Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 51

Kui-bo Thai-houw gemas sekali melihat Kun Hong pergi sambil membawa dua buah batu kemalanya berikut pedangnya, akan tetapi dia pun tak berdaya mencegah. Pemuda yang menghadapinya ini benar-benar tangguh. Apa lagi sekarang dengan suling di tangan kiri, pemuda ini benar-benar merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan sama sekali.

Kui-bo Thai-houw mengerahkan tenaga sambil mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tali ikat pinggangnya masih melayang-layang mencari sasaran maut, tangan dan kakinya juga ikut menyerang dengan serangan-serangan luar biasa. Jarang ada lawan dapat menahan serangan bertubi-tubi yang semuanya merupakan cengkeraman tangan-tangan maut yang mencari korban itu.

Tetapi serangan-serangan yang datangnya seperti hujan dan sekaligus secara bertubi-tubi tidak kurang dan tiga puluh enam jurus serangan yang tidak pernah putus dengan sangat indah dan cepatnya ini dapat dilayani dan dipunahkan oleh Wi Liong!

Kui-bo Thai-houw kaget bukan kepalang. Selama hidupnya belum pernah dia berhadapan dengan pemuda yang segagah ini. Hampir dia tidak percaya kalau bukan dia sendiri yang mengalaminya. Pukulan-pukulannya dengan hawa lweekang yang amat dahsyat ternyata dapat dilawan oleh dorongan pemuda itu dengan hawa lweekang yang sama kuatnya!

Dia lalu memperhatikan gerak-gerik pemuda itu, dari pergeseran kaki sampai pergerakan lengan dan pundak. Mendadak Kui-bo Thai-houw melompat mundur dan menarik kembali tali pinggangnya. Mukanya menjadi merah sekali, membuat dia nampak makin muda dan cantik.

"Kau... murid Thian Te Cu… mengapa datang menggangguku? Thian Te Cu sendiri tidak pernah memusuhiku! Apakah... Thian Te Cu menyuruh kau datang untuk menghinaku?" Dan aneh sekali, Wi Liong melihat dua butir air mata melompat keluar dari sepasang mata itu, membasahi pipi! Kui-bo Thai-houw mengeluarkan air mata.

Wi Liong merasa tidak enak sekali. Tak disangkanya bahwa agaknya wanita ini kenal baik dengan suhu-nya, malah melihat gelagatnya, agaknya dahulu ada terjadi sesuatu antara suhu-nya dengan Kui-bo Thai-houw. Celakalah jika sampai nama gurunya terbawa-bawa dalam urusan ini, padahal gurunya tidak tahu-menahu tentang penyerbuannya ke Ban-mo-to ini.

"Aku memang murid beliau, akan tetapi suhu tidak turut campur dengan kedatanganku di pulau ini. Seperti yang telah kukatakan padamu, Kui-bo Thai-houw, kedatanganku adalah untuk minta kau bebaskan nona Pui Eng Lan. Apa lagi sekarang kulihat kawan-kawanku, Pak-thian Koai-jin, See-thian Hoat-ong serta puteranya, juga kabarnya Thai It Cinjin dan kedua orang sute-nya, semua kau tahan. Harap kau suka melepaskan mereka.”

Kui-bo Thai-houw menghela napas panjang, agaknya lega mendengar bahwa pemuda ini datang bukan atas perintah Thian Te Cu.

"Aku pun dapat menduga, tidak mungkin dia mau menyerangku. Kau ini memang bocah yang kurang ajar sekali. Eng Lan dan yang lain-lain tidak diganggu, malah sekarang tentu sudah bebas dibantu oleh anjing penghianat Kun Hong itu. Mengapa kau masih ribut-ribut di sini? Apakah kau begitu sombong hendak mencoba kepandaianku? Awas, anak muda, jangan membikin aku marah dan lupa bahwa kau murid Thian Te Cu!"

Wi Liong sadar. Tadinya ia melawan Kui-bo Thai-houw hanya dengan maksud membantu dan menolong Kun Hong, kemudian memberi kesempatan bagi Kun Hong untuk menolong yang lain-lain maka dia menahan Kui-bo Thai-houw agar tidak mengejarnya.

Akan tetapi sekarang wanita ini agaknya sudah rela membiarkan semua orang terlepas, maka perlu apa dia mendesak terus? Harus diakui bahwa kepandaian wanita ini lihai dan berbahaya sekali dan ia sama sekali tidak berani memastikan apakah kalau pertandingan dilanjutkan ia akan bisa menang. Wi Liong lalu menjura dan berkata halus,

"Terima kasih kalau kau sudah rela membebaskan semua tawananmu. Aku orang muda mana berani berlaku kurang ajar di tempat orang? Kui-bo Thai-houw, harap kau maafkan aku dan selamat tinggal." Setelah berkata demikian. Wi Liong melesat pergi.

"Tunggu saja sampai pertemuan puncak di Pek-go-to pada musim chun mendatang!" Kui-bo Thai-houw berkata lirih, penuh kegemasan dan penasaran.

Masa dia tidak dapat menangkan murid Thian Te Cu? Kalau dia kalah terhadap Thian Te Cu, hal itu tidaklah memalukan benar. Akan tetapi terhadap muridnya yang masih begitu muda? Ia penasaran sekali.

"Aku harus memperkuat diri, harus memperdalam kepandaian. Usiaku belum terlalu tua. Aku bisa lebih maju untuk menghadapi pertemuan puncak," demikian katanya kepada diri sendiri dan pikiran serta semangat ini membuat dia agak terhibur dari kehilangan senjata pedang dan dua buah batu kemalanya……

********************

Wi Liong berlari cepat sekali menuju ke pantai. Dia hendak melihat dulu apakah betul Eng Lan dan yang lain-lain sudah bebas. Dia masih khawatir kalau-kalau dia ditipu oleh Kui-bo Thai-houw.

Selagi dia berlari-lari, tanpa disengaja dia melewati sebuah tanah pekuburan. Inilah tanah kuburan di pulau itu, dan di sinilah dikuburnya orang-orang yang mati di Pulau Ban-mo-to, baik karena sakit, karena tua mau pun akibat terbunuh oleh Kui-bo Thai-houw. Akan tetapi sebagian besar di antara mereka adalah korban-korban keganasan Kui-bo Thai-houw!

"Wi Liong, berhentilah kau!" tiba-tiba terdengar bentakan keras dan seorang pemuda yang membawa pedang muncul menghadang. Dia ini bukan lain adalah Kun Hong!

Melihat Kun Hong, dagu Wi Liong mengeras dan ia memandang tajam, berdiri tegak akan tetapi sikapnya tenang.

"Kun Hong, kau masih di sini? Di mana yang lain-lain? Apakah mereka sudah dibebaskan semua?"

"Mereka sudah pergi meninggalkan pulau ini!" jawab Kun Hong singkat dan mata pemuda ini mengincar ke arah Cheng-hoa-kiam di tangan kiri Wi Liong, mulutnya cemberut dan dia nampak marah sekaligus mendongkol.

"Kau mau apa? Mengapa kau tidak ikut pergi dan apa maksudmu menghadangku di sini?" tanya Wi Liong penuh selidik.

Untuk beberapa lama Kun Hong tidak menjawab. Tiba-tiba dia membentak, "Kembalikan Cheng-hoa-kiam kepadaku!"

Wi Liong tersenyum dingin. "Kaulah yang harus mengembalikannya kepadaku. Ingat, kau mencuri pedang ini dari Wuyi-san."

"Kau harus merampasnya dari tanganku, bukan mendapatkan kembali dengan cara begitu mudah!" kembali Kun Hong membentak marah.

Wi Liong tetap tenang. "Kau mau menang sendiri saja, Kun Hong. Pendeknya Cheng-hoa-kiam tidak akan terlepas lagi dari tanganku. Kau mau apa!"

"Aku harus mendapatkannya kembali!" Setelah berkata begini Kun Hong lantas menubruk maju, menyerang dengan pedangnya, pedang rampasan atau pedang curian dari kamar Kui-bo Thai-houw. Pedang ini pun bukan sembarang pedang melainkan sebatang pedang pusaka yang ampuh.

Maka ketika Wi Liong menangkiskan Cheng-hoa-kiam untuk merusak pedang Kun Hong itu, hanya terdengar suara nyaring disusul muncratnya bunga api, akan tetapi dua pedang itu tidak ada yang rusak.

"Kau sendiri sudah mempunyai pedang yang baik, kenapa masih menginginkan milik lain orang?" Wi Liong mencela Kun Hong, diam-diam kagum juga melihat keampuhan pedang di tangan Kun Hong itu.

Akan tetapi Kun Hong tak peduli lagi. Cepat dan antep dia menyerang lagi, mengerahkan tenaga dan mengeluarkan kepandaiannya. Dia tidak hanya ingin merampas pedang, akan tetapi dia hendak mencoba kepandaiannya yang sudah digembleng lagi oleh Kui-bo Thai-houw itu untuk melawan musuh lamanya ini.

Pertandingan itu berlangsung seru dan ramai sekali. Wi Liong selalu mengalah dan untuk menjaga agar jangan sampai salah sebuah di antara dua pedang pusaka itu rusak, ia pun menghadapi pedang Kun Hong dengan suling di tangan kanannya.

Wi Liong kaget menyaksikan keganasan ilmu pedang Kun Hong dan maklumlah ia bahwa pemuda murid Thai Khek Sian ini benar-benar sudah mendapat banyak kemajuan hingga ilmu pedang yang sudah ganas itu kini menjadi lebih keji lagi. Tentu dia sudah menerima latihan-latihan dari Kui-bo Thai-houw, pikirnya.

Wi Liong tidak bisa enak-enakan saja dalam menghadapi Kun Hong. Pemuda ini terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya supaya jangan sampai celaka dalam tangan pemuda aneh ini.

Setelah seratus jurus lewat, ketika pedang Kun Hong menusuk dadanya, Wi Liong segera menggunakan tenaga lweekang tingkat tinggi untuk menempel pedang itu dengan suling, menindihnya ke bawah, lalu membentak dengan suara kereng,

"Kun Hong, apa kau hendak mengadu nyawa karena Cheng-hoa-kiam?"

Lengan tangan kanan Kun Hong yang memegang gagang pedangnya menggigil. Harus ia akui bahwa ia kalah tenaga oleh Wi Liong dan hal ini karena dia tidak pandai menjaga diri, tidak kuat mengekang nafsu seperti Wi Liong. Namun dia tidak mau kalah, malah dengan cemberut ia membentak kembali,

"Kau menggoda Eng Lan!!" Seruan ini membuat Wi Liong begitu kaget dan heran hingga tenaganya agak mengendur.

Kun Hong cepat merenggut pedangnya terlepas dan dengan marah membacok kepala Wi Liong. Wi Liong sigap miringkan tubuh. Pedang Kun Hong menyabet bongpai (batu nisan) sebuah kuburan dan sebelum dia sempat menarik kembali pedangnya, lagi-lagi suling Wi Liong sudah menindih pedang itu.

"Kun Hong. jangan kau gila. Apa maksudmu dengan menggoda Eng Lan?"

"Kau memutuskan hubungan dengan Siok Lan karena kau mencinta Eng Lan!"

Lagi-lagi ucapan ini membuat Wi Liong terkejut dan tenaganya berkurang sehingga Kun Hong dapat menarik pedangnya lalu langsung menusuk perut Wi Liong. Wi Liong menjadi marah sekali mendengar fitnah keji itu. Ia menyampok pedang lawan sekuatnya sehingga pedang itu hampir saja terlepas dari tangan Kun Hong.

"Gila kau! Jadi kau... kau cemburu...?! Apa buktinya? Apa buktinya aku menggodanya? Hayo bicara dulu jangan mengamuk seperti kerbau gila!"

"Buktinya? Dia sudah mengambil pedangku yang selain dia gunakan untuk mengeluarkan kau dari jaring juga dia memberikan pedang Cheng-hoa-kiam kepadamu. Dahulu pun dia bersama kau menjadi tawanan Ngo-tok-kauw, kemudian sikapnya padaku menjadi tawar, malah tadi ia marah-marah karena aku meninggalkanmu seorang diri menghadapi Kui-bo Thai-houw dan sekarang dia pergi meninggalkan aku dengan marah dan benci. Mana bisa Eng Lan-ku yang dulu amat menyintaku kini berobah begitu kalau tidak kau ganggu?"

Wi Liong tertawa, suara ketawa kering untuk memperlihatkan kegemasan hatinya, tertawa mengejek dan merendahkan Kun Hong. "Kau pemuda gila, kau manusia picik dan rendah budi. Ahh, alangkah rendahnya budimu, betapa bodoh dan buta matamu. Kun Hong, lebih baik kau cokel keluar dua biji matamu itu, karena percuma saja kau bermata akan tetapi lebih buta dari pada orang yang tak bermata. Kau keji sekali, menuduh yang bukan-bukan kepada Eng Lan. Apa kau tahu bagaimana dia mati-matian menyeret gurunya menyerbu Ngo-tok-kauw, semata-mata untuk mencari Im-yang-giok-cu, semata-mata hanya untuk mengobatimu karena dia mencintamu? Setan hina, apa kau tidak melihat betapa setelah melihat kelakuanmu yang menjemukan dan yang kotor di pulau ini, setelah dia melihat kau menjadi kekasih dan anjing Kui-bo Thai-houw, sesudah kau menyakiti hatinya seperti itu, dia toh masih tidak tega meninggalkanmu di sini seorang diri? Ia masih setia, rela menjadi tawanan di sini, semata-mata hanya karena dia ingin selalu dekat denganmu? Semua itu ia lakukan, ia gadis suci murni itu, yang cinta kasihnya suci murni pula, semua ia lakukan untukmu yang ternyata malah membalasnya dengan fitnahan keji, kau tuduh yang bukan-bukan dengan aku. Ooo. alangkah rendahnya kau ini!"

Tanpa terasa Kun Hong terduduk. Terduduk dengan muka pucat bagai mayat. Pedang di tangannya gemetar, matanya membelalak memandang Wi Liong, bibirnya menggigil pucat tanpa kuasa mengeluarkan suara, hidungnya kembang kempis dan air matanya mengalir turun membasahi kedua pipinya yang pucat. Akhirnya, sesudah beberapa kali membuka mulut tanpa bisa mengeluarkan suara, ia dapat juga berkata dengan suara parau dan lirih,

"Wi Liong... demi lblis neraka... Wi Liong... betulkah semua omonganmu itu...?”

"Selama hidupku belum pernah aku memaki dan menyumpah seperti sekarang ini, belum pernah aku marah dan gemas kepada orang lain seperti kepadamu sekarang ini, Ahh…, alangkah inginnya aku memancungkan pedang ini pada lehermu, alangkah inginnya aku meremukkan kepalamu dengan sulingku ini."

Kun Hong tidak kuat lagi menahan keharuan dan kesedihan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut menciumi tanah sambil merenggut rumput-rumput.

"Lakukanlah Wi Liong... lakukanlah... bunuh saja orang keji ini... supaya iblis jahat pergi dari hatiku..." Kun Hong menangis seperti anak kecil! Hatinya penuh penyesalan, teringat akan apa yang baru saja terjadi antara dia dan Eng Lan.

Tadi sesudah dia mendengar dari Wi Liong bahwa Eng Lan pergi hendak membebaskan para tawanan, dia cepat mengejar dan menyusul. Benar saja, dia melihat Eng Lan tengah dikeroyok oleh para pelayan dan berada dalam keadaan bahaya. Dia segera membentak para pelayan yang cepat mundur karena mereka ini sebagian besar sudah mengenalnya.

"Mengapa kau menyusul ke sini? Mana saudara Wi Liong?" tanya Eng Lan wajar karena dalam keadaan tegang itu dia untuk sementara melupakan kemarahan kepada Kun Hong.

Dada Kun Hong makin panas karena begitu bertemu, gadis ini terus saja menanyakan Wi Liong.

"Dia bertempur melayani Kui-bo Thai-houw," jawabnya singkat sambil berlari memasuki ruangan di bawah tanah, tempat para tawanan.

"Dan kau biarkan dia menghadapi Kui-bo Thai-houw seorang diri? Tidak kau bantu? Kau benar-benar keterlaluan!"

Mendengar ucapan marah dari gadis ini, rasa cemburu di hati Kun Hong menjadi berkobar dan pemuda ini tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia tidak jadi memasuki tempat tahanan, malah melompat kembali menghadapi Eng Lan yang berdiri dengan penuh kekhawatiran untuk keselamatan Wi Liong.

"Mengapa aku harus membantunya?" tanyanya ketus sambil memandang wajah Eng Lan dengan hati panas.

"Mengapa katamu?!" Eng Lan juga membentak marah. "Tentu saja kau harus membantu dia, ataukah kau memang sengaja meninggalkannya supaya dia celaka di tangan Kui-bo Thai-houw kecintaanmu itu?"

"Biar dia mampus! Kau peduli apa sih? Hemm, tahulah aku, Eng Lan. Tahulah aku sudah akan isi hatimu. Tidak perlu kau bicara lagi."

Muka Kun Hong menjadi kejam dan biar pun pemuda ini menahan-nahannya. namun iblis di dalam hatinya mendesak terus, membuatnya tak berdaya menahan mulut yang bicara terus, mengeluarkan kata-kata keji sekali. "Aku mati-matian mencari obat, berjuang untuk memperpanjang hidupku, semua ini kulakukan dengan harapan kelak bisa hidup bahagia denganmu... dengan kau yang kukira gadis tunggal yang benar-benar mencintaku dengan suci, yang kukira gadis yang patut dijunjung tinggi, patut kucinta dan kupuja melebihi jiwa sendiri... Tapi tidak tahunya, sepeninggalku ternyata kau sama busuknya dengan wanita-wanita yang pernah kukenal. Sama busuknya dengan pelayan-pelayan Kui-bo Thai-houw, malah lebih busuk dari pada mereka karena mereka itu sedikitnya tidak berpura-pura suci seperti kau! Kau berdua dengan Wi Liong tertawan di Ngo-tok kauw. kau membelanya di pulau ini, lebih mementingkan dia dari pada aku. Sekarang pula...!"

"Plakk...!" Eng Lan menampar pipi Kun Hong sambil memekik dengan muka pucat sekali, "Tutup mulutmu, jahanam!"

Akan tetapi Kun Hong seperti sudah kemasukan iblis Ban-mo-to. Meski ditampar dia tidak menangkis, malah tertawa terbahak lalu sekali renggut dia telah dapat memeluk pinggang gadis itu.

"Memang kau manis sekali...! Sampai sekarang pun aku masih suka padamu, suka pada wajahmu yang manis, pada matamu yang berapi-api, juga pada bibirmu yang merah dan lembut. Akan tetapi aku suka padamu seperti aku suka wanita-wanita lain. Ha-ha, Pui Eng Lan, kau dan aku sama. Aku suka padamu seperti aku suka pelayan-petayan Kui-bo Thai-houw, dan kau suka padaku seperti kau suka kepada Wi Liong dan mungkin laki-laki lain lagi...!" Ia memeluk dan menciumi gadis itu dengan kasar.

Eng Lan hampir pingsan. Untuk sejenak dia terlampau kaget untuk dapat bergerak, dan dia meramkan mata hampir pingsan ketika Kun Hong menciuminya. Kemudian ia teringat akan harga dirinya. Sekuat tenaga dia memberontak sehingga terlepas dari pelukan Kun Hong, tak kuasa membuka mulut, tak kuasa menyerang. Begitu marah dia. Lalu dengan isak tertahan gadis itu lari meninggalkan Kun Hong!

Kun Hong tak peduli lagi, tertawa-tawa dan memasuki ruangan bawah tanah. Ia merusak pintu-pintu kamar tahanan dengan pedangnya dan membebaskan Pak-thian Koai-jin. Thai It Cinjin. Im-yang Thian-cu, See-thian Hoat-ong, dan Kong Bu tanpa berbicara apa-apa. Mereka semua memandang pemuda yang pucat dan membisu itu dengan terheran-heran.

"Malahan kau yang membebaskan kami!" Pak-thian Koai-jin berkata, agak terkejut juga. "Dan di mana muridku, Eng Lan?"

Tanpa menoleh Kun Hong menjawab, "Sudah pergi lebih dulu dari pulau ini."

Ketika semua orang menyerbu keluar, Kun Hong mengikuti mereka dari jauh. Dia masih belum tahu hendak bagaimana, pikirannya kosong dan hatinya sedih sekali. Betapa pun juga, walau pun dia menghibur hatinya dengan kata-kata sendiri bahwa di dunia ini masih banyak wanita lain, bahwa gadis seperti Eng Lan yang tidak setia itu tidak perlu dipikirkan lagi, namun seperti tidak disengaja kedua kakinya bergerak sendiri mengikuti orang-orang itu yang melarikan diri ke pantai.

Kong Bu yang larinya paling belakang karena pemuda ini masih bingung hendak bertanya tentang obat baginya, ketika melihat Kun Hong berjalan di belakangnya lalu berhenti dan berkata ramah,

"Saudaraku, ternyata kau seorang sahabat baik yang menolong kami semua. Aku sangat bersyukur kepadamu. Apakah sekarang kau pun hendak pergi bersama kami?"

Kun Hong menggeleng kepala, matanya mencari-cari karena dia tidak melihat bayangan Eng Lan. Lalu dia teringat dan merogoh sakunya, mengeluarkan Ngo-heng-giok-cu yang menghias kepala tongkat yang telah potong, yaitu tongkat Ngo-tok-kauw, memberikannya kepada Kong Bu.

"Lukamu karena Hek-tok sin-ciang tidak berat. Akan tetapi kalau diobati dengan ini akan lebih cepat sembuhnya. Kau pergilah."

Melihat air muka Kun Hong yang pucat dan aneh, Kong Bu tak berani banyak cakap lagi. Dia cepat menerima tongkat potong itu dan menghaturkan terima kasih, kemudian berlari menyusul ayahnya dan yang lain-lain.

Kun Hong terus mengikuti mereka sampai di pinggir pantai,. Ia melihat Pak-thian Koai-jin menangkap seorang penjaga pantai lantas mengancam, "Apa kau tadi melihat nona Eng Lan? Hayo bilang terus terang agar aku tak usah menggunakan kekerasan."

"Dia sudah pergi, naik sebuah perahu...,” jawab penjaga itu.

Jawaban ini diterima dengan hati lega oleh Pak-thian Koai-jin dan kawan-kawannya, akan tetapi dengan hati kosong dan semangat layu oleh Kun Hong. Eng Lan benar-benar telah pergi dan ia tidak akan melihat bayangannya lagi. Dari sedih ia menjadi benci dan marah, bukan kepada Eng Lan melainkan kepada Wi Liong! Inilah yang menyebabkan ia menanti Wi Liong dan sengaja mengajak Wi Liong berkelahi mati-matian, sebetulnya sama sekali bukan Cheng-hoa-kiam yang menjadi sebab utama, melainkan Eng Lan!

Demikianlah dengan hati remuk dan perasaan menyesal terhadap diri sendiri, Kun Hong menangis sesudah mendengar ucapan Wi Liong yang membuka matanya. Wi Liong yang masih berdiri, terharu juga biar pun dia masih marah kepada Kun Hong.

Terkenanglah dia akan pengalamannya sendiri, akan cinta kasihnya yang gagal bersama Siok Lan. la melihat bayangan asmara yang gagal dan remuk pula di depan mata, asmara antara Eng Lan dan Kun Hong.

Hatinya menjadi terharu dan tidak tega. Ia sendiri sudah merasai betapa pahitnya, betapa sengsaranya menderita patah hati dan dia tidak mau melihat lain orang menderita seperti dia. Hubungan Kun Hong dan Eng Lan masih dapat diperbaiki, kalau Kun Hong memang dapat memperbaiki kelakuannya.

Ia dapat menduga betapa besarnya cinta kasih Eng Lan kepada Kun Hong, sebesar cinta kasih Siok Lan padanya. Dan sekarang ia dapat melihat pula bahwa Kun Hong sebetulnya amat mencinta Eng Lan, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda ini sekarang menderita penyesalan hebat seperti ini, sampai menangis tersedu-sedan seperti anak kecil!

"Apa artinya kau menangis seperti anak kecil di depanku? Semua salahmu sendiri, sebab kau tidak bisa menjaga dirimu, tidak bisa menahan nafsumu, karena kau pemuda lemah, pemuda mata keranjang dan cabul. Apa artinya kau minta ampun kepadaku? Kau bodoh, kenapa tidak minta ampun kepada Eng Lan, menyusulnya cepat-cepat sebelum dia pergi terlalu jauh dan sukar disusul lagi? Benar-benar bodoh!"

Mendengar ini, Kun Hong seperti baru sadar dari tidurnya. Ia cepat melompat bangun dan dengan mata merah dan muka pucat ia memandang Wi Liong.

"Apa... apa kau kira... dia akan sudi mengampuniku...?"

"Cintanya suci. tidak seperti cinta kasihmu yang kotor dan palsu."

"Terima kasih!" Kun Hong berlari cepat sekali, menuju ke tempat perahu. Bagaikan dikejar setan dia melompat ke sebuah perahu dan mendayungnya cepat-cepat menuju ke pantai daratan Tiongkok untuk mengejar kekasihnya yang telah ia sakiti hatinya.

Kalau ia teringat betapa tadi ia memperlakukan Eng Lan, tidak saja mengeluarkan kata-kata menghina sekali akan tetapi juga memeluk dan menciumi gadis itu seperti laku orang edan, mau ia memukul rusak mukanya sendiri.

"Eng Lan... Eng Lan... tunggu...!" keluhnya dalam hati…..

********************

Sementara itu, dengan mata basah karena terharu melihat keadaan orang yang menderita akibat cinta kasih seperti yang pernah dia derita, Wi Liong berdiri tegak dan memandang ke arah perginya perahu. Kemudian ia pun menyusul dan mendayung sebuah perahu kecil yang diambilnya dari banyak perahu di tepi pulau itu.

"Semoga mereka itu dapat bertemu dan berbahagia kembali," bisiknya dan terbayanglah wajah Siok Lan di depan matanya, membuat hati Wi Liong menjadi berduka sekali……

********************

Kota An-king di Propinsi An-hui adalah sebuah kota yang ramai dan cukup besar. Sungai Yang-ce-kiang mengalir di pinggiran kota sebelah selatan dan sungai ini merupakan jalan hubungan yang amat penting bagi An-king. Barang-barang dagangan yang keluar masuk kota itu banyak melalui sungai sehingga setiap hari pada permukaan air sungai di kota itu penuh dengan perahu-perahu hilir-mudik.

Kotanya sendiri juga amat ramai. Banyak pedagang dan pelancong memenuhi hotel-hotel dan restoran-restoran. Karena kota ini letaknya di tengah-tengah, maka orang-orang yang nampak di kota ini pun campur-aduk. Banyak juga orang-orang utara berada di situ, yang dapat dikenal dari langgam bicara mereka.

Pada jaman itu, di mana setiap saat dirasakan hawa ancaman dari bala tentara Mongol yang masih sibuk dengan penyerbuan ke dunia barat, banyak orang pergi keluar rumah membawa senjata. Banyak pula orang-orang kang-ouw di kota ini, sehingga tidak menjadi aneh lagi kalau orang melihat orang-orang berpakaian ahli silat membawa-bawa pedang di punggung atau pinggangnya, malah terlihat pula banyak wanita-wanita, gadis-gadis cantik, berpakaian ringkas dan di pinggang mereka tergantung pedang atau golok.

Hari itu restoran Hok-lo yang merupakan restoran terbesar dan selalu penuh tamu di An-king, tidak begitu ramai. Meja-meja banyak yang kosong dan hanya ada empat lima meja yang dihadapi tamu-tamu. Sebabnya adalah karena pagi hari itu hujan turun rintik-rintik hingga membuat orang-orang segan keluar rumah. Pelancong-pelancong dan pedagang-pedagang juga segan meninggalkan kamar hotel, karena hawa demikian dingin dan jalan agak becek.

Pada meja yang terletak paling depan duduk dua orang menghadapi meja dan hidangan. Mereka makan minum sambil mengobrol dan melihat-lihat keluar, ke jalan raya di depan restoran Hok-lo, mentertawakan orang-orang yang berjalan terburu-buru menempuh hujan. Mereka adalah seorang gadis yang cantik sekali, masih muda remaja dengan sikap yang lincah kenes menarik hati, serta seorang pria gemuk bertopi sutera berkumis kecil.

Gadis ini paling banyak baru berusia delapan belas tahun, cantik dan manis. Akan tetapi sepasang mata yang indah itu kadang-kadang kelihatan berapi-api dan alis yang lentik itu kadang-kadang dikerutkan, membayangkan watak yang keras.

Pakaiannya ringkas sederhana, tapi tidak menyembunyikan keayuannya, malah membuat dia makin jelita. Sebatang pedang panjang tergantung di pinggangnya dan ini membuat dia kelihatan gagah sehingga mata laki-laki tidak begitu berani berterang memandang dan mengagumi kecantikannya.

Ada pun laki-laki itu, biar pun tubuhnya gemuk dan perutnya gendut, akan tetapi gemuk-gemuk kencang, tanda dia seorang kuat. Topinya dari sutera itu lain modelnya dari pada orang lain membuat dia kelihatan aneh dan asing. Di atas topi itu, di tengah-tengah, dihias sebuah mainan bundar dari benang bulu domba. Laki-laki ini juga membawa pedang yang dipasang di belakang punggungnya, dari depan hanya gagang pedang yang tampak.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar