Si Racun Dari Barat (See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan) Bab 16

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Bab 16

Di kolong langit, memang banyak terdapat ke-anehan. Ketika Ouw Yang Hong tiba di perkam-pungan Liu Yun Cun, justru tidak terpikirkan bahwa dirinya akan rela menjadi murid orang tua itu, akan berubah menjadi orang beracun malang melintang di kolong langit.
Dia ingin belajar ilmu silat agar dirinya bisa berkepandaian tinggi untuk berkecimpung dalam dunia persilatan.

Kini dia ingin berguru kepada Tok Hang, si orang tua itu, yakni belajar ilmu Hong Hoang Lat dan ilmu Ha Mo Kang.

Di dalam sebuah rumah kecil yang berada di dalam lubang pohon, Cen Tok Hang berkata kepada Ouw Yang Hong.

"Kedua macam ilmuku ini, tidak pernah ku-turunkan kepada murid-muridku. Bukan karena mereka tidak berbakat, melainkan turun temurun harus orang yang melakukan sesuatu dengan hati keji. Lagi pula harus orang yang mengerti ilmu surat dan sastra, maka pilihanku jatuh pada dirimu. Mereka yang belajar ilmu silat harus dari sejak kecil, begitu pula belajar Iwee kang. Sepuluh tahun baru lumayan, dua puluh tahun berbentuk, tiga puluh tahun hingga empat puluh tahun baru bisa ternama, lima puluh tahun baru bisa sempurna. Itu adalah cara golongan lurus belajar ilmu silat. Bukankah akan membosankan? Berapa lama orang hidup di dunia? Kalau hanya untuk belajar ilmu silat, bagaimana mereka hidup? Tentunya akan keburu tua sebelum menikmati hidup. Ya, kan? Aku mengajarmu ilmu sesat, tidak seperti ilmu silat aliran putih. Yang kita kehendaki adalah aneh, cepat, racun dan keji. Asal begitu, barulah ada hasilnya. Ha Mo Kang adalah ilmu aneh di kolong langit. Semua orang meremehkan ilmu tersebut, tapi siapa pun tidak tahu akan kelihatannya. Tentang Iwee kangnya hanya mementingkan hawa. Lihat semua makluk yang ada di dunia, seperti halnya kuda berpacu, dan binatang kecil yaitu kodok. Hanya menggunakan hawa, kodok bisa meloncat tinggi dan jauh. Itu adalah Ha Mo Kang, lain hari akan kujelaskan. Mengenai Hong Hoang Lat, itu adalah ginkang (Ilmu Peringan Tubuh). Setelah aku berusia empat puluh, barulah kuciptakan ilmu tersebut. Hong Hoang Lat terdiri dari tiga belas jurus. Ketiga belas jurus itu merupakan ilmu gin-kang yang tiada duanya di kolong langit. Aku akan menjelaskan padamu .. ."

Kemudian orang tua itu menjelaskan tentang ilmu ginkang Hong Hoang Lat, dan setelah itu, dia pun memperagakannya. Badannya mencelat ke atas ke sebuah pohon yang tingginya belasan depa. Begitu ringan gerakannya, membuat Ouw Yang
Hong terheran-heran.

Kemudian mendadak badan orang tua itu ber-gerak melayang turun, namun berhenti di tengah udara, lalu melambung kembali ke atas pohon itu. Gerakannya sungguh mirip seekor burung Hong Hoang.

"Ouw Yang Hong, inilah ilmu Hong Hoang Lat," katanya.

Ouw Yang Hong manggut-manggut.

"Aku paling benci orang-orang golongan putih. Mereka pandai berpura-pura dan bermuka-muka. Rasanya aku ingin membunuh mereka satu persatu, agar mereka habis semua!" lanjut orang tua itu.

Ouw Yang Hong terus manggut-manggut. Jiwa-nya mulai terpengaruh oleh ucapan-ucapan orang tua tersebut.

Di perkampungan Liu Yun Cun, Ouw Yang Hong selalu tinggal bersama orang tua itu. Justru membuatnya tercengang, mengapa orang tua itu tidak mau tinggal di rumah, melainkan tinggal di dalam lubang pohon? Ouw Yang Hong pun tidak tahu apa sebabnya Cu Kue Hu Cu dan lainnya begitu takut kepada orang tua itu. Dia pun tidak tahu siapa anak kecil itu, mengapa menyuruhnya cepat-cepat kabur ketika dia baru tiba di perkampungan Liu Yun Cun?

Setelah tinggal bersama, orang tua itu dan Ouw Yang Hong sering membicarakan soal sastra, se-hingga membuat Ouw Yang Hong mulai menaruh hormat padanya.

"Kau akan menolong siapa? Seandainya kau berlayar seperahu dengan ayah, ibu dan istrimu, mendadak perahu itu tenggelam!"

Tertegun Ouw Yang Hong, lalu balik bertanya.

"Bagaimana ada kejadian yang begitu kebe-tulan?"

"Di kolong langit ini, tentunya ada kejadian yang kebetulan, justru kejadian tersebut. Kau harus bagaimana?" sahut orang tua.

Ouw Yang Hong berpikir sejenak.

"Tentunya harus menolong ayah dan ibu, sebab anak merupakan darah daging mereka," sahutnya kemudian.

Orang tua itu menggeleng-geleng kepala.

"Salah! Salah!"

Ouw Yang Hong berpikir lagi. Tiba-tiba dia teringat akan keturunan, kalau tiada istri, bagai-mana mungkin punya keturunan?

"Menurut Guru, harus menolong istri duluan?" tanyanya.

Orang tua itu tertawa.

"Kuberitahukan, empat puluh tahun yang lam-pau, aku malang melintang di dunia persilatan, hingga memperoleh julukan Si Racun Tua. Karena tindakanku amat keji dan tak berperasaan, kalau perahu yang kau tumpangi itu tenggelam, harus menolong ayah ibu atau istrimu duluan, tentunya tidak bisa tanpa dipikirkan. Seandainya ayahmu amat kaya, dapat membuatmu hidup senang, meng-apa kau tidak menolongnya? Tapi apabila ayahmu hanya memberimu sesuap nasi, dan mengandalmu memeliharanya, bukankah kalau dia mati akan meringankan bebanmu? Tentang istrimu, jika dia cantik jelita dan lemah lembut, kalau kau tidak menolongnya, bukankah sayang sekali? Ke mana kau cari istri yang begitu cantik dan baik? Tapi seandainya istrimu selalu ribut denganmu, dan wa-jahnya terus masam setiap hari, kalau dia tidak mati, bukankah kau akan tersiksa setiap hari? Nah! Lelaki jantan, harus bisa mengambil dan menaruh-kannya, barulah bisa sukses!"

Ouw Yang Hong memberi hormat, mendengar-kan dengan khidmat. Namun dalam hatinya dia tidak setuju akan apa yang dikatakan orang tua itu. Walau demikian, dia tetap bersikap menurut.

Orang tua memandangnya, kemudian tertawa dingin seraya berkata.

"Kalau hari ini kau tidak mau mendengar per-kataanku, cepat atau lambat kau pasti akan men-derita!"

Ouw Yang Hong tidak menyahut.

Malam harinya, ketika dia berada di dalam ruangan orang tua itu, terdengar suara tawanya dan suara tawa wanita. Sejak tinggal di perkampungan Liu Yun Cun, setiap hari dia bersenang-senang dengan wanita cantik.

Ouw Yang Hong pernah teringat akan Bokyong Cen, namun kini Bokyong Cen bersama kakaknya menuju daerah selatan. Kelihatannya gadis itu amat tertarik pada kakaknya, sebaliknya amat me-mandang rendah pada Ouw Yang Hong. Oleh karena itu, Ouw Yang Hong tidak mau memikirkannya lagi, karena di tempat ini begitu banyak wanita cantik, yang selalu siap menemaninya.

Saat itu ketika Ouw Yang Hong sedang ber-cakap-cakap dengan kedua gadis yang memandi-kannya, tiba-tiba terdengar suara yang amat nya-ring.

"Hei! Kaukah yang baru datang?"

Ouw Yang Hong segera menoleh. Dilihatnya seorang anak kecil duduk di atas meja di belakang-nya.

Wajah Ouw Yang Hong langsung memerah, karena kebetulan sebelah tangannya sedang me-rangkul salah seorang dari kedua gadis itu. Ke-mudian tangannya cepat-cepat dilepaskan.

Anak kecil itu tertawa, lalu menatapnya seraya berkata dengan nada orang yang sudah tua.

"Kelihatannya kau tidak begitu jahat, tidak seperti para murid tua bangka itu. kau bercumbu-cumbuan dengan gadis, lebih baik jangan terlihat oleh aku orang tua, aku akan marah ..."

"Kalau kau orang tua berminat, juga boleh ikut bersenang-senang. Di dalam perkampungan Liu Yun Cun banyak wanita cantik," sahut Ouw Yang Hong.
Mendengar ucapan Ouw Yang Hong itu, anak kecil tersebut tampak gusar.

"Kau kira aku ini siapa? Aku akan sepertimu? Aku orang tua sudah tiga puluh tahun lebih tidak pernah mendekati kaum wanita!" katanya dengan sengit.

Ouw Yang Hong tercengang. Dia tahu bahwa anak kecil itu adalah paman guru Cu Kuo Cia dan lainnya. Usianya baru sekitar sepuluh tahun, tapi selalu menyebut dirinya orang tua. Bukankah itu sungguh menggelikan? Biar bagaimana pun anak kecil itu tetap adalah adik seperguruan Cen Tok Hang, yang sudah pasti memiliki kepandaian tinggi. Maka Ouw Yang Hong tidak berani bersikap kurang ajar terhadapnya.

"Bukankah dia akan mengajarmu dua macam ilmu silat, yaitu Hong Hoang Lat dan Ha Mo Kang? Dia pasti memberitahukan padamu, bahwa kedua macam ilmu silat itu amat tinggi, tiada seorang pun yang dapat dibandingkan dengannya. Ya kan?" kata anak kecil itu.

Ouw Yang Hong tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Dia memandangnya dan mendadak bertanya.

"Apakah kau adalah adik seperguruan guruku?"

Anak kecil itu menepuk dada seraya menyahut.

"Tidak palsu! Kuberitahukan padamu, dia dipanggil Cen Tok liang, aku dipanggil Cha Ceh Ih. Aku adalah adik seperguruannya. Semua kaum dunia persilatan sudah tahu itu. Kalau kau tidak percaya, boleh bertanya kepada orang lain!"

"Kalau begitu, berarti kau adalah paman guruku. Usiamu masih kecil sudah menjadi paman guruku, bukankah akan membuat tidak enak hatimu?"

Anak kecil itu menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menyahut.

"Tidak benar. Tidak benar. Kau tidak usah perduli berapa usiaku. Aku adalah paman gurumu. Betul kan? Jangan kan kau yang baru mulai berkecimpung dalam rimba persilatan, yang sudah lama seperti Cu Kuo Cia dan lainnya pun harus menaruh hormat padaku. Katakan, berapa usiaku sekarang?"

Ouw Yang Hong tertawa seraya menyahut. .

"Aku lihat . . . Paman Guru berusia sekitar sepuluh tahun sekarang."
Anak kecil itu tertawa gelak mendengar ucapan itu, lalu bertepuk tangan seraya berkata dengan gembira.

"Ha ha! Kau memang bocah tolol, mengira usiaku sekitar sepuluh tahun. Kuberitahukan pa-damu, aku orang tua sudah berusia tiga puluh sembilan tahun."

Ouw Yang Hong tidak percaya, justru juga tidak bisa tidak percaya. Wajah paman guru ini, kelihatannya baru berusia sekitar sepuluh tahun, namun dia mengatakan sudah berusia tiga puluh sembilan tahun, entah apa sebabnya dia mengata-kan demikian?

Anak kecil itu mendekati Ouw Yang Hong, lalu berkata dengan suara ringan.

"Sebelum aku berusia dua puluh sembilan ta-hun, aku sudah belajar ilmu Ha Mo Kang. Namun gara-gara gurumu yang sial dangkalan itu, sehingga membuat diriku mengalami kesesatan. Untung guru menyelamatkanku, kalau tidak, nyawaku pasti sudah melayang."

Ouw Yang Hong tersentak, karena gurunya mengatakan bahwa ilmu Hong Hoang Lat dan Ha Mo Kang, hanya diturunkan dari generasi ke generasi penerus. Bagaimana paman guru ini mem-pelajarinya? Oleh karena itu dia segera berkata.

"Aku dengar dari guru, kedua macam ilmu itu hanya diturunkan kepada generasi penerus saja. Bagaimana Paman Guru juga bisa ilmu Ha Mo Kang?"

Anak kecil itu tertawa dingin lalu berkata. "Kau sudah berguru kepada Cen Tok Hang itu, mengapa tidak bertanya kepadanya saja?"

"Kalaupun aku bertanya, belum tentu guru akan memberitahukan," sahut Ouw Yang Hong.

Anak kecil itu berkata dengan dingin.

"Tentunya dia tidak akan memberitahukan, Ketika itu aku bersamanya berguru kepada Kiu Sia Tok Ong (Raja Racun Sembilan Sesat). Dia murid sulung, sedangkan aku murid bungsu. Guru mengajarnya ilmu Hong Hoang Lat, dan mengajarku ilmu Ha Mo Kang. Di saat guru sedang sakit, dia melakukan suatu kejahatan, yakni menyerangku ketika aku berlatih lwee kang, sehingga membuat hawa murniku buyar. Untung guru berhasil me-nyelamatkanku. Tapi sejak itu aku tidak bisa tumbuh besar lagi."

Ouw Yang Hong memandangnya, kemudian berkata dengan suara keras.

"Aku tidak percaya! Aku tidak percaya! Kau omong kosong, kau membohongiku!"
Ternyata Ouw Yang Hong mendengar dari gurunya, bahwa ilmu Hong Hoang Lat diciptakan gurunya ketika berusia empat puluh tahun. Kini paman guru mengatakan, bahwa ilmu tersebut dari perguruannya, sesungguhnya siapa yang berbohong tentang itu?

Wajah anak kecil itu tampak serius.

"Kalau kau tidak percaya, silakan tanya kepada gurumu itu!" katanya sepatah demi sepatah lalu pergi.

Ouw Yang Hong telah kehilangan gairah untuk bersenang-senang. Dia cepat-cepat meninggalkan ruangan itu, menuju pohon besar yang berlubang, tempat tinggal gurunya, kemudian berdiri di bawah pohon besar itu.

"Ouw Yang Hong ya? Masuklah!" Terdengar suara gurunya.
Ouw Yang Hong segera masuk ke lubang pohon itu. Dilihatnya gurunya bergantung pada dahan pohon dengan mata terpejam, kelihatannya sudah pulas, membuatnya tidak berani bersuara.

Di saat Ouw Yang Hong berdiri termenung, mendadak terdengar suara Cen Tok Hang, gurunya.

"Ouw Yang Hong, kenapa kau tidak bersenang-senang di ruangan, malah datang di tempat yang kotor dan dingin ini?"

Ouw Yang Hong terharu, sebab ucapan gurunya penuh perhatian, juga amat baik terhadapnya. Kelihatannya apa yang dikatakan paman guru hanya dusta belaka. Karena berpikir demikian, maka dia tidak bertanya pada gurunya mengenai apa yang dikatakan paman guru.

"Teecu bersenang-senang di rumah Guru, se-dangkan Guru hidup sengsara di sini, teecu merasa tidak tenang," katanya sambil memberi hormat.

"Ouw Yang Hong, kuberitahukan! Sejak aku mengajarmu kedua macam ilmu silat tingkat tinggi itu, aku menghendakimu menjagoi dunia persilatan. Kalau kau bisa menjadi jago nomor wahid di dunia persilatan, mati pun aku tidak akan penasaran," kata Cen Tok Hang.

Ketika berkata begitu, nada suara Cen Tok Hang kedengaran agak sedih. Wajah pun berubah menjadi muram. Mendengar ucapan itu, Ouw Yang Hong pun telah melupakan apa yang dikatakan paman gurunya itu, bahkan yakin pula gurunya adalah orang yang amat baik.

Cen Tok Hang memandangnya.

"Apakah hatimu terganjal sesuatu, mengapa tengah malam ke mari?" tanyanya kepada Ouw Yang Hong.

"Ketika teecu berada di dalam ruang, mendadak paman guru muncul . . ." sahut Ouw Yang Hong dengan jujur.

Cen Tok Hang mengerutkan kening.

"Oh? Dia bilang apa padamu?"

"Suhu, teecu . . ." sahut Ouw Yang Hong terputus.

Cen Tok Hang menatapnya tajam.

"Apakah bocah itu memberitahukan padamu, bahwa aku yang mencelakainya?" tanyanya dengan suara keras.

Ouw Yang Hong mengangguk.

Cen Tok Hang tampak gusar sekali.

"Dia bilang aku yang mencelakainya ketika dia sedang berlatih Iwee kang, sehingga membuatnya mengalami jalan kesesatan, bahkan nyawanya nya-ris melayang kan?" tanyanya sengit.

Ouw Yang Hong mengangguk lagi.

Cen Tok Hang tertawa aneh, kemudian men-dadak melayang turun ke hadapan Ouw Yang Hong.

"Dia bilang gurumu orang jahat, kau percaya atau tidak?" tanyanya sambil menatapnya dalam-dalam.

Ketika melihat Cen Tok Hang begitu serius, Ouw Yang Hong segera menyahut dengan sungguh-sungguh.

"Aku tidak percaya, dia cuma omong sem-barangan. Walau dia adalah paman guru, namun tidak omong sesungguhnya."

"Dia memang berkata sesungguhnya!" kata Cen Tok Hang dengan lantang.
Ouw Yang Hong tercengang, sebab tidak tahu mengapa gurunya mengatakan begitu.
Cen Tok Hang berkata lagi.

"Kuberitahukan, gurumu ini adalah seorang jahat. Adalah makluk racun tua. Bukan hanya mencelakai paman gurumu, bahkan juga telah me-racuni para suhengmu. Kalau tidak, bagaimana mereka begitu takut padaku?"

Ouw Yang Hong tidak mengerti.

"Apakah henar apa yang dikatakan Guru, tidak membohongi teecu?" tanyanya dengan penuh rasa heran.

"Buat apa aku membohongimu? Kuberitahukan, kelak kalau kau berkecimpung dalam rimba persilatan, juga harus menggunakan huruf 'Racun'. Kalau kau tidak beracun, bagaimana bisa malang melintang dalam rimba persilatan? Kalau kau tidak menggunakan racun, orang lain pasti akan menggunakan racun terhadapmu. Kau pasti akan mati."

"Aku tidak mau berbuat begitu terhadap orang. Aku tidak sudi meracuni orang. Aku haik terhadap orang, orang juga akan haik terhadapku," kata Ouw Yang Hong.
"Baik terhadap orang, orang juga akan haik terhadapku!" kata Cen Tok Hang lalu tertawa gelak, tapi suara tawanya berubah sedih.

Ouw Yang Hong berpikir, mungkin gurunya pernah mengalami pukulan batin, maka menganggap tiada orang baik di dunia. Apakah aku harus seperti guru? Tentunya tidak. Sebab terhadap sesama manusia, aku harus memiliki perasaan.
Walau berpikir demikian, Ouw Yang Hong sama sekali tidak memprotes akan perkataan gurunya.

"Kau telah belajar ilmu Ha Mo Kangku, para suhengmu pasti tidak mengandung niat baik terhadapmu. Mereka pergi begitu jauh dan mem-bawamu ke mari, itu bukan atas kemauan mereka, melainkan karena terpaksa. Karena aku telah me-racuni mereka, agar mereka mau menunggu di kota Ciau Liang. Aku menghendaki seorang generasi penerus, tidak seperti mereka yang begitu goblok. Untung mereka menemukan dirimu, sehingga ter-penuhi harapanku. Setelah mereka membawamu ke mari, barulah kuberi mereka seorang sebutir obat pemunah racun, maka mereka bisa hidup hingga tahun depan."

Hati Ouw Yang Hong terasa dingin mendengar ucapan itu. Dia berkata dalam hati, kalau guru tidak baik terhadapku, bukankah aku juga akan seperti para suheng? Dia telah melakukan perjalanan bersama Cu Kuo Cia dan lainnya, maka sudah barang tentu timbul suatu kasih dalam hatinya terhadap mereka. Ketika mendengar ucap gurunya, timbullah tanda tanya dalam hatinya. Apakah gurunya sedang bergurau? Mengapa harus mengatakan begitu?

Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara seruan di luar.

"Suhu! Teecu mohon bertemu!"

"Lihatlah mereka datang lagi. Mereka pasti tiada urusan baik, mungkin akan membunuhku."

Orang tua itu tertawa dingin, sedangkan Ouw Yang Hong memandang ke depan, melihat Cu Kuo

Cia, Ciok Cuang Cak dan Su Bun Seng berdiri di depan. Di belakang mereka berdiri dua orang. Mereka berlima memandang ke dalam lubang po-hon dengan sikap hormat sekali.

"Suhu, teecu Cu Kuo Cia berlima mohon ber-temu!" Terdengar lagi suara seruan Cu Kuo Cia.

Cen Tok Hang yang berada di dalam lubang pohon cuma menengok, sama sekali tidak bersuara. Kemudian dia berpaling memandang Ouw Yang Hong.

"Selama ini kelima orang itu tidak berniat baik terhadapku. Kali ini mereka ke mari pasti akan mencelakaiku," katanya.

Ouw Yang Hong tidak begitu mempercayai omongan gurunya. Kelima suhengnya datang di tengah malam, pasti karena ada urusan penting. Kalau tidak, tentunya mereka tidak mungkin datang di tengah malam.

Kemudian dia memandang ke depan lagi. Men-dadak kelima orang itu menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu, ketika teecu berada di Kota Ciau Liang, teecu mendengar dari orang bahwa di dalam istana tersimpan arak wangi. Teecu semua sudah ke sana mengambil arak itu untuk Suhu," kata Cu Kuo Cia.

Ketika melihat kelima suhengnya berlutut de-ngan sikap begitu hormat, Ouw Yang Hong berkata dalam hati. Guru terlampau bercuriga, tidak mem-percayai para muridnya. Mereka berlima membawa arak wangi untuk guru, itu merupakan maksud baik. Namun guru justru mengatakan mereka berlima ingin mencelakainya. Bukankah itu tidak masuk akal?

Cen Tok Hang berkata kepada Ouw Yang Hong dengan suara ringan.

"Mereka pasti sudah menaruh racun ke dalam arak wangi itu . . ." Wajahnya berubah serius. "Kuberitahukan padamu, itu pasti arak wangi, tapi sudah beracun." Dia tertawa dingin. "Kau kira murid-muridku itu bernama kosong? Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng amat mahir menggunakan racun," lanjutnya lalu tertawa dingin lagi.

Cu Kuo Cia menaruh sebuah guci di atas tanah.

"Yang melahirkanku adalah ibu, yang menge-tahuiku adalah Guru. Walau teecu jatuh berada di Kota Ciau Liang, namun selalu rindu pada Guru. Teecu membawa arak wangi khusus untuk meng-hormati Guru," katanya.

Dia lalu mengeluarkan sebuah cangkir antik yang sangat indah. Cangkir itu terbuat dari giok, maka bergemerlapan ketika tertimpa cahaya rem-bulan.

Ketika melihat cangkir itu, Cen Tok Hang tam-pak tersentak.

"Cu Kuo Cia! Dari mana kau peroleh cangkir itu?" tanyanya.

"Suhu, cangkir ini merupakan benda pusaka dari Istana Ciau Liang. Teecu mencuri dari dalam istana. Kalau Suhu suka, silakan ambil!"

Cu Kuo Cia menuang sedikit arak ke dalam cangkir, lalu meneguknya.

"Cangkir giok berada di tangan, arak wangi berada di dalam cangkir giok. Sungguh sedap rasanya arak wangi ini!" katanya kemudian.

Usai berkata, Cu Kuo Cia menaruh cangkir itu di samping guci arak, lalu bersama saudara seperguruannya mundur tiga depa.

Kelihatannya Cen Tok Hang amat menyukai cangkir giok. Namun dia merupakan orang yang banyak curiga. Sepasang matanya terus menatap cangkir giok itu, yang bergemerlapan kehijau-hijauan tertimpa cahaya rembulan.

"Ouw Yang Hong, cangkir giok ini pasti cangkir giok itu. Pasti cangkir giok itu. Sudah sekian tahun aku ingin memilikinya, tapi Cu Kuo Cia yang berhasil memperolehnya. Sungguh tidak gampang memperoleh cangkir itu!"

Ouw Yang Hong tampak melongo. Sebab Cen Tok Hang mengatakan cangkir giok ini dan cangkir giok itu. Dia tidak mengerti akan maksud ucapan tersebut, maka hanya menatap orang tua itu dengan mata terbelalak.

"Cangkir giok itu dipergunakan Raja Toan di masa itu. Raja Toan amat romantis. Sebelah tangan memegang cangkir giok, yang sebelah lagi memeluk wanita cantik. Hidup manusia kalau bisa seperti Raja Toan, sungguh tidak sia-sia! Walau mereka berniat jahat dalam hati, tapi aku harus keluar untuk melihat cangkir giok dan arak wangi itu," kata Cen Tok Hang.

Orang tua itu lalu mengayunkan kakinya, ber-jalan ke luar meninggalkan lubang pohon.
Ouw Yang Hong melihatnya mendekati guci arak, kemudian mengambil cangkir giok itu. Cen Tok Hang tampak girang sekali. Jelas dia amat menyukai cangkir giok tersebut.

"Kalian memang berbakti, mempersembahkan arak wangi dan benda pusaka," katanya sambil memandang Cu Kuo Cia dan lainnya. Kemudian dia menatap Ciok Cuang Cak dan berkata dengan ringan dan lembut.

"Anak Cak, arak wangi ini tidak akan menim-bulkan penyakit apa-apa, bukan?"
Ciok Cuang Cak tersentak mendengar perta-nyaan itu. Dia segera berlutut seraya menyahut.

"Teecu tidak berani."

Cen Tok Hang tertawa dingin.

"Mengapa kau tidak berani? Suheng-suhengmu sudah puluhan tahun ikut suhu. Mereka amat ber-nyali dan serba bisa. Kenapa kau tidak berani?"

Sementara air muka Cu Kuo Cia dan lainnya tampak biasa-biasa saja. Orang tua itu duduk ber-sila, lalu sebelah tangannya membuka tutup guci arak, dan yang sebelah lagi mengambil cangkir giok. Setelah itu, mulailah dia meneguk arak wangi itu secangkir demi secangkir.

Berselang sesaat, dia memandang murid-muridnya seraya berkata.

"Bagus! Cu Kuo Cia, kalau kalian berlima bisa terus demikian terhadap suhu, cepat atau lambat pasti akan menerima manfaatnya."

"Suhu, arak wangi itu amat keras, jangan ter-lampau banyak minum!" kata Su Bun Seng.

Cen Tok Hang tampak tidak senang, maka langsung membentak gusar.
"Kau berani melarangku?"

Mendadak tangan orang tua itu bergerak, dan seketika tampak sebuah batu meluncur ke arah kepala Su Bun Seng. Di bawah cahaya rembulan, tampak kepala Su Bun Seng mengucurkan darah kehitam-hitaman.

Orang tua itu mencaci dengan sengit lagi.

"Cu Kuo Cia, kau memang telor busuk! Tahukah kau telah melakukan kesalahan?"
Cu Kuo Cia tersentak, dan segera memberi hormat.

"Suhu, teecu telah melakukan kesalahan apa?" Orang tua itu menyahut dengan mata melotot. "Arak ini sangat wangi dan sedap. Kenapa kau cuma membawa seguci untukku?"

Ouw Yang Hong cuma tertawa dalam hati.

Kelihatannya mereka adalah orang baik, hanya saja guru itu agak kelewatan dan bersifat aneh.

Di saat Ouw Yang Hong sedang berpikir, men-dadak terdengar gurunya bersiul panjang, kemu-dian tertawa dengan nada sedih, dan melesat ke hadapan Cu Kuo Cia.
Cu Kuo Cia dan lainnya segera meloncat ke belakang beberapa depa.

Orang tua itu menudingnya sambil berkata de-ngan suara gemetar.

"Kau . . . kau meracuniku?"

Badannya kelihatan sempoyongan, bahkan menggigil seperti kedinginan.
Dia segera duduk bersila dan menghimpun iwee kangnya. Di saat bersamaan, terdengar Cu Kuo Cia tertawa aneh dan berkata.

"Berhasil! Berhasil! Tua bangka ini jatuh ke tangan kita hari ini!"

Cu Kuo Cia dan lainnya mendekati Cen Tok Hang, sekaligus mengurungnya di tengah-tengah, namun tetap menjaga jarak. Kelihatannya mereka berlima masih merasa takut terhadap orang tua itu.

Begitu lama Cen Tok Hang duduk bersila. Tam-pak kepalanya mengepulkan uap putih.
Cu Kuo Cia menudingnya sambil berkata de-ngan penuh kebencian.

"Kau tidak menganggap kami sebagai murid, mengapa kami harus menghormatimu sebagai gu-ru? Kau meracuni kami dengan racun Pemutus Usus, membuat kami sangat menderita! Kau pun mengurung sanak keluarga kami di Perkampungan Liu Yun Cun! Kau memang harus cepat mampus, agar tidak menimbulkan malapetaka lagi!"

Cen Tok Hang mendongakkan kepala meman-dang Su Bun Seng, lalu berkata.

"Anak Bun, sejak kecil kau ikut aku, bahkan aku pun telah tiga kali menyelamatkan nyawamu! Tentunya hari ini kau tidak akan bersekongkol dengan suhengmu untuk mencelakaiku! Asal kau bisa membantuku memunahkan racun di dalam tubuhku, setelah aku sembuh, pasti menurunkan ilmu Ha Mo Kang padamu, dan mengangkatmu sebagai generasi kelima Perkampungan Liu Yun Cun ini."

Sebetulnya Ouw Yang Hong ingin menerjang ke luar, tapi setelah berpikir sejenak, dibatalkannya niat itu karena tahu dirinya masih bukan tandingan kelima orang itu. Kalau dia nekat menerjang ke luar, itu sama juga mencari mati. Ketika mendengar gurunya berkata begitu pada Su Bun Seng, giranglah hati Ouw Yang Hong.

Terdengar Su Bun Seng bertanya.

"Suhu, betulkah Suhu akan mengajarku ilmu Ha Mo Kang?"

Cen Tok Hang manggut-manggut.

"Betul."

"Baik, Suhu tunggu saja! Aku pergi sebentar," kata Su Bun Seng.

Cen Tok Hang mengerutkan kening.

"Bun Seng, kau tidak menolongku, kok malah mau pergi?"

Su Bun Seng tertawa.

"Aku akan pergi membunuh Ouw Yang Hong."

Cen Tok Hang bertanya.

"Mengapa kau ingin membunuhnya?" tanya Cen Tok Hang.

Su Bun Seng tertawa licik, lalu berkata.

"Kalau dia tidak mati, bagaimana Suhu akan mengajarkanku?"

Cen Tok Hang terdiam. Orang tua itu tidak menghendaki Ouw Yang Hong mati, sebab tindak-tanduknya menyerupainya. Lagi pula dia amat menyukai Ouw Yang Hong, bagaimana mungkin dibunuh secara sembarangan?

Su Bun Seng menatap Cen Tok Hang, kemudian tertawa dingin seraya berkata dengan dingin pula.

"Kau membohongiku, aku tidak akan terjebak. Aku harus menghabiskanmu!"

Cen Tok Hang membungkam, dan menunduk-kan kepala seakan sedang menunggu kematian.

Sudah tiga tahun, kelima orang itu berada di kota Ciau Liang. Dalam tiga tahun itu, mereka tidak mengerjakan apa-apa, hanya berpikir bagaimana membunuh Cen Tok Hang.

Hari ini rencana mereka telah berhasil, maka merasa girang. Namun mereka masih merasa takut, tidak tahu harus berbuat apa.

Berselang sesaat, Cu Kuo Cia berkata.

"Cen Tok Hang, serahkan kitab ilmu racun padaku. Kau juga harus menyerahkan ilmu Ha Mo Kang pada kami, agar kami membuatmu mati secara baik-baik!"

Cen Tok Hang tidak menyahut.

"Suhu, tubuhmu telah keracunan, dan tidak akan sembuh. Cepat atau lambat kau pasti mati. Maka, lebih baik kau serahkan kedua macam ilmu itu pada kami, agar kau bisa mati dengan tenang!" kata Su Bun Seng.

"Suhu, lebih baik serahkan saja agar suheng membiarkan Suhu mati secara baik-baik!" sambung Ciok Cuang Cak dengan terisak-isak.

"Selama ini aku Cen Tok Hang malang melin-tang, tak diduga justru akan mati di tangan kalian!" bentak Cen Tok Hang.

Cu Kuo Cia tampak puas sekali.

"Cen Tok Hang, kalau kau mati di tanganku, apakah kau akan merasa puas?" katanya sambil tertawa gelak.

Orang tua itu menundukkan kepala, kelihatan sudah putus asa.

Cu Kuo Cia memandang adik seperguruannya, kemudian berkata.

"Si Sute (Adik Seperguruan Keempat), ngo sute (Adik Seperguruan Kelima)! Majulah kalian, masing-masing herikan sebuah pukulan, agar dia terluka parah!"

Kedua orang yang pendiam itu memandang Cu Kuo Cia, kemudian memandang Cen Tok Hang yang duduk di tanah. Mereka berdua kelihatan serba salah. Sesungguhnya mereka berdua memang setuju bersekongkol dengan Cu Kuo Cia untuk mencelakai guru mereka itu, namun kalau harus turun tangan duluan, mereka berdua tidak berani melakukannya.

Begitu menyaksikan sikap kedua adik seper-guruannya itu, Cu Kuo Cia segera berkata.

"Kita berenam harus turun tangan agar dapat bertanggung jawab bersama!"

Apa boleh buat, kedua orang itu terpaksa maju untuk turun tangan terhadap orang tua itu. Si Sute berlutut di hadapan Cen Tok Hang, setelah itu meloncat bangun, sekaligus melancarkan sebuah pukulan.

Cen Tok Hang tidak mampu berkelit karena tubuhnya sudah keracunan. Maka pukulan itu tepat mengenai dadanya, sehingga membuatnya terpental lalu roboh dengan mulut menyemburkan darah segar.

Orang yang dipanggil ngo sute juga segera me-lancarkan sebuah pukulan ke arah orang tua itu, membuatnya muntah darah lagi.

Cu Kuo Cia tertawa gelak, sambil menatap orang tua itu, dan berkata.

"Suhu! Kau telah terluka parah, tidak mungkin bisa hidup lama lagi, lebih baik mati saja! Walau Suhu amat kaya raya dan memiliki begitu banyak benda pusaka, dan di perkampungan Liu Yun Cun ini juga tersimpan begitu banyak wanita cantik, tapi Suhu justru tidak bisa menikmatinya! Setiap hari Suhu cuma bergantung di pohon! Hidup seperti itu apa artinya? Karena itu, lebih baik mati saja! Suhu boleh berlega hati, kalau Suhu mati, pasti kami kubur baik-baik, dan sepersepuluh dari benda pu-saka Suhu, akan kami kubur juga bersama Suhu. Wanita-wanita cantik yang Suhu sukai itu juga akan kami bunuh, agar dapat mendampingi Suhu di alam baka! Baikkah begitu?"
Cen Tok Hang terbatuk-batuk beberapa kali, kemudian muntah darah lagi.

"Suhu, kami sudah memperoleh obat pemunah racun Pemutus Usus. Kami tidak akan mati tahun depan! Ha ha ha . . .!" kata salah seorang muridnya.

Kemudian Cu Kuo Cia berkata kepada Ciok Cuang Cak.

"Sam Sute, berikanlah sebuah pukulan! Tapi hati-hatilah, sebab kau harus menghancurkan se-belah kakinya!"

Ciok Cuang Cak diam. Kelihatannya dia tidak tega melakukannya. Akan tetapi, Cu Kuo Cia segera membentak.

"Satu sute, kau masih belum mau turun tangan?!"

Su Bun Seng berkata dengan dingin.

"Sam sute, aku lupa memberitahukan. Kalau kau tidak turun tangan, kemungkinan istrimu akan keracunan hari ini . . ."

Ciok Cuang Cak berseru kaget.

"Ji suko, kau mau apa?"

"Aku sudah berpesan pada istriku, apabila kami tidak pulang esok pagi, maka istriku akan mem-berikan sebutir pil Pemutus Nyawa untuk istrimu," sahut Ji suko itu dengan dingin.

Bukan main terkejutnya Ciok Cuang Cak. Dia menghela nafas panjang seraya berkata dengan lesu.

"Baik, aku menurut pada kalian."

Ciok Cuang Cak lalu maju ke hadapan Cen Tok Hang, setelah itu bersujud di hadapannya seraya berkata.

"Suhu, maafkan teecu berbuat dosa terhadap Suhu!"

Usai berkata begitu, mendadak Ciok Cuang Cak melancarkan sebuah pukulan ke arah kaki Cen Tok Hang. Orang tua itu menjerit menyayat hati dan roboh telentang seketika.

Cu Kuo Cia dan Su Bun Seng saling memandang sambil tertawa, kemudian Su Bun Seng berkata.

"Suheng, kau dan aku siapa duluan?" Cu Kuo Cia tersenyum.

"Kalau salah satu di antara kita turun tangan, dia pasti mampus. Nah, lebih baik kau saja yang turun tangan," sahutnya.

Su Bun Seng memandang Cu Kuo Cia. Kelihatannya dia amat menghormati suhengnya itu, namun di dalam hatinya penuh kebencian. Kau menghendakiku memikul dosa atas perbuatan ini. Cepat atau lambat kau pasti akan membunuhku pula. Kau amat keji dan licik, bagaimana aku akan masuk ke dalam perangkapmu? Akan tetapi, kalau dia tidak melakukan itu, tentunya tiada kebaikan bagi dirinya. Oleh karena itu, dia lalu berjalan ke hadapan Cen Tok Hang dan berkata.

"Suhu, maafkan teecu berlaku tidak hormat!"

Usai berkata, dia bersujud di hadapan orang tua itu.

"Ji Suheng, kami sudah bersujud di hadapan Suhu. Mengapa kau masih berbuat begitu?" kata Ciok Cuang Cak.

Su Bun Seng tersenyum.

"Kau bersujud dengan alasanmu, aku bersujud dengan alasanku pula! Suhu amat baik terhadap kita, hanya saja . . . tidak mau menurunkan kedua macam ilmu silat itu pada kita."

Setelah berkata begitu, mendadak dia meloncat bangun, sekaligus melancarkan sebuah pukulan ke arah Cen Tok Hang.

Orang tua itu menjerit menyayat hati. Dia ter-pental dan roboh pingsan seketika.
Betapa gusarnya Ouw Yang Hong menyaksikan semua kejadian itu. Dia tahu nyawa orang tua itu sulit diselamatkan. Tapi dia pun tahu, kalau dia keluar, pasti akan mati di tangan kelima orang itu. Maka, dia mengambil keputusan untuk tidak keluar. Setelah berhasil menguasai ilmu Ha Mo Kang, barulah dia akan menuntut balas terhadap mereka. Ouw Yang Hong berkertak gigi, matanya menatap kelima orang yang menyiksa Cen Tok Hang dengan mata berapi-api.

Berselang sesaat Cen Tok Hang mulai siuman. Dia duduk sambil menatap kelima orang itu sambil berkata perlahan-lahan.

"Kalian kira gampang membunuhku? Cu Kuo Cia, kemarilah, bunuhlah aku!"
Cu Kuo Cia memandang Su Bun Seng. Ke-lihatannya dia merasa tidak puas terhadap adik seperguruannya itu. Dengan kening berkerut, dia maju selangkah demi selangkah menghampiri Cen Tok Hang.

Setelah berada di hadapan orang tua itu, dia mengangkat sebelah tangannya, ke arah kepala orang tua itu. Apabila dia turun tangan, orang tua itu pasti mati.
Betapa gugup dan paniknya Ouw Yang Hong. Apa boleh buat dia harus menerjang ke luar demi menyelamatkan orang tua itu.

Akan tetapi, di saat bersamaan, terdengar pula suara orang, yang nadanya seperti anak kecil.

"Aaaah! Kau sungguh menyulitkan aku orang tua. Kalau aku menyelamatkanmu, kau pasti tidak akan mati. Tapi kalau kau tidak mati, justru membuat hatiku terganjel sesuatu. Namun asal aku masih hidup, bagaimana mungkin Cu Kuo Cia dan lainnya membunuhmu? Kalau berita penganiayaan terhadap guru ini tersiar keluar, bagaimana mungkin kami semua yang ada di bawah perguruan Kiu Sia Tok Ong masih punya muka untuk berkecimpung di dunia persilatan?"

Cu Kuo Cia dan lainnya menengok ke sana ke mari, namun tidak melihat siapa pun. Maka dia langsung membentak.

"Susiok, keluarlah! Cepat keluarlah!"

Terdengar suara tawa dan sahutan.

"Cu Kuo Cia, mau apa kau menghendakiku keluar? Kalau aku keluar, kau pasti celaka!"
"Susiok, suhu tidak baik terhadapmu! Kami membunuhnya, juga melampiaskan kemendong-kolan susiok lho!" kata Cu Kuo Cia.

Terdengar sahutan perlahan.

"Tidak bisa! Kalau kau membunuh suhengku, tentu akan tersiar ke dunia persilatan. Apakah aku masih punya muka? Lebih baik aku yang mem-bunuhnya, sebab aku setingkat dengannya. Bagai-mana menurutmu?"

Betapa girangnya hati Cu Kuo Cia dan lainnya mendengar ucapan itu. Apabila mereka yang mem-bunuh orang tua itu, tentu akan memikul nama busuk selamanya. Kini ada orang bersedia mem-bunuhnya, bukankah baik sekali?
Oleh karena itu, Cu Kuo Cia menyahut.

"Susiok, itu memang baik sekali!"

Mendadak berkelebat sosok bayangan yang ke-mudian berdiri di hadapan Cen Tok Hang. Bayangan itu ternyata Cha Ceh Ih, paman guru kecil.

Dia memandang Cen Tok Hang.

"Kasihan! Sungguh kasihan! Kukira kau pintar selama ini, tidak tahunya ceroboh! Bagaimana Cu Kuo Cia terhadapmu setiap hari, tentunya kau tahu! Mengapa kau menuruti kemauannya?" katanya lalu mengalihkan pandangannya kepada Cu Kuo Cia. "Kau menggunakan racun apa sehingga gurumu yang mahir racun terkena racunmu?" tanyanya.

Cu Kuo Cia merasa puas dalam hati, namun memperlihatkan sikap merendah.

"Susiok terlampau memuji. Ketika aku berada di Kota Ciau Liang, justru memperoleh suatu cara yang amat bagus. Cara itu disebut 'Setengah racun setengah racun dan setengah racun lagi!' Oleh ka-rena itu, disebut Tiga Setengah. Artinya arak sete-ngah racun, cangkir giok setengah racun dan orang pun setengah racun. Siapa yang terkena racun tersebut, pasti tidak bisa hidup. Guruku telah ter-kena racun itu, maka pasti akan mati!"

Cha Ceh Ih manggut-manggut.

"Cu Kuo Cia, beritahukan padaku! Bagaimana orang juga setengah racun?"

Cu Kuo Cia tahu Cha Ceh Ih berkepandaian amat tinggi, maka tidak berani menjawab dengan sembarangan.

"Arak bersifat keras dan mengandung api, se-dangkan cangkir giok amat dingin. Kalau arak dituang ke dalam cangkir giok, memang sedap sekali untuk diminum dan bermanfaat bagi orang. Tapi kalau orang terlampau banyak mengandung hawa panas, justru merupakan orang setengah racun. Karena itu, tiga setengah racun pasti mencabut nyawanya."

Cu Kuo Cia menjelaskan dengan bangga. Cha Ceh Ih manggut-manggut, kemudian memandang Cen Tok Hang seraya berkata.

"Orang yang berbuat jahat, tidak bisa berakhir dengan baik. Suheng, kau menyesal atau tidak?"

"Aku amat penasaran tidak dapat membunuh mereka, bagaimana menyesal?" sahut Cen Tok liang.

Cha Ceh Ih tertawa sambil bertepuk tangan. Sepasang biji matanya berputar-putar.

"Bagus! Bagus! Sudah muncul suatu ide yang bagus! Seharusnya aku yang paling membencimu! Tapi kini aku pun membenci Cu Kuo Cia, karena istrinya tidak memperbolehkanku makan kembang gula, bahkan anaknya juga berani berkelahi de-nganku. Sungguh kurang ajar sekali! Sedangkan istri Su Bun Seng, selalu bermuka masam terhadapku, lebih jahat dari Su Bun Seng! Aku harus membuat mereka menderita! Kalau kau sudah mati, bagaimana mungkin mereka masih akan menghar-gaiku? Tidak bisa! Tidak bisa! Kau tidak boleh mati!"

Usai berkata, dengan penuh rasa iba Cha Ceh Ih menghapus noda darah yang ada di wajah orang tua itu.

"Susiok, lebih baik kau jangan macam-macam! Kalau kami berlima maju serentak, kau pasti bukan lawan kami!" bentak Cu Kuo Cia.

Cha Ceh Ih bertepuk-tepuk tangan.

"Bagus! Bagus! Boleh berkelahi lagi!" sahutnya. Namun ketika dia baru mau maju, tiba-tiba teringat sesuatu. "Lupa! Aku lupa memberitahukan suatu urusan besar pada kalian!" Kemudian dia menunjuk Ciok Cuang Cak, sambil berkata perlahan-lahan.

"Bocah! Tadi aku berada di rumahmu, makan burung dara goreng bersama istrimu. Di saat sedang menikmati burung dara goreng, mendadak istrimu jatuh pingsan. Padahal udara tidak panas, namun dia justru pingsan. Sungguh mengherankan! Mungkin dia masuk angin?"

Ciok Cuang Cak terkejut bukan kepalang, lalu segera pergi.

"Kau harus cepat ke sana! Kalau tidak, nyawa istrimu pasti tidak akan tertolong!" seru Cha Ceh Ih di belakangnya.

Usai berseru Cha Ceh Ih pun tertawa, kemudian memandang Su Bun Seng seraya berkata.

"Su Bun Seng! Kau harus segera pulang menengok istrimu!"

Air muka Su Bun Seng berubah, lalu berkata dengan suara dalam.

"Isteriku selalu bermuram durja. Kalau Susiok membunuhnya, amat menggembirakan hatiku! Aku akan mencari istri yang lebih muda dan cantik, dan akan segera kuperkenalkan pada Susiok."

Ketika melihat Su Bun Seng tidak mencemaskan istrinya, Cha Ceh Ih menjadi agak gugup.

Sementara Cu Kuo Cia, Su Bun Seng dan kedua orang yang pendiam itu sudah mulai mendekati Cha Ceh Ih.

"Celaka! Mau bunuh orang!" teriak Cha Ceh Ih.

Walau Cha Ceh Ih berteriak-teriak, namun tiada seorang pun muncul di tempat itu. Sebab tempat itu merupakan tempat terlarang, maka tiada seorang pun berani ke tempat itu, kecuali Cha Ceh Ih, Ouw Yang Hong, Cu Kuo Cia dan beberapa adik seperguruannya.

Mendadak Cha Ceh Ih tampak gembira sekali. Dia memandang Cu Kuo Cia sambil tertawa.

"Betul! Betul! Aku masih menyimpan enam biji kembang gula, tapi telah kumakan satu biji. Kau katakan, masih tersisa berapa biji?"

Sebelum Cu Kuo Cia menyahut, Cha Ceh Ih sudah melanjutkan.

"Masih tersisa lima biji, kan? Tapi kenapa cuma tersisa empat biji? Waduh celaka! Pasti anakmu yang makan sebiji kembang gulaku!"

Air muka Cu Kuo Cia berubah hebat, dan dia tidak berani maju lagi.

"Toa suheng, jangan kau dengarkan kata-kata-nya! Kalau kita membunuhnya, pasti dapat mencari obat pemunah!"

Cha Ceh Ih memiringkan kepalanya, lalu me-nyahut sambil tersenyum.

"Oh, ya? Aku puya tujuh belas biji kembang gula. Setiap biji mengandung semacam racun. Ba-gaimana kalian bisa mencari obat pemunahnya? Anak kecil itu pasti sudah mati!"

Usai berkata, dia tertawa gelak sehingga badan-nya bergoyang-goyang.

Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar