Si Racun Dari Barat (See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan) Bab 27

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Bab 27

Ouw Yang Hong malah tertawa mendengar ancaman itu.

"Cu Kuo Cia! Kalau kau membunuhnya, aku pun akan menghabismu! Namun dengan suatu cara yang paling sadis! Kau pernah mengirim daging Cha Ceh Ih, kau pun pernah meracuni orang! Aku tidak akan melakukan itu terhadapmu, melainkan dengan suatu cara . . ." Ouw Yang Hong tertawa dingin sambil melanjutkannya, "Aku akan mengambil semacam ulat untuk menyantap daging dan menghisap darahmu, itu akan membuatmu mati perlahan-lahan dengan tersiksa sekali!"

Bukan main takutnya Cu Kuo Cia. Dia ingin segera melarikan diri, tapi khawatir ilmu ginkang-nya tidak dapat menyamai Ouw Yang Hong.

Sementara itu Bokyong Cen terus berpikir. Ouw Yang Hong pernah mencetuskan kata-kata yang manis dan mesra terhadapnya, apakah itu cuma perkataan bohong belaka? Kalau begitu, apa gunanya hidup? Lebih baik mati, habis perkara!

Ouw Yang Hong terus memperhatikan perubahan air muka Cu Kuo Cia. Ketika menyaksikan air mukanya tampak panik, dia merasa gembira. Mungkin apabila ditambah beberapa patah kata lagi, dia pasti akan melepaskan Bokyong Cen.

Ouw Yang Hong cuma memperhatikan Cu Kuo Cia, namun sama sekali tidak memperhatikan air muka Bokyong Cen yang terus berubah.

"Cu Kuo Cia, kukatakan sejujurnya, aku bukan orang yang sudah tua hingga tidak bisa punya anak lagi. Di daerah See Hek ini banyak terdapat wanita cantik, kalau aku mau, mereka pasti kemari menemaniku!"

Ouw Yang Hong berkata dengan wajah berseri-seri, kemudian tertawa gelak. Tentu saja hati Bokyong Cen semakin teriris. Rasa duka dan marahnya membuatnya terisak-isak.

"Ouw Yang Hong! Ouw Yang Hong! Kau . . . kau sungguh tak berperasaan . . ." ujar wanita itu, menangis.

Hati Cu Kuo Cia merasa tersentuh mendengar ucapan Bokyong Cen. Namun diam-diam dia jadi mengetahui siasat Ouw Yang Hong, sehingga yang semula dia sudah berniat melepas Bokyong Cen, akhirnya dibatalkan.

Cu Kuo Cia tertawa terkekeh.

"Ouw Yang Hong, lebih baik kau bunuh aku saja! Asal kau melancarkan sebuah pukulan, nyawaku pasti melayang! Tapi kau pun akan kehitangan anak dan wanita kesayanganmu ini, bahkan kau pun tidak punya musuh lagi, damai dan aman bagimu! Ya, kan?" ujar Cu Kuo Cia sambil terus tertawa mengekeh.

Tadi Ouw Yang Hong mengatakan begitu, sebetulnya hanya sebagai suatu siasat, namun Bokyong Cen menganggapnya bersungguh-sungguh. Hal itu membuat Ouw Yang Hong berkeluh dalam hati. Bokyong Cen! Bokyong Cen! Mengapa kau begitu bodoh? Aaakh . . .

"Ouw Yang Hong, kau mau segera membunuh diri ataukah ingin menyaksikan kematian wanita ini bersama anak di dalam kandungannya?"

Ouw Yang Hong berdiri diam di tempat, tak bergerak sama sekali. Sementara Bokyong Cen tertawa sedih.

"Cu Kuo Cia, percuma kau berkata begitu, kau kira Ouw Yang Hong akan berkorban demi diriku? Kau jangan bermimpi itu!" ujarnya pelan.

Cu Kuo Cia tertawa gelak sambil memandang Ouw Yang Hong.

"Kusediakan sebungkus racun, kau harus makan racun itu!"

Ouw Yang Hong tetap berdiri tak bergerak di tempat. Mana mungkin Ouw Yang Hong mengambil racun itu, sedang dirinya tak ingin mati.

Bokyong Cen tidak mendengar suara apa pun. Hal itu .semakin membuatnya kecewa, bahkan merasa putus asa pula. Ouw Yang Hong tidak akan berkorban demi diriku, percuma aku hidup . . . Pikir wanita itu, kesal dan marah.
Saat Bokyong Cen berkata dalam hati, mendadak terdengar suara di belakang Cu Kuo Cia.

"Cu Kuo Cia, ajalmu sudah tiba!"

Terdengar suara bentakan diiringi dengan munculnya sesosok bayangan ke arah Cu Kuo Cia. Orang itu mendorongnya dengan sekuat tenaga, sekaligus mengancam tiga buah jalan darah di punggung Cu Kuo Cia.

"Cu Kuo Cia, cepat lepaskan dia!" hentak orang itu lagi dengan suara keras.
Bokyong Cen sedang kecewa dan putus asa, ketika mendengar suara itu. Seketika muncul rasa tenang, sebab dia tahu siapa orang itu. Ya, sosok bayangan itu Siangkoan Wie, orang yang pernah menolongnya.

Akan tetapi, mana mungkin Cu Kuo Cia begitu gampang melepaskan Bokyong Cen.

"Kau punya kepandaian apa, keluarkan saja! Aku tidak akan mati sia-sia di tanganmu!" sahut Cu Kuo Cia tanpa rasa takut sedikit pun.

Orang itu tertawa.

"Cu Kuo Cia, kau tidak mau melepaskannya?"

Mendadak terdengar suara 'Plak!' Ternyata orang itu telah melancarkan sebuah pukulan ke arah punggung Cu Kuo Cia hingga terpental. Bokyong Cen pun terlepas dari tangannya.

Ouw Yang Hong segera maju, sekaligus menarik Bokyong Cen ke belakangnya. Setelah itu, dia pun menghentakkan sepasang tangannya ke depan, mengarah pada Cu Kuo Cia. Dorongan itu mengandung tenaga yang amat dahsyat, membuat Cu Kuo Cia menjerit menyayat hati. Dia roboh dan nyawanya melayang seketika.

Ouw Yang Hong menoleh ke belakang, memandang orang itu.

"Tuan siapa . ..?"

Siangkoan Wie cuma tersenyum, tidak menghiraukan Ouw Yang Hong, melainkan berkata pada Bokyong Cen.

"Semoga lilin-lilin yang disukai Nona selalu me-nyala, membuat hati Nona terang benderang!"

Usai berkata demikian, Siangkoan Wie pun berjalan pergi, sama sekali tidak menoleh lagi.

Ketika mengetahui badan Bokyong Cen kian hari kian bertambah berat, Ouw Yang Hong amat berhati-hati sekali. Dia masih ingat akan pesan gurunya, harus membunuh para suheng, susiok, dan semua penghuni perkampungan Liu Yun Cun. Kini para suheng dan susiok telah mati semua, begitu pula para penghuni perkampungan Liu Yun Cun. Sudah banyak yang mati dan kabur entah ke mana. Legalah hatinya, karena pesan mendiang gurunya telah dilaksanakannya dengan baik. Saat ini dia belum mulai berlatih ilmu Ha Mo Kang, sebab Bokyong Cen dalam keadaan hamil. Dia harus menjaganya dengan cermat. Setelah Bokyong melahirkan, kelak dia akan mulai berlatih lagi.

Apabila ilmu Ha Mo Kangnya sudah sempurna, lima tahun kemudian dia pasti akan ke Gunung Hwa San, untuk mengadu kepandaian dengan Ong Tiong Yang, Toan Hong Ya, Ouw Yok Su, dan Ang Cit Kong. Dia berambisi sekali untuk memperoleh kitab pusaka Kiu Im Cin Keng.

Akan tetapi, dia hanya mahir ilmu tangan kosong, karena belum pernah belajar ilmu pedang atau ilmu tongkat dan lain sebagainya. Kalau dia bisa menggunakan tongkat ular kakaknya, tentunya amat membantu jika kelak berangkat ke Gunung Hwa San.
Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mulai berlatih kungfunya di ruang latihan. Keluar dari ruang latihan, dia pasti menengok Bokyong Cen.

Sejak kejadian dirinya diancam oleh Cu Kuo Cia, juga mendengar apa yang diucapkan Ouw Yang Hong di waktu itu, hati Bokyong Cen jadi tawar. Jarang bicara dengan Ouw Yang Hong.

Entah sudah berapa kali Ouw Yang Hong men-jelaskan, bahwa ucapannya itu hanya suatu siasat untuk menghadapi Cu Kuo Cia. Namun Bokyong Cen cuma tersenyum dingin.

Kali ini seperti biasa, keluar dari ruang latihan, Ouw Yang Hong pergi menengok Bokyong Cen. Tetapi Bokyong Cen tetap tidak mau bersuara.

"Kau pernah bilang, terlampau berduka dan melihat darah akan mempengaruhi anak di dalam kandungan. Karena itu, kau harus menjaga dirimu baik-baik!"

Bokyong Cen menyahut dengan dingin, "Kau adalah Ouw Yang Hong, bersama wanita lain sudah pasti akan punya anak, lalu mengapa kau masih menaruh perhatian pada anak di dalam kandunganku?"

Ouw Yang Hong tahu bahwa Bokyong Cen masih marah atas ucapannya tempo hari. Maka dia tidak banyak bicara lagi, meninggalkan kamar itu perlahan-lahan.

Dia berdiri di halaman menatap angkasa dengan pikiran menerawang. Sebenarnya Ouw Yang Hong adalah seorang sastrawan. Namun, tanpa sengaja dia memperoleh ilmu Ha Mo Kang, Hong Hoang Lak, dan sekaligus memperoleh tenaga lwee kang dari Cen Tok Hang gurunya, sehingga membuat dirinya jadi pesilat tangguh. Akhirnya dia bahkan berhasil membunuh Si Kerdil Pek Tho San San Kun, hingga jadi majikan perkampungan Pek Tho San Cung.

Ketika Ouw Yang Hong sedang berdiri termenung di halaman, mendadak Cong Koan (Kepala Pengurus Rumah Tangga) menghampirinya. Namun orang itu tak berani bersuara, hanya berdiri di belakang Ouw Yang Hong.

"Apa ada urusan yang harus kau laporkan?" tanya Ouw Yang Hong.

Cong Koan itu memberi hormat.

"Sejak Majikan datang di perkampungan Pek Tho San Cung, para penghuni perkampungan ini amat menghormati Majikan, juga amat kagum. Semua urusan besar dan urusan kecil telah hamba selesaikan dengan baik. Namun, ada satu urusan yang hamba tidak tahu harus bagaimana, mohon Majikan beri petunjuk!"

"Mengenai urusan apa?" tanya Ouw Yang Hong ingin tahu.

"Majikan lama adalah Jen It Thian, kesukaannya mengumpulkan berbagai macam benda mustika, perhiasan dan wanita cantik. Kini Jen It Thian sudah mati, sedangkan Majikan amat sibuk. Apakah sekarang Majikan ingin pergi melihat-lihat benda mustika, perhiasan dan para wanita cantik itu?"

Ouw Yang Hong berpikir sejenak. "Baik, kau bawa aku ke sana melihat-lihat!" sahutnya kemudian.

Cong Koan membawa lentera, berjalan ke dalam melalui beberapa ruang dan koridor. Ouw Yang Hong mengikutinya dari belakang. Cong Koan itu mengajak majikannya melalui tujuh buah pintu dimana setiap pintu pasti memiliki jebakan. Setelah itu, barulah sampai di sebuah rumah yang berbentuk aneh.

Cong Koan mengajak Ouw Yang Hong ke dalam. Rumah tersebut tiada berjendela, namun dinding dan lantainya dibuat dari semacam batu pualam, memancarkan cahaya yang bergemerlapan. Sebuah bangunan yang sangat indah.

"Di sini terdapat dua belas benda mustika kolong langit, apakah Majikan ingin menyaksikannya?"

"Baik, aku ingin menyaksikannya!" Ouw Yang Hong mengangguk.

Cong Koan manggut-manggut. Lalu mendadak badannya mencelat ke atas. Dia duduk di atas sebuah batu yang menonjol di dinding.

"Majikan juga harus duduk di atas batu itu!"

Ouw Yang Hong segera mencelat ke atas dengan ringan, dia duduk di atas batu yang ditunjuk Cong Koan. Mendadak terdengar suara yang hiruk-pikuk. Ternyata kedua buah batu itu berbalik, membuat Ouw Yang Hong dan Cong Koan itu masuk ke dalam. Begitu berada di dalam, Ouw Yang Hong langsung terbelalak. Ternyata ruang itu berbeda dengan ruang tadi yang berbentuk segi empat, melainkan berbentuk bulat. Di sana terdapat dua belas buah kotak yang amat indah.

"Majikan, kotak itu berisi sebuah mahkota dari Dinasti Tang!"

Ouw Yang Hong tercengang, bagaimana mahkota Dinasti Tang berada di dalam ruang ini?

"Apakah majikan ingin melihat?" Cong Koan itu menawarkan kepada Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong mengangguk.

Cong Koan mendekati kotak itu, namun dengan langkah-langkah yang tertentu, lalu mengambil kotak itu dan dibawa ke hadapan Ouw Yang Hong.

Mata Ouw Yang Hong jadi silau ketika Cong Koan membuka kotak itu, karena di dalamnya berisi sebuah mahkota yang amat indah, terbuat dari giok dan benang emas. Bukan main kagumnya Ouw Yang Hong akan keindahan mahkota itu.

"Selain mahkota ini, masih terdapat sebelas macam benda mustika kolong langit, yaitu Han Giok Seng (Bintang Giok Dingin), Kim Giok Pian (Sabuk Emas dan Giok), Li Beng Beng Cu (Mutiara Yang Memancarkan Cahaya Terang), Pit Tok Sui Hwe Siang Tam (Sepasang Batu Air dan Api Pemunah Racun), Yun Ong Cah (Payung Raja Awan) dan lain sebagainya!"

Setelah memberitahukan, Cong Koan itu pun mengambil semua kotak tersebut, kemudian dibukanya satu persatu. Ouw Yang Hong menyaksikan semua benda mustika itu dengan mata terbelalak dan mulut berdecak-decak kagum.

"Bukan main . . ." gumamnya.

Cong Koan tersenyum sambil menunjuk sebuah pintu yang di atasnya terdapat tulisan 'Rumah Emas'.

"Rumah itu menyimpan kaum wanita cantik, apakah majikan mau ke sana melihat-lihat?" Ouw Yang Hong mengangguk. "Baik, bawa aku ke sana melihat-lihat!" Cong Koan menekan sebuah tombol maka pintu itu langsung terbuka. Segera diajaknya Ouw Yang Hong masuk ke dalam. Begitu sampai di dalam, Ouw Yang Hong jadi melongo. Ternyata di dalam rumah itu terdapat begitu banyak wanita cantik. Semua memandang Ouw Yang Hong sambil ter-senyum-senyum.

Tampak beberapa wanita setengah tua langsung menghampiri mereka berdua dengan wajah berseri-seri, lalu memberi hormat. "Selamat datang Cong Koan . . ." Cong Koan tersenyum dan mengangguk. "Ini adalah majikan baru perkampungan Pek Tho San Cung," ujarnya memberitahukan.

Beberapa wanita setengah tua itu segera memberi hormat lagi.

"Kalian adalah pengurus rumah emas ini?" tanyanya kepada para wanita itu.

"Ya!" sahut ketiga wanita itu bersamaan.

Kemudian salah seorang wanita setengah tua itu menjelaskan sambil tersenyum-senyum.

"Rumah emas ini terdiri dari tiga ruangan, yaitu Ruangan Manusia, Ruangan Bumi, dan Ruangan Langit. Di setiap ruangan itu terdapat sembilan wanita cantik jelita. Ruang Manusia terdiri dari wanita muda cantik-cantik, yang jarang terdapat di permukaan bumi ini. Ruangan Bumi terdapat wanita cantik yang amat genit, lelaki mana yang melihat mereka, pasti tidak tahan. Ruang Langit berisi wanita-wanita yang amat cantik lembut, jarang terdapat di kolong langit!"

Cong Koan itu membentak.

"Sudahlah! Jangan terus menyerocos, cepat bawa majikan melihat-lihat di Ruang Manusia!"

Ketiga wanita setengah tua itu mengangguk, lalu mengajak Ouw Yang Hong memasuki sebuah ruangan, yaitu Ruangan Manusia. Sampai di dalam, Ouw Yang Hong pun terbelalak. Ternyata ruangan itu dilapisi dengan kaca. Terlihat sembilan anak gadis berada di dalam, ada yang sedang tidur, menyisir, dan lain sebagainya.

"Apa yang sedap dipandang para gadis itu?"

Wanita setengah tua menyahut sambil tersenyum.

"Majikan lama amat senang memandang mereka, dia pasti tertawa gembira . . ,"

Ouw Yang Hong mengerutkan kening.

"Apa yang sedap dipandang dari para gadis itu?"

Wanita setengah tua itu tersenyum lagi.

"Pokoknya sebentar lagi Majikan akan me-ngetahuinya!" Mendadak wanita setengah tua itu berseru, "Pelayan, cepat kemari!"

Seketika juga muncul seorang gadis pelayan kecil, membawa sebuah nampan yang berisi sembilan buah cangkir dan sebuah teko.

"Bawa ke dalam untuk mereka minum!" perintah wanita setengah tua itu.

Gadis pelayan kecil mengangguk, lalu berjalan ke dalam melalui sebuah pintu kaca. Nampan itu ditaruh ke atas sebuah meja. Para anak gadis yang berada di situ segera menuang minuman dari teko ke dalam cangkir. Mereka lalu mulai minum.

Wanita setengah tua berkata sambil tertawa ringan.

"Sebentar lagi Majikan akan menyaksikan suatu pertunjukan istimewa dari para anak gadis itu!"

Ouw Yang Hong memperhatikan para anak . gadis itu. Tak seberapa lama kemudian, tampak para anak gadis itu merintih-rintih seakan menginginkan sesuatu. Mata mereka merem-melek diiringi suara-suara mendesah lirih.

Ouw Yang Hong tampak memperhatikan mereka.

"Apa yang mereka minum?" tanya Ouw Yang Hong kepada wanita setengah tua di sampingnya.

"Itu adalah arak majikan lama, disebut Cun Sim Fou Tong (Kalbu Tergetar-getar)!"

Ouw Yang Hong mengerutkan kening. Dia tahu itu adalah arak perangsang. Wanita setengah tua itu meliriknya, kemudian tersenyum.

"Majikan lama hanya bisa memandang, apakah Tuan Besar . . . juga hanya bisa memandang saja?"

Sesungguhnya ketika menyaksikan para anak gadis yang sudah terangsang itu, darah Ouw Yang Hong mulai bergejolak. Tapi Iwee kangnya amat tinggi, hingga mampu menekan gejolak itu.

Ouw Yang Hong menyahut perlahan-lahan.

"Baik, bawa aku ke dalam melihat-lihat Ruang Bumi saja!"

Wanita setengah tua itu tertawa ringan.

"Tuan Besar dapat mengendalikan diri, itu sungguh hebat . . ."

Wanita setengah tua lalu membawa Ouw Yang Hong menuju ke Ruang Bumi. Sampai di ruangan tersebut, Ouw Yang Hong bertanya, "Apakah para anak gadis dalam Ruang Bumi ini juga harus minum arak Cun Sim Fou Tong?"

"Tidak usah, anak-anak di ruangan ini tidak usah minum arak itu. Tuan Besar akan tahu setelah menyaksikannya!"

Ouw Yang Hong manggut-manggut, lalu menengok ke sana ke mari. Di dalam ruangan ini terdapat sembilan buah kamar yang pintu masing-masing tertulis nama para penghuni. Semua kamar juga dibuat dari kaca, maka dapat dipandang jelas dari luar.
Ketika melihat seorang wanita muda yang di dalam kamar kaca, Ouw Yang Hong sudah tahu wanita muda itu amat genit.

"Siapa dia?" tanyanya.

"Tuan Besar belum tahu? Dia adalah wanita pelacur yang amat terkenal di daerah Kang Lam, entah sudah berapa banyak kaum lelaki mati karena wanita pelacur itu!"
Ouw Yang Hong sempat heran sebab wanita itu masih muda sekali, namun sudah begitu hebat.

Ouw Yang Hong memasuki kamar itu. Ketika dia baru mau membuka mulut, wanita muda itu sudah mendahuluinya.

"Apa hubunganmu dengan makluk aneh itu? Kok dia memperbolehkanmu kemari memandangku?"

"Aku adalah majikan baru perkampungan ini." Wanita muda itu terbelalak seakan kaget dan tak percaya.

"Kau bilang apa? Dia ... dia sudah mati?"

Ouw Yang Hong mengangguk. "Tidak salah, dia memang sudah mati."

Mendadak wanita muda itu mengucurkan air mata, namun kemudian tertawa gelak.
Ouw Yang Hong terperangah melihat perubahan sikap wanita itu.

"Mengapa kau menangis dan tertawa?"

"Dia sudah mati. Di kolong langit berarti akan berkurang seorang yang mabuk kepayang! Kau tidak tahu itu?"

Ouw Yang Hong diam saja.

"Tahukah kau? Dia adalah Kepala Udang!"

Ouw Yang Hong tertawa dalam hati mendengarnya.

"Apa artinya Kepala Udang?"

Wanita muda itu tertawa seraya menunjuk Ouw Yang Hong.

"Kau kemari, aku ingin lihat apakah kau juga seperti Kepala Udang? Setelah aku melihatmu, aku pasti tahu!"

Wanita muda itu tertawa cekikikan. Kamar lain yang tembus pandang itu dihuni seorang wanita kurus dan seorang wanita gemuk. Kedua wanita itu pun ikut tertawa cekikikan.

"Majikan baru itu kepala udang atau bukan, harus kucoba dulu baru bisa mengetahuinya!"

Wanita kurus menyahut, "Kau begitu gemuk, bagaimana akan tahu setelah mencobanya?"

Wanita gemuk tertawa. "He he! Pokoknya beres ..." sahutnya sambil terus tertawa-tawa.

Wanita kurus tertawa cekikikan.

"Hi hi hi! Karena dia majikan baru, maka kau ingin memikatnya?"

Ouw Yang Hong menggeleng-geleng ketika mendengar pembicaraan mereka.

"Tuan Besar, cepatlah kemari!" seru wanita gemuk mendadak.

Ouw Yang Hong melangkah memasuki kamar itu. Wanita gemuk tersebut terus memperhatikannya, kemudian memeriksa sekujur badan Ouw Yang Hong. Sikapnya seperti seorang tabib sedang memeriksa pasiennya.

Berselang sesaat, wanita gemuk itu tertawa seraya berseru-seru.

"Kalian semua boleh bergembira, sebab majikan baru kita ini bukan Kepala Udang!"

Semua wanita yang berada di situ pun langsung bersorak-sorai penuh kegembiraan.

"Tuan Besar, bolehkah kami tahu namamu? Apakah kami setiap hari harus memanggilmu tuan besar?" sela salah seorang wanita itu.

Salah seorang wanita lagi bertanya, "Tuan Besar, kau suka wanita memanggilmu apa? Dan kau suka wanita yang bagaimana?"

Wanita-wanita itu terus saling menyerocos. Hanya seorang gadis yang tidak ikut menyerocos, gadis itu bernama Sui Cing Cing.

Ouw Yang Hong tampaknya tertarik sikap diam wanita itu.

"Mengapa kau tidak ikut bicara?"

"Mengapa aku harus ikut bicara?" jawab Sui Cing Cing, balik bertanya.

Ouw Yang Hong tersenyum. "Kalau begitu, kau ingin apa?"

Sui Cing Cing tersenyum manis seraya memandang Ouw Yang Hong.

"Kau adalah majikan baru perkampungan ini?" tanyanya, lembut.

Ouw Yang Hong manggut-manggut.

"Betul!"

"Katakanlah siapa dirimu? Pendekar dalam rimba persilatan, berasal dari golongan putih atau golongan hitam? Dan apakah kau seorang pesilat tangguh di dunia persilatan?"

"Bagus sekali pertanyaanmu. Aku merupakan orang yang paling jahat di kolong langit, Si Racun Tua Ouw Yang Hong!" jawab Ouw Yang Hong menjelaskan.

Sui Cing Cing tertawa. "Kau mau apakan kami? Dilepaskan atau tetap tinggal di sini menye-nangkanmu? Ataukah . .. seperti majikan lama itu, setiap hari terus memandang kami?"

Ouw Yang Hong menyahut, namun Sui Cing Cing sudah keburu tertawa, sehingga membuat

Ouw Yang Hong tercengang.

"Mengapa kau tertawa?"

"Jen It Thian itu setiap hari datang memandang kami. Kami semua sudah bersepakat, akan membuatnya mati dengan cara kami! Kau percaya itu?"

Ouw Yang Hong menggelengkan kepala.

"Aku tidak percaya!"

Sui Cing Cing tertawa ringan.

"Kau harus percaya. Kalau kau tidak percaya, silakan coba!"

"Cara bagaimana aku mencobanya?" tanya Ouw Yang Hong.

Sui Cing Cing menatapnya, begitu pula wanita-wanita lain, semuanya juga menatap Ouw Yang Hong. Kini Ouw Yang Hong agak percaya bahwa wanita-wanita itu dapat membuat kaum lelaki mati.

Wanita setengah tua yang membawa Ouw Yang Hong ke dalam juga menatapnya.

"Tuan Besar, mereka bersedia dicoba. Apakah Tuan Besar tidak mau mencobanya di dalam Istana Semi?"

Ouw Yang Hong mengangguk. "Baiklah!"

Meski Ouw Yang Hong tidak tahu apa itu Istana Semi, tidak menghiraukan itu.

Sedangkan wanita setengah tua itu membuka sebuah pintu. Ternyata di dalam pintu itu terdapat sebuah ruang bawah tanah yang amat indah. Terlihat pula sehuah ranjang yang amat besar, cukup untuk tidur dua-tiga puluh orang.

Kesembilan wanita itu mendekati ranjang besar, kemudian duduk di pinggir-pinggirnya. Mereka terus melirik Ouw Yang Hong dengan genit dan penuh gairah. Darah Ouw Yang Hong pun mulai bergolak lagi.

Sui Cing Cing bersandar pada seorang wanita. Dia berkata pada Ouw Yang Hong dengan perlahan-lahan.

"Tuan Besar Ouw Yang, kami adalah kaum wanita. Kalau kaum lelaki dan kaum wanita saling mendekat, itu baru nikmat. Tapi tahukah kau, Jen It Thian itu tidak bisa melakukan apa-apa!"

Ouw Yang Hong manggut-manggut, kemudian menengok wanita-wanita lain, ternyata mereka sedang bercumbu-cumbuan dengan mesra. Hal itu membuat hati Ouw Yang Hong berdebar-debar.

Sui Cing Cing berkata sambil tersenyum, "Tuan Besar, mengapa kau tidak mau bersama kami? Apakah kau orang jahat di kolong langit? Tahukah kau, apa yang menjadi kepala orang jahat?"

"Penjahat berhati jalang!" sahut Ouw Yang Hong.

Sui Cing Cing mengangguk. "Betul! Tapi tahukah kau, apa yang disebut jalang?"

Ouw Yang Hong menggeleng. "Aku tidak tahu!"

Sui Cing Cing tersenyum, sambil mendekati Ouw Yang Hong, lalu memegang tangannya.

"Tuan Besar Ouw Yang, kau harus mencobanya . . ."

Sementara itu Bokyong Cen sedang menunggu kelahiran anaknya. Hatinya kini betul-betul telah hampa, dia tidak ingin mati sebelum anaknya lahir. Namun dia sudah mengambil keputusan untuk mati, maka tidak mau bicara dengan Ouw Yang Hong.
Mendadak dia mendengar suara Yang Khim (Semacam Alat Musik Cina Kuno), yang membuat hatinya tersentak. Segera ia berkata pada pelayannya.

"Ada suara Yang Khim, kalian mendengar suara Yang Khim itu?"

Pelayan menggelengkan kepala.

Bokyong Cen mengerutkan kening.

"Kalian tidak mendengar?"

Pelayan menggeleng lagi.

Berselang beberapa saat, suara Yang Khim itu hilang dari pendengaran Bokyong Cen. Dia menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mengusap perutnya seraya bergumam. "Oh, anakku! Kau lahir di keluarga Ouw Yang. Tidak tahu kelak kau akan jadi apa, semoga ibumu di alam baka nanti dapat melindungimu!"

Seusai bergumam, Bokyong Cen lalu bertanya pada salah seorang pelayannya yang berdiri di situ.

"Kalian tahu tuan besar pergi berbuat apa?"

Salah seorang pelayan menyahut.

"Kami dengar, di tempat itu tersimpan berbagai macam benda mustika dan wanita cantik, mungkin tuan besar ke sana melihat-lihat!"

Bokyong Cen manggut-manggut.

"Aku sudah tahu, kalian boleh pergi beristirahat!"

Setelah kedua pelayan pergi, Bokyong Cen duduk tercenung dengan mata bersimbah air. Dia tahu, sesudah Ouw Yang Hong pergi ke tempat itu, tentunya akan terpikat oleh wanita-wanita cantik di sana, tidak akan kemari menengoknya lagi. Itu membuat air matanya meleleh deras . . .

Sementara itu, Ouw Yang Hong merasa puas sekali, karena dikerumuni wanita-wanita cantik. Ouw Yang Hong merupakan lelaki normal. Tentu akan membutuhkan kaum wanita menemaninya. Sementara wanita-wanita cantik itu dapat memuaskannya, membuatnya merasa senang, gembira dan nyaman.

Sui Cing Cing tiduran di kakinya. Anak gadis itu memang luar biasa, dapat menghangatkan hati Ouw Yang Hong dengan perkataan-perkataan yang menyentuh hati.

"Kau gembira tidak?"

Ouw Yang Hong tidak menyahut. Dia bangkit berdiri perlahan-lahan sambil memandangi para wanita cantik.

"Kalian katakan, apakah aku ini merupakan Kepala Udang?"

Para wanita cantik itu langsung memeluknya erat-erat, wajah mereka tampak berseri-seri.

"Kalian tidak usah tinggal di sini lagi, tinggal bersama saja! Kalian setuju?"
Para wanita cantik itu bersorak girang sambil manggut-manggut.

"Kalian dengar baik-baik, kalau tak ada perintah dariku, kalian jangan melakukan apa-apa! Siapa berani membangkang, pasti kuhukum mati!"

Para wanita cantik itu mengangguk, semua setuju peringatan Ouw Yang Hong itu.

"Aku memang menyukai wanita cantik, juga menyukai warna putih. Maka mulai sekarang, kalian tidak boleh mengenakan pakaian warna lain, harus mengenakan pakaian warna putih, itu agar aku lebih menyukai kalian."

Sui Cing Cing berkata sambil tersenyum, "Tuan Besar sungguh luar biasa, dapat membuat kami tunduk padamu. Pokoknya mulai sekarang, Tuan Besar bilang apa, kami pasti menurut."

Sui Cing Cing dan wanita cantik lainnya, segera pergi bersalin pakaian dengan wajah beseri-seri penuh kegembiraan.

Ouw Yang Hong duduk di ranjang besar itu termenung. Tak lama kemudian terdengar suara Sui Cing Cing.

"Tuan Besar, kami masuk! Silakan melihat kami yang telah mengenakan pakaian putih!"
Ouw Yang Hong manggut-manggut.

"Masuklah!"

Sui Cing Cing dan wanita cantik lain berjalan ke dalam, mereka berjalan dengan lemah gemulai. Setelah mengenakan pakaian putih, mereka kelihatan lebih cantik.

Sui Cing Cing berkata dengan lembut, "Tuan Besar, kami sembilan orang sudah mengambil ke-putusan untuk melayanimu selama-lamanya . . ."

Ouw Yang Hong manggut-manggut, kemudian berkata pada Cong Koan.
"Sudah cukup aku melihat wanita-wanita ini, kau kumpulkan mereka semua, agar mereka dapat melayaniku secara baik. Kalau mereka bisa menyenangkan hatiku, sudah pasti akan memperoleh manfaatnya. Tapi apabila mereka tidak menurut kepadaku, aku pasti membunuh mereka!"

Cong Koan mengangguk.

"Beritahukan pada mereka, kalau mereka setuju, kau boleh mengatur suatu tempat yang lebih layak untuk mereka dan sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana."
Cong Koan mengangguk, kemudian memberi hormat dan berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

Sejak Ouw Yang Hong menjadi majikan per-kampungan Pek Tho San Cung, kian hari kian bertambah sewenang-wenang, sehingga membuat para penghuni perkampungan itu amat segan dan takut padanya.

Kini Ouw Yang Hong sudah tidak bersama Bokyong Cen, dan Bbkyong Cen pun tidak memper-dulikannya, hanya berharap cepat-cepat melahirkan anaknya.

Pada suatu hari Ouw Yang Hong mendekati Bokyong Cen. Ternyata Ouw Yang Hong juga berharap anaknya cepat-cepat lahir.

"Kakak ipar, bagaimana keadaanmu? Baik-baik saja?"tanyanya.
Sesungguhnya Bokyong Cen tidak mau meng-gubrisnya, namun merasa tidak enak, maka segera menyahut.

"Terimakasih atas perhatianmu, aku baik-baik saja."

"Beberapa hari ini aku amat sibuk berlatih, maka tidak datang menengokmu. Aku harap kau tidak mempersalahkanku!" kata Ouw Yang Hong sambil memandangnya.
Mendadak Bokyong Cen mengucurkan air mata.

"Ouw Yang Hong, mengapa kau membohongi-ku? Mengapa kau kemari membohongiku? Kau pergi ke tempat para wanita cantik itu! Ya, kan?" katanya dengan sengit.
Ouw Yang Hong tidak menyahut.

"Kau sungguh gembira kan? Aku tahu kau sudah tidak memperdulikan mati hidupku, kau pun tidak memperdulikan anak yang ada di dalam kandunganku! Kuberitahukan padamu, aku masih memandang muka Ouw Yang Coan dan mengingat pula hubungan kita, maka aku akan melahirkan anak ini. Setelah itu, aku akan cari mati, kau tidak perlu berpura-pura menaruh perhatian padaku.

Ouw Yang Hong tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya tampak keningnya berkerut-kerut.

"Kau bersama wanita-wanita itu, bukan?" tanya Bokyong Cen.

Mendengar pertanyaan Bokyong Cen itu, Ouw Yang Hong makin merasa sebal kepadanya.

"Tidak salah, aku memang bersama mereka!" sahutnya.

Bokyong Cen manggut-manggut.

"Ouw Yang Hong, di sana ada dua puluh tujuh wanita cantik, tentunya kau merasa puas sekali, kan?" katanya.

"Betul! Aku adalah seorang lelaki yang membutuhkan wanita. Karena kau tidak bisa bersamaku, maka aku bersama mereka, itu wajar, kan?" sahut Ouw Yang Hong.

"Memang wajar! Kini kau adalah majikan per-kampungan ini, siapa berani membangkang perintahmu? Saat ini kau merupakan orang yang beruntung di kolong langit ..." kata Bokyong Cen dengan dingin.

Bokyong Cen tidak mampu melanjutkan ucapannya karena tidak tahan menahan rasa kesal dan duka dalam hatinya.

Ouw Yang Hong menatapnya sambil tertawa dingin. Dulu dia amat mencintai Bokyong Cen, namun kini cintanya sudah sirna entah ke mana. Semua itu memang sudah merupakan nasib Bokyong Cen. Seandainya pada waktu itu dia mau mendengar penjelasan Ouw Yang Hong, tentunya sikap Ouw Yang Hong tidak akan berubah menjadi seperti itu.

"Ouw Yang Hong, lebih baik kau jangan kemari lagi! Kalau aku sudah melahirkan, kau pasti ku-beritahu," kata Bokyong Cen.

Ouw Yang Hong tampak agak tertegun. Dia menatap wanita itu dengan kening berkerut-kerut, namun tidak berkata sepatah pun.

"Ketika itu aku telah salah melihat, aku telah salah melihat . . ." kata Bokyong Cen lagi.

Akan tetapi kata-katanya terputus, karena tidak kuat menahan rasa sedih. Dia terisak-isak dan air matanya mengucur deras.

Sedangkan Ouw Yang Hong jadi serba salah. Berselang sesaat barulah dia membuka mulut.

"Kakak ipar, aku kemari karena rindu padamu. Kau jangan bersikap demikian padaku!"
"Ouw Yang Hong, sudah kukatakan, kau tidak perlu berkata apa pun lagi di hadapanku. Kalau bayi ini sudah lahir, pasti kuserahkan padamu, karena memang darah dagingmu. Setelah itu, aku akan mati di hadapanmu," sahut Bokyong Cen.
Mendadak Ouw Yang Hong teringat sesuatu.

"Kakak ipar, aku memperoleh sebuah Yang Khim di dalam perkampungan ini. Aku ingin memainkannya agar hatimu bisa tenang," katanya segera.

"Tidak perlu! Aku justru tidak tahu apa yang masih kau inginkan dalam hatimu! Namun aku tahu, kau akan tidak memperoleh apa pun!" sahut Bokyong Cen dingin.
Kening Ouw Yang Hong berkerut-kerut mendengar kata-kata itu.

"Baik! Aku tidak akan kemari lagi!" ujarnya dengan tegas.

Ouw Yang Hong membalikkan badannya me-ninggalkan kamar itu. Dia menuju ruang latihan dengan kepala tertunduk.

Sampai di ruang itu, dia duduk termenung. Teringat olehnya akan kehebatan kepandaian Ong Tiong Yang, Toan Hong Ya, Oey Yok Su, Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk terus berlatih Ha Mo Kang, Hong Hoang Lak, Tongkat Ular dan Yang Khim besi yang kini telah dijadikan senjata.

Ouw Yang Hong pun berpikir tentang kitab pusaka Kiu Im Cin Keng. Kitab itu pasti merupakan kitab pelajaran ilmu silat yang amat luar biasa. Kalau tidak, bagaimana mungkin begitu banyak tokoh persilatan ingin memilikinya?

Karena itu, Ouw Yang Hong bertekad merebut kitab pusaka tersebut di Gunung Hwa San lima tahun kemudian. Bahkan dia juga ingin merebut gelar Jago Nomor Wahid di Kolong Langit.

Di saat dia sedang berpikir, mendadak terdengar suara langkah yang amat ramai, dan suara teriak-teriakan.

"Maling! Jangan sampai dia lolos!"

Ouw Yang Hong segera berhambur ke luar dan langsung meloncat ke atas atap rumah. Dilihatnya seseorang terus melesat, justru menuju kamar Bokyong Cen.
Pada hal Ouw Yang Hong tidak ingin bertemu Bokyong Cen lagi. Namun dia masih ingat bahwa

Bokyong Cen sedang hamil. Anak dalam kandungannya adalah darah dagingnya sendiri. Maka dia segera melesat ke kamar Bokyong Cen dengan mengerahkan ginkang.
Akan tetapi, mendadak bayangan itu berkelebat laksana kilat, seketika juga lenyap dari pandangannya.

"Sungguh hebat ginkang orang itu!" pujinya.

Ouw Yang Hong meloncat turun ke halaman di depan kamar Bokyong Cen. Dia menengok ke sana ke mari, tapi tidak melihat siapa pun dan juga tidak terdengar suara apa pun.

Mendadak hati Ouw Yang Hong tersentak. Mungkinkah orang itu masuk ke kamar Bokyong Cen? Tanyanya dalam hati.

Dia cepat-cepat mendekati jendela kamar Bokyong Cen, lalu mengintip ke dalam. Tampak lampu kamar itu masih menyala, namun dia tidak tahu Bokyong Cen sudah tidur atau belum.

Ouw Yang Hong ingin menerobos ke dalam, tapi tadi Bokyong Cen sudah melarangnya datang. Maka dia menjadi termangu-mangu di luar kamar itu.

Di saat dia sedang termangu-mangu, mendadak terdengar suara Bokyong Cen. "Siapa kau?"

Orang itu menyahut dengan suara rendah, maka Ouw Yang Hong tidak dapat mendengar dengan jelas.

"Aku tidak kenal kau!" kata Bokyong Cen.

Orang itu berkata lagi dengan suara rendah. Maka Ouw Yang Hong tetap tidak mendengarnya. Hal itu membuatnya amat penasaran, lalu menghimpun hawa murninya untuk mendengar. Setelah itu barulah dapat mendengar kata-kata orang itu dengan jelas.

"Pangcu (Ketua) mengutusku kemari untuk mengundang Nona. Kalau Nona leluasa, harap segera ke markas! Pangcu juga bilang, kalau Nona kurang enak badan, maka aku harus baik-baik memperlakukan Nona." Terdengar orang itu berkata.

"Kau bilang pangcumu sakit keras, betulkah itu?" tanya Bokyong Cen.

"Agar Nona tahu, pangcu sudah mengatur semua urusan besar di dalam markas, karena pangcu tahu kali ini sulit terhindar dari bahaya," sahut orang itu.
Bokyong Cen diam sesaat.

"Seharusnya aku ikut kau pergi menjenguk pangcu. Namun badanku sulit untuk diajak berjalan jauh. Harap kau sudi memberitahukan kepada pangcu!" katanya kemudian.

"Pangcu sudah sekarat. Beliau ingin melihat Nona, tapi Nona menolak. Sungguh kami kecewa!"

Bokyong Cen mengangguk.

"Baiklah! Aku akan ikut kau ke sana!"

Betapa girangnya orang itu. Dia langsung mengucapkan terimakasih kepada Bokyong Cen.

"Beritahukan kepada tuan besar bahwa aku sudah pergi! Mengenai anak dalam kandunganku, setelah lahir pasti kuserahkan kepadanya," kata Bokyong Cen kepada pelayannya.

Usai berkata, Bokyong Cen lalu membuka pintu Orang itu berjalan duluan, Bokyong Cen mengikutinya dari belakang.

Ouw Yang Hong ingin menghalangi mereka, namun niatnya itu dibatalkannya. Kemudian dia berpikir selama ini Bokyong Cen tidak memper-du (ikannya, tapi begitu mendengar pangcu itu ingin menemuinya, dia langsung pergi tanpa memikirkan kandungannya. Oleh karena itu, Ouw Yang Hong ingin tahu sebetulnya siapa pangcu itu.

Dia menguntit mereka berdua. Tak lama mereka sampai di sebuah rimba. Tampak lima enam orang berpakaian hitam berdiri di sana. Ketika melihat orang itu berhasil membawa Bokyong Cen, mereka langsung bersorak girang.

Salah seorang berpakaian hitam menarik seekor kuda ke hadapan Bokyong Cen, lalu mempersilakannya naik.

Bokyong Cen menurut dan segera meloncat ke punggung kuda. Kemudian yang lain pun segera meloncat ke punggung kuda masing-masing.

Begitu menyaksikan cara mereka meloncat ke punggung kuda, Ouw Yang Hong tahu bahwa mereka adalah kaum rimba persilatan yang berkepandaian tinggi.

Sementara kuda-kuda itu sudah mulai berlari dengan kencang sekali meninggalkan tempat itu. Ouw Yang Hong mengerahkan ilmu ginkang Hong Hoang Lak untuk mengikuti mereka.

Tak seberapa lama kemudian, kuda-kuda itu sudah berlari belasan mil, lalu sampai di sebuah rimba Mereka berhenti, sekaligus menambatkan kuda masing-masing di pohon.

Orang itu memapah Bokyong Cen turun dari kuda, kemudian menuntunnya ke dalam rimba itu.

Mendadak terdengar suara bentakan keras.

"Siapa? Cepat berhenti!"

Ternyata suara bentakan itu ditujukan kepada Ouw Yang Hong yang menguntit mereka. Bahkan terdengar pula suara desiran di belakangnya.

Ouw Yang Hong cepat-cepat membalikkan badannya, sekaligus melancarkan sebuah pukulan.

Seketika terdengar suara teriakan. Ouw Yang Hong memandang, tampak seseorang berdiri tak bergerak di depan pohon. Sepasang tangan orang itu berada di depan dada, kelihatannya ingin mengadu nyawa dengan Ouw Yang Hong.

Ouw Yang Hong tercengang, sebab pukulannya tadi mengandung tenaga yang amat kuat, tapi orang itu tak bergeming sedikit pun. Ouw Yang Hong memperhatikannya. Ternyata nafas orang itu sudah putus, hanya saja badannya bersandar pada pohon.
Ouw Yang Hong melesat ke depan, tak lama sudah sampai di depan sebuah kuil tua. di sekitar kuil itu tumbuh rumput ilalang yang amat tinggi.

Ouw Yang Hong berendap-endap mendekati kuil itu. Tampak begitu banyak orang duduk mengerumuni seseorang yang sedang sekarat.

Orang yang membawa Bokyong Cen memberi hormat, lalu berkata.

"Lapor pada Pangcu, hamba sudah berhasil mengundang Nona Bokyong kemari!"
Bokyong Cen berdiri di belakang orang itu. Setelah orang tersebut melapor kepada sang pangcu, barulah Bokyong Cen memandang pangcu itu lalu membungkukkan badannya meraba sang pangcu.

"Kau ya? Kok tidak bersuara?" tanyanya.

Sang pangcu menghela nafas perlahan, lalu berkata terputus-putus.

"Seharusnya kau tahu siapa aku. Pertama kali aku menolongmu, kau tidak melihat wajahku. Kita bertemu kedua kalinya, matamu sudah buta, tidak dapat melihat wajahku. Nona Bokyong, kau baik-baik saja?"

"Setelah mendengar suaramu, aku sudah tahu siapa kau. Lain kali kalau kita bertemu aku pasti mengenali suaramu," sahut Bokyong Cen.

Sang pangcu itu tertawa getir.

"Aku menyuruhmu kemari karena aku amat mencemaskanmu. Aku sudah hampir mati, bagaimana masih ada lain kali untuk bertemu?"

"Hidup memang harus mati. Manusia mana yang tidak akan mati? Kau hampir mati, aku pun begitu juga. Maka kita tidak akan bertemu kembali," kata Bokyong Cen.

Pangcu itu terpaksa tertawa, lalu berkata dengan suara parau.

"Nona Bokyong, kau jangan bergurau! Aku sudah tua, lagi pula menderita sakit keras yang tak bisa diobati. Kau masih muda, kenapa bilang sudah hampir mati?"
Usai berkata, orang itu terbatuk-batuk beberapa kali.

Bokyong Cen menjulurkan tangannya untuk meraba mulut sang Pangcu seraya bertanya.

"Kau muntah darah kan?"

"Bukan cuma muntah darah, nafasku pun hampir putus . . ." sahut sang Pangcu.

"Orang itu memberitahukan padaku, bahwa kau sakit keras. Kini aku sudah berada di sini, apa yang harus kulakukan untukmu?" tanya Bokyong Cen.

Sang Pangcu tertawa sedih lalu menyahut.

"Fiat Cang Pang turun-temurun sudah hampir sepuluh generasi. Tiap generasi pasti diketuai oleh seorang gagah, namun sampai di tanganku justru mengalami kemerosotan. Dendam perkumpulan sulit dibalas, maka sungguh percuma aku jadi ketua Tiat Ciang Pang . . ."

Ketika berkata sampai di situ, pangcu yang bernama Siangkoan Wie itu mengucurkan air mata.

"Bagaimana kau bukan seorang gagah? Menurutku kau adalah seorang yang amat gagah," kata Bokyong Cen.

Siangkoan Wie tersenyum sedih mendengar kata-kata Bokyong Cen itu, sementara semua orang cuma diam. Yang berbicara hanya sang Pangcu dan Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong yang bersembunyi di tempat yang gelap, mendengar semua pembicaraan mereka. Dia pun sudah tahu bahwa orang tua yang sekarat itu adalah Siangkoan Wie, ketua Tiat Ciang Pang. Dia berkata dalam hati, walau ketua Tiat Cang Pang itu pernah menyelamatkan Bokyong Cen, tapi masih tidak pantas disebut sebagai seorang gagah, dan juga Bokyong Cen tidak usah merasa berhutang budi padanya, lagi pula tidak perlu bersikap begitu ramah dan lembut terhadapnya. Ternyata ketika menyaksikan sikap Bokyong Cen terhadap Siangkoan Wie, hati Ouw Yang Hong pun merasa panas sekali. Kalau bukan karena

Siangkoan Wie sudah sekarat, Ouw Yang Hong pasti sudah turun tangan membunuhnya.

Sedangkan Bokyong Cen mana tahu keberadaan Ouw Yang Hong di tempat yang gelap memperhatikan gerak geriknya.
Kemudian Siangkoan Wie berkata lagi.

"Nona Bokyong, aku lihat kau di Perkampungan Pek Tho San Cung,'tidak begitu gembira. Kalau kau merasa bosan tinggal di sana, lebih baik ikut para anggotaku ke markas Tiat Ciang Pang di Gunung Ngo Ci Hong. Apabila Ouw Yang Hong ke sana mencarimu, tentu para anggotaku akan bertanggung jawab tentang itu. Dia pasti tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana menurutmu?"

Semula Bokyong Cen mengangguk, tapi kemudian menggelengkan kepala. Dia amat ber-terimakasih atas kebaikan Siangkoan Wie. Tapi kalau dia ikut ke markas Tiat Ciang Pang, sudah barang tentu akan menyusahkan perkumpulan tersebut, sebab Ouw Yang Hong pasti .ke sana mencarinya, dan itu akan membuat hatinya tidak te-nang.

Sedangkan Ouw Yang Hong yang bersembunyi itu berkertak gigi. Dia sudah mengambil suatu keputusan, apabila pihak Tiat Ciang Pang berhasil membujuk Bokyong Cen berangkat ke Gunung Ngo Ci Hong, maka dia akan membunuh mereka semua.
Siangkoan Wie mendongakkan kepala. Kelihatannya pangcu itu sedang mencari seseorang yang berada di tempat itu.

Orang yang membawa Bokyong Cen tadi berlutut di hadapannya.

"Suhu, semua anggota berada di sini. Suhu ingin bicara dengan siapa?" katanya dengan hormat.

"Cepat papah aku bangun!" perintahnya, tanpa menjawab pertanyaan orang itu.
Orang itu segera memapah Siangkoan Wie. Pangcu itu duduk lalu memandang para anggotanya.

"Sejak berdirinya Tiat Ciang Pang di Gunung Ngo Ci Hong, memang pernah melahirkan seorang aneh yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, begitu sampai di tanganku, Tiat Ciang Pang justru mengalami kemerosotan dan juga bernama busuk di dunia persilatan? Siapa yang melakukan kejahatan-kejahatan itu, kalian pasti tahu. Aku tidak akan mengusut tentang itu. Namun setelah kuturunkan kedudukanku kepada generasi baru, kuharap dia dapat mengangkat tinggi partai Tiat Ciang Pang kita, mampu bersaing dengan Kay Pang maupun dengan Siau Lim Pay."

Para anggota Tiat Ciang Pang berlutut serentak di hadapan Siangkoan Wie. Mereka semua menunggu pesan sang ketua.

Siangkoan Wie mengeluarkan suatu benda dari dalam bajunya. Warnanya agak kehitam-hitaman. Ternyata benda itu adalah benda kepercayaan Partai Tiat Ciang Pang, yaittu sebuah Telapak Tangan Besi.

Begitu melihat benda tersebut, mereka semua segera memberi hormat. Siangkoan Wie mengangkat tinggi Telapak Tangan Besi itu seraya berkata.

"Para anggota Tiat Ciang Pang dengarlah baik-baik! Aku akan menyerahkan benda kepercayaan Tiat Ciang Pang ini kepada Ciu Cian Jen. Dialah yang akan menggantikan kedudukanku sebagai ketua Tiat Ciang Pang."

Bukan main terkejutnya para anggota Tiat Ciang Pang itu. Mereka semua tidak menduga sebelumnya. Sebab mereka yang hadir itu rata-rata berkepandaian tinggi dalam Tiat Ciang Pang dan dalam pertemuan itu hadir pula tiga orang paman guru Siangkoan Wie dan saudara seperguruannya. Usia Ciu Cian Jen paling muda di antara mereka, tapi justru dia yang akan menggantikan kedudukan Siangkoan Wie. Hal itu membuat mereka terkejut dan kemudian mengajukan protes.

"Tunggu, Siangkoan Wie! Apakah kau sudah pikun?" kata seorang tua berjenggot panjang dengan dingin.

"Susiok (Paman Guru), urusan ini amat penting. Bagaimana mungkin aku pikun?" sahut Siangkoan Wie sambil menatapnya.

"Kau masih ingat memanggilku susiok? Kedudukan ketua sampai di tanganmu, justru Tiat Ciang Pang mengalami kemerosotan. Ketika berada di rumah makan itu Su Ciau Hwa Cu, ketua Kay Pang telah menghinamu habis-habisan, tapi kau diam saja membiarkannya menghinamu, itu sudah merupakan kesalahanmu. Kini kau malah ingin menyerahkan kedudukanmu kepada murid yang termuda. Lalu bagaimana Tiat Ciang Pang menjejakkan kaki di dunia persilatan lagi?"

Siangkoan Wie memandang orang tua itu, lalu berkata perlahan-lahan.

"Apakah Susiok menganggapku pilih kasih, maka menyerahkan kedudukan ketua kepada Ciu Cian Jen?"

Orang tua itu mengangguk.

"Tidak salah, baru beberapa tahun menjadi anggota Tiat Ciang Pang. Lagi pula usianya masih di bawah dua puluh tahun. Bagaimana mungkin boleh diangkat sebagai ketua? Kepandaiannya masih rendah, tentunya para anggota tidak akan setuju!"

Nafas Siangkoan Wie memburu. Dia memandang para anggota Tiat Ciang Pang, kemudian bertanya terputus-putus.

"Kalian . . . kalian juga sependapat dengan susiok?"

Mereka saling memandang sejenak, kemudian menyahut dengan serentak dan tegas.

"Tidak salah! Kami tidak setuju Ciu Cian Jen menjadi pangcu!"

Sementara Ciu Cian Jen diam saja.

"Ciu Cian Jen, kenapa kau diam saja?" tanya Siangkoan Wie sambil memandangnya.
"Suhu sedang berbicara dengan thai susiok (Kakek Paman Guru) dan para susiok, teecu tidak berani turut campur," sahut Ciu Cian Jen sambil memberi hormat.

Orang tua itu tampak gusar sekali.

"Kau bilang apa? Tidak berani turut campur? Apakah kau ingin menentang kami?" bentaknya.

Ouw Yang Hong yang besembunyi di tempat gelap juga merasa heran, sebab Siangkoan Wie cukup terkenal di dunia persilatan, namun mengapa begitu ceroboh memilih seorang ketua baru? Muridnya itu masih begitu kecil, bagaimana mungkin menjadi ketua?

Akan tetapi, setelah mendengar apa yang dikatakan orang tua itu, kini Ouw Yang Hong sudah ingat siapa anak muda itu. Ternyata dia anak kecil yang telah menyelamatkan nyawa Siangkoan Wie, ketika Su Ciau Hwa Cu ingin membunuh ketua itu. Mungkin karena itu Siangkoan Wie memilihnya menjadi ketua. Namun, para tetua dan para saudara seperguruan Siangkoan Wie, sudah pasti tidak akan menyetujui anak muda itu diangkat menjadi ketua baru Tiat Ciang Pang.

Mendadak badan Siangkoan Wie sempoyongan. Bokyong Cen cepat-cepat menahannya agar tidak jatuh.

"Susiok, tadi Susiok bilang berdasarkan kungfu yang dimilikinya, Ciu Cian Jen dapat menundukkan para anggota?"

Orang tua itu mengangguk.

"Tidak salah!"

"Nona Bokyong, silakan duduk di sisiku!" kata Siangkoan Wie kepada Bokyong Cen.
Bokyong Cen juga tergolong kaum rimba persilatan. Dia tahu saat ini mereka sedang berdebat. Kalau emosi tentu akan terjadi gebrakan. Maka Siangkoan Wie menyuruh Bokyong Cen duduk di sisinya, itu demi keselamatan wanita tersebut.

Bokyong Cen amat gusar dalam hati, sebab keadaan Siangkoan Wie sudah terdesak, tapi Ciu Cian Jen itu cuma diam saja, tidak melakukan suatu apa pun. Bagaimana dia bisa menggantikan kedudukan Siangkoan Wie?

Sementara Siangkoan Wie sudah duduk. Mendadak dia menunjuk Hiolou (Tempat Pendupaan) dengan Telapak Tangan Besi seraya berkata.

"Kita adalah Tiat Ciang Pang, malang melintang di rimba persilatan tidak mengandalkan senjata, melainkan mengandalkan sepasang telapak tangan! Kalian bilang Ciu Cian Jen tidak mampu, lalu siapa yang mampu? Nah, siapa yang mampu memukul Hiolou besar ini hingga telapak tangannya berbekas di situ boleh diangkat menjadi ketua Tiat Ciang Pang!»

Tampak seseorang berjalan mendekati hiolou besar itu. Dia adalah adik seperguruan Siangkoan Wie.

"Suheng, selama ini aku selalu menuruti per-kataanmu. Tapi kali ini merupakan urusan besar, aku harus melakukannya," ujarnya sambil memberi hormat.

Usai berkata, orang itu langsung memukul ke arah hiolou besar tersebut dan telapak tangannya berbekas di situ.

Ouw Yang Hong merasa kagum akan kehebatan ilmu pukulan telapak besi orang itu.

Sementara yang lain juga sudah ikut melakukannya. Tampak enam belas bekas telapak tangan di hiolou besar itu, ada yang tampak samar-samar, ada juga yang tampak jelas dan dalam. Terutama orang tua yang berdebat dengan Siangkoan Wie. Telapak tangannya berbekas paling jelas dan dalam di hiolou tersebut.

Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar