Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 41

Demikianlah, pemuda ini jalan terus dengan cepatnya, tersenyum-senyum karena merasa tubuhnya enak dan kosong, ringan sekali. Sepasang kakinya seperti mesin bergerak maju tanpa tujuan. Pada saat seperti itu teringatlah kembali ia akan ajaran-ajaran Thian Te Cu, akan wejangan-wejangan dan gemblengan-gemblengan ilmu batin, dan insyaflah ia bahwa selama ini ia ditunggangi oleh nafsunya sendiri.

Bahwa selama ini ia tergila-gila pada Siok Lan karena nafsu mudanya, karena kebetulan Siok Lan memiliki bentuk wajah serta potongan tubuh yang mencocoki seleranya, karena segala gerak gerik dara itu menyentuh perasaannya, membangkitkan nafsu dan kasihnya. Padahal semua itu kosong be!aka, buktinya kini sesudah semua nafsu dan perasaannya padam oleh kesadarannya bahwa Siok Lan tidak mencintanya, dia tidak merindu lagi!

Memang manusia kadang-kadang menggelikan sekali. Bodoh mengaku pandai, itulah sifat setiap orang. Wi Liong, pemuda hijau mengaku pandai, merasa telah dapat membongkar rahasia cinta seorang gadis seperti Siok Lan! Terlalu hijau dia, terlalu muda, hanya tahu tentang cinta dari perkiraan belaka, dari logika mentah.

Mana dia tahu akan hikmat cinta kasih, akan kemurnian cinta kasih di lubuk hati seorang gadis, mana dia bisa mengira bahwa pada saat ia tersenyum-senyum mentertawakan diri sendiri dan Siok Lan itu, pada saat ia berfilsafat tentang cinta, pada saat itu Siok Lan telah membunuh diri di Sungai Wu-kiang, sengaja untuk menyusul dia yang dikira sudah mati!

Mana ia tahu akan kasih sayang seperti yang memenuhi hati Chi-loya terhadap Silok Lan. sehingga laki-laki gagah ini rela pula mati bersama Sioik Lan, mayatnya terapung-apung di samping mayat Siok Lan, di permukaan air Sungai Wu-kiang! Akan tetapi memang jauh lebih baik bagi Wi Liong jika tidak mengetahui tentang semua ini, tidak mengetahui untuk selamanya.

Karena hasil renungan dan filsafatnya tentang cinta, akhirnya Wi Liong dapat memulihkan semangatnya dan dapat menerima nasib. Ia anggap bahwa Siok Lan tidak cinta padanya dan bahwa gadis itu sekarang telah menjadi nyonya Chi yang hidup beruntung, kaya raya, suami mencinta. Dia malah merasa merdeka karena tidak ada lagi ikatan baik ikatan lahir sebagai bekas tunangan mau pun ikatan batin sebagai bekas kekasih. Dia sekarang telah bebas, merdeka…..!

********************

Beberapa bulan kemudian pemuda ini sudah sampai di Tung-ting. sebuah telaga besar di Propinsi Hu-nan. Bersama dengan banyak pelancong dia menikmati keindahan telaga ini dan berdiam di situ sampai berpekan-pekan. Dia sengaja bermalam di dalam sebuah kuil tua yang terdapat dalam hutan kecil di barat telaga, kuil yang sudah rusak dan tidak ada penghuninya.

Setiap hari orang dapat melihat pemuda ini sedang memancing ikan sambil melamun di pinggir telaga. Atau melihat dia dengan senangnya memanggang ikan hasil pancingannya di kuil tua itu, makan seorang diri dengan lahap dan nikmatnya! Atau kadang kala ia juga memilih tempat yang sunyi di ujung barat telaga, di mana masih liar tanamannya dan tak pernah dikunjungi orang, dan di sinilah ia setiap hari mandi di antara batu-batu tinggi yang menonjol di pinggir telaga. Sampai berjam-jam dia berenang ke sana ke mari, memukui-mukul air dan merasa segar sehat lahir batin.

Sementara itu di balik segerombolan batu-batu besar di tepi telaga terjadi hal yang aneh tetapi lucu. Tadinya nampak seorang kakek kecil pendek bermata besar yang berpakaian pengemis, tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat bambu dan tangan kirinya memegang sebuah mangkok butut.

Kakek ini memandang ke arah Wi Liong yang sedang mandi, lantas tertawa-tawa sendiri, agaknya merasa lucu menonton orang mandi bertelanjang bulat di telaga itu. Kemudian ia pergi sambil berlari-lari, langkah kakinya ringan sekali sampai-sampai Wi Liong yang lihai juga tidak mendengar langkah kakinya.

Tidak lama kemudian kakek itu datang lagi berlari-lari bersama seorang gadis cantik yang berwajah muram.

"Dialah orangnya yang akan dapat menolong kita membasmi iblis-iblis itu!" kata kakek itu sambil berlari-lari.

"Siapa sih yang suhu maksudkan?" tanya gadis cantik itu sambil berlari di samping suhu-nya.

"Nanti kau lihat sendiri, tentu kau mengenalnya!" Kakek itu terkekeh lalu membawa gadis itu ke balik gerombolan.batu besar tadi. Sesudah tiba di tempat itu, dia menunjuk ke arah setumpuk pakaian yang berada di situ sambil berkata,

"Nah, itu dia orangnya dan ini pakaiannya. Hayo kita curi pakaiannya untuk memaksa dia berjanji!"

Dara itu memandang heran ke arah tumpukan pakaian pria yang bersih dan ditumpuk rapi di atas batu licin, kemudian menurutkan tempat yang ditunjuk suhu-nya ia memandang ke air dan... seketika itu wajahnya menjadi merah sekali dan cepat-cepat dia memutar tubuh membuang muka ketika ia melihat seorang pemuda bertubuh tegap berkulit kuning berada di air bertelanjang bulat. Baiknya pemuda itu membelakangi mereka.

"Ahh, suhu sungguh membikin malu orang...!" katanya sambil berdiri membelakangi orang mandi itu.

"Eeh... eeeh, bagaimana sih kau ini? Orang itu bukan orang sembarangan. dialah pemuda yang dahulu pernah kita jumpai di Kelenteng Siauw-lim-si, pemuda sakti yang... yang jadi pilihanku. Patutnya kau menjadi isteri orang seperti itu, Eng Lan. Untuk apa kau menanti-nanti pemuda macam Kun Hong yang tidak setia dan tidak memegang janji?"

"Suhu... harap jangan berkata begitu...," gadis itu mengeluh.

Wi Liong sekarang mendengar suara mereka dan cepat ia menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang kakek dan seorang gadis cantik yang ia kenal sebagai Pak-thian Koai-jin dan muridnya, Pui Eng Lan si gadis hitam manis! Ia kaget bukan apa-apa, hanya saja ia sedang dalam keadaan telanjang dan pakaiannya justru bertumpuk di dekat kakek dan gadis itu! Cepat-cepat dia menyelam sehingga sekarang hanya kepalanya saja yang kelihatan, dengan muka kemerah-merahan di permukaan air yang jernih.

"Sekarang dia sudah tidak terikat lagi, pertunangannya dengan puteri keluarga Kwa sudah putus..." Wi Liong mendengar ucapan terakhir kakek itu. Ia merasa heran mengapa kakek itu berkata demikian karena dia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

"Ahh, kiranya locianpwe Pak-thian Koai-jin yang berada di sana dan nona Pui Eng Lan... harap suka menyingkir dulu agar aku dapat... berpakaian," katanya gagap.

Muka Eng Lan menjadi semakin merah dan gadis ini tak dapat berdiam lebih lama lagi di situ, terus saja mengangkat kaki pergi menjauhi tempat itu tanpa menoleh lagi.

"Ha-ha-ha-ha…!" Pak-thian Koai-jin tertawa, matanya bersinar-sinar. "Orang muda, kalau pakaianmu ini kuambil dan kubawa pergi, kau mau bisa bikin apa terhadapku?”

Wi Liong terkejut sekali. Dia memang sudah mendengar tentang keanehan kakek ini yang amat nakal. Dulu pun kakek ini pernah secara mendadak dan terang-terangan di hadapan orang banyak hendak menjodohkan dia dengan Eng Lan! Sekarang kakek ini mengancam hendak mengambil pakaiannya, bisa celaka dia!

"Jangan, locianpwe yang baik. Kalau kau ambil, habis aku bagaimana? Janganlah ganggu aku, biar lain kali aku membalas kebaikanmu itu!"

"Betul-betulkah? Mau kau berjanji akan membalas kebaikanku kalau tidak jadi mengambil pakaianmu? Hayo janji!"

"Aku berjanji," kata Wi Liong yang benar-benar tak berdaya menghadapi kakek nakal ini.

Pak-thian Koai-jin tertawa terbahak-bahak. "Jika begitu lekas kau naik berpakaian, lantas kita bicarakan tentang perjodohanmu dengan muridku. Pui Eng Lan."

Seketika tubuh Wi Liong menjadi lemas dan hampir dia tenggelam ke dalam air sesudah mendengar ucapan ini.

"Jika... jika urusan itu... aku... aku tidak bisa menjalani, locianpwe..." ratapnya bingung,

"Heh-heh-heh, dahulu kau menggunakan alasan sudah bertunangan, sekarang bukankah pertunanganmu dengan puteri keluarga Kwa itu telah diputuskan? Ada keberatan apa lagi kau? Coba katakan, apakah muridku itu kurang manis, kurang denok dan kurang gagah? Hayo katakan kalau kau pikir begitu!”

Menghadapi kakek nakal ini. Wi Liong benar-benar merasa tobat dan ia melihat Eng Lan yang berdiri jauh membelakangi mereka telah terisak menangis. Tentu saja gadis itu bisa mendengar semuanya. Kasihan, pikirnya. Kemudian dia teringat akan hubungan gadis itu dengan Kun Hong. Tak salah lagi, gadis itu mencinta Kun Hong. Maka dia lalu mendapat akal dan berkata dengan suara tetap,

"Locianpwe, bukan sekali-kali aku mencela muridmu, malah aku seorang yang rendah dan bodoh ini mana patut menjadi jodohnya? Tetapi sekali kegagalan dalam perjodohan sudah lebih dari cukup bagiku, locianpwe..." Wi Liong tersenyum masam, "usulmu itu baik sekali, namun sayang hanya terbatas pada keinginanmu sendiri. Tentu aku tak akan membantah andai kata nona Pui sendiri yang berkata bahwa dia... dia suka menjadi jodohku. Hanya itulah syaratku."

Pak-thian Koai-jin membanting-banting kakinya dan menggaruk-garuk kepalanya. "Mana bisa? Mana dia mau...?”

"Tentu saja dia takkan mau karena hatinya tidak condong kepadaku. Locianpwe, perkara perjodohan harus diserahkan kepada yang akan menjalani barulah tepat karena suka duka perjodohan kelak hanya dua orang yang akan merasai."

"Suhu, mari kita pergi, kalau tidak teecu akan pergi sendiri!" terdengar Eng Lan berkata.

Kini hilang kekhawatirannya akan dipaksa berjodoh dengan Wi Liong setelah mendengar ucapan pemuda itu. Di dalam hatinya ia berterima kasih kepada pemuda ini.

"Nanti dulu... nanti dulu..." Pak-thian Koai-jin menudingkan tongkatnya kepada Wi Liong. "Ehh, orang muda, kau pintar mengakali aku orang tua. Akan tetapi kau masih kalah janji, sekarang kau harus mau berjanji untuk menolong aku membasmi iblis-iblis Ngo-tok-kauw (Perkumpulan Lima Racun).”

"Baik, aku berjanji, locianpwe, asal perkumpulan itu memang sudah sepantasnya untuk dibasmi."

"Tentu saja pantas dibasmi. Kau datang saja menyusul kami ke hutan sebelah utara kota Siang-tan, di sanalah sarang mereka."

“Baik, locianpwe, aku pasti akan menyusul ke sana," janji Wi Liong yang menjadi girang sekali dapat terbebas dari godaan kakek nakal itu.

Pak-thian Koai-jin kemudian pergi menyusul muridnya sambil mengomel panjang pendek, hatinya amat kecewa karena lagi-lagi Eng Lan menolak pilihannya. Ia suka sekali kepada Wi liong dan akan besarlah hatinya kalau mempunyai murid mantu seperti dia!

Setelah bayangan dua orang itu lenyap, baru Wi Liong berani naik ke darat dan memakai pakaiannya dengan hati lega. Dalam hatinya dia berjanji, lain kali tidak akan mandi tanpa pakaian dan meninggalkan pakaian begitu saja. Bagaimana kalau ada orang jahil mencuri pakaiannya? Tentu terpaksa dia akan merendam diri sampai malam gelap, barulah berani keluar. Sungguh celaka!

Kemudian ia ingat akan janjinya. Ngo-tok-kauw? Perkumpulan apakah itu? Belum pernah ia mendengar nama ini. Sebelum utara kota Siang-tan? Siang-tan tak terlalu jauh letaknya dari situ. Aku sudah berjanji, harus kupenuhi janji itu. Setelah mengambil keputusan ini Wi Liong lalu berangkat menuju ke Siang-tan…..

********************

Kota Siang-tan letaknya di sebelah selatan Tung-ting di mana mengalir Sungai Kemala. Ketika Wi Liong sedang berlarian menuju ke selatan dan menjelang senja dia sudah tiba di sebelah utara kota itu, dia melihat Pak-thian Koai-jin sudah menantinya di pinggir jalan, di luar hutan!

"Cepat, muridku telah mereka culik...!" kata-kata pertama yang menyambutnya ini sangat mengejutkan hati Wi Liong.

"Locianpwe, harap kau memberi penjelasan dahulu. Siapakah mereka itu? Apakah orang-orang Ngo-tok-kauw yang kau sebutkan tadi? Mengapa locianpwe memusuhi mereka dan bagaimana pula nona Pui dapat terculik?”

Pak-thian Koai-jin memukulkan tongkatnya di tanah, kelihatan tidak sabar.

"Aku sudah menunggu sejak siang tadi, setelah bertemu masa hanya disuruh mengobrol? Mengobrol tidak ada gunanya, paling perlu cepat bertindak menolong muridku!"

"Akan tetapi aku harus tahu lebih dulu duduknya perkara, locianpwe. Tidak sempurna jika bertindak tanpa dipikir dulu, bukan?"

"Alaaa, sudahlah. Mari kuceritakan sambil berjalan. Jangan-jangan muridku telah mereka tewaskan selagi kita mengobrol di sini!" Setelah berkata demikian kakek itu lantas berlari memasuki hutan. Terpaksa Wi Liong juga berlari karena pemuda ini terkejut mendengar ucapan tadi.

Sambil berlari cepat, kakek itu secara singkat menceritakan bahwa Ngo-tok-kauw adalah perkumpulan agama baru yang muncul di pantai laut selatan. Sebetulnya perkumpulan ini tidak bisa disebut perkumpulan jahat karena para anak buah atau anggotanya tak pernah mengganggu orang lain, dan mata pencaharian mereka adalah mencari batu-batu Sungai Kemala yang ternyata kaya akan batu-batu berharga. Hanya saja, mereka mengandalkan kepandaian mereka untuk mengusir setiap orang nelayan yang berlalu lintas di sepanjang sungai itu dan seakan-akan menganggap sungai itu milik mereka! Memang mereka sering kali membantu kehidupan para nelayan, memberi sumbangan sejumlah uang besar untuk para nelayan yang miskin.

"Kalau begitu mereka tidak jahat!" seru Wi Liong terheran.

"Mereka memang tidak melakukan praktek-praktek jahat, akan tetapi mereka kejam dan ganas luar biasa. Setiap nelayan yang berani membantah perintah mereka, yang berani berperahu di sungai itu, tanpa ampun akan mereka bunuh dan mayat nelayan itu mereka jadikan bahan untuk racun-racun mereka yang jahat!"

Wi Liong melebarkan matanya, ngeri dan heran.

"Tetapi kenapa perkumpulan mencari batu kemala itu memakai nama kauw (perkumpulan agama)?"

"Entah, siapa tahu! Mereka menyembah ular-ular berbisa, yang menjadi kauwcu (ketua agama) juga seorang wanita tua seperti ular.” Sampai di sini Pak-thian Koai-jin kelihatan ngeri dan takut. “Hebat sekali kauwcu itu, ilmunya amat tinggi dan bila aku tidak panjang langkah, tentu sudah mampus di tangannya!"

"Locianpwe, mengapa kau dan muridmu memusuhi mereka sampai nona Pui sekarang diculik?”

"Dasar Eng Lan yang keras kepala. Kalau dia mau memilih kau sebagai calon suami, kan beres, tidak timbul permusuhan dengan Ngo-tok-kauw..." kakek itu mengomel, membuat Wi Liong terheran-heran. "Bocah itu kegilaan si Kun Hong murid Thai Khek Sian itu dan ia sambil menangis minta bantuanku mencarikan batu kemala yang disebut Im-yang-giok-cu, katanya batu itulah yang akan dapat menyambung nyawa Kun Hong yang terluka hebat oleh pukulan Im-yang-lian-hoan dari Kunlun-pai. Katanya dia rela mempertaruhkan nyawa untuk mencarikan obat pemuda itu..." Pak-thian Koai-jin menarik napas panjang. "Orang muda kalau sudah jatuh cinta, otaknya menjadi miring...!"

Wi Liong merasa terharu sekali, terharu dan juga terkejut. Dia teringat bahwa Kun Hong memang sudah terluka hebat ketika bersama Eng Lan mengunjunginya di Wuyi-san, akan tetapi dia tidak menyangka bahwa itulah luka akibat Im-yang-lian-hoan dari Kun-Iun-pai.

"Aku bukan guru Eng Lan saja, akan tetapi dia telah kuanggap seperti anak sendiri. Ayah mana yang tidak akan bingung ditangisi anaknya seperti itu? Terpaksa aku lalu berusaha mencari Im-yang-giok-cu di Sungai Kemala."

"Kenapa di sungai itu?"

"Im-yang-giok-cu hanya dimiliki oleh Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to. Kalau batu itu sudah berada di tangan biang iblis itu, siapa orangnya berani mencari ke sana? Walau pun aku sudah tua bangka tapi aku belum ingin mampus, maka aku mengajak Eng Lan mencari di Sungai Kemala karena tidak ada batu apa pun yang tidak terdapat di sungai itu. Nah, hal itulah yang menyebabkan timbulnya permusuhan antara kami dan Ngo-tok-kauw. Mereka melarang aku mencari batu di sungai itu, kemudian terjadilah pertempuran. Aku dan Eng Lan masih sanggup melawan anak buah mereka, tetapi setelah muncul pentolan-pentolan mereka, benar-benar berat. Maka aku dan Eng Lan terpaksa melarikan diri, dikejar terus sampai ke Tung-ting di mana kebetulan sekali aku bertemu dengan kau. Tadi ketika aku dan Eng Lan tiba di hutan ini, tiba-tiba kami diserang oleh orang-orang Ngo-tok-kauw dan Eng Lan diculik mereka! Kau sih yang datang terlambat!"

Wi Liong terkejut sekali. Kalau terhadap pentolan-pentolan saja kakek sakti ini sampai tak berdaya, betapa hebatnya kepandaian kauwcu mereka! Dalam urusan ini, biar pun masih sulit disebut siapa benar dan siapa salah, akan tetapi keselamatan Eng Lan kini terancam dan bagaimana juga dia harus menolong nona itu dari bahaya maut.

Sementara itu senja sudah terganti malam. Sebetulnya kalau orang berada di luar hutan, mungkin cuaca belum begitu gelap. Akan tetapi hutan itu liar dan dipenuhi pohon-pohon besar, maka keadaan di situ sudah sangat gelapnya. Pak-thian Koai-jin berhenti di bawah sebatang pohon siong tua. lalu berkata perlahan.

"Sarang mereka berada di sana itu, di sebelah barat sungai yang mengalir di dalam hutan ini. Kita harus berhati-hati karena mereka itu rata-rata mempunyai kepandaian tinggi dan kini penjagaan tentu diperkuat. Ketika aku pertama kali menyerbu dengan Eng Lan, kami mengambil jalan dari sungai, tetapi sekarang mereka tentu sudah menjaga tepi sungai."

Mendengar suara kakek itu terdengar jeri sekali, Wi Liong tersenyum dalam gelap. Fihak musuh tampaknya memang luar biasa hebatnya, kalau tidak tak mungkin dapat membikin jeri kakek sakti ini yang telah terkenal di dunia kang-ouw, terutama sekali di utara, tempat asalnya.

"Harap locianpwe suka menunggu di sini saja dulu dan biarkan aku mencari tahu tentang kedudukan mereka. Kalau mungkin akan kutolong nona Eng Lan dan kubawa keluar dari sarang mereka. Mereka belum mengenalku, perhatian mereka tentu kurang, tidak seperti terhadap locianpwe."

Pak-thian Koai-jin sudah mengenal pemuda ini dan sudah tahu pula tentang kelihaiannya, maka ia mengangguk dan hanya memesan, "Kalau mendapat kesulitan harap bersuit tiga kali dan... hati-hatilah, mereka benar-benar lihai sekali."

Wi Liong mengangguk sambil tersenyum, lalu berkelebat dan lenyap di dalam kegelapan hutan itu sesudah mendapat petunjuk di mana sarang perkumpulan itu. Ia menyelinap di antara pohon-pohon besar. Matanya awas dan gerakannya amat gesit sehingga di tempat yang demikian liar dan gelap dia masih dapat bergerak dengan lincah dan cepat.

Betul saja, ia melihat penjaga-penjaga di dalam hutan itu, penjaga-penjaga yang menjaga di sekeliling bangunan-bangunan megah yang merupakan sebuah dusun kecil di tengah hutan liar itu. Para penjaga ini mengenakan pakaian biasa, hanya topi mereka saja yang seragam, yaitu topi kebundaran seperti bentuk kepala ular dan lima warna pula!

Gerak-gerik mereka memang menunjukkan bahwa mereka itu terdidik dan berkepandaian ilmu silat, akan tetapi tentu saja tingkat mereka masih sangat rendah kalau dibandingkan dengan Wi Liong, maka di antara mereka itu tak seorang pun yang dapat mendengar atau melihat kedatangan Wi Liong yang bergerak sangat lincan dan cepat. Dengan mudah saja Wi Liong menerobos penjagaan itu dan memasuki perkampungan Ngi-tok-kauw.

Keadaan di perkampungan itu terang-berderang, sungguh jauh bedanya dengan di dalam hutan tadi. Pohon-pohon sudah dibabati sehingga perkampungan itu nampak bersih dan pada saat itu nampak penerangan memenuhi tengah-tengah perkampungan. Sementara itu bulan purnama yang baru mulai muncul menambah terangnya cuaca, tapi keadaannya sunyi saja.

Pada waktu Wi Liong mendekati sebuah rumah di pinggir, di situ kosong saja. Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang yang datangnya dari tengah perkampungan yang terang itu. Ia cepat melompat naik ke atas genteng dan bergerak maju menuju ke tengah.

Kiranya para anggota Ngo-tok-kauw sedang berkumpul di sebuah lapangan yang agaknya sengaja dibuat di tengah perkampungan, semacam alun-alun yang tidak begitu luas akan tetapi cukup untuk menampung para anggota yang jumlahnya sekitar lima puluhan orang laki-laki wanita.

Seperti para penjaga tadi, baik laki-laki mau pun wanita yang berkumpul di situ semuanya memakai topi berbentuk kepala ular yang berwarna lima, hanya bentuknya berbeda, kalau wanita memakai hiasan bunga-bunga sutera di kepala.

Kini orang-orang itu sedang duduk mengelilingi seorang nenek tua berpakaian hitam yang keadaannya terlihat amat mengerikan. Wanita tua ini bertubuh kecil tinggi dan kini sedang berlenggak-lenggok, gerak-geriknya mirip seperti ular. Ketika itu ia tidak duduk, melainkan berbaring di atas tilam permadani, kadang-kadang melingkar, kadang-kadang mengangkat kepala, gerak geriknya meniru ular, tapi terdengar dia mengeluh dan mengaduh, agaknya menderita sakit.

Para anggota Ngo-tok-kauw duduk di atas rumput begitu saja mengelilingi tempat nenek itu yang cukup lega. Seperti juga para anggotanya, nenek yang menjadi kauwcu (ketua perkumpulan agama) ini pun mengenakan topi berbentuk kepada ular.

Dari jauh Wi Liong dapat melihat bahwa memang topi yang dipakai nenek itu terbuat dari pada kepala ular asli. Bahkan mata dan taring ular itu masih kelihatan di atas kepalanya, menimbulkan pemandangan yang mengerikan. Tidak jauh dari tempat nenek ini berbaring tampak sebatang tongkat hitam bengkak-bengkok yang panjangnya sekitar dua meter dan tertancap di atas tanah seperti tonggak.

Selain nenek ini, yang duduk di dalam lingkaran orang-orang itu nampak tiga orang muda duduk di pojok. Yang seorang adalah Pui Eng Lan, duduk di atas tanah dengan kaki dan tangan terbelenggu kuat. Gadis yang wajahnya pucat ini terlihat merasa ngeri memandang nenek itu, tapi dia sama sekali tidak kelihatan takut, malah sinar matanya memancarkan keangkuhan.

Di sebelah kiri Eng Lan duduk seorang gadis lain, gadis cantik berkulit kemerahan yang dari mata dan bibirnya menunjukkan watak yang genit dan cabul. Lirikan-lirikan matanya tajam, bibirnya tersenyum-senyum dan pakaiannya sangat ketat membungkus tubuhnya sehingga potongan dan bentuk tubuhnya tercetak nyata, apa lagi kain pakaiannya terbuat dari sutera tipis. Pakaiannya indah dan pada punggungnya tergantung sebatang pedang pendek.

Di sebelah kanan Eng Lan duduk seorang pemuda bertubuh tinggi besar dan tegap, juga pakaiannya indah dan kelihatan gagah sekali. Sayang mukanya hitam dan bopeng (burik), hidungnya terlalu besar dan matanya terlampau sempit, mulutnya tidak pernah tertutup. Pendeknya, muka yang takkan menimbulkan rasa suka pada hati wanita. Pada pinggang pemuda yang usianya dua puluh lima tahun ini juga tergantung sebatang pedang panjang.

Dengan sepintas lalu Wi Liong memandang ini semua dan ia heran dan ingin tahu apakah yang akan terjadi selanjutnya. Tidak mudah untuk menolong Eng Lan begitu saja karena tempat gadis itu duduk telah dikurung.

Di sudut lain terdapat lima buah keranjang bambu yang bentuknya bundar, tingginya dua kaki. Wi Liong tidak tahu apakah isi keranjang itu. Dia menanti saat baik untuk menolong Eng Lan, sambil bersembunyi memperhatikan nenek yang dapat diduga tentulah kauwcu Ngo-tok-kauw. Pada saat itu nenek yang tubuhnya seperti ular ini nampak marah-marah, berguling-gulingan gelisah dan berdengus-dengus, menambah keseraman keadaannya.

"Aku masiih kuat...! Aku tidak akan mati...! Siapa bilang aku terlalu tua menjadi kauwcu? Hayo bilang, siapa berani berkata demikian?!" tiba-tiba nenek itu menggeliatkan tubuhnya dan tahu-tahu dia sudah berdiri, tinggi dan kecil seperti pohon bambu.

Di antara para anggota yang duduk mengelilingi tempat itu, tak ada yang berani berkutik. Mereka kelihatan takut sekali kepada nenek itu. Nenek itu kemudian memutar tubuhnya menghadapi dua orang muda tadi, matanya jelilatan dan Wi Liong melihat sepasang mata kemerahan.

"Kalian berdua bukan anak-anak keponakan yang baik! Kalian berdua adalah anak-anak yang puthauw (durhaka). Kalau tahu kalian bakal menentangku, sejak dulu ketika masih bayi sudah kucekik mampus. Ha-ha-hi-hi!" Wanita itu menggerak-gerakkan kepalanya.

Batu-batu permata yang menghias leher dan dadanya bergemerlapan terkena sinar obor dan bulan. Memang rata-rata anggota Ngo-tok-kauw, apa lagi gadis dan pemuda di dalam lingkaran itu, memakai banyak permata-permata atau batu batu kemala yang bermacam-macam warnanya.

"Pek-bo (uwa), kami mengusulkan pengunduranmu demi kebaikanmu sendiri. Kau sudah tua, lebih baik mengaso dan biarkan kami yang muda-muda bekerja menggantikanmu," terdengar pemuda buruk rupa itu berkata.

"Coba dengar, menyebut pek-bo. Apakah aku sudah kau anggap bukan kauwcu-mu lagi?" bentak wanita tua itu sambil menggeliat-geliatkan pinggang seperti seorang penari perut.

"Hih, sudah tua tidak tahu tuanya!" gadis genit itu mencela sambil meruncingkan bibirnya yang merah.

"Ciu Kim!" Nenek itu membentak marah sambil menghentak-hentakkan tongkat hitamnya yang sudah dicabut, matanya bersinar-sinar menatap wajah gadis itu.


Akan tetapi gadis bernama Ciu Kim itu juga berdiri tegak, tangan kanan meraba gagang pedang, siap untuk menanti serangan, sikapnya menantang sekali.

Nenek itu ragu-ragu, lalu menghela napas panjang dan suaranya seperti orang menangis ketika berkata, "Anak-anak nakal... dulu kutimang-timang... dulu kuajar silat... tapi setelah lebih pandai malah melawan...!"

Pada saat itu, dari luar lingkaran orang tampak melompat masuk lima orang kakek yang pakaiannya berbeda beda. Seorang berpakaian serba merah, ke dua serba putih, ke tiga serba hitam, ke empat serba kuning dan ke lima serba hijau, tapi topi mereka serupa, lima warna dan berbentuk kepala ular. Melihat sikap mereka serta pakaian mereka, Wi Liong menduga bahwa mereka inilah kiranya yang disebut pentolan-pentolan Ngo-tok-kauw oleh Pak-thian Koai-jin dan yang telah mengalahkan kakek itu bersaima muridnya.

Melihat lima orang itu, kauwcu Ngo-tok-kauw menghentikan kemarahannya dan bertanya, “Ada laporan apa?”

Si baju hitam menjawab hormat. "Kauwcu, Pak-thian Koai-jin datang lagi dengan seorang pemuda, akan tetapi pemuda itu lenyap entah di mana sedangkan Pak-thian Koai-jin tidak memasuki batas penjagaan, hanya berkeliaran di luar saja."

"Hih-hih-hih. tua bangka mabok itu. Mau apa dia? Tidak usah dijaga, biar dia masuk kalau berani. Kalian berlima di sini saja, menjadi saksiku." Lima orang pembantu ketua itu lalu duduk di atas tanah di belakang tempat duduk ketua dan diam tak bergerak.

"Kalian dua orang bocah durhaka tidak berhak bersikap sesuka hati sendiri!" si nenek itu kembali menghadapi Ciu Kim dan pemuda itu yang bernama Hak Lui. "Akulah kauwcu dan aku pula yang menetapkan siapakah yang menjadi penggantiku. Karena kau berdua kurang ajar, biar aku yang memilih. Dan aku memilih dia ini! Mulai sekarang dia menjadi muridku dan kelak akan menggantikan kedudukanku menjadi kauwcu dari Ngo-tok-kauw!" Nenek ini menudingkan telunjuknya ke arah Eng Lan. Tentu saja Eng Lan menjadi kaget dan heran bukan main.

Hak Lui mengerutkan kening memandang kepada Eng Lan sedangkan Cui Kim melompat ke depan lantas menghunus pedangnya.

"Tua bangka mau mampus! Kau sudah gila? Dahulu perkumpulan ini dengan susah payah didirikan oleh ayah bundaku. Setelah mereka meninggal, kau lalu menjadi kauwcu hanya karena aku dan kakak misanku Hak Lui masih kecil. Sekarang kami sudah dewasa, maka akulah yang berhak menggantikan kedudukan ayah ibuku sebagai Ngo-tok-kauwcu. Masa kau mau berikan kepada orang lain dengan begitu saja? Aku tidak membolehkannya!"

"Cui Kim! Kau punya hak apa melarangku dan mengangkat diri sendiri menjadi kauwcu?" bentak nenek itu marah.

"Kau tanya hakku? Hak sebagai ahli waris pendiri Ngo-tok-kauw! Hak sebagai orang yang terbaik, tercantik, paling kuat dan pandai di sini. Siapa yang tidak setuju boleh maju dan mencoba pedangku!"

Nenek itu menoleh kepada lima orang pembantunya. "Hayo, mengapa kalian diam saja? Bocah ini hendak memberontak, tangkap dia!" perintahnya.

Akan tetapi lima orang itu saling pandang dan tidak bergerak. Kemudian yang berpakaian putih berkata,

"Kauwcu, mana bisa kami melawan Theng-siocia? Tugas kami hanya membantunya dan membantu kauwcu, akan tetapi bukan melawannya."

Nenek itu makin marah. Ia membanting-banting kakinya dan tubuhnya makin menggeliat-geliat aneh, itulah tanda bahwa dia marah sekali.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar