Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 09

Dia merasa betapa mangkoknya dihajar hebat dan tentu akan remuk kalau saja dia tidak cepat-cepat membuat gerakan memutar sambil mengerahkan tenaga ‘menyedot’ sehingga tenaga pukulan uang emas itu menjadi buyar. Tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa uang emas itu tiba-tiba saja melejit dan terbang kembali ke tangan Tok-sim Sian-li yang tersenyum memandangnya.

"Ha, ternyata uangku tidak mau berada di mangkokmu, itu tanda bahwa kau sedang sial. Agaknya kata-katamu yang baik dan merdu tadi memang menyerupai nyanyian burung yang sedang menghadapi maut...”

Pak-thian Koai-jin maklum bahwa wanita itu benar-benar memiliki tenaga lweekang yang luar biasa, akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan menjawab sambil tertawa.

"Aku pun pernah mendengar orang bilang bahwa di dunia ini yang paling aneh adalah hati wanita. Jika baik tidak seperti hati wanita yang mengandung penuh madu, sebaliknya jika busuk juga tak seperti hati wanita yang mengandung racun berbahaya. Juga hanya kaum wanita saja yang pandai tersenyum manis bermuka ayu akan tetapi hatinya mengandung maksud buruk, seperti seorang dewi berhati racun. Entah betul atau tidak, kiranya toanio sebagai seorang wanita pasti lebih mengerti." Kata-kata ini tentu saja merupakan sindiran karena berkali-kali pengemis aneh itu meyebut hati beracun, dan muka dewi yang menjadi julukan wanita ini, yaitu Tok-sim Sian-li (Dewi Berhati Racun), menjadi merah padam!

Merasa kewalahan apa bila harus berdebat dengan kakek pengemis yang selalu tertawa-tawa ini, Tok-sim sian-li berkata ketus. "Sudah tahu nonamu ini Tok-sim Sian-li, kau masih berani menjual lagak?"

"He-he-he, adakah tadi aku menawarkan lagak? Eh, Dewi Hati Beracun, apakah kau ingin membeli lagak?" kakek itu menggoda.

"Pengemis bau! Hanya karena muridku ingin melihat betapa aku mengalahkanmu, maka aku sengaja datang di sini mencarimu. Akan tetapi sekarang melihat mukamu, aku belum puas kalau belum membunuhmu! Kau manusia bosan hidup!"

Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya, Tok-sim Sian-li menggerakkan pedangnya lalu sinar hijau yang panjang dan berhawa dingin menyambar ke arah leher pengemis itu.

"Hayaa... benar-benar dewi yang hatinya beracun, busuk dan amat galak!" seru Pak-thian Koai-jin sambil cepat mengelak dengan lompatan jauh ke samping karena maklum akan keganasan serangan itu. "Sudah menculik calon muidku, sekarang datang-datang masih menghendaki kepalaku lagi. Apa boleh buat, terpaksa melawan!"

Karena ia maklum bahwa wanita ini tak boleh dipandang ringan dan tak boleh dibuat main-main, maka Pak-thian Koai-jin cepat memutar tongkatnya dan membalas serangan lawan. Sebentar saja pertempuran berjalan sengit dan seru sekali. Gerakan Tok-sim Sian-li amat cepat dan gesit, maka terpaksa Pak-thian Koai-jin mengimbanginya sehingga mata Kun Hong menjadi silau, tak dapat dia membedakan mana Tok-sim Sian-li dan mana Pak-thian Koai-jin!

Selama bertanding Pak-thian Koai-jin tak pernah diam. Terdengar berkali-kali dia berseru. "Aduh lihai amat!” atau "Ganas... ganas...!”

Memang ilmu pedang yang dimainkan oleh Tok-sim Sian-li adalah ilmu pedang yang amat ganas dan berbahaya sekali. Tidak seperti kawannya Bu-ceng Tok-ong yang benar-benar merupakan Raja Racun yang selalu bermain-main dengan segala macam racun, Tok-sim Sian-li hanya menggunakan racun hijau pada ujung pedangnya, sementara tangan kirinya memiliki semacam pukulan mengandung hawa beracun yang dinamakan Toat-sim-ciang (Pukulan Mencabut Hati). Dengan pukulan tangan kirinya ini, lawan yang kurang tangguh akan terserang jantungnya dan tewas seketika tanpa dapat bersambat lagi!

Di samping itu Tok-sim Sian-li juga mempunyai semacam kepandaian aneh. Ilmu ini mirip dengan Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa), yaitu semacam ilmu yang mempergunakan suara untuk merobohkan lawan, suara yang mengandung tenaga khikang dan lweekang hingga menjadi amat berpengaruh. Cuma bedanya, bila Sai-cu ho-kang dilakukan dengan menggereng keras menggetarkan jantung lawan dan melumpuhkan urat syaraf, sementara ilmu yang dimiliki oleh Tok-sim Sian-li ini dilakukan dengan mengeluarkan suara nyanyian! Ilmu ini selain merupakan sari khikang dan lweekang juga sudah termasuk golongan ilmu sihir untuk merampas dan menguasai semangat dan kemauan lawan.

Ilmu tongkat dari Pak-thian Koai-jin hebat bukan main. Ini tidak aneh karena ilmu pedang Go-bi Kiam-hoat dari Go-bi-pai sari atau dasarnya juga dari ilmu tongkat yang sekarang dimainkan oleh Pak-thian Koai-jin.

Menghadapi ilmu tongkat selihai ini, diam-diam Tok-sim Sian-li menjadi sibuk dan jengkel sekali. Pedangnya yang terkenal ganas seakan-akan bertemu dengan dinding yang tidak tertembuskan, bahkan kadang-kadang dia menjadi kaget dan tercengang kalau sewaktu-waktu dari ‘dinding’ itu mencuat ujung tongkat yang tahu-tahu mengarah jalan darahnya! Benar-benar lihai sekali pengemis dengan tongkat bututnya ini.

Dengan jengkel dan marah Tok-sim Sian-li lalu mengeluarkan imu pukulannya yang hanya ia keluarkan bila ia menghadapi lawan tangguh, yaitu Toat sim ciang. Tangan kiri dengan jari-jari runcing mungil dikembangkan kini mulai menyodok-nyodok ke depan. Nampaknya perlahan dan tidak bertenaga, akan tetapi Pak-thian Koai-jin segera merasakan akibatnya. Dadanya terguncang seperti ditumbuk oleh tenaga yang tidak kelihatan.

Ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan macam ini kalau satu kali saja mengenai orang yang tidak kuat, maka jantung orang itu akan terguncang kemudian pecah! Cepat ia mengeluarkan mangkok retak yang tadi ia simpan dalam sakunya.

"Pukulan beracun yang jahat sekali!" serunya.

Mulailah kakek pengemis lihai ini menggunakan mangkok jimatnya! Dengan mangkok di tangan kiri, dia selalu ‘menangkap’ pukulan lawan dan pukulan itu seakan-akan dia ‘retour’ kembali melalui mangkoknya yang cekung.

Tok-sim Sian-li terheran-heran dan bertambah marah. Jangankan hanya mangkok beling, mangkok besi sekali pun kiranya akan pecah kalau berkali-kali terkena pukulannya. Akan tetapi mangkok di tangan kakek pengemis itu tidak pecah malah dapat membikin terpental setiap pukulan Toat-sim-ciang!

"Pak-thian Koa-jin, tidak percuma kau menjadi jago utara. Ternyata kau benar-benar lihai sekali!"

Pak-thian Koai-jin terkejut bukan kepalang, juga merasa aneh mengapa wanita ini tiba-tiba memiliki suara yang begini merdu lemas dan halus, enak sekali didengarnya. Dia merasa seolah-olah sedang dirayu oleh wanita cantik yang menjadi kekasihnya. Sebagai seorang yang berpengalaman luas, dia menjadi terkejut dan bersikap waspada.

Tiba-tiba saja Tok-sim Sian-li bersenandung dengan suara yang amat merdu, akan tetapi pedang dan tangan kirinya masih terus melakukan tekanan terhadap kakek pengemis itu.

Pak-thian Koai-jin terheran-heran karena tidak mengerti apa maksud lawannya yang aneh ini. Tanpa tertahan lagi ia tertawa bergelak karena merasa amat lucu. Akan tetapi Tok-sim Sian-li tidak peduli dan terus menyerang, terus bernyanyi merdu. Mau tidak mau Pak-thian Koai-jin terus mendengarkan dan berusaha menangkap kata-kata di dalam nyanyian yang disenandungkan itu.

Anehnya, kini dia menjadi terdesak. Mulai dirasakan betapa serangan-serangan wanita itu menjadi berat sekali, jauh lebih berat dari pada tadi sampai-sampai ia terdesak hebat dan hanya sanggup mengelak dan menangkis saja! Pikirannya mulai kacau, dadanya berdebar dan perhatiannya tak dapat dicurahkan kepada pertempuran.

Dalam sesaat yang amat berbahaya, hampir saja pundaknya menjadi korban pedang Tok-sim Sian-li dan baiknya hanya bajunya saja yang robek, kulitnya tidak terluka. Akan tetapi ini sudah amat mengagetkan hati Pak-thian Koai-jin karena dia tahu bahwa terluka sedikit saja amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya.

Kini barulah ia benar-benar terkejut. Dicobanya untuk memulihkan ketenangannya, untuk mencurahkan perhatiannya kepada permainan silatnya, untuk menutup pendengarannya terhadap nyanyian itu. Akan tetapi sia-sia belaka, makin dilupakan suara itu makin merdu merayu, membuat semua tubuhnya terasa lemah!

"Hebat, kau benar-benar siluman berbahaya!" seru Pak-thian Koai-jin dan kakek ini cepat melompat ke belakang menghindarkan serangkai serangan yang amat dahsyat, kemudian tanpa menoleh lagi ia menghilang di dalam hutan lebat!

Tok-sim Sian-li menghentikan nyanyiannya, menengok dan melihat ke arah Kun Hong.

"Kun Hong...!" serunya kaget melihat bocah itu sudah menggeletak dengan wajah pucat dan tak bersemangat.

Wanita ini lupa bahwa nyanyiannya tadi dapat mempengaruhi siapa saja yang berada di dekatnya, tidak terkecuali Kun Hong. Mana kuat bocah itu menahan pengaruh nyanyian iblis ini? Semangat bocah itu seakan-akan terbetot meninggalkan raganya dan ia menjadi seperti seorang yang kena sihir.

Tok-sim Sian-li cepat memeluk dan mengangkat Kun Hong, mengurut di sana-sini sambil memanggil namanya. "Kun Hong, aku lupa bahwa kau berada di belakangku... ah, sia-sia saja, kau tidak melihat bagaimana aku telah mengusir Pak-thian Koai-jin."

Begitu tersadar kembali dari keadaannya seperti linglung tadi, Kun Hong segera bertanya, "Mana kakek jembel itu? Siapa yang kalah?"

Tok-sim Sian-li tersenyum manis. "Kalau aku kalah kau kira aku bisa berada dengan kau? Kakek pengecut itu sudah melarikan diri!”

Kun Hong tertawa puas. "Aku pun takkan suka kalau harus menjadi muridnya, masa aku harus menjadi seorang pengemis cilik? Lebih baik menjadi muridmu, apa lagi kau sudah dapat mengalahkan dia, bibi."

"Hush, jangan panggil bibi."

"Habis, harus menyebut apa?"

"Dulu orang menyebutku Pek-sim Niocu (nona Berhati Putih), akan tetapi sekarang orang-orang jahat yang tidak suka padaku sudah memberi nama Tok-sim Sian-li. Aku lebih suka disebut ‘Pek-sim Niocu’ dan kau boleh sebut ‘niocu’ kepadaku."

Kun Hong mengangguk. "Baiklah, niocu. Tetapi mengapa namamu hanya berupa julukan-julukan saja, apakah niocu tidak mempunyai nama sendiri?"

Tok-sim Sian-li tersenyum dan menggeleng kepala, untuk sekilas sinar matanya nampak mengandung kedukaan. "Tidak, nama sendiri sudah lupa lagi..." akan tetapi sinar duka ini segera terganti sinar tajam seperti biasa dan dia pun berkata. "Mari kita kembali mencari Bu-ceng Tok-ong, hendak kulihat apakah dia juga berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai."

Setelah tiba di tempat tadi, Tok-sim Sian-li dan Kun Hong melihat bahwa si Raja Racun itu bersama Wi Liong sudah menanti di situ.

"Ha-ha-ha-ha, lama benar kau mencegat Pak-thian Koai-jin!" Bu-ceng Tok-ong mengejek sambil tertawa.

"Meski pun lama aku berhasil mengusir dan mengalahkannya," jawab Tok-sim cemberut, "Kau sendiri bagaimana?”

"Sedang kau repot bernyanyi-nyanyi di sana, aku sudah membereskan babi gemuk dari Siauw-lim-pai itu sampai menjerit-jerit minta ampun!" kata Tok-ong sambil tertawa-tawa girang dan saking gelinya menepuk-nepuk paha sendiri.

"Siapa percaya omongan busukmu?" Tok-sim mencela. "Bhok Lo Cinjin mungkin kalah olehmu, akan tetapi minta-minta ampun? Cih, kau sombong dan bohong! Ehh, Wi Liong, benarkah kata-katanya itu bahwa ketua Siauw-lim-pai sampai minta-minta ampun kepada dia?”

Wi Liong menggelengkan kepalanya. "Aku yang mintakan ampun untuk nyawa Bhok Lo Cinjin. Orang tua itu malah minta dibunuh."

Kun Hong segera melangkah maju dan mencela Wi Liong. "Dasar bocah goblok, gurumu merobohkan musuh tapi mengapa kau mintakan ampun untuk musuh? Locianpwee, murid macam apakah yang begini ini? Lempar saja ke jurang, atau biar teecu yang melempar pengkhianat ini."

"Tutup mulutmu, Kun Hong! Aku bukan murid Tok-ong dan aku pun bukan pengkhianat!" bentak Wi Liong marah karena dia dimaki pengkhianat.

Tok-sim Sian-li tertawa girang. "Lihat, Tok-ong, bukankah muridku lebih ingat budi dan tak mengecewakan menjadi murid?”

"Ha-ha-ha, apa sih ingat budi? Aku tidak ingin punya murid yang ingat budi! Lagi pula, si Wi Liong mintakan ampun untuk Bhok Lo Cinjin sama sekali bukan untuk menolongnya, malah membantu aku menghina babi gemuk itu. Kalau tidak dimintakan ampun, tentu dia sudah kubunuh dan berarti ketua Siauw-lim-pai itu terlepas dari pada ejekan dunia. ha-ha-ha, benar-benar muridku lebih cerdik dan tahu caranya menyiksa musuh!”

Kaget bukan main hati Wi Liong mendengar ini. Ia sama sekali tak pernah mengira bahwa perbuatannya tadi, yaitu mintakan ampun untuk nyawa Bhok Lo Cinjin, malah merupakan penghinaan besar bagi diri ketua Siauw-lim-pai itu! Pantas saja hwesio itu tidak berterima kasih kepadanya malah memakinya.

Dan dia menjadi ngeri kalau memikirkan keadaan dua orang aneh ini, demikian kejam dan keji! Ngeri dia memikirkan harus menjadi murid Tok-ong.

Mendadak Tok-ong dan Tok-sim kelihatan terkejut, keduanya sama-sama menengok ke atas, ke arah daun-daun pohon di sebelah kiri.

"Sian-li, apa kau tidak merasa sesuatu yang aneh?" Tok-ong bertanya, suaranya beubah sungguh-sungguh.

Tok-sim Sian-li mengangguk. "Memang. Apakah yang menggerakkan daun-daun itu dan suara mendesis apakah ini?”

Wi Liong dan Kun Hong memperhatikan. Mereka sekarang juga melihat daun-daun pohon sebelah kiri bergoyang-goyang dan ada suara mendesis perlahan dari tempat itu, padahal tidak ada angin dan tidak nampak sesuatu.

"Ah, tempat ini keramat, ada setannya. Lebih baik aku pergi dari sini!” kata Tok-sim Sian-li sambil memeluk tubuh Kun Hong hendak membawa pergi. Mendadak dia bergidik karena pada saat itu ada angin meniup ke arah rambutnya, kemudian terlepaslah sanggul wanita ini sehingga membuat rambutnya menjadi awut-awutan!

"Iblis menggangguku..." Tok-sim Sian-li menggerutu dan mukanya berubah pucat ketika ia menyanggulkan kembali rambutnya.

Tok-ong tertawa bergelak untuk menyembunyikan perasaan takutnya. Memang para tokoh Mokauw adalah orang-orang yang sujud dan takut kepada mahluk-mahluk halus, bahkan dalam bertapa untuk mengejar ilmu mereka selalu berusaha untuk menghubungi mahluk-mahluk halus yang menjadi iblis dan setan.

"Sian-li, kau takut apa sih? Di siang hari terang seperti ini mana ada setan dan...”

Ia langsung menghentikan kata-katanya karena mendadak terasa olehnya ada angin yang berseliweran kemudian merasa ada yang meraba punggungnya. Ketika dia menggunakan tangan meraba pungungnya, dia menjadi pucat karena pedang Cheng-hoa-kiam yang dia rampas dari tangan Kwee Sun Tek di puncak Kun-lun-san tadi ternyata kini telah lenyap!

"Keparat pengecut! Kalau berani muncullah, boleh kita bertanding sampai selaksa jurus, jangan main sembunyi-sembunyi seperti iblis dan siluman!” Tok-ong memaki-maki marah sekali sambil memandang ke sekelilingnya.

Tok-sim Sian-li yang juga sudah melihat lenyapnya pedang rampasan dari punggung Tok-ong menjadi semakin pucat, dan dia sudah mencabut pedangnya untuk menjaga diri.

"Siluman, keluarlah!" Tok-sim Sian-li juga turut berteriak untuk memperlihatkan bahwa dia pun tidak takut, atau setidaknya dia tak mau ‘kalah muka’ oleh Bu-ceng Tok-ong di depan muridnya.

Hening sejenak dan dua orang anak itu, Kun Hong dan Wi Liong, sudah memperlihatkan bahwa memang mereka adalah anak-anak yang mempunyai ketabahan besar. Meski pun mereka tidak tahu kepada siapa dua orang tokoh sakti itu bicara, namun dari sikap dua orang sakti itu mereka dapat menduga bahwa tentu ada orang yang berkepandaian tinggi atau mungkin benar-benar ada siluman. Anak-anak biasa tentu akan menjadi ngeri atau ketakutan, akan tetapi tidak demikian dengan dua orang anak itu.

"Akan ada pertempuran lagi. benar-benar menggembirakan!" kata Kun Hong yang segera duduk di dekat Wi Liong yang telah duduk di atas akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah seperti ular besar. Dua orang anak ini duduk menongkrong seperti orang yang hendak menonton pertunjukan yang menarik hati.

"Mudah-mudahan muncul orang gagah yang akan membebaskan kita," Wi Liong berkata penuh harap.

"Bodoh kalau kau mengharapkan kebebasan. Bukankah lebih enak menjadi murid mereka yang demikian gagah dan sakti? Kalau pun muncul orang gagah yang membebaskan kita, belum tentu orang itu mau mengambil murid kepada kita, dan di Kun-lun-san semua orang tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan guru-guru kita," cela Kun Hong.

"Mereka jahat, aku tidak sudi menjadi murid orang-orang jahat," kata Wi Liong.

"Kau tahu apa tentang jahat dan baik? Kita menjadi murid mereka untuk belajar ilmu silat, bukan untuk belajar jahat atau baiknya!" bantah Kun Hong. "Lagi pula guruku begitu cantik dan halus, siapa bilang jahat? Kau memang bocah banyak lagak dan...”

Tiba-tiba saja Kun Hong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu pula, entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul seorang kakek di depan mereka.


Kakek ini usianya kurang lebih enam puluh tahun, mukanya seperti topeng atau seperti muka mayat! Tidak nampak kulit muka itu bergerak sedikit pun seperti kulit mati, lagi pula pucat kehijauan. Sepasang matanya bersinar lembut dan bibirnya yang kering pucat itu seperti selalu tersenyum mengejek. Tangan kirinya membawa sebuah kipas yang terbuat dari daun dan di tangan kanannya kelihatan sebuah hudtim atau kebutan pertapa dengan bulu kebutannya panjang berwarna putih.

Kakek ini tidak mendatangkan kesan aneh bagi Wi Liong atau Kun Hong, namun Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li langsung berubah air mukanya ketika melirik ke arah kakek itu dan melihat pedang Cheng-hoa-kiam yang tadi lenyap secara gaib dari punggung Bu-ceng Tok-ong, kini telah berada di punggung kakek itu!

Bu-ceng Tok-ong marah bukan main melihat orang yang telah mencuri pedangnya, akan tetapi oleh karena maklum bahwa orang ini tak boleh dipandang rendah, dia tidak berlaku sembrono. Hanya untuk menjaga muka dan nama ia harus menunjukkan kemarahannya.

Dia adalah seorang tokoh besar. Selama ini belum pernah ada orang berani menghinanya apa lagi mempermainkannya. Dan orang yang telah mencuri pedang dari punggungnya ini sama sekali belum dikenalnya!

“Siapakah kau, datang-datang mengajak aku main-main? Agaknya kau belum tahu bahwa aku adalah Bu-ceng Tok-ong..." kata si Raja Racun sambil menahan ucapannya dengan perasaan mendongkol sekali karena orang yang mukanya seperti kedok mayat itu sedikit pun tidak peduli kepadanya, malah kini menghampiri Wi Liong dan Kun Hong yang duduk berdampingan di atas akar pohon.

Sepasang mata yang bersinar lembut itu menatap ke arah dua orang anak itu lantas tiba-tiba sinar mata itu berubah tajam sekali, membuat Wi Liong dan Kun Hong merasa dingin pada tengkuknya.

"Kalian berdua... ikut aku... mau…?" dari mulut kakek aneh ini keluar pertanyaan singkat terputus-putus. Agaknya kakek ini sukar bicara atau memang hemat dengan kata-kata.

Wi Liong dan Kun Hong keduanya cerdik dan berbakat. Mungkin Kun Hong lebih cerdik dan nakal, akan tetapi agaknya perasaan Wi Liong lebih halus. Melihat kakek aneh yang wajahnya mengerikan bagaikan kedok mayat itu, Kun Hong merasa ngeri dan tidak suka, akan tetapi Wi Liong segera dapat merasa bahwa kakek ini bukanlah orang sembarangan dan bukan termasuk orang jahat seperti Bu-ceng Tok-ong. Oleh karena perasaan inilah maka seketika dia berdiri dan berkata kepada kakek itu.

"Aku suka ikut!"

Sebaliknya, karena merasa ngeri melihat pandang mata kakek itu, Kun Hong berdiri dan berlari ke dekat Tok-sim Sian-li sambil berkata, "Aku tidak sudi ikut setan kuburan!”

Kakek aneh itu mendongak ke angkasa, lantas terdengar ia berkata tanpa menggerakkan bibir seperti juga tadi. Agaknya dia memang memakai kedok, karena kalau sedang bicara bibirnya tidak bergerak!

"Begitulah kehendak Thian... sudah kuperhitungkan... dan tidak meleset." Setelah berkata demikian, dia menghampiri Wi Liong lalu menggandeng tangan bocah ini diajak pergi dari situ tanpa menoleh sedikit pun ke arah Bu-ceng Tok-ong atau Tok-sim Sian-li!

Datang-datang mencuri pedang kemudian hendak menyerobot murid begitu saja di depan hidungnya, dan kini hendak pergi tanpa pamit datang tanpa permisi, benar-benar selama hidupnya belum pernah Bu-ceng Tok-ong bertemu dengan orang yang begini bocengli (tak tahu aturan)! Dia sendiri terkenal sebagai seorang yang tidak mengenal aturan, sekarang dia benar-benar ketemu batunya. Kemarahannya tak dapat ditahan lagi.

"Setan jahanam benar-benar bosan hidup kau!" bentaknya dan kedua tangannya bergerak secara bergantian. Selosin jarum-jarum hitam yang halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di bagian belakang tubuh kakek aneh itu!

Kakek itu menengok pun tidak, tetap berjalan menggandeng tangan Wi Liong seperti tadi, hanya kipasnya dipakai mengebuti badannya seperti orang kegerahan. Hebatnya, sinar-sinar hitam itu runtuh kembali sebelum mengenai tubuh orang, seakan-akan tubuh kakek itu dilindungi oleh semacam perisai yang tidak kelihatan.

Demikianlah menurut pandangan orang lain, akan tetapi sebagai orang-orang pandai dan sakti, Tok-ong dan Tok-sim lantas maklum bahwa kebutan kipas itulah yang meruntuhkan semua jarum.

Tok-ong menjadi makin panas hatinya, memberi isyarat kepada Tok-sim untuk menyerang bersama. Ia menggereng dan bergerak maju, juga Tok-sim Sian-li mencabut pedang dan menyerbu dari belakang orang itu.

Tiba-tiba kakek itu menoleh lantas mengebutkan kipasnya ke arah Tok-ong dan Tok-sim sambil berkata,

"Heran... mengapa Thai Khek Sian... mempunyai orang-orang begini...?"

Luar biasa sekali tenaga kebutan kipas ini. Seperti dua ekor burung terbang tertiup angin besar, Tok-ong dan Tok-sim merasa betapa keseimbangan badan mereka menjadi rusak sehingga mereka menjadi limbung, hampir saja terjengkang ke belakang bila mereka tidak cepat-cepat menghentikan gerakan menyerbu tadi dan memasang kuda-kuda yang kuat!

Meski pun demikian, mereka itu bukan tokoh-tokoh besar dari Mokauw kalau gentar untuk melawan lagi, tapi disebutnya nama Thai Khek Sian telah membuat mereka bengong dan ragu-ragu untuk maju kembali. Sementara itu kakek aneh tadi melanjutkan perjalanannya, menggandeng tangan Wi Liong, terus menuju barat.

"Siapakah dia yang sudah mengenal Sian-su...?" kata Tok-ong yang masih belum hilang kagetnya.

"Tentu orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, lebih baik kita segera melaporkan kepada Sian-su," kata Tok-sim sambil menarik tangan Kun Hong.

"Hemm, selain melapor, juga kau sudah amat rindu kepada Sian-su, bukan?"

Muka Tok-sim Sian-li menjadi merah. "Kau peduli apakah? Kalau kau cemburu atau tidak suka, boleh kau memprotes Sian-su dan...”

"Hushh, aku cuma bicara main-main, kenapa kau bersungguh-sungguh? Siapa orangnya yang tidak suka dan menghormat Sian-su? Semua perempuan di dunia ini siapa yang tak suka menjadi kekasihnya? Tentu saja kau boleh mendekati Sian-su, asal kau jangan lupa kepadaku."

"Hah, manusia macam engkau! Mempertahankan murid saja tidak becus!" Sambil berkata demikian, Tok-sim Sian-li memeluk kepala Kun Hong dan berkata. "Anak baik, untung kau tidak ikut setan kuburan tadi."

Wanita ini merasa gembira sekali karena kakek tadi tidak membawa pergi muridnya yang tersayang. Kalau pun andai kata Kun Hong dibawa, apa yang akan dapat ia perbuat? Dari kebutan kipas tadi saja dia sudah maklum sepenuhnya bahwa dia bukanlah lawan kakek tadi.

Sebaliknya, Bu-ceng Tok-ong merasa kecewa sekali kehilangan muridnya.

"Benar pilihanmu, Wi Liong bukanlah murid baik. Belum apa-apa ia sudah mengecewakan hatiku. Awas dia, kalau bertemu kelak, akan kupatahkan batang lehernya. Sian-li, biarlah aku membantumu melatih muridmu si Kun Hong ini."

"Apa-apaan kau ini? Aku sendiri sanggup melatihnya hingga dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Bukan begitu, Kun Hong?" katanya sambil memeluk dan mencium pipi muridnya.

Kun Hong tersenyum girang dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam ia masih mengherani cara kakek tadi mengalahkan Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, ataukah belum kalah? Dia tidak menyaksikan sesuatu pertempuran, tapi mengapa dua orang sakti ini tidak mengejar terus?

"Sian-li, kau keliru. Apa kau ingin melihat Kun Hong kelak kalah oleh Wi Liong? Kalau kita berdua yang melatihnya, apa lagi kalau Sian-su berkenan menurunkan satu dua macam kepandaian, hatimu boleh puas bila kelak melihat muridmu ini mengalahkan Wi Liong."

Tok-sim Sian-li nampak bengong, kemudian ia berkata. "Kita harus bertanya kepada Sian-su siapa adanya mayat hidup tadi. Tentang kau hendak menurunkan kepandaianmu yang buruk kepada muridku, tidak ada salahnya asalkan Kun Hong mau menerimanya. "

"Mengapa tidak? Hemm Kun Hong anak baik, apa kau tidak ingin mempunyai kepandaian seperti aku, sekali pukul bisa bikin hangus isi perut orang tangguh dan sekali sebar jarum sanggup merobohkan lima puluh orang lawan?”

Kun Hong seorang bocah yang amat cerdik. Dari percakapan tadi dia pun dapat menduga bahwa Wi Liong tentu akan menjadi murid kakek aneh tadi. Diam-diam ia merasa khawatir kalau kelak benar-benar dia sampai kalah oleh Wi Liong, maka tanpa ragu-ragu dia cepat mengangguk.

"Tentu saja teecu suka sekali menerima ajaran-ajaran dari Tok-ong, apa lagi ajaran dari locianpwee yang kalian sebut Sian-su."

Dua orang tokoh Mokauw itu saling pandang, kemudian Tok-sim Sian-li mengangkat tubuh muridnya, dilempar-lemparkan ke atas diterima lagi, kemudian dilempar lagi dengan wajah girang. Kun Hong juga mengeraskan hati agar jangan merasa takut diperlakukan seperti ini oleh gurunya.

"Anak baik, bocah ganteng muridku sayang. Kelak kau benar-benar akan menjadi pemuda yang menyenangkan hatiku!" Tok-sim Sian-li memuji-muji muridnya.

"Sudahlah, mari kita segera berangkat," kata Bu-ceng Tok-ong.

Dalam hatinya Bu-ceng Tok-ong amat cinta kepada Tok-sim Sian-li, maka selalu merasa sebal bila melihat wanita itu memperlihatkan kasih sayang kepada lain pria, biar pun pria yang masih bocah seperti Kun Hong! Pendeknya ia merasa sangat cemburu. Hal ini tidak mengherankan karena pria manakah di dunia ini yang tidak memiliki hati cemburu? Kalau tidak cemburu berarti tidak cinta, biar pun cinta sejati amat membutuhkan kepercayaan.

Berangkatlah dua orang tokoh Mokauw ini turun dari Kun-lun-san, membawa Kun Hong yang menjadi girang sekali karena mendapatkan guru-guru pandai. Ada juga dia teringat kepada Kam Ceng Swi yang ia anggap dan sangka adalah ayahnya sendiri. Akan tetapi ia malah girang jika membayangkan betapa kelak ia akan kembali kepada ayahnya setelah memiliki kepandaian tinggi yang dapat ia banggakan kepada ayahnya itu.

Setengah orang bilang bahwa waktu berjalan amat cepat melebihi cepatnya anak panah terlepas dari busurnya. Tetapi ada pula yang menyatakan bahwa waktu itu amat lambat, merayap-rayap seperti keong.

Kedua pendapat ini memang ada betulnya. Waktu dapat berjalan amat cepat atau lambat tergantung dari keadaan. Bila mana kita mengenangkan waktu kita masih kanak-kanak, seakan-akan baru kemarin saja terjadinya dan terbayanglah betapa cepatnya sang waktu berjalan. Akan tetapi kalau kita menunggu datangnya sesuatu yang amat kita harapkan, waktu satu jam saja rasanya seperti sebulan. Coba kalau kita sedang terburu-buru tetapi harus menanti datangnya kawan atau kendaraan yang kita harap-harapkan, aduh bukan main lamanya. Bukan demikiankah?

Begitu pula cerita ini, tahu-tahu telah maju dua belas tahun kemudian semenjak apa yang telah dituturkan di bagian depan! Dua belas tahun lewat begitu saja dengan amat cepat.

Keadaan di dalam negeri tidak banyak mengalami perobahan karena bala tentara Mongol masih saja sibuk melakukan penyerbuan ke barat sampai menggegerkan seluruh Eropa. Sepanjang sejarah baru pertama kali itulah dunia barat dibikin geger dan ketakutan oleh kekuatan yang datang dari timur. Itu pun baru kekuatan dari negara timur yang kecil saja, kekuatan bala tentara Mongol, sekelompok bangsa yang tidak bisa dibilang besar. Semua ini berkat keberanian dan keuletan yang luar biasa dari bangsa timur.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar