-------------------------------
----------------------------
Bab 06
Sesungguhnya Ouw Yang Hong
pergi ke kota-raja untuk menikmati panorama daerah selatan. Namun begitu dia
tiba di kotaraja, justru mengalami berbagai kejadian, bahkan dipermalukan pula
oleh Su Ciau Hwa Cu. Oleh karena itu, dia berjanji dalam hati, apabila kelak
dia berhasil menguasai kungfu tinggi, dia akan membalasnya.
Setelah berjanji demikian
dalam hati, dia segera kembali ke kotaraja. Ketika melewati sebuah desa, dia
berhenti sambil menengok ke sana ke mari. Tampak puluhan gubuk di situ. Gubuk-gubuk
tersebut sudah tidak karuan, boleh dikatakan menyerupai kandang kambing.
Terlihat pula belasan orang sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Di
antaranya terdapat kaum wanita yang semuanya mengenakan pakaian kasar, pertanda
itu adalah sebuah desa miskin.
Akan tetapi, mereka justru
bekerja sambil mengobrol, dan kadang-kadang terdengar pula suara tawa.
Ouw Yang Hong merasa lapar.
Dia menghampiri mereka, kemudian berkata dengan sopan.
"Maaf, aku datang dari
tempat jauh, bolehkah aku minta sedikit makanan?"
Semua orang itu berhenti
bekerja. Mereka memandang Ouw Yang Hong dengan penuh keheranan. Terutama tiga
orang gadis, mereka menatapnya dengan mata terbeliak. Maklum, Ouw Yang Hong
termasuk pemuda yang cukup tampan, maka ketiga gadis itu kesemsem menyaksikannya.
Berselang sesaat, salah
seorang tua menyahut.
"Anak muda, di desa
miskin ini tidak ada ma-kanan lezat."
Ouw Yang Hong memang sudah
lapar sekali, bagaimana memilih makanan lagi?
"Tidak jadi masalah,
terimakasih!" katanya.
Orang tua itu lalu
mempersilakannya masuk. Ouw Yang Hong mengucapkan terimakasih lagi dan kemudian
masuk ke dalam.
Setelah Ouw Yang Hong duduk,
orang tua itu menyajikan beberapa macam hidangan yang terdiri dari sayur-mayur.
Dia pun menyuguhkan arak lalu duduk di hadapan Ouw Yang Hong.
"Silakan makan!"
ucap orang tua itu.
"Terimakasih. Paman
tua!" sahut Ouw Yang Hong.
Mereka berdua mulai bersantap,
kemudian me-neguk arak. Berselang beberapa saat, orang tua itu berkata.
"Kau begitu sopan dan
mirip seorang sastra-wan, tapi logatmu seperti dari daerah See Hek. Di sini
merupakan desa miskin di luar kotaraja, maka jarang aku berjumpa dengan orang
semacammu."
Ouw Yang Hong menyahut
memberitahukan.
"Dugaan Paman tua tidak
salah, aku memang berasal dari Gunung Pek Tho San di See Hek. Sejak kecil aku
sudah belajar membaca dan ilmu surat. Aku datang di kotaraja hanya ingin
menikmati panoramanya, sekaligus menambah pengetahuanku. Akan tetapi, aku
sungguh kecewa! Karena yang kusaksikan hanya penindasan belaka, bahkan saling
membunuh pula."
Orang tua itu
menggeleng-gelengkan kepala. Mereka berdua terus minum sambil bercakap-cakap,
kelihatannya mereka berdua amat cocok satu sama lain.
Tak terasa hari sudah mulai
senja. Orang-orang yang bekerja di sawah, dan yang menggembala sapi sudah
kembali ke rumah masing-masing.
Orang tua itu tampak gembira
sekali. Dia segera memperkenalkan semua keluarganya kepada Ouw Yang Hong.
Betapa terharunya Ouw Yang Hong, sebab mereka semua amat baik dan ramah
terhadapnya.
Mendadak terdengar suara suling
yang amat nyaring dan merdu, dan menggetarkan hati, sehingga membuat mereka
mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Setelah itu terdengar pula
suara langkah yang amat ramai, yang kemudian disusul oleh suara seruan lantang.
"Semuanya dengar
baik-baik, Tay Mok Pek Tho San San Kun (Tuan Dari Gunung Pek Tho San) akan
melewati tempat ini, semua orang yang ada di desa ini harus menyingkir!"
Tampak begitu banyak obor dan
orang berjalan di desa itu. Berselang sesaat, lenyaplah suara yang amat ramai
tadi.
Ouw Yang Hong mengerutkan
kening sambil berkata dalam hati. Sungguh mengherankan! Sudah lama aku tinggal
di See Hek, tahu Pek Tho San San Kun merupakan orang yang berkepandaian amat
tinggi di sana, bersifat aneh dan suka membunuh orang. Tapi mengapa dia menuju
kotaraja, apakah dia ingin bertarung dengan tokoh-tokoh tangguh di Tionggoan?
Ketika Ouw Yang Hong sedang
berpikir, mendadak terdengar lagi suara seruan lantang.
"Keluar semua! San Kun
ingin bicara!"
Desa itu amat kecil, hanya
terdiri dari puluhan rumah dan kurang lebih seratus penduduk.
Para penduduk desa melongok
keluar dari jendela. Di bawah sinar obor, tampak sebuah tandu yang dikelilingi
belasan orang bersenjata tajam. Di belakang orang-orang itu, berbaring pula
entah berapa banyak ular berbisa sambil mendesis-desis menjulurkan lidahnya.
Di tandu itu duduk seorang
anak kecil, tapi setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata bukan anak
kecil, melainkan seorang lelaki yang sudah berumur. Hanya saja lelaki itu amat
pendek, begitu pula sepasang tangan dan kakinya, tapi kepalanya amat besar dan
brewok.
Ternyata dia adalah Pek Tho
San San Kun. Tak lama terdengar lagi suara seruan.
"Kalian semua adalah
penduduk desa di pinggir kotaraja, tentunya tahu keadaan rimba persilatan
Tionggoan! Kalian katakan, siapa yang memiliki Iwee kang, ilmu pedang, formasi
pasukan dan mahir racun yang paling hebat dalam rimba persilatan
Tionggoan?"
Tiada seorang pun penduduk
desa itu yang menyahut, sebab mereka adalah petani, bukan kaum rimba
persilatan, bagaimana mungkin mengetahui itu?
Karena para penduduk desa diam
saja, maka timbullah kegusaran orang yang berseru tadi.
"Bicaralah! Mengapa tidak
bicara?" bentaknya.
Orang tua yang menjamu Ouw
Yang Hong berjalan ke luar, kemudian berkata kepada orang itu.
"Kami semua hanya
merupakan penduduk desa biasa, yang setiap hari berada di sawah ladang,
bagaimana tahu urusan dalam rimba persilatan? Karena itu, lebih baik San Kun
bertanya ke tempat lain!"
Mendadak terdengar suara tawa,
yang walau kedengaran halus, tapi amat menusuk telinga, bahkan menggoncangkan
hati, sehingga membuat wajah mereka menjadi pucat pias. Tampak bibir lelaki
pendek berkepala besar yang duduk di tandu itu bergerak-gerak, dan terdengarlah
suara yang serak dan parau.
"Pernahkah kalian melihat
Ong Tiong Yang, ketua Coan Cin Kauw?"
Bagaimana mungkin penduduk
desa itu tahu tentang orang tersebut? Mereka hanya tahu ber-cocok tanam, maka
mereka diam saja.
Lelaki itu tertawa gelak,
kemudian bersiul panjang. Begitu mendengar suara siulan itu, ular-ular berbisa
yang diam dari tadi mulai merayap ke arah para penduduk desa.
Betapa takutnya para penduduk
desa, terutama anak gadis dan anak kecil. Saking takutnya mereka menjadi tidak
bisa lari. Sedangkan ular-ular berbisa itu telah mendekati mereka, dan tak lama
terdengarlah suara jeritan.
Menyaksikan itu, lelaki pendek
tersebut malah bertepuk tangan sambil tertawa gelak.
"Ha ha ha! Bagus! Bagus!
Aku tidak usah bersusah payah mencari makanan untuk ular-ular peliharaanku!
Dengan adanya kalian, semua ularku pasti akan kenyang!"
Sementara para penduduk desa
sudah kacau balau, malah di antaranya sudah ada yang digigit ular berbisa.
Sesungguhnya Ouw Yang Hong
tidak mau menemui Pek Tho San San Kun, tapi ketika melihat para penduduk desa
akan mati digigit ular berbisa, maka dia segera keluar sambil berseru.
"Tunggu, aku mau
bicara!"
Begitu mendengar suara seruan
Ouw Yang Hong, Pek Tho San San Kun bersiul aneh, lalu semua ular berbisa diam
seketika.
Pek Tho San San Kun menatap
Ouw Yang Hong seraya bertanya.
"Siapa kau?"
Ouw Yang Hong menyahut
lantang.
"Aku tahu jago-jago
tangguh rimba persilatan Tionggoan, tapi kenapa kau tidak bertanya kepadaku,
melainkan malah bertanya kepada penduduk desa, bagaimana mungkin mereka
tahu?"
San Kun menatap Ouw Yang Hong
dengan penuh perhatian. Dia merasa heran dalam hati, sebab di desa sekecil itu
terdapat pemuda yang begitu gagah?
Setelah menatapnya sejenak,
barulah San Kun berkata.
"Katakan! Siapa jago yang
paling tangguh da-lam rimba persilatan Tionggoan masa kini?"
Ouw Yang Hong tertawa
menyahut.
"Aku bukan kaum rimba
persilatan, hanya per-nah mendengar dari orang, bahwa jago yang paling tangguh
dalam rimba persilatan Tionggoan masa kini adalah Ong Tiong Yang, ketua Coan
Cin Kauw di Gunung Cong Lam San, masih muda dan serba bisa. Namun sayang
sekali, aku tidak pernah berjumpa dengannya. Akan tetapi, ketika aku berada di
kotaraja, aku pernah berjumpa dengan Su Ciau Hwa Cu, Tetua Kay Pang yang
berkarung sembilan, dan Ang Cit Kong, muridnya yang berkarung delapan.
Bahkan aku pun pernah melihat
It Sok Taysu dari Yun Lam Tayli, keluarga Toan. Taysu itu bersama Oey Yok Su,
majikan Pulau Tho Hoa To dari Tong Hai. Mereka berdua mengadu kepandaian. Amat
luas kolong langit, aku hanya berjumpa dengan beberapa jago tangguh dalam rimba
persilatan Tionggoan."
Pek Tho San San Kun
mengerutkan kening, lalu berkata.
"Meskipun mereka
merupakan jago tangguh dalam rimba persilatan Tionggoan, tapi apakah mereka
bisa dibandingkan dengan jago-jago tangguh dari Gunung Pek Tho San?"
Ouw Yang Hong tertawa.
Ternyata dia menter-tawakan Pek Tho San San Kun, yang terlampau menyombongkan
diri. Ouw Yang Hong tinggal di kaki Gunung Pek Tho San, maka dia tahu orang
yang berkepandaian paling tinggi di kaki gunung tersebut adalah Ouw Yang Coan,
kakaknya.
Akan tetapi, kepandaian
kakaknya masih tidak dapat dibandingkan dengan It Sok Taysu dari Tay-li, juga
tidak dapat dibandingkan dengan Oey Yok Su maupun Su Ciau Hwa Cu. Kepandaian
aliran Pek Tho San boleh dikatakan terbatas, seperti halnya Pek Tho San San Kun,
tapi dia justru amat menyombongkan diri.
Setelah berpikir demikian, Ouw
Yang Hong berkata dengan sungguh-sungguh.
"Menurutku, San Kun masih
tidak dapat diban-dingkan dengan It Sok Taysu, Oey Yok Su maupun Su Ciau Hwa
Cu, sebab kepandaian mereka amat tinggi ..."
Ketika Ouw Yang Hong berkata
sampai di situ, Pek Tho San San Kun langsung berteriak aneh dan berkata.
"Aku tidak percaya,
pokoknya aku tidak percaya! Katakan! Di mana Ong Tiong Yang ? Suruh dia ke
mari! Di mana Su Ciau Hwa Cu? Aku mau bertanding dengannya!"
Begitu mendengar kata-katanya,
Ouw Yang Hong tahu Pek Tho San San Kun merupakan orang yang tak tahu aturan.
Pek Tho San San Kun tertawa
dingin, lalu menuding Ouw Yang Hong sambil bersiul. Seketika juga tampak
beberapa ekor ular berbisa meluncur ke arah Ouw Yang Hong, lalu melilit
pinggang dan lehernya.
Betapa terkejutnya Ouw Yang
Hong. Kemu-dian dengan hati berdebar-debar tegang, dia memandang Pek Tho San
San Kun seraya berkata.
"San Kun mau apa, bilang
saja!"
Pek Tho San San Kun tertawa gelak,
lalu me-nyahut.
"Kau katakan, dengan
kepandaianku ini, apakah aku bisa menjadi orang gagah nomor wahid dalam rimba
persilatan?"
Ouw Yang Hong diam tapi
berkata dalam hati. Kau memang tak tahu diri. Hanya sebagai majikan Gunung Pek
Tho San, kau sudah begitu sombong! Kau seperti katak dalam sumur, tidak tahu
berapa tingginya langit! Ingin menjagoi rimba persilatan Tionggoan? Itu hanya
bermimpi di siang hari bolong! Walau Ouw Yang Hong berkata demikian dalam hati,
namun tidak berani mencetuskannya, sebab dia tahu Pek Tho San San Kun berhati
kejam. Kalau majikan Pek Tho San itu gusar, nyawanya pasti melayang.
Ketika melihat Ouw Yang Hong
diam saja, Pek Tho San San Kun mengerutkan kening sambil berkata.
"Aku akan menyuruhmu
menyaksikan keht; balauku!"
Pek Tho San San Kun bersiul
aneh. Kemudian semua ular berbisa yang melilit Ouw Yang Hong langsung merayap
turun.
Ouw Yang Hong menarik nafas
lega seketika. Tapi di saat bersamaan, Pek Tho San San Kun bertepuk tangan tiga
kali. Kemudian terdengarlah suara musik mengalun halus, merdu dan amat sedap
didengar. Tak lama tampak dua baris anak-anak cantik jelita berjalan ke luar
dengan lemah gemulai. Semua gadis itu mengenakan gaun putih panjang. Mereka
berjalan melayang-layang, sehingga gaun mereka berkibar-kibar, sungguh indah
menakjubkan!
"Tiada orang berjalan di
gurun. Sunyi sepi tiada suara di langit. Memandang dengan mata bening berharap
tuan selalu ada. Orang selalu menikmati keindahan alam."
Para gadis itu bernyanyi
sambil menari, se-hingga membuat penduduk desa memandang dengan mata terbelalak
dan mulut ternftmga lebar.
Mereka semua tidak pernah
melihat gadis-gadis secantik itu, apa lagi tari-tarian seperti itu. Maka mereka
melupakan mara bahaya yang mengancam diri mereka.
Tiba-tiba hati Ouw Yang Hong
tersentak. Ter-nyata dia pernah mendengar dari kakaknya, bahwa Pek Tho San San
Kun memiliki semacam ilmu sesat, yang dapat membuat para gadis menari porno,
menyebabkan orang yang menyaksikannya akan terpengaruh. Oleh karena itu, hati
Ouw Yang Hong menjadi tersentak, tahu akan kelihayan ilmu sesat itu.
Seorang pemuda desa, ketika
menyaksikan para gadis itu menari, darahnya pun mulai bergolak-golak. Saking
tak tahan akhirnya menerjang ke arah gadis-gadis itu, namun mendadak roboh
menindih ular-ular berbisa yang di situ.
Ular-ular berbisa itu langsung
menggigitnya, dan dalam waktu sekejap, pemuda itu sudah ber-ubah menjadi sebuah
tengkorak.
Bukan main terkejutnya para
penduduk desa itu, tapi mereka tetap terpengaruh oleh musik yang menggetarkan
hati, maka mereka tampak seperti kehilangan kesadaran.
Salah seorang wanita muda,
wajahnya berseri-seri dengan penuh rasa cinta, berkata dengan lembut seakan
berhadapan dengan sang kekasihnya.
"Atua, aku menyukaimu.
Kau pun bilang me-nyukaiku, tapi mengapa kau tidak berbicara? Apakah kau telah
melupakanku? Hari itu aku memetik sekuntum bunga dari rumahku, lalu
kupersembahkan kepadamu. Kau takut, tidak berani menerima persembahanku itu,
maka aku terpaksa menaruh bunga itu di tanah. Tengah malam secara diam-diam kau
menemuiku,lalu kita berdua saling memadu cinta. Apakah kau telah melupakan
semua itu?"
Dengan wajah penuh diliputi
perasaan cinta, wanita muda itu mendekati ular-ular berbisa. Dalam
penglihatannya, ular-ular berbisa itu adalah sang kekasihnya.
Betapa terkejutnya para
penduduk desa. Sesungguhnya wanita muda itu merupakan wanita baik dan amat
lembut di desa tersebut. Apabila dia tadi berkata begitu, siapa pun tidak akan
tahu dia mencintai Atua secara diam-diam.
Akan tetapi, para penduduk pun
sudah ter-pengaruh oleh musik itu, maka tidak dapat berbuat apa pun, karena
kaki mereka terpaku di tempat. Semuanya hanya diam menyaksikan wanita muda itu
berjalan ke arah ular-ular berbisa, kelihatannya wanita muda itu pasti akan
mati digigit ular-ular berbisa tersebut.
Di saat bersamaan, mendadak
terdengar suara suling yang amat nyaring. Begitu mendengar suara suling itu,
para penduduk dan wanita muda itu tersentak sadar, kemudian wanita muda itu
menghentikan langkahnya.
Dapat dibayangkan, betapa
gusarnya Pek Tho San San Kun. Dia segera mengerahkan lwee kang, kemudian
membentak seperti guntur.
"Siapa?"
Terdengar suara tawa panjang,
terlihat se-seorang berdiri di atap rumah gubuk. Orang itu masih muda dan
tampan, mengenakan jubah panjang dan sebelah tangannya memegang sebuah suling
giok. Ternyata pemuda itu yang meniup suling.
Ketika mendengar bentakan Pek
Tho San San Kun, dia pun berhenti tertawa, lalu tersenyum dan menyahut.
"Hanya berdasarkan
sedikit kepandaian, kau sudah ingin menjagoi rimba persilatan Tionggoan?
Bukankah itu merupakan suatu lelucon besar?"
Pek Tho San San Kun gusar
bukan main, lalu berkata dalam hati. Pemuda itu berani mencampuri urusanku,
kelihatannya pasti bukan pemuda biasa. Kemungkinan besar dia merupakan jago
tangguh dalam rimba persilatan Tionggoan.
Setelah berkata demikian dalam
hati, dia menatap pemuda itu lalu membentak, "Siapa kau? Cepat beritahukan
namamu! Hati-hati terhadap ular-ular berbisa itu, karena mereka akan
menggerogotimu sehingga kau akan berubah menjadi sebuah tengkorak!"
"Aku adalah majikan Pulau
Tho Hoa To dari Laut Timur, namaku Oey Yok Su! Siapa kau?" sahut pemuda
yang berdiri di atap rumah itu.
Pek Tho San San Kun
mengerutkan kening. Dia gusar dalam hati karena pemuda itu tidak tahu nama
besarnya.
"Kau justru tidak tahu
namaku, baiklah! Aku menghendakimu mengetahui namaku!"
Kemudian tak henti-hentinya
Pek Tho San San Kun bersiul panjang. Semua ular berbisa itu lang-sung bergerak
merayap ke arah rumah gubuk itu, kemudian merayap ke atas mengarah Oey Yok Su.
Ketika melihat ular-ular
berbisa itu merayap ke arahnya, Oey Yok Su tersenyum, lalu menaruh suling
gioknya di bibir, dan ditiupnya perlahan-lahan.
Begitu suara suling mengalun,
semua ular berbisa itu tampak panik. Mereka mendongakkan kepala, kelihatannya
seperti tidak tahu harus mendengar suara siulan atau suara suling itu.
Akhirnya ular-ular berbisa itu
saling menggigit satu sama lain. Menyaksikan kejadian itu gusarlah Pek Tho San
San Kun. Dia segera meninggikan suara siulannya, namun nada suling itu pun
meninggi pula.
Sepasang mata Pek Tho San San
Kun berapi-api. Dia berhenti bersiul lalu melambaikan tangannya. Empat orang
langsung menggotong tandu itu mendekati rumah tersebut, kemudian berhenti dan
Pek Tho San San Kun segera melesat ke atas rumah itu.
Ouw Yang Hong terbelalak
menyaksikannya. Setelah itu dia melihat Pek Tho San San Kun mulai bertarung
dengan Oey Yok Su.
Berselang beberapa saat,
tampak seseorang terjatuh dari atap rumah gubuk, tidak lain adalah Pek Tho San
San Kun.
Keempat penggotong tandu segera
memapahnya ke tandu. Setelah Pek Tho San San Kun duduk, mereka langsung
menggotong tandu tersebut meninggalkan tempat itu. Para gadis yang bermain
musik dan menari tadi, juga ikut pergi.
Heninglah tempat itu. Terlihat
Oey Yok Su meloncat turun dari atap rumah gubuk, berdiri di hadapan Ouw Yang
Hong.
"Siapa kau? Mengapa orang
aneh itu men-desakmu?" tanyanya.
Ouw Yang Hong tidak menyahut.
Dia hanya tertawa sambil menengok ke sana ke mari. Sungguh mengenaskan keadaan
di tempat itu, sebab beberapa penduduk desa telah mati digigit ular berbisa,
dan ada pula yang dilukai anak buah Pek Tho San San Kun. Dia memandang ke dalam
rumah gubuk orang tua yang menjamunya makan, ternyata orang tua itu telah mati
juga, karena digigit ular berbisa, keluarganya sedang menangisinya duduk desa
akan mati semua di tangan Pek Tho San San Kun. Karena itu, dia merasa telah
salah menegur Oey Yok Su, maka segera memberi hormat seraya berkata.
"Maaf, namaku Ouw Yang
Hong berasal dari Gunung Pek Tho San di See Hek.
Menyaksikan perbuatan Pek Tho
San San Kun, hatiku terasa tidak enak, aku mohon pamit pada tocu!"
Oey Yok Su tersenyum. Dia
tidak begitu mem-perdulikan Ouw Yang Hong, sebab tahu Ouw Yang Hong tidak
berkepandaian tinggi. Mendadak dia bergerak secepat kilat, tahu-tahu Ouw Yang
Hong sudah jatuh gedebuk di tanah. Ketika Ouw Yang Hong bangkit berdiri, Oey
Yok Su sudah tidak kelihatan bayangannya.
Ouw Yang Hong termangu-mangu.
Begitu ce-pat gerakan Oey Yok Su, membuatnya amat ka-gum.
Malam ini Ouw Yang Hong tidak
jadi me-ninggalkan desa kecil itu. Dia berkumpul dengan penduduk desa,
sekaligus membantu mereka me-ngubur mayat-mayat penduduk dengan mata bersimbah
air, setelah itu barulah berpamitan untuk pergi.
Ouw Yang Hong baru memasuki
daerah Tionggoan, tapi sudah menyaksikan begitu banyak kejadian, dan nyawanya
pun nyaris melayang. Dia pun merasakan penyambutan hangat dari para penduduk,
bahkan juga menyaksikan perbuatan Pek Tho San San Kun yang amat sadis, sehingga
dia sadar akan satu hal, yakni harus memiliki kepandaian tinggi.
Oleh karena itu, dia mengambil
keputusan pulang ke Gunung Pek Tho San untuk belajar ilmu silat kepada Ouw Yang
Coan, kakaknya.
Saat itu, ketika Ouw Yang Hong
hampir me-masuki daerah See Hek, hari sudah mulai senja. Akan tetapi, di daerah
tersebut sama sekali tidak terdapat penduduk, hanya terdapat beberapa buah
rumah yang dibuat dari tanah, tapi rumah-rumah itu telah rusak dan tiada
penghuninya.
Ouw Yang Hong sudah merasa
lapar sekali dan kedinginan, namun harus ke mana mencari makanan? Apa boleh buat,
dia terpaksa harus menahan lapar, kemudian beristirahat di bawah sebuah pohon,
dan akhirnya pulas di situ.
Ketika tengah malam, mendadak
dia mendusin dan . . . matanya terbelalak. Ternyata dia melihat sepasang mata
yang bersinar-sinar, dan samar-samar tampak sosok bayangan di hadapannya. Orang
itu berambut panjang terurai ke bawah dan berpakaian putih, duduk di
hadapannya.
Bukan main terkejutnya Ouw
Yang Hong, se-hingga hatinya jadi tegang. Bahkan saking tegangnya, tanpa sadar
dia meloncat seraya membentak.
"Siapa?"
Mendadak dia menjerit
kesakitan, ternyata kepalanya membentur dahan pohon, dan kemudian dia jatuh
gedebuk di atas tanah.
Sekonyong-konyong angin
berhembus kencang, sehingga membuat rambut orang itu yang panjang terurai
berkibar-kibar ke kaki Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong tidak habis
berpikir, bagai-mana mungkin di tempat sesepi ini terdapat orang lain? Ketika
sedang berpikir, di saat bersamaan, dia mencium bau harum dari badan orang itu.
OuwYang Hong tersentak. Kini
dia baru tahu orang yang duduk di hadapannya adalah seorang wanita,
jangan-jangan wanita itu adalah arwah penasaran, pikirnya sehingga membuatnya
tidak berani bergerak.
Berselang beberapa saat, hari
sudah mulai terang. Ouw Yang Hong belum berani bergerak, namun memperhatikan
wanita itu. Justru mem-buatnya terbeliak, ternyata wanita itu amat cantik. Ouw
Yang Hong terheran-heran, bagaimana di tempat yang amat sepi ini terdapat
wanita yang begitu cantik?
Perlahan-lahan wanita itu
membuka matanya. Ketika melihat Ouw Yang Hong duduk di hadapannya, dia tampak
tertegun.
"Kau ... kau . . ."
Ouw Yang Hong tersenyum.
"Nona, kau sudah
mendusin!"
Wanita itu melotot dan
langsung melancarkan pukulan yang bertubi-tubi ke arah Ouw Yang Hong.
Begitu menyaksikan pukulan
yang amat sengit itu, terperanjatlah hati Ouw Yang Hong. Walau dia
berkepandaian rendah, namun cukup berpengetahuan, itu diperolehnya dari
kakaknya yang berkepandaian tinggi, maka tahu wanita yang tampak lemah itu amat
lihay.
Ouw Yang Hong ingin berkelit,
tapi terlambat. Pukulan yang dilancarkan wanita itu telah menghantam jalan
darah Khie Hai Hiatnya. Untung Iwee kang wanita itu masih dangkal, kalau tidak,
Ouw Yang Hong pasti terluka parah atau paling tidak kesakitan.
"Aduuh!" jeritnya
dengan wajah meringis-ringis. "Nona, aku tidak mengenalmu, kenapa kau
begitu kejam memukulku?"
"Jangan banyak bicara!
Kau mau membunuh-ku silakan, pokoknya aku tidak akan ikut kau pulang ke Pek Tho
San Cung (Perkampungan Pek Tho San)!" sahut wanita itu.
Ouw Yang Hong tercengang dan
berkata dalam hati. Aku memang ingin pulang ke Pek Tho San Cung, tapi ini
adalah urusanku, bagaimana wanita ini mengetahuinya? Lagi pula kalaupun aku
pulang ke sana, juga tidak akan membawanya. Aku dan dia tidak saling mengenal,
tentunya tidak mungkin aku akan pulang bersamanya. Tapi sungguh mencurigakan,
bagaimana dia tahu aku akan pulang ke Pek Tho San Cung? Pasti ada SUatu yang
tak beres, aku harus berhati-hati!
Setelah berkata dalam hati,
Ouw Yang Hong memandang wanita itu seraya bertanya.
"Kau berasal dari Pek Tho
San Cung?"
Wanita itu menyahut dengan
penuh kebencian.
"Aku sungguh ingin
membunuh semua orang Pek Tho San Cung, sekaligus membakar musnah perkampungan
itu! Aku adalah binatang kalau aku adalah orang Pek Tho San Cung itu!"
Ketika mendengar wanita itu
mencaci dan me-nyumpahi orang-orang Pek Tho San Cung, Ouw Yang Hong sudah tahu
wanita itu bukan orang Pek Tho San Cung, sebaliknya punya dendam yang amat
dalam terhadap perkampungan tersebut!
Teringat akan Pek Tho San
Cung, timbullah rasa rindu dalam hati Ouw Yang Hong kepada kakaknya. Entah apa
sebabnya, mendadak hatinya pun berdebar-debar tegang, ternyata dia khawatir
telah terjadi sesuatu di perkampungan itu, maka bertanya.
"Kau datang dari San Cung
itu?"
Ketika wanita itu baru mau
menjawab, justru mendadak teringat akan sesuatu.
"Siapa kau? Kok tahu Pek
Tho San Cung?"
Ouw Yang Hong memberitahukan.
"Aku adalah orang dari
perkampungan itu”
Wajah wanita itu langsung
berubah, kemudian mendadak bangkit berdiri sambil mengayunkan tangannya untuk
menampar Ouw Yang Hong.
Plak! Plak! Plak!
Setelah menampar, dia pun
menendang. Ouw Yang Hong tertendang hingga mundur dua langkah dengan wajah
meringis. Dia tidak tahu sama sekali, mengapa wanita itu menampar dan
menendangnya.
Ouw Yang Hong menjerit kesakitan,
lalu ber-tanya dengan berteriak-teriak.
"Mengapa tiada angin
tiada hujan kau me-mukulku?"
Wanita itu balik bertanya.
"Kau . . . kau adalah
orang perkampungan Pek Tho San Cung?"
Ouw Yang Hong tersenyum getir.
"Tidak salah!"
Wanita itu berkata dengan
penuh kebencian dan dendam.
"Bagus! Bagus! Aku harus
membunuhmu! Harus membunuhmu!"
Ouw Yang Hong tertegun, baru
bertemu sudah ingin membunuhnya? Itu sungguh mengherankan!
Sementara wanita itu menengok
ke sana ke mari, kemudian menyambar semacam rumput merambat, lalu dengan rumput
tersebut dia mengikat Ouw Yang Hong.
Setelah Ouw Yang Hong diikat
tak bergerak, wajah wanita itu tampak berseri-seri, namun di-liputi kekejaman.
Dia menatap Ouw Yang Hong,
lalu berkata dengan dingin sekali.
"Bagus! Dimulai dari
dirimu, aku sudah mem-bunuh seorang Pek Tho San Cung!"
Ouw Yang Hong tersentak. Kini
dia baru tahu wanita itu tidak main-main, melainkan ber-sungguh-sungguh ingin
membunuhnya.
Aaaah! Keluhnya dalam hati.
Aku akan mati di sini sebelum berjumpa kakakku, ini membuatku penasaran sekali.
Sedangkan wanita itu justru
mengeluarkan sebilah pedang pendek. Pedang itu memancarkan cahaya
kehijau-hijauan, pertanda sangat tajam. Kemudian dengan ujung pedang itu dia
menuding muka Ouw Yang Hong seraya berkata.
"Kalian kaum lelaki Pek
Tho San Cung, tiada seorang pun yang baik! Aku harus membunuhmu!"
Ouw Yang Hong memang bernyali
besar. Wa-laupun nyawanya sudah terancam, namun dia tidak merasa takut sedikit
pun, sebaliknya malah tersenyum.
"Nona, kau sungguh cantik!"
Wanita itu memang sudah ingin
turun tangan membunuh Ouw Yang Hong, tapi justru tidak menyangka Ouw Yang Hong
malah herkata begitu, maka wanita itu menjadi tertegun.
Ouw Yang Hong menatapnya, lalu
berkata lagi sambil tersenyum.
"Nona memang baik, begitu
juga pedang pendek itu. Tapi . . . rumput yang mengikat diriku ini tidak baik,
maka aku pun menjadi tidak baik."
Ucapan Ouw Yang Hong itu amat
aneh, mem-buat wanita itu semakin tertegun. Aku sudah mau membunuhnya, tapi
mengapa dia masih bisa ber-gurau? Kata wanita itu dalam hati. Namun ke-mudian
dia membentak.
"Kau omong kosong
apa?"
Ouw Yang Hong tertawa lalu
menyahut.
"Kau memang berwajah
cantik. Walau pakai-anmu dari bahan kasar, tapi kau tetap kelihatan cantik.
Orang dulu hilang, pakaian berkibar-kibar, maka yang indah membinar-binar. Kau
adalah wanita cantik, ingin membunuh orang pasti tidak bisa. Tanganmu memegang
pedang pendek, mulut mengatakan ingin membunuh orang, namun matamu tidak
bersinar kejam, bagaimana kau membunuh orang?"
Wanita itu tertegun sambil
menatap Ouw Yang Hong, lama sekali barulah herkata.
"Bagaimana . . . kau tahu
aku tidak akan membunuhmu?"
Ouw Yang Hong cuma tertawa,
tidak menyahut sama sekali.
Saat itu, matahari sudah
berada di atas kepala. Mendadak wanita itu menyambar Ouw Yang Hong, lalu dibawa
pergi. Kira-kira belasan langkah, dia menghentikan langkahnya, lalu memandang
Ouw Yang Hong seraya berkata.
"Kau berjalan di depan
dan berhati-hatilah! Kalau kau tidak menuruti perintahku, akan ku-tusuk dengan
pedang pendek ini, dan kau pasti tewas!"
Ouw Yang Hong manggut-manggut,
lalu mengayunkan kakinya. Wanita itu menyuruhnya berjalan ke arah mana, dia
terpaksa menurut.
Akan tetapi, dia berkeluh
dalam hati, sebab wanita itu menyuruhnya menuju ke arah Tiong-goan, pada hal
dia ingin pulang ke perkampungan Pek Tho San Cung.
Ouw Yang Hong tahu tidak beres
dan berkata dalam hati. Aku hersusah payah dari Tionggoan pulang ke kampung
halaman, tapi justru harus kembali ke Tionggoan lagi, bukankah aku akan jadi
gila? Setelah berkata dalam hati, Ouw Yang Hong lalu memohon kepada wanita itu.
"Nona yang baik, aku
mohon kepadamu mem-perbolehkanku pulang ke Pek Tho San Cung, aku pasti
berterimakasih dan ingat selalu akan budi kebaikanmu!"
Wanita itu tertawa ringan.
"Kalau kau pergi, akan
tinggal aku seorang diri di dalam hutan rimba! Apabila diriku terjadi apa-apa,
bukankah kau yang berdosa?"
Ouw Yang Hong tertegun
mendengar ucapan
itu.
"Baiklah! Karena Nona
berkata begitu, biarlah aku menemani Nona ke Tionggoan lagi, agar Nona tidak
kesepian dalam perjalanan," katanya.
Wanita itu mengerutkan kening,
tapi setelah itu lalu tertawa, dan menuding Ouw Yang Hong sambil berkata.
"Bagus! Kau memang pandai
bicara! Aku dengar dari orang, bahwa lelaki panjang usia, wanita yang meloncat tembok!
Kau adalah lelaki semacam itu! Tapi kuberitahukan, sebetulnya tiada gunanya aku
menghendakimu mengikutiku! Kalau muncul penjahat, aku pasti membiarkan mereka
membunuhmu! Apabila aku lapar, kau harus carikan makanan untukku. Aku haus, kau
harus carikan air untuk kuminum! Seandainya aku terlalu lapar tapi tiada
makanan, maka aku akan mengiris dagingmu dengan pedang pendek ini untuk
kumakan. Dan kalau aku terlalu haus tiada air, aku akan memotong urat nadimu,
lalu kuhirup darahmu!"
Ouw Yang Hong mendengar dengan
mata terbelalak, namun tidak bersuara sama sekali.
Semula Ouw Yang Hong berjalan
dengan di-ancam pedang pendek di punggungnya, maka terpaksa berjalan dengan
kepala tertunduk dan menuruti kemauan wanita itu. Tapi kini wanita itu telah
menurunkan pedang pendek itu dari punggungnya, sehingga langkah kaki Ouw Yang
Hong menjadi bertambah cepat.
Oleh karena itu, wanita
tersebut harus mem-percepat langkahnya, dan itu membuat nafasnya agak memburu.
"Berhenti! Cepatlah kau
berhenti!"
Begitu mendengar suara
teriakan wanita itu, Ouw Yang Hong langsung menghentikan langkah-nya.
Wanita itu berlari ke
hadapannya, lalu me-nudingkan pedang pendeknya ke dada Ouw Yang Hong seraya
membentak.
"Kau . . . kau ingin
kabur?"
Ouw Yang Hong tertawa sambil
menunjuk ke-empat penjuru dan berkata.
"Lihatlah! Tempat ini
merupakan gurun, aku bisa kabur ke mana?"
"Kau boleh kabur, tapi
dalam puluhan langkah, aku akan menerbangkan pedang pendekku, dan kepalamu
pasti melayang!"
Ouw Yang Hong tahu wanita itu
cuma omong besar, tapi tidak mau mengungkapnya, hanya berkata.
"Lebih baik Nona jangan
membunuhku, sebab kalau aku mati, ke mana Nona mencari orang lain menemani
melakukan perjalanan ini?"
Wanita itu memandang Ouw Yang
Hong yang tampak kelelahan, namun masih bisa tertawa. Diam-diam dia menghela
nafas panjang, kemudian menurunkan pedang pendeknya.
Orang ini lelaki sejati
ataukah lelaki yang jahat dan licik? Pikir wanita itu. Tapi dia bertampang
baik, tentunya bukan orang jahat. Kalau dia lelaki sejati, aku justru akan
salah membunuh orang, dan itu merupakan perbuatan dosa. Kini lelaki ini
bersamaku, makan dan minum bersama, bahkan begitu dekat pula seperti . . .
suami istri. Seandainya aku tidak membunuhnya, bagaimana kelak aku menemui
orang? Karena itu, wanita tersebut mengambil keputusan untuk membunuh Ouw Yang
Hong setelah melalui gurun itu.
Ouw Yang Hong amat cerdas.
Ketika menyak-sikan ekspresi wajah wanita itu, dia sudah tahu bahwa wanita
ingin membunuhnya, hanya saja wanita itu masih berhati baik, maka belum turun
tangan.
Ouw Yang Hong
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian bertanya.
"Nona, bolehkah aku tahu
namamu?"
Wanita itu balik bertanya
dengan mata melotot.
"Mau apa kau tahu
namaku?"
Ouw Yang Hong menyahut.
"Aku tahu kau akan
membunuhku. Setelah aku mati arwahku pasti menuju ke alam baka. Para setan di
alam baka akan bertanya kepadaku, siapa yang membunuhku. Aku pasti menjawab
seorang Nona. Bukankah para setan itu akan mentertawa-kanku, karena mati
dibunuh tapi tidak tahu nama si pembunuh?"
Mendengar itu, wanita tersebut
tertawa dingin.
"Kau kira dirimu apa? Kau
memang tolol! Apabila kau kubunuh, di dunia ini akan berkurang seorang tolol!
Ouw Yang Hong diam saja.
Wanita itu amat membenci kaum lelaki, maka dia mau bilang apa lagi?
***
Bersambung