Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 05

Dia mengenal baik Kwee Sun Tek, pemuda patriotik yang gagah dan dia dapat menduga bahwa tentu terjadi keributan antara guru dan murid, buktinya pemuda ini tidak menyebut ‘suhu’ lagi kepada Beng Kun Cinjin.

"Heran, sudah demikian jauhkah penyelewengan Beng Kun Cinjin?" katanya lirih.

"Penghianat itu telah membunuh cici dan cihu-ku ketika kami berusaha mengingatkannya dari penghianatannya. Ini adalah anak cici dan cihu, dan sekarang penghianat itu dari kota raja mengejar teecu, mohon pertolongan losuhu dan semua suhu di sini bagi keselamatan bocah ini...!"

"Sun Tek, keluarlah! Jangan bawa-bawa orang lain dalam urusan kita!" terdengar suara bentakan dari luar kuil. Itulah suara Beng Kun Cinjin.

"Losuhu, biar teecu keluar dan menyerahkan nyawa teecu. Akan tetapi teecu mohon para losuhu sudi melindungi bocah ini dan kelak memasukkan Thio Wi Liong ini sebagai murid Siauw-lim-pai," kata Kwee Sun Tek dengan suara memohon.

"Jangan, Kwee-sicu. Di samping tidak baik melawan bekas guru sendiri, juga kau takkan menang. Untuk apa mengantarkan nyawa cuma-cuma? Kau masih muda dan perlu hidup untuk merawat keponakanmu. Kau larilah lewat pintu belakang, biar pinceng bertujuh yang membujuk akan Beng Kun Cinjin untuk mengampunimu," kata Siang Tek Hosiang dengan suara lemah lembut.

Sun Tek girang sekali, ia menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian ia memondong keponakannya itu dan berjalan berindap-indap ke pintu belakang. Ada pun Siang Tek Hosiang beserta enam orang sute dan muridnya berjalan keluar dengan tenang.

Biar pun dulunya Beng Kun Cinjin adalah seorang hwesio pula dan bahkan sekarang pun kepalanya masih gundul walau pun tidak sekelimis dahulu, namun karena kedudukannya sebagai koksu negara Siang Tek Hosiang tidak menganggapnya sebagai sesama pendeta Buddha. Siang Tek Hosiang memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, diturut oleh enam orang hwesio yang lain.

"Ah, kiranya koksu yang mengunjungi kuil kami yang buruk. Entah apa gerangan maksud kunjungan koksu yang terhormat ini?” kata Siang Tek Hosiang dengan ramah dan halus.

Beng Kun Cinjin tidak merasa heran bahwa hwesio ini telah mengenalnya, sebab sebagai koksu baru tentu saja dia menjadi amat terkenal dengan kedudukannya yang tinggi itu dan semua orang di sekitar kota raja pasti mengenalnya. Akan tetapi dia menjadi tak senang melihat hwesio tua itu masih berpura-pura, padahal sudah jelas bahwa tadi Kwee Sun Tek memasuki kuil ini. Bentaknya keras,

"Biasanya hwesio-hwesio Siauw-lim-pai amat jujur, kenapa sekarang ada cabangnya yang diurus oleh hwesio-hwesio pandai bersikap palsu? Hwesio tua, apa kau tidak tahu bahwa pinceng adalah Beng Kun Cinjin? Lekas kau suruh orang muda yang memondong bocah tadi keluar menemui pinceng. Dia adalah muridku, dan jangan kalian mencampuri urusan antara guru dan murid!"

Siang Tek Hosiang tersenyum tenang. "Lo-ceng cukup tahu dengan siapa lo-ceng sedang berhadapan, yaitu dengan koksu baru dari pemerintah Mongol! Siauw-lim-pai selamanya mengutamakan kegagahan dan membenci kemunafikan, terlebih lagi penghianatan. Orang muda yang memondong bocah adalah seorang patriot muda perkasa, seorang sahabat lo-ceng yang baik. Oleh sebab itu sudah sewajarnya kalau Siauw lim-pai melindungi seorang pahlawan bangsa. Mengingat akan asal-usul koksu, harap saja koksu memandang muka kami dan suka menghabiskan urusan ini kembali ke kota raja."

"Hwesio keparat…!" Beng Kun Cinjin membanting kaki dengan marah sekali. "Kau sudah tahu berhadapan dengan Beng Kun Cinjin dan masih berani bersikap begini? Setan alas! Bhok Lo Cinjin yang merupakan Couwsu dari Siauw-lim-pai sendiri, makan semeja duduk sebangku dengan pinceng!" Kata-kata makan semeja duduk sebangku mengandung arti orang yang setingkat atau sederajat.

Memang Beng Kun Cinjin bisa dianggap sebagai tokoh besar dunia kang-ouw yang hanya dapat disamakan dengan para ciangbujin (ketua) dari partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan beberapa partai lagi. Namun sekarang seorang ketua cabang partai seperti Siang Tek Hosiang berani bicara seperti orang menegur atau menyindir di depannya, tentu saja membuat Beng Kun Cinjin menjadi panas perutnya.

Sesudah memaki marah, Beng Kun Cinjin langsung saja menerobos masuk ke dalam kuil tanpa mempedulikan tujuh orang hwesio yang menghadang di depannya.

"Koksu, kuil adalah tempat suci, lantainya tidak boleh sembarangan diinjak oleh seorang pembesar asing!" kata Siang Tek Hosiang mencegah sambil mengangkat kedua lengan ke depan untuk mendorong mundur Beng Kun Cinjin. Enam orang kawannya yang terdiri dari dua orang sute dan empat orang murid, juga telah menghadang di tengah jalan.

Ucapan ‘pembesar asing’ ini lebih-lebih mengobarkan kemarahan di hati Beng Kun Cinjin.

"Pergilah!" Sambil membentak dia menggerakkan tangan kanan menyambut dorongan itu, sedangkan tangan kiri dia kipatkan ke arah enam orang hwesio lainnya.

Meski gerakan ini nampak sewajarnya dan biasa saja, akan tetapi sebenarnya gerakan ini mengandung tenaga pukulan Lui-kong-jiu yang amat ampuh. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan.

Tubuh Siang Tek Hosiang terlempar lantas roboh tak berkutik lagi, dari mulut hwesio tua ini keluar darah segar dan matanya melotot memandang Beng Kun Cinjin dengan sinar kemarahan yang makin lama makin melenyap ketika sepasang matanya menjadi suram dan akhirnya padam, tanda nyawanya meninggalkan tubuhnya yang sudah tua. Ada pun enam orang hwesio lain yang terkena sambaran angin pukulan tangan kiri, laksana daun-daun kering tertiup angin taufan, terlempar saling tumbuk tidak karuan.

Tanpa mempedulikan lagi keadaan para korban akibat pukulannya, Beng Kun Cinjin terus melangkah masuk dan menggeledah di dalam kuil. Akan tetapi yang dia dapati hanyalah alat-alat sembahyang dan kitab-kitab doa Agama Buddha. Tidak terdapat bayangan Kwee Sun Tek. Beng Kun Cinjin dapat menduga bahwa bekas muridnya itu tentu melarikan diri dari pintu belakang. Tanpa membuang waktu lagi ia terus mengejar lewat pintu belakang, mengerahkan kepandaiannya dan berlari secepat terbang melakukan pengejaran.

Secepat-cepatnya dan sepandai-pandainya Kwee Sun Tek berlari, mana bisa ia melawan bekas gurunya sendiri? Belum sepuluh lie ia lari, Beng Kun Cinjin sudah dapat menyusul pemuda ini!

"Sun Tek, kau hendak lari ke mana?!" bentak Beng Kun Cinjin dengan suara yang amat menyeramkan.

Karena tidak melihat jalan untuk menyelamatkan diri lagi, dengan wajah pucat akan tetapi mata mengandung keberanian luar biasa Kwee Sun Tek berhenti, membalikkan tubuh lalu berdiri tegak dengan keponakannya di dalam pondongan tangan kiri serta pedang Cheng-hoa-kiam di tangan kanan.

"Beng Kun Cinjin, apakah sesudah menjadi kaki tangan penjajah kau juga menjadi begitu hina untuk melanggar janji sendiri? Kau sudah berjanji dan mengeluarkan kata-kata akan melepaskan orang yang memegang Cheng-hoa-kiam!"

Melihat pemuda itu berdiri tegak dan gagah, untuk sedetik Beng Kun Cinjin teringat akan muridnya ini pada waktu masih kecil, belajar dengan tekun, rajin dan memang sejak kecil Sun Tek memiliki ketabahan hati luar biasa. Akan tetapi semua ingatan ini segera terusir pergi oleh bayangan bibir merah menarik dari Hui Niang, maka bentaknya keras,

"Siapa yang mau melepaskanmu? Pinceng memang bermaksud melepaskan Kwee Goat, tapi bukan kau! Sungguh kau harus malu, membiarkan enci sendiri tewas dan kau sendiri melarikan dan menyelamatkan diri!"

Sun Tek menganggap sudah tak ada gunanya membujuk bekas gurunya ini, maka sambil membolang-balingkan pedang Cheng-hoa-kiam, ia pun berkata.

"Kau hendak membunuh aku? Boleh, silahkan saja. Siapa takut mati? Akan tetapi harap saja kau masih punya sedikit peri kemanusiaan dan tidak mengganggu keponakanku ini." Sesudah berkata demikian Sun Tek lalu menurunkan Wi Liong di atas rumput, di bawah sebatang pohon besar.

Anak ini belum pandai berdiri, baru dapat merangkak. Karena diturunkan dari pondongan dan ditinggal seorang diri di atas rumput, dia pun mulai menangis keras.

Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak bicara karena di dalam lubuk hatinya betapa pun juga ia merasa bahwa kali ini ia bertindak keterlaluan. Akan tetapi kalau bekas muridnya ini tidak dibunuh, kelak tentu akan menimbulkan banyak masalah, seperti yang dikatakan oleh kekasihnya.

"Kau sendiri yang mencari mampus, alangkah beraninya kau mencampuri urusan rumah tangga dan kehidupanku!" bentaknya untuk menghibur hati sendiri yang merasa tak enak. Bentakannya ini segera disusul gerakan tubuhnya yang cepat menyerang dengan pukulan keras.

Sun Tek sudah nekat. Ia menggerakkan pedang, cepat memapaki gerakan gurunya dan menusuk sekuat tenaga ke arah dada Beng Kun Cinjin. Gerakannya ini disebut Cai-hong-siok-i (Burung Hong Menyisir Bulu), cepat dan berbahaya sekali karena Sun Tek memang sudah berlaku nekat.

Jika bukan bekas guru yang mengajarkan ilmu itu kepadanya yang menghadapi serangan ini tentu akan sibuk untuk menangkis. Tetapi Beng Kun Cinjin hanya mengeluarkan suara ketawa dingin, mengkal dan marah karena kini dia diserang orang dengan ilmu yang dia ajarkan sendiri.

Dengan tenang lengan kirinya bergerak maju. Ujung bajunya yang panjang itu menyambar ke depan dengan gerakan memutar dan di lain saat, ujung pedang Cheng-hoa-kiam telah kena dililit oleh ujung lengan baju itu!

Sun Tek maklum akan kelihaian gurunya, maka dia pun mengerahkan seluruh tenaganya, memutar gagang pedang dan menarik dengan gerakan menggetar.

"Breettt…!" Ujung lengan baju itu pecah!

Beng Kun Cinjin tidak menyangka bekas muridnya akan begini nekat. Kini kemarahannya memuncak dan sebelum Sun Tek sempat menyerang lagi. bekas guru ini sudah mengirim pukulan Pai-in-ciang yang cepatnya laksana kilat menyambar.

Sun Tek mengeluh, pedang Cheng-hoa-kiam sudah terampas oleh gurunya dan ia sendiri terlempar ke belakang, dadanya terasa sakit karena sudah terkena pukulan Pai-in-ciang!

Beng Kun Cinjin memegang pedang Cheng-hoa-kiam dengan kedua tangannya, hendak dipatahkannya, akan tetapi dia lalu teringat betapa pedang ini telah mengawaninya sejak dia muda sampai pada suatu hari dia memberikan pedang itu kepada Kwee Goat. Timbul rasa sayangnya untuk mematahkan pedang itu, tetapi untuk membawa pedang itu, ia pun merasa malu kepada diri sendiri.

Akhirnya ia melemparkan pedang itu ke bawah. Pedang menancap sampai ke gagangnya di dalam tanah. Setelah itu ia melangkah maju menghampiri Sun Tek.

"Pinceng bukan seorang kejam," katanya bersungut-sungut kepada Sun Tek yang sudah tidak mampu berdiri lagi. Suara Beng Kun Cinjin terdengar seperti orang mencela, seperti orang yang merasa menyesal, atau hendak mencari-cari alasan untuk menutupi hati yang tidak enak karena tiga orang muridnya dia bikin celaka sendiri. "Akan tetapi pinceng juga seorang manusia biasa. Semenjak muda pinceng selalu terlunta-lunta. selalu kecewa dan gagal dalam cinta kasih dan dalam hidup. Sekarang dalam usia tua ada orang mencinta, ada orang yang memberi kesempatan pada pinceng untuk hidup senang dan mengalami kebahagiaan dan cinta kasih; kenapa kau datang mengacau? Jangan bilang pinceng yang keterlaluan dan tidak punya peri kemanusiaan!"

"Penghianat yang tidak tahu malu. Mau bunuh lekas bunuh, kau kira aku takut mati? Asal kau bebaskan Wi Liong, aku orang she Kwee tidak akan gentar menerima kematian!” Sun Tek menantang.

"Memang engkau akan kubunuh, siapa yang melarang?” kata Beng Kun Cinjin tersenyum mengejek dan dia mengangkat tangan kanannya ke atas, siap melakukan pukulan maut. Tiba-tiba terdengar Wi Liong menjerit-jerit dan menangis.

Beng Kun Cinjin menurunkan kembali tangannya, cepat menengok ke arah Wi Liong dan menghela napas panjang. Tak sampai hati juga dia untuk membunuh Sun Tek, pemuda bekas muridnya yang begini gagah perkasa tak berkedip menghadapi kematian

"Kuampuni nyawamu, akan tetapi pinceng terpaksa membuat kau tidak ada kesempatan mengacau lagi kelak." Sesudah berkata demikian, cepat tubuhnya bergerak dan tahu-tahu Sun Tek sudah menerima dua pukulan, pertama di belakang kepala dan ke dua di antara kedua mata. Pukulan-pukulan yang sebetulnya adalah totokan yang dilakukan dengan jari telunjuk.

Sun Tek tidak merasa sakit, hanya kepalanya pening sekali dan ia terguling pingsan. Dari kedua matanya keluar darah! Beng Kun Cinjin menoleh ke arah Wi Liong, menarik napas panjang dan berkata seorang diri,

"Hmm, bocah yang tak tahu apa-apa. Sun Tek takkan mampu mendidiknya menjadi orang berbahaya." Kemudian secepat terbang hwesio ini meninggalkan tempat itu, seakan-akan suara Wi Liong yang menangis menjerit-jerit itu amat mengganggunya.

Kurang lebih tiga jam Sun Tek pingsan. Setelah sadar dia mendapatkan kenyataan bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Ternyata bahwa bekas gurunya telah membikin putus urat-urat di kepala, sengaja membuat dia menjadi buta meski pun biji matanya masih utuh dan kedua matanya masih melek.

Akan tetapi Sun Tek tidak mengeluh. Mendengar tangis Wi Liong, ia cepat menahan rasa sakit pada dadanya yang terpukul tadi, meraba-raba ke arah Wi Liong. Ketika mendapat kenyataan bahwa bocah itu dalam keadaan baik-baik saja, sedikit pun tiada tanda-tanda bekas diganggu Beng Kun Cinjin, saking girangnya Sun Tek memeluki keponakannya itu dan menangis tanpa mengeluarkan air mata! Jangankan baru dibikin terluka dan buta, biar dibunuh sekali pun asal keponakannya ini dibiarkan hidup, ia sudah merasa girang sekali.

Dengan meraba-raba akhirnya dia bisa mendapatkan Cheng-hoa-kiam kembali dan sambil memondong keponakannya, Kwee Sun Tek pendekar yang sekarang sudah menjadi buta itu berjalan terhuyung-huyung ke depan, meraba-raba jalan dengan ujung kakinya, tangan kanan memondong Wi Liong, tangan kiri menggunakan pedang meraba-raba ke depan. Keadaannya sungguh mengenaskan sekali…..

********************

Bagaikan air bah meluap-luap, bala tentara Jengis Khan menyerbu ke barat. Seperti banjir dahsyat yang tak mungkin bisa dibendung lagi, bala tentara yang amat kuat ini menerjang ke jurusan barat. Segala perlawanan yang dijumpai mereka patahkan. Kerajaan-kerajaan besar kecil yang dilalui, dengan cara halus atau keras ditundukkan semua.

Sin-kiang diserbu, terus bergerak ke Iran dan Afganistan. Kota-kota besar indah di dunia barat seperti Bukhara, Samarkhand, Balkh dan lain-lain digilas hancur. Puluhan, ratusan ribu orang dibunuh oleh bala tentara yang ganas dan kuat ini, ribuan rumah dibakar dan entah berapa banyak harta benda yang dirampas. Sebagian dari pada bala tentara yang kuat sekali ini membelok ke Iran utara dan menyerbu Rusia selatan melalui Pegunungan Kaukasia.

Memang bukan main hebatnya Jengis Khan memimpin bala tentaranya. Malah pasukan-pasukan Rusia di sebelah utara Laut Azov juga mereka hancur leburkan seperti tersebut di dalam sejarah yaitu pada tahun 1223.

Selain memiliki bala tentara yang kuat berdisiplin, juga Jengis Khan mempunyai panglima-panglima perang yang pandai dan berpengalaman. Di antara panglima-panglima perang ini, Beng Kun Cinjin sebagai koksu berjasa besar dalam penyerbuan ke barat. Bila pihak lawan mengajukan panglima yang lihai, maka Beng Kun Cinjin lalu maju dan mengalahkan panglima itu.

Berkat kepandaiannya yang luar biasa, sering kali Beng Kun Cinjin dapat pulang ke kota raja untuk menengok isterinya yang sudah melahirkan seorang anak laki-laki. Bukan main girangnya hati Beng Kun Cinjin, dan dia merasa hidupnya bahagia sekali. Cintanya pada Kiu Hui Niang semakin mendalam.

Tetapi di dalam kemuliaan dan kesenangannya, agaknya Beng Kun Cinjin telah lupa akan pelajaran Agama Buddha yang jelas memperingatkan manusia bahwa segala kesenangan di dunia ini tidak kekal adanya. Segala sesuatu di alam dunia ini hanya bersifat sementara dan sebagian besar diselimuti kepalsuan yang menina-bobokkan manusia yang dikuasai oleh nafsu. Juga ia lupa bahwa manusia sendiri bila sudah terlalu terpengaruh oleh nafsu sehingga lenyap sifat murninya, tertutup oleh hawa nafsu, akan membuat manusia sendiri seperti palsu atau berkedok. Semua yang nampak di luar itu belum tentu mencerminkan keadaan di dalam.

Pada suatu hari Beng Kun Cinjin kembali mengambil cuti dan kembali ke kota raja. Baru dua bulan yang lalu ia pulang, maka kali ini pulangnya agak tak terduga. Ia sudah merasa amat rindu kepada isteri dan anaknya. Dia melakukan perjalanan cepat sekali, karena itu malam-malam dia terus berjalan dan tiba di kota raja ketika hari telah menjadi gelap.

Untuk membuat kedatangannya itu menjadi sebuah kejadian yang menggirangkan dan di luar dugaan isterinya, dia memasuki kota raja mempergunakan ilmunya. Tak seorang pun mengetahui karena dia melompat dari tembok kota, juga dia pulang ke gedung mengambil jalan lewat atap genteng, berlari-larian seperti seekor kucing dengan hati sebesar gunung, sama sekali tidak tahu bahwa baginya telah tiba saatnya untuk ditinggalkan kebahagiaan menurut ukuran hati dan pikirannya.

Ketika ia tiba di atas gedungnya, ia melihat gedung itu sudah sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah tidur. Memang waktu itu sudah menjelang tengah malam. Akan tetapi telinganya yang amat tajam itu mendengar suara berbisik-bisik di dalam kamar bangunan kecil yang berada di taman bunga. Memang pada taman itu disediakan sebuah bangunan indah kecil tempat ia bersenang-senang dengan isterinya di waktu hawa di dalam gedung terlalu panas.

Beng Kun Cinjin terheran-heran. Bagaimana ada orang di dalam bangunan itu pada waktu tengah malam? Tanpa mengeluarkan suara ia cepat meloncat dan menghampiri bangunan itu. Alangkah kaget dan herannya ketika dia mendengar suara isterinya tertawa perlahan, disusul oleh suara laki-laki,

"Hui Niang yang manis, apa kau masih hendak membantah lagi? Lihat saja muka anakmu baik-baik, apanya yang mirip dengan koksu? Mata dan telinganya seperti milik kaisar, ada pun hidung dan mulutnya seperti..."

"Seperti siapa?” terdengar Hui Niang mencela, terdengar gemas dan manja.

"Seperti... seperti hidung dan mulutku..."

Laki-laki itu tertawa dan Hui Niang mencela. "Bisa saja kau bicara! Hidung dan mulutmu tidak semanis hidung dan mulut anakku ini..."

"Masa? Cobalah kau lihat baik-baik, apakah tidak sama benar? Aku yakin bahwa anak ini adalah anak kaisar dan anakku, hanya namanya saja memakai nama koksu. Ha-ha-ha!" Laki-laki itu tertawa dan terdengar Hui Niang tertawa pula dengan genit.

Beng Kun Cinjin berdiri di luar, mukanya pucat bagai mayat dan jantungnya seperti sudah berhenti berdetik. Dadanya serasa panas terbakar dan dia tentu akan roboh saking marah dan kagetnya kalau saja dia tidak mempertahankan diri. Ada sesuatu menusuk di dalam jantungnya, membuat dia berdiri menggigil.

"Liu-kongcu. jangan kau main-main lagi. Bicara jangan keras-keras, apa lagi tertawa-tawa seperti itu. Kalau ada pelayan mendengar dan kelak melapor kepada koksu, ke mana kau akan menyembunyikan kepalamu?”

"Ha-ha-ha, tentu saja kusembunyikan di dalam dadamu, manis..."

Beng Kun Cinjin tak kuat lagi menahan hawa amarah yang menggelora di daiam dadanya. Dunia serasa hancur lebur dan dia merasa bagaikan hidup di dalam neraka yang panas, terbakar hidup-hidup. Sekali dia bergerak, daun jendela kamar itu pecah berantakan!

Bisa dibayangkan betapa terkejutnya hati dua orang manusia busuk yang berada di dalam kamar itu. Tadi dari luar Beng Kun Cinjin sudah mengenai suara laki-laki itu yang bukan lain adalah Liu-kongcu, putera dari seorang pembesar istana Bangsa Han yang menjadi kaki tangan kaisar.

Liu-kongcu memang seorang pemuda yang tampan sekali, akan tetapi siapa duga bahwa pemuda itu ternyata adalah kekasih gelap Hui Niang? Mungkin sebelum menjadi isterinya, Hui Niang sudah main gila dengan pemuda hidung belang itu.

Begitu memasuki kamar Beng Kun Cinjin tak memberi kesempatan lagi bagi Liu-kongcu, pemuda berahlak rendah itu. Diiringi gerengan tertahan di tenggorokan mirip suara seekor harimau menggeram, Beng Kun Cinjin langsung menerkam. Dua tangannya menyambar, tenaga dikerahkan dan terdengar suara mengerikan disusul jerit Hui Niang. Tubuh pemuda itu telah pecah dan dirobek menjadi dua potong, dilemparkan ke pojok kamar itu!

Hui Niang hampir saja pingsan. Kedua kakinya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Beng Kun Cinjin, suaminya yang dikhianatinya. Mulutnya gemetar tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak cakap lagi, karena dalam keadaan seperti itu tidak ada suara dapat keluar dari mulutnya.

Kembali dia bergerak dan di lain saat tubuh Hui Niang sudah dia kempit, juga bocah cilik berusia setengah tahun itu, yaitu Gan Kun Hong putera Hui Niang telah ia pondong. Ia lalu melompat keluar melalui jendela, terus ke atas genteng dan berlari cepat sekali keluar dari kota raja! Beng Kun Cinjin maklum bahwa setelah dia membunuh Liu-kongcu maka tidak ada harapan lagi untuk tinggal di istana.

Apa lagi nama baiknya sudah tercemar oleh kebiadaban isterinya, untuk apa lagi tinggal di istana? Baginya istana itu sudah berubah menjadi neraka, bahkan dunia sudah menjadi neraka. Dulu dia rela membunuh murid-muridnya, rela menjadi koksu pemerintah penjajah hanya karena ia tergila-gila pada Hui Niang. Sekarang Hui Niang telah mengkhianatinya, dunianya sudah hancur lebur. Bahkan anaknya yang tadinya menjadi pelita hatinya, bukan anaknya sendiri! Pelita hidupnya sudah padam!

Jauh di luar kota raja, sebelah selatan, Beng Kun Cinjin melempar tubuh Hui Niang di atas tanah di dalam sebuah hutan. Malam sudah berganti pagi dan setengah malam itu Beng Kun Cinjin berlari terus tanpa pernah berhenti. Dia tidak mempedulikan suara Hui Niang yang menangis merengek-rengek minta ampun.

Sekarang suara Hui Niang sudah serak, tak mampu berkata-kata lagi, hanya bisa terisak-isak sambil mendekam di atas tanah seperti seekor binatang terluka. Sanggulnya terlepas sehingga rambutnya menjadi riap-riapan menutupi kulit mukanya yang putih pucat.

"Ampun... ampunkan aku..." diulangnya kata-kata yang sudah dia bisikkan dan teriakkan ratusan kail, tanpa berani memandang muka suaminya.

Beng Kun Cinjin meludah ke arah Hui Niang, lantas melemparkan Kun Hong begitu saja ke atas tanah. Bocah itu tentu saja menangis keras di dekat ibunya. Hui Niang tak berani bergerak, hanya hatinya seperti di sayat-sayat mendengar jerit tangis anaknya.

Seperti patung batu Beng Kun Cinjin berdiri dengan kedua kaki terpentang di hadapan Hui Niang. Matanya yang lebar melotot, beringas dan merah laksana mata singa kelaparan. Dalam keadaan seperti itu, teringatlah dia akan murid-muridnya. Bila ia mengingat betapa demi kecintaannya terhadap wanita ini ia sampai membunuhi murid-muridnya, amarahnya langsung memuncak.

"Kau sudah mengetahui kesalahanmu?" katanya menuntut. Inilah kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya semenjak ia menyeret isterinya itu ke hutan ini.

Dengan kepala tunduk Hui Niang mengangguk. "Ampun... ampun...,” ratapnya.

"Anak ini... anak siapa...?" kembali Beng Kun Cinjin menuntut.

"Anak kita... anakku dan anakmu..."

Hui Niang mendapat kekuatan baru, menyangka bahwa seperti biasanya suaminya akan luluh menghadapinya. Ia mengangkat mukanya yang cantik, mengerlingkan matanya yang indah sambil berkata, "Mengapa sih kau tidak mau mendengarkan omonganku, melainkan percaya obrolan kosong pemuda edan itu?"

Celaka bagi Hui Niang. Sekali ini kata-kata serta aksinya tidak meluluhkan hati Beng Kun Cinjin, malah membikinnya menjadi makin panas berkobar!

"Perempuan rendah! Makhluk hina!" hanya inilah yang dapat dikeluarkan oleh mulut Beng Kun Cinjin karena kemarahannya membuat ia mata gelap.

Jari tangan kanannya lalu menusuk ke depan. Terdengar pekik mengerikan ketika jari-jari tangannya menusuk ke arah dada Hui Niang, tepat di bawah leher. Nyonya muda itu roboh telentang dan kepalanya membentur batu karang yang berada di belakangnya. Ia roboh dalam keadaan setengah duduk, tangan kiri masih sempat menutup luka di dadanya akan tetapi nyawanya sudah cepat meninggalkan tubuhnya. Darah mengucur keluar dari luka itu sehingga membasahi pakaiannya.

Beng Kun Cinjin menghampiri bocah yang menangis menjerit-jerit itu, kakinya diangkat ke atas. Ingin ia menginjak perut bocah itu sampai mati, akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba ia teringat bahwa bocah ini sama sekali tak berdosa apa-apa. Baik bocah ini anak kaisar, mau pun anak pemuda she Liu atau anaknya sendiri, tidak boleh semua kejadian rendah itu ditimpakan kepada anak ini yang tidak tahu-menahu sama sekali.

Beng Kun Cinjin tidak jadi menginjak anak itu, sebaliknya dia lalu berkelebat pergi setelah sekali lagi menengok ke arah tubuh Hui Niang, wanita yang tadinya menjadi pujaannya itu. Tanpa terasa sepasang matanya yang besar menjadi basah ketika dia menggunakan seluruh kepandaiannya untuk berlari cepat sekali bagaikan orang gila! Suara tangis bocah yang biasanya menjadi buah hatinya mengikuti perjalanannya, membuat hatinya menjadi semakin berduka.

Sesudah Beng Kun Cinjin pergi, hutan itu menjadi sunyi kembali, kecuali suara Gan Kun Hong, bocah berusia setengah tahun yang menangis menjerit-jerit di samping jenazah ibu kandungnya. Dua jam lebih bocah itu menangis keras sampai akhirnya ia diam sendiri.

Tangis bocah memang sama sekali berbeda dengan tangisan orang dewasa. Tangis dan tawa bocah adalah sewajarnya, sama sekali tak terpengaruh oleh hati dan pikiran, hanya menjadi akibat dari pada perasaan belaka. Bila terasa enak olehnya, ia pun tertawa-tawa, bila tidak enak, menangislah dia.

Gan Kun Hong, bocah yang baru berusia setengah tahun lebih itu, setelah menangis dua jam karena merasa lapar dan kepanasan, sekarang menjadi diam karena lelah. Tubuhnya terasa enak sesudah puas menangis, agaknya seperti seorang yang habis bermain olah raga kemudian menikmati kesenangan beristirahat.

Sekarang hutan itu benar-benar sunyi dan sesudah matahari naik tinggi, kebetulan sekali bayangan pohon itu membikin teduh tempat di mana Kun Hong diletakkan. Beberapa ekor semut yang mencari makan telah mendapatkan darah di pakaian Hui Niang dan sebentar saja kawan-kawan mereka sudah datang menyerbu sehingga baju yang digenangi darah yang mulai mengering itu kini menjadi hitam oleh semut.

"Tarrr…! Tarrr…!"

Terdengar suara menjetar keras dari dalam hutan sebelah timur. Suara ini terus-menerus berbunyi dan semakin lama semakin berirama, lalu disusul suara orang membaca sajak seperti orang bernyanyi. Suaranya nyaring, akan tetapi nada suaranya terdengar tenang dan menyenangkan,

"Kalau TO menguasai dunia,
kuda perang pun hanya memberi rabuk.
kalau TO tiada menguasai dunia,
kuda bunting pun melahirkan di medan perang!
Tiada kedosaan lebih besar dari pada banyak kehendak,
tiada bahaya lebih besar dari pada tak kenal cukup,
tiada bencana lebih besar dari pada ingin mendapat.
Kalau tahu bahwa cukup itu sudah cukup,
maka selamanya berada dalam kecukupan!
'

Nyanyian ini iramanya diiringi oleh bunyi "tar-tar-tar", suara cambuk memecah udara. Bagi yang mengerti, sajak itu bukanlah sembarang sajak melainkan sajak dari Agama To atau pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang To atau jalan yang memang amat sukar diterjemahkan atau dijelaskan. Ada yang menterjemahkan To sebagai Kekuasaan Tuhan atau Jalan Yang Selaras Dengan Kekuasaan Tuhan.

Orang itu asyik benar bernyanyi-nyanyi sambil berjalan melintasi hutan dan membunyikan cambuknya. Mendadak suara nyanyian dan bunyi cambuk itu berhenti seketika pada saat terdengar suara lain yang nyaring, yaitu suara tangis bocah.

Itulah Kun Hong yang menangis lagi. Seekor di antara semut-semut yang memenuhi baju jenazah ibunya telah merayap ke tangannya lantas menggigitnya karena tanpa disengaja bocah ini menindih semut itu.

"Tarrr…!"

Ujung sebatang cambuk berbunyi nyaring dan menyambar ke arah lengan kecil itu, lalu di lain saat semut yang menggigit kulit lengan telah diterbangkan pergi.

"Cih... tak tahu malu, menggigit seorang bayi yang tidak berdaya!" terdengar suara orang kemudian entah dari mana datangnya, seperti seorang dewa penunggu hutan, muncullah seorang laki-laki setengah tua yang berwajah angker dan bersikap lembut. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik baik, topi dan pakaiannya walau pun sederhana, namun teratur rapi dan cukup bersih.

Orang ini memegang sebatang cambuk yang aneh. Sebetulnya bukan cambuk dan lebih patut disebut sehelai tali yang panjang sekali, kurang lebih lima meter panjangnya. Pada kedua ujungnya terikat senjata yang luar biasa. Yang satu menyerupai bintang berujung lima dan yang ke dua menyerupai bulan sisir! Ada pun yang tadi disabet-sabetkan hingga mengeluarkan bunyi dan juga yang mengusir semut dari lengan bocah itu adalah bagian tengahnya, jadi bukan ujungnya. Benar-benar semacam senjata yang aneh bukan main dan yang tak pernah terlihat dalam dunia persilatan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar