Si Racun Dari Barat (See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan) Bab 09

Si Racun Dari Barat (See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan) Bab 09
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Bab 09
Sejak Yam Ceh Sianjin dan Cian Ciu Jin Tou Teng Pian Hou pergi, di rumah Ouw Yang Coan tidak pernah ada urusan besar. Sedangkan Ouw Yang Hong sudah tidak berniat menjadi sastrawan nomor satu di daerah See Hek. Dia hanya memikirkan satu hal, yakni ingin menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Walau tangannya memegang buku, namun tidak membacanya, melainkan cuma termangu-mangu.

Ouw Yang Hong pun merasa heran dalam hati. Ketika bersama Bokyong Cen bertemu Ouw Yang Coan di gurun pasir, dia pernah memberitahukan kepada kakaknya bahwa ingin belajar ilmu silat, tapi kakaknya justru tidak mengabulkannya, juga tidak menjelaskan apa sebabnya. Dapat dibayangkan, betapa kesalnya hati Ouw Yang Hong.

Sedangkan Bokyong Cen jarang bercakap-cakap dengan mereka kakak beradik, hanya membantu Ceh Liau Thou dan Lo Ouw memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, tentunya amat menggirangkan pembantu muda dan tua itu. Dalam hati mereka sudah menganggap Bokyong Cen sebagai nyonya majikan, maka mereka amat menghormatinya.

Bokyong Cen tidak berniat cepat-cepat pergi. Gadis itu merasa tenang tinggal di situ, sehingga tak terasa sudah lewat beberapa hari.

Hari ini, Ouw Yang Coan pergi belum pulang. Di rumah hanya terdapat Ouw Yang Hong, Bokyong Cen, Lo Ouw dan Ceh Liau Thou. Ouw Yang Hong tidak mengerjakan apa pun, hanya memegang buku sambil berjalan ke sana ke mari.

Mendadak muncul Bokyong Cen. Gadis itu menghampirinya sambil tersenyum-senyum dan berkata.

"Saudara Ouw Yang, sedang membaca buku ya?"

Ouw Yang Hong menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum getir, kemudian menyahut.

"Hanya memegang buku, tapi tidak membaca-nya. Oh ya, Nona tinggal di sini, apakah tidak merasa kesepian?"

Bokyong Cen tertawa kecil.

"Tentunya lebih nyaman daripada di gurun pasir. Di sini tidak akan kedinginan dan kelaparan, bahkan juga . . . badan tidak terikat dan mata tidak kemasukan pasir. Ya kan?"

Mendengar itu, Ouw Yang Hong langsung membungkam.

Sedangkan Bokyong Cen tertawa geli dalam hati dan membatin. Ouw Yang Coan merupakan jago tangguh nomor satu di daerah See Hek, sebaliknya Ouw Yang Hong hanya merupakan seorang kutu buku. Tapi dia cukup luar biasa, sebab dia adalah sastrawan yang amat terkenal di daerah See Hek. Akan tetapi, Bokyong Cen juga merasa heran, karena dalam beberapa hari ini, Ouw Yang Hong jarang bersuara, hanya tampak melamun seakan memikirkan sesuatu.

Bokyong Cen memandangnya sambil tersenyum, lalu berkata.

"Entah Ouw Yang Tayhiap pergi mengerjakan apa? Mengapa sedemikian lama masih belum pu-lang?"

"Kakakku sering pergi seorang diri. Dia ke mana tidak pernah memberitahukan padaku. Mungkin dia pergi mengunjungi temannya. Mengenai urusannya, aku sama sekali tidak pernah bertanya," sahut Ouw Yang Hong.

"Aku lihat kakakmu mengerjakan sesuatu yang amat misterius. Ilmu silatnya berasal dari aliran mana?" tanya Bokyong Cen dengan heran.

Ouw Yang Hong menggelengkan kepala pertanda tidak tahu. Bokyong Cen menatapnya sejenak, kemudian melangkah pergi.

Sebetulnya Ouw Yang Coan ke mana? Ternyata dia menuju suatu tempat yang penuh curam, terus mengerahkan ilmu ginkang. Tak seberapa lama, dia sudah sampai di sebuah lembah, lalu mendadak berseru.

"Guru, murid sudah datang!"

Usai berseru, dia mendekati sebuah goa, lalu menyalakan sebuah obor. Setelah itu, barulah dia berjalan memasuki goa dengan membawa obor itu.

Sungguh di luar dugaan, ternyata amat indah di dalam goa itu, tapi amat dingin, karena dinding goa merupakan batu es, begitu pula lantainya.

Setelah memasuki goa es itu, Ouw Yang Coan segera memberi hormat seraya berkata.

"Guru, teecu Ouw Yang Coan memberi hormat!"

Di dalam goa es terdapat sebuah batu es yang amat besar dan indah, bergemerlapan dan diukir dengan indah sekali. Di atas batu es itu duduk seseorang, yang ternyata seorang wanita. Sungguh menyeramkan wajah wanita itu, sebab amat kurus sehingga tulang yang menonjol tampak jelas di wajahnya. Wanita itu mengenakan pakaian putih, rambutnya panjang terurai sampai ke bawah, duduk diam tak bergerak di atas batu es itu, bahkan juga tidak bersuara.

"Guru, teecu Ouw Yang Coan memberi salam sejahtera kepada Guru!" seru Ouw Yang Coan lagi.

Sepasang mata wanita itu bergerak, ternyata biji matanya putih semua. Berselang sesaat, barulah dia bersuara.

"Kau sudah datang?"

"Guru, teecu ke mari menengokmu!" sahut Ouw Yang Coan.
Wanita itu manggut-manggut, kemudian berkata perlahan-lahan.

"Bagaimana keadaan dunia setan ini? Cerita-kanlah!"

Ouw Yang Coan memberi hormat, setelah itu baru menyahut.

"Pek Tho San San Kun tetap bersifat jahat, belum berubah sama sekali. Setiap hari memper-mainkan wanita bagaikan benda antik."

Wanita itu tertawa dingin, lalu berkata.

"Apakah masih ada urusan lain yang akan kau sampaikan kepadaku?"

"Guru, beberapa hari lalu, teecu bertemu adikku di gurun pasir. Kebetulan melihat seorang gadis yang akan dibunuh murid-murid Pek Tho San San Kun, teecu yang menyelamatkan gadis itu. Kini dia tinggal di rumah teecu, maka teecu memberitahukan kepada Guru, mohon Guru tidak gusar!"

Mendadak wanita itu membentak.

"Ouw Yang Coan, apakah kau sudah gila? Kau tuh orang apa, tentunya kau tahu jelas! Kau berbuat begitu, bukankah konyol sekali?"

Ouw Yang Coan tidak berani bersuara, hanya menundukkan kepala.
Wanita itu menghela nafas, sambil menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata.

"Anak Coan, apakah kau sudah melupakan masa lalu?"

"Budi kebaikan Guru. anak Coan tidak berani melupakannya . . ." sahut Ouw Yang Coan dengan suara gemetar.

Wanita itu menundukkan kepala, lama sekali haru berkata dengan suara rendah.

"Anak Coan, apakah kau menyukainya? Siapa dia, bagaimana ilmu silatnya dan apakah dia can-tik?"

Suara wanita itu bernada sedih. Ketika men-dengar nada suara itu, Ouw Yang Coan segera menjatuhkan diri berlutut dengan wajah tampak agak gugup.

"Teecu sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengannya, hanya melihat adik teecu amat akrab dengannya, barulah teecu membawanya ke Pek Tho San Cung. Dia berasal dari Kang Lam keluarga Bokyong, berguru kepada seorang biarawati. Dia diculik oleh Pek Tho San San Kun, tapi teecu tidak tahu cara bagaimana dia meloloskan diri dan bertemu adik teecu. Teecu lihat mereka berdua amat cocok, mungkin dia akan menjadi orang keluarga Ouw Yang."

Wanita itu diam, berselang sesaat barulah ber-kata perlahan-lahan.

"Anak Coan, naiklah ke mari!"

Ouw Yang Coan menurut, dan langsung melon-cat ke atas batu es dan duduk di hadapan wanita itu. Ouw Yang Coan menatapnya. Dalam matanya memancarkan sinar yang mengandung cinta kasih.

Wanita itu menjulurkan tangannya. Ouw Yang Coan segera memegang tangan itu, lalu ditaruh pada keningnya.

"Guru, seumur hidupku takkan menyukai wanita lain . . ." katanya dengan ringan.
"Anak Coan, kau tidak akan menyesal ber-samaku yang tidak menyerupai manusia? Bagai-mana kau akan gembira?" sahut wanita itu dengan suara gemetar.

"Guru, tanpa kau, aku sudah lama mati. Bagai-mana mungkin aku menjadi seorang jago tangguh di daerah See Hek?" kata Ouw Yang Coan.

Dia seperti anak kecil, bersandar pada badan wanita itu. Saat ini, wanita tersebut sudah tidak banyak bicara lagi, hanya membelai-belai rambut Ouw Yang Coan.
Walau goa itu amat dingin, namun hati mereka berdua terasa hangat sekali.

Sementara itu, Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen pun sedang asyik mengobrol dengan penuh kegembiraan. Gadis itu menceritakan tentang pe-mandangan di Kang Lam yang amat indah, juga mengenai kaum gadis Kang Lam yang cantik jelita. Seusai Bokyong Cen bercerita, Ouw Yang Hong berkata dengan gembira.

'Baik, kalau nanti Nona Bokyong pulang ke Kang Lam, aku pasti ikut pesiar ke sana. Naik perahu menikmati keindahan panorama di sungai dan lain sebadainya, itu pasti menyenangkan sekali!"

Bokyong Cen tertawa. Wajahnya tampak agak kemerah-merahan. Kemudian dia bertepuk tangan dan berkata.

"Siapa menghendakimu ikut aku ke Kang Lam? Lebih baik aku pulang seorang diri. Memangnya aku tidak bisa jalan?"

Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara tawa terkekeh-kekeh.
"He he he! Alangkah baiknya aku yang me-nemanimu ke Kang Lam! Bagaimana?"

Bukan main terkejutnya Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen. Mereka berdua segera menoleh. Entah sejak kapan di atas meja duduk seorang kerdil, tidak lain adalah Pek Tho San San Kun Jen It Thian.

Pintu dan jendela tidak terbuka, bagaimana Pek Tho San San Kun masuk ke dalam?

"Kau sungguh tak tahu aturan, tanpa permisi memasuki rumah orang! Sebaiknya kau keluar saja!" bentak Ouw Yang Hong.
Pek Tho San San Kun tertawa.

"Tengah malam duduk bersama seorang gadis, mengobrol dengan cara yang sopan, itu sungguh merupakan seorang lelaki sejati! Ouw Yang Hong, kau juga tergolong orang yang terkenal di daerah See Hek, tapi mengapa pikiranmu berubah sesat, mau menemani anak gadis pesiar ke Kang Lam? Itu bukan watakmu!"

Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen amat gusar dan kesal, sehingga tidak tahu harus menyahut apa.

Sedangkan Pek Tho San San Kun berkata lagi sambil tertawa.

"Terus terang, sejak melihatmu, Nona Bokyong, aku tidak bisa tidur nyenyak. Kau tidur di dalam peti mutiara yang amat indah, itu amat nyaman dan enak, mengapa kau justru malah kabur? Kau adalah gadis yang cantik jelita, berkeliaran di gurun pasir, kedinginan, kelaparan, terhembus angin dan terjemur terik matahari, itu sungguh tak pantas bagi dirimu yang cantik jelita!"

"Sebetulnya kau mau apa?" tanya Bokyong Cen dingin.

Pek Tho San San Kun Jen It Thian tertawa gelak, kemudian badannya berputar-putar di atas meja. Berselang sesaat, barulah dia berhenti seraya berkata.

"Ouw Yang Hong, aku juga temasuk sastrawan! Tiada seorang pun yang tidak menyukai gadis cantik. Kau suka mendekati kaum gadis cantik, maka ikut aku saja! Di tempatku banyak terdapat gadis cantik, kau suka yang mana, boleh pilih? Kalau kau suka beberapa gadis cantik di tempatku, juga tidak apa-apa, asal kau kembalikan Nona Bokyong pa-daku!"

"Nona Bokyong mau mengerjakan apa, bagaimana mungkin aku bisa memperdulikannya? Namun setahuku, Nona Bokyong tidak sudi kembali ke tempatmu, juga tidak sudi tidur di peti mutira itu!" sahut Ouw Yang Hong.

Pek Tho San San Kun tertawa, lalu berkata dengan gembira.

"Nona Bokyong, sudikah kau ikut aku?"

Bokyong Cen amat gugup dan panik. Dia ingin mencaci Pek Tho San San Kun, tapi tidak berani mencetuskannya.

"Aku tidak sudi!" sahutnya kemudian.

Mendadak Pek Tho San San Kun menatapnya dengan tajam. Bahkan sepasang matanya menyo-rotkan sinar aneh. Ternyata laki-laki kerdil itu telah mengerahkan semacam ilmu sesat, dan itu membuat Bokyong Cen langsung terpengaruh.

"Aku akan mengikuti kehendakmu," katanya.

Ouw Yang Hong berkepandaian rendah, tentunya tidak tahu bahwa Pek Tho San San Kun telah mengerahkan ilmu sesat mempengaruhi Bokyong Cen. Dia justru merasa heran, mengapa Bokyong Cen sudi mengikuti Pek Tho San San Kun. Bukankah gadis itu kabur dari Pek Tho San Cung? Kenapa sekarang malah berubah pikiran, sudi mengikuti laki-laki itu?

Sedangkan Pek Tho San San Kun meloncat turun ke sisi Bokyong Cen, lalu badannya berputar.

Bokyong Cen juga ikut berputar sambil meman-dangnya dengan wajah berseri-seri.
"Aku ikut kau! Aku ikut kau . . ." gumamnya.

Usai bergumam, dengan mata tak berkedip gadis itu berjalan ke luar. Betapa gugupnya Ouw Yang Hong menyaksikannya, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Dia maju selangkah sekaligus menarik lengan baju Bokyong Cen.

"Nona Bokyong, kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh pergi!" katanya.
"Lepaskan tanganmu! Aku mau ke mana, itu urusanku! Kau itu apa, berani melarangku!" sahut gadis itu tanpa memandang Ouw Yang Hong.

Semula Ouw Yang Hong tidak tahu bahwa Bokyong Cen terpengaruh ilmu sesat Pek Tho San San Kun. Tapi ketika melihat gadis itu berjalan melayang-layang, dan tampak seperti kehilangan sukma, barulah dia tersentak sadar, tahu bahwa gadis itu telah terpengaruh oleh ilmu sesat.

"Bokyong Cen! Bokyong Cen! Bukankah kau ingin pulang ke Kang Lam? Mau apa kau ikut dia? Dia akan menyekapmu di dalam peti, dan itu akan menyiksa dirimu!" katanya lantang.

Bokyong Cen menatapnya dengan tatapan ko-song, kemudian menyahut.
"Ouw Yang Hong, aku tidak suka kau, aku suka kakakmu! Kepandaiannya amat tinggi, aku suka dia . .

OuwYang Hong tertegun, tidak menyangka Bokyong Cen akan mengatakan begitu. Seketika dia membungkam, namun berkata dalam hati. Tak disangka dia menyukai kakakku. Kalau begitu, mati hidupnya pasti akan bersama kakakku pula. Tapi apakah kakakku tertarik padanya? Aku sungguh bodoh, selama ini kakak tidak pernah berhubungan dengan kaum gadis, kali ini justru lain. Kakak mengajaknya ke rumah, sama sekali tidak takut akan bentrok dengan Pek Tho San San Kun, pertanda kakak memang tertarik padanya.

Setelah berkata dalam hati, dia berkata dengan suara yang keras.

"Nona Bokyong, berhenti! Kau berhenti! Aku beritahukan, kakakku akan segera pulang! Tunggu dia pulang, barulah kau pergi!"

Bokyong Cen tersenyum, memandang Ouw Yang Hong seraya berkata.

"Sandra Ouw Yang, aku harus pergi! Apakah kau tidak melihat rimba yang indah dan kuil yang amat tenang itu? Dan tidakkah mendengar suara kakak dan adik seperguruanku?" Dia tersenyum lagi, tapi agak aneh, kemudian melanjutkan, "Aku harus pergi! Aku harus pergi! Aku harus kembali ke kuil yang tenang itu!"

Sementara Pek Tho San San Kun sudah berjalan pergi. Bokyong Cen segera mengikutinya dengan langkah melayang-layang.

Ouw Yang Hong terpaksa mengikutinya sambil berseru-seru dengan gugup. Dia tahu, apabila Bok-yong Cen kembali ke Pek Tho San Cung, pasti sulit baginya untuk meloloskan diri lagi. Maka, dia terus berseru agar gadis itu sadar.

Akan tetapi, Bokyong Cen sama sekali tidak menghiraukannya, terus melangkah mengikuti Pek Tho San San Kun.

Keluar dari rumah, mereka justru bertemu Lo Ouw dan Ceh Liau Thou. Begitu menyaksikan itu, Lo Ouw dan Ceh Liau Thou langsung mengerti.

"Orang kerdil, kau amat busuk! Mengapa kau membawa pergi Nona Bokyong? Cepatlah lepaskan!" bentak Lo Ouw.

Ceh Liau Thou juga ikut berseru.

"Nona Bokyong, kau jangan ikut dia! Jangan ikut dia!"

Di saat bersamaan, mendadak muncul dua orang, yaitu Sang Seng Kiam Giok Shia dan Sang Pwe J eh Nuh, yang masing-masing memegang senjata, dan langsung membentak.

"Pelayan cilik! Kalau kau ribut lagi, kami pasti akan menghabiskanmu!"

Sang Seng Kiam Giok Shia menuding Ouw Yang Hong dengan pedangnya.

"Kalau kau berani bergerak, nyawamu pasti melayang!" katanya mengancam.

Ouw Yang Hong tidak berani bergerak lagi, sebab dia tahu apabila bergerak, pasti akan mati di ujung pedang Sang Seng Kiam Giok Shia.

Sementara itu di dalam goa es, Ouw Yang Coan sedang bermesra-mesraan dengan wanita berambut putih. Wanita itu memeluk Ouw Yang Coan sambil membelai-belai kepalanya, sepertinya memeluk se-orang anak kecil.

"Anak Coan, kau tidak dingin?" katanya dengan suara rendah.

"Aku tidak dingin. Aku bersamamu, tentunya tidak akan dingin," sahut Ouw Yang Coan dengan lembut.

Wanita itu memeluknya erat-erat, sambil berkata dengan suara ringan.

"Anak Coan, sejak hari itu aku menyelamat-kanmu, aku merasa tidak bisa meninggalkanmu."

Ouw Yang Coan dan wanita itu sama-sama mengenang kejadian hari itu, ternyata sudah dua belas tahun berlalu. Pada waktu itu, Ouw Yang Coan masih anak-anak. Dia ke tempat itu, kemudian merangkak ke atas sambil berteriak-teriak.

"Sungguh indah tempat ini, aku suka tempat ini!"

Dia berteriak-teriak dengan girang, namun mendadak kakinya terpeleset, sehingga menggelin-ding ke bawah, dan akhirnya jatuh ke dalam sebuah goa yang amat gelap.
Ketika jatuh ke dalam goa itu, dia masih sempat berteriak panik dan suaranya kedengaran bergemetar saking ketakutan.

"Habislah aku! Aku pasti mati, kalau aku mati, bagaimana adikku?"

Begitu teringat akan adiknya, dia langsung me-nangis gerung-gerungan. Berselang sesaat, dia ba-rulah berhenti menangis dan merasa tubuhnya di-ngin sekali. Dia tersentak lalu meraba ke bawah. Bukan main dinginnya seakan meraba batu es, bahkan amat licin pula. Dia putus asa, karena tidak bisa merangkak ke atas lagi.
Ouw Yang Coan duduk diam, kemudian mulai memikirkan adiknya dan mulai menangis lagi seraya bergumam.

"Adik baru berusia sepuluh tahun. Kalau aku tidak bisa keluar dari goa ini, dia pasti akan mati kelaparan. Ini bagaimana baiknya?"

Ouw Yang Coan menangis lagi dengan sedih, akhirnya tertidur di dalam goa itu.
Entah berapa lama kemudian, mendadak dia mendengar suara seruan seseorang yang amat lem-but.

"Nak, sadarlah!"

Perlahan-lahan Ouw Yang Coan membuka ma-tanya. Samar-samar tampak seorang wanita di ha-dapannya. Rambut wanita itu amat panjang, dia menundukkan kepala sambil memandangnya.

Ouw Yang Coan adalah anak yang cerdas. Dia tidak kenal wanita itu, tapi tahu wanita itu yang menyelamatkan dirinya. Namun dia pura-pura belum sadar.
Wanita itu menghela nafas panjang, lalu ber-gumam perlahan.

"Kasihan, anak baik ini akan mati di sini. Sungguh sayang sekali!"
Ouw Yang Coan diam saja. Dia ingin tahu apa yang akan diperbuat wanita itu.

Wanita itu terus memandangnya, kemudian memeluknya erat-erat, sepertinya khawatir Ouw Yang Coan kedinginan. Ouw Yang Coan justru tidak tahu kalau wanita itu memiliki kungfu yang amat tinggi. Dia sudah tahu Ouw Yang Coan pura-pura belum sadar, sehingga membuatnya tertawa dalam hati, bahkan timbul pula rasa sukanya terhadap Ouw Yang Coan.

Berselang sesaat, wanita itu berkata.

"Kalau kau mati, aku terpaksa melemparkan-niu ke dalam jurang yang dalamnya ribuan kaki!"

Walau wanita itu berkata demikian, Ouw Yang Coan tidak merasa takut, karena wanita itu masih memeluknya erat-erat menghangatkan badannya.

Ouw Yang Coan membuka matanya sedikit untuk mengintip. Ternyata wanita itu duduk di atas sebuah batu es yang amat besar, bergemerlapan bagaikan sebuah kaca yang tembus pandang. Ouw Yang Coan juga melihat wajah wanita itu amat cantik, namun rambutnya putih panjang terurai ke bawah, dan bdannya amat kurus, sehingga tampak seperti makluk aneh.

Mendadak wanita itu bersikap seakan ingin melemparkan Ouw Yang Coan. Betapa terkejutnya Ouw Yang Coan, maka dia langsung berteriak-teriak.

"Jangan lempar! Jangan lempar! Aku belum mati ..."
Wanita itu menyahut dengan gembira.

"Memang aku tahu kau belum mati. Siapa kau? Bagaimana kau datang di goaku ini?"
"Memangnya aku sudi kemari? Aku mencari kayu di gunung, karena kurang hati-hati, maka aku terjatuh ke dalam goa ini."

Wanita itu manggut-manggut, lalu memandang Ouw Yang Coan dengan penuh perhatian.

"Oh ya! Bolehkah aku tahu namamu?" tanyanya.

"Namaku Ouw Yang Coan, adikku bernama Ouw Yang Hong."

"Siapa ayah dan ibumu?"

Pertanyaan tersebut membuat Ouw Yang Coan tampak tidak begitu senang.

"Ayah dan ibuku sudah lama meninggal," sa-hutnya dengan suara ringan.

Hati wanita itu tersentak. Kini dia baru tahu bahwa Ouw Yang Coan adalah anak yatim piatu.

Seketika juga dia merasa iba padanya, dan kemudian berkata dalam hati. Aku juga bernasib malang. Tak kuduga anak ini pun bernasib malang pula. Sudah lama dia tidak punya orang tua, hidup menderita di gunung ini, terjatuh ke dalam goaku. Kalau tidak kutemukan, bukankah dia akan mati?

Wanita itu menghela nafas panjang, kemudian berkata.

"Kau terjatuh ke dalam goa es ini, pertanda kau berjodoh denganku. Aku telah menyelamatkan nyawamu, bagaimana kalau kau mengangkatku sebagai gurumu?"
Ouw Yang Coan amat cerdas, maka segera bertanya.

"Kalau aku berguru padamu, maka aku tidak akan hidup menderita lagi?"
Wanita itu manggut-manggut.

"Tentu! Setelah berhasil mempelajari semua ilmu silatku, kau boleh berkecimpung dalam dunia kang ouw dan membunuh para penjahat. Kau bersedia?"

Mendengar ucapan itu, Ouw Yang Coan lalu berpikir. Kelihatannya baik juga wanita ini menjadi guruku. Aku tidak akan hidup menderita lagi. Setelah aku menguasai ilmu silatnya, aku akan berkecimpung dalam dunia kang ouw sebagai seorang pendekar, membunuh para penjahat.

Setelah berpikir demikian, Ouw Yang Coan berkata sungguh-sungguh.

"Guru mengajarku ilmu silat, kelak aku pasti mewakili Guru membasmi para penjahat."

Wanita itu terharu mendengar ucapan Ouw Yang Coan, lalu membatin. Kau anak baik, tapi tidak tahu tingginya langit. Kau kira musuh-musuhku gampang dihadapi? Kalau gampang dihadapi, tentunya aku tidak akan hidup menyepi di dalam goa es ini. Kau memang berbakat belajar ilmu silat, namun biar bagaimana pun kau bukan lawan orang itu.

Diam-diam wanita itu menghela nafas panjang, kemudian menaruh Ouw Yang Coan di atas batu es itu.

Akan tetapi, Ouw Yang Coan justru berteriak.

" Aduuuh!" Ternyata dia merasa amat dingin ketika menyentuh batu es itu. "Guru, mengapa batu es ini amat dingin?"

Wanita itu tertawa, lalu memberitahukan.

"Ini batu es ribuan tahun, tentunya amat dingin."

"Guru duduk di atas batu es ini, apakah tidak merasa dingin?" tanya Ouw Yang Coan.
Terharu lagi wanita itu, sebab pertanyaan Ouw Yang Coan penuh mengandung perhatian. Ternyata wanita itu amat terkenal di daerah See Hek, julukannya adalah Pek Bin Lo Sat. Dia bertarung dengan musuh besarnya, mengalami luka parah maka bersembunyi di dalam goa es itu.
Berselang sesaat, wanita itu menyahut.

"Ouw Yang Coan, kau amat berbakat. Bersediakah kau belajar ilmu silat kepadaku?"

Ouw Yang Coan langsung mengangguk.

"Bersedia. Aku bersedia."

"Baik. Sekarang kau harus duduk di atas batu es ini, aku akan mulai mengajarmu ilmu silat!"

Ouw Yang Coan menatapnya sambil menggeleng kepala.

"Tidak bisa. Aku tidak bisa mulai belajar ilmu silat hari ini, karena aku harus pulang dulu mengantar makanan pada adikku. Setelah itu, harulah aku ke mari."

Pek Bin Lo Sat membentak gusar.

"Aku tidak perduli adikmu, kau harus berada di sini! Kalau bukan aku yang menyelamatkanmu, kau pasti sudah mati!"

Ouw Yang Coan mengerutkan kening sambil berpikir, apa yang dikatakan wanita ini memang tidak salah. Aku harus mulai belajar ilmu silat padanya, lalu pergi memberi makanan pada adikku.

Setelah berpikir begitu, dia lalu berkata.

"Baik, aku menurut perkataan Guru."

Sejak itulah Ouw Yang Coan belajar ilmu silat pada Pek Bin Lo Sat tersebut. Ouw Yang Coan memang cerdas, apa yang diajarkan Pek Bin Lo Sat, cepat sekali dikuasai.

Itu amat menggembirakan Pek Bin Lo Sat. Maka wanita itu berkata dengan wajah berseri-seri.

"Bagus! Bagus! Kau memiliki bakat yang se-demikian bagus, tidak usah khawatir tidak dapat mempelajari ilmu silat tingkat tinggi. Kalau kau belajar empat lima tahun, pasti akan menguasai semua ilmu silatku."

Ouw Yang Coan terbelalak, kemudian berkata dengan kening berkerut.

"Aku harus belajar empat lima tahun? Kalau begitu, aku tidak mau belajar!"

Pek Bin Lo Sat tampak gusar sekali, dan lang-sung membentak.

"Mengapa kau tidak mau belajar?"

"Aku harus memberi makanan pada adikku. Kalau tidak, dia pasti akan mati kelaparan."

Pek Bin Lo Sat tertawa.

"Bukankah kau muridku?"

Ouw Yang Coan mengangguk.

Pek Bin Lo Sat tertawa dingin, lalu berkata.

"Nah, itu! Kau adalah muridku, maka harus mendengar perkataanku! Adikmu itu amat merepotkanmu, kau tidak usah memperdulikannya, biar dia mati saja!"

Mendengar ucapan wanita itu, Ouw Yang Coan berpikir, kelihatannya guruku ini bukan orang baik. Dia menyuruhku jangan memperdulikan adikku, bukankah adikku akan mati kelaparan? Biar bagaimana pun aku harus pulang memberikannya makanan. Kalau tidak, dia pasti menangis me-manggilku.

Ouw Yang Coan terus berpikir, akhirnya mengambil keputusan, lalu berkata.

"Guru, aku mau pergi buang air kecil."

Pek Bin Lo Sat manggut-manggut.

"Kau boleh keluar sebentar melalui tempat yang kau masuk itu."

"Guru, teecu ada perkataan yang harus disam-paikan pada Guru ..." kata Ouw Yang Coan.

"Kau mau berkata apa, katakanlah!" sahut Pek Bin Lo Sat dingin.

"Teecu pikir, kalau buang air kecil di dalam goa ini, rasanya kurang leluasa. Tentunya akan me-ngotori goa Guru ini, aku tidak bisa . . ." kata Ouw Yang Coan.

Pek Bin Lo Sat menatapnya, kemudian manggut-manggut, tapi tidak tahu Ouw Yang Coan yang masih kecil itu, banyak akalnya.

"Baik, kau boleh keluar."

Ouw Yang Coan mengerutkan kening, lalu ber-kata.

"Bagaimana mungkin aku keluar? Harap Guru sudi membawaku keluar!"
Pek Bin Lo Sat menggelengkan kepala.

"Aku tidak mau meninggalkan goa ini. Keluarlah kau sendiri!"

Ouw Yang Coan menghela nafas, dan tidak banyak bicara lagi.

"Mengapa kau menghela nafas?" tanya Pek Bin Lo Sat.

"Begitu melihat Guru, aku mengira Guru adalah seorang pendekar wanita dalam dunia kang ouw yang amat ternama, maka aku pun bisa menjadi seorang pendekar muda pula. Tidak tahunya aku justru telah salah pikir . . ."

"Bagaimana kau salah pikir?" tanya Pek Bin Lo Sat dengan suara hambar.

Ouw Yang Coan menggeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas panjang.

"Aaaah! Sudahlah! Tak usah dikatakan!"

Pek Bin Lo Sat mengerutkan kening, lalu me-natapnya seraya berkata.

"Apa yang kau pikirkan, guru bertanya, kau harus menjawab! Kalau tidak, aku pasti membunuhmu!"

"Aku pikir kepandaian Guru pasti tinggi sekali, bisa keluar masuk goa es ini. Kalau Guru tidak berkepandaian tinggii, bagaimana mungkin tinggal di dalam goa es yanj» amat dingin ini? Aku bersungguh-sungguh ingitn belajar kungfu pada Guru, setelah belajar kungfu baru bisa keluar dari goa ini. Tapi begitu melihat Giuru, aku tahu pikiranku itu salah. Guru tidak bisa meninggalkan goa ini, apalagi aku."

"Bagaimana kau tahu aku tidak bisa keluar dari goa ini?" tanya Pek Bin Lo Sat dengan nada gusar.

Ouw Yang Coan tertawa, lalu menyahut.

"Guru pasti tidak bisa meninggalkan goa ini. Kalau Guru bisa keluar, bagaimana mau duduk menderita di atas batu es yang amat dingin ini setiap hari? Kelihatannya Guru yang berkepandaian tinggi pun tidak bisa keluar, maka aku tidak mau belajar kungfu pada Guru, sebab percuma. Kalaupun memiliki kungfu, juga tidak bisa meninggalkan goa ini, untuk apa aku belajar kungfu?"

Pek Bin Lo Sat melotot, lalu bertanya dengan nada gusar.

"Bagaimana kau tahu, setelah belajar kungfu padaku, kau tetap tidak bisa meninggalkan goa ini?"

Seusai bertanya, mendadak Pek Bin Lo Sat menyambar Ouw Yang Coan, lalu melemparkannya ke bawah.

Betapa terkejutnya Ouw Yang Coan. Dia yakin dirinya pasti akan terbanting hingga menderita luka. Akan tetapi, justru sungguh di luar dugaannya, ternyata badannya melayang ringan ke bawah, dan ketika sepasang kakinya menginjak tanah, dia tetap berdiri tegak.

"Kau lihat kungfuku, apakah sama sekali tiada gunanya?" kata Pek Bin Lo Sat.
Ouw Yang Coan tahu saat ini tidak boleh ber-suara. Apabila mengatakan kungfu gurunya tak berguna, kemungkinan besar gurunya akan mem-bunuhnya. Oleh karena itu, dia langsung memutar otaknya, kemudian bertepuk tangan seraya bersorak.

"Wah! Kungfu yang dimiliki Guru sungguh hebat!"

Begitu melihat Ouw Yang Coan bertepuk tangan sambil bersorak, giranglah hati Pek Bin Lo Sat.

"Baik, aku akan membawamu ke luar goa untuk melihat-lihat!" katanya.
Wanita itu menyambar Ouw Yang Coan, ke-mudian membawanya pergi. Dalam sekejap dia sudah sampai di mulut goa.

Semula Ouw Yang Coan mengira Pek Bin Lo Sat akan menggunakan tali untuk memanjat ke atas, tapi tidak. Dikempitnya Ouw Yang Coan di bawah ketiaknya, lalu dibawanya berloncat- loncatan ke atas, dan tak seberapa lama sampailah dia di atas.
Menyaksikan itu, Ouw Yang Coan berpikir. Kelihatannya lebih dahulu aku harus belajar kungfu ini. Kalau tidak, tentunya aku tidak bisa me-ninggalkan goa itu.

Seusai berpikir, Ouw Yang Coan memandang ke bawah. Tampak titik-titik terang di bawah sana.

Itu adalah obor yang menerangi Pek Tho San Cung. Ternyata saat itu hari sudah malam. Seketika itu juga Ouw Yang Coan teringat pada Ouw Yang Hong, adiknya. Hatinya gelisah. Dia yakin adiknya itu pasti menangis memanggilnya. Maka dia segera berkata kepada Pek Bin Lo Sat.

"Guru, aku harus pulang . . ."

Ouw Yang Coan langsung melarikan diri. Namun sungguh mengherankan, dia hanya berlari-lari di tempat, badannya seperti tertarik oleh sesuatu.

Terdengar suara Pek Bin Lo Sat bernada dingin.

"Kau ingin kabur? Tidak begitu gampang!"

"Guru, aku bukan mau kabur, melainkan ingin pulang menengok adikku," sahut Ouw Yang Coan.

"Kalau kau tidak mendengar perkataanku, aku akan membunuh adikmu itu!" kata Pek Bin Lo Sat.

Hati Ouw Yang Coan tersentak, kemudian dia berteriak.

"Guru, aku mendengar perkataanmu! Jangan bunuh adikku, jangan bunuh adikku!"
Pek Bin Lo Sat manggut-manggut.

"Baik! Asal kau mendengar perkataanku, aku tidak akan membunuh adikmu! Tapi kalau kau tidak mendengar perkataanku, aku pasti membunuhnya!"

"Apa kehendak Guru?" tanya Ouw Yang Coan. Pek Bin Lo Sat berpikir sejenak, setelah itu memberitahukan.

"Setiap malam, setelah adikmu tidur, kau harus datang di guaku belajar kungfu! Kalau kau tidak datang satu malam pun, aku pasti membunuh adikmu!"

Ouw Yang Coan manggut-manggut.

"Aku pasti datang! Aku pasti datang . .

Itu yang dialami Ouw Yang Coan belasan tahun yang lalu. Sementara Pek Bin Lo Sat masih me-meluknya erat-erat, sambil berkata dengan suara ringan.

"Anak Coan, kau bersamaku sudah belasan tahun, bukan?"

Ouw Yang Coan mengangguk.

"Ya! Sudah sebelas tahun lewat dua puluh tiga hari . . ."

"Anak Coan, sekarang kau boleh meninggal-kanku. Kini aku tidak akan membunuh adikmu, kau tidak usah takut! Lagi pula . . . kau telah menguasai semua ilmu silatku," kata Pek Bin Lo Sat dengan nada lembut.

"Guru, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi . . . baru-baru ini aku justru takut akan me-ninggalkanmu untuk sementara waktu . . ."

Pek Bin Lo Sat tampak tersentak, lalu menatap Ouw Yang Coan dengan mata terbelalak.

"Anak Coan, kau bilang apa? Kau bilang apa?"

"Aku dengar dari Ya m Ceh Cianjin dan Cian Ciu Jin Tou, bahwa di rimba persilatan Tionggoan telah muncul sebuah kitab pusaka Kiu Ini Cin Keng, maka aku ingin pergi ke Tionggoan untuk mengambil kitab pusaka itu. Kemungkinan kitab pusaka itu bermanfaat bagi Guru. Siapa tahu kitab itu memuat pula cara-cara menyembuhkan penyakit Guru."

Pek Bin Lo Sat mengerutkan kening, lalu berkata.

"Kiu Im Cin Keng? Kenapa aku tidak pernah mendengar itu?"

"Aku pun baru mendengar itu, maka aku harus berangkat ke Tionggoan. Setelah berhasil memperoleh kitab pusaka itu, aku pasti segera pulang."

Pek Bin Lo Sat menatapnya lembut, sambil berkata dengan setengah bergumam.

"Anak Coan, penyakitku sulit disembuhkan. Kau pergi atau tidak, itu tidak jadi masalah. Lebih baik kau tetap berada di sini menemaniku, bagaimana?"

"Guru, penyakitmu pasti dapat disembuhkan. Apabila penyakitmu sembuh, aku akan bersamamu pergi mencari musuh besarmu itu demi menuntut balas."

Mata Pek Bin Lo Sat tampak berbinar-binar.

"Apakah . . . aku masih bisa menuntut balas?" tanyanya dengan suara rendah.
"Bisa! Pasti bisa!" sahut Ouw Yang Coan cepat.

Mereka berdua saling memeluk lagi. Pek Bin Lo Sat membelainya sambil berkata.

"Anak Coan, aku takut . . . rupaku yang me-nakutkan ini, begitu keluar dari goa ini, pasti akan ditertawakan orang .. ."

"Guru jangan takut! Siapa berani mentertawa-kanmu, aku pasti membunuhnya," sahut Ouw Yang Coan menghiburnya.

Bersambung


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar