Si Racun Dari Barat (See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan) Bab 14

Si Racun Dari Barat (See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan) Bab 14
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------


Bab 14

Berselang sesaat, barulah Ouw Yang Hong berkata, "Aku hanya melanjutkan syair itu, tapi mengapa Tuan begitu gembira?"

"Bagaimana hatiku, hanya Thian (Tuhan) yang tahu," sahut peramal itu dengan wajah berseri-seri, namun air matanya masih tetap meleleh.

Ouw Yang Hong termangu-mangu, tidak mengerti akan makna ucapan peramal itu.
Peramal tersebut tersenyum.

"Maaf, kelakuanku pasti amat membingungkan Tuan! Oh ya, apakah Tuan bersedia minum bersamaku?"

"Kita tidak saling mengenal, tentunya tidak enak merepotkan Tuan," sahut Ouw Yang Hong.

Peramal itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Tidak apa-apa! Tidak apa-apa! Selanjutnya kita sudah saling mengenal, ini sungguh menggembirakan!" katanya.

Ouw Yang Hong semakin kebingungan. Sementara sudah banyak orang mengerumuni tempat itu. Akhirnya Ouw Yang Hong mengangguk, lalu mengikuti peramal itu meninggalkan tempat tersebut.

Peramal itu mengajak Ouw Yang Hong ke sebuah kedai di pinggir jalan. Di depan kedai itu terdapat sebuah bendera. Ketika melihat bendera itu, tersentaklah hati Ouw Yang Hong, sebab ben-dera itu bertulisan 'Racun'.

Sudah jelas itu adalah sebuah kedai arak, tapi mengapa bendera itu bertulisan 'Racun'?

Ouw Yang Hong memandang ke dalam kedai itu. Tampak begitu banyak orang bermabuk-mabukan di dalamnya.

Peramal itu mengajak Ouw Yang Hong ke dalam. Pemilik kedai langsung menyambut kedatangan mereka dengan penuh rasa heran.

"Adik, kau sudah ke mari minum arak, apakah sudah berhasil?" tanyanya kepada peramal itu.

"Tentu! Aku menunggu di tempat ini sudah melewati tiga kali musim semi, akhirnya aku berhasil menunggu orang yang kutunggu. Kalian lihat, inilah orangnya!" sahut peramal itu dengan gembira.

Seketika semua orang memandang Ouw Yang Hong dengan penuh perhatian. Itu membuat Ouw Yang Hong bertambah heran dan bingung.

Semua orang yang berada di dalam kedai arak itu terus memandangnya, namun Ouw Yang Hong tidak kelihatan luar biasa, maka mereka mendengus dingin.

"Kaukah orangnya? Berhasil melanjutkan syair itu?" tanya salah seorang dari mereka kepada Ouw Yang Hong.

Ouw Yang Hong tidak menyahut, hanya mengerutkan kening karena tidak mengerti, mengapa mereka mendadak mendengus dingin.

Orang itu menghampirinya, lalu menjulurkan tangannya.

"Saudara berilmu begitu tinggi, aku ingin men-cobanya!" katanya.

Orang itu ingin menarik Ouw Yang Hong, namun Ouw Yang Hong tidak tahu apa yang akan diperbuat orang itu, maka Ouw Yang Hong langsung mundur. Tapi orang itu berhasil menggenggam lengannya. Ouw Yang Hong menduga orang itu akan mempermainkan dirinya, karena itu dia diam saja.

Ketika melihat Ouw Yang Hong tak bergerak, orang itu tampak gusar sekali.

"Kau kelihatan meremehkan diriku, aku harus memberi sedikit pelajaran padamu!" bentaknya.

Orang itu menggenggam lengan Ouw Yang Hong menggunakan tujuh bagian tenaganya.

Tentunya membuat lengan Ouw Yang Hong terasa sakit sekali. Namun Ouw Yang Hong tidak mengeluh sedikit pun, hanya menatap semua orang yang ada di situ dengan dingin.

Orang itu menambah tenaganya. Dia mengira Ouw Yang Hong berkepandaian tinggi. Akan tetapi, dia sama sekali tidak merasa Ouw Yang Hong mengerahkan Iwee kang untuk melawan.

Itu membuat orang itu tertegun dan bercuriga, apakah Ouw Yang Hong memiliki kepandaian yang amat tinggi? Kalau tidak, dia pasti memiliki ketenangan yang amat luar biasa.

Orang itu menambah tenaganya lagi, membuat sekujur badan Ouw Yang Hong berkeringat, namun tetap tidak mengeluh sedikit pun. Kini orang itu baru tahu bahwa Ouw Yang Hong tidak ber-kepad.-.ian, maka timbullah niat jahat dalam hatinya ingin mempermalukan Ouw Yang Hong.

Ouw Yang Hong memang sama sekali tidak mengeluh. Dia berkata dalam hati. Ketika aku bersama Bokyong Cen di gurun pasir, aku memohon dengan cara yang baik, namun tidak dihiraukan. Aku baru tahu, hati orang dibuat dari besi, mana ada orang baik di dunia? Sekarang aku baru memasuki kedai arak ini, sudah menerima penghinaan dari orang ini. Setelah berkata dalam hati, timbul pula rasa bencinya kepada orang itu dan ingin memukulnya.

Semula orang itu mengira Ouw Yang Hong akan memohon ampun padanya, tapi Ouw Yang Hong justru tidak mengeluh sama sekali. Orang itu terheran-heran dan merasa ragu, bagaimana Ouw Yang Hong dapat bertahan? Kalau dia memiliki kepandaian, mengapa tidak mau turun tangan, malah rela menerima siksaan?

Sementara si Peramal itu terus meneguk arak. Ketika melihat sekujur badan Ouw Yang Hong berkeringat, dia berkata.

"Kalau Tuan berkepandaian, silakan turun tangan! Apabila orang itu teriuka, biar aku yang bertanggung jawab!"

Ouw Yang Hong berkeluh dalam hati. Cara-cara syair itu, dia ikut peramal tersebut ke kedai arak, sehingga harus menerima penghinaan. Pada hal Ouw Yang Hong tidak bermusuhan dengan mereka, tapi kenapa mereka menghinanya habishabisan?
Kini wajah Ouw Yang Hong meringis. Ternyata dia sudah tidak kuat menahan sakit. Di saat itulah dia teringat akan sebuah syair yang pernah dibacakan Pek Bin Lo Sat. Karena itu, dibacanya syair tersebut agar menghilangkan rasa sakitnya.

"Dinginnya es membekukan bumi, hati orang memang begitu. Kalau tidak tahu masalah, bagaimana panas dan dingin bisa menyatu?"

Semua orang sedang menyaksikan orang itu menggenggam lengan Ouw Yang Hong. Mereka semua tahu akan kelihayan genggaman itu, tapi mengapa tiada reaksinya? Ketika mereka terheran-heran, justru terdengar Ouw Yang Hong membaca syair tersebut. Semua orang tersentak, begitu pula orang itu dan langsung melepaskan tangannya.

"Adik, kau tepat mencari orang itu," kata pemilik kedai arak kepada si Peramal sambil tersenyum.

Si Peramal manggut-manggut, sedangkan orang yang menggenggam lengan Ouw Yang Hong juga tertawa sambil memberi hormat kepada Ouw Yang Hong.

"Maaf, tadi aku sudah berlaku tak sopan!"

Ouw Yang Hong tidak tahu apa sebabnya orang itu melepaskan tangannya, maka hanya mengangguk.

Orang itu menarik nafas lega, kemudian menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ouw Yang Hong, dan memanggut-manggutkan kepalanya. Ketika bangkit berdiri, wajahnya tampak berseri-seri.

Tiba-tiba pemilik kedai arak itu berseru lantang dengan penuh kegembiraan, yang lain pun kelihatan gembira sekali.

"Kita sudah boleh pulang ke rumah! Kita sudah boleh pulang ke rumah!"

Semua orang kelihatan sudah lama berpergian. Ketika pemilik kedai arak berseru mata mereka semua menjadi basah saking gembira.

"Mohon tanya Tuan, siapa nama Tuan dan berasal dari mana?" tanya si Peramal.
Ouw Yang Hong tertawa dalam hati, hampir setengah harian kita bersama, baru sekarang kau ingat menanyakan nama dan asalku.

"Namaku Ouw Yang Hong, berasal dari See Hek. Aku ke mari bersama kakakku, kami mau pesiar ke Kang Lain," sahutnya kemudian dengan jujur.

Ouw Yang Hong memang cerdik, dia tidak memberitahukan tujuan kakaknya datang di Tiong-goan, itu agar tidak menimbulkan masalah yang tak diinginkan!

"Kami semua berasal dari daerah utara. Semua yang ada di sini adalah saudara kami. Mari ku-perkenalkan! Ini adalah Cu Kuo Cia dan . . ." kata si Peramal.

Si Peramal memperkenalkan mereka semua. Tentunya Ouw Yang Hong tak dapat mengingatnya satu persatu. Lagi pula mereka baru berkenalan, tidak perlu mengingat nama mereka satu persatu, sebab sebentar lagi akan berpisah dengan mereka.

Cu Sianseng berkata pada Ouw Yang Hong, "Sudah tiga kali musim semi kami menunggu di sini. Majikan menyuruh kami menunggu seseorang di kota Ciau Liang ini. Katanya kau pasti ke mari. Perhitungan majikan tidak meleset, maka tidak sia-sia kami menunggu hingga tiga kali musim semi. Kau harus ikut kami pergi. Kalau kau tidak mau, tentunya kami akan menggunakan kekerasan untuk memaksamu ke rumah majikan kami."

Ketika Ouw Yang Hong teringat akan kakaknya dan Bokyong Cen, hatinya menjadi gelisah, karena seharusnya dia pergi bersama saudaranya, tapi dipaksa harus mengikuti orang-orang itu.

"Aku tidak mau pergi ke daerah utara," sahutnya.

Cu Sianseng tersenyum.

"Biar Tuan tidak mengabulkan, kami bertiga pasti dapat membawa Tuan ke daerah utara."

Ouw Yang Hong tertawa dingin.

"Kalau aku tidak mau, kalian bisa berbuat apa?"

Cu Sianseng berkata, "Apabila Tuan mengabulkan, tentunya kami akan menyuruh seseorang pergi memberitahukan kepada saudaramu. Tapi kalau Tuan tidak mengabulkan, kami akan membawamu pergi secara paksa, sehingga dalam perjalanan tiada kebebasan sama sekali. Seandainya Tuan tetap tidak setuju, kami pasti akan pergi membunuh saudaramu, setelah itu kami pun akan membuatmu pingsan, barulah membawamu ke daerah utara."

Ouw Yang Hong tertawa, sebab orang-orang itu menganggap Ouw Yang Coan seperti dirinya, tidak berkepandaian apa-apa.

"Baik, aku akan ajak kalian pergi menemui kakakku. Kalau kakakku setuju, aku pasti pergi bersama kalian!"

Semua orang manggut-manggut, lalu ikut Ouw Yang Hong pergi menemui Ouw Yang Coan.

Sementara itu, Ouw Yang Coan dan Bokyong Cen duduk di dalam rumah penginapan dengan cemas. Mereka menunggu Ouw Yang Hong dengan hati tercekam. Apakah telah terjadi sesuatu atas diri adiknya itu? Pikir Ouw Yang Coan.

Di saat Ouw Yang Coan sedang berpikir, mendadak tampak Ouw Yang Hong melangkah ke dalam rumah penginapan dan langsung menemuinya.

"Kakak, mari kuperkenalkan beberapa temanku!"

Ouw Yang Coan merasa heran melihat adiknya punya begitu banyak teman di kota Ciau Liang.

Siapa orang-orang itu?

Ouw Yang Coan memperhatikan orang-orang itu. Heran pula hatinya, sebab mereka kelihatan bukan kaum dunia persilatan, namun justru memiliki kepandaian tinggi, terutama Cu Sianseng dan beberapa orang yang berdiri di belakangnya. Salah satu dari mereka tampak sudah tua, berbadan kurus dan lemah, tapi justru berkepandaian tinggi.

Ouw Yang Hong yang belum berpengalaman dalam dunia persilatan, langsung memheritahu pada Ouw Yang Coan.

"Kakak, mereka ingin memaksaku ke daerah utara."

Bokyong Cen segera bertanya dengan heran. "Mengapa?"

Ouw Yang Hong tidak menyahut, melainkan memandang Cu Sianseng sejenak.

"Bahkan ada tiga cara pula!" ujarnya memberitahukan.
Bokyong Cen tercengang, dengan kening berkerut.

"Tiga cara? Mengapa harus ada tiga cara?"

Ouw Yang Hong memberitahukan.

"Cara pertama, aku harus ikut mereka pergi dengan baik-baik. Kedua, mereka akan memaksaku, dan ketiga, mereka akan membunuh kakak, kemudian membuatku pingsan. Setelah itu, mereka akan membawaku pergi."

Ouw Yang Coan tertegun. Apakah mereka itu dari golongan hitam yang selalu menculik orang? Tapi mengapa harus menculik Ouw Yang Hong adiknya? Ouw Yang Coan sungguh tak mengerti dan tidak habis pikir. Lalu dia bertanya pada Cu Sianseng.

"Cara ketiga itu, kau ingin membunuhku?" Cu Sianseng menyahut.

"Tidak salah! Itu kalau Tuan Ouw Yang Hong tidak mau ikut kami ke daerah utara. Maka kau dan nona ini harus mati!"

Ouw Yang Coan tidak gusar mendengar itu, hanya berkata dengan dingin.

"Cu Sianseng, kau kira, kalian yang beberapa orang ini bisa begitu gampang membunuhku?"

Ouw Yang Coan menggenggam tongkat ularnya, air mukanya tidak berubah, hanya kening yang berkerut-kerut dan berdiri dengan tenang.
Cu Sianseng menyahut.

"Kalau aku tidak bisa membunuhmu, masih ada saudara Ciok. Apabila saudara Ciok tidak berhasil, masih ada Cu Kuo Hu Cu. Kami menghendakimu mati, bagaimana kau bisa hidup?"

Kini Ouw Yang Coan tampak mulai gusar sekali.

"Kalau begitu, mengapa kau tidak coba?" ujarnya menantang.

"Jadi . . . aku harus coba?" sahut Cu Sianseng dengan senyum sinis.
Ouw Yang Coan manggut-manggut.

"Betul!" Perlahan-lahan Ouw Yang Coan mengangkat tongkat ularnya, sudah siap menghadapi serangan. "Kau boleh turun tangan membunuhku!"

Tanpa bicara lagi Cu Sianseng langsung mengeluarkan senjatanya yang berupa tiga buah uang logam berukuran besar, di tengah-tengahnya terdapat lubang.

"Maaf, aku akan mulai menyerang!" teriak Cu Sianseng dengan lantang.
Cu Sianseng mulai menyerang dengan senjatanya. Satu keping logam langsung meluncur ke arah Ouw Yang Coan. Namun Ouw Yang Coan tertawa panjang.

"Bagus!" teriaknya. Kemudian berkelit dengan cepat, dan mulai balas menyerang dengan tongkat ularnya.

Senjata yang dimiliki Cu Sianseng memang aneh. Ketika Ouw Yang Coan berkelit, keping logam itu berbalik ke arah Cu Sianseng dan masuk ke tangannya.

Sementara itu Ouw Yang Coan sudah mulai balas menyerang. Cu Sianseng meloncat mundur sambil mengibaskan tangannya. Maka seketika dua keping uang logam melesat secepat kilat ke arah Ouw Yang Coan.

Meski sempat terkejut, Ouw Yang Coan cepat-cepat menghindar, sambil berseri dengan keras. "Tahan!"

Ouw Yang Coan meloncat mundur. Tampak kedua uang logam sudah kembali ke tangan Cu Sianseng.

Air muka Ouw Yang Coan memerah dan mulutnya pun membungkam. Hal itu membingungkan Ouw Yang Hong, sebab semula dia mengira begitu kakaknya turun tangan, orang-orang itu pasti akan roboh. Tidak dikira kalau teryata ketiga keping uang logam itu justru mampu mengatasi tongkat ular milik kakaknya.

Cu Sianseng tersenyum mengejek menyaksikan Ouw Yang Coan yang terbungkam.
"Tuan Ouw Yang pasti sudah setuju, saudaramu berangkat ke daerah utara. Aku berani jamin, tidak akan terjadi apa-apa terhadap adikmu . . ."

Ouw Yang Coan masih diam membisu.

"Untuk bawa dia pergi, harus bertanya padaku dulu!" kata Bokyong Cen.
Cu Sianseng menatap gadis itu seraya bertanya.

"Siapa kau? Ketika Ouw Yang Hong berbicara padaku, dia hanya menyinggung kakaknya, tidak menyinggung dirimu sama sekali!"

Bokyong Cen tertawa. Sungguh manis tawanya.

"Dia tidak menyinggung tentang diriku? Itu sungguh aneh . . . Oh ya! Kuberitahukan pada kalian, gara-gara ribut denganku dia marah lalu pergi. Katanya mau pergi jalan-jalan. Tidak disangka justru bertemu kalian yang tidak karuan, kuberitahukan dia siapa, dia adalah . . ."

Wajah Bokyong Cen tampak berubah aneh. Sesaat kemudian dia melanjutkan dengan suara rendah, "Dia adalah suamiku!"

Ouw Yang Coan dan Ouw Yang Hong jadi melongo, begitu pula Cu Sianseng dan lainnya. Mereka tidak tahu harus berkata apa.

Cu Sianseng menatap Ouw Yang Hong. Kelihatannya gadis itu tidak seperti istrinya. Namun gadis itu telah mengatakan begitu, sudah pasti benar.

"Menurut Nona harus bagaimana?"

Bokyong Cen tertawa, lalu sambil menunjuk mereka dia menjawab, "Aku akan bertanding dengan kalian. Tuan sudah bertanding dengan Ouw Yang Coan, aku akan bertanding dengan saudara Ciok. Kalau aku menang, aku akan bertanding lagi dengan Tuan Lo Hu Cu dan lainnya!"

"Bagaimana kalau Nona yang kalah?" sahut Cu Sianseng.

Bokyong Cen tertawa mendengar ucapan Cu Sianseng barusan.
"Kalau aku menang, suamiku tidak usah ikut kalian. Apabila aku kalah, tetap akan bertanding dengan kalian!"

Cu Sianseng menggelengkan kepala.

"Tidak bisa, kau hanya boleh bertanding dengan salah seorang di antara kami. Kau menang terserah, tapi kalau kau kalah, Tuan Ouw Yang Hong harus ikut kami pergi! Apabila kau merasa khawatir, boleh ikut kami pergi ke daerah utara!"

Sementara itu Ouw Yang Coan terus memutar otak. Tadi Bokyong Cen mencetuskan begitu, tentunya berdasarkan suara hatinya. Dia memang mencintai Ouw Yang Hong, maka wajar mengatakan begitu. Karena itu, Ouw Yang Coan memutus kan akan melawan mereka, agar tidak bisa membawa adiknya dan Bokyong Cen pergi.

Di saat Ouw Yang Coan sedang berpikir, Bokyong Cen pun berpikir. Biar bagaimana pun aku tidak akan menikah dengan Ouw Yang Hong, dia tampak bloon dan tiada kegagahan. Tadi aku bilang dia adalah suamiku, hanya agar dia tidak dibawa pergi oleh orang-orang itu.

Bersamaan itu, Ouw Yang Hong juga berpikir. Sungguh sial diriku, aku kira begitu bertemu kakakku, semua urusan akan jadi beres. Ternyata malah bertambah kacau. Kalau tahu begini, aku tadi tidak harus melanjutkan syair si Peramal itu.
Ketika mereka bertiga sedang berpikir, wajah Cu Sianseng justru kelihatan murung sekali. Dia menengadahkan kepala seraya berkata.

"Tuan Ouw Yang, majikanku sudah menunggu tiga tahun. Usia majikanku sudah tua, "-«p hari berharap kami pulang. Kami semua punya keluarga, sudah tiga tahun kami berada di luar. Sudah pasti anak istri kami amat merindukan kami. Karena itu, kami mohon Tuan Ouw Yang sudi ikut kami ke daerah utara, juga memenuhi harapan majikan kami."

Begitu mendengar ucapan itu, Ouw Yang Hong tahu dia juga punya kesulitan. Seketika timbullah rasa simpati, maka ingin menyatakan bersedia ikut mereka ke daerah utara. Tapi mendadak dibatalkannya, karena tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya, jika ikut mereka ke daerah utara. Seandainya terjadi sesuatu, menyesal pun sudah terlambat.

"Baik, kalau itu maumu, aku setuju. Aku akan bertanding dengan salah seorang di antara kalian!" ujar Bokyong Cen, manggut-manggut.

Bokyong Cen memandang mereka dengan penuh perhatian. Gadis itu tahu mereka semua punya kepandaian. Hanya ada satu orang yang tampak lesu tak bersemangat, mungkin orang itu tidak berkepandaian tinggi. Siapa orang itu? Tidak lain adalah orang tua yang kurus kering bernama Cu Kuo Lo Hu Cu. Orang tua itu mirip mayat hidup, sudah pasti berkepandaian rendah.

Oleh karena itu, Bokyong Cen tampak gembira sekali.

"Aku akan bertanding dengan orang tua itu!" ujarnya, memandang Cu Kuo Lo Hu Cu.
Usai berkata begitu, Bokyong Cen masih tertawa gembira. Namun sungguh di luar dugaan, mendadak Cu Sianseng dan Ciok Cuan Cak tertawa gelak. Itu amat membingungkan Bokyong Cen.

"Nona, menurutku lebih baik kau jangan bertanding dengannya!"

Bokyong Cen mengira Cu Sianseng kuatir orang tua kurus kering itu akan roboh di tangannya, sehingga tanpa banyak pikir lagi, langsung menyerang orang tua itu dengan pedang.

"Lihat pedang!"

Pedangnya meluncur ke arah Cu Kuo Lo Hu Cu, sedangkan orang tua itu tetap berdiri diam di tempat. Bokyong Cen girang sekali, namun juga merasa menyesal, sebab pedangnya akan menembus dada orang tua itu. Ingin menarik kembali pedangnya, sudah terlambat.

Namun apa yang terjadi Ouw Yang Coan dan Ouw Yang Hong terpekik karena kaget bukan main.

Sementara orang tua itu tetap berdiri tak bergerak di tempat. Cu Sianseng dan lainnya juga diam saja.

Ujung pedang itu telah menusuk dada orang tua itu, sehingga bajunya tersobek. Akan tetapi, Bokyong Cen justru merasa pedangnya tak bisa bergerak lagi. Ternyata pedangnya telah terjepit oleh kedua jari tangan si orang tua kurus kering.
Bokyong Cen terbelalak kaget dan kengerian.

"Nona, hatimu tidak begitu jahat! Pergilah!" ujar si orang tua kurus kering, lemah, seakan tak bertenaga.

Mendadak terdengar suara Trang!' Ternyata pedang itu telah patah jadi dua, sedangkan Bokyong Cen terhentak mundur beberapa langkah.

Setelah tegak berdiri, gadis itu memandang Cu Kuo Lu Hu Cu dengan mata terbeliak lebar. Tidak disangkanya, orang tua itu ternyata berkepandaian paling tinggi di antara semua orang.

Cu Sianseng segera berkata.

"Tuan Ouw Yang, lihatlah! Nona itu akan pergi bersama kita atau kau seorang yang ikut kami?"

"Kalau menghendaki adikku pergi dengan kalian, kalian harus memberitahukan padaku, siapa sebetulnya kalian dan mengapa harus bawa adikku ke daerah utara?" tanya Ouw Yang Coan.

"Maaf, hanya dapat kuberitahukan, bahwa kami bawa adikmu ke daerah utara bukan untuk niat jahat. Kalian boleh berlega hati, kalau nona ini juga ingin ikut, tentunya boleh. Namun kalau dia ikut hanya akan termenung seorang diri, karena tidak akan melihat Tuan Ouw Yang Hong!"

Bokyong Cen melongo mendengarnya.

"Mengapa aku tidak akan melihatnya?" tanyanya penuh keheranan.

Cu Sianseng memberitahukan.

"Karena Tuan Ouw Yang Hong akan sibuk sekali di tempat kami!"

Sibuk? Gumam Bokyong Cen, merasa curiga. Ouw Yang Hong akan sibuk apa di sana? Mungkinkah dia akan menulis syair? Selain menulis syair, dia tidak bisa apa-apa!
Ouw Yang Coan serba salah, sebab dia tahu dirinya tidak mampu melawan mereka. Melawan orang tua itu saja dia tidak sanggup, apalagi harus melawan semua.
Mendadak Cu Sianseng menyambar tangan Bokyong Cen yang masih menggenggam pedang buntung, kemudian diayunkan ke arah jari tangannya. Seketika itu putuslah jari kelingking Cu Sianseng. Darah mengucur deras.

"Apabila aku mencelakai Tuan Ouw Yang Hong, maka diriku akan seperti jari kelingkingku!" sumpahnya sambil menatap Bokyong Cen dan Ouw Yang Coan,
Ouw Yang Coan, Bokyong Cen, dan Ouw Yang Hong saling memandang. Mereka tidak tahu mengapa Cu Sianseng berbuat begitu dan mencetuskan sumpah pula. Mengapa harus membawa Ouw Yang Hong ke daerah utara? Semua membuat heran hati ketiganya.

"Kalau begitu, aku memperbolehkan adikku ikut kalian. Tapi kapan dia akan kembali?" ucap Ouw Yang Coan.

"Asal dia sudah bertemu majikan, mungkn setahun dua tahun dia akan pulang. Kalau dia merasa cocok dengan majikan, mungkin tiga tahun kemudian haru pulang. Sebaliknya kalau tidak cocok kemungkinan besar hanya setengah tahun dia sudah pulang!" jelas Cu Sianseng.

Ouw Yang Coan manggut-manggut, lalu berkata pada Ouw Yang Hong.

"Adik, aku juga ada urusan, tidak bisa menemanimu ke daerah utara. Terhadapmu hatiku khawatir ..."

Usai berkata begitu, Ouw Yang Coan memandang Bokyong Cen, maksudnya agar gadis itu menyertai adiknya ke daerah utara.

Bokyong Cen berpikir, kau kira aku mencintai adikmu yang bloon itu? Kalau dia ikut mereka ke daerah utara, sudah pasti akan celaka. Mengapa aku harus menyertainya? Sudah cukup menderita ketika aku berada di Pek Tho San Cung, maka aku tidak akan menyertainya ke daerah utara.

Ouw Yang Coan pun tahu gadis itu tidak mau ikut adiknya ke daerah utara. Itulah yang memuatnya tidak habis pikir. Tadi gadis itu menyatakan bahwa Ouw Yang Hong adalah suaminya. Maka sang suami kemana, si istri pun harus ikut. Tapi kini Bokyong Cen masih merupakan seorang gadis, dia tidak mau ikut Ouw Yang Hong ke daerah utara, bagaimana mungkin memaksanya.

Sementara Ouw Yang Hong juga memandang Ouw Yang Coan. Dia tahu pasti akan celaka jika berangkat ke daerah utara. Sehingga tanpa sadar ia mengucurkan air mata.

Ouw Yang Coan menatapnya sejenak, kemudian berkata, "Adik, aku datang di Tionggoan ini karena ada urusan penting. Setelah urusan itu beres, tentunya aku akan ke daerah utara mencarimu. Kalau tidak terjadi suatu apa pun atas dirimu, aku pasti berterima kasih pada mereka. Namun, apabila terjadi sesuatu atas dirimu, aku dan guru pasti membuat perhitungan dengan mereka."

Ouw Yang Coan berkata begitu, agar hati adiknya merasa tenang. Mereka berdua bercakap-cakap, sedangkan yang lain diam saja. Hingga tak lama kemudian, akhirnya Ouw Yang Hong ber-pamit pada kakaknya dan Bokyong Cen. Dia ikut orang-orang itu pergi. Sesaat dia masih sempat menoleh ke belakang melihat Bokyong Cen menundukkan kepala, sepertinya sedang mengucurkan air mata.

Ouw Yang Hong dan orang-orang itu telah tiba di sebuah kota. Cu Sianseng membeli tujuh ekor kuda. Mereka bertujuh menunggang kuda menuju ke daerah utara, menempuh jalan siang dan malam, hanya bermalam di dalam hutan.

Ouw Yang Hong sama sekali tidak tahu apa sebabnya mereka membawanya ke daerah utara. Dia hanya tahu, mereka punya seorang majikan yang sudah tua, sedang menunggu dan ingin ber-temu Ouw Yang Hong.

Sepanjang jalan, Cu Sianseng dan Cu Kuo Lo Hu Cu melarang semua orang menimbulkan masalah. Namun Cu Sianseng berlaku amat sungkan terhadap Ouw Yang Hong.

Dalam perjalanan, Ouw Yang Hong sering bertanya pada Cu Sianseng, mengapa mereka membawanya ke daerah utara, apa yang harus dikerjakannya di sana, dan mengapa majikan mereka ingin menemuinya. Walau Ouw Yang Hong bertanya berulang kali, Cu Sianseng cuma tersenyum tanpa memberi jwaban. Hati Ouw Yang Hong jadi kesal, akhirnya tidak mau bertanya lagi, bahkan juga tidak mau bicara dengan mereka.
Kian lama hawa kian bertambah dingin. Saat itu memang bulan delapan, pertengahan musim gugur. Malam harinya, angin berhembus dingin menusuk tulang. Ouw Yang Hong yang hanya me-ngenakan pakaian biasa, tentunya merasa kedinginan. Sebaliknya orang-orang itu tidak tampak kedinginan, Cu Sianseng malah bersenandung.

"Langit tiada batas, rimba tiada ujung. Tinggal di rumah gubukku dan mencuci pakaianku, bulu burung amat panjang, adalah ibuku. Seekor kijang, kau, dan aku sama-sama menikmatinya. Melahirkan anak . . ."

Mendengar senandung itu, semua orang segera menyambungnya dengan suara lantang.

"Lihatlah gubuk itu, ada istriku yang tercinta, menungguku pulang, hidup bahagia hingga berambut putih!"

Ouw Yang Hong yang juga mendengar, berkata dalam hati, mereka semua berasal dari daerah utara, tapi datang ke kota Ciau Liang menunggu diriku lingga tiga tahun. Apakah hanya demi me-lanjutkan syair itu? Sungguh tak dapat dipercaya, namun nyatanya memang begitu.

Malam itu mereka bermalam di sebuah rimba, menyalakan ranting dan menyuruh seseorang menjaga, yang lain boleh tidur.

Ouw Yang Hong tidak bisa pulas, dia tahu orang-orang itu amat sungkan padanya, maka dia tidak berniat untuk kabur.

Mendadak terdengar suara derap kaki kuda, terdengar pula suara siulan yang saling menyusul. Tak lama tampak beberapa orang berkuda menerjang ke arah tempat itu. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang, membawa busur, golok, dan tombak.
Setelah sampai di depan api unggun, terdengar suara bentakan yang amat keras.

"Kalian semua dengar, kami adalah Pak Cong Ngo Pit (Lima Jagoan Daerah Utara)! Harimau,

Macan Tutul, Macan Belang, Srigala, dan Anjing! Cepat tinggalkan barang-barang kalian dan berlutut, kami akan mengampuni nyawa kalian!"

Orang-orang yang tidur itu langsung terjaga. Ouw Yang Hong memandang mereka, tahu jelas mereka berkepandaian amat tinggi, tapi pendatang yang tak diundang itu membawa busur dan panah. Kalau mereka melepaskan panah, tentunya akan merepotkan orang-orang itu. Hatinya jadi cemas.

Akan tetapi, Cu Sianseng dan beberapa orang tetap duduk tak bergerak, memandang para pendatang itu sambil tersenyum. Mereka tahu yang baru muncul itu adalah perampok, namun mereka tetap bersikap acuh tak acuh.
Kepala perampok membentak dengan suara mengguntur.

"Cepat tinggalkan barang-barang kalian, apakah aku harus turun tangan?"

"Kau menghendaki barang-barang kami?" sahut Cu Sianseng sambil tertawa.
Kepala perampok itu mengangguk.

"Betul!"

Cu Sianseng tertawa sambil berkata pada kepala perampok itu.

"Kami memang memiliki sedikit barang, datang dari kota Ciau Liang, tentunya membawa barang."

Kepala perampok itu tampak tertegun.

"Siapa kalian?"

Cu Kuo Lo Hu Cu berkata sambil tersenyum.

"Lo Ji, Lo Sam! Kita ke Ciau Liang baru tiga tahun, orang-orang di sini sudah tidak mengenali kita lagi!"

"Toako (Kakak Pertama), asal kita mendekati mereka, sudah pasti mereka akan mengenali kita!" sahut Cu Sianseng menimpali.

Mereka berenam bangkit berdiri. Kepala perampok itu tampak tersentak, lalu berkata dengan suara bergemetar.

"Kalian adalah orang Liu Yun Cun (Perkampungan Liu Yun)?"

Cu Sianseng dan lainnya tidak menyahut, hanya tertawa.

Menyaksikan itu kepala perampok tahu, mereka pasti orang-orang Liu Yun Cun. Maka cepat-cepat meloncat turun dari kuda, dan langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka.

"Tuan besar berenam, hamba tidak tahu Tuan-tuan berada di sini, hamba memang harus mampus!"

Cu Sianseng tertawa.

"Kalian berlima harus mampus atau tidak, aku juga tidak tahu. Tapi kami sedang tidur di sini. Kalian muncul mengganggu kami, tentunya kalian harus bertanggung jawab tentang itu!"

Orang yang dipanggil Hou toako berkertak gigi, kemudian berkata dengan suara bergemetar.

"Kami memang sial tidak mengenali Tuan besar berenam, maka aku . . ."

Hou toako itu mengangkat sebelah tangannya, mendadak bergerak cepat mencungkil keluar sebuah matanya. Dia menjerit keras, lalu roboh dan pingsan.
Yang lain tak berani bergerak sama sekali, tetap berlutut di tanah dengan wajah pucat pias.

Cu Sianseng memandang mereka sambil tertawa, setelah itu berkata perlahan-lahan.
"Kalian masih belum mau pergi dari sini? Aku mau tidur lagi!"
Mereka segera mengucapkan terimakasih, dan terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

***

Bersambuing


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar