Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 06

"Siancai... siancai...! Seorang ibu muda mati di dalam hutan. Anaknya menangis di dekat jenazahnya. Di dunia tidak ada yang aneh, semuanya sudah berjalan dengan semestinya menurut To. Akan tetapi pemandangan seperti ini benar-benar selama hidup di dunia aku Kam Ceng Swi belum pernah melihatnya," katanya sambil berdiri memandang dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang kurang percaya kepada matanya sendiri.

Tiba-tiba tubuhnya lenyap dari situ. Demkian cepat gerakannya sampai-sampai ketika dia melompat seperti dia memiliki ilmu menghilang. Ia berkelebatan dan berlompatan mencari-cari di sekitar tempat itu, untuk melihat kalau-kalau ia masih dapat mengejar orang yang melakukan pembunuhan keji ini. Tentu saja hasilnya nihil. Tidak saja karena pembunuhan itu sudah terjadi lama, tapi andai kata pembunuhnya masih dekat di situ, belum tentu dia dapat mengejarnya.

Orang yang bernama Kam Ceng Swi ini kembali ke tempat itu kemudian berlutut di dekat bocah yang masih saja menangis. Senjatanya yang disebut Seng-goat-pian atau Cambuk Bintang Bulan ia lilitkan di pinggang.

"Aduh, kemala yang terserak di tempat sunyi!" Ia berseru kagum sambil mengangkat Kun Hong. Dibukanya pakaian anak itu lantas dirabanya tulang-tulangnya sambil mengangguk-angguk dan bertambah kagumlah dia.


"Hebat tunas sebagus ini terjatuh ke dalam tanganku, kalau ini bukan kehendak Thian tak tahulah aku mengapa bisa demikian kebetulan!" Dia bicara lagi kepada diri sendiri sambil mengayun-ayun anak itu sampai bocah itu tak menangis lagi.

Kemudian dia mulai memandang ke arah jenazah Hui Niang. Diusirnya semut itu dengan sehelai daun, kemudian dia memeriksa kalau-kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan siapa adanya wanita dan bocah itu.

Semua perhiasan yang dipakai, baik oleh ibu mau pun anak itu, masih ada, tanda bahwa peristiwa pembunuhan ini bukan berlatar belakang perampokan. Kemudian Kam Ceng Swi menemukan sebuah gelang pada lengan kiri Gan Kun Hong dan dia tampak girang melihat dua huruf KUN dan HONG terukir di gelang itu.

"Hemm…, jadi namamu Kun Hong? Bagus, sayang tidak diukir pula nama keturunanmu," gerutunya.

Sepintas ialu ia memeriksa luka di dada Hui Niang dan segera mukanya memperlihatkan kekagetan hebat.

"Bukan main...! Seperti bekas cengkeraman Tiat-jiauw-kang (Ilmu Cengkeraman Besi)! Siapa orangnya yang demikian keji...?" katanya pula.

Kemudian, setelah memeriksa dan tidak mendapatkan sesuatu petunjuk pula, Kam Ceng Swi lalu menggali lubang dan dengan sederhana namun penuh kasih sayang dan kasihan terhadap sesama manusia yang tak dikenalnya ini, ia mengubur jenazah Hui Niang. Kun Hong yang diletakkan di tempat teduh sudah tertidur lagi.

"Toanio. aku tidak mengenal kau siapa, akan tetapi kau sudah berjasa kepadaku dengan meninggalkan anak ini. Aku tidak tahu apakah anak ini adalah betul anakmu, akan tetapi karena berada bersamamu biarlah dia kuanggap anakmu dan kelak dia pasti akan kubawa bersembahyang di kuburanmu ini," katanya berkemak-kemik seperti orang sedang berdoa di depan gundukan tanah kuburan itu.

Kemudian ia menoleh ke sana ke mari, menghampiri sebuah batu karang yang tingginya hampir dua kali dia sendiri. Batu karang ini berbentuk menara, besarnya sepelukan orang. Kam Ceng Swi menghampiri batu karang ini, memeluk dan mengerahkan tenaga.

Benar hebat tenaga orang aneh ini. Setelah tiga kali mengeluarkan tenaga sambil berseru keras, batu karang itu menjadi jebol! Diangkatnya batu karang itu lantas diletakkannya di depan gundukan tanah kuburan, menjadi semacam bongpai (batu nisan) yang luar biasa!

Karena di hutan itu terdapat banyak batu semacam itu, Kam Ceng Swi lalu meloloskan senjata Seng-goat-pian dan sekali senjata itu digerakkan, terdengar suara keras dua kali, bunga api berpijar dan di atas batu karang itu tahu-tahu telah tercetak ukiran bintang dan bulan sisir! Tempat yang kena terpukul oleh dua macam ujung pian itu menjadi legok dan dalamnya ada satu dim, ini pun menandakan alangkah hebatnya kepandaian Kam Ceng Swi.

Memang tidak mengherankan bagi siapa yang mengenalnya. Kam Ceng Swi atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan julukan Seng-goat-pian, yakni nama senjatanya, adalah seorang tokoh Kun-lun-pai dan dahulu pernah menjadi pembesar Kerajaan Cin. Dia bukan seorang tosu (pendeta To), akan tetapi boleh dibilang dia adalah penganut Agama To dan terkenal sebagai seorang ahli filsafat yang selalu bersikap gembira.

Sesudah Kerajaan Cin kocar-kacir dan hancur akibat serbuan bala tentara Mongol, Kam Ceng Swi lalu naik ke Kun-lun-san dan kembali ke tempat guru-gurunya di mana ia hidup menyepi dan mempelajari ilmu kebatinan: Pada hari itu ia turun gunung untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh para guru besar Kun-lun-pai kepadanya, yaitu mencari tunas-tunas atau anak-anak yang mempunyai tulang bagus dan berbakat menjadi ahli silat tinggi untuk meneruskan atau mewarisi ilmu silat tinggi dari partai persilatan Kun-lun-pai.

Secara kebetulan sekali Kam Ceng Swi menemukan jenazah Hui Niang dan melihat Kun Hong. Ia menjadi gembira bukan kepalang karena bocah ini memiliki semua syarat untuk menjadi seorang ahli silat tingkat tinggi. Maka, setelah mengubur jenazah itu dan memberi tanda, Kam Ceng Swi cepat-cepat membawa Kun Hong naik kembali ke Kun-lun-san!

Tidak saja ia menjadi girang karena bocah ini merupakan calon yang sangat baik, juga ia merasa suka melihat Kun Hong. Mengingat bahwa Kun Hong tidak mempunyai atau tidak dikenal nama keturunannya, maka dia mengambil keputusan untuk memberi she (nama keturunan) Kam kepada bocah itu sehingga mulai saat itu Kun Hong ber-she Kam atau lengkapnya bernama Kam Kun Hong…..

********************

Kita kembali mengikuti keadaan Kwee Sun Tek, murid Beng Kun Cinjin yang sudah dibikin buta matanya oleh bekas gurunya sendiri. Biar pun dia tidak dibunuh oleh Beng Kun Cinjin dan Thio Wi Liong, bocah yang dibawanya lari itu juga tidak diganggu oleh hwesio yang menyeleweng itu, tapi Kwee Sun Tek masih selalu tetap khawatir kalau-kalau pada suatu hari Beng Kun Cinjin masih belum puas dan mencari mereka untuk membunuh keturunan Thio Houw dan Kwee Goat itu. Oleh karena ini, Kwee Sun Tek membawa keponakannya yang baru berusia satu tahun itu bersembunyi di desa-desa, menjauhkan diri dari dunia ramai.

Masih terlalu kecil bagi Wi Liong untuk dibawa ke Siauw-lim-si, pikirnya. Oleh karena dia sendiri bukan murid Siauw-lim-pai, maka ia merasa tak enak hati bila harus mengantarkan Wi Liong yang baru berusia satu tahun menjadi murid Siauw-lim-pai dan membikin repot para hwesio Siauw-lim untuk merawatnya. Ia akan menanti sampai Wi Liong cukup besar sehingga di samping menjadi murid Siauw-lim-pai juga bocah itu akan dapat bekerja di kuil Siauw-lim-si sebagai kacung, dapat membantu pekerjaan para hwesio sehingga dia tidak usah merasa tidak enak hati.

Demikianlah, sampai enam tahun dia membawa Wi Liong berkelana, hidup serba kurang dan kadang kala terpaksa harus mengemis makanan kepada penduduk dusun yang rata-rata berhati jujur dan penuh prikemanusiaan terhadap sesama hidup. Sun Tek sendiri tak berdaya mencari nafkah hidup, setelah matanya tak dapat melihat.

Sesudah berusia tujuh tahun Wi Liong menjadi seorang anak yang tampan, sehat, namun penderitaan hidup yang serba kurang membuat ia berwatak pendiam dan jalan pikirannya lebih tua dari pada usianya. Sering kali dia bertanya kepada Sun Tek mengenai ayah dan ibunya, dan selalu dijawab oleh pamannya bahwa ayah bundanya pergi jauh sekali.

"Entah di mana mereka sekarang. Karena kedua mataku tak dapat melihat, aku tak dapat membawamu mencari mereka. Karena itu kau harus belajar silat dengan giat, Wi Liong, dan kelak kau sendirilah yang akan mencari mereka. Tanpa memiliki kepandaian silat, tak mungkin kau dapat mencari mereka karena selain perjalanan amat sukar, juga di dunia ini banyak sekali orang jahat yang akan mengganggu dan merintangi perjalananmu."

Karena nasihat-nasihat ini Wi Liong menjadi sangat bernafsu untuk belajar ilmu silat. Dia menerima petunjuk-petunjuk dan pelajaran tingkat pertama atau dasar-dasar ilmu silat dari pamannya sendiri yang dilatihnya secara giat dan tekun. Ternyata dia memiliki otak yang cerdik sekali dan bakat yang besar sehingga Sun Tek menjadi girang bukan main.

Sungguh pun dalam keadaan tidak mampu, akan tetapi Kwee Sun Tek tidak membiarkan keponakannya buta huruf. Karena itu dia minta bantuan sasterawan-sasterawan kampung untuk mendidik Wi Liong dalam ilmu surat pula.

Sesudah merasa bahwa keponakannya cukup kuat untuk bekerja di Siauw-lim-si, Sun Tek segera mengajak keponakannya itu menuju ke Kuil Siauw-lim-si yang besar. Kedatangan mereka disambut oleh hwesio penjaga pintu yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Seperti para pendeta lain, hwesio ini merasa amat kasihan kepada Sun Tek yang biar pun kedua matanya melotot lebar namun tidak melihat apa-apa itu.

"Sicu hendak bertemu dengan couwsu? Sayang sekali, sekarang couwsu sedang pergi ke Kun-lun-san dan agaknya akan lama berada di sana," kata hwesio itu. Tentu saja Kwee Sun Tek menjadi kecewa sekali.

"Sebenarnya aku hendak menghadap Bhok Lo Cinjin untuk mohon agar beliau menerima keponakanku ini menjadi murid Siauw-lim-pai. Tidak tahu apakah ada suhu lain yang juga mengurus persoalan menerima murid itu?" tanyanya.

Hwesio itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Wi Liong, kagum sekali melihat sepasang mata yang bercahaya dan sikap pendiam dari anak itu. Kemudian dia berkata dengan suara menyesal.

"Dulu memang begitu, ada seorang suhu yang mengurus persoalan menerima murid baru. Akan tetapi semenjak beberapa tahun ini peraturan dalam menerima murid yang hendak belajar silat sudah diperkeras. Couwsu sendiri yang menentukan murid-murid yang boleh diterima, itu pun sekarang jarang sekali ada. Kecuali kalau keponakanmu ini bermaksud masuk menjadi hwesio dan mempelajari Agama Buddha, maka tak usah menanti couwsu sekarang pun dapat diterima."

Kwee Sun Tek menarik napas panjang. "Ah, agaknya Thian memang belum menghendaki keponakanku menjadi murid Siauw-lim-pai... tidak apalah, suhu, biar lain kali saja apa bila couwsu sudah pulang aku akan menghadap lagi..."

Melihat Kwee Sun Tek pergi dengan wajah muram, hwesio tinggi besar itu menaruh hati kasihan.

"Sicu, seandainya pun keponakanmu ini diterima, paling banyak ia akan menerima latihan hingga tingkat lima saja. Tidak ada murid yang diperbolehkan belajar melebihi tingkat lima. Kalau melihat semangatmu, agaknya kau ingin keponakanmu ini menjadi seorang ahli silat tinggi."

Kwee Sun Tek cepat menengok dan memberi hormat. "Dugaan suhu itu memang sangat tepat, apakah kiranya suhu dapat memberi petunjuk?"

"Saat ini couwsu kami sedang pergi menghadiri pertemuan antara tokoh-tokoh terbesar di empat penjuru dunia yang diadakan di Kun-lun-san. Jika sicu pergi ke sana, kiranya tidak sukar mencari guru sakti. Tentu saja tergantung kepada jodoh..."

Hwesio itu agaknya tidak mau memberi penjelasan lebih jauh dan dia kembali memasuki kuil. Akan tetapi sudah cukup bagi Kwee Sun Tek. Keterangan itu baginya penting sekali. Andai pun dia tidak dapat mencarikan guru yang baik bagi Wi Liong, namun kalau dia bisa bertemu dengan para tokoh dunia persilatan, dia masih dapat melaporkan kepada mereka itu mengenai kejahatan Beng Kun Cinjin, dan tentu para tokoh itu akan mau turun tangan memberi hajaran.

Setelah menghaturkan terima kasih meski pun orangnya sudah pergi, dia lalu cepat-cepat mengajak Wi Liong melakukan perjalanan jauh ke Kun-lun-san! Perjalanan yang jauh dan sukar, apa lagi jika diingat bahwa mata Kwa Sun Tek telah menjadi buta sehingga ia tidak dapat lagi menggunakan ilmu lari cepat tanpa terancam bahaya terjeblos ke dalam jurang! Ada pun Wi Liong yang menjadi penunjuk jalan, masih terlalu kecil. Perjalanan yang amat sukar, tetapi ditempuh oleh Sun Tek dengan penuh kesabaran dan keyakinan bahwa akan tiba saatnya keponakannya dapat diterima menjadi murid seorang sakti…..

********************

Mari kita tengok keadaan di Kun-lun-san. Pegunungan Kun-lun-san adalah pegunungan yang amat besar dan luas, mulai dari tapal batas sebelah barat Propinsi Cing-hai terus ke barat sampai di daerah Tibet yang penuh pegunungan itu. Daerah ini masih liar dan jarang didatangi manusia, kecuali para pendeta dan pertapa yang memang mencari kesunyian untuk menenangkan jiwa. Penduduk yang tinggal di pegunungan juga terasing dari dunia ramai. Mereka masih merupakan orang-orang yang sederhana hidupnya dan tidak banyak kehendak seperti orang-orang kota.

Pada salah sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Kun-lun-san terdapat sebuah bangunan besar sederhana yang dikelilingi dengan pagar tembok. Inilah pusat dari partai persilatan Kun-lun-pai yang telah sangat terkenal karena banyak sudah murid-murid Kun-lun-pai yang turun gunung kemudian membuat nama besar di dunia kang-ouw. Mereka ini yang mengangkat tinggi-tinggi nama Kun-lun-pai, membuat partai persilatan itu terkenal di seluruh dunia.

Pada waktu itu yang menjadi guru besar di Kun-lun-pai adalah seorang tosu tua bertubuh tinggi kurus berjenggot panjang dan putih laksana perak, Tosu ini terkenal dengan nama sebutan Kun-lun Lojin (Kakek Pegunungan Kun-lun), ada juga yang menyebutnya Pek-mou Sianjin (Dewa Berambut Putih). Dialah guru besar di Kun-lun-pai, akan tetapi yang bertugas melatih murid-murid, baik dalam ilmu silat mau pun dalam ilmu kebatinan, hanya murid-murid kepala atau sute-sutenya, sedangkan kakek ini kerjanya hanya bertapa saja.

Biar pun ia kelihatan lemah lembut dan tiada guna, namun sebenarnya kakek tua bangka inilah ahli waris asli dari ilmu pedang dan ilmu silat tinggi Kun-lun-pai, bahkan ada yang mengabarkan bahwa dia telah mewarisi kitab sakti peninggalan Nabi Lo Cu! Oleh karena itu, biar pun belum pernah memperlihatkan kesaktiannya, semua orang di dunia kang-ouw menghormatnya sebagai seorang guru besar.

Sudah dua bulan Bhok Lo Cinjin menjadi tamu di Kun-lun-pai. Memang sejak dahulu Bhok Lo Cinjin menjadi sahabat baik Kun-lun Lojin, dan kalau dua orang kakek yang menjadi couwsu dari dua partai persilatan besar ini bertemu, tentu siang malam mereka berkumpul dalam pondok atau goa untuk bersama-sama mengobrol, main catur atau bersemedhi.

Bhok Lo Cinjin sengaja datang lebih awal untuk menghadiri pertemuan besar yang hendak diadakan di puncak Kun-lun-san ini. Sehubungan dengan serbuan bala tentara Mongol ke selatan sehingga bala tentara asing itu dapat menduduki kota raja Kerajaan Cin di utara. Kun-lun Lojin telah mengirim undangan kepada para sahabatnya, yakni tokoh-tokoh besar di empat penjuru dunia.

Orang-orang atau tokoh-tokoh besar yang pada waktu itu tingkatnya dapat disejajarkan dengan couwsu Kun-lun-pai ini ada tujuh orang. Biar pun yang tujuh orang ini mempunyai jalan hidup masing-masing, namun mereka tak pernah saling bermusuhan, bahkan saling mengalah dan dalam banyak hal mereka mempunyai faham yang sama, terutama dalam pandangan patriotik.

Selain tujuh orang tokoh besar ini, tentu saja masih banyak orang-orang sakti di dunia ini yang juga berwatak patriotik, apa lagi dari golongan Mokauw atau mereka yang memeluk agama sesat. Akan tetapi Kun-lun Lojin tak sudi mengadakan hubungan dengan golongan ini.

Seorang di antara ketujuh tokoh besar itu adalah Bhok Lo Cinjin, ketua atau guru besar Siauw-lim-pai. Boleh dibilang dengan Bhok Lo Cinjin, Kun-lun Lojin mempunyai hubungan yang paling erat, maka Bhok Lo Cinjin datang dua bulan lebih awal sebelum pertemuan puncak itu diadakan.

Oleh karena pertemuan puncak itu penting sekali, dan Kun-lun Lojin tahu bahwa banyak kemungkinan akan datang orang-orang jahat dari fihak Mokauw yang sepak terjangnya tidak dapat diduga-duga lebih dulu, couwsu Kun-lun-pai ini menyuruh anak murid Kun-lun-pai untuk melakukan penjagaan kuat di sekitar puncak itu.

Kam Ceng Swi, sebagai murid tersayang dari Kun-Iun Lojin, tak ketinggalan ikut menjaga dan meronda. Sedangkan sute-sute dan murid-muridnya juga melakukan penjagaan kuat di pos-pos yang dibuat di sepanjang jalan menuju ke puncak.

Selagi Kam Ceng Swi melakukan perondaan di bagian selatan dan memberi-tahu kepada kawan-kawannya bahwa hari pertemuan itu sudah dekat dan mungkin sekali para tamu akan mulai berdatangan, tiba-tiba terdengar suara keras,

"Kun-lun-pai benar-benar menjadi pasukan besar!"

Semua orang menjadi terkejut bukan main dan Kam Ceng Swi yang bermata tajam dapat melihat berkelebatnya bayangan orang dari lereng. Cepat ia mengangkat tangan memberi hormat dan berkata, "Couwsu Kun-lun Lojin mengutus teecu sekalian untuk menyambut kedatangan para locianpwe. harap saja Locianpwe yang baru datang sudi memperlihatkan diri."

Ucapannya ini disambut oleh suara ketawa dingin, lalu tiba-tiba muncullah seorang kakek yang gemuk pendek, tangan kirinya buntung sebatas siku, pakaiannya seperti orang gila, tambal-tambalan dengan kembang-kembang tak karuan. Ia memegang sebatang tongkat bambu butut. Dengan mata bergerak-gerak liar dia menghampiri Kam Ceng Swi, meludah ke kiri lalu berkata,

"Kau ini apanya Kun-Iun Lojin?"

"Teecu yang bodoh ini adalah murid suhu Kun-Iun Lojin, bernama Kam Ceng Swi. Mohon petunjuk, siapakah locianpwe agar teecu dapat melapor kepada suhu tentang kedatangan locianpwe."

Orang itu tertawa bergelak, suara ketawanya ha-ha-hi-hi seperti orang gila ketawa. "Aku datang, kau di sini belum tahu siapa, tapi dua orang tua bangka di puncak itu sudah lama tahu. Ha-ha-ha kau terlalu banyak peraturan, lebih pantas menjadi orang berpangkat dari pada menjadi pertapa."

Kam Ceng Swi kaget sekali. Orang aneh ini datang-datang sudah tahu bahwa di puncak ada suhu-nya dan Bhok Lo Cinjin, benar-benar luar biasa sekali. Tiba-tiba orang aneh ini tanpa bicara apa-apa lagi menerobos saja ke atas, gerakannya cepat sekali.

Kam Ceng Swi tidak berani sembrono. Ia dan para sute-nya hanya berdiri saja dan tidak memberi jalan. Sebelumnya dia sengaja menutup jalan dengan batu besar sehingga jalan itu menjadi kecil saja. Orang yang akan naik harus melalui jalan yang dua kaki lebarnya ini dan sekarang lorong ini sudah ia tempati bersama sute-sute-nya.

Akan tetapi orang aneh itu seakan-akan tidak melihat adanya batu besar. Ia berjalan terus dan... batu besar itu sudah kena tertendang kedua kakinya yang berjalan terus. Bagaikan sebuah bola karet besar, batu itu tertendang maju, menggelinding naik kemudian susulan tendangan kedua membuat batu yang beratnya ratusan kati ini menggelundung ke dalam jurang!

Melihat gerak-gerik aneh dari tamu ini, Kam Ceng Swi menjadi curiga. Biar pun dia sudah melihat demonstrasi tenaga yang luar biasa, tetapi bagi Kam Ceng Swi hal ini bukan apa-apa.

Dia adalah murid terkasih dari Kun-Iun Lojin. tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Dia telah menerima pesan suhu-nya bahwa kali ini mungkin Kun-lun-san akan didatangi orang-orang aneh dari kalangan Mokauw yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw golongan bersih, maka ia harus menjaga dengan hati-hati.

Melihat tamu itu menerobos saja, Kam Ceng Swi cepat melompat naik lalu mengejarnya, akan tetapi begitu kakinya turun menginjak tanah, hampir ia terpeleset jatuh. Tanah yang diinjaknya tiba-tiba bergoyang dan batu-batu berserakan Ketika ia memandang, ternyata orang aneh itu menggerakkan tangan kirinya ke arah tanah yang diinjaknya. Tahulah dia bahwa orang itu memang sengaja hendak mempermainkannya. Sungguh pun permainan itu tidak membahayakan jiwanya, setidaknya dapat membuat ia jatuh, kaget dan malu.

“Locianpwe harap memperkenalkan diri dulu..." katanya mengejar terus. Orang itu hanya tertawa mengejek, tanpa pedulikan Kam Ceng Swi ia maju terus.

Selagi Kam Ceng Swi hendak mengerahkan tenaga untuk menyusul, mendadak terdengar suara parau dari atas.

"Lam-san Sian-ong kakek gila, kau datang tidak lekas-lekas naik ke sini, malah bermain-main dengan anak-anak. Apa gilamu sudah kumat lagi?”

Lam-san Sian-ong, orang aneh itu tertawa bergelak. "Bhok Lo Cinjin, kau selamanya tidak suka main-main!" Dan berbareng dengan kata-kata itu, tubuhnya melesat laksana burung terbang ke atas puncak.

Kam Ceng Swi menjadi bengong terlongong. Baru ia tahu bahwa kakek aneh yang seperti orang gila itu bukan lain adalah Lam-san Sian-ong, tokoh dari selatan yang sering dipuji-puji oleh gurunya sebagai seorang sakti yang mempunyai ilmu silat tinggi. Benar-benar tak dinyana sama sekali!

Tak lama kemudian mulai berdatanganlah para tamu yang diundang oleh Kun-lun Lojin. Pertama-tama datang Hu Lek Siansu, hwesio yang menjadi ketua di Go-bi-pai, tubuhnya hitam kurus dan bersikap angker sekali. Kam Ceng Swi sudah mengenal tokoh besar ini, maka bersama para sute dan muridnya dia buru-buru menyambut dengan penuh hormat.

Hu Lek Siansu ini datang bersama seorang yang gagah sekali. Usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan tegap. Dia mengenakan pakaian seperti seorang panglima perang, indah dan gagah sekali. Jalannya seperti seekor singa, mukanya merah seperti muka Kwan Kong, benar-benar seorang yang pantas menjadi seorang panglima perang yang gagah perkasa.

Melihat keadaan orang ini, Kam Ceng Swi segera mengenalnya, biar pun ia belum pernah bertemu muka. Tokoh besar ini tentulah See-thian Hoat-ong. jago tua dari barat, bekas raja muda di Sin-kiang yang kini sudah mengundurkan diri. Cepat ia memberi hormat dan mempersilakan dua orang tokoh besar ini naik ke puncak.

Sekarang sudah ada lima orang tokoh besar di puncak. Tinggal dua orang lagi yang masih ditunggu kedatangannya. Kam Ceng Swi sudah diberi-tahu gurunya bahwa yang dua lagi adalah Pak-thian Koanjin, tokoh utara yang belum pernah dilihatnya dan ke dua adalah Tung-hai Sian-li, tokoh timur yang juga belum pernah dilihatnya, maka ia menanti dengan hati-hati jangan sampai salah duga seperti ketika bertemu dengan Lam-san Sian-ong tadi.

Tiba-tiba saja datang seorang sute-nya berlari-lari. Sute-nya ini tadinya menjaga di bagian utara.

"Kam-suheng, celaka! Kun Hong diculik orang gila!"

Tentu saja Kam Ceng Swi menjadi kaget bukan main. Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Kam Ceng Swi telah menolong Kun Hong ketika bocah ini baru berusia setengah tahun, dalam keadaan menggeletak di dekat mayat ibunya.

Selama ini Kam Ceng Swi merawat Kun Hong dan menganggapnya seperti anak sendiri. Sekarang Kun Hong sudah berusia enam tahun, hidup di Kun-lun-san, menjadi buah hati semua anak murid Kun-lun-pai. Juga Kun-lun Lojin suka kepada bocah yang dianggapnya berbakat baik ini. Bahkan couwsu ini pernah menyatakan bahwa kalau berjodoh, kelak dia akan mewariskan ilmu-ilmu Kun-lun-pai kepada bocah itu.

Mendengar laporan sute-nya. Kam Ceng Swi cepat melompat dan bersama sute-sute-nya yang lain ia lari ke tempat itu, yaitu di bagian penjagaan sebelah utara. Dari jauh ia sudah mendengar suara Kun Hong bersorak girang.

"Haaa... suhu lucu sekali...!”

Kam Ceng Swi melihat seorang kakek yang tubuhnya kecil pendek seperti orang katai, pakaiannya seperti pakaian pengemis, matanya besar dan selalu berkejap-kejapan seperti orang sakit mata, bibirnya tersenyum-senyum nakal. Kakek ini sedang main ayun-ayunan di atas cabang pohon yang menjulur ke atas jurang dan ia memondong tubuh Kun Hong yang dilempar-lemparkan ke atas seperti orang main anak-anakan saja.

Jika dilihat betapa cabang sebesar ibu jari kaki itu menjulur ke atas jurang yang tak dapat diukur dalamnya, sungguh permainan itu berbahaya sekali! Sekali cabang itu patah atau sekali saja kakek itu tidak tepat menerima kembali tubuh Kun Hong yang dilempar-lempar ke atas, maka habislah nyawa mereka.

Akan tetapi Kun Hong malah tertawa-tawa girang. Memang anak ini selalu bergembira dan wataknya agak nakal, suka sekali bermain-main tanpa mengenal bahaya.

Melihat kedatangan Kam Ceng Swi, Kun Hong segera berseru sesudah dia turun kembali dan berdiri di atas pundak kakek itu.

"Ayah, lihat ini! Suhu cebol ini pandai sekali. Aku ingin menjadi muridnya."

Akan tetapi Kam Ceng Swi tidak pedulikan seruan putera angkatnya. Dia memperhatikan kakek itu dan dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang bernama Pak-thian Koai-jin, tokoh utara yang sebenarnya adalah suheng dari Hu Lek Sian-su ketua Go-bi-pai. Tentu saja kepandaiannya amat tinggi. Maka ia menjura sambil berkata.

"Apakah locianpwe bukan Pak-thian Koai-jin yang kedatangannya sedang ditunggu oleh suhu Kun-Iun Lojin?”

Kakek itu tertawa bergelak dan sekali melompat ia sudah berada di depan Kam Ceng Swi.

"Jadi, kau ayah anak ini? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Baru sekarang aku mendengar murid Kun-lun-pai membawa anak isterinya ke gunung. Apakah Kun-lun Lojin si tua bangka kini sudah merobah aturan?"

"Sebenarnya teecu... teecu tidak beristeri...," jawab Kam Ceng Swi dengan muka merah untuk membantah tuduhan yang mencemarkan nama Kun-lun-pai ini.

"Ho-ho-ho, tidak beristeri punya anak? Kau ini laki-laki, perempuan, atau banci?" Memang kakek cebol ini suka sekali berkelakar dan sangat nakal suka menggoda orang, tak peduli siapa orang yang dihadapinya itu.

Muka Kam Ceng Swi makin merah. "Locianpwe harap jangan main-main. Teecu bernama Kam Ceng Swi, murid suhu Kun-lun Lojin, sedangkan anak ini adalah anak angkat teecu. Locianpwe sudah ditunggu di atas, silakan naik terus."

Kembali kakek itu tertawa. "Jadi bukan anakmu? Bagus, anak ini bertulang baik, sungguh cocok menjadi muridku. Biar aku minta dia dari tangan tua bangka Kun-lun Lojin." Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan sebuah kembang gula yang kelihatannya kotor sekali kepada Kun Hong. lalu sekali berkelebat ia lenyap dari depan mata.

Kam Ceng Swi menarik napas panjang, dan mendadak dia merampas kembang gula yang sudah diterima oleh Kun Hong dan hendak dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil.

"Bodoh, kembang gula sekotor ini hendak dimakan. Rakus benar kau! Lebih baik buang saja!" Kam Ceng Swi melempar kembang gula itu ke bawah lereng.

Tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu tahu seorang wanita yang cantik dan gagah, berpakaian biru sudah berkelebat sambil menyambar kembang gula itu. Dia sudah berusia empat puluh lima tahun, namun masih kelihatan muda dan cantik, sikapnya kereng dan galak. Sebatang pedang bergagang indah tergantung di pinggangnya.

"Hemm, sin-tan (obat sakti) ini untuk pembersih darah. Sayang kakek gila itu memberikan kepada orang yang tidak tahu diri. Lebih baik dikembalikan kepadanya." Setelah berkata demikian, dia lalu berjalan terus ke atas.

Kam Ceng Swi yang mengenal wanita ini sebagai Tung-hai Sian-li, biar pun belum pernah bertemu dengannya, cepat memberi hormat yang tak dijawab oleh wanita galak itu. Diam-diam Kam Ceng Swi merasa menyesal mengapa tadi dia begitu ceroboh membuang obat kuat yang dikiranya hanya kembang gula yang dapat mendatangkan batuk.

"Kenapa kau keluar dan menimbulkan onar di sini?” ia menegur Kun Hong dengan marah.

Anak itu memainkan bibir dan matanya. Memang Kun Hong tampan sekali, kulit mukanya putih, bibirnya merah dan matanya indah dan tajam.

"Ayah beserta semua susiok pergi melakukan penjagaan, kata para suheng hari ini akan datang tamu-tamu aneh dari bawah gunung. Mana bisa anak kerasan tinggal di dalam rumah menghafal pelajaran? Suhu tadi lucu dan pandai, sayang dia pergi..."

"Jangan kau kurang ajar, dia itu tamu dari sucouw. Hayo kau kembali kepada pelajaranmu membaca!"

Akan tetapi sebelum Kun Hong pergi, bocah ini menengok ke bawah dan berseru, "Ada tamu lagi, sekarang bersama anaknya!”

Kam Ceng Swi dan yang lain-lain memandang. Betul saja. Dari lereng bukit kelihatan dua orang mendaki dengan susah payah. Seorang laki-laki yang gagah, jenggot dan kumisnya penuh tetapi tak terpelihara, berjalan perlahan sambil menggandeng seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun.

Bocah itu memandang ke atas lalu berseru girang. "Paman, itu di atas ada orang!"

"Bagus. Wi Liong. Mari kita ke sana."

Mereka terus mendaki ke atas. Kam Ceng Swi terheran-heran. Melihat gerak-gerik orang itu, jelas bahwa dia seorang ahli silat yang pandai. Akan tetapi kenapa dia mendaki bukit demikian perlahan dan lambat, tidak mempergunakan ginkang-nya? Bahkan kelihatannya seperti anak itu yang menuntun dan mencari jalan! Apa dia terluka? Mukanya kelihatan sehat.

Mudah diduga siapa adanya orang itu. Dia bukan lain adalah Kwee Sun Tek yang sudah menjadi buta biar pun matanya kelihatan melek. Anak itu adalah Thio Wi Liong. Menurut petunjuk dari Siang Tek Hosiang. Sun Tek mengajak Wi Liong ke Kun-lun-san.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar