Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 57

"Ehh, kalian masih belum berangkat?" Kui-bo Thai-houw menegur mereka.

Seorang di antara dua gadis kembar itu, Lin Lin, menjawab dingin, "Kami hendak berpamit dari bibi lebih dulu."

"Hemm...!” Kui-bo Thai-houw menghela napas panjang, mendongkol tetapi selanjutnya dia diam saja melihat empat orang pelayannya, yaitu empat orang nenek kembar yang lucu itu bangkit menghampiri Lan Lan dan Lin Lin yang menjura memberi hormat.

"Bibi, kami berdua akan berangkat. Mungkin kami takkan kembali ke pulau ini, harap bibi menjaga diri baik-baik," kata Lan Lan.

"Anak-anak yang baik..."

"Baik-baiklah menjaga diri...”

"Turut saja kehendak ayahmu...”

"Kelak kalau kawin undang kami..."

Demikian empat orang nenek kembar itu memesan saling sambung.

"Keluarlah! Keluarlah!" Kui-bo Thai-houw membentak marah.

Pada saat itulah Lin Lin baru melihat Kun Hong. Kaget sekali dia dan di lain saat dia telah mencabut pedangnya lalu melompat ke depan Kun Hong.

"Kau... di sini...? Bagus, sekarang ada kesempatan bagiku membunuhmu!" Pedangnya diangkat hendak menyerang.

"Tahan...!" Kui-bo Thai-houw berseru marah bukan main. "Lin Lin, apa artinya kekurang-ajaranmu ini?"

"Thai-houw, dia membunuh cici Kim Li, sahabat baikku!" Lin Lin berkata nyaring.

"Kun Hong, betulkah kau membunuh sahabatnya bernama Kim Li?”

"Tidak, Thai-houw, aku tidak membunuhnya."

"Masih hendak menyangkal?!" Lin Lin membentaknya.

Kun Hong mendongkol sekali. Dia teringat betapa gadis ini hampir saja membuat dia mati terjerumus ke dalam tebing itu, akan tetapi ingat pula bahwa gadis ini yang menolongnya sehingga dia tidak terus terjerumus.

"Kalau seandainya aku membunuhnya, untuk apa aku menyangkal? Lagi pula antara dia dan aku tidak ada permusuhan…" Kun Hong tiba-tiba menahan mulutnya, teringat betapa dia telah membunuh ayah Kim Li.

Tiba-tiba Kui-bo Thai-houw tersenyum. "Tidak usah ribut-ribut. Orang-orang gagah tidak perlu bertengkar mulut, untuk apa membawa pedang dan belajar silat? Dari pada kalian bertengkar mulut, lebih baik kalian memutuskan kebenaran masing-masing melalui ujung pedang. Kun Hong, kau boleh pakai pedangku itu. Hayo keluar dan siapa takut dianggap bersalah!"

Bukan main kagetnya Kun Hong mendengar ucapan beracun ini. Ia hendak membantah, akan tetapi gadis itu, Lin Lin yang matanya seperti... tiba-tiba Kun Hong teringat sesuatu yang membuatnya berdebar. Mata gadis ini seperti mata Tung-hai Sian-li! Tak salah lagi.

Pernah Tung-hai Sian-li memandang kepadanya seperti itu, penuh kebencian. Kemudian pernah pula memandang penuh kekaguman sewaktu dia melepaskan Tung-hai Sian-li dari tahanan.

“Siok Lan adalah puteri Tung-hai Sian-li”, kata Eng Lan ketika itu.

Gadis ini rupanya persis Siok Lan dan matanya seperti Tung-hai Sian-li. Apakah ini bukan berarti bahwa bocah kembar ini puteri Tung-hai Sian-li?

Terpaksa Kun Hong mengikuti keluar pula dan anehnya, dengan wajah berseri-seri Kui-bo Thai-houw juga bertindak keluar di belakangnya, kemudian wanita ini berbisik, "Dia sangat lihai, tetapi aku percaya kau akan menang. Lebih baik kau bunuh mati gadis berbahaya itu..."

Bisikan ini membuka mata Kun Hong dan tahulah dia bahwa kehadiran dua orang gadis kembar itu di Ban-mo-to, bahkan di dunia ini, sesungguhnya tidak dikehendaki oleh Kui-bo Thai-houw. Tentu ada apa-apanya ini.

Kalau memang Kui-bo Thai-houw tidak suka kepada mereka, mengapa tidak turun tangan membunuh mereka sendiri? Mengapa seakan-akan hendak meminjam tangannya untuk melenyapkan dua gadis kembar itu?

Diam-diam Kun Hong mengertak gigi. Tidak bisa, pikirnya. Dulu aku pernah menjadi kaki tanganmu, menurut saja kau suruh menyerang orang. Sekarang tidak lagi!

Dia sudah berhadapan dengan Lin Lin yang memegang pedangnya. Sikap gadis ini gagah sekali dan pasangan kuda-kudanya juga membayangkan kemahiran ilmu silatnya.

"Kau sudah mendengar kata-kata Thai-houw tadi? Nah, majulah. Biar aku membalaskan dendam enci Kim Li!" kata Lin Lin tersenyum mengejek.

Akan tetapi Kun Hong belum mencabut pedang yang tadi dikembalikan oleh Kui-bo Thai-houw kepadanya.

"Nona, aku tak ingin bertempur denganmu. Di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu, ada pun tentang Kim Li... sungguh mati aku tidak membunuhnya. Ketika itu memang dia menyerangku, aku hanya mengelak kemudian dia terjerumus ke dalam tebing itu karena penyerangannya sendiri, mungkin karena terlalu bernafsu. Aku tidak membunuhnya!"

"Bohong! Siapa percaya omongan seorang yang dengan kebohongannya telah merusak keluarga serumah!"

Kun Hong maklum bahwa yang dimaksud oleh gadis ini tentulah kebohongannya terhadap Kwee Sun Tek sehingga menimbulkan geger dalam rumah tangga Kwa Cun Ek. Eng Lan kekasihnya juga marah marah bukan main karena perbuatannya yang tidak bertanggung jawab itu.

Ia menarik napas panjang. "Memang dulu aku banyak melakukan kebodohan. Akan tetapi apakah orang yang sudah sesat jalan tidak boleh mencari jalan benar lagi?" Kata-katanya ini diucapkan agak keras karena dia merasa terdesak terus kalau orang masih saja selalu menggali lagi perbuatan-perbuatannya yang dulu.

"He, Kun Hong, kenapa kau banyak alasan? Apakah kau takut kepada Lin Lin?" tiba-tiba Kui-bo Thai-houw berseru mengejeknya.

"Thai-houw, mengapa kau hendak memaksaku bertempur dengan nona ini? Siapakah dia ini?" tanya Kun Hong penasaran.

Ketika untuk pertama kali bertemu dengan gadis itu, ia hanya tahu gadis yang seperti Siok Lan ini berada di dalam goa di lereng Thian-mu-san dan setahunya gadis ini bersama Kwa Cun Ek. Apakah Kwa Cun Ek punya lain puteri, anak kembar ini yang menjadi adik Siok Lan?

Kui-bo Thai-houw.tersenyum, lalu menuding ke samping di mana Phang Ek Kok berdiri di dekat empat orang nenek kembar, adik-adiknya. "Lan Lan dan Lin Lin adalah anak kembar Phang Ek Kok ini, keponakan dari pelayan-pelayan si kembar empat."

Kun Hong menjadi semakin heran. "Akan tetapi... aku melihat dia bersama Kwa Cun Ek lo-enghiong... di Thian-mu-san..."

Lin Lin menghampirinya dan membentak. "Sudahlah, tak perlu banyak bicara! Kau berani kepadaku atau tidak?"

Betapa pun juga, Kun Hong adalah seorang laki-laki. Ia bisa mengalah karena memang ia mengambil keputusan untuk merobah wataknya yang dahulu. Ia bisa bersabar, akan tetapi tentu saja ia tidak mau disebut takut kepada gadis ini..

"Kenapa aku mesti takut? Aku tidak bersalah apa-apa kepadamu," jawabnya.

"Bagus, kalau begiltu cabut pedangmu!"

Terpaksa Kun Hong mencabut pedangnya, pedang milik Kui-bo Thai-houw. Baru saja dia menghunus pedang. Lin Lin sudah maju menerjangnya dengan hebat sambil berseru,

"Lihat pedang!"

Apa boleh buat, tidak ada jalan lain bagi Kun Hong untuk menghadapi gadis ini kecuali dia harus melawan. Jika dia tidak mau melawan berarti dia akan kehilangan muka, berarti dia dianggap takut dan pengecut. Kalau dia melawan, dia teringat akan bisikan Kui-bo Thai-houw dan bergidik.

Siluman itu hendak meminjam tangannya untuk membunuh Lin Lin, ada apakah? Ia harus menyelidiki hal ini. Tentu ada apa-apa yang tidak beres. Lagi pula dia masih merasa heran dan tidak mengerti bagaimana Lin Lin serta saudara kembarnya Lan Lan itu kini menjadi anak dari laki-laki aneh buruk Phang Ek Kok yang menjadi kakak si kembar empat?

Betapa ganjilnya! Lagi pula tidak pantas jika mereka ini menjadi anak Ek Kok. Lebih tepat menjadi anak Kwa Cun Ek. apa lagi kalau dilihat mereka berdua ini serupa benar dengan Siok Lan dan mata Lin Lin persis dengan mata Tung-hai Sian-li.

Akan tetapi Kun Hong tidak bisa melamun lebih jauh lagi. Pedang di tangan Lin Lin benar luar biasa hebatnya, menyerangnya dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga lweekang yang hebat pula.

Sebelum bertanding tadi pun ia sudah maklum akan kelihaian Lin Lin, gadis yang melepas paku dan kemudian menolongnya dari bahaya terjerumus. Kini melihat ilmu pedangnya, ia terkejut dan heran. Ternyata kepandaian gadis ini malah melampaui dugaannya, kiam-hoat (ilmu pedang) yang dimainkan itu benar-benar ilmu pedang kelas tinggi.

Setelah bertempur lima puluh jurus dia mengeluarkan seruan tertahan. Ilmu pedang gadis ini gerakan-gerakannya serupa benar dengan ilmu silat ayah angkatnya, Kam Ceng Swi! Inilah ilmu silat Kun-lun-pai, tak salah lagi. Akan tetapi jauh lebih tinggi dan lihai dari pada yang pernah dia hadapi!

Kun Hong mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar lihai sekali, baik dalam ilmu silat pedang mau pun tenaga lweekang dan ilmu ginkang, agaknya tak kalah jauh olehnya! Hal ini menggembirakan hatinya sehingga timbul hasratnya untuk mencoba dan mengukur sampai di mana kelihaian Lin Lin.

Dia lalu bersilat dengan hati-hati, mengeluarkan kepandaiannya mainkan ilmu pedang luar biasa yang dia warisi dari Thai Khek Sian dan yang sudah diperlengkapi lagi dengan ilmu yang dia pelajari dari Kui-bo Thai-houw. Tubuhnya lenyap ketika dia berkelebat dan ujung pedangnya seakan menjadi ratusan, sinarnya panjang dan kuat melayang-layang ke sana ke mari bagaikan kilat menyambar-nyambar.

Lin Lin adalah murid Liong Tosu yaitu kakek aneh di Kun-lun-pai yang mengasingkan diri di Bukit Kun-lun, tidak mencampuri urusan Kun-lun-pai namun sebenarnya dia memiliki ilmu silat Kun-lun-pai yang asli dan yang paling tinggi di antara semua tokoh Kun-lun-pai. Gadis ini sudah menuruni kepandaian Liong Tosu dan selama ini belum pernah menemui tandingan yang selihai Kun Hong.

Lin Lin terkejut sekali menghadapi ilmu pedang yang hebat dari Kun Hong. Ilmu pedang ini memang hebat sekali, di samping cepat dan kuat, juga di dalamnya mengandung tipu-tipu yang amat curang berbahaya, mengandung hawa pukulan beracun yang sukar dilawan.

Namun Lin Lin tidak mau mengalah begitu saja. Ia mengerahkan tenaga dan memusatkan seluruh perhatian dalam ilmu pedangnya sehingga biar pun dia merasa desakan-desakan hebat yang sukar dilawan, akan tetapi tidak mudah juga bagi Kun Hong untuk mencapai kemenangan dalam waktu singkat.

Pertandingan berlangsung amat serunya sampai seratus jurus lebih. Amat seru dan ramai sehingga Ek Kok dan empat orang adiknya berkali-kali mengeluarkan seruan memuji dan kaget. Jangankan mereka ini dan para pelayan, bahkan Kui-bo Thai-houw sendiri secara diam-diam merasa kagum dan harus ia akui di dalam hatinya bahwa ia sendiri pun kiranya tidak akan mudah saja mengalahkan Lin Lin, apa lagi mengalahkan Kun Hong!

Lan Lan yang sejak kecilnya hanya mendapat pendidikan ilmu silat dari Ek Kok, biar pun bagi para ahli silat kebanyakan saja dia sudah merupakan seorang gadis yang lihai sekali, kini berdiri bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu demikian hebat ilmu silatnya. Lebih kagum lagi ia melihat adiknya, Lin Lin.

Benar ia sudah tahu bahwa adiknya ini mempunyai kepandaian silat yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, akan tetapi belum pernah ia menyaksikannya dan baru sekarang ia mendapat bukti bahwa ilmu kepandaian adiknya benar-benar hebat, tidak saja jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaiannya sendiri, bahkan juga lebih lihai dari pada ayahnya atau keempat orang bibinya!

Akan tetapi bagi Lin Lin sendiri, setelah pertempuran berlangsung lebih dari seratus jurus, tahulah gadis ini bahwa betapa pun juga, pemuda yang dilawannya ini luar biasa lihainya. Ia juga tahu bahwa Kun Hong banyak mengalah dan pertempuran itu dilakukan Kun Hong hanya untuk menguji kepandaiannya saja. Terasa olehnya betapa pemuda itu sering kali mengurangi lagi desakannya pada saat sudah dapat menindihnya dan ia tahu bahwa jika pemuda itu menghendaki, ia sudah dapat dirobohkan.

"Nona, kau seorang ahli Kun-lun-pai, kenapa tidak mau melepaskan aku? Ayah angkatku Seng-goat-pian Kam Ceng Swi juga seorang tokoh Kun-Iun, bahkan Liong Tosu pernah menolong nyawaku. Apakah kau sebaliknya kepingin sekali menjadi pencabut nyawaku?" Setelah mengeluarkan kata-kata ini, Kun Hong melompat mundur kemudian melemparkan pedang kepada Kui-bo Thai-houw sambil berkata.

"Thai-houw, aku tidak bisa menangkan nona ini dan terpaksa aku tidak dapat lama-lama tinggal di Ban-mo-to. Selamat tinggal... atau sampai berjumpa di Pek-go-to kelak!"

Kun Hong melempar senyum mengejek lalu melarikan diri ke pantai. Lin Lin berdiri dengan napas agak memburu. Tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk menghadapi pemuda itu.

"Dia lihai..." katanya perlahan sambil menatap wajah Kui-bo Thai-houw dengan tajam.

Dari empat bibinya dia sudah mendengar bahwa pemuda itu pernah menjadi anak angkat Thai-houw, malah menjadi kekasihnya. Tapi kenapa Thai-houw yang tentu sudah maklum akan kelihaian pemuda itu tadi seperti sengaja hendak mengadukan pemuda itu padanya?

’Hemm, agaknya wanita ini hendak melihat sampai di mana kepandaianku,’ pikir Lin Lin. Dia makin benci dan tak suka kepada Kui-bo Thai-houw.

“Lan Lan, mari kita pergi," katanya singkat lupa mengajak ayahnya.

Memang, biar pun sudah percaya bahwa Ek Kok adalah ayah kandungnya, akan tetapi di dalam hatinya Lin Lin tidak mempunyai rasa suka kepada ayahnya ini. Jika saja di dekat ayahnya ini tidak ada Lan Lan, kiranya ia akan meninggalkan Ek Kok.

Lan Lan dan Phang Ek Kok cepat-cepat mengikuti Lin Lin yang berjalan cepat sekali ke pantai. Lan Lan tidak mengerti mengapa adiknya berlari begini cepat seperti orang marah. Ia mengejar dan Ek Kok juga ‘menggelundung’ ke depan sambil berteriak-teriak,

"Lin-ji... anakku... tunggu...!"

Mereka mendapatkan Lin Lin sudah berdiri di tepi pantai, termenung dengan wajah pucat. Lan Lan segera merangkulnya.

"Adikku, kau kenapa?"

Beberapa lama Lin Lin tak menjawab. Lan Lan mencium pipi adiknya penuh kasih sayang. “Adikku manis, kau marah. Kenapakah? Katakan kepadaku agar hatiku tidak gelisah."

Luluh hati Lin Lin melihat sikap saudaranya ini. "Aku... aku benci sekali pada Kui-bo Thai-houw, aku benci kepada... empat orang bibi dan aku amat benci kepada Ban-mo-to!"

Lan Lan mengerling kepada ayahnya, kemudian mengangguk-angguk, "Aku pun tak suka kepada mereka, Lin Lin."

Mendengar kata-kata ini, Lin Lin kelihatan senang sekali dan merangkul cici-nya.

Ek Kok mengeluarkan suara ketawa aneh. "Heh-heh-heh. anak-anakku yang lucu, anak-anakku yang aneh. Kalian tidak suka kepada Kui-bo Thai-houw? Betul sekali! Apa kalian kira aku pun suka kepada..." Dia celingukan ke sana ke mari seperti orang ketakutan, lalu melanjutkan, "...kepada siluman itu? Tidak, aku pun benci kepadanya! Akan tetapi empat orang bibimu itu... ah, kasihan mereka. Adik-adikku yang bernasib malang...!"

"Bibi membantu Kui-bo Thai-houw. Inilah yang membikin aku tidak suka kepada mereka," kata Lan Lan.

"Sikap bibi juga sangat menjemukan!" kata Lin Lin terus terang. "Ayah, terus terang saja aku tidak senang dengan tugas yang sudah ayah terima dan sanggupi dari Kui-bo Thai-houw!"

Ek Kok menarik napas panjang dan baru kali ini Lan Lan melihat ayahnya bersedih. Sejak kecil Lan Lan sudah selalu dekat dengan ayahnya, tidak seperti Lin Lin, maka dalam hati gadis ini ada perasaan kasih sayang dan bakti terhadap Phang Ek Kok. Melihat ayahnya berduka, dia segera memegang lengan ayahnya.

"Adik Lin. betapa pun juga empat orang bibi itu adalah adik-adik ayah sendiri," tegurnya kepada Lin Lin untuk membela ayahnya.

"Anak-anakku yang baik. bocah-bocah yang manis. Mari... marilah kita duduk dan kalian dengarkan ceritaku. Jangan kalian kira aku pun suka melihat bibi-bibimu menjadi pelayan dan kaki tangan Kui-bo Thai-houw. Dengarlah…"

Lin Lin dan Lan Lan menjadi tertarik. Lebih-lebih bagi Lin Lin yang selalu merasa tak puas ketika mendapat kenyataan bahwa ayahnya adalah Phang Ek Kok. Ia merasa amat rindu kepada ibunya yang katanya sudah meninggal dunia semenjak dia dan Lan Lan lahir.

"Kami berlima, aku dan empat orang bibimu, dahulu hidup bahagia di Pegunungan Hek-li-san, menjadi tuan dari daerah sendiri, disegani dan dihormat oleh semua penduduk, hidup tidak kekurangan. Pada suatu hari muncullah Thai-houw dan melihat empat orang adikku, dia lantas tertarik kemudian memaksa mereka menjadi pelayan-pelayannya. Adik-adikku itu adalah anak-anak yang baik dan jujur sekali. Mereka memandang rendah kepada Thai-houw, demikian pula aku. Kami berjanji bahwa jika Thai-houw mampu mengalahkan kami berlima, empat orang adikku dan aku akan menurut segala perintahnya. Siapa kira..."

Sampai di sini Ek Kok menarik napas panjang lagi. "siapa tahu wanita itu lihai bukan main. Jangankan baru aku dan empat orang bibimu, biar ditambah lima orang lagi belum tentu bisa menangkan dia! Kami dikalahkan dan demikianlah, empat orang bibimu lalu ia bawa, menjadi pelayan-pelayan terkasih hingga sekarang. Aku hanya bisa menengok saja setiap satu dua tahun sekali. Semenjak itu hidupku menjadi sunyi tiada kawan…”

"Kenapa ayah bicara begitu aneh? Bukankah ada enci Lan Lan dan ibu kami sebelum ibu meninggal?" tiba-tiba Lin Lin bertanya sambil memandang tajam.

Ek Kok kelihatan terkejut dan gugup. "Benar katamu, akan tetapi hanya untuk beberapa lama saja. Ibu kalian meninggal dunia, meninggalkan kalian yang masih kecil-kecil dan... kemudian Lin Lin ada yang menculik. Ahh, memang aku Phang Ek Kok selalu dirundung malang.”

"Ayah, kau selalu menolak untuk memberi-tahukan nama ibu. Sekarang ada adik Lin Lin. ayah beri-tahulah nama ibu dan bagaimana riwayat pertemuan antara ibu dan ayah. Ibu orang mana dan siapakah keluarga ibu?" tanya Lan Lan. Dahulu ia tidak berani bertanya begini karena selalu mendapat marah, akan tetapi dengan adanya Lin Lin di sebelahnya, kini ia menjadi berani juga.

Ek Kok mengerutkan kening, akan tetapi Lin Lin cepat menyambung permintaan enci-nya sebelum ayahnya menolak. "Bagaimana ayah bisa menolak menjawab pertanyaan yang sudah semestinya ini? Aku pun ingin sekali mendengar. Coba ayah ceritakan."

Di dalam suara Lin Lin terkandung pengaruh yang tidak dapat ditolak lagi. Maka, sesudah menelan ludah beberapa kali, Ek Kok lantas berkata, "Ibumu adalah seorang wanita kang-ouw yang telah yatim piatu, hidup seorang diri tiada sanak tiada kadang juga tiada tempat tinggal. Namanya Souw Bwee. Ia bertemu dengan aku ketika ia dirampok di sebuah hutan dan aku membantunya mengusir para perampok. Kami lalu berkenalan dan akhirnya kami menikah. Begitulah..."

Lan Lan dan Lin Lin diam saja, agaknya merasa terharu, sungguh pun di dalam dada Lin Lin timbul ketidak-puasan mendengar riwayat yang dianggapnya kering tidak menarik itu. "Souw Bwee..." ulangnya perlahan menyebut nama ibunya, penuh keraguan.

"Sepeninggal ibu kalian," Ek Kok melanjutkan, "aku menjadi makin kesunyian. Ketika itu hanya empat orang adikku yang masih ada, akan tetapi mereka menjadi pelayan-pelayan Thai-houw. Celakanya, mereka telah kerasan tinggal di Ban-mo-to, sudah senang menjadi pelayan-pelayan Thai-houw. Karena itulah, meski pun dalam hatiku aku tidak suka kepada Thai-houw, tetapi mengingat keadaan adik-adikku, terpaksa aku harus memenuhi semua kehendak dan perintah Thai-houw."

Lin Lin mengerutkan alisnya yang hitam. "Sebenarnya amat berat bagiku untuk membantu melaksanakan tugas yang sekarang harus kita lakukan ini. Walau pun aku belum pernah bertemu dengan Tung-hai Sian-li, akan tetapi aku pernah mendengar tentang dia."

"Benar, ayah. Kwa Cun Ek lo-enghiong dengan singkat pernah bercerita kepada aku dan adik Lin tentang isterinya yang bernama Tung-hai Sian-li. Isterinya itu marah kepadanya lalu meninggalkannya ketika anaknya masih kecil sehingga membuat hidup lo enghiong itu selalu merana," kata Lan Lan.

"Benar, ayah. Perasaanku terhadap orang tua itu adalah seperti terhadap ayahku sendiri, karenanya, bagaimana aku dapat membantu tugasmu untuk membunuh Tung-hai Sian-li yang menjadi isterinya?" kata pula Lin Lin.

Phang Ek Kok menghela napas panjang. "Kau keliru, Lin Lin. Justru karena perasaanmu yang begitu berbakti terhadap Kwa Cun Ek seharusnya malah menjadi pendorong bagimu untuk memusuhi Tung-hai Sian-li. Wanita itu kejam dan wataknya jahat. Ia meninggalkan anaknya yang masih kecil, meninggalkan suaminya sampai Kwa Cun Ek menjadi seperti orang gila. Memang itu semua bukan urusanku, akan tetapi kalau aku teringat betapa dia pernah menghina empat orang adik-adikku, maka aku tidak keberatan melakukan tugas ini. Tentu saja aku mengharapkan bantuanmu, Lin Lin, karena Tung-hai Sian-Ii bukanlah orang lemah."

"Penghinaan apakah yang dilakukan oleh Tung-hai Sian-li kepada bibi?" tanya Lin Lin. Lan Lan juga ingin sekali tahu karena ayahnya belum pernah menceritakan hal ini kepadanya.

"Perempuan tidak tahu malu itu sudah menghalangi perkawinan empat orang bibimu dan merampas pengantin laki-laki," kata Ek Kok.

“Ia menculik empat orang laki-laki?” Lin Lin bertanya kaget, sama sekali tidak menyangka bahwa Kwa Cun Ek yang ia anggap sebagai ayahnya itu mempunyai isteri demikian jahat dan tak tahu malu.

Ek Kok hanya mengangguk-angguk. Terpaksa aku harus membohonginya, pikirnya.

Dia tak ingin anaknya mengetahui hal yang sebenarnya. Jika dia sendiri tidak menyetujui perbuatan empat orang adiknya, apa lagi Lin Lin dan Lan Lan. Sebetulnya memang Tung-hai Sian-li telah menggagalkan pernikahan empat orang adiknya, akan tetapi sama sekali bukan karena Tung-hai Sian-li hendak merampas pengantin-pengantin pria itu, melainkan untuk membebaskan mereka karena mereka dipaksa oleh empat orang adik kembarnya. Empat orang pemuda ganteng itu dipaksa supaya menjadi suami mereka. Tung-hai Sian-li mengetahui hal ini lalu turun tangan membebaskan mereka.

"Karena itulah maka aku mau menerima tugas dari Thai-houw. Thai-houw amat mencinta empat orang bibimu, maka Thai-houw lalu memerintah kita untuk membalaskan dendam dan membunuh Tung-hai Sian-li. Suheng-mu Kui Sek orangnya kasar, berani menyatakan keberatan sehingga aku terpaksa menyuruhnya pulang agar dia tidak menimbulkan onar. Menurut Thai-houw, kini Tung-hai Sian-li berada di Lembah Yang-ce sebelah timur, maka kita mencari ke sana. Lin Lin, aku mengandalkan bantuanmu untuk memenangkan wanita ganas yang lihai itu."

Lin Lin menundukkan mukanya, penuh keraguan. Kalau memang Tung-hai Sian-li begitu jahat tak tahu malu, biar pun dia isteri Kwa Cun Ek. terpaksa dia harus menentangnya.

Maka berangkatlah tiga orang ini menuju ke Yang-ce-kiang. Diam-diam Ek Kok khawatir sekali. Orang ini mempunya tabiat aneh, tidak pedulian dan tidak mau pusingkan apakah perbuatan-perbuatannya betul atau salah. Bagi dia hanya ada satu hal yang penting, yaitu kasih sayangnya pada empat orang adik kembarnya. Demi keselamatan dan kesenangan empat orang adiknya, ia mau melakukan apa saja, mau berkorban apa saja.

Ek Kok maklum bahwa tugas mencari dan membunuh Tung-hai Sian-li yang diberikan Kui-bo Thai-houw itu sama sekali bukan hanya karena empat orang adiknya menaruh dendam kepada Tung-hai Sian-li, melainkan terutama sekali karena hal lain yang menyangkut diri Kui-bo Thai-houw sendiri.

Dia sendiri tidak begitu jelas mengapa Kui-bo Thai-houw kelihatan amat membenci Tung-hai Sian-li. Empat orang adik kembarnya juga tidak tahu jelas, hanya menduga bahwa di antara Kui-bo Thai-houw dan Tung-hai Sian-li agaknya pernah terjadi persaingan dalam menghadapi seorang pria!

Ek Kok tunduk akan perintah Kui-bo Thai-houw dan mengajak dua orang puterinya untuk mencari dan membunuh Tung-hai Sian-li hanya karena ingin menjaga keselamatan empat orang adiknya yang berada di tangan ratu Pulau Ban-mo-to itu…..

********************

Kita tinggalkan dulu Phang Ek Kok dan dua orang puteri kembarnya untuk menengok ke lembah Sungai Yang-ce-kiang, tempat di mana Tung-hai Sian-li berada ketika dahulu dia bertemu dengan Wi Liong dan Lam-san Sian-ong, tempat peristirahatan wanita itu yang merasa berduka karena hilangnya puterinya, Kwa Siok Lan.

Orang akan merasa kaget melihat Tung-hai Sian-li akhir-akhir ini. Mukanya yang biasanya nampak segar dan berseri, sekarang menjadi layu dan selalu muram dibayangi kesedihan hebat. Sering kali terdengar ia batuk-batuk dan muntahkan darah.

Tung hai Sian-li, wanita perkasa yang di waktu mudanya membikin geger dunia persilatan karena sepak terjangnya yang gagah, sekarang mulai digeragoti penyakit jantung karena kedukaan dan tekanan batin yang menderita!

Makin lama ia menjadi semakin lemah dan setiap hari ia hanya duduk di dalam goa di tepi sungai, setengah bersemedhi atau duduk merenung menatap permukaan air Sungai Yang-ce-kiang seperti orang kehilangan ingatan…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar