-------------------------------
----------------------------
Bab 23
"Kau bukan Tetua,
berdasarkan apa kau masuk ke mari? Lebih baik kau duduk bersama kami di sini
saja!"
Ouw Yang Hong tersenyum.
"Mereka yang di dalam
sedang berunding apa? Kau tahu tidak?"
Pengemis itu tidak menyahut,
hanya memandangnya dengan mata terbelalak.
Ouw Yang Hong segera
menambahkan.
"Sobat! Aku pergi
beberapa lama untuk mengurusi sesuatu, jadi tidak tahu apa yang telah terjadi
di sini! Bolehkah kau memberitahukan padaku?"
Pengemis itu menyahut dengan
suara rendah.
'Baik-baik! Tapi suaramu
jangan keras-keras! Aku beritahukan, Su Ciau Hwa Cu ketua kita meninggal, kini
semua yang di dalam sedang memilih ketua baru, maka amat sibuk!"
"Kenapa harus sibuk?
Pilih saja Ang Cit Kong sebagai ketua baru, bukankah beres?"
Pengemis itu manggut-manggut.
"Tidak salah! Kau juga
ingin memilihnya? Tapi sayang sekali, dia tidak bersedia jadi ketua baru!"
sahut pengemis itu, setuju dengan ucapan Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong tertegun. Su
Ciau Hwa Cu sudah meninggal, mengapa Ang Cit Kong tidak bersedia jadi ketua
baru? Pikir Ouw Yang Hong lalu berkata.
"Sobat, tahukah kau
mengapa Ang Cit Kong tidak mau jadi ketua baru?"
"Karena . . . dia bilang
. . . dia bilang tidak leluasa jadi ketua!" jawab pengemis itu dengan
suara terputus-putus.
Ouw Yang Hong mengerutkan
kening seolah sedang berpikir.
"Ini amat mengherankan!
Mengapa tidak leluasa?" gumamnya, heran.
Pengemis itu tidak menyahut,
hanya menatap Ouw Yang Hong. Kelihatannya dia tidak berani mengatakan apa pun.
Ouw Yang Hong berpikir
sejenak, kemudian menepuk paha sendiri seraya berkata.
"Betul, betul! Dia pasti
tidak sudi jadi ketua!"
"Kau tahu apa
sebab-musababnya?" Pengemis itu malah balik bertanya.
"Ang Cit Kong, dia . . .
tentunya tidak leluasa!"
Pengemis itu manggut-manggut
sambil tertawa.
"Betul! Kelihatannya kau
amat mengenalinya!"
Ouw Yang Hong juga tertawa,
dia memang kenal baik Ang Cit Kong, bahkan pernah ber-samanya menyelinap ke
dalam dapur istana untuk mencuri makan hidangan kaisar.
Berselang sesaat, Ouw Yang
Hong berkata.
"Bolehkah aku kedalam
melihat-lihat?"
Pengemis itu sudah tahu Ouw
Yang Hong kenal baik dengan Ang Cit Kong, maka mengangguk memperbolehkan.
"Kenapa tidak? Lihatlah!
Yang duduk dekat pintu aula, semuanya merupakan murid Kay Pang yang handal,
berkepandaian lumayan. Aku akan memberitahukan pada mereka, agar membiarkan-mu
duduk di sana. Tapi kau harus ingat! Jangan bersuara, apabila kau bersuara,
Tetua Penghukum pasti tidak akan melepaskanmu!"
Ouw Yang Hong manggut-manggut.
Pengemis itu berseru pada teman-temannya, lalu mempersilakan Ouw Yang Hong
masuk.
Ouw Yang Hong berjalan ke
dalam, lalu duduk bersama para pengemis dekat pintu aula sambil memandang ke
dalam.
Di dalam tampak duduk dua
belas orang. Yang duduk di tengah adalah Ang Cit Kong. Dia duduk dengan kepala
tertunduk, seperti padri yang sedang bersamedi, sama sekali tidak bersuara.
Salah seorang pengemis yang
paling muda menoleh ke arah Ang Cit Kong.
"Cit Kong sudah berpikir
dengan baik? Kalau sudah, harus segera mengadakan upacara!"
Ang Cit Kong menyahut lantang,
"Bukankah aku sudah bilang pada kalian, aku tidak biasa melewati hari-hari
seperti itu. Aku sudah terbiasa
berkeliaran, bagaimana mungkin
jadi ketua? Kalian memilihku, orang yang tidak bersedia jadi ketua!”
Salah seorang berkata, "Lu
Yu Kha, kau adalah Tetua yang paling muda, mengerjakan sesuatu tanpa berpikir
panjang dulu! Cit Kong tidak bersedia jadi ketua, sudah pasti punya sebab
tertentu. Tapi Cit Kong, katakan olehmu siapa yang berderajat diangkat jadi
ketua Kay Pang?"
Ditanya demikian, Ang Cit Kong
justru tidak bisa menjawab. Dia memandang semua pengemis yang duduk di situ,
tapi tidak bersuara sama sekali.
Berselang sesaat, barulah Ang
Cit Kong mengatakan, bahwa salah seorang pengemis yang du-duk di situ pantas
diangkat sebagai ketua.
Seorang Tetua yang agak tua
berkata.
"Menurut aku Teng Cong,
alangkah baiknya Cit Kong saja yang menggantikan Su Pangcu. Ka-lau Ang Cit
tidak bersedia jadi ketua, lalu bagaimana dengan kami semua? Lagi pula sebelum
me-ninggal, Su Pangcu sudah berpesan, bahwa Ang Cit Kong yang harus
menggantikannya. Akan tetapi, Ang Cit Kong diam saja!"
Begitu Teng Cong menyinggung
tentang pesan Su Ciau Hwa Cu, hati Ang Cit Kong pun berduka sekali.
"Tidak salah, mendiang
guru memang berpesan begitu . . ." ujar Ang Cit Kong.
"Su Pangcu tidak
memaksamu, beliau cuma tersenyum di waktu itu, tapi langsung menyerahkan padamu
.Tongkat Penggebuk Anjing! Ya, kan?" singgung Teng Cong lagi.
Ang Cit Kong mengangguk.
"Betul!"
"Nah, itulah! Begitu kau
menerima Tongkat Penggebuk Anjing, Su Pangcu menghembus nafas terakhir!"
Ang Cit Kong manggut-manggut
dengan wajah murung.
"Ya!" gumamnya,
semakin sedih.
Teng Cong dan para Tetua lain
segera berkata.
"Kau sudah menerima
Tongkat Penggebuk Anjing, lalu mengapa tidak bersedia jadi ketua? Apakah kau
takut pada Ong Tiong Yang di Hwa San Lun Kiam kelak? juga takut pada Oey Yok Su
dan Toan Hong Ya itu?"
Ang Cit Kong membungkam,
betul-betul tak mampu bersuara sedikit pun.
Akan tetapi berselang beberapa
saat, mendadak Ang Cit Kong tertawa dingin.
"Aku takut apa? Aku
justru ingin bertarung dengan mereka lima tahun kemudian. Kepandaian suhuku
amat tinggi, namun beliau memberitahukan padaku, bahwa ilmu Hang Liong Cap Pwe
Ciang-nya masih memiliki kekurangan. Aku disuruh menyempurnakan ilmu tersebut.
Maka aku harus berlatih baik-baik dan tenang dalam lima tahun ini, bahkan harus
terus berlatih ilmu Tongkat Penggebuk Anjing. Lima tahun kemudian, aku harus
meraih gelar jago nomor wahid di kolong langit, sekaligus memperoleh kitab pusaka
Kiu Im Cin Keng, agar Kay Pang bertambah cemerlang!"
Mendengar tekad Ang Cit Kong
itu para Tetua yang berkumpul di tempat tersebut merasa gembira.
"Cit Kong, apabila kau
berhasil meraih gelar jago nomor wahid di kolong langit, itu sungguh
menguntungkan Kay Pang kita. Karena itu, biar bagaimana pun kau harus jadi
ketua Kay Pang, hanya saja kau tidak usah mengurusi kegiatan Kay Pang.
Bagaimana menurutmu?" tanya Tetua Teng Cong.
Ang Cit Kong berpikir sejenak,
kemudian menyahut.
'Baik, namun kalian harus memberitahukan
pada para anggota, agar tidak mengikutiku! Kalau ada urusan, aku pasti pergi
mencari kalian. Tapi kalian jangan mencariku!"
Para Tetua mengangguk, semua
setuju permintaan Ang Cit Kong itu.
"Aku tidak perduli
pakaian indah atau pakaian kumal. Aku suka mengenakan pakaian apa, itu adalah
urusanku! Bagaimana?" tanya Ang Cit Kong lagi.
Para Tetua mengangguk lagi,
bagi mereka yang penting Ang Cit Kong bersedia jadi ketua, tidak perduli Ang
Cit Kong mau berpakaian apa pun.
Sementara Ouw Yang Hong terus
memperhatikan pertemuan itu. Namun mendadak saja ma-tanya membelalak terkejut.
Ternyata dia melihat dua orang di antara para Tetua itu adalah su-hengnya yang
jarang berbicara, yaitu yang menyertai Cu Kuo Cia, Su Bun Seng, dan Ciok Cuang
Cak saat membawanya dari kota Ciau Liang ke daerah utara.
Ouw Yang Hong tidak tahu
mereka berdua bermarga apa. Melihat mereka duduk bersama Ang Cit Kong, sudah
jelas mereka berdua merupakan Tetua Kay Pang. Itu membuat Ouw Yang Hong
tersentak. Dia tidak pernah tahu sejak kapan mereka berdua bergabung dengan Kay
Pang, yang jelas sudah lama mereka berdua bergabung perkumpulan ini. Kalau
tidak, bagaimana mungkin mereka berdua jadi Tetua Kay Pang?
Ouw Yang Hong berkata dalam
hati. Bagus! Aku melihat kalian berdua di sini, berarti ajal kalian berdua
sudah tiba. Hari ini aku harus membunuh kalian demi membalaskan dendam guruku.
Darah Ouw Yang Hong serasa
mendidih ingin menuntut balas. Namun tiba-tiba salah seorang Tetua bangkit
berdiri, lalu mengumumkan bahwa Ang Cit Kong bersedia jadi ketua. Terdengar
tepuk sorak di dalam aula itu. Para Tetua tampak gembira sekali.
Setelah itu, mulailah upacara
pengangkatan ketua. Ang Cit Kong duduk di tengah-tengah dengan wajah tampak
serius sekali.
Tetua Penghukum berseru
lantang.
"Hari ini Ang Cit Kong
diangkat secara sah sebagai ketua Kay Pang. Para anggota Kay Pang harus memberi
hormat kepadanya!"
Para anggota Kay Pang maju
satu persatu mendekati Ang Cit Kong, kemudian meludahinya, sehingga membuat
pakaian Ang Cit Kong penuh ludah.
Menyaksikan itu, Ouw Yang Hong
berkata dalam hati. Tidak gampang jadi ketua Kay Pang, harus menerima ludahan
itu.
Pengemis yang berbicara dengan
Ouw Yang Hong mendekat.
"Saudara, kau kenal baik
dengan ketua, kau juga harus maju meludahnya!"
Usai berbisik, pengemis itu
langsungg menarik Ouw Yang Hong untuk maju ke depan. Guguplah Ouw Yang Hong
seketika itu juga. Namun ingat akan dirinya yang seorang pengemis Kay Pang,
tentunya Ang Cit Kong tidak akan mengenalinya lagi. Siang hari saja Ouw Yang
Hong yakin Ang Cit Kong tidak akan mengenalinya, apa lagi saat ini malam hari,
bagaimana mungkin Ang Cit Kong mengenalinya?
Karena itu, Ouw Yang Hong
memberanikan diri untuk mendekati Ang Cit Kong.
"Hamba Ouw Yang Peng
menghaturkan hormat kepada ketua, semoga ketua sukses selalu!"
Ang Cit Kong manggut-manggut,
sedangkan Ouw Yang Hong menundukkan kepala. Namun ketika melewatinya, mendadak
Ang Cit Kong berseru.
"Berhenti!"
Ouw Yang Hong langsung
berhenti. Hatinya jadi gugup dan panik. Rupanya Ang Cit Kong mengenaliku. Hh .
. . padahal wajahku sudah berubah banyak. Bagaimana dia bisa mengenaliku?
Apabila dia tahu aku bukan anggota Kay Pang, aku pasti celaka!
Ouw Yang Hong berdiri diam,
menunggu Ang Cit Kong berbicara.
"Siapa kau?"
"Hamba adalah anggota Kay
Pang cabang . . ."
Ang Cit Kong tidak banyak
bicara lagi. Namun Tetua Penghukum yang melihat Ouw Yang Hong begitu gugup,
segera bertanya.
"Kau murid siapa dan ikut
siapa kemari?"
Ouw Yang Hong bukan murid Kay
Pang cabang dan tidak ikut siapa-siapa kemari, maka tidak bisa menjawab. Akan
tetapi ketika melihat kedua su-hengnya, dia langsung menunjuk mereka berdua
seraya berkata dengan lantang.
"Aku ikut mereka berdua
kemari!"
Ang Cit Kong menatapnya tanpa
bersuara, sedangkan Ouw Yang Hong mendekati kedua orang itu.
"Aku adalah Ouw Yang
Hong!" bisiknya kepada kedua orang itu.
Walau suara Ouw Yang Hong amat
perlahan dan rendah, namun seperti geledek di telinga ketua orang itu. Mereka
berdua tertegun, tak mampu bersuara sedikit pun.
Sesaat kemudian kedua orang
itu berbicara pada Ang Cit Kong.
"Ketua, orang itu adalah
anggota Kay Pang, kami berdua yang membawanya kemari. Dia masih belum tahu
aturan Kay Pang, nanti kami akan memberitahukan padanya!"
Kedua orang itu tidak tahu
untuk apa Ouw Yang Hong datang ke tempat itu. Namun mereka tahu pemuda ini
telah membunuh Ciok (uang Cak.
Khawatir dia juga akan
memhunuh mereka, maka mengakuinya sebagai anggota Kay Pang.
Ang Cit Kong tertawa setelah
mendengar penjelasan kedua orang itu.
"Kay Pang berkumpul di
sini, bukan merupakan urusan besar. Lagi pula di sini bukanlah tempat
terlarang, tidak akan terjadi apa-apa. Kalian semua boleh beristirahat. Setelah
itu, barulah pulang untuk melaksanakan tugas masing-masing!"
Para anggota Kay Pang
mengangguk, memberi hormat lalu mengundurkan diri dari aula itu.
Sedangkan hati kedua
bersaudara itu berdebar-debar. Mereka memandang Ouw Yang Hong lekat-lekat.
Mereka sadar benar bahwa Ouw Yang Hong amat lihay, sudah memhunuh Ciok Cuang
Cak suheng mereka. Lagi pula mereka berdua pernah berguru pada Si Racun Tua di
daerah See Hek. Tentang ini tidak begitu banyak orang Kay Pang mengetahuinya.
Mereka berdua tidak mau para aggota Kay Pang tahu tentang itu, karena akan
menghancurkan nama baik mereka.
"Ayoh! Ikut aku
pergi!" ajak Ouw Yang Hong tiba-tiba.
Kedua orang itu tidak
menyahut, hanya berjalan pergi. Tak lama sudah sampai di suatu tanah kosong.
Oi.w Yang Hong menatap mereka seraya berkata dingin, "Aku beritahukan,
ajal kalian sudah tiba! Sebelum guru mati, mengharuskanku bersumpah di
hadapannya, agar membunuh kalian semua ..."
Kedua orang itu memang jarang
bicara. Saat itu pun keduanya tampak hanya saling meman-dang. Kemudian,
mendadak menyerang Ouw Yang Hong.
Kepandaian mereka berdua lebih
tinggi dari Ciok Cuang Cak, tentunya serangan mereka amat dahsyat. Lagi pula
kedua orang itu melancarkan serangan dengan suatu siasat. Satu menyerang yang
lain bertahan secara bergantian dan cepat.
Dalam pertarungan yang
berlangsung lebih dari dua puluh jurus, tampak belum ada yang kalah dan menang.
Hal itu tentu saja membuat hati Ouw Yang Hong amat gusar dan penasaran. Aku
memiliki lwee kang dari guru, juga memiliki ilmu Ha Mo Kang, kenapa aku
bertarung seimbang dengan mereka berdua? Pikir Ouw Yang Hong.
Berpikir sampai di sini,
mendadak Ouw Yang menjongkokkan badannya. Mulutnya mengeluarkan 'Krok! K rok!
Krok!' mirip suara kodok.
Karena kedua orang itu juga
murid Si Racun Tua, begitu mendengar suara tersebut, wajah mereka langsung
berubah hebat. Mereka tahu Ouw Yang Hong akan mengeluarkan ilmu Ha Mo Kang.
Betapa gugup dan panik hati
keduanya. Ingin mereka melarikan diri, tapi mana mungkin Ouw Yang Hong memberi
kesempatan.
Ouw Yang Hong membentak keras,
sambil kedua tangannya dihentakkan ke arah kedua orang itu. Maka seketika terdengar
suara jeritan menyayat. Kedua orang itu langsung roboh dan tak bergerak lagi.
Ouw Yang Hong menatap keduanya. Ternyata mereka sudah tidak bernafas. Walau
demikian, dia masih maju mendekati mereka, dan melancarkan sebuah pukulan lagi.
Plak! Plaaak!
Kepala kedua orang itu hancur
berantukan, dengan berhamburan ke mana-mana. Barulah Ouw Yang Hong menarik
nafas lega.
Ouw Yang Hong sendiri pun
merasa terkejut, karena tidak tahu tenaga lwee kangnya begitu dahsyat. Dalam
satu pukulan saja dapat membunuh kedua orang itu.
Sejenak ditatapnya kedua sosok
mayat itu. dan ketika berniat meninggalkannya, mendadak terdengar suara orang.
"Ketua suruh kita melihat
kedua saudara pendiam itu ke mana. Tadi masih terlihat mereka, namun tiba-tiba
menghilang, entah kemana?"
"Mereka berdua tidak akan
terjadi apa-apa, kan?" sahut suara yang lain.
"Sulit dikatakan! Aku
justru merasa heran, orang tadi sungguh luar biasa. Hanya berbisik saja, kedua
saudara pendiam itu langsung mengikutinya. Sebetulnya siapa dia, katanya bawahan
kedua saudara pendiam itu, namun kelihatannya tidak seperti itu!"
"Mungkin ketua sudah
melihat ada sesuatu yang tak beres, maka suruh kita mencari kedua saudara
pendiam itu!"
Ouw Yang Hong mendengar suara
pembicar an itu semakin mendekat ke arahnya. Maka buru-buru dia bersembunyi.
Kedua orang yang berbicara
tadi sudah sampai di tempat itu. Ketika melihat dua mayat, merek berdua
terkejut. Namun kemudian keduanya melesat pergi untuk melapor kepada ketua,
bahwa kedua Tetua itu telah mati.
Ouw Yang Hong meninggalkan
kota kecil itu melewati gurun pasir dan tiba di rumah. Namun, sampai di rumah
dia kaget melihat rumahnya sudah berubah. Di dalam ada perabotan baru dan amat
bersih. Bahkan ada sebuah rak buku, berisi kitab-kitab syair dan kitab-kitab
suci Buddha.
Mendadak muncul seorang gadis,
dia adalah pelayan bernama Ceh Liau Thou. Gadis pelayan itu tersenyum-senyum
menyambut kedatangannya.
"Tuan siapa? Tuan kemari
ingin menemui majikanku?"
Ouw Yang Hong menyahut dengan
lantang.
"Ceh Liau Thou, kau sudah
tidak mengenaliku lagi? Aku adalah tuan muda kedua!"
Gadis pelayan itu tampak
tersentak, menatap Ouw Yang Hong dengan penuh perhatian. Rambut Ouw Yang Hong
panjang awut-awutan dan pakaiannya pun amat kumal. Hanya sepasang matanya
bersinar terang.
Sesaat kemudian barulah Ceh
Liau Thou berseru girang, kemudian berlari ke dalam seraya berteriak-teriak.
"Cepat kemari! Kalian
lihat! Tuan muda kedua . . . sudah pulang! Tuan muda kedua sudah pu-lang!"
Berhambur keluar beberapa
orang dari dalam rumah. Mereka adalah Ouw Yang Coan. Bokyong Cen, dan Lo Ouw,
budak tua yang amat setia itu.
Ouw Yang Coan tampak menatap
Ouw Yang Hong. Kemudian digenggamnya tangan Ouw Yang Hong erat-erat.
"Adik! Kau . . . kau
tidak mati? Sungguhkah kau tidak mati? Aku mengira kau ..." ujar Ouw Yang
Coan merasa gembira dan haru. Air matanya tampak bercucuran membasahi pipinya.
"Aku tidak mati,
bagaimana aku akan mati?"
Bukan main girangnya Ouw Yang
Coan saat itu. Terus ditatapnya Ouw Yang Hong sambil berkata dengan suara
bergemetar, "Bagus kau masih hidup! Bagus kau masih hidup!" Ouw Yang
Coan berpaling seraya bertanya pada Ouw Yang Hong» "Kau masih kenal
dia?"
Yang berdiri di belakang Ouw
Yang Coan adillah Bokyong Cen. Begitu melihatnya, barulah Ouw Yang Hong
tersadar apa sebabnya rumah itu telah berubah. Tampaknya wanita inilah yang
membersihkan rumah tersebut. Bokyong Cen tampak lebih cantik, hanya wajahnya
yang menyiratkan kedukaan.
Ketika Ouw Yang Hong
memandangnya, dia cuma tertawa ringan, tidak mengucapkan apa pun. Ouw Yang Hong
juga tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang Ouw Yang Coan sambil menunggunya
membuka mulut.
Ouw Yang Coan memandang
adiknya dengan wajah berseri-seri merasa gembira, melihat kembalinya Ouw Yang
Hong.
"Adik, bagus sekali kini
kau sudah kembali! Selama ini aku mengira kau sudah mati, aku dan guru pergi ke
utara mencarimu. Namun perkampungan Liu Yun Cun hanya tersisa puing-puing,
tiada seorang pun di sana. Kami tidak berhasil menemukanmu, maka mengiramu
sudah mati. Akan tetapi, kau ternyata belum mati, sungguh beruntung bagi
keluarga Ouw Yang!"
Usai berkata, Ouw Yang Coan
pun tertawa gembira . . .
Malam harinya, Ouw Yang Hong
duduk seorang diri di dalam rumah. Dia berpikir mengenai perubahan baru-baru
ini. Sepertinya belum lama dia bersama Bokyong Cen di gurun pasir, bertengkar
tidak habis-habisnya. Kini, gadis itu sudah menjadi kakak iparnya, dan satu hal
sungguh di luar dugaannya, yaitu kini dia telah berhasil me-nguasai ilmu Ha Mo
Kang dan Hong Hoang Lak yang amat tinggi serta dahsyat itu.
Baru disadari kini telah
terjadi banyak perubahan. Hingga malamnya dalam tidur pun dia tak dapat
nyenyak. Maka ketika terdengar suara ketukan di pintu dan disusul suara orang,
dia masih mendengarnya.
"Adik, kau sudah tidur
belum?"
Ternyata suara Bokyong Cen,
yang tentu saja membuat Ouw Yang Hong tersentak. Sudah larut malam, mau apa dia
kemari? Karena Bokyong Cen bertanya begitu, dia merasa tidak enak apabila tidak
menyahut.
"Kak ipar, ya? Aku belum
tidur!"
Pintu kamar itu terbuka,
Bokyong Cen berjalan masuk, lalu duduk di depan meja.
"Adik. apa yang kau
lakukan di perkampungan Liu Yun Cim itu?"
Ouw Yang Hong pun menceritakan
segala kejadian itu. Bokyong Cen mendengar penuturan itu dengan mata
terbelalak, tak terasa malam pun semakin larut, sedangkan Bokyong Cen terus
bertanya ini dan itu.
Di saat itulah mendadak
terdengar suara di luar.
"Adik, kau sudah
tidur?"
Begitu mendengar suara itu,
wajah Bokyong Cen langsung berubah merah. Dia dan Ouw Yang Hong merupakan kakak
ipar dan paman, namun duduk berduaan bercakap-cakap di tengah malam di dalam
kamar. Tentunya itu akan menimbulkan kecurigaan orang lain.
Ouw Yang Hong menyahut,
"Kakak, aku masih belum tidur, sedang bercakap-cakap dengan kakak ipar,
kebetulan kakak kemari!"
Ouw Yang Coan membuka pintu
kamar, dan berjalan ke dalam. Ketika melihat Bokyong Cen, terkesiap hatinya.
"Tadi siang belum sempat
bertanya tentang pengalamanmu, malam ini aku ingin mengobrol denganmu!"
Ouw Yang Coan duduk sambil
menambah beberapa patah kata, sementara Bokyong Cen bangkit berdiri.
"Kalian kakak beradik
mengobrollah! Aku mau pergi tidur!"
Bokyong Cen tidak menunggu
mereka membuka mulut, langsung berjalan pergi meninggalkan kamar itu. Setelah
Bokyong Cen pergi, Ouw Yang Coan dan adiknya saling membisu sesaat, tiada seorang
pun membuka mulut.
Sesungguhnya Ouw Yang Hong
ingin memberitahukan pada kakaknya, bahwa tadi dia sudah bercerita tentang
pengalaman pada Bokyong Cen. Namun dia tak dapat mencetuskannya. Begitu pula
Ouw Yang Coan, dia ingin memberitahukan pada adiknya mengenai perjodohannya
dengan Bokyong Cen, tapi juga tak dapat membuka mulut.
Berselang beberapa saat,
barulah mereka berdua mulai bercakap-cakap, namun sesingkat-singkatnya . . .
Tengah malam gelap gulita, Ouw
Yang Coan melesat keluar dari rumahnya. Saat itu Bokyong Cen tengah tidur
pulas. Sampai di luar, Ouw Yang Coan mengerahkan ginkangnya menuju ke suatu
tempat, ternyata menuju goa es.
Tiba di tempat tujuan, dia
meloncat ke dalam sebuah lubang besar yang menuju ke dalam goa es.
"Suhu! Suhu!"
Suara seruan Ouw Yang Coan
bergema-gema, namun tiada sahutan sama sekali. Hati Ouw Yang Coan gelisah, maka
segera meloncat ke atas batu es yang biasa diduduki oleh gurunya.
"Suhu! Suhu .. .!"
Ouw Yang Coan terus berseru,
namun tetap tiada sahutan. Dia mengira gurunya sudah meninggalkan gua es itu.
Air mata Ouw Yang Coan
bercucuran. Hatinya merasa sedih, dan menangislah dia.
"Suhu! Suhu! Kau ke mana?
Mengapa tidak memberitahukan padaku?"
Mendadak tangannya menyentuh
sesuatu yang ternyata pakaian gurunya. Ouw Yang Coan meraba lagi. Ternyata
benar itu tubuh seseorang, tubuh gurunya!
Ouw Yang Coan
berteriak-teriak.
"Suhu! Suhu . . .!"
Akan tetapi, gurunya tidak
menyahut sama sekali.
Ouw Yang Coan segera memeluk
gurunya erat-erat. Tubuh gurunya saat itu sudah dingin me-rupakan sosok mayat.
Ouw Yang Coan terus menangis gerung-gerungan. Mendadak dia teringat olehnya,
bahwa gurunya duduk di atas batu es itu belasan tahun lamanya, tidak pernah
terjadi apa-apa, mengapa kini bisa mati? Guru pasti belum mati! Guru pasti
belum mati! Ouw Yang Coan segera memeriksa nadi gurunya, namun tak berdenyut
sama sekali.
Ouw Yang Coan putus asa, namun
cepat-cepat menyalurkan lwee kangnya ke dalam tubuh gurunya.
Beberapa saat kemudian,
sepasang mata gur u nyi» terbuka perlahan-lahan, kepalanya mendongak memandang
Ouw Yang Coan.
"Anak Coan, anak Coan ...
apakah kita berada dalam mimpi?"
"Suhu, bagaimana
keadaanmu?" Ouw Yang Coan balik bertanya.
"Anak Coan, aku . . . aku
baik-baik saja," sahut Pek Bin Lo Sat perlahan-lahan.
Air mata Ouw Yang Coan
berlinang-linang.
"Suhu, jangan tinggalkan
anak Coan!" katanya dengan suara gemetar.
Pek Bin Lo Sat tersenyum
getir.
"Anak Coan yang baik . .
."
Wanita itu ingin mengatakan
sesuatu, namun kelihatannya sudah tak bertenaga.
Ouw Yang Coan terus memeluknya
erat-erat. Walau wajah gurunya itu amat buruk dan sepasang tangannya kurus
kering, namun tubuhnya sungguh indah sekali! Maka tak mengherankan kalau Ouw
Yang Coan terpukau menyaksikannya.
Berselang sesaat, Ouw Yang
Coan bertanya dengan suara ringan.
"Suhu, bagaimana
keadaanmu?"
Pek Bin Lo Sat tidak menyahut,
hanya meraba-raba wajah Ouw Yang Coan, setelah itu barulah berkata.
"Anak Coan, wajahmu agak
kurus, apakah hidupmu kurang bahagia?"
Ouw Yang Coan tersenyum sedih,
terus memeluk Pek Bin Lo Sat erat-erat.
"Anak Coan, aku . . . aku
akan bernyanyi untukmu, dengarkanlah baik-baik!" kata Pek Bin Lo Sat.
Wanita itu mulai bernyanyi
dengan suara gemetar, dan Ouw Yang Coan mendengarkannya dengan penuh perhatian.
"Ini dalam malam, merupakan
waktu yang paling baik untukmu.
Orang baru seperti mimpi,
senyumannya semanis madu.
Hati gugup, wajah terasa panas
..."
Ouw Yang Coan menutup mulut
Pek Bin Lo Sat dengan tangannya, agar gurunya itu tidak ber-nyanyi lagi.
Pek Bin Lo Sat memandangnya
sayu, kemudian berkata dengan perlahan-lahan.
"Anak Coan, ketika aku
masih kecil, pernah bersembunyi di kolong ranjang pengantin baru. Namun aku
tertidur di situ. Entah berapa lama kemudian, aku terjaga karena suara berisik
di ranjang. Ternyata kedua pengantin itu sedang bermesra-mesraan. Aku ketakutan
dan menangis. Untung kedua pengantin itu amat haik. Aku digendong ke tempat
tidur. Mereka berdua membiarkan tidur di tempat tidur itu. Aku hanya menemani
mereka tidur. Nasibku memang begitu, hingga kini hidup merana seorang diri . .
."
"Suhu tidak mau hidup
lagi? Bagaimana aku mati bersamamu?" kata Ouw Yang Coan.
Pek Bin Lo Sat tersenyum
getir.
"Anak Coan, kau sudah
punya istri, bagaimana mungkin kau meninggalkannya? Lagi pula kau harus punya keturunan
. . ."
Ouw Yang Coan menaruh Pek Bin
Lo Sat ke bawah.
"Suhu, mengapa Suhu
membohongiku?" tanyanya dengan sungguh-sungguh.
Pek Bin Lo Sat tersenyum
hambar.
"Anak Coan, aku pernah
membohongi dan membunuh orang pula. Namun selama ini aku tidak pernah
membohongimu."
"Suhu justru
membohongiku, membohongiku! Suhu bilang, setelah aku memperistri Bokyong Cen,
lalu bisa punya keturunan! Suhu membohongiku, mengapa Suhu membohongiku?"
Air mata Ouw Yang Coan
bercucuran. Dia menikah dengan Bokyong Cen, justru tidak bisa menceritakan pada
orang lain. Bagaimana mungkin menceritakan pada orang lain? Bagaimana mungkin?
Sejak dia belajar ilmu silat pada Pek Bin Lo Sat di batu es yang amat dingin
itu, dia sudah kehilangan hawa kejantanannya, tidak bisa berhubungan intim
dengan kaum wanita.
Pek Bin Lo Sat menjodohkannya
dengan Bokyong Cen dengan alasan agar keluarga Ouw Yang punya keturunan, bahkan
dapat menolong Bokyong Cen. Karena itu, Ouw Yang Coan terpaksa setuju.
Akan tetapi, setelah menikah
dengan Bokyong Cen, justru membuat mereka berdua amat sengsara. Sebelumnya Ouw
Yang Coan sudah menduga akan hal tersebut, sebab dirinya tidak mampu melakukan
itu.
Berpikir sampai di situ, Ouw
Yang Coan amat gusar. Dia langsung menjambak rambut Pek Bin Lo Sat seraya berkata.
"Kau membohongiku! Kau
membohongiku! Kau menjodohkan kami agar aku melupakanmu! Kau ingin mati seorang
diri! Kau memiliki lwee kang dingin, tidak mungkin akan mati di atas batu es
ini! Kau menotok jalan darah sendiri, ingin mati di sini, aku justru tidak
menghendakimu mati!"
Air mata Pek Bin Lo Sat
bercucuran. Dia menahan sakit karena rambutnya ditarik Ouw Yang Coan.
"Aku mau mati, tapi tidak
bisa mati bersama Beng Lui, juga tidak bisa hidup bersamamu, lalu apa artinya
aku hidup? Anak Coan, aku sama sekali tidak pernah memhohongimu, hanya saja aku
berpikir, kau dan Bokyong Cen bisa bermesraan, tidak punya anak juga tidak jadi
masalah. Siapa tahu kau justru begitu bodoh. Lagi pula aku sudah punya rencana,
agar keluarga Ouw Yang punya keturunan. Anak Coan, apabila keluarga Ouw Yang
tidak punya keturunan, itu adalah dosaku. Kau tahu itu?"
"Suhu, kalau kau ingin
mati, biar aku mati bersamamu. Kini aku sudah tidak takut keluarga Ouw Yang
tidak punya keturunan lagi, sebab adikku sudah kembali dari daerah Utara."
Begitu mendengar itu, Pek Bin
Lo Sat kelihatan gembira sekali. Dia segera bertanya lantaran kurang percaya.
"Anak Coan! Sungguhkah
itu? Kau tidak membohongiku?"
Ouw Yang Coan menutur tentang
adiknya yang baru kembali dari daerah Uara. Pek Bin Lo Sat mendengarkan dengan
mulut ternganga lebar.
"Anak Coan, kalau begitu
bagus sekali. Sekarang kau pulang dulu, esok pagi aku akan ke rumahmu menemui
adikmu!"
Ouw Yang Coan berpikir. Pek
Bin Lo Sat ingin membunuh diri, itu pasti karena dirinya telah menikah dengan
Bokyong Cen. Maka malam ini biar bagaimana pun aku tidak akan pulang. Aku harus
menemani guru di goa es ini!
"Suhu, aku akan
menemanimu malam ini!"
Pek Bin Lo Sat menghela nafas
panjang. Sesungguhnya dia pun tidak menghendaki Ouw Yang Coan pulang. Mereka
berdua saling memeluk dalam bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan hingga
pagi.
Sementara itu, Ouw Yang Hong
sudah pulas di dalam kamarnya. Namun mendadak dia terjaga dari tidurnya, karena
mendengar suara ketukan pintu.
"Siapa?" tanyanya.
Terdengar suara sahutan.
"Adik, aku . . ."
Begitu mendengar suara Bokyong
Cen, tersentaklah hati Ouw Yang Hong. Mengapa dia kemari lagi? Tadi ketika
bercakap-cakap dengan Ouw Yang Coan, Bokyong Cen langsung pergi tanpa menoleh.
Setelah kakaknya pergi, Bokyong Cen justru kembali lagi, mau apa dia kemari?
"Kak ipar, ada urusan apa
kau kemari lagi? Lebih baik tunggu esok pagi saja!" tanya Ouw Yang Hong.
"Adik, apakah kakakmu ada
di dalam?" Bokyong Cen balik bertanya dengan nada sedih.
"Dia tidak ada, sudah
kembali ke kamarnya," jawab Ouw Yang Hong.
"Dia memang sudah kembali
ke kamar, namun setelah aku pulas, dia pergi lagi, entah kemana. Mungkin dia
pergi... ke goa es menemui gurunya," ujar Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong amat cerdas,
tentunya tahu hubungan kakaknya dengan Pek Bin Lo Sat amat istimewa, namun saat
ini dia harus mengatakan apa?
"Aku menghendakimu
menemaniku ke goa es itu," kata Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong serba salah.
"Kak ipar, kalau kau
takut seorang diri, aku akan membangunkan Ceh Liau Thou, lalu kita duduk di
depan mengobrol," katanya.
Ouw Yang Hong bangun, lalu
mengenakan pakaian. Setelah itu dia keluar membangunkan Ceh Liau Thou. Kemudian
mereka bertiga duduk di luar sambil mengobrol.
Di saat bersamaan, mendadak
terdengar suara tawa dingin yang menusuk telinga.
Kini kepandaian Ouw Yang Hong
sudah amat tinggi. Dari tadi dia sudah mendengar suara langkah beberapa orang.
Namun dia pura-pura tidak tahu, ketika mendengar suara tawa dingin itu. Padahal
dia tahu bahwa yang tertawa dingin itu adalah Pek Tho San San Kun Jen It Thian.
Ouw Yang Hong mendongakkan
kepala. Dilihatnya seorang kerdil duduk di dahan pohon. Tidak salah, orang
kerdil itu adalah Pek Tho San San Kun. Dia tertawa cengar-cengir seraya berkata
pada Bokyong Cen.
"Nona Bokyong, aku dengar
kau sudah menikah dengan Ouw Yang Coan, jago nomor satu Daerah See Hek. Itu
tidak baik, tidak baik sama sekali. Ketika kau belum menikah, kau merupakan
sebuah giok yang amat indah. Tapi setelah menikah, kau akan berubah menjadi
sebuah batu biasa. Itu sungguh tidak baik."
Bokyong Cen diam, namun amat
gusar dalam hati, sebab teringat akan semua penghinaan yang dilakukan Pek Tho
San San Kun terhadapnya.
Kini Ouw Yang Hong bukan
seorang sastrawan lemah lagi. Begitu melihat kemunculan Pek Tho San San Kun,
timbullah kegusarannya. Kebetulan sekali kau kemari. Saat ini aku sedang kesal
dan tidak dapat melampiaskannya, kebetulan kau muncul, akan kulampiaskan pada
dirimu! Oleh karena itu, Ouw Yang Hong tertawa dingin.
"Jen It Thian, aku sudah
menikah! Kalau kau kemari cari gara-gara, aku tidak akan berlaku
sungkan-sungkan terhadapmu!" kata Bokyong Cen.
Pek Tho San San Kun tertawa
dingin.
"Kuberitahukan padamu,
aku sudah membuat sebuah peti baru, khusus untukmu tinggal di dalam. Kau ikut
aku pulang, coba tidur di dalam peti itu, apakah cocok untukmu?"
Pek Tho San San Kun terus
menatap Bokyong Cen, sepertinya ingin menelannya bulat-bulat. Kemudian mendadak
dia bersiul panjang.
Seketika juga muncul beberapa
orang. Mereka adalah Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong, Sang
Pwe Jeh Nuh, Wan To Ma Sih dan
Bie Li Sang Seng Kiani Giok Shia.
Begitu keempat orang itu
muncul, suasana di tempat itu langsung berubah menjadi tegang. Apabila Pek Tho
San San Kun memberi perintah, keempat orang itu pasti turun tangan terhadap Ouw
Yang Hong dan Bokyong Cen.
Namun Pek Tho San San Kun
tidak memberi perintah pada mereka, melainkan mengeluarkan sebuah alat tiup
yang amat kecil, lalu ditaruhnya di mulut dan ditiupnya. Maka terdengarlah
suara aneh yang melengking-lengking.
Berselang beberapa saat,
tampak entah berapa banyak ular beracun merayap ke tempat itu, menuju ke arah
Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen sambil menjulurkan lidah, sekaligus menyemburkan
racun.
Ketika meilhat ular-ular
beracun itu, Ouw Yang Hong mengerutkan kening. Dia tahu akan kelihayan
ular-ular beracun itu, tapi tidak merasa takut, sebab dirinya sudah kebal
terhadap racun apa pun.
Ouw Yang Hong menoleh
memandang Bokyong Cen. Dilihatnya tangan Bokyong Cen memegang pedang pendek,
namun wajahnya tampak pucat pias.
Mendadak Ouw Yang Hong melesat
ke arahnya, sekaligus membawanya ke dalam kamarnya, lalu ditaruhnya di tempat
tidur. Ouw Yang Hong juga duduk di tempat tidur itu, agar dapat melihat
ular-ular beracun yang merayap ke dalam kamarnya.
Tak lama kemudian, tampak
ratusan ular beracun merayap ke dalam kamar.
Ouw Yang Hong segera menarik
Bokyong Cen ke dalam pelukannya, lalu menjulurkan sepasang tangannya ke arah
ular-ular beracun itu.
"Jen It Thian! Kau kira
dengan mengandalkan ular-ular beracun ini kau akan berhasil?" ben-taknya
gusar. Dia kelihatan tidak takut terhadap Pek Tho San San Kun maupun terhadap
ular-ular beracun itu. "Jen It Thian! Kalau kau tahu gelagat, cepatlah
pergi bersama ular-ular beracunmu, agar kau tidak menyesal nanti!" hetaknya
lagi.
Jen It Thian tertawa.
"Ouw Yang Hong, aku
dengar wanita itu adalah kakak iparmu! Tapi mengapa kau menariknya ke dalam
pelukanmu? Itu tidak baik! Itu tidak haik! Bokyong Cen, kau ingin bersama
berapa lelaki haru merasa puas? Celaka! Aku sama sekali tidak tahu kau punya
begitu banyak lelaki! Sungguh penasaran! Aku sungguh penasaran!"
Mendadak nada suara alat yang
di mulutnya berubah meninggi, membuat ular-ular beracun itu merayap lebih
cepat, bahkan di antaranya sudah ada yang merayap di atas ranjang.
Ketika mendengar kata-kata Pek
Tho San San Kun itu, wajah Bokyong Cen langsung berubah memerah. Dia ingin
bangkit berdiri meninggalkan Ouw Yang Hong. Akan tetapi, Ouw Yang Hong bergerak
cepat menotok jalan darahnya hingga membuatnya tidak bisa bergerak.
Ouw Yang Hong berkata
kepadanya.
"Maafkanlah aku!"
Setelah itu, dia pun berseru, "Jen It Thian, hati-hatilah kau, aku ingin
membunuhmu! Dan itu merupakan hal yang wajar karena aku ingin menyelamatkan
kakak iparku!"
"Ouw Yang Hong, benarkah
kau ingin menyelamatkan kakak iparmu? Wanita cantik berada di dalam pelukan,
kau mau berbuat yang bukan-bukan pun bisa! Sungguh kau tak tahu malu!"
sahut Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong dengan lantang.
"Keluarga Ouw Yang memang
begitu! Apalagi ditambah wanita itu!" sambung Sang Seng Kiam Giok Shia
dengan dingin.
Bokyong Cen tersindir. Pada
hal dia hidup dengan bersih, namun selalu dipermalukan orang, itu membuatnya
amat gusar.
Namun jalan darahnya dalam
keadaan terto-tok, dia tidak bisa bergerak sama sekali. Maka, walau amat gusar,
dia tidak bisa berbuat apa pun.
Sementara ular-ular beracun
itu semakin mendekat. Ouw Yang Hong menjulurkan kedua jarinya untuk menjepit
salah seekor ular beracun itu. Dia hanya mengerahkan sedikit tenaganya, namun
kepala ular itu hancur.
Akan tetapi, ular-ular beracun
itu amat banyak, bagaimana mungkin dapat dihadapi seorang diri? Lagi pula dia
harus melindungi Bokyong Cen, maka hatinya menjadi gugup dan cemas.
Di saat bersamaan, mendadak
dia teringat akan kejadian di Gunung Cong Lam San. Ong Tiong Yang
menepuk-nepukkan sepasang sepatunya hingga mengeluarkan suara dan Toan Hong Ya
membaca doa untuk melawan suara suling Oey Yok Su.
Teringat akan kejadian itu,
Ouw Yang Hong segera bersiul. Suara siulannya amat aneh, ba-gaikan lengkingan
burung elang yang menembus angkasa nan gelap itu.
Ular-ular beracun itu merayap
ke arah mereka berdua mendengar suara alat tiup di mulut Pek Tho San San Kun.
Kini begitu mendengar suara siulan Ouw Yang Hong, ular-ular itu menjadi gugup
dan ketakutan, bahkan mulai kabur.
Semula Pek Tho San San Kun
amat puas, sebab yakin tidak lama lagi Ouw Yang Hong akan di-mangsa ular-ular
beracunnya.
Akan tetapi, ketika mendengar
suara siulan, tersentaklah hatinya, apalagi setelah melihat semua ular
beracunnya kabur ketakutan.
"Bunuh dia!"
serunya.
Seketika juga tampak empat
sosok bayangan menerobos ke dalam kamar melalui jendela. Ke-empat orang itu
adalah murid-murid kesayangannya.
"Kau berani menghina San
Kun, maka harus mati!" bentak Tay Mok Sin Seng Teng KhieHong.
Dia menjulurkan tangannya,
jari tangannya bagaikan cakar elang, langsung menyerang Ouw Yang Hong. Di saat
bersamaan, Sanj» Seng Kiam Giok Shia juga membentak sambil mengayunkan sepasang
pedangnya menyerang punggung Ouw Yang Hong, Wan To Ma Sih dan Sang IPwe Jeh Nuh
menyerang dari kiri serta kanan.
Mereka berempat betul-betul
ingin membunuh Ouw Yang Hong. Bokyong Cen yang berada di dalam pelukan Ouw Yang
Hong, justru malah tenang-tenang saja. Sejak menikah dengan Ouw Yang Coan,
Bokyong Cen sering memikirkan Ouw Yang Hong. Ternyata dia amat membenci Pek Bin
Lo Sat yang menjodohkannya dengan Ouw Yang Coan, karena dia tahu bahwa mereka
guru dan murid mempunyai hubungan yang luair biasa. Lagi pula selama menjadi
istri Ouw Yang Coan, suaminya itu tidak pernah menjamahnya.
Kini ketika melihat keempat
orang itu menyerang Ouw Yang Hong, hati Bokyong Cen amat berduka. Namun dia
sudah mengambil keputusan, apabila Ouw Yang Hong mati, dia pun ikut mati. Oleh
karena itu, hatinya menjadi tenang.
Ouw Yang Hong mengerutkan
kening ketika melihat serangan-serangan itu, dan langsung menggerakkan sepasang
tangannya yang penuh mengandung lwee kang. Itu membuat senjata di tangan Sang
Pwe Jeh Nuh terpental. Sementara itu badan Ouw Yang Hong bergerak ke samping,
sehingga golok Wan To Ma Sih menyerang tempat kosong.
Mendadak Ouw Yang Hong
meloncat turun dari ranjang, tetap merangkul Bokyong Cen erat-erat, kemudian
menuding mereka berempat dengan sebelah tangannya seraya berkata.
"Lebih baik kalian jangan
bergerak! Kalau kalian bergerak, dengan sebelah tanganku ini aku masih dapat
membunuh kalian!"
Tay M ok Sin Seng Teng Khie
Hong tertawa dingin.
"Ouw Yang Hong! Kalau Ouw
Yang Coan berada di sini, nyawanya pun akan melayang malam ini! Apalagi kau?
Agar kau tidak mati secara mengenaskan, lebih baik serahkan Nona Bokyong pada
kami, lalu kau membunuh diri!"
Ouw Yang Hong tidak menyahut,
hanya tersenyum dingin sambil berpikir. Guru mengajariku harus menjadii
penjahat besar di kolong langit. Selama ini aku tidak menganggap serius akan
hal itu. Kini melihat mereka itu, semuanya merupakan penjahat besar. Untuk apa
aku membiarkan mereka hidup? Alangkah baiknya aku membunuh mereka, agar
mengurangi penjahat di kolong langit.
Setelah mengambil keputusan
itu, dalam hatinya timbul nafsu membunuh.
"Jen It Thian, kau
terlampau mendesak orang! Dulu kau menghina Nona Bokyong lalu aku dan kakakku
menolongnya! Kini kau mendesakku, aku tidak akan berlaku sungkan lagi
terhadapmu! Kalau kalian herani bergerak, semuanya pasti mati!" katanya
sengit.
Si Kerdil Pek Tho San San Kun
tertawa dingin. Dia tahu Ouw Yang Hong memiliki kungfu, namun tidak
memperdulikannya. Sebab siapa yang belajar kungfu tinggi, paling sedikit harus
berlatih sepuluh tahun. Kalau tidak, pasti tiada hasilnya.
Ouw Yang Hong yang begitu macam,
paling juga belajar beberapa jurus kepada kakaknya, maka apa yang perlu
ditakuti? Pikir si Kerdil Pek Tho San San Kun, lalu tertawa dingin lagi.
"Habiskan dia! Cepat
bunuh dia!" bentaknya kemudian.
Sang Seng Kiam Giok Shia ingin
mengambil hati gurunya. Maka ketika mendengar suara ben-takan gurunya, gadis
itu langsung menyerang Ouw Yang Hong. Pedang berikut orangnya menerjang ke arah
Ouw Yang Hong secepat kilat.
Saat ini Ouw Yang Hong
bersandar pada dinding. Matanya terus menatap pihak musuh sambil menaruh
Bokyong Cen ke bawah. Setelah itu, dia memasang kuda-kuda seperti orang yang
baru belajar kungfu.
Menyaksikan sikapnya itu, Sang
Seng Kiam Giok Shia tertawa dalam hati. Dengan kuda-kuda itu, apakah dapat
menangkis sepasang pedangku?
Sementara Ouw Yang Hong mulai
mengangkat sepasang tangannya, untuk menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dia
sedang mengerahkan lwee kang Ha Mo Kang.
Akan tetapi, Sang Seng Kiam
Giok Shia masih menerjang ke arahnya. Kelihatannya wanita itu tidak takut
terhadap ilmu Ha Mo Kang yang dimiliki Ouw Yang Hong. Sikapnya itu justru
membuat Ouw Yang Hong tercengang. Mungkin dia tidak kenal akan ilmu Ha Mo
Kangku ini, pikirnya sambil tertawa dalam hati.
Sedangkan Sang Seng Kiam Giok
Shia ber-girang dalam hati. Dia yakin pasti dapat membunuh Ouw Yang Hong.
Sepasang pedangnya mengarah dada Ouw Yang Hong yang memasang kuda-kuda setengah
jongkok.
Betapa cemasnya hati Bokyong
Cen.
"Cepat menyingkir,
bodoh!" serunya.
Ouw Yang Hong sama sekali
tidak menghiraukan seman itu. Sepasang matanya melotot menatap Sang Seng Kiam
Giok Shia, dan mulutnya mengeluarkan suara seperti kodok.
Di saat bersamaan, terdengar
suara seruan si Kerdil Pek Tho San San Kun Jen It Thian. "Celaka!"
Tampak si Kerdil itu melesat
ke arah Sang Seng Kiam Giok Shia, Tay Mo k Sin Seng Teng Khie Hong berseru
kaget, sedangkan Wan To Ma Sih memandang Ouw Yang Hong dengan mata ter-belalak.
Sebab di saat itu terdengar
seperti suara ledakan, yang disusul oleh suara jeritan Sang Seng Kiam Giok
Shia. Badan wanita itu terpental ke luar membentur dinding hingga dinding itu
berlubang, orangnya terbang ke luar entah ke mana.
Ketika melihat Ouw Yang Hong
mendorongkan sepasang tangannya ke depan, si Kerdil Pek Tho San San Kun sudah
tahu tidak beres, maka dia segera melesat ke arah Sang Seng Kiam Giok Shia
dengan maksud ingin menyelamatkannya, namun terlambat, karena murid perempuan
itu sudah terbang ke luar entah ke mana.
Mereka berempat berhambur ke
luar. Tampak Sang Seng Kiam Giok Shia tergeletak di tanah, nafasnya sudah
putus.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong memandang Sang Seng Kiam Giok Shia. Wajahnya pucat pias.
"Sumoi! Sumoi! Bangun,
bangunlah!" serunya dengan suara gemetar.
Sedangkan Wan To Ma Sih segera
memegang badan Sang Seng Kiam Giok Shia.
"Sumoi! Sumoi!"
panggilnya dengan mata bersimbah air.
Sementara Sang Pwe Jeh Nuh
hanya berdiri mematung di tempat.
"Kalian berseru apa?
Sumoi sudah mati! Sumoi sudah mati! Ouw Yang Hong! Kau harus membayar nyawa
sumoiku!" pekiknya.
Sang Pwe Jeh Nuh menerjang ke
dalam rumah. Ternyata mereka bertiga mencintai Sang Seng Kiam Giok Shia secara
diam-diam. Kini sang sumoi itu telah mati. Sudah barang tentu kematiannya itu
membuat mereka bertiga berduka. Maka Sang Pwe Jeh Nuh langsung menyerang Ouw
Yang Hong.
Ouw Yang Hong berdiri tak
bergerak di dalam rumah. Di saat Sang Pwe Jeh Nuh menerjang ke dalam, si Kerdil
Pek Tho San San Kun berteriak.
"Jeh Nuh, cepat
berhenti!"
Sang Pwe Jeh Nuh berhenti.
"Kau harus membayar nyawa
sumoiku! Kau harus membayar nyawa sumoiku . . ." gumamnya.
"Ouw Yang Hong, tadi kau
menggunakan ilmu apa?" tanya si Kerdil.
Ouw Yang Hong tertawa gelak.
Dia amat gembira telah membunuh Sang Seng Kiam Giok Shia.
"Jen It Thian,
katakanlah! Kau ganas atau aku yang ganas? Kau jahat atau aku yang jahat?"
sahutnya.
Si Kerdil Pek Tho San San Kun
memandang wajah Ouw Yang Hong yang begitu dingin tak berperasaan, betul-betul
nyalinya menjadi ciut. Dia ingin melarikan diri, namun ketiga muridnya tidak
sepertinya. Kelihatannya mereka ingin mengadu nyawa dengan Ouw Yang Hong.
Sang Pwe Jeh Nuh mendekati Ouw
Yang Hong perlahan-lahan, lalu berdiri di sebelah kirinya.
Mereka bertiga sudah siap
mengadu nyawa dengan Ouw Yang Hong.
"Kalau kalian bertiga
berani bergerak, aku pasti membunuh kalian bertiga!" ancamnya sepatah demi
sepatah sambil menatap mereka bertiga.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong, Sang Pwe jeh Nuh dan Wan To Ma Sih saling memandang. Mereka bertiga telah
menyaksikan bagaimana cara Ouw Yang Hong membunuh Sang Seng Kiam Giok Shia,
maka mereka bertiga ingin menyerangnya dengan cara serentak, agar Ouw Yang Hong
tiada kesempatan untuk membalas.
Mendadak mereka bertiga
membentak keras, dan dengan serentak menyerang Ouw Yang Hong dengan senjata.
Pertarungan kali ini sungguh
seru, sebab ketiga orang itu sruSah siap mati hesama Ouw Yang Hong, maka
serangan-serangan mereka amat dahsyat.
Ouw Yang Hong tidak dapat
menggunakan ilmu Ha Mo Kang, karena diserang secara bertubi-tubi. Maka dia
terpaksa menggunakan ilmu Hong Hoang Lak untuk berkelit kesana kemari.
Walau demikian, badan Ouw Yang
Hong tidak terluput dari sambaran senjata Sang Pwe Jeh Nuh dan Wan To Ma Sih,
sehingga pakaiannya tersobek sana sini.
Betapa gusarnya Ouw Yang Hong.
Mendadak mulutnya mengeluarkan suara seperti kodok dan badannya dijongkokkan
sedikit. Kemudian dia mencelat ke atas dan berjungkir balik sambil mendorongkan
sepasang tangannya ke arah Wan To Ma Sih. Seketika terdengar suara jeritan.
"Aaaakh . . ."
Wan To Ma Sih terpental, lalu
roboh tak bernyawa lagi.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong dan Sang Pwe Jeh Nuh bertambah dendam terhadap Ouw Yang Hong. Mereka
berdua menyerangnya tanpa menghiraukan nyawa sendiri.
Sementara Ouw Yang Hong
bertarung dengan mata memerah. Dalam hatinya hanya berniat membunuh mereka.
Sang Pwe Jeh Nuh menyerang Ouw
Yang Hong secara membabi buta. Ouw Yang Hong berkelit dan mendadak menangkap
sebelah tangan Sang Pwe Jeh Nuh lalu dihetotnya sekuat tenaga, sehingga tangan
orang itu putus seketika.
Ouw Yang Hong tidak berhenti
sampai di situ. Ditangkapnya lagi lengan Sang Pwe Jeh Nuh yang tinggal sebelah
itu lalu dihetotnya pula. Sang Pwe Jeh Nuh menjerit, lalu roboh dan pingsan
seketika dengan darah bercucuran di kedua bahunya.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong berdiri mematung di tempat. Orang macam apa pun per-nah dijumpainya, dan
dia tidak pernah merasa gentar. Tapi kini melihat Ouw Yang Hong, nyalinya
menjadi ciut.
"Aku mau memhunuh orang!
Aku mau membunuhmu!" seru Ouw Yang Hong sengit.
Dia langsung menyerang Tay Mok
Sin Seng Teng Khie Hong. Sedangkan Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong sudah tidak
bisa menangkis, maka pukulan yang dilancarkan Ouw Yang Hong tepat mendarat di
dadanya.
Buuuk!
Tay Mok Sin Seng Teng Khie
Hong menjerit. "Aaaakh!"
Dia roboh seketika dan
nyawanya pun melayang.
Sungguh kasihan nasib mereka
berempat malang melintang belasan tahun di daerah Gurun Pasir See Hek, namun
kini harus mati secara mengenaskan di tangan Ouw Yang Hong.
Setelah memhunuh keempat murid
Pek Tho San San Kun, Ouw Yang Hong berdiri termangu-mangu. Sepasang tangannya
berlumuran darah. Berselang sesaat, dia menengok kesana kemari mencari si
Kerdil Pek Tho San San Kun. Namun m Kerdil itu sudah tidak kelihatan, entah
menghilang ke mana.
Karena tidak melihat si Kerdil
Pek Tho San Sais Kun, maka Ouw Yang Hong mengira si Kerdil ity sudah melarikan
diri. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu masuk ke rumah.
Ketika dia ingin memapah
Bokyong Cen bangun, justru melihat si kerdil Pek Tho San San Kun bersembunyi di
belakang Bokyong Cen, tangannya ditaruh di atas kepala Bokyong Cen.
"Ouw Yang Hong, kau
jangan coba-coba kemari! Kalau kau kemari, aku pasti membunuhnya!" katanya
dengan lantang.
"Kau berani menyentuhnya,
aku pasti membunuhmu!" sahut Ouw Yang Hong dingin.
Si Kerdil Pek Tho San San Kun
memandang Ouw Yang Hong dengan rasa takut.
"Kau jangan bergerak! Kau
jangan bergerak! Kalau kau bergerak, aku pasti menir "Ouhnya!"
katanya dengan suara gemetar.
"Bukankah kau ingin
membawanya pulang untuk ditaruh di dalam peti? Bagaimana mungkin kau
membunuhnya?" sahut Ouw Yang Hong.
"Tidak, tidak! Kau jangan
kemari, kau kemari, wanita ini pasti mati!" kata si Kerdil.
"Jen It Thian, kalau kau
melepaskannya, aku pun akan melepaskanmu!" kata Ouw Yang Hong dengan suara
ringan.
Si Kerdil Pek Tho San San Kun
tidak mempercayainya. Dia malah mendorong Bokyong Cen berjalan ke luar. Di saat
bersamaan, mendadak muncul Ceh Liau Thou.
Si Kerdil Pek Tho San San Kun
segera membentak.
Bersambung