Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 37

Kun Hong adalah seorang yang amat cerdik. Ia datang untuk minta tolong dan ia maklum pula bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tokoh ini sehingga tak akan ada gunanya kalau menggunakan kekerasan. Maka begitu melihat munculnya ‘Ratu’ ini dia serta-merta menyimpan pedang Cheng-hoa-kiam dan menjatuhkan diri berlutut!

“Mohon pengampunan dari Thai-houw bahwa teecu Gan Kun Hong berani berlaku lancang menghadap tanpa dipanggil." katanya dengan sikap hormat.

Wanita yang memang benar Kui-bo Thai-houw sendiri adanya itu mengeluarkan seruan heran. Tercengang ia melihat perobahan sikap pemuda tampan ini dan ia menarik napas panjang. Memang sudah menjadi kelemahannya selalu menjadi lunak kalau berhadapan dengan pemuda, apa lagi setampan ini! Akan tetapi ia masih belum percaya betul kepada Kun Hong dan setiap saat ia masih sanggup menjatuhkan tangan maut.

"Apakah Thai Khek Sian yang menyuruhmu datang ke sini?"

Kun Hong terkejut. Kiranya nenek ini sudah pula mengetahui bahwa dia adalah murid Thai Khek Sian, tentu dari gerakan silatnya. Nenek ini terlampau lihai sehingga dengan sekilas pandang saja sudah bisa mengenal ilmu silatnya. Celaka sekali kalau dia memusuhi suhu, pikirnya. Karena takut menggunakan nama suhu-nya yang ia tahu banyak dibenci orang di luaran, ia menggeleng kepala.

"Tidak, teecu datang atas kehendak sendiri."

Nenek sakti yang dulunya tentu seorang wanita cantik jelita ini menghela napas panjang, lalu terdengar suara ketawanya, halus merdu tetapi di dalamnya terkandung keluhan batin yang amat aneh kedengarannya.

"Haahhh…, manusia tak ingat budi itu mana mungkin masih ingat kepadaku..."

Biar pun masih muda tapi Kun Hong sudah mengenal banyak wanita dalam kehidupannya dulu di Pulau Pek-go-to. Ia dijadikan kekasih para selir gurunya sehingga banyak sudah ia mengenal wanita dan dapat menangkap isyarat-isyarat atau tanda-tanda perasaan yang terpancar keluar dari batin wanita melalui gerak-gerik mereka.

Maka hatinya segera berdebar ketika melihat dan mendengar sikap serta kata-kata Kui-bo Thai-houw. Tidak salah lagi, wanita ini pernah ‘ada apa-apa’ dengan gurunya, sedikitnya pernah ada hubungan akrab. Cepat-cepat ia berkata.

"Tetapi suhu pernah pesan kepada teecu bahwa kalau teecu ada rejeki bertemu dengan Thai-houw, teecu diperintah agar menyampaikan salam hormatnya dan semoga Thai-houw panjang usia dan hidup bahagia."

Meledak suara ketawa Kui-bo Thai-houw. Anehnya, bibirnya hanya bergerak tapi mulutnya tidak terbuka, bagaimana bisa dia mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan halus itu? Sekarang suara tawanya tidak mengejek seperti tadi melainkan geli dan sepasang mata yang masih bening itu bersinar-sinar.

"Anak nakal, kau kira aku tidak kenal bagaimana watak suhu-mu? Dia menarik dan binal, tapi tak pandai mengambil hati seperti kau! Tanpa diutus suhu-mu kau datang mencariku, tentu ada keperluan penting soal mati hidup. Kau berani melawan Thai It Cinjin, itu cukup memperlihatkan ketabahanmu. Kau memusuhi ayah dan hendak membunuh ayah sendiri, luar biasa puthauwnya (tidak berbaktinya) dan tentu terselip hal-hal yang aneh. Kau cukup menarik hati dan mengherankan, maka mari masuk dan ceritakan apa keperluanmu!"

Setelah berkata demikian Kui-bo Thai-houw memberi isyarat dengan tangannya, dan dari kanan kiri genteng muncul banyak gadis-gadis cantik yang membawa lampu. Kemudian ia melambaikan tangan menyuruh Kun Hong. mengikutinya.

Pemuda itu tidak berani membantah, dengan kepala tunduk ia pun mengikuti ratu itu turun dari atas genteng melalui sebuah anak tangga, terus memasuki bangunan besar di tengah kelompok bangunan rumah itu.

Ia menjadi tercengang ketika memasuki ruangan besar di rumah itu. Luar biasa terangnya dan luar biasa mewahnya. Para gadis berpakaian seperti pelayan-pelayan keraton kaisar, cantik-cantik dan gesit-gesit melayani Thai-houw dengan sangat hormat. Tempat tinggal suhu-nya di Pek-go-to juga mewah, juga selir-selir suhu-nya cantik-cantik, akan tetapi jika dibandingkan dengan keadaan di sini, masih kalah jauh,

Kui-bo Thai-houw membawanya ke dalam sebuah kamar besar yang indah dan mengambil tempat duduk di atas kasur yang ditilami sutera merah berkembang emas yang memenuhi sebagian kamar itu. Bantal-bantal sutera berkembang tersusun di situ.

Begitu Thai-houw menjatuhkan diri duduk di atas kasur yang empuk, empat orang gadis berbaju serba kuning cepat melayaninya, menyusun dua bantal di belakang punggungnya sehingga Thai-houw dapat duduk enak. Thai-houw lalu memangku sebuah bantal bundar dan berkata halus kepada Kun Hong yang masih berdiri membungkuk dengan hormat,

"Orang muda, kau duduklah."

Kun Hong bingung. Di mana ia harus duduk? Dengan canggung ia pun lalu duduk di atas lantai dengan dua kaki ditekuk ke belakang. Kui-bo Thai-houw mengeluarkan suara tawa perlahan dan empat orang gadis cantik berbaju kuning itu pun tersenyum-senyum.

"Lantai bukan tempat duduk. Pelayan Hijau, layani tamu!" kata nenek itu.

Bagaikan peri-peri kahyangan, muncul empat orang gadis lainnya yang berpakaian serba hijau, cantik-cantik manis seperti empat gadis yang berbaju kuning itu. Mereka itu segera menghampiri Kun Hong, menariknya bangun lalu menuntunnya duduk di atas kasur pula menghadapi Thai-houw Dari tarikan tangan mereka yang halus-halus Kun Hong mendapat kenyataan bahwa mereka itu tidaklah sehalus orang kira, melainkan di balik kehalusan itu bersembunyi tenaga lweekang tingkat tinggi!

Lalu datang silih berganti pelayan-pelayan cantik menghidangkan makanan dan minuman serta buah-buahan yang segar. Anehnya, mereka semua merupakan barisan dari empat orang. Setiap datang selalu empat orang dan hanya warna pakaian mereka yang macam-macam, ada yang serba kuning, serba hijau, serba merah, serba putih, biru dan lain-lain. Benar-benar mendatangkan suasana yang riang gembira dan sangat indah, seakan-akan mereka itu bunga-bunga memenuhi taman dan gerakan-gerakan mereka begitu halus dan indah seperti penari-penari ulung!

Kun Hong maklum bahwa mereka dapat bergerak demikian ringan hanya karena mereka memiliki ginkang yang tinggi maka dia menjadi semakin kagum. Para wanita yang tinggal bersama Thai Khek Sian di Pek-go-to juga rata-rata mempunyai kepandaian tinggi, akan tetapi agaknya masih kalah oleh pelayan-pelayan ini.

"Anak muda, sekarang kau ceritakan semua tentang dirimu dan tentang gurumu, kenapa kau bermusuhan dengan ayahmu Beng Kun Cinjin dan mengapa pula kau datang mencari diriku," kata Kui-bo Thai-houw sambil menatap wajah tampan di depannya itu.

"Teecu bernama Kun Hong, semenjak kecil kehilangan ibu yang telah dibunuh oleh Beng Kun Cinjin..."

"Aahhh, jadi kau anak Kiu Hui Niang?" Thai-houw itu memotong.

Kun Hong merasa heran mengapa wanita ini tahu mengenai hal itu. "Betul kata-kata Thai-houw, teecu anaknya. Kemudian teecu diangkat anak atau dipelihara oleh Seng-goat-pian Kam Ceng Swi dari Kun-lun-pai. Akhirnya teecu bertemu dengan suhu Thai Khek Sian lalu diambil murid sampai teecu dewasa. Karena inilah maka teecu dimusuhi oleh Kun-lun-pai dan pada suatu hari beberapa bulan yang lalu, dengan curang orang-orang Kun-lun-pai menangkap teecu dan melukai teecu dengan pukulan Im-yang-lian-hoan. Baiknya teecu sudah diobati oleh Liong Tosu dan oleh... Beng Kun Cinjin sendiri yang tadinya teecu tidak tahu bahwa dia ayahku sendiri. Teecu sudah sembuh dari luka pukulan itu, tetapi menurut Liong Tosu kalau teecu tidak diobati dengan Im-yang-giok-cu, umur teecu takkan panjang lagi. Karena itu teecu mohon pertolongan Thai-houw untuk memberi obat Im-yang-giok-cu kepada teecu..."

Kui-bo Thai-houw mengangguk-angguk setelah mendengarkan penuturan singkat ini. Dia adalah bekas selir dari Kerajaan Sung Selatan, tentu saja dia tahu akan segala apa yang terjadi di kota raja. Biar pun dia telah mengasingkan diri, tetapi dia masih selalu ingin tahu apa yang terjadi di utara dan selatan, bahkan dia ingin tahu juga apa yang terjadi di kota raja utara di mana Kaisar Bangsa Mongol memegang kekuasaan. Oleh karena itu dia juga mendengar tentang Beng Kun Cinjin, seorang hwesio yang roboh oleh kecantikan Kiu Hui Niang dan kejadian-kejadian selanjutnya dia ikuti dengan hati tertarik.

Dahulunya Kui-bo Thai-houw adalah selir Kaisar Sung Selatan yang terkasih. Akan tetapi setelah dijadikan kekasih nomor satu oleh kaisar, dia lantas mempunyai hati murka, ingin merobohkan kedudukan thai-houw (permaisuri).

Pelbagai jalan dia lakukan untuk merobohkan kedudukan permaisuri agar dia sendiri dapat diangkat menjadi permaisuri, akan tetapi gagal! Malah kalau ia tidak berkepandaian tinggi tentu ia sudah tertangkap dan dihukum mati.

Kegagalan ini membuat dia menjadi putus asa dan kecewa sekali, menyinggung batinnya mengganggu ingatannya. Semenjak itu dia menghilang dan tahu-tahu di Pulau Ban-mo-to muncul wanita cantik berilmu tinggi yang memakai julukan Thai-houw (Permaisuri)!

Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kui-bo Thai-houw ini mengumpulkan harta kekayaan dan benar-benar hidup seperti seorang permaisuri di pulau itu. Akan tetapi diam-diam dia sering termenung duka karena hidupnya ‘amat sunyi’, tidak ada suami tidak ada anak!

Sekarang bertemu dengan Kun Hong, tergeraklah hati nenek tua ini. Pemuda yang amat tampan ini menarik hatinya. Kalau saja dia bisa mempunyai kawan hidup seperti pemuda ini, tampan dan gagah, sebagai kekasih atau sebagai anak baginya sama saja!

Kun Hong sama sekali tidak tahu apa yang terkandung di dalam kepala wanita itu dan apa yang tersembunyi di balik sinar matanya yang masih bening dan tajam.

Kui-bo Thai-houw tersenyum manis mendengar penuturan Kun Hong.

"Anak baik, jangan kau khawatir. Semua maksudmu akan tercapai asalkan kau menuruti semua kataku dan kehendakku. Jangan khawatir, apa susahnya untuk mengobati lukamu itu? Juga apa sukarnya membunuh Beng Kun Cinjin? Jangankan hanya mengalahkan Thai It Cinjin dan semua urusan-urusan tak berarti itu, walau pun kau ingin merebut tahta kelak akan tercapai apa bila aku berada di sampingmu...” Wanita itu lalu tertawa merdu sekali tanpa membuka mulutnya.

Kun Hong menjadi bingung dan bulu tengkuknya meremang. Kata-kata wanita ini seperti bukan ucapan orang waras!

Kui-bo Thai-houw menoleh kepada pelayan baju merah. "Ambil guci berisi Liong-hiat-ciu (Arak Darah Naga) dan cawan emas!”

Empat orang gadis berpakaian merah bergerak cepat. Seperti pelayan-pelayan lain, kaki mereka tidak kelihatan karena tersembunyi di dalam baju yang panjang sampai terseret di lantai yang mengkilap bersih. Karena mereka tidak terlihat menggerakkan kaki, mereka itu seakan meluncur maju seperti terbang saja!

Tak lama kemudian mereka sudah muncul lagi, seorang membawa sebuah guci berwarna hijau indah sekali dan seorang lagi membawa sebuah nampan perak di mana terletak dua buah cawan merah berukirkan burung-burung sedang bercumbu. Indah bukan kepalang, merupakan barang berharga yang kiranya hanya dapat ditemui di dalam istana kaisar atau rumah gedung bangsawan dan hartawan besar.

Dengan gerakan lemah gemulai empat orang nona baju merah itu menurunkan guci lantas menaruh cawan-cawan itu di hadapan Kun Hong dan Thai-houw. Kun Hong duduk tanpa bergerak, kagum sekali dan hatinya berdebar. Dia mencium bau harum yang lain lagi dari nona-nona baju kuning dan baju hijau. Agaknya bukan hanya warna pakaian serta tugas pekerjaan mereka yang berbeda, bahkan minyak wangi yang dipakai pun berbeda-beda!

Tapi bau sedap yang keluar dan pakaian empat orang nona baju merah itu segera lenyap dan kalah oleh aroma harum yang keluar dari arak ketika minuman berwarna merah darah itu dituangkan oleh jari-jari tangan halus itu ke dalam cawan emas. Kun Hong memandang ke arah cawan emas di hadapannya. Timbul rasa muak ketika dia melihat warna arak itu karena merah seperti darah betul.

Agaknya Kui-bo Thai-houw dapat membaca pikirannya, maka sambil tersenyum wanita itu berkata. "Jangan kau sembarang sangka. Arak ini disebut Liong-hiat-ciu karena memang betul-betul digunakan darah naga sebagai campurannya. Akan tetapi biar pun darah naga, rasa arak ini tidak kalah oleh arak Nan-cang yang sudah disimpan ratusan tahun!"

Nenek itu lalu mengeluarkan sehelai kantong sutera kuning yang disulam sepasang naga berebut mustika. Dia membuka kantong itu dan silau mata Kun Hong ketika melihat batu-batu kemala yang amat indah itu, ada yang putih, ada merah, biru, kuning dan semuanya merupakan kumpulan batu yang amat indah dan mahal.

Kui-bo Thai-houw mengeluarkan sebutir batu kemala yang warnanya kehijauan. Dengan hati-hati sekali ia memasukkan batu giok itu ke dalam cawan arak Kun Hong, lalu katanya perlahan.

"Kau lihat. Arak ini bukan sembarang arak, giok (batu kemala) ini pun bukan sembarang giok, bisa mencair di dalam arak Liong-hiat-ciu ini. Nah sekarang telah mencair, hayo kita minum!" la mengangkat cawannya sendiri dan memberi isyarat supaya Kun Hong minum araknya yang sudah dicampuri batu kemala hijau yang mencair tadi.

Kun Hong tidak berani membantah. Dia maklum bahwa wanita ini jauh lebih tinggi ilmunya dari padanya dan apa pun yang akan dia lakukan, dia telah berada di tangan Kui-bo Thai-houw, maka tidak ada artinya membangkang. Lagi pula, bukankah dia datang untuk minta tolong?

Orang sudah berlaku baik menerimanya dengan segala kehormatan. Tak mungkin dengan minuman arak bercampur kemala itu Kui-bo Thai-houw akan berniat jahat. Kalau memang ingin mencelakakan dia, apa sukarnya bagi wanita ini? Apa perlunya mesti menggunakan minuman beracun seperti kelakuan penjahat-penjahat kecil yang rendah? Dengan pikiran ini, tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong mengangkat cawan emasnya dan minum arak merah itu sekali tenggak. Terdengar suara ketawa tertahan dari seorang nona baju merah ketika dia minum arak itu ditenggak habis sekaligus.

Kui-bo Thai-houw juga mendengar suara tawa ini karena tiba-tiba setelah menghabiskan araknya dia menoleh dan sepasang matanya memandang seorang di antara empat nona baju merah itu dengan pandang mata berapi!

Gadis baju merah itu tiba-tiba saja menggigil. Mukanya yang manis menjadi pucat dan dia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kui-bo Thai-houw sambil berkata lemah.

"Mohon ampun, Thai-houw..."

Kui-bo Thai-houw mengeluarkan senyum mengejek, alisnya tetap berkerut dan ia berkata, terdengar halus tetapi mendesis seperti ular marah, "Kau berani mentertawakan kami ya? Hayo keluarkan hatimu, hendak kulihat bagaimana besarnya maka kau seberani itu!"

Setelah minum arak bercampur batu giok itu Kun Hong merasa tubuhnya ringan dan enak sekali. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk tertawa-tawa dan bergembira seperti orang mabok. Ia mengerahkan tenaga melawan desakan ini dan tetap tinggal diam dan tenang.

Tetapi melihat kejadian di depannya itu dia menjadi heran dan bingung. Dia tidak tahu apa artinya perintah terakhir itu dan hatinya berdebar, siap untuk menolong nona baju merah itu kalau hendak dicelakakan.

Dia melihat nona itu mengeluarkan isak tertahan setelah mendengar perintah ini dan tiga orang nona baju merah yang lain segera berlutut dengan tubuh gemetar. Juga nona-nona rombongan baju berwarna lain yang berada di situ pada pucat mukanya akan tetapi tidak berani berkutik. Kemudian terjadilah hal yang agaknya tak akan dapat dilupakan oleh Kun Hong selama hidupnya.

Dia melihat nona baju merah itu mendadak bangun berdiri dan mulai menanggalkan baju atasnya, dilepaskannya semua begitu saja di depan Thai-houw, berarti di depan matanya juga. Tak lama kemudian nona itu sudah berdiri dengan tubuh bagian atas telanjang sama sekali dan di tangan kanannya tergenggam sebilah pisau pendek yang berkilauan saking tajamnya.


Kemudian, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, gadis itu menusukkan pisau ke dadanya yang berkulit putih itu, membelek dan tangan kirinya bergerak cepat dimasukkan ke dalam dada melalui luka lalu merenggut sebuah jantung yang masih berlumur darah! Kemudian tubuh itu roboh tak bernapas lagi di depan Kui-bo Thai-houw dan Kun Hong!

Kui-bo Thai-houw memberi aba-aba keras dan seorang nona berbaju merah yang lainnya sudah menyambar jantung yang berada di tangan kiri kawannya yang sudah mati itu, lalu memberikannya kepada Thai-houw. Tanpa banyak cakap nenek ini lalu merobek jantung menjadi dua dan memasukkannya ke dalam cawan araknya dan cawan arak Kun Hong. Nona baju kuning yang diberi perintah lalu memenuhi lagi cawan-cawan itu.

Kun Hong melompat berdiri, mukanya pucat sekali dan berpeluh. Dia berdiri memandang mayat nona baju merah yang setengah telanjang itu dengan mata terbelalak.

"Ini... ini... terlalu sekali... keji...!" katanya gagap.

Mendadak dia merasa tangannya ditarik ke bawah yang memaksanya duduk kembali dan terdengar suara lirih halus,

"Kun Hong kau duduklah kembali yang enak!"

Pemuda itu terduduk dan aneh sekali, kepalanya mulai berputar-putar rasanya dan semua yang ada di situ tampak berputaran. Akan tetapi ia tidak merasai sesuatu yang tidak enak, bahkan tubuhnya terasa nyaman sekali. Dia masih dapat mendengar Thai-houw memberi perintah, kemudian nona-nona dalam berbagai macam pakaian warna-warni itu hilir-mudik dengan cepat membawa pergi mayat nona baju merah dan membersihkan lantai. Minyak wangi disiram di lantai mengusir bau darah yang amis.

"Kun Hong, Liong-hiat-ciu dan jantung anak dara itu merupakan obat yang amat mujarab guna memperoleh usia panjang. Minumlah." Di dalam ucapan yang terakhir ini terkandung pengaruh begitu luar biasa kuatnya sehingga seperti dalam mimpi Kun Hong minum arak dari cawannya. Terasa sesuatu yang manis dan hangat-hangat. Kemudian ia teringat dan membelalakkan mata berusaha sekuat tenaga untuk menguasai pikirannya.

"Thai-houw, mana Im-yang-glok-cu? Yang kuminum tadi bukanlah Im-yang giok-cu karena menurut pendengaranku, Im-yang-giok-cu harus dimakan dengan ramuan obat..." Biar pun ia berada di bawah pengaruh obat luar biasa, kecerdikan Kun Hong tidak menjadi lenyap, maka ia masih bisa menggunakan akal untuk memancing.

Kui-bo Thai-houw tertawa merdu. "Kau kira begitu mudah aku melepaskan Im-yang-giok-cu biar pun itu untuk menyambung nyawamu? Harus kulihat dahulu apakah nyawamu itu berguna bagiku atau tidak. Yang kau minum adalah Liong-hiat-ciu yang bisa melemahkan kemauanmu, maka semenjak saat ini kau harus tunduk kepada segala kehendakku. Jika kelak kau ternyata seorang anak baik, mudah saja mengobatimu dengan Im-yang-giok-cu. Jadi pantas tidaknya kau untuk tetap hidup tergantung dari kau sendiri selama berada di sampingku.” Wanita itu tertawa lagi.

Kun Hong yang hendak melompat karena marah dan merasa tertipu itu tiba-tiba merasa tubuhnya kehilangan semua tenaga. Pandang matanya kabur, lalu tanpa disadari dia telah terguling dan kepalanya rebah di atas pangkuan Kui-bo Thai-houw.

Kun Hong bermimpi atau hidup seperti di dalam mimpi. Ia seperti lupa akan segala, tidak mempunyai kemauan lagi. Tahunya bahwa dia harus tunduk, taat. dan setia kepada Thai-houw yang kadang-kadang bersikap sebagai kekasihnya, terkadang pula sebagai ibunya! Ia hidup di dalam dunia yang aneh penuh keganjilan, penuh keseraman, penuh keindahan dan kesenangan.

Dia disebut Thai-cu (pangeran) dan diperlakukan sebagai pangeran pula. Semua gadis-gadis cantilk berpakaian aneka warna itu menjadi hambanya, menjadi pelayannya! Malah empat orang wanita kembar yang aneh dan lihai itu juga menjadi pelayannya! Dia hanya tahu bahwa Thai-houw amat baik padanya, memberi pelajaran ilmu silat yang aneh-aneh sehingga kepandaiannya maju pesat, juga beberapa bulan kemudian wanita ini memberi obat Im-yang-giok-cu kepadanya setelah ia betul-betul dianggap sebagai anak dan juga... sebagai kekasih…..!

********************

Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang hidup seperti di lain dunia dalam keadaan setengah sadar di bawah pengaruh obat perampas ingatan, hidup dalam keadaan mimpi di bawah kekuasaan Kui-bo Thai-houw, tokoh yang benar-benar hebat mengerikan dan luar biasa kejamnya itu.

Sudah lama kita meninggalkan Wi Liong. Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah berhasil merenggut nyawa Siok Lan dari bahaya maut ketika gadis itu hendak membunuh diri dan terjun ke dalam jurang, Wi Liong tidak dapat menolong dirinya sendiri dan kaitan kakinya pada akar pohon terlepas membuat tubuhnya melayang turun ke dasar jurang!

Sudah diceritakan pula betapa Kwa Cun Ek yang merasa berterima kasih kepada pemuda itu menuruni jurang dan mencari-cari. akan tetapi tidak dapat menemukan tubuh pemuda itu, hanya melihat bekas darah beserta robekan pakaian. Kwa Cun Ek pulang dengan hati duka, menyangka bahwa pemuda penolong puterinya itu tentu telah tewas dan mayatnya digondol binatang buas, entah harimau entah ular besar.

Betul demikiankah keadaan Wi Liong, seperti yang dikirakan oleh Kwa Cun Ek? Betulkah Thio Wi Liong, pemuda perkasa dan berhati mulia itu sudah tewas dalam keadaan yang mengerikan?

Memang kadang kala nasib mempermainkan manusia dan sering kali terjadi hal-hal yang dalam anggapan manusia dan menurut perhitungan manusia tampaknya seperti tidak adil. Banyak manusia berhati baik bernasib buruk dan sebaliknya orang-orang berhati buruk bernasib baik. Memang pekerjaan Thian penuh rahasia yang sebagian besar tidak dapat ditembus oleh akal budi manusia sehingga terlihat janggal. Akan tetapi kali ini Thian betul-betul masih melindungi orang baik, dalam hal ini Thio Wi Liong.

Kalau dipandang sepintas lalu, memang tidak masuk akal sekali kalau seorang manusia jatuh ke dalam jurang itu tidak kehilangan nyawanya. Jurang itu sangat dalam, lagi pula di bawahnya terdapat tetumbuhan liar dan batu-batu karang yang amat keras. Sekali tubuh manusia jatuh menimpa batu-batu itu pasti akan hancur lebur.

Akan tetapi apa yang terjadi dengan Wi Liong? Ketika tubuhnya melayang ke bawah, dia merasa dadanya sesak tak dapat bernapas dan ia menjadi pingsan karenanya. Tubuhnya tertumbuk-tumbuk akar dan batu, terlempar ke kanan kiri hingga pakaiannya robek-robek. Namun justru pakaian yang robek-robek inilah yang menolong nyawanya.

Pakaian yang robek itu melambai-lambai ketika dia jatuh dan kebetulan sekali, kita hanya bisa memakai kata kebetulan karena kekuasaan Thian demikian anehnya sehingga kata-kata yang sesuai bagi manusia hanyalah kebetulan, ujung pakaian itu mengait pada kayu pohon yang menonjol keluar di tebing jurang dekat dasar. Tubuh Wi Liong tersentak, lalu terputar-putar akan tetapi justru ini membuat ‘ikatan’ pakaiannya dengan kayu pohon itu menguat dan mencegah kejatuhannya ke bawah. Demikianlah, kini Wi Liong ‘tergantung’ di kayu pohon itu dalam keadaan pingsan!

Aneh, bukan? Tidak, tidak aneh sesudah kita mengetahui sebab-sebabnya. Di sana ada kayu pohon menonjol, baju Wi Liong terbentur-bentur sampai robek-robek dan ‘kebetulan’ menyangkut pada kayu itu. Tidak aneh, hanya kebetulan! Dan kebetulan ini pun tak aneh sebab selama hidupnya dia adalah seorang pemuda yang berhati baik dan juga berpikiran bersih.

Ketika ia siuman kembali, pertama-tama yang terasa oleh Wi Liong adalah tubuhnya yang sakit-sakit. Ia mengerang perlahan kemudian menggerakkan tubuhnya, akan tetapi sukar digerakkan dan ia merasa seakan-akan kedua tangannya terbelenggu. Ketika ia membuka mata dan kesadarannya sudah pulih betul, barulah ia tahu bahwa tubuhnya tergantung di udara pada ujung kayu pohon, bajunya dari bawah sampai leher tergulung ke belakang di kayu itu sehingga kedua tangannya seperti ditekuk ke belakang. Ia tergantung tidak jauh dari dasar jurang, hanya lima enam kaki lagi.

Wi Liong bergidik. Sekarang terbuka matanya dan tahulah dia bahwa nyawanya tertolong pada detik-detik terakhir. Kemudian dia teringat kepada Siok Lan. Wi Liong tersenyum!

Memang ada betulnya juga kalau orang bilang bahwa orang muda yang bercinta itu sudah miring otaknya! Buktinya Thio Wi Liong ini. Diri sendiri berada dalam keadaan seperti itu, lebih mati dari pada hidup kok masih bisa tersenyum begitu teringat kepada Siok Lan! Dia tersenyum karena girang ketika teringat bahwa dia sudah berhasil menolong gadis itu dari bahaya maut. Akan tetapi tiba-tiba mukanya yang berseri itu berubah, bahkan dua titik air mata turun ke atas pipinya, bibirnya berbisik, "Bu-beng Siocia... Sok Lan... ahh, manusia tolol kau!"

Dengan gemas sekali Wi Liong menggerakkan kedua tangan memberontak, tangan kanan dipakai menampar kepalanya sendiri. Oleh gerakan ini bajunya yang menyangkut di kayu menjadi robek dan ia jatuh ke bawah, baiknya tidak tinggi dan ia terguling ke atas rumput becek dan basah.

Gila tidak? Memang orang muda yang dimabok cinta sering melakukan tindakan-tindakan gila, lucu, dan... mengharukan. Betapa tidak? Lihat saja si Wi Liong itu. Pemuda tampan ganteng, berkepandaian tinggi sebagai murid tunggal Thian Te Cu. Gagah perkasa dan berwatak budiman, namun kini seperti anak kecil atau seperti orang yang miring otaknya, bergulingan di atas rumput becek sambil menangis dan menyebut-nyebut nama Bu-beng Siocia dan Siok Lan!

"Aku harus mencari dia, aku harus minta ampun kepadanya... ahhh, Siok Lan... aku... aku menolakmu karena tidak tahu bahwa kaulah Bu-beng Siocia..."

Wi Liong bangun berdiri tapi terguling pula karena pahanya terasa sakit sekali. Ia meraba pahanya dan ternyata pahanya terluka berdarah.

Ia tersenyum! Siok Lan yang melukainya dengan pedang. Dia tentu mau mengampuniku, dia sudah melukaiku. Tapi aku tidak boleh sembrono, harus mencari perantara. Suhu...? Ahh, suhu mana mau mencampuri urusan perjodohan? Paman Kwee? Ahh, justru paman Kwee yang sudah memutuskan pertunangan itu.

Demikianlah, sambil merawat lukanya Wi Liong melakukan perjalanan keluar dari tempat itu, memasuki hutan kemudian mengembara dalam hutan seperti orang yang kehilangan ingatannya. Pakaiannya compang-camping, mukanya kurus kotor, dan dia hanya makan buah-buah kalau perutnya sudah tak tertahankan lagi laparnya.

Ia mengembara terus hingga beberapa pekan tanpa tujuan tertentu sebab ia masih selalu merasa bimbang. Hatinya ingin sekali mendatangi rumah Kwa Cun Ek di Poan-kun untuk menemui Siok Lan dan minta ampun, akan tetapi dia bergidik kalau teringat betapa gadis itu akan menjadi marah-marah begitu melihatnya. Bagaimana kalau Siok Lan mengambil keputusan pendek membunuh diri lagi kalau melihat dia datang?

Akhirnya dia menguatkan hatinya dan pergilah Wi Liong ke Poan-kun. Sepasang kakinya gemetar gelisah ketika dia berjalan memasuki pekarangan depan rumah kekasihnya itu. Mulut serta tenggorokannya terasa kering sehingga beberapa kali ia menelan ludah untuk menenangkan hatinya.

Rumah itu sunyi saja. Dia naik anak tangga dan tiba di ruangan depan. Semua pintu dan jendela tertutup. Dia bertambah heran, lalu maju ke pintu dan diketuknya pintu itu. Sunyi saja. Diketuknya lagi agak keras.

Terdengar tindakan kaki di sebelah dalam.

Wi Liong mundur tiga tindak dan jantungnya berdebar-debar keras. Siapakah yang akan keluar? Kwa Cun Ek, Tung-hai Sian-li, ataukah Siok Lan sendiri? Dia melirik pakaiannya dan mukanya tiba-tiba merah. Bagaimana perasaan Siok Lan kalau melihat keadaannya yang seperti pengemis itu? Secara otomatis dia cepat-cepat membetulkan letak topinya yang selama ini miring di kepalanya tetapi tidak pernah dipedulikan.

Terdengar derit suara pinlu dibuka dari dalam dan... seorang pelayan laki-laki sudah tua muncul, memandang kepada Wi Liong penuh selidik.

"Mencari siapa?" tanyanya kurang hormat karena keadaan Wi Liong dengan pakaiannya yang tidak karuan itu memang tidak bisa memancing penghormatan orang.

Sekarang kembali lagi darah Wi Liong yang tadinya sudah meninggalkan mukanya dalam ketegangannya menanti siapa yang akan muncul di depannya. Ketenangannya yang tadi sudah terbang pergi entah ke mana kini juga kembali lagi.

"Lopek, aku mencari Kwa-lo-enghiong...,” katanya.

"Tidak ada orang... tidak ada orang sama sekali di rumah. Semua pergi, mula-mula siocia, lalu hujin lalu Kwa-loya sendiri... hanya ada aku yang menjaga rumah," jawab pelayan itu.

Kembali Wi Liong pucat mukanya, kini pucat karena gelisah. Ke mana mereka pergi dan kenapa pula pergi?

"Lopek, ke mana mereka pergi dan kenapa?" Mulutnya menirukan suara hatinya, dengan suara perlahan agak gemetar.

"Siapa tahu? Kwa-loya tidak meninggalkan pesan apa-apa kecuali harus menjaga rumah baik-baik. Kau siapakah mau tahu segala urusan?”

Wi Liong menarik napas panjang, tidak tahu harus menjawab apa dan pelayan itu nampak marah karena diganggu, tanpa berkata apa-apa lagi lalu membanting daun pintu di depan hidungnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar