Si Racun Dari Barat (See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan) Bab 23

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Bab 23
"Kau bukan Tetua, berdasarkan apa kau masuk ke mari? Lebih baik kau duduk bersama kami di sini saja!"

Ouw Yang Hong tersenyum.

"Mereka yang di dalam sedang berunding apa? Kau tahu tidak?"

Pengemis itu tidak menyahut, hanya memandangnya dengan mata terbelalak.
Ouw Yang Hong segera menambahkan.

"Sobat! Aku pergi beberapa lama untuk mengurusi sesuatu, jadi tidak tahu apa yang telah terjadi di sini! Bolehkah kau memberitahukan padaku?"

Pengemis itu menyahut dengan suara rendah.

'Baik-baik! Tapi suaramu jangan keras-keras! Aku beritahukan, Su Ciau Hwa Cu ketua kita meninggal, kini semua yang di dalam sedang memilih ketua baru, maka amat sibuk!"

"Kenapa harus sibuk? Pilih saja Ang Cit Kong sebagai ketua baru, bukankah beres?"
Pengemis itu manggut-manggut.

"Tidak salah! Kau juga ingin memilihnya? Tapi sayang sekali, dia tidak bersedia jadi ketua baru!" sahut pengemis itu, setuju dengan ucapan Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong tertegun. Su Ciau Hwa Cu sudah meninggal, mengapa Ang Cit Kong tidak bersedia jadi ketua baru? Pikir Ouw Yang Hong lalu berkata.

"Sobat, tahukah kau mengapa Ang Cit Kong tidak mau jadi ketua baru?"

"Karena . . . dia bilang . . . dia bilang tidak leluasa jadi ketua!" jawab pengemis itu dengan suara terputus-putus.

Ouw Yang Hong mengerutkan kening seolah sedang berpikir.

"Ini amat mengherankan! Mengapa tidak leluasa?" gumamnya, heran.

Pengemis itu tidak menyahut, hanya menatap Ouw Yang Hong. Kelihatannya dia tidak berani mengatakan apa pun.

Ouw Yang Hong berpikir sejenak, kemudian menepuk paha sendiri seraya berkata.

"Betul, betul! Dia pasti tidak sudi jadi ketua!"

"Kau tahu apa sebab-musababnya?" Pengemis itu malah balik bertanya.

"Ang Cit Kong, dia . . . tentunya tidak leluasa!"

Pengemis itu manggut-manggut sambil tertawa.

"Betul! Kelihatannya kau amat mengenalinya!"

Ouw Yang Hong juga tertawa, dia memang kenal baik Ang Cit Kong, bahkan pernah ber-samanya menyelinap ke dalam dapur istana untuk mencuri makan hidangan kaisar.

Berselang sesaat, Ouw Yang Hong berkata.

"Bolehkah aku kedalam melihat-lihat?"

Pengemis itu sudah tahu Ouw Yang Hong kenal baik dengan Ang Cit Kong, maka mengangguk memperbolehkan.

"Kenapa tidak? Lihatlah! Yang duduk dekat pintu aula, semuanya merupakan murid Kay Pang yang handal, berkepandaian lumayan. Aku akan memberitahukan pada mereka, agar membiarkan-mu duduk di sana. Tapi kau harus ingat! Jangan bersuara, apabila kau bersuara, Tetua Penghukum pasti tidak akan melepaskanmu!"

Ouw Yang Hong manggut-manggut. Pengemis itu berseru pada teman-temannya, lalu mempersilakan Ouw Yang Hong masuk.

Ouw Yang Hong berjalan ke dalam, lalu duduk bersama para pengemis dekat pintu aula sambil memandang ke dalam.

Di dalam tampak duduk dua belas orang. Yang duduk di tengah adalah Ang Cit Kong. Dia duduk dengan kepala tertunduk, seperti padri yang sedang bersamedi, sama sekali tidak bersuara.

Salah seorang pengemis yang paling muda menoleh ke arah Ang Cit Kong.

"Cit Kong sudah berpikir dengan baik? Kalau sudah, harus segera mengadakan upacara!"

Ang Cit Kong menyahut lantang, "Bukankah aku sudah bilang pada kalian, aku tidak biasa melewati hari-hari seperti itu. Aku sudah terbiasa
berkeliaran, bagaimana mungkin jadi ketua? Kalian memilihku, orang yang tidak bersedia jadi ketua!”

Salah seorang berkata, "Lu Yu Kha, kau adalah Tetua yang paling muda, mengerjakan sesuatu tanpa berpikir panjang dulu! Cit Kong tidak bersedia jadi ketua, sudah pasti punya sebab tertentu. Tapi Cit Kong, katakan olehmu siapa yang berderajat diangkat jadi ketua Kay Pang?"

Ditanya demikian, Ang Cit Kong justru tidak bisa menjawab. Dia memandang semua pengemis yang duduk di situ, tapi tidak bersuara sama sekali.

Berselang sesaat, barulah Ang Cit Kong mengatakan, bahwa salah seorang pengemis yang du-duk di situ pantas diangkat sebagai ketua.

Seorang Tetua yang agak tua berkata.

"Menurut aku Teng Cong, alangkah baiknya Cit Kong saja yang menggantikan Su Pangcu. Ka-lau Ang Cit tidak bersedia jadi ketua, lalu bagaimana dengan kami semua? Lagi pula sebelum me-ninggal, Su Pangcu sudah berpesan, bahwa Ang Cit Kong yang harus menggantikannya. Akan tetapi, Ang Cit Kong diam saja!"

Begitu Teng Cong menyinggung tentang pesan Su Ciau Hwa Cu, hati Ang Cit Kong pun berduka sekali.

"Tidak salah, mendiang guru memang berpesan begitu . . ." ujar Ang Cit Kong.

"Su Pangcu tidak memaksamu, beliau cuma tersenyum di waktu itu, tapi langsung menyerahkan padamu .Tongkat Penggebuk Anjing! Ya, kan?" singgung Teng Cong lagi.

Ang Cit Kong mengangguk. "Betul!"

"Nah, itulah! Begitu kau menerima Tongkat Penggebuk Anjing, Su Pangcu menghembus nafas terakhir!"

Ang Cit Kong manggut-manggut dengan wajah murung.
"Ya!" gumamnya, semakin sedih.

Teng Cong dan para Tetua lain segera berkata.

"Kau sudah menerima Tongkat Penggebuk Anjing, lalu mengapa tidak bersedia jadi ketua? Apakah kau takut pada Ong Tiong Yang di Hwa San Lun Kiam kelak? juga takut pada Oey Yok Su dan Toan Hong Ya itu?"

Ang Cit Kong membungkam, betul-betul tak mampu bersuara sedikit pun.
Akan tetapi berselang beberapa saat, mendadak Ang Cit Kong tertawa dingin.

"Aku takut apa? Aku justru ingin bertarung dengan mereka lima tahun kemudian. Kepandaian suhuku amat tinggi, namun beliau memberitahukan padaku, bahwa ilmu Hang Liong Cap Pwe Ciang-nya masih memiliki kekurangan. Aku disuruh menyempurnakan ilmu tersebut. Maka aku harus berlatih baik-baik dan tenang dalam lima tahun ini, bahkan harus terus berlatih ilmu Tongkat Penggebuk Anjing. Lima tahun kemudian, aku harus meraih gelar jago nomor wahid di kolong langit, sekaligus memperoleh kitab pusaka Kiu Im Cin Keng, agar Kay Pang bertambah cemerlang!"

