang lalu berlari cepat menuju ke Gunung Muria. Ia telah memasuki wilayah Mataram ketika seorang pertapa tua menghadang di tengah perjalanannya. Tadinya Indrayana tidak memperhatikan, akan tetapi ketika kakek yang berdiri di tengah jalan itu mengangkat tangan kanannya, ia memandang dan alangkah herannya bahwa kakek itu bukan lain adalah Panembahan Bayumurti pertapa yang mengganggu pembukaan Candi Lokesywara dengan persembahannya patung Dewi Tara yang kini dipondong oleh Indrayana, lalu berkata tersenyum,
“Ha, hendak kau bawa kemanakah patung Dewi Tara itu ? “
Merahlah muka Indrayana Kalau pertapa yang sakti ini tahu akan semua pengalamannya, tentu ia tahu pula bahwa ia telah gandrung dan tergila-gila kepada patung yang dianggapnya Sang Ayu Pramodawardani itu.
“Ini bukan patung Dewi Tara…… patung…… patung…… “ dengan ucapan gagap ini Indrayana lalu mengangkat patung itu dan memandangnya.
Tiba-tiba matanya terbelalak dan tak terasa patung itu terhempas dari tangannya, jatuh ke atas tanah dan patah lehernya ! ternyata muka patung itu tidak menyerupai wajah Pramodawardani lagi, akan tetapi menyerupai wajah Dewi Tara sebagaimana yang sering dibuatkan patungnya oleh para ahli seni pahat.
“Ha, ha ! “ Panembahan Bayumurti tertawa. “Pandangan mata memang hanya tipuan dan palsu belaka, Indrayana. Engkau hendak pergi ke tempat pertapaan eyangmu, Begawan Ekalaya, bukan? Cepat, mari engkau ikut aku ke pondokku. Lekas, betulkan disana. Tidak ada waktu lagi anak muda, cepat ! “
Ajakan ini sedemikian berpengaruh sehingga Indraana tak kuat menahan kehendak sendiri. Ia membungkuk, mengambil patung yang telah patah lehernya itu, lalu berjalan mengiringkan pendeta yang sakti itu menuju ke sebuah hutan kecil.
Kedatangan mereka disambut oleh sepasang anak muda elok sekali. Yang seorang adalah seorang pemuda sebaya dengan Indrayana, cakap, tampan, dan gagah sekali. Sepasang matanya amat berpengaruh dan tajam dan dari bentuk mukanya dapat diduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan, melainkan keturunan bagsawan tinggi. Pakaiannya berbeda dengan pakaian pemuda biasa, bahkan pada tangannya tampak gelang ukiran dari pada emas. Begitu bertemu pandang, Indrayana menjadi kagum dan juga timbul rasa hormat dan sukanya kepada pemuda itu dan diam-diam ada juga sedikit perasaan iri, karena dalam hal kecakapan dan kegagahan, pemuda ini benar-benar merupakan saingan berat !
Ketika ia melirik kepada orang kedua, kembali ia tertegun. Orang kedua adalah seorang dara yang usianya paling banyak enam belas tahun. Berbeda dengan pemuda itu, dara ini pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi justruh kesederhanaan pakaiannya ini makin menonjolkan kecantikannya yang asli dan murni. Seorang juita yang jarang ada duanya, terutama mulut yang selalu tersenyum manis dan sepasang mata yg bening kocak itu.
Bagaimana di dalam hutan kecil, di pondok reyot dari panembahan ini terdapat dua orang manusia yang cakap seperti Dewa Komajaya dan cantik seperti Dewi Komaratih ini? Panembahan Bayumurti memperkenalkan kedua orang muda itu kepada Indrayana dengan amat terburu-buru dan sederhana.
“Ini adalah muridku bernama Raden Pancapana, dan ini adalah anak tunggalku bernama Candra Dewi. Duduklah, Indrayana, duduklah. Dan kalian juga, Raden dan Dewi. Kalian bertiga dengarlah pesanku terakhir. “
Sungguhpun Indrayana dapat melihat keterkejutan yang tiba-tiba menyerang dara itu dan juga Raden Pancapana, namun keduanya dapat menenangkan perasaan dan duduk dengan tenang. Hal ini amat mengagumkan hatinya, karena ternyata bahwa kedua orang muda itu telah mempunyai cukup tenaga batin untuk menekan segala perasaan hatinya.
“Indrayana, dengarlah. Ayahmu dan aku adalah sahabat karib ketika ayahmu belum menyebrang ke Syailendra dulu. Kami berdua sefaham, senasib sependeritaan, bahkan bertapapun didalam satu gua. Akhirnya ayahmu mendapat kurnia dari Hyang Agung sehingga pandai membuat senajata, sedangkan aku hanya mendapat kurnia sebagai seorang pembuat patung saja. Seperti kau lihat sendiri, maksud baikku untuk mempersembahkan sebuah patung ternyata diterima dengan salah pengertian oleh Maha Raja Samaratungga. Hal itu tidak apa, karena Sang Prabu itu masih mempunyai alasan yang mengandung kebijaksanaan. Akan tetapi Maha Wiku Dharmamulya telah mempergunakan kesempatan itu untuk memperlihatkan dendam dan bencinya kepada kami orang-orang Mataram dan kepada kepercayaan dan agama kami. Ayahmu telah membuktikan kebijaksanaannya dan berusaha menolongku, maka sekarang, akupun harus membalas budinya itu. Ia berada dalam bahaya. “
Indrayana terkejut sekali,
“Dalam bahaya ? Siapakah yang mengganggu ayah ?” tanyanya kurang percaya.
“Siapa lagi kalau bukan Maha Wiku Dharmamulya yang meminjam kekuasaan Maha Raja Samaratungga. Bahkan kau sendiripun dan aku juga takkan mudah melepaskan diri dari jangkauan tangan Maha Wiku yang panjang dan penuh dendam, Indrayana. “
Pada saat Indrayana hendak bertanya, tiba-tiba terdengar suara orang dan derap kaki banyak sekali kuda menuju ke dalam hutan itu dan Panembahan Bayumurti berkata,
“Indrayana, kalau kau mau belajar seni pahat dan ukir dari murid dan puteriku, kau akan dapat membuat patung orang yang kau kasihi, akan tetapi kau harus berjanji mau mengajak murid dan puteriku menuju ke Gunung Muria dan menghadapkan mereka kepada eyangmu agar mendapatkan bimbingan. Yang datang itu adalah orang-orang syailendra, biarlah aku yang menghadapi mereka Kalian bertiga berangkatlah sekarang juga ke Muria ! “
“Rama panembahan…… “ dara jelita itu berseru sambil memandang kepada ayahnya. Jidatnya yang bagus itu berkerut dan matanya memandang ragu.
Panembahan Bayumurti menghampiri putrinya dan mengelus-elus rambut anaknya yang hitam, halus dan panjang itu.
“Dewi, bocah ayu jangan gelisah. Kau pergilah dan ikut kedua orang pemuda ini. Pasti akan selamat “
“Rama panembahan, aku lebih suka mati disampingmu daripada hidup jauh dari padamu, rama….“
Derap kaki kuda telah tiba di luar pondok dan di antara suara pikuk itu terdengar suara ketawa Panembahan Bayumurti yang nyaring ketika ia mendengar ucapan puterinya itu.
“Anakku yang manis, anakku yang denok ! Siapa mau kau mati di sampingku ? Kita takkan mati nak, sebelum Hyang Yamadipati mengulurkan tangannya. Jangan rewel, engkau pergilah ! Raden Pancapana, tolonglah kau jaga adikmu Si Dewi yang nakal. Nah, kalian bertiga, berangkatlah dari pintu belakang. Tidak ada waktu lagi ! “
Setengah ditarik lengannya oleh raden Pancapana, Candra Dewi berjalan ke luar dari pintu belakang, sebentar-sebentar menengok memandang ayahnya, diikuti Indrayana dari belakang. Patung yang patah lehernya itu ditinggalkan di dalam pondok. Setelah sekarang tidak menyerupai Pramodawardani, tak perlu ia bawa-bawa sepanjang jalan.
“Bayumurti dan Indrayana, menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan !“ terdengar Maha Wiku Dharmamulya di luar pondok.
Ternyata bahwa Maha Wiku itu datang sendiri memimpin pengejaran dan bersama dia ikut pula seorang pertapa berjubah kuning yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi besar bagaikan seorang raksasa. Memang dia ini bukanlah seorang Jawa, akan tetapi adalah seorang pendeta Buddha yang datang dari tanah Hindu dan bernama Wisananda.
Pendeta Wisananda ini baru beberapa bulan berada di Kerajaan Syailendra dan ternyata bahwa selain dia pandai sekali dalam hal pelajaran Agama Buddha, juga memiliki kesaktian yang tinggi dan memiliki pula ilmu sihir dan gaib yang mengagumkan orang. Maha Wiku Dharmamulya segera menghubungi dan mendekatinya, sehingga sebelum pendeta dari tanah hindu itu kenal dengan orang lain, telah menjadi sahabat dan pembantunya yang amat setia.
Mendengar seruan Maha Wiku Dharmamulya, Panembahan Bayumurti lalu keluar dari pondoknya sambil membawa arca Dewi Tara yang patah lehernya itu. Ia tersenyum menghadapi Maha Wiku Dharmamulya lalu berkata,
“Dharmamulya, engkau datang mau apakah? Apakah engkau hendak mengambil patung ini? Akan tetapi harus kubikin betul dulu, karena lehernya patah ! “ Sambil betkata demikian, kedua tangan pendeta ini bergerak memasang kepala patung yang patah itu pada lehernya, memencet-mencet dan mengelus-elus sebentar dan…… patung itu telah menjadi lebih baik kembali. Panembahan Bayumurti lalu meletakkan patung itu di atas tanah dan berkata, “ Nah, sekarang sudah baik kembali, kalau hendak kau bawa, bawalah ! “
Terdengar seruan kagum,
“Ahli patung yang luar biasa !“
Biarpun seruan itu di ucapkan dalam Bahasa Hindu, namun Panembahan Bayumurti yang sudah kenyang mempelajari kitab-kitab Weda, tentu saja dapat mengerti, maka ia tersenyum sambil memandang kepada orang yang mengeluarkan seruan memuji itu.
Ternyata bahwa yang memuji itu adalah Wisananda, pendeta Buddha dari Hindu itu yang merangkap kedua tangan memberi penghormatan kepada Bayumurti. Di negerinya, ahli pembuat patung amat dihormati, baik oleh pendeta pemeluk Agama Hindu kuno maupun oleh pendeta-pendeta Budha dan dianggap sebagai seorang yang amat tinggi kedudukannya, sejajar dengan para pendeta tinggi dan amat dihormati. Akan tetapi pada saat itu, Maha Wiku Dharmamulya melihat berkelebatnya tiga bayangan orang-orang muda melarikan diri dari pintu pondok sebelah belakang.
“Nah, itu dia si pemberontak Indrayana ! tangkap ! “
Beberapa orang perwira segera menyerbu dan berusaha menangkap indrayana, akan tetapi belum sempat mereka menjatuhkan tangan, Indrayana telah mendahului mereka dengan gerakan kaki tangannya sehingga tiga orang perwira yang menyerang di muka bergulingan mengaduh-aduh.
Para perwira dan tamtama segera mengepung dan menyerang bagaikan semut, akan tetapi kini bukan hanya Indrayana yang menyambut mereka, juga Raden Pancapana membantu Indrayana menghadapi para pengeroyok itu. Melihat sepak terjang Raden Pancapana yang sekali bergerak saja sudah menjatuhkan lima orang pengeroyok, terkejut dan kagumlah Indrayana. Tidak saja dalam ketampanan dan kegagahan, juga dalam ilmu kepandaian dan kedigdayaan.
Ksatriya ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkatnya. Ia makin gembira dan bersama Raden Pancapana lalu mengamuk. Para pengeroyok dianggap tumpukan rumput kering saja. Sekali dorong roboh bergulingan, sekali tendang cerai berai dan simpang siur.
Candra Dewi hanya berdiri menonton dan sepasang matanya yang indah itu bersinar gembira memandang kagum kepada Indrayana tanpa diketahui oleh yang dipandangnya. Melihat sepak terjang kedua orang yang dahsyat itu, Maha Wiku Dharmamulya maklum bahwa orang-orangnya takkan dapat berhasil untuk menangkap Indrayana, maka ia lalu berkata kepada Pendeta Wisananda.
“Saudara Wisananda, harap kau suka mengulurkan tangan membantu kami dan menangkap pemuda itu !“ Ia menuding ke arah Indrayana. “Dia adalah seorang pemuda yang telah mengina Sang Prabu dan berani menghina Candi Lokesywara yang kita bangun. “
Panembahan Bayumurti memandang tajam dan alagkah terkejutnya ketika ia melihat tubuh pendeta Hindu itu berkelebat dan tahu-tahu Pendeta Wisananda telah berdiri menghadang perjalanan Indrayana, Raden Pancapana, dan Candra dewi. Di tangannya terdapat sebatang tongkat panjang yang entah dari mana diambilnya.
Melihat gerakan pendeta asing ini, Indrayana dan raden Pancapana terkejut dan maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendeta berilmu tinggi, maka kedua orang muda itu lalu mencabut keris pusaka masing-masing dan menyerbu ke depan.
Akan tetapi, sambil tertawa Wisananda menggerakkan tongkatnya menangkis dan sekaligus kedua keris pemuda-pemuda itu beradu dengan tongkatnya yang ampuh. Indrayana dan kawannya terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka perih dan panas sekali.
Sebelum mereka hilang kagetnya, tiba-tiba tangan kiri Wisananda menyambar dan sehelai tambang berwarna biru meluncur dari tangan kiri itu ke arah Indrayana. Pemuda ini mencoba untuk menangkis, akan tetapi begitu lengan kanannya bertemu dengan tambang, tahu-tahu tambang itu terus melibat bagaikan ekor ular dan sebentar luar biasa itu ! Indrayana mengerahkan tenaga dan kesaktiannya, akan tetapi ia tak berdaya. Tambang itu terlalu kuat dan mempunyai daya yang mujizat sehingga makin keras ia memberontak. Makin erat pula ikatan pada tubuhnya !
Raden Pancapana hendak menolongnya, akan tetapi tongkat Wisananda terputar cepat dan mencegahnya mendekati tubuh Indrayana yang telah terikat erat dan tidak berdaya itu sehingga Pancapana terpaksa mundur lagi sambil menangkis dan mengelak dari serangan tongkat yang amat cepat dan berbahaya itu. Tiba-tiba nampak bayangan yang amat cepat berkelebat dan terdengar bentakan.
“Wisananda ! Jangan engkau menghina anak muda. Kalau engkau mempunyai kepandaian, lawanlah, aku, sama tua !“