Mendengar tekad Ang Cit Kong itu para Tetua yang berkumpul di tempat tersebut merasa gembira.

"Cit Kong, apabila kau berhasil meraih gelar jago nomor wahid di kolong langit, itu sungguh menguntungkan Kay Pang kita. Karena itu, biar bagaimana pun kau harus jadi ketua Kay Pang, hanya saja kau tidak usah mengurusi kegiatan Kay Pang. Bagaimana menurutmu?" tanya Tetua Teng Cong.

Ang Cit Kong berpikir sejenak, kemudian menyahut.

'Baik, namun kalian harus memberitahukan pada para anggota, agar tidak mengikutiku! Kalau ada urusan, aku pasti pergi mencari kalian. Tapi kalian jangan mencariku!"

Para Tetua mengangguk, semua setuju permintaan Ang Cit Kong itu.

"Aku tidak perduli pakaian indah atau pakaian kumal. Aku suka mengenakan pakaian apa, itu adalah urusanku! Bagaimana?" tanya Ang Cit Kong lagi.

Para Tetua mengangguk lagi, bagi mereka yang penting Ang Cit Kong bersedia jadi ketua, tidak perduli Ang Cit Kong mau berpakaian apa pun.

Sementara Ouw Yang Hong terus memperhatikan pertemuan itu. Namun mendadak saja ma-tanya membelalak terkejut. Ternyata dia melihat dua orang di antara para Tetua itu adalah su-hengnya yang jarang berbicara, yaitu yang menyertai Cu Kuo Cia, Su Bun Seng, dan Ciok Cuang Cak saat membawanya dari kota Ciau Liang ke daerah utara.

Ouw Yang Hong tidak tahu mereka berdua bermarga apa. Melihat mereka duduk bersama Ang Cit Kong, sudah jelas mereka berdua merupakan Tetua Kay Pang. Itu membuat Ouw Yang Hong tersentak. Dia tidak pernah tahu sejak kapan mereka berdua bergabung dengan Kay Pang, yang jelas sudah lama mereka berdua bergabung perkumpulan ini. Kalau tidak, bagaimana mungkin mereka berdua jadi Tetua Kay Pang?

Ouw Yang Hong berkata dalam hati. Bagus! Aku melihat kalian berdua di sini, berarti ajal kalian berdua sudah tiba. Hari ini aku harus membunuh kalian demi membalaskan dendam guruku.

Darah Ouw Yang Hong serasa mendidih ingin menuntut balas. Namun tiba-tiba salah seorang Tetua bangkit berdiri, lalu mengumumkan bahwa Ang Cit Kong bersedia jadi ketua. Terdengar tepuk sorak di dalam aula itu. Para Tetua tampak gembira sekali.
Setelah itu, mulailah upacara pengangkatan ketua. Ang Cit Kong duduk di tengah-tengah dengan wajah tampak serius sekali.

Tetua Penghukum berseru lantang.

"Hari ini Ang Cit Kong diangkat secara sah sebagai ketua Kay Pang. Para anggota Kay Pang harus memberi hormat kepadanya!"

Para anggota Kay Pang maju satu persatu mendekati Ang Cit Kong, kemudian meludahinya, sehingga membuat pakaian Ang Cit Kong penuh ludah.

Menyaksikan itu, Ouw Yang Hong berkata dalam hati. Tidak gampang jadi ketua Kay Pang, harus menerima ludahan itu.

Pengemis yang berbicara dengan Ouw Yang Hong mendekat.

"Saudara, kau kenal baik dengan ketua, kau juga harus maju meludahnya!"

Usai berbisik, pengemis itu langsungg menarik Ouw Yang Hong untuk maju ke depan. Guguplah Ouw Yang Hong seketika itu juga. Namun ingat akan dirinya yang seorang pengemis Kay Pang, tentunya Ang Cit Kong tidak akan mengenalinya lagi. Siang hari saja Ouw Yang Hong yakin Ang Cit Kong tidak akan mengenalinya, apa lagi saat ini malam hari, bagaimana mungkin Ang Cit Kong mengenalinya?

Karena itu, Ouw Yang Hong memberanikan diri untuk mendekati Ang Cit Kong.

"Hamba Ouw Yang Peng menghaturkan hormat kepada ketua, semoga ketua sukses selalu!"

Ang Cit Kong manggut-manggut, sedangkan Ouw Yang Hong menundukkan kepala. Namun ketika melewatinya, mendadak Ang Cit Kong berseru.

"Berhenti!"

Ouw Yang Hong langsung berhenti. Hatinya jadi gugup dan panik. Rupanya Ang Cit Kong mengenaliku. Hh . . . padahal wajahku sudah berubah banyak. Bagaimana dia bisa mengenaliku? Apabila dia tahu aku bukan anggota Kay Pang, aku pasti celaka!

Ouw Yang Hong berdiri diam, menunggu Ang Cit Kong berbicara.

"Siapa kau?"

"Hamba adalah anggota Kay Pang cabang . . ."

Ang Cit Kong tidak banyak bicara lagi. Namun Tetua Penghukum yang melihat Ouw Yang Hong begitu gugup, segera bertanya.

"Kau murid siapa dan ikut siapa kemari?"

Ouw Yang Hong bukan murid Kay Pang cabang dan tidak ikut siapa-siapa kemari, maka tidak bisa menjawab. Akan tetapi ketika melihat kedua su-hengnya, dia langsung menunjuk mereka berdua seraya berkata dengan lantang.

"Aku ikut mereka berdua kemari!"

Ang Cit Kong menatapnya tanpa bersuara, sedangkan Ouw Yang Hong mendekati kedua orang itu.

"Aku adalah Ouw Yang Hong!" bisiknya kepada kedua orang itu.

Walau suara Ouw Yang Hong amat perlahan dan rendah, namun seperti geledek di telinga ketua orang itu. Mereka berdua tertegun, tak mampu bersuara sedikit pun.

Sesaat kemudian kedua orang itu berbicara pada Ang Cit Kong.

"Ketua, orang itu adalah anggota Kay Pang, kami berdua yang membawanya kemari. Dia masih belum tahu aturan Kay Pang, nanti kami akan memberitahukan padanya!"

Kedua orang itu tidak tahu untuk apa Ouw Yang Hong datang ke tempat itu. Namun mereka tahu pemuda ini telah membunuh Ciok (uang Cak.

Khawatir dia juga akan memhunuh mereka, maka mengakuinya sebagai anggota Kay Pang.

Ang Cit Kong tertawa setelah mendengar penjelasan kedua orang itu.

"Kay Pang berkumpul di sini, bukan merupakan urusan besar. Lagi pula di sini bukanlah tempat terlarang, tidak akan terjadi apa-apa. Kalian semua boleh beristirahat. Setelah itu, barulah pulang untuk melaksanakan tugas masing-masing!"
Para anggota Kay Pang mengangguk, memberi hormat lalu mengundurkan diri dari aula itu.

Sedangkan hati kedua bersaudara itu berdebar-debar. Mereka memandang Ouw Yang Hong lekat-lekat. Mereka sadar benar bahwa Ouw Yang Hong amat lihay, sudah memhunuh Ciok Cuang Cak suheng mereka. Lagi pula mereka berdua pernah berguru pada Si Racun Tua di daerah See Hek. Tentang ini tidak begitu banyak orang Kay Pang mengetahuinya. Mereka berdua tidak mau para aggota Kay Pang tahu tentang itu, karena akan menghancurkan nama baik mereka.

"Ayoh! Ikut aku pergi!" ajak Ouw Yang Hong tiba-tiba.

Kedua orang itu tidak menyahut, hanya berjalan pergi. Tak lama sudah sampai di suatu tanah kosong. Oi.w Yang Hong menatap mereka seraya berkata dingin, "Aku beritahukan, ajal kalian sudah tiba! Sebelum guru mati, mengharuskanku bersumpah di hadapannya, agar membunuh kalian semua ..."

Kedua orang itu memang jarang bicara. Saat itu pun keduanya tampak hanya saling meman-dang. Kemudian, mendadak menyerang Ouw Yang Hong.

Kepandaian mereka berdua lebih tinggi dari Ciok Cuang Cak, tentunya serangan mereka amat dahsyat. Lagi pula kedua orang itu melancarkan serangan dengan suatu siasat. Satu menyerang yang lain bertahan secara bergantian dan cepat.

Dalam pertarungan yang berlangsung lebih dari dua puluh jurus, tampak belum ada yang kalah dan menang. Hal itu tentu saja membuat hati Ouw Yang Hong amat gusar dan penasaran. Aku memiliki lwee kang dari guru, juga memiliki ilmu Ha Mo Kang, kenapa aku bertarung seimbang dengan mereka berdua? Pikir Ouw Yang Hong.

Berpikir sampai di sini, mendadak Ouw Yang menjongkokkan badannya. Mulutnya mengeluarkan 'Krok! K rok! Krok!' mirip suara kodok.

Karena kedua orang itu juga murid Si Racun Tua, begitu mendengar suara tersebut, wajah mereka langsung berubah hebat. Mereka tahu Ouw Yang Hong akan mengeluarkan ilmu Ha Mo Kang.

Betapa gugup dan panik hati keduanya. Ingin mereka melarikan diri, tapi mana mungkin Ouw Yang Hong memberi kesempatan.

Ouw Yang Hong membentak keras, sambil kedua tangannya dihentakkan ke arah kedua orang itu. Maka seketika terdengar suara jeritan menyayat. Kedua orang itu langsung roboh dan tak bergerak lagi. Ouw Yang Hong menatap keduanya. Ternyata mereka sudah tidak bernafas. Walau demikian, dia masih maju mendekati mereka, dan melancarkan sebuah pukulan lagi.

Plak! Plaaak!

Kepala kedua orang itu hancur berantukan, dengan berhamburan ke mana-mana. Barulah Ouw Yang Hong menarik nafas lega.

Ouw Yang Hong sendiri pun merasa terkejut, karena tidak tahu tenaga lwee kangnya begitu dahsyat. Dalam satu pukulan saja dapat membunuh kedua orang itu.

Sejenak ditatapnya kedua sosok mayat itu. dan ketika berniat meninggalkannya, mendadak terdengar suara orang.

"Ketua suruh kita melihat kedua saudara pendiam itu ke mana. Tadi masih terlihat mereka, namun tiba-tiba menghilang, entah kemana?"

"Mereka berdua tidak akan terjadi apa-apa, kan?" sahut suara yang lain.

"Sulit dikatakan! Aku justru merasa heran, orang tadi sungguh luar biasa. Hanya berbisik saja, kedua saudara pendiam itu langsung mengikutinya. Sebetulnya siapa dia, katanya bawahan kedua saudara pendiam itu, namun kelihatannya tidak seperti itu!"

"Mungkin ketua sudah melihat ada sesuatu yang tak beres, maka suruh kita mencari kedua saudara pendiam itu!"

Ouw Yang Hong mendengar suara pembicar an itu semakin mendekat ke arahnya. Maka buru-buru dia bersembunyi.

Kedua orang yang berbicara tadi sudah sampai di tempat itu. Ketika melihat dua mayat, merek berdua terkejut. Namun kemudian keduanya melesat pergi untuk melapor kepada ketua, bahwa kedua Tetua itu telah mati.

Ouw Yang Hong meninggalkan kota kecil itu melewati gurun pasir dan tiba di rumah. Namun, sampai di rumah dia kaget melihat rumahnya sudah berubah. Di dalam ada perabotan baru dan amat bersih. Bahkan ada sebuah rak buku, berisi kitab-kitab syair dan kitab-kitab suci Buddha.

Mendadak muncul seorang gadis, dia adalah pelayan bernama Ceh Liau Thou. Gadis pelayan itu tersenyum-senyum menyambut kedatangannya.

"Tuan siapa? Tuan kemari ingin menemui majikanku?"

Ouw Yang Hong menyahut dengan lantang.

"Ceh Liau Thou, kau sudah tidak mengenaliku lagi? Aku adalah tuan muda kedua!"

Gadis pelayan itu tampak tersentak, menatap Ouw Yang Hong dengan penuh perhatian. Rambut Ouw Yang Hong panjang awut-awutan dan pakaiannya pun amat kumal. Hanya sepasang matanya bersinar terang.

Sesaat kemudian barulah Ceh Liau Thou berseru girang, kemudian berlari ke dalam seraya berteriak-teriak.

"Cepat kemari! Kalian lihat! Tuan muda kedua . . . sudah pulang! Tuan muda kedua sudah pu-lang!"

Berhambur keluar beberapa orang dari dalam rumah. Mereka adalah Ouw Yang Coan. Bokyong Cen, dan Lo Ouw, budak tua yang amat setia itu.

Ouw Yang Coan tampak menatap Ouw Yang Hong. Kemudian digenggamnya tangan Ouw Yang Hong erat-erat.

"Adik! Kau . . . kau tidak mati? Sungguhkah kau tidak mati? Aku mengira kau ..." ujar Ouw Yang Coan merasa gembira dan haru. Air matanya tampak bercucuran membasahi pipinya.

"Aku tidak mati, bagaimana aku akan mati?"

Bukan main girangnya Ouw Yang Coan saat itu. Terus ditatapnya Ouw Yang Hong sambil berkata dengan suara bergemetar, "Bagus kau masih hidup! Bagus kau masih hidup!" Ouw Yang Coan berpaling seraya bertanya pada Ouw Yang Hong» "Kau masih kenal dia?"

Yang berdiri di belakang Ouw Yang Coan adillah Bokyong Cen. Begitu melihatnya, barulah Ouw Yang Hong tersadar apa sebabnya rumah itu telah berubah. Tampaknya wanita inilah yang membersihkan rumah tersebut. Bokyong Cen tampak lebih cantik, hanya wajahnya yang menyiratkan kedukaan.

Ketika Ouw Yang Hong memandangnya, dia cuma tertawa ringan, tidak mengucapkan apa pun. Ouw Yang Hong juga tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang Ouw Yang Coan sambil menunggunya membuka mulut.

Ouw Yang Coan memandang adiknya dengan wajah berseri-seri merasa gembira, melihat kembalinya Ouw Yang Hong.

"Adik, bagus sekali kini kau sudah kembali! Selama ini aku mengira kau sudah mati, aku dan guru pergi ke utara mencarimu. Namun perkampungan Liu Yun Cun hanya tersisa puing-puing, tiada seorang pun di sana. Kami tidak berhasil menemukanmu, maka mengiramu sudah mati. Akan tetapi, kau ternyata belum mati, sungguh beruntung bagi keluarga Ouw Yang!"

Usai berkata, Ouw Yang Coan pun tertawa gembira . . .

Malam harinya, Ouw Yang Hong duduk seorang diri di dalam rumah. Dia berpikir mengenai perubahan baru-baru ini. Sepertinya belum lama dia bersama Bokyong Cen di gurun pasir, bertengkar tidak habis-habisnya. Kini, gadis itu sudah menjadi kakak iparnya, dan satu hal sungguh di luar dugaannya, yaitu kini dia telah berhasil me-nguasai ilmu Ha Mo Kang dan Hong Hoang Lak yang amat tinggi serta dahsyat itu.
Baru disadari kini telah terjadi banyak perubahan. Hingga malamnya dalam tidur pun dia tak dapat nyenyak. Maka ketika terdengar suara ketukan di pintu dan disusul suara orang, dia masih mendengarnya.

"Adik, kau sudah tidur belum?"

Ternyata suara Bokyong Cen, yang tentu saja membuat Ouw Yang Hong tersentak. Sudah larut malam, mau apa dia kemari? Karena Bokyong Cen bertanya begitu, dia merasa tidak enak apabila tidak menyahut.

"Kak ipar, ya? Aku belum tidur!"

Pintu kamar itu terbuka, Bokyong Cen berjalan masuk, lalu duduk di depan meja.
"Adik. apa yang kau lakukan di perkampungan Liu Yun Cim itu?"

Ouw Yang Hong pun menceritakan segala kejadian itu. Bokyong Cen mendengar penuturan itu dengan mata terbelalak, tak terasa malam pun semakin larut, sedangkan Bokyong Cen terus bertanya ini dan itu.

Di saat itulah mendadak terdengar suara di luar.

"Adik, kau sudah tidur?"

Begitu mendengar suara itu, wajah Bokyong Cen langsung berubah merah. Dia dan Ouw Yang Hong merupakan kakak ipar dan paman, namun duduk berduaan bercakap-cakap di tengah malam di dalam kamar. Tentunya itu akan menimbulkan kecurigaan orang lain.

Ouw Yang Hong menyahut, "Kakak, aku masih belum tidur, sedang bercakap-cakap dengan kakak ipar, kebetulan kakak kemari!"

Ouw Yang Coan membuka pintu kamar, dan berjalan ke dalam. Ketika melihat Bokyong Cen, terkesiap hatinya.

"Tadi siang belum sempat bertanya tentang pengalamanmu, malam ini aku ingin mengobrol denganmu!"

Ouw Yang Coan duduk sambil menambah beberapa patah kata, sementara Bokyong Cen bangkit berdiri.

"Kalian kakak beradik mengobrollah! Aku mau pergi tidur!"

Bokyong Cen tidak menunggu mereka membuka mulut, langsung berjalan pergi meninggalkan kamar itu. Setelah Bokyong Cen pergi, Ouw Yang Coan dan adiknya saling membisu sesaat, tiada seorang pun membuka mulut.

Sesungguhnya Ouw Yang Hong ingin memberitahukan pada kakaknya, bahwa tadi dia sudah bercerita tentang pengalaman pada Bokyong Cen. Namun dia tak dapat mencetuskannya. Begitu pula Ouw Yang Coan, dia ingin memberitahukan pada adiknya mengenai perjodohannya dengan Bokyong Cen, tapi juga tak dapat membuka mulut.

Berselang beberapa saat, barulah mereka berdua mulai bercakap-cakap, namun sesingkat-singkatnya . . .

Tengah malam gelap gulita, Ouw Yang Coan melesat keluar dari rumahnya. Saat itu Bokyong Cen tengah tidur pulas. Sampai di luar, Ouw Yang Coan mengerahkan ginkangnya menuju ke suatu tempat, ternyata menuju goa es.

Tiba di tempat tujuan, dia meloncat ke dalam sebuah lubang besar yang menuju ke dalam goa es.

"Suhu! Suhu!"

Suara seruan Ouw Yang Coan bergema-gema, namun tiada sahutan sama sekali. Hati Ouw Yang Coan gelisah, maka segera meloncat ke atas batu es yang biasa diduduki oleh gurunya.

"Suhu! Suhu .. .!"

Ouw Yang Coan terus berseru, namun tetap tiada sahutan. Dia mengira gurunya sudah meninggalkan gua es itu.

Air mata Ouw Yang Coan bercucuran. Hatinya merasa sedih, dan menangislah dia.

"Suhu! Suhu! Kau ke mana? Mengapa tidak memberitahukan padaku?"

Mendadak tangannya menyentuh sesuatu yang ternyata pakaian gurunya. Ouw Yang Coan meraba lagi. Ternyata benar itu tubuh seseorang, tubuh gurunya!

Ouw Yang Coan berteriak-teriak.

"Suhu! Suhu . . .!"

Akan tetapi, gurunya tidak menyahut sama sekali.

Ouw Yang Coan segera memeluk gurunya erat-erat. Tubuh gurunya saat itu sudah dingin me-rupakan sosok mayat. Ouw Yang Coan terus menangis gerung-gerungan. Mendadak dia teringat olehnya, bahwa gurunya duduk di atas batu es itu belasan tahun lamanya, tidak pernah terjadi apa-apa, mengapa kini bisa mati? Guru pasti belum mati! Guru pasti belum mati! Ouw Yang Coan segera memeriksa nadi gurunya, namun tak berdenyut sama sekali.

Ouw Yang Coan putus asa, namun cepat-cepat menyalurkan lwee kangnya ke dalam tubuh gurunya.

Beberapa saat kemudian, sepasang mata gur u nyi» terbuka perlahan-lahan, kepalanya mendongak memandang Ouw Yang Coan.

"Anak Coan, anak Coan ... apakah kita berada dalam mimpi?"

"Suhu, bagaimana keadaanmu?" Ouw Yang Coan balik bertanya.

"Anak Coan, aku . . . aku baik-baik saja," sahut Pek Bin Lo Sat perlahan-lahan.

Air mata Ouw Yang Coan berlinang-linang.

"Suhu, jangan tinggalkan anak Coan!" katanya dengan suara gemetar.

Pek Bin Lo Sat tersenyum getir.

"Anak Coan yang baik . . ."

Wanita itu ingin mengatakan sesuatu, namun kelihatannya sudah tak bertenaga.
Ouw Yang Coan terus memeluknya erat-erat. Walau wajah gurunya itu amat buruk dan sepasang tangannya kurus kering, namun tubuhnya sungguh indah sekali! Maka tak mengherankan kalau Ouw Yang Coan terpukau menyaksikannya.

Berselang sesaat, Ouw Yang Coan bertanya dengan suara ringan.

"Suhu, bagaimana keadaanmu?"

Pek Bin Lo Sat tidak menyahut, hanya meraba-raba wajah Ouw Yang Coan, setelah itu barulah berkata.

"Anak Coan, wajahmu agak kurus, apakah hidupmu kurang bahagia?"

Ouw Yang Coan tersenyum sedih, terus memeluk Pek Bin Lo Sat erat-erat.

"Anak Coan, aku . . . aku akan bernyanyi untukmu, dengarkanlah baik-baik!" kata Pek Bin Lo Sat.

Wanita itu mulai bernyanyi dengan suara gemetar, dan Ouw Yang Coan mendengarkannya dengan penuh perhatian.

"Ini dalam malam, merupakan waktu yang paling baik untukmu.
Orang baru seperti mimpi, senyumannya semanis madu.

Hati gugup, wajah terasa panas ..."

Ouw Yang Coan menutup mulut Pek Bin Lo Sat dengan tangannya, agar gurunya itu tidak ber-nyanyi lagi.

Pek Bin Lo Sat memandangnya sayu, kemudian berkata dengan perlahan-lahan.

"Anak Coan, ketika aku masih kecil, pernah bersembunyi di kolong ranjang pengantin baru. Namun aku tertidur di situ. Entah berapa lama kemudian, aku terjaga karena suara berisik di ranjang. Ternyata kedua pengantin itu sedang bermesra-mesraan. Aku ketakutan dan menangis. Untung kedua pengantin itu amat haik. Aku digendong ke tempat tidur. Mereka berdua membiarkan tidur di tempat tidur itu. Aku hanya menemani mereka tidur. Nasibku memang begitu, hingga kini hidup merana seorang diri . . ."

"Suhu tidak mau hidup lagi? Bagaimana aku mati bersamamu?" kata Ouw Yang Coan.

Pek Bin Lo Sat tersenyum getir.

"Anak Coan, kau sudah punya istri, bagaimana mungkin kau meninggalkannya? Lagi pula kau harus punya keturunan . . ."

Ouw Yang Coan menaruh Pek Bin Lo Sat ke bawah.

"Suhu, mengapa Suhu membohongiku?" tanyanya dengan sungguh-sungguh.
Pek Bin Lo Sat tersenyum hambar.

"Anak Coan, aku pernah membohongi dan membunuh orang pula. Namun selama ini aku tidak pernah membohongimu."

"Suhu justru membohongiku, membohongiku! Suhu bilang, setelah aku memperistri Bokyong Cen, lalu bisa punya keturunan! Suhu membohongiku, mengapa Suhu membohongiku?"

Air mata Ouw Yang Coan bercucuran. Dia menikah dengan Bokyong Cen, justru tidak bisa menceritakan pada orang lain. Bagaimana mungkin menceritakan pada orang lain? Bagaimana mungkin? Sejak dia belajar ilmu silat pada Pek Bin Lo Sat di batu es yang amat dingin itu, dia sudah kehilangan hawa kejantanannya, tidak bisa berhubungan intim dengan kaum wanita.

Pek Bin Lo Sat menjodohkannya dengan Bokyong Cen dengan alasan agar keluarga Ouw Yang punya keturunan, bahkan dapat menolong Bokyong Cen. Karena itu, Ouw Yang Coan terpaksa setuju.

Akan tetapi, setelah menikah dengan Bokyong Cen, justru membuat mereka berdua amat sengsara. Sebelumnya Ouw Yang Coan sudah menduga akan hal tersebut, sebab dirinya tidak mampu melakukan itu.

Berpikir sampai di situ, Ouw Yang Coan amat gusar. Dia langsung menjambak rambut Pek Bin Lo Sat seraya berkata.

"Kau membohongiku! Kau membohongiku! Kau menjodohkan kami agar aku melupakanmu! Kau ingin mati seorang diri! Kau memiliki lwee kang dingin, tidak mungkin akan mati di atas batu es ini! Kau menotok jalan darah sendiri, ingin mati di sini, aku justru tidak menghendakimu mati!"

Air mata Pek Bin Lo Sat bercucuran. Dia menahan sakit karena rambutnya ditarik Ouw Yang Coan.

"Aku mau mati, tapi tidak bisa mati bersama Beng Lui, juga tidak bisa hidup bersamamu, lalu apa artinya aku hidup? Anak Coan, aku sama sekali tidak pernah memhohongimu, hanya saja aku berpikir, kau dan Bokyong Cen bisa bermesraan, tidak punya anak juga tidak jadi masalah. Siapa tahu kau justru begitu bodoh. Lagi pula aku sudah punya rencana, agar keluarga Ouw Yang punya keturunan. Anak Coan, apabila keluarga Ouw Yang tidak punya keturunan, itu adalah dosaku. Kau tahu itu?"

"Suhu, kalau kau ingin mati, biar aku mati bersamamu. Kini aku sudah tidak takut keluarga Ouw Yang tidak punya keturunan lagi, sebab adikku sudah kembali dari daerah Utara."

Begitu mendengar itu, Pek Bin Lo Sat kelihatan gembira sekali. Dia segera bertanya lantaran kurang percaya.

"Anak Coan! Sungguhkah itu? Kau tidak membohongiku?"

Ouw Yang Coan menutur tentang adiknya yang baru kembali dari daerah Uara. Pek Bin Lo Sat mendengarkan dengan mulut ternganga lebar.

"Anak Coan, kalau begitu bagus sekali. Sekarang kau pulang dulu, esok pagi aku akan ke rumahmu menemui adikmu!"

Ouw Yang Coan berpikir. Pek Bin Lo Sat ingin membunuh diri, itu pasti karena dirinya telah menikah dengan Bokyong Cen. Maka malam ini biar bagaimana pun aku tidak akan pulang. Aku harus menemani guru di goa es ini!

"Suhu, aku akan menemanimu malam ini!"

Pek Bin Lo Sat menghela nafas panjang. Sesungguhnya dia pun tidak menghendaki Ouw Yang Coan pulang. Mereka berdua saling memeluk dalam bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan hingga pagi.

Sementara itu, Ouw Yang Hong sudah pulas di dalam kamarnya. Namun mendadak dia terjaga dari tidurnya, karena mendengar suara ketukan pintu.

"Siapa?" tanyanya.

Terdengar suara sahutan.

"Adik, aku . . ."

Begitu mendengar suara Bokyong Cen, tersentaklah hati Ouw Yang Hong. Mengapa dia kemari lagi? Tadi ketika bercakap-cakap dengan Ouw Yang Coan, Bokyong Cen langsung pergi tanpa menoleh. Setelah kakaknya pergi, Bokyong Cen justru kembali lagi, mau apa dia kemari?

"Kak ipar, ada urusan apa kau kemari lagi? Lebih baik tunggu esok pagi saja!" tanya Ouw Yang Hong.

"Adik, apakah kakakmu ada di dalam?" Bokyong Cen balik bertanya dengan nada sedih.

"Dia tidak ada, sudah kembali ke kamarnya," jawab Ouw Yang Hong.

"Dia memang sudah kembali ke kamar, namun setelah aku pulas, dia pergi lagi, entah kemana. Mungkin dia pergi... ke goa es menemui gurunya," ujar Bokyong Cen.

Ouw Yang Hong amat cerdas, tentunya tahu hubungan kakaknya dengan Pek Bin Lo Sat amat istimewa, namun saat ini dia harus mengatakan apa?

"Aku menghendakimu menemaniku ke goa es itu," kata Bokyong Cen.
Ouw Yang Hong serba salah.

"Kak ipar, kalau kau takut seorang diri, aku akan membangunkan Ceh Liau Thou, lalu kita duduk di depan mengobrol," katanya.

Ouw Yang Hong bangun, lalu mengenakan pakaian. Setelah itu dia keluar membangunkan Ceh Liau Thou. Kemudian mereka bertiga duduk di luar sambil mengobrol.

Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara tawa dingin yang menusuk telinga.
Kini kepandaian Ouw Yang Hong sudah amat tinggi. Dari tadi dia sudah mendengar suara langkah beberapa orang. Namun dia pura-pura tidak tahu, ketika mendengar suara tawa dingin itu. Padahal dia tahu bahwa yang tertawa dingin itu adalah Pek Tho San San Kun Jen It Thian.

Ouw Yang Hong mendongakkan kepala. Dilihatnya seorang kerdil duduk di dahan pohon. Tidak salah, orang kerdil itu adalah Pek Tho San San Kun. Dia tertawa cengar-cengir seraya berkata pada Bokyong Cen.

"Nona Bokyong, aku dengar kau sudah menikah dengan Ouw Yang Coan, jago nomor satu Daerah See Hek. Itu tidak baik, tidak baik sama sekali. Ketika kau belum menikah, kau merupakan sebuah giok yang amat indah. Tapi setelah menikah, kau akan berubah menjadi sebuah batu biasa. Itu sungguh tidak baik."

Bokyong Cen diam, namun amat gusar dalam hati, sebab teringat akan semua penghinaan yang dilakukan Pek Tho San San Kun terhadapnya.

Kini Ouw Yang Hong bukan seorang sastrawan lemah lagi. Begitu melihat kemunculan Pek Tho San San Kun, timbullah kegusarannya. Kebetulan sekali kau kemari. Saat ini aku sedang kesal dan tidak dapat melampiaskannya, kebetulan kau muncul, akan kulampiaskan pada dirimu! Oleh karena itu, Ouw Yang Hong tertawa dingin.

"Jen It Thian, aku sudah menikah! Kalau kau kemari cari gara-gara, aku tidak akan berlaku sungkan-sungkan terhadapmu!" kata Bokyong Cen.

Pek Tho San San Kun tertawa dingin.

"Kuberitahukan padamu, aku sudah membuat sebuah peti baru, khusus untukmu tinggal di dalam. Kau ikut aku pulang, coba tidur di dalam peti itu, apakah cocok untukmu?"

Pek Tho San San Kun terus menatap Bokyong Cen, sepertinya ingin menelannya bulat-bulat. Kemudian mendadak dia bersiul panjang.

Seketika juga muncul beberapa orang. Mereka adalah Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong, Sang

Pwe Jeh Nuh, Wan To Ma Sih dan Bie Li Sang Seng Kiani Giok Shia.
Begitu keempat orang itu muncul, suasana di tempat itu langsung berubah menjadi tegang. Apabila Pek Tho San San Kun memberi perintah, keempat orang itu pasti turun tangan terhadap Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen.

Namun Pek Tho San San Kun tidak memberi perintah pada mereka, melainkan mengeluarkan sebuah alat tiup yang amat kecil, lalu ditaruhnya di mulut dan ditiupnya. Maka terdengarlah suara aneh yang melengking-lengking.

Berselang beberapa saat, tampak entah berapa banyak ular beracun merayap ke tempat itu, menuju ke arah Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen sambil menjulurkan lidah, sekaligus menyemburkan racun.

Ketika meilhat ular-ular beracun itu, Ouw Yang Hong mengerutkan kening. Dia tahu akan kelihayan ular-ular beracun itu, tapi tidak merasa takut, sebab dirinya sudah kebal terhadap racun apa pun.

Ouw Yang Hong menoleh memandang Bokyong Cen. Dilihatnya tangan Bokyong Cen memegang pedang pendek, namun wajahnya tampak pucat pias.
Mendadak Ouw Yang Hong melesat ke arahnya, sekaligus membawanya ke dalam kamarnya, lalu ditaruhnya di tempat tidur. Ouw Yang Hong juga duduk di tempat tidur itu, agar dapat melihat ular-ular beracun yang merayap ke dalam kamarnya.

Tak lama kemudian, tampak ratusan ular beracun merayap ke dalam kamar.
Ouw Yang Hong segera menarik Bokyong Cen ke dalam pelukannya, lalu menjulurkan sepasang tangannya ke arah ular-ular beracun itu.

"Jen It Thian! Kau kira dengan mengandalkan ular-ular beracun ini kau akan berhasil?" ben-taknya gusar. Dia kelihatan tidak takut terhadap Pek Tho San San Kun maupun terhadap ular-ular beracun itu. "Jen It Thian! Kalau kau tahu gelagat, cepatlah pergi bersama ular-ular beracunmu, agar kau tidak menyesal nanti!" hetaknya lagi.

Jen It Thian tertawa.
"Ouw Yang Hong, aku dengar wanita itu adalah kakak iparmu! Tapi mengapa kau menariknya ke dalam pelukanmu? Itu tidak baik! Itu tidak haik! Bokyong Cen, kau ingin bersama berapa lelaki haru merasa puas? Celaka! Aku sama sekali tidak tahu kau punya begitu banyak lelaki! Sungguh penasaran! Aku sungguh penasaran!"

Mendadak nada suara alat yang di mulutnya berubah meninggi, membuat ular-ular beracun itu merayap lebih cepat, bahkan di antaranya sudah ada yang merayap di atas ranjang.

Ketika mendengar kata-kata Pek Tho San San Kun itu, wajah Bokyong Cen langsung berubah memerah. Dia ingin bangkit berdiri meninggalkan Ouw Yang Hong. Akan tetapi, Ouw Yang Hong bergerak cepat menotok jalan darahnya hingga membuatnya tidak bisa bergerak.

Ouw Yang Hong berkata kepadanya.

"Maafkanlah aku!" Setelah itu, dia pun berseru, "Jen It Thian, hati-hatilah kau, aku ingin membunuhmu! Dan itu merupakan hal yang wajar karena aku ingin menyelamatkan kakak iparku!"

"Ouw Yang Hong, benarkah kau ingin menyelamatkan kakak iparmu? Wanita cantik berada di dalam pelukan, kau mau berbuat yang bukan-bukan pun bisa! Sungguh kau tak tahu malu!" sahut Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong dengan lantang.

"Keluarga Ouw Yang memang begitu! Apalagi ditambah wanita itu!" sambung Sang Seng Kiam Giok Shia dengan dingin.

Bokyong Cen tersindir. Pada hal dia hidup dengan bersih, namun selalu dipermalukan orang, itu membuatnya amat gusar.

Namun jalan darahnya dalam keadaan terto-tok, dia tidak bisa bergerak sama sekali. Maka, walau amat gusar, dia tidak bisa berbuat apa pun.

Sementara ular-ular beracun itu semakin mendekat. Ouw Yang Hong menjulurkan kedua jarinya untuk menjepit salah seekor ular beracun itu. Dia hanya mengerahkan sedikit tenaganya, namun kepala ular itu hancur.

Akan tetapi, ular-ular beracun itu amat banyak, bagaimana mungkin dapat dihadapi seorang diri? Lagi pula dia harus melindungi Bokyong Cen, maka hatinya menjadi gugup dan cemas.

Di saat bersamaan, mendadak dia teringat akan kejadian di Gunung Cong Lam San. Ong Tiong Yang menepuk-nepukkan sepasang sepatunya hingga mengeluarkan suara dan Toan Hong Ya membaca doa untuk melawan suara suling Oey Yok Su.
Teringat akan kejadian itu, Ouw Yang Hong segera bersiul. Suara siulannya amat aneh, ba-gaikan lengkingan burung elang yang menembus angkasa nan gelap itu.

Ular-ular beracun itu merayap ke arah mereka berdua mendengar suara alat tiup di mulut Pek Tho San San Kun. Kini begitu mendengar suara siulan Ouw Yang Hong, ular-ular itu menjadi gugup dan ketakutan, bahkan mulai kabur.

Semula Pek Tho San San Kun amat puas, sebab yakin tidak lama lagi Ouw Yang Hong akan di-mangsa ular-ular beracunnya.

Akan tetapi, ketika mendengar suara siulan, tersentaklah hatinya, apalagi setelah melihat semua ular beracunnya kabur ketakutan.

"Bunuh dia!" serunya.

Seketika juga tampak empat sosok bayangan menerobos ke dalam kamar melalui jendela. Ke-empat orang itu adalah murid-murid kesayangannya.

"Kau berani menghina San Kun, maka harus mati!" bentak Tay Mok Sin Seng Teng KhieHong.

Dia menjulurkan tangannya, jari tangannya bagaikan cakar elang, langsung menyerang Ouw Yang Hong. Di saat bersamaan, Sanj» Seng Kiam Giok Shia juga membentak sambil mengayunkan sepasang pedangnya menyerang punggung Ouw Yang Hong, Wan To Ma Sih dan Sang IPwe Jeh Nuh menyerang dari kiri serta kanan.
Mereka berempat betul-betul ingin membunuh Ouw Yang Hong. Bokyong Cen yang berada di dalam pelukan Ouw Yang Hong, justru malah tenang-tenang saja. Sejak menikah dengan Ouw Yang Coan, Bokyong Cen sering memikirkan Ouw Yang Hong. Ternyata dia amat membenci Pek Bin Lo Sat yang menjodohkannya dengan Ouw Yang Coan, karena dia tahu bahwa mereka guru dan murid mempunyai hubungan yang luair biasa. Lagi pula selama menjadi istri Ouw Yang Coan, suaminya itu tidak pernah menjamahnya.

Kini ketika melihat keempat orang itu menyerang Ouw Yang Hong, hati Bokyong Cen amat berduka. Namun dia sudah mengambil keputusan, apabila Ouw Yang Hong mati, dia pun ikut mati. Oleh karena itu, hatinya menjadi tenang.

Ouw Yang Hong mengerutkan kening ketika melihat serangan-serangan itu, dan langsung menggerakkan sepasang tangannya yang penuh mengandung lwee kang. Itu membuat senjata di tangan Sang Pwe Jeh Nuh terpental. Sementara itu badan Ouw Yang Hong bergerak ke samping, sehingga golok Wan To Ma Sih menyerang tempat kosong.

Mendadak Ouw Yang Hong meloncat turun dari ranjang, tetap merangkul Bokyong Cen erat-erat, kemudian menuding mereka berempat dengan sebelah tangannya seraya berkata.

"Lebih baik kalian jangan bergerak! Kalau kalian bergerak, dengan sebelah tanganku ini aku masih dapat membunuh kalian!"

Tay M ok Sin Seng Teng Khie Hong tertawa dingin.

"Ouw Yang Hong! Kalau Ouw Yang Coan berada di sini, nyawanya pun akan melayang malam ini! Apalagi kau? Agar kau tidak mati secara mengenaskan, lebih baik serahkan Nona Bokyong pada kami, lalu kau membunuh diri!"

Ouw Yang Hong tidak menyahut, hanya tersenyum dingin sambil berpikir. Guru mengajariku harus menjadii penjahat besar di kolong langit. Selama ini aku tidak menganggap serius akan hal itu. Kini melihat mereka itu, semuanya merupakan penjahat besar. Untuk apa aku membiarkan mereka hidup? Alangkah baiknya aku membunuh mereka, agar mengurangi penjahat di kolong langit.

Setelah mengambil keputusan itu, dalam hatinya timbul nafsu membunuh.

"Jen It Thian, kau terlampau mendesak orang! Dulu kau menghina Nona Bokyong lalu aku dan kakakku menolongnya! Kini kau mendesakku, aku tidak akan berlaku sungkan lagi terhadapmu! Kalau kalian herani bergerak, semuanya pasti mati!" katanya sengit.

Si Kerdil Pek Tho San San Kun tertawa dingin. Dia tahu Ouw Yang Hong memiliki kungfu, namun tidak memperdulikannya. Sebab siapa yang belajar kungfu tinggi, paling sedikit harus berlatih sepuluh tahun. Kalau tidak, pasti tiada hasilnya.
Ouw Yang Hong yang begitu macam, paling juga belajar beberapa jurus kepada kakaknya, maka apa yang perlu ditakuti? Pikir si Kerdil Pek Tho San San Kun, lalu tertawa dingin lagi.

"Habiskan dia! Cepat bunuh dia!" bentaknya kemudian.

Sang Seng Kiam Giok Shia ingin mengambil hati gurunya. Maka ketika mendengar suara ben-takan gurunya, gadis itu langsung menyerang Ouw Yang Hong. Pedang berikut orangnya menerjang ke arah Ouw Yang Hong secepat kilat.
Saat ini Ouw Yang Hong bersandar pada dinding. Matanya terus menatap pihak musuh sambil menaruh Bokyong Cen ke bawah. Setelah itu, dia memasang kuda-kuda seperti orang yang baru belajar kungfu.

Menyaksikan sikapnya itu, Sang Seng Kiam Giok Shia tertawa dalam hati. Dengan kuda-kuda itu, apakah dapat menangkis sepasang pedangku?

Sementara Ouw Yang Hong mulai mengangkat sepasang tangannya, untuk menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dia sedang mengerahkan lwee kang Ha Mo Kang.

Akan tetapi, Sang Seng Kiam Giok Shia masih menerjang ke arahnya. Kelihatannya wanita itu tidak takut terhadap ilmu Ha Mo Kang yang dimiliki Ouw Yang Hong. Sikapnya itu justru membuat Ouw Yang Hong tercengang. Mungkin dia tidak kenal akan ilmu Ha Mo Kangku ini, pikirnya sambil tertawa dalam hati.

Sedangkan Sang Seng Kiam Giok Shia ber-girang dalam hati. Dia yakin pasti dapat membunuh Ouw Yang Hong. Sepasang pedangnya mengarah dada Ouw Yang Hong yang memasang kuda-kuda setengah jongkok.

Betapa cemasnya hati Bokyong Cen.

"Cepat menyingkir, bodoh!" serunya.

Ouw Yang Hong sama sekali tidak menghiraukan seman itu. Sepasang matanya melotot menatap Sang Seng Kiam Giok Shia, dan mulutnya mengeluarkan suara seperti kodok.

Di saat bersamaan, terdengar suara seruan si Kerdil Pek Tho San San Kun Jen It Thian. "Celaka!"

Tampak si Kerdil itu melesat ke arah Sang Seng Kiam Giok Shia, Tay Mo k Sin Seng Teng Khie Hong berseru kaget, sedangkan Wan To Ma Sih memandang Ouw Yang Hong dengan mata ter-belalak.

Sebab di saat itu terdengar seperti suara ledakan, yang disusul oleh suara jeritan Sang Seng Kiam Giok Shia. Badan wanita itu terpental ke luar membentur dinding hingga dinding itu berlubang, orangnya terbang ke luar entah ke mana.

Ketika melihat Ouw Yang Hong mendorongkan sepasang tangannya ke depan, si Kerdil Pek Tho San San Kun sudah tahu tidak beres, maka dia segera melesat ke arah Sang Seng Kiam Giok Shia dengan maksud ingin menyelamatkannya, namun terlambat, karena murid perempuan itu sudah terbang ke luar entah ke mana.

Mereka berempat berhambur ke luar. Tampak Sang Seng Kiam Giok Shia tergeletak di tanah, nafasnya sudah putus.

Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong memandang Sang Seng Kiam Giok Shia. Wajahnya pucat pias.

"Sumoi! Sumoi! Bangun, bangunlah!" serunya dengan suara gemetar.
Sedangkan Wan To Ma Sih segera memegang badan Sang Seng Kiam Giok Shia.
"Sumoi! Sumoi!" panggilnya dengan mata bersimbah air.

Sementara Sang Pwe Jeh Nuh hanya berdiri mematung di tempat.
"Kalian berseru apa? Sumoi sudah mati! Sumoi sudah mati! Ouw Yang Hong! Kau harus membayar nyawa sumoiku!" pekiknya.

Sang Pwe Jeh Nuh menerjang ke dalam rumah. Ternyata mereka bertiga mencintai Sang Seng Kiam Giok Shia secara diam-diam. Kini sang sumoi itu telah mati. Sudah barang tentu kematiannya itu membuat mereka bertiga berduka. Maka Sang Pwe Jeh Nuh langsung menyerang Ouw Yang Hong.

Ouw Yang Hong berdiri tak bergerak di dalam rumah. Di saat Sang Pwe Jeh Nuh menerjang ke dalam, si Kerdil Pek Tho San San Kun berteriak.

"Jeh Nuh, cepat berhenti!"

Sang Pwe Jeh Nuh berhenti.

"Kau harus membayar nyawa sumoiku! Kau harus membayar nyawa sumoiku . . ." gumamnya.

"Ouw Yang Hong, tadi kau menggunakan ilmu apa?" tanya si Kerdil.

Ouw Yang Hong tertawa gelak. Dia amat gembira telah membunuh Sang Seng Kiam Giok Shia.

"Jen It Thian, katakanlah! Kau ganas atau aku yang ganas? Kau jahat atau aku yang jahat?" sahutnya.

Si Kerdil Pek Tho San San Kun memandang wajah Ouw Yang Hong yang begitu dingin tak berperasaan, betul-betul nyalinya menjadi ciut. Dia ingin melarikan diri, namun ketiga muridnya tidak sepertinya. Kelihatannya mereka ingin mengadu nyawa dengan Ouw Yang Hong.

Sang Pwe Jeh Nuh mendekati Ouw Yang Hong perlahan-lahan, lalu berdiri di sebelah kirinya.

Mereka bertiga sudah siap mengadu nyawa dengan Ouw Yang Hong.

"Kalau kalian bertiga berani bergerak, aku pasti membunuh kalian bertiga!" ancamnya sepatah demi sepatah sambil menatap mereka bertiga.

Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong, Sang Pwe jeh Nuh dan Wan To Ma Sih saling memandang. Mereka bertiga telah menyaksikan bagaimana cara Ouw Yang Hong membunuh Sang Seng Kiam Giok Shia, maka mereka bertiga ingin menyerangnya dengan cara serentak, agar Ouw Yang Hong tiada kesempatan untuk membalas.
Mendadak mereka bertiga membentak keras, dan dengan serentak menyerang Ouw Yang Hong dengan senjata.

Pertarungan kali ini sungguh seru, sebab ketiga orang itu sruSah siap mati hesama Ouw Yang Hong, maka serangan-serangan mereka amat dahsyat.
Ouw Yang Hong tidak dapat menggunakan ilmu Ha Mo Kang, karena diserang secara bertubi-tubi. Maka dia terpaksa menggunakan ilmu Hong Hoang Lak untuk berkelit kesana kemari.

Walau demikian, badan Ouw Yang Hong tidak terluput dari sambaran senjata Sang Pwe Jeh Nuh dan Wan To Ma Sih, sehingga pakaiannya tersobek sana sini.

Betapa gusarnya Ouw Yang Hong. Mendadak mulutnya mengeluarkan suara seperti kodok dan badannya dijongkokkan sedikit. Kemudian dia mencelat ke atas dan berjungkir balik sambil mendorongkan sepasang tangannya ke arah Wan To Ma Sih. Seketika terdengar suara jeritan.

"Aaaakh . . ."

Wan To Ma Sih terpental, lalu roboh tak bernyawa lagi.

Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong dan Sang Pwe Jeh Nuh bertambah dendam terhadap Ouw Yang Hong. Mereka berdua menyerangnya tanpa menghiraukan nyawa sendiri.

Sementara Ouw Yang Hong bertarung dengan mata memerah. Dalam hatinya hanya berniat membunuh mereka.

Sang Pwe Jeh Nuh menyerang Ouw Yang Hong secara membabi buta. Ouw Yang Hong berkelit dan mendadak menangkap sebelah tangan Sang Pwe Jeh Nuh lalu dihetotnya sekuat tenaga, sehingga tangan orang itu putus seketika.

Ouw Yang Hong tidak berhenti sampai di situ. Ditangkapnya lagi lengan Sang Pwe Jeh Nuh yang tinggal sebelah itu lalu dihetotnya pula. Sang Pwe Jeh Nuh menjerit, lalu roboh dan pingsan seketika dengan darah bercucuran di kedua bahunya.
Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong berdiri mematung di tempat. Orang macam apa pun per-nah dijumpainya, dan dia tidak pernah merasa gentar. Tapi kini melihat Ouw Yang Hong, nyalinya menjadi ciut.

"Aku mau memhunuh orang! Aku mau membunuhmu!" seru Ouw Yang Hong sengit.
Dia langsung menyerang Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong. Sedangkan Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong sudah tidak bisa menangkis, maka pukulan yang dilancarkan Ouw Yang Hong tepat mendarat di dadanya.

Buuuk!

Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong menjerit. "Aaaakh!"

Dia roboh seketika dan nyawanya pun melayang.

Sungguh kasihan nasib mereka berempat malang melintang belasan tahun di daerah Gurun Pasir See Hek, namun kini harus mati secara mengenaskan di tangan Ouw Yang Hong.

Setelah memhunuh keempat murid Pek Tho San San Kun, Ouw Yang Hong berdiri termangu-mangu. Sepasang tangannya berlumuran darah. Berselang sesaat, dia menengok kesana kemari mencari si Kerdil Pek Tho San San Kun. Namun m Kerdil itu sudah tidak kelihatan, entah menghilang ke mana.

Karena tidak melihat si Kerdil Pek Tho San Sais Kun, maka Ouw Yang Hong mengira si Kerdil ity sudah melarikan diri. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu masuk ke rumah.

Ketika dia ingin memapah Bokyong Cen bangun, justru melihat si kerdil Pek Tho San San Kun bersembunyi di belakang Bokyong Cen, tangannya ditaruh di atas kepala Bokyong Cen.

"Ouw Yang Hong, kau jangan coba-coba kemari! Kalau kau kemari, aku pasti membunuhnya!" katanya dengan lantang.

"Kau berani menyentuhnya, aku pasti membunuhmu!" sahut Ouw Yang Hong dingin.
Si Kerdil Pek Tho San San Kun memandang Ouw Yang Hong dengan rasa takut.

"Kau jangan bergerak! Kau jangan bergerak! Kalau kau bergerak, aku pasti menir "Ouhnya!" katanya dengan suara gemetar.

"Bukankah kau ingin membawanya pulang untuk ditaruh di dalam peti? Bagaimana mungkin kau membunuhnya?" sahut Ouw Yang Hong.

"Tidak, tidak! Kau jangan kemari, kau kemari, wanita ini pasti mati!" kata si Kerdil.

"Jen It Thian, kalau kau melepaskannya, aku pun akan melepaskanmu!" kata Ouw Yang Hong dengan suara ringan.

Si Kerdil Pek Tho San San Kun tidak mempercayainya. Dia malah mendorong Bokyong Cen berjalan ke luar. Di saat bersamaan, mendadak muncul Ceh Liau Thou.
Si Kerdil Pek Tho San San Kun segera membentak.

Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar